UNIVERSITAS INDONESIA
FORMULASI DAN UJI PENETRASI MIKROEMULSI NATRIUM DIKLOFENAK DENGAN METODE SEL DIFUSI FRANZ DAN METODE TAPE STRIPPING
SKRIPSI
PATRICIA SIMON 0806327963
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI FARMASI DEPOK JULI 2012
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
FORMULASI DAN UJI PENETRASI MIKROEMULSI NATRIUM DIKLOFENAK DENGAN METODE SEL DIFUSI FRANZ DAN METODE TAPE STRIPPING
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Farmasi
PATRICIA SIMON 0806327963
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI FARMASI DEPOK JULI 2012
ii
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
iii
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
iv
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
v
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, mulai dari masa perkuliahan sampai pada penulisan skripsi ini, sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Pharm. Dr. Joshita Djajadisastra, M. S., Ph.D. sebagai dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, saran, dan ilmu selama masa penelitian hingga penulisan skripsi ini. 2. Ibu Prof. Dr. Effionora Anwar, M.S. selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan
bimbingan
dan
pengarahan
selama
penulis
menempuh
pendidikan di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UI. 3. Ibu Prof. Dr. Yahdiana Harahap, M.S. selaku Kepala Departemen Farmasi FMIPA UI yang telah memberi kesempatan dan fasilitas selama masa perkuliahan, penelitian, dan penulisan skripsi ini. 4. Bapak Dr. Mahdi Jufri, M.Si. selaku Koordinator Penelitian serta seluruh Bapak dan Ibu Dosen Departemen Farmasi UI yang telah banyak membantu dan membimbing penulis selama masa pendidikan hingga penelitian. 5. Keluargaku yaitu papa dan mama atas segala dukungan, motivasi, perhatian, kasih sayang, doa dan dana yang diberikan kepada penulis. 6. PT. Kimia Farma dan BPOM yang telah bersedia memberikan bantuan bahan baku yang digunakan pada penelitian ini 7. Mbak Devfha, Mbak Lia, Bapak Imi, Bapak Surya, Bapak Dadang, serta laboran lainnya atas segala bantuan dan kerja samanya selama masa perkuliahan hingga penulis menyelesaikan pendidikan di Departemen Farmasi UI. vi
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
8. Sahabatku yaitu Tirza, Kezia dan Ivan atas dukungan, motivasi, bantuan dan doanya untuk penulis serta kesediaannya untuk menemani penulis di saat-sat sukar. 9. Teman-teman penelitian yaitu KBI Farmasetika kerja sama, dukungan, dan bantuannya selama penelitian berlangsung. 10. Keluargaku di farmasi yaitu Kak Caroline, Kak Marvin, Kak Anne, Natalia, Yosiepin dan Putri atas dukungannya selama ini. 11. Semua pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, dan pengarahan kepada penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam dunia farmasi dan masyarakat pada umumnya.
Penulis
2012
vii
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
viii
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
ABSTRAK
Nama
: Patricia Simon
Program studi
: Farmasi
Judul
: Formulasi dan Uji Penetrasi Mikroemulsi Natrium Diklofenak dengan Metode Sel Difusi Franz dan Metode Tape Stripping
Natrium diklofenak adalah obat AINS yang banyak digunakan menjadi bentuk sediaan transdermal. Obat AINS yang diberikan secara transdermal mempunyai konsentrasi obat di plasma yang lebih rendah daripada pemberian secara oral. Peristiwa itu mungkin disebabkan karena adanya interaksi antara natrium diklofenak dengan stratum korneum kulit. Dalam penelitian ini, digunakan bentuk sediaan mikroemulsi. Mikroemulsi diharapkan dapat meningkatkan penetrasi obat karena mengandung konsentrasi surfaktan yang tinggi. Kemampuan berpenetrasi natrium diklofenak dari sediaan mikroemulsi diuji secara in vitro menggunakan sel difusi Franz dan metode tape stripping. Hasil uji penetrasi dengan sel difusi Franz menunjukkan bahwa selama 8 jam, natrium diklofenak telah terpenetrasi sebesar 9,3185%. Hasil uji penetrasi dengan metode tape stripping menunjukkan bahwa obat tidak tertahan di kulit dalam jumlah besar. Jumlah konsentrasi obat yang terdapat di kompartemen reseptor, membran kulit dan kompartemen donor sel difusi Franz mendekati 100%. Kata kunci
: mikroemulsi, natrium diklofenak, penetrasi, sel difusi Franz, tape stripping xv + 112 hal. : 39 gambar; 22 tabel; 19 lampiran. Daftar pustaka : 59 (1978 - 2012)
ix
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
ABSTRACT
Name
: Patricia Simon
Program Study
: Pharmacy
Title
: Formulation and Penetration Test of Sodium Diclofenac Microemulsion by Franz Diffusion Cell and Tape Stripping Method
Sodium diclofenac is one of NSAIDs which widely formulated as transdermal dosage form. The transdermal dosage form of NSAIDs has a lower concentration in plasma than oral route. This phenomenon may be caused of interaction between sodium diclofenac and skin’s stratum corneum. Microemulsion dosage form was used in this research. The use of microemulsion dosage form is aimed to increase drug penetration because of its high surfactant content. The penetrability of sodium diclofenac microemulsion was tested by in vitro method using Franz diffusion cell and tape stripping method. The result from penetration test by Franz diffusion cell was sodium diclofenac had penetrated for about 9.3185% during 8 hours. Penetration test by tape stripping method revealed that sodium diclofenac was not restrained in skin membrane for significant amount. The sum of sodium diclofenac in compartment receptor, skin membrane and compartment donor of Franz diffusion cell is around 100%. Keywords
: microemulsion, sodium diclofenac, penetration, Franz diffusion cell, tape stripping xv + 112 pages : 39 pictures; 22 tables; 19 appendix. References : 59 (1978 – 2012)
x
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ......................................................................................... ii HALAMAN SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ................ iii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................ iv HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ v KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................ viii ABSTRAK ......................................................................................................... ix ABSTRACT ........................................................................................................ x DAFTAR ISI ..................................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xii DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xv 1. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1 1.2 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 2 1.3 Batasan Penelitian .................................................................................... 3 1.4 Metode Penelitian ..................................................................................... 3 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 5 2.1 Kulit ........................................................................................................ 5 2.2 Mikroemulsi .......................................................................................... 13 2.3 Pembuatan Preparat Histologi ................................................................ 16 2.4 Metode Tape Stripping .......................................................................... 17 2.5 Metode Sel Difusi Franz ....................................................................... 19 2.6 Natrium Diklofenak ............................................................................... 21 2.7 Komponen Pembentuk Mikroemulsi ..................................................... 22 3. METODE PENELITIAN ......................................................................... 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................. 3.2 Alat ........................................................................................................ 3.3 Bahan ..................................................................................................... 3.4 Cara Kerja ..............................................................................................
28 28 28 28 29
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 4.1 Karakterisasi Virgin Coconut Oil ...................................................................... 4.2 Formulasi dan Pembuatan Mikroemulsi ........................................................... 4.3 Evaluasi Mikroemulsi ....................................................................................... 4.4 Uji Penetrasi Mikroemulsi Natrium Diklofenak ...............................................
40 40 40 43 50
5. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 67 5.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 67 5.2 Saran ................................................................................................................ 67 DAFTAR ACUAN ..................................................................................................... 68
xi
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Gambar 2.2. Gambar 2.3. Gambar 2.4. Gambar 2.5. Gambar 2.6. Gambar 2.7. Gambar 2.8. Gambar 2.9. Gambar 2.10. Gambar 2.11. Gambar 2.12. Gambar 4.1. Gambar 4.2. Gambar 4.3. Gambar 4.4. Gambar 4.5. Gambar 4.6. Gambar 4.7. Gambar 4.8. Gambar 4.9. Gambar 4.10. Gambar 4.11. Gambar 4.12. Gambar 4.13. Gambar 4.14. Gambar 4.15.
Gambar 4.16.
Gambar 4.17. Gambar 4.18. Gambar 4.19.
Struktur kulit ................................................................................ 7 Berbagai jalur penetrasi zat melalui kulit ..................................... 10 Tape Stripping .............................................................................. 18 Sel difusi Franz ............................................................................ 20 Struktur natrium diklofenak ......................................................... 21 Struktur polisorbat 80 .................................................................. 23 Struktur etanol 96% ..................................................................... 23 Struktur propilen glikol ................................................................ 24 Struktur metil paraben .................................................................. 24 Struktur propil paraben ................................................................ 25 Struktur BHT ............................................................................... 26 Struktur asam sitrat ...................................................................... 27 Rheologi mikroemulsi minggu ke-0 ............................................. 45 Rheologi mikroemulsi minggu ke-8 ............................................ 45 Grafik perubahan pH mikroemulsi pada penyimpanan berbagai suhu selama 8 minggu ................................................................... 49 Kurva kalibrasi natrium diklofenak dalam dapar fosfat pH 7,4 .... 51 Kurva kalibrasi baku pembanding natrium diklofenak dalam dapar fosfat pH 7,4 ........................................................................ 52 Kurva kalibrasi natrium diklofenak dalam metanol ..................... 53 Profil jumlah kumulatif natrium diklofenak terpenetrasi dengan metode A ....................................................................................... 59 Profil jumlah kumulatif natrium diklofenak terpenetrasi dengan metode B ....................................................................................... 59 Perbandingan hasil jumlah kumulatif natrium diklofenak terpenetrasi dengan kedua metode ................................................ 60 Perbandingan hasil fluks natrium diklofenak tiap waktu dengan kedua metode ................................................................................ 60 Profil jumlah natrium diklofenak tertinggal di kulit ..................... 64 Profil jumlah natrium diklofenak di kompartemen donor ............ 65 Grafik persentase jumlah natrium diklofenak di kompartemen donor, kulit dan kompartmen reseptor .......................................... 66 Skema optimasi formula mikroemulsi .......................................... 74 Spektrum serapan natrium diklofenak dalam dapar fosfat pH 7,4 dengan konsentrasi 10,14 ppm pada panjang gelombang 276 nm. ......................................................................................... 75 Spektrum serapan baku pembanding natrium diklofenak dalam dapar fosfat pH 7,4 dengan konsentrasi 10 ppm pada panjang gelombang 276 nm ........................................................................ 75 Spektrum serapan baku pembanding natrium diklofenak dalam metanol ......................................................................................... 75 Grafik hasil pengukuran ukuran globul mikroemulsi pada minggu ke-0 .................................................................................. 76 Grafik hasil pengukuran ukuran globul mikroemulsi pada minggu ke-8 ................................................................................. 77 xii
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
Gambar 4.20. Foto hasil pengamatan organoleptis mikroemulsi pada suhu rendah (4±2OC) selama 8 minggu ................................................. 78 Gambar 4.21. Foto hasil pengamatan organoleptis mikroemulsi pada suhu kamar (28±2OC) selama 8 minggu ............................................... 78 Gambar 4.22. Foto hasil pengamatan organoleptis mikroemulsi pada suhu tinggi (40±2OC) selama 8 minggu ............................................... 78 Gambar 4.23. Foto hasil pengamatan organoleptis mikroemulsi sebelum dan setelah uji sentrifugasi .................................................................. 79 Gambar 4.24. Foto hasil pengamatan organoleptis mikroemulsi sebelum dan setelah uji cycling .......................................................................... 79 Gambar 4.25. Foto hasil pengamatan mikroskop preparat kulit tanpa penempelan bahan perekat ............................................................ 79 Gambar 4.26. Foto hasil pengamatan mikroskop preparat kulit dengan penempelan bahan perekat sebanyak 8, 10, dan 12 kali ............... 80 Gambar 4.27. Foto hasil pengamatan mikroskop preparat kulit dengan penempelan bahan perekat sebanyak 13, 14, dan 15 kali ............. 80
xiii
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
DAFTAR TABEL Tabel 3.1. Tabel 4.1. Tabel 4.2. Tabel 4.3. Tabel 4.4. Tabel 4.5. Tabel 4.6. Tabel 4.7. Tabel 4.8. Tabel 4.9. Tabel 4.10. Tabel 4.11. Tabel 4.12. Tabel 4.13. Tabel 4.14.
Tabel 4.15. Tabel 4.16. Tabel 4.17. Tabel 4.18. Tabel 4.19. Tabel 4.20. Tabel 4.21.
Komponen bahan pembentuk mikroemulsi .................................. 31 Optimasi komposisi dan kondisi pembuatan mikroemulsi ........... 81 Hasil Pengamatan Organoleptis Formula pada minggu ke-0 ....... 83 Hasil pengukuran tegangan antarmuka sediaan pada minggu ke-0 dan ke-8................................................................................. 83 Hasil pengamatan organoleptis sediaan pada penyimpanan dengan suhu rendah (4±2OC) selama 8 minggu ............................ 84 Hasil pengamatan organoleptis sediaan pada penyimpanan dengan suhu kamar (28±2OC) selama 8 minggu ........................... 84 Hasil pengamatan organoleptis sediaan pada penyimpanan dengan suhu tinggi (40±2OC) selama 8 minggu ........................... 84 Hasil pengukuran pH sediaan pada penyimpanan dengan suhu rendah (4±2OC) selama 8 minggu ................................................. 85 Hasil pengukuran pH sediaan pada penyimpanan dengan suhu kamar (28±2OC) selama 8 minggu ................................................ 85 Hasil pengukuran pH sediaan pada penyimpanan dengan suhu tinggi (40±2OC) selama 8 minggu ................................................ 85 Hasil uji viskositas minggu ke-0 ................................................... 86 Hasil uji viskositas minggu ke-8 .................................................. 86 Hasil pengukuran ukuran globul mikroemulsi dengan Zetasizer Nano Malvern S ............................................................................ 87 Serapan natrium diklofenak dengan pelarut dapar fosfat pH 7,4 pada pembuatan kurva kalibrasi pada λ = 276 nm ........................ 87 Serapan baku pembanding natrium diklofenak dengan pelarut dapar fosfat pH 7,4 pada pembuatan kurva kalibrasi pada λ = 276 nm .......................................................................................... 87 Serapan natrium diklofenak dengan pelarut metanol pada pembuatan kurva kalibrasi pada λ = 282 nm ................................ 87 Hasil penetapan kadar natrium diklofenak di dalam mikroemulsi .................................................................................. 88 Hasil uji penetrasi mikroemulsi natrium diklofenak dengan sel difusi Franz dengan kedua metode ............................................... 88 Fluks tiap waktu natrium diklofenak ........................................... 88 Jumlah natrium diklofenak yang tertinggal di kulit ...................... 89 Hasil pengukuran natrium diklofenak yang tertinggal di kompartemen donor sel difusi Franz............................................. 89 Hubungan antara jumlah natrium diklofenak di kompartemen reseptor, kulit dan kompartemen donor sel difusi Franz .............. 90
xiv
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran.3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Lampiran 10. Lampiran 11. Lampiran 12. Lampiran 13. Lampiran 14. Lampiran 15. Lampiran 16. Lampiran 17. Lampiran 18. Lampiran 19.
Perhitungan HLB VCO Virjint® .................................................. 91 Contoh perhitungan bobot jenis .................................................... 93 Contoh perhitungan tegangan permukaan .................................... 94 Perhitungan faktor koreksi natrium diklofenak terhadap baku pembanding ................................................................................... 96 Contoh perhitungan penetapan kadar natrium diklofenak dalam mikroemulsi .................................................................................. 97 Contoh perhitungan jumlah natrium diklofenak yang terpenetrasi dari sediaan mikroemulsi pada menit ke-30 .............. 98 Contoh perhitungan jumlah natrium diklofenak yang terpenetrasi dari sediaan mikroemulsi pada menit ke-60 .............. 99 Contoh perhitungan fluks tiap waktu natrium diklofenak dari sediaan mikroemulsi ..................................................................... 100 Contoh perhitungan persentase jumlah natrium diklofenak terpenetrasi dari mikroemulsi........................................................ 101 Contoh cara perhitungan jumlah natrium diklofenak yang tertinggal di kulit ........................................................................... 102 Cara perhitungan jumlah natrium diklofenak yang tertinggal di kompartemen donor ...................................................................... 103 Sertifikat analisis natrium diklofenak .......................................... 105 Sertifikat analisis baku pembanding natrium diklofenak.............. 106 Sertifikat analisis tween 80 ........................................................... 107 Sertifikat analisis etanol 96%........................................................ 108 Sertifikat analisis BHT .................................................................. 109 Sertifikat analisis metil paraben .................................................... 110 Sertifikat analisis propil paraben................................................... 111 Sertifikat analisis tikus putih ......................................................... 112
xv
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Obat anti inflamasi non steroid (AINS) adalah salah satu obat yang banyak
digunakan dalam resep di seluruh dunia (Dhikav, Singh, Pande, Chawla, & Anand, 2003). Efek samping utama obat AINS adalah gangguan saluran gastrointestinal. Pada rongga mulut dan esofagus dapat menyebabkan ulkus. Pada lambung dan duodenum dapat menyebabkan ulkus, pendarahan, perforasi dan obstruksi (Dhikav, Singh, Pande, Chawla, & Anand, 2003). Menurut Yeoman (2001) dan Andrade SE, Gurwitz JH & Fish LS (1999), pemakaian obat AINS oral secara kronis akan meningkatkan resiko ulkus sebesar 10-30 kali. Efek samping obat ini terkait dengan mekanisme kerjanya yang menghambat enzim siklooksigenase non selektif sehingga mengurangi produksi mukosa saluran gastrointestinal. Hal ini dapat menyebabkan pengurangan resistensi dinding saluran gastrointestinal terhadap asam lambung. Efek samping obat AINS terhadap saluran gastrointestinal menimbulkan gagasan untuk mengembangkan bentuk sediaan transdermal obat AINS. Penghantaran obat AINS secara transdermal akan menghilangkan efek samping obat AINS pada saluran gastrointestinal (Barakat, Fouad & Almadanny, 2011) Heynemann, Liday & Wall (2000) menyatakan bahwa obat AINS yang diberikan secara transdermal mempunyai konsentrasi obat di plasma yang lebih rendah daripada pemberian secara oral. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya stratum korneum yang merupakan pengatur laju difusi hampir semua zat (Murthy, 2011). Stratum korneum kulit adalah penghalang penetrasi utama untuk hampir semua zat kecuali jika zat tersebut bersifat sangat lipofilik. Nilai lipofilisitas zat ditentukan dari nilai koefisien partisinya (log P). Nilai log P yang optimal untuk penetrasi zat menembus stratum korneum adalah 2-3 (Benson & Watkinson, 2012). Natrium diklofenak adalah salah satu contoh obat AINS yang mempunyai kemampuan berpenetrasi dan kadar yang rendah di plasma. Hal ini disebabkan karena natrium diklofenak mempunyai nilai log P sebesar 1,1 1
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
2
(Chuasuwan et.al., 2009) dan mempunyai sifat yang cenderung hidrofilik (Bronaugh & Maibach, 2005). Konsentrasi obat yang rendah itu menyebabkan perlunya dilakukan uji penetrasi obat secara in vivo ataupun in vitro. Uji in vitro memiliki beberapa kelebihan daripada uji in vivo, yaitu lebih mudah dilakukan, lebih menghemat biaya dan waktu, lebih mudah untuk mengontrol variabel-variabel selama pengukuran, dan lebih mudah dalam interpretasi data (Shah & Maibach, 1993). Uji in vitro adalah metode paling sederhana dan paling hemat biaya untuk mengetahui absorbsi dan profil penetrasi obat ke kulit (Witt & Bucks, 2003). Teknik uji in vitro yang umum digunakan untuk mengetahui penetrasi obat transdermal adalah metode sel difusi Franz (Bosman, Lawant, Avegaart, Ensing & Zeeuw, 1996). Franz (1975) menyatakan bahwa sel difusi Franz dapat digunakan untuk mempelajari absorbsi perkutan dan farmakokinetika obat topikal. Sel difusi Franz dikondisikan mempunyai suhu dan kelembaban yang sesuai dengan kondisi in vivo. Uji in vitro lainnya yang dapat digunakan untuk mengetahui penetrasi obat transdermal adalah metode tape stripping. Uji ini dilakukan dengan menarik lapisan stratum korneum kulit yang telah mengandung obat dengan suatu bahan perekat. Metode ini telah disetujui FDA untuk mengetahui bioavailabilitas dan bioekivalensi obat-obat topikal dan transdermal (Murthy, 2011). Pada penelitian ini dilakukan uji penetrasi mikroemulsi transdermal natrium diklofenak menggunakan sel difusi Franz dan tape stripping. Hasil yang didapat dari kedua uji dianalisa dan dilihat korelasinya. Secara teoretis, konsentrasi natrium diklofenak yang terdapat di cairan kompartemen reseptor sel difusi Franz sama dengan jumlah natrium diklofenak total dikurangi jumlah natrium diklofenak yang terdapat di lapisan stratum korneum yang melekat pada bahan perekat pada metode tape stripping. Dalam penelitian ini digunakan bentuk sediaan mikroemulsi. Meskipun bentuk sediaan mikroemulsi untuk penghantaran obat secara transdermal belum umum digunakan, tetapi mikroemulsi mempunyai beberapa keuntungan yaitu stabil secara termodinamika serta bisa meningkatkan absorbsi dan penetrasi obat. Mikroemulsi mampu meningkatkan kelarutan obat yang sulit larut dalam air Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
3
sehingga meningkatkan absorbsi dan bioavailabilitas obat. Kandungan surfaktan dan kosurfaktan yang tinggi dalam mikroemulsi juga dapat meningkatkan penetrasi obat transdermal (Swarbrick, 2007). Fase minyak yang digunakan adalah Virgin Coconut Oil (VCO). Fase minyak ini digunakan karena Indonesia adalah negara penghasil kelapa kedua terbesar dan memiliki luas perkebunan kelapa terbesar di dunia sehingga kelapa adalah hasil perkebunan yang cukup melimpah di Indonesia. Dengan mengolah kelapa menjadi VCO akan meningkatkan nilai tambah kelapa (Syah, 2005). Selain itu, VCO juga mengandung jumlah asam lemak yang tinggi sehingga dapat meningkatkan penetrasi obat melalui kulit (Lucida, Salman, & Hervian, 2008; Widiastuti, 2010). Karena keunggulan ini, maka VCO sangat baik digunakan dalam sediaan farmasi.
1.2.
Tujuan Penelitian
a.
Membuat formula sediaan mikroemulsi natrium diklofenak dan menguji kemampuan berpenetrasinya dengan metode sel difusi Franz dan metode tape stripping.
b.
Mengetahui korelasi hasil uji penetrasi natrium diklofenak antara metode sel difusi Franz dan metode tape stripping.
c.
Mengetahui adanya interaksi antara natrium diklofenak dengan lapisan stratum korneum dan dengan komponen mikroemulsi.
