i
UNIVERSITAS INDONESIA
PROSES KEBIJAKAN SEBAGAI HIERARKI DALAM MENDORONG UPGRADING TEKNOLOGI PADA GLOBAL VALUE CHAIN-INDUSTRI PESAWAT TERBANG NASIONAL (Analisis Kegagalan Program Pesawat N 250 IPTN)
DISERTASI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Administrasi
Muhammad Athar Ismail Muzakir 1106126844 FAKULTAS ILMU SOSIAL & ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI JAKARTA
Juli 2015
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
ii
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
iii
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
iv
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
v
KATA PENGANTAR Alhamdulillah saya panjatkan kepada Allah subhana Huwa ta’ala, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya diberikan berbagai kemudahan dalam menyelesaikan disertasi ini Allahumma, amin. Penulisan tesis ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Doktor pada Program Doktor Ilmu Administrasi Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan disertasi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada: (1)
Prof. Dr. Martani Huseini, selaku promotor atas bimbingan yang tidak ternilai yang telah diberikan kepada saya termasuk membuka jalan untuk bertemu Presiden RI III Prof. Dr.Ing BJ Habibie.
(2)
Prof. Sudarsono Hardjosoekarto, selaku kopromotor, walaupun ditengah kesibukan yang luar biasa, selalu secara konsisten membimbing kami termasuk dalam memberikan semangat kepada kami untuk segera menyelesaikan disertasi ini.
(3)
Dr. Teguh Rahardjo, selaku ko-promotor atas dukungan dan dorongan untuk segera menyelesaikan program doktoral yang saya tempuh dan banyak memberikan materi terkait, masukan dalam penyusunan disertasi ini;
(4)
Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, selaku Ketua Program Pascasarjana Departemen Ilmu Administrasi yang telah memberikan dukungan agar saya dapat menyelesaikan disertasi ini tepat waktu;
(5)
Kepada segenap tim Penguji: Prof. Dr. Azhar Kasim, MPA., Prof. Dr. Ferdinand Dehoutman Saragih, M.A., Prof. Lukman Hakim, M.Sc., Ph.D., Dr. Andreo Wahyudi, yang telah memberikan masukan yang sangat berharga baik melalui serangkaian ujian-ujian maupun pertemuan-pertemuan pasca ujian.
(6)
Kepada segenap staf Sekretaris Program Doktor Ilmu Administrasi Mas Umanto, Mas Yanto, Ibu Ana dan semuanya atas segala bantuan yang sangat berharga yang diberikan dalam proses penyelesaian Disertasi ini.
(7)
Presiden RI III, Prof. Dr. Ing BJ Habibie atas kesempatan emas yang telah diluangkan kepada saya, saya sangat beruntung sekali mendapatkan kesempatan
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
vi
berdua dengan Bapak untuk menanyakan perihal terkait IPTN dan N 250 serta wejangan-wejangan spesial terkait dunia penerbangan nasional. (8)
Mba Widya Habibie atas kesediaan dan bantuannya, sehingga pertemuan dalam rangka wawancara dengan Presiden RI III, Prof. Dr. Ing BJ Habibie dapat terlaksana.
(9)
Seluruh narasumber, yang telah menyediakan waktu yang sangat berharga untuk memberikan data dan informasi yang saya perlukan untuk penyusunan disertasi ini.
(10) Ir Ahmad Dading Gunadi M.A, terimakasih atas kesempatan dan kebijaksanaan yang telah diberikan terutama ketika menjabat sebagai Asdep Relevansi Program Riptek. (11) Adhi Hermanu, S.T., M.T, terutama ketika menjadi Kabid saya di lingkungan Keasdepan Relevansi Program atas kelonggaran waktu serta kesempatan yang diberikan kepada saya, (12) Ir Santosa Yudo, M.T, Asdep Relevansi Program Riptek atas kesempatan dan kemudahan yang telah diberikan kepada saya. (13) Ir Wawan Bayu, M.M., Kabid Evaluasi atas kesempatan dan kemudahan yang telah diberikan kepada saya. (14) Enny Lestariningsih, S.Si, M.E, terutama kesempatan yang telah diberikan kepada saya, baik ketika program S2 di MPKP. (15) Dr. Mustangimah selaku Co Promotor Ke-3 yang telah mengajarkan kepada saya semangat juangnya, juga masukan yang sangat jitu baik secara substansial maupun teknik penulisan, sehingga saya banyak mendapatkan manfaat yang sangat berharga dari Beliau. (16) Dr. Rachma Fitria, yang telah menjadi inspirasi dalam penemuan novelty, juga telah bersedia membantu dalam proses submit jurnal internasional. Pesan Beliau yang selalu saya ingat ketika selesai bimbingan terutama dalam lingkungan Padepokan adalah: “ Progress ya Pak !!!”. Pesan tersebut menjadi salah satu cambuk bagi Saya dan teman-teman untuk terus menyelesaikan penelitian ini.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
vii
(17) Teman-teman seperjuangan dan seangkatan Bang Tomi, Bang Kasmen, Bang Cheka, Bang Taufik, Bang Bagus, Bang Burhan, Bang Rustam, Bur Hernita, Bu Yenny, Bu Agnes, Bu Ita, Bu Ana dan semua teman-teman PDIA angkatan tahun 2011 (semester ganjil) terimakasih atas dukungan dan kebersamaan yang akan selalu saya ingat. Semoga kalian segera menyusul dan to be the best. (18) Teman-teman diskusi: Pak Syahrul, Mas Irfan, Mas Dianta, Pak Dudi, Mas Amin dll, termikasih atas sumbangsih pemikirannya yang semuanya menjadi masukan penting bagi disertasi saya. (19) Kepada segenap Tim Penguji, mulai dari Sidang Proposal, Sidang Hasil, Sidang Pra Promosi, dan Sidang Promosi, terimakasih atas segenap arahannya. (20) Tim Sekretariat PDIA di Salemba yang telah banyak membantu saya selama perkuliahan. (21) Istriku dan anak-anakku yang kusayangi (Ahmad, Asma’, Yusran, dan ‘Aisyah), yang telah menjadi salah satu motivator penyegeraan penulisan disertasi ini. Terkhusus untuk Istriku Hanifah Tercinta, yang telah rela kehilangan sebagai haknya untuk kegiatan penulisan disertasi ini. (22) Daeku-Ibuku
tercinta,
terimakasih
yang
tak
terhingga
untuk
segala
pengorbanan, bimbingan, doa dan ridhomu yang telah menjadi sebab utama kemudahan segala urusan anakda termasuk dalam proses penulisan disertasi ini. (23) Dae Taju dan Mumaku rahimahumallah yang anakda cintai yang telah selalu mendoakan kebaikan dan kesuksesan buat saya. Semoga Alloh subhana Huwa ta’ala selalu mengampuni dosa Muma dan Dae dan dimasukkan dalam surga firdausNya, Amin. (24) Kakak-Kakakku Dae Yu, Dae Sur, Dae Nur, Dae Hijrah, Dae Hikmah, dan Dae An. Serta adik-adikku Rahmah, Sita, dan Ima, terimakasih atas dukungan moril dan ataupun material yang tak ternilai harganya dari kalian semua. (25) Keluarga Besar Bima dari Pihak Istriku Hanifah binti M Jafar, terimakasih atas segala dukungan moril dan tenaga yang telah diberikan kepada saya dan keluarga, sehingga membantu kelancaran penulisan disertasi ini.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
viii
(26) Akhir kata, saya berdo’a, semoga Allah Subhana Huwa ta’ala membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu penulisan disertasi ini, aamin. Jakarta, Juli 2015
Penulis
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
ix
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
x
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi konsep kebijakan dalam mendorong upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang yang memiliki tipologi Global Value Chain (GVC) Hierarki. Sejak era reformasi hingga era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dukungan kebijakan terutama dalam perspektif tiga level hierarki proses kebijakan relatif lemah dibandingkan dengan periode orde baru. Padahal, sejak 2011-2013, terdapat sejumlah program pengembangan pesawat terbang yang berbasis pada penguasaan kemampuan pengembangan teknologi seperti pesawat N 219, program N 245 yang merupakan upgrading dari CN 235, dan Program Upgrading N 250 menjadi R-80. Kegagalan Program N 250 IPTN menunjukkan bahwa keberhasilan program upgrading teknologi tidak hanya disebabkan oleh masalah lemahnya manajemen perusahaan, tetapi juga tidak adanya kesinambungan dukungan politik pemerintah. Karena kebijakan untuk mendorong upgrading teknologi bersifat kompleks dan problematis, baik terkait dukungan secara regulasi maupun political will dari pemerintah, maka penelitian ini menggunakan Soft Systems Methodology (SSM) untuk mengkonstruksi konsep kebijakan untuk mendorong upgrading teknologi pada GVC Industri Pesawat Terbang dengan mempertimbangkan systematically desirable dan culturally feasible. Penelitian ini juga melakukan analisis komparatif khususnya dengan Embraer Brazil dalam program pesawat EMB 120 yang sekelas dengan pesawat N 250 IPTN. Penelitian ini memberikan empat rekomendasi: pertama, selain dukungan secara regulasi, dukungan secara politik dibutuhkan untuk keberhasilan program upgrading teknologi. Kedua, komunikasi dua arah antar level kebijakan nasional dengan level inter sektoral sangat diperlukan, khususnya dalam proses pengarusutamaan arah kebijakan iptek sektor dirgantara. Ketiga, Industri Dirgantara dalam hal ini IPTN/PT DI harus memperkuat value chainnya baik terkait kemampuan manajemen, produksi dan jejaring. Keempat, tipologi GVC Industri Pesawat Terbang yang efektif bagi program upgrading teknologi pesawat terbang adalah bukan hierarki murni, karena kemampuan lead firm dalam melakukan codifiability dan kemampuan supplier untuk memenuhi requirement dari lead firm yang dibutuhkan justru sangat tinggi. Penelitian lanjutan dapat difokuskan pada analisis konsep proses kebijakan sebagai hierarki pada dinamika tipologi GVC sehingga upgrading teknologi yang dilakukan dapat lebih efektif Kata kunci: proses kebijakan sebagai hierarki, tiga level hierarki proses kebijakan, upgrading teknologi, global value chain, tipologi hierarki, soft systems methodology (ssm).
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
xi
ABSTRACT This research combines the concept of policy process as hierarchy and the concept of Global Value Chain (GVC) in reconstructing the concept of policy in upgrading technology in GVC of an aircraft industry with a hierarchical typology. Since the reformation order until the era of President Susilo Bambang Yudhoyono, policy support for aircraft industry is relatively weak compared to the period of the New Order. However, since 2011 until now, there has been a number of aircraft development programs that were based on technology development, both on-going and at the stage of planning, such as N 219 Air Craft Program, N 245 which is upgrading of CN 235 or R80 which is upgrading of N 250. Based on the failure of IPTN Indonesia, particularly the termination of N 250 program, which was not only caused by the poor management of the company as well as sectoral policy and national policy, but also by the lack of political commitment from the government. Because support for technology upgrade is very complex and problematical, either related to regulatory support or government political will, this research employs Soft Systems Methodology (SSM) to find the concept of policy for supporting technology upgrade in GVC- National Aircraft Industry which are both arguably desirable and also culturally feasible. This study provides an illustration of comparative analysis between EMB 120-Embraer Brazil and N 250 IPTN. This paper recomends four conclusion: First, in addition to regulation support of the national development direction, political support from the government is also required. Second, a two-way communication is required between policy level and sectoral level, especially science and technology research sector, in the effort to mainstream aerospace technology development in the national development planning. Third, Aircraft Industry should also strengthen its value chain, especially improving the management system in terms of production, marketing and networking. Fourth, a GVC typology of aircraft industry which is effective for aircraft technology upgrade program is not completely hierarchical since lead firm codifiability and supplier competence in complying with the lead firm requirements are very high. For further research, the analysis of the concept of policy process as hierarchy for supporting technology upgrade with regarding to dynamic of typology of GVC could be conducted for carrying out technology upgrade effectively. Keywords: policy process as hierarchy, upgrading technology, aircraft industry, global value chain, soft systems methodology (ssm).
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI DISERTASI UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ABSTRAK DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN
i ii iii iv vii viii x xiv xvii xix
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Permasalahan 1.2. Identifikasi Masalah 1.3. Perumusan Masalah 1.4. Tujuan Penelitian 1.5. Signifikansi Penelitian 1.5.1. Bagi Ilmu Pengetahuan 1.5.2. Bagi Pemerintah 1.5.3. Bagi Industri Pesawat Terbang Nasional 1.6. Batasan Penelitian
1 1 23 37 39 39 39 40 40 40
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konteks Penelitian 2.1.1. Kajian Kebijakan di dalam Mendorong Pembangunan Sektor Dirgantara 2.1.2. Kajian perbandingan Kebijakan Pemerintah dalam mendorong upgrading teknologi antara Industri IPTN dengan beberapa Industri Pesawat Terbang diberbagai Negara 2.2. Global Value Chain 2.2.1. Struktur Global Value Chain 2.2.2. Pengkoordinasian dalam Lima Tipologi Global Value Chain 2.2.3. Upgrading 2.2.4. Upgrading dan Nilai Tambah 2.2.5. Upgrading dan Inovasi 2.3. Konsep Kebijakan Pemerintah dalam Mendorong Product Upgrading 2.3.1. Konsep Peran Kebijakan Pemerintah dalam Rantai Nilai 2.3.2. Peran Pemerintah Dalam Upgrading Melalui Open
42 42 42
47 50 51 54 61 62 63 65 65 69
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
xiii
Innovation 2.3.3. Peran Pemerintah Dalam Upgrading Melalui Triple Helix 2.4. Proses Inovasi Antara Model Klasik Vs Open Innovation 2.4.1. Proses Inovasi Schumpeter Berbasis Closed Innovation 2.4.2 . Proses Inovasi Berawal pada Akhir dan Berakhir pada Awal 2.5. Kebijakan Publik 2.5.1. Definisi Kebijakan Publik 2.5.2. Proses Kebijakan 2.5.3. Implementasi Kebijakan 2.5.4. Koherensi Kebijakan 2.5.5. Siklus Koherensi Kebijakan 2.5.6. Level Koherensi Kebijakan BAB 3. METODE PENELITIAN 3.1. Paradigma Penelitian 3.2. Jenis Penelitian 3.3. Alasan Menggunakan Pendekatan Soft System Methodology (SSM) 3.4. Tahapan dan Proses Penelitian dalam SSM 3.5. Pengumpulan dan Analisis Data 3.6. Narasumber Penelitian BAB 4. GAMBARAN UMUM KONDISI TIGA LEVEL HIERARKI PROSES KEBIJAKAN DALAM MENDORONG UPGRADING TEKNOLOGI INDUSTRI PESAWAT DI INDONESIA. 4.1. Potret Dukungan Peningkatan Nilai Tambah (Product Upgrading) Sektor Dirgantara pada Level Kebijakan 4.2. Potret Dukungan Peningkatan Nilai Tambah (Product Upgrading) Sektor Dirgantara pada Level Kebijakan Sektor/Organisasi 4.3. Potret Proses Peningkatan Nilai Tambah (Product Upgrading) pesawat terbang N 250 pada Level Operasional-Industri. 4.4. Rich Picture Tiga Level Kebijakan dalam Mendorong Komersialiasi Next N 250 (R-80). BAB 5. ANALISIS BERBASIS LOGIKA TERHADAP DUNIA NYATA DALAM KONSTRUKSI TIGA LEVEL HIERARKI PROSES KEBIJAKAN DALAM MENDORONG UPGRADING TEKNOLOGI 5.1. Root Definition 5.1.1. Root Definition Pengayaan Konsep Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan 5.1.2. Root Definition pada Level Kebijakan- Regulasi terkait Arah Pembangunan Kedirgantaraan Nasional 5.1.3. Root Definition pada Level Organisasi- Sinergi
73 75 75 77 81 81 81 84 87 88 89 91 91 92 97 101 106 107
110 114 124 142 149
150 151 152 152
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
xiv
kelembagaan 5.1.4. Root Definition pada Level Operasional- Peningkatan Strategi Manajemen Bisnis 5.2. Konseptual Model 5.2.1. Model Konseptual Kebijakan Upgrading Teknologi-GVC IPTN Dengan Pengayaan dengan Konsep Tiga Level Hiearki Proses Kebijakan 5.2.2. Model Konseptual Arah Pembangunan Sektor Kedirgantaraan Nasional dalam Dokumen Pembangunan Nasional. 5.2.3. Model Konseptual Sinergi Kelembagaan dalam Mendorong Upgrading Teknologi Pesawat Terbang di GVC IPTN 5.2.4. Model Konseptual Manajemen Bisnis untuk Peningkatan Nilai Tambah Industri Pesawat Terbang dari Product Upgrading.
153
BAB 6. TEMUAN HASIL PENELITIAN 6.1. Perbandingan Model dengan Dunia Nyata (Comparison of Models and Real World). 6.1.1. Level Kebijakan- Arah Pembangunan Sektor Dirgantara 6.1.2. Level Organisasi- Sinergi kelembagaan 6.1.3. Level Operasional- Peningkatan Manajemen Bisnis 6.1.3.1. Analisis Aktivitas Primer Rantai Nilai Pengembangan N 250-IPTN 6.1.3.1.1. Struktur Global Value Chain N 250 6.1.3.1.2 Analisis Operasi dan Logistik Keluar IPTN 6.1.3.1.3 Analisis Aktivitas Pemasaran dan Strategi Pemasaran Pesawat IPTN 6.1.3.2. Analisis Aktivitas Pendukung Rantai Nilai IPTN 6.1.3.2.1. Analisis Manajemen Perusahaan IPTN dalam Pengembangan N 250 6.1.3.2.2 Analisis Pengembangan SDM, Infrastruktur & Keuangan IPTN 6.1.3.2.3 Analisis Pengembangan Teknologi untuk Pengembangan N 250 IPTN 6.1.3.2.4 Analisis Strategi Pengembangan Diferensiasi Pesawat 6.1.4. Perbandingan Konseptual Model Konstruksi Tiga Level Hiarki Proses Kebijakan untuk Mendorong Upgrading Teknologi dengan Temuan Lapangan 6.2. Tindakan Perbaikan (Action to Improve the Problem Situation) 6.2.1. Level Kebijakan- Arah Pembangunan Sektor Dirgantara 6.2.2. Level Organisasi- Sinergi Kelembagaan 6.2.3. Level Operasional- Peningkatan Manajemen Bisnis
163
154 154
154 156
159
161
163 163 182 193 193 193 194 198 207 207 210 215 217
218 219 220 223 227
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
xv
6.2.4. Rekonstruksi Kebijakan Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan supaya Upgrading Teknologi PT DI Dapat Survival dan Berkesinambungan. 6.2.5. Hasil Rekonstruksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam Upgrading Teknologi pada GVC -IPTN
234 238
BAB 7. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 7.1. Kesimpulan 7.2. Saran
241 241 246
DAFTAR PUSTAKA
250
LAMPIRAN-LAMPIRAN
262
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
xvi
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1
Program Penjualan Pesawat Terbang 1975-1997
6
Gambar 1.2
Pertumbuhan Laba/Rugi IPTN Sejak 1976-1993 (dalam Juta
12
Rupiah) Gambar 1.3
Struktur Organisasi IPTN sebelum Krisis
14
Gambar 1.4
Struktur Organisasi PT DI setelah Restrukturisasi
15
Gambar 1.5
Pertumbuhan Pasar Transportasi Udara Domestik 2000-2012
18
Gambar 1.6
Permintaan Pasar Internasional untuk Pesawat Sekelas N 250
19
Gambar 1.7
Industri Kedirgantaraan dan Keterkaitannya
20
Gambar 1.8
Kebutuhan Transportasi Udara dari Perspektif Kemaritiman
21
Gambar 1.9
Bagan Teori Kajian Tigal Level Hierarki Proses Kebijakan dalam Upgrading Teknologi pada Global Value Chain tipologi
Gambar 2.1
Hierarki IPTN
25
Peta Penelitian Sejenis (1991-2013) dan Kontribusi Penelitian
50
Tesis Ini. Gambar 2.2
Pengkoordinasian dalam Lima Tipologi Industrial Governance
54
Gambar 2.3
Global Value Chain di dalam Tipologi Market
56
Gambar 2.4
Global Value Chain di dalam Tipologi Modular
57
Gambar 2.5
Global Value Chain di dalam Tipologi Relational
58
Gambar 2.6
Global Value Chain di dalam Tipologi Captive
59
Gambar 2.7
Global Value Chain di dalam Tipologi Hierarchy
60
Gambar 2.8
The added Value Chain
65
Gambar 2.9
Model Basic Value Chain
66
Gambar 2.10
Model Open Innovation
70
Gambar 2.11
Tiga Proses Inti dalam Open Innovation
71
Gambar 2.12
De-coupling the Locus of Innovation Process
71
Gambar 2.13
Model Closed Innovation
72
Gambar 2.14
Model Triple Helix I
73
Gambar 2.15
Model Triple Helix II
74
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
xvii
Gambar 2.16
Model Triple Helix III
75
Gambar 2.17
Proses Inovasi
76
Gambar 2.18
Proses Inovasi Berawal pada Akhir dan Berakhir pada Awal
80
Gambar 2.19
Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan
84
Gambar 2.20
Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan
85
Gambar 2.21
Siklus Koherensi Kebijakan
89
Gambar 3.1
Reporting the SSM-based-AR
94
Gambar 3.2
Siklus Research Interest dalam Penelitian Tindakan
96
Gambar 3.3
Siklus Problem Solving interest dalam Penelitian Tindakan
97
Gambar 3.4
Kerangka Penelitian Tindakan Menurut McKay dan Marshall
100
Gambar 3.5
Model Penelitian Tindakan yang Digunakan
101
Gambar 3.6
Tahapan dalam SSM
102
Gambar 4.1
Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam Upgrading Pesawat
Gambar 4.2
Terbang PT DI dari Era Orde Baru – Era Saat ini
113
Dukungan Politik Terhadap Pembangunan Sektor
117
Kedirgantaraan Gambar 4.3
Organisasi Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS)
128
Gambar 4.4
Mekanisme Koordinasi Kelembagaan di sektor Kedirgantaraan
129
Pada Zaman Orde baru. Gambar 4.5
Ilustrasi Sistem Pembiayaan Riset Saat Ini
141
Gambar 4.6
Master Plan Regio Prop (R-80)
146
Gambar 4.7
Rich Picture Tigal Level Kebijakan dalam Mendorong Upgrading N 250
Gambar 5.1
Model
Konseptual
149 Sistem
Aktivitas
Manusia
Untuk
Mengkonstruksi Konsep Kebijakan Upgrading Teknologi-GVC IPTN dengan Pengayaan Konsep Tiga Level Hierarki Proses
156
Kebijakan Gambar 5.2
Model Konseptual Sistem Aktivitas Manusia untuk Memasukkan Arah Pembangunan Iptek Sektor Kedirgantaraan Nasional dalam
158
Dokumen Pembangunan Nasional
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
xviii
Gambar 5.3
Model Konseptual Sistem Aktivitas Manusia Untuk Membangun Sinergi Kelembagaan dalam Mendorong Upgrading Teknologi
160
Pesawat Terbang di GVC IPTN Gambar 5.4
Model Konseptual Sistem Aktivitas Manusia untuk Memperkuat
161
Manajemen Bisnis untuk Peningkatan Nilai Tambah Industri Pesawat Terbang. Gambar 6.1
Arah Pembangunan dalam RPJPN
163
Gambar 6.2
Alur Perencanaan dan Penganggaran
168
Gambar 6.3
Bangun Industri Nasional 2025
173
Gambar 6.4
Proses Teknoratik dan Proses Politik dalam Penyusunan RPJPN
174
Gambar 6.5
Kerangka Kerja Legal-Formal dan Lingkungan Strategis
176
Rujukan dalam penyusunan Agenda Riset Nasional Gambar 6.6
Sasaran Bidang IPTEK REPELITA VI GHBN 1993
178
Gambar 6.7
Lembaga Pendanaan Inovasi-FINEP Brasil
186
Gambar 6.8
Tingkat Eksport dan Penjualan Pesawat serta SDM Embraer
213
1970-2007 Gambar 6.9
Belanja dan Intensitas Litbang Embraer, 1983-2007
214
Gambar 6.10
Jumlah Paten Granted dalam Bidang Aerospace
215
Gambar 6.11
Proses Technoratik Isu Kemandirian Teknologi Kedirgantaraan
221
dalam Penyusunan RPJP Nasional. Gambar 6.12
Proses Integrasi Rencana Kebijakan Iptek dengan Perencanaan
222
Pembangunan dan Penganggaran Nasional. Gambar 6.13
Sinergi Kelembagaan dalam Mendorong Upgrading Teknologi
224
Kedirgantaraan. Gambar 6.14
Sinergi Antar Lembaga Pendanaan untuk Pengembangan
225
Mendorong Teknologi Kedirgantaraan Gambar 6.15
Proses Pengajuan Program Afirmasi Nasional-Upgrading
226
Pesawat Terbang N 250/R-80 Gambar 6.16
Lembaga Pendanaan Inovasi
227
Gambar 6.17
Model Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan Upgrading
232
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
xix
Teknologi di Industri Pesawat Terbang Embraer Gambar 6.18
Model Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan untuk Mendorong
237
Upgrading Teknologi PT DI Sehingga Surive dan Berkelanjutan Gambar 6.19
Hasil Rekonstruksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam
239
Mendorong Upgrading Teknologi pada Global Value Chain Tipologi Hierarki
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
xx
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1
Penjualan CN 235 sampai Akhir Tahun 2012
3
Tabel 1.2
Keunggulan CN 235 Dibandingkan dengan Para Pesaingnya
4
Tabel 1.3
Aspek-aspek yang Menyebabkan Gagal dan Berhasilnya Industri Pesawat Terbang dari Berbagai Negara
13
Tabel 1.4
Kondisi Keuangan PT DI
16
Tabel 1.5
Penjualan CN 235 sampai Akhir Tahun 2012
17
Tabel 2.1
Empat Struktur GVC
53
Tabel 2.2
Determinan Utama dari Pengaturan/Koordinasi GVC
60
Tabel 2.3
Proses Kebijakan Publik
82
Tabel 3.1
Perbandingan antara Positivism dan SSM-based AR
93
Tabel 3.2
Elemen Penelitian
100
Tabel 3.3
Aktor-aktor yang Mewakili Peran dalam Penelitian
102
Tabel 3.4
Analisis One, Two, dan Three pada Tahap ke-2
104
Tabel 3.5
Deskripsi CATWOE
105
Tabel 3.6
Kriteria Tranformasi
105
Tabel 3.7
Deskripsi Ringkas Tujuh Langkah SSM dan Teknik Kualitatif
106
yang Digunakan Tabel 3.8
Narasumber Penelitian
108
Tabel 4.1
Dukungan Pembangunan Sektor Kedirgantaraan pada Level
119
Kebijakan Tabel 4.2
Arah Pembangunan IPTEK dalam Dokumen Perencanaan
122
Nasional Tabel 4.3
Punas 1993-1998 yang Tergolong Lima Besar
126
Tabel 4.4
Lima Tema Utama dalam Bidang Rancang Bangun
126
Tabel 4.5
Kebijakan Sektor Iptek vs Kebijakan Sektor Industri
132
Tabel 4.6
Upgrading Teknologi Pesawat Terbang PT DI dalam Empat
143
Strategi Industri
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
xxi
Tabel 4.7
Kelebihan R-80 Dibandingkan ATR maupun Dash
147
Tabel 5.1
Root Definition Penelitian
151
Tabel 5.2
CATWOE dan 3E dalam Root Definition 1
152
Tabel 5.3
CATWOE dan 3E dalam Root Definition 2
153
Tabel 5.4
CATWOE dan 3E dalam Root Definition 3
153
Tabel 5.5
CATWOE dan 3E dalam Root Definition 4
154
Tabel 6.1
Isu Strategis Pembangunan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 2013
165
Tabel 6.2
Arah Pembangunan Iptek 2015-2019 KEMENRISTEK vs
167
BAPPENAS Tabel 6.3
Riset Unggulan Agenda Riset Nasional 2015-2019
170
Tabel 6.4
Perbandingan Arah Pembangunan Iptek Kedirgantaraan Indonesia-
181
Brazil pada Level Kebijakan Tabel 6.5
Peningkatan Fasilitas Uji Pesawat Terbang di Lembaga Penelitian
184
Tabel 6.6
Perbandingan Dukungan pada Level Sinergi Organisasi dalam
189
Pembangunan Iptek Sektor Dirgantara antara IPTN IndonesiaEmbraer Brasil Tabel 6.7
Tahapan Upgrading N 250 IPTN dengan EMB 120 Embraer
196
Tabel 6.8
Jumlah Penjualan Pesawat IPTN vs Embraer
202
Tabel 6.9
Perbandingan IPTN Indonesia vs Embraer Brasil
204
Tabel 6.10
Perbandingan SDM, Keuangan dan Produktivitas IPTN vs
212
Embraer
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
xxii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Ringkasan Hasil Riset Terdahulu
262
Lampiran 2
Perbandingan Antar Konseptual Model dengan Dunia Nyata dan
280
Refleksi dengan Teori-Level Kebijakan Lampiran 3
Perbandingan Antar Konseptual Model dengan Dunia Nyata dan Refleksi dengan Teori
284
Lampiran 4
Perbandingan Antar Konseptual Model dengan Dunia Nyata dan
287
Refleksi dengan Teori (Level Operasional). Lampiran 5
Perbandingan Antar Konseptual Model dengan Dunia Nyata dan
290
Refleksi dengan Teori-RD1 Lampiran 6
Notulensi FGD I Program Pengembangan Regioprop R80
293
Lampiran 7
Notulensi FGD II Program Pengembangan Regioprop R80
296
Lampiran 8
Notulensi FGD III/Diskusi Lanjutan Program Pengembangan
300
Iptek Bidang Kedirgantaraan Lampiran 9
Analisis Data Hasil Wawancara Konstruksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam Upgrading Teknologi Pesawat Terbang
305
di GVC Modular Lampiran 10
Analisis Data Hasil FGD/Diskusi Konstruksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam Upgrading Teknologi Pesawat Terbang
318
di GVC Modular Lampiran 11
Foto-foto FGD
332
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Permasalahan Secara historis, dukungan kebijakan dalam rangka penguasaan teknologi sektor kedirgantaraan sudah dilakukan sejak awal kemerdekaan Indonesia. Mulai dengan dibentuknya Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (LAPIP) di 1960; dibentuknya
Komando
Pelaksana
Industri
Pesawat
Terbang-Komersial
(KOPELAPIP) ditahun 1965, dibentuknya Lembaga Industri Pesawat Terbang Nurtanio (LIPNUR) sebagai pengganti LAPIP di tahun 1966. Akhirnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah No.12, tanggal 15 April 1975, LIPNUR yang kemudian dibentuk dengan nama Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) tersebut kemudian diresmikan oleh Presiden Suharto pada 23 Agustus 1976.1 Empat tujuan dari berdirinya IPTN adalah: pertama, menumbuhkan kekuatan bangsa di bidang kedirgantaraan untuk menunjang ketahanan dan keamanan nasional. Kedua, menguasai teknologi kedirgantaraan beserta pengembangan untuk mengurangi ketergantungan dari luar. Ketiga, menjadi salah satu perusahaan pendorong pertumbuhan industri nasional. Keempat mandiri secara bisnis serta mampu bersaing di pasar internasional.2 Dalam tahapan upgrading pesawat terbang, IPTN mengadopsi empat tahap upgrading atau yang dikenal dengan berawal diakhir dan berakhir diawal, tahapan tersebut terdiri dari: 1) technology transfer phase; 2) technology integration phase; 3) technology development phase; dan 4) large-scale basic research phase.3 Pemilihan strategi tersebut dilatarbelakangi dengan beberapa alasan, pertama: terbatasnya dana, fasilitas dan tenaga dan untuk menjaga momentum dalam mengejar ketertinggalan dengan negara maju, sehingga untuk sementara belum dapat dilakukan investasi dalam topik ilmu pengetahuan yang 1
Lili Irahali, Agustus 2001. Dirgantara Indonesia dalam Perspektif Sejarah. 25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru.hal.15. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab. 2 Rhenald Kasali, Agustus 2001. Dirgantara Berfikir Secara Bisnis. 25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru. h.124. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab 3 Harijono Djojodihardjo, 2000. Visi, Strategi, Kebijakan, dan Pelaksanaan Iptek, Editor: Darwin Sebayang
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
2
sifatnya mendasar karena dapat diperoleh dari dari pusat-pusat ilmu pengetahuan dunia.4 Fase pertama dari strategi tersebut adalah fase pengenalan dan penguasaan teknologi dalam memproduksi jenis pesawat terbang yang sudah di pasaran. Beberapa capaian dalam fase ini adalah: Pesawat NC 212 lisensed dari CASA Spanyol. Beberapa jenis Helikopter seperti: NAS-332/NSA-330, NB0-105, dan N-Bell-412. Dari jenis Rocket Weapon System seperti: SUT Torpedo dan FFAR. Dari jenis komponen pesawat, IPTN telah menjadi supplier untuk komponen pesawat Boeing B-767, B-737, F-100, dan F-16. 5 Di fase kedua yang juga masih eksist hingga saat ini adalah yaitu selain kemampuan integrasi juga penguasaan pada technology design, dan capaian pada fase ini adalah pengembangan CN 235 yang dilakukan melalui kerjasama dengan CASA Spanyol. Selanjutnya pada fase ketiga yaitu technology development phase, pada tahap ini, kemampuan produksi dan desain sudah meningkat. Penguasaan teknologi pada fase ini dilakukan dengan memanfaatkan hasil penelitian dari pusat – pusat penelitian di Eropa dan Amerika Utara dalam bidang ilmu dirgantara, ilmu aerodinamik, ilmu aeroelastik, ilmu konstruksi ringan, ilmu rekayasa, ilmu propulsi, ilmu elektronik, ilmu avionik, ilmu produksi, ilmu pengendalian mutu (quality control) dsb.6 Capaian pada pada fase ketiga adalah dua seri N 250 yaitu Seri Gatot Kaca dengan kapasitas 50 Penumpang dan Seri Krincing Wesi dengan kapasitas 70 Penumpang. Pesawat N 250 merupakan murni buatan IPTN tanpa melibatkan CASA-Spanyol. Dan tahap terakhir dari transformasi industri adalah riset dasar secara besar-besaran, dan target produk pesawat pada fase ini rencananya adalah N 2130 (Tabel 1.2). Dari sisi penjualan produk IPTN, selain pesawat terbang, sebagai hasil dari tahap pertama, IPTN juga memproduksi dan menjual beberapa jenis Helikopter seperti Helikopter NBO-105, Helikopter Jenis Puma dan Super Puma sebagai produksi lisensi dari Aerospatiale Perancis dan kemudian Bell-412 dari Amerika 4
BJ Habibie 1995. Iptek dan Pembangunan Bangsa. cop.cit. h.167 B J Habibie, 1994., Progress Report 1974-1994. op.cit.h.68-73 ; Untuk komponen F-16, IPTN dengan mekanisme kebijakan off set, menjadi supplier untuk bagian sirip 200 Pesawat F-16, lihat lampiran wawancara Habibie oleh Peter F Gontha pada lampiran 9, loc.cit, no. 21.3 6 Presidential - Innovation Lecture Bacharudin Jusuf Habibie Pada Acara HARI KEBANGKITAN TEKNOLOGI NASIONAL 2012 Bandung, 10 Agustus 2012. Reaktualisasi Peran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam membangun Kemandirian Bangsa. h.2 5
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
3
Serikat.7 Selanjutnya memasuki tahap II yaitu Technology integration phase dimulai sejak tahun 1980, walaupun masih berpatungan dengan pihak CASA Spanyol, di tahun 1983, sejak 1987-1993, IPTN telah berhasil merancang dan memproduksi pesawat CN 235. Sejak tahun 1987 sampai tahun 1993, Produk CN 235 telah diproduksi dan dijual sejumlah 95 unit, baik untuk pasar dalam negeri maupun luar negeri.8 Di dalam Tabel 1.1 dijelaskan bahwa sejak 1992-1993, pesawat CN 235 telah dipesan oleh beberapa negara, yaitu Brunei, Malaysia, Korea Selatan, UE, dan Thailand.9 Tabel 1.1 Penjualan CN 235 1992-1997 No
1 2 3 4 5
Negara Pembeli Brunei Malaysia
Jumlah Order 1 6 Korea Selatan 8 United Emirate Arab 7 Thailand 2
Pesawat CN-235 CN-235 CN-235 CN-235 CN-235
Tahun Tahun Order Kirim 1995 1997 1995 1999 1997 2001-2002 1992 1993-1995 1996 1996
Sumber: diolah dari http://analisismiliter.com
Dari sisi produk, sejatinya pesawat CN 235 sangat handal, hal ini terbukti hingga saat ini, baik di Spanyol maupun di Indonesia, belum ada pesawat CN-235 yang terjatuh10. Dari aspek pasar, pesawat CN 235 yang digunakan untuk misi militer versi MPA (Maritime Patrol Aircraft) dan misi khusus11 telah digunakan oleh lebih dari 22 negara, selain ketujuh negara yang telah disebutkan diatas, negara-negara lainnya diantaranya adalah Turki, Yordania, Maroko, Perancis, bahkan Amerika Serikat,12bahkan Korsel, Malaysia, dan Pakistan menggunakan CN 235 untuk pesawat kepresidenan.13
7
Vertesy, D. and Szirmai, A. (2010). Interrupted Innovation: Innovation System Dynamics in Latecomer Aerospace Industries. Globelics. IDRC Innovation.h.71; B J Habibie, 1994, op.cit, h.69-70; Vertesy, D. and Szirmai, A. (2010). Interrupted Innovation: Innovation System Dynamics in Latecomer Aerospace Industries. Globelics. IDRC Innovation.h.71 8 Vertesy, D. and Szirmai, A. (2010). loc.cit. 71; B J Habibie, 1994, op.cit. h. 81; 9 http://analisismiliter.com; Vertesy, D. and Szirmai, A. (2010). loc.cit. 71 10 http://www. vivanews.com 11 Lihat kembali Tabel 1.4 Penjualan CN 235 1992-1997 dan Tabel 1.7 Penjualan CN 235 sampai akhir tahun 2012, pada bab ini 12 http://pengetahuanpintars.blogspot.com/2012/02/7-pesawat-indonesiatempurkomersial-di.html#ixzz2uUG7tJjx, Diakses tanggal 27/02/2014 13 Hasil wawancara dengan Bagian Pengadaan PT RAI, Budi Wibowo di kantor PT RAI Kuningan Jakarta, dari jam 7.30-8.30 Hari Senin, tanggal 9 Juni 2014, lihat lampiran 9. no.13.2
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
4
Testimoni keberhasilan IPTN khususnya kemampuan desain dan produksi pesawat terbang telah diungkapkan oleh Daniel Vertesy dan Adam Szirmai14 (2010) dengan merujuk pada keberhasilan CN 235. Testimoni tersebut tidak berlebihan jika melihat pangsa pasar pesawat CN 235, pada tahun 1990 pasar pesawat CN 235 telah merebut sekitar 5% pasar untuk kelas pesawat dengan kapasitas 20-45 penumpang. Tentang itu, Daniel Vertesy dan Adam Szirmai15 mengungkapkan: “Analysts considered the realization of the CN-235 venture as a success for the newly emerging industry of Indonesia”. Menurut Daniel Vertesy dan Adam Szirmai, pesawat CN 235 telah memenuhi sejumlah standar industri, tentang hal ini, Daniel Vertesy and Adam Szirmai16 mengatakan bahwa: “In comparison with similar aircraft, the technological level of the CN-235 in many ways met industry standards.” Bahkan, dibandingkan dengan pesawat pesaingnya seperti ATR-42, Dash 8-100, SF-340 dan EMB-120, CN 235 masih lebih efisien (Tabel 1.2).
Tabel 1.2 Keunggulan CN 235 dibandingkan dengan Para Pesaingnya
Note: a) at long-range performance Sumber: Regional Airliner Directory, Flight International 10-16 June 1992; producers di dalam Daniel Vertesy and Adam Szirmai (2010). h. 71
Kehandalan CN 235 versi militer dan atau untuk misi khusus, ternyata tidak sepenuhnya berlaku untuk versi sipil, pesawat CN-235 versi penerbangan 14
Vertesy, D. and Szirmai, A. (2010). loc.cit..h.82 Ibid.h.71 16 Ibid.h.82 15
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
5
rutin komersial dianggap kurang ekonomis, hal ini disebabkan karena direct operational costnya tinggi dan menyebabkan harga pesawat menjadi mahal.17 Kekurangan pada CN 235 terutama untuk penerbangan rutin komersial, merupakan diantara misi lahirnya program N-250. Pesawat N 250 merupakan hasil dari akumulasi kemampuan yang diperoleh dalam pengembangan NC 212 dan CN 235, namun sayang pengembangan N 250 dan N 2130 tidak berhasil karena belum sampai pada tahap komersialisasi (Gambar 1.1). Padahal, sampai dengan tahun 1998, sejatinya pesawat N 250 yang telah menghabiskan anggaran lebih dari 650 juta dolar Amerika18 sudah terbang 800 jam atau sekitar 4 tahun lebih, artinya hanya butuh sekitar 700 jam lagi untuk mendapatkan Sertifikat Kelayakan Terbang (Certificate of Airworthiness), baik dari Federal Aviation Administration –FAA (Amerika) maupun Joint Aviation Authorities- JAA yang dikeluarkan oleh negara-negara Eropa.19 Untuk mendapatkan sertifikasi tersebut, masih dibutuhkan dana sekitir USD 150-200 juta.20
17
Hasil wawancara dengan bagian Pengadaan PT RAI, Budi Wibowo di PT RAI Kuningan Jakarta, dari jam 7.30-8.30 Hari Senin, tanggal 9 Juni 2014, lihat lampiran 9. no.13.2 18 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). High Technology In Developing Countries:Analysis Of Technology Strategy, Technology Transfer, And Success Factors In The Aircraft Industry.h.6 19 Hasil wawancara dengan Direktur Teknologi dan Pengembangan PT DI, Andi Alisyahbana, 26 Juni 2014. lihat lampiran 9. no.12.2; Presidential - Innovation Lecture Bacharudin Jusuf Habibie Pada Acara HARI KEBANGKITAN TEKNOLOGI NASIONAL 2012 Bandung, 10 Agustus 2012.h.5; Yuwono, Agustus 2001. loc.cit. h.42. Wawancara dengan Marketing Representative, Gustaferi PT RAI, 12 Agustus 2014, lihat lihat lampiran 9. no.25.4 20 A. Makmur Maka (2013). Total Habibie, Kecil Tapi Otak Semua: Momentum Telah Berlalu: Konsipirasi Melawan N 250. h.420; A, Makmur Maka (2012). Biografi Bacharudin Jusuf Habibie: Dari Ilmuan ke Negarawan sampai “Minandito”. B.J Habibie dan N 250.h.139
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
6
Gambar 1.1 Program Penjualan Pesawat Terbang 1975-1997 Sumber: Daniel Vertesy and Adam Szirmai ( 2010), h.70
Pesawat N 250 yang telah melakukan uji terbang perdana (maiden flight) pada 10 Agustus 1995 memiliki dua misi yaitu misi bisnis dan misi nasionalisme. Misi bisnis, pengembangan N 250 dirancang untuk bisnis dan wisata, harapan pada saat itu adalah setelah penumpang turun dari pesawat sejenis Boeing dan Airbus, dan ketika penumpang ingin melanjutkan perjalanan antar propinsi, maka pesawat N 250 masih menyediakan kenyamaan dan tingkat keamanan yang relatif tidak kalah dengan dua jenis pesawat sebelumnya.21 Dalam rangka itu, dalam pengembangan N 250 menyediakan beberapa fitur unggul, pertama, dari sisi keamanan dan efisiensi yaitu dengan teknologi fly by wire22, pada saat itu baru tiga jenis pesawat yang telah menggunakan teknologi fly by wire yaitu A-300 hasil rekayasa dan produksi Airbus Industri (Eropa); N-250 hasil rekayasa dan produksi industri Pesawat Terbang Nusantara IPTN, selanjutnya BOEING 777 hasil rekayasa dan produksi BOEING (USA). N250 adalah pesawat turboprop dengan kecepatan tinggi dalam daerah “subsonik”, sedangkan pesawat Jet AIRBUS A300 yang pertama kali menggunakan fly by wire terbang dalam daerah “transsonik”
21 22
Wawancara dengan Sudira, Bagian HKI PT DI, lihat lampiran Lampiran 9. no.32 Vertesy, D. and Szirmai, A. (2010). loc.cit..h.73
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
7
sebagaimana kemudian juga Boeing 777.23. Sementara itu, pesawat EmbraerBrazil, baru menggunakan Teknologi fly by Fire di 2002 ketika memproduksi pesawat E-170/190 yang setipe dengan N 2130.24 Saat ini, kebutuhan teknologi fly by wire merupakan salah satu standar keselamatan yang sangat dibutuhkan bagi pesawat terbang, dengan beberapa alasan: pertama, pada tahun 1991 dan 1994, Boeing 737 pernah jatuh di Colorado Springs dan di Pittsburg disebabkan kerusakan pada sistem hidrolik rudder karena tidak menggunakan teknologi fly by wire.25Kedua, jatuhnya pesawat ATR di Amerika Serikat di tahun 1994 yang disebabkan karena kerusakan sistem keseimbangan pesawat26. Ketiga, jatuhnya pesawat tanpa sertifikasi, baik FAA maupun Easa yaitu MA-60 buatan Xian Aircraf Industry Corporation, Tiongkok. Pesawat yang di operasikan oleh Merpati Airline tersebut jatuh di Kaimana. Pesawat MA terjatuh karena perbedaan torsi mesin sehingga membuat pesawat miring sampai 38 derajat dan kehilangan gaya angkat dan terjatuh. Keempat adalah pada kasus kecelakaan Pesawat Sukhoi Super Jet 100 (SSJ-100) yang menabrak gunung Salak. Sejatinya, Pesawat Sukhoi Super Jet 100 (SSJ-100) telah dilengkapi dengan TAWS, sebuah sistem yang akan memperingatkan pilot jika pesawat akan menabrak gunung. Sistem TAWS sudah memberikan peringatan kepada pilot SSJ-100 untuk menaikkan ketinggian pesawat. Peringatan ini biasanya berbunyi sekitar 120 detik sebelum pesawat benar-benar menabrak gunung. Meski berjarak 120 detik, pilot SSJ-100 hanya punya waktu 24 detik untuk segera menaikkan pesawat. Sayangnya, sang pilot SSJ-100 mengabaikan peringatan tersebut dan menganggap kesalahan database TAWS. Dengan waktu yang sedemikian sempit, akan berat bagi pilot untuk mengatur semua instrumen pesawat sekaligus. Dengan fly-by-wire, pilot tinggal
23
Presidential - Innovation Lecture Bacharudin Jusuf Habibie Pada Acara Hari Kebangkitan Teknologi Nasional 2012 Bandung, 10 Agustus 2012. loc.cit. h.2 24 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_E-Jets. 25 http://teknologi.kompasiana.com/terapan/2013/03/09/n-250-ungguli-boeing-737-belajardari-ntsb-540395.html. 26 John MacDougall, 1995 yang dimuat kembali didalam Media Indonesia Minggu, Edisi 13 Agustus 1995 dengan judul Membawa Gatotkoco ke Pasar, http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/08/14/0016.html, diakses tanggal 19-10-2014
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
8
menggerakkan tuas untuk menaikkan pesawat, sistem fly by wire akan mengatur torsi mesin dan membantu menjaga kestabilan pesawat.27 Keunggulan kedua, adalah dari sisi penggunaan teknologi mutakhir, pesawat N 250 menggunakan teknologi yang paling mutakhir pada waktu itu, sedangkan produk pesaingnya seperti Fokker-50 menggunakan teknologi 1950an, ATP
memakai
teknologi
1960an
dan
ATR
memakai
teknologi
1970an.28Keuntungan penggunaan teknologi yang paling mutakhir, selain faktor kenyamanan juga akan menyebabkan operational cost/maintenance cost pesawat jauh lebih rendah dengan penggunakan teknologi yang telah lama.29 Kelebihan teknologi N-250 dibandingkan saingan sekelasnya (seperti ATR-42, ATP, dan Fokker-50) ternyata diakui berbagai kalangan independen. Salah satunya adalah seorang pakar di Boeing30, pakar tersebut mengatakan: ''N-250 adalah produk yang bagus,'' ... ''Persoalannya sekarang apakah IPTN mampu memasarkannya,'' Testimoni atas kemampuan desain dan produksi pesawat IPTN baik CN 235 maupun N 250 juga diakui oleh kalangan peneliti yang menganalisis kegagalan IPTN, salah satunya adalah David McKendrick 199231, di sela-sela kritiknya atas ketidaktersediaan dukungan kebijakan dan aspek manajemen industri terkait kegagalan IPTN, David McKendrik juga mengatakan: “Despite the accumulation of considerable engineering and production capabilities, technical competencies has not been sufficient for commercial success. An important reason for the asymmetry between technical accomplishment and performenced is underdeveloped managerial capacity. This case raises question about the viability of policy intended to promote technology “catch up” in complex industries” 27
http://teknologi.kompasiana.com/terapan/2013/03/09/n-250-ungguli-boeing-737belajar-dari-ntsb-540395.html 28 Hasil wawancara dengan Habibie yang dilakukan oleh surat kabar Media Indonesia dan dimuat pada Minggu, Edisi 13 Agustus 1995. http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/08/14/0016.html, di akses pada 19 Oktober 2014 29 Wawancara antara Habibie dengan Peter F Gonta, 8 Januari 2012. http://www.youtube.com/watch?v=I7qX8Uk8nAg, lihat lampiran 9. no.32 30 John MacDougall, 1995 yang dimuat kembali didalam Media Indonesia Minggu, Edisi 13 Agustus 1995 dengan judul Membawa Gatotkoco ke Pasar, http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/08/14/0016.html, diakses tanggal 19-10-2014 31 David McKendrick, 1992. Obstacle to “catch- up”: The case of the Indonesian Aircraft Industry.h.39.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
9
Testimoni keunggulan N 250 juga dibuktikan dengan beberapa komitmen kerjasama dengan sejumlah kalangan bisnis manca negara untuk manufacturing dan pemasaran N 250. Pertama, tercapainya kesepakatan dengan local government of mobile Alabama dengan Investor dari US untuk memproduksi N-250 di US dengan
mendirikan
PT
‘American
Regional Aircraft
Industry’.32Kedua,
pembangunan assembling line dari N 250 di Stuttgart-Jerman.33 Ketiga, British Aerospace UK juga telah berminat untuk menjadi salah satu perusahaan yang memproduksi pesawat N 250 dibawah lisensi IPTN.34 Misi kedua pengembangan N 250 adalah nasionalisme, terlepas dari segala keunggulan tersebut, pengembangan N 250 tidak bisa dilihat dari perspektif ekonomi semata, karena didalamnya terkandung nasionalisme dan wujud nyata untuk menunjukkan kepada dunia eksistensi bangsa Indonesia, terutama dalam penguasaan teknologi mutakhir di bidang yang sangat bergengsi dan disaat bangsa Indonesia berusaha menuju era tinggal landas dan mengejar ketertinggalan dengan negara-negara maju pada saat itu.35 Beberapa aspek yang dapat membantu untuk menganalisis kegagalan upgrading pengembangan pesawat terbang N 250/ N 2130, yaitu: pertama, aspek politik. Momentum awal penyebab kegagalan IPTN adalah terjadi pada 15 Januari 1998. Melalui letter of intent (LoI) atau nota kesepahaman antara Lembaga Pendanaan Internasional (IMF) yang diwakili Mr. Michel Camdessu sebagai Direktur Pelaksana IMF dengan pihak Indonesia yang diwakili Presiden Soeharto. Dalam nota kesepemahaman tersebut dinyatakan bahwa “anggaran yang bersumber dari Angaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun non APBN yang dipergunakan untuk program IPTN
32
Vertesy, D. and Szirmai, A. (2010). loc.cit. h.73-74; Sulfikar Amir, 2007. Nationalist rhetoric and technological development Indonesian aircraft industry in the New Order regime. h.288. 33 Wawancara antara Habibie dengan Najwa Shihab di Mata Anajwa, 5 Februari 2014, Metro Tv, lihat lampiran 9. no.32. 34 Vertesy, D. and Szirmai, A. (2010). loc.cit. h.73-74 35 Sulfikar Amir, 2007. loc.cit. h.284; Hendarmin Djarab. (2001). N 250 dan Kebanggaan Bangsa. 25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru.hal.137. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
10
dihentikan.36 Pemberhentian tersebut kemudian diperkuat dengan diterbitkannya Inpres 2 Tahun 1998 tentang Penghentian Bantuan Keuangan kepada IPTN.37 Kedua, menurut Bisry dan Hidayat (1998), kegagalan N 250 juga disebabkan tidak adanya koherensi antara arah kebijakan pembangunan sektor iptek dengan pembangunan sektor industri. Hal ini juga dibuktikan dengan perbedaan strategi pembangunan industri yang diusung antara Menteri Ristek dengan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Memperindag). Kebijakan sektor industri lebih mengadopsi Pembangunan resourced-based industries sedangkan kebijakan sektor iptek lebih mengedepankan pada penguasaan teknologi yang memiliki nilai tambah tertinggi.38 Senada dengan Bisry dan Hidayat, Thee (2005)39 juga menyatakan bahwa pada tahun 1990an sampai sebelum krisis ekonomi 1997/1998, pemerintah melaksanakan dua track strategi industri, satu diarahkan untuk kebijakan mendorong industri secara luas berbasis sumber daya domestik dan satu diarahkan untuk mendukung kebijakan berbasis high tech yang memiliki nilai tambah terbesar yaitu industri pesawat terbang-IPTN. Sebagaimana halnya Bishry dan Hidayat (1998) dan Thee (2005), Djoko (2000)40 menyatakan bahwa kegagalan IPTN adalah juga disebabkan sinergi horisontal antar pemerintah, kalangan industri (dalam hal ini industri dirgantara),
36
Aboeng Koesman, Agustus 2001. Harapan dan Tantangan. 25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru. h.56. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab 37 Paparan DJKN Kemenkeu di FGD yang diadakan Kemenkeu pada Oktober 2014. Tentang Pembahasan Awal Wacana Peruntukkan Aset Hasil Program N 250. 38 Rony M. Bisry dan Murman Hidayat, 1998. The Role of BPPT In Indonesia’s Technology Development.h.174. 39 Kian Wie Thee, 2005a. Policies Affecting Indonesia’s Industrial Technology Development, h.7 40 Habibie mengatakan: "Yang kita inginkan adalah fair play. Kalau yang lain dengan produk unggulannya tidak usah bayar tunai, ya kita minta yang sama. Jadi yang ditandingkan itu teknologi dan hasil produksi. Kalau kredit ekspor kan bukan hasil produksi dan teknologi. Itu policy," dikutip dari: Kompas, Selasa, 21 Februari 1995 yang dikutip oleh:
[email protected], Rabu, 22 Februari 1995, diakses pada tanggal 22 Agustus 2014 pada jam 15.00 wib. Pada kesempata lain, Habibie mengatakan: Kepada Arab Saudi, kami telah berhasil menjual CN-235 sebanyak tujuh pesawat seharga US$ 120 juta. Kami sekarang akan jual empat lagi pesawat seharga US$ 150 juta. Mereka berkata, akan menyediakan kredit ekspornya. Jadi keuntungan dari biaya tambah masuk kantong mereka. Mereka mempelajari bahwa IPTN butuh kredit ekspor untuk menjual produk-produknya. Mereka mengajak saya mendirikan perusahaan joint venture untuk mengatasi kredit ekspor ini. (pemikiran) Orang sini belum nyampe, di Arab sudah nyampe (Wawancara GATRA dengan Habibie, dikutip dari: https://id-id.facebook.com/pages/GerakanTerbangkan-N250-Teruskan- N2130/214383261923875?v=info. Tentang masalah kredit ekspor tersebut dapat juga dilihat didalam: Habibie, 1995. op.cit. h.289-291
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
11
pengguna, dan penyandang dana belum berjalan dengan baik.41 Salah satu contoh adalah dalam hal sertifikasi, proses sertifikasi N 250 sedikit terhambat disebabkan FAA-Amerika belum mengakui kredibilitas badan otoritas kelaikan udara nasional yaitu Directorate General of Civil Aviation (DGAC) terutama dalam melakukan uji kelaikan penerbangan pesawat sekelas N 250.42 Presiden BJ Habibie sendiri juga menyatakan bahwa kegagalan Industri strategis termasuk untuk IPTN waktu itu juga disebabkan karena tidak tersedianya insentif fiskal khususnya kebijakan kredit ekspor untuk pengadaan pesawat terbang. Walaupun sampai pada bulan oktober tahun 1995, Departemen Keuangan, Bank Indonesia, dan BPIS pernah merancang pembentukan sebuah perusahaan leasing yang tidak hanya untuk penjualan dan ekspor pesawat tapi juga seluruh produk BUMNIS seperti Palindo Jaya atau Agro Bromo. Namun demikian, sejak berakhirnya era orde baru hingga saat ini, rencana tersebut tidak kunjung terealisasi.43 Aspek ketiga adalah terkait manajemen, David McKendrick, 1992 menyatakan bahwa selain lemahnya infrastruktur Iptek, kegagalan IPTN juga disebabkan oleh kelemahan manajemen.44 Kelemahan manajemen dapat di lihat dari beberapa aspek, pertama adalah laba/rugi IPTN, sejak 1976-1994, pertumbuhan laba/rugi perusahaan sangat rendah, bahkan di tahun dimulainya program N 250 yaitu di tahun 1986/1987, pertumbuhan laba ruginya negatif, di tahun 1986 Net Loss/Profit maupun Net Cummulative Loss/Profit masing-masing di -34,276 dan -5,915. Dan di tahun 1987, masing-masing di -6, 680 dan -12, 595 (Gambar 1.2).45
41
Lihat: Djoko Sardjadji, 2000. Ahli Pesawat dari Lereng Gunung Merapi, http://www.angkasa-online.com/11/01/profil/profil1.htm (1 of 5)12/12/2006 8:29:37. 42 Harm-Jan Steenhuis dan Erik J. De Bruijn, loc.cit.h.6; Vertesy, D. and Szirmai, A. (2010). loc.cit. h.74 43 Habibie, 1995. op.cit. h.288 44 David McKendrick, 1992. Obstacle to “catch- up”: The case of the Indonesian Aircraft Industry.h.39. 45 B J Habibie, 1994,op.cit. h.91
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
12
Gambar 1.2 Pertumbuhan Laba/Rugi IPTN Sejak 1976-1993 (dalam Juta Rupiah) Sumber: Habibie, 1994, Progress Report 1974-1994
Aspek manajemen yang kedua, kegagalan upgrading N 250 juga disebabkan lemahnya jejaring PT DI dengan industri-industri pendukungnya.46 Aspek manajemen ketiga adalah kemampuan produksi, kemampuan IPTN dalam technology transfer tidak didukung dengan kemampuan dalam efisiensi produksi.47 Pada awal tahun 1980an, IPTN sebenarnya merencanakan akan memproduksi sekurang-kurangnya 36-40 pesawat sejenis CN-235 pertahun atau rata-rata 3 (tiga) pesawat perbulan. Namun kenyataannya, dalam kurun waktu 10 tahun, sejak tahun 1987-1994, IPTN hanya merampungkan tidak lebih dari 40 pesawat.48 Kegagalan IPTN juga disebabkan strategi backward linkage berupa tumbuhnya industri-industri pendukung maupun strategi forward linkage berupa tumbuhnya pasar beserta derivatifnya karena berdirinya IPTN belum berjalan dengan baik.49 Kegagalan Industri Pesawat Terbang Nusantara dalam proses upgrading teknologi terutama untuk pesawat N 250 dan N 2130 dapat dianalisis melalui
46
Lall 1998, h. 158 sebagaimana dikutip dalam Yumiko Okamoto dan Fredrik Sjöholm, 2001. Technology Development In Indonesia, h.18. 47 Harm-Jan Steenhuis dan Erik J. De Bruijn, 2001. Developing countries and the aircraft industry:match or mismatch?, h. 555-556. 48 Yuwono, Agustus 2001. Membedah IPTN Antara Visi, Strategi, Harapan, dan Kenyataan. 25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru. h.46. Tim Editor: Purwono, Lili ahali, Hendramin Djarab 49 Ibid., h.44-45
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
13
beberapa aspek utama yang tentunya bersifat kompleks messy, serta spesifik, baik antar aspek kebijakan maupun didalam intra aspek kebijakan tersebut. Aspekaspek keberhasilan/kegagalan pada kasus IPTN tentunya sangat berbeda pada tataran konten dan konteks sebagaimana pengalaman beberapa perusahaan di beberapa negara, seperti Perusahaan Pesawat Terbang Romaero-Rumania, FAMA Argentina, Avic China, Embraer-Brazil, Airbus-Eropa, WACO-Amerika Serika (Tabel 1.3).50
Tabel 1.3
Aspek-aspek yang menyebabkan gagal dan berhasilnya Industri Pesawat Terbang dari berbagai negara
Industri Pesawat Terbang RomaeroRumania
Aspek Kebijakan Nasional dan atau Dukungan Politik Tidak ada dukungan pendanaan Pemerintah secara jangka panjang
Keterangan
Operasional/Industri
Kebijakan Sektor
Ketika industri berusaha untuk mengembangkan rancangan pesawat medium atau large yang berbasis pada licensed manufacturing, perusahaan dihadapkan pada permasalahan financial Tidak ada strategi/kemampuan menjual pesawat baik untuk pasar domestik maupun pasar internasional dan sangat bergantung pada pemerintah
-
-
Ketidak stabilan politik dan ekonomi. Sejak pergantian rezim 1955, lima tahun kemudian yaitu di tahun 1960, pemerintah menghentikan proyek jet fighter, the IAe-33 Pulqui II . Pemerintah memutuskan untuk mengimpor the F-86 Sabre fighters dari US
Gagal
Avic China
Strategi pemasaran pesawat terutama untuk pasar internasional pesawat jet 150 penumpang masih lemah
Cross-industry subsidies untuk High Tech Industry
Guideline for National Economic and Social Development (2006-2010) dan The Guideline for the National Medium- and Long-Term Science and Technology Development Plan (2006-2020).
Pasar Domestik berhasil, namun untuk eksor gagal
EmbraerBrazil
Kemampuan Produksi sangat tinggi, Risk sharing partnership, konsorsium inovasi telah berjalan dengan baik
Kebijakan Riset, Fiskal, ProEx dan FINEP, Dukungan pendanaan dan perbankan nasional
Berhasil
IPTNIndonesia
Manajemen produksi: Kemampuan Produksi lemah, jejaring produksi dengan mitra
Tidak ada dukungan sektor Fiskal, Badan Sertifikasi Pesawat
Sejak 1972, pembangunan iptek sektor kedirgantaraan tercantum dalam arah pembangunan nasional. Pada tahun 1980an Embraer dihadapkan pada krisis ekonomi, namun pemerintah Brasil berkomitmen untuk terus memberikan dukungan terhadap perusahaan tersebut. Dukungan dihentikan pada saat krisis ekonomi 1998
FAMAArgentina
Gagal
Gagal terutama untuk N 250
50
Narasi lebih dalam terkait kekhasan pendekatan kebijakan antar berbagai negara dalam mendorong industri dirgantara dapat dilihat pada sub Bab 1.2 Identifikasi masalah pada hal.31-32
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
14
WACOAmerika Serikat AirBus
dalam/luar neger masih lemah terutama pada saat pengembangnnya CN 235 dan N250 Kerjasama dengan lembaga riset pemerintah, Kemampuan Produksi sangat tinggi.
Terbang belum diakui FAA terutama untuk pesawat sekelas N 250 Sinergi Pemerintah (lembaga riset ) dan Industri dalam inovasi
Kemampuan Produksi sangat tinggi; Konsorsium antar empat negara: Jerman, Perancis, Inggris, dan Spanyol;
Kemitraan baik antara Industri dan negara
Pemerintah mendorong peningkatan kegiatan litbang bahkan menjadi pasar pertama bagi industri pesawat terbang Grant of subsidies : pengalihan sewa dari producer asing ke producer domestik) tetapi juga dalam bentuk dukungan politik internasional terutama penetrasi dalam organisasi perdagangan dunia (WTO)
Berhasil
Berhasil
Kembali ke konteks IPTN, setelah di restrukturisasi pada 24 Agustus 2000 dan menjadi nama dengan PT DI, visi PT DI kemudian direvisi menjadi: “To be World Class Aerospace Company based on High technology Mastery and Cost Competitiveness in the Global market“.51
Gambar 1.3 Struktur Organisasi IPTN Sebelum Krisis Sumber: Habibie, Progress Report, 1994
51
Company Profile PT Dirgantara Indonesia PT DI, 2014.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
15
Sejak era 1976 sampai sebelum direstrukturisasi pada tahun 2000, struktur IPTN adalah terdiri dari President/CEO, di bawahnya CEO, terdapat dua posisi yaitu Security dan Internal Auditor (Gambar 1.3). Setelah direstrukturisasi, IPTN yang kemudian berganti nama dengan PT Dirgantara Indonesia (PT DI) memiliki struktur yang berbeda, yaitu dibawah President Director terdapat Strategic Business Unit Aircarft Services yang didukung oleh empat Divisi yaitu: Division of sales and marketing aircraft services, Division of maintenance modification, Division of logistic management aircraft services, Division of finance and administration aircraft services. Selain empat divisi tersebut, terdapat enam posisi jabatan lainnya dibawah Strategic Business Unit Aircarft Services, yaitu: Asisten President Director for Government’s Liason, Corporate Secretary, Divison of Internal Audit, Division of Corporate Planning, dan Division of Security (Gambar 1.4).
Gambar 1.4 Struktur Organisasi PT DI setelah restrukturisasi Sumber:http://www.indonesian-aerospace.com/aboutus.php?m=aboutus&t=aboutus5
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
16
Selama periode 1998-2002 yang dikenal dengan masa bleeding, IPTN mencatat kerugian sebesar Rp. 725 triliun. Di tahun 2008 turun menjadi Rp. 84, 34 triliun. Satu tahun kemudian yaitu di tahun 2009, PT DI mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 117,8 miliyar. Di tahun 2010, PT DI masih menyisakan hutang jangka panjang sebesar Rp. 2,5 triliun dengan equitas (modal sendiri) masih negatif sebesar Rp. 707 miliar.52 Pada tahun 2011, pemerintah memutuskan untuk memutihkan hutang PT DI sebesar Rp. 2 triliun, setelah dua tahun kemudian khususnya di tahun 2013, equitas PT DI positif sekitar Rp. 40 miliar (Tabel 1.4).53 Tabel 1.4 Kondisi Keuangan PT DI Tahun 1998-2002
Neraca keuangan dan Laba/Rugi Rp. 725 triliun (rugi)
2008
Rp. 84,34 triliun (rugi)
2009
Rp. 117,08 miliyar (laba) Sisa utang jangka panjang: Rp. 2, 5 triliun
2010
Equitas: negatif Rp. 707 miliar
2011
Hutang Rp. 2 triliun diputihkan oleh Pemerintah
2013
Equitas: Positif 40 miliar Total omset: Rp. 3 Triliun Sumber: diolah dari berbagai sumber
Sampai dengan bulan november 2011, kondisi SDM PT DI menurun drastis jika dibandingkan dengan periode sebelum krisis. Sampai dengan tahun 2011, jumlah SDM PT DI hanya berjumlah 4.190 orang, dengan perincian aero structure 1.688 orang, aircraft integration 800 orang, aircraft service 363 orang, dan teknologi dan pengembangan 851 orang.54 Hingga november 2013, jumlah SDM PT DI semakin berkurang dan hanya tersisa sekitar 3000an personil.55 52
Lihat wawancara dengan Bagian Keuangan PT DI pada lampiran 9 no. 23.3 dan no. 11.9 dan juga lihat Rahman (2011) dikutip di http://www.stabilitas.co.id/view_articles.php?article_id=197&article_type=0&article_category=5 diakses pada tanggal 12 Agustus 2014. 53 Lihat lampiran 19 wawancara dengan Kepala Perencanaan Perusahaan PT DI, Sony Saleh Ibrahim, no. 7.dan wawancara dengan Bagian Marketing, Keuangan dan Promosi PT DI, Dhiwan Renaldi lampiran 19.no 23.1 dan 23.2 54 Hasil Lokakarya DEPANRI, November 2011. h.2 55 Lihat lampiran 19 wawancara dengan Kepala Perencanaan Perusahaan PT DI, Sony Saleh Ibrahim, no. 7.dan wawancara dengan Bagian Marketing, Keuangan dan Promosi PT DI, Dhiwan Renaldi lampiran 19.no 23.1 dan 23.2
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
17
Terkait fasilitas, status kondisi fasilitas seperti fasilitas industri komponen masih berfungsi dengan baik, fasilitas uji desain tidak banyak digunakan lagi, hanya Wind Tunel Test-WTT dan (Electronic Magnetic Compatibility- EMC) untuk pesawat ukuran kecil masih berfungsi dengan baik. Sedangkan fasilitas design procedure dan configurasi management sedang dipersiapkan untuk memenuhi standar Airbus.56Dari sisi kapasitas produksi, saat ini kemampuan produksi PT DI khususnya untuk pesawat CN 235 sangat kecil yaitu hanya empat pesawat pertahun57. Dari aspek penjualan pesawat, khususnya pesawat CN 235, berdasarkan data http://analisismiliter.com, bahwa mulai dari tahun 2002 sampai dengan akhir tahun 2012, orderan CN 235 yang terjual, baik di pasar domestik maupun pasar internasional tidak lebih dari 12 pesawat (Tabel 1.5).
Tabel 1.5 Penjualan CN 235 sampai akhir tahun 2012 Pembeli Korea Selatan
Jumlah Jenis Order Order 4 CN-235 MPA
Tahun Tahun Keterangan Order Terima 2008 2010-2011 Harga sekitar $94 juta, CN-235-220 untuk patroli maritim Korean Coast Guard
Bukirna Faso
1
CN-235-220
2007
Senegal
2
CN-235-220
Malaysia
2
CN-235-220
2007 CN-235 versi sipil ex Asian Spirit Filipina yang dijual ke Burkino Faso oleh Filipina. Namun dimodifikasi dan upgrade oleh PT DI menjadi transportasi militer Burkino Faso 2010 2010-2011 Deal $13 Juta, CN-235 versi sipil ex Merpati Nusantara yang dimodfikasi dan upgrade menjadi versi transport militer 2002 2005-2006 CN 235 versi militer
Pakistan
3
CN-235-220
2002
2004 CN 235 versi militer
Sumber:http://analisismiliter.com/artikel/part/51/All_About_CN-235_IPTNPT_DI_Indo
Padahal, kebutuhan pasar domestik untuk pesawat terbang sangat besar. Tingginya tingkat kebutuhan transportasi tersebut juga ditunjukkan dengan semakin meningkatnya jumlah permintaan pasar yang diukur dari jumlah penumpang transportasi udara. Selama sembilan tahun yaitu dari tahun 20022012, jumlah permintaan pesawat terbang melonjak tajam dari 10.000.000 menjadi 60.000.000. Walaupun sempat mengalami penurunan pada tahun 2008, namun secara keseluruhan, sejak tahun 2000-2012, rata-rata pertumbuhan pasar 56
Hasil Lokakarya DEPANRI. op.cit. h.3
57
Wawancara dengan Gatot M. Pribadi, Manajer Aerodinamika PT DI, dalam FGD III yang diadakan Kemenristek pada Jumat, 3 Oktober 2014 dengan judul Program Pengembangan Iptek Bidang Kedirgantaraan,
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
18
transportasi udara domestik yang diukur dari jumlah penumpang adalah mencapai 19,6% pertahun (Gambar 1.5).
Gambar 1.5 Pertumbuhan Pasar Transportasi Udara Domestik 2000-2012 Sumber: FGD I yang diadakan Kementerian Ristek 2014
Secara lebih spesifik, pasar pesawat terbang turboprop (baling-baling) sejenis N 250 dan CN 235 dalam 20 tahun kedepan yaitu dalam rentang tahun 2013-2023 sangat besar hingga mencapai 3.266 pesawat, dengan perincian adalah sebanyak 2862 pesawat untuk kategori kapasitas lebih dari 60 penumpang dan 1147 dengan kapasitas 90-120 penumpang (Gambar 1.6). Nilai penjualan dari 2862 pesawat adalah sekitar USD 57 miliar dengan harga rata-rata adalah USD 20 juta per pesawat. Produsen-produsen pesawat terbang di prediksi akan lebih banyak bermain pada kelas 60-80 penumpang. Sebaliknya pesawat dengan kapasitas 80-90 akan memiliki nilai kompetitif yang jauh lebih besar, bahkan sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 1.6, bahwa baik pada skenario pertama maupun kedua, pangsa pasar pesawat dengan kapasitas 90 penumpang ke atas akan jauh lebih kompetitif dibandingkan dengan dua segment sebelumnya. Dari sisi permintaan, pasar domestik untuk pesawat N 250 sebenarnya cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari pangsa pasar dari pesawat sejenis N 250
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
19
seperti ATR-72 dari Perancis, Bombardier Dash8-Q400-Kanada58 dan juga EMB120-Brazil.59
Gambar 1.6 Permintaan Pasar Internasional Untuk Pesawat Sekelas N 250 Sumber: Paparan PT RAI dihadapan Menristek, Juni 2014 dan dipaparkan ulang pada FGD III yang diadakan Kemenristek dengan judul Program Pengembangan Iptek Bidang Kedirgantaraan, Jumat, 3 Oktober 2014.
Untuk pasar Indonesia, Pesawat ATR-72 hingga saat ini lebih banyak digunakan dibandingkan dua pesawat lainnya.60 Mulai dari Trigana Air, Wings Air dan bahkan Garuda Indonesia. Wings Air telah mengorder sejumlah total 80 pesawat dengan perincian adalah 20 pesawat telah diterima, dan 60 pesawat
58
Permintaan Pesawat turboprop dari tahun 2012 hingga tahun 2032 akan semakin meningkat dan mengalahkan permintaan pesawat jet, yaitu dari 45% di tahun 2012 menjadi 48% di tahun 2032. Lihat paparan PT. Regio Aviasi Industri h.25 yang juga disampaikan pada FGD II yang diadakan Kemenristek tentang Pengembangan R-80, 15 September 2014.Lihat lampiran 10 FGD no.22. 59 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.23-44 60 Tentang keunggulan New N 250 dengan ATR-72 bahkan dengan Bombardier telah diuraikan pada Tabel 4.7 Kelebihan R-80 dibandingkan ATR maupun Dash, pada Bab IV h.132
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
20
tambahannya sedang dalam proses order.61 Selain Wings Air, Garuda Indonesia juga telah mengorder sejumlah total 35 pesawat, dengan rincian adalah sebanyak 25 unit pemesanan bersifat firm order dan 10 unit pemesanan bersifat option order.62 Berdasarkan data hingga tahun 2012, bahwa secara internasional, permintaan akan pesawat ATR 42 dan ATR 72 rata-rata 150 pesawat per tahun.63Hingga tahun 2013, pesawat ATR yang merupakan “pengganti pesawat” N 250 telah terjual sejumlah 1.500 pesawat.64 Keterkaitan antar sektor kedirgantaraan dengan subsektor turunannya cukup tinggi. Gambar 1.7 di bawah ini menunjukkan bahwa dalam rangka pengembangan program pesawat N 219, industri kedirgantaraan mampu mendorong tumbuh kembangnya perusahaan-perusahaan di Indonesia seperti perusahaan tools dan grounding handling, perusahaan jasa engineering, perusahaan scheduled, perusahaan charter, perusahaan perawatan pesawat dll. Ada 20 Perusahaan Scheduled Ada 34 Perusahaan Charter Di Indonesia
FLIGHT OPERATION
Ada Ratusan Perusahaan Jasa enginering di Indonesia
ENG. SERVICES
MAINTENANCE
Ada 134 Perusahaan Perawatan Pesawat Di Indonesia
COMPONENT Manufacture Keterangan : CT : Communication Technology GD : Global Design ST : Simulation Technology IT : Information Technology
Ada RatusanPerusahaan Tools & Ground Handling dibawah GAMMA
Gambar 1.7 Industri Kedirgantaraan dan Keterkaitannya dalam Program Pesawat N 219 Sumber: Paparan dari Direktur Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kemenperin didalam FGD yang diadakan Kementerian Ristek, 2013 dalam Mendukung Pengembangan Pesawat N 219
61
http://finance.detik.com/read/2012/12/26/113004/2126749/1036/wings-air-terimapesawat-atr-72-600-pertama-di-asean 62 FGD III Pengembangan R-80 yang diadakan Kemenristek, tanggal 3 Oktober 2014; http://indo-aviation.com/2013/11/25/garuda-perkenalkan-explore-sub-brand-untuk-operasional-atr72-600/ 63 FGD II Pengembangan R-80 yang diadakan Kemenristek, 15 September 2014 64 Rista Rama Dhany, 2013. Kalau N250 Buatan Habibie Berhasil, Tak Akan Ada ATR 72 Buatan Prancis. http://finance.detik.com/read/2013/03/27/155219/2205369/1036/, diakases tanggal 9 Oktober 2014.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
21
Kebutuhan industri kedirgantaraan semakin vital apabila ditinjau dari beberapa aspek selain aspek ekonomi: pertama, aspek Pertahanan dan Keamanan, bonus demografis hingga kini masih menyisakan kenyataan bahwa masih banyak daerah-daerah terluar, terpencil, dan tertinggal yang sulit untuk dijangkau baik melalui darat maupun laut. Tidak jarang masyarakatnya lebih mengenal atau lebih dekat dengan negara tetangga (misalnya: Malaysia, Brunai, dan Philipina). Terlebih lagi, apabila negara-negara tetangga tersebut sering melakukan patroli di perbatasannya. Dengan kondisi seperti ini ancaman terhadap keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sangat terbuka lebar.65Apalagi dalam perspektif maritim continental baik ditinjau dari sisi fleksibilitas transportasi maupun sisi ekonomi, dibandingkan dengan negara-negara seperti Amerika, Canada, Brazil, Australia, China, dan Eropa, kepulauan Indonesia lebih membutuhkan transportasi udara dibandingkan negara-negara tersebut (Gambar 1.10).66
Gambar 1.8 Kebutuhan Transportasi Udara dari Perspektif Kemaritiman Sumber: PT RAI, Juni 201467 65
Panitia Teknis DEPANRI, Juni 2011. Naskah Akademik Pengembangan Pesawat N219 Untuk Mendukung Transportasi Daerah Terpencil Di Indonesia. h. 16 66 PT RAI, paparan dengan judul: Program R80 Investasi Bisnis Berbasis Visi. dipaparkan dalam FGD yang diadakan kemenristek, 2 juni 2014. lihat lampiran 10 FGD no.2 dan 22 67 Bahan Presentasi dari PT RAI (2014), Program R80: Investasi Bisnis Berbasis Visi. Dipaparkan didepan Menristek Gusti Muhammad Hatta, pada 2 juni 2014. File tersebut kemudian juga dipaparkan dalam dua FGD setelahnya yaitu pada FGD yang diadakan Kemenristek tentang Penguatan Riset dan Iptek Sektor Dirgantara. Lihat lampiran 10 FGD no.2 dan 22
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
22
Kedua, dari aspek sosial politik dan budaya. Misalnya daerah pulau Sebatik yang berbatasan langsung dengan Malaysia Utara dan wilayahnya dibagi dua antara Indonesia dan Malaysia. Kondisi ekonomi masyarakat yang masuk wilayah teritorial Indonesia berbeda jauh dengan kondisi ekonomi masyarakat yang masuk wilayah teritorial Malaysia. Apalagi bila dibandingkan dengan Tawau atau Sabah di Malaysia, jaringan infrastruktur transportasi daratnya baik sarana sosial amat timpang. Akibatnya, masyarakat di daerah ini umumnya berada dalam kondisi miskin dan tertinggal, bila dibandingkan dengan daerah induknya.68 Salah satu contoh, khususnya di pedalaman Papua, bahwa beras raskin senilai Rp 3000/kg dapat menjadi Rp 25,000/kg, begitupun bahan bakar subisidi Rp 4500/L dapat menjadi Rp 30,000/L. Padahal, kalau tersedia modal pesawat commuter atau feeder liner, maka setelah memasukkan variabel harga angkut
sekitar Rp 8
Juta/2000 kg , maka harga perkilo gram beras tersebut diturunkan hingga menjadi hanya Rp 4000.69 Berdasarkan pada aspek keunggulan produk, potensi pasar domestik yang sangat besar, aspek kemaritiman, aspek sosial budaya dan hankam, nilai tambah dan daya dorongnya terhadap tumbuh kembangnya sektor lainnya ditambah lagi dengan telah tersedianya kemampuan rancang bangun dan manufaktur pesawat terbang beserta prasarana dan sarana pengujian pesawat terutama di Puspiptek, LAPAN, ITB dan BPPT, secara akumulatif menjadi alasan utama untuk mewujudkan kemandirian teknologi di sektor kedirgantaraan sebagaimana telah diamanatkan dalam hukum-hukum positif di sektor kedirgantaraan, baik dalam UU No 1 tahun 2009 Tentang Penerbangan maupun di dalam Perpres No. 32 Tahun 2011 tentang Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3Ei) UU.70
68
Panitia Teknis DEPANRI, Juni 2011.loc.cit, h. 15 Paparan Direktur Teknologi dan Pengembangan PT DI, Andi Alisyahbana dalam Sidang Paripurna DRN 2014, Juni, 2014. Beberapa catatan bagi arah pengembangan Teknologi Transportasi Tepat Butuh Indonesia, slide no. 21. 69
70
Dokumen Master Plan Percepatan Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, h. 90
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
23
1.2. Identifikasi Masalah Kemampuan IPTN dalam memproduksi pesawat, baik yang berbasis pada fase pengenalan dan penguasaan teknologi dalam memproduksi jenis pesawat terbang yang sudah di pasaran seperti Pesawat NC 212 dibawah lisensi CASA Spanyol hingga pesawat yang berbasis pada kemampuan integrasi dan penguasaan pada technology design yaitu pesawat CN 235 juga melalui kerjasama dengan CASA Spanyol relatif berhasil. Paling tidak, kedua fase tersebut telah memasuki fase komersialisasi. Namun, ketika IPTN menuju pada pengembangan pesawat terbang yang dihasilkan melalui penguasaan kemampuan pengembangan teknologi yang berbasis indegenous technology yaitu pesawat N 250, IPTN gagal masuk skala komersial dan hanya berhenti pada skala produksi dua prototipe yaitu N 250 Gatot Koco versi 50 sheeter dan N 250 Krincing Wesi versi 70 sheeter. Kegagalan Program N 250 menunjukkan bahwa untuk keberhasilan upgrading teknologi pesawat terbang yang berbasis pada penguasaan kemampuan pengembangan teknologi yang berbasis indegenous technology ternyata tidak cukup jika hanya mengandalkan pada kemampuan operasional terutama kemampuan pengembangan teknologi itu sendiri, namun juga dibutuhkan dukungan aspek operasional lainnya seperti manajemen, pemasaran dan lain-lain. Bahkan selain aspek operasional secara umum, keberhasilan upgrading teknologi juga sangat ditentukan oleh dukungan pada level kebijakan, baik pada level kebijakan nasional maupun pada level kebijakan sektoral.71 Pada level operasional, konsep upgrading teknologi secara prinsip dasar telah didiskusikan oleh beberapa peneliti diantaranya adalah Michael Porter (1985) melalui pendekatan primary activities and supporting activities dalam konteks value chain, Chesbrough (2005); Gassmann and Enkel (tanpa tahun); Soren Kaplan dalam konteks open innovation; Petter M.Milling dan Frank H. Maier (Schumpeterian) dalam konteks proses komersialisasi inovasi, dan Habibie, 1995 dalam konteks strategi berawal diakhir dan berakhir diawal. Pada level kebijakan inteksektoral, keberhasilan upgrading teknologi telah didiskusikan oleh beberapa peneliti diantaranya adalah Chesbrough (2005) dan Gassmann and Enkel (tanpa tahun) dengan pendekatan open innovationnya; Henry Etzkowitz (2008) 71
Kayleigh Brown dan Tobias Tiemann (tanpa tahun), loc. cit. h. 2-7
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
24
dan Henry Etzkowitz dan Leydesdorf (1990) dengan pendekatan triple helixnya dan OECD (2008/2009) dengan Policy Coherence. Untuk diskusi yang lebih menekankan pada pendekatan level kebijakan makro juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya adalah McPhee and Wheeler (2009) dengan konsep kebijakan pemerintah dalam menyediakan environtment untuk value chain industri; OECD (2008/2009) dengan Policy Coherence; Chesbrough dan Vanhaverbeke (2011) dan Henry Etzkowitz (2008) dengan penekanan pada konsensus pemerintah terhadap keberhasilan kegiatan inovasi. Sejumlah penelitian tentang upgrading pesawat terbang menunjukkan bahwa keberhasilan industri pesawat terbang ternyata tidak cukup hanya mengandalkan pada kemampuan pada level produksi atau operasional semata, bahkan sangat ditentukan oleh sejumlah aspek baik pada pada level kebijakan, maupun pada level kebijakan sektoral baik iptek maupun ekonomi.72 Dalam perspektif kebijakan, konsep tersebut merupakan kerangka tiga level hierarki proses kebijakan Bromley (1989).73 Disisi lain, konsep upgrading dalam Global Value Chain baru sebatas menjelaskan adanya peran kebijakan pemerintah dalam upgrading serta mengkaitkannya dengan tiga faktor utama yang dapat mempengaruhi proses upgrading.74 Namun demikian Gareffi, Humphrey, dan Sturgeon (2005) dan lainlain belum menjelaskan bagaimana bentuk kebijakan tersebut khususnya pada global value chain dengan tipologi hierarki serta bagaimana kaitan kebijakan tersebut baik pada level organisasi maupun pada level operasional untuk keberhasilan suatu Industri dalam melakukan upgrading teknologi sebagaimana halnya kerangka tiga level hierarki proses kebijakan Bromley. Untuk itu, kerangka teori utama yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan upgrading teknologi pesawat terbang pada GVC tipologi hierarki dengan menggunakan kerangka tiga level hierarki proses kebijakan Bromley (1989) dan kerangka tipology Global Value Chain Gareffi, Humphrey, dan Sturgeon (2005) dengan mengacu beberapa konsep dasar yang 72
Ibid. Daniel W. Bromley, 1989. op. cit. h. 27-3 74 Gareffi, 2011. loc. cit. h.39: Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010. op. cit. h. 199 : Kun-Ming (KM) Tsai. 2011. loc cit. h.15-21; John Humphrey dan Hubert Scmitz, 2002. loc. cit. h.1023 73
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
25
dapat membantu untuk menjelaskan upgrading teknologi pada masing-masing level yaitu seperti: Michael Porter (1985) dalam konteks value chain, Chesbrough (2005); Gassmann and Enkel (tanpa tahun) dan Soren Kaplan dalam konteks open innovation; Petter M.Milling dan Frank H. Maier tentang proses inovasi, Henry Etzkowitz (2008) dan Henry Etzkowitz dan Leydesdorf (1990) dengan konsensus pemerintah dalam triple helix, McPhee and Wheeler (2009) tentang kebijakan pemerintah dalam konteks value chain, dan OECD (2008/2009) terkait koherensi kebijakan. Dan berdasarkan penelaahan teori GVC75 yang diperkuat dengan beberapa wawancara yang telah dilakukan76, bahwa pandangan awal untuk IPTN N 250 di dalam penelitian ini dimasukkan dalam kerangka GVC tipologi hierarki (Gambar 1.9). GVC Hierarki Upgrading Teknologi Pada Tataran Konsep Kebijakan: Henry Etzkowitz (2008),H Etzkowitz dan Leydesdorf (1990) -Triple Helix; McPhee and Wheeler (2009)-policy environment; Chesbrough (2005); Chesbrough dan Vanhaverbeke (2011)-open innovation; Policy CoherenceOECD(2008/2009);
Karekterisasi GVC Hierarchy: 1.Intervensi Pemerintah:regulator; sumber pendanaan, sebagai pasar (G. Gereffi.,
Upgrading Teknologi Pada tataran konsep kebijakan Intersektoral : Gassmann and Enkel (tanpa tahun)- open innovation; Henry Etzkowitz (2008); H Etzkowitz dan Leydesdorf (1990); Policy Coherence-OECD(2008/2009)
J.Humphrey & T.Sturgeon, 2005. h.91-94).
