UNIVERSITAS INDONESIA
FILSAFAT KOMPREHENSIF: PRODUK RASIONALITAS PROBABILISTIK
SKRIPSI
MELYSHA 0806465996
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU FILSAFAT DEPOK JUNI 2012
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
FILSAFAT KOMPREHENSIF: PRODUK RASIONALITAS PROBABILISTIK
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora
MELYSHA 0806465996
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU FILSAFAT DEPOK JUNI 2012
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
KATA PENGANTAR
Berikut adalah nama orang-orang yang, kepadanya, saya mengucapkan banyak terimakasih;
Herdito Sandi Pratama, M. Hum, Rocky Gerung, S.S , dan Eko Wijayanto, M. Hum, pada kelas Metodologi Penelitian. Tiga pertanyaan reflektif yang diberikan pada saringan masuk kelas tersebut memaksa saya untuk merumuskan arah skripsi ini, dan sekaligus menyadarkan saya bahwa banyak hal yang betul-betul saya tidak tahu. Dipa Ena dan Djohan Rady, S.Hum, atas pengetahuan dan pengalaman yang diberikan, serta kesabaran dalam menghadapi (seringkali) penjelasan tidak definitif yang akut. James Ferlow Mendrofa, M. Hum. Orang pertama yang memperkenalkan nama filsuf yang pada akhirnya banyak saya kutip pada penelitian ini. Saya diberkati banyak hal. Irsyad, S. Hum. Ditengah ketidak-mengertian saya terhadap sesuatu hal, ia memberikan sebuah buku yang kemudian menjadi buku paling informatif terhadap penelitian ini. Dipa Ena dan Winnie Ariane, S.Hum. Mengantarkan saya mencari dan memesan sebuah buku disemua toko buku disepanjang PP dengan hasil nihil. Segala effort dan waktu yang hampir sia-sia, menjadi lebih sia-sia ketika belakangan saya menyadari bahwa buku tersebut ada di salah satu folder saya. Pembelajaran tersendiri buat saya untuk lebih teliti dan terorganisir dikemudian hari. Irsyad, S. Hum, Ikhaputri Widiantini, M.Hum, James Ferlow Mendrofa, M.Hum, dan Dipa Ena. Yang meladeni pertanyaan-pertanyaan saya, intensively, pra-presentasi proposal. Herdito Sandi Pratama, M.Hum. Saya tidak pernah menyangka akan ditanggapi seserius itu. Apa-apa saja yang diutarakan pasca presentasi membuat saya berpikir, bukan terutama mengenai materi yang dijelaskan, namun lebih kepada tekad terhadap diri sendiri untuk, setidaknya, lebih serius. Belina Rosellini Suheng, Nayakara Satwikatama Putra, dan Sopa Merim Pemere Purba, atas apa-apa saja yang saya katakan perihal hambatan saya selama penulisan, atau hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan penelitian namun saya percayai berdampak terhadap kondisi psikologis hingga kemudian berdampak pada penulisan. Ketiganya adalah orang-orang paling senasib sepenanggungan (academically), sejak awal perkuliahan. Delia Yosephine Dipasto. Obrolan pada suatu makan siang membuat kami bertekad akan sesuatu hal. Hal ini kemudian berlanjut pada tekad-tekad yang lain. Sebagian besar terwujud. Winnie Ariane, S.Hum dan Khalil Ghazali. Sebelum pengajuan proposal skripsi, ada kebingungan untuk memilih tema, karena suatu hal yang tiba-tiba
v
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
berhasil saya capai. Mereka mengatakan bahwa keterlalu-seriusan tidak melulu perlu. Dipa Ena dan Djohan Rady, S. Hum. Dengan permasalahan yang sama, saya diberitahu bahwa serius itu baik nilainya. Poin yang saya ambil kemudian adalah, untuk suatu keputusan yang toh pada akhirnya saya sendiri yang putuskan dan jalankan, saya terlalu banyak mengajukan pertanyaan. Purnomo Yasin, S. Hum. Saya terlebih dahulu mempersiapkan perangkat yang saya gunakan untuk kemudian menulis. Ia berhasil membuat perangkat yang saya gunakan bebas masalah, cepat, lengkap, dan lebih mudah. Doni Arinova. Atas bantuannya mengatasi masalah kegagalan saya yang berkali-kali dalam mengahadapi setting proxy UI. Dipa Ena, yang tiba-tiba membawakan sebuah Tesis yang disarankan oleh James Ferlow Mendrofa, M. Hum. L.G. Saraswati, M.Hum. Selaku ketua program studi Filsafat UI, yang atas kuasa dan kebaikannya mengabulkan permohonan saya pada surat permohonan. Vincensius Yohanes Jolasa, Ph.D, selaku pembimbing skripsi ini. Walaupun karena satu dan lain hal saya tidak secara intensif bertemu dengan beliau, tiaptiap pertemuan dengan beliau selalu berkesan dan menyemangati. Herdito Sandi Pratama, M. Hum, juga selaku pembimbing skripsi ini. Secara berangsur-angsur, saya menilai beliau sebagai seseorang yang menaruh perhatian bergitu besar terhadap pengetahuan. Peduli, telaten, dan informatif, beliau memungkinkan penulisan ini menjadi lebih mudah daripada yang saya selama ini bayangkan. Delia Yosephine Depasto, kawan menulis sepenanggungan. Kami nyaris selalu bertukar informasi mengenai sesuatu hal yang sama sekali tidak serius selama menulis. Kami juga terlalu sering mengatakan betapa beruntungnya kami. Saya masih sepakat. Willy Dozan Wijaya. Teman bercerita beberapa hal selama penulisan yang suntuk, juga disela waktu menunggu bimbingan. Selain karena keramahan dan keterbukaannya, saya menyenangi cara bicaranya yang khas. Skolastika Helena Chandra Bintang Anggarie dan Dipa Ena. Atas waktunya menemani saya menulis disuatu/beberapa tempat. Herdito Sandi Pratama M, Hum. Bahwa bimbingan tidak melulu soal penulisan, tetapi juga pembicaraan diluar penulisan yang tidak berhubungan dengan penulisan, hingga pada gangguan -yang saya sebut sebagai gangguanpsikologis semacam kekhawatiran berlebih. Hal-hal yang seharusnya bisa saya atasi sendiri. Saya memanggilnya S, seorang mahasiswa neuropsychology. Saya pernah kesulitan mencari literatur mengenai rasionalitas. Sepuluh jurnal, buku, dan buletin yang kemudian ia berikan sangat membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini. Herdito Sandi Pratama, M. Hum. Terhadap buku-buku yang diberikan. Bukan hanya permasalahan keperluan saya untuk menyelesaikan penulisan ini, namun juga kepada betapa saya menjadi memiliki ketertarikan terhadap buku. vi
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
Bayu Fajri Hadyan. Finder, purchaser, promotor, distributor, hingga supplier amunisi berlabel taman main dijital. Terhadap apa yang dikatakan mengenai amunisi tersebut, sebetulnya tidak sepenuhnya saya sepakati. Tetapi amunisi tersebut cukup memberi saya pengetahuan tersendiri. Juga, tak lupa, pada obsesi yang berujung pada kompetisi untuk menyelesaikan semua bab dalam waktu dua minggu. Kami sama-sama berhasil. Irianto Wijaya. Saya pernah mengalami kesulitas menjelaskan sesuatu, bahkan hingga setelah saya membaca penjelasan Quine mengenai naturalistic fallacy; saya tidak sepakat sepenuhnya dan masih belum menemukan penamaan yang tepat. Saya kemudian berhasil mengatasi permasalahan tersebut melalui komentar beliau terhadap salah satu artikel sciencedaily. Mahdityo Jati Endarji, yang ditengah rencana perjalanan menonton pertandingan Inter-nya membantu saya mengunduh email, mencetak, menjilid, hingga mengantarkan satu eksemplar skripsi ke rumah Dr. Albertus Harsawibawa. Pahlawan. Dona Niagara Dinata, S.Hum dan Irsyad, S. Hum. Saya tidak mempunyai masalah canggung atau gugup, melainkan kekhawatiran berlebihan dan penjelasan yang buat kebanyakan orang tidak bersifat menjelaskan. Keduanya membantu saya dalam mempersiapkan pra-sidang, sekaligus menyadarkan saya bahwa permasalahan bukan terletak pada less-able, melainkan pada lesseffort. Belina Rosellini Suheng. Pendengar yang baik. Nayakara Satwikatama. Mengajarkan bahwa ketidak-pedulian itu melegakan dan berguna. Adi Ahdiat, S. Hum selaku proklamator pra pra-sidang; Ariane Meida, S. Hum, Muhammad Ari Saptahadi, S. Hum, Cepiar Abdurrahman, S. T, Dipa Ena, dan Adi Ahdiat, S. Hum selaku penguji pra pra-sidang; Agung Setiawan, S. Hum selaku ketua; Cahyo Arswandaru, Jane Eka Kirana, S. Hum, Rengga Sanjaya Nuriman, S. Hum, Syadzwina Thasya, dan Theresa Aurellia selaku saksi. Pra pra-sidang yang dilaksanakan sebelas jam sebelum pra-sidang ini melahirkan banyak pertanyaan-pertanyaan yang menuntut saya untuk berusaha sedeskriptif mungkin; pertanyaan yang diajukan tidak akan berhenti terus ditanyakan sebelum mencapai kejelasan bersama. Mbak Munawaroh dan Mbak Dwi, atas bantuannya terhadap perihal administratif. Dipa Ena, Djohan Rady, dan Agrita Widiasari, atas bantuannya dalam mempersiapkan pra-sidang, secara teknis maupun non-teknis. Dr. Albertus Harsawibawa, selaku ketua pra-sidang, ketua sidang, sekaligus penguji. Beliau adalah penguji yang teliti dan kritis. Pertanyaan yang diberikan berhasil menguak hal-hal yang luput dari perhatian. Vincensius Yohanes Jolasa, Ph. D. Pembimbing sekaligus penguji. Buat saya, beliau menunjukkan betapa kemungkinan ada dimana-mana. Tak hanya suportif, pertanyaan yang beliau ajukan membuat saya berpikir berkali-kali. Herdito Sandi Pratama, M. Hum. Pembimbing, penguji. Pernyataan dan pertanyaan yang dikeluarkan, baik selama proses penulisan hingga sidang, vii
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
selalu tepat sasaran, dan ringkas. Saya betul merasa sangat dibantu, nyaris pada segala hal yang menyangkut penulisan. Ikhaputri Widiantini, M. Hum. Selaku panitera. Fristian Hadinata, M. Hum. Beliau mengatakan bahwa Kata Pengantar itu penting. Saya merenungkan maksudnya, hingga saya kemudian menyimpulkan bahwa ini merupakan satu cara paling efektif untuk mengucapkan hal-hal yang mungkin tidak pernah dikeluarkan. Andreina Caniggia, S. Hum, atas kerelaannya memberikan bantuan (teknis) pada kelas 1201 selasa sore, nyaris setiap minggu. Shane Antoinetta, S. Hum, Doni Arinova, Sopa Merim Pemere Purba, juga mengenai hal serupa pada kelas 9301 tiap selasa pagi. Bramanti Kusuma Yuwono, Ismail Segeir, dan Marlina Sopiani, atas informasi perihal kelas 6210 tiap rabu pagi. Gema Mawardi, S. Kom, Khalil Ghazali, Bony Nainggolan, Sopa Merim Pemere Purba. Bahwa kesuntukan bisa dengan mudah diatasi dengan sesuatu hal. Terimakasih atas perihal substansial-materiil (term ini tidak perlu dianggap terlalu serius), juga pada obrolan-obrolan berkesan yang tidak terbatas hanya, momentually, pada saat dibincangkan, atas kesenangan yang ditimbulkan. Jane Eka Kirana, S. Hum, Muhammad Ari Saptahadi, S. Hum, Teddy, Cepiar Abdurrahman, S. T, Bayu Fajri Hadian, Rengga Sanjaya Nuriman, S. Hum, Atika Deviansi Wiguna, Syadzwina Thasya, Muhammad Robbyansyah, S. Hum, Asriningtyas Kusumaratri, Agung Setiawan, S. Hum, Cahyo Arswandaru, Theresa Aurellia, Purnomo Yasin, S. Hum, Dipa Ena, Djohan Rady, S. Hum, Adi Ahdiat, S. Hum, Ariane Meida, S. Hum, Winnie Ariane, S. Hum, Khalil Ghazali, Gema Mawardi, S. Sos, Yohanna Larasati, S.E, juga pada Nayakara Satwikatama, Sopa Merim Pemere Purba, Belina Rosellini Suheng, Yoga Mohammad, S. Hum, Nabila Azka, S.T, Lies Sugianti, S. K, Yudhistiro Nugroho, S. Hum. Nyaris setiap hari disuatu siang, sore, malam, maupun pagi buta, ada perkumpulan dari sekian jumlah orang-orang yang saya sebutkan diatas. Hal tersebut membuka kemungkinan bahwa wisma/pondok yang saya tempati selama ini bukan hanya berfungsi sebagai tempat tinggal. Saya belajar, sekaligus menikmati banyak hal. Sona Pribady, S. Hum, Agung Setiawan, S. Hum, Irsyad, S. Hum, Bayu Fajri Hadyan, S. Hum, Belina Rosellini Suheng, Sopa Merim Pemere Purba, Cahyo Arswandaru, Purnomo Yasin, S. Hum, Mahdityo Jati Endarji, Bony Nainggolan, Muhammad Iswahyudi, Leo Panji Mahendra. Saya menikmati waktu duduk-duduk untuk saya dan/atau mereka sekedar makan, minum, merokok, berbincang, mendengarkan musik, main kartu, menonton sesuatu hal, mengerjakan sesuatu hal, pun hanya diam. Saya dapat banyak informasi yang tak terbatas pada suatu hal tertentu saja. Lagi-lagi, saya belajar dan sekaligus menikmati banyak hal. Khoirunnisa, S. Hum, Agrita Widiasari, S. Hum, Steffi Magdalena Jayanti, S. Hum, Metha Hestining, S. Hum, Arfan Wiraguna, S.Hum, Shanne Antoinetta, S. Hum, Adityo Anggoro, S. Hum, Okvy Ellyana, Diko Renaldo, S.Hum, Timothius Kurniawan, S. Hum, S. Hum, Santi Marliana, S. Hum, Nurul Fatmi viii
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
Amzy, S. Hum, Bella Marcelina Sandiata, S. Hum, Dona Niagara Dinata, S. Hum, Willy Dozan Wijaya, Delia Yosephine Dipasto, Yuwita Margareth, S. Hum, Nur Saadah, S. Hum. Saya membatasi poin ini pada lingkup prodi yang sama, orang-orang yang juga sama-sama sedang berkutat pada hal yang sama. Bertegur sapa untuk kemudian saling tanya dan cerita, mereka kemudian, literally, memberi semangat. Keluarga. Ibu, Ayah, Bapak, dan Adik. Menjadi optimis seharusnya bukan merupakan suatu kesalahan. Nilai-nilai yang ditanamkan juga tidak semuanya perlu dikejar. Saya masih terus menetap pada pendirian saya, pada apa yang saya percayai. Terimakasih untuk selalu memberi ruang terhadapnya. Semoga senantiasa diberi kebahagiaan.
Saya membatasi untuk memunculkan nama-nama yang hadir selama kurang lebih enam bulan kebelakang, dengan penjelasan yang dikerangkai oleh misi penulisan. Jika tidak demikian, penulisan ini saya pikir tidak akan selesai. Apa yang saya tuliskan diatas saya maksudkan untuk menyampaikan secara clear and accessible. Juga buat saya pribadi, bisa sekaligus menjadi catatan yang bisa mengatasi permasalahan penurunan kemampuan mengingat dikemudian hari, atau sekedar untuk memenuhi kebutuhan akan momen. Saya menuliskan ini dengan sadar betul. Sebagaimanapun nampak kecilnya peran seseorang masih saya ingat untuk kemudian dituliskan. Lupa tidak pernah menjadi alasan.
Depok,
Melysha
ix
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
ABSTRAK
Nama
: Melysha
Program Studi
: Filsafat
Judul
: Filsafat Komprehensif: Produk Rasionalitas Probabilistik
Skripsi ini merupakan usaha untuk merumuskan filsafat secara komprehensif. Filsafat adalah produk rasionalitas probabilistik tanpa spesifikasi metodologi, evidensi, dan subject-matter. Hal tersebut menjelaskan kondisi filsafat yang sporadis, sekaligus merupakan pernyataan yang bisa mendasari segala karakteristik filsafat secara historis.
Kata kunci: filsafat komprehensif, rasionalitas, probabilistik.
ABSTRACT
Name
: Melysha
Study Program
: Philosophy
Title
: Comprehensive Philosophy: Probabilistic Rationality Product
This study is an examination in effort to formulate comprehensive philosophy. Philosophy is probabilistic rationality product without any specification in methodology, evidence, and subject-matter. This explains why philosophy is sporadic, all at once is a foundational statement of all philosophy charateristics, historically.