1.3
Batasan Penelitian Peneliti membatasi ruang lingkup penelitian pada pembuatan, evaluasi
fisik, uji stabilitas sediaan mikroemulsi dan uji penetrasinya secara in vitro.
1.4
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian dan penyusunan
skripsi adalah metode studi pustaka dan metode eksperimental. Studi pustaka menggunakan literatur dari jurnal, textbook, ebook dan artikel dari website resmi. Pembuatan mikroemulsi dilakukan dengan homogenizer, evaluasi sediaan mikroemulsi dilakukan dengan
pengamatan organoleptis dan uji stabilitas Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
4
sediaan. Uji penetrasi dilakukan secara in vitro dengan metode sel difusi Franz dan metode tape stripping.
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Kulit
2.1.1 Struktur Kulit Kulit adalah organ tubuh terbesar yang menempati 10 % massa tubuh. Kulit terdiri dari tiga lapisan, yaitu epidemis, dermis dan jaringan subkutan.
2.1.1.1 Epidermis (Murthy, 2011) Lapisan epidermis terdiri dari stratum korneum, stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum germinativum. a.
Stratum Korneum (Barry & Touitou, 2010 dan Murthy, 2011) Stratum korneum adalah lapisan paling luar epidermis yang disebut juga
lapisan tanduk. Stratum korneum merepresentasikan fase akhir diferensiasi kulit. Tiap sel mempunyai diameter sebesar 40 µm dan ketebalan sebesar 0,5 µm. Stratum korneum terdiri dari sel korneosit yang tersusun rapat. Setiap lapisan korneosit terdiri hampir selusin sel. Bila dilihat secara melintang, stratum korneum menyerupai struktur batu bata dan semen pada dinding. Korneosit “batu bata” itu mengandung keratin terhidrasi yang berada di antara bilayer lipid “semen”. Bilayer lipid itu terdiri dari seramida, asam lemak dan kolesterol. Permeabilitas obat ditentukan oleh kandungan lipid dalam stratum korneum. Lipid juga berperan dalam menjaga kohesi dan deskuamasi stratum korneum. Sel di stratum korneum berasal dari lapisan epidermis di bawahnya yang mengalami diferensiasi. Epidermis terdiri dari beberapa strata sel berdasarkan tingkat diferensiasinya. Sel-sel di epidermis berasal dari basal lamina yang berada di antara epidermis dan dermis. Pada basal lamina ini terdapat melanosit, sel langerhans dan dua tipe sel keratin. Sel keratin tipe pertama berfungsi sebagai sel yang mempunyai kapasitas untuk menghasilkan sel baru dan sel keratin tipe kedua berfungsi sebagai jangkar yang mengaitkan epidermis ke membran dasar. Membran dasar ini mempunyai ketebalan sebesar 50-70 nm dan terdiri dari dua lapisan yaitu lamina densa dan lamina lusida. Kedua lapisan ini tersusun atas protein seperti kolagen tipe IV, laminin, dan fibronektin. 5
Kolagen tipe IV
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
6
berfungsi untuk mempertahankan stabilitas membran dasar, laminin dan fibronektin berfungsi dalam perekatan antara keratinosit basal dan membran dasar. Stratum korneum berperan sebagai penghalang penetrasi utama untuk banyak zat. Kemampuan stratum korneum sebagai penghalang terkait dengan laju pergantian kulit yang tinggi, densitas penyusunan sel yang sangat kompak dan luas permukaan yang rendah untuk transportasi zat. Stratum korneum juga berperan untuk mencegah hilangnya komponen internal tubuh, terutama air, ke lingkungan luar.
b.
Stratum Granulosum (Barry & Touitou, 2010) Stratum granulosum atau lapisan butir mengandung banyak sel keratinosit
yang sudah mengalami diferensiasi. Badan lamela yang sudah terbentuk di lapisan stratum spinosum bermigrasi ke bagian apikal sel granular dan berfusi dengan membran keratinosit.
c.
Stratum Spinosum (Barry & Touitou, 2010) Stratum spinosum atau lapisan taju mempunyai sel-sel yang berbentuk
hampir bulat. Sel ini masih mengandung nukleus dan organel tetapi mengandung lebih banyak filamen keratin. Sel ini dihubungkan oleh lebih banyak desmosom daripada sel basal. Desmosom adalah struktur yang berperan untuk adhesi intersel keratinosit sehingga berperan dalam menjaga integritas jaringan. Semakin mendekati lapisan stratum granulosum, sel keratinosit akan semakin pipih dan organel sel akan menghilang.
d.
Stratum Germinativum (Barry & Touitou, 2010) Stratum germinativum atau lapisan basale terdiri dari satu lapis sel tidak
terdiferensiasi yang berbentuk kolumnar. Sel di lapisan ini secara konstan bermitosis dan berproliferasi sehingga akan menggantikan sel stratum korneum yang telah mati.
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
7
2.1.1.2 Dermis (Murthy, 2011) Lapisan dermis lebih tebal lima sampai tujuh kali dari lapisan epidermis dan terletak di bawah lapisan epidermis. Lapisan ini tersusun oleh kolagen dan serat elastik. Di lapisan dermis terdapat pembuluh darah dan pembuluh limfa, serabut saraf, unit pilosebasea (folikel rambut dan kelenjar sebasea) dan kelenjar keringat (eksokrin dan apokrin). Adanya aliran darah memberikan nutrisi untuk kulit, perbaikan dan lokalisasi respon imun. Lapisan dermis berperan sebagai penghalang penetrasi yang minimal untuk zat polar dan agak lipofilik tetapi menjadi penghalang penetrasi yang signifikan untuk zat yang mempunyai nilai lipofilisitas tinggi.
2.1.1.3 Jaringan Subkutan atau Jaringan Hipodermis (Walters, 2002) Jaringan subkutan atau hipodermis adalah lapisan kulit yang paling dalam. Lapisan ini terdiri dari jaringan lemak yang tersusun dalam lobul. Seperti sel lemak lainnya, sel utama di hipodermis adalah fibroblas dan makrofag. Di bagian hipodermis terdapat sistem vaskuler dan saraf untuk kulit. Jaringan ini berperan sebagai insulator panas, penyerap tekanan dan penyimpan energi.
[Sumber :Walters, 2002]
Gambar 2.1 Struktur kulit (telah diolah kembali) Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
8
2.1.2 Fungsi Kulit (Mitsui, 1997; Sherwood, 2001; Tabor & Blair, 2009) a. Pelindung Serat elastis dermis dan jaringan lemak subkutan berfungsi melindungi organ internal tubuh dari goncangan mekanik. Pada beberapa bagian tubuh tertentu mempunyai lapisan tanduk lebih tebal untuk melindungi tubuh terhadap stimuli eksternal. Lapisan tanduk terluar dan lipid berfungsi sebagai pencegah hilangnya cairan tubuh dan pelindung tubuh terhadap toksin. Kulit juga mempunyai pH asam lemah yang dapat menetralkan toksin kimia. Asam lemak tidak jenuh di kulit mempunyai aktivitas bakterisidal dan mencegah pertumbuhan bakteri di kulit. Selain itu, juga terdapat sel-sel melanosit penghasil pigmen melanin yang dapat melindungi tubuh dari pengaruh buruk sinar ultraviolet. b. Indra sensori Di bagian dermis terdapat reseptor di ujung perifer serat saraf aferen yang mampu mendeteksi tekanan, suhu, nyeri dan rangsangan somatosensorik lain. c. Pengaturan suhu tubuh (termoregulasi) Termoregulasi dilakukan dengan mengubah volume darah yang mengalir melalui peristiwa vasodilatasi, vasokonstriksi dan proses evaporasi keringat. Bila suhu tubuh tinggi, kelenjar keringat akan menghasilkan keringat yang dikeluarkan melalui pori-pori keringat. Selanjutnya akan terjadi vasodilatasi yang akan mempercepat penguapan panas dari dalam tubuh. d. Imunitas Sel-sel di kulit yang berperan untuk imunitas adalah sel keratinosit, sel langerhans dan sel granstein. Fungsi sel keratinosit adalah menghasilkan interleukin-1 yang mempengaruhi pematangan sel T di kulit. Fungsi sel langerhans adalah mengolah dan menyajikan antigen ke sel T penolong. Fungsi sel granstein adalah mengolah dan menyajikan antigen ke sel T penekan. e. Sintesis vitamin D Dengan bantuan sinar matahari, epidermis mampu mensintesis vitamin D yang diperlukan tubuh.
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
9
f. Fungsi absorbsi Kulit mempunyai fungsi absorbsi yang memungkinkan masuknya zat dari luar tubuh ke dalam sirkulasi darah. Fungsi ini diaplikasikan ke pembuatan obat transdermal untuk obat yang mempunyai sifat mengiritasi saluran cerna atau untuk obat yang memiliki absorbsi lama melalui saluran cerna. Fungsi absorbsi kulit tergantung pada ketebalan dan luas epidermis kulit. Daerah yang memiliki kulit tipis akan lebih mudah mengabsorbsi zat daripada daerah yang memiliki kulit tebal.
2.1.3 Jalur Penetrasi Zat Melalui Kulit Ada 3 jalur masuknya zat melalui lipid di stratum korneum, yaitu jalur interseluler, jalur transseluler dan jalur transappendageal. Dua faktor penentu utama transportasi zat melalui kulit adalah integritas stratum korneum sebagai penghalang penetrasi dan interaksi yang terjadi antara pembawa-zat ataupun antara zat-kulit.
2.1.3.1 Jalur Interseluler atau Jalur Paraseluler (Murthy, 2011) Jalur interseluler yaitu zat berpenetrasi melewati antar sel korneosit yaitu di domain lipid stratum korneum. Jalur ini dilewati oleh hampir sebagian besar zat yang berukuran < 0,1 µm. Hal-hal yang mempengaruhi transportasi zat melalui jalur interseluler adalah karakteristik zat seperti ukuran molekul, lipofilisitas, muatan, titik leleh dan variasi formula.
2.1.3.2 Jalur Intraseluler atau Jalur Transseluler (Murthy, 2011) Jalur intraseluler adalah jalur transportasi melewati sel korneosit. Pada awalnya diperkirakan bahwa mekanisme difusi intraseluler adalah jalur yang mendominasi untuk transport zat melalui kulit. Bukti eksperimental menunjukkan bahwa jalur transport utama melalui stratum korneum adalah melalui jalur interseluler.
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
10
2.1.3.3 Jalur Transappendageal (Murthy, 2011) Jalur transappendageal adalah jalur transportasi zat melalui pori-pori folikel rambut atau melalui kelenjar sebasea. Jalur ini kurang signifikan dalam transportasi zat karena mempunyai luas permukaan yang kecil yaitu hanya sebesar 0,1 % dari luas permukaan kulit.
[Sumber : Murthy, 2011]
Gambar 2.2 Berbagai jalur penetrasi zat melalui kulit (telah diolah kembali)
2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Absorbsi Perkutan (Ansel, 2008) a. Konsentrasi obat dalam sediaan Bila konsentrasi obat dalam sediaan semakin tinggi, maka jumlah obat yang diabsorbsi per unit luas permukaan akan semakin besar. b. Luas permukaan tempat absorbsi Bila luas permukaan tempat absorbsi semakin besar, maka jumlah obat yang diabsorbsi per unit luas permukaan akan semakin besar. c. Karakteristik pembawa Pembawa yang mudah menyebar pada permukaan kulit akan meningkatkan absorbsi. Pembawa yang dapat meningkatkan kelembapan kulit akan meningkatkan absorbsi. d. Hidrasi kulit Hidrasi stratum korneum akan meningkatkan penetrasi obat ke dalam kulit. Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
11
e. Afinitas obat terhadap kulit Obat harus mempunyai afinitas terhadap kulit yang lebih besar terhadap kulit daripada pembawa. f. Koefisien partisi obat Koefisien partisi obat mempengaruh kelarutan obat dalam minyak dan air. g. Cara aplikasi obat pada kulit Pengolesan dan penggosokan obat pada kulit akan meningkatkan penetrasi obat ke dalam kulit. h. Tempat aplikasi obat Tempat aplikasi obat berpengaruh terdapat kemampuan penetrasi obat. Aplikasi pada bagian kulit yang lebih tipis akan meningkatkan penetrasi obat daripada aplikasi pada bagian kulit yang lebih tebal. i. Waktu kontak obat dengan kulit Waktu kontak obat yang semakin lama dengan kulit akan meningkatkan penetrasi obat ke dalam kulit.
2.1.4 Senyawa Peningkat Penetrasi Perkutan (Smith & Maibach, 2006; Pathan & Setty, 2009) Salah satu cara untuk meningkatkan penetrasi zat perkutan adalah dengan menggunakan zat peningkat penetrasi (penetration enhancer). Zat yang dapat berperan sebagai penetration enhancer adalah a.
Asam lemak Keefektifan asam lemak sebagai zat peningkat penetrasi ditentukan dari
panjang rantai karbon. Panjang rantai karbon C7 - C12, akan meningkatkan penetrasi obat, tetapi bila panjang rantai karbon di atas 12 akan menurunkan penetrasi zat. Efektivitas optimal asam lemak sebagai peningkat penetrasi terjadi pada asam lemak dengan panjang rantai karbon C9 - C12 karena mempunyai koefisien partisi dan afinitas yang sesuai terhadap kulit. Asam lemak yang mempunyai panjang rantai karbon yang lebih pendek tidak mempunyai lipofilisitas yang sesuai untuk penetrasi. Asam lemak yang mempunyai panjang rantai karbon yang lebih panjang akan mempunyai afinitas terhadap lemak
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
12
stratum korneum sehingga memperlambat penetrasi sendiri dan obat lain. Asam lemak yang banyak digunakan sebagai zat peningkat penetrasi adalah asam oleat. b.
Minyak esensial dan terpen. Senyawa ini bekerja dengan memodifikasi sifat alami pelarut stratum
korneum. Senyawa ini juga dapat menurunkan waktu lag penetrasi. c.
Pirolidon Alkil pirolidon bekerja dengan interkalasi gugus alkil ke dalam struktur
bilayer mempengaruhi organisasi lipid dan meningkatkan fluiditas stratum korneum. d.
Urea Urea bekerja dengan menghidrasi stratum korneum dan dengan
pembentukan kanal difusi hidrofilik. Urea siklik mengandung gugus polar dan non polar sehingga mekanisme peningkat penetrasi disebabkan oleh aktivitas hidrofilik dan organisasi lipid di stratum korneum. e.
Oksazolidindion Oksazolidindion bekerja dengan mempengaruh lipid sfingosin dan
seramida yang secara alami ditemukan di lapisan kulit bagian atas. f.
Azon Azon bekerja dengan mempengaruhi domain lipid stratum korneum.
Molekul azon terdispersi di antara susunan lipid bilayer dan mengubah organisasi struktur lipid. g.
Surfaktan Surfaktan bekerja dengan meningkatkan fluiditas, melarutkan dan
mengekstraksi lipid stratum korneum.
Mekanisme yang digunakan oleh zat peningkat penetrasi tersebut dalam meningkatkan penetrasi zat perkutan adalah (Smith & Maibach, 2006) a.
Mempengaruhi lipid di stratum korneum Peningkat penetrasi mempengaruhi organisasi lipid di stratum korneum
sehingga meningkatkan koefisien difusi penetran. Contoh zat peningkat penetrasi yang bekerja dengan cara ini adalah azon, terpen, asam lemak, dimetilsulfoksida
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
13
(DMSO), surfaktan, dan alkohol. Senyawa yang bercampur dengan baik seperti DMSO dan etanol mungkin akan mengekstraksi lipid di stratum korneum b.
Mempengaruhi struktur protein Senyawa seperti surfaktan ionik, desilmetilsulfoksida dan DMSO dapat
membuka keratin yang tersusun rapat. Keratin yang telah terususun longgar ini menyebabkan peningkatan permeabilitas dan koefisien difusi . 2.2.
Mikroemulsi
2.2.1 Sejarah, Definisi dan Karakteristik Mikroemulsi (Kumar, 1999; Cosgrove, 2010; Kulkarni, 2010) Mikroemulsi awalnya terbentuk karena dua orang peneliti yang bernama Hoar dan Schulman menambahkan alkohol rantai sedang ke dalam emulsi yang terbentuk oleh surfaktan ionik. Awalnya emulsi terlihat keruh, tetapi dengan penambahan alkohol, emulsi terlihat menjadi lebih transparan. Danielsson dan Lindman mendefinisikan mikroemulsi sebagai suatu sistem yang terdiri dari air, minyak dan amfifilik yang isotropik dan stabil secara termodinamika. Radius ukuran droplet mikroemulsi yaitu kurang dari 100 nm. Mikroemulsi mempunyai karakteristik mempunyai tegangan permukaan yang sangat rendah < 10-3 N/m, mempunyai viskositas rendah, isotropik (transparan) dan bersifat stabil secara termodinamika. Emulsi biasa yang tidak stabil secara termodinamika sehingga ukuran dropletnya dapat meningkat dan memungkinkan terjadinya pemisahan fase. Sistem ini stabil karena mengandung surfaktan dan kosurfaktan yang mampu menurunkan tegangan antarmuka air dan minyak menjadi sangat rendah. Mikroemulsi terbentuk spontan tanpa pengadukkan dengan kecepatan tinggi karena tegangan antar muka yang sangat rendah (mendekati nol) antara fase air dan fase minyak sehingga energi bebas menjadi negatif. Mikroemulsi hanya terbentuk bila tersedia surfaktan yang cukup. Pembentukkan mikroemulsi membutuhkan konsentrasi surfaktan yang lebih tinggi daripada emulsi biasa. Pembentukkan mikroemulsi tergantung dari struktur dan tipe surfaktan. Bila surfaktan yang digunakan tipe ionik dan hanya mengandung rantai hidrokarbon tunggal seperti sodium dodesil sulfat (SDS), mikroemulsi hanya terbentuk bila Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
14
ada penambahan kosurfaktan seperti alkohol dan atau elektrolit. Surfaktan ionik rantai ganda dan surfaktan non ionik tidak memerlukan penambahan kosurfaktan untuk membuat mikroemulsi.
2.2.2 Tipe Mikroemulsi (Cosgrove, 2010; Kulshreshtha, Singh & Wall, 2010) Winsor membagi mikroemulsi menjadi empat tipe yaitu tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV. Tipe I terbentuk mikroemulsi tipe m/a karena surfaktan yang digunakan lebih larut dalam fase air dan jumlah fase air lebih banyak daripada fase minyak. Tipe II terbentuk mikroemulsi tipe a/m karena surfaktan yang digunakan lebih larut dalam fase minyak dan jumlah fase minyak lebih banyak daripada fase air. Tipe III terbentuk sistem tiga fase karena surfaktan yang digunakan larut dalam fase air dan fase minyak. Tipe IV terbentuk sistem satu fase (isotropik) karena digunakan surfaktan dan alkohol dalam formula.
2.2.3 Surfaktan (Voigt, 1995 ; Sinko, 2011) Surfaktan atau amfifil adalah senyawa yang diadsorpsi antar muka dan dapat menurunkan tegangan antar muka. Tegangan antar muka adalah gaya per satuan panjang yang terdapat pada antar muka dua fase cair yang tidak bercampur. Menurunnya tegangan antar muka menyebabkan dispersi fase cair yang satu di dalam fase cair lainnya. Ada tiga tipe surfaktan, yaitu surfaktan tipe ionik, tipe non ionik, dan tipe amfoterik. Surfaktan tipe ionik terdiri dari tipe anionik dan tipe kationik.
2.2.3.1 Surfaktan tipe anionik Surfaktan tipe anionik dapat berdisosiasi dalam air dan bagian anionnya dapat berfungsi sebagai surfaktan. Jenis surfaktan tipe anionik adalah a. Sabun dan senyawa sejenis sabun Senyawa sejenis sabun terdiri dari sabun alkali dan sabun amin. Contoh senyawa sabun alkali sebagai surfaktan adalah sodium palmitat dan sodium stearat. Contoh senyawa sabun amin sebagai surfaktan adalah trietanolamin stearat.
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
15
b. Senyawa tersulfatasi Contoh senyawa tersulfatasi sebagai surfaktan adalah sodium lauril sulfat, sodium setil sulfat dan sodium stearil sulfat. c. Senyawa tersulfonasi Contoh senyawa tersulfonasi sebagai surfaktan adalah sodium setil sulfonat d. Garam asam empedu Contoh senyawa garam empedu sebagai surfaktan adalah sodium glikokolat. e. Gom arab Gom arab adalah campuran garam kalsium, magnesium dan kalium dari asam poliarabat.
2.2.3.2 Surfaktan tipe kationik Surfaktan tipe kationik dapat berdisosiasi dalam air dan bagian kationnya dapat
berfungsi
sebagai
surfaktan.
Contohnya
adalah
setrimid
dan
setilpiridiniumklorida.
2.2.3.3 Surfaktan tipe nonionik Surfaktan tipe nonionik tidak dapat berdisosiasi dalam air. Contohnya adalah ester parsial asam lemak dari sorbitan (span) dan ester parsial asam lemak dari polioksietilensorbitan (tween).
2.2.3.4 Surfaktan tipe amfoterik Surfaktan tipe amfoterik mempunyai gugus kationik dan anionik dalam molekulnya dan dapat terionisasi dalam larutan air. Gugus yang dilepaskan tergantung kondisi mediumnya. Contohnya adalah protein dan lesitin.
2.2.4 Kosurfaktan (Swarbrick, 2007; Maghraby, 2008) Kosurfaktan berupa alkohol rantai medium seperti pentanol atau butanol. Mikroemulsi yang dibuat dengan surfaktan ionik harus menambahkan kosurfaktan ke dalam formula. Penambahan kosurfaktan ke dalam formula bila digunakan surfaktan non ionik sebenarnya tidak diharuskan, tetapi kosurfaktan dapat meningkatkan kemungkinan terbentuknya mikroemulsi. Peran kosurfaktan dalam Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
16
pembuatan mikroemulsi dapat yaitu dapat membantu menurunkan tegangan antar muka dibandingkan dengan surfaktan biasa, meningkatkan fleksibilitas film antarmuka yang dibentuk oleh surfaktan pada globul emulsi, menurunkan viskositas mikroemulsi, mengurangi konsentrasi surfaktan yang diperlukan, dan meningkatkan penetrasi obat transdermal sehingga meningkatkan efikasinya.