2.Kompleksitas transaksi tinggi 3. Kemampuan lead firm dalam mengkodifikasikan rendah 4. Kemampuan pemasok utama rendah (G. Gereffi., (J.Humphrey,. & T.Sturgeon,
Konsep Upgrading Teknologi Pada tataran Industri: Chesbrough (2005); Habibie, 19954 tahap upgrading teknologi.; Gassmann and Enkel (tanpa tahun); Petter M.Milling dan Frank H. Maier (Schumpeterian)komersilasiasi inovasi; Soren Kaplan-open vs closed innov; Henry Etzkowitz (2008); Michael Porter (1985), value chain
2005. h.87).
Diadopsi dari Gereff i, Humphrey, dan Sturgeon (2005)
Bromley (1989)
Gambar 1.9. Bagan Teori Kajian Tigal Level Hierarki Proses Kebijakan dalam Upgrading Teknologi pada Global Value Chain tipologi Hierarki IPTN Sumber: Diadopsi dari Bromley (1989) dan Gareffi, Humphrey, dan Sturgeon (2005)
75 76
Gary Gereffi., JohnHumphrey,. & Timothy Sturgeon, Februari 2005. loc. cit. h.84-88 Wawancara yang dilakukan dengan Sonni Ibrahim, lihat lampiran 9 no 11.5.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
26
Sejak era orde baru hingga saat ini, permasalahan tiga level hierarki proses kebijakan dalam mendorong upgrading teknologi industri pesawat terbang merupakan permasalahan yang kompleks dan messy. Setelah era orde baru hingga saat ini, dukungan kebijakan terhadap pengembangan industri kedirgantaraan khususnya dalam perspektif tiga level hierarki proses kebijakan jauh lebih messy dan kompleks karena tidak hanya lemah pada level kebijakan sektor khususnya sektor fiskal dan pada level operasional, bahkan lemah pada dukungan level kebijakan nasional, baik didalam dokumen RPJPN maupun dalam RPJPMN. Walaupun pada tataran kebijakan yang merupakan inisiasi sektor telah terdapat sejumlah kebijakan yang diarahkan untuk mendorong pembangunan sektor dirgantara seperti UU No 1 tahun 2009 Tentang Penerbangan, Perpres No. 32 Tahun 2011 tentang Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3Ei).77 Perpres No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional tentang insentif fiskal dan insentif non-fiskal untuk pengembangan pesawat commuter dengan kapasitas kurang dari 30 penumpang. Peraturan Menteri Perindustrian No.125/M-IND/per/10/2009, tentang Peta Panduan (road map) pengembangan Klaster Industri Kedirgantaraan. Bersamaan dengan dukungan dari sejumlah level dan arah kebijakan tersebut, di dalam Bangun Industri Nasional 2025, Industri Dirgantara merupakan industri masa depan yang tergabung dalam Industri Alat Angkut.78 Namun, baik dalam UU. No.17/2007 tentang Rencana Pembangunan Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 maupun dalam Perpres No.5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Mengenah (RPJPMN) periode 2010-2014, arah kebijakan pembangunan kedirgantaraan belum dinyatakan secara tegas dan menjadi prioritas. Karena prioritas bidang pembangunan Iptek dalam kedua dokumen tersebut hanya meliputi bidang Pangan, Energi, Transportasi, Kesehatan dan Obat, Hankam, Teknologi Informasi dan Komunikasi dan Material Maju, dan tidak ada sektor kedirgantaraan. Padahal, sebagaimana dinyatakan dalam UU 25/2005 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Sisrenbangas), bahwa tercantumnya arah kebijakan di 77
Ibid. slide no. 11 Direktorat Industri Maritim, Kedirgantaraan dan Alat Pertahanan – Ditjen IUBTTKementerian Perindustrian, 2012 78
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
27
dalam dokumen RPJPN dan RPJMN merupakan jaminan terjadinya keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan dan penganggaran.79Apalagi mengingat bahwa pembangunan sektor dirgantara khususnya pembangunan industri pesawat terbang membutuhkan komitmen pemerintah yang bersifat jangka panjang, baik dari sisi pendanaan maupun politik. Tidak tercantumnya arah pembangunan iptek sektor dirgantara baik dalam UU. No.17/2007 tentang Rencana Pembangunan Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 maupun dalam Perpres No.5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Mengenah (RPJPMN) periode 2010-2014 berimplikasi pada lemahnya dukungan kebijakan pada level sektoral, terutama pada sektor riset, fiskal, dan infrastruktur (SDM dan fasilitas pengujian pesawat terbang). Dari sektor riset dan inovasi, sejumlah kebijakan sektor iptek baik terkait Jakstranas Iptek 2010-2014 beserta turunannya ARN 2010-2014 belum secara tegas diarahkan untuk mendukung pembangunan iptek sektor dirgantara. Bahkan, dalam draft Jakstranas Iptek untuk 2015-2019 beserta turunannya yaitu ARN 2015-2019, arah kebijakan strategis iptek beserta agenda riset belum diarahkan pada pembangunan iptek sektor dirgantara.80 Dari aspek SDM, dalam rangka pengembangan R-80 yang merupakan upgrading N 25081 dibutuhkan sekitar 1000 SDM.82 ITB sebagai satu-satunya institusi pendidikan yang memiliki program pengembangan keilmuan teknologi dirgantara83di Indonesia hanya meluluskan sebanyak 60 orang lulusan aerospace engineers per tahun.84 Dalam lima tahun kedepan, jika arah pengembangan iptek sektor kedirgantaraan tidak tercantum di dalam program nasional jangka panjang, maka SDM dibidang kedirgantaraan akan habis.85Sementara jumlah SDM PT DI 79
Pasal 2 ayat (4) butir c – UU SPPN dituliskan bahwa SPPN bertujuan untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan 80 Draft Jakstranas Iptek 2015-2019 dan Draft Agenda Riset Nasional 2015-2019 81
Perjanjian Induk Kerjasama antara PT DI dengan PT RAI No. 002/UT0000/05/2013 tentang Pengembangan Pesawat Terbang Regioprop-R-8O pada tanggal 3 Mei 2013. 82
Wawancara dengan Marketing Representative, Gustaferi PT RAI, 12 Agustus 2014, lihat wawancara lampiran 9 no. 25 83 FGD III yang diadakan Kemenristek dengan judul Pengembangan R-80, tanggal 3 Oktober 2014 84 FGD yang diadakan Kemenristek dengan judul Penyiapan SDM untuk menghadapi kegiatan perancangan dan manufacturing pesawat tempur K/I-FX”, Bambang Kismono Hadi, FTMD – ITB dalam FGD Di Kementerian Ristek, 2012. 85 Hasil wawancara dengan Presiden RI III BJ Habibie, tanggal 14 Juli 2014, lihat lampiran 9. no.1.2
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
28
saat ini hanya tersisa sekitar 3000an personil. Bahkan 50% darinya akan memasuki masa pensiun.86 Kedua, terkait fasilitas pengujian terutama yang ada di lembaga pemerintah terutama di Puspiptek-BPPT juga belum diarahkan pada dukungan pengembangan sektor dirgantara.87 Padahal beberapa fasilitas pengujian merupakan
peninggalan
tahun
1970an
dan
perlu
direvitalisasi
dan
diupgrade.88Begitupun fasilitas pengujian yang ada di LAPAN, seperti fasilitas landasan untuk uji terbang dan uji telemeteri belum memenuhi standar untuk Pesawat diatas 50 penumpang89. Bahkan untuk pengujian program nasional N 219 pun masih ada tiga lab pengujian yang saat ini belum tersedia, yaitu Drop Test, Engineering Flight Simulation (EFS), dan Uji Composite.90 Beberapa teknologi kunci yang dapat meningkatkan nilai tambah dalam bentuk Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) pesawat seperti teknologi airframe atau composite structure untuk bagian sayap dan di ekor masih dalam taraf penjajakan, baik dari sisi SDM maupun fasilitas pengujiannya.91 Ketiga, dari aspek kebijakan fiskal, hingga saat ini, perbankan nasional masih belum mengeluarkan kebijakan sistem leasing dan kredit ekspor untuk pengadaan pesawat terbang.92 Dari aspek pendanaan riset, berdasarkan hasil kajian Kementerian Ristek 201293, bahwa pengelolaan pendanaan inovasi yang ada saat ini masih terkotak-kotak dan belum diarahkan pada pengembangan teknologi sektor dirgantara, baik Insentif Riset yang dikelola oleh Kementerian
86
Lihat lampiran 19 wawancara dengan Kepala Perencanaan Perusahaan PT DI, Sony Saleh Ibrahim, no. 7.dan wawancara dengan Bagian Marketing, Keuangan dan Promosi PT DI, Dhiwan Renaldi lampiran 19.no 23.1 dan 23.2 87 FGD III yang diadakan Kemenristek dengan judul Pengembangan R-80, 3 Oktober 2014. 88 Wawancara dengan Kepala BPPT Marzan Iskandar, Periode 2008-2014, tanggal 27 Juni 2014, lihat lampiran 9 wawancara no.3 89 Bagian Pengadaan PT RAI, Budi Wibowo di PT RAI Kuningan Jakarta, dari jam 7.308.30 Hari Senin, tanggal 9 Juni 2014, lihat lampiran wawancara 9 no.13 90 Wawancara dengan Pustekbang Aero Structure, Fajar Dono, lihat lampiran 9 no.26 91 FGD yang diadakan Kemenristek dengan judul Persiapan Pembentukan Task force untuk Pengembangan R-80 yang merupakan upgrading N 250, 23 Juni 2014 di Gedung 2 BPPT lantai 21, lihat lampiran 10 no.2.4 92 Wawancara dengan Kepala Perencanaan Perusahaan PT DI, Sony Saleh Ibrahim, Tanggal 2 September 2014, lihat lampiran 9, no.11.12 93 Kementerian Ristek, 2012, Kajian Kelembagaan Pendanaan Riset & Iptek Nasional. h.113
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
29
Ristek, Insentif Hibah Dikti dibawah koordinasi Kementerian Pendidikan Nasional, maupun LPDP dibawah koordinasi Kementerian Keuangan. Pada level industri IPTN atau PT DI (Gambar 1.12), hingga saat ini kondisi keuangan PT DI masih lemah94. Di tahun 2013, PT DI mengalokasikan dana riset hanya sekitar 1% dari total omset PT DI (Rp. 3 Triliun) yaitu sekitar Rp. 30 Miliar.95Padahal kebutuhan dana pengembangan desain upgrading N 250 menjadi R-80 adalah sekitar US$ 300 juta.96 Dalam rangka upgrading N 250 menjadi R80, total fasilitas pengujian PT DI yang dapat digunakan untuk upgrading N 250 hanya maksimal 30%.97 Ditambah lagi kapasitas produksi PT DI saat ini yang masih sangat lemah yaitu hanya 12 pesawat terbang per tahun,98 sedangkan kapasitas produksi yang diharapkan adalah sejumlah 36 pesawat pertahun.99 Disatu sisi, kebutuhan akan pesawat sejenis R-80 cukup besar yaitu 150 pesawat per tahun.100Bahkan dalam kurun waktu 2010-2029, kebutuhan pasar turboprop dengan kapasitas penumpang 61-120 penumpang sejenis N 250 diprediksi akan semakin meningkat.101 Kebutuhan SDM untuk upgrading N 250 menjadi R-80 sekitar 1000 orang atau lebih kurang sekitar 2 juta man hours,102 sementara, dalam 3-4 tahun kedepan, banyak engineer PT DI yang akan memasuki masa pensiun.103 Begitu juga SDM dirgantara yang tersebar di ITB maupun di sejumlah Lembaga
94
Lihat kembali Tabel 1.6 Kondisi Keuangan PT DI, di hal 22 Bab ini. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Kepala Komunikasi PT DI Sony Ibrahim, pertama ketika peneliti melakukan kunjungan karyasiswa Kemenristek ke PT DI pada bulan november 2013 dan kali kedua melalui interview via telpon pada februati 2014. Lihat lampiran 9. no.11.1 96 FGD I yang diadakan Kemenristek dengan judul Persiapan Pembentukan Task force untuk Pengembangan R-80 yang merupakan upgrading dari N 250, 23 Juni 2014 di Gedung 2 BPPT lantai 21; FGD II Pengembangan R-80, 15 September 2014 dan FGD III Pengembangan R80, tanggal 3 Oktober 2014 97 Wawancara dengan Manajer Aerodynamics PT DI, Gatot Mulia Pibadi, pada tanggal 3 Oktober 2014, dan FGD III Pengembangan R-80 tanggal 3 Oktober 2013. 98 ibid. 99 FGD II yang diadakan Kemenristek dengan judul Pengembangan R-80, , 15 September 2014 100 FGD II yang diadakan Kemenristek dengan judul Pengembangan R-80, , 15 September 2014, dan untuk analisis pemasaran akan dijelaskan lebih detail pada bab VI h.194-195. 101 FGD I yang diadakan Kemenristek dengan judul Persiapan Pembentukan Task force untuk Pengembangan R-80 yang merupakan upgra N 250, 23 Juni 2014 di Gedung 2 BPPT lantai 21; FGD II Pengembangan R-80, 15 September 2014 102 Hasil wawancara dengan Marketing Representative, Gustaferi PT RAI, 12 Agustus 2014, lihat lampiran 9. no.25.4 103 Ibid. 95
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
30
Penelitian seperti di BPPT maupun LAPAN yang selama ini menjadi partner PT DI dalam pengembangan pesawat terbang semakin terbatas.104 Berdasarkan uraian terkait konteks tiga level hierarki proses kebijakan dalam mendorong upgrading pesawat terbang di IPTN sebagaimana digambarkan diatas, diketahui bahwa dukungan pada level kebijakan, level sektor atau kelembagaan, sampai pada level operasional PT DI sendiri baik dari aspek SDM, keuangan perusahaan, fasilitas pengujian serta SDM dari lembaga-lembaga penelitian untuk upgrading teknologi pesawat terbang N 250 masih sangat lemah. Padahal, berhasil atau gagalnya industri pesawat terbang dalam upgrading teknologinya khususnya keberhasilan Embraer Brazil, Avic China, Airbus Eropa dan lain-lain sangat ditentukan oleh koherensi tiga level hierarki proses kebijakan yaitu pada level kebijakan terkait regulasi arah pembangunan iptek sektor dirgantara, level organisasi terutama sinergi antar sektor fiskal, pendanaan, riset, infrastruktur. Terakhir adalah level operasional, baik menyangkut kemampuan manajemen produksi perusahaan secara umum maupun dukungan pada setiap lini yang dibutuhkan yaitu dari sisi SDM, jejaring sumber daya iptek dan keuangan perusahaan.105 Walaupun beberapa studi menunjukkan pentingnya koherensi dari tiga level kebijakan, namun bentuk pendekatan pada masing-masing level kebijakan tersebut, baik isi dan atau proses implentasinya sangat messy karena bersifat spesifik, lokal dan memiliki titik berat yang berbeda-beda. Diantara contoh kekhasan tersebut adalah: Industri pesawat terbang Rusia yang disebut United Aircraft Corporation (UAC) menggunakan pola pendekatan sentralistik dan dikontrol
langsung
oleh
negara.
Pemerintah
Brazil
terhadap
industri
kedirgantaraannya menggunakan pendekatan sectoral innovation system yang meliputi koherensi lintas kebijakan, baik pada level nasional yaitu keselarasan antara pembangunan ekonomi dengan pembangunan iptek maupun kebijakan level sektor yaitu kebijakan riset, militer, industri, fiskal, lembaga pendanaan riset.106 China, bentuk dukungan pemerintahnya tertuang dalam rencana
104
FGD III yang diadakan Kemenristek dengan judul Pengembangan R-80, tanggal 3 Oktober 2014 105 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.23-24 106 Ibid..h.21
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
31
pembangunan sepuluh tahun. Industri pesawat terbang Italia sangat terkenal dengan dukungan pemerintahnya terutama dalam dukungan anggaran litbang dan manufacturingnya. Bentuk dukungan Pemerintah Mexico dalam pengembangan pesawat terbangnya adalah dalam bentuk dukungan financial.
107
Industri Airbus,
bentuk dukungan pemerintahnya adalah dalam bentuk konsorsium antar empat negara (Jerman, Perancis, Inggris dan Spanyol).108 Walaupun pengalaman Embraer Brazil dan Avic China dianggap memiliki pola kebijakan yang relatif sama baik pada tataran kebijakan nasional terkait keselarasan antara pembangunan ekonomi dengan pembangunan iptek maupun pada dukungan kebijakan sektoral seperti kebijakan riset, industri, dan fiskal, namun dalam prosesnya, baik proses penyusunan kebijakan maupun proses implementasinya juga berbeda. Perbedaan pada level kebijakan tersebut akan mempengaruhi implementasi atau proses upgrading teknologi pada tataran operasionalnya.109 Dalam konteks upgrading teknologi industri pesawat terbang nasional yang dilihat dengan lensa tiga level hierarki proses kebijakan baik antar level hierarki proses kebijakan maupun kebijakan intersektoral merupakan satu permasalahan yang sangat messy dengan conflicting worldview-nya masingmasing. Pada level kebijakan nasional, yaitu RPJPN menggunakan pendekatan pembangunan iptek yang bersifat jangka pendek, sebagaimana terlihat dalam arah pembangunan iptek baik dalam RPJPMN I maupun dalam RPJMN II, padahal untuk konteks pengembangan teknologi pesawat terbang membutuhkan periode jangka panjang. Pada level intersektoral, pendekatan kebijakan antar sektor terutama antara kebijakan riset dan inovasi dengan kebijakan sektor ekonomi secara umum sangat berlawanan, selain perbedaan pada aspek waktu, penekanan luaran maupun outcome juga berbeda, kebijakan riset dan inovasi khususnya dalam sektor pengembangan inovasi pesawat terbang lebih ditekankan pada peningkatan nilai tambah tertinggi berbasis pada penguasaan teknologi yang membutuhkan 107
David Pritchard, September 2010. A Case for Repayable Launch Aid: Implications for the US Commercial Aircraft Supply Chain. h.6-11. 108
Kayleigh Brown dan Tobias Tiemann (tanpa tahun), EU State Aid Policy and EC – Air Bus Case. h. 11-12. 109
Gary Gareffi, 2011. loc.cit.h.40
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
32
dukungan kebijakan yang bersifat intersektoral dan jangka panjang, sementara kebijakan ekonomi umumnya lebih ditekankan pada peningkatan nilai tambah berbasis ketersediaan sumber daya dan bersifat jangka pendek. Selain perbedaan pendekatan kebijakan pada masing-masing negara, contoh kegagalan atau keberhasilan industri pesawat terbang dari berbagai negara menunjukkan bahwa selain koherensi pada tiga level kebijakan tersebut juga dibutuhkan dukungan politik pemerintah (Tabel 1.2). Situasi problematikal upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang di Indonesia selanjutnya akan dikaitkan dengan kerangka upgrading-Global Value Chain dan kerangka tiga level hierarki proses kebijakan. Proses upgrading teknologi pesawat terbang merupakan satu proses peningkatan nilai tambah yang merupakan fungsi dari teknologi, ilmu pengetahuan dan sumber daya manusia.110 Nilai tambah yang dimaksud di sini adalah sebagai rangkaian proses menambah nilai kegunaan material tertentu dengan mengubahnya menjadi suatu barang atau jasa yang lebih bermanfaat, dan karena itu, mempunyai nilai dan harga yang lebih tinggi dibandingkan material semula.111 Dalam konsep Global Value Chain (GVC), proses peningkatan nilai tambah produk tersebut juga disebut sebagai product upgrading.112 Theoritical problematic pertama, konsep upgrading dalam global value chain baru sebatas menjelaskan peran kebijakan pemerintah dalam upgrading.113 Namun demikian, Gareffi, Humphrey, dan Sturgeon (2005) dan lain-lain belum menjelaskan bagaimana bentuk kebijakan tiga level hiearki proses kebijakan tersebut khususnya pada global value chain dengan tipologi hierarki serta bagaimana kaitan kebijakan tersebut baik pada level organisasi maupun pada level operasional untuk keberhasilan suatu industri dalam melakukan upgrading 110
B J Habibie, 1995, op.cit. h 49 Ibid. h.48 112 Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010. Global Value Chains In A Postcrisis World A Development Perspective. h. 128-129; Raphael Kaplinsky and Mike Morris (tanpa tahun). A Handbook For Value Chain Research. h.76; John Humphrey dan Hubert Scmitz (tanpa tahun), Governance and Upgrading: Lingking Industrial Cluster and Global Value Chain Research. h. 3 113 Gary Gareffi, 2011. Global value chains and international competition. h.39: Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010. op. cit. h. 199 : Kun-Ming (KM) Tsai. 2011. How can companies within global value chains capture value from innovations? Dissertation Doctor of Philosopsy. h.15-21; John Humphrey dan Hubert Scmitz, 2002. How does insertion in Global Value Chains Affect upgrading in Industrial Clusters?. h.1023. 111
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
33
teknologi. Berdasarkan sejumlah penelitian tentang upgrading pesawat terbang sebagaimana terlampir114 menunjukkan bahwa keberhasilan industri pesawat terbang ternyata tidak cukup hanya mengandalkan pada kemampuan pada level produksi atau operasional, bahkan sangat ditentukan oleh sejumlah aspek baik pada level kebijakan nasional, seperti komitmen jangka panjang pemerintah atau komitmen politik, maupun pada level kebijakan sektoral baik kebijakan iptek maupun ekonomi.115 Dalam konsep kebijakan, hubungan antara level proses kebijakan tersebut merupakan konsep tiga level hierarki proses kebijakan yang telah dijelaskan oleh Bromley (1989).116 Sejauh penelusuran pustaka, studi kebijakan dalam upgrading pesawat terbang terutama dalam mengawinkan antara konsep Global Value Chain Gereffi, Humphrey dan Sturgeon (2005) dengan konsep tiga level hierarki proses kebijakan Bromley (1989) masih sangat jarang kalau tidak mau dikatakan belum ada. Sejumlah penelitian terkait upgrading pesawat terbang sebagaimana terlampir117
menunjukkan
bahwa
walaupun
perusahaan
telah
memiliki
kemampuan codifiability118 terkait produk pesawat yang akan dikembangkan, namun intensititas peran pemerintah baik sebagai regulator maupun sebagai pasar, terutama pada initial investmentnya dalam industri pesawat terbang dengan struktur GVC dengan tipologi hierarki juga masih sangat penting. Hal ini sebagaimana ditunjukkan Gareffi, Humphrey, dan Sturgeon, 2005 dalam penelitiannya terhadap sejumlah industri elektronika termasuk IBM. Selama periode 1960an-1970an, industri elektronika di Amerika Serikat diantaranya adalah IBM lebih bersifat hierarchy dengan ciri khasnya adalah kuatnya dukungan pemerintah.119 Dalam konteks industri pesawat terbang, secara 114
Lihat lampiran I, Riset-riset terdahulu, h.262 Kayleigh Brown dan Tobias Tiemann (tanpa tahun), loc. cit. h. 2-7 116 Daniel W. Bromley, 1989. Economic Interest and Institutions: The Conceptual Foundations of Public Policy. h. 27-34 117 Lihat lampiran I, Riset-riset terdahulu, h.262 118 Kodifikasi adalah kemampuan suatu perusahaan dalam mendesain suatu produk sehingga memiliki keunggulan dibandingkan dengan produk-produk pesaingnya yang ada dipasaran. Kodifikasi tersebut dapat dilakukan setelah perusahaan telah menguasai teknologi inti dari produk yang akan dikodifikasi tersebut (Wawancara dengan Pakar Mesin LUK-BPPT, Djoko Wahyu Karmiadji, pada tanggal 1 Oktober 2014 di Bandung). 119 Di dalam penelitian Gary Gereffi., John Humphrey,. & Timothy Sturgeon, 2005, dinyatakan bahwa selama periode 1960an-1970an, industri elektronika di Amerika serikat 115
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
34
umum juga memiliki tipologi GVC hierarki120, karena kuatnya dukungan pemerintah baik dari sisi kebijakan nasional maupun dukungan kebijakan sektoral seperti kebijakan fiskal, riset dan pendanaan. Bahkan, dalam konteks EmbraerBrazil, dalam rangka pengadaan pesawat terbang, Pemerintah Brazil mendukung pengadaan pesawat terbang Embraer tersebut melalui pengadaan militer.121 Dengan merujuk pada pengklasifikasian Garrefi terhadap industri elektronika dan contoh industri pesawat terbang beberapa negara termasuk Embraer Brazil, stuktur GVC IPTN terutama dalam pengembangan N 250 adalah nampaknya cenderung bersifat hierarchy. Karena, secara umum dukungan pemerintah dalam mendorong upgrading teknologi industri pesawat terbang pada era orde baru termasuk pengembangan N 250 dalam perspektif tiga level hierarki proses kebijakan sangat kuat kecuali pada dua aspek, yaitu pada level organisasi, terutama dukungan kebijakan sektor fiskal terkait sistem leasing pesawat terbang, dan kedua dari level operasional yaitu, aspek manajemen IPTN khususnya kemampuan produksi pesawat terbang122. Sejumlah penelitian secara divergen
memang telah
menjelaskan
pentingnya aspek tiga level hiearki proses kebijakan untuk keberhasilan industri pesawat terbang. Namun, Bromley (1989) sendiri belum menjelaskan bagaimana konsep tiga level hierarki proses kebijakan tersebut dalam konteks Industri diantaranya adalah IBM dikategorikan sebagai GVC dengan struktur hierarchy hal ini disebabkan bahwa selama periode tersebut, peran pemerintah Amerika Serikat sangat dominan, selain sebagai regulator dan sumber pendanaan, pemerintah juga menjadi pasar utama bagi produk-produk industri elektronika termasuk IBM, khususnya untuk aplikasi militer dan aerospace. Namun, sejak 1990an, IBM sebagaimana halnya industri elektronika lainnya, melakukan transisi ke struktur modular (Gary Gereffi., JohnHumphrey,. & Timothy Sturgeon, 2005.loc. cit. h.91-94). Di dalam struktur modular, peran pemerintah tidak lagi dominan baik dari sisi proses produksi maupun pangsa pasarnya. Produk-produk IBM kemudian tidak lagi dikhususkan hanya untuk aplikasi militer dan aerospace bahkan untuk aplikasi sipil. Selain terjadi perubahan pada aspek intensitas peran pemerintah, di dalam struktur modular tersebut juga terjadi transisi pendekatan inovasi yang dilakukan oleh industri elektronika khususnya IBM, dari pendekatan closed innovation yang merupakan ciri khas struktur hierarki kearah pendekatan open innovation.( Oliver Gassmann dan Ellen Enkel, tanpa tahun. Towards a Theory of Open Innovation:Three Core Process Archetypes. h. 3-13. Adapun Paradigma Open innovation adalah merupakan antitesis dari paradgima traditional innovation, dimana aktivitas riset tidak dilakukan secara internal sebagaimana dalam closed innovation, tetapi dilakukan dengan kolaborasi dengan pihak luar termasuk dengan pemerintah, lihat: Henry Chesbrough, 2005. Open Innovation: A New Paradigm For Understanding Industrial Innovation. Chapter 1. h.2). 120 Lihat kembali Tabel 1.5 Penyebab gagal dan berhasilnya Industri Pesawat Terbang dari berbagai negara khususnya dalam Upgrading Teknologi Pesawat terbang dalam perspektif tiga level hierarki proses kebijakan Bromley (1989). h.14 di Bab yang sama. 121 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.29 dan h.85 122 Penjelasan lemahnya kemampuan produksi telah dijelaskan pada hal. 7 bab ini
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
35
Pesawat Terbang yang membutuhkan dukungan politik untuk implementasi kebijakan yang bersifat jangka panjang,123 apalagi jika dikaitkan dengan proses inovasi teknologinya yang sangat kompleks. Meriles S. Grindle124 (1980) menjelaskan bahwa program yang bersifat jangka panjang dan menuntut perubahan perilaku masyarakat dan tidak secara langsung atau sesegera mungkin dapat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat (target groups), maka program tersebut cenderung lebih mengalami kesulitan dalam implementasinya. Dan kekuatan politik aktor kebijakan akan menentukan kesuksesan implementasi kebijakan tersebut. Kesimpulan Meriles S. Grindle tersebut sangat relevan dengan karakter kegiatan inovasi, karena secara keseluruhan, hanya sekitar 8,8% dari keseluruhan total proyek litbang dan inovasi yang sukses secara ekonomi,125 bahkan khusus dalam konteks inovasi pesawat terbang, dengan merujuk pada proses inovasi pesawat terbang di Amerika Serikat, waktu yang dibutuhkan dalam inkubasi “basic innovation” hingga komersialisi sangat panjang yaitu lebih dari 30 tahun.126 Di dalam pendekatan open innovation (Chesbrough, 2005) maupun dalam triple helix (Henry Etzkowitz, 2008), sinergi kebijakan antar sektor masih bersifat antara satu entitas (lembaga riset pemerintah) dan belum mendiskusikan bagaimana sinergi kebijakan antar lebih dari satu entitas lembaga pemerintah. Pada konsep Policy Coherence (OECD, 2009)¸ walaupun telah menyinggung sinergi kebijakan intersektoral, namun konsep Policy Coherence masih dalam konteks pembangunan yang sangat umum dan belum menyinggung konteks inovasi. Selain Habibie (1995) dengan konsep berawal di akhir dan berakhir di awal yang tentunya pada level operasional, sejumlah konsep diatas, baik pada pada level operasional, sektoral maupun kebijakan nasional bersifat umum dan tidak khusus pada upgrading
teknologi di sektor kedirgantaraan khususnya
industri pesawat terbang. Apalagi upgrading teknologi pesawat terbang sangat
123
Francis, J. G., & Pevzner, A. F. 2006. loc. cit .h.1-2; Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc. cit .h.11 124 Meriles S. Grindle. 1980. Politics and Policy Implementation in the Third World.op.cit h.112 125 Petter M.Milling dan Frank H. Maier. loc.cit.h.3 126 Peter Senge, 1994. cop.cit.h.6
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
36
khas karena bersifat high cost serta high risk sehingga sangat membutuhkan komitmen jangka panjang pemerintah.127 Komitmen tersebut baik dari aspek kebijakan iptek, ekonomi maupun politik.128 Morrison, Pietrobelli dan Rabellotti juga menyatakan bahwa semakin kompleks suatu teknologi, maka kecenderungan dibutuhkannya struktur Global Value Chain (GVC) dengan tipologi hierarchy semakin besar.129 Salah satu karakteristik utama struktur hierarchy selain koordinasi yang sangat tinggi antara lead firm dengan supplier adalah tingginya intervensi kebijakan pemerintah didalamnya.130 Theoritical Problematic lainnya adalah pengklasifikasian Industri Pesawat Terbang sebagai GVC dengan tipologi hierarki berdasarkan pada aspek dukungan pemerintah ternyata sedikit berbeda dengan karakteristik dari tipologi Global Value Chain Hierarki oleh Garrefi sendiri, yang memiliki karakteristik rendahnya kemampuan codifiability dari lead firm.131 Karena, baik Embraer Brazil maupun IPTN ternyata memiliki kemampuan dalam melakukan codifiability, satu karakter yang melekat pada GVC pada masing-masing tipologi: market, modular dan captive.132 Hal ini menunjukkan pandangan awal bahwa struktur GVC tidak hanya disebabkan oleh tingkat koordinasi antar lead firm dengan pemasok dengan tiga determinannya yaitu: kompleksitas produk dan transaksi, kemampuan lead firm dalam mengkodifikasikan produk, dan kemampuan dari sisi pemasok utama,133 namun juga disebabkan kombinasi dengan aspek intensitas dukungan pemerintah yang dibutuhkan dalam mendorong peningkatan nilai tambah industri tersebut. Dalam konteks diatas, studi ini akan melakukan rekonstruksi kebijakan yaitu pada level kebijakan, level organisasi dan level operasional dan dukungan politik untuk menjelaskan upgrading teknologi pada GVC- industri pesawat terbang. Melalui hasil rekonstruksi tersebut, kemudian dapat diidentifikasi
127
Francis, J. G., & Pevzner, A. F. 2006. loc. cit .h.1-2; Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc. cit .h.11 128 Kayleigh Brown dan Tobias Tiemann (tanpa tahun), loc. cit. h. 11-12; Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.23. 129 Andrea Morrison, Carlo Pietrobelli dan Roberta Rabellotti, 2006. Global Value Chains and Technological Capabilities: A Framework to Study Industrial Innovation in Developing Countries. h. 13 130 Gary Gereffi., JohnHumphrey,. & Timothy Sturgeon, loc. cit. h.91-94 131 Ibid.h.87 132 Ibid. 133 Ibid.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
37
kombinasi karakter tipologi GVC- industri pesawat terbang yang lebih efektif, baik terkait hubungan koordinasi antara lead firm dengan pemasok, maupun intensitas dukungan pemerintah yang dibutuhkan sehingga upgrading teknologi yang dilakukan industri pesawat terbang dapat survive dan berkelanjutan.
1.3. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah diuraikan di atas, masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana situasi problematikal dalam kebijakan mendorong upgrading teknologi pesawat terbang di Indonesia yang dihasilkan melalui penguasaan kemampuan produksi dan integrasi menuju pesawat yang dihasilkan melalui penguasaan kemampuan pengembangan teknologi yang sarat akan kompleksitas interaksi antara elemenelemen yang berbeda khususnya dengan mengacu kepada kegagagalan program Pesawat N 250. Situasi problematikal tersebut kemudian ditelaah untuk mengkonstruksi pengetahuan baru dan selanjutnya pengetahuan baru tersebut dapat digunakan untuk memperbaiki situasi problematikal yang ada. Bertolak dari gagasan serba sistem (systems idea), kebijakan mendorong upgrading teknologi pesawat terbang di Indonesia dipandang sebagai sistem aktivitas manusia (human activity system). Situasi problematikal dalam kebijakan mendorong upgrading teknologi pesawat terbang di Indonesia dengan mengacu kepada kegagagalan program Pesawat N 250 ditempatkan pada kerangka konseptual yang mengkombinasikan policy process as hierarchy (Bromley, 1989) dan Global Value Chain Hierarchy (Gereffi, Humphrey dan Sturgeon, 2005) dan menggunakannya untuk memperbaiki situasi problematikal yang dihadapi dan sekaligus sebagai lesson learnt bagi program upgrading teknologi yang saat ini sedang atau akan dilakukan oleh pemerintah bersama lembaga dan industri terkait, seperti program N 219, program N 245 (upgrading CN 235), dan program R-80. Permasalahan tersebut dikembangkan menjadi pertanyaan-pertanyaan penelitian yang masing-masing adalah terdiri dari satu pertanyaan (no.4) yang bersifat research interest dan tiga pertanyaan (no.1-3) merupakan problem solving interest:
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
38
1. Bagaimana mendorong upgrading teknologi pada level kebijakan dari pesawat yang dihasilkan melalui penguasaan kemampuan produksi dan integrasi menuju pesawat yang dihasilkan melalui penguasaan kemampuan pengembangan teknologi pada global value chain- Industri Pesawat Terbang dengan mengacu pada kegagalan program N 250 sehingga upgrading teknologi yang dilakukan dapat survive dan berkesinambungan dalam upaya menjamin terjadinya kemandirian teknologi dirgantara di Indonesia? 2. Bagaimana
mendorong
upgrading
teknologi
pada
level
kelembagaan/organisasi dari pesawat yang dihasilkan melalui penguasaan kemampuan produksi dan integrasi menuju pesawat yang dihasilkan melalui penguasaan kemampuan pengembangan teknologi pada global value chain- Industri Pesawat Terbang dengan mengacu pada kegagalan program N 250 sehingga upgrading teknologi yang dilakukan dapat survive dan berkesinambungan dalam upaya menjamin terjadinya kemandirian teknologi dirgantara di Indonesia? 3. Bagaimana mendorong upgrading teknologi pada level operasional dari pesawat yang dihasilkan melalui penguasaan kemampuan produksi dan integrasi menuju pesawat yang dihasilkan melalui penguasaan kemampuan pengembangan teknologi pada global value chain- Industri Pesawat Terbang dengan mengacu pada kegagalan program N 250 sehingga upgrading teknologi yang dilakukan dapat survive dan berkesinambungan dalam upaya menjamin terjadinya kemandirian teknologi dirgantara di Indonesia? 4. Bagaimana konsep tiga level hierarki proses kebijakan (Bromley, 1989) dalam mendorong upgrading teknologi pada global value chain-Industri Pesawat Terbang (Gereffi., Humphrey dan
Sturgeon, 2005) sehingga
upgrading teknologi yang dilakukan dapat survive dan berkesinambungan untuk menjamin terjadinya kemandirian teknologi dirgantara di Indonesia?
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
39
1.4. Tujuan Penelitan 1. Mengkonstruksi kebijakan dalam mendorong upgrading teknologi pada global value chain-Industri Pesawat Terbang pada level kebijakan dengan mengacu pada kegagalan program N 250 sehingga upgrading teknologi yang dilakukan dapat survive dan berkesinambungan sekaligus sebagai lesson learnt untuk menjamin terjadinya kemandirian teknologi dirgantara di Indonesia 2. Mengkonstruksi sinergi kelembagaan dalam mendorong upgrading teknologi pada global value chain -Industri Pesawat Terbang pada level kelembagaan/organisasi dengan mengacu pada kegagalan program N 250 sehingga upgrading teknologi yang dilakukan dapat survive dan berkesinambungan sekaligus sebagai lesson learnt untuk menjamin terjadinya kemandirian teknologi dirgantara di Indonesia. 3. Mengkonstruksi strategi manajemen Industri Pesawat Terbang Nasional dalam mendorong upgrading teknologi pada global value chain -Industri Pesawat Terbang pada level operasional dengan mengacu pada kegagalan program N 250 sehingga upgrading teknologi yang dilakukan dapat survive dan berkesinambungan sekaligus sebagai lesson learnt untuk menjamin terjadinya kemandirian teknologi dirgantara di Indonesia. 4. Merekonstruksi konsep tiga level hierarki proses kebijakan dalam mendorong upgrading teknologi pada global value chain -Industri Pesawat Terbang sehingga upgrading teknologi yang dilakukan dapat survive dan berkesinambungan untuk menjamin terjadinya kemandirian teknologi dirgantara di Indonesia.
1.5. Signifikansi Penelitian 1.5.1. Bagi Ilmu Pengetahuan Untuk memberikan pengayaan pada konsep tiga level hiearki proses kebijakan (Bromley, 1989) dalam mendorong upgrading teknologi pada GVCIndustri Pesawat Terbang (Gareffi, Humphrey, dan Sturgeon, 2005) beserta pengayaaan pada karakter tipologi GVC- Industri Pesawat Terbang dalam upgrading teknologi industri pesawat terbang.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
40
1.5.2. Bagi Pemerintah Untuk memberikan rekomendasi kebijakan dalam proses upgrading teknologi industri pesawat terbang sehingga dapat meningkatkan nila tambah sektor kedirgantaraan nasional sekaligus sebagai masukan terkait program pemerintah dalam pengembangan pesawat secara umum, dan program pengembangan N 219, N 245 dan R-80 secara khusus.
1.5.3. Bagi Industri Pesawat Terbang Nasional Untuk memberikan masukan bagi industri pesawat terbang nasional dalam mengembangkan pesawat terbang sehingga survive dan berkelanjutan, khususnya dalam meningkatkan strategi manajemen bisnis dalam membangun jejaring kemitraan baik dengan mitra asing dan mitra domestik baik melalui risk sharing partnership atau konsorsium inovasi.
1.6. Batasan Penelitian 1.
Struktur Global Value Chain-Industri Pesawat Terbang dalam studi ini adalah memiliki ciri utama yaitu intervensi pemerintah yang tinggi. Kedua adalah kompleksitas baik proses transaksi maupun teknologi produk juga cukup tinggi (Gareffi, Humphrey, dan Sturgeon, 2005).
2.
Time frame penelitian adalah dukungan kebijakan terhadap industri pesawat terbang sejak Era Pemerintahan Soeharto khususnya pada program N 250 hingga dukungan pada era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Oleh karena itu, penelitian ini belum mengakomodir perubahahan nomenklatur dan tupoksi kementerian lembaga seperti Kementerian Ristek yang kemudian menjadi Kementerian Ristek Dikti atau perubahaan
lingkup
tugas
pokok dan
fungsi
Kementerian
Perencanaan dan Pembangunan Nasional/BAPPENAS dan lain-lain. 3.
Lingkup upgrading teknologi dalam studi ini adalah pada tahap ke tiga yaitu strategi berawal diakhir dan berakhir diawal yaitu pesawat dihasilkan melalui penguasaan kemampuan pengembangan teknologi sejenis pesawat R-80 yang merupakan upgrading dari N 250 atau N 245 yang merupakan upgrading dari CN 235. Walaupun demikian, penelitian
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
41
ini hanya dibatasi pada pembahasan secara lebih mendalam pada program R-80 semata, terlepas bahwa pengusung program tersebut adalah berasal dari PT RAI. 4.
Kajian ini menggunakan soft systems thinking, sehingga tidak dapat secara langsung dipadankan dengan arus utama (mainstream) metodologi ilmu sosial (sosial science methodologies). Pendekatan yang digunakan adalah soft systems methodology (SSM). SSM dilakukan dengan pentahapan secara sistematik yang memenuhi syarat recoverability sebagaimana ditekankan oleh Checkland dan Poulter (2006) dengan menjadikan PT DI sebagai rujukan penelitian.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
42
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konteks Penelitian 2.1.1.
Kajian
Kebijakan
didalam
mendorong
pembangunan
sektor
dirgantara134 Beberapa studi kebijakan dalam mendorong pembangunan sektor dirgantara telah dilakukan beberapa peneliti, diantaranya dalam penelitan Jones (1999)135 terhadap Industri Pesawat Terbang WACO selama periode tahun 19191963. Didalam penelitian tersebut, disimpulkan bahwa peran pemerintah dalam mendorong peningkatan kegiatan litbang bahkan menjadi pasar pertama bagi industri pesawat terbang (untuk aplikasi militer) merupakan faktor kunci keberhasilan Industri Pesawat Terbang WACO. Walaupun dalam studi tersebut telah menggambarkan hubungan antara pemerintah dan swasta, namun aspek kebijakan dalam pengembangan pesawat tersebut masih umum yaitu hanya pada pendanaan litbang dan pemasaran. Pada tahun 2006, Francis dan Pevzner136 dalam studi perbandingan antara perusahaan Airbus dan Boeing menyimpulkan bahwa diantara bentuk bantuan pemerintah dalam pengembangan industri pesawat terbang adalah mulai dari bantuan pendanaan riset dan pengembangan, pendanaan atau fasilitasi proses kontruksi, bantuan SDM, pemasaran, bantuan pengamanan kontrak penjualan luar negeri dll. Bahkan Francis dan Pevzner menekankan bahwa untuk industrial policy untuk industri pesawat terbang harus bersifat jangka panjang. Sejatinya Francis dan Pevzner telah cukup jelas menggambarkan peran pemerintah baik dalam ranah inovasi maupun ekonomi, namun belum dijelaskan bagaimana dan apa dukungan politik yang dibutuhkan dalam pengembangan industri pesawat terbang. Penelitian Stewart (2007)137 dengan judul China’s Industrial Subsidies Study: High Technology, bahwa kebijakan tersebut tertuang secara tegas baik
134
Lihat Lampiran I Ringkasan Riset Terdahulu Howard , G. Jones,1999. loc.cit. h.291-292 136 Francis, J. G., & Pevzner, A. F./2006. loc.cit.h.1-2. 137 Terence P. Stewart, Esq. Stewart and Stewart, April 2007. loc.cit, h. 6-10. 135
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
43
dalam dokumen semacam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang disebut sebagai Guideline for National Economic and Social Development periode (2006-2010) maupun secara khusus dalam Rencana Jangka Panjang Pembangunan (RPJP) IPTEKnya atau yang disebut The Guideline for the National Medium- and Long-Term Science and Technology Development Plan (2006-2020). Dan salah satu kebijakan ekonomi China yang mendorong aircraft product manufacturing adalah cross-industry subsidies untuk High Tech Industry. Bahkan selain dukungan pemerintah pusat, pemerintah daerah juga mendukung kebijakan tersebut. Kajian yang dilakukan oleh The William Davidson Institute pada 2008138 menunjukkan bahwa dual use civil military technology
bersifat symbiotic,
pengembangan pesawat untuk program militer dapat mendorong inovasi teknologi canggih, sementara aplikasi untuk komersial berkontribusi pada strategi efisiensi dan reliabilitasnya. Namun, penelitian tersebut tidak membahas secara jelas peran pemerintah dalam mendorong industri pesawat tersebut. Pada tahun 2010, Pritchard139 melakukan penelitian terhadap sejumlah industri pesawat terbang yaitu Boeing Amerika Serikat, Airbus Eropa, Bombardier Canada, United Aircraft Corporation (UAC) Rusia, COMAC China, Embraer Brasil, Industri Pesawat Terbang Meksiko dan Industri Pesawat Terbang Italia. Dalam hasil studi tersebut dijelaskan bahwa berdasarkan pengalaman Airbus, Bombardier Canada dll menunjukkan bahwa dukungan pemerintah baik langsung atau tidak langsung sangat penting bagi industri pesawat terbang terutama pada saat launcing pesawat terbang baru di pasaran. Dalam industri pesawat terbang Rusia yang disebut United Aircraft Corporation (UAC), polanya sangat sentralistik dan dikontrol langsung oleh negara. China, bentuk dukungan pemerintahnya tertuang dalam rencana pembangunan sepuluh tahun. Brasil terkenal
dengan
sejumlah
koherensi
kebijakan
inovasi,
ekonomi
dan
pembangunannya, salah satu contohnya adalah kebijakan ProEx dan FINEPnya. Industri pesawat terbang Italia sangat terkenal dengan dukungan pemerintahnya terutama dalam anggaran litbang dan manufacturingnya.
138 139
William Davidson Institute, 2008. Airbus and Boeing: The Fight for Hegemony. h.2 David Pritchard, September 2010. loc.cit. h.6-11.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
44
Dukungan Pemerintah Mexico dalam pengembangan pesawat terbangnya adalah bentuk dukungan financial. Namun penelitian tersebut sangat kurang menggambarkan secara detil bagaimana bentuk peran pemerintah pada masingmasing negara tersebut kecuali Brasil. Namun, kecuali terhadap industri pesawat terbang Embraer-Brasil, penelitian tersebut tidak menggambarkan secara detil bagaimana bentuk peran kebijakan pemerintah pada masing-masing industri pesawat terbang dari negara-negara tersebut.140 Chu, Zhang dan Jin, (2010)141 melakukan studi komparasi antara Kluster Industri China dengan Amerika Serikat. Dalam kesimpulannya, Chu, Zhang dan Jin merekomendasikan dalam pengembangan industri aircraft, pemerintah harus meninggalkan pola tradisional dalam berinovasi menuju pola yang terbuka serta berorientasi pasar. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah pemerintah harus merevitalisasi dan menyempurkan rencana pembangunan kawasan atau kluster industri aircraft. Namun dalam studi Chu, Zhang dan Jin masih tidak jelas bagaimana seharusnya peran pemerintah baik dalam konteks kebijakan pembangunan maupun kebijakan inovasinya. Penelitian Brown dan Tiemann, tanpa tahun142 dengan judul EU State Aid Policy and EC – Air Bus Case, disimpulkan bahwa dukungan pemerintah merupakan faktor keberhasilan Airbus, dukungan pemerintah tersebut tidak saja secara ekonomi yaitu dalam bentuk grant of subsidies (berupa pengalihan sewa dari producer asing ke producer domestik) tetapi juga dalam bentuk dukungan politik internasional terutama penetrasi dalam organisasi perdagangan dunia (WTO). Namun, dalam studi tersebut belum menjelaskan koherensi antara kebijakan inovasi, serta kebijakan sektor lainnya. Dalam
penelitian untuk disertasinya pada tahun 2013, Lucy143
merekomendasikan supaya dalam creating new idea dan inovasi teknologi, membangun kerjasama Boeing dengan US Government sangat penting dalam mempertahankan keunggulan Boeing terhadap sejumlah kompetitornya dalam
140
Ibid. Chu Bo, Zhang Hua, Jin Fengjun, 2010. loc.cit. h.478-479. 142 Kayleigh Brown dan Tobias Tiemann (tanpa tahun), loc.cit. h. 11-12. 143 Suijun Lucy Yi, 2013. loc.cit. h.12-17. 141
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
45
perekonomian Global. Namun sayang, penelitian tersebut tidak menjelaskan bagaimana bentuk peran tersebut. Penelitian Hwan Cho144, tanpa tahun dengan judul Challenge In Research and Development For The Korean Aircraft Indusrty pada salah satu kesimpulannya dinyatakan bahwa untuk mencapai industri pesawat terbang yang memiliki kelayakan komersial, maka diperlukan dukungan jangka panjang pemerintah baik dalam investasi nasional maupun dukungan secara politik. Walaupun telah menyinggung bentuk kebijakan Iptek, namun bentuk kebijakan ekonomi maupun politik yang dijelaskan masih bersifat umum Studi yang dilakukan dengan mengambil lokus Indonesia khususnya IPTN adalah telah dilakukan oleh Djojonegoro (1991),145 bahwa empat strategi transformasi industri atau yang dikenal dengan “ start with the end and end with the beginning” dengan salah satu laboratoriumnya adalah IPTN lebih cocok diterapkan di Indonesia, dengan dua alasan: Tahap pertama yang diarahkan pada kemampuan memproduksi, selain telah jelas memiliki nilai komersial juga tidak membutuhkan biaya yang sangat besar terutama untuk kegiatan litbang yang memiliki probalitas gagal yang juga relatif tinggi, dan menurut Mansfield et.al (1981) di dalam Milling dan Maier146, bahwa tingkat kegagalan kegiatan litbang mencapai 91,2 %. Kedua, Kemampuan pendanaan atau investasi litbang untuk negara-negara berkembang masih sangat lemah. Namun, studi ini tidak menyinggung bagaimana kesinambungan dukungan tersebut baik secara politik maupun ekonomi dalam konteks Industri Pesawat Terbang khususnya IPTN. Dalam
penelitian
McKendrick147
dijelaskan
bahwa
Akumulasi
kemampuan engineering dan produksi tidak cukup menjadikan IPTN sukses dalam komersialisasi pesawat terbang komersial (terutama N 250) nya. Dalam studinya, McKendrick menemukan adanya kelemahan manajemen dalam IPTN dan dalam temuannya, McKendrick masih mempertanyakan dukungan kebijakan (pemerintah) terhadap IPTN terutama terkait tidak adanya badan penerbangan yang bersifat independen serta lemahnya infrastruktur Iptek. Studi tersebut lebih 144
Tae Hwan Cho. loc.cit. h. 326-328 Wardiman Dojonegoro,1991. Towards A Science and Technology Policy Approach Supporting Industrial Development of Indonesia. h.16-17 146 Petter M.Milling dan Frank H. Maier. Dynamic of R&D and Innovation Diffussion.h.2 147 David McKendrick, 1992. loc.cit..h.39. 145
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
46
bersifat mikro, belum menyinggung bentuk kebijakan pemerintah dalam komersialisasi pesawat terbang. Namun studi tersebut lebih bersifat mikro dan belum
menyinggung
bentuk
kebijakan
pemerintah
dalam
mendorong
komersialisasi pesawat terbang nasional. Berdasarkan hasil penelitian Steenhuis dan Bruijn148 pada 2001 terhadap Industri Pesawat Terbang Nausantara (IPTN) bahwa environment (lingkungan kebijakan) merupakan faktor penting bagi keberhasilan pengembangan industri pesawat terbang nasional. Pada tahun 2005, Thee149 mengungkapkan bahwa pada tahun 1990an sampai sebelum krisis ekonomi 1997/1998, dengan adanya dukungan politik yang kuat, IPTN mendapatkan sejumlah dukungan pemerintah diantaranya adalah melalui didirikannya Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS), BPIS merupakan wahana dalam menjalankan strategi transformasi industri dalam berbasis high tech, diarahkan selain untuk pasar domestik juga untuk ekspor. Namun penelitian tersebut, lebih menitiberatkan pada dual track strategi industri yang senada dengan perbedaan
antara
Habibienomics
dengan
Widjojonomics,150
dan
tidak
mengungkapkan bagaimana seharusnya dukungan kebijakan sektor lainnya terutama sektor IPTEK bagi pengembangan industri pesawat terbang nasional. Dan penelitian Amir pada tahun 2007151 dinyatakan bahwa nasionalisme teknologi adalah suatu bentuk ideologi yang berfungsi pada tiga level yaitu integrasi, legitimasi dan distorsi. Amir menjelaskan bahwa dukungan pemerintah baik secara politik dan pendanaan dalam pengembangan IPTN khususnya pesawat N 250 sangat dilatarbelakangi oleh masih kuatnya semangat nasionalisme pada pakar pengembang teknologi pesawat terbang yang kemudian didukung penuh oleh elit politik tertinggi pada waktu itu. Namun menurut Amir, nasionalisme teknologi masih mengandung paradoks, satu sisi mengusung spirit kemerdakaan yang puncaknya adalah kemandirian teknologi, namun pada sisi lain seolah-olah kemerdekaan dimaknai hanya sebatas pada kemandirian teknologi semata. Namun, penelitian tersebut tidak menjelaskan bagaimana kebijakan pemerintah
148
Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit. h. 3-5 Kian Wie Thee, 2005a. loc.cit. h.7 dan Kian Wie Thee, 2005b. loc.cit.h.24. 150 Yuwono, Agustus 2001, loc. cit. h.41 151 Sulfikar Amir, 2007. loc.cit. h.284 149
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
47
untuk memperkuat nasionalisme tersebut dalam kemandirian teknologi pesawat terbang dalam konteks kekinian.
2.1.2. Kajian perbandingan Kebijakan Pemerintah dalam mendorong upgrading teknologi antara industri IPTN dengan beberapa Industri Pesawat Terbang diberbagai negara.152 Penelitian perbandingan kebijakan pemerintah terhadap pengembangan industri pesawat terbang nasional telah dilakukan oleh Steenhuis dan Bruijn (tanpa tahun).153 Dalam penelitian tersebut dijelaskan masing-masing faktor kegagalan dan keberhasilan di masing-masing empat negara yaitu RomaeroRumania, IPTN-Indonesia AVIC-China, dan Embraer-Brasil. Menurut Steenhuis dan Bruijn, faktor kegagalan Romaero-Rumania adalah karena ketika industri berusaha untuk mengembangkan rancangan pesawat medium atau large yang berbasis pada licensed manufacturing, perusahaan dihadapkan pada permasalahan financial dan pemerintah tidak mampu untuk menanggulangi atau memberikan dukungan pendanaan bagi perusahaan tersebut. Begitupun Indonesia, walaupun Indonesia lebih maju dari Rumania baik dalam kemampuan desain maupun produksi pesawat, namun selain masih rendahnya efisiensi produksi, dihentikannya dukungan pendanaan pemerintah terutama terhadap program N 250 merupakan salah satu faktor utama gagalnya IPTN dalam pengembangan pesawat komersial dengan kelas 50 penumpang. Lain halnya dengan China maupun Brasil, menurut Steenhuis dan Bruijn,154 dukungan pemerintah nasional terhadap pengembangan industri pesawat terbang komersial terhadap kedua negara tersebut sangat tinggi, bahkan walaupun pemasaran pesawat terutama untuk pasar internasional Jet Avic China masih gagal, namun pemerintah china terus berkomitmen untuk mendukung industri pesawat terbang nasional tersebut. Brazil bisa dibilang relatif sukses diantara keempat negara tersebut, menurut Steenhuis dan Bruijn,proses pengembangan industri pesawat terbang
152
Lihat Lampiran I Ringkasan Riset Terdahulu. loc.cit Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit. h. 3-5 154 Ibid. h. 7-11
153
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
48
Brasil telah dimulai sejak tahun 1950-1980, dalam periode tersebut telah dipancangkan pondasi awal bagi pengembangan industri pesawat terbang nasional yang terdiri tiga fase: pertama, adalah fase sepuluh tahun pertama yang diarahkan untuk mendirikan program pelatihan dan pengajaran untuk mendukung pengembangan industri pesawat terbang. Fase kedua adalah pendirian kemampuan local manufacturing, dan fase ketiga adalah persiapan pembangunan industri pesawat terbang yaitu Embraer.155 Oleh karena itu menurut Steenhuis dan Bruijn, bahwa Embraer-Brazil adalah satu negara berkembang yang telah berhasil dalam upgrading pengembangan high tech innovation pesawat penumpang dengan kelas diatas 50 penumpang dalam perekonomian global diantaranya adalah ERJ-145; ERJ170/190. Steenhuis dan Bruijn menekankan bahwa komitmen jangka panjang pemerintah Brasil dalam mendorong pengembangan industri pesawat terbang khususnya Embraer merupakan salah satu faktor kunci, karena tidak seperti yang terjadi dengan Rumania atau Indonesia, walaupun pada tahun 1980an Embraer dihadapkan pada krisis ekonomi, namun pemerintah Brasil berkomitmen untuk terus memberikan dukungan terhadap perusahaan tersebut, hasilnya setelah melewati masa-masa surive pada sebagian besar dalam periode 1990an, akhirnya pada 1994, Industri Embraer kembali profitable. Faktor lain dari keberhasilan Embraer khususnya pesawat ERJ-145 menurut Steenhuis dan Bruijn adalah kebijakan masa lampau pemerintah Brasil dalam memberlakukan kebijakan ProEx yaitu insentif pengurangan bunga sekitar 3,5% atas loan bagi pembeli dari luar negeri.156 Bahkan menurut penelitian Wall157 pada tahun 2013, Kebijakan ProEx tersebut telah diberlakukan pemerintah Brasil sejak juni tahun 1991. Walaupun akhirnya di tahun 1999-2000, menurut Laporan WTO, pada tahun 1999, kebijakan tersebut dinilai illegal dan akhirnya dihentikan.158
155
Ibid. h. 9-11 Ibid. h. 10 157 Sarah Elizabeth Wall, Desember 2013. loc.cit. h.1. 158 Laporan WTO, 14 April1999. loc.cit. h. 14 156
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
49
Pada tahun 2010, Vertesy dan Szirmai159 dalam penelitiannya dengan judul Interrupted Innovation: Innovation System Dynamics in Latecomer Aerospace Industries bertujuan untuk menganalisis peran lingkungan sistem inovasi sektoral bagi industri penerbangan nasional. Studi tersebut menganalisis empat industri penerbangan di empat negara yaitu Embraer-Brazil, COMACChina, IPTN- Indonesia dan FAMA-Argentina. Salah satu faktor kegagalan Argentina selain karena gagalnya privatisasi dan kuatnya kontrol militer adalah tidak adanya koherensi kebijakan inovasi, industri, IPTEK, dan Pertahanan yang didukung secara politik. Kegagalan Indonesia, hampir mirip dengan Argentina, yaitu tidak adanya kesinambungan dukungan pemerintah baik secara pendanaan dan secara politik, hanya saja IPTN menurut Vertesy dan Szirmai, walaupun memiliki kemampuan dalam transfer teknologi, namun kemampuan untuk kegiatan manufacturingnya yang layak secara ekonomi masih rendah. Industri pesawat terbang Avic- China maupun Embraer-Brasil, menurut Vertesy dan Szirmai telah memiliki sejumlah kebijakan yang koheren dan jangka panjang dalam mendorong pengembangan industri pesawat terbang nasional baik pada kebijakan pembangunan ekonomi, politik dan perindustrian, bahkan contoh Brasil menunjukkan komitmen pemerintah tidak hanya pada lingkup domestik bahkan untuk orientasi pasar internasional.160 Berdasarkan penelusuran pustaka, dapat diringkas bahwa ada tiga aspek yang digunakan untuk menjelaskan upgrading pesawat terbang komersial. Dan aspek-aspek tersebut dapat diklasifikasi menjadi tiga level, yaitu level kebijakan, level
organisasional
dan
level
operasional.
Ketiga
level
tersebut
merepresentasikan konsep tiga level hierarki proses kebijakan Bromley (1989). Pada Gambar 2.1 terlihat jelas bahwa untuk tema pada level kebijakan untuk mendukung pengembangan pesawat terbang komersial baik untuk ruang lingkup antar negara maupun dalam satu negara jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan tema kebijakan di level satu sektor dan level operasional. Namun sebagaimana telah dijelaskan, bahwa penelitian yang menganalisis tiga
159 160
Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.23 Ibid. h. 23-44
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
50
level kebijakan dalam upgrading teknologi pesawat terbang nasional dalam global value chain dengan tipologi hierarki sejauh ini masih belum penulis dapatkan. Oleh karena itu, studi ini akan diarahkan pada upaya mengisi ruang kosong pada studi kebijakan pada tiga level sebagaimana model Bromley (1989) dalam mendorong upgrading pesawat terbang dalam global value chain dengan tipologi hierarki.
PENDEKATAN
Antar Negara
Negara
Vertesy dan Szirmai (2010); Brown dan Tiemann (tanpa tahun); Steenhuis dan Bruijn (2001: tanpa tahun); Stewart (2007); William Davison, 2008; Francis dan Pevzner (2006); Chu, Zhang dan Jin (2010); Lucy (2013); Pritchard (2010); Gillett dan Stekler (1995);
Dahlman dan Frihtak (1990); Amir (2007); Hwan Cho (tanpa tahun); Okomoto dan Sjöholm (2001); Djojonegoro (1991); The (2005a;2005b); Jones (1999); Okomoto dan Sjöholm (2001); Mudzakir (2014)
Steenhuis dan Bruijn (2001); Vertesy dan Szirmai (2010); Chu, Zhang dan Jin (2010);William Davison, 2008;
Pritchard (2010):
McKendrick (1992); Djojonegoro (1991); Okomoto dan Sjöholm (2001); Stewart (2007)
Dahlman dan Frihtak (1990);
-
Mudzakir (2014) (Tipologi GVC IPTN
Mudzakir (2014) Mudzakir (2014) Tipologi Struktur GVC
Manajemen Industri
Operational Level
Policy Level
Kebijakan pada level sektor Organizational Level
TEMA
Gambar 2.1. Peta Penelitian Sejenis (1991-2013) dan Kontribusi Penelitian Tesis Ini. Sumber: Diolah oleh Penulis
2.2. Global Value Chain Global Value Chain menitiberatkan pada ekspansi internasional dan pengelompokkan secara geografis. Fokus utamanya adalah pada isu-isu industri menyangkut organisasi atau reorganisasi, koordinasi, governance dan power dalam rantai nilai. Namun, pendekatan Global Value Chain juga akan menyinggung konteks diluar internal jejaring antara lead firm dengan pemasok seperti kebijakan perdagangan, regulasi dan standar.161 Dalam konteks GVC, lead firms bisa sebagai producer atau buyer. Didalam producer-driven chains, power yang menyangkut modal, teknologi dan keahlian produksi berada pada industri penghasil produk akhir. Sedangkan didalam buyer-driven chains, pembeli dari
161
Gary Garrefi, 2011. loc.cit. h.39
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
51
produk akhir memiliki kemampuan yang sangat tinggi untuk membentuk mass consumption melalui pembelian brand yang memiliki pasar yang sangat kuat.162 Dua konsep inti dari Global value chain adalah industrial governance yang bersifat top-down dan up grading yang bersifat bottom-up. Industrial governance fokus pada lead firms dan jejaring antar perusahaan, sehingga polanya cenderung top-down karena menitiberatkan pada pola koordinasi jejaring antara leadfirm dengan industri pemasok. Untuk konsep upgrading, analisanya fokus pada bagaimana strategi suatu daerah, negara dan pemangku kepentingan ekonomi (termasuk industri) meningkatkan posisinya dalam perekonomian global baik economic upgrading seperti aktivitas produksi, ekspor, aktivitas manufaktur maupun social upgrading seperti standar kualitas tenaga kerja, upah minimum dan lainnya. Atau dengan kata lain, aktivitas up grading dalam Global Value Chain adalah Industrial upgrading yaitu aktivitas para aktor-aktor ekonomi baik negara, perusahaan dan pekerja dalam meningkatkan nilai (produksi) dalam Global Production Network atau jejaring produksi global.163
2.2.1 Struktur GVC Struktur GVC menitiberatkan pada koordinasi antara leads firm dengan para pemasok material atau komponen.164 Terkait pola koordinasi dalam tipologi industrial governance, Gary Gereffi, John Humphrey dan Timothy Sturgeon (2005)165 membagi menjadi lima tipe pola koordinasi yang merepresentasikan lima tipe Global Value Chain yaitu Hierarchy, Captive, Relational, Modular dan Market. Gary Gereffi dkk166, mengidentifikasi tiga variabel yang memainkan peranan besar dalam menentukan bagaimana kelima tipologi Global Value Chain tersebut dikelola atau dikoordinasi dan berubah. Ketiga variabel tersebut adalah terdiri dari: 1. Kompleksitas transaksi Faktor pertama terletak pada kompleksitas transaksi, di mana kompleksitas dalam transfer informasi dan pengetahuan membutuhkan suatu transaksi 162
Ibid. h.40 Ibid. h.45 164 Ibid. h.39 165 Gary Gereffi., John Humphrey,. & Timothy Sturgeon, 2005.loc. cit. h.82-84 166 Ibid.h.87 163
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
52
tertentu yang terus berkelanjutan, khususnya yang terkait dengan spesifikasi produk dan proses. 2. Kemampuan dalam mengkodifikasikan transaksi. Faktor kedua yang sangat mempengaruhi tipe koordinasi ini adalah kapabilitas dalam mengkodifikasi transaksi. Terutama terkait dengan sejauh mana informasi dan pengetahuan dapat dikodifikasi dan diteruskan secara efisien dan tanpa diperlukan transaksi/investasi spesifik di antara pihak-pihak yang bertransaksi. 3. Kemampuan dari sisi pemasok utama. Faktor ketiga terwujud dalam kapabilitas aktual dan potensial yang dimiliki oleh pemasok terkait dengan syarat-syarat dari transaksi. Teori yang tersusun dari tiga variabel ini dibingkai dalam analisis mengenai biaya transaksi yang tidak terlepas dari kompleksitas relasi antarperusahaan dan pola investasi ke dalam suatu bentuk transaksi tertentu (asset specificity). Keberadaan produk-produk yang terstandarisasi menjadikan pola pengkoordinasian yang bersifat tidak mengikat dapat berjalan dengan baik, dikarenakan transaksi dapat dengan mudah dideskripsikan dan nilainya mudah untuk ditentukan. Permasalahan koordinasi juga dapat dikurangi, selain karena kontrak dapat dengan mudah dibuat dalam kondisi deskripsi dan nilai transaksi yang jelas, juga dikarenakan sifat dari produknya yang terstandarisasi sehingga dapat disimpan dan dipasok ketika dibutuhkan. Permasalahan aset yang harus spesifik dimiliki dalam proses produksi juga dapat teratasi, ketika produk-produk yang bersifat standar ini dibuat oleh banyak pemasok dan dibeli oleh banyak pelanggan.167 Sebaliknya, dipengaruhi oleh biaya transaksi ini juga, perusahaanperusahaan cenderung memilih strategi untuk melakukan aktivitas produksi di dalam struktur organisasi perusahaan secara internal. Pertama, semakin mudah suatu produk atau jasa disesuaikan dalam proses produksi (customizing), semakin besar kecenderungan sebuah perusahaan untuk melakukan transaksi-investasi spesifik. Hal ini terutama disebabkan oleh tingginya kecenderungan oportunisme di dalam pemecahan produksi. Sehingga, perusahaan lebih memilih untuk 167
Ibid.h.80
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
53
melakukan aktivitas produksi dalam struktur internalnya (in-house) ketimbang menanggung biaya tambahan dalam upaya untuk mengamankan produksi di unitunit atau wilayah lain. Kedua, pengkoordinasian produksi yang berjalan antar unit produksi tentu saja membutuhkan biaya tersendiri. 168 Biaya transaksi mengalami peningkatan ketika relasi antar-perusahaan membutuhkan koordinasi yang tinggi. Terutama dalam produksi yang membutuhkan input yang tidak terstandarisasi dan berjalan dalam arsitektur perancangan yang terintegrasi, proses transfer informasi mengenai rancangan produk menjadi semakin kompleks dan menjadikan interaksi lintas perusahaan semakin intensif. Dalam kondisi relasi produksi antar-perusahaan yang kompleks, biaya transaksi menjadi semakin besar, sehingga perusahaan cenderung untuk mengorganisasikan produksi dalam struktur internal.169
Tabel 2.1. Empat Struktur GVC
Sumber: Humphrey dan Schmitz (tanpa tahun, h.16)
Menurut Humphrey dan Schmitz (tanpa tahun),170 terdapat empat tipologi GVC yaitu: Market, Network, Quasi Hierarchy, dan Hierarchy. Dan determinan yang membedakan empat Struktur Global Value Chain tersebut yaitu: 168
Ibid Ibid. 170 John Humphrey dan Hubert Scmitz (tanpa tahun), Governance and Upgrading: Lingking Industrial Cluster and Global Value Chain Researc. loc.cit.h.16 169
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
54
Ada/tidaknya kebutuhan untuk berkolaborasi antara pembeli dan penyedia; Tingkat kerjasama antara dua atau lebih pihak dari masing-masing penyedia dan pembeli; sejauhmana kontrol pembeli atas penyedia; dan keempat adalah adanya kontrol langsung dari pembeli atas seluruh proses produksi (lihat tabel 2.1).
2.2.2. Pengkoordinasian Dalam Lima Tipologi Industrial Governance Berdasarkan pada tiga faktor pembeda struktur GVC, Gereffi, Humphrey dan Sturgeon171 kemudian mengklasifikasi struktur GVC kedalam lima tipe pengelolaan atau pengkoordinasian Global Value Chain (Gambar 2.2).
Gambar 2.2. Pengkoordinasian Dalam Lima Tipologi Industrial Governance Sumber: Gereffi, Humphrey, dan Sturgeon, 2005, h.89.
1. Pertama, tipe koordinasi dalam tipologi GVC Market. Dalam tipe ini, pertukaran
melalui
mekanisme
pasar
menjadi
mekanisme
pengkoordinasian proses produksi. Dalam prosesnya, keterkaitanketerkaitan melalui mekanisme pasar, tidak harus sepenuhnya bersifat sementara (transitory). Keterkaitan ini dapat berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, di mana pengulangan transaksi dapat terus terjadi. Poin penting dari tipe pengkoordinasian ini terletak pada rendahnya biaya
171
Gary Gereffi., JohnHumphrey,. & Timothy Sturgeon, 2005.loc. cit. h.83-84
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
55
yang dibutuhkan dalam pergantian mitra bagi kedua belah pihak (penjual dan pembeli). 2. Kedua, tipe koordinasi dalam tipologi GVC modular. Dalam pola koordinasi modular, pemasok membuat produk yang sesuai dengan spesifikasi dari pelanggan. Pemasok yang berada dalam kategori “turn-key services”, bertanggung jawab penuh kapasitas teknologi dalam proses produksi, menggunakan mesin-mesin yang bersifat umum (generic), sehingga mengurangi transaksi-investasi spesifik, dan membebankan biaya bahan baku dan komponen kepada pelanggan atau pemesan. 3. Ketiga, tipe koordinasi dalam tipologi GVC relational. Di dalam jejaring ini, dapat dicermati interaksi kompleks di antara pembeli dan penjual, yang seringkali menghasilkan kesalingtergantungan dan spesifisitas aset yang sangat tinggi. Relasi ini dikelola berdasarkan reputasi, atau hubungan keluarga dan ikatan etnisitas. Kedekatan jarak memainkan peranan penting dalam menopang jejaring relasional ini, meskipun kepercayaan dan reputasi juga berjalan dengan baik dalam jarak yang terpisah, di mana relasi telah berlangsung dalam kurun waktu yang lama dan didasarkan pada relasi kelompok sosial dan keluarga yang tersebar. 4. Keempat, tipe koordinasi dalam tipologi GVC captive. Dalam pola ini, pemasok-pemasok dalam skala kecil secara transaksional sangat bergantung kepada pembeli-pembeli besar. Para pemasok dihadapkan pada biaya yang besar jika menginginkan pergantian mitra dagang, sehingga mereka
“tertawan”
dalam
relasi
dengan
pembeli-pembeli
besar.
Koordinasi dalam tipe jejaring ini dicirikan oleh tingkat pengawasan dan kontrol yang sangat ketat oleh perusahaan-perusahaan utama. 5. Kelima, tipe koordinasi dalam tipologi GVC hirarki, yang didominasi oleh kontrol manajerial, yang berjalan melalui manajer sampai ke bawahan, atau dari pusat ke cabang-cabang dan perusahaan yang berafiliasi. Dalam konstruksi teori koordinasi Global Value Chain Gereffi, Humphrey dan Sturgeon172, masing-masing faktor pembeda GVC tersebut diukur dalam dua bentuk penilaian, yaitu tinggi atau rendah, yang kemudian menghasilkan delapan 172
Ibid. h.86-87
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
56
kemungkinan kombinasi, yang lima di antaranya secara aktual ditemukan di dalam dinamika Global Value Chain. 1. Dalam tipologi GVC market tercipta dalam kondisi ketika transaksi dapat dengan mudah dikodifikasikan, spesifikasi produk relative sederhana, dan pemasok memiliki kapabilitas untuk memproduksi dengan input yang sedikit dari pembeli. Dalam kondisi ini, spesifisitas aset akan gagal berakumulasi dan pengaturan berdasarkan mekanisme pasar menjadi penentu. Dalam pertukaran pasar, pembeli merespon spesifikasi dan harga yang ditentukan oleh penjual. Dikarenakan kompleksitas informasi yang dipertukarkan relatif rendah, transaksi dapat berjalan tanpa koordinasi yang eksplisit (Gambar 2.3).
Gambar 2.3 Global Value Chain didalam tipologi market Sumber: Direkonstruksi dari G.Gereffi., J.Humphrey, & T. Sturgeon, 2005.
2. Dalam tipologi GVC modular muncul ketika kemampuan untuk mengkodifikasi spesifikasi produk dapat mencakup produk-produk yang kompleks. Pola ini dapat tercipta ketika arsitektur produk bersifat modular, di mana standar-standar teknis dapat menyederhanakan kompleksitas interaksi dengan mengurangi varisasi komponen dan dengan menyatukan spesifikasi komponen, produk, dan proses, dan juga ketika pemasok memiliki kompetensi untuk memasok paket dan modul yang lengkap, yang menginternalisasikan informasi yang sulit untuk dikodifikasi. Spesifisitas aset cenderung tereduksi dalam kondisi ini, sehingga pembeli memerlukan pengawasan dan kontrol secara langsung. Manfaat dapat dipetik dengan
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
57
kondisi informasi dan pengetahuan yang dapat dikodifikasi, dalam bentuk kecepatan, fleksibilitas, dan akses atas input dengan biaya murah. Misalnya, ketika sebuah arsip desain yang dikomputerisasi dikirimkan oleh perusahaan utama kepada pemasok, terdapat arus informasi yang mengalir lintas perusahaan yang tidak hanya dalam bentuk informasi harga. Atas dasar kodifikasi ini, pertukaran informasi yang kompleks dapat bejalan tanpa koordinasi eksplisit, dan sebagaimana mekanisme pertukaran pasar, biaya yang dibutuhkan dalam hal pergantian mitra berada dalam tingkat yang rendah (Gambar 2.4).
Gambar 2.4 Global Value Chain didalam tipologi modular Sumber: Direkonstruksi dari G.Gereffi., J.Humphrey, & T. Sturgeon, 2005.
3. Ketiga, dalam tipologi GVC relasional terjadi ketika spesifikasi produk tidak dapat dikodifikasikan, ketika transaksi berjalan dalam kondisi yang kompleks, dan ketika kapabilitas pemasok dalam tingkat yang tinggi, pola koordinasi cenderung berjalan dalam bentuk relasional. Hal ini terjadi dikarenakan pertukaran pengetahuan dan informasi yang sifatnya sulit dikomunikasikan harus terjadi di antar penjual dan pembeli, dan dikarenakan pemasok yang sangat kompeten menunjukkan motivasi yang kuat kepada perusahaan utama supaya mengalihkan aktivitas produksinya, dalam rangka memperoleh akses atas kompetensi tambahan. Kesaling tergantungan yang kemudian muncul di antara kedua belah pihak dapat diatur melalui reputasi, kedekatan sosial dan spasial, ikatan-ikatan keluarga dan etnisitas. Relasi ini juga dapat ditangani melalui mekanisme-
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
58
mekanisme dalam bentuk pengenaan biaya bagi pihak yang melanggar kesepakatan atau kontrak. Pertukaran informasi yang kompleks dan sulit untuk dikomunikaskan seringkali diwujudkan melalui interaksi tatap muka secara langsung dalam frekuensi yang tinggi dan diatur berdasarkan koordinasi yang sangat eksplisit, yang sebagai konsekuensinya menjadi biaya dalam pergantian mitra menjadi sangat tinggi (Gambar 2.5).
Gambar 2.5 Global Value Chain didalam tipologi Relational Sumber: Direkonstruksi dari G.Gereffi., J.Humphrey, & T. Sturgeon, 2005.