Key words: comprehensive philosophy, rationality, probabilistic.
xi
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
i
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
iii
HALAMAN PENGESAHAN
iv
KATA PENGANTAR
v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
x
ABSTRAK
xi
ABSTRACT
xi
DAFTAR ISI
xii
1. PENDAHULUAN
1
1.1 Latar Belakang Masalah
1
1.2 Rumusan Masalah
3
1.3 Kerangka Teori
4
1.4 Metode Penelitian
5
1.5 Tujuan Penelitian
5
1.6 Pernyataan Tesis
5
1.7 Sistematika Penulisan
5
2. AKTIVITAS FILSAFAT
8
2.1 Introduksi
8
2.2 Identifikasi
9
2.3.1 Problematika Internal
12
2.3.2 Problematika Eksternal
14
2.4. Konklusi
18
xii
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
3. RASIONALITAS: PRESKRIPTIF DAN OBSERVATIF
20
3.1 Introduksi
20
3.2 Rasionalitas Preskriptif
21
3.3.1 Identifikasi
22
3.3.2 Rasionalitas Observatif
25
3.4 Konklusi
32
4. FILSAFAT KOMPREHENSIF
34
4.1 Introduksi
34
4.2 Klarifikasi Filsafat
35
4.3.1 Klarifikasi Rasionalitas
38
4.3.2 Rasionalitas Preskriptif ke Observatif
39
4.4.1 Relasi Filsafat dan Rasionalitas
41
4.4.2 Probabilitas
43
4.5 Implikasi
46
4.6 Konklusi
48
5. PENUTUP
50
5.1 Ikhtisar
50
5.2 Catatan
52
5.3 Saran
55
GLOSARIUM
57
DAFTAR REFERENSI
60
xiii
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
1
BAB I PENDAHULUAN
“The perfection of means, and the confusion of aims, seems to be our main problem.”1 (Albert Einstein)
1.1 Latar Belakang Masalah Berbicara mengenai filsafat berarti berbicara mengenai peradaban manusia; filsafat mengakomodir hasrat kuriositas manusia terhadap pengetahuan. Dimulai sejak zaman yunani kuno, filsafat mewadahi kebutuhan manusia untuk memenuhi hasrat mengetahui dengan bertanya dan mencari jawaban berupa estimasi. Kuriositas manusia era tersebut berkisaran pada pencarian definisi mengenai apa itu dunia. Walaupun status jawaban bersifat estimatik, berfilsafat dengan bertanya dan berestimasi sudah mencukupi nilainya untuk sekedar keluar dari dogmatisasi mitologi. Perkembangan pemikiran manusia pada saat itu tidak hanya terbatas pada permasalahan keduniaan, tetapi juga pada gagasan mengenai rasionalitas, logika, prinsip-prinsip sebagai akses dalam berpengetahuan, bahkan perumusan terhadap hal-hal praktis pada aspek sosial dan politik. Aspek sosial dan politik pada masa itu melahirkan kebijakan–kebijakan praktis dalam berkenegaraan. Salah satunya, yang paling krusial, adalah kebijakan terhadap separasi antara Sparta dan Athena yang menyebabkan keruntuhan yunani. Yunani kembali berada pada puncak kejayaan dibawah pimpinan Aleksander Agung, hingga kemudian kemerdekaan politik Yunani jatuh saat agama Kristen bangkit. Hal ini Semangat
kemudian berdampak langsung terhadap pemikiran filsafat.
rasionalitas
terkungkung
sementara
oleh
dogmatisasi
agama,
1
“Kesempurnaan dari arti, serta kebingungan akan tujuan, nampak seperti masalah utama kita.” Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
2
menyebabkan pemikiran filsafat abad pertengahan merupakan pemikiran yang kental terkait dengan ketuhanan. Seiring perjalanan, agama kemudian dinilai terlalu mendoktrin2 dan tidak cukup untuk menampung hasrat kuriositas manusia terhadap rasa ingin tahu dan berpengetahuan. Kebangkitan semangat terhadap rasionalitas menemukan kembali masanya pada era Renaissance. Ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan alam, lahir dan berkembang sedemikian pesat hingga kini. Pada titik ini filsafat tidak bisa dikatakan sama dengan ilmu–ilmu pengetahuan karena ilmu–ilmu sedemikian sudah mengklaim dirinya dengan metodologi tertentu sehingga identifikasi filsafat (secara historis) tidak sama dengan identifikasi suatu ilmu pengetahuan manapun. Filsafat mulai berperan sebagai investigator ilmu-ilmu lain dan berurusan dengan isu-isu partikular aktual. Berhenti pada kesejarahan singkat filsafat diatas, saya sepakat dengan apa yang Rescher katakan bahwa filsafat memiliki banyak sisi.3 Ini kemudian berimbas pada status filsafat yang disinyalir tidak sebanding dengan ilmu-ilmu pengetahuan disipliner. Perkembangan filsafat tidak sepesat perkembangan ilmuilmu pengetahuan disipliner, sehingga filsafat dianggap tidak lagi bersifat positif, dalam artian memproduksi ilmu pengetahuan. Lebih ekstrim, filsafat dianggap telah mati.4 Objek kajian serta metode beragam yang tidak terspesifikasi berujung pada berbagai visi mengenainya. Situasi ini sekaligus mendesak filsafat untuk dapat merumuskan dirinya sendiri. Inilah yang menjadi titik perhatian saya pada penelitian kali ini; filsafat.
2
Walaupun sebetulnya pernyataan tersebut masih berupa perdebatan. Ada pihakpihak yang menganggap bahwa justru agama merupakan pondasi dari ilmu pengetahuan. 3 Nicholas Rescher. 2007. Interpreting Philosophy, The Elements of Philosophical Hermeneutics. (Heusenstamm : Ontos Verlag Press) 4 Saya mengutip apa yang Stephen Hawking tulis dalam bukunya yang berjudul Grand Design; “..but philosophy is dead. Philosophy has not kept up with modern developments in science, particularly in physics.” Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
3
1.2 Rumusan Masalah Apa yang saya simpulkan dari penjelasan historis singkat pada subbab latar belakang diatas adalah; filsafat memfasilitasi kebutuhan kuriositas manusia. Hal ini berimbas pada berbagai macam metode dan pembahasan, sehingga yang bisa menjadi benang merah terhadap kesemuanya adalah pernyataan bahwa filsafat adalah aktivitas berpikir.5 Menanggapi hal ini, maka permasalahan saya fokuskan kepada dua porsi besar penelitian terhadap filsafat dan rasionalitas, seperti pernyataan Rescher mengenai rasionalitas sebagai instrumen dalam berfilsafat. Lebih rinci, rumusan masalah ini saya jabarkan pada poin-poin dibawah :
Filsafat sebagai aktivitas berpikir. Yaitu bagaimana filsafat, sesuai dengan andilnya selama ini mengakomodir kebutuhuan manusia dengan alat berupa rasionalitas. Sebelum berlanjut pada klarifikasi lebih lanjut terhadap rasionalitas, saya terlebih dahulu memfokuskan pada pembahasan mengenai filsafat sebagai aktivitas. Lebih rinci, saya merumuskannya pada poin-poin pertanyaan seperti: a. Apa dan bagaimana itu filsafat sebagai aktivitas? b. Apa saja permasalahan yang ada pada tubuh filsafat sebagai aktivitas tersebut?
Pada rasionalitas sebagai instrumen aktivitas filsafat. Saya berfokus pada pembahasan rasionalitas dengan pijakan awal berupa definsi rasionalitas secara tradisional. c. Apa dan bagaimana itu rasionalitas?
Terhadap penggabungan antara identifikasi filsafat dan rasionalitas. Penggabungan ini terlebih dahulu menuntut klarifikasi lebih lanjut terhadap terma filsafat dan rasionalitas, kemudian pada apa dan
5
Saya simpulkan dari bacaan Philosophical Reasoning, Nicholas Rescher. (terkhusus pada bab pertama dan terakhir). Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
4
bagaimana keterhubungan keduanya. Lebih rinci saya jabarkan pada sub-poin dibawah: d. Bagaimana keterhubungan cara kerja filsafat dan cara kerja rasionalitas? e. Apakah klarifikasi filsafat dengan rasionalitas serta hubungan
antara
keduanya
menghasilkan
suatu
pernyataan baru mengenai usaha terhadap filsafat komprehensif?
1.3 Kerangka Teori Saya banyak menggunakan gagasan dari Rescher. Filsafat versi Rescher adalah filsafat yang menekankan terutama pada konsistensi dan koherensi. Konsistensi bercirikan pada ketetapan, sedangkan koherensi menuntut keselarasan dan keterkaitan. Pemaparan sepanjang penelitian ini mengandalkan kedua hal tersebut,
dimana
keduanya
membatasi
penggunaan
konsep
dengan
memprioritaskan apa-apa saja yang tetap berada pada wilayah kajian penelitian, dan berkesinambungan satu sama lain. Selain konsistensi dan koherensi, saya juga berporos pada efisiensi dan efektifitas. Dalam artian, ketika konsistensi dan koherensi membawa pada situasi bahwa segala variabel adalah posibilitas, persoalan untuk menentukan berpaku pada kedua prinsip tersebut. Secara aplikatif; suatu variabel diikuti oleh penjelasan yang rasional dan bersifat progresif karena ia berupa rantai sebabakibat yang tidak berhenti. Setelahnya adalah menelusuri rantai tersebut dengan bertendesi untuk memilih yang paling mendasar. Kemudian, menyederhanakan dengan meninggalkan hal-hal yang sudah tidak berguna.
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
5
1.4 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode studi literatur dan analisa, tertuang pada bab dua, bab tiga, dan bab empat. Studi literatur disini berarti mempelajari teori-teori berdasarkan pada estimasi kasar terhadap keterhubungannya dengan kasus. Hasil pembacaan ini kemudian berlanjut pada analisis. Analisis disini berarti
bersikap
selektif
dengan
merangkum
dan
mempertimbangkan
permasalahan untuk kemudian direduksi, direposisi dan dipaparkan secara sistematis.
1.5 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk merumuskan filsafat secara komprehensif. Secara rinci, usaha ini dilatar-belakangi terlebih dahulu pada: 1. Perumusan mengenai filsafat sebagai aktivitas. 2. Perumusan mengenai rasionalitas, baik secara preskriptif maupun observatif.
1.6 Pernyataan Tesis Filsafat adalah produk rasionalitas probabilistik tanpa spesifikasi subjectmatter, evidensi, dan metodologi. Pernyataan tersebut merupakan perumusan terhadap filsafat komprehensif.
1.7 Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan. Bab ini terdiri dari subbab Latar Belakang, Rumusan Masalah, Kerangka Teori, Metode Penelitian, Tujuan Penelitian, Pernyataan Tesis, dan terakhir Sistematika Penulisan. Bab ini merupakan bab pengantar yang dibatasi dengan penjabaran berupa poin-poin inti keseluruhan penelitian.
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
6
BAB II : Aktivitas Filsafat. Bab ini terdiri dari subbab Introduksi, Identifikasi, Problematika Internal, Problematika Eksternal, serta Konklusi. Bab ini berpaku pada teori-teori filsafat, terkhusus pada pembahasan metafilsafat. Saya berkonsentrasi pada definisi mengenai filsafat sebagai aktivitas, lalu berujung pada perumusan masalah sebagai konsekuensi langsung dari definisi filsafat sebagai aktivitas. Tujuan dari penulisan pada bab ini adalah membuka jalan kemungkinan terhadap usaha untuk merumuskan filsafat secara komprehensif.
BAB III : Rasionalitas, Preskriptif dan Observatif. Bab ini berisikan subbab Introduksi, Rasionalitas Preskriptif, Identifikasi dan Rasionalitas Observatif, serta yang terakhir Konklusi. Penjelasan pada bab ini berkisar pada permasalahan rasionalitas terkait historisitas filsafat, ditambah pembahasan rasionalitas pada ranah psikologi dan neuroscience. Sama seperti bab tiga, saya berkutat pada definisi dan bagaimana cara kerja rasionalitas. Misi pada bab ini adalah melihat peluang definisi lebih lanjut terhadap filsafat komprehensif melalui identifikasi rasionalitas sebagai instrumen filsafat.
BAB IV : Filsafat komprehensif. Bab ini terdiri dari subbab Introduksi,
Klarifikasi
Filsafat,
Klarfikasi
Rasionalitas,
Rasionalitas Preskriptif ke Observatif, Relasi Filsafat dan Rasionalitas, Probabilitas, Implikasi, dan Konklusi. Bab ini adalah inti analisa terhadap penelitian ini. Porsi paling besar pada bab ini adalah klarifikasi filsafat dan rasionalitas, selanjutnya adalah klarifikasi keterhubungan. Kemudian, klarifikasi ini menjadi pijakan awal dalam mengajukan pernyataan tesis dari penelitian ini.
BAB V : Penutup. Bab ini terdiri dari tiga subbab, yaitu Ikhtisar, Catatan, dan Saran. Subbab Ikhtisar disini berisikan pemaparan dari inti keseluruhan penelitian, terkhusus pada bab dua, bab tiga,
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
7
dan bab empat. Subbab Catatan dan subbab Saran berisikan catatan dan masukan-masukan terkait tema metafilsafat.6
6
Sebagai tema yang paling dekat (referensi) terhadap pembahasan pada penelitian ini. Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
8
BAB 2 AKTIVITAS FILSAFAT
―The word philosophy means the love of wisdom, but what philosophers really love is reasoning‖7 (Robert Nozick)
2.1 Introduksi Aktivitas filsafat dimulai dengan bertanya, diikuti dengan usaha untuk memberikan jawaban berupa estimasi.8 Tujuan dari aktivitas filsafat tersebut tidak lain ialah pemenuhan hasrat untuk mengetahui dengan instrumen berupa rasionalitas.9 Walau nampak sederhana, kemunculan konsepsi filsafat dengan identifikasi sedemikian merupakan sebuah tonggak sejarah yang telah berhasil membawa peradaban manusia untuk tidak serta-merta mengimani suatu otoritas dogma tertentu, yang pada awalnya berupa mitologi. Pendasaran filsafat berupa aktivitas bertanya dan memberikan estimasi berdasarkan rasionalitas ini kemudian secara konstan menghasilkan repetisi serupa yang secara garis besar (historis) mewujud dalam otoritisasi agama, ilmu pengetahuan, bahkan dalam tubuh filsafat sendiri. Hal ini merupakan konsekuensi dari syarat tradisional filsafat yang berupa pertanyaan, estimasi, dan instrumen 7
―Kata filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan, tetapi apa yang para filsuf benarbenar cintai adalah penalaran‖ 8 Rescher lebih lanjut memaparkan bahwa filsafat sebetulnya mencari optimalisasi rasionalitas melalui best available answer. Jawaban disini berupa dugaan, sebagai jalan keluar terhadap skeptisisme, serta sifat pengetahuan yang terbuka terhadap pertanyaan dan kesalahan. 9 Nicholas Rescher. 2007. Philosophical Reasoning, A Study in the Methodology of Philosophizing. (New York : Oxford University Press) Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
9
rasionalitas yang telah terjelaskan sebelumnya, yaitu bahwa filsafat tidak menaruh perhatian terhadap penetapan objek tertentu sebagai kajian. Konsekuensinya, ia bisa meliputi apa saja selama hal tersebut mengganggu, tidak terkecuali pada seperti apa dan bagaimana cara kerja rasionalitas itu sendiri.
2.2 Identifikasi Gagasan mengenai kepemilikan rasionalitas pada manusia dimunculkan atas kemampuan manusia untuk mempertimbangkan sesuatu hal. Kerja rasionalitas bertujuan sebagai optimalisasi dalam mempertahankan kelangsungan hidup, dengan efisiensi dan efektifitas usaha intelektual untuk menentukan kemungkinan paling baik dalam mencapai suatu tujuan bertindak. Identifikasi rasionalitas sedemikian sejalan dengan usaha filsafat dalam merumuskan aktivitas berfilsafat itu sendiri. Ciri filsafat yang paling dasar terletak pada kondisi alamiah berupa sistem rasionalisasi yang menitik-beratkan pada konsistensi dan koherensi. Konsistensi berperan krusial dalam memahami dan menilai suatu hal atas cara kerjanya yang mengandalkan kepastian. Sedangkan koherensi merupakan syarat utama untuk berposisi dari sekian jumlah kemungkinan, karena jika suatu penalaran itu nilainya inkoheren, maka ia tidak bisa dikatakan benar karena berarti ia tidak berposisi. “The maintenance of rational coherence and consistency is a key task of philosophy.”10 Atensi filsafat terhadap apa itu rasionalitas dan bagaimana itu rasionalisasi sudah dimulai sejak Plato. Beliau mengatakan bahwa prinsip merupakan archai dalam pengetahuan. Serupa, Aristoteles menganggap prinsip sebagai penyebab awal being. Begitu juga dengan Thomas Aquinas; prinsip (principium) merupakan hal 10
“Pemeliharaan koherensi rasional dan konsistensi adalah kunci dari tugas filsafat.‖ Ibid., hal 11.
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
10
utama dalam berpengetahuan. Dengan melihat historisitas tersebut, dapat disimpulkan bahwa prinsip adalah sebuah fondasi yang merupakan akses dalam berpengetahuan.11
―What argues for principles? What is their justifactory rationale? Clearly it is—or ought to be—the factor of functional efficacy. After all, philosophizing is a purposive enterprise. It has an aim or mission: to enable us to orient ourselves in thought and action, enabling us to get a clearer understanding of the big issues of our place and our prospects in a complex world that is not of our own making. And the validation of a philosophical principle must in the final analysis rest on its promise and performance in fostering this enterprise.‖12
Munculnya pertanyaan (sebagai salah satu tindak yang menunjukkan obsesi untuk mengetahui) mengharuskan adanya sebuah proses untuk mengetahui. Proses inilah yang menjadi sentral dalam menentukan estimasi yang nantinya akan dihasilkan. Cara kerja rasionalitas sebagai alat sistemasi yang bersandar pada koherensi dan konsistensi memang merupakan syarat utama dalam pencapaian tujuan. Namun nilainya belum mencukupi, dikarenakan belum adanya prosedur yang bisa membatasi usaha intelektual tersebut sehingga rentan untuk terjebak ke dalam situasi yang kompleks dan bercabang-cabang. Inilah yang menjadi tugas dari prinsip, yaitu meminimalisir permasalahan.