2.2.5 Penghantaran Obat secara Transdermal Menggunakan Mikroemulsi (Bronaugh & Maibach, 2005 ; Swarbrick, 2007) Mikroemulsi
digunakan
sebagai
penghantaran
obat
transdermal
mempunyai beberapa kelebihan. Mikroemulsi mampu meningkatkan absorbsi, penetrasi dan bioavailabilitas obat. Peningkatan absorbsi dan bioavailabilitas disebabkan karena mikroemulsi adalah bentuk sediaan yang bisa meningkatkan kelarutan obat yang sulit larut dalam air. Peningkatan penetrasi obat disebabkan karena mikroemulsi mengandung jumlah surfaktan dan kosurfaktan yang tinggi. Selain itu, mikroemulsi juga mampu mengatasi penghambatan transportasi obat hidrofilik ke kulit oleh stratum korneum. Mikroemulsi mempunyai domain yang hidrofilik dan lipofilik sehingga dapat berinteraksi dengan jalur lipid dan polar ketika memasuki stratum korneum. Pembuatan mikroemulsi memerlukan konsentrasi surfaktan yang tinggi. Namun, saat ini telah dilakukan banyak penelitian yang berfokus pada mengurangi konsentrasi surfaktan yang tinggi dan mencari surfaktan yang dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh karena konsentrasi surfaktan yang tinggi dapat menyebabkan iritasi kulit.
2.3
Pembuatan Preparat Histologi (Pakurar & Bigbee, 2004) Jaringan harus melalui berbagai proses agar dapat dibuat menjadi preparat
dan dilihat dengan mikroskop cahaya ataupun mikroskop elektron. Langkah dalam pembuatan preparat itu adalah fiksasi, dehidrasi, infiltrasi dan pembenaman, pemotongan dan pewarnaan. Fiksasi bertujuan untuk menjaga struktur dan distribusi organel sel. Larutan fiksasi yang umum digunakan yaitu formaldehida, glutaraldehida dan osmium tetraoksida. Langkah berikutnya yaitu dehidrasi air dari jaringan. Hal ini Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
17
bertujuan karena cairan jaringan tidak kompatibel dengan larutan pembenaman dan untuk mencegah adanya kontaminasi dari bakteri ataupun jamur. Dehidrasi ini dilakukan dengan merendam jaringan dalam alkohol dengan konsentrasi meningkat. Selanjutnya jaringan diinfiltrasi dan dibenamkan dalam medium seperti parafin wax atau plastik epoksi untuk memudahkan pemotongan jaringan. Setelah itu jaringan tersebut dipotong dengan ketebalan bervariasi, yaitu sebesar 1-20 µm bila digunakan pengamatan dengan mikroskop cahaya dan sebesar 60100 nm bila digunakan pengamatan dengan mikroskop elektron. Kemudian jaringan dipotong sesuai dengan arah yang diinginkan yaitu arah transversal, longitudinal atau tangensial. Langkah berikutnya yaitu dilakukan pewarnaan jaringan mengunakan Hematoxylin dan Eosin (H&E). Prinsip pewarnaan ini yaitu terjadi pewarnaan karena adanya ikatan antara muatan pewarna dan jaringan. Hematoxylin berikatan dengan sel bermuatan negatif dan Eosin berikatan dengan sel bermuatan positif. Setelah itu jaringan didehidrasi dan dapat diamati dengan mikroskop.
2.4
Metode Tape Stripping (Lademann, Jacobi, Surber, Weigmann & Fluhr, 2008; Murthy, 2011). Metode tape stripping adalah menggunakan metode non invasiv untuk
menghilangkan lapisan stratum korneum dengan penempelan dan pencabutan berulang bahan perekat pada kulit. Secara teoretis, setiap bahan perekat akan menghilangkan satu lapisan korneosit. Jumlah bahan perekat yang diperlukan untuk menghilangkan lapisan stratum korneum bervariasi berdasarkan umur, jenis kelamin, ras, anatomi dan kondisi kulit. Pinkus (1951) menyatakan bahwa hampir semua stratum korneum bagian fleksor lengan atas dapat dihilangkan dengan melakukan pengulangan sebanyak 30 kali. Ketika stratum korneum sebagai penghalang dihilangkan, akan ada peningkatan transepidermal water loss (TEWL) sebesar 20-25 kali (Tsai et al, 1991). Umumnya, jumlah stratum korneum yang dihilangkan tidak berbanding lurus dengan jumlah bahan perekat yang dicabut (Pinkus, 1951). Beberapa parameter penting dalam melakukan metode tape stripping adalah tempat penempelan bahan perekat, jenis bahan perekat, tekanan yang Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
18
digunakan, dan kecepatan ketika pelepasan bahan perekat. Parameter-parameter tersebut mempengaruhi jumlah stratum korneum yang dihilangkan. Aplikasi metode tape stripping yaitu untuk mengukur massa dan ketebalan stratum korneum, menilai penetrasi perkutan obat in vivo, memeriksa lokalisasi dan distribusi zat di daerah stratum korneum, kohesi stratum korneum in vivo, memperkirakan kadar dan aktivitas enzim di stratum korneum, mendeteksi adanya logam di stratum korneum, dan mengetahui profil dermatofarmakokinetika suatu zat.
Dermatofarmakokinetika
adalah
suatu
ilmu
yang
mengukur
nilai
bioavailabilitas dan bioekivalensi suatu obat yang dioleskan pada permukaan kulit. Metode tape stripping dilakukan setelah pengolesan formula topikal. Bahan perekat ditempelkan secara merata pada bagian kulit tempat pengolesan formula untuk menghindari tidak meratanya penempelan karena adanya kerut di daerah penempelan. Bahan pertama biasanya tidak dimasukkan ke dalam perhitungan pengukuran kadar zat karena mengandung zat yang tidak terabsorbsi oleh kulit. Penempelan bahan perekat kedua dan berikutnya mengikuti cara seperti bahan perekat pertama. Setelah itu, bahan perekat tersebut dilepaskan dari kulit dan diekstraksi dengan kondisi dan pelarut yang sesuai untuk mendapatkan kadar obat yang terdapat di lapisan stratum korneum.
[Sumber : Au, Skinner & Kanfer, 2010]
Gambar 2.3 Tape stripping (telah diolah kembali)
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
19
2.5
Sel Difusi Franz (Walters, 2002, Witt & Bucks, 2003; Sinko, 2011) Sel difusi Franz adalah suatu sel difusi tipe vertikal untuk mengetahui
penetrasi zat secara in vitro. Sel difusi Franz mempunyai komponen berupa kompartemen donor, kompartemen reseptor, tempat pengambilan sample, cincin O, dan water jacket. Kompartemen donor berisi zat yang akan diuji penetrasinya. Kompartemen reseptor berisi cairan berupa air atau dapar fosfat pH 7,4 yang mengandung albumin. Fungsi albumin yaitu untuk meningkatkan kelarutan zat yang sukar larut dalam cairan kompartemen reseptor yang digunakan. Tempat pengambilan sample adalah tempat pada sel difusi Franz untuk mengambil cairan dari kompartemen reseptor dengan volume tertentu. Water jacket berfungsi untuk menjaga temperatur tetap konstan selama sel difusi Franz dioperasikan. Di antara kompartemen donor dan kompartemen reseptor diletakkan membran yang digunakan untuk sel difusi Franz. Cincin O menjaga posisi membran supaya tidak berubah. Membran bisa berupa membran sintesis, membran kulit manusia ataupun membran kulit hewan. Membran kulit hewan yang digunakan telah dihilangkan bulu dan lapisan lemak subkutannya. Cairan di kompartemen reseptor perlu diaduk secara optimal dan efisien untuk menjamin cairan dalam kompartemen reseptor homogen. Volume kompartemen reseptor sebesar 2-10 ml dan luas yang terpapar membran sebesar 0,2-2 cm2. Dimensi sel difusi harus diukur secara akurat karena terkait dengan perhitungan kadar zat. Kondisi di kompartemen reseptor yang ideal harus bisa untuk memfasilitasi penetrasi zat seperti pada keadaan in vivo. Konsentrasi zat di kompartemen reseptor seharusnya tidak boleh melebihi 10% konsentrasi zat untuk mencapai kejenuhan. Konsentrasi zat di kompartemen reseptor yang tinggi dapat menyebabkan penurunan laju penetrasi zat. Cara melakukan uji penetrasi dengan sel difusi Franz adalah sejumlah tertentu zat diaplikasikan pada membran dan dibiarkan berpenetrasi secara difusi pasif melalui membran. Untuk mengetahui jumlah zat yang berpenetrasi dan laju penetrasi zat dilakukan sampling cairan di kompartemen reseptor selama waktu tertentu sampai keadaan mencapai keadaan tunak. Cairan dari kompartemen reseptor yang diambil digantikan dengan cairan awal sesuai volume yang diambil. Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
20
Hal ini bertujuan untuk menjaga volume dalam cairan reseptor tetap konstan dan untuk menjaga supaya cairan di kompartemen reseptor tetap dalam keadaan tunak.
Keterangan: A: Kompartemen donor, B: Kompartemen reseptor, C: Membran, D: Cincin O, E: Water jacket, F: Batang pengaduk, G: Tempat pengambilan sampel [Sumber : Bosman, Lawant, Avegart, Ensing, dan Zeeuw, 1996]
Gambar 2.4 Sel Difusi Franz (telah diolah kembali)
Jumlah kumulatif zat yang berpenetrasi melalui membran adalah
. ∑
.
(2.1)
Keterangan Q
= Jumlah kumulatif zat per luas difusi (µg/cm2)
Cn
= Konsentrasi zat (µg/ml)
∑ = Jumlah konsentrasi zat (µg/ml) pada sampling pertama (menit
ke-30 hingga sebelum menit ke-n) V
= Volume sel difusi Franz (ml)
S
= Volume sampling (ml)
A
= Luas membran (cm2)
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
21
Pada keadaan tunak, dapat dihitung fluks zat yang berpenetrasi melalui membran dengan rumus
(2.2)
Keterangan J
= laju penetrasi zat (fluks) (µg cm-2 jam-1)
Q
= jumlah kumulatif zat yang berpenetrasi melalui membran (µg cm-2)
t
= waktu (jam)
2.6
Natrium Diklofenak (Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007; Moffat, Osselton & Widdop, 2011)
O
Cl
ONa H N
Cl
[Sumber : Thongchai, Liawruangrath, Thongpoon & Machan, 2006]
Gambar 2.5 Struktur natrium diklofenak (telah diolah kembali)
Natrium diklofenak adalah obat analgesik dan anti inflamasi (AINS) derivat asam fenil asetat non selektif. Seperti obat AINS non selektif lain, diklofenak bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase sehingga menghambat pembentukkan prostaglandin, tromboksan dan prostasiklin. Salah satu senyawa yang dihambat, yaitu prostaglandin, berfungsi untuk menghasilkan mukus lambung untuk melindungi dinding lambung terhadap asam lambung. Penghambatan pembentukkan prostaglandin menyebabkan penurunan produksi mukus lambung sehingga lambung terpapar dengan asam lambung. Pemaparan Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
22
asam lambung yang terus menerus pada lambung menyebabkan dinding lambung mengalami ulkus. Dosis diklofenak per oral sebesar 100-150 mg sehari terbagi menjadi dua atau tiga dosis. Diklofenak diabsorbsi cepat dan lengkap di saluran cerna. Obat ini terikat 99 % pada protein plasma dan mengalami metabolisme lintas pertama sebesar 40-50 %. Waktu paruh diklofenak yaitu 1-3 jam. Kelarutan natrium diklofenak yaitu dalam akuadest (1: > 9), dalam metanol (1: > 24), dalam aseton (1: 6), dalam asetonitril, sikloheksana dan HCl (1:< 1), dan dalam dapar fosfat pH 7,2 (1: 6).
2.7.
Komponen Pembentuk Mikroemulsi
2.7.1 Minyak Kelapa Murni (Virgin Coconut Oil) (Syah, 2005; Williams & Barry, 2003) Minyak kelapa murni atau virgin coconut oil berasal dari buah kelapa segar yang baru dipetik dan bukan berasal dari kopra seperti minyak kelapa biasa. Perbedaan
lainnya
adalah
proses
pembuatan,
kandungan
kimia
dan
karakteristiknya. Proses pembuatan minyak kelapa murni dilakukan pada suhu relatif rendah dan tidak ditambahkan pelarut kimia. Karena dibuat tanpa pemanasan, maka zat-zat bermanfaat dalam daging buah kelapa seperti vitamin E dan enzim-enzim lain tetap terdapat di dalamnya. Minyak kelapa murni memiliki nilai bilangan asam, Free Fatty Acid (FFA), bilangan tidak tersaponofikasi dan bilangan peroksida lebih rendah dari minyak kelapa biasa. Minyak kelapa murni mengandung banyak asam lemak. Asam lemak yang terdapat dalam minyak kelapa murni adalah asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Asam lemak jenuh yang terdapat dalam minyak kelapa murni, yaitu asam laurat (50,50%), asam miristat (16,18%), asam kaprat (8,60%), asam palmitat (7,50%), asam kaprilat (6,10%), asam stearat (1,50%) dan asam kaproat (0,20 %). Asam lemak tidak jenuh yang terdapat dalam minyak kelapa murni yaitu asam oleat (6,50%), asam linoleat (2,70 %) dan asam palmitoleat (0,20 %). Asam lemak dapat meningkatkan penetrasi berbagai macam obat. Santoyo dan Ygartua menyatakan bahwa asam oleat dan asam laurat dapat meningkatkan penetrasi piroksikam. Asam oleat juga berperan dalam meningkatkan penetrasi Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
23
asam salisilat dan fluorourasil. Asam lemak tinggi yang terdapat dalam VCO juga berperan dalam meningkatkan penetrasi piroksikam.
2.7.2 Polisorbat 80 (Tween 80) (Wuelfing, Kosuda, Templeton, Harman, Mowery & Reed, 2006; Rowe, Sheskey & Quinn, 2009)
(OCH2CH2)x OH HO w(H2CH2CO) (OCH2CH2)y OH
O
CH2O(CH2CH2O)z
--1
CH2CH2OCOCH2(CH2)6(CH=CH)(CH2)6CH3
Keterangan: w + x + y + z = 20 [Sumber : Wuelfing, Kosuda, Templeton, Harman, Mowery & Reed, 2006]
Gambar 2.6 Struktur polisorbat 80 (telah diolah kembali)
Polisorbat 80 mempunyai sifat larut dalam etanol dan air tetapi tidak larut dalam minyak mineral dan minyak sayur. Dalam formula, polisorbat berfungsi sebagai emulgator, agen pensolubilisasi atau agen pembasah. Seperti polisorbat lain, polisorbat 80 bersifat stabil terhadap elektrolit, asam dan basa lemah. Namun, inkompatibel dengan basa kuat karena dapat terjadi saponifikasi. Selain itu dapat terjadi pengendapan atau perubahan warna dengan adanya fenol, tanin, tar dan antimikroba golongan paraben. Polisorbat dapat menurunkan akivitas antimikroba paraben.
2.7.3 Etanol 96% (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009)
H3C
H2 C
OH
[Sumber : Rowe, Sheskey & Quinn, 2009]
Gambar 2.7 Struktur etanol (telah diolah kembali)
Etanol 96% mempunyai sifat dapat bercampur dengan kloroform, eter, gliserin dan air Dalam formula, etanol digunakan sebagai pelarut, kosurfaktan, atau anti mikroba. Dalam formula transdermal, etanol digunakan sebagai agen Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
24
peningkat penetrasi obat. Pada suasana asam, etanol akan bereaksi kuat dengan oksidator. Campuran dengan basa akan memberikan warna lebih gelap karena terbentuknya aldehida.
2.7.4 Propilen Glikol (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009) OH
OH H3C
[Sumber : Rowe, Sheskey & Quinn, 2009]
Gambar 2.8 Struktur propilen glikol (telah diolah kembali)
Pemerian propilen glikol yaitu berupa cairan jernih, kental, tidak berwarna, tidak berbau dan mempunyai rasa manis. Propilen glikol dapat bercampur dengan aseton, kloroform, etanol 95%, gliserin dan air tetapi tidak bercampur dengan minyak mineral. Pada temperatur sejuk, propilen glikol stabil dalam wadah bertutup rapat, tetapi pada temperatur tinggi akan mudah teroksidasi dan akan membentuk propionaldehida, asam laktat, asam piruvat dan asam asetat. Propilen glikol stabil bila bercampur dengan etanol 95%, gliserin, atau air.
2.7.5 Metil Paraben (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009) O
OCH3
HO
[Sumber : Rowe, Sheskey & Quinn, 2009]
Gambar 2.9 Struktur metil paraben (telah diolah kembali)
Metil paraben mempunyai pemerian berupa kristal tidak berwarna atau serbuk kristal putih dan tidak berbau dengan rasa menyengat. Metil paraben Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
25
mempunyai kelarutan dalam etanol 95 % ( 1:3), etanol 50 % (1 : 6), propilen glikol (1 : 5), air 25oC (1: 400), air 50oC (1: 50), dan air 80oC (1: 30). Aktivitas antimikroba metil paraben adalah yang paling rendah daripada golongan paraben lainnya karena aktivitas antimikroba golongan ini ditentukan oleh panjang rantai alkilnya. Semakin panjang gugus alkil, maka aktivitas antimikroba akan meningkat. Selain itu, aktivitas akan meningkat bila menggunakan kombinasi metil paraben dengan golongan paraben lain yang mempunyai gugus alkil lebih panjang seperti etil, propil dan butil paraben. Aktivitas antimikroba juga akan meningkat dengan adanya propilen glikol, feniletil alkohol dan asam edetat. Produk hasil hidrolisis golongan paraben praktis tidak mempunyai aktivitas antimikroba. Aktivitas antimikroba metil paraben menurun dengan adanya surfaktan non ionik karena adanya miselisasi. Metil paraben juga bisa diabsorbsi oleh plastik dan jumlah yang diabsorbsi tergantung tipe plastik. Namun, plastik tipe LDPE dan HDPE tidak mengabsorbsi metil paraben. Metil paraben inkompatibel dengan bentonit, magnesium trisilikat, talk, tragakanth, sodium alginat, minyak esensial, sorbitol dan atropin. Metil paraben akan berubah warna dengan adanya besi dan akan terhidrolisis dengan adanya alkali lemah dan asam kuat. Pada pH 36, larutan metil paraben dalam air bersifat stabil dan terdekomposisi kurang dari 10% selama 4 tahun pada temperatur kamar. Larutan metil paraben dalam air pada pH 8 atau lebih akan terhidrolisis cepat yaitu lebih dari 10% selama 60 hari pada temperatur kamar.
2.7.6 Propil Paraben (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009) O
CH3 O
HO
[Sumber : Rowe, Sheskey & Quinn, 2009]
Gambar 2.10 Struktur propil paraben (telah diolah kembali)
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
26
Propil paraben mempunyai pemerian berupa serbuk kristal putih, tidak berbau dan tidak mempunyai rasa. Kelarutan propil paraben yaitu mempunyai sifat larut dalam etanol 95% (1 : 1,1), etanol 50 % (1: 5,6), propilen glikol (1: 3,9), air 15oC (1 : 4350), air 80oC (1: 225). Aktivitas antimikroba propil paraben sama seperti metil paraben. Aktivitas antimikroba propil paraben juga menurun dengan adanya surfaktan non ionik karena adanya miselisasi. Zat-zat tertentu seperti magnesium aluminium silikat, magnesium trisilikat dan besi oksida mampu mengabsorbsi propil paraben sehingga akan mengurangi efektivitas anti mikroba. Propil paraben akan berubah warna dengan adanya besi dan akan terhidrolisis dengan adanya alkali lemah dan asam kuat. 2.7.7 BHT (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009) OH
C(CH 3) 3
(H 3C) 3C
CH 3
[Sumber : Rowe, Sheskey & Quinn, 2009]
Gambar 2.11. Struktur BHT (telah diolah kembali)
BHT mempunyai pemerian berupa kristal putih atau kuning pucat dengan bau fenol yang lemah. Kelarutan BHT yaitu praktis tidak larut dalam air, gliserin, propilen glikol, larutan alkali hidroksida dan asam mineral encer tetapi agak mudah larut dalam aseton, etanol, benzena. BHT lebih mudah larut dalam lemak daripada BHA. Dalam formula sediaan farmasi, BHT digunakan sebagai antioksidan. Pemajanan BHT terhadap cahaya, kelembapan dan panas akan menyebabkan perubahan warna dan hilangnya aktivitas antioksidan BHT. BHT inkompatibel dengan agen oksidator kuat seperti peroksida dan permanganat. Garam besi dapat menyebabkan perubahan warna dan hilangnya aktivitas antioksidan BHT. Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
27
2.7.8 Asam Sitrat (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009)
O
HO
C
COOH
H2 C
C H
O
H2 C
C
OH
[Sumber : Rowe, Sheskey & Quinn, 2009]
Gambar 2.12 Struktur asam sitrat (telah diolah kembali) Asam sitrat mempunyai pemerian berupa kristal tidak berwarna atau kristal putih, tidak berbau dan mempunyai rasa asam yang kuat. Asam sitrat mempunyai sifat larut dalam etanol 95% (1 : 1,5) air (1 : < 1) tetapi agak sulit larut dalam eter. Asam sitrat inkompatibel dengan kalium tartrat, logam alkali, alkali tanah karbonat, alkali tanah bikarbonat, asetat dan sulfida. Selain itu, asam sitrat juga inkompatibel dengan oksidator, reduktor dan nitrat.
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmasetika dan Laboratorium
Kimia Analisis Kuantitatif di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, Depok, dari bulan Februari sampai bulan Juni 2012.
3.2
Alat Timbangan analitik AFA-210 LC (Adam, Amerika Serikat), timbangan
gram (O’Haus), homogenizer (Omni-Multimix, Malaysia), pH meter tipe 510 (Eutech, Singapura), spektrofotometer UV-Vis V-630 (Jasco, Jepang), sel difusi Franz (Bengkel Gelas ITB, Indonesia), sentrifugator Kubota-5100 (Kubota, Jepang), mikroskop cahaya, oven (Memmert, Jerman), Zetasizer Nano S (Malvern), viskometer Brookfield (Brookfield, Amerika Serikat), piknometer, ultrasonik (Branson 3200), tensiometer du Nuoy model 21 (Cole Parmer), pengaduk magnetik (IKA, Jerman), termometer, pengering rambut (Tritone, Cina), dan alat-alat gelas.
3.3
Bahan Natrium diklofenak (Yung Zip Chemical Ind, Co.Ltd.), natrium diklofenak
(BPFI), VCO (Vermindo Internasional, Indonesia), tween 80 (Brataco, Indonesia), etanol 96% (Brataco, Indonesia), propilen glikol (Brataco, Indonesia), nipagin (Brataco, Indonesia), nipasol (Brataco, Indonesia), BHT (Brataco, Indonesia), aquadest (Indonesia), asam sitrat (Indonesia), kalium dihidrogen fosfat (Merck, Jerman), natrium hidroksida (Merck, Jerman), tikus (IPB, Bogor), filter membran Milipore, metanol (Mallinckrodt, Jerman) dan bahan perekat polypropylene tape (Goldtape, Indonesia).
28
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
29
3.4
Cara Kerja
3.4.1 Karakterisasi VCO 3.4.1.1 Pengamatan organoleptis VCO Pengamatan organoleptis dilakukan dengan mengamati bentuk, warna, bau dan rasa.