4. Dalam tipologi GVC captive, pola ini terjadi ketika kemampuan untuk mengkodifikasi – dalam bentuk instruksi detil – dan kompleksitas spesifikasi produk berada pada tingkat yang tinggi, tetapi kapabilitas pemasok berada dalam tingkat yang rendah. Hal ini terjadi dikarenakan kompetensi pemasok dalam berurusan dengan produk dan spesifikasi yang kompleks, memerlukan intervensi dan kontrol yang ketat dari perusahaan utama. Sehingga, mendorong terciptanya ketergantungan transaksi, di mana perusahaan utama mengunci keberadaan para pemasok dalam rangka menyingkirkan pesaing. Karenanya, pemasok dihadapkan pada tingginya biayapergantian mitra, dan menjadi “tawanan” bagi perusahaan utama yang menjadi mitra. Pemasok yang tertawan ini juga seringkali dibatasi hanya untuk menjalankan tugas-tugas dalam cakupan yang sempit, misalnya hanya dalam aktivitas perakitan sederhana, dan bergantung kepada perusahaan utama dalam hal aktivitas-aktivitas komplementer seperti desain, logistic, pembelian komponen, dan peningkatan kapasitas
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
59
teknologi. Oportunisme dikendalikan dalam relasi “tawanan” ini melalui posisi dominan dari perusahaan-perusahaan utama, dan dalam waktu bersamaan menyediakan sumber-sumber dan akses pasar yang memadai bagi perusahaan pemasok, sehingga keluar dari kontrak bukan merupakan pilihan yang menguntungkan (Gambar 2.6).
Gambar 2.6 Global Value Chain didalam tipologi Captive Sumber: Direkonstruksi dari G.Gereffi., J.Humphrey, & T. Sturgeon, 2005.
5. Dalam tipologi GVC Hierarchy ketika spesifikasi produk tidak dapat dikodifikasi, sifat produk sangat kompleks, dan pemasok yang memiliki kompetensi tinggi sulit untuk ditemukan, maka perusahaan utama akan mengembangkan dan melakukan aktivitas manufaktur dari produk secara in-house. Pola ini biasanya didorong oleh kebutuhan untuk menjalankan pertukaran informasi yang sulit dikomunikasikan di antara aktivitasaktivitas dalam rantai nilai dan kebutuhan untuk mengelola secara efektif jaring-jaring input dan output yang kompleks dan untuk mengendalikan sumber-sumber daya yang dimiliki, khususnya dalam bentuk kekayaan intelektual (Gambar 2.7).
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
60
Lead Firm (Pembeli) 1. Lemah dalam mengkodifikasi produk yang diinginkan oleh pasar
2. Lead Firm melakukan kegitan manufacturing secara in-house
3. Memproduksi dan menjual Produk Akhir
Market 0. Spesifikasi kompleks, namun tidak dapat dipenuhi oleh para Pemasok
Gambar 2.7 Global Value Chain didalam tipologi Hierarchy Sumber: Direkonstruksi dari G.Gereffi., J.Humphrey, & T. Sturgeon, 2005.
Secara sederhana, tipologi GVC didasarkan pada tiga variabel yang mempengaruhinya, yaitu: kompleksitas transaksi antar-perusahaan, tingkat di mana kompleksitas ini dapat dikurangi melalui kodifikasi, dan taraf di mana pemasok memiliki kapabilitas untuk memenuhi kebutuhan pembeli (Tabel 2.2).173
Tabel 2.2 Determinan utama dari pengaturan/koordinasi GVC
Sumber: Gereffi, Humphrey dan Sturgeon (2005, h.87)
Masing-masing tipologi dapat dicermati mengandung pertukaran dari resiko dan manfaat pengalihan aktivitas produksi. Kelima tipe tersusun dalam
173
Ibid. h.87
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
61
sebuah spektrum tingkat koordinasi eksplisit dan ketimpangan kekuasaan antara pembeli dan penjual dari yang rendah sampai tinggi. Gereffi, Humphrey dan Sturgeon174 mengidentifikasi delapan kemungkinan kombinasi dari tiga variabel ini. Lima diantaranya menciptakan tipe-tipe rantai nilai global. Kombinasi dari kompleksitas transaksi rendah dan kemampuan kodifikasi rendah cenderung tidak tercipta. Hal ini menghilangkan dua bentuk kombinasi yaitu (rendah, rendah dan rendah) dan (rendah, rendah dan tingi). Lebih lanjut, jika kompleksitas transaksi rendah dan kemampuan kodifikasi tinggi, kemudian kapabilitas pemasok rendah, mengarah kepada eksklusi dari rantai nilai. Walaupun hal ini menjadi hasil kombinasi yang penting, namun tidak dapat menghasilkan sebuah tipe koordinasi dalam rantai nilai.
2.2.3. Upgrading Konsep upgrading fokus pada strategi yang digunakan oleh negara, daerah dan stakeholders ekonomi lainnya untuk menjaga dan meningkatkan posisi mereka dalam perekonomian global.175 Didalam papernya, Gareffi176 terkadang menggunakan istilah industrial upgrading yang fokus pada proses yang dilakukan oleh aktor-aktor ekonomi didalam meningkatkan aktivitas-aktivitas yang memberikan nilai tambah didalam jejaring produksi global.177 Proses upgrading menyangkut kebijakan-kebijakan pemerintah, kelembagaan, corporate strategies, inovasi, teknologi, tingkat keahlian tenaga kerja.178 Dalam bentuk yang lebih konkrit, upgrading adalah menyangkut sederatan peran-peran ekonomi mulai dari produksi, eksport, assembling, manufacturing sampai pengembangan ekonomi oleh negara-negara berkembang melalui peningkatan peran industri dalam perekonomian global.179 Humphrey and Schmitz180 membagi upgrading didalam Global Value Chain menjadi tiga tipe yaitu: product upgrading, process upgrading, functional
174
Ibid.h.87 Gary Gareffi, 2011. loc.cit.h.39 176 Gary Gereffi., John Humphrey, & Timothy Sturgeon, 2005.loc. cit. h.79 177 Gary Gareffi, 2011. loc.cit.h.39 178 Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010. loc.cit.h.129 179 Gary Gareffi, 2011. loc.cit.h.45 180 John Humphrey dan Hubert Scmitz, 2002. loc.cit.h.1020 175
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
62
upgrading. Senada dengan Humphrey and Schmitz, Gareffi (2012)181 juga membagi tipe upgrading menjadi tiga. Cattaneo, Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010182 menambahkan menjadi empat yaitu dengan chain upgrading. Senada dengan Cattaneo, Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010, Morris and Kapilinsky183 juga membagi empat tipe upgrading dengan penjelasan masing-masing tipe upgrading adalah sebagai berikut, yaitu: 1) Process upgrading: meningkatkan efisiensi dari proses internal yang secara signifikan berbeda dari para pesaingnya, baik dalam lingkup jejaring individu organisasi perusahaan (seperti increased inventory turns, lower scrap) maupun antara jejaring rantai nilai (seperti: peningkatan frekuensi, proses delivery yang on time dst) 2) Product upgrading: Mencakup memperkenalkan produk baru atau mengembangkan produk lama sehingga lebih memberikan nilai tambah dibandingkan perusahan-perusahaan lainnya. Hal ini mencakup proses pengembangan produk baru, baik dalam lingkup jejaring individu organisasi perusahaan maupun antara jejaring rantai nilai. 3) Functional upgrading: Meningkatkan nilai tambah melalui perubahan sejumlah aktivitasi yang ada didalam perusahaan (seperti: mengambil alih tanggung jawab, atau oursourcing tenaga akuntasi keuangan, logistik dan fungsi-fungsi lainnya) atau pengalihan lokus dari satu aktivitas dari manufacturing ke designing. 4) Chain upgrading: berpindah dari satu rantai nilai (seperti contoh: perusahaan-perusahaan taiwan berpindah dari manufaktur transistor radio ke kalkulator, televisi, monitor komputer, laptot dan sekarang adalah WAP phones.
2.2.4. Upgrading dan Nilai Tambah Nilai tambah dapat diartikan sebagai rangkaian proses menambah nilai kegunaan material tertentu dengan mengubahnya menjadi suatu barang atau jasa
181
Gary Gereffi, Maret 2012. Latin America’s Prospects for Upgrading in Global Value Chains. slide no. 16 182 Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010. op.cit.h.129 183 Raphael Kaplinsky and Mike Morris (tanpa tahun). loc.cit. h.38
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
63
yang lebih bermanfaat, dan karena itu, mempunyai nilai dan harga yang lebih tinggi dari material semula.184 Secara sederhana, prinsip optimasi nilai tambah tersebut bisa digambarkan melalui contoh-contoh sebagai berikut. Ambillah misalnya mobil Kijang. Mobil ini, katakanlah harganya Rp. 25 juta, dan beratnya 1.000 kg. Dengan demikian harga per kilo gramnya sama dengan Rp. 25.000,-. Bandingkan dengan Baby Benz, walaupun beratnya sama, 1.000 kg, tapi harganya mencapai sekitar Rp 250 juta. Berarti harga per kilo gramnya mencapai Rp. 250.000,-. Sekarang kalau Kijang dan Baby Benz itu bertabrakan di tol Cikampek, yang selalu rawan kecelakaan, dan hancur menjadi besi tua, maka harganya bukanlah Rp.25.000,- per kg untuk Kijang dan Rp. 250.000,- per kg untuk Baby Benz, tetapi semuanya sama, 250 rupiah per kg.185 Dari situ bisa diambil kesimpulan bahwa nilai 250 rupiah per kg besi (logam) tersebut bisa mengalami beberapa kali proses engineering, sehingga nilai tambahnya bisa menjadi 25.000 rupiah per kg untuk Kijang dan 250.000 rupiah untuk Baby Benz. Ini dapat terjadi karena, kadar ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kualitas manusia yang menciptakan nilai tambah untuk kedua jenis produk tersebut bobotnya berlainan. Dengan demikian, nilai tambah itu tiada lain merupakan fungsi dari teknologi, ilmu pengetahuan dan sumber saya manusia.186
2.2.5 Upgrading dan Inovasi Dalam konsep Global Value Chain (GVC), proses peningkatan nilai tambah produk juga disebut sebagai product upgrading.187 Dan peningkatan nilai tambah dari suatu produk itu sendiri tiada lain merupakan hasil dari beragam bentuk inovasi.188 Definisi inovasi sangat beragam, The World Bank189 menyatakan bahwa inovasi adalah “what is not disseminated and used, is not an innovation”. The OECD190 menggunakan definisi inovasi “..is the implementation of a new significantly improved product (good or service), or process, a new 184
Habibie, 1995. Iptek dan Pembangunan Bangsa. cop.cit. h.48 Ibid.h.48-49 186 Ibid. 187 Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010. op.cit.h.129; Gary Gareffi, 2011.loc.cit. h.45. 188 Morrison, Pietrobelli dan Rabellotti.2006.loc.cit.h.10 189 The World Bank, 2010. Innovation Policy A Guide for Developing Countries.h.4 190 The OECD, 2005. Oslo Manual- Guidelines for Collecting And Interpreting Innovation Data. h.46. 185
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
64
marketing method, or a new organizational method in business practices, workplace organization or external relations”. Menurut Lundvall191, inovasi adalah ..on-going processes of learning, searching and exploring, which result in new products, new techniques, new forms of organization and new markets”. Porter192, menjelaskan bahwa Innovation is more than just scientific discovery. innovation strethces beyond science and technology, and include all the activities involving discerning of needs and the transformation of knowledge into commercial product and process and services. Menurut Peter Senge193, inovasi adalah integrasi dari beragam teknologi komponen yang sebelumnya terpisah-pisah dan berasal dari hasil riset yang juga terpisah, proses ini berlangsung secara bertahap sampai terbentuknya teknologi yang terakit yang sifatnya saling mengisi dan mendukung satu sama lainnya dan hingga akhirnya tereplikasi dalam skala tertentu dan biaya yang memadai. Dan inovasi tersebut pada gilirannya akan mendorong tumbuhnya industri baru atau mentransformasi industri yang sudah ada. Dari beberapa definisi inovasi yang telah diuraikan, kemudian dapat ditarik benang merah antara upgrading dengan inovasi, yaitu secara umum dapat dikatakan bahwa inovasi merupakan proses untuk melakukan upgrading pada keempat lingkup upgrading itu sendiri yaitu: produk, proses, functional dan rantai nilai. Secara lebih spesifik, bahwa produk inovatif itu adalah hasil dari product upgrading itu sendiri.194 Walaupun demikian, beberapa peneliti seperti Andrea Morrison, Carlo Pietrobelli and Roberta Rabellotti195 menyimpulkan bahwa hubungan antara konsep upgrading dengan inovasi masih kabur, apakah sebagai proses inovasi atau produk inovasi itu sendiri?
191
Dikutip oleh Stepen Feinson, National Innovation System Overview and Country
Cases. h.17 192
Michael E. Porter. 2001. Cluster of Innovation: Regional Foundation of U.S Competitiveness h.6-7 193 Peter Senge, 1994. The Fifth Discipline: The Art and Practice of The Learning of Organization, h.6. 194 Morrison, Pietrobelli dan Rabellotti .2006.loc.cit.h.10. 195 Andrea Morrison, Carlo Pietrobelli and Roberta Rabellotti, 2006. Global Value Chains and Technological Capabilities: A Framework to Study Industrial Innovation in Developing Countries.h.3. Dihalaman tersebut dituliskan: First of all, the concept of upgrading is rather fuzzy: is it a synonym for innovation or rather the result of it?
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
65
2.3. Konsep Kebijakan Pemerintah dalam mendorong product upgrading 2.3.1. Konsep Peran Kebijakan Pemerintah dalam rantai nilai Peran pemerintah sebagi enabling factor berupa environment atau kebijakan yang kondusif dalam mendorong akvititas riset inovasi bagi upgrading dari satu perusahaan sangat penting. Favreau196 menekankan pentingnya peran pemerintah yaitu the BC Ministry of Forests and Range, and Natural Resources Canada
bagi aktivitas inovasi dalam value chain industri the coastal forest
industry. Anic and Nusinovic197 menjelaskan bahwa bentuk peran pemerintah tersebut adalah berupa pembangunan infrastruktur dasar bagi investasi, penetapan standardisasi, penyediaan infrastruktur sistem informasi dan statistik. Tentang pentingnya lingkungan kebijakan yang kondusif bagi penguatan rantai nilai juga disinggung oleh McPhee and Wheeler198 dengan istilah External relationships. McPhee and Wheeler melakukan beberapa penambahan dari model original Porter, tiga unit pada aktivitas utama yaitu Supply chain management, product use, end of primary use. Satu penambahan pada aktivitas pendukung Rantai Nilai yaitu External network (Gambar 2.8.)
Gambar 2.8. The added Value Chain Sumber: McPhee and Wheeler (2009, h.40)
196
Jean Favreau. 2000. Value Chain Advantage. h.25 Ivan-Damir Anic Dan Mustafa Nusinovic (tanpa tahun). The Apple Industry In Croatia: A Value Chain Analysis Approach. h.22 198 Wayne McPhee dan David Wheeler (2009). Making the case for the added-value chain. h.40 197
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
66
Pada pengembangan model tersebut, khususnya ketika menguraikan pentingya eksternal network bagi penciptaan satu produk yang memiliki keunikan dan berdaya saing tinggi, McPhee and Wheeler199 secara tegas menjelaskan pentingnya berinteraksi dengan berbagai pihak seperti perusahaan lain, institusi pendidikan, komunitas, pemerintah, civic organizations dan groups of customers. Senada dengan McPhee and Wheeler, Gareffi200 juga menjelaskan bahwa strategi perusahaan dalam membentuk susunan dan arah rantai nilai juga sangat dipengaruhi environment kebijakan yang kondusif. Adapun model asli Value Chain Michael Porter201 adalah tergambar pada Gambar 2.9 dibawah ini, Menurut Porter (1985), rantai nilai setiap perusahaan terdiri atas sembilan kategori generik aktivitas yang bernilai (value activities) dikaitkan menjadi satu, yang menciptakan nilai tambah (value added) suatu perusahaan. Rantai generik digunakan untuk memperlihatkan bagaimana suatu rantai nilai dapat dibangun untuk suatu perusahaan tertentu, yang mencerminkan aktivitas spesifik yang dilakukan perusahaan. Setiap perusahaan merupakan kumpulan aktivitas yang dilakukan untuk mendesain, memproduksi, memasarkan, menyerahkan, dan mendukung produknya.
Gambar 2.9 Model Basic Value Chain Sumber: Michael Porter (1985)
199
Ibid.h.41
200
Gary Gareffi, 2011. loc.cit.h.40
201
Michael E. Porter (1985). Competitive Advantage, Creating and Sustaining Superior Performance. The Free Press, New York.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
67
Rantai nilai perusahaan adalah teori tentang perusahaan yang memandang perusahaan sebagai sekumpulan fungsi produksi yang terpisah tetapi berkaitan, seandainya fungsi produksi didefinisikan sebagai aktivitas. Perumusan rantai nilai berfokus pada bagaimana aktivitas ini menciptakan nilai dan apa yang menentukan biaya mereka, sehingga perusahaan mendapatkan kebebasan yang besar
sekali
dalam
menentukan
bagaimana
aktivitas-aktivitas
tersebut
diintegrasikan. Aktivitas-aktivitas dalam rantai nilai dapat dibagi menjadi dua jenis luas, aktivitas primer dan aktivitas pendukung. Aktivitas primer pada suatu perusahaan merupakan aktivitas yang terdiri dari kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan input, proses dan output barang atau jasa yang terdapat dalam perusahaan. Ada lima kategori generik aktivitas primer yang diperlukan dalam bersaing di dalam industri apa pun. Tiap kategori dapat dibagi menjadi beberapa aktivitas yang berbeda tergantung pada industri tertentu dan strategi perusahaan (Porter, 1985). Aktivitas primer tersebut adalah: 1. Logistik ke dalam (inbound logistics); meliputi aktivitas seperti penanganan material, pergudangan, dan pengendalian persediaan, digunakan untuk menerima, menyimpan, dan mengeluarkan input untuk produksi. 2. Operasi (operations); aktivitas yang berhubungan dengan pengubahan masukan menjadi bentuk produk akhir, seperti permesinan, pengemasan, perakitan, pemeliharaan peralatan, pengujian, pencetakan dan pengoperasian fasilitas. 3. Logistik ke luar (outbound logistics); merupakan aktivitas yang berhubungan dengan pengumpulan, penyimpanan, dan pendistribusian produk kepada pembeli, seperti penggudangan barang jadi, penanganan bahan, operasi kendaraan pengirim, pemrosesan pesanan, dan penjadwalan. 4. Pemasaran dan penjualan (marketing and sales); aktivitas yang berhubungan dengan pemberian sarana yang dapat digunakan oleh pembeli untuk membeli produk dan mempengaruhi mereka untuk membeli, seperti iklan, promosi, tenaga penjual, penetapan kuota, seleksi penyalur, hubungan penyalur dan penetapan harga.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
68
5. Pelayanan (services); mencakup aktivitas yang berhubungan dengan penyediaan pelayanan untuk meningkatkan atau mempertahankan nilai produk, seperti pemasangan, reparasi, pelatihan, pasokan suku cadang, dan penyesuain produk. Masing-masing kategori tersebut mungkin vital untuk keunggulan bersaing tergantung pada industrinya. Namun, dalam perusahaan apapun, semua kategori aktivitas primer akan hadir pada kadar tertentu dan memainkan peran tertentu dalam keunggulan bersaing. Sedangkan aktivitas pendukung yang diperlukan dalam suatu industri dapat dibagi menjadi empat kategori generik. Aktivitas tersebut adalah: 1. Infrastruktur perusahaan (firm intrustructure); terdiri atas beberapa aktivitas termasuk manajemen umum, pengendalian kualitas, perencanaan, sistem keuangan, akuntansi, hukum, dan urusan pemerintah. Melalui infrastruktur, perusahaan berusaha untuk mengidentifikasi peluang dan ancaman eksternal, mengidentifikasi sumber daya dan kemampuan, serta mendukung kompetensi inti. 2. Manajemen sumber daya manusia (human resource management); terdiri atas aktivitas yang terlibat dalam perekrutan, pengangkatan, pelatihan (training), pengembangan dan kompensasi untuk semua jenis personel. Peningkatan pegawai dapat dilakukan melalui keterlibatan para pegawai ke dalam pelatihan, seminar dan pelatihan pekerjaan (proses pekerjaan). Sedangkan pemeliharaan para pegawai bisa dilakukan melalui pemberian reward dalam program kerja dan penyediaan tugas-tugas menantang. Aktivitas ini mendukung baik aktivitas primer maupun aktivitas pendukung individual dan keseluruhan rantai nilai. 3. Pengembangan teknologi (technology development); terdiri dari aktivitas yang dapat dikelompokkan secara luas ke dalam upaya untuk memperbaiki produk perusahaan
serta
proses
yang
digunakan
untuk
menghasilkannya.
Pengembangan teknologi terjadi dalam berbagai jenis, seperti rancangan peralatan untuk proses, baik penelitian dasar dan rancangan produk serta prosedur pelayanan.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
69
4. Pembelian/pengadaan (procurement); merujuk pada fungsi pembelian masukan yang digunakan dalam rantai nilai perusahaan, bukan pada masukan yang dibeli itu sendiri. Masukan yang dibeli meliputi barang-barang yang dikonsumsi penuh sepanjang produksi produk dan juga aktiva tetap. Pembelian dalam hal ini meliputi kegiatan-kegiatan yang saling berhubungan seperti prosedur pembelian, teknik untuk vendor, sistem informasi, dan juga kegiatan yang tidak saling berhubungan seperti catering, pelayanan percetakan dan kebersihan. Walaupun masukan yang dibeli biasanya dihubungkan dengan aktivitas primer, masukan yang dibeli ada di dalam setiap aktivitas nilai termasuk aktivitas pendukung. 2.3.2. Peran Pemerintah dalam upgrading melalui Open Innovation Open innovation adalah antitesis dari paradgima traditional innovation, dalam paradigma tersebut, aktivitas riset tidak dilakukan secara internal sebagaimana dalam closed innovation, tetapi dilakukan dengan kolaborasi dengan pihak luar termasuk dengan pemerintah.202 Lima kriteria umum dalam model open innovation adalah: Pertama, perusahaan dapat memanfaatkan pakar, baik dari dalam perusahaan maupun dari luar perusahaan. Kedua, aktivitas litbang yang berasal dari luar dapat memberikan nilai tambah, sementara kegiatan litbang (dasar) dalam perusahaan dapat tetap dilakukan untuk memperkuat penguasaan dari hasil litbang yang telah didapat dari luar perusahaan. Ketiga, Perusahaan tidak mesti melakukan secara sendiri kegiatan komersialisasi dari hasil riset tersebut. Keempat, semakin perusahaan mampu mengoptimalkan dua sumber tersebut semakin menentukan posisi daya saing perusahaan. Kelima, perusahaan dapat memperoleh profit atau royalti atas hasil riset yang dimanfaatkan pihak lain atau menjual hasil riset tersebut dan mendapatkan profit atasnya (Gambar 2.10).203
202
Henry Chesbrough, 2005. Chapter 2. op.cit. h.2 Ibid.h.2-6; Soren Kaplan, Open Innovation Network Looking outside the organization for fresh ideas and promising new opportunities. http://www.innovation-point.com. 203
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
70
Gambar 2.10. Model Open Innovation Sumber: Chesborugh (2005:27)
Gassmann and Enkel204 (tanpa tahun) meringkas tiga proses inti dalam model open innovation yaitu (Gambar 2.11): Pertama, proses dari luar ke dalam, yaitu perusahaan memperkaya pengetahuan dengan mengintegrasikan segala sumber pengetahuan eksternal sehingga dapat meningkatkan inovasi perusahaan. Kedua, proses dari dalam keluar, yaitu perusahaan dalam membawa ide-ide atau know how baru ke pasar, seperti menjual IP dan aplikasi teknologi keluar. Ketiga, proses ganda, yaitu pengintegrasian dua proses sebelumnya melalui aliansi atau jejaring dengan sejumlah pihak yang dapat menjadi faktor kunci keberhasilan. Namun, ketiga proses tersebut tidak akan sama tingkat leveragenya untuk masingmasing perusahaan (Lihat gambar 2.12).
204
Oliver Gassmann dan Ellen Enkel (tanpa tahun). loc.cit. h.6.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
71
Gambar 2.11. Tiga proses inti dalam open innovation Sumber: Gassmann and Enkel (tanpa tahun). loc.cit.h.6
Gambar 2.12. De-coupling the locus of innovation process Sumber: Gassmann and Enkel (tanpa tahun). h.7
Paradigma closed innovation memiliki lima karakteristik utama yaitu: Kepakaran seseorang terkait satu bidang teknologi tertentu yang hanya bekerja semata untuk internal satu perusahaan tertentu. Kedua, kegiatan litbang dan komersialisasinya dilakukan secara sendiri dalam internal satu perusahaan tertentu. Ketiga, ketika satu know how ditemukan, perusahaan yang bersangkutan akan menjadi perusahaan pertama yang mengkomersialisasikan produk tersebut.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
72
Keempat, karena kondisi poin ketiga, maka perusahaan tersebut akan memiliki keunggulan daya saing dalam produk tersebut dan atau sekaligus menanggung atas kegagalan inovasi tersebut. Keempat, Perusahaan akan menjadi pemilik tunggal dan kontrol penuh atas IP produk tersebut (Gambar 2.13).205
Gambar 2.13. Model Closed Innovation Sumber: Chesbrough (2005:26)
Chesbrough (2011)206 menjelaskan lima faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas model closed innovation yaitu: pertama, semakin meningkatnya mobilitas pakar baik Engineer maupun Scientis yang terlatih. Kedua, semakin berkembangnya perusahaan modal ventura. Ketiga, diseminasi teknologi lintas negara semakin intens. Keempat, semakin meningkatnya jumlah dan kualitas dari kegiatan penelitian universitas. Dan kelima adalah semakin meningkatnya persaingan antara perusahaan terutama dalam pemasaran produk. Namun yang perlu dicatat adalah bahwa lingkup inovasi dalam closed innovation sangat luas dan tidak khusus inovasi yang berbasis riset atau penelitian ilmiah.
205 206
Henry Chesbrough, 2005. Chapter 2. op.cit. h.2-6; Soren Kaplan, loc.cit Henry Chesbrough, 2011. op.cit.h.6
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
73
2.3.3. Peran Pemerintah dalam Upgrading melalui Triple Helix Baik Henry Etzkowitz dan Leot Leydesdorf (1990)207 maupun Henry Etzkowitz (2002)208 menawarkan tiga model triple helix sebagai model kerjasama inovasi antara tiga aktor utama inovasi yaitu Pemerintah, Lembaga Riset dan Industri. Didalam model triple helix I209, pemerintah memainkan peran dominan dalam mengarahkan universitas dan industri serta hubungan keduanya. Negara (pemerintah) sangat dominan dalam menentukan tema dan prioritas penelitian yang ditujukan untuk menjawab kepentingan pertahanan negara.
G B
A
Keterangan: AB: Kerjasama belum terjadi (academic exellance vs Economic Value) AG: technology business incubator, RD budget shared BG : Low RD budget shared, ABG: Belum terjadi ---: menunjukkan garis koordinasi
Gambar 2.14 Model triple helix I Sumber: Henry Etzkowitz (2008)
Menurut Etzkowitz, model I adalah model yang gagal karena rendahnya inisiatif bottom- up dan inovasi cenderung kurang mengalami dorongan yang memadai (Gambar 2.15). Model II berbasis “laissez-faire” (pasar bebas)210 adalah model yang mengurangi peran negara. Didalam model ini mulai terjadi pergeseran format dari proses top-down menuju proses bottom-up. Mekanisme interaksi terjadi berdasarkan adanya tuntunan pasar, peran pemerintah tidak bersifat langsung melainkan sebagai enabling factor terutama dalam menyediakan 207
Etzkowitz, H., dan Leydesdorf, L., (1990). The dynamics of innovation: from National Systems and ‘‘Mode 2’’ to a Triple Helix of university–industry–government relations. Elsevier Research Policy 29. 109–123. 208 Henry Etzkowitz 2008. A Triple Helix of university–industry–government innovation in Action. h.12-18 209 Ibid. h.12-13 210 Ibid. h.13-15
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
74
environment/regulasi yang kondusif. Pemerintah dibutuhkan ketika terjadi kegagalan pasar (Gambar 2.15).
G
A
B
Keterangan: AB: terjadi berdasarkan tuntunan pasar (alih teknologi) ABG: Peran G sebagai enabling factor dan tidak langsung kecuali terjadi kegagalan pasar ABG: Penyediaan Venture capital ---: menunjukkan garis koordinasi
Gambar 2.15 Model triple helix II Sumber: Henry Etzkowitz (2008)
Model III211, salah satu tujuannya adalah merealisasikan lingkungan inovatif dalam bentuk terciptanya perusahaan hasil “spinn-off” universitas, aliansi strategis perusahan-perusahaan dengan laboratorium pemerintah dan kelompok penelitian akademik/universitas. Oleh karena itu, bentuk hubungan itu bukan melalui pengontrolan pemerintah, melainkan didorong secara alami atas inisiasi universitas. Dalam model ini (Gambar 2.15) terjadi overlaping peran dari masingmasing unsur ABG, yaitu selain tetap mempertahankan core businessnya, masingmasing unsur ABG juga melakukan peran yang merupakan traditional function dari dua aktor lainnya (Ekowitz, 2000). Akademia selain sebagai producer of knowledge dan training juga melakukan fungsi transfer of technology dan penyediaan modal ventura untuk mendukung start up company atau technology business incubator. Dua kegiatan pertama merupakan core business dari Business dan satu kegiatan terakhir merupakan fungsi Pemerintah. Begitupun, Industri selain menjalankan perannya yang bersifat economic value, juga melakukan kegiatan litbang, walaupun terbatas pada bidang yang mendukung keahlian mereka. Namun, terdapat intersection yang jelas dengan dunia akademia didalam mendapatkan pengetahuan baru atau inovasi/ teknologi baru yang dibutuhkaan didalam proses produksi. Sedangkan 211
Ibid. h.16-18
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
75
pemerintah, selain menyediakan regulasi, instrumen kebijakan dll, juga menyediakan venture capital untuk membantu perusahaan start up company.
G
A B
Keterangan: AB: transfer of technology, research, venture capital AG: technology business incubator, venture capital BG : Venture capital, RD budget shared ABG: Penyediaan Venture capital ---: menunjukkan garis koordinasi
Gambar 2.16. Model Triple Helix III Sumber: Henry Etzkowitz (2008)
2.4. Proses Inovasi antara Model Klasik vs Open Innovation 2.4.1. Proses Inovasi Schumpeter berbasis Closed Innovation Menurut Schumpeter (1961)212 bahwa proses inovasi terdiri dari: pertama, Invention, yaitu fase suatu produk baru diciptakan (melalui kegiatan penelitian dan pengembangan). Kedua adalah, fase inovasi, yaitu fase awal dari komersialisasi produk baru dalam pasar. Ketiga, fase imitasi yang juga disebut dengan difusi, yaitu fase memperluas segmentasi pemasaran produk tersebut. Jika dilihat fase tersebut, maka pendekatan inovasi yang diadop oleh satu perusahaan dalam proses inovasi merupakan pendekatan closed innovation213. Selanjutnya, berdasarakan hasil penelitian Mansfield et.al (1981) yang dikutip oleh Petter M.Milling dan Frank H. Maier214 sebagaimana ditunjukkan didalam Gambar 2.17, bahwa pada tahap pertama dari proses inovasi yaitu penelitian dan pengembangan merupakan satu tahap yang sangat dinamis dan kompleks. Namun sejatinya, innovation cost yang paling besar adalah justru pada dua tahap lanjutannya yaitu tahap inovasi dan tahap difusi. Lingkup cost tersebut
212
Petter M.Milling dan Frank H. Maier. loc.cit.h.1-2 Ibid.h.2. 214 Ibid. 213
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
76
diperlukan untuk aktivitas persiapan dan penilaian kondisi mesin untuk memulai produksi, iklan dan sosialisasi produk baru dst. Proporsi kegagalan pada masing-masing tahap adalah, sekitar 40% dari kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) yang akan sukses. Melalui proses penilaian lebih lanjut, hanya 22% dari proyek litbang memiliki potensi sukses secara ekonomi, dan 18% dari litbang diberhentikan karena tidak memiliki potensi ekonomi. Dan hanya 40% dari 22% tersebut yang benar-benar sukses. Secara keseluruhan hanya sekitar 8,8% keseluruhan proses inovasi yang sukses secara ekonomi. Dengan kata lain, lebih dari 50% dari semua biaya inovasi adalah terletak pada tahap kedua dan ketiga, sehingga tuntunan untuk manajemen yang professional pada kedua tahap tersebut tentunya sangat menentukan hilirasi inovasi.215
Gambar 2.17 Proses Inovasi Sumber: Petter M.Milling dan Frank H. Maier. loc.cit.h.1-2
215
Ibid.h.3
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
77
2.4.2. Proses Inovasi berawal pada akhir dan berakhir pada awal Proses inovasi yang dicetuskan Habibie atau yang lebih dikenal dengan proses transformasi berawal pada akhir dan berakhir pada awal216 merupakan proses inovasi yang selaras dengan pendekatan open innovation. Karena dalam proses transformasinya adalah dilakukan dengan memanfaatkan hasil penelitian dari pusat – pusat penelitian di Eropa dan Amerika Utara dsb217. Proses transformasi tersebut terdiri atas empat tahap, yaitu: 1. Tahap pertama yang paling mendasar adalah tahap penggunaan teknologi yang telah ada di dunia untuk proses-proses nilai tambah dalam rangka produksi barang dan jasa yang telah ada dipasaran. Pada tahap ini, teknologi produksi dan manajemen digunakan untuk mengubah bahan mentah dan barang-barang setengah jadi menjadi barang-barang jadi yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Dalam pelaksanaannya, diperlukan penerapan rencana-rencana produksi yang progresif
(progressive
manufacturing
plans)
untuk
menjamin
teralihkannya teknologi yang bersangkutan secara teratur dengan mengaitkan tingkat pengalihan teknologi pada jumlah barang yang diproduksi dan tidak dengan cara menentukan sasaran-sasaran waktu. Melalui tahap ini akan dikembangkan kemampuan untuk memahami disain-disain serta teknik-teknik dan cara produksi yang lebih maju yang
telah
dikembangkan
diluar
negeri.
Dengan
demikian,
keterampilan produksi maupun keahlian organisasi dan manajemen akan ditingkatkan. Disiplin kerja akan lebih dimajukan. Penerapan standar kerja dan standar mutu akan lebih terbiasakan. 2. Tahap kedua adalah tahap integrasi teknologi yang telah ada kedalam desain dan produksi barang-barang yang baru sama sekali. Artinya yang belum ada di pasaran. Pada tahap ini dikembangkan desain dan cetak biru baru. Dengan demikian, ada elemen baru, yaitu elemen penciptaan. Disamping akan dikembangkannya keahlian desain, tahap
216
Habibie, 1995.cop.cit.h.197 Presidential - Innovation Lecture Bacharudin Jusuf Habibie Pada Acara Hari Kebangkitan Teknologi Nasional 2012 Bandung, 10 Agustus 2012.loc.cit. h.2 217
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
78
ini akan meningkatkan keahlian lain, terutama keahlian didalam melakukan integrasi dan optimasi komponen ke dalam sistem baru, dan atas dasar ini, dapat dihasilkan kemampuan untuk memilih, dari semua disain komponen untuk barang baru tersebut, disain yang paling optimum. Pada tahap ini, pengembangan keahlian disain dan integrasi dengan demikian secara alamiah akan membawa serta kesempatan untuk memilih, dari semua teknologi yang tersedia didunia, termasuk yang paling mutakhir, teknologi yang paling sesuai dengan produk yang dirancang tersebut. Dan kesempatan ini akan datang dengan sendirinya tanpa biaya pada perusahaan yang sedang dalam tahap pengembangan, karena para produsen komponen akan belomba-lomba menawarkan disain serta produk mereka pada perusahaan yang diketahui sedang merancang produk baru. Karena produk yang baru dirancang masih harus diuji-coba, baik di dalam laboratorium maupun di dalam pasaran, maka melalui tahap pengembangan ini kemampuan menguji serta keahlian manajemen dan pemasaran, serta didalam simulasi juga turut ditingkatkan. Peranan penelitian dan pengembangan lebih menonjol dengan peningkatan fasilitas antara lain untuk pengujian, desain serta simulasi. 3. Tahap ketiga adalah tahap pengembangan teknologi itu sendiri. Didalam tahap ini, teknologi yang ada dikembangkan lebih lanjut. Teknologi baru pun dikembangkan. Semua itu dilakukan dalam rangka merancang produk masa depan. Jika di dalam tahap kedua, orang masih dapat memanfaatkan teknologi yang sudah ada, termasuk yang paling mutakhir, didalam tahap ketiga diperlukan penciptaan baru sama sekali. Inilah skenario yang tentunya sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di negara-negara maju ataupun di dalam negara-negara industri baru (newly industrializing countries). Perusahaan dan negara yang lalai melakukan investasi didalam pengembangan teknologi baru akan cepat kehilangan daya saingnya. Tahap ketiga ini merupakan
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
79
tahap dilakukannya inovasi, tahap diciptakannya teknologi untuk komponen yang akan merupakan bagian dari produk pada jamannya masing-masing akan merupakan produk yang secara teknologis terbaik di dalam bidangnya masing-masing. Dan betapapun jauh tampaknya tahap ini dari tingkat perkembangan banyak negara berkembang dewasa ini, akan sangat bijaksana jika merekapun merencanakan untuk melaksanakan tahap pengembangan ini jika tidak hendak kehilangan segala kemajuan yang telah dicapainya di dalam tahap-tahap pengembangan teknologi dan industri sebelumnya. 4. Namun, perusahaan dan negara yang sedang melaksanakan tahap ketiga ini seringkali menemui kurangnya teori disana-sini yang memerlukan dilakukannya penelitian dasar untuk menutupinya. Dan tahap pelaksanaan penelitian dasar secara besar-besaran ini dapat dinamakan tahap keempat didalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk transformasi teknologi dan industri negara-negara sedang berkembang. Kendatipun demikian bukan berarti pada tahap negara berkembang harus melakukan tahap ini secara sendiri, bahkan dapat memanfaatkan hasil-hasil penelitian dasar dari negara-negara maju melalui perjanjian kerjasama. Secara ringkas, empat tahap transformasi dapat dilihat pada Gambar 2.18 dibawah ini.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
80
Gambar 2.18 Proses inovasi berawal pada akhir dan berakhir pada awal Sumber: Direkonstruksi dari Habibie, 1995. cop.cit.h.216-217
Strategi terbalik tersebut sangat cocok dalam rangka menghasilkan penyelesaian masalah yang dihadapi Bangsa Indonesia dalam waktu sesingkatsesingkatnya, apalagi mengingat keterbatasan dana, fasilitas dan tenaga.218 Oleh karena itu investasi dalam topik ilmu pengetahuan yang sifatnya universal untuk sementara dapat diperoleh dari pusat-pusat ilmu pengetahuan dunia, kecuali bidang yang berhubungan langsung dengan kepentingan nasional.219Apalagi menurut Senge220, bahwa waktu yang dibutuhkan dalam inkubasi “basic innovation” hingga komersialisi sangat panjang yaitu lebih dari 30 tahun, hal ini merujuk pada proses inovasi pesawat terbang di Amerika Serikat. Karena ketika pada Desember 1903 Wilbur dan Overville Wright berhasil menerbangkan satu prototipe pesawat hasil desainnya, baru tiga puluh tahun kemudian yaitu di tahun 1935, The McDonnel Douglas, berhasil melaunching pesawat DC-3 sebagai pesawat komersial.
218
Habibie, 1995. cop.cit.h.167 Ibid.h.168 220 Peter Senge, 1994. cop.cit.h.6 219
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
81
2.5. Kebijakan Publik 2.5.1 Definisi Kebijakan Publik Menurut Thomas R. Dye221 bahwa kebijakan publik adalah “segala sesuatu yang dikerjakan dan tidak dikerjakan oleh pemerintah “Anything a government chooses to do or not to do”. Definisi tersebut senada dengan definis James E. Anderson222 bahwa kebijakan publik adalah: whatever government choose to do or not to do. Menurut Kay (2006)223 bahwa kebijakan adalah mengekspresikan sebuah perangkat tujuan atau bentuk keinginan yang dilakukan “expresses a general set of objectives or a desired state of affairs. Menurut Howlett and Ramesh’s (2003) 224
bahwa kebijakan publik adalah sebuah pilihan yang dibuat pemerintah untuk
melakukan sejumlah aksi atau ‘Public policy is a choice made by a government to undertake some course of action.’ Sedangkan menurut Bromley225, kebijakan publik adalah tentang dua konsep utama, yaitu: pertama, menentukan tantanan kelembagaan (institutional arrangement) yang secara sosial dapat diterima. Kedua, adalah menemukan batasan-batasan pengambilan keputusan antara yang bersifat autonom dan yang bersifat kolektif. Dan menurut Bromley226, tidak ada guideline khusus yang dapat dijadikan standar untuk pengklasifikasian dua batasan tersebut, karena sangat ditentukan oleh tiga aspek yaitu: kebutuhan, budaya dan kondisi.
2.5.2. Proses Kebijakan Menurut Thomas R. Dye227 ada lima tahap kebijakan publik yaitu identifikasi permasalahan kebijakan, agenda setting, formulasi kebijakan, legitimasi kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan (Tabel 2.3).
221
Thomas R. Dye.1972.Understanding Public Policy.Tenth Edition.h.1 James E. Anderson.2011.Public Policymaking.Seventh Edition.h.6 223 Adrian Kay (2006). The Dynamics of Public Policy: Theory and Evidence Massachhusetts: Edward Elgar Publishing, h. 7. 224 Michael Howlett and M. Ramesh (2003). Studying Public Policy: Policy cycles and policy subsystems. Second Edition. Oxford: Oxford University Press, h.5 222
225
Daniel W. Bromley, 1989. cop.cit h. 34
226
Ibid. 227 Thomas R. Dye.1972, cop.cit.h.32-33
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
82
Tabel 2.3 Proses Kebijakan Publik Proses
Aktivitas
Identifikasi masalah
- Mengidentifikasi dan memposisikan permasalahan sosial sebagai permasalahan publik - Mengekspresikan kebutuhan tindakan pemerintah
Penyusunan agenda
Memutuskan isu apa yang akan diputuskan, masalah apa yang akan diselesaikan oleh pemerintah
Formulasi kebijakan
Mengembangkan usulan kebijakan untuk menyelesaikan isu atau memperbaiki masalah
Legitimasi kebijakan
- Memilih usulan - Membangun dukungan politik - Mengumumkan melalui peraturan perundangan - Memutuskan konstitusionalitas
Implementasikebijakan
- Mengorganisasikan departemen dan lembaga - Memberikan pendanaan dan layanan - Memungut pajak
Evaluasi kebijakan
- Melaporkan apa yang dihasilkan oleh pemerintah - Mengevaluasi dampak kebijakan Mengusulkan perubahan dan “reformasi”
Sumber: Dimodifikasi dari Thomas R. Dye, 2002 h, 32-33.
Sebuah kebijakan yang sifatnya sebagai payung hukum, maka kebijakan tersebut seyogyanya harus memberikan pedoman kepada pihak-pihak terkait untuk mengejawantahkan kebijakan turunan dan program-programnya. Oleh karena itu, perumusan kebijakan tidak dapat dilepaskan dari fungsi-fungsi manajemen yang melekat pada organisasi. Salah satu fenomena yang merepresentasikan proses tersebut adalah dalam konteks kebijakan mendorong upgrading teknologi industri pesawat terbang nasional.228Bromley229 (1989) menangkap fenomena tersebut dan menyajikan sebuah teori tigal level hierarki proses kebijakan. Kerangka berpikir Bromley (1989) - ‘The Policy Process as a Hierarcy” merupakan kritik Bromley terhadap paradigma positivis dalam memandang kebijakan publik. Bagi Bromley kebijakan 228
Hal ini sebagaimana kesimpulan dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya seperti: Kayleigh Brown dan Tobias Tiemann (tanpa tahun), Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010; Howard , G. Jones,1999; Francis, J. G., & Pevzner, A. F./2006.; Terence P. Stewart, Esq. Stewart and Stewart, April 2007 dll. 229
Daniel W. Bromley, 1989. cop.cit h. 27-34
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
83
publik seyogyanya tidak lagi menempatkan masyarakat sebagai objek namun seharusnya diperhitungkan sebagai bagian yang berkontribusi terhadap kebijakan di tataran makro—berkontribusi pada perubahan kelembagaan. Pemikiran Bromley230 melihat bahwa kebijakan publik berhubungan erat dengan dimensi ekonomi dan dimensi politik. Dalam menjelaskan kedua dimensi ini, Bromley memulai dengan diskusi tentang property rights dari pandangan Demsets-Posner-North yang tertuang dalam fungsi matematis. Fungsi (matematis) pertama yaitu Ekonomi merupakan fungsi (matematis) dari property rights. Fungsi (matematis) pertama ini menjelaskan bahwa property rights mempunyai power untuk mengeksekusi. Fungsi (matematis) kedua adalah Property rights merupakan fungsi (matematis) dari hasil Ekonomi. Penjelasan melalui kedua rumusan tersebut memperlihatkan bahwa property rights dalam kondisi tertentu dapat menjadi variabel independen (rumus pertama) yang mempengaruhi ekonomi, dan dapat menjadi variabel dependen yang dipengaruhi oleh ekonomi. Kedua fungsi (matematis) ini secara tersirat menjelaskan pemikiran Bromley yang melihat real world sebagai sistem (inter relasi antar variabel) dan bukan bersifat linier. Dalam model proses kebijakan publiknya, Bromley231 membagi level hierarki proses kebijakan publik menjadi tiga tingkatan yang berbeda, yaitu: level kebijakan, level organisasi, dan level operasional. Level kebijakan dapat diperankan oleh pemerintah dan legislatif, sedangkan level organisasi dapat diperankan oleh lembaga atau departemen. Untuk level operasional dilaksanakan oleh satuan pelaksana seperti perusahaan. Lebih lanjut lagi, Bromley (1989)232 mengingatkan, kebijakan publik menyangkut dua konsep, yaitu penentuan institutional arrangement dan penentuan “batas-batas otonomi” dalam proses pengambilan keputusan. Oleh karena itu, pada masing-masing level, kebijakan diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan yang disesuaikan dengan tingkat hierarkinya. Instituional arrangement antara level kebijakan dengan level organisasi berupa undang-undang. Dan antara level organisasi dengan level operasional, institutional arrangementnya seperi 230
Ibid. h.14-17 Ibid. 232 Ibid. h.32-33 231
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
84
peraturan dibawah undang-undang seperti peraturan menteri dan yang setingkat dengannya. Dalam teori yang dikemukakan Bromley233, dijelaskan juga mengenai pattern interaction yang merupakan pola interaksi antara pelaksana kebijakan paling bawah (street level bureaucrat) dengan kelompok sasaran (target group) sehingga menentukan dampak (outcome) dari kebijakan tersebut. Dampak dari kebijakan yang dilaksanakan dapat berupa keberhasilan atau kegagalan – berdasarkan penilaian masyarakat. Dalam kurun waktu tertentu, hasil yang ditetapkan akan ditinjau kembali (assesment) untuk menjadi umpan balik (feedback) bagi semua level kebijakan yang diharapkan sehingga terjadi sebuah perbaikkan atau peningkatan kebijakan.
Gambar 2.19 Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan Sumber: Bromley, 1989, h.33
2.5.3. Implementasi Kebijakan Menurut Merilee S. Grindle234 (1980), bahwa selain konten kebijakan, lingkungan kebijakan juga akan menentukan outcome daripada implementasi suatu
kebijakan. 233 234
Dan
lingkungan
kebijakan
tersebut
menyangkut
Ibid..h.33 Meriles S. Grindle. 1980. Politics and Policy Implementation in the Third World.h.10
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
85
kekuasaan/politik, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat, karakteristik lembaga dan penguasa dan kepatuhan dan daya tanggap (Gambar 2.20). Terkait lingkungan kebijakan yang diungkapkan Grindle, secara prinsip senada dengan konsep Bromley dalam tiga level hierarki proses kebijakannya, karena sebagaimana yang diungkapkan Grindle, melalui instutional arrangement Bromley235 juga menjelaskan bahwa efektivitas implentasi kebijakan sangat dipengaruhi oleh tiga level yaitu level kebijakan dan politik, level organisasi dan level operasional.
Gambar 2.20 Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Sumber: Merilee S. Grindle (1997, h.11)
Selanjutnya Grindle236 menjelaskan masing-masing variabel-variabel tersebut sebagai berikut: Variabel Konten selanjutnya diperinci lagi ke dalam 6 unsur, yaitu: 1) Pihak yang kepentingannya dipengaruhi (interest affected) Grindle, 1980 mengungkapkan bahwa jenis kebijakan publik yang dibuat akan membawa dampak tertentu terhadap macam kegiatan politik. Dengan demikian, apabila kebijakan publik dimaksud untuk menimbulkan
235
Daniel W. Bromley, 1989. cop.cit h. 12.
236
Ibid.h.12-13
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
86
perubahan-perubahan dalam hubungan sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya, akan dapat merangsang munculnya perlawanan dari pihakpihak yang kepentinganya terancam oleh kebijakan publik tersebut. 2) Jenis manfaat yang dapat diperoleh (type of benefits) Program yang memberikan manfaat secara kolektif atau terhadap banyak orang akan lebih mudah untuk memperoleh dukungan dan tingkat kepatuhan yang tinggi dari target groups atau masyarakat banyak. 3) Jangkauan perubahan yang dapat diharapkan (extent of change envisioned) Program yang bersifat jangka panjang dan menuntut perubahan perilaku masyarakat dan tidak secara langsung atau sesegera mungkin dapat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat (target groups) cenderung lebih mengalami kesulitan dalam implementasinya. 4) Kedudukan pengambil keputusan (site of decision making) Semakin tersebar kedudukan pengambil keputusan dalam implementasi kebijakan publik, baik secara geografis maupun organisatoris, akan semakin sulit pula implementasi program. Karena semakin banyak satuansatuan pengambil keputusan yang terlibat di dalamnya. 5) Pelaksana-pelaksana program (program implementors) Kemampuan pelaksana program akan mempengaruhi keberhasilan implementasi program tersebut. Birokrasi yang memiliki staff yang aktif, berkualitas, berkeahlian dan berdedikasi tinggi terhadap pelaksanaan tugas dan sangat mendukung keberhasilan implementasi program. 6) Sumber-sumber yang dapat disediakan (resources committed) Tersedianya
sumber-sumber
secara
memadai
akan
mendukung
keberhasilan implementasi program atau kebijakan publik. Di samping konten variabel, keberhasilan implementasi kebijakan publik juga ditentukan oleh variabel Konteks. Variabel ini meliputi 3 unsur, yaitu : 1) Kekuasaan, minat dan strategi dari aktor-aktor yang terlibat (power, interest and strategies of actors involved) Strategi, sumber dan posisi kekuasaan dari implementor akan menentukan keberhasilan implementasi suatu program. Apabila kekuatan politik merasa berkepentingan terhadap suatu program, mereka akan menyusun
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
87
strategi guna memenangkan persaingan yang terjadi dalam implementasi, sehingga output suatu program akan dapat dinikmatinya. 2) Karakteristik rejim dan institusi (institution and regime characteristics) Implementasi suatu program tentu akan mendatangkan konflik pada kelompok-kelompok yang kepentingannya dipengaruhi. Penyelesaian konflik akan menentukan who gets what atau ‘siapa mendapatkan apa”. 3) Kesadaran dan sifat responsif (compliance and responsiveness) Agar tujuan program dalam lingkungan khusus dapat tercapai maka para implementor
harus
tanggap
terhadap
kebutuhan-kebutuhan
dari
beneficiaries. Tanpa daya tanggap yang cukup dalam implementasi, implementor akan kehilangan informasi untuk mengevaluasi pencapaian program dan kehilangan dukungan yang penting bagi keberhasilan implementasi.
2.5.4. Koherensi Kebijakan Karena spektrum kebijakan meliputi banyak aspek, maka tentunya diperlukan satu mekanisme koordinasi sehingga antar aspek kebijakan tersebut tidak saling tumpang tindih satu dengan lainnya.237 Oleh karena itu, untuk mendorong implementasi kebijakan tersebut kemudian muncul konsep yang disebut dengan Koherensi Kebijakan. Laporan OECD, 2009238 menjelaskan bahwa koherensi kebijakan dalam pembangunan adalah “working to ensure that the objectives and results of government’s development policy are not undermined by other policies of that same government which impact on developing countries, and that these other policies support development objectives where feasible. Dalam laporan studi The European Centre for Development Policy Management
239
dinyatakan bahwa secara umum definisi Koherensi kebijakan
adalah mengacu pada the practice of ensuring that all national policies do not 237
Commission Staff Working Document EU. 2013. EU 2013 Report On Policy Coherence For Development. h.16 238 OECD, 2009. Policy Coherence for Development,In Manageing Aid: practices of DAC memmber Countries. Chapter 2.h.3 239 The Swiss Agency for Development and Cooperation (SDC) from the European Centre for Development Policy Management (ECDPM). 2012, Putting policy coherence for deveopment into perspective: supporting Switzerland's promotion of PCD in Commodities Migration Tax Commissioned and tax policy. h. 2
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
88
detract from and are ideally supportive of development policy goals, and reflect the interests of developing countries in the process of reviewing existing policies and formulating new policies to improve the contribution of these policies to the achievement of international development objectives. Sedangkan menurut menurut Commission Staff Working Document EU 240 bahwa tidak ada definisi tunggal yang diterima terkait koherensi kebijakan, yang jelas adalah bahwa koherensi kebijakan adalah upaya mengeskploitasi dan membangun sinergi positif antar aspek kebijakan. Berdasarkan pada definisi koherensi kebijakan, maka koherensi kebijakan lebih pada aspek sinergi positif antar konten dari berbagai aspek kebijakan itu sendiri.
2.5.5. Siklus Koherensi Kebijakan Berdasarkan kajian OECD 2008 dan 2009241 dinyatakan bahwa siklus koherensi kebijakan terdiri atas tiga fase, yaitu Political Commitment and Policy Statements; Policy Coordination; dan Monitoring, analysis; dan reporting. Political commitment adalah fase yang sangat penting untuk mensetting prioritas tujuan (agenda setting)242, turunan dari political commitment kemudian dituangkan dan diperjelas dalam bentuk beberapa statement kebijakan yang lebih terperinci dan teknis. Pada fase ini juga selaras dengan apa yang dikatakan Grindel (1980)
243
tentang kaitan antara elit politik dengan kebijakan, Grindel
menyatakan bahwa “Political leaders also provide general guidelines about priorites among policies”. Fase policy coordination adalah mekanisme formal maupun informal yang digunakan untuk mengatasi segala bentuk inkonsistensi dari beragam komponen atau kebijakan pemerintah yang dapat menghambat tidak tercapainya tujuan pembangunan. Fase ketiga adalah termasuk kegiatan mengumpulkan, menganalisis dan melaporkan segala bukti atau temuan terkait dampak satu kebijakan baik menyangkut sinergisitas, konflik atau trade off dari 240
Commission Staff Working Document EU. 2013.op.cit. h.16 The OECD, 2008. Policy Brief: Policy Coherence for Development – Lessons Learned.h.4; The OECD, 2009. Building Blocks for Policy Coherence for Development.h.20 242 Agenda setting is the process by which problems and alternative solutions gain or lose public and elite attention, Thomas A. Birkland..(2007). Agenda Setting in Public Policy.h.63. In Handbook of Technology Management In Public Administration. Edited by. Jack Rabin and T.Aaron Wachhous, Jr.Taylor and Francis Group. 243 Meriles S. Grindle. 1980. cop.cit.h.37 241
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
89
sejumlah kebijakan yang dapat mempengaruhi pembangunan dengan segala aspeknya baik ekonomi, lingkungan maupun sosial sehingga dapat didapatkan satu kebeijakan yang koherent (Gambar 2.21).
Gambar 2.21 Siklus Koherensi Kebijakan
2.5.6. Level Koherensi Kebijakan Dalam studi yang dilakukan oleh The Swiss Agency for Development and Cooperation (SDC) from the European Centre for Development Policy Management (ECDPM) in 2012244 dinyatakan bahwa terdapat lima level koherensi kebijakan yaitu: 1) Internal coherence. Yaitu Koherensi dalam satu area kebijakan tertentu mulai dari tujuan, sasaran, modalities dan protocols. Sebagaimana dikatakan bahwa “Coherence in the policy field itself, which should achieve consistency between its goals and objectives, modalities and protocols” 2) Intra-governmental coherence. Yaitu koherensi antara beberapa kebijakan dalam satu negara donor untuk tercapainya satu tujuan pembangunan. “Coherence across all of the
244
The Swiss Agency for Development and Cooperation (SDC) from the European Centre for Development Policy Management (ECDPM). 2012. loc.cit.h.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
90
policies and actions of a donor country in terms of their contributions to development. 3) Inter-governmental coherence. Koherensi kebijakan antar agen pemerintah antar negara-negara donor (contohnya adalah kebijakan yang diadopsi pada level EU atau dalam organisasi regional) sehingga kebijakan antar negara anggota tersebut tidak saling menghambat tercapainya masing-masing tujuan pembangunan dari masing-masing anggota. “Policies and actions should be consistent across different donor countries (as well as with policies adopted at the EU or in regional organisations) in terms of their contributions to development, to prevent one from unnecessarily interfering with, or failing to reinforce, the others.” 4) Multilateral coherence. Koherensi kebijakan yang meliputi negara-negara secara bilateral dan organisasi multilateral. Coherence of the policies and actions of bilateral donors and multilateral organisations, and to ensure that policies adopted in multilateral fora contribute to development objectives. 5) Developing country coherence Koherensi kebijakan antara negara berkembang dalam mendesain kebijakan yang menguntungkan negara berkembang dalam lingkungan internasional. Developing countries should be encouraged to set up policies that allow them to take full advantage of the international climate to enhance their development.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
91
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Paradigma Penelitian Penelitian kebijakan upgrading teknologi industri pesawat terbang dengan GVC
tipologi hierarki
ini dilakukan dengan
menggunakan paradigma
konstruktivisme. Ontologi dalam paradigma ini bersifat relativisme dengan beberapa karakteristik, yaitu: terdapat banyak realitas yang dapat dikonstruksi, bersifat eksperimential, lokal, spesifik serta bentuk dan isinya tergantung pada individu atau kelompok yang mengkonstruksi.245 Epistemologi paradigma ini bersifat transaksional atau subjektif, temuan yang diperoleh merupakan keberhasilan dari investigasi yang dilakukan. Adapun aspek metodologi paradigma ini adalah bersifat hermeunitik atau dialektik. Konstruksi sosial diperoleh dan disaring melalui interaksi antara peneliti dengan narasumber, konstruksi di interpretasikan melalui teknik hermeneutik dengan tujuan untuk mendapatkan konsensus.246 Pemilihan paradigma konstruktivisme untuk penelitian ini dipandang paling tepat karena penelitian ini bertujuan untuk mengkonstruksi konsep tiga level hiearki proses kebijakan dalam kegiatan upgrading teknologi industri pesawat terbang yang bertipologi hierarki, dengan berpijak pada konsep tiga level hiearki proses kebijakan dan konsep Global Value Chain yang sudah ada, yaitu yang masing-masing dikemukakan oleh Bromley (1989)247 dan Gereffi et.al (2005).248 Konsepsi baru tentang kebijakan dalam kegiatan upgrading teknologi industri pesawat terbang yang bertipologi hierarki meliputi aspek yang masingmasing merepresentasikan masing-masing level hierarki proses kebijakan yaitu level kebijakan, level organisasi atau lembaga dan level operasional atau industri. Seperti diketahui bahwa karakteristik dari paradigma konstruktivisme berguna untuk membangun
teori
baru,
yang
bertujuan
untuk
memahami dan
245
Vatche Gabrielian, Kaifeng Yang, dan Susan Spice (1999). Qualitative research methods. h. 143-145. In Gerald J.Miller and Marcia L. Whicker (Eds.). Handbook of Research Methods in Public Administration. New York: Marcel Dekker, Inc. 246 Ibid. h.145 247 Daniel W. Bromley, 1989.loc.cit 248 Gary Gereffi., John Humphrey,. & Timothy Sturgeon, Februari 2005.loc.cit
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
92
merekonstruksi pengetahuan “lokal”.249 Sifat “lokal” dalam penelitian ini ditunjukkan oleh kekhasannya dari konsepsi baru yang dibangun yang merupakan refleksi dari realitas dan aktualitas yang ada dalam kebijakan upgrading teknologi industri pesawat terbang yang bertipologi hierarki di Indonesia.
3.2. Jenis Penelitian Penelitian ini berkomitmen untuk menghasilkan konsep kebijakan baru dalam kegiatan upgrading teknologi industri pesawat terbang yang dihasilkan melalui penguasaan kemampuan pengembangan teknologi melalui pencarian solusi atau perbaikan terhadap situasi problematik dalam kegiatan upgrading teknologi industri pesawat terbang khususnya di Indonesia, maka atas dasar karakteristik ini, strategi penelitian kualitatif dengan paradigma konstruktivisme ini akan menggunakan strategi penelitian tindakan (action research).250 Penelitian tindakan merupakan “action” dan “research” atau dengan kata lain merupakan “praktek” dan “teori” yang dilakukan secara bersamaan. Penelitian tindakan berkomitmen untuk menghasilkan pengetahuan baru (research interest) melalui pencarian solusi atau perbaikan terhadap situasi problematik dalam dunia nyata (problem solving interest).251 Checkland (2006) sebagaimana dikutip oleh Flood (1999)252 menyatakan bahwa dua asumsi dasar dalam SSM adalah riset aksi dan intrepretasi sistematis (intrepretive-based systemic theory). Checkland (1981) juga sebagaimana dikutip oleh Flood (1999) mengatakan bahwa riset aksi adalah kolaborasi antara peneliti dengan pihak-pihak yang ada dalam organisasi yang sedang ingin menyelesaikan permasalahan. Kegiatan kolaborasi tersebut merupakan kegiatan penelitian secara cermat yang berfokus pada realita praktis sosial, serta proses terencana untuk mengadakan proses pembelajaran atas dasar refleksi atau perenungan. Selain didasari oleh pemikiran tentang riset aksi, metode ini juga menekankan pada pemecahan masalah yang didasari pemahaman bahwa “understanding does not 249
Vatche Gabrielian, Kaifeng Yang, dan Susan Spice (1999). op.cit.h.144 Ibid..h.153 251 Judy McKay and Peter Marshall (2001). The dual imperative of action research. Information Technology & People , 14, 1, h. 47. 252 Robert Louis Flood (1999). Rethinking The Fifth Discipline. Learning With in The Unknowable. Routledge, London. 250
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
93
simply arise from observation theory. The human being has intentions that lie behind each action”. Realisasi dari dua pemikiran tersebut yang mendasari Checkland (1981) menyusun metodologi pemecahan masalah yang dikenal dengan Soft Systems Methodology (SSM). 253 Uchiyama (2009)254 juga menyatakan bahwa riset aksi berbeda dengan metode
penelitian
positivism.
Uchiyama
(2009)
memberikan
gagasan
perbandingan antara paradigm positivism dengan riset aksi dengan menggunakan skema PDS (Plan, Do, See –Rencana, Lakukan, Lihat). Uchiyama (2009) memaparkan perbandingan antara paradigma positivism dengan riset aksi, seperti Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Perbandingan antara Positivism dan SSM-based AR P
D S Kind of Knowledge Standard of Validity
Positivism Hypothesis (The model of “reality” Experimental Design) Observation Collection Data Verification Scientific or Explicit Knowledge Repeatability
SSM-based AR A Omoi (Affection) Model A model relevant to “actuality” Action Plan Carry out Action Plan Learning by doing Reflection in action Tacit or Experience-based knowledge Recoverability
Sumber: Uchiyama, 2009. h.18
Karakteristik utama dari positivism adalah verifikasi hipotesis (model “reality”) untuk memperoleh pengetahuan ilmiah, sedangkan karakteristik riset aksi adalah refleksi tindakan dalam aspek “S” untuk memperoleh tacit atau pengetahuan berdasarkan pengalaman (tacit or experience-based-knowledge). Untuk melakukan hal tersebut, positivism mengembangkan model “reality” sebagai hipotesis kemudian mendesain rencana eksperimental, sedangkan riset aksi membentuk model relevan bagi “actuality” melalui akomodasi dan desain rencana tindakan berdasarkan pembelajaran pertama yang diberikan dari 253
Ibid. h.5 Kenichi Uchiyama (2009). A Concise Theoritical Grounding of Action Research:Based on Checkland’s Soft Systems Methodology and Kimura’s Phenomenological Psiciatry. Institute of Business of Daito Bunka University, Japan. . h.18 254
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
94
perbedaan antara model dan “reality” pada aspek “P”. Dengan demikian pada aspek “D”, positivism membawa rencana eksperimental, mengobservasi hasilnya, dan mengumpulkan data, kemudian kita dapat mencari apakah hipotesis benar (“ya”) atau tidak benar (“tidak”) pada aspek “S”. Jika “tidak”, kita harus kembali ke fase “P” atau menciptakan model baru “reality”. Jika “ya”, kita dapat mengkontribusikan
hipotesis
sebagai
pengetahuan
ilmiah
bagi
koleksi
pengetahuan manusia. Di sisi lain, riset aksi membawa rencana tindakan dalam dunia nyata oleh diri kita sendiri sebagai perencana pada aspek “D”, kemudian kita merefleksi tindakan pada aspek “S”. Baik hasil tindakan ini sukses atau tidak, kita tetap dapat memperoleh proses “belajar sambil melakukan – learning by doing”
sebagai
pembelajaran
menginternalisasikan
pembelajaran
kedua, ini
dan
sebagai
kemudian pengetahuan
kita
dapat
berdasarkan
pengalaman (experience-based-knowledge). Uchiyama (2009)255 menjelaskan bahwa kajian dengan menggunakan SSM memfasilitasi suatu siklus tak berakhir (endless cycle) bagi proses “belajar sambil melakukan (learning by doing)” yang dikatakan sebagai SSM-based-AR. Didalam SSM-based AR, peneliti mengambil tindakan bagi situasi problematik dalam dunia nyata dengan bertindak sebagai orang pertama yang bertujuan untuk meningkatkan situasi tersebut berdasarkan refleksi dan pengalaman (Gambar 3.1).
Gambar 3.1. Reporting the SSM-based-AR Sumber: Uchiyama (2009) h.22
255
Ibid. h.22
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
95
Riset aksi dipandang sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan berdasarkan pengalaman (experience-based knowledge) yang dapat diaplikasikan pada dunia nyata melalui praktik oleh peneliti itu sendiri, SSM-based-AR menggunakan model yang relevan bagi “keadaan yang sebenarnya (actuality)” sebagai suatu “jejak (trace)” bagi proses aktual dari riset aksi. SSM based-AR mengajukan prinsip “recoverability” dari “actuality” sebagai standar akademisnya, daripada prinsip “repeatibility” sebagai standar positivis (Checkland dan Holwell, 1998). Uchiyama (2009) menginterpretasikan prinsip tersebut ketika “actuality” pada AR tidak dapat diulang, jejak dari “actuality” pada AR tetap dapat dikemukakan dalam model relevan “actuality”. SSM-based-AR menganggap situasi dunia nyata sebagai suatu tempat dimana “actuality” dan “reality” dapat terjalin (Uchiyama, 2009). Pada SSM-based-AR pula, kita tidak (semata) berfokus pada eksistensi struktur atau sistem dalam level reality, tetapi kita dapat fokus pada mewujudkan esksistensi pada level (actuality) (“In the cases of SSM-based AR, our stand point is that we do not know whether there is the system (mechanism) in the real world or not even in the latent level, but we can embody 'systems' in the process ("actuality in Kimura's sense) to inquiry of the life world”).256 Dalam penelitian ini, yang menjadi kepentingan penyelesaian masalah (problem solving interest) adalah: merekonstruksi kebijakan dalam mendorong upgrading teknologi pada global value chain industri pesawat terbang sehingga upgrading teknologi yang dilakukan dapat survive dan berkesinambungan untuk menjamin terjadinya kemandirian teknologi dirgantara di Indonesia. Yang
menjadi
kepentingan
penelitian
(research
interest)
adalah
merekonstruksi konsep tiga level hierarki proses kebijakan dalam mendorong upgrading teknologi pada global value chain industri pesawat terbang sehingga upgrading teknologi yang dilakukan dapat survive dan berkesinambungan untuk menjamin terjadinya kemandirian teknologi dirgantara di Indonesia. Siklus penelitian tindakan untuk memenuhi kepentingan penelitian ditunjukkan pada Gambar 3.1, adapun siklus penelitian tindakan untuk memenuhi kepentingan penyelesaian masalah ditunjukkan pada Gambar 3.2.
256
Ibid. h.21
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
96
Gambar 3.2. Siklus Research Interest dalam Penelitian Tindakan Sumber: Diadaptasi dari McKay dan Marshall (2001, h. 51)
Pada penelitian riset aksi yang berbasis research interest, peneliti harus memiliki tema, ide, tujuan, dan pertanyaan penelitian terkait dengan apa yang ingin peneliti capai (lihat Gambar 3.2). Setelah mengidentifikasikan minat penelitiannya, peneliti akan menggunakan literatur yang relevan untuk mengklarifikasi dan mengidentifikasi kerangka teori yang ada dan relevan. Peneliti menggunakan kerangka kerja teori untuk mengidentifikasi minat penelitiannya. Kemudian, peneliti merencanakan dan mendesain proyek penelitian yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan penelitian, tema, dan tujuannya. Selanjutnya, peneliti akan mengambil tindakan terkait dengan penelitiaannya. Tindakan ini dimonitor berdasarkan minat penelitian dan dievaluasi untuk melihat efek intervensi penelitian terhadap pertanyaan penelitian. Ketika pertanyaan penelitian terjawab atau kepuasan tercapai, peneliti akan keluar dari setting penelitian. Peneliti juga dapat mengembangkan rencana dan desain penelitian untuk mencari penjelasan lebih jauh mengenai teori dan hasil penelitian. Gambar 3.3 menunjukkan siklus riset aksi yang berkaitan dengan problem solving interest. Sedangkan pada penelitian yang berbasis problem solving interest pada riset aksi, McKay dan Marshall (2001) memaparkan bahwa peneliti riset aksi (action researcher) harus menyadari permasalahan dunia nyata (real world), yang salah satunya menyediakan cakupan untuk uraian tema atau ide penelitian. Setelah dilakukan identifikasi, peneliti harus melakukan penyelidikan dan pencarian fakta dimana peneliti mencoba mencari lebih banyak sifat dasar dan konteks
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
97
permasalahan, siapa pemilik masalah, peranan kunci stakeholder dalam proses pemecahan masalah, sejarah, budaya, dan komponen politik yang relevan. Kemudian, peneliti dan partisipan dapat berkolaborasi dalam merencanakan strategi pemecahan masalah. Perencanaan tersebut nantinya diimplementasikan ke dalam beberapa tahap tindakan. Implementasi tersebut nantinya harus dimonitor untuk mengevaluasi dampaknya terhadap situasi permasalahan yang dirasakan. Pada waktu tertentu ketika kepuasan hasil penelitian dianggap telah tercapai oleh stakeholder, peneliti keluar dari situasi tersebut atau mengembangkan rencana tindakan dan membuat perubahan tambahan terhadap konteks permasalahan.
Gambar 3.3. Siklus Problem Solving interest dalam Penelitian Tindakan Sumber: Diadaptasi dari McKay dan Marshall (2001, h. 50)
3.3. Alasan Menggunakan Pendekatan Soft System Methodology (SSM) Penelitian tentang tiga level hierarki proses kebijakan untuk mendorong upgrading teknologi pada global value chain industri pesawat terbang ini memiliki beberapa karakteristik. Pertama, pada masing-masing level hierarki proses kebijakan, mulai dari level kebijakan nasional, kebijakan sektoral hingga level operasional untuk mendorong upgrading teknologi dalam global value chain industri pesawat terbang sangat kompleks. Selain kompleks, penelitian ini juga bersifat serba aktivitas manusia (Human Activity System), baik pada level kebijakan nasional yaitu aktivitas memasukan arah pembangunan iptek sekor kedirgantaraan dalam rencana pembangunan nasional, maupun pada level sektoral
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
98
terkait kerjasama inovasi hingga level operasional-industri dalam kaitannya dengan proses upgrading teknologi itu sendiri. Ciri kedua, penelitian ini sarat akan clash world view antar aktor. Diantara contoh clash world view adalah : pertama, perbedaan pendekatan pembangunan iptek antara pendekatan berbasis technology driven khususnya high tech dengan market driven. Kelompok pertama lebih menitiberatkan pada penguasaan dan kemandirian teknologi yang dapat memberikan leverage yang terbesar bagi pembangunan ekonomi dan umumnya bersifat high cost dan jangka panjang, diantara contoh adalah pengembangan teknologi dirgantara secara umum. Pandangan kelompok kedua adalah lebih menitiberatkan pada pengembangan teknologi yang segera dapat menjawab permasalahan pembangunan. Kedua, clash world view juga terjadi antara aktor inovasi dari sektor litbang yang
lebih
berorientasi accademic exellance sementara pada sektor swasta lebih berorientasi pada aspek economic value. Oleh karena itu, analisa aktivitas antar aktor didalam proses upgrading teknologi pesawat terbang merupakan permasalahan yang sangat rumit (messy). Fenomena clash world view juga terjadi pada proses implementasi kebijakan. Implementasi kebijakan dalam mendorong upgrading teknologi pesawat terbang membutuhkan rentang waktu yang cukup lama serta menuntut perubahan
perilaku
aktor
ekonomi,
politik
dan
budaya.257
Sebagai
konsekuensinya, implementasi kebijakan tersebut akan menimbulkan conflicting worldview terutama dari pihak-pihak yang merasa terancam dengan implementasi kebijakan tersebut.258 Ciri ketiga, terkait dengan aspek kegagalan dan keberhasilan upgrading teknologi industri pesawat terbang. Walaupun hubungan antara aspek-aspek kegagalan dan keberhasilan merupakan representative dari kerangka tiga level hierarki proses kebijakan Bromley. Namun, bentuk pendekatan pada masingmasing level kebijakan tersebut, baik isi maupun proses penyusunan dan atau proses implentasinya sangat messy karena bersifat spesifik, lokal dan memiliki titik berat yang berbeda-beda. Diantara contoh kekhasan tersebut adalah perbedaan pendekatan pemerintah dari masing-masing negara dalam konteks 257 258
Merilee S. Grindle (1997). op.cit. h.11. Ibid.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
99
kebijakan, baik nasional maupun kebijakan sektoral dalam mendorong upgrading teknologi industri pesawat terbang.259 Perbedaan tersebut akan mempengaruhi implementasi atau proses upgrading teknologi pada tataran operasionalnya.260 Berdasarkan pada beberapa karakteristik penelitian yang telah disebutkan, maka peneliti ini akan menggunakan pendekatan soft system methodology (SSM) based
Action
Research
(SSM-
based
AR).261Pendekatan
SSM
dapat
mengakomodir aspek clash world view (peta konflik) maupun problematical situation (messy problem) yang secara realistis memang terjadi khususnya antar aktor dalam tiga level hierarki proses kebijakan untuk mendorong upgrading teknologi industri pesawat terbang. Penelitian tindakan ini dilakukan untuk menyelesaikan situasi problematik dalam dunia nyata (P), yang memungkinkan peneliti mencari tahu tentang situasi problematik dalam dunia nyata yang menjadi tujuan penelitian (A), berdasarkan kerangka teoritis (F), dengan menggunakan metode untuk memenuhi kepentingan penelitian (MR), dan metode untuk memenuhi kepentingan penyelesaian masalah (MPS) mengikuti kerangka penelitian yang ditunjukkan pada Gambar 3.4.
259
Lihat kembali Bab I h.30-31, tentang perbedaan pendekatan pemerintah dalam dalam mendorong upgrading teknologi industri pesawat terbang 260
Gary Gareffi, 2011. loc.cit.h.40
261
Sudarsono Hardjosoekarto. (2013). Dual Imperatives of Action Research: Lessons from Theoretical Research Practice to Construct Social Development Index by Using Soft Systems Methodology. Human Resource Management Research, 3, 1, 49-53 DOI: 10.5923/j.hrmr.20130301.10., “SSM-based AR as introduced by Uchiyama (2009) and applied by Hardjosoekarto (2011, 2012) as an elaboration of soft systems methodology developed by Checkland and Scholes (1990), Checkland (1999) and Checkland and Poulter (2006) is used as a methodology to elaborate an illustration of the dual imperatives of AR”.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
100
Gambar 3.4. Kerangka Penelitian Tindakan menurut McKay dan Marshall (2001) Sumber: McKay dan Marshall (2001, h.57)
Berdasarkan kerangka penelitian, maka elemen-elemen penelitian tindakan yang terdiri atas F, MR, MPS, P, dan A yang digunakan dalam penelitian ini dirumuskan seperti pada Tabel 3.2 di bawah ini. Tabel 3.2. Elemen Penelitian Komponen
Keterangan
F Kerangka yang berisi nilai, beliefs, opini, pengetahuan, & pemahaman, => Teori implisit/eksplisit ttg A
Teori Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan Bromley (1989) dan Teori Global Value Chain (Gareffi, Humphrey, dan Sturgeon, 2005).
MR & MPS Methodology P Situasi problematis dunia nyata A Area spesifik yang akan diteliti
Soft Systems Methodology – Based Action Research Situasi problematis terkait tiga level hierarki proses Kebijakan dalam upgrading pesawat terbang IPTN dalam Global Value Chain Hierarki A
Konsep kebijakan upgrading teknologi dalam global value chain tipologi modular (Gereffi., Humphrey dan Sturgeon, 2005) melalui pengkayaan pada konsep tiga level hierarki proses kebijakan (Bromley, 1989) dalam rangka peningkatan nilai tambah sektor dirgantara.
Sumber: Diadaptasi dari McKay dan Marshall (2001)
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
101
Kemudian berdasarkan elemen-elemen tersebut di atas, disusunlah model penelitian tindakan seperti pada Gambar 3.5.
Teori Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dan Teori Global Value Chain (GVC) , SSM .
Situasi problematis terkait tiga level hierarki proses Kebijakan dalam upgrading pesawat terbang IPTN dalam Global Value Chain Hierarki
Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam Upgrading teknologi industri pesawat terbang PT Dirgantara Indonesia (PT DI)
Refleksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam upgrading teknologi GVC IPTN, dengan menggunakan SSM, mengkonstruksi tiga level hierarki proses kebijakan dalam upgrading teknologi poda GVC Hierarki Refleksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam upgrading teknologi GVC IPTN, dengan menggunakan SSM untuk mengkonstruksi tiga level hierarki proses kebijakan dalam upgrading teknologi industri pesawat terbang PT DI
Gambar 3.5. Model Penelitian Tindakan yang Digunakan
3.4. Tahapan dan Proses Penelitian dalam SSM Dalam penerapannya SSM terdiri dari 7 langkah (Gambar 3.6), dibagi menjadi dua tahapan utama. Tahapan pertama, real world dengan lima langkah yaitu: (1) mengkaji situasi masalah yang tidak berstruktur, (2) menyusun atau memetakan situasi masalah, (5) membandingkan model konseptual dengan masalah yang telah terstruktur, (6) menetapkan perubahan yang diinginkan, dan (7) melakukan tindakan perbaikan atas masalah. Tahapan kedua, system thinking dengan dua langkah yaitu (3) membangun definisi permasalahan yang diformulasikan dari hasil strukturisasi masalah pada langkah ke-2 tahapan real world dan (4) yaitu membuat model konseptual atas dasar hasil definisi masalah.262
262
Peter Checkland, 1999. System Thinking, System Pratice.op.cit.h.163
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
102
Gambar 3.6. Tahapan dalam SSM Sumber: Checkland (1999)
Untuk penjelasan masing-masing tahap SSM dapat dilihat pada tabel 3.2 dibawah ini. Pada tahap pertama, adalah menemukan situasi masalah yang messy (tak terstruktur) sampai kemudian menstrukturkan real world tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa yang menjadi real world adalah tiga level hierarki proses kebijakan upgrading teknologi industri pesawat terbang di Indonesia. Adapun aktor aktor yang dipilih untuk mewakili peran adalah seperti pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3. Aktor-aktor yang Mewakili Peran dalam Penelitian Peran (roles)
Actors
Client (C) Aktor yang membutuhkan perbaikan sistem / yang menyebabkan penelitian dilaksanakan
Peneliti, Promotor, Kopromotor, Program Doktor Ilmu Administrasi FISIP UI.
Problem Solver (P) Aktor yang memainkan peran mencari jawaban /penyelesaian masalah / yang melakukan penyelidikan Problem Owner (O) Aktor yang berperan sebagai sumber informasi
Peneliti, Promotor dan Kopromotor
1. Presiden RI III sekaligus mantan: Menteri Ristek, Kepala BPIS, Vice Chairman DEPANRI, Ketua DRN, Dirut IPTN. 2. Menteri Ristek Kabinet dalam
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
103
Presiden Habibie. 3. Menristek Gusti yang kemudian diperdalam dengan Staf Ahli Bidang Hankam sekaligus Ketua Tim Teknis DEPANRI 2012. 4. Mantan Asisten Menteri bidang Koordinasi Formulasi dan Evaluasi Kebijakan Iptek Menristek pada era 1995-1998 serta pakar Kebijakan Publik. 5. Kementerian Keuangan- Badan Kebijakan Fiskal6. Politisi/Tim sukses calon presiden Jokowi/anggota Komisi VII DPR selama lima tahun (2004-2009) dan Menteri Lingkungan Hidup pada Kabinet Persatuan. 7. Tim ahli dari calon presiden Prabowo. 8. Mantan Dirjen Dikti. 9. Direktur Industri, IPTEK, Pariwisata dan Ekonomi KreatifBappenas 10. Direktur Transportasi BAPPENAS 11. Direktur Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kemenperin – Kementerian Perindustrian 12. Kepala BPPT 13. Dirut PT DI 14. Kepala Perencanaan dan Pakar Transportasi PT DI 15. Dirut PT RAI 16. Ketua Dewan Riset Nasional 17. Deputi Kedirgantaraan- LAPAN 18. Dekan FTMD ITB 19. Direktur Lembaga Pengelola Dana Pendidikan. Gambaran tentang situasi problematik pada tahap kedua didapatkan melalui analisis norms, values, dan politic. Ketiga analisis tersebut dideskripsikan pada Tabel 3.4. Selanjutnya untuk menggambarkan situasi masalah tersebut kemudian dituangkan dalam diagram yang dilengkapi dengan catatan yang disebut dengan “rich picture”. Beberapa cara yang dilakukan untuk tahap 1 dan 2 adalah
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
104
dengan telaah hasil Focus Group Discussion (FGD), wawancara, diskusi informal dan telaah dokumen.