11
Nicholas Rescher. 2006. Philosophical Dialectics, An Essay on Metaphilosophy (New York : State of University New York Press). 12 “Apa yang dapat membuktian prinsip-prinsip? Apa sajakah pembenaran rasional mereka? Secara jelas—atau seharusnya —ialah faktor dari keampuhan fungsional. Bagaimanapun juga, berfilsafat merupakan sebuah usaha bertujuan. Ia memiliki tujuan atau misi: memungkinkan kita untuk mengorientasikan diri kedalam pemikiran dan tindakan. Memungkinkan kita untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas terhadap isu-isu besar dari tempat kita dan prospek kita didalam sebuah dunia kompleks yang tidak kita buat sendiri. Dan validasi dari prinsip filsafat harus berada dalam analisis final yang bersandar pada kesanggupan dan kinerja dalam mengembangkan usaha ini.” Ibid., hal 2. Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
11
Secara mendasar, prinsip pada filsafat dibedakan dalam tiga divisi, yaitu:13
Prinsip Kecukupan (informasi). Didalam prinsip ini terdapat tiga subdivisi lain, yaitu: jangan menghambat penelitian, semua bentuk afirmasi adalah negasi, dan semua entitas mengandung identitas. Misi dari prinsip ini ialah memungkinkan pengetahuan (karena –salah satunya- melalui prinsip ini ia menolak gagasan skeptisisme radikal) dan berposisi, dengan disertai penjelasan argumentatif.
Prinsip Pembuktian (argumentasi). Yang menjadi tujuan dari prinsip ini ialah peyakinan. Ia terbagi lagi menjadi empat sub-prinsip; semua alasan harus berdasarkan pada rasionalitas, segala sesuatu memiliki penyebab, konklusi yang selalu mengikuti bagian terlemahnya, dan tendensi untuk memilih alternatif yang paling tidak dapat diterima.
Prinsip Ekonomis (efisiensi). Prinsip ini mengandung delapan prinsip lain, yaitu penghilangan imposibilitas, pemenuhan terhadap hal-hal yang tidak bisa dimiliki bernilai absurd, penjelasan sesuatu yang tidak jelas dengan sesuatu yang lebih jelas, penyederhanaan kompleksitas, multiplikasi entitas hanya sesuai dengan kebutuhan, tidak ada hukum terhadap keniscayaan, sesuatu yang sudah jelas tidak semestinya direpetisi, dan peninggalan terhadap sesuatu yang sudah tidak ada gunanya. Kesemuanya merupakan usaha untuk menghindari tindak-tindak yang tidak diperlukan.
Dalam prosesnya, ketiga prinsip diatas bekerja secara simultan dan hubungan diantara ketiganya bersifat horizontal. Tidak ada yang lebih mendasar atau lebih 13
Ibid. Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
12
superior. Kesemuanya memiliki tujuan yang sama berupa pembatasan, dan saling berkesinambungan.
Prosedur
sedemikian
bermaksud
untuk
menghindari
permasalahan inkonsistensi, inkoherensi, dan inefisiensi. Walaupun, aplikasi prinsip diatas bisa berujung pada kondisi yang aporetik; situasi yang masuk akal secara individual namun inkonsisten secara kolektif. ―..in philosophy we must often reason from mere plausibilities, from tempting theses that have some substantial claim on our acceptance but are very far from certain. And so it can transpire here that the theses we endorse are inconsistent—conflicting plausibilities rather than assured compatible truths. Thus, aporetic situations arise, circumstances in which the various theses we are minded to accept prove to be collectively incompatible.‖14
Hanya ada dua pilihan rasional yang bisa dilakukan dalam menghadapi situasi yang aporetik, yaitu menjadi skeptis dengan benar-benar meninggalkan kesemua permasalahan, atau menyelesaikan masalah tersebut dengan mengusahakan pilihan yang paling bernilai guna.15
2.3.1 Problematika Internal Dengan melihat historisitasnya, filsafat ialah sebuah usaha intelektual manusia untuk memenuhi rasa ingin tahu dengan alat berupa rasionalitas serta tujuan berupa rasionalisasi. Kuriositas manusia sebagai penggerak aktivitas filsafat tidak
14
“...dalam filsafat kita seringkali harus memberikan alasan dengan masuk akal, dengan mencoba thesis yang untuk kita mempunyai beberapa klaim substansial tetapi sangat jauh dari kepastian. Dari hal tersebut bisa terjadi situasi bahwa thesis yang kita usahakan itu tidak konsisten- berlawanan dengan hal–hal yang masuk akal daripada memastikan kebenaran yang kompatibel. Demikianlah, situasi aporetik muncul, keadaan di mana berbagai macam thesis yang telah kita terima dan buktikan menjadi tidak kompatibel secara kolektif.” Ibid., hal 17. 15 Nicholas Rescher. 2007. Philosophical Reasoning, A Study in the Methodology of Philosophizing. (New York : Oxford University Press). Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
13
memungkinkan filsafat untuk membatasi dirinya terhadap subject–matter dan metodologi. Dikarenakan ia adalah alat, maka luas wilayah filsafat sebanding dengan luas wilayah pengetahuan manusia itu sendiri, sejauh pengetahuan tersebut bisa diproses, dan proses ini memungkinkan untuk menghasilkan pengetahuan lain.
“What makes an issue philosophical is not the topic but the mode of treatment and the point of view from which the topic is considered. Philosophizing represents the product of people's attempts to bring intelligible order into our often chaotic experience of the world.”.16 Yang menjadi tugas utama filsafat adalah rasionalisasi, filsafat bergerak sebagai proses dan fungsi maksimalnya hanya berupa pencapaian estimasi. Prosesi filsafat berpegang pada koherensi dan konsistensi dengan tujuan berupa efisiensi, dan apa-apa saja yang dihasilkan bernilai cukup terhadap suatu nilai tertentu. Andaikan aktivitas tersebut memenuhi syarat, permasalahan paling mendasar yang muncul kemudian ialah situasi aporetik. Kondisi aporetik ini merupakan konsekuensi, sekaligus juga merupakan permasalahan yang ada didalam tubuh filsafat. Ketika sesuatu bergerak sebagai proses, tentu ia sekaligus menuju hasil. Pada filsafat, hasil ini seringkali menjadi situasi aporetik. Saya mengutip contoh yang diberikan oleh Rescher: 17
16
“Apa yang membuat sebuah isu itu filosofis bukan terletak pada topiknya tetapi pada cara menangani dan dari sudut pandang apa topik tersebut di pertimbangkan. Berfilsafat merepresentasikan produk dari usaha manusia untuk menghadirkan keteraturan yang dapat di mengerti ke dalam pengalaman kita yang seringkali kacau di dalam dunia”. Nicholas Rescher. 2007. Interpreting Philosophy, The Elements of Philosophical Hermeneutics. (Heusenstamm : Ontos Verlag Press)., hal 10. 17 1) Realitas itu satu: Eksistensi yang benar itu bersifat homogen. 2) Materi itu nyata (hidup-sendiri) 3) Bentuk itu nyata (hidup-sendiri). 4) Materi dan bentuk itu berbeda (bersifat heterogen). Nicholas Rescher. 2007. Philosophical Reasoning, A Study in the Methodology of Philosophizing. (New York : Oxford University Press)., hal 94. Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
14
1) 2) 3) 4)
Reality is one: Real Existence is homogeneous. Matter is real (self-subsistent). Form is real (self-subsistent). Matter and form are distinct (heterogeneous).
Keempatnya merupakan beberapa pemikiran filsuf Prasokrates yang dinilai masuk akal. Namun, nilai kesemuanya tidak konsisten satu sama lain. Tiap-tiap versi tersebut bisa membawa argumentasi dukungan dari berbagai kubu-kubu aliran pemikiran tertentu. Contoh lain bisa ditemui pada pemikiran metafisika abad tujuh belas mengenai substansi, perbincangan mengenai fakta dan nilai, atau sesederhana memperbandingkan sesuatu hal dari area pembahasan atau aliran yang berbeda.18 Inilah yang saya sebut sebagai problematika internal, yaitu problematika yang ada didalam tubuh tindak filsafat itu sendiri. Filsafat, seperti telah saya sebutkan sebelumnya, memang berupa instrumen. Ini sekaligus berarti bahwa ia juga bergerak sebagai proses. Sebuah prosesi adalah kemenujuan, ia mengindikasikan pencapaian terhadap suatu hasil dan filsafat tidak bisa mengelak hasil yang inkonsisten; situasi aporetik.
2.3.2 Problematika Eksternal Sedangkan yang saya maksud sebagai problematika eksternal adalah permasalahan filsafat dengan perihal diluar filsafat. Yang dipermasalahkan adalah posisi filsafat sebagai usaha intelektual dengan usaha-usaha intelektual lainnya. Maksudnya, secara spesifik, apakah peran filsafat (dengan mengenyampingkan dahulu problematika internal dan menganggap filsafat sebagai satu kesatuan yang dihadapkan dengan wilayah diluar filsafat) dengan non-filsafat itu berimplikasi terhadap situasi tertentu pada tubuh filsafat itu sendiri atau tidak. Usaha intelektual non-filsafat ini saya fokuskan pada ilmu-ilmu pengetahuan.
18
Ibid Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
15
Hingga sebelum era Renaissance, klaim berilmu pengetahuan kental melekat pada tubuh filsafat. Dengan bertindak sebagai sistemasi dan rasionalisasi, filsafat berhasil menghasilkan pengetahuan yang bersifat cukup dan produktif. Pada awalnya filsafat memang bersifat positif, dalam artian menghasilkan ilmu pengetahuan dan klaim ilmu berpengetahuan itu inheren didalam tubuh filsafat. Ilmu pengetahuan maju secara linier dan mengalami kemajuannya yang paling pesat pada era Renaissance. Atensi terhadap apa itu ilmu pengetahuan mendapatkan porsi besar pada masa itu. Pada titik ini filsafat tidak bertugas sendirian dalam memenuhi hasrat kuriositas manusia, dikarenakan pada masa itu ilmu pengetahuan -terutama ilmu pengetahuan alam- muncul dan terpisah dari filsafat. Filsafat tidak bisa lagi disamakan dengan ilmu–ilmu pengetahuan tersebut karena ia tidak memiliki prinsip dan metode yang sama. Selain pada metodologi, perbedaan yang paling krusial dari keduanya terletak pada spesifikasi subject–matter dan evidensi (seperti misalnya evidensi pada matematika berupa pembuktian, biologi pada eksperimen, atau dokumentasi pada ilmu sejarah19). Kedua hal tersebut bukan merupakan syarat dalam filsafat. Filsafat adalah aktivitas yang memproduksi diskursus. Diskursus yang dilahirkan oleh filsafat berupa pemikiran atau teori mengenai sesuatu hal tidak bisa disebut sebagai ilmu (sains) melainkan pengetahuan (knowledge). Ini dikarenakan cara kerja filsafat yang tidak tersepesifikasi pada suatu subject-matter atau metodologi dan tanpa evidensi, hal-hal yang merupakan syarat krusial dalam sains, sehingga filsafat tidak bisa dikategorikan sebagai sains. Ilmu–ilmu tersebut hingga kini terus berkembang pesat, produktif, dan telah berhasil menjawab sebagian besar pertanyaan–pertanyaan besar filsafat. Jawaban yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan tidak lagi hanya bersandar pada koherensi dan konsistensi, namun sudah di sertai dengan pembuktian. Misalnya pada biologi yang
19
Timothy Williamson. 2007. Philosophy of Philosophy. (Oxford: Blackwell Publishing Press) Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
16
evidensinya berupa eksperimen, nilai kebenarannya divalidasi oleh eksperimen itu sendiri. Dengan cara kerjanya yang demikian, ilmu-ilmu tersebut sungguh menghasilkan jawaban yang lebih bisa mengakomodir obsesi manusia atas pengetahuan, tidak sebanding dengan perkembangan filsafat. Bahkan, klaim berilmu pengetahuan pada filsafat bisa jadi tidak lagi bernilai positif karena ia, sesuai dengan definisi awal, hanya merupakan sistem rasionalisasi yang pencapaian maksimalnya berupa estimasi tanpa evidensi. “In general, then, the style of nineteenth century philosophizing – not just in metaphysics and ethics but all across the board – was to endeavor to resolve far reaching philosophical issues on the basis of small cluster of rather straight forward and compact principles. And at the end of the period, the turn-of-the-century philosophers still reflected the heritage, with versions of this centralizing style of philosophizing exemplified in the intuitionism of G.E. Moore, the neutral monism of Bertrand Russell, the vitalism of Henri Bergson, or the pragmatism of William James. The philosophers of this era were usually still engaged in articulating various relatively compact centralprinciple theories which, nevertheless, were sufficiently ambitious to claim a capacity to ―do it all‖.”20
Filsafat, mulai dari abad 19 tidak lagi hanya berurusan dengan prinsip, metafisika, ataupun pada nilai-nilai. Latar belakang sejarah menjadi salah satu faktor lahirnya pembahasan baru semacam feminisme, multikulturalisme, eksistensialisme 20
“Secara umum, lalu, ciri dari filsafat abad 19 – bukan hanya pada metafisika dan etika namun pada semua lintas – adalah untuk mengusahakan penyelesaian secara dalam isu-isu filsafat pada kelompok-kelompok kecil dengan prinsip yang padat dan jelas. Di akhir periode, filsuf penutup abad ini masih merefleksikan warisan tersebut, dengan versi dari sentralisasi ciri berfilsafat yang di contohkan dalam intuisionisme oleh G.E. Moore, monisme netral oleh Bertrand Russell, vitalisme oleh Henri Bergson, atau pragmatisme oleh William James. Filsuf pada era ini biasanya masih terikat dalam mengartikulasikan berbagai teori mengenai prinsip sentral yang padat dan bersifat relatif, meskipun, secara sufisien bersifat ambisius menuntut sebuah kemampuan untuk ―melakukan semuanya‖.‖ Nicholas Rescher. 2007. Philosophical Reasoning, A Study in the Methodology of Philosophizing. (New York : Oxford University Press)., hal 258. Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
17
serta isu–isu sosial terkait implikasi penggunaan teknologi. Ditambah, seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, filsafat menjadikan ilmu pengetahuan tersebut menjadi salah satu objek kajiannya. Kondisi filsafat yang sporadis, dengan banyaknya objek kajian dan perumusan metodologi
melahirkan
diskursus
dengan
kuantitas
massif.
Tidak
mudah
mendefinisikan filsafat ditengah situasi yang aporetik secara internal dan kompleks secara eksternal tersebut. Disinilah letak urgensi untuk bermetafilsafat (berfilsafat mengenai filsafat); mempertanyakan dan merumuskan dirinya sendiri. “After all, how can philosophy possibly stay simple in an awesomely complex world? How can our philosophical view of the world remain between the covers of a single book when our libraries are bursting beyond their four walls?”21
Sesuai dengan tugasnya yang berupa sistemasi, perumusan filsafat dimulai dengan mengategorisasi. Terdapat dua pandangan mengenai kategorisasi filsafat kontemporer, yaitu secara partikular dan keseluruhan. Partikularisme berurusan dengan isu–isu lokal dan fokus terhadap eksplanasi mikro. Ciri yang paling kentara dari pandangan partikularisme ini ialah; Ia berurusan dengan kasus konkrit dan spesifik dengan menggunakan prinsip–prinsip logika dan bahasa. Disini filsafat lebih bersifat aplikatif terhadap isu–isu partikular.22 Sebaliknya, filsafat secara keseluruhan menekankan pada sistematisasi. Orientasinya lebih bersifat tradisional, berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan besar filsafat dengan sistemasi yang komprehensif dan terorganisir. Walaupun
21
“Setelah semuanya, bagaimana mungkin filsafat tetap sederhana di dalam dunia yang sangat kompleks? Bagaimana bisa pandangan filosofis kita mengenai dunia berada di antara sampul buku dalam sebuah buku ketika perpustakaan kita meledak dibalik empat tembok mereka? Nicholas Rescher. 2007. Interpreting Philosophy, The Elements of Philosophical Hermeneutics. (Heusenstamm : Ontos Verlag Press)., hal 171. 22 Ibid. Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
18
bericirikan filsafat tradisional, pandangan mengenai filsafat keseluruhan ini tidak serta-merta menggunakan prinsip yang sama dengan versi terdahulunya. Alasannya jelas, situasi yang lebih kompleks dan sulit mendesak kebutuhan akan peralatan yang sepadan. Diluar kedua disposisi di atas, terdapat juga berbagai pandangan mengenai filsafat, terkhusus pada era kontemporer. Diantaranya ialah, sebagai retorika semata, modalitas ketiga, atau bahkan yang paling ekstrim; filsafat adalah sejarah dan kini ia telah mati.
2.4 Konklusi Kembali melihat definisi filsafat secara tradisional, ia merupakan usaha intelektual yang dimunculkan atas hasrat kuriositas manusia.23 Tujuan utama filsafat ialah rasionalisasi dengan instrumen berupa rasionalitas dan fungsi maksimalnya yang berupa estimasi. Filsafat tidak memiliki subject–matter tertentu sehingga luas wilayah filsafat sebanding dengan luas wilayah pengetahuan manusia. Cara kerja filsafat menimbulkan masalah didalam tubuh filsafat itu sendiri berupa situasi yang aporetik, hingga memunculkan beberapa pandangan bahwa filsafat itu tidak berarah dan tidak berarti. Obsesi manusia terhadap pengetahuan kemudian diakomodir oleh ilmu pengetahuan pada era Renaissance. Ilmu–ilmu tersebut memiliki spesifikasi dan pembuktiannya sendiri yang tidak dimiliki oleh filsafat.
23
Saya sepakat dengan Rescher yang mengatakan bahwa kekuatan manusia itu terletak pada otak. Pengejaran terhadap pengetahuan merupakan hal alamiah, manusia adalah makhluk intelektual. Hasrat untuk mengetahui terlihat dari bertanya dan kebutuhan akan jawaban. Manusia adalah Homo Quarens. Nicholas Rescher. 2007. Philosophical Reasoning, A Study in the Methodology of Philosophizing. (New York : Oxford University Press). Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
19
Latar belakang yang kompleks dan ciri filsafat yang terlalu general menyebabkan -pada era modern hingga kontemporer- pembahasan filsafat yang bercabang-cabang. Berbagai macam pandangan terhadap diskursus tradisional filsafat, prinsip dan metodologi, lahirnya pembahasan baru hingga klaim ilmu-ilmu pengetahuan sebagai objek kajian filsafat mendesak filsafat untuk mempertanyakan dan merumuskan dirinya sendiri. Dari situ, muncul berbagai visi mengenainya. Apa yang menjadi tujuan saya dalam penulisan pada bab ini ialah mendeskripsikan filsafat tersebut sesuai dengan ciri tradisional berorientasi rasionalitas. Pada bab selanjutnya saya akan menjelaskan terminologi tradisional rasionalitas dalam historisitas filsafat, serta pembahasan mengenainya melalui pendekatan psikologis dan neuroscience.
