STUDI PENDAHULUAN OKSIDASI KATALISIS MISELAR STIRENA MENJADI BENZALDEHIDA MENGGUNAKAN SOL Ti(OH)4 SEBAGAI KATALIS
Oleh: ERSI YULIANTIKA 0305030204
Universitas Indonesia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Departemen Kimia Depok 2009
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
STUDI PENDAHULUAN OKSIDASI KATALISIS MISELAR STIRENA MENJADI BENZALDEHIDA MENGGUNAKAN SOL Ti(OH)4 SEBAGAI KATALIS
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
Oleh: ERSI YULIANTIKA 0305030204
DEPOK 2009
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
SKRIPSI
: STUDI PENDAHULUAN OKSIDASI KATALISIS MISELAR STIRENA MENJADI BENZALDEHIDA MENGGUNAKAN SOL Ti(OH)4 SEBAGAI KATALIS
NAMA
: ERSI YULIANTIKA
NPM
: 0305030204
SKRIPSI INI TELAH DIPERIKSA DAN DISETUJUI DEPOK, DESEMBER 2009
Dra. TRESYE UTARI, M. Si
Dr. WIDAJANTI WIBOWO
PEMBIMBING I
PEMBIMBING II
Tanggal lulus Ujian Sidang Sarjana
:.....................................................
Penguji I
:................................................................................................
Penguji II
:................................................................................................
Penguji III
:................................................................................................
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
Skripsi ini kupersembahkan untuk keluargaku tercinta terutama kepada Bapak dan mama, yang senantiasa berdoa dan mendukung setiap langkahku, semoga diberi rahmat dan hidayah-Nya di dunia dan di akhirat, serta adik-adikku tercinta, yang tulus membantuku tanpa pamrih. Terima kasih atas pengorbanan kalian selama ini. Terima kasih ya Allah atas karuniaMu yang tak ternilai ini.
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Sholawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, suri tauladan yang baik bagi seluruh umat manusia. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana di Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada : 1. Orang tua penulis, terima kasih atas segenap cinta yang tulus, dukungan dan doa selama ini hingga skripsi ini selesai. Untuk Rila, wawan dan Ratu, terima kasih atas dukungan dan semangatnya selama ini. Untuk Bibi Fatma, terima kasih atas dukungannya. 2. Dra. Tresye Utari, M.Si dan Dr. rer nat Widajanti Wibowo selaku pembimbing penelitian, yang telah memberi ilmu, bimbingan dan saran yang sangat berguna bagi penulis hingga skripsi ini tersusun. 3. Dr. Ridla Bakri selaku Ketua Departemen Kimia UI, Dr. Herry Cahyana, selaku Pembimbing Akademik, dan seluruh staf pengajar di Departemen Kimia FMIPA UI, yang telah memberikan ilmu dan wawasan yang sangat berharga bagi penulis.
i Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
4. Pak Hedi, Mba Ina, Mba Cucu, Mba Ema, Mba Tri, Pak Marji, Pak Kiri dan Pak Amin yang telah membantu penulis pada saat penelitian.. 5. Pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam penyediaan bahanbahan kimia, Mba Inez (BASF), Pak Riwandi, Pak Jarnuzi , Pak Cholid. 6. Sahabat penulis Rumini Jayanti yang selalu setia memberikan semangat dan doa, sehingga skripsi ini dapat tersusun. Terima kasih telah menjadi sahabat terbaik saat suka dan duka. 7. Teman-teman seperjuangan penulis, Widya, Dian, Retno, Iren, dan Golda. Terima kasih atas dukungan dan semangatnya selama ini. Untuk Fery, terima kasih atas jurnalnya. 8. Teman-teman di lab. penelitian lantai 1, 3, dan 4, terima kasih atas kerja sama dan bantuannya selama penelitian berlangsung. 9. Teman-teman angkatan 2005, terima kasih atas kebersamaanya selama empat tahun terakhir ini. 10. Teman-teman angkatan 2006, 2007, dan 2008 11. Serta semua pihak yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini tidak luput dari kekurangan, namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Penulis 2009 ii Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
ABSTRAK
Reaksi katalisis oksidasi senyawa organik memegang peranan penting dalam perkembangan industri kimia saat ini. Umumnya reaksi oksidasi senyawa organik membutuhkan waktu yang lama dalam menjalankan reaksi, sehingga diperlukan katalis untuk mempercepat laju reaksi. Pada penelitian ini dilakukan oksidasi stirena dengan sol Ti(OH)4 yang berinteraksi dengan H2O2 membentuk sisi aktif Ti-O-O- dalam fase miselar. Stirena akan disolubilisasi ke dalam misel, lalu dianalisis kualitatif dengan spektrometri UV/Vis. Aktivitas dan selektivitas katalis akan diuji dengan memvariasikan mol stirena yang tersolubilisasi (0,17-0,52 mol), katalis sol gel Ti(OH)4 (1-4 mL) dan H2O2 (20-30 mL). Hasil oksidasi dianalisis dengan FTIR, GC dan GC-MS. Hasil benzaldehida yang optimum adalah 20.22% diperoleh dari 0,35 mol stirena yang tersolubilisasi, 3 mL katalis Ti(OH)4 dan 20 mL H2O2. Pengaruh katalisis miselar diamati dengan membandingkan reaksi oksidasi tanpa katalis sol Ti(OH)4 dan misel, dengan misel, dengan katalis sol Ti(OH)4 dan dengan katalis sol Ti(OH)4 dalam fase miselar.
Kata kunci : benzaldehida, fase miselar, HDTMABr, H2O2, reaksi oksidasi, sol Ti(OH)4, stirena. xii + 102 hlm. gbr.; tab.; lamp. Bibliografi : 24 (1958-2009)
iii Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR …......................................................................
i
ABSTRAK ………………………………………………………………..
iii
DAFTAR ISI ......................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………..
ix
DAFTAR TABEL ………………………………………………………..
xi
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………..
xii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………….
1
1.1 Latar Belakang ..........................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah .................................................................
4
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………
5
2.1 Stirena ……………………………………………………………...
5
2.2 HDTMABr .................................................................................
6
2.3 H2O2 ..........................................................................................
7
2.4 Katalis Sol Ti(OH)4 …….…………………………………………..
8
2.5 Reaksi Oksidasi ........................................................................
9
2.6 Surfaktan ...................................................................................
13
v Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
2.6.1 Klasifikasi Surfaktan .......................................................
14
2.6.2 Pembentukan misel ………………………... ...................
15
2.6.3 Cara Penentuan CMC ....................................................
16
2.7 Solubilisasi .................................................................................
19
2.8 Katalisis Miselar ……………………………………………………
20
2.9 Analisis Stirena yang Tersolubilisasi .........................................
21
2.9.1 Spektroskopi UV/Vis .......................................................
21
2.10 Karakterisasi Benzaldehida Hasil Oksidasi ............................... 22 2.10.1 Kromatografi Gas ........................................................... 22 2.10.2 Spektrometri Massa Kromatografi Gas (GC-MS) .......... 24 2.10.3 FTIR (Fourier Transform InfraRed) ................................ 25
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………………………………….
27
3.1 Alat dan Bahan ……….……………………………………………..
27
3.1.1 Alat................................................................................... 27 3.1.2 Bahan............................................................................... 27 3.2
Prosedur Kerja ........................................................................... 28 3.2.1 Penyiapan Larutan Surfaktan ......................................... 28 3.2.2 Penentuan CMC HDTMABr dengan Metode Kapiler .....
28
3.2.3 Solubilisasi Stirena ……………..…………………………
29
3.2.4 Pembuatan Katalis Sol Ti(OH)4 ………………………….
30
3.2.5 Uji Daya Katalitik Katalis miselar pada Reaksi
vi Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
Oksidasi Stirena…………………………………………..
30
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………
33
4.1
Penentuan CMC HDTMABr dengan Metode Kapiler ………...
33
4.2 Solubilisasi Stirena ke dalam Misel HDTMABr ………………..
35
4.3
4.4
Uji Daya Katalitik Katalis miselar melalui Reaksi Oksidasi Stirena menjadi Benzaldehida……………………………….....
42
Analisis Hasil Reaksi Oksidasi Stirena ………………………....
46
4.4.1 Analisis Hasil Reaksi Oksidasi Stirena dengan Variasi Volume Katalis Sol Ti(OH)4 ....…….................................
46
4.4.2 Analisis Hasil Reaksi Oksidasi Stirena dengan Variasi 49Volume H2O2 ……………………………………………
49
4.4.3 Analisis Hasil Oksidasi dengan FTIR …………………...
52
4.5 Perbandingan hasil benzaldehida terhadap variasi reaksi oksidasi stirena …………………………………………………….
56
4.5.1 Analisis Hasil Reaksi Oksidasi Stirena Tanpa Katalis Sol Ti(OH)4 dan Misel HDTMABr………………………... 56 4.5.2 Analisis Hasil Reaksi Oksidasi Stirena Menggunakan Misel HDTMABr ……………………………………………
58
4.5.3 Analisis Hasil Reaksi Oksidasi Stirena dengan Menggunakan Katalis Sol Ti(OH)4 ………………………. 59 4.6 Mekanisme Reaksi Oksidasi Stirena ……………………………
vii Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
62
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………….
67
5.1 Kesimpulan …...…………………………………………………….
67
5.2 Saran…………………………………………………………………
68
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
69
LAMPIRAN ………………………………………………………………..
73
viii Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
2.1
Misel HDTMABr ...................................................................
7
2.2
Oksidasi pada Ikatan Rangkap ............................................
11
2.3
Proses pembentukan misel .................................................
16
2.4
Penentuan tegangan permukaan dengan metode kapiler ..
18
2.5
Oksidasi stirena dengan H2O2 melalui bantuan katalisis miselar ................................................................................
20
2.6
Skema Spektrofotometer UV/Vis ........................................
22
2.7
Skema Kromatografi Gas (GC) ...........................................
24
2.8
Skema GC-MS ....................................................................
25
2.9
Skema FTIR ........................................................................
26
4.1
Kurva penentuan CMC HDTMABr ............................……...
33
4.2
Spektrum UV-Vis Stirena …...…………………...…………..
38
4.3
Spektrum UV/Vis Stirena yang tidak tersolubilisasi ke dalam misel HDTMABr ……………………………………….
39
4.4
Interaksi Katalis dengan stirena dalam fase miselar............
44
4.5
Persen Hasil benzaldehida terhadap volume katalis sol Ti(OH)4 ………………………………………………………….
49
4.6
Spektrum FTIR Stirena ……………………………………….
53
4.7
Spektrum FTIR benzaldehida …………………………..……
54
4.8
Perbandingan produk benzaldehida yang diperoleh dari
ix Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
oksidasi stirena tanpa katalis dan misel, dengan katalis dan dengan katalis miselar ……………………………………
x Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
61
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
2.1
Beberapa oksidator umum ……...……………………………..
4.1
Persen hasil benzaldehida pada reaksi oksidasi stirena dengan variasi volume katalis sol Ti(OH)4 …………………
13
47
4.2 Identifikasi produk hasil reaksi oksidasi dengan 20 mL H2O2
51
4.3 Identifikasi produk hasil reaksi oksidasi dengan 30 mL H2O2
52
4.4 Jenis gugus-gugus pembentuk stirena dan benzaldehida …
55
4.5
Identifikasi produk hasil reaksi oksidasi stirena tanpa katalis sol Ti(OH)4 dan misel HDTMABr ………………………………
4.6
57
Identifikasi produk hasil reaksi oksidasi stirena dengan misel HDTMABr …………………………………………………
58
4.7 Identifikasi produk hasil reaksi oksidasi stirena dengan katalis sol Ti(OH)4 ……………………………………………….
60
4.8 Perbandingan produk benzaldehida berdasarkan % hasil terhadap variasi reaksi oksidasi ……………………………….
xi Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
61
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1
Bagan Metode Penelitian …...………………………............
73
2
Desain Reaktor Oksidasi Katalisis Miselar ………………...
77
3
Tegangan Permukaan Surfaktan HDTMABr ………………
78
4
Kondisi Alat Kromatografi Gas ………………………………
79
5
Cara Perhitungan % Hasil Benzaldehida ………..…….......
80
6
Kromatogram Standar Stirena dan Benzaldehida ………...
81
7
Kromatogram Benzaldehida dari Oksidasi Stirena dengan Variasi Katalis Sol Ti(OH)4 dalam Fase Miselar……………
82
8
Kondisi Alat GC-MS …………………………………………..
85
9
Kromatogram Stirena Awal …...……………………………... 86
10
Kromatogram Oksidasi Stirena Tanpa Katalis Sol Ti(OH)4.
88
11
Kromatogram Oksidasi Stirena dengan Misel………………
90
12
Kromatogram Oksidasi Stirena dengan Katalis Sol Ti(OH)4 92
13
Kromatogram Oksidasi Stirena dengan 20 ml H2O2 dan 3 mL Katalis Sol Ti(OH)4 ......………………........................
14
94
Kromatogram Oksidasi Stirena dengan 30 mL H2O2 dan 3 mL Katalis Sol Ti(OH)4 ………….....................................