Tabel 3.4. Analisis One, Two, dan Three pada Tahap ke-2 Analisis Analisis One (Analisis Budaya) Analisis Two (Analisis sosial)
Ruang Lingkup Yaitu intervensi atau interaksi peran: C (client), problem solver dan problem owner. Yaitu analisis yang menggali informasi dari Problem Owner terkait: -norma: perilaku yang diharapkan dalam peran dan digunakan untuk menentukan peran sosial aktor Problem Owner dala suatu organisasi -roles: disposition of power yaitu pembagian posisi sosial -Value (nilai): standar dan kriteria untuk menilai peran dan perilaku Analisis Three (Analisis Analisis sistem politik dari aktor problem owner Sosial Politik) terkait bagaimana kekuasaan diekspresikan, disposisi kekuasaan, sumber kekuasaan dalam real world. Pada Tahap 3, root definitions of relevant purposeful activity systems bertujuan untuk mendefinisikan dan memberi nama semua human activity system atau sistem aktivitas manusia yang relevan dengan formula do P by Q in order to archieve R (PQR). Root Definition tersebut kemudian dilakukan pengecekan dengan menggunakan teknik CATWOE (Tabel 3.5). Untuk mendapatkan root definition, langkah-langkah yang dilakukan adalah: (a) memilih sistem yang relevan, dilakukan berdasarkan primary task dengan memetakan susunan institusional (institutional arrangement) atau berdasarkan issue-based dengan mengacu pada proses mental; (b) memberi nama sistem yang relevan, dilakukan dengan mempertimbangkan esensi dari persepsi yang kemudian dituangkan dalam pemodelan; dan (c) memodelkan sistem yang relevan, dilakukan dengan mempertimbangkan
tujuan
utama
dari
sistem
aktivitas
manusia
yang
menunjukkan transformasi yang diperlukan. Proses transformasi ini dilakukan dengan kriteria yang dideskripsikan pada Tabel 3.6.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
105
Tabel 3.5. Deskripsi CATWOE Kode C: Customer
Deskripsi Pihak yang terkena atau yang mendapatkan manfaat dari transformasi A: Actor Pihak yang melakukan transformasi T: Transformation Konversi dari input menjadi output W:Weltanschauung Pandangan atau worldview yang membuat transformasi menjadi berarti dalam konteks situasi problematik yang dihadapi O: Ownership Pihak yang dapat menghentikan transformasi E: Environmental Constrain Elemen di luar sistem yang ada yang dapat membatasi transformasi Sumber: Checkland dan Scholes (1990, h.35) ditabulasi
Tabel 3.6. Kriteria Tranformasi Kode Efficacy Efficiency Effectiveness
Deskripsi Transformasi bekerja untuk memproduksi hasil yang diinginkan Transformasi dapat dilakukan dengan biaya minimum Transformasi dapat mencapai tujuan yang lebih tinggi atau jangka panjang Sumber: Checkland dan Poulter (2006, h. 42)
Pada tahap empat, yaitu mendesain logic model dari setiap root definition yang menunjukkan aktivitas operasional proses yang dilakukan dengan membuat diagram yang melukiskan batas-batas sistem, keterkaitan dan hubungan antar aktivitas. Adapun pada tahap lima, yaitu membandingkan konseptual model dengan situasi masalah yang terstuktur, yaitu komparasi antara tahap 2 dan tahap 4. Untuk membuat perbandingan dapat dilakukan dengan menggunakan 4 (empat) cara yaitu diskusi informal, pertanyaan formal, penulisan skenario berbasis pengoperasian model, dan mencoba memodelkan dunia nyata dengan struktur yang sama dengan model konseptual. Perbandingan ini dilakukan dengan menggunakan alat bantu berupa matrik antara komponen dalam model dengan kriteria pembandingan yang meliputi: ada atau tidak ada dalam situasi nyata, bagaimana untuk menjalankan, bagaimana untuk menilai, dan catatan.263
263
Peter Checkland and Jim Scholes (1990), op.cit, h. 43.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
106
Pada tahap 6 yaitu membuat perubahan yang diperlukan secara sistematik dan layak secara kultural. Untuk tahap ini dilakukan dengan telaah hasil FGD, diskusi serta wawancara dengan stakeholders tentang hasil-hasil yang telah diperoleh. Hasilnya adalah perubahan, dan perubahan tersebut harus sistematis (cara maupun tujuan) dan feasible untuk dilaksanakan. Penelitian ini tetap sampai pada tahap action yang merupakan esensi dari tahap 7, karena menurut Checkland dan Poulter (2006)264 bahwa lingkup action dalam tahap akhir SSM tidak hanya implementing the action tetapi juga mencakup defining the action. Tentang hal ini, Checkland dan Poulter menguraikan tahap akhir dalam siklus never-ending SSM: “ Define/take action to improve the situation. Since the learning cycle is in principle never-ending it is an aribitrary disctinction as to wheter the end of study is taken to be defining the action or actually carrying it out. Some studies will be ended after the defining the action, some after implementing it.”
3.5. Pengumpulan dan Analisis Data Dalam keenam tahap SSM, masing-masing dilakukan dengan beragam teknik pengumpulan data serta analisis yang dilakukan pada tiap tahap tersebut (Tabel 3.7). Tabel 3.7. Deskripsi ringkas tujuh langkah SSM dan teknik kualitatif yang digunakan No 1
2
6 langkah SSM Menemukan situasi masalah yang tak terstruktur terkait kegagalan industri pesawat terbang IPTN terutama dalam upgrading teknologinya Menstrukturkan situasi masalah tiga level hiearki proses kebijakan dalam konteks
Keterkaitan dengan pengumpulan data Telaah dokumen, Wawancara, Telaah hasil FGD terkait untuk menggali factual problem terkait proses upgrading teknologi pesawat IPTN dari NC 212; CN 235 hingga N 250 Telaah dokumen, Wawancara, Telaah hasil FGD terkait untuk mengidentifikasi permasalahan dalam
Analisis Data -Analisis peran: C (client), problem solver dan problem owner; -Menggali informasi dari Problem Owner; analisis sistem politik dari aktor problem owner terkait bagaimana kekuasaan diekspresikan, disposisi kekuasaan, sumber kekuasaan dalam konteks upgrading teknoloi IPTN
264
Peter Checkland and John Poulter (2006). Learning for Action: A Short System Definitive of Soft Systems Methodology and Its use for Practioner, Teacher, and Students. h.13-14.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
107
pengembangan N 250 oleh IPTN 3
4
5
6
7
Menentukan transformasi yang akan dilakukan pada masing-masing level untuk menjamin tercapainya outcome penelitian Menyusun model konseptual HAS pada tiap-tiap transformasi
Melakukan analis perbandingan dari model konseptual melalui debating dengan teori/konsep dan atau best practice negara lain Menentukan perubahan yang diinginkan dan mungkin dilakukan sehingga transformasi tercapai
perspektif tiga level hiearki proses kebijakan Bromley (1989) Telaah dokumen, Wawancara untuk mengidentifikasi transformasi yang diperlukan pada masingmasing level hierarki proses kebijakan Bromley (1989) Diskusi Informal, Wawancara, Telaah dokumen untuk menyusun model konseptual dalam rangka transformasi yang diperlukan pada masingmasing level hierarki proses kebijakan Bromley (1989) Diskusi Informal, Wawancara, Telaah hasil FGD terkait untuk membandingkan model konseptual dengan teori/konsep dan atau best practice negara lain Diskusi Informal, Wawancara, Telaah hasil FGD terkait sehingga dapat dilakukan improvement pada model konseptual sehingga transformasi dapat tercapai.
Menyusun root definition yaitu transformasi yang akan dilakukan pada masingmasing level heiarki proses kebijakan Bromley dan dikontrol dengan CATWOE Menyusun konseptual model berdasarkan root definition dengan 3 kriteria: efficacy,
efficiency dan effectiveness
Membandingkan antara tahap 2 dan 4.
Menyimpulkan hasil analisis dari tahap 1 sampai tahap 6
Melakukan Aksi
3.6. Narasumber Penelitian Dalam
rangka
menggali
informasi
terkait
penelitian,
dilakukan
serangkaian teknik pengumpulan data terhadap sejumlah narasumber terkait (Tabel 3.8). Beberapa teknik yang dilakukan adalah melalui FGD, wawancara, dan diskusi informal. Secara lebih lengkap tersaji dalam lampiran 9 dan 10.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
108
Tabel 3.8. Narasumber Penelitian No 1
2
3
4 5
6 7
8 9 10 11 14 15 16 17 18 19 20 21 23 24 25 26
Narasumber Presiden RI III sekaligus mantan: Menteri Ristek, Kepala BPIS, Vice Chairman DEPANRI, Dirut IPTN. Prof. BJ Habibie Menteri Ristek, Prof. Gusti Muhammad Hatta, dan diperdalam dengan Staf Ahli Bidang Hankam yang juga Ketua Tim Teknis DEPANRI, Dr. Teguh Rahardjo Ketua Inovasi Nasional (KIN) dan Menristek pada Era Presiden BJ Habibi, Prof. Zuhal Mantan Dirjen Dikti, Prof Dr. Satrio Soemantri Mantan Asisten Menteri bidang Koordinasi Formulasi dan Evaluasi Kebijakan Iptek Menristek pada era 1995-1998 serta pakar Kebijakan Publik UGM, Prof Sofyan Effendi Kementerian KeuanganBadan Kebijakan FiskalTim sukses calon presiden Jokowi, yaitu Dr. Alexander Sonny Keraf, Beliau juga pernah menjadi anggota Komisi VII DPR selama lima tahun (2004-2009) dan Menteri Lingkungan Hidup pada Kabinet Persatuan. Tim ahli dari calon presiden Prabowo Prof. Dr. Laode M. Kamaluddin. Deputi di Kementerian Koordinator Ekonomi Pejabat Kementerian BUMN Direktorat Perhubungan UdaraDEPHUB Kepala BPPT 2013 Dirut PT DI Dirut PT RAI Ketua Dewan Riset Nasional Ketua Program Aeronatics dan Aerospace FTMD ITB Direktur Industri, IPTEK, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif- Bappenas Direktur Transportasi BAPPENAS Direktur Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kemenperin Deputi Kedirgantaraan- LAPAN Direktur Lembaga Pengelola Dana Pendidikan Dekan FTMD ITB Kepala Perencanaan Perusahaan PT DI dan Pakar Transportasi PT DI
Teknik Wawancara langsung, kutipan wawancara yang dilakukan pihak lain
Wawancara
Wawancara
Diskusi Informal Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek
Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek
Telaah hasil seminar dalam rangkaian acara Sidang Paripurna DRN 2014
Telaah Hasil FGD terkait Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek Wawancara Wawancara Wawancara Wawancara, Telaah Hasil FGD terkait Wawancara, Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek Wawancara, Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek Wawancara Diskusi Informal Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek Wawancara
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
109
27 28 29 30 31 32 33 34
Deputi Bidang Relevansi dan Produktivitas Iptek-Kemenristek Asisten Deputi Bidang Relevansi Kebijakan Asisten Deputi Bidang Relevansi Program Riptek -Kemenriste Direktur Teknologi PT DI Bagian Pengadaan PT RAI, Budi Wibowo di PT RAI Ketua Komtek Soshum DRN
47 48
Direktur Riset LPDP Kepala Divisi Evaluasi Penyaluran Dana Kegiatan Pendidikan-LPDP Asisten Deputi Produktivitas Riset Iptek Masyarakat Humas PT DI Asdep Produktivitas Riptek Industri Kasubdit Kerjasama Antar Lembaga, Dit Kelembagaan dan Kerjasama Ditjen Dikti Program Manajer N 219 PT DI, Directorate of technology & Development Bagian Marketing, Keuangan dan Promosi PT DI Asdep Produktivitas Iptek Strategis Marketing Representative, PT RAI Pustekbang Aero Structuer-LAPAN Wartawan Senior Kompas, Dr. Ninok Leksono Mantan Direktur Teknologi Proses BPPT di Era Habibie Kabid Peta Rencana pada Keasdepan Relevansi Kebijakan Riset dan Iptek Bagian Inspeksi B2TKS-BPPT Corporate Secretary PT RAI
49
Karoren Ristek
35 36 37 38
39
40 41 42 43 44 45 46
Wawancara, Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek Wawancara Wawancara Wawancara Wawancara Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek Wawancara Wawancara Wawancara Wawancara Wawancara Wawancara
Wawancara
Wawancara Wawancara Wawancara Wawancara Wawancara Wawancara Wawancara Wawancara Wawancara, Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek Telaah Hasil FGD terkait yang dilakukan Kementerian Ristek
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
110
BAB IV GAMBARAN UMUM KONDISI TIGA LEVEL HIERARKI PROSES KEBIJAKAN DALAM MENDORONG UPGRADING TEKNOLOGI INDUSTRI PESAWAT DI INDONESIA Pada
era
orde
baru,
sejatinya
dukungan
pemerintah
terhadap
pengembangan teknologi dirgantara sangat tinggi, mulai dari pengembangan pesawat terbang dari NC 212 dibawah lisensi spanyol, kemudian pendesainan secara patungan CN 235 dengan CASA-Spanyol hingga menuju kemampuan desain berbasis 100% pada kemampuan IPTN yaitu dua prototipe N 250 yaitu seri gatot koco dan krincing wesi. Secara keseluruhan, kerangka tiga level hierarki proses kebijakan dalam mendorong upgrading teknologi industri pesawat terbang pasca orde baru sangat lemah, karena pada era orde baru, sejatinya dukungan sangat kuat kecuali pada dua aspek, yaitu pada level organisasi (sistem leasing pesawat terbang terutama dari perbankan nasional) dan level operasional yaitu, aspek dan manajemen IPTN khususnya kemampuan produksi pesawat terbang (Gambar 4.1). Namun, selain masih terdapat kelemahan pada aspek tiga level hierarki proses kebijakan, kegagalan IPTN khususnya program N 250 sejatinya tidak terlepas dari permasalahan politik. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan: pertama, proses sertifikasi N 250 yang sangat pelik terutama dalam mendapatkan sertifikasi FAA. FAA menilai jika hanya satu prototipe N 250, belum cukup untuk mendapatkan sertifikasi FAA. Sebagai respon, IPTN kemudian mendesain versi terbaru dengan menaikkan ke versi 70 penumpang, namun FAA masih menilai bahwa N 250 versi 70 penumpang tidak layak karena ketidaktersediaan data-data pendukung.265 Kedua, ketika rencana pengembangan N 250 di publish, sebenarnya CASA Spanyol berharap IPTN dan Pemerintah Indonesia kembali melakukan joint design dengan mereka sebagaimana dalam CN 235, tetapi ditolak oleh Habibie, IPTN ingin mengembangkan satu pesawat yang benar-benar 100% didesain dan diproduksi diatas kemampuan nasional sebagaimana amanat Presiden Soekarno dan Soeharto.266 Penolakan tersebut sempat menyebabkan kerenggangan 265 266
Harm-Jan Steenhuis dan Erik J. De Bruijn, loc.cit.h.6 Wawancara dengan BJ Habibie, lihat lampiran 9, no.1
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
111
hubungan antara CASA dengan IPTN waktu itu.267 Buktinya, di tahun yang sama yaitu di tahun 1998, ketika IMF melarang pemerintah untuk memberikan bantuan pendanaan N 250,268 justru CASA melakukan maiden flight C 295 dengan kelas 60 penumpang yang sejatinya merupakan pesawat sekelas N 250 dan merupakan pengembangan dari CN 235. Ketiga, lompatan IPTN dalam mendesain N 250 dan N 2130 dianggap sangat membahayakan negara-negara tertentu, hal ini sebagaimana yang diungkapkan Merilee S. Grindle (1997)269: “apabila kebijakan publik dimaksud untuk menimbulkan perubahan-perubahan dalam hubungan sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya, akan dapat merangsang munculnya perlawanan dari pihak-pihak yang kepentinganya terancam oleh kebijakan publik tersebut.” Hal ini sangat dimaklumi, bahwa jika N 250 berhasil, maka sektor dirgantara Indonesia akan semakin kuat, baik dari SDM maupun bisnis yang sekaligus merupakan satu lingkungan yang kondusif untuk mendesain pesawat jet N 2130, apalagi dalam rangka pengembangan N 2130, segala langkah telah dipersiapkan dengan matang.270 Jika Indonesia mampu membuat pesawat jet, maka Indonesia akan mampu membuat pesawat tempur hingga penguasaan teknologi satelit.271 Keempat, dari sisi teoritis dan empirik, intervensi yang tinggi dari negara terhadap industri strategis termasuk pesawat terbang (high tech) adalah satu hal yang sangat wajar sekali, bahkan meskipun Industri tersebut bangkrut, lihat kembali contoh keberhasilan Embraer, China, bahkan Airbus. Pada tanggal 24 Agustus 2000, IPTN direstrukturisasi. Seiring dengan periode restrukturisasi tersebut, IPTN memasuki babak baru dan visi baru dengan lingkungan kebijakan yang juga berbeda. Hingga saat ini, dukungan terhadap pembangunan iptek sektor dirgantara masih lemah, hal ini dapat dilihat melalui inkonsistensi dan inkoherensi antara tiga level hierarki proses kebijakan, baik dari level kebijakan, level inter sektoral sampai pada level operasional. Pada level kebijakan, dengan pengecualian pada Perpres No. 32 Tahun 2011/MP3Ei; UU No 267
Budi Santoso, 2011), dikutip di, http://abarky.blogspot.com/2011/02/ptdi-eads-siapbikin-pesawat-militer.htm). 268 Lihat kembali ulasan kegagalan N 250 pada Bab I h.12-15 269 Merilee S. Grindle (1997), op.cit. h.11 270 Vertesy, D. and Szirmai, A. 2010. loc.cit.h.76 271 Lihat road map strategi transformasi IPTN, di Buku 25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru.. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab.h.32.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
112
1 tahun 2009 Tentang Penerbangan; Inpres no 2 thn 2009 tentang Penggunaan Produksi dalam Negeri, arah pembangunan iptek sektor kedirgantaraan belum tertuang secara jelas dalam rencana pembangunan nasional, baik dalam UU No.17/2007 tentang RPJPN 2005-2025 maupun dalam Perpres No.5/2010 tentang RPJMN 2010-2014. Pada level organisasi, walaupun telah ada sejumlah instrumen kebijakan yang mendukung, namun dukungan kebijakan pada sektor ketersediaan SDM dirgantara, infrastruktur atau lab pengujian, dukungan sistem pendanaan/perbankan juga masih lemah. Pada level operasional, walaupun beberapa plasma business seperti bidang aerostructure sudah berjalan, namun kemampuan Manajemen PT DI secara umum masih sangat lemah, baik dari aspek SDM, keuangan perusahaan, keterbatasan fasilitas pengujian untuk upgrading teknologi termasuk rencana pengembangan pesawat R-80 yang merupakan upgrading dari pesawat terbang N 250 (Gambar 4.1).
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
113
Arah Kebijakan Pembangunan Iptek Sektor Dirgantara secara jelas dicantumkan, baik dalam PJP II maupun dalam Pelita VI/VII
Level Kebijakan Pembangunan Iptek Sektor Dirgantara
Level Kebijakan Pembangunan Iptek Sektor Dirgantara GBHN 1993 maupun GBHN 1998
UU. No.17/2007-RPJPN 2005-2025 dan di Perpres No.5/2010-RPJMN 2010-2014
Level Organisasi-Sinergi Sektor Riptek, Keuangan untuk Pengemb Tek Dirgantara
Level Organisasi-Sinergi Sektor Riptek, Keuangan untuk Pengemb Tek Dirgantara
Dukungan intersektoral cukup kuat, namun belum ada sistem leasing untuk pesawat terbang
Pasar cukup besar, SDM, Pendanaan, Dukungan Fasilitas/Sumber Daya Iptek Dirgantara di luar PT DI -Untuk Upgrading N 250 juga cukup menunjang, namun Kemampuan Produksi Pesawat masih sangat lemah Strategi bisnis : 1.Perjanjian kerjasama joint-venture untuk marketing dan teknis dengan pihak Jerman untuk memasarkan dan merakit N 250 di Jerman 2.IPTN melalui kerjasama dengan Amerika Serikat telah mendirikan anak perusahaan IPTN di AS yang disebut AMRAY (American Regional Aircraft Industry). Selain di Alabama, IPTN juga telah membuka branch office di North American khususnya di Seattle
PUNAS; FTMD ITB; Puspiptek-BPPT Program S2, sejumlah program Beasiswa untuk penguasaan teknologi kerdirgantaraan melalui (USAID dll
Kepmenristek Nomor 193/M/Kp/Iv/2010-Jakstranas Iptek 2010-2014; ARN 2010-2014; KMK Nomor 18 tahun 2012 tentang LPDP; Hibah Kompetensi Dikti
Kebijakan sektor riset, keuangan, SDM belum diarahakn/tersinergis untuk mendorong Pengembangan Teknologi Sektor Dirgantara
PT DI Program Upgrading N 250
Walaupun pasar cukup besar, namun SDM, Pendanaan, Dukungan Fasilitas/Sumber Daya Iptek Dirgantara di luar PT DI Untuk Upgrading N 250 ke R-80, dan Kemampuan Produksi Pesawat masih sangat lemah
IPTN Program N 250 Tahapan Upgrading: 1.1976: Produksi under licensed-NC 212 2.1980: Integrasi Teknologi, CN 235 3.1987: Pengembangan, N 250 4.1994: Riset Dasar, N 2130
Tahapan Upgrading: Upgrading N 250 Ke R-80
Akan kerjasama dengan PT RAI Tidak sebagaimana CN 235 yang berpatungan dengan CASA, Pengembangan Desain N 250 dilakukan 100% oleh IPTN
Alur Bromley Temuan
Gagal
Era Orde Baru
Tida ada Arah Kebijakan Pembangunan Iptek Sektor Dirgantara
1. Visi sudah kearah Bisnis 2. Core Business: Design dan manufacturing Pesawat Plasma Business: 3. Aero structure: supplier komponen Airbush: A380/A320/A321/A350 (PT DI dipercaya sebagai single supplier untuk A 380. 4. Maintanance Pesawat, 5. Pengembangan pesawat
???
Era Saat ini
Gambar 4.1. Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam Upgrading Pesawat Terbang PT DI dari Era Orde Baru – Era Saat ini.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
114
4.1. Potret Dukungan Peningkatan Nilai Tambah (Product Upgrading) Sektor Dirgantara Pada Level Kebijakan. Berdasarkan penelahaan dokumen serta wawancara yang telah dilakukan terhadap sejumlah narasumbet terkait, bahwa dukungan politik terhadap penguasaan dan pembangunan iptek untuk peningkatan nilai tambah (product upgrading) masih lemah termasuk diantaranya adalah dukungan penguasaan dan pembangunan iptek sektor dirgantara. Pada rezim orde baru, keberpihakan arah pembangunan iptek tertuang secara jelas terutama dalam GBHN 1993 dan GBHN 1998272. Pembangunan iptek waktu itu adalah diarahkan pada iptek yang memberikan nilai tambah yang tinggi dan memberikan pemecahan masalah konkret dalam pembangunan bangsa Indonesia serta dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.273 Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa sektor dirgantara merupakan sektor dengan nilai tambah terbesar dibandingkan sektor lainnya.274 Arah pembangunan iptek sektor dirgantara, baik yang tertuang didalam sasaran Bidang Pembangunan Jangka Panjang Kedua maupun pada Pembangunan Lima Tahun (Repelita) VI dan VII, tidak saja dinyatakan bahwa sektor kedirgantaraan sebagai salah satu bidang dan sasaran pembangunan sendiri275, bahkan kemandirian teknologi kedirgantaraan dijadikan asas pembangunan nasional saat itu baik dalam sasaran bidang ekonomi, industri, maupun iptek itu sendiri.276 Selain dicantumkannya arah pembangunan kedirgantaraan, bahkan strategi pembangunan ipteknya yaitu: “memanfaatkan, mengembangkan, dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan prinsip dari strategi berawal diakhir dan berakhir di
272
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor : II/MPR/1993 dan Nomor : II/MPR/1998tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara 273 Habibie, 1995. op.cit. h.167; GBHN 1993. loc.cit.h .705; GBHN 1998, loc.cit.h.857 274 Habibie, 1995.op.cit.h.49 275 Ibid. untuk GBHN 1993 di h.674; bahkan dihalaman 680, pada Bagian Arah Pembangunan Jangka Panjang Kedua no.15 tertulis: Pembangunan ilmu perngetahuan dan teknologi memegang peranan penting serta akan sangat mempengaruhi perkembangan dalam masa Pembangunan Jangka Panjang Kedua....adapun untuk GBHN 1999, loc.cit di.h.800; 846. 276 Ibid. GBHN 1993 h.660; GBHN 1999, loc.cit di h.889-890
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
115
awal” secara tegas dinyatakan dalam kedua dokumen tersebut baik pada arah pembangunan jangka panjang maupun pada pembangunan lima tahunan.277 Selain itu, dukungan lain secara politik terhadap pembangunan sektor kedirgantaraan juga dapat dilihat pada sejumlah keputusan presiden yang telah dikeluarkan untuk mendukung pembangunan iptek sektor kedirgantaraan, mulai dari KEPPRES No. 1 tahun 1980278 tentang keharusan pemerintah memakai produksi pesawat dalam negeri. Keppres No. 56/1986 tentang Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS), dalam struktur BPIS tersebut, Menristek adalah sebagai vice president dibawah Presiden. Dan didalam Keppres No. 99 Tahun 1993 /Keppres No. 132 Tahun 1998279 tentang Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik Indonesia (DEPANRI), posisi Menristek juga sebagai vice president dibawah Presiden. Pasca reformasi, terutama sejak 1999, sejumlah regulasi yang mendukung pembangunan iptek sektor kedigantaraan dihapus, mulai dari dihapusnya KEPPRES No. 1 tahun 1980, pembubaran BPIS serta pemberhentian program N 250 dan N 2130, bahkan pada tataran sistem perencanaan pembangunan, bidang iptek dihilangkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita VII) khususnya di Garis-GarisBesar Haluan Negara (GBHN) 1999.280 Bahkan setelah terjadi perubahan ke sistem presidensil yang berbasis pada Rencana Pembangunan Jangka Panjangnya RPJPN dan RPJMN sebagai pengganti GBHN.
277
Ibid.GBHN 1993 h.675 dan GBHN 1993.h.815 dan 839 Presidential - Innovation Lecture Bacharudin Jusuf Habibie Pada Acara HARI KEBANGKITAN TEKNOLOGI NASIONAL 2012 Bandung, 10 Agustus 2012.loc.cit.h.4 279 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 1993 Tentang Dewan Penerbangan Dan Antariksa Dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 132 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 99 Tahun 1993 Tentang Dewan Penerbangan Dan Antariksa Nasional Republik Indonesia. 280 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 – 2004. 278
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
116
Arah pembangunan iptek sektor kedirgantaraan didalam UU. No.17/2007281 tentang RPJPN juga tidak secara tegas dinyatakan sebagaimana dalam dokumen GBHN 1993 dan 1998 sebelumnya. Bahkan, arah pembangunan IPTEK dalam dokumen RPJP tampak bersifat jangka pendek, hal ini dapat dilihat dengan arah dalam tiap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)nya.282 Sebagaimana dinyatakan dalam dokumen tersebut, bahwa pada RJPMN III dan IV, IPTEK nampaknya sebagai tools pembangunan artinya IPTEK sudah merupakan hasil inovasi yang siap digunakan untuk pembangunan nasional. Hal tersebut konsisten, jika melihat arah pembangunan pada RPJMN II, arah pembangunan IPTEK dinyatakan secara jelas. Artinya, hanya dalam jangka lima atau sepuluh tahun, IPTEK dituntut untuk dapat memberikan nilai ekonomi dan berkontribusi pada pembangunan nasional.283 Paca reformasi, diluar sistem perencanaan dan pembangunan nasional (Sisrenmbangnas), sejatinya dukungan terhadap pembangunan sektor kedirgantaraan sudah dinyatakan dalam sejumlah produk kebijakan yaitu mulai Undang-undang No. 1/2009284 tentang Penerbangan, Perpres No. 32 Tahun 2011/MP3Ei. Bahkan dalam MP3Ei285 tersebut merekomendasikan sejumlah kebijakan intersektoral yang saling mendukung untuk pengembangan sektor kedirgantaraan (lihat Tabel 4.1). Jika dilihat perjalanan pemerintahan, sejak era Bung Karno hingga SBY (Gambar 4.2), dukungan terhadap pembangunan sektor kedirgantaraan sangat variatif dengan tingkat intensitas yang berbeda-beda. Dari keenam presiden yang telah memimpin negara ini, rezim Soekarno dan rezim Soeharto sampai sebelum krisis ekonomi 1997 merupakan dua rezim yang paling komit mendukung pembangunan
281
Lampiran UU No.17/2007 tentang RPJPN hal 53 tertulis bahwa: “Pembangunan iptek diarahkan untuk mendukung ketahanan pangan dan energi; penciptaan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi; penyediaan teknologi transportasi, kebutuhan teknologi pertahanan, dan teknologi kesehatan; pengembangan teknologi material maju.” 282 Perpres No.5/2010 tentang RPJMN 2010-2014.h.25 283 Ibid. 284 Undang-undang No. 1/2009 tentang Penerbangan 285 Perpres No.32 tahun 2011, tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, h.89
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
117
sektor Kedirgantaraan286. Bahkan dalam rangka merumuskan kebijaksanaan umum di bidang penerbangan dan antariksa, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 99 tahun 1993 dan Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 132 tahun 1998 dibentuk satu Dewan Penerbangan Dan Antariksa Nasional Republik Indonesia (DEPANRI). 287
Gambar 4.2 Dukungan politik terhadap pembangunan sektor kedirgantaraan Sumber: diolah dari berbagai sumber dan hasil wawancara dengan Habibie di Rumah Beliau di Jl Patra Kuningan XIII, 14 Juli 2014288
286
Hasil Wawancara dengan Presiden RI III BJ Habibie, lihat Lampiran 9 No 18 dan 19 Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 99 tahun 1993 tentang DEPANRI, pasal.2 288 Hasil Wawancara dengan Presiden RI III BJ Habibie, lihat Lampiran 9 No 18 dan 19 287
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
118
Struktur organisasi DEPANRI diketuai oleh Presiden dan wakilnya adalah Menteri Ristek yang sekaligus merangkap Pelaksana Harian DEPANRI. Untuk jabatan sekretaris dan anggotanya masing-masing adalah289: Sekretaris: Ketua Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Anggota: 1. Menteri Luar Negeri; 2. Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; 3. Menteri Perindustrian dan Perdagangan; 4. Menteri Perhubungan; 5. Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya; 6. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan pembangunan Nasional; 7. Kepala Staf Angkata Udara.290 Pada era presiden SBY, yaitu sejak ditahun 2008 dengan Perpres No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, pembangunan sektor dirgantara mulai dibangkitkan kembali. Perpres tersebut mendorong pesawat commuter dengan kapasitas kurang dari 30 penumpang orang sejenis melalui insentif fiskal dan insentif non-fiskal. Setelah Perpres tersebut kemudian muncul sejumlah undang-undang serta peraturan dibawah dibawah undang-undang, mulai dari Undang-undang No. 1/2009, Perpres No.32/2011 tentang MP3Ei dan seterusnya (Tabel 4.1). Secara ringkas, dinamika dukungan pada level kebijakan terutama terkait arah pembangunan nasional dalam pembangunan sektor kedirgantaraan sejak orde baru hingga saat ini dapat dilihat pada Tabel 4.2.
289
Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 99 tahun 199, loc.cit, pasal 4 dan 5 Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 132 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 99 Tahun 1993 Tentang Dewan Penerbangan Dan Antariksa Nasional Republik Indonesia, pasal 4. 290
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
119 Tabel 4.1. Dukungan Pembangunan Sektor Kedirgantaraan Pada Level Kebijakan Inisiasi Sektor
Produk Kebijakan/Periode
Keterangan SEBELUM REFORMASI
Sektor Iptek: Kementerian Ristek
Sektor Non Iptek: Kementerian Perindustrian Perdagangan
Kementerian BUMN
Sektor Iptek: Kementerian Ristek
dan
Keppres No. 56/1986 (BPIS)
Empat strategi transformasi industri dengan BUMNIS Menristek sebagai vice president dibawah Presiden
sebagai wahananya,
Keppres No. 99 Thn 1993 /Keppres No. 132 Thn 1998 (DEPANRI)
Dalam struktur DEPANRI, Menristek sebagai vice president dibawah Presiden
KEPPRES No. 1 tahun 1980
Keharusan pemerintah memakai produksi pesawat dalam negeri
Kebijakan Pembangunan resourced-based Diarahkan pada: peningkatan nilai tambah; peningkatan kemampuan teknologi; industries peningkatan produksi dengan kualitas tinggi; dan peningkatan partisipasi aktif sektor Era Oil boom, 1976-1981 (Kebijakan substitusi swasta Impor) Pasca Oil boom 1982-1985 (Mendorong ekspor) Era 1986-1991 (Kebijakan mendorong Industri beroritensi Ekspor) Keppres No. 56/1986, 10 Industri Strategis Badan Pengelola Industri Strategis, IPTN salah satunya termasuk IPTN SETELAH REFORMASI UU No. 21/2013 tentang Keantariksaan
Pasal 24 diktum c. “penguasaan dan pengembangan teknologi aeronautika” tetapi hanya terkait satelit, roket, penginderaan jarak jauh.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
120 Sektor Non Iptek Kemen Perindustrian
UU No.5/1984 tentang Perindustrian
Lebih diarahkan untuk teknologi industri tepat guna dan tidak mendorong penguasaan atau riset industri
UU No. 3/2014 tentang Perindustrian
Pasal 84 ayat 2c.Industri strategis mempunyai kaitan dengan kepentingan pertahanan serta keamanan Negara
Peraturan Menteri IND/per/10/2009
Perindustrian
No.125/M-
Perpres No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional Inpres no 2 thn 2009 tentang Penggunaan Produksi dalam Negeri KEPPRES No. 1 tahun 1980 Kementerian Perhubungan
UU No 1 tahun 2009 Tentang Penerbangan
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 25 Tahun 2008
Kemen Perencanaan/BAPPENAS
UU. No.17/2007 tentang RPJPN
Tentang Peta Panduan Kedirgantaraan.
(road
map)
pengembangan
Klaster
Industri
Mendorong pesawat commuter dengan kapasitas kurang dari 30 penumpang orang sejenis (N 219) melalui insentif fiskal dan insentif non-fiskal Jika suatu produk nasional berteknologi tinggi mempunyai TKDN 40%, maka produk asing sejenis tidak boleh masuk ke Indonesia (N219) Keharusan pemerintah memakai produksi pesawat dihapus Pasal 104 tentang Angkutan Udara Perintis : Angkutan udara perintis wajib diselenggarakan oleh Pemerintah, dan pelaksanaannya dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional berdasarkan perjanjian dengan Pemerintah. Dikatakan Perintis jika rute tersebut memenuhi ketentuan rute yang menghubungkan daerah terpencil dan pedalaman atau daerah yang sukar terhubungi oleh moda transportasi lain; kapasitas di bawah 30 (tiga puluh) penumpang. Arah Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005–2025 hanya ditujukkan pada tujuh sektor yaitu Pangan, Energi, Transportasi, Kesehatan dan Obat, Hankam, Teknologi Informasi dan Komunikasi dan Material Maju, dan tidak ada sektor kedirgantaraan.
Perpres No.5/2010-RPJMN 2010-2014 Arah Pembangunan Jangka Menegah Tahun 2010–2014 Perpres No. 32 Tahun 2011/MP3Ei Dukungan terhadap pengembangan dan produksi pesawat penumpang terutama berkapasitas dibawah 100 penumpang. Bahkan dalam MP3Ei merekomendasikan
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
121
Kontrak multiyears dapat dimanfaatkan para operator penerbangan perintis untuk membeli pesawat berkapasitas 19 penumpang;
Kementerian Keuangan
UU No.36/2006 tentang PPh
PP.No.93/2010
PMK 224/PMK.011/2012
PP No.54/2008 Tentang Tata Cara Pengadaan dan Penerusan Pinjaman Dalam Negeri Oleh Pemerintah.
Biaya untuk penelitian dan pengembangan yang dikeulurkan oleh perusahaan dapat dibiayakan untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak/tax deduction. (Ps. 6 UU PPh) Biaya sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia dapat dibiayakan untuk menghitung Penghasilan Kena Paja (Ps.6 UU PPh jo. PP 93/2010) Dikecualikan dari Pemotongan PPh Pasal 22 atas impor: barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; dan buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama Alternatif pendanaan untuk pembelian pesawat N 219
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
122
Tabel 4.2. Arah Pembangunan IPTEK dalam Dokumen Perencanaan Nasional PJP I (1969-1993) Pelita I-V : 1. Meningkatkan taraf hidup, kecerdasan, dan kesejahteraan seluruh rakyat, yang semakin merata dan adil. 2. Meletakkan landasan yang kuat untuk tahap pembangunan berikutnya. 3. Titikberat pada sektor pertanian
GBHN 1993 dan GBHN 1998 REPELITA VI dan VII PJP II (1993-2017) ( 1993-1997/1998-2003) Peningkatan kemampuan Ada sasaran Bidang Ilmu memanfaatkan, Pengetahuan dan Teknologi mengembangkan, dan termasuk sektor dirgantara. menguasai ilmu pengatahuan dan Dan Pembangunan ilmu teknologi dilaksanakan pengetahuan dan teknologi diarahkan agar pemanfaatan, termasuk sektor dirgantara dengan peningkatkan, dan mengutamakan penguasaannya dapat peningkatan mempercepat pengembangan dan kemampuan alih teknologi... dalam rangka kecerdasan dan kemampuan menunjang proses bangsa, mempercepat proses industrialisasi menuju pembaharuan, terwujudnya bangsa meningkatkan produktivitas Indonesia yang maju, dan efisiensi, memperluas mandiri, dan sejahtera. lapangan kerja, meningkatkan kualitas, harkat dan martabat bangsa, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat
GHBN 1999 REPELITA 1999PROPENAS 19902004 2004 Sasaran Bidang 1.Membangun Sistem Ilmu Pengetahuan Politik yang dan Teknologi Demokratis.. ditiadakan, namun 2.Mewujudkan diarah kebijakan Supremasi Hukum. no. 20 dinyatakan: 3.Mempercepat Meningkatkan Pemulihan Ekonomi penguasaan, 4.Membangun pengembangan dan Kesejahteraan pemanfaatan ilmu Rakyat pengetahuan dan 5.Meningkatkan teknologi termasuk Pembangunan teknologi bangsa Daerah sendiri dalam dunia usaha, terutama usaha kecil, menengah, dan koperasi guna meningkatkan daya saing produk yang berbasis sumber daya lokal.
RPJP 2005-2025 Pembangunan RPJPM IPTEK 1. Diarahkan pada I.Menata kembali Ketahanan NKRI, membangun pangan dan indoensia yang energi; aman dan damai, penciptaan dan yang adil dan pemanfaatan demokratis, dengan teknologi TIK, tingkat transportasi, kesejahteraan yang pertahanan dan lebih baik. keamanan, II. Memantapkan kesehatan, dan penataan kembali material maju. NKRI,meningkatka n kualitas SDM, 2. Peningkatan jumlah penemuan membangun dan kemampuan Iptek pemanfaatannya dan memperkuat daya saing dalam sektor produksi. III. Memantapkan 3. Penguatan pembangunan sistem inovasi secara menyeluruh dengan dalam rangka menekankan mendorong pembangunan pembangunan ekonomi yang keunggulan kompetitif berbasis perekonomian yang pengetahuan ; berbasis SDA, 4. Penumbuhan SDM dan industri baru kemampuan Iptek berbasis produk
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
123
litbang dengan IV.Mewujudkan dukungan modal masyarakat ventura. Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur melalui percepatan pembangunan disegala bidang dengan struktur perkonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif.
Sumber: Diolah dari berbagai dokumen : PJP I, GBHN 1993, 1999 dan RPJPN 2005-2025
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
124
4.2. Potret Dukungan Peningkatan Nilai Tambah (Product Upgrading) Sektor Dirgantara Pada Level Kebijakan Sektor. Pada zaman orde baru, berdasarkan amanah GBHN 1993 dan 1998 sebagaimana tertuang dalam Pembangungan Jangka Panjang (PJP) tahap II dan Pembangungan Lima Tahunan VI dan VII terhadap pembangunan iptek secara keseluruhan dan pembangunan industri kedirgantaraan secara khusus, maka sejumlah institutional arrangement dalam bentuk kebijakan maupun instrumen kebijakan pada level organisasi juga telah digulirkan waktu itu.291 Sejumlah bentuk kebijakan tersebut adalah pertama pada sektor riset iptek. Pada saat itu, arah pembangunan riset iptek khususnya kedirgantaraan telah dinyatakan dalam Matriks Nasional Ristek. Matriks ini memuat lima bidang prioritas bagi riset dan teknologi Indonesia yang terdiri dari: Pertama, kebutuhan dasar manusia, sumber daya alam dan energi, industrialisasi, pertahanan dan keamanan, sosial budaya, ekonomi dan falsafah.292 Selanjutnya, kendatipun kelima bidang prioritas tersebut memperoleh perhatian yang sama, namun pengembangan industri dimasa depan akan lebih ditekankan, terutama industri dirgantara.293 Secara pendanaan, kelima bidang prioritas tersebut diprioritaskan pendanaannya melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).294 Dalam rangka melaksanakan dan mengembangkan Matriks Nasional Ristek secara lebih lanjut, maka pada tahun 1978 dibentuk Tim Perumus dan Evaluasi Program Utama Nasional Riset dan Teknologi (PEPUNAS RISTEK). Tugas tim ini antara lain untuk merumuskan topik atau program Ristek untuk dijadikan sebagai prioritas riset dan teknologi nasional, serta mengusulkan kriteria usulan proyek Ristek.295 Akhirnya melalui Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1984, keberadaan Tim PEPUNAS Ristek tadi ditingkatkan menjadi Dewan Riset Nasional (RDN) yang diketuai oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi.296
291
Habibie, 1995.op.cit.h.199 Habibie, 1995.op.cit.h.173-175 293 Ibid.h.175 294 Ibid.h.176 295 Ibid.h.187 296 Ibid.h.191 292
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
125
Untuk tujuan koordinasi, Kantor Menristek menyelenggarakan Rapat-rapat Koordinasi Nasional Riset dan Teknologi sedangkan DRN didampingi oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)297 menyelenggarakan Lokakarya Nasional Riset dan Teknologi.298 Rakornas ristek bermaksud mengkoordinasikan program-program
dan
melaporkan
mengenai
kemakmuran
kelembagaan,
laboratorium dan lembaga, sedangkan Loknas Ristek membahas topik khusus.299Hasil rekomendasi baik terkait kriteria maupun topik atau program Ristek yang dilakukan DRN dan AIPI menjadi kriteria bagi Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan aparatur Menristek untuk meluluskan diterimanya suatu usulan proyek penelitian dan pengembangan.300 Secara ringkas bahwa keberadaan dan dukungan sektor iptek pada saat itu sangat kuat khususnya terhadap di sektor dirgantara, dukungan tersebut tertuang dalam Program Utama Nasional (PUNAS). PUNAS tersebut sekaligus sebagai instrumen pendanaan yang diarahkan untuk mendorong penguasaan teknologi industri dengan wahananya adalah 10 anggota Industri Strategis termasuk IPTN. Kuatnya dukungan terhadap sektor dirgantara terutama melalui PUNAS waktu itu tergambar sebagai berikut. Berdasarkan kegiatan Program Pendanaan Riset Unggulan Terpadu (RUT) yang merupakan bagian dari PUNAS, bahwa bidang Rancang Bangun pernah dua kali menempati posisi ranking I (Tabel 4.3), yaitu masing-masing pada RUT II (Tahun Anggaran 1995) dan VI (Tahun Anggaran 1999). Dan dari bidang PUNAS Rancang Bangun, seperti tampak pada Tabel 4.4, tema pesawat terbang menduduki peringkat pertama yang didominasi oleh ITB dan BPPT.301
297
AIPI dibentuk dengan Undang Undang No.8/1990 dengan tujuan menghimpun Ilmuwan Indonesia terkemuka untuk memberikan pendapat, saran, dan pertimbangan atas prakarsa sendiri dan/atau permintaan mengenai penguasaan, pengembangan, dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada Pemerintah serta masyarakat untuk mencapai tujuan nasional..(pasal 3) 298 AIPI beranggotakan lmuan-ilmuan yang dipilih berdasarkan prestasinya didalam bidangnya masing-masing, dengan demikian anggota AIPI sekaligus akan menjadi anggota DRN, tetapi tidak sebaliknya (Habibie, 1995.op.cit.h.193) 299 Ibid.h.193 300 Ibid.h.188 301 Laporan Kementerian Ristek, 2001. Hasil Monev Manfaat & Dampak RUT-RUK, Bab II RUT.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
126
Tabel 4.3. Punas 1993-1998 yang Tergolong Lima Besar
Sumber: Laporan Kementerian Ristek, 2001. Hasil Monev Manfaat & Dampak RUTRUK, Bab II RUT.
Tabel 4.4 Lima tema utama dalam Bidang Rancang Bangun (110T)
Sumber: Laporan Kementerian Ristek, 2001. Hasil Monev Manfaat & Dampak RUTRUK, Bab II RUT.
Bahkan diantara hasil riset PUNAS-RUT khususnya RUT V (Tahun Anggaran 1998) dan IV (Tahun Anggaran 1997) telah dihasilkan teknologi yang dimanfaatkan oleh PT DI yaitu Produk perancangan, pembuatan dan pengujian boks komposit dalam proses perancangan dan analisis struktur utama pesawat terbang, khususnya N-250. Riset tersebut merupakan kolaborasi antara Kementerian Ristek, BPPT dengan IPTN.302 Kedua adalah riset Pengembangan Metode untuk Memprediksi dan Mengukur Daya Dorong Propulsi (Thrust) dan
302
Buku Direktori RUT IV-VI, Kementerian Ristek, 2001.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
127
Gaya Hambat (Drag) Pesawat Udara Bermesin Turboprop yang dihasilkan oleh RUT IV juga telah digunakan oleh PT Dirgantara Indonesia. Metode Thrust yang dihasilkan tersebut telah digunakan untuk mengukur beban pada stryktur pesawat udara. Dan software untuk memprediksi gaya dorong propeller tersebut telah diaplikasikan pada perhitungan propeller pesawat udara CN-235. Teknologi terakhir merupakan kolaborasi antar Kementerian Ristek, BPPT, ITB dan IPTN.303 Selain PUNAS, sebagai wahana yang paling tepat untuk pengalihan serta pengembangan teknologi dirgantara, maka kemudian dibangun sembilan wahana transformasi, salah satunya adalah industri dirgantara IPTN.304 Industri dirgantara meliputi beberapa wahana Industri yaitu Industri pembuatan baling-baling pesawat terbang, kerangka roda pesawat terbang dan avionik.305Dalam rangka memperkuat sembilan wahana Industri tersebut, Berdasarkan Keppres No. 56/1986 dibentuk Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) yang salah satunya adalah industri dirgantara yaitu IPTN. Dalam struktur BPIS tersebut, Menristek selain sebagai vice chairman langsung dibawah presiden dan membawahi menteri-menteri lainnya, juga mengkoordinir 10 Industri Strategis termasuk IPTN (Gambar 4.3).
303
Laporan Kementerian Ristek, 2001. Hasil Monev Manfaat & Dampak RUT-RUK, Bab II RUT; Direktori RUT IV-VI, Kementerian Ristek, 2001). 304 Habibie, 1995.op.cit.h.222 305 Ibid.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
128
Gambar 4.3 Organisasi Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) Sumber: Diolah dari Progress Report Habibie,1994
Di dalam usaha mempertinggi kemampuan mengintegrasi teknologi Indonesia khususnya di dalam Industri Dirgantara, dengan dua ciri pokoknya adalah: berstandar internasional dan relatif mudah untuk dialihkan ke penelitian dasar dalam konteks strategi berawal pada akhir dan berakhir pada awal, maka berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1976, dibangunlah Pusat Penelitan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUSPIPTEK) terutama sejumlah laboratorium pengujian untuk pesawat terbang yaitu seperti: Laboratorium Uji Konstruksi306, aerodinamika.307
306
Ibid. h.197,Bahkan Laboratorium Uji Kontruksi menjadi pelopor terhadap berdirinya PUSPPITEK atau pendirian laboratorium lainnya. 307 Ibid. h.225. dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1976 Tentang Pembangunan Pusat Penelitian, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi di Serpong, pasal.2a.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
129
Presiden
Menristek Kementerian Lainnya
Pendanaan PUNAS-RUT
DEPANRI
BPIS-IPTN
Proses Politik Koordinasi Langsung Koordinasi Tidak Langsung
Gambar
4.4
Mekanisme
Koordinasi
Kelembagaan-di
sektor
Kedirgantaraan Pada Zaman Orde baru. Sumber: Hasil Olahan Penulis
Berdasarkan uraian sebelumnya, sebagaimana diterangkan dalam gambar 4.4, tampak bahwa tampak posisi Menteri Ristek sangat kuat karena langsung dibawah presiden dan dapat mempengaruhi langsung kepada Presiden baik sebagai Menristek itu sendiri maupun sebagai vice chairman dari DEPANRI maupun BPIS. Keberadaan DEPANRI berperan sebagai think tank terkait arah kebijakan iptek kedirgantaraan, kemudian Pendanaan PUNAS-RUT sebagai instrumen pendanaan dan BPIS khususnya IPTN sebagai salah satu wahana alih teknologi, ketiganya menjadi satu kekuatan yang integralistik dalam menjamin efektivitas pendanaan inovasi khususnya dalam pembangunan iptek sektor kedirgantaraan. Salah satu contoh lain selain dominasi pendanaan PUNAS untuk bidang kedirgantaraan adalah dalam pembiayaan program N 250, karena sistem keuangan waktu itu dinilai tidak elastis, maka dalam rangka mempercepat finish contruction N 250, IPTN mendapatkan pinjaman tanpa bunga sebesar Rp. 400 miliar yang sebenarnya merupakan dana reboisasi dari Departemen Kehutanan waktu itu.308 Bahkan selain dana reboisasi, dalam rangka mendukung 308
Sulfikar Amir, 2007. loc.cit. h.291
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
130
pengembangan pesawat terbang IPTN, pernah diambil pendanaan yang bersumber dari pemotongan gaji PNS.309 Contoh lain yang menunjukkan kuatnya pengaruh politik Habibie terhadap Presiden adalah pemberhentian proyek pesawat commuter XT-400 milik LAPAN. Pada tahun 1977, LAPAN pernah mengembangkan pesawat perintis XT (Experimental Transport) -400 dan disetujui oleh Menristek Soemitro Djojohadikusumo serta didukung pula oleh BAPPENAS yang pada waktu itu dipimpin oleh Widjoyo Nitisastro. Untuk alokasi anggaran proyek pengembangan mencapai Rp. 100 juta.310 Dengan kerjasama dengan PT. Chandra Dirgantara, LAPAN telah berhasil membangun mock-up pesawat dengan skala 1:1. Setelah desain dikoreksi lewat mock-up, kemudian dilanjutkan pada perakitan prototipe yang harapannya akan selesai pada tahun 1979/1980. Dalam rangka pengujian stabilitas, telah dirancang model pesawat XT-400 dengan skala 1:5. Dari hasi pengujian pada ketinggian 250-300 meter, ternyata model pesawat tersebut tidak ada masalah dengan stabilitasnya. Begitupun dari analisis ekonominya, Marsma Sugito seperti dikutip Kompas (13/04/1978), mengungkapkan bahwa harga pesawat XT-400 ini (XT400) mencapai US$ 150.000-180.000, lebih murah daripada Islander (US$ 220.000) dan menghemat devisa.311 Sejak pergantian kabinet pada oktober 1978, proyek XT-400 yang pelaksanaannya hampir 50% tersebut diberhentikan oleh Menristek baru yang terpilih yaitu B.J. Habibie. Walaupun banyak pihak yang menentang keputusan tersebut, Menristek tetap memutuskan untuk memindahkan seluruh kegiatan produksi pesawat terbang nasional termasuk kegiatan rancang bangun pesawat terbang di IPTN.312 yang saat itu sedang memproduksi C-212 lisensi CASA,
309
Wawancara dengan bagian Marketing, Keuangan dan Promosi PT DI, Dhiwan Renaldi. pada tanggal 11 Agustus 2014 di BPPT . lampiran 9.no.23.7 310 Sudiro Sumbodo, 2014. XT-400: Proyek Pesawat Komuter yang mati sebelum lahir dalam Majalah Airliner World, Edisi 12 tahun 2014, h. 38. 311 Ibid.h.42 312 Hal ini bukan tanpa alasan, karena menurut Habibie bahwa kegiatan integrasi teknologi adalah adanya di Industri bukan di lembaga litbang (Wawancara dengan Ketua Ti m Teknis DEPANRI, 2012, Teguh Rahardjo, tanggal juli 2014, lihat lampiran 9.2.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
131
Spanyol. Padahal dalam lampiran pidato kenegaraan Presiden Soeharto tanggal 16 Agustus 1978, nama proyek XT-400 tercantum dihalaman 74.313 Namun,
kuatnya posisi BJ Habibie terutama dalam mendapatkan
dukungan secara kelembagaan bukan tanpa celah,
terutama pada sektor
pendanaan, perbankan dan pemasaran pesawat terbang. Habibie mengeluhkan kakunya birokrasi keuangan terutama dalam pendanaan khususnya desain pesawat terbang N 250.314 Kedua, adalah masalah tidak adanya insentif kredit ekspor terutama untuk pasar luar negeri telah menghambat sejumlah penawaran yang berasal dari pasar luar negeri, bahkan hal ini dianggap sebagai salah satu gagalnya penjualan sejumlah produk Industri Strategis yang termasuk dalam BPIS termasuk industri pesawat terbang-IPTN waktu itu.315 Terkait itu, Habibie menuturkan316: Sebenarnya saya sudah menulis surat kepada Menteri Keuangan. Sudah ada jawaban dan sudah mendapatkan izin. Tetapi tidak bergulir, dalam arti, tidak ada inisiatif dari perbankan pemerintah atau swasta nasional untuk siap mendukung penjualan produk BPIS dengan fasilitas kredit dari bank kita..Kendati demikian, tidak berarti BUMNIS rugi terus karena kesulitan penjualan...cuman jumlah penjualannya tidak mencukupi, karena konsumen tidak mau beli dengan bayar kontan. Konsumen mau beli dengan fasilitas kredit.....Daripada saya sorak-sorak disini tetapi tidak ada tanggapan, lebih baik saya membuat patungan dengan United Emirate Arab (UEA), (oleh karena) mereka tertarik untuk membentuk leasing company, bahkan tadinya UEA minta supaya diberikan hak kepadanya untuk membiayai 100% seluruh produk yang dijual BPIS, akhirnya saya membuat patungan dengan UEA karena tidak (terdapat) jalan lain...Selain itu, belum lama ini ada seorang teman Pak Bustanil Arifin dari Amerika Serikat yang dulu membantu finance beras, dia mau ikut berpartisipasi dalam joint venture dengan UEA. Bayangkan orang asing saja begitu. Tapi dari Indonesia tidak ada.
313
Sudiro Sumbodo, 2014. loc.cit, h. 42 Sulfikar Amir, 2007. loc.cit. h.291 315 Habibie, 1995.op.cit.h.289 316 Ibid.h.290-291 314
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
132
Selain pada kedua aspek di sektor keuangan tersebut, dukungan pada kebijakan sektor industri juga tidak selaras dengan kebijakan pembangunan iptek yang menekankan pada penguasaan dan pembangunan iptek yang memiliki nilai tambah tertinggi. Kebijakan Pembangunan Industri pada saat itu, terutama melalui Kementerian Perindustrian dan Perdagangannya justru lebih mengedepankan pada empat strategi pembangunan resourced-based industries, yaitu: (Tabel 4.5).317
Tabel 4.5 Kebijakan Sektor Iptek vs Kebijakan Sektor Industri Tahapan Kebijakan Pembangunan Industri berbasis pada Nilai Tambah tertinggi Penggunaan teknologi dalam proses produksi barang dan jasa Integrasi teknologi yang telah ada kedalam desain dan produksi Pengembangan Teknologi Penelitian Dasar
Tahapan Kebijakan Pembangunan Industri berbasis pada Sumber Daya Peningkatan nilai tambah; Peningkatan kemampuan teknologi; Peningkatan produksi dengan kualitas tinggi; Peningkatan partisipasi aktif sektor swasta
Selain masih lemahnya dukungan pada level kebijakan, lemahnya komitmen politik pemerintah juga menjadi salah satu sebab kegagalan IPTN pada saat itu terutama dalam pengembangan pesawat terbang yang berbasis pada penguasaan kemampuan pengembangan teknologi khususnya pesawat N 250. Diantara bukti lemahnya dukungan politik pemerintah adalah: pertama, penandatanganan nota kesepahaman antara Lembaga Pendanaan Internasional (IMF) yang diwakili Mr. Michel Camdessu sebagai Direktur Pelaksana IMF dengan pihak Indonesia yang diwakili Presiden Soeharto pada 15 Januari 1998. Salah satu dari 50 butir yang dituangkan dalam Letter of Intent (LoI) terutama pada butir 4 Proyek Swasta C adalah berbunyi: “Dana anggaran maupun non anggaran yang digunakan untuk program IPTN dihentikan. Pendanaaan Proyek N 2130 segera dibuka bagi investasi asing dan perbankan”.318 Pemberhentian dukungan pendanaan untuk IPTN tersebut kemudian dituangkan dalam Inpres no.3/1998 tentang Penghentian Bantuan Keuangan kepada IPTN.319
317
Rony M. Bisry dan Murman Hidayat, 1998. loc.cit.h.174. Aboeng Koesman, Agustus 2001. Harapan dan Tantangan. 25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru. loc.cit .h.56. 318
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
133
Padahal, dukungan pendanaan pemerintah untuk IPTN khususnya proyek pengembangan N 250 dan N 2130 baik ditinjau secara teoritis maupun empirik adalah satu hal yang sangat wajar, apalagi total sisa pendanaan yang dibutuhkan untuk N 250 adalah hanya sekitar USD 150-200 juta atau sekitar Rp. 2 triliun320 dan jauh lebih besar dari pendanaan yang dibutuhkan untuk restrukturisasi perbankan yang mencapai ratusan triliun rupiah.321Bahkan, pemerintah di negaranegara maju sekalipun seperti AS dan Uni Eropa membantu industri pesawat terbangnya dengan memberikan tender-tender proyek penelitian, pembuatan mesin-mesin atau pesawat tertentu agar industri strategis itu bisa hidup.322 Walaupun belum ada bukti hitam diatas putih, pemberhentian dukungan pendanaan untuk IPTN khususnya proyek pengembangan N 250 dan N 2130 sangat terindikasi adanya intervensi pihak asing. Beberapa indikasi tersebut adalah: pertama, tekananan IMF kepada pemerintah untuk untuk menyediakan pendanaan ratusan triliun rupiah untuk restrukturisasi perbankan, namun ironisnya IMF menuntut Pemerintah Indonesia untuk menghentikan pendanaan untuk IPTN khususnya untuk N 250 yang telah menyelesaikan 800 jam flying test dari 1500 jam yang disaratkan untuk memperoleh sertifikasi FAA.
319
Kementerian Keuangan dalam FGD yang diadakan Kemenkeu tentang Pembahasan Awal Wacana Peruntukkan Aset Hasil Program N 250, 4 Desember 2014. slide no.4 tentang Kronologis Program N 250. 320 A. Makmur Maka (2013). op.cit h.420; A, Makmur Maka (2012). op.cit.h.139 321 Ishak Rafiick, 2007. Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Sebuah Investigasi 1997- 2007, Mafia Ekonorni, dan Jalan Baru Mernbangun Indonesia, h. 236 322 Ibid. h. 234-236
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
134
Indikasi kedua, tekanan lembaga IMF supaya Pemerintah membiarkan IPTN dan Texmaco mangkrak menimbulkan tanda tanya besar, kenapa kedua perusahaan besar itu yang menjadi sasaran? bukan Chandra Asri, Astra atau Indomobil yang juga mengalami kesulitan saat krisis?323 Jawaban sederhana adalah baik IPTN maupun Texmaco,324 sama-sama mengembangkan potensi industri manufaktur (potensi produktif) dengan berbasis pada kemampuan alih teknologi, bukan sekadar tukang jahit (potensi konsumtif). Texmaco bergerak untuk mengembangkan kemampuan teknologi Indonesia di darat dan di laut, sedangkan IPTN berupaya mengembangkan potensi dirgantara, sehingga dari sisi geopolitik, Indonesia bisa menjaga kedaulatan udaranya dengan pesawat-pesawat buatan sendiri, sekaligus memudahkan penduduknya untuk menjelajahi tanah airnya yang luas lewat penetrasi udara.325 Indikasi ketiga, dari sisi strategi pengembangan teknologi. Lompatan IPTN dalam mendesain N 250 dan N 2130 dianggap sangat membahayakan negara-negara maju. Hal ini sangat dimaklumi, bahwa jika N 250 berhasil, maka sektor dirgantara Indonesia akan semakin kuat, baik secara SDM maupun bisnis. Keberhasilan N 250 tersebut sekaligus merupakan modal yang sangat penting untuk melanjutkan program pengembangan pesawat jet N 2130. Apalagi dalam rangka pengembangan N 2130, segala langkah telah dipersiapkan dengan 323
Untuk Chandra Asri, pada saat krisis ekonomi 1997 terjadi, total kerugian perusahaan milik konglomerat Prayogo Pangestu tersebut bahkan mencapai USS 500 juta. Anehnya, perusahaan yang ini tidak dibiarkan mangkrak. Sebagian besar utangnya malah dikonversi menjadi penyertaan modal pemerintah. Pada saat yang sama pemerintah ikut pula menanggung bebanbeban lain dari perusahaan konglomerat itu . Padahal dari sisi kinerja, PTDI jelas masih lebih baik daripada Chandra Asri (Ishak Rafiick, 2007. op.cit . h.240). Adapun Grup Astra yang yang didirikan dan dibesarkan oleh William Suryadjaya, ketika krisis ekonomi 1997 terjadi mengalami dampak yang cukup serius, ketika krisis ekonomi terjadi, penjualan mobil Grup Astra langsung anjlok sampai tinggal sekitar 20%, bahkan penjualan sepeda motornya di Indonesia anjlok hingga 50% lebih (Ishak Rafiick, 2007. op.cit . h.132). Suzuki Indomobil International milik Grup Salim, pada saat krisis ekonomi 1997 juga ikut terjerembab. Sebagaimana halnya Astra, Indomobil juga hanya menjalani fungsi marketing dari principalnya di Jepang, tak ada pembicaraan soal alih teknologi (Ishak Rafiick, 2007. op.cit . h.228). 324 Untuk Perusahaan Texmaco, dengan kemampuan teknologinya yang advance bisa menyediakan mesin apa saja yang dibutuhkan negeri ini untuk industrialiasasi, mulai dari mesin tekstil, traktor tangan, mesin bubut, pengolah padi, kedele, jagung, sampai pembangkit listrik, mesin kapal dan tentu saja otomotif. Perusahaan yang didirikan Marimutu Sinivassan sejak awal dekade 60an ini mempunyal potensi besar untuk mengembangkan kemampuan teknologi Indonesia di darat dan di laut. Bahkan dia telah membuat mobil dengan kandungan lokal di atas 85%, termasuk blok mesinnya, sebelum krisis menghantam republik. Tanpa disadari, pelan tapi pasti, IMF mengembalikan Indonesia ke titik nol lewat pintu putar krisis dan mengarahkannya menjadi pasar (Ishak Rafiick, 2007. op.cit. h. 234). 325 Ishak Rafiick, 2007.op.cit., h. 234.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
135
matang.326 Jika Indonesia mampu membuat pesawat jet, maka Indonesia akan mampu membuat pesawat tempur yang sangat berguna dalam membangun kemandirian industri pertahanan nasional327, hal ini tentunya tidak diinginkan oleh negara-negara maju.328 Indikasi keempat, terkait dengan klausul pada LoI pada butir 4 Proyek Swasta C yang berbunyi :.. penghentian dana dari sumber non APBN untuk IPTN.., karena sekitar empat bulan setelah Pesawat N 250 melakukan maiden flight yaitu di tanggal 10 Agustus 1995, IPTN mendapatkan kunjungan dari Organisasi Konferensi Islam (OKI) .329 Kunjungan yang terdiri dari 30 delegasi anggota Islamic Development Bank (IDB) tersebut berlangsung selama kurang lebih lima jam dan dipimpin langsung oleh Presiden IDB Fuad Abdullah AlOmar. Dalam kunjungan tersebut, Pimpinan IDB selain menyatakan rasa bangganya tentang kemampuan IPTN dalam mendesain dan memproduksi pesawat terbang juga akan aktif dalam membantu program N-250, khususnya membantu dalam financing leasing untuk negara-negara OKI yang akan membeli pesawat IPTN. Bahkan, selain bantuan pendanaan untuk N 250, IDB juga akan membantu untuk produk-produk lainnya termasuk pesawat jet N 2130.330 Kuatnya hubungan Habibie dengan pimpinan negara OKI juga dibuktikan dengan beberapa bantuan atau kerjasama yang telah dibangun antara Habibie atau IPTN dengan OKI. Contoh pertama adalah komitmen negara-negara OKI seperti Brunei, Maroko, Pakistan, Malaysia, Arab Saudi, United Arab Emirates dll dalam membeli produk pesawat terbang IPTN sangat tinggi, khususnya pesawat CN 235.331 Bahkan, diantara mereka seperti United Arab Emirates memberikan fasilitas pembayaran dengan sistem leasing dari Bank Nasional mereka dalam
326
Vertesy, D. and Szirmai, A. 2010. loc.cit.h.76 Lihat road map strategi transformasi IPTN, di Buku 25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru.. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab.h.32. 328 Kwik Kian Gie dengan judul: Cita-cita industri strategis; file audio rekaman wawancara terhadap Kwik Kian Gie yang diambil dari https://archive.org/details/KwikKianGieCita-cita IndustriStrategis, diakses pad atanggal 14 Januari 2015. 329 Pada 28 Juni 2011, OKI mengubah namanya dari sebelumnya Organisasi Konferensi Islam menjadi Organisasi Kerjasama Islam (id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_Kerja_Sama_Islam) 330 Harian Republika, tanggal 3 Desember 1995 dengan judul: IDB akan bantu leasing N 250. 331 Lihat kembali Uraian Pasar Penjualan Pesawat CN 235 di Bab I h.3 dan 17 327
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
136
pembelian pesawat terbang produk IPTN.332Contoh kedua adalah bantuan IDB untuk pengembangan pesawat R-80 pada PT RAI bersama dengan PT DI, bantuan tersebut bahkan mencapai USD 700 juta. Dana tersebut akan digunakan oleh PT RAI bersama PT DI untuk mengembangkan pesawat N 250 menjadi pesawat R-80 yang ditargetkan akan melakukan maiden flight pada tahun 2018.333 Kuatnya dukungan OKI melalui IDBnya diduga tidak disukai oleh negaranegara barat, apalagi Negara Indonesia adalah negara dengan jumlah kaum muslimin terbesar di dunia, dengan penguasaan teknologi canggih khususnya teknologi pesawat terbang akan sangat berpotensi mengancam hegemoni negaranegara maju.334 Oleh karena itu, sangat sulit diingkari adanya ketidaksenangan barat terhadap majunya Indonesia khususnya kemampuan Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN) dalam mendesain dan memproduksi pesawat terbang secara mandiri. Terkait dengan hal tersebut, Kwik Kian Gie335 mengatakan: “ (terkait grand desain
negara-negara maju agar kita tetap bergantung
kepada mereka), (memang) bukti tidak ada, tapi saya lihat kok haqqul yaqin, tapi loh...loh.. tendensinya ke arah sana dan kemudian ada seperti pengakuan dari Jhon Berbins segala..., memang disuruh ngerusak, disuruh bergantung terus....” Senada dengan Kwik Kian Gie maupun Ishak Rafick, terkait adanya indikasi ketidakrestuan negara-negara maju terhadap tumbuh kembangnya industri strategis khususnya IPTN juga dinyatakan oleh salah seorang Pakar Pesawat Terbang Nasional, Jusman Syafi’i Djamal336 sebagai berikut:
332
Wawancara GATRA dengan Habibie, dikutip dari: https://idid.facebook.com/pages/Gerakan-Terbangkan-N250-Teruskan- N2130/214383261923875?v=info. Tentang masalah kredit ekspor tersebut dapat juga dilihat didalam: Habibie, 1995. op.cit. h.289291 333 Berdasarkan FGD diselenggarakan Kementerian Ristek yang menghadirkan seluruh pakar kedirgantaraan dan PT RAI, juga hasil wawancara dengan Direktur Teknologi PT DI, 2014: bahwa dana yang dibutuhkan untuk pengembangan R-80 adalah sekitar US$ I juta, dimana US$ 700 Juta dari PT RAI yang diperoleh dari IDB. Lihat lampiran 9 dan 10. 334 Lihat wawancara dengan Nugroho Ananto, Kabag. Pengembangan Organisasi dan Sistem Manajemen -Badan Pengelola Industri Strategis pada tahun 1990. Lampiran 9. no. 39 335 Kwik Kian Gie dengan judul: Cita-cita industri strategis; file audio rekaman wawancara terhadal Kwik Kian Gie yang diambil dari https://archive.org/details/KwikKianGieCita-citaIndustriStrategis, diakses pad atanggal 14 Januari 2015. 336 Dikutip dari dialog online bersama mantan Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal melalui mailing list Ikatan Alumni ITB (IA-ITB) pada Rabu (13/4/2011), pukul 21:00 – 02:06. http://leadershipqb.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2450:dialog-
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
137
“Dunia penerbangan atau tepatnya industri penerbangan PT Dirgantara Indonesia, bukan kalah karena tenaga kerja kita tidak memiliki talenta untuk menjadi engineer yang mumpuni di tingkat dunia. Tidak juga kalah karena tidak dapat menghasilkan produk unggulan yang baik. Kita kalah karena ketika pada 1997 (pada saat pengembangan N 250 dan rencana N 2130), ketika krisis ekonomi, semua orang, baik di Indonesia maupun di internasional, terutama para pengambil keputusan politik makro, memang menyerahkan nasib IPTN ke tangan lembaga yang tidak menginginkan IPTN tumbuh berkembang, yakni IMF dan Badan Keuangan dunia lainnya.” “Mereka bilang, untuk apa Indonesia punya industri penerbangan? Kan semuanya bisa dibeli. Untuk apa menguasai teknologi? Semua produk dan jasa apa saja sudah tersedia di pasar global. Semua bilang, lebih baik IPTN mati pelan-pelan dengan cara menutup kran sumber keuangannya.” Terkait dengan adanya indikasi keengganan IMF atas tumbuh industri strategis nasional khususnya IPTN juga dinyatakan oleh Sri Bintang Pamungkas 337
sebagai berikut: “Kesepakatan antara IMF yang didukung oleh Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia dengan Presiden Soeharto atas pertimbangan Dewan Ekonomi Nasional yang dipimpinnya sendiri bersama-sama para Mafia Berkeley yang notabene sudah old cracks itu adalah sebuah kesepakatan jahat yang menjebak Indonesia. Buktinya, pada awal Maret 1998 yaitu dua bulan dari penandatangan LoI tersebut, Soeharto membuat pernyataan bahwa butir-butir kesepakatannya dengan IMF dalam Letter of Intent tidak bisa dilaksanakan, karena di dalamnya terkandung konsep ekonomi liberal yang tidak sesuai dengan doktrin perekonomian Indonesia menurut UUD1945, yaitu Pasal 33.”
kepemimpinan-bersama-jusman-syafii-djamal&catid=39%:betti-content&Itemid=30, Diakses pada tanggal 30/12/2014. 337 Sri Bintang Pamungkas (2014). Ganti Rezim Ganti Sistim - Pergulatan Menguasai Nusantara di BAB II. BJ.Habibie: Menjadi Mangsa Naga Timur dan Barat. El Bisma. tribunrakyat.com/2014/01/17/bab-ii-bj-habibie-menjadi-mangsa-naga-timur-dan-barat/. diakses pada tanggal 13 Januari 2014
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
138
Pernyataan Sri Bintang Pamungkas sangat senada dengan apa yang diungkapkan Rizal Ramli338 khususnya terkait dengan peran para Ekonom Mafia Berkeley dalam Pembangunan Ekonomi Nasional. Rizal Ramli mengatakan: “Ekonom Mafia Berkeley selalu menempatkan Indonesia sebagai subordinasi (sekadar kepanjangan tangan) dari kepentingan global. Padahal, tidak ada negara menengah yang berhasil meningkatkan kesejahteraannya dengan mengikuti model Washington Consensus.” Model Washington Consensus adalah resep kebijakan pembangunan yang dianjurkan oleh Para Pejabat Washington yaitu Lembaga Keuangan Internasional (IMF dan Bank Dunia) untuk negara-negara berkembang.339 Tiga dari 10 resep Washington Consensus adalah liberalisasi, privatisasi dan meminimalisir keterlibatan negara dalam kegiatan pembangunan340. Tipikal utama dari model Washington Consensus adalah siklus terus-menerus dari "krisis ekonomi dan akumulasi utang". Krisis ekonomi merupakan peluang untuk memaksa negara yang bersangkutan melakukan hutang dan melakukan liberalisasi ekstrim, privatisasi ugal-ugalan341 serta meminimalisir keterlibatan negara dalam pembangunan. Fenomena ini persis yang terjadi dengan Indonesia khususnya dalam kasus penghentian bantuan keuangan untuk IPTN”. Disatu sisi, keberhasilan negara-negara seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, Cina, dan lain- lain justru karena negara-negara tersebut melakukan penyimpangan dari model Washington Consensus. Negara- negara tersebut mengikuti model pembangunan Asia Timur yang memberikan peranan yang seimbang antara negara dan swasta, serta meminimalisir ketergantungan utang. Dua negara Asia, Indonesia dan Filipina yang patuh pada Washington Consensus, mengalami kemerosotan ekonomi terus- menerus, ketergantungan 338
Rizal Ramli dalam Kata Pengantarnya untuk Buku Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Sebuah Investigasi 1997- 2007, Mafia Ekonorni, dan Jalan Baru Mernbangun Indonesia, karya Ishak Rafiick, 2007. h.10 339 John Williamson (2004). The Washington Consensus as Policy Prescription for Development. p.1. A lecture in the series "Practitioners of Development" delivered at the World Bank on January 13, 2004. Institute for International Economics 340 John Williamson (2004). A Short History of the Washington Consensus. h.2. Paper commissioned by Fundación CIDOB for a conference “From the Washington Consensus towards a new Global Governance,” Barcelona, September 24–25, 2004. 341 Rizal Ramli dalam Kata Pengantarnya untuk Buku Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Sebuah Investigasi 1997- 2007, Mafia Ekonorni, dan Jalan Baru Mernbangun Indonesia, karya Ishak Rafiick, 2007. h.10
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
139
utang yang permanen, ketimpangan pendapatan sangat mencolok, dan menonjol hanya sebagai eksportir Tenaga Kerja Wanita (TKW).342 Selain empat indikasi adanya intervensi negara-negara maju melalui lembaga IMF, kegagalan Program Pesawat N 250 juga dapat dilihat dari aspek persaingan usaha khususnya dengan CASA Spanyol. Hal ini disebabkan bahwa ketika rencana pengembangan N 250 di publish, sebenarnya CASA Spanyol berharap IPTN dan Pemerintah Indonesia kembali melakukan joint design dengan CASA sebagaimana dalam CN 235. Namun, dalam kasus N 250, IPTN ingin mengembangkan satu pesawat yang benar-benar 100% didesain dan diproduksi diatas kemampuan nasional sebagaimana amanat Presiden Soekarno dan Soeharto.343 Penolakan atas joint design dengan CASA tersebut sempat menyebabkan kerenggangan hubungan antara CASA dengan IPTN waktu itu.344 Buktinya, di tahun yang sama yaitu di tahun 1998, ketika IMF melarang pemerintah untuk memberikan bantuan pendanaan N 250,345
justru CASA
melakukan maiden flight C 295 dengan kelas 60 penumpang yang sejatinya merupakan pesawat sekelas N 250 dan merupakan pengembangan dari CN 235. Seiring dengan penandatangan nota kesepahaman antara Lembaga Pendanaan Internasional (IMF) dengan pihak Indonesia pada bulan januari 1998, terjadi perubahan pada segenap arah pembangunan iptek. Perubahan arah pembangunan iptek tersebut merupakan salah satu indikasi adanya intervensi Lembaga Pendanaan Internasional tersebut dalam proses perumusan sejumlah Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Indonesia.346 Arah kebijakan pembangunan Iptek, ekonomi dan industri baik di GBHN 1993 dan GBHN 1998 yang semula scara eksplisit menyatakan dukungan penguasaan iptek umumnya dan termasuk sektor kedrigantaraan khususnya di
342
Rizal Ramli dalam Kata Pengantarnya untuk Buku Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Sebuah Investigasi 1997- 2007, Mafia Ekonorni, dan Jalan Baru Mernbangun Indonesia, karya Ishak Rafiick, 2007. h.10 343 Wawancara dengan BJ Habibie, lihat lampiran 9, no.1 344 Budi Santoso, 2011), dikutip di, http://abarky.blogspot.com/2011/02/ptdi-eads-siapbikin-pesawat-militer.htm). 345 Lihat kembali ulasan kegagalan N 250 pada Bab I h.12-15 346 Rizal Ramli dalam Kata Pengantarnya untuk Buku Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Sebuah Investigasi 1997- 2007, Mafia Ekonorni, dan Jalan Baru Mernbangun Indonesia, karya Ishak Rafiick, 2007. h.10
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
140
tiadakan lagi. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam GBHN 1999.347 Perubahan pada arah pembangunan sebagaimana tertuang dalam GBHN 1999 menyebabkan pada perubahan institutional arrangement pada level dibawahnya. Pada sektor iptek contohnya, turunan Kebijakan Strategis Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Jakstranas Iptek) yang semula dalam bentuk Program Utama Nasional (PUNAS) kemudian diubah menjadi Prioritas Utama Nasional (PUNAS) atau Agenda Riset Nasional-ARN.348 Prioritas Utama Nasional (PUNAS) 2001-2005349 yang merupakan turunan dari Jakstranas Iptek 2000-2004350 tidak lagi memasukkan bidang rancang bangun khususnya pengembangan pesawat terbang sebagai salah satu program utama nasional. Begitu juga di Jakstranas Iptek 2005-2009351 beserta Agenda Riset Nasional untuk 2006-2009352, Pesawat terbang hanya menjadi sub bidang di teknologi dan manajemen transportasi, itupun diperuntukkan hanya untuk studi regenerasi pesawat udara untuk bidang hankam (ARN 2006-2009). Di dalam dokumen Agenda Riset Nasional untuk 2010-2014 pun tidak ada perubahan dengan periode sebelumnya, hanya saja di dalam ARN 2010-2014, pesawat terbang menjadi sub bidang HANKAM, dengan fokusnya pada pesawat terbang tanpa awak. Pada sektor pendanaan, berdasarkan hasil kajian Kementerian Ristek 2012353, bahwa pengelolaan pendanaan inovasi yang ada saat ini yaitu Insentif Riset yang dikelola oleh Kementerian Ristek, Hibah Dikti yang dikelola oleh Kementerian Diknas, dan LPDP yang dikelola oleh Kementerian Keuangan masih terkotak-kotak sesuai sektor atau lembaga pengelolanya (Gambar 4.5). Insentif Riset SINas yang merupakan instrumen ARN masih belum secara tegas diarahkan untuk mendukung pengembangan teknologi kedirgantaraan. Sementara LPDP yang baru dimulai sejak tahun 2012, selain memiliki program rispro juga memiliki program afirmasi nasional. Hibah Dikti yang merupakan
347
GBHN 1999, loc.cit di h.889-890 Dini Okttaviyanti dkk, 2014. Analisis Analisis Perkembangan Kebijakan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Indonesia dari Era Orde Lama Hingga Era Orde Reformasi. h.4 349 PUNAS 2001-2005 350 Jakstranas Iptek 2000-2004 351 Jakstranas Iptek 2005-2009 352 Agenda Riset Nasional (ARN) 2010-2014 353 Kementerian Ristek, 2012, Kajian Kelembagaan Pendanaan Riset & Iptek Nasional. h.113 348
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
141
lembaga pendanaan yang dikelola oleh Dirjen Pendidikan Tinggi (DIKTI) selama ini masih lebih bersifat untuk mendorong academic exellance. Namun ketiga lembaga
pendaaan
tersebut
belum
secara
sinergik
diarahkan
untuk
mengembangkan teknologi dirgantara.
Gambar 4.5 Ilustrasi Sistem Pembiayaan Riset Saat Ini Sumber: Asep Suryahadi-SMERU, 2012 dalam Laporan Kajian Kementerian Ristek, 2012
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
142
4.3. Potret Proses Peningkatan Nilai Tambah (Product Upgrading) pesawat terbang N 250 pada level Operasional-Industri. Didalam GBHN 1993 secara tegas dinyatakan bahwa dalam rangka pembangunan ekonomi sebagai penggerak utama pembangunan, sangat perlu dilakukan penataan industri nasional.354 Dalam kaitan itu, pembangunan industri diarahkan pada penguatan dan pendalaman struktur industri untuk terus meningkatkan efisiensi dan daya saing industri menuju kemandirian, serta menghasilkan barang yang makin bermutu yang dikaitkan dengan pembangunan sektor lainnya.355 Strategi transformasi industri yang digunakan adalah bertumpu pada kemampuan teknologi untuk dapat menghasilkan produk unggulan bernilai tambah yang tinggi. Sebagai wahana transformasi tersebut adalah dibangunnya perusahaan BPIS.356 Diantara industri strategis yang termasuk dalam BPIS tersebut, Industri Pesawat Terbang-IPTN adalah Industri yang memiliki nilai tambah tertinggi357 serta mempunyai keterkaitan yang besar dengan pembangunan sektor lainnya.358 Oleh karena itu, dalam upaya peningkatan nilai tambah (upgrading) pesawat terbang, IPTN mengadopsi empat tahap transformasi Industri, yaitu Penggunaan teknologi dalam proses produksi barang dan jasa, Integrasi teknologi yang telah ada kedalam desain dan produksi Pengembangan Teknologi Penelitian Dasar.