3.4.1.2 Pengukuran Bobot Jenis VCO (Departemen Kesehatan RI, 1995; Lide & Haynes, 2010) Bobot jenis VCO diukur dengan piknometer. Cara kerjanya yaitu suhu ruangan tempat pengukuran bobot jenis diukur dengan termometer. Selanjutnya piknometer yang bersih dan kering ditimbang dan dicatat massanya (A g). Kemudian piknometer diisi dengan air, ditimbang dan dicatat massanya (A1 g). Air dikeluarkan dari piknometer dan piknometer dibersihkan. VCO diisikan ke dalam piknometer, ditimbang dan dicatat massanya (A2 g).
Rumus perhitungan bobot jenis VCO =
Bobot jenis = x ρ air pada suhu tersebut
(3.1)
3.4.1.3 Pengukuran tegangan permukaan VCO Tegangan permukaan VCO diukur dengan Tensiometer du Nuoy. Sebelum melakukan pengukuran tegangan permukaan, cincin platinum iridium dibersihkan dengan benzena dan dibakar dengan api bunsen. Selanjutnya alat dikalibrasi dengan mengukur tegangan permukaan aquabidestilata dan aquadest. Setelah itu, sediaan dimasukkan ke dalam wadah gelas sampai mencapai ketinggian 0,5 cm dari batas atas gelas. Wadah gelas diletakkan di atas meja dan posisi cincin platinum iridium diatur hingga berada pada kedalaman 0,5 cm dari permukaan mikroemulsi. Knob Torsion diputar pada sisi kanan atas hingga angka nol pada
Knob Torsion sejajar dengan angka nol pada Knob Zero yang terdapat di depan Knob Torsion. Motor diletakkan pada posisi netral, lalu diubah ke posisi up, cincin akan bergerak ke bawah dan Knob Zero mulai berputar. Knob Zero akan Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
30
berhenti pada suatu angka yang akan menunjukkan tegangan permukaan VCO. Pengukuran ini dilakukan sebanyak dua kali. Rumus perhitungan tegangan permukaan
S=PxF
(3.2)
S = tegangan permukaan P = angka yang ditunjukkan oleh alat F = faktor koreksi
3.4.2 Percobaan Pendahuluan Percobaan pendahuluan dilakukan untuk menentukan kondisi dan komposisi bahan yang sesuai untuk membuat mikroemulsi yang stabil. Optimasi kondisi yang dilakukan yaitu a. Kecepatan pengadukan ( 250, 500, 1000, 2000 dan 5000 rpm) b. Temperatur fase air (suhu ruang, 35OC dan 40OC)
Optimasi komposisi bahan yang dilakukan yaitu a. Konsentrasi tween 80 (30%, 35%, 40%, 45 %) b. Konsentrasi VCO (5%, 10%) c. Konsentrasi etanol 96% (3%, 10%) d. Konsentrasi propilen glikol (5%, 10%)
Langkah-langkah dalam optimasi 1. Optimasi konsentrasi VCO a. Konsentrasi VCO 10% dengan konsentrasi tween 80 30% dan variasi konsentrasi propilen glikol (5% dan 10%) b. Konsentrasi VCO 10% dengan konsentrasi tween 80 40% dengan kecepatan emulsifikasi 2000 rpm dan tanpa pemanasan. c. Konsentrasi VCO 10% dengan variasi konsentrasi tween 80 (35 dan 40%) dengan kecepatan emulsifikasi 5000 rpm dan tanpa pemanasan.
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
31
d. Konsentrasi VCO 10% dengan konsentrasi tween 80 40% dengan kecepatan emulsifikasi 2000 rpm dan dengan pemanasan 35OC.
2. Optimasi konsentrasi tween 80 dan etanol 96% untuk VCO 5% a. Konsentrasi VCO 5% dengan konsentrasi tween 80 40%, konsentrasi etanol 10% dan tanpa pemanasan. Variasi kecepatan emulsifikasi 250 dan 500 rpm. b. Konsentrasi VCO 5% dengan konsentrasi tween 80 40%, konsentrasi etanol 10%, pemanasan 35OC. Variasi kecepatan emulsifikasi 250, 800 dan 1000 rpm. c. Konsentrasi VCO 5% dengan konsentrasi tween 80 45%, konsentrasi etanol 10% , pemanasan 40OC. Variasi kecepatan emulsifikasi 1000 dan 2000 rpm.
3.4.3 Pembuatan Mikroemulsi Natrium Diklofenak
Tabel 3.1. Komponen bahan pembentuk mikroemulsi
Komposisi Mikroemulsi Virgin Coconut Oil (VCO) Natrium diklofenak Tween 80 Etanol 96% Propilen glikol Nipagin Nipasol BHT Asam sitrat Aquadest
Kadar dalam Formula (%) 5 1 45 10 5 0,3 0,06 0,1 0,3 33,24
Mikroemulsi ini dibuat dengan membuat fase air dan fase minyak secara terpisah. Fase air adalah aquadest dan tween 80. Sebagian aquadest dipakai untuk melarutkan asam sitrat. Sisa aquadest dan tween 80 dipanaskan sampai suhu 40OC. Fase minyak yaitu BHT didispersikan ke dalam VCO dan dihomogenkan. Fase minyak ditambahkan ke dalam fase air dan diemulsikan dengan homogenizer dengan kecepatan 1000 rpm. Nipagin dan nipasol ditambahkan ke dalam etanol Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
32
96%. Natrium diklofenak dilarutkan ke dalam propilen glikol. Kemudian campuran etanol dan propilen glikol ini ditambahkan ke campuran fase air dan fase minyak sambil tetap dihomogenisasi dengan homogenizer menggunakan kecepatan 1000 rpm. Campuran ini didiamkan selama 24 jam sampai terbentuk mikroemulsi yang jernih.
3.4.4 Evaluasi Sediaan Mikroemulsi 3.4.4.1 Pengamataan Organoleptis Pengamatan organoleptis sediaan meliputi bentuk, warna, bau dan kejernihan. Pengamatan ini dilakukan setiap 2 minggu sekali selama 8 minggu. Pengamatan warna dilakukan dengan menggunakan standard warna kartu Pantone.
3.4.4.2 Pengukuran pH (Departemen Kesehatan RI, 1995) pH sediaan diukur dengan pH meter. Sebelumnya, pH meter dikalibrasi dahulu dengan dapar pH 4 dan 7. Setelah dikalibrasi, pH meter dapat digunakan untuk mengukur pH sediaan. Pengukuran pH dilakukan sebanyak dua kali.
3.4.4.3 Pengukuran Viskositas dan Penentuan Sifat Aliran (Brookfield Dial Viscometer) Viskositas sediaan diukur dengan viskometer Brookfield. Mikroemulsi dimasukkan ke dalam wadah. Spindel dipasang dan diatur ketinggiannya agar spindel masuk ke dalam mikroemulsi. Stop kontak dinyalakan dan kecepatan rpm diatur dari kecepatan rendah ke kecepatan tinggi dan dari kecepatan tinggi ke kecepatan rendah. Setiap pengaturan rpm, angka yang ditunjukkan oleh jarum merah pada alat dibaca. Angka yang didapat dikalikan dengan faktor koreksi. Data yang diperoleh diplotkan pada sumbu x dan sumbu y. Sumbu x adalah
shearing stress atau kecepatan geser (dyne/cm2) dan sumbu y adalah rate of shear. Pengukuran viskositas dan penentuan sifat aliran mikroemulsi dilakukan pada suhu ruang pada minggu ke- 0 dan ke-8 .
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
33
Rumus perhitungan viskositas sediaan η dr x f
(3.3)
Keterangan η
= viskositas sediaan
dr
= dial reading (angka yang ditunjukkan oleh jarum merah)
f
= faktor koreksi
3.4.4.4 Pengukuran Tegangan Antarmuka (Fisher Scientific, 2006) Tegangan antarmuka sediaan diukur dengan Tensiometer du Nuoy. Sebelum melakukan pengukuran tegangan antarmuka, cincin platinum iridium dibersihkan dengan benzena dan dibakar dengan api bunsen. Selanjutnya alat dikalibrasi dengan mengukur tegangan permukaan aquabidestilata dan aquadest. Untuk mengukur tegangan antarmuka mikroemulsi, sediaan dimasukkan ke dalam wadah gelas sampai mencapai ketinggian 0,5 cm dari batas atas gelas. Wadah gelas diletakkan di atas meja dan posisi cincin platinum iridium diatur hingga berada pada kedalaman 0,5 cm dari permukaan mikroemulsi. Knob Torsion diputar pada sisi kanan atas hingga angka nol pada Knob Torsion sejajar dengan angka nol pada Knob Zero yang terdapat di depan Knob Torsion. Motor diletakkan pada posisi netral, lalu diubah ke posisi down, cincin akan bergerak ke atas dan Knob Zero mulai berputar. Knob Zero akan berhenti pada suatu angka yang akan menunjukkan tegangan antarmuka mikroemulsi. Pengukuran ini dilakukan sebanyak dua kali. Tegangan antarmuka mikroemulsi diukur pada minggu ke-0 dan minggu ke-8. Rumus perhitungan tegangan antarmuka
S=PxF
(3.4)
S = tegangan antarmuka P = angka yang ditunjukkan oleh alat F = faktor koreksi Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
34
3.4.4.5 Pengukuran Bobot Jenis Mikroemulsi (Departemen Kesehatan RI, 1995; Lide & Haynes, 2010) Bobot jenis mikroemulsi diukur dengan piknometer. Cara kerjanya yaitu suhu ruangan tempat pengukuran bobot jenis diukur dengan termometer. Selanjutnya piknometer yang bersih dan kering ditimbang dan dicatat massanya (A g). Kemudian piknometer diisi dengan air, ditimbang dan dicatat massanya (A1 g). Air dikeluarkan dari piknometer dan piknometer dibersihkan. Sediaan mikroemulsi lalu diisikan ke dalam piknometer, ditimbang dan dicatat massanya (A2 g).
Rumus perhitungan bobot jenis sediaan =
Bobot jenis = x ρ air pada suhu tersebut
(3.5)
3.4.4.6 Penentuan Ukuran Globul Mikroemulsi Penentuan ukuran globul sediaan mikroemulsi dilakukan dengan alat
Zetasizer Nano S pada minggu ke-0 dan minggu ke-8.
3.4.4.7 Uji Kestabilan a.
Kestabilan Mekanik (Lachman, Lieberman & Kanig, 1994) Kestabilan
mekanik
dilakukan
dengan
uji
sentrifugasi.
Sediaan
mikroemulsi dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi, kemudiaan dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 3800 rpm selama 5 jam.
b.
Kestabilan Suhu (Djajadisastra, 2004)
1.
Suhu Kamar (28º ± 2ºC) Sediaan mikroemulsi disimpan pada suhu kamar dan dilakukan
pengamatan organoleptis meliputi bau, warna, dan kejernihan. Pengamatan warna dilakukan dengan menggunakan standard warna kartu Pantone. Selain itu, juga dilakukan pengukuran pH sediaan. Pengamatan organoleptis dan pengukuran pH dilakukan setiap 2 minggu sekali selama 8 minggu. Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
35
2.
Suhu Rendah (4º ± 2ºC) Sediaan mikroemulsi disimpan pada suhu rendah dan dilakukan
pengamatan organoleptis meliputi bau, warna, dan kejernihan. Pengamatan warna dilakukan dengan menggunakan standard warna kartu Pantone. Selain itu, juga dilakukan pengukuran pH sediaan. Pengamatan organoleptis dan pengukuran pH dilakukan setiap 2 minggu sekali selama 8 minggu.
3.
Suhu Tinggi (40º ± 2ºC) Sediaan mikroemulsi disimpan pada suhu tinggi dan dilakukan
pengamatan organoleptis meliputi bau, warna, dan kejernihan. Pengamatan warna dilakukan dengan menggunakan standard warna kartu Pantone. Selain itu, juga dilakukan pengukuran pH sediaan. Pengamatan organoleptis dan pengukuran pH dilakukan setiap 2 minggu sekali selama 8 minggu.
2.
Uji Cycling (Djajadisastra, 2004) Sediaan mikroemulsi disimpan pada suhu dingin ± 4ºC selama 24 jam, lalu
dikeluarkan dan ditempatkan pada suhu ± 40ºC selama 24 jam (1 siklus). Siklus ini diulang sebanyak 6 siklus. Setiap akhir siklus, sediaan diamati dan dibandingkan kejernihan mikroemulsi selama percobaan dibandingkan dengan kejernihan sediaan pada siklus sebelumnya.
3.4.5 Uji Penetrasi Natrium Diklofenak 3.4.5.1 Pembuatan Dapar Fosfat pH 7,4 (Departemen Kesehatan RI, 1995) Kalium dihidrogen fosfat 0,2 M sebanyak 50,0 mL dimasukkan ke dalam labu tentukur 200,0 mL lalu ditambahkan 39,1 mL natrium hidroksida 0,2 N dan dicukupkan volumenya dengan aquadest bebas CO2, kemudan diukur pH pada nilai 7,4.
3.4.5.2 Penentuan λ Maksimum Natrium Diklofenak dalam Dapar Fosfat pH 7,4 Natrium diklofenak ditimbang seksama ±50 mg dan dilarutkan dengan dapar fosfat pH 7,4 dalam labu tentukur 100,0 mL dan dikocok sampai larut sempurna hingga diperoleh kadar 500 ppm. Selanjutnya dibuat pengenceran Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
36
dengan konsentrasi 50 ppm. dan dibuat spektrum serapannya dari λ = 200-400 nm dan ditentukan λ maksimumnya.
3.4.5.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi Natrium Diklofenak dalam Dapar Fosfat pH 7,4 Dibuat larutan natrium diklofenak pada konsentrasi dan 0,24; 0,32; 0,6; 1; 2; 4; 6; 10 dan 12 ppm dan dikur serapannya dengan spektrofotometer UV-Vis pada λ maksimumnya. Serapan itu selanjutnya digunakan untuk pembuatan kurva kalibrasi.
3.4.5.4 Pembuatan Kurva Kalibrasi Baku Pembanding Natrium Diklofenak dalam Dapar Fosfat pH 7,4 Dibuat larutan baku pembanding natrium diklofenak pada konsentrasi 8, 10, 12, 16 dan 20 ppm dan dikur serapannya dengan spektrofotometer UV-Vis pada λ maksimumnya. Serapan itu selanjutnya digunakan untuk pembuatan kurva kalibrasi dan penentuan kadar natrium diklofenak yang digunakan di dalam sediaan mikroemulsi.
3.4.5.5 Penetapan Kadar Natrium Diklofenak dalam Mikroemulsi a.
Penentuan λ Maksimum Natrium Diklofenak dalam Metanol Natrium diklofenak ditimbang seksama ±50 mg dan dilarutkan dengan
metanol dalam labu tentukur 100,0 mL dan dikocok sampai larut sempurna hingga diperoleh kadar 500 ppm. Selanjutnya dibuat pengenceran dengan konsentrasi 50 ppm. dan dibuat spektrum serapannya dari λ = 200-400 nm dan ditentukan λ maksimumnya.
b.
Pembuatan Kurva Kalibrasi Natrium Diklofenak dalam Metanol Dibuat larutan baku natrium diklofenak pada konsentrasi 10, 12, 14, 16
dan 22 ppm dan dikur serapannya dengan spektrofotometer UV-Vis pada λ maksimumnya. Serapan itu selanjutnya digunakan untuk pembuatan kurva kalibrasi.
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
37
c.
Penetapan Kadar Natrium Diklofenak dalam Mikroemulsi Ditimbang seksama ±1,0 g mikroemulsi. Ditambahkan metanol dan
dikocok sampai berwarna putih. Campuran tersebut dimasukkan ke tabung sentrifugasi secara kuantitatif dan disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 45 menit. Campuran itu disaring secara kuantitatif dengan Milipore®, filtat dimasukkan ke labu tentukur dan volumenya dicukupkan dengan metanol. Larutan itu dilakukan pengenceran sampai diperoleh konsentrasi yang sesuai dan diukur serapannya pada pada λ maksimumnya. Kadar natrium diklofenak dalam mikroemulsi diperoleh dengan persamaan regresi menggunakan baseline berupa basis mikroemulsi. Penetapan kadar ini dilakukan sebanyak dua kali.
3.4.5.6 Optimasi Penentuan Jumlah Bahan Perekat untuk Menarik Seluruh Lapisan Stratum Korneum Tikus dikorbankan, kulit tikus bagian abdomen dipotong, bulu tikus dicukur secara hati-hati dan lapisan lemak subkutan dihilangkan. Bahan perekat yang sudah disiapkan ditempelkan berulang-ulang pada lapisan kulit abdomen tikus. Lapisan kulit yang akan diamati direndam dalam larutan Bouin selama 24 jam. Setelah 24 jam, kulit dikeluarkan dari larutan Bouin dan direndam dalam alkohol 70%. Selanjutnya kulit dimasukkan ke dalam medium parafin dan dipotong membujur setebal 7 µm dengan alat pemotong. Kulit yang telah dipotong diletakkan di atas kaca objek dan diberi pewarnaan H&E. Lapisan kulit diamati dengan mikroskop cahaya dan dicatat jumlah bahan perekat yang mampu menghilangkan seluruh lapisan stratum korneum.
3.4.5.7 Pembuatan Membran Kulit Tikus untuk Sel Difusi Franz Membran kulit tikus diperoleh dari kulit tikus bagian abdomen yang bulunya dicukur secara hati-hati dan lapisan lemak subkutan dihilangkan. Kulit yang telah disiapkan ini disimpan selama maksimal 24 jam dalam lemari es suhu 4OC. Sebelum digunakan, kulit tikus ini dihidrasi dahulu selama minimal 30 menit dengan dapar fosfat pH 7,4 yang merupakan cairan kompartemen reseptor. Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
38
3.4.5.8 Uji Penetrasi Natrium Diklofenak a.
Metode Sel Difusi Franz (Dewi, 2007; Widiastuti, 2010) Membran kulit tikus yang dihidrasi selama 30 menit dengan dapar fosfat
pH 7,4 dan dipasangkan pada sel difusi Franz dengan bagian dermal menghadap ke kompartemen reseptor. Dapar fosfat pH 7,4 dan pengaduk magnetik dimasukkan ke dalam kompartemen reseptor sampai batas yang ditentukan. Sebanyak ±1 gram mikroemulsi dimasukkan ke kompartemen donor. Selama sel difusi Franz beroperasi, suhu diatur konstan pada 37 ± 0,5o C dengan water jacket dan homogenitas cairan dijaga dengan pengadukan magnetik dengan kecepatan 250 rpm. Pengambilan sample dilakukan sebanyak 0,5 mL dari larutan kompartemen reseptor pada menit ke 30, 60, 90, 120, 180, 240, 300, 360, 420 dan 480. Sample dimasukkan ke dalam labu tentukur 5,0 mL, dicukupkan volumenya hingga batas dan dikocok homogen. Selanjutnya diukur serapannya dengan spektrofotometer UV-Vis pada λ maksimum. Kadar natrium diklofenak yang terpenetrasi ditentukan dan dihitung fluks dan jumlah kumulatif natrium diklofenak yang terdapat dalam cairan reseptor setiap waktu pengambilan sample. Larutan yang disampling, segera diganti dengan dapar fosfat pH 7,4 untuk mempertahankan volume cairan tetap konstan.
b.
Metode Tape Stripping (Jui Chen Tsai, Cappel, Weiner, Flynn & Ferry 1991; Pellett, Robert, & Hadgraft, 1997; Klang, et.al. 2012) Setiap waktu penyamplingan cairan dari kompartemen reseptor, membran
kulit tikus diambil dari sel difusi Franz dan ditempelkan bahan perekat. Bahan perekat diratakan pada membran kulit tikus dan dicabut. Langkah ini dilakukan sebanyak hasil yang diperoleh pada percobaan pendahuluan. Bahan perekat pada penempelan ke-2 sampai akhir dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam wadah ekstraksi. Ekstraksi dilakukan dengan sonikasi bahan perekat dalam dapar fosfat pH 7,4 sebanyak 80 mL selama 30 menit. Hasil ekstraksi dikocok homogen dan diukur serapannya dengan spektrofotometer UV-Vis pada λ maksimum. Kadar natrium diklofenak yang terdapat dalam larutan ditentukan dengan persamaan kurva kalibrasi. Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
39
3.4.5.9 Perhitungan Jumlah Natrium Diklofenak yang Tertinggal di Kompartemen Donor Sel Difusi Franz Pada setiap pengambilan sample di kompartemen reseptor, dilakukan pengukuran kadar obat yang tertinggal di kompartemen donor. Mikroemulsi yang terdapat di kompartemen donor dikumpulkan dan ditentukan kadar natrium diklofenak menggunakan cara yang sama dengan penetapan kadar.
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Karakterisasi Virgin Coconut Oil (VCO) Karakterisasi
VCO
dilakukan
dengan
pengamatan
organoleptis,
pengukuran bobot jenis dan pengukuran tegangan permukaan. Hasil yang diperoleh dari karakterisasi dibandingkan dengan literatur.
4.1.1 Pengamatan Organoleptis Virgin Coconut Oil (VCO) Pengamatan organoleptis yang dilakukan meliputi bentuk, warna, bau dan rasa VCO mempunyai bentuk berupa cairan dengan viskositas rendah, tidak berwarna, bau khas kelapa dan tidak mempunyai rasa.
4.1.2 Pengukuran bobot jenis Virgin Coconut Oil (VCO) Pengukuran bobot jenis VCO dilakukan dengan piknometer. Suhu ruangan pada saat pengukuran bobot jenis adalah 29oC. Bobot jenis air pada suhu tersebut adalah 0,9959486 g/mL. Berat piknometer kosong adalah 13,6235 g. Berat piknometer yang berisi air adalah 24,2163 g. Selanjutnya berat piknometer yang berisi VCO adalah 23,3671 g. Bobot jenis VCO adalah 0,9161 g/mL.