98
15
Spektrum FTIR Stirena ……………………………………… 101
16
Spektrum FTIR Benzaldehida ……………………………… 102
xii Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Reaksi oksidasi senyawa organik memegang peranan penting pada perkembangan industri kimia saat ini, karena menghasilkan produk yang sangat bermanfaat dalam berbagai bidang industri. Salah satunya adalah reaksi oksidasi olefin menjadi aldehida dan keton yang akan menghasilkan produk yang berguna bagi industri petrokimia, parfum, dan farmasi. Pada umumnya reaksi oksidasi senyawa organik membutuhkan oksidator yang kuat dan waktu yang lama dalam menjalankan reaksi, oleh karena itu dibutuhkan bantuan katalis untuk mempercepat laju reaksi. Katalis akan mengurangi energi yang dibutuhkan untuk menjalankan suatu reaksi dengan menurunkan energi aktivasi, sehingga dapat mempercepat reaksi[1]. Katalis akan menyediakan suatu alternatif jalan reaksi dimana ikatan-ikatan dapat dilemahkan atau diputuskan dengan pembentukan zat antara reaktif, yang selanjutnya saling berinteraksi menghasilkan produk reaksi[2]. Selain mempengaruhi aktivitas reaksi katalis juga dapat mempengaruhi selektivitas reaksi, sehingga dihasilkan produk yang dikehendaki. Jenis katalis yang digunakan untuk mengoksidasi senyawa organik adalah katalis homogen dan katalis heterogen. Katalis homogen adalah katalis yang berada pada fase yang sama dengan reaktan dan produk,
1 Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
2
sehingga katalis ini sulit dipisahkan dari produk hasil reaksi. Katalis heterogen adalah katalis yang memiliki fase yang berbeda dengan reaktan dan produk, sehingga katalis heterogen mudah dipisahkan. Hal inilah yang membuat katalis heterogen lebih disukai oleh industri karena pemisahannya lebih mudah dilakukan dibandingkan katalis homogen. Akan tetapi katalis heterogen mempunyai kekurangan yaitu memiliki aktivitas dan selektivitas yang lebih rendah dibanding katalis homogen[3],[4]. Reaksi oksidasi stirena menjadi benzaldehida telah dilakukan oleh Nurhayati[5], yaitu reaksi oksidasi stirena dengan oksidator oksigen melalui bantuan katalis heterogen TiO2-Al2O3 (1:1)-U dan TiO2-Al2O3 (1:1)-PEG dan menghasilkan produk yang kurang selektif, sehingga persen konversi produk benzaldehida yang terbentuk hanya 21,59% dan 35,44%. Oleh karena itu, untuk meningkatkan hasil benzaldehida yang terbentuk diperlukan katalis yang mudah dipisahkan tetapi tetap selektif. Pada penelitian ini digunakan katalisis miselar untuk membantu menjalankan reaksi oksidasi stirena agar dihasilkan jumlah benzaldehida yang meningkat. Selain itu, penggunaan katalisis miselar ini juga diharapkan dapat mempermudah pemisahan katalis dari produk yang dihasilkan. Katalisis miselar merupakan reaksi katalisis yang berlangsung dalam fase miselar [6]. Misel dibentuk dari penambahan surfaktan pada konsentrasi yang sedikit lebih besar dari CMCnya. Katalis yang digunakan dalam sistem miselar ini adalah sol Ti(OH)4. Oksidator yang digunakan adalah H2O2. Oleh karena reaksi berlangsung dalam lingkungan misel, diharapkan katalis sol
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
3
Ti(OH)4 akan membantu H2O2 untuk mengoksidasi stirena menghasilkan produk benzaldehida yang optimum dan selektif. Stirena merupakan senyawa kimia yang mempunyai kegunaan yang sangat besar terutama dalam industri plastik dan sebagai bahan baku untuk pembuatan senyawa kimia lainnya. Benzaldehida digunakan sebagai prekursor untuk sintesis senyawa organik lain, misalnya; sebagai bahan baku pembuatan parfum sintesis. Pada penelitian ini akan dipelajari pendahuluan reaksi oksidasi katalisis miselar stirena menjadi benzaldehida. Proses katalisis miselar yang berlangsung pada penelitian ini berdasarkan pada stirena yang tersolubilisasi dalam inti nonpolar dari misel dengan penambahan katalis sol Ti(OH)4 ke dalam larutan misel HDTMABr. Stirena yang bersifat non polar diharapkan lebih suka berada dalam inti hidrofobik dari misel. Stirena akan dioksidasi dengan H2O2 yang berlangsung dalam fase miselar dan menghasilkan produk benzaldehida yang akan ditransfer ke dalam fase cair. Daya katalitik katalis sol Ti(OH)4 dalam sistem miselar ini diuji melalui reaksi oksidasi stirena dengan melakukan variasi mol stirena, volume katalis sol Ti(OH)4 dan volume H2O2. Pengaruh katalisis miselar terhadap reaksi oksidasi stirena diamati dengan membandingkan produk benzaldehida dari reaksi oksidasi tanpa katalis sol Ti(OH)4 dan misel HDTMABr, dengan misel HDTMABr, dengan katalis sol Ti(OH)4 dan dengan katalis sol Ti(OH)4 dalam fase miselar. Stirena yang tersolubilisasi ke dalam misel dianalisis dengan spektroskopi UV/Vis. Hasil reaksi oksidasi dianalisis dengan menggunakan
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
4
FTIR, kromatografi gas (GC) dan Kromatografi gas-spektrum massa (GC-MS).
1.2
Perumusan Masalah
a. Pada penelitian ini akan dilakukan oksidasi stirena dengan H2O2 melalui reaksi katalisis miselar untuk menghasilkan benzaldehida. b. Katalis yang diusulkan adalah sol Ti(OH)4, untuk mempercepat reaksi oksidasi yang berlangsung di dalam sistem misel HDTMABr. c. Untuk memperoleh produk optimum divariasikan mol stirena, volume katalis sol Ti(OH)4 dan volume H2O2.
1.3
Tujuan Penelitian
a. Menguji aktivitas dan selektivitas katalisis miselar pada reaksi oksidasi stirena menjadi benzaldehida dengan oksidator H2O2. b. Menentukan kondisi optimum reaksi oksidasi katalisis miselar stirena menjadi benzaldehida. c. Membandingkan hasil benzaldehida dari reaksi oksidasi stirena tanpa katalis sol Ti(OH)4 dan misel HDTMABr, dengan misel HDTMABr, dengan katalis sol Ti(OH)4, dan dengan katalis sol Ti(OH)4 dalam fase miselar.
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Stirena
Stirena (C6H5C2H5) merupakan senyawa kimia yang mempunyai kegunaan yang sangat besar terutama dalam industri plastik dan sebagai bahan baku untuk pembuatan senyawa kimia lainnya seperti : Polystyrene (PS), Acrylonitrile Butadiene Styrene (ABS), Styrene Butadiene Rubber (SBR), Styrene Butadiene Latex (SBL) dan Unsaturated Polyester Resin (UPR).
Stirena bersifat stabil, tetapi dapat terpolimerisasi jika terkena cahaya. Pada umumnya stirena disimpan dengan menambahkan inhibitor. Stirena merupakan senyawa organik yang beracun, karsinogenik, mutagenik, dan korosif. Stirena dapat menyebabkan kanker, gangguan fungsi saraf, ginjal, pencernaan, sistem pernafasan dan fungsi reproduksi.
Sinonim
: vinil benzena, fenil etilena, stirol, cinnamena, stirolena, etenil benzena, cinnamol, stiron
Struktur Molekul
:
5 Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
6
Rumus Molekul
: C8H8
Berat Molekul (g/mol) : 104,14 Sifat Fisik dan Kimia[7] Bentuk
: cairan bening
Titik Didih (ºC)
: 145
Titik Beku (ºC)
: -30
Densitas (air = 1)
: 0,91
Tekanan Uap
: 4,5 mm Hg pada 20ºC
Kelarutan
: sedikit larut dalam air (30 mg/100 mL pada suhu 20°C); larut dalam etanol, dietil éter dan aseton; sangat larut dalam benzena dan petroleum eter
2.2
HDTMABr (Hexadecyl trimethyl ammonium bromide)
Sinonim
: Cetil trimetil amonium bromida, Cetrimonium bromida, Palmitil trimetil amonium bromida, N,N,Ntrimetil-1-heksadekanaminium bromida.
Struktur Molekul
:
Rumus Molekul
: C19H42BrN
Berat Molekul
: 364,45
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
7
Sifat fisik dan kimia[8] Bentuk
: Bubuk putih
Titik Didih
: 235ºC
Titik Leleh
: 237-243ºC
Kelarutan
: dalam air pada temperatur ruang 100 mg/mL, larut dalam alkohol, sedikit larut dalam aseton, tidak dapat larut dalam eter dan benzena.
CMC
: 0,92 mM - 1 mM (dalam air)
HDTMABr digunakan sebagai bakterisida, surfaktan kationik, analisis PCR, untuk mengendapkan asam nukleat, untuk menentukan berat molekul protein dalam sistem elektroforesis dan sebagai katalis PTC (phase-transfer catalyst). Misel HDTMABr dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Monomer HDTMABr dalam larutan Misel HDTMABr
Gambar 2.1 Misel HDTMABr
2.3
H2O2 Hidrogen peroksida merupakan senyawa kimia yang berperan sebagai
oksidator kuat. Hidrogen peroksida tidak berwarna dan memiliki bau yang khas. Hidrogen peroksida lebih disukai dibandingkan dengan oksidator lain
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
8
karena hidrogen peroksida merupakan oksidator yang murah dan ramah lingkungan[9]. Hidrogen peroksida bersifat ramah lingkungan, sebab reaksi sampingnya tidak meninggalkan residu yang berbahaya, hanya menghasilkan air dan oksigen.
Struktur Molekul
:
Rumus Molekul
: H2O2
Berat Molekul
: 34,0147 g/mol
Sifat fisik dan kimia[10] Bentuk
: Cairan tidak berwarna
Titik didih
: 150,2°C
Titik leleh
: -0,43°C
Densitas
: 1,463 g/cm3
Kelarutan
: larut dalam air, larut dalam eter
2.4
Katalis Sol Ti(OH)4 Katalis sol Ti(OH)4 dibuat dengan menggunakan metode sol gel.
Metode sol gel adalah metode hidrolisis logam alkoksida seperti titanium alkoksida atau garam logam seperti garam titanium [11]. Metode sol gel lebih disukai dibandingkan metode lain, karena proses pembuatannya mudah, hanya memerlukan peralatan sederhana dan biaya pembuatan murah.
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
9
Larutan Ti(OH)4 dibuat dengan mencampurkan titanium isopropoksida (TTIP) dengan air destilasi lalu menambahkan asam nitrat (HNO3). Setelah itu campuran direfluks pada suhu 90 C selama 3 hari. Titanium isopropoksida bertindak sebagai prekursor, sedangkan asam nitrat berfungsi sebagai pemberi suasana asam. Reaksinya adalah sebagai berikut:
Ti{OCH(CH3)2}4 + 4 H2O ↔ Ti(OH)4 + 4 C3H7OH Pada metode sol gel ini larutan Ti(OH)4 yang dibuat akan mengalami perubahan fase menjadi sol yaitu koloid yang merupakan padatan terdispersi dalam fase pendispersi cair. Ketika diproses lebih lanjut berubah lagi menjadi fase gel yaitu koloid yang mempunyai fase terdispersi cair dalam medium pendispersi padat. Bahan kimia yang digunakan dalam proses sol gel biasanya merupakan garam logam anorganik atau senyawa logam organik seperti alkoksida logam.
2.5
Reaksi Oksidasi
Reaksi oksidasi adalah reaksi yang melibatkan pengikatan atom oksigen dan penghilangan atom H dari suatu senyawa [12]. Oksidasi terhadap senyawa dengan ikatan rangkap dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
10
1. Oksidasi ikatan π tanpa pemutusan ikatan σ menghasilkan epoksida atau diol a. Hidroksilasi
Produk yang dihasilkan dari hidroksilasi adalah diol atau glikol. Glikol diperoleh melalui reaksi oksidasi oleh kalium permanganat (KMnO4) dalam air (pada pH>8) atau dengan osmium tetroksida (OsO4) dalam larutan piridina.
b. Epoksidasi
Beberapa reaksi oksidasi alkena menghasilkan eter siklik dimana ikatan rangkap karbon menjadi ikatan atom oksigen. Produk ini disebut epoksida atau oksirana. Metode penting untuk menghasilkan epoksida yaitu melalui pereaksi asam peroksibenzoat (RCO3H atau ArCO3H). 2. Oksidasi ikatan π dengan pemutusan ikatan σ menghasilkan aldehida, keton atau asam karboksilat.
a. Ozonolisis
Ozonolisis merupakan reaksi pemutusan ikatan rangkap oleh ozon. Reaksi ini dapat menyebabkan degradasi molekul besar menjadi molekul yang lebih kecil, yaitu : aldehida, keton, atau asam karboksilat.
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
11
b. Pemutusan ikatan rangkap dengan KMnO4 Larutan KMnO4 panas merupakan oksidator kuat. Reaksi oksidasi KMnO4 menghasilkan keton dan asam karboksilat. Larutan KMnO4 tidak dapat mengoksidasi senyawa ikatan rangkap menjadi aldehida karena senyawa tersebut akan segera teroksidasi menjadi asam karboksilat.
Oksidasi suatu senyawa yang memiliki ikatan rangkap akan menghasilkan adehida, keton, epoksida, atau diol. Produk yang dihasilkan tergantung pada jenis oksidasi ikatan π berdasarkan pemutusan ikatan σ atau tanpa pemutusan ikatan σ. Oksidasi stirena menjadi benzaldehida dapat digolongkan pada reaksi oksidasi ikatan π dengan pemutusan ikatan σ. Oksidasi pada ikatan rangkap dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Oksidasi pada ikatan rangkap
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
12
Mekanisme reaksi oksidasi pada senyawa hidrokarbon dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu melalui oksidasi elektrofilik dan oksidasi nukleofilik. Oksidasi elektrofilik merupakan reaksi oksidasi melalui aktivasi oksigen, yang kemudian akan menyerang ikatan molekul organik dengan kerapatan elektron terbesar, biasanya ikatan π. Oksidasi nukleofilik, yaitu reaksi oksidasi yang didahului dengan aktivasi molekul hidrokarbon, kemudian diikuti dengan penambahan oksigen dan pengurangan hidrogen [12].
Oksidator yang umum digunakan dalam reaksi oksidasi dapat dilihat pada Tabel 2.1. Hidrogen peroksida merupakan salah satu oksidator yang biasa digunakan dalam reaksi oksidasi stirena menjadi benzaldehida. Hidrogen peroksida mengandung oksigen aktif yang paling banyak dibandingkan dengan oksidator lain, sehingga hidrogen peroksida disebut sebagai oksidator kuat. Disamping itu, hidrogen peroksida juga merupakan oksidator yang ramah lingkungan karena produk samping yang dihasilkan dari reaksi oksidasi hanya air.
Reaksi oksidasi dengan H2O2 dapat dilakukan pada suhu reaksi yang rendah yaitu sekitar 50-70 C. Selain itu, pada Tabel 2.1 dapat dilihat bahwa H2O2 memiliki 47% oksigen aktif, yaitu jumlah oksigen aktif yang paling banyak dimiliki dibandingkan oksidator lain. Beberapa oksidator yang umum digunakan dalam reaksi oksidasi dapat dilihat pada Tabel 2.1[13].