359
Dalam proses riset dan pengembangan tersebut,
IPTN didukung dan/atau bersinergi dengan Kemenristek, lembaga kajian teknologi BPPT, laboratorium PUSPIPTEK dan ITB (Tabel 4.6). Tahap pertama yaitu tahap yang paling mendasar adalah penggunaan teknologi canggih atas dasar lisensi dalam produksi dalam negeri pesawat-pesawat terbang. Tahap yang dimulai sejak tahun 1976 telah berhasil dengan baik. Produkproduk pesawat terbang yang telah dihasilkan dalam tahap tersebut adalah
354
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor : II/MPR/1993 dan Nomor : II/MPR/1998,tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. loc.cit.h.689 355 Habibie, 1995.op.cit.h.523-524 356 Ibid. h.566 357 Ibid. h.280 358 Ibid. .h.49 359 Harijono Djojodihardjo dan Darwin Sebayang, 2000. Pembudayaan Iptek melalui pengembangan Iptek Dirgantara Sebagai Salah Satu Ujung Tombak. h.304 didalam buku: Visi, Strategi, Kebijakan, dan Pelaksanaan Iptek, Editor: Darwin Sebayang.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
143
pesawat terbang NC-212.360 Selanjutnya memasuki tahap II yaitu integrasi teknologi-teknologi canggih dalam desain dan pembuatan produk-produk baru. Tahap ini dimulai sejak tahun 1980 dengan berpatungan dengan pihak CASA (Construcciones Aeronauticas SA) Spanyol. Dan di tahun 1983, IPTN telah berhasil merancang dan memproduksi pesawat CN 235.361
Tabel 4.6 Upgrading Teknologi Pesawat Terbang PT DI dalam empat strategi industri Program/Inisiatif 1976 (Tahap I) Produk Tipe Keandalan
Misi Kepemilikan
Empat Tahap srategi transformasi industry 1980 1987 1994 (Tahap II) (Tahap III) (Tahap IV)
NC-212 Low Speed in subsonic regim
Multi propose Aircraft Licence Owner
Teknologi Produksi Design
Penguasaan
Pendanaan Sinergi Elemen triple helix –ABG dalam kegiatan riset dan pengembangan
Pemerintah ITB IPTN BPPT/KEMRIS TEK
Kerjasama Internasional
CASA-Spanyol
CN 235 Medium Speed in subsonic regim Multi propose Aircraft Joint Venture
N-250 High Speed in subsonic regim (330 knot) dan jarak terbang 800 nm Commuter air craft Product Owner
N-2130 High Speed in transonic regim
Integrasi Penguasaan dan Integrasi Pemerintah ITB IPTN BPPT/KEMRIS TEK PUSPIPTEK CASA-Spanyol
Pengembangan Pengembangan (riset-riset hilir) Pemerintah ITB IPTN BPPT/KEMRIS TEK PUSPIPTEK Boeing, Allison, Collins, Messier Bugati, Auxilec, Dowty, Lucas, BGT, LiepherLucas, Avio dll
Pengembangan Pengembangan (riset-riset hulu) Swasta ITB IPTN BPPT/KEMRIS TEK PUSPIPTEK
Regional Aircraft Product Owner
Sumber: Habibie, 1995.op.cit.h.275-276; Djojodihardjo dan Sebayang, 2000. h.304
360
Habibie, 1995.op.cit.h.275; Djojodihardjo dan Sebayang, 2000.
op.cit.h.304 361
Ibid.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
144
Di tahun 1987, dilanjutkan dengan tahap ketiga yaitu tahap pengembangan teknologi berupa penyempurnaan teknologi yang telah ada dan pengembangan teknologi baru dalam rangka merancang dan membuat produk-produk masa depan. Pada tahap ini telah dihasilkannya pesawat N 250 seri Gatot Koco dan Krincing Wesi. Peluncuran N-250 yang mempergunakan teknologi fly-by wire telah dilaksanakan 10 November 1994, sedangkan uji terbang untuk mendapat sertifikasi FAA dimulai Agustus 1995.362
Tahap keempat adalah melakukan
penelitian dasar secara besar-besaran dengan rencana pengembangan pada pesawat jet buatan Indonesia seperti pesawat penumpang berkapasitas lebih besar, pesawat pelatih, serta pesawat tempur.363 Sampai dengan pengembangan N 250, IPTN tidak hanya telah meningkatkan pengalaman dan keterampilan putera-puteri Indonesia dalam memecahkan masalah-masalah kompleks dalam bidang material, bidang aerodinamika, bidang konstruksi, bidang elektronika, kebisingan, dan sebagainya. Tetapi juga ikut mengembangkan berbagai laboratorium di PUSPIPTEK, Serpong, seperti Laboratorium Uji Konstruksi, Laboratorium Aerodinamika, Gasdinamika dan Getaran, Laboratorium Elektronika, Laboratorium Kalibrasi, Instrumentasi dan Metrologi, dan Laboratorium Propulsi.364 Selain itu, melalui N 250 juga diharapkan kedepan dapat mendorong tumbuhnya perusahaan-perusahaan yang berkaitan dengannya dan
juga pada
dunia ilmu pengetahuan dan teknologi dan dunia pendidikan yang merupakan pusat-pusat keunggulan kehidupan bangsa.365 Dalam sebagian besar desain N 250 masih impor (lihat tabel 4.6), oleh karena itu dalam rangka pengembangan dan manfacturingnya IPTN bekerjasama dengan perusahaan yang merupakan supllier komponen N 250 seperti Boeing, Allison, Collins, Messier Bugati, Auxilec, Dowty, Lucas, BGT, Liepher-Lucas, Avio dll.
366
Oleh karena sebagian besar
komponen N 250 adalah berasal dari Amerika, maka pada waktu itu telah ditandatangani kontrak untuk membangun assembling line di Alabama (US) dan
362
Ibid. Ibid. 364 Ibid. 365 Ibid. 366 Habibie, 1995.op.cit.h.275-276 363
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
145
di Stuttgart.367Selain di Alabama (US) dan
di Stuttgart, IPTN juga telah
mengadakan kerjasama dengan British Aerospace UK untuk memproduksi pesawat N 250 dibawah lisensi IPTN.368 Sedangkan terkait sejumlah analisis kegagalan N 250 pada level industri telah diuraikan dengan cukup rinci pada bab I dan II.369 Dalam rangka pengembangan yang lebih sempurna dari N 250370, pada tanggal 3 Mei 2013371 bertempat di PT DI, PT Dirgantara Indonesia (Persero) telah menandatangani perjanjian kerjasama dengan PT Regio Aviasi Indonesia untuk mengembangkan pesawat terbang turboprop modern berkapasitas 70-90 orang
penumpang
bernama
Regioprop.
Pengembangan
Pesawat
R-80
memanfaatkan pengalaman rancang bangun anak bangsa dalam mengembangkan pesawat terbang sejak 1979 – 1982 (CN-235) dan 1989 – 1996 (N-250). Pada desain R-80 akan dilakukan beberapa upgrading teknologi dari N 250 (lihat kembali tabel 1.8 pada Bab I).372
367
Wawancara antara Habibie dengan Najwa Shihab di Mata Anajwa, 5 Februari 2014, Metro Tv, lihat lampiran 9. no.32. 368 Vertesy, D. and Szirmai, A. (2010). loc.cit. h.73-74 369 Bab I pada halaman 12-14; Bab II pada halaman 46-48 370 Lihat hasil wawancara d engan Habibie di Rumah Beliau di Jl Patra Kuningan XIII, 14 Juli 2014pada lampiran 9 no 1 dan lampiran diskusi/FGD 10 no.3 371 Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan baik terhadap Sony Ibrahim dari PT DI dan Budi Wibowo sebagai Program Manejemen PT RAI pada tanggal 2 Juni 2014 372 Hasil interview, baik yang dilakukan terhadap Presiden Direktur PT RAI, Agung Nugroho di tempat di Kediaman Habibie di Jl Patra Kuningan XIII, 14 Juli 2014. Juga terhadap Sony Ibrahim dari PT DI dan Budi Wibowo sebagai Program Manejemen PT RAI pada tanggal 2 Juni 2014
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
146
Gambar 4.6 Master Plan Regio Prop (R-80) Sumber: Paparan PT Regio Aviasi Industri di dalam FGD yang dilakukan Kemenristek, 2014
Berdasarkan hasil FGD I yang diadakan Kemenristek tentang Persiapan Pembentukan Task force untuk Pengembangan R-80 yang merupakan pengembangan “N 250” pada tanggal 23 Juni 2014 di Gedung 2 BPPT dijelaskan bahwa terkait Program and Financing Phases maupun Regioprop R 80 Program Master Phasing Plan. Pesawat R-80 tersebut rencananya akan selesai melakukan serangkaian pengujian uji terbang hingga mendapat sertifikat pengujian pada Mei 2018 (Gambar 4.6). Untuk gambaran kebutuhan pendanaan, SDM, fasilitas pengujian dalam rangka upgrading N 250 telah dijelaskan pada bab sebelumnya.373 Dari sisi keunggulan teknologi, pesawat R-80 nantinya akan lebih unggul dibandingkan dengan dua pesaingnya yaitu dari ATR dan Bombardier (Tabel 4.7).
Tabel 4.7 Kelebihan R-80 dibandingkan ATR maupun Dash 373
Lihat kembali Bab I.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
147
ATR72-600
Dash8-Q-400
R-80
1. Design for low speed and
1. The Q-400 was designed to
Payload and the speed (lebih
medium range Economical
carry more passengers, to
banyak
for every short flight leg
fly with very high cruising
sebagaimana halnya Dash8-Q-
(200-300nm)
speed and very long range
400, namun lebih cepat dari
2. Speed is not an important requirement
for
the
operator and passengers 3. The aircraft doesn’t have the capability to fly with higher speed (> 300 knots)
2. Better
DOC/s-nm
than
penumpang
ATR72-600. Keunggulan ini
ATR-72 if and only if it is
akan
berimplikasi
pada
flown for a range more
semakin efisiensinya operasi
than 600 nm
penerbangan.
3. The Q-400 has a higher selling price than ATR-72
and also has a marginal OEI ceiling altitde
Sumber: Presentasi PT RAI di FGD yang diadakan oleh Kementerian Ristek, 2014
Terkait pasar R-80, saat ini perusahaan penerbangan yang telah komit untuk membeli R-80 adalah NAM Air yatu anak perusahaan Sriwajaya Air, sebanyak 100 unit, dengan perincian 50 firm order yaitu sesuai desain awal dan 50 unit bersifat optional order (berdasarkan masukan setelah dioperasikan). Selain Nam Air juga Kalstar Air telah mengorder sebanyak 25 unit, dan Trigana sebanyak 20 unit. Selain pasar domestik, pemesanan R-80 juga telah datang dari perusahaan penerbangan luar negeri khususnya perusahaan penerbangan Australia, perusahaan tersebut telah menyatakan minat untuk membeli 2 unit R80.374 Dalam rangka memastikan relevansi antara kebutuhan teknologi dengan pasar, saat ini PT RAI telah membentuk Working Group Ariliner yang terdiri atas Sky, Merpati, Wings, Citilink, Nam Air, Trigana, dan Kalstar.375 Namun untuk menghindari kegagalan yang dialami N 250, PT DI sangat mengharapkan PT RAI dapat memberikan kepastian pada dua aspek yaitu pada aspek pendanaan dan aspek pasar. Dalam pasar global, untuk bisa bersaing dengan perusahaan-perusahaan pesawat seperti ATR –Perancis maupun Bombardier-
374
Hasil wawancara dengan Bagian Marketing Representative, Gustaferi PT RAI, 12 Agustus 2014; dan Bagian Pengadaan PT RAI, Budi Wibowo di PT RAI Kuningan Jakarta, dari jam 7.30-8.30 Hari Senin, tanggal 9 Juni 2014, lihat lampiran 9 . no 25.3. dan 15.5 375 Hasil wawancara dengan Bagian Marketing Representative, Gustaferi PT RAI, 12 Agustus 2014; lihat lampiran 9 . no 25.5
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
148
Canada yang merupakan dua pesaing R-80, maka besarnya pangsa pasar serta adanya komitmen dari perusahaan penerbangan sipil domestik akan dapat mempengaruhi daya saing harga pesawat terbang dipasaran Global. Tingginya komitmen pasar domestik terutama jika datang dari perusahaan-perusahaan penerbangan kelas kakap akan menyebakan negara supplier engine memberikan insentif atau potongan harga engine hingga 30%.376
376
Hasil wawancara dengan Direktur PT DI, Budi Santoso, pada tanggal 11 Agustus 2014 di BPPT, lihat lampiran 9 . no 21.3
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
149
4.4. Rich Picture tigal level kebijakan dalam mendorong upgrading N 250 Gambaran pada tiga level hierarki proses kebijakan baik pada level kebijakan, level organisasi, dan level operasional dituangkan dalam bentuk rich picture dibawah ini (Gambar 4.8). Komisi VII DPR
Concern:
Research Team: 1. 2. 3. 4.
Departemen Ilmu Admnistrasi UI M. Athar Ismail Prof Marthani Prof Sudarsono
LEVEL KEBIJAKAN
Tiga level hierarki proses Kebijakan
Konsep kebijakan upgrading teknologi dalam global value chain tipologi hierarki (Gereffi., Humphrey dan Sturgeon, 2005) melalui pengkayaan pada konsep tiga level hierarki proses kebijakan (Bromley, 1989) dalam rangka peningkatan nilai tambah sektor dirgantara.
UU No. 1 tahun 2009 Tentang Penerbangan
Perpres No. 32 Tahun 2011/MP3Ei RPJPN dan RPJMN : Belum ada Arah Kebijakan Pembangunan IPTEK Sektor Dirgantara 2005-2025)
“Next N” 250
Sinergi Kelembagaan
LEVEL ORGANISASI N 219 DEPANRI Sektor Riset:
Sektor Keuangan, SDM, Infrastrustur
Jakstranas, ARN ,Insentif riset SINas, Hibah Dikti, LDPD
Pesawat Nir Awak/komponen Pesawat
Mendorong upgrading teknologi industri pesawat terbang sehingg a survive dan berkelanjutan
Belum ada sistem pendanaanleasing, SDM akan menua, Lab pengujian perlu direvitalisas/upgra de
PT DI
Tiplogi GVC -Hierarki
Culture: Iptek dengan nilai tambah terbesar dan yang paling segera memberikan dampak backward dan forward linkage sangat penting dalam meningkatkan peran iptek dalam pembangunan nasional Nilai kerjasama menjadi sangat penting, dalam menyusun satu tujuan bersama Begitu juga nilai satu komitmen atau konsistensi menjadi penting dalam mendorong upgrading pesawat terbang komersial nasional
Kemampuan Produksi, SDM, Infrastruktur, PendanaanLemah
Pemasok –pemasok
kemampuan pemasok terkait dengan tingkat sesuai kompleksitas produk
Market
Pada saat pengembangan N 250, Intervensi Pemerintah terhadap IPTN sangat tinggi-hierarki
Gambar 4.7. Rich Picture Sumber: hasil olahan peneliti
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
150
BAB V ANALISIS BERBASIS LOGIKA TERHADAP DUNIA NYATA DALAM KONSTRUKSI TIGA LEVEL HIERARKI PROSES KEBIJAKAN DALAM MENDORONG UPGRADING TEKNOLOGI
5.1. Root Definition Berdasarkan rich picture di Gambar 4.12377, teori Global Value chain khususnya proses upgrading pada GVC Industri Pesawat Terbang IPTN akan dijelaskan dalam kerangka tigal level hierarki proses kebijakan. Oleh karena itu, akan dipilih empat sistem yang paling relevan, yaitu: pertama adalah sistem pada tiga level hierarki proses kebijakan, kedua, adalah sistem pada masing-masing level yaitu pada level kebijakan, level organisasi, dan pada level operasional khususnya Industri. Dengan memperhatikan elemen CATWOE untuk menganalisa proses transformasi, maka sistem ini dibuat menjadi empat (4) root definition masing-masing tiga (3) root definition untuk problem solving interest, dan satu (1) root definition untuk research interest (Tabel 5.1).
377
Lihat kembali pada Bab IV, Gambaran Umum Kondisi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan Dalam Mendorong Upgrading Teknologi Industri Pesawat Di Indonesia, Sub Bab 4.6 Rich Picture, h.146
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
151
Tabel 5.1 Root Definition Penelitian Hierarki Proses Kebijakan Tiga level hierarki proses kebijakan
Level Kebijakan
Level Intersektoral
Level Industri
Nama RDs
Kegiatan
Ket
Rekonstruksi Konsep UpgradingGlobal Value Chain IPTN dengan Konsep Tiga level hierarki proses kebijakan Regulasi terkait Arah Pembangunan Iptek Kedirgantaraan Nasional
Sistem yang dimiliki dan dioperasionalkan oleh peneliti beserta promotor dan kopromotor (academic advisor) dalam rangka menggunakan Konsep Upgrading pada GVC Industri Pesawat Terbang dengan pengkayaan Konsep Tiga level hierarki proses kebijakan (P) melalui riset tindakan berbasis riset interest SSM (Q) untuk menjamin dihasilkannya konsep tiga level hierarki proses kebijakan untuk mendorong upgrading teknologi sehingga survival dan berkelanjutan pada GVC Industri Pesawat Terbang di Indonesia yang dapat mendukung tercapainya kemandirian teknologi dirgantara nasional (R) Sebuah sistem yang dimiliki dan dioperasikan oleh Kemenristek, Dirjen Anggaran Kemenkeu, BAPPENAS, Komisi VII DPR dan Presiden untuk mengkonstruksi arah pembangunan Iptek kedirgantaraan nasional (P) dengan menggunakan SSM untuk menggali arah kebijakan pembangunan sektor dirgantara, supaya dapat mendorong upgrading teknologi sehingga survival dan berkelanjutan pada GVC Industri Pesawat Terbang di Indonesia (Q), dalam rangka mendraftkan arah kebijakan pembangunan iptek kedirgantaraan yang dapat mendukung tercapainya kemandirian teknologi dirgantara nasional (R) Sebuah sistem yang dimiliki dan dioperasikan oleh Kemenristek, DEPANRI, BAPPENAS, ,Kementerian Keuangan untuk mengkonstruksi model sinergi kelembagaan secara nasional (P) dengan menggunakan SSM untuk menggali mekanisme sinergi kelembagaan dalam mendorong upgrading teknologi sehingga survival dan berkelanjutan pada GVC Industri Pesawat Terbang di Indonesia (Q), dalam rangka memperkuat sinergi kelembagaan yang dapat mendukung tercapainya kemandirian teknologi dirgantara nasional (R) Sebuah sistem yang dimiliki dan dioperasikan oleh PT DI untuk mengkonstruksi strategi manejemen bisnis (P) dengan menggunakan SSM untuk menggali tahapan bisnis dalam mendorong upgrading teknologi sehingga survival dan berkelanjutan pada GVC Industri Pesawat Terbang di Indonesia (Q), dalam rangka mendapatkan strategi manejemen bisnis yang dapat mendukung tercapainya kemandirian teknologi dirgantara nasional (R)
RD1
Sinergi kelembagaan untuk mendukung kegiatan upgrading teknologi pada GVC Industri Pesawat Terbang Peningkatan strategi manajemen bisnis
RD2
RD3
RD4
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
152
5.1.1 Root Definition Pengayaan Konsep Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan Root Definition satu sebagaimana telah tertuang dalam Tabel 4.8 diatas, kemudian dilakukan pengecekan dengan menggunakan teknik CATWOE (Tabel 5.2). Tabel 5.2. CATWOE dan 3E dalam Root Definition 1 Customer Actors Transformasi
Weltanschauung
Owner (s) Environment (e)
Peneliti, Promotor, dan Kopromotor Peneliti, Promotor, dan Kopromotor Rekonstruksi konsep kebijakan Upgrading Teknologi sehingga survival dan berkelanjutan pada GVC Industri Pesawat Terbang dengan pengayaan konsep tiga level hierarki proses kebijakan Konsep Kebijakan Upgrading Teknologi pada GVC Industri Pesawat Terbang perlu dimodifikasi dengan pengayaan konsep tiga level hierarki proses kebijakan untuk menjamin dihasilkannya konsep kebijakan upgrading teknologi sehingga survival dan berkelanjutan dalam rangka pembangunan kemandirian kedirgantaraan nasional di Indonesia Peneliti, Promotor, Kopromotor, dan Program Doktor Ilmu Administrasi (PDIA) FISIP UI Keterbatasan waktu dan anggaran
Pemilihan RD atau selecting relevant system atas konsep kebijakan upgrading teknologi-GVC dengan pengkayaan tiga level hierarki proses kebijakan ini didasari oleh konsep Gereffi., Humphrey dan Sturgeon, 2005 tidak cukup menjawab persoalan kegiatan upgrading teknologi industri pesawat terbang yang membutuhkan analisis pada level kebijakan, level organisasi dan level operasional/industri.
5.1.2 Root Definition pada Level Kebijakan Root Definition pada level kebijakan sebagaimana telah tertuang dalam Tabel 5.1 diatas, kemudian dilakukan pengecekan dengan menggunakan teknik CATWOE (Tabel 5.3).
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
153
Tabel 5.3. CATWOE dan 3E dalam Root Definition 2 Customer
Actors Transformasi
Weltanschauung
Owner (s) Environment (e)
Kementerian Ristek, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN, DEPANRI, BAPPENAS, Kementerian Keuangan, Lembaga-lembaga Pengujian Pesawat Terbang seperti BPPT, LAPAN, LIPI, ITB, PT DI, PT RAI, IndustriIndustri komponen pesawat terbang dalam negeri. Kemenristek, BAPPENAS, Komisi VII DPR dan Presiden Dimasukkannya Arah Pembangunan Iptek sektor Kedirgantaraan Nasional dalam dokumen pembangunan nasional: Dari tidak ada menjadi ada Tercantumnya arah pembangunan Iptek sektor Kedirgantaraan Nasional dalam dokumen pembangunan nasional sangat penting untuk mendorong peningkatan nilai tambah (upgrading) industri pesawat terbang Komisi VII DPR, Presiden Pihak yang menganggap pembangunan Iptek sektor dirgantara sebagai sektor yang tidak perlu dimasukkan secara tegas dalam rencana pembangunan nasional.
5.1.3 Root Definition pada Level Organisasi Root Definition pada level organisasi sebagaimana telah tertuang dalam Tabel 4.8 diatas, kemudian dilakukan pengecekan dengan menggunakan teknik CATWOE (Tabel 5.4). Tabel 5.4. CATWOE dan 3E dalam Root Definition 3 Customer
Actors Transformasi
Weltanschauung
Owner (s) Environment (e)
Kementerian Ristek, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN, BAPPENAS, Kementerian Keuangan Lembaga-lembaga Pengujian Pesawat Terbang seperti BPPT, LAPAN, LIPI, ITB, PT DI, PT RAI, Industri-Industri komponen pesawat terbang dalam negeri. Kemenristek, DEPANRI, BAPPENAS, Kementerian Keuangan Sinergi kelembagaan dalam mendorong upgrading teknologi pesawat terbang sehingga survival dan berkelanjutan pada GVC Industri Pesawat Terbang: Dari tidak sinergi menjadi sinergi Sinergi kelembagaan sangat penting dalam mendorong upgrading teknologi pesawat terbang pada GVC Industri Pesawat Terbang BAPPENAS Pihak yang menilai kelayakan ekonomi terutama dari hasil inovasi hanya dalam jangka pendek.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
154
5.1.4. Root Definition pada Level Operasional Root Definition pada level operasional sebagaimana telah tertuang dalam Tabel 5.5 diatas, kemudian dilakukan pengecekan dengan menggunakan teknik CATWOE (Tabel 5.5).
Tabel 5.5. CATWOE dan 3E dalam Root Definition 4 Customer
Actors Transformasi
Weltanschauung
Owner (s) Environment (e)
Kementerian Ristek, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN, BAPPENAS, Kementerian Keuangan Lembaga-lembaga Pengujian Pesawat Terbang seperti BPPT, LAPAN, LIPI, ITB, PT DI, PT RAI, Industri-Industri komponen pesawat terbang dalam negeri. PT DI Meningkatnya kemampuan perusahaan dalam membangun jejaring atau konsorsium dalam rangka risk sharing partnership baik pada tahap desain hingga produksi: Dari rendah menjadi tinggi. Kuatnya strategi manajemen bisnis pesawat terbang sangat penting dalam peningkatan nilai tambah (upgrading) industri pesawat terbang di Indonesia PT DI dan PT RAI Belum ada sistem leasing untuk pesawat terbang dari perbankan nasional
5.2. Konseptual Model 5.2.1. Model Konseptual Model berdasarkan RD-1 Model konseptual upgrading teknologi pada GVC Industri Pesawat Terbang dengan pengayaan dengan konsep tiga level hiearki proses Kebijakan sebagaimana digambarkan dalam Gambar 5.1 mengandung kegiatan sebagai berikut: 1. Memahami konsep upgrading teknologi pada GVC Industri Pesawat Terbang terhadap konteks permasalahan upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang di Indonesia 2. Menelaah konsep upgrading teknologi pada GVC Industri Pesawat Terbang terhadap perkembangan teori 3. Menelaah hubungan antara konsep struktur GVC dan teknologi organisasi
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
155
4. Menelah konsep tiga level hiearki proses Kebijakan terhadap konteks upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang di Indonesia 5. Menelaah secara mendalam hubungan antara konsep Upgrading pada GVC Industri Pesawat Terbang dengan Konsep tiga level hiearki proses Kebijakan 6. Konstruksi kebijakan Upgrading teknologi pada GVC Industri Pesawat Terbang berbasis konsep tiga level hiearki proses Kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan konteks Industri Pesawat Terbang 7. Studi lapangan dengan melihat implementasi tiga level hiearki proses kebijakan serta hubungan antar ketiganya dalam konteks upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
156
Gambar 5.1. Model Konseptual Sistem Aktivitas Manusia Untuk Mengkonstruksi Konsep Kebijakan Upgrading Teknologi pada GVC Industri Pesawat Terbang dengan Pengayaan Konsep Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan
5.2.2. Model Konseptual Model berdasarkan RD-2 Model konseptual tingkat kedua untuk mengkonstruksi arah pembangunan kedirgantaraan nasional (P) dengan menggunakan SSM untuk menggali kebijakan pembangunan dalam peningkatan nilai tambah -upgrading industri pesawat terbang pada GVC Industri Pesawat Terbang di Indonesia (Q), dalam rangka mendraftkan arah kebijakan pembangunan kedirgantaraan nasional yang dapat mendukung Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
157
kegiatan peningkatan nilai tambah (upgrading) industri pesawat terbang di Indonesia (R). Adapun langkah-langkah yang dilakukan pada tahap ini pada prinsipnya adalah sebagai berikut. 1. Mengumpulkan bahan-bahan evaluasi pembangunan kedirgantaraan pada periode sebelumnya. 2. Mengumpulkan pemikiran-pemikiran visioner terkait Kedirgantaraan.
Iptek
sektor
pembangunan
3. Menyusun rancangan awal arah pembangunan Iptek Kedirgantaraan. 4. Rancangan Awal arah pembangunan Iptek Kedirgantaraan selanjutnya dibahas dalam Musrenbang RPJP Nasional yang dihadiri oleh segenap pemangku kepentingan baik dari kalangan akademisi, dunia usaha, lembagalembaga non-pemerintah, para penyelenggaran negara, maupun individu yang berminat terhadap pemikiran-pemikiran jangka panjang. 5. Dengan mempertimbangkan aspirasi para pemangku kepentingan yang tertampung dalam Musrenbang ini, Rancangan Awal arah pembangunan Iptek Kedirgantaraan diatas diperbaiki dan kemudian menjadi Rancangan Akhir yang akan dimasukkan dalam RPJP Nasional. 6. Rancangan Akhir RPJP yang telah memuat arah pembangunan Iptek Kedirgantaraan tersebut disampaikan ke Presiden dan bila perlu dibahas dalam Sidang Kabinet 7. Rancangan Akhir RPJP Nasional yang telah memuat arah pembangunan Iptek Kedirgantaraan tersebut selanjutnya diajukan ke DPR sebagai Rancangan Undang Undang tentang RPJP Nasional inisiatif Pemerintah. 8. Setelah melewati proses legislasi dan disetujui untuk diundangkan, RPJP Nasional yang baru yang telah memuat arah pembangunan Kedirgantaraan tersebut ditetapkan dengan Undang Undang. 9. RPJP kemudian menjadi acuan dalam penyusunan RPJPMN 10. Penyiapan rancangan awal RPJPMN 11. Penyiapan rancangan renstra non tenknoratik 12. penyusunan rancangan RPJPMN berdasarkan rancangan renstra KL 13. Pelaksanaan Musrenbang Jangka Menengah Nasional (teknoratik) 14. Penyusunan Rancangan Akhir RPJPMN
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
158
15. Penetapan RPJPMN dengan Perpres 16. Sosialisasi Arah Pembangunan Iptek Kedirgantaraan ke Instansi terkait
Gambar 5.2. Model Konseptual Sistem Aktivitas Manusia untuk Memasukkan Arah Pembangunan Iptek Sektor Kedirgantaraan Nasional dalam Dokumen Pembangunan Nasional.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
159
5.2.3. Model Konseptual Model berdasarkan RD-3 Model konseptual tingkat ketiga untuk mengkonstruksi model sinergi kelembagaan secara nasional dengan menggunakan SSM untuk menggali mekanisme sinergi kelembagaan dalam peningkatan nilai tambah -upgrading pada GVC Industri Pesawat Terbang di Indonesia, dalam rangka memperkuat sinergi kelembagaan yang dapat mendukung kegiatan peningkatan nilai tambah (upgrading) industri pesawat terbang di Indonesia. Adapun langkah-langkah yang dilakukan pada tahap ini pada prinsipnya adalah sebagai berikut: 1. Mengadakan FGD yang meilbatkan DEPANRI dengan K/L terkait dengan tema rekontruksi Kebangkitan Industri Penerbangan Indonesia 2. Melakukan kajian kebijakan untuk mendukung pengembangan (upgrading) Pesawat Terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia 3. Meminta kesediaan DEPANRI untuk mengadakan pertemuan dan membentuk Tim Perumus yang akan merumuskan aspek legal sebagai payung hukum dalam mendukung pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia 4. Melakukan penelahaan terhadap bentuk peran antar lembaga dalam mendukung pengembangan pesawat terbang dan pambangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia 5. Melakukan FGD untuk mendesain model sinergi antara lembaga dalam mendukung pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia 6. Policy Paper “Pembiayaan pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia. 7. Mendesain
sistem
pendanaan
pengembangan
pesawat
terbang
dan
pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia 8. Mendapatkan Persetujuan Departemen Keuangan 9. Mendapatkan Persetujuan DPR.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
160
1. Mengadakan FGD yang meilbatkan DEPANRI dengan K/L terkait dengan tema rekontruksi Kebangkitan Industri Penerbangan Indonesia
9. Mendapatkan Persetujuan DPR.
.
8. Mendapatkan Persetujuan Departemen Keuangan
2. Melakukan kajian kebijakan untuk mendukung pengembangan (upgrading) Pesawat Terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung .
7. Mendesain sistem pendanaan pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung
3. Meminta kesediaan DEPANRI untuk mengadakan pertemuan dan membentuk Tim Perumus yang akan merumuskan aspek legal dalam mendukung pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung .
6. Policy Paper “Pembiayaan pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia.
4. Melakukan penelahaan terhadap bentuk peran antar lembaga dalam mendukung pengembangan pesawat terbang dan pambangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia
5. Melakukan FGD untuk mendesain model sinergi antara lembaga dalam mendukung pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung
10. Monitor 1-9
12 Kontrol
11. Kriteria: Efikasi, Efisiensi dan efektivitas
Gambar 5.3. Model Konseptual Sistem Aktivitas Manusia untuk Membangun Sinergi Kelembagaan dalam Mendorong Upgrading Teknologi pada GVC Industri Pesawat Terbang
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
161
5.2.4. Model Konseptual Model berdasarkan RD-4 Model konseptual tingkat keempat untuk mengkonstruksi strategi manejemen bisnis dan penguatan TKDN dengan menggunakan SSM untuk menggali tahapan bisnis dalam peningkatan nilai tambah -upgrading pada GVC Industri Pesawat Terbang di Indonesia, dalam rangka mendapatkan strategi manejemen bisnis dan peningkatan TKDN yang dapat mendukung kegiatan peningkatan nilai tambah (upgrading) industri pesawat terbang di Indonesia. Adapun langkah-langkah yang dilakukan pada tahap ini pada prinsipnya adalah sebagai berikut:
1. Mengukuhkan visi dan misi industri dirgantara, yang lebih menitiberatkan pada kemandirian ekonomi. 2. Menetapkan prioritas bisnis baik dalam bisnis inti (core) pesawat terbang dan bisnis plasma (non-core) 3. Memperkuat komposisi SDM secara optimal antara non technical dan SDM yang terkait proses industri, engineering, dan pendukung lainnya. 4. Menargetkan peningkatan delivery dari core business maupun dari plasma bisnis 5. Unit sales dan marketing mengembangkan strategi pemasaran/penjualan Jangka Panjang berdasar pada pendekatan “segmentation, targeting, positioning, and differentiation 6. Melakukan konsorsium inovasi baik dengan industri lainnya maupun dengan lembaga riset baik dalam negeri maupun luar negeri untuk mendapatkan sharing pendanaan, SDM, dan fasilitas untuk pengembangan pesawat terbang. 7. Memanfaatkan fasilitas dan insentif secara umum yang telah diberikan pemerintah baik terkait insentif pendanaan pengembangan pesawat terbang; pembangunan infrastruktur, serta dalam memperkuat jejaring industri-industri komponen pesawat terbang. 8. Pencapaian customer lead time untuk produk pesawat terbang melalui perbaikan production lead time
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
162
9. Melakukan kajian yang terkait peningkatan produktivitas, penjualan, persediaan dan asset tidak produktif, penyelesaian piutang, dan evaluasi biaya komisi penjualan.
9. Melakukan kajian yang terkait peningkatan produktivitas, penjualan, persediaan dan asset tidak produktif, penyelesaian piutang, dan evaluasi biaya komisi penjualan.
1. Mengukuhkan visi dan misi industri dirgantara, yang lebih menitiberatkan pada kemandirian ekonomi. . 2. Menetapkan prioritas bisnis baik dalam bisnis inti (core) pesawat terbang dan bisnis plasma (non-core) .
8. Pencapaian customer lead time untuk produk pesawat terbang melalui perbaikan production lead time
3. Memperkuat SDM antara non technical dan SDM yang terkait proses industri, engineering, dan pendukung lainnya.
7. Memanfaatkan fasilitas dan insentif secara umum yang telah diberikan pemerintah baik terkait insentif pendanaan pengembangan pesawat terbang; pembangunan infrastruktur, serta dalam memperkuat jejaring industriindustri komponen pesawat terbang.
4. Menargetkan peningkatan delivery dari core business maupun dari plasma bisnis
6. Melakukan konsorsium inovasi baik dengan industri lainnya maupun dengan lembaga riset baik dalam negeri maupun luar negeri untuk mendapatkan sharing pendanaan, SDM, dan fasilitas untuk pengembangan pesawat terbang.
5. Unit sales dan marketing mengembangkan strategi pemasaran/penjualan Jangka Panjang berdasar pada pendekatan “segmentation, targeting, positioning, and differentiation”
10. Monitor 1-9
12 Kontrol
11. Kriteria: Efikasi, Efisiensi dan efektivitas
Gambar 5.4. Model Konseptual Sistem Aktivitas Manusia untuk Memperkuat Manajemen Bisnis untuk Peningkatan Nilai Tambah Industri Pesawat Terbang.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
163
BAB VI TEMUAN HASIL PENELITIAN 6.1. Perbandingan Konseptual Model Dengan Dunia Nyata 6.1.1. Pada Level Kebijakan- Arah Pembangunan Iptek Sektor Dirgantara Berdasarkan penelaahan UU 17 2007 beserta lampirannya, bahwa didalam RPJPN 2005-2025 tersebut belum secara tegas mengekspresikan satu arah pem bangunan sektor dirgantara. Bahkan, arah pembangunan iptek secara umum hanya bersifat jangka pendek khusunya di RPJMN III dan RJPMN IV (Gambar 6.1).
Gambar 6.1. Arah Pembangunan dalam RPJPN Sumber: RPJPN 2005-2025
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa fokus pembangunan sektor dirgantara tidak secara ekplisit dinyatakan dalam RPJPN kecuali dikaitkan dengan moda (angkutan) udara yang diprioritaskan untuk daerah terpencil378. Oleh karena itu, dalam salah satu FGD antara Kementerian Ristek dengan Dewan Riset Nasional (DRN) untuk membahas arah pembangunan iptek dalam RPJPN sebagai panduan dalam penyusunan Arah Agenda Riset Nasional dan RPJPMN 2015-2019 378
Hasil wawancara dengan Asisten Deputi Bidang IPTEK, BAPPENAS, Mesdin Sinarmata, Kamis 12 Juni 2014 di BPPT, lihat lampiran 9. no.6.3
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
164
mengemuka tentang kurangnya keperpihakan kemandirian iptek (Gambar 6.4).
RPJPN
terkait pembangunan
379
Jika melihat dokumen RPJPN tersebut memang nampak bahwa telah ada arah pembangunan iptek dalam RPJPN tersebut, namun masih bersifat jangka pendek, karena pada RPJMN III sudah tidak berbicara pembangunan iptek namun lebih pada kemanfaatan iptek untuk pembangunan. Tentunya pendekatan RPJPN dan RPJPMN tersebut dalam upaya hilirisasi hasil iptek hingga memiliki economic benefit dalam jangka pendek (RPJPMN III) umumnya sangat sulit terjadi kecuali untuk jenis teknologi yang pasar dan spesifikasinya sangat dinamis seperti teknologi Handphone, Gadget dan sejenisnya. Untuk bidang inovasi teknologi pesawat terbang, proses mendapatkan economic benefitnya sangat membutuhkan biaya dan komitmen jangka panjang pemerintah. 380 Arah pembangunan iptek terutama sektor kedirgantaraan secara tegas baru diamanahkan dalam uu beserta turunannya yang berasal dari inisiasi sektoral. Mulai dari UU No. 1 tahun 2009 Tentang Penerbangan khususnya dalam pasal 104 disebutkan bahwa: “Angkutan udara perintis wajib diselenggarakan oleh Pemerintah dan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga Nasional berdasarkan perjanjian dengan Pemerintah. Disebutkan juga bahwa dalam penyelenggaraannya, pemerintah daerah wajib menyediakan lahan, prasarana angkutan udara, keselamatan dan keamanan penerbangan serta kompensasi lainnya. Selain telah diatur dalam UU No. 1 tahun 2009, dukungan pembangunan sektor dirgantara juga telah diatur dalam peraturan-peraturan lainnya seperti Perpres No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, Peraturan Menteri
379
FGD yang dilakukan Kemenristek tentang penyusunan Agenda Riset Nasional (ARN) periode tahun 2015-2019, 25 Februari 2014, lihat lampiran 10, no.11. 380
Kayleigh Brown dan Tobias Tiemann (tanpa tahun),loc.cit. h. 11-12.; Francis, J. G., & Pevzner, A. F./2006. loc.cit.h.1-2.; Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010,loc.cit.. h.81.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
165
Perhubungan Nomor 25 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional hingga Perpres No. 32 Tahun 2011/MP3Ei.381 Selain telah ditegaskan dalam UU No. 1 tahun 2009 maupun peraturan dibawahnya seperti Perpres No. 32 Tahun 2011, pengembangan iptek sektor dirgantara juga kemudian didukung melalui Keputusan Menteri Negara Riset Dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 16 /M/Kp/II/2013, Tentang Penugasan Para Deputi Untuk Melaksanakan Pendalaman Penguasaan 16 (Enam Belas) Isu Strategis Pembangunan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi. Salah satu isu strategis yang bersifat spesifik adalah Penerbangan dan Antariksa (Tabel 6.1).
Tabel 6.1 Isu Strategis Pembangunan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 2013
Sumber: Lampiran Kepmenristek Nomor 16 /M/Kp/II/2013, tanggal 28 Februari 2013
Bahkan dalam salah satu penggalan pidato Menristek dalam acara Lokakarya Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional dengan tema: “Iptek Penerbangan Yang Tangguh Dalam Era Globalisasi”, Jakarta, 20 Desember 2012 dihadapan Anggota 381
Lihat kembali pada Tabel 4.1 Dukungan Pembangunan Sektor Kedirgantaraan Pada Level Kebijakan, Bab IV h.107-110.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
166
KKIP, DEPANRI, LAPAN, LPNK, dan Pelaku Industri, Menristek Gusti Mummad Hatta mengatakan bahwa: “Peran angkutan udara sangat vital di Indonesia, disamping sebagai alat transportasi yang cepat dan kemampuan penetrasinya hingga ke pelosok wilayah yang terpencil di Indonesia, juga sebagai salah satu alat pemersatu bangsa. Oleh karena itu diperlukan kondisi dunia penerbangan yang solid, kuat dan terarah, sehingga mampu menghubungkan beribu-ribu pulau dan membangun setiap daerah yang ada di Indonesia secara adil dan merata” Kuatnya dukungan politik yang kemudian diterjemahkan dalam dukungan sektoral akhirnya melahirkan program nasional pesawat perintis/feederliner N 219. Program N 219 merupakan program yang diinisiasi oleh PT DI bersama LAPAN dan Kementerian Perindustrian (Kemenperind) serta didukung oleh DEPANRI (Dewan Penerbangan Republik Indonesia).382 Dukungan kebijakan tersebut terutama dari sektor Iptek sejatinya tidak terrencana dengan baik, karena program N 219 bukan merupakan bidang prioritas Jakstranas serta ARN 2010-2014. Bahkan secara nasional, program N 219 belum secara tegas dinyatakan, baik dalam RPJPN maupun dalam arah RPJMN I hingga RPJMN II. Ketidakselarasan antara sektor iptek dengan sistem perencanaan nasional juga masih terjadi dalam proses perumusan arah pembangunan Iptek sebagai bahan masukan untuk RPJPMN III periode 20152019.383 Rancangan Agenda Riset Nasional yang merupakan inisiasi bersama antara DRN-Kementerian Ristek dengan rancangan pembangunan iptek yang diusung oleh BAPPENAS masih belum harmonis (Tabel 6.2).
382
Bahan Paparan Kementerian Ristek di FGD yang dilakukan Kemenristek, 2012 tentang Status Pengembangan Pesawat N219. 383 MoM dari Sidang Paripurna Dewan Riset Nasional 2014, 26 Juni 2014.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
167
Tabel 6.2 Arah Pembangunan Iptek 2015-2019 KEMENRISTEK vs BAPPENAS384 BIDANG Pangan
DRN-KEMENRISTEK Program Pengembangan pangan berbasis lahan suboptimal dengan pendekatan sistem pertanian terpadu Pengembangan bioindustri pertanian berbasis kelapa sawit Pengembangan pangan berbasis sumber daya kelautan.
BAPPENAS Pencairan bibit unggul tamanan pangan yang mampu tumbuh subur dilahan suboptimal
1. 2. 3.
Panas Bumi Bio Energi Konservasi Energi
1.
1. 2.
Tema Riset Pengembangan Vaksin Tema Riset Pengembangan Diagnostik dan Alat Kesehatan Tema Riset Pengembangan produk Biofarmasi-Biosimilar dan Sel Punca Tema Riset Pengembangan Bahan Baku Obat dan Obat Herbal Tema Riset Pengembangan Pangan Nutrisi Khusus Tema Riset Otak Sehat untuk membangun karakter bangsa
1.
Teknologi Sarana Transportasi Teknologi Prasarana Transportasi Teknologi untuk Sistem & Manajemen Pengoperasian Transportasi
Akan
1.
2. 3.
Energi
Kesehatan
3. 4. 5. 6.
Transportasi
1. 2. 3.
2.
2.
Pembangunan Listrik Tenga Nuklir dan Pembangkit Listrik Panas Bumi Pembangunan Pusata Genomik Indonesia Penelitian Penyakit Tropis
menyelesaikan
pengembangan pesawat kommuter N 219385
(menyelesaikan dua
prototipe untuk uji statisk, dan dua prorotipte untuk uji terbang) Teknologi Informasi Dan Komunikasi
1. 2. 3.
Aplikasi Infrastruktur Content
Hankam
1. 2.
Teknologi Pendukungan Daya gerak Teknologi Pendukunga Daya tempur
Pengembangan infrastruktur TIK Pengembangan system perangkat lunak berbasis open source khususnya sistem TIK untuk mendukung e-gov Mendukung pelaksanaan kebijakan industri strategis hankam
384
Saat ini (peneliti kebetulan bertindak sebagai koordinator kajian peyusunan ARN 20152019) sedang dalam proses sinkronisasi antara arah pembangunan iptek, baik yang ada dalam Jaksranas Iptek dan ARN 2015-2019 dengan 9 Agenda Nawa Cita Jokowi JK. Terkait sektor dirgantara khusus pengembangan teknologi pesawat terbang akan menjadi bagian dari Agenda No.I Nawa Cita khususnya point 3 terkait kedaulatan maritim dan secara umum juga menjadi bagian dari Agenda 7 yaitu terkait mewujudkan penguatan teknologi melalui kebijakan sistem inovasi nasional . 385 Berdasarkan hasil wawancara terakhir yang dilakukan: Pertama, dengan Asisten Deputi Bidang IPTEK, BAPPENAS, Mesdin Sinarmata, 17 November 2014. Bahwa program N 219 akan terus disupport. Lihat lampiran 9 no.6.4. Kedua, dengan Deputi Relevansi Program Iptek, pada tanggal 24 November 2014, bahkan sebagaian rekomendasi dari penelitian telah dipresentasikan ke Deputi untuk dilaporkan ke Menristek Dikti terkait dukungan pembangunan iptek sektor dirgantara.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
168
Material Maju
Sosial dan Humaniora
3. 1. 2. 3. 4. 5. 1.
Teknologi Pendukung (Radar, CMS dll) Material katalis Membangun pusat keunggulan Industri Baja: Bahan Baku dan Produk nasional untuk magnet permanen, Material Maju Tanah Jarang dan pengolahan logam tanah jarang, Energi Storage material baterei padat, material Fungional dan Nano Material berbasis silikon Politik Iptek (Cinta Produk Dalam Negeri, Nasionalisme) 2. Leadership 3. Politic Etnics Sumber: Sidang Paripurna DRN I 2014, di BPPT
Berdasarkan obervasi penulis baik dalam sejumlah diskusi dengan BAPPENAS maupun dengan DRN termasuk hasil pengamatan penulis dalam Sidang Paripurna Dewan Riset Nasional 2014, 26 Juni 2014, diketahui bahwa dokumen Jakstranas Iptek beserta ARN yang didasarkan pada UU 18/2002 dan Inpres 4 /2003 belum menjadi bagian yang intergralistik dalam alur perencanaan dan penganggaran nasional yang didasarkan pada UU 17/2007
tentang RPJPN dan UU 17/2003
Tentang Keuangan Negara, kedua undang-undang terakhir berdasarkan pada UU 25/2005 Tentang Sisrenbangnas (Gambar 6.2). Pedoman
Renja Pedoman - KL
RAPBN
APBN
Bahan
Bahan Pedoman RPJP RPJM Nasional Nasional
Dijabarkan
Pedoman
RKP
Diserasikan Melalui Musrenbang
Diperhatikan
Pedoman RPJM Dijabarkan RKP RAPBD Daerah Daerah Bahan
Pedoman
APBD
Bahan Diacu
Renstra SKPD
UU SPPN
Pedoman
Renja SKPD
Pedoman
RKA SKPD
Rincian APBD
Pemerintah Daerah
Pedoman RPJP Daerah
Rincian APBN
Diacu
Pedoman
Diacu
RKAKL
Pemerintah Pusat
Renstra KL
UU KN
Gambar 6.2. Alur Perencanaan Dan Penganggaran Sumber: Bahan Sosialisasi Umum BAPPENAS, 2006
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
169
Dalam RPJPN 2005-2025, pembangunan iptek secara tegas hanya dinyatakan dalam RPJPMN tahap II, untuk RPJPMN tahap III maupun tahap IV, pembangunan iptek termasuk didalam sektor kedirgantaraan tidak secara tegas disebutkan. Hal ini menunjukkan bahwa asumsi RPJP adalah bahwa setelah pembangunan iptek dalam lima tahun, tahap selanjutnya iptek tersebut seharusnya menjadi tools dalam pembangunan, dengan kata lain bahwa pendekatan pembangunan iptek yang bermula di akhir dan berakhir dimula terutama dengan wahana pembangunan iptek yang memberikan nilai tambah terbesar yang memerlukan dukungan politik dan ekonomi yang bersifat jangka panjang belum dapat diterima pada perspektif para perancang pembangunan nasional saat itu.386 Dengan bahasa yang lebih populer adalah, kontroversi antara pendekatan habibienomics vs widjojonomiecs387 yang sudah muncul pada era orde baru masih sangat mempengaruhi penyusunan RPJPN pada saat itu. Ditambah lagi krisis ekonomi 1997-1998, dalam rangka pemulihan ekonominya, salah satu reaksi yang dilakukan pemerintah adalah memutuskan untuk memberhentikan program N 250 berikut segala regulasi pendukungnya termasuk pembubaran BPIS. Banyaknya investasi yang telah dikeluarkan pemerintah dalam pengembangan industri yang memiliki kandungan teknologi tinggi adalah tentunya satu konsekuensi logis baik dipandang secara teoritis maupun empiris dari satu pilihan kebijakan. Kegagalan IPTN dengan N 250nya kemudian setelah krisis ekonomi kemudian lebih dijadikan sebagai trauma politik atau lebih tepatnya adalah dianggap sebagai bukti kegagalan pendekatan pembangunan iptek yang bermula di akhir dan berakhir dimula terutama dengan wahana pembangunan iptek yang memberikan nilai tambah terbesar yang bercirikhas kandungan teknologi yang tinggi. Mentalitas itu kemudian menurut penulis merupakan menjadi belief yang sarat akan penilaian yang sempit dan instant terhadap satu pendekatan pembangunan yang tentunya segala sesuatunya selain memiliki dasar filosofis empiris dan teoritis juga memiliki 386
Lihat lampiran 10. 11.FGD yang dilakukan Kemenristek dalam rangka kajian penyusunan Agenda Riset Nasional (ARN) periode tahun 2015-2019, 25 Februari 2014 387 Yuwono, Agustus 2001. loc.cit. h.41
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
170
implikasi logis dari satu pilihan kebijakan. Dengan kekuatan politik yang dimiliki oleh sebagian para elit pelaku pembangunan, belief
tersebut kemudian tertuang
dalam arah pembangunan nasional umumnya dan arah pembangunan kemandirian teknologi kedirgantaraan secara khusus.388 Perubahan arah dukungan politik tersebut, berimplikasi pada perubahan arah pada kebijakan sektornya, hal ini dibuktikan bahwa sejak Prioritas Utama Nasional (PUNAS) 2001-2005 yang merupakan turunan dari Jakstranas Iptek 2000-2004389 tidak lagi memasukkan bidang rancang bangun khususnya kemandirian teknologi dan pengembangan pesawat terbang sebagai salah satu program utama nasional. Begitu juga di Jakstranas Iptek 2005-2009390 beserta Agenda Riset Nasional untuk 20062009391, Pesawat terbang hanya menjadi sub bidang di teknologi dan manajemen transportasi, itupun diperuntukkan hanya untuk studi regenerasi pesawat udara untuk bidang hankam (ARN 2006-2009). Di dalam ARN 2010-2014, pesawat terbang hanya menjadi sub bidang HANKAM, dengan fokusnya pada pesawat terbang tanpa awak bukan pesawat komersial.392 Bahkan, berdasarkan hasil kajian pengembangan program riptek nasional 2015-2015 tahun 2013 (Tabel 6.3), diketahui bahwa arah pembangunan iptek pada Agenda Riset Nasional 2015-2019 tidak secara eksplisit mendorong pembangunan iptek kedirgantaraan.393
Tabel 6.3 Riset Unggulan Agenda Riset Nasional 2015-2019 Bidang Pangan
Riset Unggulan Riset dan pengembangan pangan di area Hutan Tanaman Industri (HTI) Smart Village (Konservasi, diversifikasi, integrasi, dan optimalisasi sumber daya lingkungan) Riset bioteknologi dan sumber daya genetika pertanian Pengembangan model integrasi tanaman-ternak Pengembangan budidaya ikan di lahan terbatas
388
Meriles S. Grindle. 1980. op.cit.h.10 Jakstranas Iptek 2000-2004 390 Jakstranas Iptek 2005-2009 391 ARN 2006-2009 392 ARN 2010-2014 393 Hasil Kajian Kemenristek tentang Pengembangan Program Riptek, 2013. 389
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
171
Bidang Kesehatan dan Obat
Riset Unggulan Vaksin Obat dan Obat Baru; Kit Diagnostik; Biosimilar; Formula Pangan; Alat Kesehatan.
Energi
Intensifikasi pencarian dan pengembangan sumber energi (migas, panas bumi, angin, biomasa, energi laut, matahari, air) Pengembangan biofuel (penyiapan refinery, proses, engineering, manufaktur, tata niaga) Pengembangan teknologi batubara bersih Pengembangan energi non BBM termasuk nuklir Konservasi energi termasuk pengembangan PJU pintar dan smart grid
TIK
IT Security Sistem TIK pendukunge-Government & e-Business Pengembangan Teknologi dan Konten untuk Data dan Informasi Geospasial Riset sosial pendukung bidang TIK
Transportasi
Hankam
Material Maju
•
Sistem Transportasi multimoda untuk Konektifitas Nasional
•
Sistem transportasi Perkotaan
•
Sistem transportasi untuk sistem Logistik
•
Teknologi keselamatan dan keamanan transportasi
•
Klaster Industri
•
Pendukung
•
Pengembangan Produk Pesawat Tempur
•
Pengembangan Produk Selam
•
Pengembangan Produk Roket Balistik dan Kendali
•
Pengembangan Produk UAV
•
Pengembangan Produk Munisi Kaliber Besar menjadi produk nasional.
•
Gasifikasi Batubara
•
Bahan baku besi baja
•
Pemisahan uranium dan tanah jarang
•
Baterai (energy storage)
•
Terapi dan diagnostic nano material
Sumber: Hasil Kajian Relevansi Program Riptek, Kementerian Ristek 2013
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
172
Bahkan dalam FGD yang dilakukan untuk memberikan usulan rancangan arah pembangunan iptek dalam RPJPM 2015-2019, yang diadakan di Jakarta pada 12 Februari 2014, 10 diantaranya tidak ada menyinggung isu kedirgantaraan. Dan sepuluh usulan tersebut adalah: 1.
Pengembangan Pusat Unggulan Iptek
2.
Penguatan SDM Iptek (program gelar dan non gelar)
3.
Pengembangan Pusat Data dan Informasi Iptek Nasional
4.
Penguatan Sentra-sentra HaKI dan penghargaan inventor
5.
Revitalisasi Puspiptek
6.
Pengembangan STP di daerah
7.
Penguatan dan pengembangan SIDa.
8.
Insentif Riset Frontier untuk meningkatkan produktivitas Iptek (support ARN)
9.
Program Pengembangan Teknologi Industri
10.
Program Penumbuhkembangan perusahaan pemula berbasis teknologi
Tidak konsistennya arah pembangunan iptek itu sendiri disebabkan tidak adanya roadmap pengembangan teknologi yang telah disepakati antara seluruh stake holder iptek itu sendiri. Sejak era reformasi hingga saat ini, sektor iptek sendiri masih belum mempunyai satu roadmap pengembangan teknologi perbidang fokusnya termasuk pembangunan sektor kedirgantaraan.394 Dalam beberapa FGD yang dilakukan dengan Dewan Riset Nasional (Gambar 6.7), DRN sendiri mengaku belum memiliki satu kajian yang mendalam terkait roadmap pengembangan teknologi termasuk teknologi kedirgantaraan.395 Padahal, dari sisi sektor industri khususnya dalam Bangun Industri Nasional 2025, industri kedirgantaraan telah ditetapkan sebagai salah satu industri andalan selain industri agro dan industri telematika (Gambar 6.3).
394 Hasil wawancara dengan Kabid Peta Rencana pada Keasdepan Relevansi Kebijakan Riset dan Iptek, Asep Supanda. 13 Agustus 2014. Lihat lampiran 9, no.29 395 FGD yang dilakukan Kemenristek tentang penyusunan Agenda Riset Nasional (ARN) periode tahun 2015-2019, Selasa, 11 Februari 2014, Lihat lampiran 10, no.9.2
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
173
Gambar 6.3 Bangun Industri Nasional 2025 Sumber: Direktorat Industri Maritim, Kedirgantaraan Dan Alat Pertahanan – Ditjen IUBTT Kementerian Perindustrian 2012
Tidak jelasnya arah pembangunan iptek dalam bentuk roadmap teknologi yang menjadi acuan dalam pembangunan iptek kedepan termasuk sektor kedirgantaraan menyebabkan proses agenda setting terutama untuk akvitas ketiga dalam konseptual model yaitu Pengumpulan pemikiran-pemikiran visioner secara teknoratik yang dilakukan oleh BAPPENAS bersama Kemenristek, dalam menyusun rancangan awal sebagai masukan untuk rancangan RPJP Nasional yang didalamnya tercantum
arah
pembangunan
Iptek
Kedirgantaraan
menyebabkan
tidak
dimasukkanya arah pembangunan kedirgantaraan secara nasional. Padahal, Agenda Riset Nasional 2006-2009 yang berdasarkan pada Kepmenristek RI No.89/M/Kp/V/2005, tentang Dewan Riset Nasional periode 20052008 yang salah satu tugasnya difokuskan pada Penyusunan Agenda Riset Nasional (ARN) telah selesai disusun pada Agustus 2006. Artinya, kalau roadmap pengembangan teknologi perbidang fokusnya khususnya pembangunan sektor kedirgantaraan yang telah disepakati bersama antara seluruh stakeholder sudah ada,
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
174
seyogya masih ada satu tahun peluang untuk mengangkat isu pembangunan iptek dalam proses teknokratik sebagai masukan terhadap rancangan RPJPN 2005-2025 sampai proses politik yang berujung pada legitmasi RPJPN (Gambar 6.4).
<Satu Tahun Sebelum Berakhir RPJP Yang Berlaku>
Presiden
DPR
Ditetapkan Dengan UndangUndang
Menteri PPN
Diajukan sebagai RUU RPJP Inisiatif Pemerintah
Evaluasi RPJP(-1)
Pem ikiran Visioner
Penyelenggara Negara
Rancangan Awal RPJP
Evaluasi RPJP(-1)
Pem ikiran Visioner
Aspirasi Pem angku Kepentingan
Masyarakat
Dihimpun dan Dikaji
Evaluasi RPJP(-1)
Pem ikiran Visioner
Aspirasi Pem angku Kepentingan
Musrenbang Jangka Panjang
Rancangan Akhir RPJP Nas
RPJP Nasional
Acuan bagi RPJP Daerah
Gambar 6.4 Proses Teknoratik dan Proses Politik dalam Penyusunan RPJPN Sumber: Bahan Sosialisasi Umum BAPPENAS, 2006
Faktor kedua tidak diangkatnya isu pembangunan sektor kedirgantaraan secara khusus dalam RPJP adalah belum terjadinya proses sinergi itu sendiri, terutama antara BAPPENAS dengan sektor iptek secara umum, proses perumusan arah kebijakan Iptek antara Kementerian Riset yang akan dituangkan dalam Agenda Riset Nasional dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) III berjalan sendiri-sendiri”.396 Proses teknoratik dalam rangka mendapatkan masukanmasukan pakar dari sektor terkait untuk perumusan RPJM masih belum efektif
396
Kepala Biro Perencanaan Kementerian Ristek, lihat Lampiran 10. no.12, FGD yang dilakukan Kemenristek dalam rangka penyusunan Renstra Kementerian Riset dan Teknologi 20152019 pada 19 Juni 2014.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
175
dijalankan oleh BAPPENAS, walaupun hal ini tidak dapat dipukul rata untuk setiap direktorat di BAPPENAS”.397 Di satu sisi, berdasarkan hasil survei dalam rangka Kajian Pengembangan Program Riptek, 2013, dimana salah seorang informan dari BAPPENAS ketika ditanya tentang ARN, diperoleh tanggapan sebagai berikut: “Saya kira kalau lembaga [Bappenas] mungkin tahu kali ya [tentang ARN], kalau saya sih tidak tahu, karena memang kebiasaan kita seolah-olah kalau semua [kebijakan] itu sudah dipublikasikan, kita menganggap semua orang sudah tahu. Saya kira ini perlu ada semacam sosialisasi atau target-target sasaran [sosialisasi] juga. Seperti mungkin riset [tentang] energi kan harus dikenali stakeholder-nya siapa saja. Tidak hanya sampai di situ, terkadang kita berpikir stakeholder itu hanya orang-orang di luar pemerintahan, tapi terkadang kita juga punya stakeholder yang di pemerintahan. Siapa pun perlu disosialisasikan, [sebagian besar] dari mereka tahu [tentang suatu kebijakan riset, jika] kebetulan berada di acara Ristek. Jadi hanya mereka saja yang mengetahui, padahal stakeholder ARN ini tidak hanya [pelaku] iptek saja.“.398 Semua gambaran diatas, nampak konsisten ketika peneliti melakukan wawancara terhadap sejumlah pejabat terkait baik di lingkungan BAPPENAS maupun pejabat terkait lainnya serta berdasarkan hasil ditelaah RPJPN tersebut , dapat disimpulkan bahwa pembangunan sektor dirgantara saat ini bukan atau belum merupakan sektor prioritas nasional.399 Dalam dokumen RPJPN tersebut belum ada statement yang tegas yang menyatakan
pembangunan teknologi kedirgantaraan.
397
Berdasarkan wawancara yang juga penulis lakukan terhadap Asisten Deputi Relevansi Program Riset Iptek Kementerian Ristek pada tanggal 23 Juni 2014 di Kantor Kemenristek, Beliau juga adalah mantan Pejabat BAPPENAS. 398 Antonaria, Bappenas, Wawancara, 9/7/2013 dalam rangka Kajian Pengembangan Program Riptek, 2013. 399 Hasil wawancara dengan Asisten Deputi Bidang IPTEK, BAPPENAS, Mesdin Sinarmata, Kamis 12 Juni 2014 di BPPT, lihat lampiran 9, no.6.3 dan Hasil wawancara dengan Asisten Deputi Bidang Relevansi Kebijakan, Sadjuga, Juni 2014 diruang Kerja Beliau dl Lt. 21 Gedung II Kementerian Ristek, lihat lampiran 9, no.7
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
176
Bahkan, secara umum semangat kemandirian atau pembangunan teknologi dalam RPJP masih tidak jelas. Tidak adanya arah pembangunan sektor dirgantara dalam dokumen RPJP tersebut, kiranya dapat dipahami dengan menengok kembali terhadap beberapa kondisi yang menyertai proses penyusunan RPJP tersebut: pertama, bahwa ternyata lahirnya Jakstranas Iptek 2005-2009 serta ARN 2006-2009 ternyata lebih awal dua sampai satu tahun sebelum lahirnya RPJP 2005-2025 itu sendiri. Jika dilihat dari Kerangka Kerja Legal-Formal dan Lingkungan Strategis Rujukan dalam penyusunan Agenda Riset Nasional 2006-2009 (Gambar 6.5), terlihat bahwa RPJP yang ditandai dengan garis kotak putus-putus menunjukkan waktu penyusunan ARN 2006-2009, RPJP belum lahir, karena RPJP ditetapkan setelah dua tahun kemudian yaitu ditahun 2007, khususnya melalui UU 17/2007, RPJP 2005-2025 ditetapkan.
Gambar 6.5 Kerangka Kerja Legal-Formal dan Lingkungan Strategis Rujukan dalam penyusunan Agenda Riset Nasional Sumber: Buku Agenda Riset Nasional (ARN) 2006-2009
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
177
Kondisi Kedua, Prioritas Utama Nasional 2001-2005 sebelum digantikan dengan ARN 2006-2009 juga masih bersandar pada Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2001-2005. Tujuan Propenas pada waktu itu lebih diarahkan pada pemulihan ekonomi, membangun sistem politik daripada pembangunan iptek umumnya dan pembangunan sektor kedirgantaraan khususnya. Hal ini, dapat dilihat dari tujuan dari Propenas pada saat itu adalah: 1. Membangun sistem politik yang demokartis serta mempertahankan persatuan dan kesatuan. 2. Mewujudkan supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih (good government). 3. Mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadialan. 4. Membanguan kesejahteraan dan ketahanan budaza. 5. Meningkatkan pembanguanan daerah. Periode Propenas tersebut merupakan peralihan dari perubahan sistem perencanaan dari GBHN dengan Pembangunan Jangka Panjangnya (PJP) dan Rencana Pembangunan Lima Tahunnya (Repelita) ke RPJP, yang kemudian baru ditetapkan pada tahun 2007 atau dua tahun berakhirnya Propenas berdasarkan pada UU 25/2005 Tentang Sisrenbangnas dan UU 17/2007 Tentang Keuangan Negara Jika melihat konteks politik penyusunan RPJP 2005-2025 diketahui bahwa seiring dengan pergantian elit politik tertinggi dari Presiden Habibie ke Presiden Abdurrahman Wahid lalu Megawati sampai Presiden SBY, dukungan politik terhadap Pembangunan Iptek baik pengembangan N 250 khususnya dan IPTN umumnya sangat lemah jika dibandingkan dengan periode orde Baru. Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) khususnya sejak Repelita III (April 1979-1983) sampai Repelita VI (1993-1998) diarahkan pada pengembangan iptek dengan prioritas alih teknologi terutama high-technology, peningkatan SDM dan diakhiri dengan pelaksanaan penelitian dasar (Gambar 6.6). Namun mulai era reformasi pasca tahun 1998, kebijakan iptek diarahkan pada penguatan internal, pengembangan dan difusi iptek dengan mulai memperhatikan perlindungan hak kekayaan intelektual dan
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
178
kerjasama internasional. Bahkan dalam GBHN 1999, Bidang kebijakan iptek atau inovasi didalam akhirnya dihapus.
Gambar 6.6 Sasaran Bidang IPTEK REPELITA VI GHBN 1993 Sumber: Samaun Samadikun, 1993.h..4
Setelah GBHN diganti dengan RPJP, arah pembangunan Iptekpun semakin lemah, dan Instrumen yang dipakai diantaranya adalah Kebijakan Strategis Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Jakstranas Iptek) beserta turunannya yaitu Agenda Riset Nasional-ARN.400 Oleh karena itu, PUNAS yang semenjak tahun 2000 dahulu merupakan akronim dari Program Utama Nasional kemudian diubah menjadi Prioritas Utama Nasional.401 400 401
Dini Okttaviyanti dkk, 2014. op.cit. h.4 Laporan Kementerian Ristek, 2001. Hasil Monev Manfaat & Dampak RUT-RUK, Bab II
RUT.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
179
Bahkan hingga kini, konsistensi dukungan politik terhadap pembangunan sektor dirgantara masih rendah, berdasarkan hasil diskusi yang penulis lakukan dengan Deputi Relevansi dan Produktivitas Iptek, Agus Puji Peasetyo, pada tanggal 23 Juni 2014 diruang Kerjanya di Lt. 21 Gedung II Kementerian Ristek, beliau menyatakan: Bahwa pada tataran makro, konsistensi kebijakan dalam mendorong kemandirian teknologi kedirgantaraan masih sangat lemah, padahal menurut Beliau sudah saatnya Indonesia mulai menaruh perhatian lebih pada kemandirian teknologi kedirgantaraan tersebut selain teknologi kemaritiman, dua teknologi tersebut (N 219 dan R-80) yang seyogyanya harus didukung oleh seluruh kebijakan sektoral, karena tidak semua jenis teknologi dapat dilakukan dengan ToT atau pembelian teknologi, tetapi harus dikuasai, nah upaya penguasaan teknologi tentunya menuntut kemauan politik yang kuat.
Di acara Hari Teknologi Nasional 2013 TMII, Presiden SBY dalam sambutannya juga baru mengarahkan pada tema Food, Energy, and Water (FEW) dan belum menyinggung bagaimana dukungan pembangunan sektor dirgantara. Didalam Sidang Paripurna I DRN 2014 yang menghadirkan seluruh anggota DRN, Pejabat Kementerian Ristek dan LPNK, BAPPENAS, Rektor, pelaku industri serta para politisi yang sekaligus merupakan tim sukses masing-masing calon presiden terkuat bahwa Iptek merupakan variabel penting dalam pembangunan nasional. Terkait kemandirian teknologi, Laode M. Kamaluddin selaku tim ahli dari calon presiden Prabowo yang juga merupakan Ketua Forum Rektor selain menekankan pentingnya pembangunan budaya iptek juga mengatakan: “kami sangat mendukung kemandirian teknologi dalam negeri termasuk teknologi kemaritiman, tetapi karena kemandirian teknologi pada akhirnya adalah sangat ditentukan oleh sejauh mana visi iptek presidennya, oleh karena itu sangat dibutuhkan pemimpin yang mempunyai leadership yang kuat serta memiliki keberpihakan terhadap kemandirian teknologi yang sangat tinggi”
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
180
Diantara narasumber yang diundang dalam Sidang Paripurna tersebut adalah politisi yang sekaligus merupakan tim sukses calon presiden Jokowi, yaitu Alexander Sonny Keraf, Beliau juga pernah menjadi Wakil Ketua Komisi VII DPR selama 2004-2009 dan Menteri Lingkungan Hidup di Kabinet Persatuan. Dalam paparannya terkait dengan visi misi calon Presiden Jokowi, Beliau juga mengatakan” selain pembangunan karakter, (terkait pembangunan iptek) kami sangat memberikan perhatian khusus pada pengembangan iptek dibidang maritim, baik yang berkaitan dengan pertahanan keamanan maupun SDA khususnya sebagai sumber pangan, selain itu kami juga akan membangun 100 Technopark berbasis potensi lokal, dan promosi dan pembukaan Akses pasar bagi pemanfaatan hasil--hasil riset dalam negeri demi mendukung daya saing nasional. Gambaran diatas menunjukkan bahwa sejak era reformasi hingga era reformasi ini, pembangunan sektor dirgantara belum dinyatakan secara tegas dalam RPJPN 2005-2025 maupun dalam empat tahap RPJMN. Hal ini sangat kontras dengan yang dialami pada era Orde Baru. Padahal dukungan pada level kebijakan terutama tercantumnya secara tegas arah pembangunan sektor dirgantara juga merupakan faktor kunci keberhasilan Industri Embraer. Sejak akhir 1960an, yaitu dibawah rezim militernya kebijakan IPTEK nasional Brasil telah terkoneksi dengan Master Plan Pembangunan Ekonominya. Selanjutnya sejak 1972, Komitmen politik dalam inovasi pengembangan pesawat terbang telah terkoneksi dengan Pembangunan Ekonomi Nasional. Arah pembangunan tersebut menitiberatkan pada penguasaan dan kemandirian teknologi nasional402 dan salah satu sektor prioritas dalam pembangunan tersebut adalah sektor dirgantara (Tabel 6.4).403
402
Carl J. Dahlman dan Calaudio R. Frischtak, 1990. loc.cit. h.17
403
Ibid.; Watu Wamae, 2006. op.cit. h.8-9 ; dan Elizabeth Balbachevsky and Antonio Botelho, 2011. loc.cit. h.3-4
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
181
Tabel 6.4 Perbandingan Arah Pembangunan Iptek Kedirgantaraan Indonesia-Brazil Pada Level Kebijakan IPTN/PTDI Level Kebijakan
PJP I (1969-1993)
Awal PJP II (1993-2007)
Embraer-Brazil RPJPN
1960an-Sekarang
2005-2025/RPJPMN Arah Pembangunan
Konsolidasi prasaranan dan manusia Indonesia serta kesadaran bangsa Indonesia untuk memperoleh nilai tambah dan proses ini memerlukan Ilmu Pengetahuan (Repelita I-V)
GHBN 1993 dan 1998 terutama pada PJP II, kemandirian teknologi melalui empat tahap evolusi yang dipercepat secara tegas dinyatakan dalam dokumen tersebut bahkan secara lebih spesifik pembangunan sektor dirgantara GBHN 1999 (tidak ada lagi Bidang Iptek dalam sasarannya)
UU 17/2007; RPJPN Pembangunan Iptek untuk tujuh bidang fokus (Pangan, Kesehatan, Obat, Energi, Transportasi, Hankam, dan Material Maju) dengan penekanan: RPJM I: RPJPM II:Pembangunan Iptek RPJPM III: Iptek untuk pembangunan RPJPM IV: -
Dimana pada akhir 1960an, kebijakan IPTEK nasional Brasil telah terkoneksi dengan Master Plan Pembangunan Ekonominya (sistem perencanaan terpusat) Dibawah rezim militernya, sejak 1972, Komitmen politik dalam inovasi pengembangan pesawat terbang telah terkoneksi dengan Pembangunan Ekonomi Nasional yang juga menitiberatkan pada penguasaan dan kemandirian teknologi nasional (Dahlman dan Frischtak, 1990) The Basic Plan of Science and Technology juga menitiberatkan pada membangun kemampuan dan kemandirian teknologi dari perusahaan domestik termasuk aircraft industry dari segala aspek (Dahlman dan Frischtak, 1990; Wamae, 2006) The National Plan for Economic Development, At the Plan’s core was the quest for technological autonomy in areas perceived as strategic for the nation’s elites (aeronautics, informatics, microelectronics, telecomunication and space) (Balbachevsky and Botelho, 2011)
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
182
6.1.2. Perbandingan Konseptual Model Dengan Dunia Nyata Pada Level Organisasi Berdasarkan temuan lapangan, bahwa pada tataran organisasi, belum ada dukungan kelembagaan yang sinergik. Temuan inipun sebenarnya telah diungkapkan oleh Thee (2005)404, dimana Thee mengkritisi bahwa kegalan N 250 juga disebabkan belum adanya dukungan kebijakan sektor bagi pengembangan teknologi industri kedirgantaraan. Pada kasus Embraer-Brazil, dukungan sektor SDM dan Infrastruktur, industri, lembaga pendanaan termasuk sistem perbankan nasional merupakan faktorfaktor kunci keberhasilan embraer tidak hanya untuk pasar domestik bahkan untuk pasar internasional (Tabel 6.6).405 Berdasarkan tabel 6.5 di bawah ini, bahwa pada zaman orde baru relatif telah terjadi sinergi intersektoral dalam mendorong industri kedirgantaraan sebagaimana yang terjadi pada industri Embraer kecuali pada dua yaitu: pertama,dukungan sektor perbankan nasional khusususnya sistem leasing atau kredit ekspor untuk pembelian pesawat dan kredit untuk industri-industri komponen pesawat terbang. Kedua, dukungan sektor kebijakan sektor industri khususnya untuk industri-industri komponen pesawat terbang. Karena sejatinya pada zaman orde baru telah diupayakan untuk membina industri-industri hulu tersebut seperti industri elektronika, industri metal, non metal, industri kimia, plastik, karet dan sebagainya, namun hasilnya praktik belum nampak. Hal ini disebabkan oleh karena pada umumnya para pengelola industri tersebut kekurangan modal untuk investasi peralatan baru yang canggih dan untuk pembiayaan alih teknologi. 406 Namun jika dianalisis kondisi saat ini, dukungan sektoral dalam rangka mendorong upgrading N
pesawat terbang 250 yaitu R-80 saat ini nampaknya
semakin lemah. Mulai dari semakin terbatasnya SDM, fasilitas pengujian yang perlu diupgrade, dukungan pendanaan riset inovasi yang masih belum secara tegas dinyatakan dalam Jakstranas maupun ARN. Bahkan setelah orde baru, peran Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik Indonesia (DEPANRI) dalam 404
Kian Wie Thee, 2005a. loc.cit, h.7
405
Tabel 6.2. ada di halaman 177 Bab ini 406 Yuwono, Agustus 2001. loc.cit. h.45
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
183
mengintegrasikan kebijakan nasional dalam rangka pembangunan sektor dirgantara hampir tidak ada.407 Dari sektor SDM dan infrastruktur pengujian pesawat terbang. Yaitu dimulai ditahun 1950an, pemerintah waktu itu memutuskan hanya ada dua jurusan yang diperkenalkan untuk belajar ke Luar Negeri, yaitu Maritim dan Dirgantara.408 Selanjutnya melalui SK Presiden RI Soekarno, pada tahun 1962 didirikan Jurusan Penerbangan ITB, keberadaan jurusan tersebut untuk mendukung LIPNUR.409 Kemudian berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1976, dibangun Pusat Penelitan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUSPIPTEK) terutama sejumlah laboratorium pengujian untuk pesawat terbang yaitu seperti: Laboratorium Uji Konstruksi410, aerodinamika.411Selanjutnya sejumlah program beasiswa baik yang merupakan kerjasama antara IPTN, ITB dengan universitas luar negeri, seperti pada 1997-1999, terdapat program beasiswa S2 di bidang perangkat lunak yang merupakan kerjasama antar PT DI, ITB dan Universite ThomsonPerancis.412Selain itu, terdapat sejumlah program beasiswa lainnya untuk penguasaan teknologi kerdirgantaraan seperti program STAID dll413. Kondisi SDM maupun infrastruktur pengujian pesawat terbang setelah orde baru hingga saat ini semakin lemah. Keluaran ‘aerospace engineers’ di Indonesia saat ini sangat sedikit, ITB hanya meluluskan sebanyak 60 orang per tahun; dan hanya 25% yang bekerja di sektor penerbangan).414
407
Hasil wawancara dengan Ketua Tim Teknis DEPANRI, 2012, Deputi Relevansi dan Produktivitas Iptek 2009-2013, Teguh Rahardjo, Tanggal 16 September 2014 jam 11.00-11.45 di lt 23. lihat lampiran 9. no.2.5 408 Wawancara antara Habibie dengan Peter F Gonta, 8 Januari 2012. http://www.youtube.com/watch?v=I7qX8Uk8nAg, lihat lampiran 9, no.32.1 409 Lili Irahali, Agustus 2001. loc.cit.h.17 410 Habibie, 1995.op.cit. h.197,Bahkan Laboratorium Uji Kontruksi menjadi pelopor terhadap berdirinya PUSPPITEK atau pendirian laboratorium lainnya. 411 Ibid. h.225. dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1976 Tentang Pembangunan Pusat Penelitian, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi di Serpong, pasal.2a. 412 Inggriani Liem dan Hari Muhammad, 2001. Pendidikan Real Time Software Engineering untuk karyawan PT Dirgantara Indonesia. 25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru.hal.148-152. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab. 413
Habibie, 1994, Progress Report 1974-1994. op.cit.h.58
414
Bambang Kismono Hadi, 2012. FGD Kementerian Ristek
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
184
Lab-lab uji, baik yang ada di ITB, PT DI, LAPAN juga masih perlu diupgrade.415Karena sebagain besar lab-lab tersebut merupakan peninggalan era 1970an.416 Apalagi mengingat bahwa program upgrading “N 250” antara PT DI dengan PT RAI yaitu program R-80417 yang sangat membutuhkan infrastruktur yang jauh lebih kompleks dibanding N 219. Dalam rangka upgrading pesawat terbang, diperlukan program revitalisasi dan upgrading sekitar 13 laboratorium pesawat terbang, delapan tempat uji telah tersebar di beberapa lembaga-lembaga pengujian pesawat terbang yang ada, baik yang di Puspitek, ITB, maupun LAPAN (Tabel 6.5). Bahkan terdapat lima fasilitas uji baru yang saat ini dibutuhkan namun belum tersedia atau terdefinisi, yaitu fasiltas uji tabrak burung, uji sirkulasi udara, uji kelistrikan pesawat, laboratorium avionik, laboratorium uji bahan bakar pesawat.418
Tabel 6.5 Peningkatan Fasilitas Uji Pesawat Terbang di Lembaga Penelitian Lembaga Pengujian Pesawat Terbang BPPT
LAPAN ITB
Jenis Pengujian/Laboratorium 1.