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
20
BAB 3 RASIONALITAS PRESKRIPTIF DAN OBSERVATIF “We are neither numerous and prolific (like the ant and the termite), nor tough and agressive (like the shark). Weak and vulnerable creatures, we are constrained to make our revolutionary way in the world by the use of brain power”24 (Nicholas Rescher)
3.1 Introduksi Pada bab sebelumnya telah saya paparkan mengenai ciri filsafat tradisional (sebagai aktivitas, sistematisasi)25 dengan instrumen rasionalitas. Dengan karakteristik tersebut, muncul dua permasalahan utama, yaitu situasi aporetik, serta posisi filsafat sebagai usaha intelektual dengan ilmu-ilmu pengetahuan. Menanggapi permasalahan sedemikian dan dengan melihat rasionalitas sebagai instrumen yang memungkinkan aktivitas berfilsafat, bab ini secara terkhusus akan membahas terma rasionalitas, guna mencapai pendefinisian yang lebih tajam. Tujuannya adalah untuk mengetahui apa itu rasionalitas, bagaimana rasionalitas itu bekerja, sekaligus nantinya memaparkan kesimpulan yang menunjukkan bagaimana rasionalitas memiliki peran yang krusial dalam aktivitas berfilsafat. Rasionalitas bertujuan untuk mencari nilai kebenaran, demi mencapai kehidupan yang berbahagia dan harmonis. Pencarian nilai kebenaran disini merupakan pelampiasan terhadap tendensi manusia untuk selalu mencari 24
“Kita tidaklah bergerombol dan berkembang biak dengan subur (seperti semut dan rayap), juga tidak kuat dan agresif (seperti hiu). Makhluk lemah dan mudah terserang, kita dibatasi untuk membuat jalan revolusioner kita di dunia dengan penggunaan kekuatan otak”. 25 Rescher menekankan bahwa, secara menyeluruh, tugas dasar filsafat adalah mensistematisasi karena ia, minimal, memberikan standarisasi epistemik. Filsafat sebagai aktivitas disini merupakan aktivitas yang sistematik. Nicholas Rescher. 2007. Philosophical Reasoning, A Study in the Methodology of Philosophizing. (New York : Oxford University Press). Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
21
penjelasan terhadap suatu alasan atau pertimbangan. Hal ini bagi Aristoteles merupakan fungsi eksklusif manusia yang membedakannya dengan makhluk lain. Disinilah letaknya kebaikan bagi manusia, yaitu ketika seseorang melakukan tindak yang rasional, disitulah ia mencapai kebahagiaan tertinggi.26
3.2 Rasionalitas Preskriptif Sejak pertama kali konsepsi rasionalitas dimunculkan, hal yang sangat ditekankan adalah distingsi terhadap aspek moral serta tindak intuitif.27 Rasionalitas tidak berurusan dengan hal-hal demikian. Keduanya dianggap irrasional karena tidak ada unsur pertimbangan logis dalam tindak intuitif, serta kepemilikan pertimbangan nilai pada moralitas yang tujuan utamanya berupa nilai kebaikan. Hal tersebut menjadi masalah karena titik perhatian rasionalitas ialah pada tindak mempertimbangkan yang bertendensi pada standarisasi nilai kebenaran melalui penyimpulan logis. Moralitas sangat dimungkinkan untuk tidak mengacu pada pertimbangan yang berdasarkan pada nilai-nilai kebenaran tersebut. Rasionalitas
juga
merupakan
konsep
normatif.28
Titik
perhatian
rasionalitas terletak pada penilaian rasional atau irrasionalkah perihal tersebut. Selain konsepsi normatif, rasionalitas juga merupakan konsep deskriptif yang beracuan pada penggunaan perangkat gramatik dan logika sebagai tolak ukur general. Rasionalitas tidak memiliki satu karakteristik linier. Ia terpisah dalam spesifikasi yang distingtif. Sampai disini poinnya adalah rasionalitas sebagai aktivitas bernalar yang menekankan pada nilai-nilai kebenaran secara normatif dan deskriptif. Masalahnya kemudian ialah bagaimana menjembatani antara yang normatif dan deskriptif tersebut karena yang normatif itu kontekstual, dalam artian ia tak lepas dari dimensi kebergunaan yang berlaku secara partikular sehingga ia tidak objektif. Sedangkan disisi lain, konsepsi deskriptif merupakan pembatasan yang dimunculkan atas urgensi pengusahaan pemahaman yang general. Yang normatif 26
Nicholas Bunnin and Jiyuan Yu. 2004. The Blackwell Dictionary of Western Philosophy. ( Oxford: Blackwell Publishing Press). 27 Ibid 28 Ibid Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
22
rentan untuk jatuh kedalam relativitas subjektif, otomatis ia bertabrakan dengan cita-cita objektivitas terhadap pemahaman general. Dalam menanggapi hal tersebut dan dengan dikerangkeng misi dari penelitian ini, saya menarik tiga kemungkinan pilihan. Yang pertama adalah dengan menghilangkan salah satu diantara kedua konsep acuan rasionalitas (normatif dan deskriptif), yang kedua berupa penambahan prinsip terhadap basis rasionalitas, sedang yang ketiga adalah kemungkinan alternatif, yaitu bukan keduanya. Kesemuanya sama-sama bertujuan untuk merumuskan kembali konsepsi rasionalitas secara fundamental.
3.3.1 Identifikasi Ketika dihadapkan oleh pilihan, yang perlu diperhatikan terlebih dahulu bukanlah apa yang akan dipilih, namun bagaimana memilih. Untuk mencapai kebagaimanaan tersebut, saya berpaku pada penetapan paling awal dari rasionalitas. Adalah Aristoteles yang bertanggung jawab terhadap kategorisasi manusia sebagai animal rationale.29 Rasionalitas pada saat itu terbatas pada urusan penalaran yang dibatasi oleh aturan-aturan logika, karena (secara sederhana) cara kerja logika yang mengidentifikasi hubungan antar-kalimat. Logika merupakan teori penyimpulan dengan mengandalkan kepastian-kepastian yang berada dalam proposisi. Inilah yang menurut saya menjadi inti karena sebagaimanapun logika telah berkembang dan menjadi lebih kompleks, kesemuanya masih bercirikan sedemikian. Yang ingin ditunjukkan disini ialah ide bahwa manusia itu rasional dan rasionalitas dicirikan pada logika. Kepastian pada logika berperan ganda, yaitu sebagai teori yang tak dapat diganggu gugat; mewujud pada prinsip, serta pada kepastian yang berada didalam proposisi itu sendiri.
29
Merupakan istilah berbahasa Yunani yang berarti “hewan rasional”. Istilah ini merupakan salah satu konsekuensi langsung dari pemikiran metafisisnya mengenai kategorisasi. Singkatnya, manusia adalah hewan dan yang membedakan manusia dengan hewan lain ialah rasionalitas. Pembedaan tersebut secara praktis terletak pada kemampuan manusia dalam berbahasa. Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
23
Kembali
pada
perihal
tiga
kemungkinan
mengenai
rasionalitas
sebelumnya, selanjutnya saya beranjak ke identifikasi posibilitas yang saya jabarkan pada poin-poin dibawah.
Terhadap penghilangan salah satu antara konsep normatif dan deskriptif. Menghilangkan yang normatif berkonsekuensi pada nilai kebenaran yang nilainya sangat kokoh, ia bisa menjadi sangat tidak representatif. Bisa dibayangkan bahwa situasinya menjadi; logika yang menghasilkan 30
kebenaran .
kebenaran, Sedangkan
bukan jika
logika
yang
menghilangkan
menyimpulkan sisi
deskriptif,
konsekuensinya ia jatuh kepada subjektifitas relatif, sehingga rasionalitas tidak berfungsi sebagai pemahaman yang general.
Terhadap penambahan gagasan terhadap rasionalitas. Wacana ini sebetulnya sudah kaya secara kuantitas. Sekian jumlah tokoh banyak menggali ranah ini. Tersebutlah misalnya, penambahan prinsip-prinsip logika yang diadaptasi dari cara kerja matematika, kajian bahasa, ekonomi (untuk hal ini ia lebih bersifat praktis, rasionalitas dikatakan sebagai tindak yang tak lepas dari dimensi efisiensi dan utilitas), maupun gabungan antara satu dengan lainnya. Sampai saat ini saya masih sepakat bahwa apapun gagasan yang ditawarkan tidak akan terlepas dari ketiga hal diatas.
Dengan merujuk pada identifikasi kasar diatas, saya lebih memilih alternatif ketiga, yaitu bukan keduanya. Saya tidak memilih yang pertama karena
30
Argumentasi pendukung dari poin ini bisa saya ambil dari contoh metode penelitian terhadap aspek kognitif otak, melalui pendekatan psikologistik, yaitu conclusion evaluation task dan conclusion production task. Ada dua model pendekatan terhadap penelitian penyimpulan logis, terkhusus pada pendekatan deduktif. Jonathan St. B. T. Evans. 2002. Logic and Human Reasoning: An Assessment of the Deduction Paradigm. (University of Plymouth: The American Psychological Association Press) Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
24
(seperti yang sudah dipaparkan) keduanya sangat krusial, penganuliran salah satu diantaranya berkonflik dengan tujuan penyimpulan dan generalisasi rasionalitas. Menanggapi alternatif kedua, telah saya katakan bahwa penambahan tidak akan terlepas dari ciri matematis, linguistis, serta ekonomis. Setipe dengan permasalahan konsep normatif yang kontekstual, penambahan ini juga segmentatif dan tergantung tujuan. Sebenarnya ini terlampau bukan masalah, selama ia didasari oleh penjelasan yang mumpuni. Tetapi saya berpegang pada pencarian terlebih dahulu mengenai rasionalitas tersebut, untuk kemudian melihat kemungkinan peluang terhadap penambahan gagasan rasionalitas tersebut. Inilah yang saya maksud dengan alternatif ketiga. Pada tahun 2003, Max Bennett dan Peter Hacker menerbitkan sebuah buku berjudul
Philosophical
Foundations
of
Neuroscience.31
Buku
tersebut
memaparkan bagaimana neuroscience berdiri sebagai sains dengan disponsori oleh pertanyaan-pertanyaan besar filsafat. “..conceptual questions (concerning, for example, the concepts of mind or memory, thought or imagination), the description of the logical relations between concepts (such as between the concepts of perception and sensation, or the concepts of consciousness and self-consciousness), and the examination of the structural relationships between distinct conceptual fields (such as between the psychological and the neural, or the mental and the behavioural are the proper province of philosophy..”32 Cara kerja neuroscience menghubungkan konsepsi psikologi dengan investigasi terhadap otak secara fisik. Psikologi bekerja melalui pendekatan kuantitifikasi stimulus dengan metode sedemikian rupa, sedangkan investigasi terhadap otak secara fisik berkutat pada observasi mekanisme otak. Tugas filsafat 31
Maxwell Bennett, Daniel Dennett, Peter Hacker, dan John Searle. 2007. Neuroscience and philosophy : brain, mind, and language. (New York : Columbia University Press) 32 “..pertanyaan-pertanyaan konseptual (mengenai, misalnya, konsep dari akal budi atau ingatan, pemikiran atau imajinasi), deskripsi dari relasi logis antara konsep-konsep (seperti diantara konsep persepsi dan sensasi, atau konsep dari kesadaran dan kesadaran-diri), dan pemeriksaan dari relasi struktural antara distingsi ranah konseptual (seperti antara psikologis dan neural, atau yang mental dan perilaku) merupakan daerah yang seharusnya untuk filsafat..” Ibid., hal 4. Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
25
disini adalah menginvestigasi hubungan logis diantara konsepsi psikologis tersebut, sedangkan investigasi detail yang menjelaskan penelitian otak adalah tugas neuroscience.33 Dengan didasari oleh permasalahan filosofis, konsepsi psikologis, dan cara kerja model saintifik dengan evidensi berupa eksperimen, pencarian mengenai rasionalitas selanjutnya akan mengarah ke riset psikologis dan neuroscience.
3.3.2 Rasionalitas Observatif Berat otak manusia berkisar sekitar tiga pound, memiliki lapisan selaput otak sekitar tiga puluh milyar neuron, serta terdiri dari satu juta milyar koneksi.34 Neuroscientist mengasumsikan bahwa otak memiliki wilayah luas berupa area kognitif, kogitatif, dan perseptual.35 Disini saya berfokus pada wilayah kognitif, dikarenakan riset kognitif pada neuroscience merupakan investigasi eksperimental yang bertujuan untuk mencari kebenaran empiris terhadap fondasi dan prosesi cara kerja otak manusia secara mendasar. Kemampuan semantik dan simbolik merupakan kemampuan dasar yang dimiliki oleh otak manusia. Kemampuan ini secara praktis mewujud dalam kemampuan berbahasa, karena keduanya mengindikasikan pemahaman terhadap tanda. Dengan kemampuan dasar berbahasa, manusia terbebas dari limitasi momentum kekinian. Yang mendukung hal tersebut, selain kemampuan mendasar berbahasa, adalah kapasitas memori. Cara otak bekerja juga lebih bertendensi kepada pola, spesifikasi, detail, dan metafor.36 Secara teknis, kerja kognitif otak teraplikasi pada tindak mengetahui, penalaran induktif, konstruksi hipotesis kedalam pendasaran argumentasi, estimasi probabilistik, hingga presentasi argumen. Setiap bagian dari otak 33
Ibid., Gerald M. Edelman. 2006. Second Nature Brain Science and Human Nature.(New Heaven and London: Yale University Press) 35 Maxwell Bennett, Daniel Dennett, Peter Hacker, dan John Searle. 2007. Neuroscience and philosophy : brain, mind, and language. (New York : Columbia University Press) 36 Gerald M. Edelman. 2006. Second Nature Brain Science and Human Nature.(New Heaven and London: Yale University Press) 34
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
26
(terkhusus pada celebral cortex) berspesifikasi pada kegiatan organisasi dan sortir. Kesemuanya memiliki benang merah yang sama, yaitu sama-sama menggunakan fungsi memori.37 Ini menunjukkan bahwa ia (memori) merupakan faktor krusial dalam berproses. Pada manusia, memori memiliki limitasi sebesar limitasi pada kapasitas memori itu sendiri. Sehingga, semakin kompleks model penalaran berimbas pada semakin sulitnya tugas tersebut diproses dalam otak. Otak adalah mesin penyimpulan yang bersifat probabilistik. Tetapi bukan dalam artian bahwa ia merupakan penyelesai masalah secara verbal, atau secara matematis menyimpulkan permasalahan probabilitas. Cara kerja otak dalam menyimpulkan ialah penalaran probabilistik yang kualitatif; otak bersepakat untuk memahami ketidak-pastian secara kualitatif, berbasis konteks, dalam situasi keterdesakan posibilitas. Dengan demikian, konsepsi probabilitas menjadi pemahaman yang krusial pada diri manusia dalam bernalar.38 Kembali sejenak pada wacana rasionalitas, sebelumnya telah saya sebutkan bahwa definisi rasionalitas tradisional adalah penalaran berdasarkan pada konsepsi deskriptif berupa penyimpulan yang didasari oleh prinsip logis, dan nilai normatif yang kontekstual. Dari situ jelas terlihat bahwa rasionalitas lebih dari sekedar logika, karena ia berupa salah satu pendasaran. Sebelum masuk pada pembahasan logika, terlebih dahulu saya akan masuk kedalam fokus pembahasan terhadap penalaran versi sains terkhusus pada pendekatan psikologis dan neuroscientific. Ada dua buah model penalaran utama.39 Yang pertama adalah penalaran analitik, bercirikan pada aplikasi logis dan mekanisme sistematik formal. Sedangkan yang kedua adalah penalaran heuristik yang bertendensi pada prosesi asosiatif, holistik, fleksibilitas, dan sensitivitas konteks. Model pertama berimplikasi pada dua buah dikotomi formal, yaitu:
37
Ibid Oaksford, M., & Chater, N. 2007. Bayesian Rationality: The Probabilistic Approach to Human Reasoning. (Oxford, UK: Oxford University Press) 39 David Moshman. 2004. Thinking and Reasoning. (University of Nebraska, Lincoln, USA: Psychology Press) 38
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
27
Penalaran berdasarkan peraturan logis dan matematis.
Penalaran prinsipil yang didasari pada prinsip-prinsip abstrak, semisal pada pemahaman moralitas atau estetis.
Sementara model kedua terbagi lagi kedalam dua cabang penalaran, yaitu:
Penalaran analogis, yaitu penyimpulan berdasarkan pertimbangan kemiripan satu dengan lain hal.
Penalaran presedentif yang bersinggungan dengan koherensi dan legitimasi.