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
13
Tabel 2.1 Beberapa oksidator yang umum digunakan dalam reaksi oksidasi No Oksidator
2.6
Oksigen Aktif
Produk Samping
1
H2O2
47,1
H2O
2
O3
33,3
O2
3
HNO3
25,4
NOx
4
NaClO
21,6
NaCl
5
NaClO2
19,2
NaCl
6
t-BuOOH
17,8
t-BuOH
7
C5H11NO2
13,7
C5H11NO
8
NaBrO
13,4
NaBr
9
KHSO5
10,5
KHSO4
10
PhIO
7,3
PhI
11
NaIO4
7,2
NaI
Surfaktan
Surfaktan (surface active agent) adalah senyawa organik yang molekulnya mempunyai dua bagian yakni bagian kepala dan bagian ekor. Bagian kepala memiliki gugus hidrofilik yang mengandung muatan positif, negatif atau tak bermuatan. Bagian ekor memiliki gugus hidrofobik yang umumnya terdiri dari rantai hidrokarbon. Surfaktan memiliki sedikitnya satu
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
14
gugus hidrofilik dan satu gugus hidrofobik[14]. Struktur molekul surfaktan dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gugus hidrofobik
Gugus hidrofilik
Gambar 2.3 Struktur molekul surfaktan
2.6.1 Klasifikasi Surfaktan
Berdasarkan gugus hidrofilik (dapat bermuatan positif, negatif atau tidak bermuatan) surfaktan dibagi menjadi: a. Surfaktan kationik : umumnya merupakan garam-garam ammonium kuarterner atau amina. Contoh : Cetil trimetilamonium bromida (CTAB) b. Surfaktan anionik: umumnya merupakan garam natrium, akan terionisasi menghasilkan Na+ dan ion surfaktannya bermuatan negatif, mengandung anion sulfat, sulfonat atau karboksilat. Contoh : c.
Natrium dodesil sulfat (SDS)
Surfaktan nonionik : Jenis ini hampir semuanya merupakan senyawa turunan poliglikol, alkiloamida atau ester-ester dari polihidroksi alkohol. Contoh : Alkil poli (etilen oksida)
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
15
d. Surfaktan amfoterik (zwiterionik) : jenis ini mengandung gugus yang bersifat anionik dan kationik seperti pada asam amino. Gugus anionik dan kationik dapat diatur dengan mengontrol pH larutan. Molekul surfaktan amfoterik biasanya mengandung gugus karboksilat atau posfat sebagai anion, dan gugus amonium kuarterner sebagai kation. Contoh : Heksadesilaminopropionat : C18H35-NH2+-CH2-CH2-COO-
2.6.2 Pembentukan Misel
Antarmuka adalah bagian dimana dua fase saling bertemu. Permukaan yaitu antarmuka dimana salah satu fasenya kontak dengan gas, biasanya udara. Monomer surfaktan di dalam air lebih suka terorientasi pada permukaan larutan surfaktan dibandingkan pada bagian dalam larutannya. Hal ini dilakukan dengan meletakkan kepala-kepala hidrofiliknya pada permukaan air dan ekor-ekor hidrofobiknya terentang menjauhi permukaan air.
Penambahan molekul surfaktan sampai pada konsentrasi tertentu, akan menyebabkan permukaan larutan menjadi jenuh karena ditutupi oleh molekul surfaktan sehingga interaksi surfaktan di permukaan larutan tidak terjadi lagi. Pada keadaan ini molekul-molekul surfaktan mulai berasosiasi membentuk suatu struktur yang disebut misel. Proses pembentukan misel dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
16
Larutan sebelum CMC
Larutan setelah CMC
Gambar 2.3 Proses pembentukan misel
Konsentrasi saat mulai terbentuk misel disebut CMC (Critical Micelles Concentration)[6]. Dengan terbentuknya misel, sifat-sifat larutan akan berubah secara mendadak[15], seperti: tegangan permukaan, viskositas, solubilitas, daya hantar listrik dan lain-lain, sehingga dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan.
2.6.3 Cara Penentuan CMC
CMC dapat ditentukan berdasarkan perubahan besaran fisik dalam larutan surfaktan karena terjadinya penggabungan dari monomer-monomer surfaktan membentuk misel. CMC dapat ditentukan dengan menggunakan cara penentuan besaran fisik yang berubah secara mendadak. Di bawah CMC besaran fisik larutan bersifat normal. Di atas CMC besaran fisik larutan berubah secara mendadak. Besaran fisik yang dapat digunakan ialah hantaran jenis, solubilisasi, tegangan permukaan, dan lain sebagainya.
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
17
Penentuan CMC berdasarkan tegangan permukaan dapat ditentukan dengan berbagai metode. Salah satunya adalah menentukan tegangan permukaan dengan metode kenaikan pipa kapiler [16]. Tegangan permukaan cairan didefinisikan sebagai gaya per satuan panjang yang diperlukan untuk memperluas permukaan cairan sebesar satu satuan pada temperatur tetap.
Metode pipa kapiler dilakukan dengan mengukur tegangan permukaan zat cair dengan menggunakan pipa kapiler. Metode ini berdasarkan pada kenaikan larutan pada pipa kapiler yang diasumsikan sebagai lapisan tipis yang terbentuk akibat gaya kohesi antar molekul dalam larutan yang berada di dalam permukaan cairan.
Ketika pipa kapiler dicelupkan ke dalam suatu larutan maka akan terjadi persaingan antara gaya kohesi dan adhesi. Gaya kohesi adalah gaya yang terjadi akibat interaksi tarik-menarik antara molekul dalam suatu larutan. Gaya adhesi adalah gaya yang ditimbulkan akibat adanya interaksi antara molekul dalam larutan dengan permukaan padat yaitu dinding kapiler.
Pipa kapiler yang dicelupkan ke dalam larutan surfaktan akan menghasilkan gaya adhesi yang lebih kuat dibanding gaya kohesi sehingga molekul air tertarik lebih kuat pada dinding pipa kapiler. Adanya tekanan atmosfer mendorong cairan dalam pipa kapiler ke atas. Penentuan tegangan permukaaan dengan metode pipa kapiler terlihat pada Gambar 2.4.
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
18
Pipa kapiler
Gambar 2.4 Penentuan tegangan permukaan dengan metode pipa kapiler
Kenaikan cairan setinggi h yang telah diukur, dimasukkan ke dalam rumus di bawah ini, sehingga diperoleh nilai tegangan permukaan cairan. γ = ρh γ0
ρ0h0
Keterangan : γ : Tegangan permukaan larutan surfaktan γ0 : Tegangan permukaan air ρ : Densitas larutan surfaktan ρ0 : Densitas air h : Tinggi larutan surfaktan yang naik pada pipa kapiler h0: Tinggi air yang naik pada pipa kapiler CMC larutan surfaktan ditentukan dengan membuat kurva tegangan permukaan terhadap konsentrasi larutan surfaktan, lalu diamati penurunan tegangan permukaan yang berubah secara mendadak. Konsentrasi pada saat tegangan permukaan berubah secara mendadak merupakan CMC.
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
19
2.7
Solubilisasi
Solubilisasi adalah proses pelarutan suatu zat melalui interaksi antara solubilizat dan misel membentuk suatu larutan yang stabil[17]. Zat yang disolubilisasi ke dalam misel disebut solubilizat. Sebagian besar surfaktan mampu berperan dalam solubilisasi karena adanya interaksi antara misel dan solubilizat. Salah satu sifat penting dari misel adalah kemampuannya untuk mensolubilisasi senyawa yang bersifat non polar dengan mengikat senyawa tersebut ke dalam inti misel melalui interaksi hidrofobik. Pengikatan suatu senyawa ke dalam misel dilakukan oleh bagian hidrofobik misel. Solubilisasi dapat membuat larutan dari zat yang tidak dapat larut atau sangat sedikit larut di dalam air dengan pertolongan surfaktan akan menjadi larut dalam air. Besarnya zat yang tersolubilisasi disebabkan oleh struktur surfaktan dan struktur solubilizat. Semakin panjang rantai hidrokarbon surfaktan, semakin besar pula ukuran misel. Pada umumnya jumlah zat yang terlarut dalam misel meningkat seiring dengan meningkatnya ukuran misel. Semakin besar ukuran molekul solubilizat menyebabkan menurunnya jumlah zat yang tersolubilisasi ke dalam misel. Solubilisasi suatu zat ke dalam misel telah lama diketahui dan dipelajari. Solubilisasi suatu zat hanya dapat diperoleh pada keadaan konsentrasi tertentu dari berbagai zat yang dicampurkan. Solubilisasi dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan. Oleh karena itu, solubilisasi sangat berguna dalam industri detergen dan farmasi.
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
20
2.8
Katalisis Miselar
Katalisis miselar adalah reaksi katalisis yang berlangsung dalam fase miselar yaitu dengan menambahkan surfaktan pada konsentrasi yang lebih besar dari dari CMCnya sehingga reaksi dapat berlangsung dalam medium misel. Katalisis miselar merupakan katalis yang unggul dalam proses pemisahan dan selektivitas produk
[18]
.
Pada katalisis miselar, substrat disolubilisasi ke dalam misel. Melalui penggunaan sistem miselar, penggunaan pelarut organik dapat dihindari, reaktan hidrofobik dan katalis dapat dibawa ke dalam inti misel. Misel dan katalis dapat diperoleh kembali melalui ultrafiltrasi miselar atau dengan ekstraksi. Produk yang dihasilkan ditransfer ke dalam fase cair. Oksidasi stirena dengan H2O2 melalui bantuan katalisis miselar dapat dilihat pada Gambar 2.5. Stirena H2O
Sol gel Ti(OH)4+H2O2
Benzaldehida
Gambar 2.5 Oksidasi stirena dengan H2O2 melalui bantuan katalisis miselar Katalisis miselar merupakan katalis yang memiliki konsep reaksi yang menarik, khususnya merupakan katalis yang unggul pada selektivitas. Disamping itu, aplikasi katalisis miselar tidak hanya dibatasi untuk reaksi oksidasi, tetapi dapat diaplikasikan untuk reaksi lainnya.
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
21
2.9
Analisis Stirena yang Tersolubilisasi
2.9.1 Spektroskopi UV/Vis
Spektroskopi UV/Vis digunakan untuk menganalisis molekul-molekul yang dapat menyerap sinar pada daerah tampak dan ultra violet. Panjang gelombang daerah UV/Vis jauh lebih pendek dari panjang gelombang radiasi infra merah. UV/Vis berada pada daerah panjang gelombang 190-700 nm[19]. Spektroskopi UV/Vis dapat menganalisis suatu senyawa organik secara kualitatif maupun kuantitatif. Bila suatu senyawa dilewati radiasi sinar pada daerah tampak atau ultra violet, beberapa energi dari sinar tersebut akan diserap dan sisanya akan diteruskan. Absorbsi cahaya tersebut dapat mengakibat transisi elektronik, yaitu promosi elektron pada keadaan dasar yang berenergi rendah ke keadaan tereksitasi yang berenergi lebih tinggi. Hal ini menyebabkan elektron valensi dari molekul tersebut akan naik ke tingkat energi yang lebih tinggi. Spektrofotometer akan merekam dan mencatat panjang gelombang dari absorbsi yang terjadi. Molekul yang berbeda akan menyerap sinar pada panjang gelombang yang berbeda pula. Instrumen yang digunakan pada spektroskopi UV/Vis adalah spektrofotometer UV/Vis. Pengukurannya berdasarkan perbandingan antara intensitas cahaya yang masuk ke sampel dengan intensitas cahaya yang keluar sampel pada panjang gelombang tertentu. Skema spektrofotometer UV/Vis dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
22
celah difraksi
piring pemutar
Celah
Cermin
tempat sampel
Sumber cahaya detektor Cermin
sel pembanding
Perekam spektrum
Gambar 2.6 Skema spektrofotometer UV/Vis
2.10
Karakterisasi Benzaldehida Hasil Oksidasi
2.10.1 Kromatografi Gas
Kromatografi adalah salah satu teknik pemisahan suatu campuran senyawa kimia. Dasar pemisahan dari kromatografi adalah pendistribusian komponen-komponen yang ada dalam sampel pada fase diam dan fase gerak[20]. Komponen sampel yang berinteraksi dengan fase diam atau memiliki afinitas yang lebih besar dengan fase diam akan tertahan di dalam kolom, sedangkan komponen lain yang memiliki afinitas yang lebih rendah dari fase diam akan keluar terlebih dahulu sehingga komponen tersebut bergerak dengan kecepatan yang berbeda dan dapat terpisah dari komponen lainnya.
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
23
Kromatografi gas adalah salah satu jenis kromatografi yang digunakan untuk memisahkan suatu campuran yang komponen-komponennya mudah menguap. Dasar pemisahan kromatografi gas adalah perbedaan kecepatan migrasi dari masing-masing komponen sampel. Komponen sampel akan berinteraksi dengan fase diam dan fase gerak. Fase diam yang digunakan pada kromatografi gas dapat berupa padatan ataupun cairan, sedangkan fase gerak yang digunakan berupa gas inert. Komponen sampel yang berinteraksi dengan fase diam akan tertahan lebih lama di dalam kolom, sedangkan komponen sampel yang yang tidak suka dengan fase diam akan keluar terlebih dahulu sehingga waktu yang dibutuhkan lebih cepat. Interaksi antara komponen sampel dengan fase diam akan menentukan berapa lama komponen sampel akan tertahan di dalam kolom. Waktu yang menunjukkan suatu senyawa tertahan di dalam kolom disebut waktu retensi. Waktu retensi setiap senyawa dalam sampel berbeda-beda dan bersifat spesifik sehingga waktu retensi dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis senyawa yang terdapat pada sampel. Sampel yang diinjeksi akan diuapkan dan masuk ke dalam kolom kromatografi. Kolom tersebut mengandung fase diam. Sampel akan dialirkan dalam kolom dengan fase gerak yang berupa gas inert. Suhu kolom dikontrol di dalam oven kolom. Suhu kolom tergantung pada titik didih sampel. Komponen yang keluar dari kolom akan dianalisis oleh detektor. Detektor akan menunjukkan adanya komponen di dalam gas pembawa yang keluar
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
24
dari kolom dan akan mengukur konsentrasi komponen yang keluar. Kemudian hasil analisis detektor akan dicatat oleh perekam. Skema kromatografi gas dapat dilihat pada Gambar 2.7.