Peningkatan Fasilitas Laboratorium Uji Struktur (B2TKS) 2. Peningkatan Fasilitas Laboratorium Uji Terowongan Angin (LAGG) 3. Pembangunan Laboratorium Pengendalian Terbang (PTIK) 4. Laboratorium Simulasi Terbang (Flight Simulator) (PTIK) 5. Pembangunan Laboratorium Uji Electro-magnetic (PTIK) Peningkatan Fasilitas Uji Terbang Peningkatan Fasilitas laboratorium Uji Komponen Struktur (FTMD); Peningkatan Fasilitas Uji Komposit (FTMD)
Sumber: FGD II PROGRAM PENGEMBANGAN REGIOPROP R80, Senin, 15 September 2014
415
Lihat lampiran FGD II yang dilakukan Kemenristek tentang Program Pengembangan Regioprop R80, Senin, 15 September 2014. 416 Lihat lampiran 9. hasil wawancara dengan Kepala BPPT, Marzan Iskandar, Periode 20082014, tanggal 27 Juni 2014. 417
Perjanjian Induk Kerjasama antara PT DI dengan PT RAI No. 002/UT0000/05/2013 tentang Pengembangan Pesawat Terbang Regioprop-R-8O pada tanggal 3 Mei 2013 418
Lihat lampiran FGD II yang dilakukan Kemenristek tentang Program Pengembangan Regioprop R80, Senin, 15 September 2014; Hasil wawancara dengan Kepala BPPT, Marzan Iskandar, Periode 2008-2014, tanggal 27 Juni 2014
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
185
Dukungan kebijakan pada level sektor yang relatif kuat justru berasal dari sektor perindustrian, salah satunya adalah Inpres no 2 thn 2009 tentang Penggunaan Produksi dalam Negeri. Dalam Inpres tersebut dinyatakan bahwa jika suatu produk nasional berteknologi tinggi mempunyai TKDN 40%, maka produk asing sejenis tidak boleh masuk ke Indonesia. Selain itu, saat ini Kemenperind telah sedang mengupayakan pembangunan kemampuan industri-industri pendukung komponen pesawat terbang419. Namun sayang, kuatnya dukungan kebijakan sektor industri belum diiringi dengan dukungan kebijakan dari sektor fiskal. Sejak era orde baru hingga saat ini, dukungan sistem leasing perbankan nasional untuk pesawat terbang hingga saat ini juga masih belum tersedia.420 Sebaliknya, dalam kasus Industri Embraer, kuatnya dukungan pembangunan sektor dirgantara pada level kebijakan kemudian diterjemahkan secara sinergik dalam kebijakan level sektor. Pertama, kebijakan sektor SDM dan Infrastruktur, sejak tahun 1946 pemerintah rezim militer Brazil mulai mendirikan The Aeronautics Technology Insittute-ITA. Lembaga ini merupakan penghasil SDM kedirgantaraan. Selanjutnya pada tahun 1947, pemerintah Brazil mendirikan The Aeronautics Technology center (CTA) dan INPE (Instito National de Pesquisas Espaciasi) sebagai lembaga riset inti bidang Aerospace. Dan di tahun 1988, dibangun Advanced Technology Center yang kemudian dikembangkan dengan nama baru yaitu Sao Paulo R&D Centre.421 Terkait kebijakan sektor Riset dan Inovasi, pada tahun 1973, pemerintah Brazil mendirikan Lembaga Federal-FINEP (Agency for Financing Studies and Projects). FINEP juga sebagai executive secretariat untuk National Fund for Scientific and Technology Development (FNDCT) Selain mendanai riset industri, FINEP juga diarahkan untuk mendorong standar atau sertifikasi terutama untuk standar ekspor.422 Selanjutnya sejak 1985-Sekarang Peran FNDCT semakin dominan
419
FGD yang dilakukan Kemenristek tentang Pengembangan pesawat perintis N219 Kamis, 8 Februari 2012 di BAPPENAS. 420 Habibie, 1995. op.cit. h.288; dan lihat lampiran 9 wawancara dengan Kepala Perencanaan Perusahaan PT DI, Sony Saleh Ibrahim, 2014. no.11.13. 421 Ibid.h.8 422 Carl J. Dahlman dan Calaudio R. Frischtak, 1990. loc.cit, h.14; David Pritchard, 2010. loc.cit, h.10; Vertesy dan Szirmai, 2010, loc.cit. h.29.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
186
bahkan sebagai management commitee423, sebaliknya sejak 1985, peran FINEP selanjutnya dibawah koordinasi Kemenristek Inovasi (Gambar 6.7).424
President
Brazilian Space Agency (AEB)”DEPANRI”
Ministry of Science & Technology President FINEP
Director of Finance Administration
Director of Development, Science & Technology
Director of Innovation
Gambar 6.7 Lembaga Pendanaan Inovasi-FINEP Brasil Sumber: diolah dari Dahlman dan Frischtak, 1990
Di tahun 1972, Pemerintah Brazil telah mendirikan lembaga yang disebut The Special Sectariat for Science and Technology dibawah the Ministry of Industry and Commerce. Yaitu, lembaga yang diarahkan untuk mengurusi program pendanaan litbang industri, diseminasi informasi teknologi dan pengaturan sistem hak dan kekayaan intelektual-HKI, dan standard.425 Baik FINEP maupun dan The Special Sectariat for Science and Technology walaupun inisasi sektoral tetapi memiliki sinergi yang jelas terutama pada pengembangan kemandirian teknologi dirgantara.426 Bahkan di sektor perbankan, dalam rangka mendukung pembiayaan inovasi industri salah satunya adalah industri dirgantara, pada tahun 1960, pemerintah Brazil
423 Michael Kahn, Luiz Martins de Melo and Marcelo G. Pessoa, 2014,. Financing Innovation.h.38 424 Ibid.h.xxvi 425 Ibid. h.15 426
Carl J. Dahlman dan Calaudio R. Frischtak, 1990. loc.cit, h.14
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
187
mendirikan The Brazilian Development Bank-BNDES
427
. Sebagai bentuk insentif
pada perdagangan khususnya pesawat pada pasar internasional, pada tahun 1991, pemerintah Brazil mengeluarkan Kebijakan ProEx, yaitu Insentif pengurangan bunga sekitar 3,5% atas loan bagi pembeli dari luar negeri. Kebijakan tersebut telah diberlakukan pemerintah Brazil sejak juni tahun 1991.428Walaupun akhirnya di tahun 1999-2000, kebijakan tersebut dinilai illegal dan akhirnya dihentikan atas permintaan World Trade Organization-WTO.429 Di tahun 1996, pemerintah mendirikan Brazilian Space Agency (AEB), AEB adalah sejenis DEPANRI yang merupakan bagian dari SINDAE (Sistem Nasional untuk Pembangunan Kantariksaan) yang bertugas mengkoordinasi kegiatan keantariksaan di Brasil. AEB dipimpin oleh Presiden AEB sekaligus sebagai ketua Dewan teritinggi yang melaporkan langsung kepada Menristek Brasil. Lembaga ini mengkoordinasi berbagai badan, baik riset maupun operasional (wakil dari Kementerian Pertanian, komunikasi, luar negeri, industri dan perdagangan, pembangunan, pendidikan, keuangan, lingkungan, energi serta kepolisian ditambah dari masyarakat ilmiah dan sektor industri terkait kenatariksaan). Keanggotaan.AEB sebagai bagian dari SINDAE dikontrol secara hierarki oleh Menteri Pertahanan dan secara langsung oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi.430 Brazilian Space Agency (AEB) sejenis DEPANRI sangat powerfull karena kebijakannya akan berpengaruh pada berbagai kementerian terkait, termasuk dalam hal pendanaan inovasi industri yang dibiayai melalui lembaga FINEP (Gambar 6.9).431 Dari sektor industri, keberhasilan pembangunan sektor dirgantara juga didukung oleh sejumlah instrumen kebijakan sektor industri. Pada tahun 1969, seiring dengan dibangunnya Embraer, dibangun juga pembangunan industri-industri high tech pendukung seperti avibras (missiles), Orbitra (missiles), military equipment, electronic communication equipment, composite materials, dan software.432 Sinergi 427
Michael Kahn, Luiz Martins de Melo and Marcelo G. Pessoa, 2014,. op.cit.h.43
428
David Pritchard, 2010.loc.cit. h.10 429 Laporan WTO, 14 April1999, loc.cit. h. 14 430
Mardianis, 2013 hal 110 di Media Dirgantara, November 2013-LAPAN Ibid. 432 Carl J. Dahlman dan Calaudio R. Frischtak, 1990, loc.cit. h.17 431
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
188
sektoral terutama antar sektor riset inovasi, SDM, Infrastruktur dan Keuangan dalam mendukung pembangunan sektor dirgantara dalam konteks Indonesia masih sangat lemah, padahal hingga saat ini telah ada sejumlah lembaga pendanaan inovasi yang masing-masing merupakan inisiasi sektoral, diantaranya adalah Insentif Riset SINas yang merupakan iniasi Kementerian Riset dan Teknologi, Hibah Dikti yang merupakan inisiatif Kemendikbud, dan Insentif Riset yang merupakan insiasi tiga Kementerian sebagai Dewan Penyantun yaitu Kementerian Keuangan, Kementerian Pendidikan, dan Kementerian Agama. Bahkan, sejak 1993, Kementerian ristek telah mengeluarkan beragam jenis pendanaan riset, mulai dari Insentif Pendanaan RUT sampai dengan Insentif Riset SINas yang bahkan masih berlanjut hingga sekarang. Adapun LPDP, baru dimulai sejak tahun 2012, LPDP selain memiliki program rispro juga memiliki program afirmasi nasional. Hibah Dikti yang merupakan lembaga pendanaan yang dikelola oleh Dirjen Pendidikan Tinggi (DIKTI) selama ini masih lebih bersifat untuk mendorong academic exellance. Namun, antara ketiga lembaga pendanaan tersebut, belum terjadi sinergi. Insentif Riset SINas yang seharusnya lebih diarahkan pada riset-riset hilir kadang juga sangat melebar pada riset-riset dasar, begitupun juga dengan Hibah Dikti dan LPDP, seharusnya lebih berrmain pada level academic exellance namun kadang sering overlap dengan arah Insetif Riset SINas. Begitupun kalau dikaitkan dengan bagaimana dukungan pendanaan tersebut dalam mendorong pengembangan teknologi kedirgantaraan. Baik Hibah Dikti bahkan untuk LPDP belum memasukkan fokus ataupun bidang yang mendukung pengembangan teknologi kedirgantaraan sebagai salah satu prioritas. Adapun untuk insentif riset SINas, sejatinya pada zaman Riset Unggulan Terpadu ketika masih dalam bentuk Program Utama Nasional (Punas) yaitu selama periode 1993-1998, bidang teknologi kedirgantaraan bahkan selalu menduduki peringkat lima besar berdasarkan besar pendanaan yang didanai, dan dari rentang tersebut, selama dua tahun bahkan menduduki posisi teratas dari seluruh bidang teknologi yang dibiayai.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
189
Tabel 6.6 Perbandingan Dukungan Pada Level Sinergi Organisasi dalam Pembangunan Iptek Sektor Dirgantara antara IPTN Indonesia-Embraer Brasil Level Intersektoral Sektor SDM dan Infrastruktur pengujian
IPTN Indonesia
Embraer Brasil
Era Orla-Orba: SK Presiden RI Soekarno 1962 didirikan Jurusan Penerbangan ITB untuk mendukung LIPNUR.433 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1976, dibangunlah Pusat Penelitan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUSPIPTEK) terutama sejumlah laboratorium pengujian untuk pesawat terbang yaitu seperti: Laboratorium Uji Konstruksi 434, aerodinamika.435 1997-1999, ada Program S2 perangkat lunak Kerjasama antara PT DI, ITB dan Universite Thomson-Perancis.436 Sejumlah program Beasiswa untuk penguasaan teknologi kerdirgantaraan melelaui (STAID dll)437. Saat ini: Keluaran ‘aerospace engineers’ di Indonesia saat ini terbatas. (ITB hanya meluluskan sebanyak 60 orang per tahun; dan hanya 25% yang bekerja di sektor penerbangan). 438
Dibawah rezim Militer (1964-1985):441 1946: Mendirikan The Aeronautics Technology Insittute-ITA sebagai supplai SDM kedirgantaraan. Tahun 1947 didirikan The Aeronautics Technology center (CTA) dan INPE (Instito National de Pesquisas Espaciasi) sebagai lembaga riset inti bidang Aerospace. 1988: Pembangunan Advanced Technology Center
sebagai pengembangannya kemudian dibangun Sao Paulo R&D Centre.442
433
Lili Irahali, Agustus 2001. loc.cit.h.17 Habibie, 1995.op.cit. h.197,Bahkan Laboratorium Uji Kontruksi menjadi pelopor terhadap berdirinya PUSPPITEK atau pendirian laboratorium lainnya. 435 Ibid. h.225. dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1976 Tentang Pembangunan Pusat Penelitian, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi di Serpong, pasal.2a. 436 Inggriani Liem dan Hari Muhammad, 2001. Pendidikan Real Time Software Engineering untuk karyawan PT Dirgantara Indonesia. 25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru.hal.148-152. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab. 434
437
Habibie, 1994, Progress Report 1974-1994. op.cit.h.58
438
Paparan Bambang Kismono Hadi, 2012 didalam FGD yang dilakukan Kementerian Ristek
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
190
Sektor Inovasi
Riset
dan
Lab-lab uji di Puspiptek butuh revitalisasi, karena sebagain besar merupakan peninggalan era 1970an.439 Beberapa lab uji pesawat baik yang ada di ITB, PT DI, LAPAN juga masih perlu diupgrade.440 Program Utama Nasional (PUNAS) 1994-1996: Bidang riset rancang bangun pesawat komersial didukung secara finansial bahkan selama 1995-1999, bidang riset pesawat terbang selalu masuk lima besar riset yang didanai bahkan untuk tahun 1995 dan 1999, bidang riset pesawat terbang menempati posisi teratas.Yang didukung dengan skim pendanaan insentif riset RUT. Sejak 2000-sekarang: Hanya Tujuh Bidang Fokus: Ketahanan Pangan, Energi, Transportasi, Kesehatan Obat, Teknologi Informasi dan Telekomunikasi, Pertahanan Keamanan, dan Material Maju yang merupakan Agenda Riset Nasional yang kemudian didukunna dengan pendanaan Insentif Riset SINas. Sub Tema terkait pesawat terbang: Didalam ARN 2006-2009: Masuk di Bidang Transportasi dengan subtema Regenerasi pesawat udara untuk bidang hankam Didalam ARN 2010-2014: Masuk dibidang Hankam dengan subutema Pesawat terbang tanpa awak Keppres No. 99 Thn 1993 /Keppres No. 132 Thn 1998 (DEPANRI) Dalam struktur DEPANRI, Menristek sebagai vice president dibawah Presiden.Namun, setelah era reformasi
1973: Lembaga Federal-FINEP (Agency for Financing Studies and Projects). FINEP juga sebagai executive secretariat untuk National Fund for Scientific and Technology Development (FNDCT) Selain mendanai riset industri, FINEP juga diarahkan untuk mendorong standar atau sertifikasi terutama untuk standar ekspor (Dahlman dan Frischtak, 1990) Sejak 1985-Sekarang: Peran FNDCT semakin dominan bahkan sebagai management commitee, sebaliknya sejak 1985, peran FINEP selanjutnya dibawah koordinasi Kemenristek Inovasi (Kahn, De Melo, dan De Matos, 2014). 1996: Didirikan Brazilian Space Agency (AEB) AEB adalah sejenis DEPANRI yang merupakan bagian dari SINDAE ( Sistem Nasional untuk Pembangunan Kantariksaan) yang bertugas mengkoordinasi kegiatan keantariksaan di Brasil. AEB dipimpin oleh Presiden AEB sekaligus sebagai ketua Dewan teritinggi yang melaporkan langsung kepada Menristek Brasil. Lembaga ini menrkoordinasi berbagai badan, baik riset maupun operasional (wakil dari Kementerian Pertanian, komunikasi, luar negeri, industri dan perdagangan, pembangunan, pendidikan, keuangan, lingkungan, energi
441
Carl J. Dahlman dan Calaudio R. Frischtak, 1990, loc.cit. h.15 Ibid.h.8 439 Lihat lampiran 9. hasil wawancara dengan Kepala BPPT, Marzan Iskandar, Periode 2008-2014, tanggal 27 Juni 2014. 440 Lihat lampiran FGD II yang dilakukan Kemenristek tentang Program Pengembangan Regioprop R80, Senin, 15 September 2014.
442
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
191
aktivitas DEPANRI hampir tidak ada kecuali untuk N 219 dalam rangka mendorong transfer knolwledge SDM dirgantara tua ke muda”. Hal ini menunjukkan tidak adanya visi pemerintah.443,
Sektor Industri
1976-1991 Kebijakan Pembangunan resourced-based industries: 1. Era Oil boom, 1976-1981 (Kebijakan substitusi Impor) 2. Pasca Oil boom 1982-1985 (Mendorong ekspor) 3. Era 1986-1991 (Kebijakan mendorong Industri beroritensi Ekspor) KEPPRES No. 1 tahun 1980 tentang keharusan pemerintah memakai produksi pesawat dalam negeri. Kemudian Keppres ini dicabut pada era reformasi. Saat ini: Peraturan Menteri Perindustrian No.125/MIND/per/10/2009: Tentang Peta Panduan (road map) pengembangan Klaster Industri Kedirgantaraan. Perpres No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional: Mendorong pesawat commuter dengan kapasitas kurang dari 30 penumpang orang sejenis (N 219) melalui insentif fiskal dan insentif non-fiskal Inpres no 2 thn 2009 tentang Penggunaan Produksi dalam Negeri: Jika suatu produk nasional berteknologi tinggi mempunyai TKDN 40%, maka produk asing sejenis tidak boleh masuk ke Indonesia (N219)
443 444
serta kepolisian ditambah dari masyarakat ilmiah dan sektor industri terkait kenatariksaan). Keanggotaan.AEB sebagai bagian dari SINDAE dikontrol secara hierarki oleh Menteri Pertahanan dan secara langsung oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi (Mardianis, 2013 hal 110 di Media Dirgantara, November 2013-LAPAN). 1969: Seiring dengan dibangunnya Embraer, dibangun juga pembangunan industri-industri high tech pendukung seperti avibras (missiles), Orbitra (missiles), military equipment, electronic communication equipment, composite materials, dan software.444 1972: Didirikannya The Special Sectariat for Science and Technology dibawah the Ministry of Industry and Commerce. Yaitu, Program pendanaan litbang industri, diseminasi informasi teknologi dan pengaturan sistem hak dan kekayaan intelektual-HKI, dan standard (Dahlman dan Frischtak, 1990) 1991-2000: Kebijakan ProEx (1991-2000), yaitu Insentif pengurangan bunga sekitar 3,5% atas loan bagi pembeli dari luar negeri. Kebijakan tersebut telah diberlakukan pemerintah Brasil sejak juni tahun 1991 (Pritchard, 2010), Walaupun akhirnya di tahun 1999-2000, kebijakan tersebut dinilai illegal dan akhirnya dihentikan atas permintaan World Trade Organization-WTO (Laporan WTO, 1999).
Wawancara dengan Teguh, tanggal 16 September 2014 jam 11.00-11.45 di lt 23. Lihat lampiran 9 no.5 Ibid.h.17
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
192
Sektor Keuangan/Perbankan
Zaman Orde Baru: Belum ada sistem pendanaan inovasi termasuk pesawat terbang nasional yang diinisiasi dari sektor atau Depertemen Keuangan. Kecuali yang dikeluarkan melalui Intervensi Politik seperti Dana reboisasi untuk finish construction N 250. Belum ada sistem leasing dari perbankan nasional untuk pembelian pesawat terbang .445
Sistem Pendanaan Inovasi: Di tahun 1960 didirikan The Brazilian Development Bank-BNDES (Kahn, De Melo, dan De Matos,h.43 2014; Paulo N. Figueiredo,446 h.33)
Era reformasi hingga saat ini: Sistem pendanaan Pesawat terbang masih bersifat sektoral dan pendanaanya sesuai tercantum dalam Rencana Tindak Pembangunan Kementerian/Lembaga. Hal ini termasuk yang sedang dilakukan untuk N 219 Pada 28 Desember 2011, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan dibentuk sebagai satuan kerja di bawah Kementerian Keuangan melalui PMK Nomor 252 tahun 2010. LPDP kemudian ditetapkan sebagai sebuah lembaga berbentuk Badan Layanan Umum pada 30 Januari 2012 setelah disahkannya dengan KMK Nomor 18 tahun 2012. Namun bidang prioritasnya hanya tediri dari Bidang Tatakelola, Kesehatan, Energi, Budaya, Energi, Ketahanan Pangan dan Pertumbuhan Eknomi. Dan tidak ada mendorong kemandirian teknologi kedirgantaraan. 445
Habibie, 1995. op.cit. h.288; dan lihat lampiran 9 wawancara dengan Kepala Perencanaan Perusahaan PT DI, Sony Saleh Ibrahim, 2014.
no.11.13 446
Paulo N. Figueiredo (2007), Extending Sanjaya Lall’s Explanatory Framework: Variability in Micro-level Innovation Performance, Changing Institutional Frameworks and the Mediating Role of Strategy Embeddedness in an Emerging Economy Context, h.33 University of Oxford, Department of International Development.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
193
6.1.3
Perbandingan Konseptual Model Dengan Dunia Nyata Pada Level
Operasional 6.1.3.1. Analisis Aktivitas Primer Rantai Nilai Pengembangan N 250-IPTN 6.1.3.1.1. Struktur Global Value Chain N 250 Stuktur GVC IPTN terutama dalam pengembangan N 250 adalah cenderung bersifat hierarchy. Karena sejak diresmikan pada tahun 1976, IPTN tidak memiliki kemampuan dalam codifiability maupun produksi pesawat terbang. Namun, dukungan pemerintah dalam mendorong upgrading teknologi industri pesawat terbang berbasis kemampuan domestik sangat tinggi. Dalam rangka penguasaan kemampuan indigenous technology, IPTN mengadopsi empat tahap upgrading teknologi pesawat terbang sebagaimana juga yang digunakan oleh Embraer (tabel 6.7) yaitu dimulai dari produk dibawah lisensi kemudian beranjak pada kemampuan integrasi lalu pengembangan pada pesawat turbopropelar hingga jet. Hanya saja, tidak sebagaimana halnya IPTN, proses upgrading pesawat terbang yang dilakukan di Embraer diimbangi dengan kemampuan produksi pesawat yang juga sangat tinggi pada tiap-tiap upgradingnya.447 Terkait bahan baku, sebagian besar supplier komponen dalam desain N 250 adalah berasal dari Amerika Serikat yaitu dari Industri Boeing, Allison, Collins, Messier Bugati, Auxilec, Dowty, Lucas, BGT, Liepher-Lucas, Avio dll.448 Satusatunya local content pada desain N 250 adalah hanya pada desain pesawat atau tenaga kerja.449 Rendahnya kemampuan industri—industri hulu bagi pengembangan pesawat IPTN adalah selain masih lemahnya dukungan sektor perbankan dalam bentuk kredit usaha di sektor tersebut450 juga disebabkan bahwa volume produk yang dibutuhkan jauh tidak sepadan dengan biaya investasi untuk pengembangan produk
447
Harm-Jan Steenhuis dan Erik J. De Bruijn, 2001. loc.cit. h. 555-556; David McKendrick, 1992. loc.cit.h.39. 448 Habibie, 1995.op.cit.h.275-276 449 Lihat wawancara dengan Program Manajer N 219 PT DI, Directorate of technology & Development, Budi Sampurno, pada tanggal 11 Agustus 2014 di BPPT, lihat lampiran 9. no.22.6; 450 Lihat kembali ulasan tentang lemahnya dukungan sektor perbankan untuk industri hulu dalam pengembangan pesawat IPTN . hal. 171
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
194
tersebut atau dengan kata lain volume produk yang dibutuhkan oleh IPTN masih jauh dari skala ekonomi.451
6.1.3.1.2. Analisis Operasi dan Logistik Keluar IPTN Pada kasus IPTN, yaitu sejak 1977 hingga 1993, pesawat NC 212 hanya diproduksi sekitar 95 pesawat atau hanya 16 unit pertahunnya.452 Untuk pesawat CN 235, di awal tahun 1980an, IPTN sebenarnya merencanakan akan memproduksi sekurang-kurangnya 36-40 pesawat sejenis CN-235 pertahun atau rata-rata 3 (tiga) pesawat perbulan. Namun kenyataanya, dalam kurun waktu 10 tahun, yaitu sejak tahun 1987, IPTN hanya merampungkan tidak lebih dari 40 pesawat CN 235.453 Beberapa macam alasan terkait tidak tercapainya target produksi CN 235 adalah mulai dari raw materials yang sering terlambat sampai dengan masalah-masalah dokumentasi yang tidak lengkap, langkanya spare part, hingga CASA yang dinilai tidak kooperatif.454 Padahal, jika diukur dari jumlah tenaga kerja yang berjumlah 16.000 orang dengan asumsi jumlah direct labour 6.000 orang, maka kapasitas produksi sebenarnya
jauh lebih besar. Dengan asumsi kasar bahwa direct labour yang
dialokasikan untuk CN 235 sebanyak 5.000 orang dengan jumlah jam kerja bersih perminggu (nett weekly manhours) sebesar 40 jam (tanpa lemburan), maka dengan manhours yang tersedia IPTN sebenarnya mampu memproduksi sekurang-kurangnya 60 pesawat per tahun.455 Sedangkan untuk kasus Embraer, sejak tahun 1969 ketika Embraer memulai proses produksi dibawah lisensi perusahaan Italia yaitu pesawat Bandairente turboprop EMB-110, maka kemudian hingga tahun 1983, pesawat dengan kapasitas 19 penumpang tersebut telah diproduksi sejumlah 3.983 pesawat atau 265 pesawat per tahun. Sebagian besar pesawat tersebut adalah untuk pasar
451
Yuwono, Agustus 2001. loc.cit. h.45 Ibid.h.81 453 Yuwono, Agustus 2001. Membedah IPTN Antara Visi, Strategi, Harapan, dan Kenyataan. 25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru. h.46. 454 Chandra Adenan (2001). IPTN dalam Kenangan dan Harapan. 25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru. h.70 455 Ibid. h.44 452
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
195
domestik, bahkan pada tahun 1975, Embraer menjadi pemasok tunggal untuk kebutuhan pasar domestik456. Yang sangat menarik adalah pada tahun 1974, yaitu pada fase produksi pesawat dibawah lisensi tersebut, Embraer semakin memperkuat kemampuan desain maupu produksinya dengan program peningkatan kemampuan SDM dan produksi melalui program merakit sekitar 726 pesawat US light aircraft (general aviation) dari perusahaan Amerika Serikat.457 Dalam rangka peningkatan kemampuan SDM dan produksi tersebut, Embraer yang didukung oleh Pemerintah Brazil mengirimkan proposal ke 3 produser besar pesawat terbang kecil di Amerika Serikat yaitu: Piper, Beech dan Cessna. Dalam proposal tersebut, Embraer memasukkan klausal bahwa Embraer ingin meningkatkan kemandirian dalam hal kemampuan teknis, manajerial, kegiatan produksi, kemampuan memasarkan, dan juga kemampuan memasok pasar domestik. Dan akhirnya perusahaan yang terpilih adalah perusahaan Piper.458 Selanjutnya untuk N 250, IPTN hanya diproduksi 2 unit karena dihentikan pengembangannya oleh Pemerintah waktu itu. Pengalaman Embraer menunjukkan, bahwa pada tahun 1985, Embraer melaunching pesawat turboprop EMB-120 yang sekelas dengan CN 235 maupun N 250 namun dengan kapasitas 30 penumpang. Dalam periode 1985-1999, Pesawat EMB 120 yang merupakan upgrading dari EMB 110 tersebut telah diproduksi sekitar 354 pesawat dan berhasil mendapatkan sertifikat FAA pada tahun 1985 dan European Certification di tahun 1986459. Walaupun pesawat EMB 120 tersebut mengalami penurunan produksi disebabkan permasalahan finansial perusahaan sebagai akibat dari resesi global, namun pesawat tersebut cukup sukses bahkan memenuhi 1/3 total pasar pesawat dunia dikelasnya.460 Hingga saat ini kemampuan produksi pesawat PT DI hanya sekitar 12 pesawat per tahun, yaitu 4 pesawat untuk NC 212, 4 pesawat untuk CN 235, dan 4 pesawat C
456
http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia.
457
Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.10
458
Ibid. 459 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia. 460
Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.10
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
196
295.461 Sedangkan untuk kasus Embraer, sejak tahun 1969 ketika Embraer memulai proses produksi dibawah lisensi perusahaan Italia yaitu pesawat Bandairente turboprop EMB-110, maka kemudian hingga tahun 1983, pesawat dengan kapasitas 19 penumpang tersebut telah diproduksi sejumlah 3.983 pesawat atau 265 pesawat per tahun. Sebagian besar pesawat tersebut adalah untuk pasar domestik, bahkan pada tahun 1975, Embraer menjadi pemasok tunggal untuk kebutuhan pasar domestik462. Yang sangat menarik adalah pada tahun 1974, yaitu pada fase produksi pesawat dibawah lisensi tersebut, Embraer semakin memperkuat kemampuan desain maupu produksinya dengan program peningkatan kemampuan SDM dan produksi melalui program merakit sekitar 726 pesawat US light aircraft (general aviation) dari perusahaan Amerika Serikat.463
Tabel 6.7 Tahapan Upgrading N 250 IPTN dengan EMB 120 Embraer Pesawat NC 212 (under licensedCASA)-24 Penumpang
IPTN Th Pengembangan 1976/1977
CN 235 (35 penumpang) -turboprop
1979/1983
N 250 (50 dan 70 penumpang) .turboprop dengan
1987/1994
Embraer Jumlah Produksi 95 unit (19771993) -Saat ini hanya 4 pesawat per tahun.464
40 unit pesawat (1987-1995) Saat ini hanya 4 pesawat pertahun.465 2 unit (19941995)
Pesawat EMB 110 (under licensedAeronautica Macchi S.p.A., an Italian corporation); perakitan -19 penumpang Merakit 726 pesawat US light aircraft (general aviation) dari US EMB 120 (30 Penumpang)
Th Launcing 1969
Jumlah Produksi 3.983 unit (1969-1983).
1974
1985
354 pesawat (1985-1999).466
461
Wawancara dengan Gatot M. Pribadi, Manajer Aerodinamika PT DI, dalam FGD III yang dilakukan Kemenristek dengan judul Program Pengembangan Iptek Bidang Kedirgantaraan, Jumat, 3 Oktober 2014 Pukul 09.00 – 12.00, Di RuangRapat 2208 Gedung II BPPT 462 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia. 463
Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.10
464
Wawancara dengan Gatot M. Pribadi, Manajer Aerodinamika PT DI, dalam FGD III yang dilakukan Kemenristek dengan judul Program Pengembangan Iptek Bidang Kedirgantaraan, Jumat, 3 Oktober 2014 Pukul 09.00 – 12.00, di RuangRapat 2208 Gedung II BPPT 465 Ibid. 466 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
197
teknologi fly by wire R-80/New N 250 (80 penumpang) N 2130-Jet
2013
-
1994
-
ERJ 145 (Jet): 50 dan 37 penumpang ERJ 170/190 (70 sampai ≥100 penumpang) dengan teknologi fly by wire
1989/1996 1999
132 unit pert tahun.467 Rata-rata 27 unit pertahun (20022007).468
Sumber: B J Habibie, 1994,op.cit. h.68-75; Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.10;
Dari aspek pengujian pesawat, beberapa fasilitas produksi dan beberapa fasilitas pengujian pesawat terbang khususnya untuk N 250 adalah dilakukan didalam industri seperti: wind tunel test, electro-magnetic compatibility-emc, iron bird test. Namun untuk mendukung pengujian tersebut, sebagian fasilitas dan SDM yang terlibat dalam pengembangan tersebut adalah merupakan kerjasama antara ITB, Puspitek-BPPT dengan PT DI. Bahkan dalam rangka ditching test N 250, yaitu suatu test kemampuan ngambang di air dilakukan di Inggris.469 Jika dibandingkan dengan fasilitas pengujian Embraer Brazil, PT DI sangat jauh tertinggal, diantara contohnya adalah fasilitas uji terbang. Untuk fasilitas tersebut, Embraer memiliki fasilitas pengujian penerbangan yang bertempat di Gavião Peixoto, São Paulo, dengan fasilitas landasan pacu terpanjang keempat di dunia dengan panjang 16.400-kaki (5.000 m).470Ukuran tersebut bahkan empat kali lebih besar dengan fasilitas uji yang saat ini ada di rumpin LAPAN, yang hanya memiliki panjang 1.200m.471 Padahal untuk pesawat R-80 membutuhkan ukuran landasan sekitar 2.400m.
467
Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.9 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.24 469 FGD III yang dilakukan Kemenristek tentang pengembangan R 80, 3 Oktober 2014 470 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer. 471 FGD II yang dilakukan Kemenristek tentang Program Pengembangan Regioprop R80, Senin, 15 September 2014. 468
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
198
6.1.3.1.3 Analisis Aktivitas Pemasaran dan Strategi Pemasaran Pesawat IPTN Proses upgrading teknologi pesawat N 250-IPTN tidak ditunjang dengan kemampuan manajeman IPTN terutama dalam menjual pesawat NC 212 dan CN 235 baik dalam pasar domestik maupun pasar internasional (Tabel 6.9). Untuk pesawat under licensed NC 212, selama 26 tahun yaitu dalam periode 1976-2002, IPTN hanya menjual sebanyak 94 unit pesawat terbang472, artinya IPTN hanya mampu menjual 3 pesawat pertahun. Lemahnya strategi pemasaran, disebabkan Pimpinan Teras sampai pada eselon-eselon dibawahnya kurang menyadari pertimbangan-pertimbangan ekonomis (business oriented) dalam mengambil keputusan dan kurang mengindahkan prinsip-prinsip cost versus benefit. Di bidang pemasaran telah berkembang suatu pemeo bahwa pada hakekatnya Pak Harto dan Pak Habibie-lah yang berfungsi sebagai salesman, bahkan dikenal sebagai “Super Salesman”. Pemeo tersebut sampai mencuat karena hampir semua transaksi yang terjadi baik di dalam negeri maupun di luar negeri adalah antara IPTN dan Pemerintah atau antar Pemerintah dan Pemerintah, dan sekurang-kurangnya transaksi tersebut memiliki muatan politis (higher political intention).473 Jika dibandingkan dengan Embraer- Brazil, dalam periode 1969-1983, Embraer berhasil memproduksi pesawat EMB 110 sejumlah 3.983 unit. Dan sebagian besar pesawat EMB 110 tersebut adalah untuk pasar domestik. Bahkan pada tahun 1975, pesawat EMB 110 menjadi satu-satunya pemasok tunggal untuk kebutuhan pasar domestik.474 Setelah berhasil dengan pesawat under licensed Italia yaitu EMB 110, pada tahun 1985 Embraer mendesain pesawat hasil desain sendiri yaitu EMB 120, pesawat tersebut adalah pesawat turboprop yang sekelas dengan CN 235 dan N 250. Walaupun sempat mengalami penurunan produksi karena krisis perusahaan sebagai akibat dari resesi global, namun pesawat EMB 120 tersebut cukup sukses bahkan memenuhi 1/3 total pasar pesawat dunia dikelasnya.475Bandingkan dengan IPTN 472
Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.5 Yuwono, Agustus 2001. op. cit. h.46 474 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia. 475 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.10 473
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
199
dengan CN 235nya, dalam 15 tahun yaitu selama periode 1979-1994, IPTN hanya menjual 28 unit CN 235.476 Walaupun pada tahun 1986, 15 unit CN 235 pernah dioperasikan oleh Merpati Airliner,477 namun secara garis besar, pasar terbesar CN 235 hingga saat ini adalah justru berasal dari luar negeri478. Fenomena tersebut tentunya sangat kontras dengan yang terjadi dengan Embraer Brazil, baik EMB 110 maupun dengan EMB 120. Kemampuan pemasaran tersebut tentunya menyebabkan industri Embraer memiliki kemampuan ekonomi yang sangat tinggi dibandingkan dengan IPTN (lihat Gambar 6.10, h. 189 bab ini.). Kemampuan tersebut akhirnya mengantarkan Embraer berhasil melakukan upgrading EMB 120 kepada desain pesawat jet ERJ 145 yang membutuhkan anggaran pengembangan sekitar USD 350 juta.479 Sebaliknya, lemahnya kemampuan IPTN dalam menjual NC 212 dan CN 235 menyebabkan rendahnya nilai tambah perusahaan yang pada akhirnya tidak memiliki pendanan untuk melanjutkan upgrading teknologi, baik N 250 maupun pesawat jet N 2130 sekelas ERJ 145. 480 Jika menengok keberhasilan Embraer-Brazil, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan Embraer memiliki kemampuan dalam pemasaran pesawatnya, baik EMB 110, EMB 120 dan ERJ 145 yang masing-masing sekelas dengan NC 212, N 250 maupun N 2130. Pertama, periode 1976-1994 yaitu sebelum privatisisasi, yaitu pada tahap pengembangan EMB 110, EMB 120 dan pada empat tahun pertama proses pendesainan dan produksi ERJ 145, pengadaan pesawat terbang Embraer dapat dilakukan melalui pengadaan militer terutama pada tahap launcing/pemasaran perdana (lihat tabel 6.10). Sejak tahun 1999, walaupun pengadaan pesawat tidak lagi dilakukan dengan pengadaan militer sebagai konsekuensi dari privatisasi, namun demikian, pengadaan pesawat masih bisa dilakukan dengan lembaga pemerintah seperti FINEP, Bank BNDES (National Bank for Economic and Social Development)
476
Ibid.h.73 http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2011/05/110509_pesawatcina.shtml 478 Lihat kembali Tabel 1.7 Penjualan CN 235 dari 2002-2012 di Bab I, h.23 479 Laporan WTO, 14 April1999., op.cit. h. 41 480 Namun untuk pada pengembangan N 250 dan N 2130, sejatinya telah dipersiapkan sejumlah strategi bisnis untuk perakitan dan pemasarannya lihat kembali Gambar 4.1 Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam Upgrading Pesawat Terbang PT DI Era Orde Baru – Era Saat ini 477
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
200
dan Banco do Brasil.481 Ketiga lembaga tersebut diarahkan untuk mendukung kegiatan ekspor pesawat secara khusus, dan produk teknologi Brazil secara umum.482 Bahkan, selain ketiga lembaga pendanaan tersebut, pemerintah memperkuat dukungan pendanaan untuk mendukung industri Embraer melalui dibentuknya konsorsium investor domestik.483 Faktor kedua, adalah sebagai bentuk dukungan untuk penetrasi pasar internasional, pada tahun 1991, pemerintah Brazil mengeluarkan Kebijakan ProEx, yaitu Insentif pengurangan bunga sekitar 3,5% atas loan bagi pembeli dari luar negeri. Kebijakan tersebut telah diberlakukan pemerintah Brazil sejak juni tahun 1991-1999.484 Kebijakan Pro Ex tersebut kemudian menjadi salah satu faktor dari keberhasilan pemasaran ERJ-145 terutama di pasar internasional.485Selain kuatnya dukungan pemerintah, dua aspek lain yaitu pada level manajemen juga menjadi faktor keberhasilan pemasaran Embraer adalah: Pertama, dengan dibantu oleh Tim dari The Aerospace Technical Center-CTA, Embraer membentuk system broker yang disebut Ozira Silva.486 Tim tersebut bertugas untuk: 1. Menemukan segmentasi pasar (menganalisis jenis pesawat yang cocok untuk infrastruktur bandara yang sangat sederhana). 2. Menemukan channel-channel pendanaan untuk desain pesawat 3. Mendirikan
satu
perusahaan
yang
bertugas
untuk
menjamin
komersialisasi pengembangan inovasi pesawat. 4. Menciptakan jejaring-jejaring baru untuk mencari sumber-sumber permodalan (seperti mendapatkan dukungan pemerintah untuk proses launching pesawat baru; atau insentif-insentif pajak perusahaan; atau mengembangkan satu model kolaborasi atau konsorsium dll). Kedua, setelah Embraer di privitasisasi tahun 1994, Manajemen Embraer semakin memperkuat strategis bisnisnya dengan menempuh tiga langkah sebagai 481
Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.29. Laporan WTO, 14 April1999., op.cit. h. 39 483 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.29. 482
484
David Pritchard, 2010.loc.cit. h.10 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, tanpa tahun. loc.cit. h. 10 486 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.25 485
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
201
berikut: Pertama, melakukan sharing dana pengembangan dengan para Industri supplier komponen terutama dengan industri-industri supplier internasional; kedua, mengembangkan jejaring atau “klaster” industri pengembangan pesawat; dan ketiga adalah mengembangkan core business yang semula hanya sebagai aircraft designer juga sebagai system assembler. 487
487
Ibid. h.29
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
202
Tabel 6.8 Jumlah Penjualan Pesawat IPTN vs Embraer IPTN Pesawat NC 212 488 versi sipil/militer
CN 235 versi sipil494/militer/ misi khusus
Tahun (terjual). -1976-1994 (92 unit terjual).489 -1976-2002 (94 unit terjual).490
-1979-1994 (28 unit terjual).495 -1979-2002 (47 terjual).496 -2002-2012
Embraer Pembeli/Pasar
Operator Domestik: Merpati491, TNI AU/AL, Operator Luar Negeri: Thailand. TNI AU dan Angkatan Udara Spanyol;Penjaga Pantai AS;Angkatan Udara Spanyol; Angkatan Udara Kerajaan Thailand,Tentera Udara Diraja Malaysia; Tentera Udara Diraja Bruney; Angkatan Udara Pakistan; Angkatan Udara Afrika Selatan; Angkatan Udara Turki; Angkatan Laut Turki Operator: Korea Selatan, Bukirna Faso, Senegal, Malaysia dan Pakistan, Thailand, United Emirate Arab, TNI AL; TNI AU dan Angkatan Udara Spanyol Penjaga Pantai Amerika Serikat; Angkatan Udara Spanyol; Angkatan Udara Kerajaan Thailand; Tentera Udara DirajaBruney; Angkatan Udara
Pesawat EMB 110
Tahun (terjual) 1969-1983 (3.983 unit)
Pembeli/Pasar Sebagian besar pesawat tersebut adalah untuk pasar domestik, bahkan pada tahun 1975, EMB 110 menjadi pemasok tunggal untuk kebutuhan pasar domestic.492 Operator: Brazil, Canada, Cook Island, Cuba, Guetamala, Ghana, UK, Honduras, Ireland, Kenya, US, Norway, Venezuela, Iran dll.493
1985-1999 (354 unit).498 EMB 120
Pesawat EMB 120 memenuhi 1/3 dari total pasar pesawat dunia dikelasnya.499. Operator: Angola, Australia, Brazil, Equador, Hungary, Mexico, Moldova, Nigeria, Rusia, Turki, US, Venzezuela dll.500
488
Daniel Vertesy and Adam Szirmai (2010), h.70 BJ, Habibie (1994), Progress Report. op.cit. h. 69-73 490 Harm-Jan Steenhuis dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.5 491 Ibid.; NC 212 pernah dipakai oleh beberapa perusahaan penerbangan nasional seperti: Pelita Airline, Bouraq Indonesia, lihat: http://rzjets.net/aircraft/?typeid=137. 492 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia. 493 http://en.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_110_Bandeirante 494 Untuk versi sipil, di tahun 1986, CN 235 buatan PT DI pernah dipakai oleh Merpati Airliner sebanyak 15 unit, lihat: http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2011/05/110509_pesawatcina.shtml 495 Ibid.h.73 496 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.5 489
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
203
(12 unit).497 N 250
Dihentikan dan tidak survive
N 2130-Jet
Pakistan; Angkatan Udara Afrika Selatan; Angkatan Udara; Turki;AL Turki Pada saat itu, IPTN baru menerima pesanan untuk N 250 yaitu:sejumlah 100 pesawat dari Merpati, 62 dari Bouraq dan 16 dari Sempati. Padahal , dengan harga pesawat USD 13,5 juta,untuk meraih titik impas, IPTN harus memasarkan sedikitnya 259 unit pesawat.501 -
ERJ-145
1989-1999 (132 unit pert tahun).502
American Eagle; British Regional; rtugalia;Regional; Rio Sul; Siv Am; Wexford; Continental Express (“COEX”); Trans States; Luxair; City Airlines.503
498
http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia. Harm-Jan Steenhuis dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.10 500 http://en.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia 497 Lihat kembali Tabel 1.7 Penjualan CN 235 dari 2002-2012 di Bab I, h.23 501 Media Indonesia Minggu (1995), Edisi 13 Agustus 1995. Membawa Gatotkoco ke Pasar. Diakses lewat http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/08/14/0016.html 502 Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.9 503 Laporan WTO, 14 April1999., op.cit. h. 3
499
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
204
Diantara faktor yang menyebabkan rendahnya minat pasar pada pesawat terbang hasil karya IPTN, baik dalam negeri maupun luar negeri504 sebagaimana tersaji dalam tabel 6.9 adalah: pertama, rendahnya komitmen pemerintah dalam menggunakan produk pesawat hasil produksi IPTN. Kedua, sistem leasing pesawat atau kredit ekspor dari perbankan nasional untuk pengadaan pesawat terbang yang belum tersedia begitu juga dengan kemudahan kredit untuk industri komponen pesawat dalam negeri. Ketiga, lemahnya kemampuan pemasaran IPTN terutama pada era orde baru.505
Tabel 6.10 Perbandingan IPTN Indonesia vs Embraer Brasil Aspek SDM/Sarana Pengujian
504
IPTN Indonesia
Embraer Brazil
Sampai tahun 1995, jumlah SDM IPTN mencapai 16.000 personil506 dari sekitar 860 SDM pada tahun 1976. Data 2011 meunjukkan bahwa SDM PT DI hanya berjumlah 4.190 orang, dengan perincian aero structure 1.688 orang, aircraft integration 800 orang, aircraft service 363 orang, dan teknologi dan pengembangangan 851 orang. 507 Data 2013 menunjukkan bahwa karyawan PT DI lebih kurang 3000an. Dan separuhnya (lima tahun kedepan) akan segera pensiun. Fasilitas uji: Fasilitas industri komponen masih berfungsi baik, fasilitas uji desain tidak banyak digunakan lagi hanya Wind Tunel Test dan EMC namun untuk skala kecil, dan fasilitas design S/W lebih baik, serta design procedure dan configuration Management sedang dipersiapkan untuk memenuhi standar Airbus.
Pa tahun 1974: sekitar 3500 orang Steenhuis dan Bruijn, tanpa tahun, h.10) Saat ini sekitar 17.009 orang (http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer. Bahkan di tahun 2007 jumlah SDM pernah mencapai 22500.509 Fasilitas pengujian penerbangan di Gavião Peixoto, São Paulo, dengan fasilitas landasan pacu sepanjang 16.400-kaki (5.000 m), terpanjang keempat di dunia.510
Habibie, 1995. op.cit. h.289-291
505
Yuwono, Agustus 2001. op.cit. h.46. 506 Habibie, 1995. op.cit. h.281 507
Hasil Lokakarya DEPANRI, November 2011. h.2
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
205
Laba/rugi
Kemampuan Produksi
Kegiatan Litbang
509
Namun iron bird test, Secara keseluruhan fasilitas uji yang dapat digunakan untuk proses upgrading N 250 maksimal 30%.508 Sejak 1976-1994, pertumbuhan laba/rugi perusahaan sangat rendah, bahkan di tahun dimulainya program N 250 yaitu di tahun 1986/1987, pertumbuhan laba ruginya negatif.511 Kemampuan produksi sangat lemah. Sejak 1977 hingga 1993, pesawat NC 212 hanya diproduksi sekitar 95 pesawat atau hanya 16 unit pertahunnya.514 Adapun CN 235 yang terbanyak hanya versi militer itupun pasar terbesar adalah luar negeri. dan dalam kurun waktu 10 tahun, sejak tahun 1987, IPTN hanya merampungkan tidak lebih dari 40 pesawat CN 235.515Selanjutnya N 250 hanya diproduksi 2 unit. Hingga saat ini kemampuan produksi hanya sekitar 12 pesawat per tahun.516 Selain kerjasama dengan BPPT dan ITB, untuk pengembangan N 250 adalah dilakukan dengan memanfaatkan hasil penelitian dasar dari pusat – pusat penelitian di Eropa dan Amerika Utara dalam bidang ilmu dirgantara, ilmu
Mengalami kerugian512 sepanjang tahun 1980an hingga 1990an, hingga akhirnya sejak 1998 perusahaan tersebut kembali profitable.513
Kemampuan produksi sudah sangat tinggi karena sejak tahun 1969 mulai proses produksi pesawat EMB-110 Bandairente turboprop versi militer dan maiden flight tahun 1968, dan tahun 1983 telah memproduksi 3.983 Pesawat (265 pesawat per tahun) Khusus untuk produksi EMB 120 yang merupakan upgrading dari EMB 110 diproduksi sejak 1985-1999 sekitar 354 pesawat.517 EMB 120 walaupun mengalami penurunan produkis karena krisis perusahaan sebagai akbiat dari resesio global, namun pesawat tersebut cukup sukses bahkan memenuhi 1/3 total pasar pesawat dunia dikelasnya.518 Sinergi litbang antara ABG sudah berjalan, baik, dengan engineer dari Jerman dan Universitas dan lembaga riset asing seperti FAMA Argentina, dari Amerika.521
Embraer, Frischtak 1992, Ramamurti 1987, Cassiolato 2002 dikutip oleh Daniel Vertesy and
Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.23 510
http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer. FGD III yang dilakukan Kemenristek tentang pengembangan R 80, 3 Oktober 2014, loc.cit 511 B J Habibie, 1994,op.cit. h.91 512 Kerugian tersebut disebabkan oleh resesi ekonomi global dalam kurun 1990-1994 lihat Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.27-28 508
513
Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.10-11
514
Ibid.h.81
515
Yuwono, Agustus 2001. Membedah IPTN Antara Visi, Strategi, Harapan, dan Kenyataan. 25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru. h.46. 516 517 518
FGD III yang dilakukan Kemenristek tentang Pengembangan R-80, tanggal 03 Oktober 2014. http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia. Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.10
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
206
aerodinamik, ilmu aeroelastik, ilmu konstruksi ringan, ilmu rekayasa, ilmu propulsi, ilmu elektronik, ilmu avionik, ilmu produksi, ilmu pengendalian mutu dsb519. Di tahun 2013, PT DI mengalokasikan dana riset hanya sekitar 1% dari total omset PT DI (Rp. 3 Triliun) yaitu sekitar Rp. 30 Miliar).520Dari N 250, hanya 1 Paten yang diperoleh PT DI adalah pada desain, dan saat diberhentikan paten tersebut milik pemerintah. Transformasi Sejak 1976-1999 N 250 Struktur Global bersifat hierarki karena Value Chain dukungan pemerintah sangat kuat walaupun procurement tidak bisa dengan pengadaan militer Sejak 1999-sekarang lebih ke Modular (market driven), setelah direstrukturisasi dukungan pemerintah melemah dibandingkan dengan era orde baru.
Dari Hierarkis -Vertically integrated dengan ciri selain dukungan pendanaan riset pemerintah dll adalah pengadaaan pesawat melalui pengadaan militer terutama pada tahap launcing pesawat baru (sejak 1969-1994) ke model Network (Modular) sejak Tahun 1994Sekarang ditandai dengan era privatisasi, pada era ini beberapa implikasi strategi bisnis yang dilakukan adalah:522 1. Melakukan sharing dana pengembangan dengan para Industri supplier komponen 2. Mengembangkan jejaring atau “klaster” industri pengembangan pesawat 3. Mengembangkan core business yang semula hanya aircraft designer ke arah menjadi system assembler juga Namun setelah privatisasi, pengadaan pesawat tidak lagi dengan pengadaan militer tetapi melaui FINEP dan BNDES yang juga didukung melalui konsorsium investor domestik. 523
Sumber: Diolah dari Dahlman dan Frischtak 1990; Vertesey dan Szirmai, 2010 dll 521
Embraer juga melakukan supplier’s risk sharing investments produser besar pesawat terbang kecil di Amerika Serikat yaitu Piper, lihat di David Pritchard, September 2010. loc.cit.h.10 519 Presidential - Innovation Lecture Bacharudin Jusuf Habibie Pada Acara Hari Kebangkitan Teknologi Nasional 2012 Bandung, 10 Agustus 2012. Reaktualisasi Peran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam membangun Kemandirian Bangsa. h.2 520 Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Kepala Komunikasi PT DI Sony Ibrahim, pertama ketika peneliti melakukan kunjungan karyasiswa Kemenristek ke PT DI pada bulan november 2013 dan kali kedua melalui interview via telpon pada februati 2014. Lihat lampiran 9. no.11.1 522 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.29 dan h.85 523 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.29.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
207
6.1.3.2.
Analisis
Aktivitas
Pendukung
Rantai
Nilai
IPTN
dalam
Pengembangan N 250 6.1.3.2.1. Analisis Manajemen perusahaan IPTN dalam pengembangan N 250 Sejatinya pada zaman orde baru, IPTN telah mencanangkan pembentukan sistem manajemen industri modern yang rencananya akan terealisir ketika IPTN berusia 10 tahun yaitu di tahun 1986, namun tidak nyatanya tidak tercapai.524 Secara umum gaya manajemen IPTN pada saat itu termasuk pada saat pengembangan N 250 cenderung “top down”, gaya manajemen top down tersebut tidak diimbangi oleh adanya sense of responsibility dari kalangan direktur dan pimpinan teras lainnya. Hal ini menyebabkan pengambilan keputusan sering kali dilakukan secara “single handed”. Gaya kepimpinan tersebut memiliki latar belakang. Pertama, Pak Habibie merasa dirinya (dan memang demikian halnya) sebagai pengemban Tunggal Tugas Mulia yang diberikan oleh Kepala Negara, dan oleh karena itu merasa dirinya adalah satu-satunya yang paling bertanggung jawab. Kedua, Habibie, jugalah yang membuat skenario (strategi) tentang bagaimana IPTN harus dikembangkan sesuai dengan visinya525, bahkan tidak hanya IPTN, Habibie juga dipaksa untuk mampu membuat skenario dan memimpin sembilan industri strategis lainnya.526 Suatu analogi yang khas pernah disampaikan oleh Habibie sendiri, bahwa IPTN diibaratkan sebagai “symphony orchestra” dimana Habibie berperan sebagai “conductor” atau dirgennya dan sekaligus sebagai pembuat partiturnya yang sudah ditentukan. Pengumpaman itu tentunya adalah bermakna suatu “team work” yang kompak dan harmonis. Namun efek samping yang terjadi adalah peranan Sang Dirgen disatu pihak menjadi sangat dominan, sedangkan dilain pihak pemain orkes menjadi kehilangan inisiatif. Dampak dari gaya manajemen tersebut adalah bahwa para Direktur dan pimpinan teras lainnya menjadi kurang memiliki “sense of responsibility” dan cenderung berorientasi vertikal, dalam arti kata bahwa segala sesuatu dilaporkan kepada Direktur Utama (Habibie) tanpa melalui konsultasi terlebih dahulu secara horisontal (staf deliberation). 524
Yuwono, Agustus 2001. loc.cit. h.45 Yuwono, Agustus 2001. loc.cit. h.46, 526 Ceramah Ilmiah Habibie, dalam Hakteknas 19, pada tanggal 8 Agustus 2014, lihat lampiran Lampiran 10. no.24. Analisis Data Hasil FGD/Diskusi Konstruksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam Upgrading Teknologi Pesawat Terbang di GVC 525
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
208
Gaya manajemen top down yang kurang diimbangi dengan bottom up feed back atau arus informasi dua arah ternyata telah berdampak: Pertama, kurangnya “sense of responsibility” tersebut telah menyebabkan tidak terkontrolnya transaksi-transaksi yang sarat akan praktek rent seeking dan opportunistic behavior pada proses pengadaan komponen pesawat terbang, hal ini sebagaimana diakui oleh salah seorang yan pernah terlibat langsung dalam proses pengadaan komponen pesawat terbang IPTN.527 Kedua, gaya manajemen top down tersebut juga telah mengakibatkan timbulnya kesenjangan sosial yang cukup serius yang akhirnya membuahkan perubahan dalam tatanan kerja antara Karyawan dan Manajemen. Salah satu contoh adalah kebijakan dalam menentukan tunjangan khusus atau Ausser Tarrif (AT). Yaitu perlakuan tunjangan yang berbeda antara unit-unit organisasi yang melakukan “core mission/business” dengan unit-unit organisasi yang hanya melaksanakan tugas-tugas penunjang (supporting unit). Perlakuan semacam itu, apalagi tanpa adanya sosialisasi yang baik telah menghilangkan rasa kebersamaan sesama karyawan.528 Senada dengan itu, tentang kelemahan manajemen juga diakui oleh Chandra Adenan (2001)529 salah seorang mantarn Engineer IPTN pada era orde baru, Chandra mengatakan: “bahwa salah satu indikator lemahnya manajemen IPTN pada waktu itu adalah tidak adanya busines sense di tingkat puncak sehingga masalah yang dihadapi dianggap biasa dan tidak mengalir ke tingkat bawah. Segala macam usaha koordinasi hanya menghasilkan kekacauan baru, karyawan tidak siap memasuki dunia bisnis yang keras. Yang terjadi hanyalah saling menyalahkan dan saling lempar tanggung jawab, masing-masing divisi hanya memikirkan eksistensi dan superiornya masing-masing sehingga bisnisnya jadi semakin tidak jelas.530 Nah, rencana pembuatan N 250 adalah dilatarbelakangi oleh kondisi manajemen 527
Diskusi informal dengan Anang Witjaksono, Head of Ref Office Jasa Raharja dan salah seorang yang pernah terlibat dalam proses pengadaan komponen pesawat terbang IPTN pada awal tahun 1990an, di gedung Mochtar-PGT Cikin UI, pada tanggal 11 Desember 2014, lihat lampiran 9. no 37. 528 Yuwono, Agustus 2001. loc.cit. h.46, Wawancara dengan Staf Ahli Kemenristek Bidang Hankam, Ketua Tim Teknis DEPANRI, 2012, Deputi Relevansi dan Produktivitas Iptek 2009-2013, Dr Teguh Rahardjo, tanggal juli 2014. 529 Ibid. 530 Chandra Adenan (2001). h.70
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
209
sebagaimana digambarkan sebelumnya, oleh karena itu, timing pengembangan N 250 apalagi rencana N 2130 dianggap direalisasikan pada saat yang tidak tepat terutama kalau dilihat dengan kegagalan penjualan CN 235 yang sudah menghabiskan jutaan hingga milyaran dolar.” Al haasil, bahwa manajemen IPTN terutama pada saat pengembangan N 250 dikelola dengan tidak professional, jajaran direksi pada waktu itu umumnya diduduki oleh mereka-mereka yang mempunyai banyak pekerjaan lain dan tidak dengan sungguh-sungguh memperhatikan (berkonsentrasi) pada pekerjaannya di perusahaan. “Teladan” yang demikian ini membuat karyawan dalam tingkat lebih bawah juga menganggap bahwa kerja di IPTN dapat dilakukan sebagai sambilan, sehingga mengakibatkan banyak di antara mereka yang mengikuti “keteladanan” tersebut dengan melakukan moon ligthting di tempat lain, bahkan yang merugikan perusahaan, yaitu mereka yang memanfaatkan asset perusahaan untuk kepentingan pribadi.531 Dari ulasan diatas, diketahui bahwa walaupun Habibie sangat lihai dalam membuat partitur (skenario), namun Habibie pada saat itu belum memainkan perannya sebagai Sang Dirgen yang baik. Lemahnya fungsi dirgen tersebut diperparah lagi dengan banyaknya tugas yang rangkap yang dipikul oleh Sang Dirgen waktu itu, lebih kurang 30 tugas rangkap yang dipikul Habibie pada masa orde Baru.532 Walaupun Habibie mengakui jabatan rangkap tersebut terutama pada industri strategis selain IPTN adalah “dipaksa” oleh Presiden Soeharto waktu itu, tentang ini Habibie533 pernah mengatakan: “Sebenarnya saya sekembali dari Jerman hanya ingin fokus untuk mengurusi IPTN, namun Pak Harto memaksa saya untuk memegang semua industri seperti: industri kapal, Kereta Api.....)” Namun demikian terlepas dari faktor lemahnya fungsi dirgen tersebut, tidak fokusnya Habibie juga menjadi faktor yang sulit terbantahkan yang menyebabkan fungsi Dirgen tadi tidak berjalan dengan baik. Hal ini juga diungkapkan oleh salah
531
Djasli Djamarus (2001). PT IPTN yang saya tahu dan PT DI yang saya harapkan. 25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru. h.76 532 Yuwono, Agustus 2001. loc.cit. h.47 533 Lihat Ceramah Ilmiah Habibie, dalam Hakteknas 19, pada tanggal 8 Agustus 2014, lihat lampiran Lampiran 10. no.24. Analisis Data Hasil FGD/Diskusi Konstruksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam Upgrading Teknologi Pesawat Terbang di GVC
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
210
seorang mantan engineer IPTN, yaitu Grek yang saat ini berkerja untuk Perusahaan Boeing Amerika Serikat. Dalam kesempatan berdialog dengan Habibie dalam acara Rossi, 2 September 2010 di Global TV, Grek mengatakan: “saya yakin (kalau) Pak Habibie konsentrasi penuh ke IPTN atau PT DI, ini bakal meningkatkan motivasi dan moral karyawan PT DI sekarang, dan saya yakin, kita pasti bisa membangkitkan industri dirgantara Indonesia lagi...”.534
6.1.3.2.2 Analisis Pengembangan SDM, Infrastruktur & Keuangan IPTN Strategi IPTN dalam pengembangan SDM dinilai masih lemah, khususnya dalam pemberian beasiswa. Diketahui bahwa IPTN memberikan beasiswa di sekolah/universitas yang kurang berkualitas diluar negeri, tanpa bersungguhsungguh memilih sekolah/universitas terbaik.535 Padahal pemilihan universitas terbaik sangat penting baik untuk memperoleh jaringan research and development terbaik maupun untuk memperoleh jaringan lobby yang kuat di negara bersangkutan, karena umumnya para alumni dari lembaga pendidikan terbaik disuatu negara, menempati posisi penentu kebijakan dinegara tersebut. Dalam proses pengembangan pesawat terbang, peningkatan kemampuan SDM IPTN dalam mendesain dan memproduksi pesawat terbang adalah dilakukan melalui empat strategi: yaitu kemampuan menggunakan teknologi dalam proses produksi barang dan jasa, kemampuan integrasi teknologi yang telah ada kedalam desain dan produksi, Pengembangan teknologi desain dan produksi dan riset industri.536 Dalam rangka peningkatan kemampuan SDM tersebut, IPTN bekerjasama baik dengan ITB, BPPT dan Universitas atau Lembaga Riset Internasional.537 Ketika IPTN memulai proyek NC 212 di tahun 1976, jumlah SDM hanya sekitar 860 karyawan, namun ketika IPTN memasuki tahap upgrading II yaitu pengembangan CN 235, jumlah karyawan IPTN menjadi 3.162 orang. Selanjutnya 534
Wawancara yang dilakukan Rosianna Silalahi oleh Global TV dalam acara Rossi, 2 September 2010, http://www.youtube.com/watch?v=n5Y5eWbNVEg. Lihat lampiran 9. no. 35.2 535 Kardono (2001). Fokus PT DI dalam rangkat industri penerbangan untuk meraih keunggulan. h.116 536 Harijono Djojodihardjo dan Darwin Sebayang, 2000. Pembudayaan Iptek melalui pengembangan Iptek Dirgantara Sebagai Salah Satu Ujung Tombak. h.304 didalam buku: Visi, Strategi, Kebijakan, dan Pelaksanaan Iptek, Editor: Darwin Sebayang. 537 FGD III yang dilakukan Kemenristek tentang pengembangan R 80, 3 Oktober 2014
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
211
dalam rangka pengembangan N 250 yang merupakan tahap III yaitu di tahun 1987, jumlah karyawan IPTN naik hingga menjadi 13.300 orang. 538 Penambahan tersebut dilakukan karena dipersiapkan untuk melakukan tahap keempat yaitu pengembangan N 2130. Dari total tersebut masih didominasi dengan pendidikan SI kebawah, sedangkan SDM dengan pendidikan S2 dan
S3 hanya sekitar
masing-masing 37 dan 41 orang.539 Penambahan tersebut semakin tinggi, hingga mencapai 16.000 personil540.Sedangkan SDM Embraer, yaitu pada tahun 1969, ketika Embraer mendesain pesawat EMB 110, SDM Embraer hanya sekitar 589 orang, dan selanjutnya pada tahun 1985, dalam rangka pengembangan EMB 120 sekelas N 250, SDM Embraer hanya sekitar 6,877 orang, yaitu lebih dari dua kali lipat yang terjadi dengan IPTN ketika pengembangan untuk N 250. Sebagaimana yang terjadi dengan IPTN, ketika terjadi krisis ekonomi pada periode 1990-1997, khususnya di tahun 1994, Industri Embraer mengambil kebijakan untuk mengurangi SDMnya hingga tersisa sekitar 1.200 orang (lihat tabel 6.10).541 Data terakhir yang diperoleh menunjukkan bahwa pada tahun 2013, SDM Embraer hanya sekitar 17.009 orang.542
538
Vertesy dan Szirmai ( 2010),loc.cit. h.68
539
B J Habibie, 1994., Progress Report 1974-1994. h. 86-87
540
BJ Habibie, 1995. loc.cit. h.281 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010. loc.cit. h.27. 542 http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer 541
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
212
Tabel 6.10 Perbandingan SDM, Keuangan,dan Produktivitas IPTN vs Embraer (Thousand USD at constant = 2000 prices)
Sumber: Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010 ( 2010), h.68.
Dari
sisi
keuangan
(Gambar
6.8),
ketika
IPTN
melakukan
pengembangan N 250 yaitu di tahun 1987, dengan jumlah SDM yang dimiliki adalah sekitar 12 596 orang, kondisi keuangan IPTN yang dilihat berdasarkan profit dan investasi adalah masing-masing sebesar USD 1.800 dan USD 85.800. Bahkan satu tahun sebelumnya, yaitu di tahun 1986, IPTN mengalami kerugian sebesar USD -16.200. Namun total investasi pada tahun 1986 mencatatkan nilai tertinggi sepanjang periode 1976-1989 yaitu sebesar USD 205.900 (Tabel 6.8). Sedangkan Embraer Brazil, ketika tahun 1985 Embraer mendesain EMB 120, kondisi keuangan Brazil sangat menjanjikan, dengan total tenaga kerja sekitar 1500 orang, perusahaan mendapatkan revenue sekitar USD 250 juta dari ekspor pesawat terbang (Gambar 6.8), dan USD 300 juta dari total penjualan pesawat. Setelah melewati periode krisis keuangan akibat dari resesi global yaitu selama tahun 1990-1997, selanjutnya sejak tahun 1998 hingga 2007, secara keseluruhan baik dilihat berdasarkan penjualan pesawat maupun ekspor pesawat terbang mengalami peningkatan yang cukup tajam.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
213
Gambar 6.8 Tingkat Eksport dan Penjualan Pesawat serta SDM Embraer 1970-2007. (Million USD at constant = 2000 prices) Sumber: Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010.loc.cit, h.23
Dana penelitian pengembangan pesawat terbang IPTN khususnya untuk pengembangan N 250 adalah lebih mengandalkan pada pendanaan pemerintah yaitu melalui kerjasama dengan BPPT, LIPI dan ITB. Oleh karena itu, investasi di sektor penelitian adalah diutamakan untuk penelitian terapan. Sejak tahun 1993-1998, penelitian terapan dengan tema pesawat terbang menduduki peringkat tertinggi dengan total anggaran riset mencapai Rp.14 triliun dibandingkan tema lain yang tergolong pada PUNAS bidang rancang bangun.543 Diantara hasil riset PUNAS-RUT khususnya RUT V (Tahun Anggaran 1998) dan IV (Tahun Anggaran 1997) yang telah dimanfaatkan untuk pengembangan N 250 adalah penelitian perancangan, pembuatan dan pengujian boks komposit dalam proses perancangan dan analisis struktur utama pesawat terbang N 250. Riset tersebut merupakan kolaborasi antara Kementerian Ristek, BPPT dengan IPTN.544Namun, sebagai konsekuensi logis pendekatan riset yang dilakukana IPTN diatas menyebabkan tidak adanya paten individu yang 543
Laporan Kementerian Ristek, 2001. Hasil Monev Manfaat & Dampak RUT-RUK, Bab II RUT, lihat kembali Bab IV. h.140 544 Buku Direktori RUT IV-VI, Kementerian Ristek, 2001 dan lihat kembali Bab IV h.115-117 tentang PUNAS.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
214
dihasilkan PT DI dari pengembangan N 250 selain paten untuk pengembangan desain.545
Gambar 6.9 Belanja dan intensitas litbang Embraer, 1983-2007 (Million USD at constant = 2000 prices) Sumber: Vertesy dan Szirmai ( 2010), h.28
Berbeda halnya dengan Embraer, selain mendapatkan dukungan pendanaan riset dari lembaga pemerintah seperti FINEP maupun The Special Sectariat for Science and Technology546, alokasi dana riset dalam internal perusahaan sendiri cukup besar terutama untuk pengembangan EMB 120. Dua tahun sebelum program pengembangan EMB 120 yaitu dari tahun 1983 dan 1984, belanja penelitian dan pengembangan Embraer sangat tinggi yaitu masing-masing sekitar USD 10 juta; USD 20 juta. Pada tahun 1985, anggaran litbang Embraer naik secara signifikan hingga mencapai USD 80 juta (Gambar 6.9).
545
Lihat wawancara dengan Program Manajer N 219 PT DI, Directorate of technology & Development, Budi Sampurno, pada tanggal 11 Agustus 2014 di BPPT, lihat lampiran 9. no.22.6 546
Carl J. Dahlman dan Calaudio R. Frischtak, 1990. loc.cit, h.14; David Pritchard, 2010. loc.cit, h.10;
Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc.cit. h.29.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
215
Gambar 6.10. Jumlah Paten Granted dalam Bidang Aerospace Sumber: Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, h.28
Tingginya intensitas riset Embraer tersebut kemudian menjadi salah satu faktor yang turut menaikkan perolehan paten granted secara nasional khususnya dibidang aerospace. Tiga tahun sebelum pengembangan EMB 120, perolehan paten
khususnya yang diajukan oleh peneliti-peneliti Brazil mengalaman
kenaikan, dari sekitar dua paten yang dihasilkan masing-masing pada tahun 1983 dan 1984, kemudian naik menjadi 8 paten yang dihasilkan tahun 1985. Tiga tahun setelah pengembangan EMB 120, yaitu pada tahun 1987, perolehan paten semakin naik hingga menjadi 11 paten (Gambar 6.10).
6.1.3.2.3 Analisis Pengembangan Teknologi untuk Pengembangan N 250 IPTN Pada zaman orde baru, pengembangan pesawat N 250 sebenarnya dilakukan dengan pendekatan open innovation547 yaitu dengan memanfaatkan hasil penelitian dasar dari pusat – pusat penelitian di Eropa dan Amerika Utara dalam bidang ilmu dirgantara, ilmu aerodinamik, ilmu aeroelastik, ilmu konstruksi ringan, ilmu rekayasa, ilmu propulsi, ilmu elektronik, ilmu avionik, ilmu produksi,
547
Uraian tentang Open Innovation dapat dilihat pada Bab II h. 69-71
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
216
ilmu pengendalian mutu dsb548. SDM yang terlibat dalam pengembangan tersebut adalah merupakan kerjasama antara ITB, BPPT dengan PT DI. Bahkan dalam rangka Ditching Test N 250, yaitu suatu test kemampuan ngambang di air dilakukan di Inggris.549 Sedangkan strategi yang dilakukan Embraer adalah secara prinsip tidak berbeda jauh dengan yang dilakukan oleh IPTN paling tidak dalam memanfaatkan hasil-hasil riset dari luar perusahaan. Namun, perbedaan yang sangat mencolok adalah pada dua hal. Pertama, kegiatan riset baik dasar maupun terapan sangat intens dilakukan dalam internal perusahaan Embraer, hal ini ditunjukkan dengan besarnya alokasi dana riset serta perolehan paten grantednya. Kedua, intensitas riset internal perusahaan tersebut juga ditopang dengan kemampuan dalam membangun jejaring internasional terutama dalam memanfaatkan sumber-sumber daya asing. Hanya saja dibandingkan IPTN,
Embraer lebih intens dalam
melakukan kerjasama tersebut, mulai dengan team of German aeronautical engineers-Jerman, lembaga riset asing seperti FAMA Argentina, perusahaan Aeronautica Macchi S.p.A.,Italia.550 bahkan dengan General Aviation dan Piper dari Amerika Serikat.551 Secara lebih khusus, sebelum mendesain EMB 120, Embraer yang didukung oleh Pemerintah Brazil meningkatkan kemandirian dalam hal kemampuan teknis, manajerial, kegiatan produksi, kemampuan memasarkan, dan juga kemampuan memasok pasar domestik melalui strategi supplier’s risk sharing investments.552 Strategi tersebut dilakukan untuk menurunkan biaya kegiatan penelitian dan pengembangan dan sekaligus mendapatkan sumber teknologi baru (reduced R&D costs for Embraer and became an important new source of technology).553 548
Presidential - Innovation Lecture Bacharudin Jusuf Habibie Pada Acara HARI KEBANGKITAN TEKNOLOGI NASIONAL 2012 Bandung, 10 Agustus 2012. Reaktualisasi Peran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam membangun Kemandirian Bangsa. h.2 549 FGD III yang diadakan Kemenristek tentang pengembangan R 80, 3 Oktober 2014 550 Embraer juga melakukan supplier’s risk sharing investments produser besar pesawat terbang kecil di Amerika Serikat yaitu Piper, lihat di David Pritchard, September 2010. loc.cit.h.10 551 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.24-25; David Pritchard, September 2010. loc.cit.h.10 552 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit h.29.; Paulo N. Figueiredo (2007). Extending Sanjaya Lall’s Explanatory Framework: Variability in Micro-level Innovation Performance, Changing Institutional Frameworks and the Mediating Role of Strategy Embeddedness in an Emerging Economy Context, h.33, University of Oxford, Department of International Development. Dan secara lebih detail akan dijelaskan pada hal 193 553 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit h.29
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
217
6.1.3.2.4 Analisis Strategi Pengembangan Diferensiasi Pesawat Dalam kasus IPTN, pesawat hasil rancangan tiap tahapan upgrading yaitu mulai dari NC 212, CN 235 yaitu berkisar antara 24 hingga 35 penumpang, pesawat N 250 memiliki dua versi yaitu 50 dan 70 penumpang dan rancangan pesawat long range Jet N 2130 dengan kapasitas diatas 100 penumpang. Jika menengok strategi upgrading pesawat terbang sebagaimana yang ditunjukkan oleh pengalaman Embraer Brazil (Tabel 6.7) diketahui bahwa proses upgrading baik dari pesawat lisensi ke pesawat turboprop desain sendiri, maupun dari turboprop ke Jet tidak serta merta harus beriringan dengan peningkatan kapasitas penumpang. Oleh karena itu, EMB 110 dan EMB 120 masing-masing hanya berkapasitas 19 dan 30 penumpang, bahkan pesawat ERJ 145 jenis jet memiliki dua versi, yaitu pertama dikelas ERJ 145 (Jet) versi 50 penumpang, dan yang menarik adalah pada versi kedua Embraer justru mengeluarkan versi ERJ 145 versi 37 penumpang. Srategi diferensiasi pesawat dengan kapasitas penumpang kecil ternyata cukup berhasil mengantarkan Embraer kembali mencetak keuntungan.554 Bandingkan dengan Indonesia, sebelum benar-benar pesawat N 250 berhasil mendapatkan sertifikasi FAA dan layak secara ekonomis, manajemen melauncing rencana pengembangan pesawat long range jet N 2130. Padahal pengumuman rencana pengembangan N 2130 tersebut adalah dapat diartikan: pernyataan persaingan langsung dengan produsen kelas dunia yaitu Boeing dan Mc Donnel Douglas waktu itu (sebelum mereka merger) yang telah memiliki posisi yang sangat kuat terhadap jaringan pemasok (suppliers) maupun pelanggan (customers) untuk pesawat kelas ini.555 Kekhawatiran tersebut terbukti, jika melihat kasus Embraer. Pada saat Embraer mulai bermain pada kelas 100 penumpang keatas, yaitu ERJ 170, yaitu khususnya sejak periode 2002-2007, pasar pesawat tersebut sangat rendah dibandingkan dengan dua pesawat sebelumnya yaitu EMB 110 dan EMB 120. Produksi ERJ-170 yang menjadi pesaing Boeing dan AirBus
masing-masing
adalah hanya 10 unit pada tahun 2002; 0 unit pada tahun 2003,; 40 unit pada tahun
554
Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.10
555
Kardono (2001). loc.cit. h.116
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
218
2004; 50 unit pada tahun 2005; 30 unit pada atahun 2006; dan semakin turun hingga hanya 10 unit di tahun 2007.556 Selain diferensiasi kapasitas penumpang, pelajaran dari Embraer adalah: pertama, Embraer tidak terburu-buru
dalam hal penggunaan fitur teknologi
canggih seperti teknologi fly by wire. Dalam konteks Embraer, walaupun telah naik ke pesawat jet, namun pada ERJ 145, Embraer belum menginstall dengan fly by wire sebagaimana dengan N 250. Teknologi fly by wire tersebut baru dipasang pada pesawat ERJ-170. Pada kasus IPTN, terpasangnya fly by wire pada N 250 tersebut selain telah menyebabkan harga pesawat tinggi juga menyebabkan kompleksitas proses mendapatkan serfitikasi, baik FAA maupun EASA semakin tinggi.557
6.1.4. Perbandingan Konseptual Model Konstruksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan Untuk Mendorong Upgrading Teknologi dengan Temuan Lapangan Dalam rangka rekonstruksi konsep tiga level hierarki proses kebijakan untuk mendorong upgrading teknologi pada GVC Industri Pesawat Terbang, maka berdasarkan analisis perbandingan konseptual model dengan temuan lapangan, teridentifikasi beberapa temuan sebagai berikut: i. Alur assesment atas outcome dari tiga level hierarki proses kebijakan sebagaimana dalam model Bromley (1989) tidak serta merta hanya kembali pada dua level teratas yaitu level kebijakan maupun level organisasi, bahkan evaluasi kinerja suatu outcome dapat kembali pada perbaikan pada level industri itu sendiri, hal ini dibuktikan dalam konteks upgrading PT DI, bahwa untuk keberhasilan upgrading N 250 tidak hanya diperlukan perbaikan pada level kebijakan maupun level organisasi, bahkan peningkatan kinerja pada level industri sendiri yaitu peningkatan kemampuan manajemen itu sendiri menjadi sangat penting. ii. Konsep kebijakan upgrading teknologi pada GVC Industri Pesawat Terbang (Gereffi, Humphrey dan
Sturgeon, 2005) melalui pengkayaan pada
konsep tiga level hierarki proses kebijakan (Bromley, 1989) dalam rangka 556 557
Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.24 Ibid. h.81
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
219
peningkatan nilai tambah sektor dirgantara adalah: pertama, adanya umpan balik antara level kebijakan dengan level organisasi dalam proses teknokratik dalam penyusunan RPJPN maupun RPJMN. Proses teknokratik yang dimaksud adalah, pada level sektor seyogyanya dapat memberikan masukan atau rekomendasi dalam bentuk naskah akademik pembangunan iptek sektor dirgantara dalam proses teknokratik penyusunan RPJPN maupn RPJPMN yang sebelum akhirnya RPJPN maupun RPJM tersebut selanjutnya menjadi acuan kebijakan sektor dalam penyusunan renstranya. Kedua, dukungan politik pemerintah dalam implementasi kebijakan untuk mendorong upgrading teknologi sangat penting, hal ini membuktikan kebenaran Meriles S. Grindle558 (1980) terkait pentingnya kekuatan politik aktor kebijakan dalam proses implementasi suatu kebijakan. iii. Studi ini juga membuktikan bahwa tingginya intervensi pemerintah baik sebagai regulator dan terutama sebagai pasar utama sebagaimana penelitian Garrefi sendiri pada industri IBM tidak serta merta dikarenakan hanya karena lemahnya kemampuan leadfirm dalam mengkodifikasi produk sebagaimana karakteristik dari tipologi Hierarki.
6.2 Tindakan Perbaikan (Action to Improve the Problem Situation) Dalam tahap keenam SSM, peneliti menentukan perubahan untuk meningkatkan situasi problematik. Perubahan ini harus diinginkan secara sistemik dan disepakati di antara para peneliti (academic advisors, SSM Practisioner dan academic reviewers). Penentuan perubahan ini dapat berupa rekomendasi yang searah dengan research interest penelitian. Kerangka uprading dalam GVC Tigal Level memerlukan sintesa dengan kerangka Tigal Level Hierarki Kebijakan. Setiap level mempunyai logika sistem sendiri sehingga tataran itu bisa berjalan dengan baik, namun setiap tataran dipengaruhi dan mempengaruhi tataran lain. Satu dengan yang lain saling terhubung Institutional Arrangement. Berdasarkan temuan lapangan, bahwa perubahan yang dilakukan pada masing-masing level adalah sebagai berikut:
558
Meriles S. Grindle. 1980. Politics and Policy Implementation in the Third World.h.10
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
220
6.2.1. Perbaikan Pada Level Kebijakan Berdasarkan perbandingan antara konseptual model dengan dunia nyata dalam level kebijakan upgrading N 250, ada beberapa masukan yang harus dilakukan adalah: pertama, mempertegas keperpihakan Rencana Pembangunan Jangka Panjang terhadap isu pembangunan iptek sektor dirgantara dalam UU RPJPN sebagai acuan jangka panjang dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam rangka itu, maka dalam proses teknokratiknya, kemampuan sektor
terkait
terutama
Kementerian
Ristek
dalam
mengarusutamakan
(mainstreaming) pembangunan Iptek khususnya sektor dirgantara dalam proses perancangan RPJPN menjadi sangat penting. Dalam proses teknokratik tersebut, seyogyanya sektor iptek harus membekali diri dengan satu naskah akademik terkait roadmap pengembangan iptek khususnya sektor dirgantara Upaya melakukan mainstreaming tersebut tentunya sekaligus merupakan bentuk implementasi dari Inpres No.3/2003 tentang Pengkoordinasian Perumusan Dan Pelaksanaan Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi, dengan melakukan mekanisme koordinasi antara sektor termasuk antar aktor ABG terutama dalam sektor kedirgantaraan. Dalam rangka itu, Sektor Iptek harus meningkatkan pelaksanaan koordinasinya untuk merumuskan satu roadmap pengembangan teknologi kedirgantaraan yang melibatkan seluruh stakeholder terkait, sehingga roadmap tersebut dapat menjadi naskah akademik yang dapat digunakan sebagai acuan dalam proses teknokratik penyusunan RPJPN (Gambar 6.11).
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
221
<Satu Tahun Sebelum Berakhir RPJP Yang Berlaku>
Diajukan sebagai RUU RPJP Inisiatif Pemerintah
Evaluasi RPJP(-1)
Pemikiran Visioner
Penyelenggara Negara
Dihimpun dan Dikaji
Evaluasi RPJP(-1)
Pemikiran Visioner
Masyarakat
Menteri PPN
Presiden
DPR
Ditetapkan Dengan UndangUndang
Evaluasi RPJP(-1)
Rancangan Awal RPJP Arah Pengembangan Teknologi Kedirgantaraan distated
Rancangan Akhir RPJP Nas
Musrenbang Jangka Panjang
RPJP Nasional
Arah Pengembangan Teknologi Kedirgantaraan diadopsi
Aspirasi Pemangku Kepentingan
Acuan bagi RPJP Daerah
Reoadmap pengembangan Tekno logi Ked irgantaraan
Pemikiran Visioner
Gambar
6.11
Aspirasi Pemangku Kepentingan
Proses
Technoratik
Isu
Kemandirian
Teknologi
Kedirgantaraan dalam Penyusunan RPJP Nasional. Sumber: Diadopsi dari BAPPENAS, 2006
Sebagai penjabaran dalam periode perencanaan, adalah setelah arah pembangunan kedirgantaraan diacu dan dinyatakan dengan tegas dalam RPJP, bersamaan dengan itu pula roadmap pengembangan teknologi kedirgantaraan yang bersifat jangka panjang yang telah disusun oleh kementerian terkait yang selanjutnya diterjemahkan dalam kebijakan lima tahunan dalam bentuk kebijakan strategis nasional Ilmu dan Pengetahuan dan Teknologi (Jakstranas Iptek) yang memuat arah pembangunan iptek persektor beserta Agenda Riset Nasional (ARN) yang memuat rincian topik riset yang mendukung pembangunan iptek sebagaimana
yang
dinyatakan
dalam
Jakstranas
Iptek
dan
Roadmap
Pengembangan Teknologi Kedirgantaraan. Selanjutnya Jakstranas beserta ARNnya tersebut menjadi masukan dalam penyusunan RPJPMN sehingga terjadi integrasi antara arah kebijakan iptek dengan perencanaan pembangunan dan penganggaran (Gambar.6.12).
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
222
Pedoman
Renja Pedoman - KL
RAPBN
APBN
Bahan
Bahan Pedoman RPJM RPJP Nasional Nasional
Dijabarkan
RKP
Pedoman
Diserasikan Melalui Musrenbang
Jakstranas IPTEK dan ARN
Diacu
Rincian APBN
Diacu
Pedoman
Reoadmap pen gembangan Tekno logi Kedirgantaraan
RKAKL
Pemerintah Pusat
Renstra KL
Diperhatikan Dijabarkan RKP Pedoman Pedoman RPJM RAPBD Daerah Daerah Bahan
APBD
Bahan
Pedoman
Diacu
Renstra SKPD
Pedoman
Renja - Pedoman RKA SKPD SKPD
UU SPPN
Rincian APBD
Pemerintah Daerah
RPJP Daerah
UU KN
Gambar 6.12 Proses Integrasi Rencana Kebijakan Iptek dengan perencanaan pembangunan dan penganggaran Nasional. Sumber: Diadopsi dari BAPPENAS, 2006
Selain memperkuat dukungan kebijakan nasional untuk pembangunan sektor dirgantara, dukungan politik pemerintah sangat dibutuhkan tidak semata bersifat jangka pendek bahkan secara jangka panjang sebagaimana karakter dari proses komersialisasi industri pesawat terbang. Dukungan lain adalah dalam bentuk promosi produk pesawat terbang, baik melalui WTO maupun melalui momen-momen
International
Airshow.