Kita masuk terlebih dahulu pada pembahasan terkait model pertama yaitu logika dan matematika (matematika disini bukan merujuk pada ilmu, namun lebih kepada prinsip). Keduanya sama-sama bersyaratkan kepastian. Cara kerja keduanya berupa penetapan terhadap kepastian dan konsistensi. Jika prinsip yang pasti ini diaplikasikan kedalam tindak bernalar, misalnya ketika dihadapi oleh proposisi40 (secara aplikatif, bisa juga terlihat dalam kegiatan penyelesaian soal, mengambil putusan, berargumentasi, merencanakan, juga menilai), tidak akan jadi soal jika nilai pada proposisi tersebut konsisten. Yang jadi masalah adalah jika situasi yang dihadapi inkonsisten. Ketika dihadapkan oleh sebuah proposisi, respon yang muncul adalah menilai apakah sebuah proposisi itu konsisten atau inkonsisten.41 Caranya adalah
40
Penalaran pada proposisi adalah kemampuan untuk menggambarkan konklusi dengan basis kata hubung pada tiap proposisi. Penalaran deduktif, misalnya, harus menyertakan beberapa ketetapan untuk mengontrol struktur kalimat pada bahasa, baik dengan mengadaptasi aturan deduktif itu sendiri atau dengan menspesifikasikan bentuk sistemasi bahasa tersebut. Jonathan St. B. T. Evans. 2002. Logic and Human Reasoning: An Assessment of the Deduction Paradigm. (University of Plymouth: American Psychological Association Press) 41 Prosesi pertama yang harus dijalankan dalam mencapai konsistensi adalah deteksi terhadap inkonsistensi, kedua berupa revisi kepercayaan, serta membuat eksplanasi sebab-akibat untuk menyelesaikan inkonsistensi. Secara praktis ini terlihat pada tindak, pertama; mengambil input berupa seperangkat proposisi, Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
28
dengan mencari model kemungkinan yang bisa mengakomodir investigasi proposisi tersebut. Model disini tak lepas dari pemahaman individual yang berdasarkan pada pengetahuan subjektif serta memiliki dimensi nilai-nilai kepercayaan,42 walaupun sebetulnya ia masih berpegang pada prinsip-prinsip logis. Dalam tindak kognitif, prinsip-prinsip logis didasari oleh empat acuan. Diantaranya43:
Modal awal berupa kesadaran bahwa penyimpulan bersifat silogistik dan hanya dimungkinkan melalui premis-premis
Pemahaman terhadap nilai proposisi yang bersifat hirarkis, dalam artian ada yang lebih baik daripada yang lain.
Pengetahuan mengenai prinsip-prinsip penyimpulan logika itu sendiri.
Konseptualisasi logika sebagai daerah yang epistemik.
Melihat keempat prinsip diatas, logika jelas merupakan penetapan yang berpijak pada konsistensi, namun pada prakteknya ketidak-pastian itu sendiri tidak terelakkan. Gagasan mengenai kepastian dimunculkan dalam menanggapi situasi ketidak-pastian, dalam hal ini logika yang dimunculkan dalam menanggapi situasi ketidak-pastian pada manusia. “Logic is correctly used in pure mathematics, but ordinary human beings cannot escape uncertainty”44. Situasi ini secara lebih jelas kedua; mengkonstruksi model penalaran, ketiga; mencari model yang bisa mengakomodir proposisi-proposisi tersebut. P. N. Johnson-Laird, Vittorio Girotto, dan Paulo Legrenzi. 2004. Reasoning From Inconsistency to Consistency. (Princeton University dan Centre National de la Recherche Scientifique and Venice Architecture University: American Psychological Association Press) 42 Oaksford, M., & Chater, N. 2007. Bayesian Rationality: The Probabilistic Approach to Human Reasoning. (Oxford, UK: Oxford University Press) 43 David Moshman. 2004. Thinking and Reasoning. (University of Nebraska: Psychology Press) 44 “Logika secara tepat digunakan pada matematika murni, tetapi manusia biasa tidak dapat lari dari ketidak-pastian” Oaksford, M., & Chater, N. 2007. Bayesian Rationality: The Probabilistic Approach to Human Reasoning. (Oxford, UK: Oxford University Press) Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
29
dapat dilihat dari (salah satunya) penelitian saintifik mengenai bagaimana cara kerja otak terhadap penyimpulan logis.45 Dalam persoalan logika yang lebih sederhana, koresponden lebih bertendensi terhadap prinsip-prinsip logika. Sedangkan pada persoalan logika yang lebih kompleks, penyimpulan menjadi bias karena yang diandalkan berupa pengetahuan personal. Hal tersebut sekaligus menunjukkan bahwa berpikir merupakan soal pertimbangan untuk mencapai tujuan subjektif; dalam bernalar, hasil yang ingin dicapai ialah merubah nilai-nilai yang didapat dan mengadaptasikannya kedalam kebergunaan subjektif. Ini menjadi alasan mengapa penyimpulan logis induksi dan deduksi menghasilkan simpulan yang tidak pasti dan bisa bernilai inkonsisten. Apa yang akan terjadi jika inkonsistensi itu terdeksi adalah tendensi untuk memilih, dan menunda segala usaha untuk mencapai konsistensi sebelum mencapai informasi yang lebih banyak. Setelah itu, tindakannya adalah berupa kroscek apakah penyimpulan tersebut valid atau tidak. Jika model penalaran tersebut ternyata gagal dalam merepresentasikan fakta, maka ia sudah pasti berkonflik dengan fakta. Situasi inilah yang menyebabkan keragu-raguan. Disini urgensi untuk mendiagnosa eksplanasi yang dapat menyelesaikan masalah dimunculkan; legitimasi.46 Legitimasi penyimpulan itu sendiri terletak pada koherensi dan fondasi penalaran yang menjustifikasi penyimpulan logis. Dalam menghadapi situasi inkonsistensi, eksplanasi yang paling mungkin terletak pada tendensi terhadap dua bentuk refleksi. Yang pertama ia berupa prinsip kausalitas.47 Sedangkan yang kedua ia merupakan model eksplisit dari syarat-syarat logis. Kedua betuk refleksi tersebut menunjukkan bahwa, untuk menyelesaikan masalah inkonsistensi, harus ada konstruksi terhadap tiap-tiap rantai dengan 45
Ibid P. N. Johnson-Laird, Vittorio Girotto, dan Paulo Legrenzi. 2004. Reasoning From Inconsistency to Consistency. (Princeton University dan Centre National de la Recherche Scientifique and Venice Architecture University: American Psychological Association Press) 47 Bagaimana cara kerja kausalitas itu sendiri terletak pada wilayah memori jangka panjang dan rentan terhadap masalah relevansi, sehingga ia bisa menimbulkan ilusi konsistensi dan koherensi. Ibid., 46
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
30
komponen posibilitas dan pengetahuan general. Rasionalitas pada akhirnya berada dalam proteksi mental dan tak lepas dari intervensi lingkungan, dimana konklusi bisa diakses dengan melihat relasinya terhadap apa-apa saja yang dipercayai secara subjektif, pengetahuan, dan fakta.48 Pendeteksian inkonsistensi tak luput dari ranah mental walau ia juga mengacu pada fakta. Riset49 lain menunjukkan bahwa cara kerja otak lebih bertendensi pada pengetahuan dan kepercayaan subjektif daripada terhadap prinsip absolut mengenai kebenaran atau kesalahan. Malahan (secara efektif), hal ini bukan menjadi masalah, karena dalam menyimpulkan sebenarnya lebih mudah jika ia dikerangkai oleh konteks realistis.50 Ini menunjukkan bahwa, logika -seperti yang sudah saya paparkan sebelumnya- memang merupakan fondasi51 dalam upaya untuk memahami. Namun pendekatan terhadap logika murni tidak akan menghasilkan pengetahuan yang memuaskan sehingga metode atau prinsip apapun tidak akan mencapai kecukupan. Dimensi yang menjadi faktor dari situasi tersebut adalah dimensi kebergunaan (pragmatis) subjektif yang secara natural ada pada struktur mental. Logika hanya berperan secara mekanistis demi mencapai dimensi pragmatis tersebut. Konsekuensinya, apa-apa saja yang dihasilkan dari tindak penyimpulan bersifat sementara dan probabilistik, karena ia mendapat pengaruh kuat dari konteks. Kesimpulannya, penalaran bukan melulu permasalahan logika karena penalaran terdistingsi pada dua kubu besar. Yang pertama adalah penalaran heuristik berupa proses asosiatif terhadap lingkungan dan korelasi antara berbagai variasi pada dunia, dimana ia tak lepas dari pendasaran persamaan dan struktur temporal. Performasi nalar yang heuristik secara reflektif diprediksikan pada 48
Ibid Steven A. Sloman. 1996. The Empirical Case for Two Systems of Reasoning. (Brown University: American Psychological Association Press) 50 Sehubungan dengan kapasitas memori pada otak yang telah saya singgung sebelumnya. 51 Pernyataan ini diperkuat oleh hasil penelitian penyimpulan logis terhadap anak pra-sekolah. Hasilnya, mereka bisa menyimpulkan secara logis, walaupun mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang penyimpulan logika itu sendiri. David Moshman. 2004. Thinking and Reasoning. (University of Nebraska: Psychology Press) 49
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
31
penilaian dari persamaan yang terkonteks pada permasalahan asumsi terhadap pengetahuan subjektif.52 Sedangkan yang kedua ialah penalaran analitik. Ia lebih menekankan kepada terminologi apakah sesuatu itu sudah spesifik untuk bisa dikatakan informatif dan cukup general untuk menangkap berbagai macam bentuk penalaran dengan berfokus pada struktur, baik berupa struktur logis, maupun struktur mekanistis hubungan sebab-akibat. Kedua model penalaran ini merupakan penalaran yang paling mungkin secara komputatif,53 sekaligus berimplikasi pada penyimpulan yang selalu mengacu pada perbedaan konteks mengenai sistem penyimpulan yang terkait dengan faktor lingkungan dan kebergunaan subjektif.54 Secara praktis, tindak rasionalitas memiliki tiga faktor penting berupa tindak refleksi (identifikasi), koordinasi (substitusi model) dan interaksi (legitimasi).55 Karenanya, rasionalitas bersifat progresif. Yang membuat rasionalitas bersifat progresif adalah sifat dasar rasionalitas yang evolutif, sedangkan yang menyebabkan prosesi evolutif ini adalah pertanyaan, keraguraguan, dan kemampuan dalam melihat posibilitas. Progresifitas rasionalitas disini bukan permasalahan substitusi metodologi atau prinsip. Melainkan lebih merupakan transisi segmentatif antara yang satu dengan yang lainnya, yang secara garis besar terdistingsi dalam dua kubu besar penalaran analitik dan heuristik. Kesimpulan paling jelas yang terlihat adalah bahwa rasionalitas bukan merupakan tindak kognitif, melainkan meta-kognitif berisikan pengetahuan dan pengaturan dari berbagai pilihan penyimpulan. Tindak berfikir dan bernalar mendemonstrasikan keberagaman pada tiap-tiap individu, berpegang pada kepentingan pragmatis subjektif. Perbedaan ini tidak bisa direduksi kedalam kategorisasi definitif yang rigid. Cita-cita universalitas pada rasionalitas dan logika klasik Aristoteles hanya berhasil dipertanggung-jawabkan pada level 52
Ibid Oaksford, M., & Chater, N. 2007. Bayesian Rationality: The Probabilistic approach to human reasoning. (Oxford, UK: Oxford University Press) 54 Robert Nozick. The Nature of Rationality. 1993. (Princeton: Princeton University Press) 55 Ibid 53
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
32
keberagaman penyimpulan. Inilah yang secara universal merupakan karakteristik dari rasionalitas pada manusia.
3.4 Konklusi Rasionalitas pada awalnya adalah penalaran yang dibatasi oleh aturan logis dan bertujuan untuk mencari nilai kebenaran, karena kebenaran dianggap sebagai pencapaian yang harus dilalui oleh manusia untuk mendapatkan kebahagiaan tertinggi. Rasionalitas bersifat eksklusif, ia hanya ada pada manusia. Yang bisa mendukung pernyataan ini adalah bukti bahwa manusia adalah satusatunya makhluk yang memiliki kemampuan berbahasa. Pada awalnya, rasionalitas didistingsikan dengan aspek moral dan tindak intuitif karena keduanya dianggap irrasional. Rasionalitas merupakan konsep normatif sekaligus deskriptif, sehingga ia bekerja pada hal-hal intelektual sekaligus kontekstual. Hal inilah yang menimbulkan persitegangan dalam tubuh rasionalitas itu sendiri. Dalam menghadapi situasi tersebut, saya bertendensi untuk mencari bagaimana cara kerja rasionalitas pada otak melalui pendekatan psikologis dan neuroscience, guna mendapatkan pemaparan lebih lanjut untuk kemudian melihat kemungkinan penjelasan lebih rinci terhadap gagasan mengenai rasionalitas. Rincian mengenai rasionalitas ini terkhusus pada tiga aspek, yaitu, matematis, gramatik, dan ekonomis. Rasionalitas versi sains tidak seluruhnya konsisten dengan definisi tradisional filsafat; rasionalitas tidak lepas dari dimensi pragmatis. Ia bukan hanya permasalahan penalaran, dan penalaran bukan semata masalah logika karena ia hanya merupakan pendasaran. Hal ini jelas terlihat dari dua model utama penalaran, yaitu penalaran analitik dan heuristik. Hubungan keduanya bersifat transitif. Cara kerja keduanya tak lepas dari variabel konteks, subjektivitas, abstraksi, metafora, legitimasi, sehingga ia tidak bisa didefinisikan secara sempit pada penyimpulan logis semata. Rasionalitas bersifat progresif dan evolutif.
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
33
Faktor penggeraknya ada pada tiga tindak nalar utama, yaitu reflektif, koordinatif, dan interaktif. Hasil rasionalisasi juga bersifat probabilistik. Pemaparan lebih lanjut mengenai rasionalitas, sekaligus hubungannya dengan filsafat akan saya lanjutkan pada bab selanjutnya. Bab ini merupakan bab analisis yang berisikan simpulan dari bab dua dan bab tiga, eksplanasi keterhubungan keduanya, identifikasi masalah, serta analisa yang sekaligus menjadi thesis utama dari penelitian ini.
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
34
BAB 4 FILSAFAT KOMPREHENSIF
“..all knowledge degenerates into probability; and this probability is greater or less, according to our experience of the veracity or deceitfulness of our understanding, and according to the simplicity or intricacy of the question.”56 (David Hume)
4.1 Introduksi Bab ini adalah analisis lanjutan dari bab dua mengenai filsafat. Saya tekankan pada bab dua sebelumnya bahwa filsafat merupakan aktivitas. Yang perlu dipaparkan lebih lanjut adalah posisi filsafat tersebut, atau secara lebih rinci, aktivitas yang berkonsentrasi pada wilayah apakah filsafat yang saya maksud disini. Saya menjawab pertanyaan tersebut dengan melihat kembali thesis pada bab dua, yaitu bahwa filsafat adalah aktivitas berpikir dengan instrumen berupa rasionalitas. Kata kunci dari pernyataan tesis ini adalah rasionalitas, sehingga saya berlanjut pada elaborasi mengenainya dengan memaparkan kalimat tesis pada bab tiga; rasionalitas tak lepas dari dimensi pragmatis. Saya mengambil terma rasionalitas dan dimensi pragmatis untuk memberi jalan terhadap jawaban dari pertanyaan posisi identifikasi filsafat pada penulisan ini. Pertama, sebagai yang paling mendasar, adalah pernyataan bahwa filsafat merupakan aktivitas. Kedua, mengenai rasionalitas. Saya memaparkan rasionalitas lebih lanjut dengan melihat definisi rasionalitas secara historis, serta dengan 56
“..semua pengetahuan terperosok kedalam probabilitas; dan probabilitas ini kurang lebih, bergantung kepada pengalaman kita terhadap kejujuran atau kecurangan dalam memahami, dan bergantung pada simplisitas atau kompleksitas dari pertanyaan.” Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
35
pendekatan sains. Pada subbab selanjutnya saya akan memaparkan permasalahan keterhubungan gagasan mengenai rasionalitas (preskriptif) tersebut dengan penjelasan sains yang berupa produk dari observasi sensorik. Ketiga, elaborasi terhadap probabilitas. Setelah klarifikasi terhadap kesemua hal diatas, maka saya masuk pada analisis lebih lanjut, sekaligus implikasinya.