Tempat injeksi perekam
pengontrol aliran
kolom
detektor
kolom oven gas pembawa Gambar 2.7 Skema kromatografi gas (GC)
Kromatografi gas dapat digunakan untuk menganalisis suatu senyawa secara kualitatif maupun kuantitatif. Suatu senyawa dapat ditentukan secara kualitatif dengan membandingkan waktu retensi senyawa tersebut dengan waktu retensi senyawa standar. Analisis kuantitatif dengan kromatografi gas dapat ditentukan dengan menghitung perbandingan luas puncak sampel yang dianalisis.
2.10.2 Spektrometri Massa Kromatografi Gas (GC-MS)
GC-MS adalah teknik pemisahan kromatografi yang mengkombinasikan GLC (Gas Liquid Chromatography) dengan spektrometri massa yang digunakan untuk mengidentifikasi komponen yang berbeda-beda dalam suatu sampel[21]. Komponen-komponen dalam sampel akan dipisahkan
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
25
dengan kromatografi gas berdasarkan perbedaan interaksi dengan fase diam sehingga dihasilkan waktu retensi yang berbeda-beda. Kemudian senyawa yang terpisah dideteksi oleh spektrometer massa. Spektrometer massa akan mendeteksi berdasarkan pemecahan masing-masing molekul ke dalam fragmen-fragmen yang terionisasi dan mendeteksi fragmen ini menggunakan perbandingan massa dengan muatannya (m/z). Skema GC-MS dapat dilihat pada Gambar 2.8.
Injektor sampel
oven
Detektor spektrometer massa
Gas Pembawa
kolom kapiler Gambar 2.8 Skema GC-MS
2.10.3 FTIR (Fourier Transform InfraRed)
Spektroskopi infra merah adalah teknik spektroskopi yang digunakan untuk mengidentifikasi gugus fungsi yang terdapat dalam suatu senyawa kimia[20]. Prinsip dasar FTIR adalah absorbsi sinar infra merah oleh suatu molekul akan menyebabkan terjadinya perubahan tingkat energi vibrasi dan rotasi. Banyaknya energi yang diserap oleh molekul yang bervibrasi atau berotasi tergantung pada perubahan momen dipol ikatan. Jadi molekul yang
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
26
aktif IR adalah molekul yang transisi vibrasi dan rotasinya dapat menyebabkan perubahan momen dipol. Spektrum infra merah berada pada daerah panjang gelombang antara 2,5–16 µm atau setara dengan bilangan gelombang, v = 4000–625 cm -1. Spektrum infra merah dibagi menjadi dua daerah, yaitu daerah gugus fungsional dan daerah sidik jari. Derah gugus fungsional adalah daerah yang berada pada bilangan gelombang antara 4000–1300 cm -1. Daerah ini merupakan daerah infra merah yang digunakan untuk menentukan gugus fungsi yang spesifik dari setiap senyawa. Daerah sidik jari adalah daerah yang berada pada bilangan gelombang 1300–625 cm -1. Setiap serapan pada daerah sidik jari merupakan merupakan karakteristik dari tiap-tiap senyawa, tetapi pada daerah ini sulit untuk menentukan gugus fungsi di dalam suatu senyawa karena terjadinya uluran dan tekukan suatu atom dalam molekulnya. Skema FTIR dapat dilihat pada Gambar 2.9.
detektor
cermin cermin
sumber cahaya
lensa posisi probe
pemisah cahaya
unit detektor unit probe
cermin
cermin bergerak cermin tetap
Gambar 2.9 Skema FTIR
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah: -
Beaker gelas
- Neraca analitik
-
Labu leher tiga
- Hot plate stirrer
-
Labu ukur
- Kondensor
-
Gelas ukur
- Termometer
-
Tabung reaksi
- Pipa kapiler
-
Batang pengaduk
- Jangka Sorong
-
Corong gelas
- Piknometer
-
Corong pisah
- GC
-
Botol timbang
- GC-MS
-
Spektrometer UV-2450 Shimadzu - FTIR
3.1.2 Bahan
1. Stirena p.a (BASF)
4. Katalis Ti(OH)4
2. H2O2 30%
5. Na2SO4 anhidrat
3. HDTMABr
6. Aqua demin
27 Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
28
3.2
Prosedur Kerja
3.2.1 Penyiapan Larutan Surfaktan
Prosedur ini bertujuan untuk membuat larutan surfaktan HDTMABr yang digunakan untuk menentukan CMC HDTMABr. 1. Ditimbang 0.0510 g surfaktan HDTMABr (sesuai dengan variasi konsentrasi HDTMABr) dan dilarutkan dengan aquades sampai volume larutan 100 ml. 2. Larutan surfaktan diaduk dengan magnetic stirrer selama 2-3 menit.
3.2.2 Penentuan CMC HDTMABr dengan Metode Kapiler
Prosedur ini bertujuan untuk menentukan CMC HDTMABr dengan mengukur tegangan permukaan larutan. 1. Larutan surfaktan disiapkan dengan berbagai variasi konsentrasi HDTMABr, yaitu: 0,2 mM; 0,5 mM; 0,8 mM; 1,1 mM; 1,4 mM; 1,7 mM; 2,0 mM dan 2,3 mM. 2. Pipa kapiler dicelupkan ke dalam air di dalam beker gelas 100 mL, lalu diukur kenaikan air di dalam pipa kapiler (h0) dan dicatat suhu air.
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
29
3. Pipa kapiler yang sama dicelupkan ke dalam larutan surfaktan (sesuai dengan variasi konsentrasi HDTMABr) dan diukur kenaikan larutan di dalam pipa kapiler (h) masing-masing larutan surfaktan. 4. Ditentukan berat jenis air dari masing-masing larutan surfaktan pada suhu ruang. 5. Tegangan permukaan (γ) dihitung dari masing-masing konsentrasi larutan surfaktan.
3.2.3 Solubilisasi Stirena
Prosedur ini bertujuan untuk mensolubilisasi stirena ke dalam misel HDTMABr. 1. Larutan 0,17 mol stirena (sesuai dengan variasi mol stirena, yaitu: 0,17 mol; 0,26 mol; 0,35 mol; 0,44 mol; dan 0,52 mol) ditambahkan ke dalam larutan 1,4 mM surfaktan 2. Larutan diaduk dengan kecepatan konstan menggunakan magnetic stirrer selama 24 jam. 3. Larutan stirena dalam misel disentrifugasi selama 10 menit. 4. Lapisan atas larutan stirena dalam misel dipisahkan dari larutan stirena yang tidak tersolubilisasi dalam misel dengan menggunakan pipet. 5. Ditentukan Absoransi stirena yang tidak tersolubilisasi dalam misel dengan spektroskopi UV/Vis.
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
30
3.2.4 Pembuatan Katalis Sol Ti(OH)4 Katalis sol Ti(OH)4 yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari penelitian sebelumnya. Katalis sol Ti(OH)4 dibuat dengan cara: 1. 15 mL titanium isopropoksida (TTIP) ditambahkan dengan 150 mL air destilasi dan 1 mL HNO3. 2. Setelah itu campuran direfluks pada suhu 90 C selama 3 hari.
3.2.5 Uji Daya Katalitik Katalis Miselar pada Reaksi Oksidasi Stirena
Prosedur ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh daya katalitik katalis miselar pada pada reaksi oksidasi stirena. 1. 30 mL Larutan stirena dalam misel dicampur dengan 1 mL katalis sol Ti(OH)4 (sesuai dengan variasi volume katalis, yaitu: 1 mL, 2 mL, 3 mL dan 4 mL), kemudian larutan diaduk dengan kecepatan konstan menggunakan magnetic stirrer selama 30 menit. 2. Setelah itu diteteskan perlahan-lahan 10 mL H2O2 30% (sesuai dengan variasi volume H2O2, yaitu 20 mL dan 30 mL) 3. Larutan direfluks pada suhu 70 C selama 4 jam. 4. Setelah 4 jam, reaksi dihentikan, larutan didiamkan sampai mencapai temperatur ruang. 5. Hasil reaksi dipisahkan dengan corong pisah, lapisan atas diambil dan ditambahkan Na2SO4 anhidrat, lalu disaring.
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
31
6. Hasil oksidasi lalu dianalisis dengan GC, GC-MS dan FTIR. Analisis GC secara kualitatif dan kuantitatif digunakan untuk menentukan produk benzaldehida dan memisahkan sampel menjadi komponen-komponen sampel. Komponen-komponen sampel yang terpisah dianalisis dengan spektroskopi massa. Analisis GC-MS secara kualitatif dan kuantitatif digunakan untuk menentukan produk samping yang mungkin terbentuk. Analisis kualitatif FTIR dilakukan untuk menentukan gugus fungsi yang terbentuk. 7. Membandingkan hasil oksidasi dari reaksi oksidasi stirena tanpa katalis sol Ti(OH)4 dan misel HDTMABr, dengan misel HDTMABr, dengan katalis sol Ti(OH)4, dan dengan katalis sol Ti(OH)4 dalam fase miselar.
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Penentuan CMC HDTMABr dengan Metode Kapiler
CMC HDTMABr ditentukan dengan mengukur tegangan permukaan larutan surfaktan HDTMABr dan membuat kurva kenaikan konsentrasi HDTMABr terhadap penurunan tegangan permukaan. Tegangan permukaan ditentukan dengan mencelupkan pipa kapiler ke dalam larutan surfaktan HDTMABr, lalu diukur kenaikan larutan pada pipa kapiler. Konsentrasi larutan dilakukan dari variasi 0,2 mM sampai 2,3 mM. Penentuan CMC HDTMABr bertujuan untuk mengetahui konsentrasi saat mulai terbentuk misel. Kurva penentuan CMC HDTMABr dapat ditunjukkan pada Gambar 4.1.
CMC
Gambar 4.1 Kurva penentuan CMC HDTMABr.
33 Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
34
Berdasarkan Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa sebelum ditambahkan surfaktan tegangan permukaan air sebesar 72,8 dyn/cm. Tegangan permukaan air cukup besar disebabkan oleh adanya interaksi kohesif yaitu gaya tarik-menarik antara molekul air yang berada di permukaan dengan di dalam larutan. Molekul air yang berada di atas permukaan ditarik oleh molekul air yang berada di bawah dan di samping molekul tersebut sehingga terdapat gaya total yang berarah ke bawah. Oleh karena adanya gaya total yang arahnya ke bawah, maka cairan yang terletak di permukaan cenderung memperkecil luas permukaannya. Hal ini yang menyebabkan lapisan air pada permukaan menegang seolah-olah tertutup oleh selaput elastis yang tipis sehingga menghasilkan tegangan permukaan yang tinggi. Gaya adhesi antara molekul air dengan udara yang kecil menyebabkan tegangan permukaan larutan menjadi besar. Ketika ditambahkan HDTMABr 0,2 mM ke dalam air, tegangan permukaan larutan mulai menurun. Pada konsentrasi tersebut monomer HDTMABr mulai teradsorpsi pada permukaan air menghasilkan gaya adhesi yang semakin besar, sehingga tegangan permukaan dalam larutan semakin menurun. Oleh karena itu, tegangan permukaan larutan yang ditambahkan HDTMABr 0,2 mM lebih kecil dibandingkan dengan tegangan permukaan air tanpa penambahan HDTMABr. Setelah penambahan konsentrasi HDTMABr yang semakin meningkat tegangan permukaan berangsur-angsur menurun secara tajam sampai pada konsentrasi 1,1 mM HDTMABr. Penanambahan HDTMABr pada air
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
35
menyebabkan molekul-molekul HDTMABr teradsorbsi pada permukaan larutan. Bagian hidrofilik HDTMABr menghadap ke permukaan air, sedangkan bagian hidrofobik HDTMABr menjauhi permukaan air sehingga permukaan larutan ditutupi oleh gugus hidrofobik HDTMABr. Penurunan tajam tegangan permukaan terjadi sampai pada konsentrasi HDTMABr 1,1 mM. Pada konsentrasi HDTMABr yang lebih besar (HDTMABr 1,4 mM) terjadi perubahan sifat larutan yang mendadak yaitu terjadinya perubahan tegangan permukan yang hampir konstan. Hal ini disebabkan karena permukaan larutan telah dipenuhi oleh molekul HDTMABr sehingga molekul HDTMABr yang lain akan bergabung membentuk agregat surfaktan yang disebut misel. Berdasarkan Gambar 4.1 dapat dilihat, bahwa konsentrasi HDTMABr saat tegangan permukaan mulai konstan merupakan CMC HDTMABr yaitu pada konsentrasi 1,35 mM HDTMABr. Pada konsentrasi HDTMABr sebelum CMC tegangan permukaan turun secara tajam, tetapi pada konsentrasi HDTMABr setelah CMC tegangan permukaan mulai konstan.