Pengalaman
negara-negara
maju
menunjukkan bahwa selain pihak industri, kehadiran agen pemerintah yang memiliki kapasitas sebagai decision maker dalam acara tersebut sangat penting, tidak hanya sebagai momen kampanye produk tetapi yang lebih penting adalah sebagai bentuk upaya membangun jejaring-jejaring baru pada skala internasional baik antara pemerintah maupun dengan mitra industri. 559
559
Hasil wawancara dengan Kepala Perencanaan Perusahaan PT DI, Sony Saleh Ibrahim, dua kali yaitu pada 2 Juni 2014 dan Tanggal 2 September 2014, lihat lampiran 9. no.11
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
223
6.2.2. Perbaikan Pada Level Intersektoral Perbaikan pada level intersektoral adalah membangun sinergi kelembagaan dalam rangka pembangunan iptek sektor dirgantara, sinergi kelembagaan tersebut adalah bersifat lintas sektoral atau kelembagaan sesuai dengan core business masing-masing lembaga (Gambar 6.13). Adapun sinergi kelembagaan tersebut tidak saja terbatas pada empat sektor utama yaitu Sektor SDM dan Infrastruktur pengujian,
Sektor
Riset
dan
Inovasi,
Sektor
Industri,
dan
Sektor
Keuangan/Perbankan, tetapi juga sebagaimana halnya program nasional, maka seharusnya menjadi concern seluruh sektor berdasarkan domain masing-masing, seperti Kementerian BUMN dan Kementerian Perhubungan, yang masing-masing dapat mendukung pada aspek pembinaaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Dukungan pada segala kemudahan sertifikasi kelaikan terhadap pesawat terbang yang dihasilkan oleh Industri. Selain itu, dukungan Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan pada tataran proses komersilasisasi masih sangat diperlukan khususnya terkait pemberian sistem leasing untuk perbankan nasional atau kredit ekspor untuk pembelian luar negeri dan kredit untuk industri-industri komponen pesawat terbang.
Sistem leasing tersebut akan sangat membantu
industri berbasis teknologi seperti PT DI dalam memasarkan produknya baik dalam negeri maupun luar negeri. Sedangkan kredit untuk industri hulu sangat penting, mengingat pada umumnya industri tersebut memiliki kekurangan modal baik untuk investasi peralatan baru yang canggih dan untuk pembiayaan alih teknologi.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
224
Bank Indonesia Sistem Leasing/Kredit Ekspor pesawat terbang
BAPPENAS /Kemenkeu
Kemenristek dan LPNK
Perencanaan dan Pendanaan
Koordinasi Program Riset /Pengembangan Teknologi
Kemendikbud Peningkatan SDM kedirgantaraan
Kementerian Perindustrian
LPDP
Pembinaan dan kebijakan Industri
Pembiayaan riset kebijakan dan program afrimasi nasional
Pengembangan Industri yang memproduksi komponen lokal
PT DI Disain dan Protoype Manufactirung
Kementerian Perhubungan Sertifikasi dan pengguna Sertifikasi Pesawat dan Pelatihan Pilot
PT RAI Kementerian BUMN Pembina BUMN
Disain, Marketing,
Kementerian Perekonomian Koordinasi Kebijakan
Gambar 6.13 Sinergi Kelembagaan dalam mendorong upgrading teknologi Kedirgantaraan. Sumber: Direkonstruksi ulang dan diperkaya dari Paparan Direktur Transportasi BAPPENAS dan Paparan PT RAI dalam FGD yang berbeda yang diselenggarakan Kemenristek masing-masing pada Desember 2012 dan Februari 2014.
Untuk memperkuat sinergi kelembagaan tersebut terutama pada tahap pengembangan teknologi, maka dibutuhkannya model sinergi kelembagaan pendanaan inovasi, karena lembaga pendanaan inovasi yang saat ini yang ada baik Insentif SINas yang dikelola oleh Kementerian Ristek, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang dikelola oleh Kementerian Keuangan serta Hibah DIKTI yang dikelola oleh Kementerian Diknas masih berjalan sendiri-sendiri. Lembaga Pendanaan Insentif Riset SINas yang dibawah koordinasi Kementerian Ristek seharusnya dapat lebih diarahkan pada penguasaan teknologi-teknologi terapan sementara Hibah Dikti dapat lebih digunakan untuk riset yang bersifat membangun capacity building para peniliti, akademisi untuk meningkatkan accademic exellance dibidang kedigantaraan, adapun LPDP dapat digunakan selain riset-riset implementasi kebijakan juga diarahkan pendanaan riset hightech termasuk pembangunan infrastruktur yang memerlukan dukungan pendanaan yang sangat besar dan jangka panjang (Gambar 6.14).
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
225
Insentif Riset SINas-KRT
Pendanaan Sektor Dirgantara Penelitian Terapan
Riset-riset Dasar 7 Bidang Fokus
Riset Pangan dan Energi
Riset-riset sosial, budaya, agama
Penelitian Implementasi Kebijakan dan Affirmasi Nasional
LPDP-Kemenkeu
Peningkatan Kemampuan Peneliti/Perekayasa
Hibah Dikti-Kemendikbud
Gambar 6.14 Sinergi Antar Lembaga Pendanaan Untuk Pengembangan Teknologi Kedirgantaraan Sumber: Hasil Olahan Peneliti
Untuk efektifitas pendanaan inovasi kedepan, disarankan supaya kedepan dibentuk Funding Agency yang bersifat Independen seperti LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan, Kementerian Keuangan), namun kedepan, LPDP hanya sebagai eksekusi pendanaan saja, adapun penentuan tema riset sampai kegiatan seleksi proposal diserahkan ke instansi rerkait (untuk ranah riset –riset pengembangan di Kementerian Ristek) dan untuk ranah riset-riset dasar di Perguruan Tinggi).560 Baik
LPDP561
maupun
pembangunan sektor dirgantara
Hibah
Dikti
sejatinya
akan
mendukung
jika satu program tersebut merupakan satu
program nasional. Bahkan untuk dana LPDP, selain Dana Riset Inovatif produktif (RISPRO) yang diarahkan pada komersialisasi produk dan implementasi kebijakan, LPDP juga telah mengeluarkan pendanaan riset atau inovasi yang bersifat Afirmasi Nasional (Gambar 6.15). Pengajuan program afirmasi nasional 560
Diksusi tentang: Kolaborasi kelembagaan dalam Riset, tanggal 7 Agustus 2014 di Gedung II BPPT lantai 21, Narasumber: Mantan Dirjen Dikti, Satrio Soemantri. lihat lampiran 10. no.18 561 Sebagaimana hasil wawancara dengan Direktur Riset LPDP, M.Sofwan, pada Tanggal 23 Juni 2014.lihat lampiran 9, no.15.2; Juga berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap R. Purwanto, Kasubdit Kerjasama Antar Lembaga, Dit Kelembagaan dan Kerjasama Ditjen Dikti, tanggal 08 Agustus 2014, lihat lampiran 9, no.20
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
226
diawali dari usulan dari Kementerian/Lembaga terkait kesalah satu anggota dari Dewan Penyantun (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Agama), permohonan tersebut akan disetujui selama program tersebut dapat mendukung program nasional. Dana melalui skim ini selain bersifat tidak terbatas baik untuk tema, jumlah dan tahunnya, juga dapat digunakan untuk membangun atau memperkuat infrastruktur pengujian pesawat terbang.562
Memperkenalk an R 80 ke Menristek
Menristek mengajukan surat ke Kementerian Dikbud terkait permohonan pendanaan untuk mendukung R80 melalui LPDP
Kementerian Dikbud akan meminta persetujuan pada dua Dewan Penyantun lainnya, yaitu Kementerian Keuangan dan Kementerian Agama
Persetujuan ketiga Menteri, selanjutnya akan dilakukan pro
LPDP melakukan pengucuran
Gambar 6.15 Proses Pengajuan Program Afirmasi Nasional-Upgrading Pesawat Terbang N 250/R-80 Sumber: Hasil Olahan Peneliti
Salah satu upaya yang dapat membantu sinergi kelembagaan tersebut adalah dengan memperkuat kembali peran DEPANRI (Gambar 6.16), hal ini sebagaimana yang dilakukan di Brazil, karena di Brazil ada satu lembaga yang bernama Brazilian Space Agency (AEB). Lembaga tersebut adalah sejenis DEPANRI yang merupakan bagian dari SINDAE (Sistem Nasional untuk Pembangunan
Kantariksaan)
yang
bertugas
mengkoordinasi
kebijakan
keantariksaan dan kedirgantaraan di Brasil. Secara hierarki, AEB dikontrol oleh Menteri Pertahanan. AEB dipimpin oleh Presiden AEB yang sekaligus juga sebagai ketua Dewan tertinggi yang melaporkan langsung kepada Menristek Brasil.563Dalam konteks Indonesia, mekanisme tersebut akan berjalan kalau
562
Hasil wawancara dengan Direktur Riset LPDP, M.Sofwan, pada Tanggal 23 Juni 2014.lihat lampiran 9, no.15.1 563 Mardianis, November 2013. Quo Vadis Keberadaan DEPANRI?. h.110-111. Media Dirgantara, LAPAN.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
227
Presiden sebagai ketua DEPANRI itu sendiri memilik visi pembangunan sektor dirgantara nasional.564
Presiden
DEPANRI Menristek
Lembaga Pendanaan Inovasi
LPDP Kementerian Keuangan
Hibah DiktiKementerian DIkbud
Insentif RisetKementerian Ristek
Pendanaan Inovasi dari Sektor lain
Gambar 6.16 Lembaga Pendanaan Inovasi Sumber: Hasil Olahan Peneliti
6.2.3. Perbaikan Pada Level Operasional Berdasarkan perbandingan antara konseptual model dengan temuan lapangan, bahwa Industri Pesawat Terbang harus meningkatkan kemampuan produksi beserta strategi pemasarannnya. Untuk itu, sebagai upaya perbaikan pada level ini khususnya pada akvitas““menciptakan jejaring-jejaring baru” dalam bentuk konsorsium inovasi teknologi565 baik dalam maupun luar negeri untuk mencari sumber-sumber permodalan” terutama untuk mengatasi keterbatasan baik SDM, Dana Pengembangan serta fasilitas pengujian yang dibutuhkan.566 Untuk 564
Wawancara dengan Ketua Tim Teknis DEPANRI, 2012, Deputi Relevansi dan Produktivitas Iptek 2009-2013, Teguh Rahardjo, Tanggal 16 September 2014 jam 11.00-11.45 di lt 23. Lihat lampiran 9, no.2.5 565 Konsorsium Inovasi Teknologi dapat mengurangi empat resiko yaitu: Ketidakpastian litbang, Keterbatasan Waktu, kompleksitas teknologi, dengan meintensifkan penggunaan modal dapat mengefisiensikan biaya pengembangan prototipe, mengurangi kendala-kendala operasional. Lihat Gideon Malherbe and Graeme Stanway (2010). Corporate Innovation At Work: Defining the Innovation Consortium. (2010). h.5. Virtual Consulting International Ltd. New York. 566 Airbus adalah adalah salah satu testimoni tentang pentingnya konsorium inovasi teknologi yang melibatkan empat perusahaan produsen pesawat terbang serta pemerintah (yaitu Jerman dan Perancis sebagai leader, Inggris, dan Spanyol), bahkan saat ini konsorsium tersebut bertransformasi menjadi perusahaan saham gabungan dengan nama EADS (The European Aeronautic Defense and Space
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
228
mendapatkan kerjasama dalam hal SDM, fasilitas dan pendanaan, pihak manajemen seharusnya dapat memanfaatkan fasilitas yang disediakan lembaga pendaaan seperti LPDP dengan program afirmasi nasionalnya. Dalam rangka mendapatkan sumber-sumber pendanaan baik untuk riset, fasilitas dan SDMnya dapat melalui pemanfaatan beberapa skim pendanaan inovasi yang ada seperti Insentif Riset SINas Konsorsium, Hibah Dikti dan Hibah LPDP. Skim Insentif Riset Konsorium dapat digunakan terutama untuk melakukan studi atas beberapa teknologi yang belum dikuasai seperti composite structure567 yang terdapat di LIPI, Uji keretakan di BATAN, serta uji Electronic Magnetic Compatibility (EMC) di PTIK-BPPT dll.568 Skim Hibah Dikti dapat dimanfaatkan untuk peningkatan academic exellance para peneliti bidang kedirgantaraan atau terkait, dan skim LPDP selain dimanfaatkan untuk studi tata kelola dan kebijakan juga dapat digunakan untuk studi yang membutuhkan pengadaan insfrastruktur, multiyears dan pendanaan yang relatif tidak terbatas. Hal ini sangat relevan mengingat dibutuhkan revitalisasi beberapa prasana pengujian. Dalam meningkatkan kemampuan TKDN, selain tetap menjaga mitra dengan industri komponen yang telah ada, juga melakukan sharing development cost (konsorsium) dengan industri-industri komponen pesawat terbang dalam negeri. Dalam hal ini, PT DI bekerjasama dengan PT RAI dapat memanfaatkan fasilitas yang ada lingkungan Pemerintah mulai dari skim insentif dan fasilitas yang dapat digunakan. Jika teknologi tersebut benar-benar dapat dikuasai terutama melaui sinergi dalam negeri, maka merupakan satu keunggulan dari sisi
Company) lihat. William Davidson Institute.2008. Airbus and Boeing: The Fight for Hegemony h.2. Strategi konsorsium tersebut ternyat sukses dalam meruntuhkan dominasi Boeing terutama sejak tahun 2007 hingga 2011, lihat Lucy Yi, S. (2013). A Boeing Strategy To Shape A Competitive Advantage: A Phenomenological Study h.179 567 Bahkan bersamaan dengan teknologi radar, jep propulsion, teknologi composite merupakan teknologi masa depan yang sangat penting untuk pengembangan pesawat terbang, tidak hanya untuk pesawat sipil bahkan militer. Lihat. William N. Stryker (2007). Technology Leadership Forecasting And Warning: An Analytic Methodology. Futures Division, Office Of Technology Assessments, Directorate For Intelligence Production,Defense Intelligence Agency. h.459. In Handbook Of Technology Management In Public Administration. Edited by. Jack Rabin and T.Aaron Wachhous, Jr.Taylor and Francis Group. 568 FGD yang dilakukan oleh Kemenristek tentang Persiapan Pembentukan Task force untuk Pengembangan R-80 yang merupakan upgrading dari N 250, 23 Juni 2014 di Gedung 2 BPPT lantai 21
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
229
TKDNnya, karena tidak semata menggunakan Alloy seperti yang telah digunakan di pesawat pendahulunya baik CN 235 maupun N 250. Selain memaksimalkan fasilitas pendanaan dan insentif pemerintah yang telah ada dalam negeri, manajemen juga seharusnya dapat memperkuat jejaring internasional, terutama dalam mendapatkan sharing risk dan pendanaan baik pada pada bidang desain (aero structure) maupun pada kegiatan manufacturing pesawat sehingga tidak mesti bergantung pada pemerintah. Langkah ini sekaligus sebagai bentuk strategi untuk menyakinkan pemerintah terkait kapabilitas industri, yang harapannya dapat memicu semakin tingginya keberpihakan pemerintah dalam meningkatkan penggunaan produk pesawat buatan industri dalam negeri. Bagaimanapun
juga,
pengalaman
Embraer
Brazil
menunjukkan
bahwa
kemampuan pada level manajemen produksi atau kemampuan pada level operasional secara umum belum cukup tanpa adanya dukungan politik pemerintah terhadap produk industri dirgantara itu sendiri. Untuk menunjang keberhasilan pemasaran, sebelum pengembangan pesawat tersebut, perusahaan terlebih dahulu harus melakukan studi kelayakan baik terkait pangsa pasar, posisi pesaing dan pemilihan segment pasar dan lain-lain. Studi kelayakan tersebut juga sangat penting dalam melakukan diferensiasi pesawat untuk merebut segment pasar tertentu terutama dari pesaingnya, baik dengan ATR72-600 buatan Perancis Italia maupun dengan Bombardier atau Dash8-Q-400 Kanada. Jika menengok strategi upgrading pesawat terbang sebagaimana yang ditunjukkan oleh pengalaman Embraer Brazil adalah memberikan dua pelajaran penting: pertama, proses upgrading baik dari turboprop ke Jet tidak serta merta harus beriingan dengan peningkatan kapasitas penumpang yang berpotensi menantang raja-raja dikelas ini (yaitu Boeing dan Airbus), bahkan ERJ 145 jenis jet memiliki dua versi, yaitu pertama dikelas ERJ 145 (Jet) versi 50 penumpang, dan yang menarik adalah pada versi kedua Embraer justru mengeluarkan versi ERJ 145 versi 37 penumpang. Strategi ini ternyata cukup berhasil mengantarkan Embraer kembali mencetak keuntungan.569Kedua, penggunaan fitur teknologi canggih seperti teknologi fly by wire sebaiknya ditunda hingga ekonomi perusahaan membaik, dalam konteks Embraer, walaupun telah naik ke pesawat 569
Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.10
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
230
jet, namun pada ERJ 145, Embraer belum menginstall dengan fly by wire sebagaimana dengan N 250. Teknologi fly by wire tersebut baru dipasang pada pesawat ERJ-170. Pada kasus IPTN, terpasangnya fly by wire pada N 250 tersebut selain telah menyebabkan harga pesawat tinggi juga menyebabkan kompleksitas proses mendapatkan serfitikasi, baik FAA maupun EASA semakin tinggi. Pelajaran ketiga, adalah tiap tahapan upgrading pesawat, seharusnya disertai juga dengan upgrading nilai tambah yang diperoleh dari tiap tahap upgrading tersebut, hal ini merupakan salah satu faktor keberhasilan Embraer dalam upgrading EMB 110 ke EMB 120 yang sekelas N 250. Sebelum beranjak ke EMB 120, sejak 1969 hingga 1983, EMB 110 menguasai pasar domestik dengan total produksi sekitar 3.983 Pesawat atau 265 pesawat per tahun.570. Pelajaran keempat, adalah dibutuhkan dukungan politik jangka panjang dari pemerintah. Ditengah-tengah krisis ekonomi selama 1990-1997571, pemerintah Brazil masih terus memberikan dukungan572 kepada industri Embraer khususnya untuk pengembangan ERJ 145 setipe pesawat N 250. Langkah tersebut membuahkan hasil, karena pada tahun 1996 ERJ 145 berhasil mendapatkan sertifikasi dan melakukan first delivery baik pada pasar domestik maupun pada pasar global.573. Berdasarkan pengalaman Embraer Brazil (Gambar 6.17), bahwa konsistensi antara tiga level hierarki proses kebijakan dari level kebijakan, level organisasi dan level operasionalnya merupakan kunci keberhasilan Industri Embraer dalam upgrading teknologinya termasuk dalam pengembangan pesawat turboprop EMB120 hingga pesawat jet ERJ 145 yang masing-masing sekelas degan pesawat N 250 dan N 2130 yang merupakan rancangan IPTN574 Dan koherensi kebijakan pada tigal level tersebut dapat dilihat dengan konsistensi antar tiga level kebijakan 570
http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia. Harm-Jan Steenhuis Dan Erik J. De Bruijn, (Tanpa Tahun). loc.cit.h.10 572 Bentuk dukungan pemerintah adalah: ketika terjadi resesi global dan dalam masa transisi menuju privatisasi (yang terealisir pada tahun 1994), pemerintah Brazil meminta Lembaga Dana Pensiun untuk men take over Embraer dan kemudian dijual kepada investor Amerika hingga. Upaya tersebut akhirnya dapat menyelamatkan Embraer. (Lihat dialog online bersama mantan Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal melalui mailing list Ikatan Alumni ITB (IA-ITB) pada Rabu (13/4/2011), pukul 21:00 – 02:06. http://leadershipqb.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2450:dialogkepemimpinan-bersama-jusman-syafii-djamal&catid=39%:betti-content&Itemid=30, Diakses pada tanggal 30/12/2014. 573 Steenhuis dan Bruijn, (tanpa tahun).loc.cit.p.10 574 Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.23-44 571
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
231
tersebut. Pada akhir 1960an, kebijakan IPTEK nasional Brasil telah terkoneksi dengan Master Plan Pembangunan Ekonominya. Dan di tahun 1972 di bawah rezim militernya, pemerintah Brazil telah melauncing Arah Pembangunan Ekonomi Nasional dengan menitiberatkan pada penguasaan dan kemandirian teknologi nasional dan salah satunya adalah sektor dirgantara.575
575
Elizabeth Balbachevsky and Antonio Botelho, 2011. loc.cit. h.3-4.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
232
National Plan for Economic Development
Pembangunan Iptek sektor Dirgantara
Kebijakan Sektor Iptek: FINEP, Brazilian Space Agency (AEB) ; ITA, CNPq, CTA, FNDCT
Kebijakan Sektor Industri:
Kebijakan Sektor Fiskal:
The Special Sectariat for Science and Technology
Kebijakan Pro Ex, Bank BNDES
Dukungan Regulasi Arah Pembangunan Iptek untuk upgrading Teknologi yang survival dan berkesinambungan: Pada akhir 1960an, kebijakan IPTEK nasional dan Master Plan Pembangunan Ekonominya telah selaras. Dibawah rezim militernya, sejak 1972, Pembangunan Nasional dititiberatkan pada penguasaan dan kemandirian teknologi aeronautics, informatics, microelectronics, telecomunication and space.
Dukungan Kebijakan Intersektoral untuk upgrading Teknologi yang survival dan berkesinambungan 1946-/47: Mendirikan The Aeronautics Technology Insittute-ITA; dll 1960: Bank-BNDES ; Banco do Brasil 1969: Industri Embraer didirikan bersama industri2 pendukungnya 1988: Pembangunan Advanced Technology Center dll 1980-1985, membangun kemampuan teknologi dari perusahaan domestik termasuk aircraft inndustry. 1993-1996: FINEP, AEB, FNDCT 1991-2000: Pro Ex
Pasar: Pemilihan Segmentasi Pasar untuk pesawat kecil
Strategi Iptek: Konsorsium Inovasi Risk SharingPartnership
Pendanaan: Keuangan Perusahaan sangat kuat
Upgrading Teknologi yang survival dan berkesinambungan Menemukan segmentasi pasar untuk pesawat kecil walaupun kelas jet. Dalam pengembangan Iptek Embraer lebih intens dalam melakukan kerjasama dengan team of German aeronautical engineers-Jerman, lembaga riset asing seperti FAMA Argentina, perusahaan Aeronautica Macchi S.p.A.,Italia. Pada saat mendesain EMB 120: revenue sekitar USD 300 juta dari total penjualan pesawat dll
Gambar 6.17 Model Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan Upgrading Teknologi di Industri Pesawat Terbang Embraer
Dalam kurun waktu 1971-sekarang, sejumlah policy statements atau instrumen kebijakan secara sinergik juga telah dikeluarkan untuk mendukung pembangunan nasional termasuk sektor dirgantara. Instrumen kebijakan pertama adalah dibentuknya lembaga FINEP (Agency for Financing Studies and Projects) yang kemudian sekitar tahun 1985 menjadi Badan Inovasi Nasional dibawah koordinasi Kementerian Riset dan Teknologi. Kedua adalah instrumen Kebijakan disektor Perdagangan dan Perindustrian Teknologi dan Luar Negeri yang diinisiasi oleh Kementerian Perindag dan Luar Negeri. Bentuk kebijakan tersebut
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
233
diantaranya adalah dibentuknya satu badan yang disebut The Special Sectariat for Science and Technology.576Bahkan, baik FINEP maupun The Special Sectariat for Science and Technology sejatinya masing-masing telah beroperasi secara resmi sejak tahun 1971 dan 1972.577 Inti dari kedua kebijakan tersebut adalah menciptakan insentif pajak bagi perusahaan yang melakukan inovasi, hibah kepada perusahaan yang melakukan litbang, dan undang-undang inovasi. Kedua kebijakan tersebut disahkan oleh Kongres Nasional Brazil yaitu Law No.10.973/04 mengenai “ the innovation law” dan Law No.11.196/05 mengenai “the law of good”. “Innovation Law” (2005) merupakan kebijakan yang bertujuan untuk memperkuat interaksi antara perguruan tinggi dan industri; mempromosikan penggunaan infrastruktur iptek oleh perusahaan dan lembaga iptek terutama UMKN; mendorong perusahaan menggunakan teknologi baru hasil riset peneliti; menciptakan pendanaan keuangan untuk hibah riset dan pengembangan serta inovasi dalam perusahaan termasuk aircraft industri-Embraer.578
576
Carl J. Dahlman dan Calaudio R. Frischtak, 1990. loc.cit, h.14; Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc.cit. h.29. 577 Carl J. Dahlman dan Calaudio R. Frischtak, 1990. loc.cit, h.14-; 15; Elizabeth Balbachevsky and Antonio Botelho, 2011. loc.cit. h.3-4. 578 Carl J. Dahlman dan Calaudio R. Frischtak, 1990. loc.cit, h.25; Elizabeth Balbachevsky and Antonio Botelho, 2011. loc.cit. h.9-10.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
234
6.2.4.
Rekonstruksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan supaya
Upgrading Teknologi Pesawat Terbang Domestik yang dihasilkan Melalui Penguasaan Kemampuan Pengembangan Teknologi. Berdasarkan pada hasil penelaahan teoritis serta pengalaman empirik khususnya pengalaman Embraer-Brazil,579 maka kemudian akan dilakukan rekonsktruksi tiga level hierarki proses kebijakan sehingga upgrading teknologi yang dilakukan oleh PT DI Indonesia dapat survival dan berkesinambungan. Model pada gambar 6.19 tersebut adalah model yang distinctive (khas) untuk mendorong uprading teknologi pesawat terbang domestik yang dihasilkan melalui penguasaan kemampuan pengembangan teknologi yang memiliki kompleksitas yang sangat tinggi baik teknologinya maupun proses produksinya seperti program pengembangan pesawat N 219 ataupun program R-80 (upgrading dari N 250). Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 6.18, bahwa keberhasilan upgrading teknologi membutuhkan konsistensi antara tiga level hierarki proses kebijakan, yaitu antar level kebijakan yaitu dalam bentuk regulasi nasional-undang-undang Perencanaan dan Pembangunan Nasional Jangka Panjang dan Jangka Menengah yang memuat pembangunan iptek sektor dirgantara dalam pembangunan nasional. Selain dukungan pada level kebijakan nasional, dukungan politik pemerintah sangat dibutuhkan tidak semata bersifat jangka pendek bahkan secara jangka panjang sebagaimana karakter dari proses komersialisasi industri pesawat terbang. Dukungan lain adalah dalam bentuk promosi produk pesawat terbang, baik melalui WTO maupun melalui momen-momen International Airshow. 579
Pemilihan Embraer Brazil sebagai pembanding untuk memperkaya analisis dilatar belakangi oleh beberapa alasan dan atau kesamaan: pertama, Indonesia dan Brasil sama-sama termasuk dalam kelompok negara berkembang dimana dukungan infrastruktur teknologi masih relatif lemah. Kedua, Baik IPTN maupun Embraer adalah perusahaan yang didirikan atas inisiasi dan dimiliki oleh negara, walaupun akhirnya pada 1994, Embraer diprivatisasi (Dahlman dan Frischtak, 1990; Vertesy dan Szirmai, 2010). Ketiga, tahapan upgrading pesawat yang ditempuh Embraer yaitu dari lisensi, integrasi sehingga pada penguasaan desain pesawat jet adalah sama dengan tahapan IPTN. Keempat, produk pesawat turboprop Embraer EMB-120 dan ERJ 145 adalah masing-masing sekelas dengan pesawat N 250 dan N 2130 IPTN, bahkan permulaan pengembangan EMB 120 (1985) hanya berselang dua tahun dengan dimulainya pengembangan N 250 (1987). Kelima, sebagaimana halnya IPTN, Embraer pada awal berdirinya, juga baru merencanakan pembangunan industri-industri high tech pendukung seperti avibras (missiles), Orbitra (missiles), military equipment, electronic communication equipment, composite materials, dan software (Dahlman dan Frischtak, 1990). Adapun kesamaan Keenam, adalah sama-sama mengalami krisis ekonomi, walaupun Embraer sempat mengalami kerugian sepanjang tahun 1980an hingga 1990an akibat resesi ekonomi global, tidak sebagaimana halnya yang terjadi antara pemerintah Indonesia dengan IPTN yang memberhentikan pengembangan N 250 dan N 2130. Justru ditengah-tengah krisis ekonomi tersebut, pemerintah Brazil masih terus memberikan dukungan terutama pendanaan kepada industri Embraer.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
235
Pada level sektoral, arah pembangunan iptek dirgantara nasional tersebut kemudian juga harus didukung secara sinergis pada kebijakan level organisasi, terutama pada kebijakan sektor iptek dan pendanaan inovasi, kebijakan fiskal, dan kebijakan pada sektor industri. Bentuk dukungan kebijakan sektor iptek adalah dicantumkannya arah pembagunan iptek sektor dirgantara baik dalam dokumen Kebijakan Strategis Nasional Iptek (Jakstranas Iptek) periode 20152019 serta dalam dokumen Agenda Riset Nasional (ARN) 2015-2019. Pada sektor industri, dukungan pembangunan sektor dirgantara adalah dalam bentuk dukungan bimbingan teknologi kepada industri-industri komponen dalam negeri sehingga penguasaan TKDN industri dirgantara minimal 40% dapat tercapai. Jika suatu produk nasional berteknologi tinggi termasuk pesawat terbang mempunyai TKDN 40%, maka produk asing sejenis tidak boleh masuk ke Indonesia.580 Oleh karena itu, melalui ketercapaian penguasaan TKDN 40% dari Industri Pesawat Terbang seharusnya menjadi alasan bagi pemerintah untuk mendukung penggunaan pesawat produksi dalam negeri. Karena, sebagaimana keberhasilan Embraer, baik pada pesawat EMB 110, hingga pesawat EMB 120 dan ERJ 145, dukungan politik pemerintah dalam bentuk pembelian dan penggunaan pesawat produksi dalam negeri adalah faktor kunci survival dan kesinambungan program upgrading teknologi pesawat terbang Embraer. Pada sektor fiskal, keberhasilan Industri Pesawat Terbang Embraer menunjukkan bahwa industri dirgantara sangat membutuhkan insentif pemerintah terutama dalam bentuk tax deduction untuk industri yang melakukan inovasi581, hal ini sejatinya telah diatur dalam pasal 6. UU PPh.582 Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa biaya untuk penelitian dan pengembangan yang dikeluarkan oleh perusahaan dapat dibiayakan untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak. UU PPh tersebut kemudian diatur dalam dua peraturan turunannya yaitu masingmasing dalam PP.No.93/2010 dan PMK 224/PMK.011/2012. Di dalam kedua peraturan tersebut juga dinyatakan bahwa biaya sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia dapat dibiayakan 580
Inpres no 2 thn 2009 tentang Penggunaan Produksi dalam Negeri Lihat hasil wawancara yang dilakukan oleh rtv terhadap Vice Chairman II PT RAI, Ilham Habibie, Awal Juli 2014 di rtv. 582 Lebih lengkap telah diuraikan dalam Tabel 4.1. Dukungan Pembangunan Sektor Kedirgantaraan Pada Level Kebijakan Bab IV h.108 581
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
236
untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak. Selain tax deduction, untuk mendukung penguasaan TKDN 40%, sebagaimana keberhasilan Embraer Brazil, dunia industri pesawat terbang juga membutuhkan adanya insentif pembiayaan baik untuk kredit usaha bagi industri-industri domestik yang bergerak pada komponen pesawat terbang583 maupun sistem leasing untuk pengadaan pesawat terbang dan kredit untuk industri-industri komponen pesawat terbang.584 Selanjutnya, sebagai pengejewantahan pada dua level hierarki proses kebijakan, maka supaya upgrading teknologi pesawat terbang dapat survive dan berkelanjutan pada upgrading teknologi lanjutan, maka sebagaimana ditunjukkan pada gambar 6.21 diatas bahwa Industri Pesawat Terbang khususnya PT DI dituntut untuk melakukan beberapa strategi manajemen bisnis yang sangat diperlukan pertama: pemilihan manajemen yang professional, selain mengerti aspek teknologi juga menguasai manajemen bisnis secara professional terutama dunia industri kedirgantaraan. Kedua, adalah pemilihan segmentasi pasar yang lebih kompetitif, terutama dalam pemilihan jenis pesawat yang cocok untuk infrastruktur bandara yang sederhana. Pengalaman Embraer menunjukkan bahwa, upgrading teknologi pesawat tidak serta merta harus beriringan untuk menaikkan kapasitas penumpang, bahkan walaupun telah mendesain pesawat jet yaitu ERJ 145, namun pesawat ERJ 145 tersebut hanya bermain pada kelas 50 penumpang, bahkan versi kedua dari ERJ 145 justru didesain dengan kapasitas hanya 37 penumpang dan tanpa teknologi fly by wire. Oleh karena itu, sebaiknya pada tahap awal, perusahaan tidak mendesain pesawat dengan fitur canggih seperti fly by wire, karena selain menyebabkan harga semakin mahal juga proses mendapatkan sertifikasi kelaikan udara akan semakin lebih kompleks.
583
Pernyataan ini disampaikan oleh Direktur Utama PT RAI pada saat diskusi informal dalam udiensi dengan Presiden III BJ Habibie dalam rangka Hakteknas 19 di kediaman Beliau di di Jl Patra Kuningan XIII, 14 Juli 2014. Lihat lampiran 10. no.3.2 584 Lihat kembali pernyataan Habibie tentang Sistem Leasing ini di Bab h. 15 dan juga hasil wawancara dengan Kepala Perencanaan Perusahaan PT DI, Sony Saleh Ibrahim Tanggal 2 September 2014, lihat lampiran 9. no.11.12
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
237
Dukungan Regulasi Arah Pembangunan Iptek untuk upgrading Teknologi yang survival dan berkesinambungan:
Mainstreaming pembangunan iptek sektor dirgantara melalui Proses teknoratik penyusunan arah kebijakan pembangunan iptek dalam RPJPN/RPJMN
UU 17/2007 RENCANA PJP 2005-2025 Perpres RPJPMN 2015-2019
Pembangunan Iptek sektor Dirgantara
Dukungan politik secara jangka panjang Pada level internasional, bentuk dukungan pemerintah: seperti melakukan promosi produk nasional baik melalui organisasi WTO maupun pada International Airshow Kebijakan Sektor Iptek:
Dukungan Kebijakan Intersektoral untuk upgrading Teknologi yang survival dan berkesinambungan
JAKSTRANAS IPTEK; ARN Insentif Riset SINas: Hibah Dikti
LPDP
Pendanaan Inovasi:Investasi SDM, Riset dan Infrastruktur
Dicantumkannya Arah Pembangunan Ipek Sektor Dirgantara dalam Dalam UU 17/2007 serta turunannya dalam Perpres RPJMN Tahap 3 dan 4 (2015-2019; dan 2020-2025)
Kebijakan Fiskal: Insentif Fiskal
LPDP; Insentif Riset
Sist Leasing Tax Deduction
Kebijakan Sektor Industri: Bimtek Industri Komponen Pesawat : ACPDN
Membangunan kemampuan industri komponen; Insentif “ Aku Cnta Produk Dalam Negeri (ACPDN), pemberian sistem leasing dan tax deduction untuk Industri Dirgantara; Insentif Kredit u/Industri Komponen Pesawat Skim Insentif Riset Konsorium untuk melakukan studi atas beberapa teknologi yang belum dikuasai seperti composite structure. Hibah Dikti dapat dimanfaatkan untuk peningkatan academic exellance para peneliti bidang kedirgantaraan atau terkait, dan skim LPDP selain dimanfaatkan untuk studi tata kelola dan kebijakan juga dapat digunakan untuk studi yang membutuhkan pengadaan insfrastruktur, multiyears
Pasar: Pemilihan Segmentasi Pasar Yang Lebih Kompetitif
Strategi Iptek: Penguatan Kemamuan Iptek melalui Risk Sharing Partnership
Upgrading Teknologi yang survival dan berkesinambungan
Pendanaan: Konsorsi Inovasi
Menemukan channel-channel pendanaan untuk desain pesawat
Pemilihan Manajemen yang Professional Pengembangan Iptek dengan konsorsium; Meningkatkan kemampuan produksi melalui peningkatan jejaring dengan industri domestik dan internasional. Studi kelayakan yang mencakup strategi pemasaran untuk mengurangi resiko kegagalan pasar.
Gambar 6.18 Model Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan Untuk Mendorong Upgrading Teknologi Pesawat Terbang yang dihasilkan Melalui Penguasaan Kemampuan Pengembangan Teknologi - PT DI
Ketiga, dalam hal pengembangan Iptek, PT DI harus mampu membangun kerjasama
melalui
konsorsium
inovasi.
Keempat,
untuk
meningkatkan
kemampuan produksi, kemampuan pemasaran serta mengurangi resiko kegagalan pasar juga dapat dilakukan dengan meningkatkan jejaring dengan industri domestik dan internasional melalui risk sharing partnership. Untuk menunjang
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
238
keberhasilan starategi bisnis diatas, perusahaan harus mendukungnya dengan satu kajian kelayakan (feasibiliy studies) terkait pesawat yang akan didesain dan diproduksi.
6.2.5. Hasil Rekonstruksi Konsep Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan Untuk Mendorong Upgrading Teknologi Pada GVC Industri Pesawat Terbang -IPTN Berdasarkan temuan lapangan, bahwa setelah proses assesment, hubungan antara tiga level hierarki proses kebijakan terutama antara level kebijakan dengan level organisasi tidak sepenuhnya bersifat hierakis dan linier bahkan terjadi umpanbalik antar kedua level tersebut terutama dalam proses teknokratik dalam penyusunan RPJPN maupun RPJMN. Proses teknokratik yang dimaksud adalah, pada level sektor iptek seyogyanya dapat memberikan masukan atau rekomendasi dalam bentuk naskah akademik pembangunan iptek sektor dirgantara dalam proses teknokratik penyusunan RPJPN maupn RPJPMN yang sebelum akhirnya RPJPN maupun RPJM tersebut selanjutnya menjadi acuan kebijakan sektor dalam penyusunan renstra lembaga. Temuan kedua adalah, selain dukungan pada level regulasi arah pembangunan nasional juga dibutuhkan dukungan politik dari pemerintah, temuan ini sebenarnya menguatkan kesimpulan Meriles S. Grindle585 (1980) bahwa kekuatan politik dari implementor akan menentukan keberhasilan implementasi suatu program. Temuan ketiga adalah, bahwa setelah tahap evaluasi, perbaikan tidak saja pada dua level kebijakan yaitu level kebijakan maupun level organisai, bahkan perbaikan tersebut juga dibutuhkan pada level operasional, hal ini dibuktikan dalam konteks upgrading teknologi dalam konteks PT DI, bahwa untuk keberhasilan upgrading N 250 tidak hanya diperlukan perbaikan pada level kebijakan maupun level organisasi, bahkan peningkatan kinerja pada level industri sendiri yaitu peningkatan kemampuan manajemen itu sendiri merupakan salah satu faktor penting bagi peningkatan nilai tambah upgrading teknologi pesawat terbang N 250.
585
Meriles S. Grindle. 1980. Politics and Policy Implementation in the Third World.h.10
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
239
Temuan keempat adalah, bahwa dalam GVC IPTN khususnya dalam pengembangan N 250 ternyata tidak hiearki murni, karena selain intervensi pemerintah yang tinggi dan jangka panjang, dalam konteks GVC IPTN juga harus diimbangi dengan kemampuan codifiability dari lead firm serta kemampuan supplier dalam memenuhi kebutuhan lead firm. Hal ini sekaligus mengkritisi Gereffi, Humphrey dan Sturgeon (2005) terkait dua kriteria GVC tipologi GVC hierarki yaitu lemahnya kemampuan kodifikasi dari lead firm dan lemahnya kemampuan supplier. Dalam konteks upgrading teknologi industri pesawat terbang, kemampuan kodifikasi dari lead firm dan kemampuan supplier dalam memenuhi requirement yang dibutuhkan lead firm justru sangat tinggi (Gambar 6.19)
GVC tidak murni bersifat hiearki tetapi terdapat dua karakteristik tambahan yaitu:
improvement juga terjadi pada level oerasional
1.Kemampuan lead firm dalam mengkodifikasi transaksi tinggi 2.Kemampuan dari sisi pemasok utama tinggi
Terjadi Umpan balik antara Policy Level dengan Organizational Level
GVC Hierarki
Kebijakan Nasional Pembangunan Iptek Sektor Dirgantara. Kekuatan dukungan politik pemerintah
Sinergi Kebijakan inter sektoral: Riset, Fiskal, Industri dan Lembaga Pendanaan Inovasi
Memperkuat manajemen bisnis dengan: meningkatkan jejaring/risk sharing partnership; konsorsium; memilih segmentasi pasar; studi kelayakan
Gambar 6.19. Hasil Rekonstruksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam Mendorong Upgrading Teknologi Pada Global Value Chain -Tipologi Hierarki
Model Tiga Level Hirarki Proses Kebijakan sebagaimana pada gambar 6.19 tersebut adalah model yang distinctive (khas) untuk mendorong
uprading
teknologi pada industri pesawat terbang yang sarat akan pengembangan high tech dan high investment seperti seperti program pengembangan pesawat N 245 Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
240
(upgrading dari CN 235) ataupun program R-80 (upgrading dari N 250) yang membutuhkan komitmen pemerintah secara holistik dan bersifat jangka panjang, baik dukungan pada tiga level hierarki proses kebijakan maupun dukungan politik.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
241
BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
7.1. Kesimpulan Berdasarkan temuan hasil penelitian, maka dapat diturunkan beberapa kesimpulan dengan merujuk pada pertanyaan penelitian: 1)
Untuk dapat menghasilkan arah kebijakan untuk mendorong upgrading
teknologi industri pesawat terbang komersial yang yang dihasilkan melalui penguasaan kemampuan pengembangan teknologi seperti program pengembangan pesawat N 219 ataupun R-80 (upgrading dari N 250) pada GVC IPTN adalah pertama BAPPENAS, Kemenristek, Komisi VII DPR, dan Presiden secara konsensus seyogyanya memasukkan arah pembangunan sektor dirgantara baik dalam RPJPN maupun dalam RPJPMN. Dalam rangka memasukkan arah pembangunan iptek sektor dirgantara dalam kedua dokumen perencanaan pembangunan nasional tersebut, maka sektor iptek terutama Kementerian Ristek seyogyanya melakukan pengarusutamaan (mainstreaming) pembangunan Iptek khususnya sektor dirgantara dalam proses perancangan RPJPN. Upaya melakukan mainstreaming tersebut tentunya sekaligus merupakan bentuk implementasi dari Inpres No.3/2003 tentang Pengkoordinasian Perumusan dan Pelaksanaan Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dengan melakukan mekanisme koordinasi antara sektor terutama dalam sektor kedirgantaraan
termasuk
antar
aktor
ABG.
Untuk
mendukung
proses
mainstreaming tersebut, sektor Iptek kiranya perlu meningkatkan pelaksanaan koordinasinya dengan merumuskan satu roadmap pengembangan teknologi kedirgantaraan yang melibatkan seluruh stakeholder terkait, sehingga roadmap tersebut dapat menjadi naskah akademik yang dapat digunakan sebagai acuan dalam proses teknokratik penyusunan RPJPN. Upaya menselaraskan antara pembangunan iptek dengan pembangunan nasional adalah salah satu faktor sukses keberhasilan Embraer-Brazil dan Avic China. Selain memperkuat dukungan kebijakan nasional untuk pembangunan sektor dirgantara, dukungan politik pemerintah sangat dibutuhkan tidak semata bersifat jangka pendek bahkan secara jangka panjang sebagaimana karakter dari proses komersialisasi industri pesawat
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
242
terbang. Dukungan lain adalah dalam bentuk promosi produk pesawat terbang, baik melalui WTO maupun melalui momen-momen International Airshow. Pengalaman negara-negara maju menunjukkan bahwa selain pihak industri, kehadiran agen pemerintah yang memiliki kapasitas sebagai decision maker dalam acara tersebut sangat penting, tidak hanya sebagai momen kampanye produk tetapi yang lebih penting adalah sebagai bentuk upaya membangun jejaring-jejaring baru pada skala internasional baik antara pemerintah maupun dengan mitra industri. 2)
Untuk dapat menghasilkan sinergi kebijakan intersektoral untuk mendorong
upgrading teknologi industri pesawat terbang komersial yang yang dihasilkan melalui penguasaan kemampuan pengembangan teknologi seperti program pengembangan pesawat N 219 ataupun R-80 (upgrading dari N 250) pada GVC IPTN membutuhkan sinergi kelembagaan, tidak saja terbatas pada empat sektor utama yaitu Sektor SDM dan Infrastruktur pengujian, Sektor Riset dan Inovasi, Sektor Industri, dan Sektor Keuangan/Perbankan, tetapi juga sebagaimana halnya program nasional, maka seharusnya menjadi concern seluruh sektor berdasarkan domain
masing-masing,
seperti
Kementerian
BUMN
dan
Kementerian
Perhubungan, yang masing-masing dapat mendukung pada aspek pembinaaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Dukungan pada segala kemudahan sertifikasi kelaikan terhadap pesawat terbang yang dihasilkan oleh Industri. Selain itu, dukungan Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan pada tataran proses komersilasisasi masih sangat diperlukan khususnya terkait pemberian sistem leasing untuk perbankan nasional atau kredit ekspor untuk pembelian luar negeri dan kredit pendanaan untuk Industri Komponen Pesawat Terbang. Pengalaman Embraer menunjukkan terdapat empat kebijakan sektor utama yang sangat penting untuk itu, yaitu kebijakan sektor riset dan inovasi, kebijakan sektor fiskal, kebijakan sektor industri, dan kebijakan pada sektor pendanaan riset dan inovasi. Dalam konteks IPTN, saat ini sejatinya dukungan Kebijakan Sektor Industri saat ini sudah cukup kuat dalam mendorong pembangunan sektor dirgantara, kecuali tiga sektor lainnya. Oleh karena itu, hasil penelitian ini merekomendasikan supaya pihak terkait terutama BAPPENAS, Kementerian Keuangan, Kementerian Ristek harus melakukan penguatan pada tiga kebijakan sektor tersebut. Kebijakan sektor
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
243
riset adalah terkait dengan dicantumkannya arah pembangunan iptek sektor dirgantara baik dalam Jakstranas Iptek serta dalam Agenda Riset Nasional. Kebijakan sektor fiskal adalah terutama dukungan sistem leasing dan kredit ekspor dari perbankan nasional untuk pesawat terbang. Sedangkan pada kebijakan sektor pendanaan adalah diperlukannya lembaga pendanaan inovasi yang bersifat independen yang dapat mengkoordinasikan semua pendanaan inovasi yang terdapat di Indonesia baik insentif riset yang dikelola oleh Kementerian Ristek, Hibah Dikti yang dikelola oleh Kementerian Diknas, dan LPDP yang dikelola bersama antara Kementerian Keuangan, Kemendiknas, dan Kementerian Agama. Pendanaan Insentif Riset SINas yang dibawah koordinasi Kementerian Ristek seharusnya dapat lebih diarahkan pada penguasaan teknologi-teknologi terapan sementara Hibah Dikti dapat lebih digunakan untuk riset yang bersifat membangun capacity building para peniliti, akademisi untuk meningkatkan accademic exellance dibidang kedigantaraan. LPDP dapat digunakan selain risetriset implementasi kebijakan juga diarahkan
untuk pendanaan riset hightech
termasuk pembangunan infrastruktur yang memerlukan dukungan pendanaan yang sangat besar dan jangka panjang 3)
Untuk menghasilkan strategi manajemen bisnis untuk mendorong upgrading
teknologi industri pesawat terbang komersial yang yang dihasilkan melalui penguasaan kemampuan pengembangan teknologi seperti program pengembangan pesawat N 219 ataupun R-80 (upgrading dari N 250) pada GVC IPTN adalah dengan melalui peningkatan aktivitas pada rantai nilai baik aktivitas primer maupun aktivitas pendukung. Dalam rangka meningkatkan aktivitas primer yaitu baik kemampuan produksi
maupun pemasaran, perusahaan
seyogyanya
menciptakan jejaring-jejaring baru baik dalam maupun luar negeri untuk mencari sumber-sumber permodalan terutama untuk mengatasi keterbatasan baik SDM, dana pengembangan serta fasilitas pengujian yang dibutuhkan. Selain dari sisi pemasaran, berdasarkan studi kelayakan yang telah dilakukan, PT DI juga perlu meningkatkan aktivitas pendukung diantaranya adalah, pertama: pemilihan manajemen yang professional, selain mengerti aspek teknologi juga menguasai manajemen bisnis secara professional terutama dunia industri kedirgantaraan. Kedua, diferensiasi pesawat terutama untuk merebut segmen pasar tertentu dari
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
244
pesaingnya. Jika menengok strategi upgrading pesawat terbang sebagaimana yang ditunjukkan oleh pengalaman Embraer Brazil adalah memberikan beberapa pelajaran penting: pertama, terkait dengan
diferensiasi peswat, dalam kasus
Embraer, proses upgrading baik dari turboprop ke Jet tidak serta merta harus beringan dengan peningkatan kapasitas penumpang. Dalam hal penggunaan teknologi canggih seperti fly by wire, pada tahap awalnya, Embraer tidak segera memasukkan fitur fly by wire walaupun pada tahap upgrading ke pesawat jet ERJ-145. Fly by wire baru di install pada ERJ 170/190. Langkah tersebut tentunya membuat harga pesawat semakin kompetitif. Dalam kasus IPTN, penggunaan fly by wire secara dini khususnya pada pesawat N 250 telah menyebabkan harga pesawat semakin tinggi bahkan proses sertifikasi menjadi lebih kompleks. Kedua, launcing pengembangan pesawat long range jet N 2130 (diatas 100 penumpang), ada baiknya ditunda, karena selain menuntut kemampuan ekonomi perusahaan, juga untuk menghindari persaingan langsung dengan raja dikelas ini yaitu Boeing dan Airbus. Pelajaran ketiga, adalah tiap tahapan upgrading pesawat terbang, seyogyanya disertai juga dengan upgrading nilai tambah yang diperoleh dengan meningkatkan kemampuan produksi, hal ini merupakan salah satu faktor keberhasilan Embraer dalam upgrading EMB 110 ke EMB 120 yang sekelas N 250. Sebelum beranjak ke EMB 120, sejak 1969 hingga 1983, EMB 110 menguasai pasar domestik dengan total produksi sekitar 3.983 Pesawat atau 265 pesawat per tahun. 4)
Rekonstruksi konsep kebijakan upgrading teknologi dalam global value
chain (Gereffi., Humphrey dan Sturgeon, 2005) melalui pengkayaan pada konsep tiga level hierarki proses kebijakan (Bromley, 1989) dalam rangka menjamin terjadinya kemandirian teknologi dirgantara yang dihasilkan melalui penguasaan kemampuan pengembangan teknologi di Indonesia adalah: Pertama, selain dukungan pada level regulasi arah pembangunan nasional juga dibutuhkan dukungan politik dari pemerintah. Artinya pada level kebijakan, untuk keberhasilan industri pesawat terbang nasional, dilakukan pengayaan dengan memasukan konsep Meriles S. Grindle (1980) terkait pentingnya dukungan politik pemerintah. Kedua, dibutuhkannya hubungan dua arah antara level kebijakan dengan level sektoral khususnya sektor riset iptek terutama dalam upaya
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
245
mengarusutamakan (mainstreaming) pembangunan Iptek khususnya sektor dirgantara dalam proses perancangan pembangunan nasional. Dalam rangka itu, sektor Iptek harus meningkatkan pelaksanaan koordinasinya untuk merumuskan satu roadmap pengembangan teknologi kedirgantaraan yang melibatkan seluruh stakeholder terkait, sehingga roadmap tersebut dapat menjadi naskah akademik yang dapat digunakan sebagai acuan dalam proses teknokratik penyusunan RPJPN. Ketiga, selain adanya hubungan dua arah antara level kebijakan dengan level organisasi, rekonstruksi model juga menyangkut adanya improvement pada level operasional. Setelah tahap evaluasi terhadap implementasi kebijakan upgrading dilakukan dan di evaluasi. Pada tahap improvementnya tidak hanya terbatas pada level kebijakan maupun level organisasi semata, bahkan peningkatan kinerja pada level industri sendiri yaitu peningkatan kemampuan manajemen itu sendiri juga diperlukan. Keempat, tipologi GVC Industri Pesawat Terbang yang efektif bagi program upgrading teknologi pesawat terbang sehingga survive dan berkelanjutan adalah bukan hierarki murni, karena dalam konteks upgrading teknologi pesawat terbang, selain kebutuhan atas intervensi pemerintah secara jangka panjang, kebutuhan atas kemampuan lead firm dalam melakukan codifiability dan kemampuan supplier untuk memenuhi requirement lead firm juga sangat tinggi
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
246
7.2. Rekomendasi Berdasarkan temuan lapangan, ada beberapa rekomendasi yang diberikan berdasarkan peran masing-masing aktor dalam proses transformasi: 7.2.1. Saran Untuk Pemerintah: 1.
Jika pemerintah ingin meningkatkan nilai tambah sektor dirgantara khususnya pengembangan pesawat yang dihasilkan melalui penguasaan kemampuan pengembangan teknologi seperti program pengembangan pesawat N 219, N 245 (upgrading dari CN 235) ataupun program R-80 (upgrading dari N 250), maka selain dibutuhkan dukungan secara regulasi juga dibutuhkan dukungan politik pemerintah. Dukungan regulasi adalah dinyatakannya baik dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang
Nasional
(RPJPN)
maupun
dalam
Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Karena melalui pencantuman arah pembangunan iptek sektor dirgantara dalam kedua dokumen tersebut, dapat menjamin dukungan kebijakan pada level sektor untuk pengembangan sektor dirgantara. Selain memperkuat dukungan kebijakan nasional untuk pembangunan sektor dirgantara, dukungan politik secara internasional dari pemerintah juga sangat dibutuhkan terutama dalam melakukan promosi produk pesawat nasional baik melalui
WTO maupun
melalui
momen-momen
International Airshow. Pengalaman negara-negara maju menunjukkan bahwa selain pihak industri, kehadiran agen pemerintah yang memiliki kapasitas sebagai decision maker dalam acara tersebut sangat penting, tidak hanya sebagai momen kampanye produk tetapi yang lebih penting adalah sebagai bentuk upaya membangun jejaring-jejaring baru pada skala internasional baik antara pemerintah maupun dengan mitra industri. 2.
Dalam rangka memasukkan arah pembangunan iptek sektor dirgantara tersebut, Kementerian Ristek sebagai lembaga yang mengkoordinasi kegiatan litbang nasional harus meningkatkan kemampuannya melalui proses teknokratik horisontal, sehingga dapat diperoleh satu konsensus dari semua stake holder terkait arah pembangunan sektor dirgantara kedepan. Untuk memperkuat proses tersebut, Kementerian Ristek Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
247
dibantu dengan Dewan Riset Nasional serta DEPANRI seyogyanya memiliki roadmap pengembangan teknologi dirgantara. Roadmap tersebut sekaligus sebagai pendekatan akademis yang dapat digunakan dalam proses teknoratik dalam proses perumusan RPJPN maupun RPJPMN dengan BAPPENAS dan Kementerian Keuangan. Di dalam Road map tersebut juga harus telah mengakomodir perubahan politik terkini, khususnya arah pembangunan yang termuat dalam Nawa Cita Jokowi JK. 3.
Untuk meningkatkan kemampuan produksi industri pesawat terbang, pemerintah seyogyanya menjadi pasar pertama untuk pemasaran pesawat terbang produk industri dalam negeri misalnya pada penggunaan pesawat N 219, CN 235. Melalui langkah tersebut, tidak hanya meningkatkan cashflow ekonomi industri dalam negeri juga dapat semakin menarik pasar internasional untuk menggunakan produksi industri pesawat terbang dalam negeri.
4.
Untuk meningkatkan kompetisi industri dalam menjual produk pesawat terbang yang dihasilkan, pemerintah seyogyanya dapat memberikan insentif berupa sistem leasing dan kredit ekspor dari perbankan nasional untuk penjualan pesawat terbang.
7.2.2. Saran Untuk PT DI 1.
Untuk
menjaga
kesinambungan
atas
kemampuan
upgrading
teknologinya, PT DI harus melakukan sejumlah program recovery seperti: penguatan design centre; Perekrutan SDM baru; Pembangunan dan atau upgrading infrastruktur; dan melakukan tour of duty. 2.
Untuk keberhasilan upgrading teknologi pesawat terbang, baik untuk pesawat R-80, program N 245 dan program-program sejenis, maka PT DI harus melakukan kajian pemasaran secara mendalam baik terkait potensi ekonomi termasuk posisi pesawat yang merupakan pesaing langsung dari pesawat yang diupgrading.
3.
Pihak manajemen harus meningkatkan kemampuan negosisasinya baik dengan pemerintah maupun dengan pihak investor dalam negeri
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
248
maupun luar negeri, bahwa produk yang akan dikembangkan memang layak tidak hanya secara teknologi tetapi secara ekonomi. Masih termasuk dalam lingkup ini, adalah kemampuan bernegosiasi dengan kalangan perbankan nasional perlu semakin ditingkatkan guna untuk menyakinkan pihak perbankan, bahwa bisnis pesawat terbang adalah bisnis yang menguntungkan. 4.
Pihak
manajemen
harus
benar-benar
mampu
mengidentifikasi
segmentasi pasar yang akan dibidik, hal ini menuntut pihak industri harus mampu menganalisis jenis dan ukuran pesawat yang sangat kompetitif. Seperti halnya pengalaman Embraer, ketika melakukan upgrading dari EMB 110 ke pesawat turbo prop EMB 120, Embraer Brazil tidak langsung bermain pada kelas diatas 50 penumpang yang berkonsekuensi akan head to head dengan raksasa dikelas itu yaitu Boeing dan Airbus, namun EMB 120 tersebut hanya bermain pada kapasitas 30 penumpang. Bahkan ketika upgrading ke pesawat jet, Embraer tidak hanya mengeluarkan pesawat ERJ-145 versi 50 penumpang, bahkan kemudian Embraer juga memproduksi ERJ-145 dengan versi 37 penumpang. 7.2.3. Saran Untuk Penelitian Selanjutnya 1.
Penelitian ini memiliki keterbatasan disebabkan analisis dilakukan pada ketiga level hierarkis proses kebijakan, sehingga hal ini terkadang mereduksi aspek pada masing-masing level hierarki proses kebijakan itu sendiri.
2.
Penelitian ini memiliki keterbatasan karena baru menganalisis kebijakan upgrading teknologi pada GVC Tipologi Hierarki, dan menafikan adanya transisi antara tipologi.
3.
Penelitian ini perlu dilanjutkan menganalisis secara mendalam hubungan antara struktur GVC yang menitiberatkan pada koordinasi antara PT DI dengan vendors komponen pesawat terbang dengan struktur internal organisasi PT DI.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
249
4.
Penelitian ini perlu dilanjutkan untuk menganalisis secara mendalam terkait pentingnya nasionalisme teknologi untuk pembangunan sektor dirgantara.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
250
DAFTAR PUSTAKA BUKU Anderson, J.E. (2011). Public Policymaking.Seventh Edition. Wadsworth. Birkland, T.A. Agenda Setting in Public Policy.In Handbook of Public Policy Analysis Theory, Politics, and Methods. Executive Editor Jack Rabin. CRC Press. Bisry, R.M. dan Hidayat, M. (1998). The Role of BPPT In Indonesia’s Technology Development. BPPT. Bromley, Daniel B. (1989). Economic Interest and Institutions: The Conceptual Foundations of Public Policy. New York: Basil Blackwell Inc. Brough, C. (2005). Open Innovation: A New Paradigm For Understanding Industrial Innovation, Chapter 1. Oxford University Press, 2006. ----- et. al (2011). Open Innovation And Public Policy In Europe. Esade Business School & The Science I Business Innovation Board Aisbl. Cattaneo, Gereffi, dan Staritz (2010). Global Value Chains in a Postcrisis World: A Development Perspective. The World Bank. Washington, DC Checkland, Peter (1999). Soft Systems Methodology: A 30 – year Retrospective, Willey, Chichester. ------ and Scholes. (1990). Soft Systems Methodology in Action. England: John Wiley & Sons Ltd. ------ and Poulter, J. (2006). Learning for Action: A Short Definitive Account of Soft Systems Methodology and its use for Practitioners, Teachers, and Students. England: John Wiley & Sons Ltd. Commission Staff Working Document (2013). EU 2013 Report On Policy Coherence For Development. European Commission. Djojodihardjo, H. (2000). Visi, Strategi, Kebijakan, dan Pelaksanaan Iptek, Editor: Darwin Sebayang. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. ------------------ dan Sebayang, D. (2000). Pembudayaan Iptek melalui pengembangan Iptek Dirgantara Sebagai Salah Satu Ujung Tombak. h.304 didalam buku: Visi, Strategi, Kebijakan, dan Pelaksanaan Iptek, Editor: Darwin Sebayang. Dye, T. R. (2002). Understanding Public Policy. New Jersey: Prentice Hall
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
251
Etzkowitz, H. (2008). The Triple Helix: University–Industry–Government Innovation in Action. Routledge. Flood RL. (1999). Rethinking The Fifth Discipline. Learning With in The Unknowable. Routledge, London. Figueiredo, P.N. (2007). Extending Sanjaya Lall’s Explanatory Framework: Variability in Micro-level Innovation Performance, Changing Institutional Frameworks and the Mediating Role of Strategy Embeddedness in an Emerging Economy Context, University of Oxford, Department of International Development. Gabrielian, V., Yang, K., dan Spice, S. (1999). Qualitative research methods. In Gerald J.Miller and Marcia L. Whicker (Eds.). Handbook of Research Methods in Public Administration. New York: Marcel Dekker, Inc Grindle, M.S. (1980). Politics and Policy Implementation in the Third World. Princeton University Press and Princeton New Jersey Habibie, B.J.. (1994). Progress Report Prof.Dr.-Ing. Dr.Sc.h.c. Bacharuddin Jusuf Habibie In Assting The President of The Republic of Indonesia/The MPR Mandatory H.Muhammad Soeharto. 1974-1994. -----------------. (1995). Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Pembangunan Bangsa: Menuju Dimensi Baru Pembangunan Indonesia. CIDES. Hatch, M.J. (1997). Organization Theory: Modern, Symbiotic, and Postmodern Perspective. Oxford University Press. Humphrey dan Scmitz (2000). Governance and Upgrading: Lingking Industrial Cluster and Global Value Chain Research , IDS Working Paper 120. Howlett, M. and Ramesh, M. (2003). Studying Public Policy: Policy cycles and policy subsystems. Second Edition. Oxford: Oxford University Press. Irahali, Lili. (2001). Dirgantara Indonesia dalam Perspektif Sejarah. 25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab. Kahn, M., Martins de Melo, L., and Pessoa de Matos, M.G.(2014). Financing Innovation. Routledge. Kaplinsky, R., and Morris, M. (2000). A Handbook For Value Chain Research. Bellagio Workshop in September 2000. Kasali, Rhenald. (2001). Dirgantara Berfikir Secara Bisnis. 25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru. h.124. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
252
Kay, A. (2006). The Dynamics of Public Policy: Theory and Evidence Massachhusetts: Edward Elgar Publishing Kian, Wie Thee (2005b). Technology and Indonesia’s Industrial Competitiveness. ADB Institute. Koesman, Aboeng (2001). Harapan dan Tantangan. 25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru. h.56. Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab Kun-Ming (KM) Tsai (2011). How can companies within global value chains capture value from innovations? Dissertation Doctor of Philosopsy. University of Maryland University College. Liem, L. dan Muhammad, H (2001). Pendidikan Real Time Software Engineering untuk karyawan PT Dirgantara Indonesia. 25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Tim Editor: Purwono, Lili Irahali, Hendramin Djarab. LIPI, Agustus 2006, Indonesian Science and Technology Indicators, LIPI Press, 2006. Lubis, S.B. Hari dan Martani Huseini (1987). Pengantar Teori Organisasi: Suatu Pendekatan Makro. Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi, FISIP UI Lucy Yi, S. (2013). A Boeing Strategy To Shape A Competitive Advantage: A Phenomenological Study. Published by Pro Quest LLC (2013). Maka, A. Makmur (2013). Total Habibie, Kecil Tapi Otak Semua. Momentum Telah Berlalu: Konsipirasi Melawan N 250. Penerbit Edelweiss. Depok. ------------------------- (2012). Biografi Bacharudin Jusuf Habibie: Dari Ilmuan ke Negarawan sampai “Minandito”. PT. THC Mandiri-Jakarta. Majone, G. (2006). Agenda Setting. In The Oxford Handbook Of Public Policy. Edited By Michael Moran, Martin Rein, And Robert E. Goodin. Oxford University Press. Ming Tsai, K. (2012), How can companies within global value chains capture value from innovations?, Dissertation submitted to the Faculty of the Graduate School of the University of Maryland University College, 2012. ProQuest LLC. OECD ( 2009). Policy Coherence for Development,In Manageing Aid: practices of DAC memmber Countries. Chapter 2. --------- (2008). Policy Brief: Policy Coherence for Development – Lessons Learned
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
253
-------- (2009). Building Blocks for Policy Coherence for Development. ----------(2010). The OECD Innovation Strategy: Getting A Head Start On Tomorrow. --------- (2005). Oslo Manual- Guidelines for Collecting And Interpreting Innovation Data Oktaviyanti, D. dkk, 2014. Analisis Analisis Perkembangan Kebijakan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Indonesia dari Era Orde Lama Hingga Era Orde Reformasi. Papiptek-LIPI. Pamungkas, S.B (2014). Ganti Rezim Ganti Sistim - Pergulatan Menguasai Nusantara di BAB II. BJ.Habibie: Menjadi Mangsa Naga Timur dan Barat. El Bisma. Panitia Teknis DEPANRI. (2011). Naskah Akademik Pengembangan Pesawat N219 Untuk Mendukung Transportasi Daerah Terpencil Di Indonesia. LAPAN. Porter, M.E (2001). Cluster of Innovation: Regional Foundation of U.S Competitiveness. Monitor Group on the frontier Council On Competitiveness. ------------------ (1985). Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance. New York: Free Press. Rafiick, I. (2007). Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Sebuah Investigasi 1997- 2007, Mafia Ekonorni, dan Jalan Baru Mernbangun Indonesia, PT. Cahaya Insan Suci Senge, P. (1994). The Fifth Discipline: The Art and Practice of The Learning of Organization.Bantam Doubleday Publishing Group, Inc. Stryker, W.N. (2007). Technology Leadership Forecasting And Warning: An Analytic Methodology. In Handbook of Technology Management In Public Administration. Edited by. Jack Rabin and T.Aaron Wachhous, Jr.Taylor and Francis Group. The World Bank (2010). Innovation Policy A Guide for Developing Countries. The Swiss Agency for Development and Cooperation (SDC). (2012). Putting policy coherence for deveopment into perspective: supporting Switzerland's promotion of PCD in Commodities Migration Tax Commissioned and tax policy. The European Centre for Development Policy Management (ECDPM).
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
254
Uchiyama, Kenichi (2009). A Concise Theoritical Grounding of Action Research:Based on Checkland’s Soft Systems Methodology and Kimura’s Phenomenological Psiciatry. Institute of Business of Daito Bunka University, Japan.
Yuwono, Agustus 2001. Membedah IPTN Antara Visi, Strategi, Harapan, dan Kenyataan. 25 Tahun PT. Dirgantara Indonesia: Membuka paradigma baru. h.46. Tim Editor: Purwono, Lili ahali, Hendramin Djarab. Zuhal. (2010). Knowledge and Innovation: Paltform Kekuatan Daya Saing. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
JURNAL DAN MAKALAH Amir, Sulfikar (2007). Nationalist Rhetoric And Technological Development Indonesian Aircraft Industry In The New Order Regime. Elsevier Anic, I.D., And Mustafa, N.(tanpa tahun). The Apple Industry In Croatia: A Value Chain Analysis Approach. Ekonomski Institut, Zagreb. Balbachevsky, E. and Botelho, A. (2011). Science and Innovation policies in Brazil: a framework for the analysis of change and continuity. Paper presented to the IPSA-ECPR Joint Conference. Brown, K. dan Tiemann, T. (tanpa tahun), EU State Aid Policy and EC – Air Bus Case. Chu Bo, Zhang Hua, Jin Fengjun, 2010. Identification And Comparison Of Aircraft Industry Clusters In China And United States. Science Press, Northeast Institute of Geography and Agroecology, CAS and SpringerVerlag Berlin Heidelberg 2010 Chen, Y. (2010). Value Chain Management Based on Open Innovation Strategy. The 9th International Symposium on Operations Research and Its Applications Djojonegoro, W. (1991). Towards A Science And Technology Policy Approach Supporting Industrial Development Of Indonesia. International Conference on Changing Technology Issues nad Trends of Policy Research. Seoul Korea. Dahlman, C.J. and Frischtak, C.R. (1990). National Systems Supporting Technical Advance In Industry: The Brazilian Experience. The World Bank Industry and Energy Departement.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
255
Etzkowitz, H., dan Leydesdorf, L., (1990). The dynamics of innovation: from National Systems and ‘‘Mode 2’’ to a Triple Helix of university–industry– government relations. Elsevier Research Policy 29. 109–123. Feinson, S. National Innovation System Overview and Country Cases. Center for Science, Policy, and Outcomes Favreau (2009). Business Tactics: Value Chain Advantages. Canadian Forest Industries. Francis, J. G., & Pevzner, A. F./2006. Airbus and Boeing: Strengths and limitations of strong states. http://search.proquest.com/docview/208277954?accountid=35812 Gassmann, O., Enkel, E. (n.d). Towards a Theory of Open Innovation:Three Core Process Archetypes. Institute of Technology Management, University of St. Gallen, Switzerland Gereffi, G., Humphrey, J. & Sturgeon, T. (2005, February). The Governance Of Global Value Chain. Review of International Political Economy, 12(1), 78104. ------ (2010). Global value chains and international competition. The Antitrust Bulletin: Vol. 56, No. 1/Spring 2011 : 37. 2011 by Federal Legal Publications, Inc. ------ (2012). Latin America’s Prospects for Upgrading in Global Value Chains. Center on Globalization, Governance & Competitiveness (CGGC), Duke University. Gillett, D. and Stekler, H.O. (1995). Introducing Technologically Advanced Products: Strategies in the Commercial Aircraft Industry: Comparative Study Boeing and McDonnell-Douglas Corporation in the late 1970s and early 1980s. North-Holland. Hardjosoekarto, S. (2013). Dual Imperatives of Action Research: Lessons from Theoretical Research Practice to Construct Social Development Index by Using Soft Systems Methodology. Human Resource Management Research, 3, 1, 49-53 DOI: 10.5923/j.hrmr.20130301.10. -------------------.. (2012). Construction of social development index as a theoretical research practice in action research by using soft systems methodology. Syst Pract Action Res. DOI 10.1007/s11213-012-9237-9. ..........................; Yovani, N.; Santiar, L. (2013). Institutional Strengthening for the Role of Mass Media in Disaster Risk Reduction in Japan and Indonesia: An Application of SSM-Based Action. Research. Syst Pract Action Res. DOI 10.1007/s11213-013-9282-z.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
256
Humphrey, J. and Scmitz, H. (2002). How does insertion in Global Value Chains Affect upgrading in Industrial Clusters? Regional Studies, Vol. 36.9. Jones, H.G. (1999). Entrepreneurial Success And Failure In The Aviation Industry:The History Of The Waco Aircraft Company. Kaplan, S. and Winby, S. Open Innovation Network Looking outside the organization for fresh ideas and promising new opportunities. http://www.innovation-point.com Kian, Wie Thee (2005a). Policies Affecting Indonesia’s Industrial Technology Development, Sano-Shoin, Hitotsubashi University, Kunitachi, Tokyo. Laporan WTO (1999). Brazil – Export Financing Programme Foraircraft Report Of The Panel. Malherbe, G. and Stanway, G. (2010). Corporate Innovation At Work: Defining the Innovation Consortium. (2010). Virtual Consulting International Ltd. New York. McKendrick, D. (1992). Obstacle to “catch- up”: The case of the Indonesian Aircraft Industry. Bulletin of Indonesian of Economic Studies. Vol 28 No.1, April 1992. McPhee and Wheeler (2006). Making the case for the added-value chain. Emerald Group Publishing Limited. VOL. 34 NO. 4 2006, pp. 39-46, McKay and Marshall, P. (2001). The Dual Imperatives of Action Research. Information Technology & People, Vol. 14 No. 1, 46-59.MCB University Press.http://www.emerald-library.com/ft. Milling, P.M. and Maier, F.H. Dynamic of R&D and Innovation Diffussion Industrieseminar der Universitat Mannheim. Morrison, Pietrobelli dan Rabellotti (2006). Global Value Chains and Technological Capabilities: A Framework to Study Industrial Innovation in Developing Countries. Università Commerciale Luigi Bocconi – CESPRI Via Sarfatti, 25 20136 Milano. Okamoto, Y. and Fredrik Sjöholm, F. (2001). Technology Development In Indonesia.Working Paper No. 124 May 2001. The European Japanese. Institute Pritchard, D. (2010). A Case for Repayable Launch Aid: Implications for the US Commercial Aircraft Supply Chain. Canada-United States Trade Center, Department of Geography, University at Buffalo. Samadikun, S. (1993). Sistem IPTEK Nasional dalam Usaha untuk Meningkatkan Kemampuan Bangsa dalam Bidang Elektronika dan Telekomunikasi. Makalah disampaikan dalam seminar : “Penerapan Teknologi Digital dalam Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
257
Pembangunan Telekomunikasi Era PJPT II” Diselenggarakan oleh: ALTUB – PAJ – YBB – AVARINDO Gedung Indosat. Stewart, T.P. (2007). China’s Industrial Subsidies Study:High Technology. Steenhuis, H.J. and De Bruijn, E.J (2004). High Technology In Developing Countries:Analysis Of Technology Strategy, Technology Transfer, And Success Factors In The Aircraft Industry. ---------------------------------------------------- (2001). Developing countries and the aircraft industry: match or mismatch.Elsevier. Tae Hwan Cho. Challenge In Research and Development For The Korean Aircraft Industry. Chapter Fourteen. Wall, S.E. (2013). Programa de Financiamento às Exportações: An analysis of Brazil’s PROEX export financing program. Wamae, W. (2006). A Survey of Innovation Policies in Developing Countries: Lessons and Case Studies. Policy and Science Program Area. William Davidson Institute, 2008. Airbus and Boeing: The Fight for Hegemony. Published by GlobaLens, a division of The William Davidson Institute at the University of Michigan Williamson, Oliver E. (1975). Markets and Hierarchies: Analysis and Antitrust Implications. New York: The Free Press. --------------. (1985). The Economic Instituions of Capitalism: Firm, Markets, Relational Contracting, New York: The Free Press. --------------. (1994).“Transaction Cost Economics and Organization Theory.”Pages 77-107 in The Handbook of Economic Sociology, edited by Neil Smelser and Richard Swedberg. New York: Russell Sage Foundation Williamson, J (2004). The Washington Consensus as Policy Prescription for Development. p.1. A lecture in the series "Practitioners of Development" delivered at the World Bank on January 13, 2004. Institute for International Economics ------------------- (2004). A Short History of the Washington Consensus. h.2. Paper commissioned by Fundación CIDOB for a conference “From the Washington Consensus towards a new Global Governance,” Barcelona, September 24–25, 2004. Vertesy, D. and Szirmai, A. (2010). Interrupted Innovation: Innovation System Dynamics in Latecomer Aerospace Industries. Globelics. IDRC Innovation.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
258
PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN Republik Indonesia. UU No 1 tahun 2009 Tentang Penerbangan ------------------------ UU 25/2005 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Sisrenbangas) ------------------------ Perpres No. 32 Tahun 2011 tentang Master Plan Percepatan Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3Ei) ------------------------UU. No.17/2007 tentang Rencana Pembangunan Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 ------------------------Undang Undang No.8/1990 tentang Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia ------------------------Perpres No.5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Mengenah (RPJPMN) periode 2010-2014 -----------------------Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara -----------------------Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: II/MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara -----------------------Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 – 2004. -----------------------Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 1993 Tentang Dewan Penerbangan Dan Antariksa ----------------------Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 132 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 99 Tahun 1993 Tentang Dewan Penerbangan Dan Antariksa Nasional Republik Indonesia ----------------------Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1976 Tentang Pembangunan Pusat Penelitian, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi di Serpong LAIN-LAIN BI, Laporan Perekonomian Indonesia 2007. BPS, Juli 2007, Indikator Ekonomi ------, Statistical Year Book, tahun 1983 sampai 2004.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
259
KNRT, Buku Putih Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Iptek KNRT 20052025 ------, Juli 2006, Laporan Survei Lembaga Litbang Pemerintah tahun 2005, Kedeputian Bidang Program Riptek-KNRT, ------, Mei 2006, Laporan Survei Lembaga Litbang Pemerintah tahun 2004, Kedeputian Bidang Program Riptek-KNRT ------. (2001). Direktori RUT IV-VI. ------,(2012), Kajian Kelembagaan Pendanaan Riset & Iptek Nasional. ------, (2013), Kajian Evaluasi ARN 2010-2014 ----- , Jakstranas Iptek 2000-2004. ----- , Jakstranas Iptek 2005-2009 ----- , Agenda Riset Nasional (ARN) 2010-2014. ------, Draft 5 Jakstranas Tahun 2015-2019 ------, Draft Agenda Riset Nasional 2015-2019 Mardianis, November 2013. Quo Vadis Keberadaan DEPANRI?. h.110-111. Media Dirgantara, LAPAN. Media Indonesia Minggu (1995), Edisi 13 Agustus 1995. Membawa Gatotkoco ke Pasar. Diakses lewat http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/08/14/0016.html Sumbodo, S. (2014). XT-400: Proyek Pesawat Komuter yang mati sebelum lahir dalam Majalah Airliner World, Edisi 12 tahun 2014. LAPAN. Sardjadji, Djoko. (2000). Ahli Pesawat dari Lereng Gunung Merapi, http://www.angkasa-online.com/11/01/profil/profil1.htm (1 of 5)12/12/2006 8:29:37. Direktur Teknologi dan Pengembangan PT DI, Andi Alisyahbana. Beberapa catatan bagi arah pengembangan Teknologi Transportasi Tepat Butuh Indonesia. Disampaikan dalam Sidang Paripurna DRN 2014, Juni, 2014. Pidato Menristek Prof Gusti Mummad Hatta dalam acara Lokakarya Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional dengan tema: “Iptek Penerbangan Yang Tangguh Dalam Era Globalisasi”, Jakarta, 20 Desember 2012 dihadapan Anggota KKIP, DEPANRI, LAPAN, LPNK, dan Pelaku Industri.
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
260
Presidential - Innovation Lecture Bacharudin Jusuf Habibie Pada Acara HARI KEBANGKITAN TEKNOLOGI NASIONAL 2012 Bandung, 10 Agustus 2012. Reaktualisasi Peran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam membangun Kemandirian Bangsa http://leadershipqb.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2450: dialog-kepemimpinan-bersama-jusman-syafii-djamal&catid=39%:betticontent&Itemid=30, Diakses pada tanggal 30/12/2014. Dialog online bersama mantan Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal melalui mailing list Ikatan Alumni ITB (IA-ITB) pada Rabu (13/4/2011), pukul 21:00 – 02:06.
https://archive.org/details/KwikKianGie-Cita-citaIndustriStrategis,Cita-cita industri strategis; file audio rekaman wawancara terhadal Kwik Kian Gie yang http://teknologi.kompasiana.com/terapan/2013/03/09/n-250-ungguli-boeing-737belajar-dari-ntsb-540395.html). http://analisismiliter.com, http://teknologi.kompasiana.com/terapan/2013/03/09/n-250-ungguli-boeing-737belajar-dari-ntsb-540395.html. http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_E-Jets. https://id-id.facebook.com/pages/Gerakan-Terbangkan-N250-TeruskanN2130/214383261923875?v=info Company Profile PT Dirgantara Indonesia PT DI, 2014. http://www.stabilitas.co.id/view_articles.php?article_id=197&article_type=0&arti cle_category=5 diakses pada tanggal 12 Agustus 2014. http://www.indonesian-aerospace.com/aboutus.php?m=aboutus&t=aboutus5 http://rzjets.net/aircraft/?typeid=137 Perjanjian Induk Kerjasama antara PT DI dengan PT RAI No. 002/UT0000/05/2013 tentang Pengembangan Pesawat Terbang RegiopropR-8O pada tanggal 3 Mei 2013. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2011). Master Plan Percepatan Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. http://id.wikipedia.org/wiki/Embraer_EMB_120_Brasilia
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
261
Paparan Prof Sofyan Effendi dalam FGD di Kementerian Ristek pada tanggal 10 September 2014. Masukan Kebijakan Strategis Nasional (Jakstranas) Iptek 2015-2019. PT RAI, paparan dengan judul: Program R80 Investasi Bisnis Berbasis Visi. dipaparkan didepan Menristek Prof Gusti Muhammad Hatta pada 2 juni 2014 . FGD Kementerian Ristek, 2012, Paparan Dari Direktur Transportasi BAPPENAS. Berita Resmi Statistik-BPS. No. 14/02/Th. XVI, 5 Februari 2013 FGD Kementerian Ristek, 2013, Paparan dari Direktur Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kemenperin Paparan Direktur Teknologi dan Pengembangan PT DI, Andi Alisyahbana dalam Sidang Paripurna DRN, Juni, 2014. Beberapa catatan bagi arah pengembangan Teknologi Transportasi Tepat Butuh Indonesia Paparan Sekretarsi Dewan Riset Nasional dalam Sidang Paripurna DRN, Juni 2014, Kebijakan Iptek Untuk Indonesia Yang Sejahtera dan Berdaulat Direktur Industri Iptek Dan Parekraf Bappenas, dalam Sidang Paripurna DRN, Juni, 2014. Naskah Teknokratik Pembangunan Iptek RPJMN 2015-2019 Harian Republika, tanggal 3 Desember 1995 dengan judul: IDB akan bantu leasing N 250. Tim sukses calon presiden Jokowi, Dr. Alexander Sonny Keraf, dalam Sidang Paripurna DRN, Juni, 2014. Visi-Misi JW-JK Nawa Cita Joko Widodo- Jusuf Kala, Mei 2014. Visi, Misi, dan Program Aksi: Jalan Perubahan untuk Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian
Universitas Indonesia
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
262
Lampiran 1. Ringkasan Hasil Riset Terdahulu No 1
Peneliti/tahun
Judul
Metode
Hasil
Critical Points
Dalam makalahnya tersebut,
Dalam makalah
Technology Policy
menjelasakan bahwa empat strategi
tersebut telah
Approach Supporting
transformasi industri atau yang dikenal
menjelaskan
Industrial Development of
dengan “ start with the end and end
bagaimana dukungan
Indonesia
with the beginning” dengan salah satu
politik serta
laboratoriumnya adalah IPTN lebih
kelembagaan IPTEK
cocok diterapkan di Indonesia, dengan
beserta BPISnya,
dua asalan:
namun tidak
1. Tahap pertama yang diarahkan pada
menyinggung
Wardiman
Towards A Science and
Dojonegoro/1991
Deskriptif
kemampuan memproduksi, selain
bagaimana
telah jelas memiliki nilai komersial
kesinambungan
juga tidak membutuhkan biaya yang dukungan secara sangat besar terutama untu kegiatan
politik terhadap BPIS
litbang yang memiliki probalitas
termasuk IPTN
gagal yang juga relatif tinggi.
merupakan faktor
Kemampuan pendanaan atau investasi
yang sangat penting.
litbang untuk negara-negara
Yang kedua, analisis
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
263
dalam makalah
berkembang masih sangat lemah
tersebut sangat bersifat umum tidak khusus pada IPTN. 2
Kualitatif
Akumulasi
kemampuan
engineering Studi tersebut lebih
David McKendrick/
Obstacle to “catch- up”:
1992
The case of the Indonesian
dan produksi tidak cukup menjadikan bersifat mikro, belum
Aircraft Industry
IPTN
sukses
dalam
komersialisasi menyinggung bentuk
pesawat terbang komersial (terutama N kebijakan pemerintah dalam komersialisasi
250) nya.