4.1.3 Pengukuran tegangan permukaan Virgin Coconut Oil (VCO) Tegangan permukaan diukur dengan Tensiometer Du Nuoy. Angka yang dihasilkan dari pengukuran tegangan permukaan (P) VCO adalah 34,4 dyne/cm. Angka yang diperoleh ini dikalikan dengan faktor koreksi (F) sebesar 0,91715936. Tegangan permukaan VCO adalah 31,5503 dyne/cm 4.2
Formulasi dan Pembuatan Mikroemulsi Pada penelitian ini dilakukan pembuatan mikroemulsi natrium diklofenak
dengan VCO sebagai fase minyak. Untuk memperoleh formula yang menghasilkan mikroemulsi yang stabil, dilakukan percobaan pendahuluan. Percobaan pendahuluan yang dilakukan yaitu memvariasikan konsentrasi komponen penyusun, kecepatan emulsifikasi dan temperatur fase air. Konsentrasi komponen penyusun yang divariasikan yaitu konsentrasi tween 80, konsentrasi 40
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
41
VCO, konsentrasi etanol dan konsentrasi propilen glikol. Kecepatan emulsifikasi yang divariasikan mulai dari 250, 500, 1000 dan 2000 rpm. Temperatur fase air divariasikan mulai dari suhu ruang, 35OC dan 40OC. Hasil optimasi pembuatan mikroemulsi dapat dilihat pada Tabel 4.1. Pada kecepatan emulsifikasi yang rendah, yaitu di bawah 1000 rpm, tidak terbentuk mikroemulsi karena dengan kecepatan tersebut tidak dihasilkan ukuran globul mikroemulsi yang cukup kecil untuk membentuk mikroemulsi. Pada kecepatan emulsifikasi di atas 1000 rpm, sudah terbentuk mikroemulsi. Namun semakin tinggi kecepatan emulsifikasi, akan diperoleh mikroemulsi yang viskositasnya semakin tinggi. Lama emulsifikasi dengan homogenizer juga mempengaruhi viskositas mikroemulsi. Semakin lama waktu emulsifikasi, akan menyebabkan viskositas mikroemulsi semakin tinggi (Djakovit & Dokit, 1977). Kecepatan yang semakin tinggi dan waktu yang semakin lama akan mengecilkan ukuran droplet mikroemulsi. Ukuran yang semakin kecil akan mempersulit mengalirnya sediaan sehingga viskositasnya semakin tinggi. Pada kecepatan 1000 rpm, mikroemulsi sudah terbentuk dan memiliki viskositas yang sesuai, sehingga digunakan kecepatan emulsifikasi sebesar 1000 rpm. Temperatur fase air juga mempengaruhi pembentukkan mikroemulsi. Semakin tinggi temperatur, maka akan semakin kecil tegangan antar muka minyak dan air sehingga mempermudah pembentukan mikroemulsi (Mulla, 1998). Konsentrasi komponen penyusun mikroemulsi seperti fase minyak, surfaktan dan kosurfaktan divariasikan untuk mendapatkan formula yang menghasilkan mikroemulsi yang stabil. Surfaktan berperan dalam menurunkan tegangan antar muka dan membentuk film antar muka antara minyak dan air. Kosurfaktan berperan membantu surfaktan dalam menurunkan tegangan antar muka, meningkatkan fleksibilitas film antar muka yang dibentuk oleh surfaktan, dan mampu mengurangi konsentrasi surfaktan yang diperlukan. Dalam formula ini, digunakan tween 80 sebagai surfaktan karena memiliki viskositas yang cukup tinggi untuk menstabilkan mikroemulsi. Kosurfaktan yang digunakan di dalam formula adalah etanol 96% karena selain memiliki aktivitas kosurfaktan, juga dapat meningkatkan penetrasi natrium diklofenak di dalam sediaan.
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
42
Globul fase minyak (VCO) di dalam mikroemulsi harus dapat dibungkus sempurna oleh surfaktan dan kosurfaktan. Dalam optimasi ini, konsentrasi VCO yang tinggi (10%) tidak dapat membentuk mikroemulsi. Mikroemulsi baru terbentuk ketika konsentrasi VCO sebesar 5%. Konsentrasi tween 80 yang lebih rendah dari 45% dan konsentrasi etanol 96% yang lebih rendah dari 10% tidak cukup untuk membungkus sempurna globul VCO dan tidak cukup untuk menurunkan tegangan antar muka antara fase minyak dan fase air. Bagian lipofilik dari tween 80 dan etanol 96% akan berada di fase minyak, sementara bagian hidrofilik dari tween 80 dan etanol 96% sehingga tween 80 dan etanol 96% akan berada di antar muka minyak dan air. Dari optimasi yang diperoleh, dihasilkan mikroemulsi dengan konsentrasi VCO sebesar 5%, konsentrasi tween 80 sebesar 45% dan konsentrasi etanol sebesar 10%. Penggunaan propilen glikol dalam formula diperlukan karena propilen glikol dapat meningkatkan kelarutan metil paraben dan propil paraben dalam fase air. Propilen glikol juga dapat meningkatkan viskositas mikroemulsi sehingga meningkatkan kestabilan sediaan. Selain itu, adanya surfaktan non ionik dapat mensolubilisasi metil dan propil paraben sehingga menghambat aktivitas anti bakterinya (Rowe, Sheskey & Owen, 2006). Dengan adanya propilen glikol dalam formula, dapat meningkatkan aktivitas antimikroba metil dan propil paraben. Dalam formula ini, digunakan antioksidan untuk mencegah oksidasi pada fase minyak. Antioksidan yang digunakan adalah BHT. Mekanisme kerjanya adalah sebagai antioksidan primer yang menangkap radikal bebas sehingga rantai proses oksidasi terhenti (Shahidi, 2005). Dalam pembuatan mikroemulsi, natrium diklofenak dilarutkan di dalam propilen glikol. Hal ini karena natrium diklofenak tidak larut dalam fase minyak dan agak sulit larut dalam air. Propilen glikol dapat meningkatkan kelarutan natrium diklofenak di dalam fase air.
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
43
4.3
Evaluasi Mikroemulsi
4.3.1 Pengamatan Organoleptis Pengamatan organoleptis yang dilakukan pada mikroemulsi meliputi pengamatan bentuk, bau, warna, kejernihan dan homogenitas. Mikroemulsi berbentuk cairan, berbau khas, berwarna kuning jernih sesuai dengan standard warna kartu Pantone 101 C dan terlihat homogen.
4.3.2 Pengukuran pH Pengukuran pH mikroemulsi perlu dilakukan untuk kenyamanan pengguna sediaan. Bila pH sediaan terlalu asam, maka akan mengiritasi kulit dan akan memberikan rasa perih. Bila pH sediaan pH sediaan terlalu basa, maka akan memberikan rasa gatal. pH sediaan yang ideal yaitu sebesar 4,5-6,5. Supaya sediaan mempunyai pH yang sesuai dengan rentang pH kulit, maka digunakan asam sitrat sebagai pengatur pH. Konsentrasi asam sitrat sebesar 0,3% dalam formula sudah cukup untuk membuat sediaan mempunyai pH sebesar pH kulit. pH mikroemulsi pada minggu ke-0 adalah 5,56. pH sediaan sesuai dengan pH kulit sehingga tidak akan memberikan rasa kurang nyaman saat penggunaan.
4.3.3 Pengukuran Bobot Jenis Pengukuran bobot jenis mikroemulsi dilakukan dengan piknometer. Suhu ruangan pada saat pengukuran bobot jenis adalah 29oC. Bobot jenis air pada suhu tersebut adalah 0,9960 g/mL (Lide & Haynes, 2010). Berat piknometer kosong adalah 13,6235 g. Berat piknometer yang berisi air adalah 24,2163 g. Selanjutnya berat piknometer yang berisi mikroemulsi adalah 24,8010 g. Bobot jenis mikroemulsi adalah 1,0510 g/mL.
4.3.4 Pengukuran Viskositas dan Penentuan Sifat Aliran Viskositas adalah tahanan suatu cairan untuk mengalir. Semakin tinggi viskositas suatu sediaan, maka semakin tinggi tahanannya (Sinko, 2010). Viskositas suatu emulsi dipengaruhi oleh viskositas fase kontinu dan fase
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
44
terdispersi, fraksi volume fase terdispersi, laju pengadukan, konsentrasi emulgator, suhu, ukuran rata-rata dan distribusi ukuran droplet emulsi. Viskositas mikroemulsi dipengaruhi oleh konsentrasi komponen penyusun dan variasi dalam proses emulsifikasi. Semakin tinggi konsentrasi tween 80 dalam formula, maka viskositas mikroemulsi akan semakin tinggi. Semakin tinggi konsentrasi etanol 96% dalam formula, maka viskositas mikroemulsi akan semakin rendah. Variasi dalam proses emulsifikasi yaitu lama dan kecepatan emulsifikasi juga mempengaruhi viskositas. Semakin lama waktu emulsifikasi dan semakin tinggi kecepatan emulsifikasi, maka akan semakin tinggi viskositas mikroemulsi. Pengukuran viskositas dan penentuan sifat aliran ditentukan dengan viskometer Brookfield pada suhu kamar. Evaluasi ini tidak dilakukan pada suhu rendah ataupun suhu tinggi karena tujuan pengukuran viskositas ini adalah untuk mengetahui kestabilan viskositas mikroemulsi dengan meminimalkan variabelvariabel lain seperti perbedaan suhu. Penyimpanan mikroemulsi pada suhu rendah akani menyebabkan viskositas mikroemulsi menjadi lebih tinggi dari seharusnya. Penyimpanan pada suhu tinggi akan menyebabkan viskositas mikroemulsi lebih rendah dari seharusnya. Pengukuran viskositas dan penentuan sifat aliran dilakukan pada minggu ke-0 dan ke-8. Viskositas pada minggu ke-0 sebesar 3140 cps dan mempunyai tipe aliran pseudoplastis sampai mendekati aliran Newton. Setelah penyimpanan selama 8 minggu, ternyata viskositas mikroemulsi mengalami penurunan dari 3140 cps menjadi 2100 cps dan tetap memiliki tipe aliran pseudoplastis sampai mendekati aliran Newton. Penurunan viskositas ini terjadi karena ketika sebagian tween 80 di dalam mikroemulsi mengalami hidrolisis sehingga terjadi penurunan kemampuan tween 80 untuk mencegah globul minyak berkoalesensi (Kishore
et.al., 2011). Akibatnya ukuran globul membesar dan viskositas menurun.
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
Rate of shear
45
0.16 0.14 0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 0
100
200
300
400
Shearing stress (dyne/cm2)
500
kecepatan menurun kecepatan menaik
Rate of shear
Gambar 4.1. Rheologi mikroemulsi minggu ke-0
0.16 0.14 0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 0
50
100
150
200
250
300
350
Shearing stress (dyne/cm2) kecepatan menaik kecepatan menurun
Gambar 4.2. Rheologi mikroemulsi minggu ke-8
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
46
4.3.5 Pengukuran Tegangan Antarmuka Tegangan antarmuka diukur dengan Tensiometer Du Nuoy. Pengukuran dilakukan pada minggu ke-0 dan minggu ke-8. Pada minggu ke-0, rata-rata angka yang dihasilkan dari pengukuran tegangan antar muka (P) mikroemulsi adalah 41,75 dyne/cm. Hasil yang diperoleh ini dikalikan dengan faktor koreksi (F) sebesar 0,982791281. Tegangan antarmuka pada minggu ke-0 sebesar 41,0315 dyne/cm. Pada minggu ke-8, rata-rata angka yang dihasilkan dari pengukuran tegangan antar muka (P) mikroemulsi adalah 42 dyne/cm. Hasil yang diperoleh ini dikalikan dengan faktor koreksi (F) sebesar 0,983151848. Tegangan antarmuka pada minggu ke-8 sebesar 41,2924 dyne/cm. Tegangan antarmuka mikroemulsi ini mengalami kenaikan karena terjadi hidrolisis tween 80 sehingga kemampuan surfaktan untuk menurunkan tegangan antarmuka berkurang (Kishore et.al., 2011). Selain itu, kenaikan tegangan antarmuka juga bisa disebabkan karena pada pembuatan mikroemulsi digunakan pemanasan pada suhu 40OC. Pemanasan diperlukan untuk membantu menurunkan tegangan antarmuka minyak dan air. Penyimpanan pada suhu ruang (28±2OC) akan meningkatkan kembali tegangan antarmuka minyak dan air. Meningkatnya tegangan antarmuka mikroemulsi ini terjadi karena molekul tween 80 meninggalkan lapisan antarmuka dan beragregasi membentuk misel. Tween 80 berperan sebagai surfaktan yaitu zat aktif permukaan yang dapat menurunkan tegangan antarmuka. Dengan beragregasinya molekul tween 80, maka jumlah tween 80 yang terdapat di lapisan antarmuka akan berkurang sehingga tegangan antamuka mikroemulsi akan meningkat. Selain itu, kenaikan tegangan antarmuka mikroemulsi juga bisa disebabkan oleh menguapnya etanol dalam sediaan. Etanol berperan sebagai kosurfaktan yang dapat menurunkan tegangan antarmuka. Dengan menguapnya etanol dalam sediaan mikroemulsi, maka tegangan antarmuka mikroemulsi juga akan meningkat.
4.3.6 Penentuan Ukuran Globul Mikroemulsi (Zetasizer Nano Series User Manual, 2004) Pengukuran globul mikroemulsi dilakukan pada minggu ke-0 dan ke-8 dengan Zetasizer Malvern Nano S. Prinsip kerja Zetasizer yaitu dengan Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
47
pemendaran cahaya. Prosedur kerjanya yaitu sample mikroemulsi dimasukkan ke dalam kuvet. Cahaya laser ditembakkan ke kuvet berisi sample. Cahaya tersebut, ada sebagian yang diteruskan, tetapi ada yang dipendarkan oleh partikel di dalam sample. Selanjutnya, cahaya yang dipendarkan itu diukur intensitasnya dengan detektor. Hasil pengukuran globul mikroemulsi pada minggu ke-0 sebesar 3,089 nm. Ukuran globul mikroemulsi pada minggu ke-8 sebesar 9,920 nm. Peningkatan ukuran globul ini terjadi karena sebagian tween 80 mengalami hidrolisis sehingga mengurangi kefeektifan lapisan film antarmuka globul mikroemulsi (Kishore
et.al., 2011). Selain itu, peningkatan ukuran globul ini juga bisa terjadi karena tween 80 meninggalkan lapisan antarmuka air dan minyak. Kedua peristiwa ini menyebabkan globul minyak berkoalesensi dan ukuran globul minyak membesar.
4.3.7 Uji Kestabilan Uji kestabilan fisik sediaan mikroemulsi dilakukan dengan menyimpan sediaan pada 3 suhu berbeda, yaitu pada suhu rendah (4±2OC), suhu kamar (28±2OC) dan suhu tinggi (40±2OC). Sediaan yang disimpan pada ketiga suhu tersebut selanjutnya dilakukan pengamatan organoleptis dan pengukuran pH setiap 2 minggu sekali selama 8 minggu. Uji kestabilan yang dilakukan pada mikroemulsi adalah uji cycling dan uji sentrifugasi. Pengamatan uji cycling dan uji sentrifugasi dilakukan dengan membandingkan sediaan sebelum dan sesudah dilakukan pengujian.
4.3.7.1 Uji Kestabilan terhadap Penyimpanan Suhu Rendah, Sedang dan Tinggi. a
Pengamatan organoleptis
1. Suhu Rendah (4±2OC) Ketika disimpan pada suhu rendah, sediaan menjadi beku dan berwarna putih. Hal ini karena sediaan mengandung VCO yang mempunyai titik beku pada suhu 2226OC. Titik beku VCO yang tinggi ini karena VCO mengandung asam lemak jenuh yaitu asam laurat dengan konsentrasi tinggi. Semakin tinggi konsentrasi asam lemak jenuh dalam suatu jenis minyak, maka akan semakin tinggi titik Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
48
bekunya (Syah, 2005). Ketika sediaan dikeluarkan dari tempat penyimpanan suhu rendah dan dikeluarkan ke suhu ruang, maka sediaan akan mencair kembali, berwarna kuning sesuai dengan standard warna kartu Pantone 101 C dan memiliki viskositas seperti ketika belum dimasukkan ke dalam tempat penyimpanan suhu rendah. 2. Suhu Kamar (28±2OC) Setelah penyimpanan selama 8 minggu pada suhu kamar, sediaan tetap berbentuk cair, berwarna kuning sesuai dengan standard warna kartu Pantone 101 C, tidak berbau tengik, jernih dan tidak terjadi pemisahan fase. Viskositas sediaan menurun selama penyimpanan pada suhu kamar.
3. Suhu Tinggi (40±2OC) Setelah penyimpanan selama 8 minggu pada suhu tinggi, sediaan tetap berbentuk cair, berwarna kuning sesuai dengan standard warna kartu Pantone 101 C, tidak berbau tengik, jernih dan tidak terjadi pemisahan fase. Viskositas dan volume sediaan menurun secara signifikan selama penyimpanan pada suhu tinggi.
Sediaan yang disimpan pada ketiga suhu berbeda selama 8 minggu tidak mempunyai bau tengik. Hal ini menandakan bahwa BHT dalam sediaan berhasil menjaga VCO supaya tidak tengik akibat teroksidasi. Selain itu pada penyimpanan ketiga suhu berbeda tidak terjadi pemisahan fase dan tetap jernih sehingga bisa disimpulkan bahwa dalam formula mengandung surfaktan dan kosurfaktan dengan konsentrasi yang cukup. Selain itu sediaan juga tetap jernih karena konsentrasi antimikroba dalam sediaan cukup sehingga tidak ada kontaminasi mikroba yang dapat mengganggu stabilitas fisik sediaan.
b
Pengukuran pH Sediaan yang disimpan pada suhu rendah, suhu kamar, dan suhu tinggi
diukur pH setiap 2 minggu sekali. Hasilnya adalah sediaan tidak mengalami perubahan pH yang berarti pada suhu rendah dan suhu kamar. Pada suhu rendah Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
49
dan suhu kamar, pH cenderung mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena kontaminasi CO2 pada sediaan. Adanya CO2 pada sediaan akan menyebabkan terbentuknya H2CO3 yang akan melepaskan H+. pH yang menurun juga mungkin disebabkan karena hidrolisis tween 80 dalam sediaan yang melepaskan asam lemak (Kishore et.al., 2011). Pada suhu tinggi, pH cenderung mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena adanya lepasnya ion Na+ dari natrium diklofenak. Ion Na+ yang lepas akan bereaksi dengan air yang terdapat dalam sediaan mikroemulsi sehingga membentuk NaOH yang akan meningkatkan pH sediaan mikroemulsi. Hasil penyimpanan mikroemulsi pada suhu rendah, suhu kamar, dan suhu tinggi tidak menyebabkan sediaan mempunyai pH di luar rentang pH 4,5-6,5 sehingga tetap sesuai untuk penggunaan secara transdermal.
8
pH
6 4 2 0 0
2
4
6
8
10 Suhu Tinggi
minggu
Suhu Rendah Suhu Kamar
Gambar 4.3. Grafik perubahan pH mikroemulsi pada penyimpanan berbagai suhu selama 8 minggu
4.3.7.2 Uji Cycling Uji cycling dilakukan dengan menyimpan sediaan pada suhu 4OC selama 24 jam dan pada suhu 40OC selama 24 jam. Ini adalah 1 siklus. Uji ini dilakukan sebanyak 6 siklus dan diamati terbentuknya kristal pada sediaan menggunakan mikroskop cahaya. Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
50
Selama uji ini berlangsung, sediaan mikroemulsi yang dikeluarkan dari penyimpanan suhu 40OC mempunyai viskositas yang lebih rendah dan tetap berwarna kuning. Sediaan yang dikeluarkan dari penyimpanan suhu 4OC mempunyai warna putih dan terlihat membeku. Hal ini terjadi karena VCO yang digunakan dalam sediaan mempunyai titik beku yang tinggi (Syah, 2005). Setelah uji cycling selesai, dilakukan pengamatan organoleptis dan pengamatan sediaan dengan mikroskop. Pengamatan organoleptis menunjukkan bahwa sediaan tetap jernih dan berwarna kuning sesuai standard warna kartu Pantone 101 C. Pengamatan dengan mikroskop menunjukkan bahwa tidak ditemukan adanya kristal pada sediaan.
4.3.7.3 Uji Kestabilan Mekanik Uji kestabilan mekanik dilakukan dengan cara melakukan sentrifugasi mikroemulsi pada kecepatan 3800 rpm selama 5 jam. Uji dengan sentrifugator ini dianalogkan gaya gravitasi yang akan dialami mikroemulsi selama 1 tahun. Hasil dari uji sentrifugasi ini adalah mikroemulsi tetap stabil dan tidak terjadi pemisahan, berarti mikroemulsi stabil terhadap gaya gravitasi yang dialami oleh mikroemulsi selama 1 tahun (Lachman, Lieberman & Kanig, 1994).
4.4.
Uji Penetrasi Mikroemulsi Natrium Diklofenak
4.4.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi Natrium Diklofenak dalam Dapar Fosfat pH 7,4 Natrium diklofenak ditimbang sebanyak 50,7 mg, dimasukkan ke dalam labu tentukur 100,0 mL dan dicukupkan volumenya. Larutan ini mempunyai konsentrasi natrium diklofenak sebesar 507 ppm. Kemudian larutan ini dipipet 10,0 mL ke dalam labu tentukur 100,0 mL sehingga diperoleh larutan induk dengan konsentrasi 50,7 ppm. Selanjutnya dilakukan pengenceran dari larutan induk hingga diperoleh beberapa konsentrasi dan diukur serapannya pada λ maksimum 276,0 nm. Persamaan kurva kalibrasi yang diperoleh yaitu y = -0,00169 + 0,02734 x dengan nilai r = 0,99987 Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
Serapan
51
0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 0
5
10
Konsentrasi (ppm)
15 y = 0.027x - 0.001 R² = 0.999
Gambar 4.4. Kurva kalibrasi natrium diklofenak dalam dapar fosfat pH 7,4
4.4.2 Pembuatan Kurva Kalibrasi Baku Pembanding Natrium Diklofenak dalam Dapar Fosfat pH 7,4 Natrium diklofenak dengan kemurnian sebesar 99,74 ± 11,37% ,37% ditimbang sebanyak 50,0 mg, dimasukkan ke dalam labu tentukur 50,0 mL dan dicukupkan volumenya. Larutan ini mempunyai konsentrasi natrium diklofenak 1000 ppm. Kemudian larutan ini dipipet 10,0 mL ke dalam labu tentukur 100,0 mL sehingga
diperoleh larutan induk dengan konsentrasi 100 ppm. Dari larutan induk, dilakukan pengenceran hingga diperoleh beberapa konsentrasi dan diukur serapannya pada λ maksimum 276,0 nm. Selanjutnya dihitung kadar natrium diklofenak terhadap baku pembanding natrium diklofenak. Persamaan kurva kalibrasi yang diperoleh yaitu y = 0,00294 + 0,03187 x dengan nilai r = 0,99990
Kadar natrium diklofenak terhadap baku pembanding sebesar 82,46%
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
Serapan
52
0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0
5
10
15
20 25 y = 0.031x + 0.002 Konsentrasi (ppm) R² = 0.999
Gambar 4.5. Kurva kalibrasi baku pembanding natrium diklofenak dalam dapar fosfat pH 7,4
4.4.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi Natrium Diklofenak dalam Metanol Natrium diklofenak ditimbang sebanyak 50,8 mg, dimasukkan ke dalam labu tentukur 100,0 mL dan dicukupkan volumenya. Larutan ini mempunyai konsentrasi natrium diklofenak sebesar 508 ppm. Kemudian larutan ini dipipet 10,0 mL ke dalam labu tentukur 100,0 mL sehingga diperoleh larutan induk dengan konsentrasi 100,2 ppm. Dari larutan induk, dilakukan pengenceran hingga diperoleh beberapa konsentrasi dan diukur serapannya pada λ maksimum 282,0 nm. Persamaan kurva kalibrasi yang diperoleh yaitu y = -0,03829 + 0,03764 x dengan nilai r = 0,99967
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
Serapan
53
1 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0
10
20
30
Konsentrasi (ppm) y = 0.037x - 0.038 R² = 0.999
Gambar 4.6. Kurva kalibrasi natrium diklofenak dalam metanol
4.4.4 Penetapan Kadar Natrium Diklofenak dalam Mikroemulsi Penetapan kadar natrium diklofenak dalam mikroemulsi dilakukan secara spektrofotometer UV-Vis dengan pelarut metanol. Metanol dipilih karena dapat memecah mikroemulsi dan dapat melarutkan natrium diklofenak dengan baik. Cara pengerjaannya yaitu mikroemulsi dikocok dengan metanol hingga mikroemulsi pecah dan tampak berwarna putih. Selanjutnya campuran ini dimasukkan ke tabung sentrifugasi secara kuantitatif dan disentrifugasi untuk memisahkan fase metanol dan fase minyak. Supernatan metanol dipisahkan dari minyak dengan disaring menggunakan filter membran Milipore® dengan ukuran pori 0,45 µm. Hasil penyaringan itu dimasukkan ke dalam labu tentukur, dicukupkan volumenya dan diukur serapannya dengan spektrofotometer UV-Vis pada λ = 282 nm. Pergeseran hipsokromik panjang gelombang spektrum natrium diklofenak ini karena adanya interaksi antara tween 80 dengan natrium diklofenak (Mehta, Bala & Sharma, 2005). Pengukuran serapan sample mikroemulsi dengan spektrofotometer UVVis menggunakan baseline berupa basis mikroemulsi tanpa natrium diklofenak. Hal ini berfungsi untuk menolkan serapan dari komponen pembentuk mikroemulsi yang mempunyai gugus kromofor sehingga serapan yang diperoleh hanya serapan natrium diklofenak saja. Hasil penetapan kadar yang didapat sebesar 1,1310% dan 1,1148% dengan rata-rata sebesar 1,1229%. Hasil penetapan kadar natrium diklofenak yang lebih Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
54
tinggi dari yang dimasukkan dalam formula (1%) karena menguapnya etanol dalam sediaan mikroemulsi sehingga konsentrasi natrium diklofenak menjadi lebih tinggi dari seharusnya.