4.2
Solubilisasi Stirena ke Dalam Misel HDTMABr
Solubilisasi stirena ke dalam misel HDTMABr bertujuan untuk melarutkan stirena ke dalam misel HDTMABr melalui interaksi hidrofobik antara stirena dengan inti misel HDTMABr. Sebelumnya larutan misel dibuat dengan melarutkan 0,0510 g surfaktan ke dalam 100 mL air, sehingga
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
36
didapatkan larutan surfaktan dengan konsentrasi HDTMABr 1,4 mM. Larutan surfaktan dibuat pada konsentrasi HDTMABr 1,4 mM karena pada konsentrasi tersebut diasumsikan akan terbentuk misel HDTMABr. Misel dapat terbentuk ketika konsentrasi larutan berada di atas CMC, yaitu diatas 1,35 mM. Oleh karena itu larutan surfaktan dibuat pada konsentrasi 1,4 mM HDTMABr sedikit di atas CMC. Pada umumnya, ukuran misel meningkat dengan meningkatnya konsentrasi surfaktan. Akan tetapi, jika digunakan konsentrasi yang jauh lebih besar dari CMC HDTMABr dikhawatirkan misel yang terbentuk bukan misel yang berbentuk spherikal tetapi misel dengan bentuk silindris atau bilayer. Pada penelitian ini diharapkan misel yang terbentuk merupakan misel spherikal. Oleh karena itu, larutan misel dibuat dengan konsentrasi hanya sedikit di atas CMC yaitu 1,4 mM. Misel yang terbentuk diharapkan misel spherikal karena misel spherikal umumnya bersifat lebih stabil dibandingkan bentuk misel lainnya. Gugus kepala hidrofilik yang berada di bagian luar struktur misel HDTMABr akan melindungi rantai hidrofobik yang berada di dalam struktur misel HDTMABr. Selain itu, ekor surfaktan juga tersusun secara rapat dalam inti misel. Hal inilah yang menyebabkan misel yang berbentuk spherikal lebih stabil dari misel yang berbentuk silindris atau bilayer. Setelah dibuat larutan misel, 0,17 mol stirena (sesuai dengan variasi mol stirena) ditambahkan ke dalam larutan misel lalu diaduk dengan kecepatan konstan menggunakan magnetic stirrer selama 24 jam. Ketika
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
37
stirena ditambahkan ke dalam larutan misel, stirena tidak larut dalam larutan misel, stirena berada pada lapisan atas larutan misel. Larutan terlihat seperti minyak yang tidak bercampur ke dalam larutan misel. Setelah diaduk selama 24 jam, stirena menjadi larut dalam misel. Setelah itu campuran disentrifugasi selama 10 menit untuk memisahkan stirena yang tersolubilisasi dalam misel dan stirena yang tidak tersolubilisasi ke dalam misel. Stirena yang tidak tersolubilisasi ke dalam misel ditentukan dengan spektroskopi UV/Vis. Schulzs[22] menyatakan, bahwa molekul stirena dapat tersolubilisasi ke dalam misel anionik maupun kationik. Pada awalnya, stirena teradsorbsi pada pada permukaan misel, selanjutnya stirena akan tersolubilisasi ke dalam bagian hidrofobik misel. Suatu molekul dapat tersolubilisasi ke dalam misel berdasarkan sifaf kepolaran dari molekul tersebut. Stirena akan terdistribusi ke dalam misel karena stirena bersifat nonpolar. Pada penelitian ini, stirena dapat tersolubilisasi dalam misel kationik HDTMABr. Stirena yang bersifat nonpolar diasumsikan akan terikat pada gugus hidrofobik misel yaitu terletak pada bagian inti misel HDTMABr. Stirena akan tersolubilisasi ke dalam misel karena adanya interaksi hidrofobik dengan misel HDTMABr. Masuknya stirena ke dalam misel HDTMABr juga berhubungan dengan sifat difusi. Difusi adalah proses perpindahan suatu zat dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah. Stirena akan berdifusi ke dalam misel HDTMABr karena konsentrasi di luar misel HDTMABr lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi di dalam misel HDTMABr. Stirena
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
38
akan terus berdifusi ke dalam misel HDTMABr sampai seluruh molekul stirena tersebar luas secara merata di dalam misel HDTMABr atau tercapai keadaan keseimbangan antara konsentrasi di dalam misel HDTMABr dengan konsentrasi di luar misel HDTMABr. Absorbansi stirena yang tersolubilisasi ke dalam misel dapat ditentukan dengan membandingkan selisih antara stirena murni (yang memiliki absorbansi yang lebih tinggi) dengan stirena yang tidak tersolubilisasi ke dalam misel HDTMABr (memiliki absorbansi yang lebih rendah). Absorbansi stirena murni dan stirena yang tidak tersolubilisasi ke dalam misel HDTMABr ditentukan dengan spektroskopi UV/Vis. Penentuan absorbansi stirena bertujuan untuk mengamati apakah seluruh stirena telah tersolubilisasi ke dalam misel HDTMABr atau tidak tersolubilisasi ke dalam misel HDTMABr. Spektrum UV/Vis stirena dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2 Spektrum UV/Vis stirena
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
39
Berdasarkan Gambar 4.2 dapat ditunjukkan, bahwa λmax stirena berada pada λ227 dan λ245. Pita pada λ227 nm merupakan transisi π→π* pada gugus vinil (pita K). Pita K muncul pada spektrum karena stirena merupakan molekul aromatik yang memiliki substitusi kromofor C=C. Pita pada λ246 berhubungan dengan transisi π→π* pada cincin aromatik (pita B). Pita B merupakan karakteristik dari molekul aromatik yang dimiliki oleh stirena. Stirena menunjukkan pita serapan molekul yang melebar dan memiliki beberapa puncak atau struktur halus.
Gambar 4.3 Spektrum UV/Vis stirena yang tidak tersolubilisasi ke dalam misel HDTMABr
Berdasarkan Gambar 4.3 dapat ditunjukkan, bahwa λmax stirena yang tidak tersolubilisasi ke dalam misel HDTMABr adalah sekitar λ213 dan λ247. Pita λ213 nm menunjukkan transisi π→π* pada gugus vinil (pita K), sedangkan
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
40
λ247 berhubungan dengan transisi π→π* dalam cincin aromatik (pita B). Hal ini menandakan di dalam larutan masih terdapat stirena yang tidak tersolubilisasi ke dalam misel HDTMABr. Berdasarkan Gambar 4.3 dapat dilihat, bahwa absorbansi 0,17 mol stirena yang tidak tersolubilisasi ke dalam misel HDTMABr sangat besar. Hal ini menandakan, bahwa masih banyak stirena yang tidak tersolubilisasi ke dalam misel HDTMABr. Pada penambahan 0,26 mol stirena, absorbansi 0,26 mol stirena yang tidak tersolubilisasi ke dalam misel HDTMABr menurun. Hal ini menandakan stirena yang tersolubilisasi ke dalam misel HDTMABr mulai meningkat, sehingga stirena yang tidak tersolubilisasi mulai menurun. Pada penanambahan 0,35 mol stirena, absorbansi stirena yang tidak tersolubilisasi ke dalam misel HDTMABr sangat menurun. Hal ini disebabkan karena stirena banyak yang berdifusi ke dalam misel HDTMABr. Konsentrasi stirena di luar misel HDTMABr lebih tinggi dibandingkan konsentrasi stirena di dalam misel HDTMABr, sehingga stirena akan berdifusi dari konsentrasi yang lebih tinggi menuju konsentrasi yang lebih rendah. Jadi, hampir seluruh stirena yang ditambahkan ke dalam larutan telah tersolubilisasi ke dalam misel HDTMABr. Akan tetapi pada penambahan 0,44 mol stirena, absorbansi mulai meningkat lagi. Hal ini berarti bahwa stirena tidak bisa tersolubilisasi lagi ke dalam misel HDTMABr, sehingga banyak stirena yang tidak dapat berdifusi ke dalam misel. Ketika ditambahkan stirena yang sangat berlebih yaitu sebanyak 0,52 mol stirena ke larutan misel HDTMABr, stirena yang tidak
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
41
tersolubilisasi sangat tinggi. Jadi, mol stirena optimum yang akan tersolubilisasi pada misel HDTMABr adalah 0,35 mol stirena. Pada konsentrasi rendah (0,17 mol stirena), hanya sedikit stirena yang tersolubilisasi ke dalam misel HDTMABr. Pada konsentrasi yang lebih tinggi, banyak stirena yang tersolubilisasi ke dalam misel HDTMABr. Ketika permukaan misel HDTMABr telah dipenuhi (dijenuhi) oleh stirena, stirena akan berpenetrasi ke dalam misel HDTMABr. Hal inilah yang menyebabkan pada konsentrasi yang lebih tinggi stirena yang tidak tersolubilisasi semakin sedikit. Pada konsentrasi stirena yang berlebih banyak stirena yang tidak tersolubilisasi di dalam misel HDTMABr. Berdasarkan analisis spektrum UV/Vis dapat dibuktikan, bahwa stirena dapat tersolubilisasi dalam misel kationik HDTMABr. Stirena dapat tersolubilisasi ke dalam misel HDTMABr karena dipengaruhi oleh struktur misel HDTMABr dan struktur stirena, ukuran misel HDTMABr, serta interaksi hidrofobik antara stirena dan misel HDTMABr [23]. Selain itu, stirena dapat masuk ke dalam misel HDTMABr juga dipengaruhi oleh sifat difusi dalam larutan, dari konsentrasi yang lebih tinggi menuju konsentrasi yang lebih rendah. Stirena dapat tersolubilisasi ke dalam misel HDTMABr melalui difusi dengan beberapa tahapan, yaitu: adsorbsi molekul stirena pada permukaan misel HDTMABr, penetrasi stirena ke dalam lapisan palisade, lalu pelarutan stirena dalam inti hidrokarbon misel HDTMABr.
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
42
4.3
Uji Daya Katalitik Katalis Miselar pada Reaksi Oksidasi Stirena menjadi Benzaldehida
Reaksi oksidasi stirena menjadi benzaldehida dengan menggunakan katalisis miselar (katalis sol Ti(OH)4 dalam fase miselar) dilakukan untuk menguji aktivitas dan selektivitas katalis sol Ti(OH)4. Uji aktivitas katalis dilakukan untuk mengetahui kemampuan katalis dalam mengubah substrat menjadi produk total. Uji selektivitas katalis dilakukan untuk mengetahui kemampuan katalis dalam mengubah reaktan menjadi produk yang diinginkan. Pada penelitian sebelumnya, reaksi oksidasi stirena menjadi benzaldehida telah dilakukan oleh Nurhayati [5], yaitu reaksi oksidasi stirena menjadi benzaldehida dengan menggunakan katalis TiO2-Al2O3 (1:1)-U dan TiO2-Al2O3 (1:1)-PEG dan menggunakan oksigen sebagai oksidator, tetapi persen konversi yang dihasilkan kecil yaitu hanya 21,59% dan 35,44% . Persen konversi stirena yang kecil disebabkan oleh Ti yang berikatan dengan oksigen mengoksidasi stirena terlalu kuat sehingga dihasilkan produk samping yang cukup banyak dan menyebabkan produk benzaldehida yang dihasilkan kurang selektif. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan oksidasi stirena dengan oksidator H2O2 dengan katalisis miselar (katalis sol Ti(OH)4 dalam fase miselar). Reaksi oksidasi dilakukan dalam fase miselar karena diharapkan TiO-O- tidak akan berlebihan untuk mengoksidasi stirena menjadi produk
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
43
samping yang tidak diinginkan, sehingga dihasilkan produk benzaldehida yang lebih selektif dan optimum. Pada reaksi oksidasi dengan penambahan katalis diharapkan akan mempercepat reaksi dan produk benzaldehida yang dihasilkan lebih selektif. Reaksi oksidasi katalisis miselar stirena dilakukan dalam labu bulat leher 3. Stirena yang telah tersolubilisasi ke dalam misel dimasukkan ke dalam labu leher 3 lalu ditambahkan katalis sol Ti(OH)4 (sesuai dengan variasi volume katalis sol Ti(OH)4) lalu larutan diaduk dengan magnetic stirrer. Setelah itu, larutan direfluks pada suhu 70 C selama 4 jam. Setelah suhu larutan mencapai 70 C perhitungan waktu reaksi dimulai, lalu H2O2 sebanyak 10 mL mulai diteteskan perlahan-lahan ke dalam labu bulat. Setelah 4 jam reaksi dihentikan dan reaktor didiamkan sampai mencapai suhu ruang. Produk yang diperoleh kemudian dipisahkan dari katalis miselar melalui ekstraksi dengan menggunakan corong pisah. Lapisan atas corong pisah diambil. Selanjutnya produk hasil pemisahan ditambahkan Na2SO4 anhidrat . Penambahan Na2SO4 anhidrat bertujuan untuk menghilangkan kandungan air yang terdapat dalam produk hasil reaksi. Setelah itu larutan hasil oksidasi disaring untuk memisahkan Na2SO4. Produk yang dihasilkan kemudian dianalisis dengan GC, GC-MS dan FTIR. Reaksi oksidasi stirena dengan dengan adanya katalis sol Ti(OH)4 berlangsung dalam sistem agregat misel. Pada awalnya stirena yang tersolubilisasi dalam misel dapat bercampur dengan katalis sol Ti(OH)4.
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
44
Campuran yang terbentuk berwarna putih susu. Kemudian ketika ditambahkan H2O2 perlahan-lahan larutan berubah menjadi kekuningan. Warna Larutan kekuningan ini kemungkinan berasal dari benzaldehida hasil oksidasi stirena dengan bantuan katalis Ti(OH)4 dalam fase miselar, karena standar benzaldehida memiliki warna bening kekuningan. Hidrogen peroksida akan bekerja sama dengan katalis sol Ti(OH)4 untuk mengoksidasi stirena menjadi benzaldehida. Ion Ti4+ akan terikat pada atom O dari hidrogen peroksida. Sisi aktif ion Ti4+ akan diaktifkan oleh hidrogen peroksida dan selanjutnya akan mengkatalisis reaksi oksidasi stirena menjadi benzaldehida. Interaksi katalis dengan stirena dalam fase miselar dapat dilihat pada Gambar 4.4.
Gambar 4.4 Interaksi katalis dengan stirena dalam fase miselar Pada Gambar 4.4 dapat ditunjukkan bahwa dalam fase miselar Ti-O-Oakan berikatan dengan gugus hidrofilik HDTMABr. Gugus hidrofilik HDTMABr memiliki pengaruh terhadap reaksi oksidasi yang dikatalisis. Interaksi
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
45
elektrostatik antara gugus hidrofilik HDTMABr dengan Ti-O-O- akan meningkatkan laju reaksi. Muatan positif dari gugus hidrofilik HDTMABr berinteraksi dengan muatan negatif dari Ti-O-O sehingga meningkatkan reaktivitas dalam fasa miselar. Selain itu, interaksi antara gugus hidrofobik HDTMABr dengan stirena juga mempengaruhi reaksi katalisis oksidasi. Adanya fase miselar akan mendekatkan kontak antara katalis dengan substrat, tetapi tidak akan menyebabkan terjadinya oksidasi yang berlebihan menjadi produk yang tidak diinginkan. Stirena akan saling kontak dengan katalis sol Ti(OH)4 dan H2O2 dalam fase miselar, sehingga stirena diasumsikan dapat teroksidasi seluruhnya menghasilkan benzaldehida. Akan tetapi ketika dihasilkan produk benzaldehida berada pada fase yang berbeda dengan fase miselar sehingga produk yang dihasilkan lebih mudah dipisahkan. Reaksi oksidasi yang berlangsung dalam sistem miselar ini harus berkerja dalam sistem dua fase. Stirena akan tersolubilisasi dalam fase miselar dan sisanya membentuk emulsi yang terdispersi dalam fase air. Setelah reaksi oksidasi, produk yang terbentuk dalam misel HDTMABr dapat juga ditransfer ke dalam fase air. Setelah reaksi oksidasi selesai produk benzaldehida dipisahkan dari katalis miselar dengan corong pisah. Pada lapisan atas dalam corong pisah larutan berwarna bening kekuningan, kemungkinan larutan ini merupakan benzaldehida. Pada lapisan bawah larutan berwarna putih susu, kemungkinan larutan ini merupakan katalis miselar.