4.2 Klarifikasi Filsafat Pertama, sebagai yang paling mendasar, adalah definisi filsafat sebagai aktivitas. Filsafat versi Immanuel Kant sejalan dengan definisi filsafat ini. Menurutnya, filsafat adalah usaha intelektual yang memiliki posibilitas untuk memasuki wilayah yang berbeda-beda. Karena filsafat adalah aktivitas, Kant lebih menekankan pada bagaimana cara berfilsafat. Ia tidak seharusnya memberi ruang terhadap dogmatisasi tertentu karena penalaran tidak bersifat statis. Dengan definisi ini, filsafat versi Kant menekankan pada sistemasi sedemikian rupa, bertujuan untuk mencapai apa yang disebut sebagai nalar.57 Segagasan dengan Kant, Rescher juga memaparkan hal serupa. Saya mengutip; “Philosophy in its very nature is a venture of systematization and rationalization – of rendering matters of intelligible and accessible to rational thought. Its concern is for the rational order and systemic coherence of our commitments. The commitment to rational coherence is a part of what makes philosophy the enterprise it is.”58 Jika saya sepakat dengan apa yang Rescher katakan mengenai filsafat, maka yang menjadi persoalan selanjutnya adalah meluruskan relasi filsafat dan rasionalitas. Menurutnya, rasionalitas adalah instrumen krusial dalam berfilsafat, 57
Nicholas Bunnin and Jiyuan Yu. 2004. The Blackwell Dictionary of Western Philosophy. ( Oxford: Blackwell Publishing Press). 58 “Filsafat secara alami merupakan usaha sistemasi dan rasionalisasi – dalam menyumbang persoalan yang dapat dimengerti dan dapat diakses terhadap pemikiran rasional. Titik perhatiannya adalah untuk keberaturan rasional dan koherensi sistematis terhadap komitmen kita. Komitmen terhadap koherensi rasional adalah bagian dari apa yang membuat usaha filsafat sedemikian” Nicholas Rescher. 2007. Philosophical Reasoning, A Study in the Methodology of Philosophizing. (New York : Oxford University Press), hal 11. Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
36
dan tujuan berfilsafat itu sendiri adalah rasionalisasi. Jika filsafat adalah tindak rasionalisasi, berarti ia bergerak sebagai sistem. Dan karena ia adalah rasionalisasi dengan istrumen berupa rasionalitas, maka kegiatan atau aktivitas filsafat itu secara natural ada pada manusia sebagai makhluk yang memiliki rasionalitas. Merestorasi eksplanasi pada bab tiga, proses rasionalisasi merupakan prosesi kompleks yang beririsan dengan aspek sosial, karena ia mengandung metode evolutif yang dihasilkan dari refleksi eksperimentasi terhadap kebenaran. Metode-metode ini dikatakan evolutif karena ia dihasilkan dari proses adaptasi yang didapat dari praktek aplikatif terhadap apa-apa saja yang dinilai lebih efektif secara relatif, dan bersifat progresif. Perkembangan metodis itu sendiri mengandung misi pencapaian keuntungan subjektif yang, walaupun tak lepas dari konteks lingkungan, tetap berakar pada hasrat alamiah pemenuhan kuriositas yang secara natural berada pada manusia. Konteks lingkungan (sosial) disini adalah apa-apa saja yang diusahakan rasional dalam taraf sosial; instrumen kognitif manusia merupakan produk yang evolutif, dimana proses dan prosedur kognisi itu sendiri bergerak dalam tahapan sosial melalui, dan atas nama rasionalitas. Menanggapi hal tersebut, saya mengambil sebagian porsi dari filsafat biologi, dimana filsafat ini menitik-beratkan pada teori evolusi Darwinian terhadap apa-apa saja yang natural, termasuk pada rasionalitas dan rasa ingin tahu manusia. “The nature of functional or teleological explanation and its rationality therefore become major topics in the field. Many philosophers argue that we should understand biological traits in terms of the past evolutionary history of the organism rather than in terms of their future consequences. On this view, functional explanation can be assimilated to a causal account.”59
59
“Dasar dari eksplanasi fungsional atau teleologikal dan rasionalitasnya kemudian menjadi topik utama pada wilayah ini. Banyak filsuf berargumentasi bahwa kita harus mengerti ciri biologis dalam lingkup sejarah evolusioner dari organisme daripada perihal konsekuensi masa depan. Pada pandangan ini, eksplanasi fungsional dapat diasimilasikan kedalam akun kausal.” Nicholas Bunnin and Jiyuan Yu. 2004. The Blackwell Dictionary of Western Philosophy. (Oxford: Blackwell Publishing Press), hal 521.
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
37
Gagasan mengenai evolusi kemudian diaplikasikan kedalam berbagai teori lain, tersebutlah misalnya pada epistemologi yang berkecimpung dalam urusanurusan kognitif dan progres pengetahuan. Progres ini melekat dengan aspek sosial. Lebih jelas, saya mengutip ungkapan “survival of the fittest”60 sebagai dasar teori evolusi.61 Ungkapan ini mengindikasikan aspek sosial sebagai syarat keberlangsungan. Minimal dengan melihat pada analisa term, makna superlatif menunjukkan kuantitas yang lebih dari satu. Sampai disini, saya sudah menggunakan sebagian porsi gagasan Kant; filsafat sebagai aktivitas, Rescher; rasionalitas sebagai instrumen berfilsafat, dan Darwin; evolusi dan progresifitas, untuk mendukung pemaparan saya mengenai klarifikasi filsafat. Kesemuanya merupakan apa-apa saja yang mendasar, tidak seperti karakteristik pada, misalnya, filsafat analitik yang menspesifikkan dirinya terhadap analisis bahasa dan investigasi logis, atau seperti filsafat ilmu pengetahuan yang mengklaim bahwa filsafat adalah meta-analisa sains. Saya tidak menjatuhkan klarifikasi filsafat pada versi yang spesifik tersebut atas alasan historis; filsafat yang sporadis tidak dimungkinkan untuk dapat dijelaskan dengan satu pernyataan tesis yang terspesifikasi pada satu karakteristik kubu tertentu. Dengan obsesi demikian, filsafat yang saya maksudkan adalah filsafat komprehensif62, dimana pencetusan mengenai komprehensifitas disini didasari pada sejumlah porsi filsafat versi Kant, Rescher, dan Darwin. Jelas bahwa klarifikasi filsafat ini bukan berupa dogma atau prediksi masa depan, melainkan lebih kepada kajian secara historis. Filsafat komprehensif adalah filsafat 60
“Keberlangsungan hidup terhadap yang paling layak”. Oleh Darwin, Natural Selection, survival of the fittest, berarti mampu bertahan hidup dengan tolak ukur reproduksi. Oleh Herbert Spencer, diadaptasikan pada taraf sosial. 61 Ibid., 62 Komprehensif itu sendiri berarti pemahaman general terhadap suatu hal dengan aspek dan wilayah yang luas. Filsafat komprehensif saya maksudkan pada suatu perumusan filsafat yang secara aplikatif menyeluruh, dalam artian, ia bisa menjadi pendasaran terhadap berbagai karakteristik pada filsafat. Term komprehensif ini sendiri saya adaptasi dari penjelasan Rescher pada buku Interpreting Philosophy mengenai karakteristik filsafat abad 20 yang lebih berorientasi terhadap isu-isu mikro, serta fokus pembahasan terhadap filsafat secara general dengan berurusan pada hal-hal metodologis. Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
38
keseluruhan yang tidak spesifik terkarakterisasi pada suatu kubu filsafat tertentu, dimana definisi keseluruhan diambil dari filsafat versi Kant, Rescher, dan Darwin sebagai teori pendukung yang mendasari filsafat secara mengakar.
4.3.1 Klarifikasi Rasionalitas Merunut pemaparan mengenai rasionalitas pada bab sebelumnya, bisa disimpulkan bahwa seseorang dapat disebut rasional jika ia memaksimalkan usaha intelektualitas dengan subjektifitas untuk mendapatkan tujuan pragmatis. Rasionalitas bukan terletak pada metode, melainkan pada bagaimana mencapai alternatif paling baik dengan mempertimbangkan aspek konteks. Berarti, proses rasionalisasi secara langsung mensyaratkan situasi keterdesakan terhadap posibilitas. Dengan cara kerja yang demikian, rasionalisasi melekat dengan kepentingan subjektif. Tapi hal tersebut secara tidak langsung mengafirmasi objektifitas. Minimal, subjektivitas memvalidasi klaim pengetahuan objektif itu sendiri. Hal ini bisa diperjelas, misalnya, dengan melihat kembali wacana nalar dan penyimpulan logis. Saya tidak menolak anggapan bahwa seperangkat model aturan tersebut merupakan modus pencapaian pemahaman yang general dan objektif. Namun yang perlu diklarifikasi lebih lanjut adalah bahwa posisi objektivitas disini bukan berada pada pengusahaan nilai yang objektif, karena ia secara kuat dipengaruhi dimensi pragmatis subjektif. Objektivitas melekat hanya pada taraf tujuan metodologis itu sendiri, sehingga, fungsi maksimalnya hanya berupa akses terhadap validasi yang bisa secara universal tercapai. Objektivitas menjadi niscaya pada tiap-tiap subjek rasional, ia berfungsi sebagai penggerak. Rasionalitas sekaligus berbenturan dengan aspek sosial. Ia turut mengandung metode-metode evolutif yang dihasilkan dari eksperimentasi terhadap kebenaran yang direstorasi secara komunal (sosial). Hal ini dikarenakan rasionalitas yang memberikan akses terhadap validasi pemahaman yang objektif,
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
39
terhadap tiap-tiap nilai subjektif yang dihasilkan oleh kegiatan rasionalisasi itu sendiri. Yang diusahakan oleh objektivitas berada pada tahap sosial karena fungsi aksesibilitasnya. Dengan demikian, rasionalitas bukanlah berupa tujuan, melainkan modus terhadap transaksi bertujuan pragmatis yang subjektif. Klarifikasi rasionalitas disini saya maksudkan pada apa dan bagaimana rasionalitas, untuk kepentingan mendefinisikan rasionalitas itu sendiri, dan bukan pada tujuan berupa validasi atau penilaian rasional atau irrasional.
4.3.2 Rasionalitas Preskriptif ke Observatif Apa-apa saja yang saya jabarkan mengenai rasionalitas diatas merupakan hasil dari pencarian saya pada ranah filsafat secara historis, ditambah observasi saintifik melalui pendekatan psikologi dan neuroscience. Rasionalitas pada filsafat secara historis menawarkan rasionalitas sebagai sebuah ide atau gagasan yang estimatik, berbeda dengan eksplanasi rasionalitas pada sains yang teoritis. Status keduanya jelas berbeda, sebegitupun lingkup antara satu dengan yang lain. Mendasarkan sesuatu yang berstatus gagasan terhadap penjelasan yang empirik merupakan kendala epistemologis, maka selanjutnya saya akan berfokus pada penjabaran mengenai distingsi epistemologis tersebut. Yang saya cari adalah pembenaran terhadap penambahan eksplanasi sains terhadap gagasan rasionalitas. Dalam menanggapi hal ini, saya mengadaptasi modus kerja rasionalitas, terkhusus pada pemaparan mengenai objektivikasi. Sebelumnya telah saya tuliskan bahwa produk dari filsafat bersatus estimasi. Sehingga, gagasan sekaligus kriteria rasionalitas filsafat juga berupa estimasi. Atas dasar ketidak-puasan terhadap status estimasi itu, maka sains saya posisikan sebagai tumpuan lebih lanjut. Karakteristik sains, yang dalam hal ini adalah psikologi dan neuroscience, sudah bukan lagi berstatus estimasi karena sudah dibatasi oleh cara kerja dengan metodologis sedemikian, ditambah evidensi berupa eksperimentasi. Secara lebih rinci, produk berupa penjelasan mengenai
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
40
rasionalitas pada kedua bidang ilmu pengetahuan tersebut terlebih dahulu melalui tahap observasi sensorik otak (neuroscience) dan eksperimentasi stimulus terhadap tingkah laku (psikologi). Bagaimana segala atribut observatif dan eksperimentatif demikian bisa dijadikan pembenaran terhadap apa yang diestimasikan oleh, sebutlah, Aristoteles mengenai rasionalitas jatuh dalam dua distingsi kriteria pembenaran. Yang pertama adalah pembenaran secara konseptual, dimana tumpuan dari pembenaran ini diutamakan pada koherensi dan konsistensi konsep. Sedangkan yang kedua adalah pembenaran evidensial, yaitu pembenaran yang tervalidasi oleh evidensi terhadap suatu metodologi tertentu. Rasionalitas versi Aristoteles masuk dalam kriteria pembenaran secara konseptual, dilain sisi, sains menawarkan pembenaran evidensial. Pembenaran konseptual mengenai rasionalitas yang mengandalkan klarifikasi dengan alat koherensi dan konsistensi, seperti yang telah saya singgung sebelumnya, merupakan estimasi yang cukup. Fungsinya cukup sebagai modal awal untuk kemudian dijelaskan, (meminjam gagasan Gilles Deleuze; ide-ide pada filsafat harus bisa dijelaskan juga secara empirik, tidak melulu transendental) dan penjelasan lebih lanjut bisa didapat dari sains. Pembenaran evidensial berfungsi lebih jauh sebagai justifikasi terhadap ide mengenai rasionalitas. Justifikasi disini saya adaptasi dari apa yang telah saya jelaskan mengenai objektifitas pada rasionalitas. Jika definisi mengenai rasionalitas diserahkan kepada pembenaran konseptual, maka ide mengenai rasionalitas jatuh pada subjektifitas relatif. Setiap agen yang merumuskan mengenai rasionalitas bisa memiliki bermacam definisi estimatik mengenainya. Subjektifitas disini tidak diakomodir oleh suatu landasan prinsipil tertentu untuk bisa dikerucutkan kedalam satu definisi yang lebih superior daripada yang lain karena hanya mengandalkan koherensi dan konsistensi. Pembenaran evidensial berhasil keluar dari permasalahan tersebut karena ia mawadahi objektifitas. Penetapan terhadap suatu evidensi pada satu metodologi
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
41
tertentu sudah berisikan justifikasi terhadap tujuan berupa objektifitas itu sendiri. Objektifitas ini kembali saya tekankan pada fungsi aksesibilitasnya, sehingga suatu prinsip, metodologi, ataupun teori saintifik bukan melulu soal produksi eksplanasi, melainkan juga sekaligus berperan sebagai akses yang bisa dicapai secara general. Secara aplikatif, penjelasan sebelumnya saya praktekkan pada otak dan rasionalitas. Otak bukan rasionalitas. Otak merupakan materi, mewujud secara fisik. Tetapi, suesuatu yang fisik mendorong kebutuhan terhadap yang non-fisik, minimal, ia berwujud pada penamaan. Selanjutnya, penamaan tersebut menuntut definisi terhadapnya. Yang ingin saya tunjukkan disini adalah bahwa hal-hal fisik meproduksi hal-hal non-fisik. Rasionalitas merupakan apa yang saya kelompokkan sebagai yang non-materi terhadap materi berupa otak. Keduanya dijembatani oleh rancangan observasi sensorik dan eksperimentasi, metodologi, dan validasi berupa evidensi yang secara inheren mengandung objektifitas. Sains menawarkan teori yang memiliki aksesibilitas dan wadah observasi. Perihal teori tersebut dikatakan sukses atau tidak hanya bisa didapat jika teori ini sudah bisa tercapai terlebih dahulu, jadi, minimal ia bisa mewadahi akses secara negatif; membuka jalan untuk menjelaskan dengan menidakkan. Ketika rasionalitas tidak dikaji secara saintifik, maka tidak ada justifikasi objektif terhadap teori mengenai rasionalitas, berarti juga tidak ada peluang untuk mendefinisikan rasionalitas dengan cara negatif, apalagi secara positif.
4.4.1 Relasi Filsafat dan Rasionalitas Berangkat dari klarifikasi filsafat dan rasionalitas sebelumnya, subbab ini merupakan penjabaran yang menggabungkan intisari dari bab dua dan bab tiga. Seperti yang sudah saya paparkan pada bab dua, konsekuensi langsung dari filsafat versi Rescher adalah situasi aporetik dan perbandingan status filsafat dengan usaha intelektual lainnya sebagai usaha intelektual yang tidak lagi positif,
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
42
hingga kemudian berujung pada urgensi untuk merumuskan lebih lanjut mengenai filsafat. Konsepsi rasionalitas lalu dimunculkan untuk kemudian diperdalam. Rasionalitas adalah konsep meta-kognitif terhadap penalaran yang terbagi kedalam dua kubu besar, yaitu penalaran analitik dan penalaran heuristik. Macam penalaran ini merupakan implikasi terhadap tujuan rasionalitas itu sendiri, yaitu dimensi pragmatis. Dimensi pragmatis secara natural berada dalam diri manusia, dan rasionalitas adalah modus pencapaian dimensi tersebut. Cara kerja rasionalitas sebagai modus untuk mencapai tujuan bekerja pada taraf sosial, karena ia mendapatkan pengaruh kuat dari konteks lingkungan. Sehingga, rasionalitas bersifat progresif; apa-apa saja yang dihasilkan bersifat sementara dan berkelanjutan. Saya menyimpulkan bahwa cara kerja rasionalitas sejalan dengan definisi filsafat berupa aktivitas. Filsafat secara proses memproduksi estimasi-estimasi yang mengandalkan konsistensi dan koherensi, berada pada lingkup pembenaran konseptual. Sama halnya dengan rasionalitas, aktivitas filsafat tidak disempitkan pada prinsip-prinsip logis semata. Filsafat juga bekerja pada hal-hal metaforal, abstraksi, juga bersinggungan konteks lingkungan. Kembali pada wacana aktivitas filsafat pada bab dua, saya mereduksi problematika filsafat kedalam dua kubu, yaitu problematika internal (situasi aporetik) dan eksternal (situasi urgentif untuk merumuskan filsafat). Namun, jika dibandingkan dengan apa yang saya telah paparkan mengenai rasionalitas, situasi tersebut ekuivalen dengan cara kerja rasionalitas itu sendiri. Disini saya berpendapat bahwa segala problematika tersebut hanya berupa konsekuensi langsung dan tidak dianggap sebagai masalah. Lebih rinci:
Konsekuensi berupa posibilitas estimatik pada aktivitas rasionalitas berimplikasi pada munculnya situasi aporetik. Saya sepakat dengan pernyataan ini. Adalah benar jika estimasi-estimasi yang dihasilkan tersebut disandingkan satu sama lain menjadi bersifat aporetik, namun ia hanya menjadi aporetik jika posibilitas tersebut dilihat sekedar sebagai historisitas tanpa ada hasrat merasionalisasi.
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
43
Situasi
aporetik
bisa
menjadi
faktor
pendorong
aktivitas
rasionalitas. Disebabkan oleh misi pragmatis yang ada pada tindak rasionalisasi, maka situasi aporetik bukanlah merupakan masalah.
Sedangkan mengenai apa yang dipermasalahkan oleh para filsuf, pemikir, ilmuwan, atau pihak-pihak lain mengenai status filsafat (terlebih sejak zaman Renaissance) adalah pertanyaan yang salah sasaran karena menganggap filsafat adalah ilmu. Menganggap filsafat adalah ilmu tidak sebangun dengan definisi filsafat sebagai aktivitas rasional, sehingga permasalahan yang saya sebut sebagai problematika eksternal filsafat bukan menjadi soal. Filsafat bukanlah ilmu, ia adalah aktivitas dan apa-apa saja yang dihasilkan adalah pengetahuan berupa estimasi. Memposisikan aktivitas filsafat dengan aktivitas rasionalitas sebagai yang sejalan merupakan jalan keluar terhadap kedua kelompok problematika pada aktivitas filsafat. Selanjutnya saya akan mengklarifikasi hubungan keduanya.