4.4.5 Uji Penetrasi Mikroemulsi Natrium Diklofenak dengan Metode Sel Difusi Franz Uji penetrasi dengan sel difusi Franz menggunakan kulit tikus sebagai membran antara kompartemen donor dan kompartemen reseptor. Tikus yang digunakan adalah tikus betina galur Spraque Dawley berumur 2-3 bulan. Permeabilitas kulit tikus ini sesuai dengan permeabilitas kulit manusia yaitu sebesar 103,08 x 10-5 cm2/jam (Walters, 2002). Umur tikus yang digunakan yaitu 2-3 bulan karena semakin tua umur tikus, maka ketebalan stratum korneum kulit akan semakin besar sehingga permeabilitasnya akan semakin rendah (Walters, 2002). Supaya bisa digunakan sebagai membran sel difusi Franz, tikus yang telah dikorbankan harus dicukur bulunya dengan hati-hati. Hal ini bertujuan untuk mencegah robeknya kulit yang akan digunakan. Selanjutnya lemak subkutan dihilangkan karena lemak dapat mengganggu penetrasi obat melalui kulit. Kulit yang sudah dihilangkan lemak subkutan dapat langsung digunakan atau bisa disimpan dahulu dalam lemari es pada suhu 4OC selama maksimal 24 jam. Sebelum kulit digunakan sebagai membran, kulit harus dihidrasi dulu dengan cairan di kompartemen reseptor yaitu dapar fosfat pH 7,4 selama minimal 30 menit pada suhu ruang. Selama uji penetrasi dengan sel difusi Franz, kompartemen reseptor alat dijaga suhunya dengan termostat sebesar 37±0,5OC yang melambangkan suhu tubuh. Untuk menjamin homogenitas cairan, kompartemen reseptor diaduk dengan pengaduk magnetik dengan kecepatan 250 rpm. Kecepatan ini digunakan karena dianggap kecepatan yang sesuai. Kecepatan yang lebih tinggi dari 250 rpm akan menimbulkan gelembung udara pada perbatasan antara membran kulit dan cairan kompartemen reseptor sehingga menghalangi kontak langsung antara membrane kulit dengan cairan di kompartemen reseptor. Kecepatan yang lebih
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
55
rendah dari 250 rpm akan sulit untuk menghomogenkan cairan di kompartemen reseptor. Kompartemen reseptor mempunyai volume yang besar bila dibandingkan dengan jumlah zat yang berpenetrasi. Volume yang besar ini bertujuan agar dapat menampung volume cairan yang besar sehingga menciptakan kondisi sink. Kondisi sink adalah suatu keadaan dimana volume cairan untuk melarutkan zat sangat besar sehingga tidak akan menghambat penetrasi obat. Hal ini terjadi karena volume cairan yang besar tidak akan menyebabkan terjadinya kejenuhan di kompartemen reseptor. Selain itu volume cairan yang besar akan menyebabkan konsentrasi obat yang berada di kompartemen reseptor menjadi sangat kecil sehingga gradien konsentrasi obat di kompartemen donor dan reseptor menjadi besar. Gradien konsentrasi ini yang besar ini harus tetap dijaga karena penetrasi obat dari kompartemen donor ke kompartemen reseptor berdasarkan prinsip difusi pasif yang menggunakan gradien konsentrasi obat sebagai gaya dorong penetrasi obat. Sediaan mikroemulsi ditimbang sebanyak ±1,0 gram dan dimasukkan ke kompartemen donor secara hati-hati dan tidak menyentuh dinding kompartemen donor karena dapat mengurangi jumlah sediaan yang akan diuji. Selanjutnya kompartemen donor ditutup dengan plastik untuk menghindari kontaminasi sediaan di kompartemen donor. Cairan reseptor yang digunakan yaitu dapar fosfat pH 7,4 yang sesuai dengan pH cairan plasma darah (Sherwood, 2001). Natrium diklofenak yang telah meninggalkan sediaan mikromulsi akan terlarut di dalam cairan reseptor. Untuk mengetahui konsentrasi obat di kompartemen reseptor dilakukan pengambilan sample sebanyak 0,5 mL pada menit ke 30, 60, 90, 120, 180, 240, 300, 360, 420 dan 480. Waktu pengambilan sample pada menit-menit awal lebih rapat daripada waktu pengambilan sample menit-menit pertengahan hingga akhir. Hal ini karena pada menit-menit awal merupakan waktu lag (Sinko, 2011). Cairan sample yang diambil dari kompartemen reseptor dimasukkan ke dalam labu tentukur 5,0 mL, dicukupkan volumenya hingga batas dan dikocok homogen sehingga diperoleh pengenceran sebesar 10 kali. Setiap kali pengambilan sample sebesar 0,5 mL harus segera digantikan dengan cairan Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
56
reseptor baru untuk menjaga volume cairan di kompartemen reseptor tetap konstan yaitu sebesar 13 mL. Konsentrasi obat di kompartemen donor akan turun dan konsentrasi obat di kompartemen reseptor akan naik sampai keadaan ekuilibrium pada waktu tertentu dan konsentrasi tertentu. Hasil serapan yang diperoleh dimasukkan ke persamaan regresi dan diperloleh konsentrasi obat terpenetrasi. Dari data konsentrasi tersebut, dapat dihitung jumlah kumulatif, fluks total dan fluks tiap waktu obat terpenetrasi. Selanjutnya jumlah kumulatif obat terpenetrasi diplotkan tiap waktu pengambilan sample. Persamaan regresi yang diperoleh dari jumlah kumulatif ini menunjukkan fluks total obat terpenetrasi. Fluks tiap waktu diperoleh dari perbandingan jumlah kumulatif terpenetrasi terhadap waktu difusi dilakukan. Uji penetrasi dengan sel difusi Franz ini dilakukan dengan dua cara yaitu uji penetrasi jam demi jam yang dihentikan sampai waktu pengambilan sample yang diinginkan (metode A) dan uji penetrasi yang dihentikan setelah 8 jam (metode B). Hasil yang diperoleh dari kedua metode agak berbeda, baik dalam hal jumlah kumulatif terpenetrasi dan fluks total. Perbandingan hasil jumlah kumulatif dengan kedua metode dapat dilihat pada Gambar 4.9 dan perbandingan hasil fluks tiap jam dengan kedua metode dapat dilihat pada Gambar 4.10. Hasil yang diperoleh dari metode A yaitu jumlah kumulatif terpenetrasi sebesar 639,62 µg cm-2jam-1, fluks total sebesar 70,62 µg cm-2jam-1 (Gambar 4.7). Hasil yang diperoleh dari metode B yaitu jumlah kumulatif terpenetrasi sebesar 628,88 µg cm-2jam-1 dan fluks total sebesar 70,53 µg cm-2jam-1 (Gambar 4.8). Perbedaan ini mungkin disebabkan karena variasi-variasi dalam uji penetrasi seperti perbedaan membran kulit yang digunakan. Pada kedua metode, grafik fluks tiap waktu (Gambar 4.10) yang diperoleh menunjukkan puncak yang tinggi pada jam ke-0,5 (menit ke-30) kemudian menurun bertahap dan akhirnya mencapai mendatar. Puncak yang tinggi pada menit ke-30 ini menunjukkan laju pelepasan obat secara cepat pada menit ke-0 sampai ke menit ke-30. Pada menit ke-0 belum ada natrium diklofenak yang terpenetrasi (Q = 0 µg cm-2jam-1) sehingga gradien konsentrasi obat antara kompartemen donor dan kompartemen reseptor menjadi sangat besar. Setelah menit ke-30, laju pelepasan obat menurun perlahan karena gradien konsentrasi Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
57
obat antara kompartemen donor dan reseptor mulai berkurang. Hal ini terjadi karena natrium diklofenak sudah mulai berpenetrasi ke dalam kompartemen reseptor. Grafik fluks tiap waktu yang mendatar menandakan bahwa kondisi sudah mencapai kondisi tunak. Pada kondisi ini, kenaikan jumlah kumulatif terpenetrasi sudah konstan tiap waktu. Jumlah kumulatif obat yang terpenetrasi ke kompartemen reseptor sel difusi Franz dikalikan dengan faktor koreksi sebesar 1,2158 karena kadar natrium diklofenak yang digunakan di sediaan hanya sebesar 82,46% terhadap baku pembanding dengan kemurnian 99,74%. Hasil menunjukkan bahwa selama 8 jam jumlah kumulatif obat yang terpenetrasi sebesar 9,3185%. Jumlah kumulatif terpenetrasi natrium diklofenak terpenetrasi dari sediaan ini lebih rendah dari mikroemulsi yang dibuat oleh Dewi (2007) dan Widiastuti (2010). Dewi (2007) membandingkan jumlah kumulatif natrium diklofenak terpenetrasi yang dibuat dengan fase minyak isopropil palmitat dan minyak kelapa sawit. Surfaktan yang digunakan yaitu tween 80 sebesar 40% dan lesitin sebesar 5%. Kosurfaktan yang digunakan yaitu etanol 96% sebesar 2%. Fase minyak yang digunakan sebesar 5%. Mikroemulsi yang dibuat dari fase minyak berupa isopropil palmitat mempunyai jumlah kumulatif terpenetrasi sebesar 706,63 ± 32,73 µg cm-2 dan fluks pada jam ke-8 sebesar 88,33 ± 4,09 µg cm-2 jam-1 . Mikroemulsi yang dibuat dari fase minyak berupa minyak kelapa sawit mempunyai jumlah kumulatif terpenetrasi sebesar 1058,67 ± 73,12 µg cm-2 dan fluks pada jam ke-8 sebesar 132,33 ± 9,14 µg cm-2 jam-1 . Hasil jumlah kumulatif natrium diklofenak yang dibuat oleh Dewi (2007) lebih tinggi dari yang dibuat dalam penelitian ini (jumlah kumulatif sebesar 626,12 ± 3,88 µg cm-2 dan fluks dan fluks pada jam ke-8 sebesar 78,27 ± 0,48 µg cm-2 jam-1) karena di dalam formula digunakan lesitin sebagai surfaktan. Lesitin dapat berperan untuk meningkatkan penetrasi obat karena lesitin adalah golongan fosfolipid yang dapat meningkatkan penetrasi obat dengan cara mengoklusi permukaan kulit sehingga dapat menghidrasi kulit (Williams & Barry, 2004). Widiastuti (2010) membandingkan jumlah kumulatif natrium diklofenak terpenetrasi yang dibuat dengan fase minyak isopropil laurat dan minyak VCO. Surfaktan yang digunakan yaitu tween 80 sebesar 40%. Kosurfaktan yang Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
58
digunakan yaitu etanol 96% sebesar 3%. Fase minyak yang digunakan sebesar 3%. Mikroemulsi yang dibuat dari fase minyak berupa isopropil laurat mempunyai jumlah kumulatif terpenetrasi sebesar 929,81 ± 15,36 µg cm-2 dan fluks pada jam ke-8 sebesar 123,73 ± 0,2 µg cm-2 jam-1. Mikroemulsi yang dibuat dari fase minyak berupa minyak VCO mempunyai jumlah kumulatif terpenetrasi sebesar 969,68 ± 51,91 µg cm-2 dan fluks pada jam ke-8 sebesar 121,23 ± 10,02 µg cm-2 jam-1. Hasil jumlah kumulatif dan fluks natrium diklofenak yang dibuat oleh Widiastuti (2010) lebih tinggi dari yang dibuat dalam penelitian ini (jumlah kumulatif sebesar 626,12±3,88 µg cm-2 dan fluks pada jam ke-8 sebesar 78,27 ± 0,48 µg cm-2 jam-1) karena hanya menggunakan tween 80 sebesar 40%. Arrelano, Santoyo, Martn & Ygartua menyatakan bahwa tween 80 dapat menurunkan laju penetrasi natrium diklofenak karena peristiwa solubilisasi. Peristiwa ini adalah terperangkapnya obat di dalam misel karena konsentrasi tween 80 yang digunakan lebih tinggi daripada konsentrasi misel kritik. Terperangkapnya obat di dalam misel dapat menurunkan laju penetrasi obat karena obat yang dapat berpenetrasi hanya yang berada dalam bentuk bebas.
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
Jumlah natrium diklofenak (µg cm-2)
59
700 600 500 400
y 2 = 61.57x + 149.5 R² = 0.968
300 200 100
y 1 = 211.4x + 6.203 R² = 0.989
0 0
2
4
6
8
10
Waktu (jam)
Gambar 4.7. Profil jumlah kumulatif natrium diklofenak terpenetrasi
Jumlah natrium diklofenak (µg cm-2)
dengan metode A
700 600 500
y2 = 67.77x + 83.78 R² = 0.982
400 300 200 100
y 1 = 175.4x + 12.56 R² = 0.942
0 0
2
4
6
8
10
Waktu (jam)
Gambar 4.8. Profil jumlah kumulatif natrium diklofenak terpenetrasi dengan cara B
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
Jumlah natrium diklofenak (µg cm-2)
60
700 600 500 400 300 200 100 0 0
2
4
6
8
10 cara B
Waktu (jam)
cara A
Gambar 4.9. Perbandingan hasil jumlah kumulatif natrium diklofenak
fluks natrium diklofenak (µg cm-2 jam-1)
terpenetrasi dengan kedua metode
300 250 200 150 100 50 0 0
2
4
6
8
Waktu (jam)
10 cara B cara A
Gambar 4.10. Perbandingan hasil fluks natrium diklofenak tiap waktu dengan kedua metode
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
61
4.4.6 Uji Penetrasi Mikroemulsi Natrium Diklofenak dengan Metode Tape
Stripping
4.4.6.1 Penentuan Jumlah Lapisan Stratum Korneum Kulit Abdomen Tikus Penentuan jumlah lapisan stratum korneum abdomen kulit tikus bertujuan untuk mengetahui jumlah bahan perekat yang diperlukan untuk menarik seluruh lapisan stratum korneum. Dengan tertariknya seluruh lapisan stratum korneum, maka jumlah natrium diklofenak yang terdapat di lapisan stratum korneum dapat ditentukan. Untuk mengetahui jumlah bahan perekat yang dapat menarik seluruh lapisan stratum korneum kulit abdomen tikus, maka dibuat preparat kulit tikus yang telah ditempel dengan bahan perekat sebanyak 8, 10, 12, 13, 14 dan 15 kali. Selanjutnya kulit direndam dalam larutan Bouin selama 24 jam. Larutan Bouin terdiri dari 75 ml asam pikrat, 25 ml formalin dan 5 ml asam asetat glasial. Formalin berperan sebagai larutan fiksasi yang berfungsi menjaga struktur dan distribusi organel sel. Asam pikrat berperan dalam mengkoagulasi protein, tetapi dapat menyusutkan sel. Asam asetat berperan dalam mengkoagulasi kromatin dan mencegah penyusutan sel yang disebabkan oleh asam pikrat. Reaksi formalin dengan protein sel dalam pH larutan Bouin yang asam yaitu 1,5-2,0 lebih cepat daripada dalam pH netral. Penyimpanan jaringan dalam larutan Bouin yang lebih lama dari 24 jam dapat menyebabkan hidrolisis DNA dan RNA sel. Langkah berikutnya yaitu dehidrasi air dari jaringan. Hal ini bertujuan karena cairan jaringan tidak kompatibel dengan larutan pembenaman dan untuk mencegah adanya kontaminasi dari bakteri ataupun jamur. Dehidrasi ini dilakukan dengan merendam jaringan dalam alkohol dengan konsentrasi meningkat. Setelah direndam dalam alkohol konsentrasi tertinggi, jaringan diinfiltrasi dan dibenamkan dalam medium parafin untuk memudahkan pemotongan jaringan. Pemotongan jaringan dilakukan secara longitudinal dengan ketebalan 7 µm karena dilakukan pengamatan dnegan mikroskop cahaya. Setelah dipotong, jaringan diberi larutan xylol untuk melarutkan parafin dan direhidrasi kembali supaya dapat dilakukan pewarnaan.
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
62
Selanjutnya jaringan dilakukan pewarnaan jaringan. Jaringan perlu diwarnai karena jaringan tidak mempunyai kontras yang baik, sehingga dibutuhkan pewarna untuk memvisualisasikan strukturnya. Pewarna jaringan yang umum dipakai yaitu Hematoxylin dan Eosin (H&E) karena dapat mewarnai jaringan dengan baik dan dapat memberikan warna berbeda terhadap warna jaringan dan warna organel sel. Prinsip pewarnaan ini yaitu terjadi pewarnaan karena adanya ikatan antara muatan pewarna dan jaringan. Hematoxylin bermuatan positif sehingga dapat berikatan dengan sel bermuatan negatif, seperti asam nukleat. Hematoxylin memberikan warna ungu atau biru sehingga asam nukleat sel tampak bewarna biru pada pengamatan dengan mikroskop. Eosin bermuatan negatif sehingga dapat berikatan dengan sel bermuatan positif, seperti sitoplasma. Eosin memberikan warna merah sehingga sitoplasma sel tampak berwarna merah. Setelah itu jaringan didehidrasi kembali dan dapat diamati dengan mikroskop. Tujuan dehidrasi kembali ini adalah untuk mencegah kontaminasi jamur pada preparat. Hasil yang diperoleh yaitu pada preparat kontrol (sebelum dilakukan penempelan bahan perekat) masih terdapat stratum korneum yang tebal. Pada penempelan sebanyak 8 dan 10 kali masih terdapat stratum korneum. Hasil pengamatan preparat mikroskop menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah penempelan bahan perekat, maka semakin tipis lapisan stratum korneum yang tertinggal di kulit. Pada penempelan bahan perekat sebanyak 12 kali, stratum korneum telah terangkat semua sehingga untuk prosedur tape stripping dilakukan penempelan bahan perekat sebanyak 12 kali.
4.4.6.2 Uji Penetrasi Mikroemulsi dengan Metode Tape Stripping Metode tape stripping adalah metode non invasiv untuk mengukur jumlah obat yang tertinggal di kulit menggunakan bahan perekat. Metode pengerjaannya yaitu bahan perekat ditempelkan berulang kali pada kulit yang hendak diuji, bahan perekat tersebut dikumpulkan dan diekstraksi untuk mengetahui kadar obat yang tertinggal di stratum korneum kulit. Kadar obat hasil ekstraksi ditentukan dengan instrumen yang sesuai.
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
63
Sebelum dilakukan uji penetrasi dengan metode ini, harus diketahui dahulu jumlah lapisan stratum korneum kulit yang akan diuji. Secara teoretis, setiap bahan perekat akan menarik satu lapisan stratum korneum. Dengan demikian, jumlah lapisan stratum korneum menunjukkan jumlah bahan perekat yang harus ditempelkan pada kulit yang akan diuji. Jumlah bahan perekat untuk menarik seluruh lapisan stratum korneum kulit ditentukan dengan membuat preparat kulit yang telah ditempelkan bahan perekat dengan jumlah tertentu dan diamati penampang membujur kulit menggunakan mikroskop. Penampang kulit diamati dan dicatat jumlah bahan perekat yang diperlukan untuk menarik seluruh lapisan stratum korneum. Selanjutnya jumlah bahan perekat ini digunakan dalam semua langkah pengerjaan berikutnya. Berdasarkan hasil pengamatan dengan mikroskop, diperoleh data bahwa penempelan bahan perekat sebanyak 12 kali pada kulit abdomen tikus betina, akan berhasil menghilangkan seluruh lapisan stratum korneum. Oleh sebab itu, dalam metode pengerjaan berikutnya, dilakukan penempelan bahan perekat sebanyak 12 kali. Kulit tikus yang telah digunakan sebagai membran pada sel difusi Franz, dilepaskan dan dibilas dengan dapar fosfat pH 7,4 untuk menghilangkan sisa sediaan yang masih tertempel pada kulit. Selanjutnya kulit dikeringkan dengan pengering untuk memudahkan penempelan bahan perekat. Selanjutnya kulit diletakkan pada alas dan ditempelkan bahan perekat secara berulang sampai 12 kali. Bahan perekat pada penempelan pertama tidak dikumpulkan bersama bahan perekat lain yang akan diekstraksi karena mengandung sediaan yang tidak terabsorbsi oleh kulit. Bahan perekat kedua hingga keduabelas dikumpulkan dalam suatu wadah dan dilakukan proses ekstraksi. Proses ekstraksi obat dari bahan perekat bisa menggunakan berbagai metode. Salah satunya adalah dengan metode sonikasi. Sonikasi dapat mengekstraksi obat karena getaran ultrasonik akan membuat kontak yang dekat antara bahan perekat dan pelarutnya (Mitra, 2003). Ekstraksi dilakukan secara bertingkat dengan menambahkan pelarut dapar fosfat pH 7,4 dan dilakukan sonikasi. Sonikasi selama 15 menit dilakukan dua kali dengan volume dapar fosfat pH 7,4 sebesar 40 ml karena lebih banyak obat yang Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
64
terekstraksi menggunakan ekstraksi bertingkat daripada ekstraksi tunggal dengan volume dapar fosfat pH 7,4 sebesar 80 ml (Mitra, 2003). Hasil ekstraksi bertingkat dikumpulkan, dikocok homogen dan diukur serapannya dengan spektrofotometer UV-Vis. Kadar natrium diklofenak yang terekstraksi dari bahan perekat setiap waktu pengambilan sample tidak menunjukkan hasil linear. Hasil ini sesuai dengan penelitian Jui-Chen Tsai; Cappel, Weiner, Flynn, & Ferry (1991). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada interaksi khusus antara zat dengan stratum korneum kulit. Rata-rata hasil jumlah natrium diklofenak yang tertinggal di kulit dari jam ke-0 sampai jam ke-8 sebesar 51,23 ± 21,20 µg. Simpangan deviasi yang besar menunjukkan bahwa kadar obat tertinggal di kulit berfluktuasi dan tidak konstan
Jumlah Natrium Diklofenak (%)
setiap waktu.