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
46
4.4
Analisis Hasil Reaksi Oksidasi Stirena
Produk benzaldehida yang terbentuk dianalisis dengan kromatografi gas. Kromatografi gas dapat digunakan untuk analisis kualitatif maupun analisis kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan membandingkan waktu retensi produk benzaldehida yang dihasilkan dengan waktu retensi standar benzaldehida. Analisis kuantitatif ditentukan dengan membandingkan luas area sampel yang akan dianalisis dengan luas area total. Produk samping yang terbentuk dianalisis dengan GC-MS. FTIR digunakan untuk menganalisis secara kualitatif gugus fungsi yang terbentuk dari hasil oksidasi stirena.
4.4.1 Analisis Hasil Reaksi Oksidasi Stirena dengan Variasi Volume Katalis Sol Ti(OH)4 Aktivitas katalis merupakan kemampuan katalis untuk mengkonversi reaktan menjadi produk total. Katalis yang memiliki aktivitas yang tinggi dapat mengkatalisis reaksi oksidasi lebih banyak per satuan jumlah katalis. Oleh karena itu, untuk mengetahui efisiensi jumlah katalis sol Ti(OH)4 dalam reaksi oksidasi stirena maka diperlukan variasi volume katalis sol Ti(OH)4 sehingga dapat diketahui volume optimum katalis yang dapat mengkatalisis reaksi oksidasi stirena. Pada penelitian ini, volume katalis yang divariasikan adalah 1 mL, 2 mL, 3 mL, dan 4 mL.
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
47
Tabel 4.1 Persen hasil benzaldehida pada reaksi oksidasi stirena dengan variasi volume katalis sol Ti(OH)4 Volume Katalis (mL)
Hasil Benzaldehida (%)
1
17,61
2
15,72
3
26,75
4
Terdapat puncak benzaldehida, tetapi luas area tidak mencapai batas deteksi alat GC
Berdasarkan Tabel 4.1 dapat dilihat, bahwa produk benzaldehida yang terbentuk tidak dapat ditentukan berdasarkan persen konversi benzaldehida karena pada penelitian ini tidak ditentukan kurva standar dari benzaldehida. Jadi, produk benzaldehida yang terbentuk hanya dapat ditentukan berdasarkan persen hasil. Beradasarkan Tabel 4.1 dapat dilihat, bahwa pada penambahan 1 mL katalis sol Ti(OH)4 didapatkan persen hasil sebesar 17,61%. Penambahan katalis sol Ti(OH)4 yang sedikit menghasilkan produk benzaldehida yang sedikit pula. Hal ini dikarenakan sedikitnya jumlah katalis yang ditambahkan menghasilkan sisi aktif katalis sol Ti(OH)4 yang sedikit pula sehingga tidak semua stirena dapat teradsorbsi pada permukaan katalis sol Ti(OH)4, sehingga tumbukan antara molekul stirena tidak terlalu besar. Ketika ditambahkan 2 mL katalis sol Ti(OH)4 persen hasil benzaldehida yang didapat hanya 15,72%, seharusnya persen hasil yang
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
48
diperoleh lebih besar dari persen hasil pada penambahan katalis 1 mL. Hal ini terjadi karena pada saat injeksi tidak semua sampel yang diinjeksi terdistribusi ke dalam kolom sehingga pemisahan tidak terjadi secara sempurna. Pada penambahan 4 mL katalis sol Ti(OH)4 terdeteksi produk benzaldehida, tetapi karena keterbatasan batas deteksi alat kromatografi gas, luas area dari puncak kromatogram benzaldehida tidak dapat diketahui. Akan tetapi berdasarkan kromatogram pada Lampiran 7 dapat dilihat bahwa benzaldehida yang terbentuk menurun. Hal ini dipengaruhi oleh semua sisi aktif Ti4+ telah berikatan dengan H2O2, sehingga penambahan katalis yang berlebih akan menghambat proses oksidasi, karena banyak katalis tidak dapat diaktivasi lagi oleh H2O2. Banyaknya penambahan katalis sol Ti(OH)4 juga menyebabkan tertutupnya sisi aktif katalis sehingga banyak molekul stirena yang tidak dapat teradsorbsi pada permukaan katalis. Jadi, penambahan berlebihan katalis sol Ti(OH)4 menghasilkan benzaldehida yang sangat rendah. Jadi, dapat disimpulkan bahwa hasil benzaldehida optimum terjadi ketika reaksi oksidasi stirena dilakukan dengan menambahkan 3 mL katalis sol Ti(OH)4 dan 10 mL H2O2 dalam Misel HDTMABr 1,4 mM pada suhu 70 C selama 4 jam. Benzaldehida yang dihasilkan dari oksidasi stirena dengan 3 mL katalis sol Ti(OH)4 adalah 26,75%. Persen hasil benzaldehida terhadap volume katalis sol Ti(OH)4 dapat dilihat pada Gambar 4.5.
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
49
Gambar 4.5 Persen Hasil benzaldehida terhadap volume katalis sol Ti(OH)4
4.4.2 Analisis Hasil Reaksi Oksidasi Stirena dengan Variasi Volume H2O2 Analisis hasil oksisidasi stirena dengan kromatografi gas hanya dapat diketahui produk utama hasil oksidasi yaitu benzaldehida. Produk utama benzaldehida diperoleh dengan membanding waktu retensi standar benzaldehida dengan waktu retensi sampel yang dianalisis. Tetapi berdasarkan kromatogram pada Lampiran 13 dan 14 dapat dilihat, bahwa selain produk benzaldehida juga dihasilkan puncak-puncak kecil pada waktu retensi tertentu. Puncak-puncak ini merupakan produk samping hasil oksidasi.
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
50
Hasil samping yang terbentuk dari reaksi oksidasi tidak dapat diketahui dengan menggunakan kromatografi gas karena keterbatasan standar. Maka, untuk mengetahui produk samping hasil oksidasi, sampel dianalisis dengan GC-MS. Analisis produk samping hasil oksidasi diperlukan untuk mengetahui secara kualitatif selektivitas produk yang terbentuk. Berdasarkan analisis hasil oksidasi stirena dengan variasi volume katalis diperoleh persen hasil benzaldehida optimum yaitu sebesar 26.75%, yaitu pada penambahan 3 mL katalis Ti(OH)4. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa benzaldehida yang dihasilkan hanya sedikit dan masih banyak stirena yang belum teroksidasi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kurangnya jumlah oksidator yang digunakan sehingga masih banyak stirena yang tidak teroksidasi. Oleh karena itu, selanjutnya untuk meningkatkan hasil produk benzaldehida dilakukan oksidasi stirena dengan variasi volume H2O2 yaitu 20 mL H2O2 dan 30 mL H2O2. Analisis hasil reaksi oksidasi dilakukan dengan menggunakan GC-MS. Awalnya komponen-komponen dalam sampel dipisahkan dengan kromatografi gas berdasarkan perbedaan interaksi dengan fase diam, sehingga dihasilkan komponen sampel dengan waktu retensi yang berbeda. Komponen-komponen sampel yang terpisah dapat dilihat pada Lampiran 13 dan 14. Selanjutnya, komponen sampel yang terpisah dideteksi oleh spektrometer massa. Spektrometer massa akan mendeteksi komponen sampel berdasarkan pemecahan komponen menjadi fragmen-fragmen yang terionisasi.
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
51
Berdasarkan kromatogram pada Lampiran 13 & 14 dapat dilihat, bahwa injeksi 1µL sampel (diasumsikan sampel 100% terinjeksi semua dan terpisah menjadi produk hasil oksidasi) yaitu penambahan 20 mL H2O2 dihasilkan benzaldehida dengan persen hasil sebesar 20,22 % dan stirena yang belum teroksidasi sebesar 54,99%. Pada penambahan 30 mL H2O2 diperoleh benzaldehida sebesar 16,26 % dan stirena yang belum teroksidasi sebesar 45,98%. Selanjutnya produk samping yang terbentuk dianalisis dengan spektroskopi massa. Misalnya, pada komponen sampel dengan waktu retensi 2,38. Dengan spektroskopi massa komponen sampel dengan waktu retensi 2,38 dipecah menjadi fragmen-fragmen terionisasi, yang dapat dilihat pada Lampiran 13.1 Ketika dibandingkan dengan library spektrum massa, fragmenfragmen yang terpisah mirip dengan fragmen stirena. Jadi, komponen dengan waktu retensi 2,38 merupakan stirena. Identifikasi produk hasil reaksi dapat dilihat pada Tabel 4.2 dan 4.3.
Tabel 4.2 Identifikasi produk hasil reaksi oksidasi dengan 20 mL H2O2 No. 1 2 3 4 5
Waktu Retensi 2,38 2,83 3,38 3,57 4,48
Luas area 1074619002 395125893 16922305 28157670 28765974
% Hasil 54,99 20,22 0,86 1,44 1,47
Identifikasi Stirena Benzaldehida Stirena oksida Asetofenon Asam benzoat
Berdasarkan data dari Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa pada penambahan 20 mL H2O2 stirena yang belum teroksidasi masih cukup
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
52
banyak, tetapi benzaldehida yang dihasilkan lebih banyak dari penambahan 30 mL H2O2. Hal ini dikarenakan oksidasi stirena yang terjadi menghasilkan sedikit produk samping, sehingga dihasilkan produk yang lebih besar.
Tabel 4.3 Identifikasi produk hasil reaksi oksidasi dengan 30 mL H2O2 No. 1 2 3 4 5
Waktu Retensi 2,38 2,83 3,38 3,57 4,52
Luas area 1081861134 382610469 27060601 38435499 52775919
% Hasil 45,98 16,26 1,15 1,63 2,24
Identifikasi Stirena Benzaldehida Stirena oksida Asetofenon Asam benzoat
Berdasarkan Tabel 4.3 dapat diamati bahwa stirena yang belum teroksidasi lebih sedikit dari penambahan 20 mL H2O2 sedangkan produk benzaldehida yang dihasilkan lebih sedikit. Hal ini disebabkan karena sebagian besar stirena telah terkonversi menjadi produk samping yang tidak diinginkan. Jadi, oksidasi stirena dengan menggunakan katalisis miselar dan 20 mL H2O2 menghasilkan produk benzaldehida yang lebih besar dibandingkan dengan 30 mL H2O2.
4.4.3 Analisis Hasil Oksidasi dengan FTIR
Stirena awal dan produk hasil oksidasi stirena dianalisis dengan FTIR. Stirena awal dan produk hasil oksidasi diuji dengan FTIR bertujuan untuk membuktikan bahwa produk hasil oksidasi yang terbentuk merupakan benzaldehida. Hal ini dapat diamati dari perubahan gugus fungsi yang
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
53
berasal dari stirena awal dengan produk hasil oksidasi. Produk hasil oksidasi diperoleh dari reaksi oksidasi stirena dengan 20 mL Hidrogen peroksida dan 3 mL katalis sol Ti(OH)4 dalam fase miselar pada suhu 70 C selama 4 jam. Perubahan gugus yang diamati pada sampel hasil oksidsasi adalah gugus uluran C=O dan gugus uluran C-H aldehida. Karena berdasarkan struktur molekul, benzaldehida memiliki gugus uluran C=O dan uluran C-H yang tidak dimiliki oleh struktur molekul stirena.
Uluran C-H
Uluran C=C
Gambar 4.6 Spektrum FTIR Stirena
Berdasarkan uji FTIR pada Gambar 4.6, dapat dilihat bahwa stirena awal memiliki serapan pada daerah 3026,31cm-1. Serapan ini menunjukkan
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
54
bahwa stirena memiliki gugus uluran C-H alkil. Selain itu, terdapat spektra pada daerah serapan 1629,85 cm-1. Spektra serapan ini menunjukkan bahwa stirena memiliki gugus uluran C=C.
Uluran C-H aldehida uluran C=O Uluran C-H alkil
Uluran C=C
Gambar 4.7 Spektrum FTIR benzaldehida
Berdasarkan uji karakterisasi benzaldehida dengan FTIR pada Gambar 4.7 diperoleh bahwa terdapat spektra serapan pada daerah 3026,31 cm-1 yang menunjukkan gugus uluran C-H. Juga terdapat spektra pada daerah serapan 1629,85 cm-1 yang menunjukkan gugus uluran C=C. Ikatan C=O adalah salah satu spektra serapan yang dapat membedakan benzaldehida dengan stirena. Jika dibandingkan dengan spektra serapan stirena, spektrum benzaldehida memiliki puncak baru yaitu
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
55
pada daerah serapan 1687,71 cm-1 . Hal ini menandakan bahwa telah terbentuk gugus C=O pada sampel yang dianalisis. Sebenarnya serapan uluran C=O dari gugus aldehida dan keton tampak di sekitar 1700 cm-1. Tetapi karena gugus karbonil ini berkonjugasi dengan suatu cincin benzena, letak serapan bergeser ke bilangan gelombang yang sedikit lebih rendah yaitu pada daerah serapan 1687,71 cm-1. Pada spektra serapan 2900 cm-1 menunjukkan adanya gugus C-H aldehida. Uluran C-H dari gugus aldehida menunjukkan serapan tepat di sebelah kanan serapan uluran C-H alkil. Daerah serapan tersebut merupakan karakteristik dari suatu senyawa aldehida. Jadi, dapat dibuktikan bahwa oksidasi stirena menghasilkan suatu senyawa yang memiliki gugus aldehida. Kemungkinan senyawa yang dihasilkan merupakan benzaldehida.