4.4.2 Probabilitas Adaptasi prosesi rasionalitas terhadap aktivitas filsafat mendorong kebutuhan klarifikasi terhadap definisi distingtif diantara keduanya. Rasionalitas, secara historis, merupakan produk aktivitas filsafat. Aktivitas filsafat adalah aktivitas rasionalitas. Namun, keduanya bukanlah hal yang sama; filsafat dan rasionalitas tidak boleh bernilai tautologis. Sebab, selain secara historis keduanya tidak diartikan secara sama, mengartikan filsafat secara sempit kepada aktivitas rasionalitas berkonsekuensi pada peleburan definisi filsafat itu sendiri. Misi selanjutnya adalah memunculkan distingsi sedemikian untuk mendefinisikan filsafat secara komprehensif, sekaligus membedakannya dengan aktivitas rasionalitas non-intelektual dengan ilmu pengetahuan.
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
44
Aktivitas rasionalitas sebagai modus pencapaian subjektifitas pragmatis tidak hanya dimungkinkan pada usaha intelektual. Kategorisasi rasional atau irrasional bisa teraplikasi pada tindak mengambil putusan. Perihal ini banyak dikaji pada disiplin ilmu ekonomi, yang intinya, memaksimalkan kebergunaan dengan minimal usaha. Tindak rasionalitas secara praktis dalam mengambil putusan disini tentu bukan termasuk usaha intelektual. Kembali pada pembahasan rasionalitas, telah saya katakan sebelumnya bahwa cara otak menyimpulkan adalah penalaran probabilistik yang berbasis konteks. Atas dasar tersebut, maka terma probabilitas saya munculkan sebagai salah satu jalan terhadap usaha mendistingsikan aktivitas rasionalitas filsafat dengan yang lain (rasionalitas sebagai usaha non-intelektual dengan rasionalitas ilmu pengetahuan). Ada bermacam versi mengenai probabilitas. Tiga yang paling mendasar adalah probabilitas fisika, epistemik, dan subjektif63. Inti dari kesemuanya adalah bahwa konsep probabilitas merupakan konsep mengenai superioritas suatu hal – tersebutlah posibilitas – dibandingkan dengan yang lain, dengan tumpuan frekuensi. Saya tidak mengartikan probabilitas disini sebagai probabilitas fisika, matematika, atau ekonomi yang kuantitatif, melainkan probabilitas subjektif yang kualitatif. Saya mengadaptasi gagasan probabilitas ini secara komunal. Dengan penambahan variabel probabilitas, maka sampai titik ini saya mendefinisikan filsafat sebagai rasionalitas probabilistik. Nilai probabilistik disini ditekankan pada frekuensi apa-apa saja yang dihasilkan oleh tindak rasionalitas, yang secara kuat dipengaruhi oleh tujuan pragmatis serta fungsi berupa akses. Namun dengan definsi demikian, belum didapatkan deskripsi yang mumpuni untuk menjelaskan perbedaan filsafat dengan rasionalitas itu sendiri, yang memang sudah sekaligus berisikan mekanisme yang probabilistik dalam mencapai tujuan pragmatis.
63
D.H. Mellor. Probability, A Philosophical Introoduction. 2005. (London And New York: Routledge Taylor and Francis Group Press) Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
45
Menanggapi hal tersebut, maka filsafat saya definisikan menjadi produk rasionalitas probabilistik. Filsafat berposisi sebagai hasil berupa estimasi dari proses rasionalisasi yang repetitif, bergantung pada tujuan pragmatis dan aksesibilitasnya. Ia bukanlah melulu sistem atau metode berpikir, namun ia sangat mungkin untuk mewujud dalam gagasan mengenai metode berpikir. Filsafat adalah apa yang diproduksi dari aktivitas rasionalitas, bukan mesin produksi itu sendiri. Definisi filsafat sebagai produk rasionalitas probabilistik ini membuka peluang untuk mendefinisikan filsafat yang, secara historis, sporadis. Kini saya telah sampai pada urgensi untuk membedakan filsafat dengan ilmu pengetahuan. Pernyataan bahwa filsafat adalah produk rasionalitas probabilistik sudah memberikan peluang terhadap obsesi saya untuk bisa mendefinisikan filsafat pada suatu karakteristik tertentu. Tetapi definisi demikian juga berlaku kepada ilmu-ilmu pengetahuan. Pembedaan antara filsafat dengan ilmu-ilmu disini saya tekankan pada prinsip, metodologi, subject-matter, dan evidensi. Atau secara lebih kompleks, ilmu-ilmu membatasi dirinya pada seperangkat model observasi, mekanisme, fungsi, tujuan, dan determinisme yang spesifik.64 Filsafat tidak terspesifikasi pada hal-hal demikian. Jika saya mengandaikan bahwa filsafat adalah ilmu, apa yang menurut saya paling dasar harus diperjelas adalah spesifikasi subject-matter dan evidensi, setelahnya adalah metodologi. Dengan melihat kembali historis filsafat mengenai subject-matter yang tidak terspesfikasi dan kemudian berimbas pada berbagai visi mengenai evidensi dan metodologi, maka pengandaian tersebut sudah digagalkan oleh historisitas filsafat. Dan kalaupun filsafat sebagai ilmu tetap diusahakan, maka ia rentan untuk tidak sejalan dengan definisi dasar filsafat berupa aktivitas rasionalitas, karena cara kerja rasionalitas yang kontekstual dan tak lepas dari dimensi pragmatis. Pengandaian ini juga digagalkan oleh tujuan dan karakteristik utama filsafat itu sendiri.
64
Stathis Psillos dan Martin Curd. 2008. The Routledge Companion to Philosophy of Science. (London dan New York; Routledge Taylor & Francis Group Press) Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
46
Simpulannya, filsafat adalah produk rasionalitas probabilistik yang tidak terspesifikasi pada subject-matter, evidensi, dan metodologi tertentu.
4.5 Implikasi Filsafat adalah produk dari rasionalitas, dan pencapaiannya maksimal berupa estimasi. Berarti, segala macam gagasan filsafat, tidak terkecuali pada yang metodis, juga berstatus estimasi. Dengan mengingat peran metode itu sendiri terhadap pencapaian hasil, maka klarifikasi lebih lanjut mengenai produk estimasi filsafat menjadi apa-apa saja yang perlu ditindak-lanjuti. Implikasi paling krusial dari runut tersebut adalah memposisikan produk metodis dengan non-metodis. Saya memposisikan gagasan metodis pada filsafat sebagai penetapan terhadap objektivitas yang melekat pada tujuan metodologis itu sendiri, yang pada umumnya mengacu pada nilai-nilai kebenaran. Paling dasar hal ini terlihat pada logika yang mengeksploitisir cara kerja matematika, untuk kemudian bertujuan pada penyimpulan nilai kebenaran. Dengan kembali melihat cara kerja rasionalitas yang tidak lepas dari aspek sosial, metode yang dihasilkan merupakan produk adaptasi dari praktek secara sosial. Karena, rasionalitas mengafirmasi secara tidak langsung objektivitas yang berlaku secara komunal. Inilah mengapa menurut saya seperangkat model prinsip atau metode pada filsafat tidak hanya dimungkinkan untuk mengacu pada nilai kebenaran saja, melainkan bisa memperhitungkan aspek lingkungan dengan lebih spesifik. Secara lebih rinci, aspek lingkungan disini saya reduksi pada dua hal mendasar, yaitu sosial dan ekonomis. Yang sosial, karena ia merupakan syarat akses terhadap validasi general, sedangkan yang ekonomis merupakan misi subjektif dari tiap agen rasional. Rumusan metode pada filsafat – yang walaupun tetap berstatus estimasi – tidak lepas dari kedua aspek tersebut. Distingsi metodis dan non-metodis disini merupakan tahapan lebih lanjut terhadap pemetaan filsafat. Yang metodis berperan penting terhadap estimasi yang
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
47
non-metodis, karena yang metodis menitik-beratkan pada perihal sistematisasi melalui rumusan prinsip-prinsip tertentu. Memetakan filsafat secara metodis dengan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomis pada tujuan berfungsi sebagai penggerak, sekaligus menentukan karakterisitik filsafat. Identifikasi dan rumusan terhadap yang metodis berperan krusial dalam memproduksi filsafat yang nonmetodis. Memetakan filsafat tidak hanya dimungkinkan pada periode waktu, atau aliran-aliran tertentu. Kompleksitas filsafat dengan berbagai karakteristik secara historis saya permudah dengan mengklasifikasikan pada distingsi metodis dan non-metodis. Aspek sosial disini mengindikasikan kepentingan akses terhadap kebergunaan general, dalam artian, segala produk filsafat bisa diakses secara komunal; aksesibilitas. Mempertimbangkan aspek sosial dalam memproduksi filsafat berarti patuh terhadap prinsip-prinsip yang berlaku secara general, misalnya, pada prinsip logika, atau gramatik, dan lain semacamnya. Sedangkan perihal aspek ekonomi, saya mengadaptasi cara kerja ekonomi yang menekankan pada utilitas maksimal dengan minimal problem; efisiensi dan efektifitas. Produk filsafat tidak lepas dari dimensi kebergunaan, dengan penjelasan yang efektif dan efisien. Lebih lanjut, kedua aspek tersebut saya posisikan sebagai aspek penting dalam produk metodis. Kembali melihat penjelasan mengenai prinsip pada bab dua, saya sepakat dengan rumusan Rescher mengenainya. Ketiga prinsip dasar berupa prinsip kecukupan (informasi), pembuktian (argumentasi), dan ekonomis (efisiensi) merupakan prinsip dasar dalam menentukan estimasi yang dapat diterima, masuk akal, dan efektif. Tetapi, dengan melihat cara kerja rasionalitas pada bab tiga, penalaran tidak hanya berurusan dengan praktek-praktek prinsipil, melainkan juga bersinggungan dengan aspek-aspek sosial. Penalaran presedentif, sebagai yang paling kentara, bersinggungan dengan koherensi dan legitimasi. Keduanya bisa diproses
dengan
memperhitungkan
konteks
sosial;
koherensi
menuntut
pemahaman lebih lanjut sesuai dengan konteks, dan legitimasi penyimpulan terletak pada justifikasi terhadap pengetahuan general. Hal ini diperkuat dengan
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
48
cara kerja rasionalitas yang teraplikasi pada tiga tindak berupa tindak refleksi, koordinasi, dan interaksi. Inilah mengapa menurut saya apa-apa saja yang dirumuskan
oleh
Rescher
mengenai
prinsip-prinsip
filsafat
harus
memperhitungkan aspek sosial; konteks.
4.6 Konklusi Klarifkasi filsafat pada bab ini merupakan usaha mendefinisikan filsafat secara komprehensif. Filsafat komprehensif ini saya dasari dari filsafat versi Kant, Rescher, dan Darwin. Usaha ini didasari pada misi untuk menjelaskan kompleksitas filsafat dengan suatu ciri tertentu, sehingga filsafat komprehensif ini bukan berasal dari satu aliran atau kubu filsafat. Selanjutnya, klarifikasi rasionalitas. Rasionalitas merupakan modus pencapaian terhadap dimensi pragmatis. Simpulan tersebut saya dapatkan dari identifikasi rasionalitas secara historis, ditambah observasi saintifik melalui pendekatan psikologi dan neuroscience. Perihal keterhubungan rasionalitas versi preskriptif dengan rasionalitas versi saintifik merupakan kendala epistemologis. Menanggapi hal ini, saya mendistingsikan dua model pembenaran, yaitu pembenaran konspetual dengan pembenaran evidensial. Jembatan antara keduanya saya tekankan pada akses terhadap objektifitas. Klarifikasi terhadap keduanya berujung pada kesimpulan bahwa definisi filsafat sebagai aktivitas dengan cara kerja rasionalitas bersifat ekuivalen. Apa yang saya jabarkan kemudian adalah bagaimana agar keduanya tidak bersifat tautologis. Menanggapi hal ini, saya memunculkan terma probabilitas, sebagai variabel yang memang sudah melekat dengan pembahasan rasionalitas pada bab tiga. Masalah selanjutnya adalah bagaimana membedakan filsafat berupa rasionalitas probabilistik tersebut dengan usaha non-intelektual dan ilmu pengetahuan. Saya kemudian memposisikan filsafat sebagai produk, bukan sistem. Sedangkan untuk membedakan aktivitas rasionalitas probabilistik filsafat
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
49
dengan rasionalitas probabilistik non-intelektual terletak pada akses, sebagai justifikasi. Sedangkan pembedaan dengan ilmu pengetahuan, secara sederhana, terletak pada spesifikasi subject-matter, evidensi, dan metodologi, dan secara kompleks terletak pada seperangkat model observasi, mekanisme, fungsi, dan tujuan. Saya sampai pada simpulan bahwa filsafat adalah produk rasionalitas probabilistik yang tidak terspesifikasi pada subject-matter,evidensi, dan metodologi tertentu. Kebutuhan selanjutnya adalah mendisitngsikan produk terhadap kubu metodis dan non-metodis. Hal ini merupakan suatu bentuk lain dari pemetaan filsafat. Posisi produk yang metodis mempengaruhi yang non-metodis, sehingga diperlukan kelanjutan identifikasi mengenainya. Prinsip mendasar Rescherian saya asimiliasikan dengan cara kerja rasionalitas, yaitu dengan memperhitungkan aspek sosial; konteks.
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
50
BAB 5 PENUTUP
5.1 Ikhtisar Mendefinisikan filsafat bukan perkara mudah, mengingat masif dan kompleksnya pemaparan mengenai apa dan bagaimana filsafat itu. Sebagai titik berangkat, saya melihat definisi filsafat secara tradisional. Filsafat adalah usaha intelektual untuk mewadahi kebutuhan manusia untuk mengetahui; kuriositas. Hasrat kuriositas terwujud pada pertanyaan dan kebutuhan untuk mendapatkan jawaban. Mengutip Rescher, “There is a good reason why we humans pursue knowledge – It is our evolutionary destiny.”65 Rasionalitas merupakan instrumen filsafat dalam usaha intelektual tersebut. Filsafat disini berposisi sebagai aktivitas yang sistematik, dan pencapaian jawaban melalui proses rasionalisasi ini berstatus estimasi. Dengan cara kerja yang demikian, produk dari aktivitas rasionalitas berujung pada situasi yang aporetik. Ditambah dengan lahir dan berkembangnya ilmu-ilmu pengetahuan semenjak era Renaissance, filsafat dianggap tidak lagi menghasilkan pengetahuan yang positif dan ia terpisah dari ilmu-ilmu. Yang menyebabkan ilmu-ilmu pengetahuan tersebut tidak didefinisikan sebagai filsafat adalah spesifikasi, baik berupa spesifikasi subject-matter, evidensi, atau metodologi. Filsafat tidak bisa dikatakan sama dengan ilmu-ilmu tersebut karena filsafat tidak memiliki eksklusivitas terhadap perihal tersebut. Seiring dengan 65
“Ada alasan baik mengapa kita para manusia mengejar pengetahuan – ini merupakan takdir evolusioner kita.“ Nicholas Rescher. 2007. Philosophical Reasoning, A Study in the Methodology of Philosophizing. (New York : Oxford University Press)., hal 7.
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
51
pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, cara kerja filsafat demikian memunculkan beberapa pandangan bahwa filsafat tidak lagi produktif. Hasrat manusia untuk mengetahui lebih diakomodir oleh ilmu pengetahuan. Hal ini kemudian berimbas pada urgensi untuk merumuskan filsafat itu sendiri. Termasuk, apa yang saya kerjakan pada penelitian kali ini turut serta dalam merumuskan filsafat. Cara yang saya ambil adalah dengan terlebih dahulu mengklarifikasi terma rasionalitas. Rasionalitas pada awalnya berporos pada perangkat logika karena ia bertujuan untuk mencapai nilai kebenaran. Kebenaran dianggap sebagai jalan untuk mencapai kebahagiaan tertinggi. Pemaparan mengenai rasionalitas disini tidak sejalan dengan eksplanasi rasionalitas secara saintifik (melalui pendekatan psikologis dan neuroscience), karena rasionalitas tidak hanya terbatas pada penilaian logis atau tidak logis. Rasionalitas turut berisikan hal-hal abstraksi, metafora, sekaligus tak lepas dari intervensi dimensi sosial. Dimensi sosial ini dapat menjelaskan mengapa rasionalitas bersifat progresif. Hal ini, secara lebih jelas, dapat dilihat dari tiga bentuk tindak nalar utama, yaitu; reflektif, koordinatif, dan interaktif. Tak hanya itu, rasionalitas juga bukan bertujuan untuk semata mencari nilai kebenaran, melainkan lebih kepada pencapaian dimensi pragmatis subjektif. Rasionalitas merupakan modus untuk mencapai dimensi pragmatis tersebut. Bagaimana menjelaskan keterhubungan antara gagasan mengenai rasionalitas secara historis dengan eksplanasi saintifik dijembatani oleh akses terhadap objektifitas. Akses ini diakomodir oleh sains, dimana pembenaran saintifik menawarkan pembenaran evidensial. Dilain sisi, rasionalitas versi preskripsi filsafat berada pada level pembenaran konseptual. Setelah secara cukup menggali terma rasionalitas, saya kembali pada penelitian terhadap filsafat. Usaha mendefinisikan filsafat pada penelitian ini merupakan usaha untuk merumuskan filsafat secara komprehensif. Langkah pertama saya adalah dengan memposisikan filsafat sebagai metode berpikir. Saya banyak
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
52
menggunakan teori-teori dari Rescher, dan seiring dengan pencarian saya mengenai rasionalitas, filsafat komprehensif ini saya tekankan pada dua pokok pemikiran Kant dan Darwin. Identifikasi dua terma, filsafat dan rasionalitas, berujung pada kesimpulan bahwa aktivitas keduanya ekuivalen. Misi selanjutnya adalah bagaimana agar keduanya tidak bersifat tautologis, sehingga saya memunculkan kembali terma probabilitas. Kemudian, saya membedakan filsafat sebagai rasionalitas probabilistik dengan usaha rasionalitas non-intelektual dengan ilmu disipliner. Langkah pertama dalam menanggapi hal ini adalah dengan memposisikan filsafat sebagai produk dan bukan sebagai mesin produksi. Pembedaan filsafat dengan kedua produk rasionalitas non-intelektual dengan ilmu disipliner terletak pada justifikasi berupa akses dan spesifikasi subject-mattter, evidensi, ditambah metodologi. Sampai disini, filsafat saya artikan sebagai produk rasionalitas probabilistik yang tidak terspesifikasi pada subject-matter, evidensi, dan metodologi tertentu. Definisi tersebut berimbas pada urgensi untuk memberi pemetaan pada produk-produk filsafat. Saya mendistingsikannya kedalam dua kubu, yaitu produk metodis dan non-metodis. Terhadap produk metodis – sebagai yang mempengaruhi produk non-metodis-, saya menggabungkan prinsip-prinsip dasar filsafat Rescher dengan memperhitungkan aspek sosial.