0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0
2
4
6
8
10
Waktu (jam)
Gambar 4.11. Profil jumlah natrium diklofenak tertinggal di kulit
4.4.6 Penentuan Kadar Natrium Diklofenak yang Tertinggal di Kompartemen Donor setiap Waktu Pengambilan Sample Setiap kali waktu pengambilan sample, kadar natrium diklofenak yang tertinggal di kompartemen donor ditentukan menggunakan cara yang sama seperti uji perolehan kembali. Hasil penentuan kadar natrium diklofenak di kompartemen donor tidak menunjukkan hasil seperti yang diharapkan yaitu menurun seiring bertambahnya Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
65
waktu pengambilan sample. Konsentrasi obat yang tertinggal di sediaan di dalam kompartemen donor yang masih tinggi ini disebabkan karena konsentrasi tween 80 yang tinggi dalam sediaan dapat menurunkan laju penetrasi natrium diklofenak
Jumlah Natrium Diklofenak (%)
dalam mikroemulsi (Arellano, Santoyo, Martn & Ygartua, 1998).
110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
2
4
6
8
10
Waktu (jam)
Gambar 4.12. Profil jumlah natrium diklofenak di kompartemen donor
4.4.6 Penentuan Hubungan Antara Hasil Uji Penetrasi dengan Metode Sel Difusi Franz dan Metode Tape Stripping Hubungan antara hasil uji penetrasi kedua metode dilakukan dengan menjumlahkan persentase obat yang terpenetrasi di kompartemen reseptor, persentase obat yang tertinggal di kulit dan persentase obat yang masih tertinggal di sediaan di kompartemen donor. Penjumlahan persentase kadar obat yang terdapat di kompartemen donor, di kulit dan di kompartemen reseptor mendekati 100%. Hasil persentase yang lebih besar dari 100% disebabkan karena menguapnya etanol di dalam sediaan mikroemulsi.
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
66
100
90
80
Jumlah Natrium Diklofenak (%)
70
60
50
40
30
20
10
0 0
2
4
6
8
10
waktu (jam) kompartemen reseptor
kompartemen donor
kulit
Gambar 4.13. Grafik persentase jumlah natrium diklofenak di kompartemen donor, kulit dan kompartemen reseptor Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
Kesimpulan
1.
Mikroemulsi natrium diklofenak dapat dibuat dengan konsentrasi tween 80 sebagai surfaktan sebanyak 45%, konsentrasi VCO sebagai fase minyak sebanyak 5%, konsentrasi etanol sebagai kosurfaktan sebanyak 10%, konsentrasi propilen glikol sebagai kosolven sebanyak 5% dan konsentrasi natrium diklofenak sebanyak 1%. Hasil uji penetrasi natrium diklofenak dengan metode sel difusi Franz menunjukkan bahwa selama 8 jam, obat hanya terpenetrasi sebesar 9, 3185%. Hasil uji penetrasi mikroemulsi natrium diklofenak dengan metode tape stripping menunjukkan bahwa obat tidak tertahan dalam jumlah besar di lapisan stratum korneum kulit.
2.
Terdapat korelasi antara hasil uji penetrasi antara metode sel difusi Franz dan metode tape stripping. Hal ini dibuktikan dengan penjumlahan konsentrasi natrium diklofenak di kompartemen donor, kulit dan kompartemen reseptor yang berkisar sebesar 100%.
3.
Interaksi natrium diklofenak dengan stratum korneum bukan interaksi yang bermakna karena hanya sedikit natrium diklofenak yang menembus stratum korneum. Hal ini terjadi karena adanya interaksi antara natrium diklofenak dengan tween 80 yang jumlahnya sangat banyak di dalam formula melalui peristiwa solubilisasi miselar.
5.2
Saran Perlu dilakukan perbaikan formula berupa penurunan konsentrasi tween 80 pada penelitian selanjutnya. Penurunan konsentrasi tween 80 dalam formula mikroemulsi akan dapat meningkatkan jumlah obat yang lepas dari sediaan.
67
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
68
DAFTAR ACUAN
Ansel, Howard. (2005). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi (Ed ke-4.) (Farida Ibrahim, Penerjemah.). Depok : UI Press. 492-494. Arellano A., Santoyo S., Martn C. & Ygartua P. (1998). Surfactant Effects on the in Vitro Percutaneous Absorption of Diclofenac Sodium. European Journal of Drug Metabolism and Pharmacokinetics, 23, 307-312. Au, Wai Lin; Skinner, Michael & Kanfer, Isadore. (2010). Comparison of Tape Stripping with the Human Skin Blanching Assay for the Bioequivalence Assessment of Topical Clobetasol Propionate Formulations. Journal of Pharmaceutical Sciences, 13, 11-20. Barakat, Nahla; Fouad, Ehab & Elmedanny, Azza. (2011). Formulation Design of Indomethacin-Loaded Nanoemulsion For Transdermal Delivery. Pharmaceutical Analytica Acta, 3, 155-162. Barry, Williams. (2004). Penetration Enhancer, Advanced Drug Delivery Reviews, 56, 603-621. Belitz, H-D; Grosch W. & Schieberle P. (2010). Food Chemistry (4th ed.). Jerman : Springer. 460. Benson, Heather A.E. & Watkinson, Adam C. (2012). Topical and Transdermal Drug Delivery : Principal and Practice. New Jersey : John Wiley & Sons. Bosman, Lawant A.L., Avegaart S.R., Ensing K., Zeeuw, R.A. (1996). A Novel Diffusion Cell for In Vitro Transdermal Permeation, Compatible with Automated Dynamic Sampling. Journal of Pharmaceutical and Biomedical Analysis, 1015 – 1023. Bronaugh, Robert & Maibach, Howard. (2005). Percutaneous Absorption : Drug Cosmetic Mechanism Methodology (4th ed.). USA : Taylor & Francis Group. 708. Brookfield Dial Viscometer. Brookfield Dial Viscometer : Operating Instructions. USA : Brookfield Engineering Laboratories Cosgrove, Terence. (2010). Colloid Science Principles Methods and Applications. UK : John Wiley & Sons. 77-81. Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
69
Chuasuwan et.al. (2009). Biowaiver Monographs for Immediate Release Solid Oral Dosage Forms: Diclofenac Sodium and Diclofenac Potassium. Journal of Pharmaceutical Sciences, 98,. 1206-1219 Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (2007). Farmakologi dan Terapi (Ed ke-5). Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 240. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Farmakope Indonesia (Ed ke4). Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1030, 1039-1040. Dewi, Martha. (2007). Formulasi Mikroemulsi Topikal Menggunakan Fase Minyak Isopropil Palmitat dan Minyak Kelapa Sawit dengan Natrium Diklofenak sebagai Model Obat. Skripsi Program Sarjana Farmasi. Depok : Departemen Farmasi FMIPA UI. Dhikav, Vikas; Singh, Sindhu; Pande, Swati, Chawla, Atul, & Anand, Kuljeet Singh. (2004). Non-Steroidal Drug-Induced Gastrointestinal Toxicity: Mechanisms and Management. Journal, Indian Academy of Clinical Medicine, 4 ,315-322. Djajadisastra, Joshita. (2004, November). Cosmetic Stability. Bahan disampaikan pada Seminar Setengah Hari HIKI, Jakarta. Djakovit & Dokit. (1978). Changes of Viscous Characteristics of Oil in Water Emulsions During Homogenization. Colloid & Polymer Sci. 256, 11771181. Fisher Scientific. (2006). Fisher Surface Tensiomat Model 21. Iowa : Fisher Scientific. Heynemann, Catherine A. ; Liday, Cara Lawless & Wall, Geoffrey C. (2000). Oral versus Topical NSAIDs in Rheumatic Diseases : A Comparison. Drugs, 60, 555-574. Jui-Chen Tsai ; Cappel, Markus; Weiner, Norman; Flynn, Gordon & Ferry, James. (1991). Solvent Effects on the Harvesting of Stratum Corneum from Hairless Mouse Skin through Adhesive Tape Stripping In Vitro. International Journal of Pharmaceutics, 68, 127-133.
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
70
Jui-Chen Tsai ; Cappel, Markus; Weiner, Norman; Flynn, Gordon & Ferry, James. (1991). Properties of Adhesive Tapes Used for Stratum Corneum Stripping. International Journal of Pharmaceutics, 72, 227-231. Kishore, Ravuri et.al. (2011). The Degradation of Polysorbates 20 and 80 and its Potential Impact on the Stability of Biotherapeutics. Pharmaceutical Research, 28, 1194-1210. Klang, Victoria, et.al. (2012). In Vitro vs. In Vivo Tape Stripping: Validation of the Porcine Ear Model and Penetration Assessment of Novel Sucrose Stearate Emulsions. European Journal of Pharmaceutics and Biopharmaceutics, 80, 604-614. Kulkarni, Vitthal. (2010). Handbook of Non Invasive Drug Delivery System. USA : Elsevier. 13. Kulshreshtha, Alok; Singh, Onkar & Wall, Michael. (2010). Pharmaceutical Suspensions : From Formulation Development to Manufacturing. New York : Springer. 14. Kumar, Promod. (1999). Handbook of Microemulsion Science and Technology. New York : Marcel Dekker. Lachman, L; H.A. Lieberman, J.L. Kanig. (1994). Teori dan Praktek Farmasi Industri (Ed ke-3). (Siti Suyatmi, Penerjemah.). Jakarta : UI Press. 1081. Lademann, Jacobi, Surber, Weigmann & Fluhr. (2008). The Tape Stripping Procedure – Evaluation of Some Critical Parameters. European Journal of Pharmaceutics and Biopharmaceutics, 72, 317-323. Lide, David R. & Haynes, William M. (2010). CRC Handbook of Chemistry and Physics (Ed ke-90) . Florida : CRC Press. Lucida, Henny; Salman, & Hervian, Sukma. (2008). Uji Daya Penetrasi Virgin Coconut Oil (VCO) dalam Basis Krim. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, 13, 23-30. Maghraby, Gamal. (2008). Transdermal Delivery of Hydrocortisone from Eucalyptus Oil Microemulsion: Effects of Cosurfactants, International Journal of Pharmaceutics, 355 , 285-292.
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
71
Mehta, S.K.; Bala, Neeru & Sharma, Shweta. (2005). Thermodynamics of Aggregation of Tweens in the Presence of Diclofenac Sodium. Journal of Colloids and Surfaces, 268, 90-98. Mitra, Somenath. (2003). Sample Preparation Technique in Analytical Chemistry. New Jersey : John Wiley & Sons. 145-146. Mitsui, Takeo. (1997). New Cosmetic Science (1st ed.). Amsterdam : Elsevier. 2021. Moffat, Anthony; Osselton, David & Widdop, Brian. (2011). Clarke’s Analysis of Drug and Poison (4th ed.). Itali : Pharmaceutical Press. 1238-1239. Mulla, Adam. (1998). Droplet Coalescence in the Shear Flow of Model Emulsions. Tesis Departemen Teknik Kimia. Universitas West Virginia. Murthy, Narasimha. (2011). Dermatokinetics of Therapeutic Agents. USA : CRC Press. 3-5, 10, 83-86. Pakurar, Alice & Bigbee, John. (2004). Digital Histology : An Interactive CD Atlas with Review Text. New Jersey : John Wiley & Sons. 1-3. Pathan, Inayat Bashir & Setty, Mallikarjuna. (2009). Chemical Penetration Enhancers for Transdermal Drug Delivery Systems. Tropical Journal of Pharmaceutical Research, 8, 173-179. Pellett, M.A. ; Robert, M.S. & Hadgraft, J. (1997). Supersaturated Solutions Evaluated with an In Vitro Stratum Corneum Tape Stripping Technique. International Journal of Pharmaceutics, 151, 91-98. Rowe, Raymond ; Sheskey, Paul; Quinn Marian. (2009). Handbook of Pharmaceutical Excipient (6th ed.). London : Pharmaceutical Press. 17-18, 75-76, 181-182, 441-444, 549, 592-593, 596-597. Sinko, Patrick. (2011). Martin’s Physical Pharmacy and Pharmaceutical Sciences (6th ed.). Cina: Lippincot Williams & Wilkins. 355-367, 469-473. Smith, Eric & Maibach, Howard. (2006). Percutaneous Penetration Enhancer (2nd ed). USA : Taylor & Francis Group. 17-29. Shah, Vinod & Maibach, Howard. (1993). Topical Drug Bioavailability, Bioequivalence and Penetration. New York : Plenum Press. 230. Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
72
Shahidi, Fereidoon. (2005). Bailey’s Industrial Oil and Fat Products (Ed ke-6). New York : John Wiley & Sons. 440-441. Sherwood, Lauralee. (2001). Fisiologi Manusia : dari Sel ke Sistem (Ed ke-2). (Brahm Pendit ,Penerjemah.). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 512. Swarbrick, James. (2007). Encyclopedia of Pharmaceutical Technology (3rd ed.). USA : Informa Health Care. 1561-1564. Syah, Andi Nur Alam. (2005). Virgin Coconut Oil : Minyak Penakluk Aneka Penyakit. Jakarta : Agro Media Pustaka. Tabor, Aaron & Blair, Robert. (2009). Nutritional Cosmetics : Beauty from Within (1st ed.). USA : Elsevier. 43. Thongchai, Wisnu; Liawruangrath, Boonsom; Thongpoon, Chalermporn & Machan, Theeraphan. (2006). High Performance Thin Layer Chromatographic Method for the Determination of Diclofenac Sodium in Pharmaceutical Formulations. Chiang Mai Journal of Science, 33, 123-128. Touitou, Elka & Barry, Brian. (2007). Enhancement in Drug Delivery. New York : CRC Press. 217-221. Voigt, Rudolf. (1995). Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. (Soendani Noerono Soewandhi, Penerjemah.). Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 411431. Walters, Kenneth. (2002). Dermatological and Transdermal Formulations. New York : Marcel Dekker. 1-12, 225. Widiastuti, Nurhasanah. (2010). Formulasi Mikroemulsi Topikal Menggunakan Fase Minyak Virgin Coconut Oil (VCO) dan Isopropil Laurat dengan Natrium Diklofenak sebagai Model Obat. Skripsi Program Sarjana Farmasi. Depok : Departemen Farmasi FMIPA UI. Williams, Adrian & Barry, Brian. (2004). Penetration Enhancers. Advanced Drug Delivery Reviews, 56, 603– 618. Witt, Krista & Bucks, Daniel. (2003). Studying In Vitro : Skin Penetration and Drug Release to Optimize Dermatological Formulations. Dalam: Pharmaceutical Technology. USA : Advanstar Communication. Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
73
Wuelfing, Peter; Kosuda, Kathryn; Templeton, Allen C.; Harman, Amy; Mowery, Mark & Reed. Robert A. (2006). Polysorbate 80 UV/vis Spectral and Chromatographic Characteristics – Defining Boundary Conditions for Use of The Surfactant in Dissolution Analysis. Journal of Pharmaceutical and Biomedical Analysis, 41, 774–782. Zetasizer Nano Series User Manual. (2004). Zetasizer Nano Series User Manual. England : Malvern Instruments.
Universitas Indonesia
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
Konsentrasi VCO
VCO 10%
VCO 5%
Pemanasan 35OC
Tanpa pemanasan
Konsentrasi Konsentrasi tween 80 30% tween 80 35%
Konsentrasi Konsentrasi propilen propilen glikol 5% glikol 10%
Konsentrasi tween 80 40%
Kecepatan 2000 rpm
Kecepatan 5000 rpm
Konsentrasi tween 80 40%, kecepatan 2000 rpm
Tanpa pemanasan
Pemanasan 35OC
Konsentrasi tween 80 40%
Konsentrasi tween 80 40%
Kecepatan Kecepatan 250 rpm 500 rpm
Kecepatan 250 rpm Kecepatan 800 rpm
Kecepatan 1000 rpm
Pemanasan 40OC
Konsentrasi tween 80 45%
Kecepatan 1000 rpm
Kecepatan 2000 rpm
Kecepatan 5000 rpm
Gambar 4.14. Skema optimasi formula mikroemulsi
74
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
75
Gambar 4.15. Spektrum serapan natrium diklofenak dalam dapar fosfat pH 7,4
dengan konsentrasi 10,14 ppm pada panjang gelombang 276 nm.
Gambar 4.16. Spektrum serapan baku pembanding natrium diklofenak dalam dapar fosfat pH 7,4 dengan konsentrasi 10 ppm pada panjang gelombang 276 nm.
Gambar 4.17. Spektrum serapan natrium diklofenak dalam metanol dengan konsentrasi 14,224 ppm pada panjang gelombang 282 nm.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
76
Gambar 4.18. Grafik hasil pengukuran ukuran globul mikroemulsi pada minggu ke-0.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
77
Gambar 4.19. Grafik hasil pengukuran ukuran globul mikroemulsi pada minggu ke-8
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
78
Gambar 4.20. Foto hasil pengamatan organoleptis mikroemulsi pada suhu rendah (4±2OC) selama 8 minggu.
Gambar 4.21. Foto hasil pengamatan organoleptis mikroemulsi pada suhu kamar (28±2OC) selama 8 minggu.