Tabel 4.4 Jenis gugus-gugus pembentuk stirena dan benzaldehida Jenis Vibrasi
Serapan stirena
Serapan
(cm-1)
Benzaldehida (cm-1)
C=C
1629,85
1629,85
Uluran C=C
C-H alkil
3026,31
3026,31
Uluran C-H
C=O aldehida
-
1687,71
Uluran C=O
C-H aldehida
-
2900
Uluran C-H
Jenis Gugus
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
56
4.5
Perbandingan hasil benzaldehida terhadap variasi reaksi oksidasi stirena
Pengaruh katalisis miselar terhadap reaksi oksidasi stirena dapat diamati dengan membandingkan reaksi oksidasi tanpa katalis sol Ti(OH)4 dan misel HDTMABr, dengan misel HDTMABr, dengan katalis sol Ti(OH)4 dan dengan katalis sol Ti(OH)4 dalam fase miselar. Untuk membuktikan bahwa reaksi oksidasi stirena dengan katalisis miselar (katalis sol Ti(OH)4 dalam fase miselar) menghasilkan produk benzaldehida yang optimum dan selektif, maka oksidasi stirena dilakukan tanpa katalis sol Ti(OH)4 dan misel HDTMABr. Untuk membuktikan bahwa misel HDTMABr berpengaruh pada reaksi oksidasi stirena dan selektivitas produk hasil reaksi maka dilakukan reaksi oksidasi dalam sistem misel saja tanpa menggunakan katalis sol Ti(OH)4. Untuk membuktikan bahwa misel HDTMABr mempunyai peranan penting pada reaksi oksidasi stirena, maka dilakukan reaksi oksidasi dengan menggunakan katalis sol Ti(OH)4 tetapi tidak menggunakan larutan misel.
4.5.1 Analisis Hasil Reaksi Oksidasi Stirena Tanpa Katalis Sol Ti(OH)4 dan Misel HDTMABr
Berdasarkan kromatogram pada Lampiran 10 dapat dilihat, bahwa oksidasi stirena tanpa menggunakan katalis sol Ti(OH)4 dan misel HDTMABr menghasilkan produk benzaldehida yang sangat kecil. Pada injeksi 1µL
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
57
sampel (diasumsikan sampel terinjeksi semua dan terpisah menjadi produkproduk hasil oksidasi) diperoleh benzaldehida dengan persen hasil sebesar 0,88%, stirena yang belum teroksidasi 99,12%, dan sisanya merupakan produk samping hasil yang tidak diketahui. Berdasarkan kromatogram pada Lampiran 10 dapat dilihat, bahwa terdapat beberapa produk samping yang tidak diketahui karena memiliki nilai kemiripan yang sangat kecil dari waktu retensi standar.
Tabel 4.5 Identifikasi produk hasil reaksi oksidasi stirena tanpa katalis sol Ti(OH)4 dan misel HDTMABr No. 1 2
Waktu Retensi 2,37 2,77
Luas area 1373336557 12160633
% Hasil 99,12 0,88
Identifikasi Stirena Benzaldehida
Pada oksidasi stirena tanpa menggunakan katalis sol Ti(OH)4 dan misel HDTMABr menghasilkan produk benzaldehida yang sangat sedikit. Benzaldehida yang terbentuk hanya sedikit karena masih banyak sisa stirena yang belum teroksidasi menjadi benzaldehida dan dihasilkan produk samping yang tidak diinginkan. Ketika reaksi oksidasi dilakukan tanpa menggunakan katalis, diperlukan energi aktivasi yang besar untuk mengoksidasi stirena menjadi benzaldehuda. Jadi, agar stirena dapat teroksidasi seluruhnya dibutuhkan katalis untuk menurunkan energi aktivasinya. Selain itu, reaksi oksidasi stirena tanpa menggunakan katalis sol Ti(OH)4 kemungkinan menyebabkan stirena terpolimerisasi menjadi polistirena. Tanpa adanya katalis sol Ti(OH)4, H2O2 akan membentuk radikal
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
58
dan akan menginisiasi reaksi polimerisasi sehingga dihasilkan polistirena. Jadi, produk benzaldehida yang dihasilkan sangat kecil, karena disebabkan oleh banyak stirena yang belum teroksidasi dan adanya stirena yang telah terkonversi menjadi polistirena.
4.5.2 Analisis Hasil Reaksi Oksidasi Stirena dengan Menggunakan Misel HDTMABr
Oksidasi stirena tanpa penambahan katalis sol Ti(OH)4, tetapi menggunakan misel HDTMABr, dapat menghasilkan benzaldehida, walaupun tidak sebanyak jika ditambahkan katalis sol Ti(OH)4. Berdasarkan kromatogram pada lampiran dapat ditunjukkan bahwa pada injeksi 1µL sampel (diasumsikan sampel 100% terinjeksi semua dan terpisah menjadi produk hasil oksidasi) dihasilkan benzaldehida dengan persen area sebesar 5,47% benzaldehida dan 94,53% stirena yang belum teroksidasi.
Tabel 4.6 Identifikasi produk hasil reaksi oksidasi stirena dengan misel HDTMABr No. 1 2
Waktu Retensi 2,38 2,80
Luas area 1288353153 74606058
% Hasil 94,53 5,47
Identifikasi Stirena Benzaldehida
Berdasarkan kromatogram pada Lampiran 11 dapat dilihat, bahwa produk yang terbentuk hanya stirena dan benzaldehida saja. Jadi, oksidasi stirena menghasilkan produk benzaldehida yang selektif. Hal ini membuktikan
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
59
bahwa adanya misel HDTMABr juga mempengaruhi hasil benzaldehida yang terbentuk. Karena misel HDTMABr juga berfungsi untuk meningkatkan laju reaksi dan keselektifan produk. Efisiensi ikatan antara misel HDTMABr dengan stirena mempengaruhi laju reaksi. Tetapi dari hasil oksidasi stirena dengan menggunakan misel HDTMABr diperoleh, bahwa masih banyak stirena yang belum teroksidasi. Hal ini disebabkan karena belum didapatkan kondisi optimum reaksi oksidasi stirena dengan menggunakan media misel. Reaksi oksidasi stirena dengan menggunakan media misel memerlukan kondisi optimum suhu reaksi. Pada penelitian ini hanya dipelajari pendahuluan tentang reaksi oksidasi stirena di dalam fase miselar, sehingga belum didapatkan kondisi optimum reaksi oksidasi dengan misel HDTMABr
4.5.3 Analisis Hasil Reaksi Oksidasi Stirena Menggunakan Katalis Sol Ti(OH)4 Agar diperoleh benzaldehida yang optimum, reaksi oksidasi stirena dilakukan dengan bantuan katalis sol Ti(OH)4. Oksidasi stirena dengan katalis sol Ti(OH)4, tetapi tanpa menggunakan misel menghasilkan produk benzaldehida yang cukup besar dibandingkan dengan oksidasi stirena tanpa menggunakan katalis sol Ti(OH)4 dan misel HDTMABr. Pada injeksi 1µL sampel (diasumsikan sampel 100% terinjeksi semua dan terpisah menjadi produk hasil oksidasi) dihasilkan produk benzaldehida dengan persen hasil
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
60
sebesar 14,37% dan masih terdapat stirena yang belum teroksidasi sebesar 81,66%. Selain itu, juga terbentuk berbagai produk samping yang tidak diinginkan seperti: stirena oksida dan produk samping lainnya.
Tabel 4.4 Identifikasi produk hasil reaksi oksidasi stirena dengan katalis sol Ti(OH)4 No. 1 2 3
Waktu Retensi 2,37 2,78 3,54
Luas area 1205199705 212141854 8871876
% Hasil 81,66 14,37 0,60
Identifikasi Stirena Benzaldehida Stirena oksida
Dari data kromatogram dapat dilihat bahwa benzaldehida yang dihasilkan cukup besar dibandingkan reaksi oksidasi tanpa katalis dan misel. Tetapi produk samping yang dihasilkan sangat banyak. Benzaldehida yang dihasilkan cukup besar karena adanya pengaruh katalis. Katalis sol Ti(OH)4 akan menyediakan permukaan dimana molekul stirena dapat teradsorbsi pada sisi aktif Ti 4+. Hal ini akan menyebabkan terjadinya tumbukan antara molekul stirena sehingga ikatan dalam molekul stirena menjadi lemah dan menghasilkan zat antara yang reaktif, selanjutnya akan berinteraksi membentuk produk reaksi. Jadi, reaksi oksidasi stirena dengan menggunakan katalis sol Ti(OH)4 dapat menghasilkan produk benzaldehida yang cukup banyak, tetapi reaksi oksidasinya menghasilkan banyak produk samping yang tidak diiinginkan sehingga produk yang dihasilkan kurang selektif.
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
61
Tabel 4.8 Perbandingan produk benzaldehida berdasarkan % hasil terhadap variasi reaksi oksidasi Variasi reaski oksidasi stirena
% Hasil
Tanpa katalis sol Ti(OH)4 dan misel HDTMABr
0,88
Dengan misel HDTMABr
5,47
Dengan katalis sol Ti(OH)4
14,37
Dengan katalis sol Ti(OH)4 dalam fase miselar
20,22
Tanpa katalis dan misel
dengan misel
dengan katalis
dengan katalis miselar
Gambar 4.8 Perbandingan produk benzaldehida yang diperoleh dari oksidasi stirena tanpa katalis dan misel, dengan katalis, dan dengan katalis miselar
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
62
Berdasarkan Gambar 4.8 dapat ditunjukkan bahwa oksidasi stirena tanpa menggunakan katalis sol Ti(OH)4 dan misel HDTMABr menghasilkan benzaldehida yang sangat sedikit. Pada oksidasi stirena dengan menggunakan misel HDTMABr saja dihasilkan benzaldehida yang lebih besar dibandingkan hasil benzaldehida dari oksidasi stirena tanpa menggunakan katalis sol Ti(OH)4 dan misel HDTMABr. Ketika oksidasi stirena dilakukan dengan penambahan katalis sol Ti(OH)4 menghasilkan produk benzaldehida yang berbeda secara signifikan dari oksidasi stirena tanpa menggunakan katalis sol Ti(OH)4 dan misel HDTMABr. Pada oksidasi stirena dengan menggunakan katalis sol Ti(OH)4 dalam fase miselar diperoleh benzaldehida yang optimum. Jadi, hal ini membuktikan bahwa reaksi oksidasi stirena dengan katalisis miselar lebih baik dibandingkan reaksi oksidasi dengan katalisis sol Ti(OH)4.
4.6
Mekanisme Reaksi Oksidasi Stirena
Reaksi oksidasi stirena dengan oksidator H2O2 tanpa katalis sol Ti(OH)4 dilakukan tanpa media misel. Tanpa adanya katalis sol Ti(OH)4, Hidrogen peroksida akan menyerang ikatan rangkap stirena menghasilkan benzaldehida dan formaldehida. Reaksi yang terjadi disebut reaksi autooksidasi non katalitik. Reaksinya adalah sebagai berikut:
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
63
Untuk memutuskan ikatan C=C dari stirena dibutuhkan energi yang besar. Tanpa adanya katalis sol Ti(OH)4, benzaldehida yang dihasilkan dari reaksi autooksidasi non katalitik ini sangat sedikit. Oleh karena itu, diperlukan energi yang lebih besar agar dihasilkan benzaldehida yang lebih banyak. Selain itu, benzaldehida yang dihasilkan sangat sedikit juga disebabkan oleh terbentuknya beberapa produk samping, salah satunya adalah polistirena. Dengan adanya cahaya ultraviolet dan pemanasan pada saat reaksi oksidasi berlangsung, hidrogen peroksida akan membentuk radikal hidroksida yang akan menginisiasi terjadinya polimerisasi menghasilkan polistirena. Radikal hidroksida akan menarik atom hidrogen dari molekul stirena, menghasilkan radikal bebas lainnya. Dengan adanya stirena sisa, radikal bebas yang terbentuk akan membentuk radikal bebas lain. Tahap reaksi ini disebut propagasi. Reaksi ini akan terjadi terus-menerus dan berhenti pada tahap terminasi. Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut:
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
64
Reaksi oksidasi stirena dilakukan dengan menggunakan oksidator H2O2 dan katalis sol Ti(OH)4 yang berlangsung dalam fasa miselar. Dengan kehadiran katalis sol Ti(OH)4, Hidrogen peroksida akan berinteraksi dengan sisi aktif ion Ti4+ membentuk ikatan Ti-O-OH, molekul peroksida akan bereaksi dengan menyerang ikatan rangkap stirena dan akan memutuskan ikatan C=C menghasilkan benzaldehida sebagai produk utama dan beberapa produk samping. Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut:
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
65
Reaksi oksidasi stirena dapat menghasilkan benzaldehida sebagai produk utama dan beberapa produk samping[24] seperti: asam benzoat, stirena oksida dan asetofenon. Produk benzaldehida yang terbentuk akan bereaksi kembali dengan hidrogen peroksida menghasilkan asam perbenzoat. Asam perbenzoat akan bereaksi dengan stirena yang tersisa menghasilkan asam benzoat dan stirena oksida. Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut:
Radikal oksidatif yang terbentuk akan menginisiasi reaksi polimerisasi menghasilkan polistirena. Selain itu, OH radikal yang terbentuk dari hidrogen peroksida juga akan bereaksi dengan stirena sisa dan membentuk asetofenon. Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut:
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
1.1
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik beberapa kesimpulan ,yaitu: 1. Reaksi oksidasi stirena dengan misel HDTMABr memiliki selektivitas yang tinggi, tetapi reaksi oksidasi stirena dengan katalis sol Ti(OH)4 dalam fase miselar menghasilkan produk yang kurang selektif. 2. Hasil benzaldehida optimum terjadi ketika reaksi oksidasi stirena dilakukan dengan 0,35 mol stirena yang tersolubilisasi dalam 1,4 mM misel HDTMABr dan menambahkan 3 mL katalis sol Ti(OH)4. 3. Uji daya katalitik katalis sol Ti(OH)4 dalam fase miselar melalui reaksi oksidasi stirena menghasilkan persen hasil benzaldehida optimum sebesar 20,22% yaitu pada 0,35 mol stirena yang tersolubilisasi dalam misel, 20 mL H2O2 dan 3 mL katalis sol Ti(OH)4 pada suhu 70 C selama 4 jam. 4. Reaksi oksidasi stirena dengan katalis sol Ti(OH)4 dalam fase miselar lebih baik dibandingkan reaksi oksidasi tanpa menggunakan katalis sol Ti(OH)4, dengan misel HDTMABr dan dengan katalisis sol Ti(OH)4.
67 Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
68
1.2
Saran
1. Mencari kondisi optimum misel ketika digunakan sebagai media dalam reaksi oksidasi 2. Menentukan lokasi solubilisasi stirena di dalam misel 3. Mencari metode lain dalam melakukan pemisahan produk dari katalisis miselar agar diperoleh produk yang lebih murni.