5.2 Catatan Memposisikan filsafat sebagai produk bukan berarti mematahkan semangat para filsuf yang memposisikan filsafat sebagai alat. Sebelum saya sampai pada pernyataan final mengenai filsafat sebagai produk, saya berada pada posisi setuju dengan definisi filsafat tersebut. Namun kendala paling kuat justru melekat pada tubuh filsafat itu sendiri. Karakteristik filsafat yang secara historis terlanjur tidak
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
53
cukup memberikan limitasi terhadap dirinya tidak hanya dimungkinkan untuk dikerucutkan
sebagai
aktivitas
intelektual
yang berurusan
dengan
hal-hal
metodologis. Definisi filsafat sebagai produk rasionalitas probabilistik tanpa terspesifikasi pada subject-matter, evidensi, dan metodologi adalah pernyataan final yang dapat mengatasi permasalahan usaha terhadap filsafat komprehensif. Tetapi perlu ditekankan bahwa definisi final disini adalah pencapaian pada suatu titik, yang tidak serta-merta menutup kemungkinan terhadap jalan menuju titik-titik yang lain. Cara yang
paling
efektif
untuk
membuka
peluang
tersebut
adalah
dengan
mempertanyakan. Pertanyaan terbesar pada penelitian ini adalah apa itu filsafat. Saya sepakat dengan anggapan bahwa mendefinisikan filsafat itu sulit. Kesulitan ini disebabkan oleh munculnya pertanyaan-pertanyaan lain setelah pertanyaan tersebut dicetuskan, dan bagaimana memilih dan merumuskan rentetan pertanyaan yang muncul setelahnya. Apa itu filsafat? Filsafat yang mana? Bagaimana merumuskan filsafat? Mengapa filsafat sulit untuk dirumuskan? Apa saja batasnya? Ataukah tidak ada batas? Dan lain sebagainya. Sebuah jawaban dan bahkan pertanyaan tidak bisa berhenti untuk tidak dipertanyakan. Diperlukan limitasi terhadap segala posibilitas, untuk mencapai suatu titik. Jika hanya mengandalkan kuriositas, maka penelitian ini tidak akan pernah selesai. Sehingga, penelitian ini saya batasi pada target pemaparan sejumlah empat puluh halaman inti. Dalam menghadapi kesulitan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dan menentukan jawaban, kebagaimanaan saya dalam memilih lebih bertendensi kepada hal-hal mendasar. Pertanyaan apa itu filsafat berlanjut pada pertanyaan apa yang mendasari segala perihal yang dilabelkan sebagai filsafat. Menganggap filsafat sebagai aktivitas berpikir sudah cukup nilainya untuk dijadikan titik berangkat. Selanjutnya adalah mengelaborasi pernyataan tersebut.
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
54
Dalam mengelaborasi pernyataan diatas, saya terlebih dahulu mempelajari literatur-literatur terkait pembahasan metafilsafat. Kendala berikutnya adalah menetukan poin-poin mana saja yang mendasar dan krusial untuk dimasukkan dalam pembahasan, sekaligus nantinya direposisi sedemikian rupa. Kesulitan untuk membatasi masalah disini, salah satunya, datang dari mekanisme penelitian yang tidak berpijak terlebih dahulu pada suatu pernyataan thesis. Problem berikutnya datang dari memaparkan terma rasionalitas secara saintifik. Istilah-istilah teknis, serta eksplanasi yang lebih bertendensi pada suatu metode observasi dengan produksi kesimpulan yang tidak terlalu banyak menjadi hambatan tersendiri terhadap saya sebagai pihak awam. Hal ini kemudian berlanjut pada kebutuhan untuk menjelaskan mengapa saya juga memasukkan rasionalitas versi saintifik selain rasionalitas versi filsafat. Analisis tidak hanya ada pada bab empat, namun, analisis pada bab empat membutuhkan analisa lebih kuat. Saya mengandalkan sistematika yang mengalir sebagaimana adanya, tanpa memiliki ide terlebih dahulu terhadap hasil yang nantinya tercapai. Dan hasil tersebut, pada penelitian ini, berhenti pada titik filsafat sebagai produk rasionalitas probabilistik tanpa terspesifikasi layaknya ilmu pengetahuan disipliner. Produk merupakan hasil produksi. Ia diproduksi; bersifat pasif. Saya menyadari bahwa memposisikan filsafat sebagai produk pasif akan menimbulkan semacam miskonsepsi terhadap ambisi filsafat yang memposisikan dirinya sebagai alat. Dengan melihat usaha filsafat terhadap hal-hal sedemikian, maka saya mendistingsikan filsafat sebagai produk metodis dan non-metodis. Pembedaan ini berada pada tahapan lebih lanjut dalam memetakan filsafat, dalam obsesi untuk mendefinisikan filsafat pada suatu karakteristik tertentu. Apa yang berhasil saya simpulkan disini tidak saya posisikan terutama sebagai insight kedepan, namun lebih kepada kajian secara historis terhadap filsafat.
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
55
5.3 Saran Ada pembelajaran tersendiri dalam menuliskan suatu problem untuk kemudian disimpulkan. Paling dasar buat saya adalah bahwa pembatasan merupakan prinsip yang tidak boleh diindahkan. Menganggap segala hal memiliki potensi untuk diposisikan sebagai variabel penting yang selanjutnya akan dibahas bukanlah sikap yang baik dalam merumuskan sesuatu hal, walaupun hal ini secara pribadi merupakan hal yang sulit karena buat saya suatu kemungkinan tetap bernilai lima puluh persen. Maka dari itu, perjalanan bagaimana menentukan skala prioritas menjadi pembelajaran tersendiri buat saya. Secara aplikatif, hal ini tertuang pada terbukanya ruang terhadap penambahan gagasan, dan pertanyaan pada penelitian ini. Fokus tema disini adalah metafilsafat. Terhadapnya, filsafat buat saya menuntut klarifikasi lebih lanjut terhadap pembahasan mengenai justifikasi objektivitas, subjektivitas pragmatis, logika, perangkat gramatik pada bahasa, efisiensi-efektifitas, evolusi, abstraksi, metafora, posibilitas, analogi, dan limitasi, dalam mengelaborasi aspek sosial dan ekonomi. Terma-terma tersebut merupakan apa-apa saja yang menurut saya perlu digali lebih dalam, untuk mendapatkan pencapaian lebih lanjut mengenai filsafat yang komprehensif. Pernyataan bahwa rasionalitas adalah produk rasionalitas probabilistik yang tidak terspesifikasi
selayaknya ilmu
menuntut
perluasan
dan pendalaman
mengenainya. Konsekuensi lanjutan dari pernyataan ini adalah pendistingsian lebih tajam antara filsafat dengan ilmu-ilmu pengetahuan disipliner. Dengan karakteristik filsafat yang tidak membatasi dirinya sedemikian ilmu-ilmu, maka sampai saat ini saya masih sepakat bahwa mendistingsikan filsafat (produk metodis) dengan ilmuilmu disipliner, salah satunya, bisa ditempuh dengan menolak karakteristik suatu disiplin tertentu sebagai filsafat.
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
56
Saya membayangkan bahwa dengan demikian, filsafat memiliki otoritas yang tidak dimiliki oleh ilmu disipliner, karena ia bisa menjangkau wiilayah yang tidak terjangkau oleh ilmu-ilmu karena ilmu-ilmu tersebut sudah melimitasi wilayah kajiannya sedemikian. Hal ini membawa saya pada pertanyaan lain, yaitu adakah batasan pada filsafat? Bagaimana merumuskannya? Dirumuskan atau ditentukan? Apa saja batasan-batasan itu? Apakah batasan itu perlu atau tidak, menghambat atau tidak? Apa saja konsekuensi dari batas-batas tersebut? Pertanyaan-pertanyaan diatas sebetulnya merupakan pertanyaan paling awal buat saya terhadap filsafat. Namun, saya akhirnya berbelok untuk merumuskan terlebih dahulu mengenai apa itu filsafat, apa yang mendasari filsafat itu. Ini dikarenakan pendasaran pengetahuan yang tidak memadai untuk saya menjabarkan perihal limitasi pada filsafat, tanpa terlebih dahulu memiliki modal pengetahuan yang cukup terhadapnya. Dengan keadaan filsafat yang kompleks, filsafat yang berarti cinta kebijaksanaan masih merupakan ruang. Buat saya, arti cinta dan kebijaksanaan itu sendiri masih kosong. Ia masih mengandung ambisi untuk melampaui semuanya, masih bisa diramu untuk menjelaskan situasi apa saja, dan masuk kedalam berbagai kriteria; ia bisa jadi benar karena ia tidak bisa disalahkan. Inilah
menurut
saya
mengapa
pembahasan
bertemakan
metafilsafat
seharusnya mendapatkan porsi besar untuk dikaji secara dalam. Filsafat, terkhusus pada era kontemporer, adalah filsafat yang banyak berurusan dengan isu-isu mikro praktis partikular. Tersebutlah feminisme, multikulturalisme, etika, insight terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan, dan lain sebagainya. Filsafat nyaris berada pada segala hal. Buat saya, pembahasan semacam itu menunjukkan, secara aplikatif, filsafat yang progresif. Namun, diperlukan porsi yang setidaknya sepadan untuk merumuskan filsafat itu sendiri.
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
57
GLOSARIUM
Aporetik: Situasi dimana sesuatu bersifat inkonsisten secara kolektif, tetapi konsisten secara individual.
Archai: Akar, sumber utama, pada sesuatu hal.
Celebral cortex: Disebut juga korteks otak besar, merupakan lapisan abu-abu tipis yang berisikan neuron pada otak.
Entitas: Penamaan terhadap sesuatu yang berdiri sendiri, berwujud sebagai satuan.
Evidensi: Pembuktian sesuatu hal dengan satu atau lebih alasan yang bertujuan untuk menyimpulkan sesuatu tersebut benar atau salah, dengan penetapan faktual yang memverifikasi kesimpulan tersebut.
Kognitif: Perihal prosesi mental terhadap putusan, penalaran, dipisahkan dengan segala hal-hal yang bersifat emosional.
Komprehensif: Bersifat menyeluruh, mencakup segala hal yang diperlukan, general.
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
58
Legitimasi: Penerimaan, legalisasi terhadap sesuatu, sesuai dengan prinsip, standarisasi, dan peraturan yang berlaku.
Metakognitif: Kesadaran otomatis pada pengetahuan, kemampuan untuk memahami, kontrol, dan manipulasi terhadap prosesi kognitif.
Metafilsafat: Filsafat terhadap filsafat. Oleh Rescher metafilsafat berarti berfokus pada hal-hal metodis terhadap identifikasi dan cara kerja filsafat.
Metode: Cara, prosedur, teknik, umumnya pada pengetahuan mengacu pada sususan logis, instruksi sistematik terhadap pencapaian sesuatu tujuan.
Metodologi: Studi tentang metode, otoritarisasi terhadap tujuan, identifikasi, cara kerja suatu metode.
Modalitas ketiga: Istilah dari Hilary Putnam mengenai definisi filsafat, yaitu ketika ia mengatakan bahwa filsafat bukan seni, bukan juga sains, melainkan modalitas ketiga, yaitu sebagai bukan keduanya.
Neuron: Sel saraf pada otak yang berfungsi sebagai penghantar impuls listrik yang terbentuk dari prosesi stimulus pada saraf.
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
59
Probabilitas: Pemunculan superioritas pada suatu posibilitas dengan mengandalkan, salah satunya dan pada umumnya, frekuensi.
Rasionalitas preskriptif: Definisi rasionalitas secara rumusan estimatik, merujuk pada rasionalitas versi tradisional, dimana gagasan mengenai rasionalitas dimunculkan beserta arti mengenainya.
Rasionalitas observatif: Definisi rasionalitas secara observasional, merujuk pada definisi rasionalitas versi sains, dimana gagasan mengenai rasionalitas yang dimunculkan beserta arti mengenainya dianalisa lebih lanjut dengan pembuktian-pembuktian dan pakempakem saintifik.
Sporadis: Bersifat muncul secara satu demi satu, dan secara luas terpisah-pisah dalam suatu wilayah.
Subject matter: Penetapan suatu objek kajian tertentu.
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
60
DAFTAR REFERENSI
Buku:
Audi, Robert. 1999. The Cambridge Dictionary of Philosophy. (New York: Cambridge University Press)
Bennett, Maxwell; Dennet, Daniel; Hacker, Peter; dan Searle, John. 2007. Neuroscience and philosophy : brain, mind, and language. (New York : Columbia University Press)
Boden, Margaret A. 2006. Mind as Machine, A History of Cognitive Science. (Oxford: Clarendon Press)
Borradori, Giovanna. 1994. The American Philosopher. (Chicago and London: The University of Chicago Press)
Bunnin, Nicholas dan Yu, Jiyuan. 2004. The Blackwell Dictionary of Western Philosophy. ( Oxford: Blackwell Publishing Press).
Edelman, Gerald M. 2006. Second Nature Brain Science and Human Nature.(New Heaven and London: Yale University Press)
Honderich, Ted. 1995. The Oxford Companion to Philosophy. (Oxford New York: Oxford University Press)
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
61
Machamer, Peter dan Silberstein, Michael. 2002. The Blackwell Guide to the Philosophy of Science. ( Oxford: Blackwell Publishing Press)
Mellor, D.H. 2005. Probability, A Philosophical Introduction. (London And New York: Routledge Taylor and Francis Group Press)
Moran, Dermot. 2008. The Routledge Companion to Twentieth Century Philosophy. London dan New York; Routledge Taylor & Francis Group Press)
Moshman, David. 2004. Thinking and Reasoning. (University of Nebraska, Lincoln, USA: Psychology Press)
Nozick, Robert. 1993. The Nature of Rationality. (Princeton: Princeton University Press) O’Hear, Anthony. 2009. Conceptions of Philosophy; Royal Institute of Philosophy Suppelement: 65. (Cambridge: Cambridge University Press)
Putnam, Hilary. 1994. Renewing Philosophy. (Cambridge: Harvard University Press)
Quine, W. V. 1995. From Stimulus to Science. (London: Harvard University Press)
Rescher, Nicholas. 2003. Epistemology; An Introduction to the Theory of Knowledge. (New York: State University of New York Press)
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
62
. 2006. Philosophical Dialectics, An Essay on Metaphilosophy (New York : State of University New York Press).
. 2007. Interpreting Philosophy, The Elements of Philosophical Hermeneutics. (Heusenstamm : Ontos Verlag Press)
. 2007. Philosophical Reasoning, A Study in the Methodology of Philosophizing. (New York : Oxford University Press)
. 2009. Unknowability, An Inquiry into the Limits of Knowledge. (New York: Rowman & Littlefield Publishers Press)
Rosenberg, Alex. 2005. Philosophy of Science; A Contemporary Introduction, Second Edition. . (London dan New York; Routledge Taylor & Francis Group Press)
Stathis Psillos dan Martin Curd. 2008. The Routledge Companion to Philosophy of Science. (London dan New York; Routledge Taylor & Francis Group Press)
Williamson, Timothy. 2007. Philosophy of Philosophy. (Oxford: Blackwell Publishing Press)
Jurnal: Bassok, Miriam; Duanbar, Kevin N.; dan Holyoak, Keith J. “Introduction to the Special Section on the Neural Substrate of Analogical Reasoning and Metaphor Comprehension”, Journal of Experimental Psychology, Vol 38, No.2, 2012. (University of Washington, University of Maryland, dan University of California, Los Angeles: The American Psychological Association Press).
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012
63
Evans, Jonathan St. B. T. “Logic and Human Reasoning: An Assessment of the Deduction Paradigm”, Psychological Bulletin, Vol. 128, No. 6, 2002. (University of Plymouth: The American Psychological Association Press)
Johnson-Laird, P.N; Girotto, Vittorio; dan Legrenzi, Paulo. “Reasoning From Inconsistency to Consistency”, Psychological Review, Vol. 111, No. 3, 2004. (Princeton University dan Centre National de la Recherche Scientifique and Venice Architecture University: American Psychological Association Press) M., Oaksford dan N, Chater. “Bayesian Rationality: The Probabilistic Approach to Human Reasoning”, Behavorial and Brain Sciences, Vol 32, 2009. (Oxford, UK: Oxford University Press) Rips, Lance J. “Cognitive Processes in Propositional Reasoning”, Psychological Review, Vol 90, No.1, 1983. (University of Chicago: American Psychological Association Press) Sloman, Steven A. “The Empirical Case for Two Systems of Reasoning”, Psychological bulletin, Vol 119, No.1, 19. (American Psychological Association Press)
Yuan, Zhina; Qin, Wen; Wang, Dawei; Jiang, Tianzi; Zhang, Yunting; Yu, Chunsui. “The Salience Network Contributes to an Individual’s Fluid Reasoning Capacity”, Behavorial Brain Research, 26 Januari 2012. (National Laboratory of Pattern Recognition, Institution of Automation, Chinese Academy of Sciences, Beijing, China)
Universitas Indonesia
Filsafat komprehensif..., Melysha, FIB UI, 2012