Gambar 4.22. Foto hasil pengamatan organoleptis mikroemulsi pada suhu tinggi (40±2OC) selama 8 minggu
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
79
Gambar 4.23. Foto hasil pengamatan organoleptis mikroemulsi sebelum dan setelah uji sentrifugasi
Gambar 4.24. Foto hasil pengamatan organoleptis mikroemulsi sebelum dan setelah uji cycling
Gambar 4.25. Foto hasil pengamatan mikroskop preparat kulit tanpa penempelan bahan perekat
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
80
Gambar 4.26. Foto hasil pengamatan mikroskop preparat kulit dengan penempelan bahan perekat sebanyak 8, 10, dan 12 kali
Gambar 4.27. Foto hasil pengamatan mikroskop preparat kulit dengan penempelan bahan perekat sebanyak 13, 14, dan 15 kali
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
81
Tabel 4.1 Hasil optimasi pembuatan mikroemulsi Variabel
No
1
Komponen Jumlah (%) Tween 80 30 etanol 96% 3 PG 10 VCO 10 aquadest 47 Homogenizer 500 rpm. Tanpa pemanasan
Hasil
Pemisahan fase
2
Tween 80 30 etanol 96% 3 PG 5 VCO 10 aquadest 52 Homogenizer 500 rpm. Tanpa pemanasan
Emulsi
3
Tween 80 35 etanol 96% 3 PG 5 VCO 10 aquadest 47 Homogenizer 5000 rpm. Tanpa pemanasan
Emulsi
4
Tween 80 40 etanol 96% 10 PG 5 VCO 10 aquadest 35 Homogenizer 2000 rpm. Tanpa pemanasan
Emulsi
5
Tween 80 40 etanol 96% 3 PG 5 VCO 10 aquadest 42 Homogenizer 5000 rpm. Tanpa pemanasan
Emulsi
6
Tween 80 40 etanol 96% 10 PG 5 VCO 10 aquadest 35 Homogenizer 2000 rpm. Pemanasan 35OC
Emulsi
VCO 10%
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
82
Tabel 4.1 (Lanjutan) Hasil optimasi pembuatan mikroemulsi Variabel
No
1
2
3
VCO 5%
4
5
6
Komponen Jumlah (%) Tween 80 40 etanol 96% 10 PG 5 VCO 5 aquadest 40 Pengaduk magnetik 250 rpm. Tanpa Pemanasan Tween 80 40 etanol 96% 10 PG 5 VCO 5 aquadest 40 Homogenizer 500 rpm Tanpa Pemanasan Tween 80 40 etanol 96% 10 PG 5 VCO 5 aquadest 40 Pengaduk magnetik 250 rpm. Pemanasan 35OC Tween 80 40 etanol 96% 10 PG 5 VCO 5 aquadest 40 Homogenizer 800 rpm Pemanasan 35OC Tween 80 40 etanol 96% 10 PG 5 VCO 5 aquadest 40 Homogenizer 1000 rpm Pemanasan 35OC Tween 80 45 etanol 96% 10 PG 5 VCO 5 aquadest 35 Homogenizer 1000 rpm Pemanasan 40OC
Hasil
Pemisahan fase
Emulsi
Emulsi
Emulsi translucent
Emulsi
Mikroemulsi
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
83
Tabel 4.1 (Lanjutan). Hasil optimasi pembuatan mikroemulsi Variabel
No
VCO 5%
7
Komponen Jumlah (%) Tween 80 45 etanol 96% 10 PG 5 VCO 5 aquadest 35 Homogenizer 1000 rpm Pemanasan 40OC
Hasil
Mikroemulsi
Tabel 4.2. Hasil Pengamatan Organoleptis Formula pada minggu ke-0 Warna Kejernihan Bau Pemisahan
Kuning Ya Berbau khas Tidak
Keterangan : Berbau khas seperti bau tween 80
Tabel 4.3. Hasil pengukuran tegangan antarmuka sediaan pada minggu ke-0 dan ke-8 Tegangan Antarmuka (dyne/cm) 1 2 Rata-rata 41,5 42 41,75 42 42 42
F
S
0,9828 0,9831
410,315 412,924
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
84
Tabel 4.4. Hasil pengamatan organoleptis sediaan pada penyimpanan dengan suhu rendah (4±2OC) selama 8 minggu Minggu ke0 2 4 6 8 Keterangan :
Pengamatan organoleptis sediaan pada penyimpanan suhu 4OC Warna Kejernihan Pemisahan Bau Kuning Ya Tidak berbau khas Kuning Ya Tidak berbau khas Kuning Ya Tidak berbau khas Kuning Ya Tidak berbau khas Kuning Ya Tidak berbau khas Warna kuning sesuai standard warna kartu Pantone 101 C Berbau khas seperti bau tween 80
Tabel 4.5. Hasil pengamatan organoleptis sediaan pada penyimpanan dengan suhu kamar (28±2OC) selama 8 minggu Minggu ke0 2 4 6 8 Keterangan :
Pengamatan organoleptis sediaan pada penyimpanan suhu 28OC Warna Kejernihan Pemisahan Bau Kuning Ya Tidak berbau khas Kuning Ya Tidak berbau khas Kuning Ya Tidak berbau khas Kuning Ya Tidak berbau khas Kuning Ya Tidak berbau khas Warna kuning sesuai standard warna kartu Pantone 101 C Berbau khas seperti bau tween 80
Tabel 4.6. Hasil pengamatan organoleptis sediaan pada penyimpanan dengan suhu tinggi (40±2OC) selama 8 minggu Minggu ke0 2 4 6 8 Keterangan :
Pengamatan organoleptis sediaan pada penyimpanan suhu 40OC Warna Kejernihan Pemisahan Bau Kuning Ya Tidak berbau khas Kuning Ya Tidak berbau khas Kuning Ya Tidak berbau khas Kuning Ya Tidak berbau khas Kuning Ya Tidak berbau khas Warna kuning sesuai standard warna kartu Pantone 101 C Berbau khas seperti bau tween 80
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
85
Tabel 4.7. Hasil pengukuran pH sediaan pada penyimpanan dengan suhu rendah (4±2OC) selama 8 minggu Minggu ke 0 2 4 6 8
pH sediaan pada penyimpanan suhu 4±2OC 5,56 5,51 5,53 5,49 5,43
Tabel 4.8. Hasil pengukuran pH sediaan pada penyimpanan dengan suhu kamar (28±2OC) selama 8 minggu Minggu ke 0 2 4 6 8
pH sediaan pada penyimpanan suhu 28±2OC 5,56 5,48 5,49 5,52 5,38
Tabel 4.9. Hasil pengukuran pH sediaan pada penyimpanan dengan suhu tinggi (40±2OC) selama 8 minggu Minggu ke 0 2 4 6 8
pH sediaan pada penyimpanan suhu 40±2OC 5,56 5,47 5,56 6,00 5,94
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
86
Tabel 4.10. Hasil uji viskositas minggu ke-0
Kecepatan (rpm)
Dial reading (dr)
Faktor koreksi (f)
Viskositas η = dr x f (cps)
Shearing stress (F/A) dr x 7,187
Rate of shear (dv/dr) F/A x 1/η
(dyne/cm2) 2.5 4 5 10 20 20 10
8 12,8 15,9 31,4 60 60,4 31,5
400 250 200 100 50 50 100
3200 3200 3180 3140 3000 3020 3150
57,496 91,9936 114,2733 225,6718 431,22 434,0948 226,3905
0,017968 0,028748 0,035935 0,07187 0,14374 0,14374 0,07187
5 4 2,5
16,1 13,1 8,1
200 250 400
3220 3275 3240
115,7107 94,1497 58,2147
0,035935 0,028748 0,017968
Tabel 4.11. Hasil uji viskositas minggu ke-8
Kecepatan (rpm)
Dial reading (dr)
Faktor koreksi (f)
Viskositas η = dr x f (cps)
4 5 10 20 20 10 5 4
9 11 21 43 42,4 21 11 9
250 200 100 50 50 100 200 250
2250 2200 2100 2150 2120 2100 2200 2250
Shearing stress (F/A) dr x 7,187 (dyne/cm2) 64,683 79,057 150,927 309,041 304,7288 150,927 79,057 64,683
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
Rate of shear (dv/dr) F/A x 1/η 0,028748 0,035935 0,07187 0,14374 0,14374 0,07187 0,035935 0,028748
87
Tabel 4.12. Hasil pengukuran ukuran globul mikroemulsi dengan Zetasizer Nano Malvern S Minggu ke Ukuran globul (nm) 0 3,089 8 9,920 Tabel 4.13. Serapan natrium diklofenak dengan pelarut dapar fosfat pH 7,4 pada pembuatan kurva kalibrasi pada λ = 276 nm. Konsentrasi (ppm) 0,24336 0,32448 0,6084 1,014 2,028 4,056 6,084 10,14 12,168
Serapan 0,0062 0,0095 0,0148 0,0251 0,052 0,1091 0,1616 0,2788 0,33
Tabel 4.14. Serapan baku pembanding natrium diklofenak dengan pelarut dapar fosfat pH 7,4 pada pembuatan kurva kalibrasi pada λ = 276 nm Konsentrasi (ppm) 8 10 12 16 20
Serapan 0,2567 0,3242 0,3857 0,5098 0,642
Tabel 4.15. Serapan natrium diklofenak dengan pelarut metanol pada pembuatan kurva kalibrasi pada λ = 282 nm Konsentrasi (ppm) Serapan 10,16 0,349 12,192 0,4153 14,224 0,491 16,256 0,5796 22,352 0,807 24,384 0,876
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
88
Tabel 4.16. Hasil penetapan kadar natrium diklofenak di dalam mikroemulsi Berat mikroemulsi yang ditimbang (g) 1,0090 1,0126
Serapan 0,8208 0,8114
Kadar yang diperoleh (ppm) 22,8244 22,5747
Massa yang diperoleh (mg)
Hasil penetapan kadar (%)
Rata-rata (%)
0,0114 0,0113
1,1310 1,1147
1,1229
Tabel 4.17. Hasil uji penetrasi mikroemulsi natrium diklofenak dengan sel difusi Franz dengan metode 1 dan metode 2 Waktu 0 0,5 1 1,5 2 3 4 5 6 7 8
Jumlah Kumulatif Natrium Diklofenak Terpenetrasi (µg cm-2) Metode 1 Metode 2 0 0±0 124,3557841 121,9028±4,9559 211,4902205 178,8783±2,0395 222,2439575 202,9500±0,1048 270,6017446 230,9962±2,0872 363,2622242 302,5903±31,5364 417,4156175 346,1364±53,0753 447,9283284 414,2532±2,6590 472,7532584 484,1827±36,3302 609,6826239 520,1676±62,8631 639,6202876 626,1243±3,8789
Tabel 4.18. Fluks tiap jam natrium diklofenak Waktu (jam) 0 0,5 1 1,5 2 3 4 5 6 7 8
Fluks tiap jam natrium diklofenak (µg cm-2 jam-1) Metode 1 Metode 2 0 0±0 248,7116 243,8055±9,9117 211,4902 176,8783±2,0395 148,1626 135,3000±0,0699 135,3008 115,4981±1,044 121,0874 100,8634±10,5121 104,3539 86,5341±13,2688 89,5857 82,8506±0,5312 78,7922 80,6971±6,055 87,0975 74,3097±8,9804 79,9525 78,2655±0,4849
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
89
Tabel 4.19. Jumlah natrium diklofenak yang tertinggal di kulit Waktu (jam)
jumlah natrium diklofenak tertinggal di kulit (µg)
0 0,5 1 1,5 2 3 4 5 6 7 8
0 36,2505±3,3111 37,7138±5,7944 67,5655±5,7944 63,6145±0,2069 51,7617±1,6556 73.8578±6,4153 65,6632±3,1042 47,8107±3,1042 55,1273±3,1042 48,2497±9,1055
Tabel 4.20. Hasil pengukuran natrium diklofenak yang tertinggal di kompartemen donor sel difusi Franz Waktu (jam)
jumlah natrium diklofenak tertinggal di kompartemen donor (µg)
0 0,5 1 1,5 2 3 4 5 6 7 8
11229,2000 10398,33917 10657,00659 10589,35511 10597,31411 10646,39459 10792,30955 10619,8646 10515,07113 10523,03013 10507,11214
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
Tabel 4.21. Hubungan antara jumlah natrium diklofenak di kompartemen reseptor, kulit dan kompartemen donor sel difusi Franz
Penjumlahan (mg) K. reseptor (mg) Kulit (mg) K.donor (mg) Total
menit 30 0,205187 0,033909 10,39834 10,63744
menit 60 0,351005 0,041811 10,65701 11,04982
menit 90 0,366191 0,071663 10,58936 11,02721
menit 120 0,448272 0,063761 10,59731 11,10935
menit 180 0,594245 0.052932 10,64639 11,29357
menit 240 0,685578 0,078394 10,79231 11,55628
menit 300 0,736658 0,063468 10,61986 11,41999
menit 360 0,760139 0,050006 10,51507 11,32522
menit 420 0,998259 0,052932 10,52303 11,57422
menit 480 1,037631 0,054688 10,50711 11,59943
Teoretis Ditimbang (mg)
992,3
995,6
982,6
982
978,2
988,1
988,4
993,3
996,1
988,2
Jumlah natrium diklofenak (mg)
11,14274
11,17979
11,03381
11,02707
10,9844
11,09557
11,09894
11,15396
11,18541
11,0967
-0,5053
-0,12997
-0,0066
0,082273
0,309169
0,460709
0,321049
0,171251
0,388816
0,502736
Selisih (mg)
Persentase Persentase di K.reseptor Persentase di kulit Persentase di K.donor Total Persentase
1,841442 0,304317
3,139637 0,373988
3,318808 0,649483
4,065194 0,578221
5,409902 0,481886
6,178841 0,706534
6,637189 0,57184
6,814967 0,448322
8,92466 0,473227
9,350808 0,492834
93,31945 95,46521
95,32384 98,83747
95,97187 99,94016
96,10268 100,7461
96,92283 102,8146
97,26681 104,1522
95,68358 102,8926
94,27205 101,5353
94,07821 103,4761
94,68686 104,5305
90
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
91
Lampiran 1. Perhitungan HLB VCO Virjint® (Belitz, Grosch & Schieberle, 2010)
VCO Virjint® mengandung Asam laurat
51,7%
Asam kaprat 9,03%
Rumus perhitungan HLB = Σ(angka gugus-gugus hidrofilik) - Σ(angka gugus-gugus lipofilik) + 7
Rumus struktur asam laurat (C12H24O2) O
OH
Rumus struktur asam kaprat (C10H20O2)
O
OH
Jenis gugus yang terdapat pada VCO
Nilai
1. Gugus hidrofilik a. –COOH
2,1
2. Gugus lipofilik a. –CH2-
0,475
b. –CH3-
0,475
Perhitungan HLB = 2,1 – n (0,475) + 7 HLB asam laurat
= 2,1 - 11(0,475) + 7 = 3,875
HLB asam kaprat
= 2,1 - 9(0,475) + 7 = 4,825
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
92
Lampiran 1. (Lanjutan). Perhitungan HLB VCO Virjint® Asam laurat
',)
= 3,299
2,+,
= 0,717
= *+,), - 3,875
Asam kaprat = *+,), - 4,825
+
= 4,016
HLB VCO Virjint® = 4,016
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
93
Lampiran 2. Contoh perhitungan bobot jenis
Bobot jenis VCO dihitung menggunakan persamaan 56
Bobot jenis = 56 -78789 :;<=> ?@A?B;>9 C?B? >ADA C;EF87??< A= bobot piknometer kering (g) A1= bobot piknometer yang diisi dengan aquadest (g) A2 = bobot piknometer yang diisi dengan VCO
Diketahui A= 13,6235 g A1 = 24,2163 g A2 = 23,3671 g Bobot jenis VCO ,,,*),.*,' G.*,,.*,' 2,)G,*
+,'2H
x 0,9959486 g/mL
x 0,9959486 g/ml
0,91610573 g/mL
Bobot jenis VCO adalah 0,9161 g/mL
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
94
Lampiran 3. Contoh perhitungan tegangan permukaan
Tegangan permukaan VCO diukur dengan menggunakan persamaan S=PxF
Keterangan : S = tegangan permukaan absolut (dyne /cm) P = tegangan permukaan yang ditunjukkan pada alat F = Faktor koreksi yang dihitung dari persamaan +,+G' T U
F = 0,7250 Q RS V T VSWXY Q 0,04534 Z
,*)2 T [ \
Y
Keterangan : F : faktor koreksi P: tegangan permukaan yang ditunjukkan oleh alat D : bobot jenis fase cair yang berada di bawah d : bobot jenis fase cair yang berada di atas c : keliling cincin =2xπxR = 2 x 3,14 x 3 cm = 18,84 cm
Perhitungan faktor koreksi untuk VCO = +,+G' T U
F = 0,7250 Q RS V T VSWXY Q 0,04534 Z +,+G' T ,G,G
,*)2 T [ \
F = 0,7250 Q RSH,HG T H,HGSWXY Q 0,04534 Z +,+G' T ,G,G
Y
,*)2 T +,+))H ,
F = 0,7250 Q RSH,HG T H,HGS+,2*+'),+Y Q 0,04534 Z
Y
,*)2 T +,+))H
F = 0,91715936
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
,
Y
95
Lampiran 3. (Lanjutan)
Perhitungan tegangan permukaan absolut untuk VCO P = 34,4 dyne/cm S=PxF = 34,4 x 0,91715936 = 31,5503 dyne/cm
Tegangan permukaan absolut VCO sebesar 31,5503 dyne/cm.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
96
Lampiran 4. Perhitungan faktor koreksi natrium diklofenak terhadap baku pembanding Serapan natrium diklofenak dalam dapar fosfat pH 7,4 Konsentrasi (ppm) 8,016 10,02 12,024 16,032 20,04
Serapan 0.2078 0.2673 0.3188 0.4274 0.5388
Serapan baku pembanding natrium diklofenak dalam dapar fosfat pH 7,4 Konsentrasi (ppm) 6 8 10 12 16 20
Serapan 0,1920 0,2567 0,3242 0,3857 0,5098 0,6420
Persamaan kurva kalibrasi baku pembanding natrium diklofenak y = 0,0029 + 0,0319 x Serapan natrium diklofenak 0,2078 0,2673 0,3188 0,4274 0,5388
Konsentasi yang diperoleh (ppm) 8,016 10,02 12,024 16,032 20,04 Rata-rata
Konsentrasi sebenarnya (ppm) 6,4271 8,2938 9,9096 13,3167 16,8117
Kadar 80,1785 82,7727 82,4148 83,0633 83,8907 82,4640
Menurut sertifikat analisis (Lampiran 12), kadar baku pembanding natrium diklofenak sebesar 99,74% ++
Perhitungan faktor koreksi = H,G*G+ -
++
22,)G
= 1,2158
Faktor koreksi natrium diklofenak terhadap baku pembanding sebesar 1,2158.
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
97
Lampiran 5. Contoh perhitungan penetapan kadar natrium diklofenak dalam mikroemulsi
Sediaan mikroemulsi ditimbang
Ditambahkan metanol dan dikocok hingga mikroemulsi pecah
Disentrifugasi dengan sentrifugator dengan kecepatan 3000 rpm selama 45 menit
Disaring dengan Milipore (ukuran pori 0,45 µm) ke dalam labu tentukur 50,0 mL
Dicukupkan volumenya dan dikocok homogen
Dipipet 5,0 mL dan dimasukkan ke dalam labu tentukur 50,0 mL
Dicukupkan volumenya dan dikocok homogen
Diukur serapan dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 282,0 nm dengan baseline berupa basis mikroemulsi
Berat mikroemulsi yang ditimbang 1009 mg Persamaan kurva kalibrasi y = -0,03829 + 0,03764 x Serapan yang diperoleh 0,8208 Kadar natrium diklofenak yang diperoleh 113,10 ppm Hasil penetapan kadar 1,1229 %
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
98
Lampiran 6. Contoh perhitungan jumlah natrium diklofenak yang terpenetrasi dari sediaan mikroemulsi pada menit ke-30
Serapan (y) = 0,0341 y = -0,00169 + 0,02734 x x = 1,3092 ppm Faktor pengenceran (FP)
= volume labu tentukur : volume sampling = 5 mL : 0,5 mL = 10 x
Faktor koreksi baku pembanding natrium diklofenak (FK) = 1,2158
Konsentrasi terpenetrasi
= x . FP. FK = 1,3092 ppm x 10 x 1,2158 = 15,9171 ppm
Rumus jumlah kumulatif terpenetrasi
<. ] Q ∑ ^_ . ` a
Keterangan Q
= Jumlah kumulatif zat per luas difusi (µg cm-2)
Cn
= Konsentrasi zat (µg/ml)
∑
= Jumlah konsentrasi zat (µg/mL) pada sampling pertama (menit ke-30 hingga sebelum menit ke-n) V
= Volume sel difusi Franz (13 mL)
S
= Volume sampling (0,5 mL)
A
= Luas membran (1,65 cm2)
S',2)bc/de T ,deYS+ T +,' deY ,*' Vdf
= 125,4071 µg cm-2
Jumlah kumulatif natrium diklofenak yang terpenetrasi ke kompartemen reseptor pada menit ke-30 sebesar 125,4071 µg cm-2
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
99
Lampiran 7. Contoh perhitungan jumlah natrium diklofenak yang terpenetrasi dari sediaan mikroemulsi pada menit ke-60
Serapan (y) = 0,047 y = -0,00169 + 0,02734 x x = 1,7811 ppm Faktor pengenceran (FP)
= volume labu tentukur : volume sampling = 5 mL : 0,5 mL = 10 x
Faktor koreksi baku pembanding natrium diklofenak (FK) = 1,2158
Konsentrasi terpenetrasi
= x . FP. FK = 1,7811 ppm x 10 x 1,2158 = 21,6547 ppm
Rumus jumlah kumulatif terpenetrasi
<. ] Q ∑ ^_ . ` a
Keterangan Q
= Jumlah kumulatif zat per luas difusi (µg cm-2)
Cn
= Konsentrasi zat (µg/mL)
∑
= Jumlah konsentrasi zat (µg/mL) pada sampling pertama (menit ke-30 hingga sebelum menit ke-n) V
= Volume sel difusi Franz (13 mL)
S
= Volume sampling (0,5 mL)
A
= Luas membran (1,65 cm2)
S,*'G) bc/de T ,deYS',2) T +,' deY ,*' Vdf
= 175,4362 µg cm-2
Jumlah kumulatif natrium diklofenak yang terpenetrasi ke kompartemen reseptor pada menit ke-60 sebesar 175,4362 µg cm-2
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
100
Lampiran 8. Contoh perhitungan fluks tiap waktu natrium diklofenak dari sediaan mikroemulsi
Kecepatan penetrasi (fluks) dihitung dengan rumus J(n) =
SY SY
Keterangan J (n) = fluks pada jam ke-n (µg cm-2 jam-1) Q (n) = jumlah kumulatif terpenetrasi pada jam ke-n (µg cm-2 ) t (n) = waktu (jam)
Data pada jam ke-8 Data 1. Q = 628.8671 µg cm-2 J=
= (628,8671 /8) = 78,6084 µg cm-2 jam-1
Data 2. Q = 623,3814 µg/cm2 J=
= (623,3814/8) = 77,9227 µg cm-2 jam-1
Jumlah fluks natrium diklofenak pada jam ke-8 dari mikroemulsi sebesar 78,2655 ± 0,4849 µg cm-2 jam-1
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
101
Lampiran 9. Contoh perhitungan persentase jumlah natrium diklofenak terpenetrasi dari mikroemulsi
% jumlah kumulatif terpenetrasi =
lm :Agh?D iAgAh?9=j 9;EC;<;9E?>= k n - hA?> g;g7E?< SFg Y Fg 7;E?9 9E=Ag B=ih8j;
Data 1 Sample yang diaplikasikan pada kulit sebesar 988,2 mg Dalam sample mengandung 11096,6954 µg natrium diklofenak bc
Jumlah kumulatif terpenetrasi = 628,8671 kVdf n % jumlah kumulatif terpenetrasi
*H,H*) k
pq nT rsf
,*'SVdf Y
+2*,*2'G bc
= 9,3508 %
Data 2 Sample yang diaplikasikan pada kulit sebesar 986,4 mg Dalam sample mengandung 11076,4829 µg natrium diklofenak bc
Jumlah kumulatif terpenetrasi = 623,3814 kVdf n % jumlah kumulatif terpenetrasi
*,,,HG k
pq nT rsf
,*'SVdf Y
+)*,GH2 bc
= 9,2862 %
Jumlah kumulatif terpenetrasi 9,3185 ± 0,0457%
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
102
Lampiran 10. Contoh cara perhitungan jumlah natrium diklofenak yang tertinggal di kulit
Data menit ke-30 Persamaan kurva kalibrasi y = -0,00169 + 0,02734 x Serapan yang diperoleh (y) = 0,0099 Kadar natrium diklofenak yang diperoleh (x) = 0,4239 ppm Volume ekstraksi = 80 mL Jumlah natrium diklofenak = 0,4239 µg/mL x 80 ml = 33,9092 µg
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
103
Lampiran 11. Cara perhitungan jumlah natrium diklofenak yang tertinggal di kompartemen donor
Sediaan mikroemulsi ditimbang
Ditambahkan metanol dan dikocok hingga mikroemulsi pecah
Disentrifugasi dengan sentrifugator dengan kecepatan 3000 rpm selama 45 menit
Disaring dengan Milipore (ukuran pori 0,45 µm) ke dalam labu tentukur 50,0 mL
Dicukupkan volumenya dan dikocok homogen
Dipipet 5,0 mL dan dimasukkan ke dalam labu tentukur 50,0 mL
Dicukupkan volumenya dan dikocok homogen
Diukur serapan dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 282,0 nm dengan baseline berupa basis mikroemulsi
Data pada menit ke-30 Berat mikroemulsi yang ditimbang 992,3 mg Jumlah natrium diklofenak dalam mikroemulsi 11,1427 mg Kadar natrium diklofenak dalam mikroemulsi setelah diencerkan 22,2854 ppm Persamaan kurva kalibrasi y = -0,03829 + 0,03764 x
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
104
Serapan yang diperoleh 0,7456 Kadar natrium diklofenak yang diperoleh 20,7967 ppm Jumlah natrium diklofenak yang tertinggal di kompartemen donor pada menit ke30 = +,)2*)
,H'G
- 100% = 93,3195 %
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
105
Lampiran 11. Sertifikat analisis natrium diklofenak
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
106
Lampiran 12. Sertifikat analisis baku pembanding natrium diklofenak
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
107
Lampiran 13. Sertifikat analisis tween 80
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
108
Lampiran 14. Sertifikat analisis etanol 96%
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
109
Lampiran 15. Sertifikat analisis BHT
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
110
Lampiran 16. Sertifikat analisis metil paraben
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
111
Lampiran 17. Sertifikat analisis propil paraben
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
112
Lampiran 18. Sertifikat analisis tikus putih
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012