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
69
DAFTAR PUSTAKA
1. Atkins, P. W. 1997. Kimia Fisik Jilid 2, edisi keempat. Jakarta: Erlangga. 2. Wibowo, W. 2004. Hand Out Kuliah Kapita Selekta Kimia Fisik III : Katalis Heterogen dan Reaksi Katalisis. Depok : Departemen Kimia FMIPA UI. 3. Heijnen, J. H.M. 2003. Olefin Epoxidations catalyzed by MicelleIncoeporated Homogeneous Catalysts. Proefschrift. ISBN 90-386-2994X. 4. Wolf, Elwin de, Gerard van Koten & Berth-Jan Deelman. 1999. Fluorous Phase Separation Techniques in Catalysis. Chem. Soc. Rev., 28, 37-41. 5. Nurhayati. 2008. Reaksi Katalisis Oksidasi Stirena menjadi Benzaldehida menggunakan Katalis TiO2-Al2O3 (1:1)-U dan TiO2-Al2O3 (1:1)-PEG. Karya Utama Sarjana Kimia. Departemen Kimia FMIPA UI. 6. Pare, Brijesh., Parwinder Kaur, V. W. Bhagwat & Charles Fogliani. 2004. Micelles in Physical Chemistry Laboratory: Surfactant Catalyzed Oxidation of Glycine by Acidic Permanganate. Korean. J. Chem. Soc, Vol 48, No. 2. 7. MSDS Styrene http://msds.chem.ox.ac.uk/ST/styrene.html (12 Agustus 2009, 09:28) 8. MSDS hexadecyltrimethylammonium bromide http://msds.chem.ox.ac.uk/HE/hexadecyltrimethylammonium_bromide.ht ml (12 Agustus 2009, 10:16)
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
70
9. Broeke, L. J. P. van den, V. G. de Bruijn, J. H. M. Heijnen, J. T. F. Keurentjes. 2001. Micellar Catalysis for Epoxidation Reactions. Ind. Eng. Chem. Res. 40, 5240-5245. 10. MSDS H2O2 http://purehealthsystems.com/h2o2-msds.html (12 Agustus 2009, 09:32) 11. Hamid, Mansor Abdul & Ismail Ab Rahman. 2003. Preparation of Titanium Dioxide (TiO2) Thin Films by Sol Gel Dip Coating Method. Malaysian. J. Chem, Vol.5, No.1, 086-091. 12. Fessenden, RJ dan Joan S. Fessenden. 1997. Kimia Organik. Jilid 1. Jakarta: Erlangga. 13. Ulyani, Visti. 2008. Reaksi Katalisis Oksidasi Vanili Menjadi Asam Vanilat Menggunakan Katalis TiO2–Al2O3 (1:1) yang dibuat dengan PEG 6000. Karya Utama Sarjana Kimia. Departemen Kimia FMIPA UI. 14. Surfactant http://wikipedia.com/surfactant (12 Agustus 2009, 11:43) 15. Sopitlittikul, Weerasak, Ruangsri Watanesk, Surasak Watanesk. 1997. Evaluation of CMC of Surfactants through The UV S-I Bands of Styrene. J. Sci. Soc. Thailand, 23, 253-258. 16. Day, Jesse H & Lawrence H. Talley. 1958. An Adjustable Capillary Method for the Determination of Surface Tensions. Ohio. J. Sci 58(3) : 140.
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
71
17. Marchaban.2005.Kemampuan solubilisasi surfaktan karena perbedaan panjang rantai lipofil dan hidrofil. Majalah Farmasi Indonesia, 16 (2), 105 – 109. 18. Liu Qifa, Lu Ming, & Wei Wei. 2009. Chloromethylation of 2Chloroethylbenzene Catalyzed by Micellar Catalysis. China. J. Sci. Series B: Chemistry, Vol. 52, No. 7, 893-899. 19. Upstone, Stephen L. 2000. Ultraviolet/Visible Light Absorption Spectrophotometry in Clinical Chemistry. Encyclopedia of Analytical Chemistry R. A Meyers (Ed.) pp. 1699-1714. 20. Sunardi. 2006. Penuntun Praktikum Kimia Analisa Instrumentasi. Depok: Departemen Kimia FMIPA UI. 21. Gas Chromatography http://sites.netscape.net/dougfrm (30 Oktober 2009, 09:20) 22. Schulz, P. C & M. A Morini. 1997. Styrene Solubilization in Micelles of Dodecyltrimethylammonium hydroxide. Colloid Polym. Sci. 275 : 604607. 23. Rajasekaran, K., A. Sarathi, S. Ramalakshmi. 2008. Micellar Catalysis in The Retro-Knoevenagel Reaction of Ethyl-α-Cyanocinnamates. J. Chem. Sci., Vol. 120, No. 5, 475-480. 24. Liang Nie, Ke Ke Xin, Wen Sheng Li, Xiao Ping Zhou. 2007. Benzaldehyde Synthesis via Styrene Oxidation by O2 over TiO2 and TiO2/SiO2. Catalysis Communication 8, 488-492.
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
73
LAMPIRAN
LAMPIRAN I : Bagan Metode Penelitian
a. Penyiapan Larutan Surfaktan (Misel)
0.0510 g Surfaktan
100 mL Aquades
+
Diaduk menggunakan magnetic stirrer selama 2-3 menit Larutan Misel
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
74
a. Penentuan CMC Larutan Misel dengan Metode Kapiler
0.0510 g HDTMABr
+
100 mL Aquades
Sesuai dengan variasi konsentrasi surfaktan
Air
Larutan Surfaktan
Pipa kapiler dicelupkan Ke dalam larutan Diukur h Dlm larutan
Dihitung ρ Larutan
Dihitung γ Larutan
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
75
c. Solubilisasi Stirena dalam Misel HDTMABr
Sesuai dengan Larutan Misel +
+
O,17 mol Stirena
variasi mol stirena
Diaduk dengan magnetic stirrer selama 24 jam Larutan Stirena dalam misel
disentrifugasi 10 menit Penentuan Absorbansi stirena yang tidak tersolubilisasi ke dalam misel dengan UV/Vis
d. Pembuatan Katalis Sol Ti(OH)4
15 mL TTIP + 150 mL air destilasi + 1 mL HNO3
direfluks pada suhu 90 C selama 3 hari Sol Ti(OH)4
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
76
e. Uji Daya Katalitik Katalis Misellar pada Reaksi Oksidasi Stirena
Larutan Stirena dalam Misel
1 mL Katalis Sol Ti(OH)4
Sesuai variasi
+
volume katalis
Diaduk dengan magnetic stirrer
+ 10 mL H2O2 30%
Refluks pada 70 C selama 4 jam Hasil Oksidasi
Dipisahkan dengan corong pisah
Benzaldehida
Katalis miselar
+ Na2SO4 anhidrat lalu disaring Dianalisis dengan FTIR, GC, dan GC-MS
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
77
LAMPIRAN 2 : Desain Reaktor Oksidasi Katalisis Miselar
Kondensor
Termometer +H2O2 Stirena+misel+katalis Pemanas
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
78
LAMPIRAN 3 : Tegangan Permukaan Surfaktan HDTMABr
[HDTMABr]
h1
h2
h
mM
cm
cm
cm
0,2
0,65
1,59
0,94
1,10881
70.11
0,5
0,69
1,552
0,862
1,10919
64.31
0,8
0,73
1,56
0,83
1,10978
61.96
1,1
0,643
1,403
0,76
1,10996
56.74
1,4
0,87
1,55
0,68
1,11077
50.81
1,7
0,78
1,45
0,67
1,11125
50.08
2,0
0,82
1,485
0,665
1,11236
49.68
2,3
0,76
1,42
0,66
1,11238
49.38
Rumus:
γ larutan =
ρ
γ dyn/cm
ρ larutan × h larutan ρ air × h air
Contoh perhitungan : Diketahui: ρ larutan = 1,10881
h larutan = 0,94 cm
ρ air
ho
= 1,0021 gr/ml
= 1,08 cm
Sehingga, γ larutan = 1,10881 × 0,94 1,0021 × 1,08 = 7,11 dyn/cm
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
79
LAMPIRAN 4 : Kondisi Alat Kromatografi Gas
Data kondisi alat kromatografi gas yang digunakan adalah : •
GC (Gas Chromatography)
:
Shimadzu GC-9A
•
Kolom
: PEG 4M63-40 Glass Fragile
•
Gas pembawa
: N2
•
Detektor
: FID
•
Suhu kolom
: 190 C
•
Suhu Injektor
: 200 C
•
Volume injeksi
: 1µL
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
80
LAMPIRAN 5 : Cara Perhitungan % Hasil Benzaldehida
% hasil benzaldehida
=
Luas area benzaldehida × 100% Luas area total
Contoh perhitungan : Diketahui: Luas area benzaldehida = 141702 Luas area total
= 585789
Maka : % hasil benzaldehida
= 141702 × 100% 585789 =
17,61%
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
81
LAMPIRAN 6 : Kromatogram Standar Stirena dan Benzaldehida
Standar benzaldehida
Standar stirena
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
82
LAMPIRAN 7: Kromatogram Benzaldehida dari Oksidasi Stirena dengan Variasi Volume Katalis Sol Ti(OH)4 dalam Fase Miselar
1 mL katalis
2 mL katalis
Oksidasi stirena dengan 10 mL H2O2 dan katalis miselar pada suhu 70 C selama 4 jam
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
83
3 mL katalis
4 mL katalis
Oksidasi stirena dengan 10 mL H2O2 dan katalis miselar pada suhu 70 C selama 4 jam
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
84
Luas Area Sampel dari Oksidasi Stirena menjadi Benzaldehida Sampel
Luas Area
Luas Area Total
Standar stirena
368699
412068
Satandar benzaldehida
666904
673048
Hasil oksidasi dengan 1 mL sol
141702
804677
48202
306665
212563
794592
-
53107
Ti(OH)4 Hasil oksidasi dengan 2 mL sol Ti(OH)4 Hasil oksidasi dengan 3 mL sol Ti(OH)4 Hasil oksidasi dengan 4 mL sol Ti(OH)4
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
85
LAMPIRAN 8 : Kondisi alat GC-MS
Data kondisi alat GC-MS yang digunakan adalah :
•
Kolom
: HP-5MS (0.25mm x 30m x 0.25µm)
•
Gas pembawa
: He
•
Flow
: 1.0 mL/min
•
Detektor
: MSD
•
Suhu kolom
: 350 C
•
Suhu oven
: 80 C
•
Suhu detektor
: 250 C
•
Volume injeksi
: 1µL
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
86
LAMPIRAN 9 : Kromatogram Stirena Awal
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
87
LAMPIRAN 9.1 Spektrum Massa Stirena
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
88
LAMPIRAN 10 : Kromatogram Oksidasi Stirena Tanpa Katalis Sol Ti(OH)4 dan Misel
Oksidasi 40 mL stirena dengan 20 mL H2O2
No. 1 2
Waktu Retensi 2,37 2,77
Luas area 1373336557 12160633
% Hasil 99,12 0,88
Identifikasi Stirena Benzaldehida
Luas area total = 1385497190
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
89
LAMPIRAN 10.1 Spektrum Massa Stirena
Spektrum Massa Benzaldehida
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
90
LAMPIRAN 11 : Kromatogram Oksidasi Stirena dengan Misel
Oksidasi stirena dengan 20 mL H2O2 dalam misel HDTMABr
No. 1 2
Waktu Retensi 2,38 2,80
Luas area 1288353153 74606058
% Hasil 94,53 5,47
Identifikasi Stirena Benzaldehida
Luas area total = 1362959211
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
91
LAMPIRAN 11.1 Spektrum Massa Stirena
Spectrum Massa Benzaldehida
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
92
LAMPIRAN 12 : Kromatogram Oksidasi Stirena dengan Katalis Sol Ti(OH)4
Oksidasi stirena dengan 20 mL H2O2 dan 3 mL sol Ti(OH)4 pada suhu 70 C selama 4 jam
No. 1 2 3
Waktu Retensi 2,37 2,78 3,54
Luas area 1205199705 212141854 8871876
% Hasil 81,66 14,37 0,60
Identifikasi Stirena Benzaldehida Stirena oksida
Luas area total = 1475857326
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
93
LAMPIRAN 12.1 Spektrum Massa Stirena
Spektrum Massa Benzaldehida
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
94
LAMPIRAN 13 : Kromatogram Oksidasi Stirena dengan 20 mL H2O2 dan 3 mL Katalis Sol Ti(OH)4
Oksidasi stirena dengan 20 mL H2O2 dan 3 mL sol Ti(OH)4 dalam Fase Miselar pada suhu 70 C selama 4 jam
No. 1 2 3 4 5
Waktu Retensi 2,38 2,83 3,38 3,57 4,48
Luas area 1074619002 395125893 16922305 28157670 28765974
% Hasil 54,99 20,22 0,86 1,44 1,47
Identifikasi Stirena Benzaldehida Stirena oksida Asetofenon Asam benzoat
Luas area total = 954134426
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
95
LAMPIRAN 13.1 Spektrum Massa Stirena
Spektrum Massa Benzaldehida
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
96
Spektrum Massa Stirena Oksida
Spektrum Massa Asetofenon
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
97
Spektrum Massa Asam Benzoat
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
98
LAMPIRAN 14 : Kromatogram Oksidasi Stirena dengan 30 mL H2O2 dan 3 mL Katalis Sol Ti(OH)4
Oksidasi stirena dengan 30 mL H2O2 dan 3 mL sol Ti(OH)4 pada suhu 70 C selama 4 jam
No. 1 2 3 4 5
Waktu Retensi 2,38 2,83 3,38 3,57 4,52
Luas area 1081861134 382610469 27060601 38435499 52775919
% Hasil 45,98 16,26 1,15 1,63 2,24
Identifikasi Stirena Benzaldehida Stirena oksida Asetofenon Asam benzoat
Luas area total = 2352977839
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
99
LAMPIRAN 14.1 Spektrum Massa Benzaldehida
Spektrum Massa Stirena Oksida
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
100
Spektrum Massa Asetofenon
Spektrum Massa Asam Benzoat
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
101
LAMPIRAN 15 : Spektrum FTIR Stirena
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009
102
LAMPIRAN 16 : Spektrum FTIR Benzaldehida
Studi pendahuluan..., Ersi Yuliantika, FMIPA UI, 2009