Dalam studinya, McKendrick pesawat terbang menemukan
adanya
kelemahan nasional.
manajemen dalam IPTN dan dalam temuannya,
McKendrick
masih
mempertanyakan dukungan kebijakan (pemerintah) terhadap IPTN terutama terkait tidak adanya badan penerbangan yang
bersifat
independen
serta
lemahnya infrastruktur Iptek. 3
Howard G. Jones,
Entrepreneurial Success
Kualitatif
Peran pemerintah dalam mendorong
Walaupun dalam
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
264
III/1999
And Failure In The Aviation Industry:The History Of The Waco Aircraft Company, 19191963
peningkatan kegiatan litbang bahkan
studi tersebut telah
menjadi pasar pertama bagi industri
menggambarkan
pesawat terbang (untuk aplikasi militer)
hubungan antara
merupakan faktor kunci keberhasilan
pemerintah dan
Industri Pesawat Terbang WACO.
swasta, namun aspek peran pemerintah dalam pengembangan pesawat tersebut masih umum yaitu pada pendanaan litbang dan pemasaran.
4
Yumiko Okamoto dan Fredrik Sjöholm/2001
Technology Development In Indonesia
Kualitatif
Bahwa kegagalan IPTN khususnya N
Walaupun Telah
250 juga disebabkan lemahnya jejaring
Menyinggung
PT DI dengan industri-industri
Pentingnya
pendukungnya.
Dukungan Kebijakan
Kebijakan mendorong industri High
Dalam
Tech akan cenderung gagal tanpa
Mengoptimalkan
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
265
dukungan pembangunan infrastruktur
Channel FDI Dalam
teknologi (baik secara kelembagaan
Upgrading
maupun secara teknis). Dan intervensi
Teknologi, Namun
pada level mikro (industri) akan efektif
Tidak Dijelaskan
jika dukungan infrastruktur dan SDM
Bagaimana Bentuk
yang cukup juga terpenuhi
Dukungan KebijakaN TERSEBUT
5
Francis, J. G., & Pevzner, A. F./2006
Airbus and Boeing: Strengths and limitations of strong
Deskriptive
Diantara bentuk bantuan pemerintah
Belum dijelaskan
analysis
dalam pengembangan industri pesawat
bagaimana dan apa
terbang adalah mulai dari bantuan
dukungan politik
pendanaan riset dan pengembangan,
yang dibutuhkan
pendanaan atau fasilitasi proses
dalam
kontruksi, bantuan SDM, pemasaran,
pengembangan
bantuan pengamanan kontrak penjualan
industri pesawat
luar negeri dll. Bahkan Francis dan
terbang.
Pevzner menekankan bahwa untuk industrial policy untuk industri pesawat terbang harus bersifat jangka panjang.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
266
6
CHU, ZHANG dan JIN/2010
Identification and Comparison of Aircraft Industry Clusters in China and United States
Multivariate Clustering (MC); and Principal Component Analysis (PCA) dan Czamanski′s method
Dalam pengembangan industri aircraft,
Studi Chu, Zhang
pemerintah harus meninggalkan pola
dan Jin masih tidak
tradisional dalam berinovasi menuju
jelas bagaimana
pola yang terbuka serta berorientasi
seharusnya peran
pasar. Selain itu, yang tidak kalah
pemerintah baiak
pentingnya adalah pemerintah harus
dalam konteks
merevitalisasi dan menyempurkan
kebijakan
rencana pembangunan kawasan atau
pembangunan
kluster industri aircraft.
maupun kebijakan inovasinya
7
Kayleigh Brown dan Tobias Tiemann
EU State Aid Policy and EC – Air Bus Case:
Deskriptive analysis
Dukungan pemerintah merupakan
Tidak nampak
faktor keberhasilan Airbush, dukungan
adanya kebijakan
pemerintah tersebut tidak saja secara
inovasi serta
ekonomi yaitu dalam bentuk grant of
bagaimana
subsidies dalam bentuk pengalihan
koherensinya dengan
sewa dari producer asing ke producer
kebijakan ekonomi
domestik) tetapi juga dalam bentuk
serta politik
dukungan politik internasional terutama penetrasi dalam organisasi
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
267
perdagangan dunia (WTO) merupakan dua faktor keberhasilan Airbush.
8
William Davidson Institute/2008
Airbus and Boeing: The Fight for Hegemony
Kualitatif
Dual use civil military technology
Tidak membahas
bersifat symbiotic, pengembangan
pada aspek
pesawat untuk program militer dapat
transformasi industri
mendorong inovasi teknologi canggih,
dari BUMN ke
sementara aplikasi untuk komersial
swasta bagaimana
berkontribusi pada strategi efisiensi dan
masing-masing
reliabilitasnya.
leverage peran pemerintah dalam mendorongnya
9
Suijun (Lucy) Yi/2013 A Boeing Strategy To Shape A Competitive Advantage: A Phenomenological Study
Kualitatif
Lucy merekomendasikan supaya dalam
Penelitian tersebut
creating new idea dan inovasi
tidak menjelaskan
teknologi, membangun kerjasama
bagaimana bentuk
Boeing dengan US Government sangat
peran tersebut.
penting dalam mempertahankan keunggulan Boeing terhadap sejumlah kompetitornya dalam perekonomian
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
268
Global. 10
David Pritchard/2010
A Case for Repayable Launch Aid: Implications for the US Commercial Aircraft Supply Chain
Kualitatif
Pritchard melakukan penelitian
Penelitian tersebut
terhadap sejumlah industri pesawat
sangat kurang
terbang yaitu Boeing Amerika Serikat,
menggambarkan
Airbus Eropa, Bombardier Canada,
secara detil
United Aircraft Corporation (UAC)
bagaimana bentuk
Rusia, COMAC China, Embraer Brasil,
peran pemerintah
Industri Pesawat Terbang Meksiko dan
pada masing-masing
Industri Pesawat Terbang Italia. Dalam
negara tersebut
hasil studi tersebut dijelaskan bahwa
kecuali Brasil.
berdasarkan pengalaman Airbus, Bombardier Canada dll menunjukkan bahwa dukungan pemerintah baik langsung atau tidak langsung sangat penting bagi industri pesawat terbang terutama pada saat launcing pesawat terbang baru di pasaran. Dalam industri pesawat terbang Rusia yang disebut United Aircraft Corporation (UAC),
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
269
polanya sangat sentralistik dan dikontrol langsung oleh negara. China, bentuk dukungan pemerintahnya tertuang dalam rencana pembangunan sepuluh tahun. Brasil terkenal dengan sejumlah koherensi kebijakan inovasi, ekonomi dan pembangunannya, salah satu contohnya adalah kebijakan ProEx dan FINEPnya. Industri pesawat terbang Italia sangat terkenal dengan dukungan pemerintahnya terutama dalam anggaran litbang dan manufacturingnya. Adapun dukungan Pemerintah Mexico dalam pengembangan pesawat terbangnya adalah bentuk dukungan financial. 11
Terence P. Stewart, Esq. Stewart and Stewart/2007
China’s Industrial Subsidies Study:High Technology
Kualitatif
Kebijakan pemerintah China dalam
Dalam aspek makro
mendorong pengembangan industri
sudah diutarakan,
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
270
pesawat terbang tertuang secara tegas
namun pada tataran
baik dalam dokumen semacam Rencana koordinasi kebijakan Pembangunan Jangka Menengah
belum mengemuka.
Nasional (RPJMN) yang disebut sebagai Guideline for National Economic and Social Development periode (2006-2010) maupun secara khusus dalam Rencana Jangka Panjang Pembangunan (RPJP) IPTEKnya atau yang disebut The Guideline for the National Medium- and Long-Term Science and Technology Development Plan (2006-2020). Dan salah satu kebijakan ekonomi China yang mendorong aircraft product manufacturing adalah cross-industry subsidies untuk High Tech Industry. Bahkan selain dukungan pemerintah pusat, pemerintah daerah juga
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
271
mendukung kebijakan tersebut. 12
Steenhuis dan Bruijn/ 2001
Developing countries and the aircraft industry: match or mismatch
Kualitatif
13
Kian Wie Thee/2005a
Policies Affecting Indonesia’s Industrial Technology Development
Kualitatif
Pengalaman IPTN Indonesia menunjukkan bahwa walaupun memiliki kemampuan dalam technology transfer namun tidak diikuti efisiensi produksi dan kemampuan menjual. Adapun kemampuan Brasil dalam desain sangat didukung oleh intensitas kegiatan litbangnya. Dalam kesimpulannya, Steenhuis dan Bruijn menyatakan bahwa Environment (lingkungan kebijakan) merupakan faktor penting bagi keberhasilan pengembangan industri pesawat terbang nasional terutama dalam proses technology transfer
Namun dalam studinya ini, Steenhuis dan Bruijn tidak mengungkapkan bagaimana bentuk kebijakan pemerintah dalam mendorong industri pesawat terbang.
Selain menyinggung dukungan politik Penelitian pemerintah, Tee juga mengkritisi belum tidak adanya
dukungan kebijakan sektor khusus
lainnya seperti keuangan perbankan pesawat
tersebut membahas industri terbang
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
272
atau layanan teknologi terkait standar tetapi secara umum dll
bagi
pengembangan
teknologi pada
industri. 14
Kian Wie Thee/2005b
Technology and Indonesia’s Industrial Competitiveness
Kualitatif
Thee
industri
berbasis teknologi.
mengungkapkan
bahwa pada
Dual track strategi
tahun 1990an sampai sebelum krisis industri yang senada ekonomi 1997/1998, dengan adanya dengan dukungan
politik
yang
kuat
perbedaan
dari antara
Presiden Soeharto, IPTN mendapatkan Habibienomics sejumlah dukungan pemerintah mulai dengan dari
didirikannya Badan Pengelola Widjojonomics, dan
Industri
Strategis
dukungan pendanaan
(BPIS),
sampai tidak mengungkapkan bagaimana seharusnya dukungan kebijakan lainnya
sektor terutama
sektor IPTEK bagi pengembangan industri
pesawat
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
273
terbang nasional. 15
Sulfikar Amir/2007
Nationalist rhetoric and technological development Indonesian aircraft industry in the New Order regime
Kualitatif
16
Hwan Cho
Challenge In Research and Development For The Korean Aircraft Indusrty
Kualitatif
Nasionalisme teknologi adalah suatu bentuk ideologi yang berfungsi pada tiga level yaitu integrasi, legitimasi dan distorsi. Amir menjelaskan bahwa dukungan pemerintah baik secara politik dan pendanaan dalam pengembangan IPTN khususnya pesawata N 250 sangat dilatarbelakangi oleh masih kuatnya semangat nasionalisme pada pakar pengembang teknologi pesawat terbang yang kemudian didukung penuh oleh elit politik tertinggi pada waktu itu. Namun menurut Amir, nasionalisme teknologi masih mengandung paradoks, satu sisi mengusung spirit kemerdakaan yang puncaknya adalah kemandirian teknologi, namun pada sisi lain seolaholah kemerdekaan dimaknai hanya sebatas pada kemandirian teknologi semata. Bahwa untuk mencapai industry
Namun, penelitian tersebut tidak menjelaskan bagaimana kebijakan pemerintah untuk memperkuat nasionalisme tersebut dalam kemandirian teknologi pesawat terbang dalam konteks kekiniian.
Walaupun teleh
pesawat terbang yang memiliki
menyinggung
kelayakan komersial, maka diperlukan
kebijakan Iptek
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
274
dukungan jangka panjang pemerintah
(pendanaan litban)
baik dalam investasi nasional maupun
namun aspek
dukungan secara politik.
kebijakan ekonomi maupun politik. yang diungkap masih bersifat umum
17
Steenhuis and Bruijn.
High Technology In Developing Countries: Analysis Of Technology Strategy, Technology Transfer, And Success Factors In The Aircraft Industry. The Focus Is On Brazil, China, Indonesia And Romania
Kualitatif
Steenhuis dan Bruijn menekankan
Tidak menjelaskan
bahwa komitmen jangka panjang
bagaiamana lesson
pemerintah Brasil dalam mendorong
learned bagi
pengembangan industri pesawat terbang Indonesia dalam khususnya Embraer merupakan salah
kaitannya
satu faktor kunci, karena tidak seperti
bagaiamana
yang terjadi dengan Rumania atau
sejarusnya bentuk
Indonesia, walaupun pada tahun 1980an konkrit peran Embraer dihadapkan pada krisis
pemerintah dalam
ekonomi, namun pemerintah Brasil
melakukan koherensi
berkomitmen untuk terus memberikan
kebijakan Iptek,
dukungan terhadap perusahaan tersebut, Perindustrian dan hasilnya setelah melewati masa-masa
Perkonomian dan
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
275
18
Daniel Vertesy and Adam Szirmai/2010
Interrupted Innovation: Innovation System Dynamics in Latecomer Aerospace Industries
Sistem Dinamik
surive pada sebagian besar dalam
Pembangunannya
periode 1990an, akhirnya pada 1994,
dalam komersialisasi
Industri Embraer kembali profitable.
pesawat terbang
Daniel Vertesy and Adam Szirmai
Penelitian ini tidak
menganalisis peran lingkungan sistem
mengemukan
inovasi sektoral bagi industri
bagaimana simulasi
penerbangan nasional. Studi tersebut
untuk kebijakan
menganalisis empat industri
untuk negara negara
penerbangan di empat negara yaitu
berkembang lainnya
Embraer-Brazil, COMAC-China,
dengan
IPTN- Indonesia dan FMA-Argentina.
benchmarking pada
Salah satu faktor kegagalan Argentina
keberhasilan
selain karena gagalnya privatisasi dan
Embraer Brasil.
kuatnya kontrol militer adalah tidak adanya koherensi kebijakan inovasi, industri, IPTEK, dan Pertahanan yang didukung secara politik. Adapun kegagalan Indonesia, hampir mirip dengan Argentina, yaitu tidak adanya
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
276
kesinambungan dukungan pemerintah baik secara pendanaan dan secara politik, hanya saja IPTN menurut Vertesy dan Szirmai, juga walaupun memiliki kemampuan dalam transfer teknologi, namun kemampuan untuk kegiatan manufacturingnya yang layak secara ekonomi masih rendah. Adapun China maupun Brasil, menurut Vertesy dan Szirmai telah memiliki sejumlah kebijakan yang koheren dan jangka panjang dalam mendorong pengembangan industri pesawat terbang nasional baik pada kebijakan pembangunan ekonomi, politik dan perindustrian, bahkan contoh Brasil menunjukkan komitmen pemerintah tidak hanya pada lingkup domestik bahkan untuk orientasi pasar
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
277
internasional. 19
Tae Hwan Cho
Challenges In Research And Development For The Korean Aircraft Industry
Kualitatif
Industri pesawat terbang harus didukung penuh dengan sejumlah kebijakan yang berkelanjutan seperti dukungan pendanaan litbang, investasi dll)
Belum secara detil kaitan kebijakan lainnya seperti perindustrian, perdagangan bagi komersialisasi pesawat terbang
20
Dave Gillett And H. O. Stekler/1995
Introducing Kualitatif Technologically Advanced Products: Strategies in the Commercial Aircraft Industry: Comparatvie Study Boeing and McDonnell-Douglas Corporation in the late 1970s and early 1980s
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa Perusahaan Pesawat Terbang McDonnell-Douglas Corporation yang memiliki visi militer ketika memproduksi pesawat baru versi sipil lebih tidak sensitif terhadap kemungkikan resiko kegagalan dibandingkan dengan Perusahaan Pesawat Terbang Boeing Aircraft Company yang memang memiliki visi bisnis.
Dalam kajian tersebut tidak mengemukakan bagaimana aspek dukungan pemerintah/kebijakan bagi pengembangan kedua jenis industri yang berbeda visi tersebut.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
278
21
Carl J. Dahlman dan Calaudio R. Frihtak/1990
National Systems Supporting Technical Advance In Industry: The Brazilian Experience
Kualitatif
Koherensi kebijakan inovasi dan
Studi tersebut telah
industri Brasil mulai dirasakan ketika
mengemukakan dua
tahun 1972, pemerintah Brasil
dari tiga fase dari
mendirikan the Special Sectariat for
siklus koherensi
Science and Technology dibawah the
kebijakan (political
Ministry of Industry and Commerce
commitmentt dan
(MIC), dimana badan ini
policy coordination),
mengkonsolidasi dan membantu
namun belum
menjalankan tupoksi MIC terutama
disinggung sejauh
dalam program pendanaan litbang
mana kinerja FINEP
industri, diseminasi informasi teknologi
maupun the Special
dan pengaturan sistem hak dan
Sectariat for Science
kekayaan intelektual-HKI, dan
and Technology
standard.
dibawah the Ministry
Sejak tahun 1973, Pemerintah Brasil
of Industry and
juga mendirikan satu badan yang
Commerce terutama
disebut FINEP (Agency for Financing
dalam
Studies and Projects) guna memberikan
pengembangan
insentif keuangan dalam mendorong
pesawat terbang
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
279
pengembangan kemampuan teknologi
nasional.
industri lokal salah satunya adalah riset industri bidang aeronautics Embraer. Sebagaimana halnya the Special Sectariat for Science and Technology, FINEP juga diarahkan untuk mendorong standar atau sertifikasi terutama untuk standar ekspor.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
280
Lampiran 2 Perbandingan Antar Konseptual Model dengan Dunia Nyata dan Refleksi dengan Teori-Level Kebijakan
No
Aktifitas Model Konseptual
Real World Keluaran (output) Aktifitas Diskripsi Aktifitas (idea atau nilai)
Refleksi Dengan Kerangka Teori
1
Mengumpulkan bahan-bahan evaluasi pembangunan kedirgantaraan pada periode sebelumnya.
Menganilisis hasil Implementasi Kebijakan Dirgantaraan dalam GBHN 1993 dan 1998 dan dalam RPJPN 2005-2025, dan RPJPMN 2005-2009; 2010-2014
Hasil Evaluasi Implementasi Kebijakan Kebijakan Dirgantaraan dalam GBHN 1993 dan 1998 dan dalam RPJPN 2005-2025, dan RPJPMN 2005-2009; 20102014
Dalam kurun waktu tertentu, hasil yang ditetapkan akan ditinjau kembali (assesment) untuk menjadi umpan balik (feedback) bagi semua level kebijakan yang diharapkan sehingga terjadi sebuah perbaikkan atau peningkatan kebijakan (Bromley, 1989)
2
Mengumpulkan pemikiranpemikiran visioner terkait pembangunan Kedirgantaraan
Hasil analisis terhadap isu-isu strategis pembangunan Kedirgantaraan dalam konteks RPJPN
3
Menyusun rancangan awal arah pembangunan Kedirgantaraan
Melakukan serangkaian FGD antara BAPPENAS, Kementerian Ristek bersama Dewan Riset Nasional yang merupakan representatif dari seluruh stakeholder iptek dari semua bidang Iptek untuk menganalisis isu-isu strategis pembangunan Kedirgantaraan Melakukan serangkaian FGD dengan stakeholder terkait terutama dengan BAPPENAS, Kementerian Ristek bersama Dewan Riset Nasional untuk menyusun rancangan awal sebagai masukan untk rancangan RPJPN terkait arah pembangunan Iptek Kedirgantaraan
Proses Penyusunan Kebjakan Dye (1972); Bromley (1989) meletakan fondasi konseptual dari kebijakan publik. Pada masing-masing level,kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat hierarki. Bromley (1989) meletakan fondasi konseptual dari kebijakan publik. Pada masing-masing level,kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat hierarki.
Draft Rancangan Awal arah pembangunan Kedirgantaraan sebagai masukan untuk RPJPN yang juga didalam telah terdapat draft rancangan awal arah pembangunan Kedirgantaraan
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
281
4
Rancangan Awal arah pembangunan Kedirgantaraan selanjutnya dibahas dalam Musrenbang RPJP Nasional yang dihadiri oleh segenap pemangku kepentingan baik dari kalangan akademisi, dunia usaha, lembaga-lembaga nonpemerintah, para penyelenggaran negara, maupun individu yang berminat terhadap pemikiranpemikiran jangka panjang
5
Dengan mempertimbangkan aspirasi para pemangku kepentingan yang tertampung dalam Musrenbang ini, Rancangan Awal arah pembangunan Kedirgantaraan diatas diperbaiki dan kemudian menjadi Rancangan Akhir yang akan dimasukkan dalam RPJP Nasional.
6
Rancangan Akhir RPJP yang telah memuat arah pembangunan Kedirgantaraan tersebut disampaikan ke Presiden dan bila perlu dibahas dalam Sidang Kabinet
Fungsi koordinasi Kementerian Ristek masih sangat lemah, baik melalui Jakstranas maupun melalui instrumen Agenda Riset Nasional, keteracuan para stake holder iptek terhadap kedua dokumen tersebut masih sangat lemah, hal ini menyebabkan bargaining position sektor Iptek dalam Musrenbang menjadi tidak terinterkoneksi antar satu sektor teknis dengan sektor lainnya. Ditambah lagi, bahwa kemenristek tidak sendiri belum memiliki Road Map teknologi yang dapat dijadikan sebagai naskah akademik dalam pembangunan sekttor kedirgantaraan. Pada tahap ini telah didapatkan konsensus terkait arah pembangunan iptek kedirgantaraan dalam Rancangan Akhir RPJPN
Rancangan Awal RPJPN yang juga didalam telah terdapat rancangan akhir arah pembangunan Kedirgantaraan.
Proses Penyusunan Kebjakan Dye (1972), Konsep Koherensi Kebijakan OECD (2008) serta Konsep Grindle tentang pentingnya kekuatan politik para aktor kebijakan
Rancangan Akhir RPJPN yang juga didalam telah terdapat rancangan akhir arah pembangunan Kedirgantaraan.
Proses Penyusunan Kebjakan Dye (1972) Bromley (1989) meletakan fondasi konseptual dari kebijakan publik. Pada masing-masing level,kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat
Pada tahap ini dibangun konsensus pemerintah terkait arah pembangunan iptek kedirgantaraan dalam Rancangan Akhir RPJPN
Rancangan Akhir berdasarkan konsensus pemerintah terhadap arah pembangunan Kedirgantaraan dalam konteks RPJPN
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
282
7
Rancangan Akhir RPJP Nasional Rancangan Akhir RPJP Nasional yang telah memuat arah pembangunan Kedirgantaraan tersebut selanjutnya diajukan ke DPR sebagai Rancangan Undang Undang tentang RPJP Nasional inisiatif Pemerintah. Setelah melewati proses legislasi dan disetujui untuk diundangkan, RPJP Nasional yang baru yang telah memuat arah pembangunan Kedirgantaraan tersebut ditetapkan dengan Undang Undang. RPJP kemudian menjadi acuan dalam penyusunan RPJPMN
Melakukan proses pengajuan legislasi arah pembangunan iptek kedirgantaraan dalam Rancangan Akhir RPJPN
Rancangan UU RPJPN yang didalamnya memuat arah pembangunan iptek kedirgantaraan akan dilakukan legislasi
Melakukan proses legislasi tahap final dan mendapatkan persetujuan DPR
UU RPJPN yang didalamnya memuat arah pembangunan iptek kedirgantaraan ditetapkan.
10
Penyiapan RPJPMN
Melakukan penyiapan rancangan awal RPJPMN berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan RPJPMN sebelumnya
Draft Rancangan Awal arah pembangunan Kedirgantaraan sebagai masukan untuk RPJPMN
11
Penyiapan rancangan yang non teknoratik
Draft rancangan renstra K/L non teknortaik
12
Penyusunan rancangan RPJPMN berdasarkan rancangan renstra KL
Melakukan penyiapan rancangan renstra K/L non teknortaik untuk menjadi bahan acuan awal penyusunan RPJPMN Melakukan penyiapan rancangan awal RPJPMN berdasarkan renstra KL
8
9
rancangan
awal
renstra
Draft Rancangan Awal arah pembangunan Kedirgantaraan sebagai masukan untuk
Mekanisme pasar memerlukan biaya tertentu: menemukan harga yang relevan, negosiasi, dan menegakkan kontrak Williamson (1975,1985,1994), dan Proses Penyusunan Kebjakan Dye (1972).
Bromley (1989) meletakan fondasi konseptual dari kebijakan publik. Pada masing-masing level,kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat Proses Penyusunan Kebjakan Dye (1972), Konsep Koherensi Kebijakan OECD (2008) serta Konsep Grindle tentang pentingnya kekuatan politik para aktor kebijakan
Proses Penyusunan Kebjakan Dye (1972), Konsep Koherensi Kebijakan OECD (2008) serta Konsep Grindle tentang
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
283
13
Pelaksanaan Musrenbang Jangka Menengah Nasional (teknoratik)
14
Penyusunan Rancangan Akhir RPJPMN
15
Penetapan Perpres
16
Sosialisasi Arah Pembangunan Iptek Kedirgantaraan ke Instansi terkait
RPJPMN
dengan
Fungsi koordinasi Kementerian Ristek masih sangat lemah, baik melalui Jakstranas maupun melalui instrumen Agenda Riset Nasional, keteracuan para stake holder iptek terhadap kedua dokumen tersebut masih sangat lemah, hal ini menyebabkan bargaining position sektor Iptek dalam Musrenbang menjadi tidak terinterkoneksi antar satu sektor teknis dengan sektor lainnya. Ditambah lagi, bahwa kemenristek tidak sendiri belum memiliki Road Map teknologi yang dapat dijadikan sebagai naskah akademik dalam pembangunan sekttor kedirgantaraan. Pada tahap ini dibangun konsensus pemerintah terkait arah pembangunan iptek kedirgantaraan dalam Rancangan Akhir RPJMN
RPJPMN bedasarkan pada penelaahan pada renstra KL Draft Rancangan Awal arah pembangunan Kedirgantaraan yang telah diperdalam melalui proses teknoratik
Melakukan proses pengajuan legislasi termasuk arah pembangunan iptek kedirgantaraan dalam Rancangan Perpres
Rancangan Akhir berdasarkan konsensus pemerintah terhadap arah pembangunan Kedirgantaraan dalam konteks RPJMN RPJMN yang didalamnya memuat arah pembangunan iptek kedirgantaraan telah ditetapkan dalam Perpres.
Melakukan sosialisasi terhadap seluruh stakeholder terkait UU RPJPN yang didalamnya memuat arah pembangunan iptek
Telah dilakukan sosilasi terhadap seluruh stakeholder terkait UU RPJPN yang didalamnya memuat arah
pentingnya kekuatan politik para aktor kebijakan Proses Penyusunan Kebjakan Dye (1972), Konsep Koherensi Kebijakan OECD (2008) serta Konsep Grindle tentang pentingnya kekuatan politik para aktor kebijakan
Bromley (1989) meletakan fondasi konseptual dari kebijakan publik. Pada masing-masing level,kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat hierarki. Proses Penyusunan Kebjakan Dye (1972) Bromley (1989) meletakan fondasi konseptual dari kebijakan publik. Pada masing-masing level,kebijakan publik
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
284
kedirgantaraan
pembangunan iptek kedirgantaraan
diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
285
Lampiran 3. Perbandingan Antar Konseptual Model dengan Dunia Nyata dan Refleksi dengan Teori Real World No
1
2
3
4
Aktifitas Model Konseptual
Diskripsi Aktifitas
Keluaran (output) Aktifitas (idea atau nilai)
Refleksi Dengan Kerangka Teori dan/atau implementasi best practices negara lain
Mengadakan FGD yang melibatkan DEPANRI dengan K/L terkait dengan tema rekontruksi Kebangkitan Industri Penerbangan Indonesia Melakukan kajian kebijakan untuk mendukung pengembangan (upgrading) Pesawat Terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia
Melakukan serangkaian FGD dengan stakeholder terkait terutama antar Menristek sebagai wakil ketua DEPANRI, Kementerian Ristek dengan BAPPENAS Melakukan analisis kebijakan pengembangan pengembangan (upgrading) Pesawat Terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia
Terbentuk kesamaan visi dan konsensus dalam pengembangan Industri Penerbangan Nasional
Proses Penyusunan (1972).
Analisis kebijakan terkait upgrading teknologi industri pesawat terbang
Meminta kesediaan DEPANRI untuk mengadakan pertemuan dan membentuk Tim Perumus yang akan merumuskan aspek legal sebagai payung hukum dalam mendukung pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia Melakukan penelahaan terhadap
Melakukan koordinasi untuk membentuk task force dalam pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia
Susunan task force dalam pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia yang melibatkan segenap lembaga pemerintah beserta statke holder lainnnya,
Dalam kurun waktu tertentu, hasil yang ditetapkan akan ditinjau kembali (assesment) untuk menjadi umpan balik (feedback) bagi semua level kebijakan yang diharapkan sehingga terjadi sebuah perbaikkan ataupeningkatan kebijakan (Bromley, 1989); Evaluasi Kebijakan (Dye, 1972). Level hierarki proses kebijakan pada level kebijakan (Bromley, 1989).
Melakukan penelaahan pustaka atas
Hasil penelaahan pustaka atas
Peran
pemerintah,
Kebjakan
industri
Dye
dan
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
286
5
6
bentuk peran antar lembaga dalam mendukung pengembangan pesawat terbang dan pambangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia Melakukan FGD untuk mendesain model sinergi antara lembaga dalam mendukung pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia
Policy Paper “Pembiayaan pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia.
best practice terkait mekanisme kerjasama antara lembaga dalam pengembangan industr pesawat terbang
best practice terkait mekanisme kerjasama antara lembaga dalam pengembangan industr pesawat terbang
Melakukan serangkaian FGD dengan stakeholder terkait yaitu PT DI, PT RAI, LAPAN BAPPENAS, Kementerian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perekonomian guna menyusun sinergi Nasional dalam pengembangan R-80. Menyusun naskah akademik terkait Pembiayaan pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia.
Susunan Tim atau Sinergi Nasional dalam pengembangan antar sektor atau lembaga
Satu Naskah akademik terkait Pembiayaan pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia.
stakholder ekonomi dalam Global Value Chain, terutama Upgrading (Gereffi, Humphrey, dan Sturgeon (2005) Sinergi antara ABG dalam model triple helix (Etzkowitz, 2000). Bromley (1989) meletakan fondasi konseptual dari kebijakan publik. Pada masing-masing level,kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat hierarki.
Lembaga FINEP maupun dan The Special Sectariat for Science and Technology merupakan faktor kunci keberhasilan pengembangan teknologi dirgantara Brazil (Dahlman dan Frischtak, 1990). Bahkan di sektor perbankan, dalam rangka mendukung pembiayaan inovasi, di tahun 1960 didirikan The Brazilian Development Bank-BNDES (Kahn, De Melo, dan De Matos, 2014). Di aspek pemasaran, sejak 1991-2000, telah dikeluarkan Kebijakan ProEx (1991-2000), yaitu Insentif pengurangan bunga sekitar 3,5% atas loan bagi pembeli dari luar negeri. Kebijakan tersebut telah diberlakukan pemerintah Brasil sejak juni tahun 1991
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
287
7
Mendesain sistem pendanaan pengembangan pesawat terbang dan pembangunan infrastruktur pendukung industri Pesawat Terbang di Indonesia
Pada tahap ini telah dilakukan FGD antara Kemenristek dan stakeholder lainnya dengan Kementerian Keuangan untuk membahas sistem pendanaannya
Sistem pendanaan upgrading teknologi pesawat terbang komersial
8
Mendapatkan Persetujuan Departemen Keuangan
Pada tahap ini Sistem pendanaan pesawat terbang komersial R 80 diajukan ke Kementerian Keuangan
9
Mendapatkan Persetujuan DPR.
Melakukan proses legislasi Sistem pendanaan pesawat terbang komersial R 80 yang disetujui DPR
Draft Sistem pendanaan upgrading teknologi pesawat terbang yang disetujui Kementerian Keuangan Mekanisme kolaborasi kelembagaaan dalam upgrading teknologi pesawat terbang komersial telah dilegalisasi
(Pritchard, 2010). Proses Penyusunan Kebjakan Dye (1972) Bromley (1989) meletakan fondasi konseptual dari kebijakan publik. Pada masing-masing level,kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat Konsep Koherensi Kebijakan OECD (2008) serta Konsep Grindle tentang pentingnya kekuatan politik para aktor kebijakan Peran pemerintah, industri dan stakholder ekonomi dalam Global Value Chain, terutama Upgrading (Gereffi, Humphrey, dan Sturgeon (2005) Bromley (1989) meletakan fondasi konseptual dari kebijakan publik. Pada masing-masing level,kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat hierarki.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
288
Lampiran 4. Perbandingan Antar Konseptual Model dengan Dunia Nyata dan Refleksi dengan Teori (Level Operasional).
No
Aktifitas Model Konseptual
Diskripsi Aktifitas
Real World Keluaran (output) Aktifitas (idea atau nilai)
Refleksi dengan Kerangka Teori dan/atau implementasi best practices negara lain
1
Mengukuhkan visi dan misi, yang lebih menitiberatkan pada kemandirian ekonomi.
Analisis visi dan misi, yang lebih menitiberatkan pada kemandirian ekonomi.
Hasil analisis analisis visi dan misi, yang lebih menitiberatkan pada kemandirian ekonomi.
2
Menetapkan prioritas bisnis baik dalam bisnis inti (core) pesawat terbang dan bisnis plasma (non-core) Memperkuat komposisi SDM secara optimal antara non technical dan SDM yang terkait proses industri, engineering, dan pendukung lainnya.
Analisis prioritas bisnis baik dalam bisnis inti (core) pesawat terbang dan bisnis plasma (non-core)
Hasil analisis prioritas bisnis baik dalam bisnis inti (core) pesawat terbang dan bisnis plasma (non-core)
PT DI bersama PT RAI dan Anggota Panitia Teknis DEPANRI mempersiapkan bahan untuk di presentasikan dihadapan Kemenristek sebagai wakil ketua DEPANRI
Hasil Penelaahan terkait roadmap pengembangan pesawat terbang
Akumulasi kemampuan engineering dan produksi menjadikan IPTNadalah sarat perlu untuk sukses dalam komersialisasi pesawat terbang komersial (McKendrick,1992 dengan judul Obstacle to “catchup”: The case of the Indonesian Aircraft Industry);
4
Menargetkan peningkatan delivery core business maupun plasma bisnis
Analisis dokumen pembangunan nasional yang mendukung upgrading teknologi pesawat terbang nasional.
Hasil analisis dokumen pembangunan nasional yang mendukung upgrading teknologi pesawat terbang nasional.
Selain kemampuan dalam technology transfer, juga faktor keberhasilan industri pesawat terbang adalah pada kemampuan efisiensi produksi dan kemampuan menjual (Steenhuis dan Bruijn, 2001)
5
Mengembangkan Strategi pemasaran/penjualan
Menyiapkan pemasaran/penjualan
Hasil analisis pemasaran/penjualan
3
Strategi Jangka
Perusahaan Pesawat Terbang McDonnell-Douglas Corporation yang memiliki visi militer ketika memproduksi pesawat baru versi sipil lebih tidak sensitif terhadap kemungkikan resiko kegagalan dibandingkan dengan Perusahaan Pesawat Terbang Boeing Aircraft Company yang memang memiliki visi bisnis (Gillett dan Stekler, 1995). Mengembangkan core business yang semula hanya aircraft designer juga ke arah system assembler (Dahlman dan Frischtak 1990; Vertesey dan Szirmai, 2010
studi 1. Menemukan segmentasi pasar yaitu menganalisis Jangka jenis pesawat yang cocok (Dahlman dan Frischtak
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
289
Jangka Panjang berdasar pada pendekatan “segmentation, targeting, positioning, and Differentiation”
6
Melakukan konsorsium inovasi baik dengan industri lainnya maupun dengan lembaga riset baik dalam negeri maupun luar negeri untuk mendapatkan sharing pendanaan, resiko investasi, SDM, dan fasilitas untuk pengembangan pesawat terbang.
Panjang berdasar pada pendekatan “segmentation, targeting, positioning, and Differentiation”
Melakukan serangkaian FGD dengan stakeholder terkait yaitu PT DI, PT RAI, LAPAN BAPPENAS, Kementerian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perekonomian guna menyusun sinergi Nasional dalam pengembangan R-80
Panjang berdasar pada 1990; Vertesey dan Szirmai, 2010). pendekatan “segmentation, 2. Strategi dual use civil military technology bersifat targeting, positioning, and symbiotic, pengembangan pesawat untuk program Differentiation” militer dapat mendorong inovasi teknologi canggih, sementara aplikasi untuk komersial berkontribusi pada strategi efisiensi dan reliabilitasnya (Gillett dan Stekler, 1995; William Davidson Institute, 2008) 3. Selain kemampuan dalam technology transfer, juga bagi keberhasilan industri pesawat terbang adalah dibutuhkan kemampuan efisiensi produksi dan kemampuan menjual (Steenhuis dan Bruijn, 2001). 4. Embraer melakukan upgrading kemampuan dalam penguasaan pesawat terbang dimulai dengan pesawat turboprop ukuran kecil yaitu EMB-120, ketika EMB diupgrade dalam pesawat jet, dibikin dua versi yaitu ERJ-145 kapasitas 50 penumpang dan ERJ-145 dengan 37 penumpang, dan strategi ini berhasil dan memberikan keuntangan untuk Embraer yang sebelumnya mengalami krisis keuangan (Steenhuis dan Bruijn, tanpa tahun h.10) Sejumlah aktivitas konsorsium inovasi yang melibatkan ABG
1.
2. 3.
Peran pemerintah, industri dan stakholder ekonomi dalam Global Value Chain, terutama Upgrading (Gereffi, Humphrey, dan Sturgeon (2005) Sinergi antara ABG dalam model triple helix (Etzkowitz, 2000). Bahwa dalam rangka supplier’s risk sharing investments (David Pritchard, September 2010. loc.cit. h.10), Embraer dengan bantuan pemerintah mengadakan kerjasama dengan salah satu produsen pesawat terbang (ukuran kecil) terbesar di Amerika yaitu PIPER. Dalam kerjasama tersebut disaratkan adanya transfer knowledge dari PIPER ke Embraer
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
290
7
Memanfaatkan fasilitas dan insentif secara umum yang telah diberikan pemerintah baik terkait insentif pendanaan pengembangan pesawat terbang; pembangunan infrastruktur, serta dalam memperkuat jejaring industri-industri komponen pesawat terbang.
Memanfaatkan beragam insentif baik dari aspek regulasi, pendanaan dan fasiltas yang telah diberikan pemerintah
Hasil analisis peluang insentif baik dari aspek regulasi, pendanaan dan fasiltas yang telah diberikan pemerintah
8
Pencapaian customer lead time untuk produk pesawat terbang melalui perbaikan production lead time
Pihak Manejemen menentukan strategi bisnis untuk meningkatkan customer lead time
Strategi bisnis untuk meningkatkan customer lead time
Selain kemampuan dalam technology transfer, juga bagi keberhasilan industri pesawat terbang adalah dibutuhkan kemampuan efisiensi produksi dan kemampuan menjual (Steenhuis dan Bruijn, 2001)
9
Melakukan kajian yang terkait peningkatan produktivitas, penjualan persediaan dan asset tidak produktif, penyelesaian piutang, dan evaluasi biaya komisi penjualan.
Melakukan evualuasi baik terkait peningkatan produktivitas, penjualan persediaan dan asset tidak produktif, penyelesaian piutang, dan evaluasi biaya komisi penjualan.
Hasil evualuasi baik terkait peningkatan produktivitas, penjualan persediaan dan asset tidak produktif, penyelesaian piutang, dan evaluasi biaya komisi penjualan.
Proses Assesment pada level operasional/industri (Bromley, 1989)
4.
5.
dalam hal peningkatan kemampuan teknis,managerial,manufacturing, produksi, dan kemampuan memasok pasar domestik (Steenhuis dan Bruijn, tanpa tahun h.10) Bromley (1989) meletakan fondasi konseptual dari kebijakan publik. Pada masing-masing level,kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat hierarki. Bahkan menurut Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010, loc. cit. h.26, bahwa: sebelum Industri Embraer didirikan sudah didahului dengan terbangunnya sumberdaya fisik, SDM dan institutional arrangement yang sangat mendukung Industri Embraer.
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
291
Lampiran 5. Perbandingan Antar Konseptual Model dengan Dunia Nyata dan Refleksi dengan Teori-RD1 No 1
2
3
Aktifitas Model Konseptual Memahami konsep Upgrading teknologiGVC dengan tipologi hierarki terhadap konteks permasalahan upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang di Indonesia Menelaah konsep Upgrading teknologiGVC terhadap perkembangan teori
Menelaah hubungan antara konsep struktur GVC dan teknologi organisasi
Diskripsi Aktifitas
Temuan Konsepsi
Refleksi dengan Kerangka Teori
Pada tahap ini mengkaji kesesuain konsep Upgrading GVC dengan permasalahan upgrading Industri Pesawat Terbang di Indonesia
Konsep kebijakan upgrading GVC dengan tipologi hierarki belum menjelaskan secara komprehensif pendekatan kebijakan dalam upgrading teknologi terutama dalam GVC dengan tipologi hierarki
Oleh karena itu dibutuhkan pendekatan kebijakan yang lebih komprehensif yang tidak saja menganalisis pada level kebijakan tetapi juga pada dua level lainnya yaitu pada lavel organisasi dan iindustri sebagaiamana dalam konsep tiga level hierarki proses kebijakan Bromley (1989).
Kegiatan mengevaluasi jurnaljurnal yang terkait dengan upgrading GVC oleh Gereffi, Humphrey, dan Sturgeon (2005); Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010); Gary Gareffi, 2011; Humphrey dan Hubert Scmitz, 2002; Gary Gereffi, Maret 2012; Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010; Raphael Kaplinsky and Mike Morris (tanpa tahun).
Pendekatan upgrading dalam GVC sangat erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah dalam mendorong inovasi itu sendiri ( Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010)
Pada tahap ini menganilisis perbedaan antara konsep GVC terutama struktur GVC dengan konsep teknologi Industri.
Struktur dalam GVC bukan dalam lingkup koordinasi internal organisasi itu sendiri, melalinkan lebih pada koordinasi antara lead firm
Konsep upgrading dalam Global Value Chain baru sebatas menjelaskan adanya peran kebijakan pemerintah dalam upgrading serta mengkaitkannya dengan tiga faktor utama yang dapat mempengaruhi proses upgrading (Gary Gareffi, 2011; Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010. op. cit. h. 199 : Kun-Ming (KM) Tsai. 2011; John Humphrey dan Hubert Scmitz, 2002). Namun demikian Gareffi, Humphrey, dan Sturgeon (2005) dan lain-lain belum menjelaskan bagaimana bentuk kebijakan tersebut dalam global value chain dengan tipologi hierarki serta bagaimana kaitan kebijakan tersebut baik pada level organisasi maupun pada level operasional untuk keberhasilan suatu Industri dalam melakukan upgrading teknologi. Lingkungan organisasi seperti kebijakan pemerintah (sebagaimana kelompok penelitian Aston) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dalam upgrading dalam GVC ( Olivier Cattaneo, Gary Gereffi, dan Cornelia Staritz, 2010)
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
292
dengan Supplier ( Gereffi, Humphrey, dan Sturgeon (2005);) Pada konsep GVC, kaitan antara kompleksitas teknologi dengan struktur GVC hanya membedakan antara tipologi Market dengan selainnya. karena secara lebih rinci, pembeda tipologi GVC selanjutnya selain kompleksitas teknologi juga adalah kemampuan lead firm dan supplier utama. Menurut Woodward, bahwa semakin kompleks suatu teknologi maka untuk keberhasilan pemasarannya lebih dibutuhkan struktur organisasi yang bersifat mekanistik (top down) (Mary Joe Hart,1997 Organization Theory: Modern, Symbiotic, and Postmodern Perspective, h.144-147) Adapun menurut kelompok peneliti Aston menyimpulkan bahwa yang mempengaruhi struktur organisasi adalah tidak hanya kompleksitas teknologi tetapi juga ukuran organisasi dan lingkungan organisasi (Mary Joe Hart,1997, op.cit.h.144)
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
293
4
Menelah konsep tiga level hiearki proses Kebijakan terhadap konteks upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang di Indonesia
Pada tahap ini menganalisis kerangka tiga level hierarki proses kebijakan untuk mendukung upgrading teknologi indusitri pesawat terbang
5
Menelaah secara mendalam hubungan antara konsep Upgrading GVC dengan Konsep tiga level hiearki proses Kebijakan
Pada tahap ini melakukan penelaahan secara mendalam hubungan antara konsep upgrading GCV dengan Konsep tigal level hierarki proses kebijakan.
6
Konstruksi kebijakan Upgrading teknologiGVC dengan tipologi hierarki berbasis konsep tiga level hiearki proses Kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan konteks Industri Pesawat Terbang Studi lapangan dengan melihat implementasi tiga level hiearki proses kebijakan serta hubungan antar ketiganya dalam
Kegiatan ini menkonstruksikan ulang kebijakan Upgrading teknologi-GVC dengan tipologi hierarki berbasis konsep tiga level hiearki proses Kebijakan dengan hasil refleksi teoritik yang dilakukan di kegiatan 1 sampai 5.
7
Kegiatan ini merupakan proses konfirmasi atas pengayaan konsep Upgrading teknologiGVC dengan tipologi hierarki berbasis konsep tiga level
Berdasarkan sejumlah studi yang ada bahwa upgrading teknologi industri pesawat terbang dapat berhasil melalui konsistensi antara tigal level hierarki proses kebijakan tersebut (Kayleigh Brown dan Tobias Tiemann (tanpa tahun); Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010) dll Hubungan antara kedua tersebut adalah selain pada tataran kebijakan secara umum, adalah sebagaimana telah dijelaskan pada langkah 1 dan 4 adalah pada level operasional Bromley (1989). Karena kegiatan upgrading itu sendiri adalah terjadi pada level industri atau operasional. Sejumlah studi upgrading teknologi industri pesawat terbang masih menganalisis secara parsial antara tiga level hierarki proses kebijakan dalam konteks industri pesawat terbang
Sebuah kebijakan yang sifatnya sebagai payung hukum, maka kebijakan tersebut seyogyanya harus memberikan pedoman kepada pihak-pihak terkait untuk mengejawantahkan kebijakan turunan dan program-programnya. Oleh karena itu, perumusan kebijakan tidak dapat dilepaskan dari fungsi-fungsi manajemen yang melekat pada organisasi (Bromley, 1989)
Secara konstruksi dalam memahami permasalahan upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang di Indonesia maka pengayaan konsep
Temuan akan konsepsi Upgrading teknologi-GVC dengan tipologi hierarki berbasis konsep tiga level hiearki proses telah sesuai dengan beberapa studi Vertesy dan Szirmai (2010); Brown dan Tiemann (tanpa tahun); Steenhuis dan Bruijn (2001: tanpa
Sebagaimana ditemukan dalam sejumlha studi terkait upgrading industri pesawat terbang, bahwa dukungan pada level kebijakan dan level organisasi akan menentukan keberhasilan pada level operasional itu sendiri (Bromley, 1989; Kayleigh Brown dan Tobias Tiemann (tanpa tahun); Daniel Vertesy and Adam Szirmai, 2010) dll
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
294
konteks upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang
hiearki proses Kebijakan dalam konteks memahamai upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang di Indonesia
Upgrading teknologi-GVC dengan tipologi hierarki berbasis konsep tiga level hiearki proses Kebijakan lebih bisa memperjelas konstruksi permasalahan upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang di Indonesia
tahun); Stewart (2007) dll dalam konteks upgrading industri pesawat terbang. Walaupun analisis penelitian-penelitian tersebut masih bersifat parsial antar tiga level hierarki proses kebijakan itu sendiri. Temuan pada kegiatan ini, diarahkan pada perbaikan pada kontstruksi itu sendiri yang didasarkan pada hasil studi lapangan dalam implentasi tiga level hiearki proses kebijakan dalam konteks upgrading teknologi Industri Pesawat Terbang
Universitas Indonesia Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
293 Lampiran 6 Notulensi FGD I PROGRAM PENGEMBANGAN REGIOPROP R80 Hari / Tanggal
Senin/ 23 Juni 2014
Waktu
Tempat
Gd BPPT II, lantai 21
No.
Jumlah Hadir
orang
Pokok
Presentasi Program R 80 PT RAI
Lampiran
-
Undangan
ITEM
13.00 WIB-selesai
1. Deputi Relevansi dan Produktivitas Iptek 2. Deputi Bidang Penelitian Dasar dan Terapan-BATAN 3. Kabid Pusat TIK-BPPT 4. Semua Asdep di lingkungan Dep IV 5. Empat Kabid di ADPRIS 6. Direktur teknologi- PT RAI 7. Rahayu S Arifin-Corporate Secretary-PT RAI 8. Tjahjo Kartiko- Cief Certification-PT RAI 9. dll
POKOK-POKOK HASIL
Pembukaan
Acara dibuka oleh Deputi Relevansi dan Produktivitas IPTEK 1. Pemaparan Progress R-80 2. Identifikasi permasalahan 3. Persiapan pembentukan taskforce
Rahayu
Tujuan PT RAI adalah mengembangkan kemandirian teknologi kedirgantaraan nasional
Sudarmono
1. Pasar yang sudah komit adalah Nam Air anak perusahaan Sriwijaya Air 2. PT RAI tetap membutuhkan endorsement dari pemerintah untuk R-80 3. Sudah dilakukan studi pemasaran: Pesaing terkuat adalah ATR72-600 (Italia-Perancis) dan Bombardier Dash8Q400 (Kanada). Namun R-80 akan lebih cepat/efisien dan lebih banyak penumpang dibanding ATR72-600 4. Tujuan R-80 tidak semata untuk membangun konektivitas dan revitalisasi industri dirgantara nasional termasuk revitalisasi lembaga terkait (seperti LAGG, B2TKS, LAPAN dll) tetapi juga harga diri bangsa 5. Teknolgi yang baru dalam R-80: Engine 4600sh (#2); modern cockpit; high payloads; lowdoc; fly by wire for high quality handling and safety adapun FBW N 250 hanya electric sederhana; rencana menggunakan komposit (Karbon, campuran kevlar) di bagian sayap dan di ekor; akan berusaha mengurangi uji terowongan angin dengan CFD Analyisis (di LAPAN alat ini tersedia). 6. Bantuan yang dibutuhkan dari lemlit pemerintahan adalah pada aspek: Flight deck arrangement dan Flight control
Deputi-BATAN
1. Di BATAN ada pengujian Non Destruction Test (Uji Tak Rusak) 2. Newton Thomography (uji melihat benda didalam suatu material tanpa merusak)
LIPI
1. Di Pusat Metalurgi LIPI tersedia kemampuan: 2. Pengembangan material (Alumunium Komposit/Al2Ti) 3. Pengecekan kerusakan material (untuk menguji apakah terjadi kesalahan
kemitraan
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
dalam
membangun
294 ITEM
POKOK-POKOK HASIL susunan material??) 4. Di Cibinong Science Centre terdapat pusat penelitian biomaterial (kalau kebakar tidak berasap).
Pak Tjahyo-PT RAI
1. Yang sulit tentang material adalah dalam menganalisis material properties 2. Material sangat strategis karena terkait keamanan nasional
B2TKS-P Amir Hamzah, Pak Cahyo
1. SDM sudah mulai banyak yang pensiun tapi masih bisa diberdayakan. 2. Fasilitas Upgrading Powerbank dan control baru ada 40 channel, PT RAI butuh 80 Channel (investasi dana tambahan sekita 300 milyar) 3. Masih ada tiga ahli ukur (1 pensiun tapi bisa diberdayakan) 4. Butuh hanggar baru, karena kemungkinan akan dipakai bersamaan untuk pengujian N 219 (tahun 2016)
Pak Sardjono-PTIK BPPT
1. Belum ada lab electronics bahkan sejak zaman Habibie sekalipun. Dan tahun ini akan dibangun pengujian peralatan avionics yang diupgrade. Juga akan dibangun fasilitas pengujian peralatan eletronik 2. Akan dibangun fasilitas EMC Chamber untuk uji emisi dan uji immunity (untuk mendeteksi ada tidaknya gangguan elektronik). 3. Tertundanya pembangunan tersebut karena sempat ada pesimistis akan dukungan nasional dalam pengembangan teknologi kedirgantaraan.
Sudarmono
1. Pengembangan Teknologi Kedirgantaraan (pesawat) akan bisa dialihkan ke weapon system (dual use civil military technology). 2. IFX, hasil kerjasama dengan Korea Selatan akan terbang rencananya mulai tahun 2025
LAPAN-Pak Gunawan wakil dari Deputi (Bu Rika)
1. N 219 sempat tunda CPM 2. N 219 jadi pemicu proyek kedirgantaraan (pesawat terbang) 3. Fasilitas Engine Simulator sudah ada di LAPAN dan Fasilitas Gound Test akan dibangun di LAPAN 4. Di lapangan rumpin terdapat 1800 meter untuk flying test centre 5. Kepala LAPAN mengatakan ketika ada pemotongan anggaran” Amankan budget N 219”
Pak Tjahyo-PT RAI
1. Butuh 2500 untuk flying test 2. Sudah ada tempatnya namun masih optional: Blitung, Tanjung Pandang, Selaparang (Lombok). 3. PT RAI minta walaupun uji terbang tidak dilakukan di rumpin, tetapi LAPAN bisa tetap terlibat dalam pengujian tersebut.
Pak Bambang Sutedja
1. Tentang TKDN R-80?
Sudarmono
1. (Masih banyak dari luar negeri), oleh karena itulah strategi yang akan dilakukan adalah dengan membangun kemitraan dengan indsutri nasional penggunaan pada non core pada pesawat seperti: Karet untuk interior pesawat, Kabel dll 2. Bahkan untuk Interior, dalam proyek CN 235, pernah menggunakan hasil industri karet surabayam tapi kualitasnya masih rendah, (maka disini perlu terus pembinaan). 3. PT telah mulai membangun National Supplay Chain, (Insert: Menurut Bu Rika, DEPERIN telah beberapa kali melakukan pelaitihan IKM dalam negeri terkait komponen untuk pesawat) 4. Pak Darman menanyakan status MoU antara PT RAI dengan LAPAN ke LAPAN?
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
295 ITEM
POKOK-POKOK HASIL
Pak Sadjuga
1. Ternyata srtategi bermula diakhir dan berakhir diawal ternyata masih relvan hingga saat ini terutama untuk negara berkembang 2. Harus bisa meyakinkan Presiden tentang pentingnya teknologi kedirgantaraan (tidak hanya mengandalkan substitusi impor, karena ada CAFTA dll) 3. Sejauh mana PT RAI melakukan gerilia untuk mendapatkan dukungan politik/nasional dalam pengembangan R-80?
Rahayu
1. PT RAI sudah melakukan pemaparan di hadapan Pak Prabowo, Pak Hatta Rajasa, Pak Jokowi, Pak Jusuf Kala, Aburizal Bakri, Otoritas Jasa Keuangan. Semuanya mendukungan R-80. Bahkan Pak Hatta dan Pak Aburizalbakri menyarankan supaya program R-80 diangkat menjadi program nasional melalui pidato presiden tanggal 16 Agustus 2014. 2. Status surat dari Pak Habibie ke SBY terkait diatas sudah sampai di Seskab
Sudarmono
PT RAI butuh investasi dana pemerintah sekitar $US 300 miliar
Rahayu
1. Perlu dibentuk Taskforce 2. Butuh alokasi anggaran lewat masing-masing bidang
Pak Dading
1. Ada mekanisme insentif INSINas untuk core technology pesawat terbang (yang sudah dilakukan adalah untuk uji flutter)
Athar
Strategi mendapatkan dukungan pendanaan nasional: 1. Menyontoh KKIP 2. Menyontoh proses N 219 3. Atau lewat mekanism Afirmasi Nasional LPDP-Kementerian Keuangan
Pak Deputi
Perlu segera dibentuk taskforce yang melibatkan semua stakeholders: 1. LAPAN: Pak Gunawan 2. B2TKS: Amir Hamzah 3. LIPI: Pak Andika 4. PTIK: Sardjono 5. BATAN
Catatan (athar’s perspective)
1. Taskforce segera dibentuk 2. Setelah itu, perlu segera mempelajari proses N 219 dalam mendapatkan dukungan nasional, karena alurnya sangat jelas dan sudah terbukti. Karena dukungan pendanaan akan turun dengan sendirinya setelah R-80 terangkat sebagai program nasional. 3. Atau mencoba mekanisme lewat LPDP (melalui program afirmasi nasional, sebagaiman telah digunakan untuk program Molina). 4. Dalam jangka panjang kedepan, menurut saya, sudah saatnya isu kemandirian teknologi kedirgantaraan dan kemaritmin seyogyanya harus distated dengan tegas dalam arah pembangunan jangka panjang, tentunya ketegasan Jakstranas dan ARN dapat kemudian dijadikan naskah akademik yang dapat digunakan dalam proses teknoratik penyusunan RPJP kedepan. Karena kalau hanya RPJPM, sangat sulit menjamin konsistensi keperpihakan politik hanya lima tahunan, sedangkan proses pembangunan teknologi kedirgantaraan tentunya dibutuhkan frame waktu yang panjang (dalam hal ini sejumlah negara bisa dijadikan sebagai benchmarking, keberhasilan Brazil, China dan kegagalan Rumania, Argentina, dan N250 Indonesia, dimana determinant factor utamanya adalah pada komitmen jangka panjang pemerintahnya).
Agenda Berikutnya :
Pembahasan taskforce
Dipersiapkan : Disetujui :
M. Athar -
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
296
Lampiran VII
NOTULENSI RAPAT PROGRAM PENGEMBANGAN REGIOPROP R80 Dasar Kegiatan : Hari, tanggal : Senin, 15 September 2014 Pukul : 10.00 – 13.00 WIB Tempat : Ruang Rapat 2316 Gedung II BPPT Agenda : Progress Program Pengembangan R80 Pimpinan Rapat : Asdep Iptek Industri Strategis Peserta: 1. Agung B. Ismadi PT. RAI 2. Rahayu S. Arifin PT. RAI 3. Budi Wibowo PT. RAI 4. Tjahjo Kartiko PT. RAI 5. Dewi Suryandari PT. RAI 6. M. Athar Deputi 4 7. Ismet Y. Putra ADIIS 8. Antari W. Mawarti ADIIS 9. Novi M. Rahayu ADIIS 10. Cornelia Tantri ADIIS 11. Wahyu Purnomosidi ADIIS 12. Erlani Pusparini ADIIS Pembahasan: Rahayu S. Arifin: • Sebelumnya sudah ada pertemuan dengan pak Agus Puji, BPPT, Perhubungan, ITB, BATAN dan LIPI • Why aircraft industry? ◦ Karena Indonesia sebagai negara kepulauan sehigga transportasi laut dan udara harus menjadi fokus. laut untuk angkutan barang, udara angkutan manusia. ◦ aircraft as the highest technology, jika bisa dikuasai, teknologi turunannya bisa dikuasai, termasuk MRO (maintenance repair and overhaul) yang saat ini masih dilakukan di Singapura
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
297 • Why Regioprop not Jet? Regioprop kecepatan lbh rendah dari jet, dengan konsumsi bahan bakar lebih irit. Direct Operating Cost pesawat paling tinggi adalah bahan bakar. • Growth kebutuhan transportasi di Indonesia paling besar mencapai 19.6% dalam 10 tahun terakhir. tetapi jumlah transaksi masih 70juta. • R80 diinisiasi oleh private company, dibutuhkan dukungan dari pemerintah. Lingkup pekerjaan meliputi pembuatan single part sampe assembly, rencana bekerja sama dengan PT. DI (business to business) 1 / 4
• Saat ini sudah dilaksanakan kerja sama dengan beberapa instansi penelitian: ITB untuk pengembangan sumber daya manusia (sudah ada 11 freshgraduate yang bergabung dalam Program R80), dengan BPPT untuk pengujian wind tunnel (sudah dicoba pada bulan mei), LAPAN berupa software simulasi, DKUPPU direktorat kelayakan udara (dirjen kelayakan udara) --> sertifikasi. • Internasional funding juga diharapkan dapat berkontribusi dalam pendanaan program R80. • Start in 2012 s/d 1/2013 -->fase 0 studi dengan PT.DI • phase 1 --> market feasibility --> sriwijaya, trigana dan kalstar --> 145 unit mulai 2019 ◦ Business and Financial Feasibility --> dibantu oleh frost&sullivan (?) intl consultan ◦ bankable business --> mandiri sekuritas untuk penggalangan dana dalam negeri • Fase 2 fulll scale development --> all detail sd sertifikasi smp dg 2019, diharapkan pembangunan prototipe seri pada 2017 • saat ini masih memasuki tahap pleminary study • 80 passenger can up to 96 passanger dengan raius terbang, pesaing yang ada saat ini ATR72, tetapi R80 memiliki keunggulan penumpang yang lebih banyak • kebutuhan dana USD 1M: USD700jt digalang swasta dan dukungan pemerintah berupa USD 300 juta dalam bentuk investasi kepada institusi kedirgantaraan
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
298 • kapasitas produksi 36/th di PT.DI (expected) • Dukungan pemerintah: ◦ Dalam pertemuan dengan Menristek, Bp. Gusti Muhammad Hatta siap untuk mengendorse program R80 sebagai program nasional ◦ dukungan tax dan insentif dan dukungan perbankan dengan kemenkeu dan OJK ◦ OJK memberikan dukungan berupa ijin leasing kepada institusi/perusahaan yang bergerak dalam leasing pesawat terbang • Impact yang diharapkan: akan ada MRO, revitalisasi PT. DI Agung B. Ismadi: • PT. RAI membutuhkan dukungan untuk sertifikasi • LAPAN sudah ditetapkan sebagai lembaga antariksa dan penerbangan • LAGG sudah melakukan 200 polar di wind tunnel • sudah dilakukan komunikasi dengan LAPAN Tjahjo Kartiko: • Ada 13 program pembangunan/peningkatan fasilitas yang diusulkan. • Program peningkatan fasilitas uji struktur --> uji statik dan fatique • peningkatan fasilitas uji terowongan angin dan tenaga ahli • pembangunan lab pengendalian terbang (iron bird). Untuk N250 dibuat di PT.DI tetapi spesifik untuk 1 jenis 2 / 4
pesawat • pembangunan lab simulai terbang (spesfik untuk satu tipe pesawat) • pembangunan lab uji electro-magnetik, PT. DI punya tetapi skala kecil (komponen) • pembangunan fasilitas uji tabrak burung. PT. DI punya tetapi tidak jalan karena tidak dimaintain • peningkatan fasilitas uji terbang --> akan dilaksanakan oleh LAPAN, sebelumnya PT. DI • peningkatan fasilitas uji komposit --> skala kecil udah ada di ITB,
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
299 • peningkatan fasilitas uji komponen struktur --> beberapa komponen harus dilakukan uji pada level komponen • pembangunan lab uji sirkulasi udara di dalam kabin pesawat • uji kelistrikan pesawat terbang • uji bahan bakar pesawat terbang • lembaga peneitian yang sudah bekerjasama ◦ BPPT --> uji struktur, B2TKS, LAGG (tunnel wind), PTIk pengendalian terbang, PTIK lab simulasi terbang, PTI lab uji electro-magnetic ◦ LAPAN --> peningk fasilitas uji terbang, kalo dilakukan di rumpin panjang landasan 1200m untuk R80 perlu sekitar 2400 m --> apakah rumpin memungkinkan? rencana habibie pake bandara baru di majalengka ◦ ITB --> lab uji komponen dan uji komposit di FTMD • yang belum ada: fas uji tabrak burung, sirkulasi udara, uji kelistrikan pesawat, lab avionik, lab uji bahan bakar pesawat • kebutuan ini bisa direspon sampai sejauh mana? • berapa lama waktu yang dibutuhkan, SDM • LAPAN akan membangun fasilitas drop test, uji komposit, engineeering flight simulation (untuk program N219) mulai 2013 M. Athar: • B2TKS --> gap SDM karena hanya tinggal 1 pakar yang belum pensiun • dalam program LAPAN --> pengembangan N219 • Pak thomas akan mengusulkan N270 menjadi R80 • dalam RPJMN dirgantara masih lemah, semoga di draft 3 uda masuk program mengenai kedirgantaraan • Pembangunan infrastruktur kedirgantaraan untuk mendukung program pemerintah • pertemuan dengan PT.DI --> yang perlu ditindaklanjuti terkait dengan pendanaan dan komitmen pasar
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
300 Agung B. Ismadi: • PT. RAI dalam proses mengeluarkan kurang ebih 5 juta lembar saham untuk investor dalam negeri, dimulai dari Jawa Barat karena jabar yang akan paling mendapatkan imbas dari program ini • next target: kabupaten yang membutuhkan transportasi antar daerah tp tidak dapat koneksi darat 3 / 4
Tjahjo Kartiko: • seleksi engine, uda ada 3 perusahaan yang menawarkan engine. • drop test kenapa tidak ada karena roda dibeli dari vendor yang uda include fasilitas drop test roda pendarat. kalo N219 tidak ada karena roda pendarat rencana dikembangkan dalam negeri. Asdep Iptek Industri Strategis: • Progress akan dilaporkan ke Menristek melalui Rapim lengkap • next meeting → minggu depan sekitar selasa atau rabu. 4 / 4
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
301 Lampiran 8. NOTULEN DISKUSI LANJUTAN PROGRAM PENGEMBANGAN IPTEK BIDANG KEDIRGANTARAAN Jumat, 3 Oktober 2014 Pukul 09.00 – 12.00 Di RuangRapat 2208 Gedung II BPPT DasarPelaksanaan :Undangan No. 41/AD.IIS/D-PI/2014 Agenda :Paparandandiskusi: 1. Program dantimelinepengembangan R80 2. Kapasitas SDM danInfrastrukturLembagaLitbanguntukMendukung Program Pemerintah di BidangKedirgantaraan PemimpinRapat :DeputiPendayagunaanIptek Peserta : 1. IbuRahayu Corporate Secretary PT. RAI 2. Bp. Agung B. Ismadi-Direktur Bisnis R80 denganLembaga 3. Pak Doni – Program Manager 4. Pak TjahjoKartiko – Head of Certification 5. Tjahja P – B2TKS BPPT 6. Gatot M. Pribadi – PT. DI 7. Hisar M. Pasaribu – FTMD ITB 8. Taufiq M. – FTMD ITB 9. W. Wira Y – PTIK BPPT 10. Widrianto – PTIK BPPT 11. A. Witjaksono – PTIK BPPT 12. YantoDaryanto – LAGG BPPT 13. Bambang S. – Ristek 14. Lenggogeni – Ristek 15. Antari W. M – Ristek 16. ArifRahman – Ristek 17. IsmetYus P. – Ristek 18. M. Athar – Ristek 19. Isabel Sibarani – Ristek 20. Erlani Pusparini – Ristek Opening dari Pak Pariatmono Bu Lenggo: 1. Pertemuanketiga 2. Sinergi N219 dengan R80 3. Agenda hariini Pak Agung PT. RAI 1. Sudahadabeberapa kali pertemuan, termasukkunjunganke BPPT di Serpong 2. Perkenalanmasing-masingpersonil PT. RAI Pak Doni PT. RAI 1. Roll out P#1 = Jan – Feb 2018 2. First flight P32 = end of 2018 3. Wing static test sesuaijadwal test sub article dikontrakkanke PT.DI 4. WST harusdilakukansebelum first flight (test sub article akandikirimkanke BPPT) 5. Fatique test dilaksanakanMaret 2018 s.dakhir 2021 6. PengujianTerowonganAngin di LAGG-BPPT Configurasi 04 (configurasiakhir) 7. Power on ke-2 Feb – Maret 2016
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
302 8. MendapatkanfasilitasdariJawa Barat untukFirst flight location keKertajati – Majalengka yang akansiappadatahun 2017. Saatini 2500 m runway sudahsiap, xxxx m tanahsudahdibebaskan 9. Flight test #1 test fisik, test #2 test system. Untuk test avionics dll only for prototype 1 10. Coupon Test (Metalic material) dan Composite Test (karenaakanmenggunakan composite untukbeberapaseriselanjutnya) FTMD ITB 11. Beberapa test yang belumada: a. Bird Impact Test (previously in PTDI) dl adattpsekarangudagaberfungsi b. Air Flow Balance c. Electrical Test d. Avionics Test e. Fuel System Test (sebelumnya di PT.DI) 12. Ditching Test kemampuan ngambang di air (N250 pakai model, bukansesungguhnya) BPPT – LHI Surabaya now BPPH Surabaya. Dulu di Inggris 13. Far Field Noise Test – LIPI? Dulu di AbdurahmanSaleh – Malang Pak Pariatmono: 1. Dana? Pak Cahyo – B2TKS: 1. Ada 3 antrian = N219, R80 danKFX 2. Schedule N219 Agustus 2017 (akanmasuk September thdepan full scale) karenarencanamaret 2018 udamaumasuk (terlalu mepet0. Set up article barumemerlukan 8 bulanpersiapan 3. Fasilitas test artikel40 akuatoruntuk N219. Untuk R80 diperlukan 50 akuatorperlupengadaanbarusebanyak 10 akuator (need time to prepare) sehinggadiperlukankesempatanuntukdiskusi Pak Yanto – LAGG: 1. CFG-03 power off sudahdilakukan di LAGG 2. Menunggupengujian yang power on 3. Kalo power off sudahcukupfasilitas 4. Kalountuk power on perlupeningkatan 5. BPPT saatinitidakadaanggaranuntuktransportasiudara, sehinggaagaksusah. 6. Pak Gatotperlukahpengadaan power on? 7. DiharapkanadadorongandariRistekuntukpengadaanperalatan PTIK: 1. 2. 3. 4.
Pak Hamamtidakdapathadirkrn di Jepang Pak Wiradan Pak Wicakdan Pak Widrianto Flight simulation test dan EMC di tahundepantidakmasukkeRenstra, sehingga Ada fasilitas yang bisadigunakan EMC yang chambernyabaruselesai 10x10 (masihdipersiapkan) 5. Untuk flight simulation test perludipelajaridetailnya, dankebutuhannyakarenaterkait SDM perludipersiapkan. Perluperbaikanperangkatdanpersiapan SDM sehinggaperludorongandariRistek. 6. Excecutor PTIK tetapiLokasi di B2TKS terkaitbesarruangandan part tidak
Pak Gatot- PT.DI: 1. Issue SDM karenaada Program N219
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
303 2. Recruitment target 30 orang/ tahuns.dthdepan (thini 102 orang untukteknisidan engineer) 3. Data SDM yang keluardari PT. DI (data tidaklengkap), sehinggapemenuhan SDM melalui recruitment baru 4. Program N219 menjadisalahsatu program batuloncatan/transisiuntukpeningkatankualitas SDM untukmenuju program R80 yang lebihrumit 5. Issue peningkatanfasilitaskarenaanggaran yang terbatas, diharapkanada PMN terkait program pengembangan. Beberapafasilitassudahdisiapkanmelaluipendanaan PMN. 6. Beberapafasilitas TBD dapatdipenuhioleh PT.DI 7. Kesiapan PT. DI untukmelakukan flight test. 8. 2014 sudahmasukrencanauntukmeng-upgrade Flight simulation test 9. Flight test pilot sudahbanyakdiluar, flight test engineer sebentarlagi pension, sehinggamasihadawaktuuntuk Pak TaufikKa Prodi AeonautikadanAustronotika FTMD ITB 1. SDM outpur 75 S1, 15 – 20 S2 2. Sebagianlulusanada di PT. DI dan PT. RAI 3. UntukFasilitasmasih sharing 4. Perlugambarankapasitas yang diperlukan 5. Nurtanio, STTA Adisucipto, Surya Darma (AD), Polban (D3 teknikpenerbangan). Untuk S1-S3 hanya di ITB Bu Rahayu: 1. Infrastrukturfabrikasi sub assembly dan final assembly? 2. Pak Gatotfasilitas assembly untuk fixed wing 12/th, heli 20/th. 212,235, 295. Untukmendukung R80 belumdiketahuiapakahada excess capacity. Untukkapasitasproduksibelumtahu Bp. BambangSutedja: 1. N219 ada di Pak Dading 2. Pak Agussudahmengirimisuratkepihakterkait (lembagatermasuk ITB) 3. Namunbelumadatanggapandari LPNK 4. Integrasidengan N219 terkaitfasilitasuji. Missal B2TKS sudahmemperolehdanadariBappenas, kemudianapafasilitas yang belumdimilikiuntukmendukung R80 5. Bapenasbelummemprioritaskanuntuk R80 6. Depanriapakahkebijakanterkait R80 bisadiusungsebagai program nasionalolehDepanri? DrDepanribelumsiap. 7. Perluditindaklanjutiuntukmengusung program kedirgantaraanNasional M. Athar: 1. Sudahada 3 pengujianakan invest melalui LAPAN untuk drop test, engine flight simulation, uji composite Pak Gatot: 1. Engine flight simulation dieksekusioleh PT.DI 2. Memilikikemampuanuntukmembuat engine f.sdan full f.s Pak Agung PT.RAI: 1. Mengenaiketerlibatanpihak lain, ex Garuda. Response dari Garuda sangatpositif. Garuda membeli ATR sebanyak 25 unit.Diharapkan R80 dapatmereplace ATR
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
304 Tetapibelumadapendekatanuntukpembiayaanuntukpengembangan R80. Sudahmengundang 7 airlines dan 2 MRO untukterlibatdalam proses design. 3 airlines sudahberminatmembeli 145 unit. Pembicaraanmengenaipendanaanbelumada. Tambahandari Pak Par pemanfaatanfasilitas GMF. GMF dan Indo pelitasudahmenanyakanperawatan yang dapatdilakukandifasilitasmereka 2. SDM yang di luarnegeridandalamnegerisudahmulaidiinventarisasitetapibelumlengkap. Sudahbertemudengan Diaspora (orang yang pernahdansedangbelajar) dan IABI (Ikatan alumni Program Habibie). 3. USD300jt sebagaipancinganuntukgov. 700jt untukpengembangan R80 sendiridiupayakandariswasta. 300 jutahitungankasaruntukmengembangkaninfrastruktur yang sudahadaatautambahan. 4. Memerlukankejelasanuntukovercome permasalahan yang ada, missal: tidakadanyakegiatandalamrenstra. Perlu bilateral discussion untukmembicarakan detail kebutuhan.USD300jt merupakanestimasidariproyeksikebutuhan N250. Pak Tjahyo 1. jadwalditetapkandengan target 2020 sertifikasikeluar. Pak Bambang: 1. untuk LPNK mengadakanfasilitas, perluadaMoUantarapemerintahdenganswastabahwa PT. RAI akanmenggunakanfasilitas yang ada Pak Par: Next step: 1. Bilateral discussion untukmenentukanberapakebutuhandengan executor
Pak Agung: 1. Hardware, Software, SDM, Anggaran existing dankeperluanuntukpeningkatan Agenda Pertemuan: 1. dengan B2TKS minggudepanKamis, 9 Oktoberpagi di PT. RAI, GedungMMC (Siemens) Bandung Test requirement dan test article belumpernahdiperlukanelaborasi 2. LAGG Kamis, 9 Oktober di PT. RAI, Gedung MMC (Siemens) Bandung Pengalaman power on untuk N219 tidakadamasalah.Sehinggaperludilakukananalisauntuktambahankebutuhanpengujian R80.UntukPengujian tunnel test PIC Pak Made.Usiaalatsudah 30th. Seninadapembicaraandengan PT.DI tentangfasilitas EMX 3. PTIK kamis (9/10) akaninformasikanjadwal (kemungkinan 2 minggulagi) Perlu detailed requirement untukdipelajari Fasilitas yang paling siap EMC Untukalokasi SDM perlucampurtanganpemerintahuntukpenugasankhusus, karena lab baru Untuk 4. PT.DI laporan yang sudahdiberikanke Pak Made Wirata (PT.RAI) : update fasilitas flight test dan ground test facility (30% kondisi) 5. ITB Senin, 13 Oktober 2014 di ITB
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
305 6. PertemuanRistekdengan LAPAN, Depanri, MenkoPerekonomiandanBapenasmintauntukaudiensi 7. Diperlukan Roadmap IptekDirgantara 8. Pertemuanselanjutnya: Rabu, 15 Oktober 2014 Athar: 1. Draft RPJMN belumadaDirgantara, sehinggasebelumkabinetbaruharussegeradiusulkanmelaluitimtransisi. KarenafokussaatiniMaritim (dirgantarabisamasukdalam paying ini) 2. Program nasional upgrade fasilitas sector dirgantra (tidakfokuspada R80) Bu Rahayu: 1. Pendekatanmelalui Pak Habibieuntukpendekatan top down Pak Yanto–LAGG: 1. Perbaikanfasilitas LPNK melaluiRistekuntukmendukung program Dirgantara Pak Par: 1. Pengadaan based on requirement sehinggabermanfaat
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
293
Lampiran 9. Analisis Data Hasil Wawancara Konstruksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam Upgrading Teknologi Pesawat Terbang di GVC No
Narasumber
1
Presiden RI III Periode 1998-1999, Prof. Dr Ing BJ Habibie, tanggal 14 Juli 2014
2
Menteri Negara Riset dan Teknologi, 2011Sekarang, Prof. Dr Gusti Muhammad Hatta, yang didisposisikan ke Staf Ahli Kemenristek Bidang Hankam, Ketua Tim Teknis DEPANRI, 2012, Deputi Relevansi dan Produktivitas Iptek 2009-2013, Dr Teguh Rahardjo, tanggal juli 2014.
Hasil Wawancara yang telah direduksi Langsung Dilakukan oleh Peneliti Presidein Sukarno pernah mengatakan: Tidak mungkin mampu membangun negara ini tanpa menguasai industri dirgantara. (oleh karena itu) program upgrading N 250 ini yaitu R-80 diharapkan dapat dijadikan program nasional dan dicantumkan dalam pidato presiden baik, dalam Hari Teknologi Nasional ke 19 dan di tanggal 16 Agustus 2014. Program R-80 nantinya selain membawa misi bisnis juga membawa misi untuk menghidupkan kembali wahana-wahana kedirgantaraan nasional, karena kalau wahana tersebut tidak diberdayakan, dalam lima tahun kedepan, ahli-ahli dirgantara akan habis” Segmentasi untuk N 250 adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri, kalaupun untuk ekspor itu adalah hanya bonus Sejumlah pihak yang mengkritik bahwa terlalu cepatnya peralihan dari program CN 235 ke N 250, itu tidak mengerti,..karena yang benar itu adalah satu tahapan. Karena tahapan tersebut harus melalui sejumlah pemenuhan sarat atau sertifikasi FAA Memang hampir seluruh komponen pesawat adalah impor, tapi untuk sementara waktu itu ndak masalah, asalkan kita dapat merebut jam kerjanya. Dulu (masa) oil boom, kita sebagai eksporter minyak dan gas sekitar 1,8 juta barrel per day, tapi sekarang kita sebagai negara pengimpor minyak. Peran pemerintah dalam mendukung upgrading N 250 (R-80) adalah dapat berupa subsidi dalam bentuk pendidikan (SDM), kesehatan, riset, pembangunan infrastruktur, pajak (seperti 100 seri pesawat I bebas pajak), kemudahan supaya industri-industri komponen tumbuh, kemudahan supaya bahan-bahan baku dapat diupgrade, atau penghapusan ekspor gas supaya dapat digunakan untuk proses peningkatan nilai tambah bahan baku Adapun N 219 sejatinya kalau memang murni market driven tidak ada pengembangan teknologi, kenapa mereka (PT DI) masih meminta bantuan pemerintah untuk pengembangan prototipenya dst??? Justru model PT RAI dengan R-80 yang didalamnya ada unsur pengembangan teknologi yang hanya meminta dukungan infrastrukur jauh lebih sesuai dengan fungsi pemerintah. Terkait strategi kemandirian ekonomi industri pesawat terbang khususnya untuk PT DI, adalah melalui revitalisasi bisnis, yang tidak hanya bermain pada core business (pesawat terbang) tetapi juga pada plasma bisnis, namun
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
Aspek Dukungan Upgrading pada level Kebijakan
Dukungan upgrading pada level organisasi
Strategi upgrading pada level operasional Strategi upgrading pada level operasional
Upgrading teknologi pada dua level kebijakan dan sektor
Upgrading teknologi pada level operasional.
294
Tanggal 16 September 2014 jam 11.00-11.45 di lt 23
4
Menristek dan Ketua KIN, Prof Zuhal
3
Kepala BPPT Dr Marzan Iskandar, Periode 2008-2014, tanggal 27 Juni 2014
4
Deputi Bidang Relevansi dan Produktivitas Iptek, Bapak Dr.Ir. Agus Puji Peasetyo, M. Eng pada tanggal 23 Juni 2014 diruang Kerja Beliau dl Lt. 21 Gedung II Kementerian Ristek ,
5
DEPUTI Bidang teknologi Dirgantara Ibu Dr. Rika Andiarti jam 09.10-09-54, tanggal 11/06/2014 hari Rabu
masih terkait langsung dengan core business. Manajemen IPTN sangat lemah dan sangat bergantung pada Habibie/Pemerintah Terkait pemindahan kegiatan integrasi teknologi LAPAN ke PT DI pada era Menristek Habibie, Pak Teguh mengatakan bahwa: Kegiatan integrasi teknologi (pesawat terbang) adalah setogyaynya memaang adanya di Industri, adapun lembaga litbang seharusnya corenya adalah ranah penelitian dan pengembangan. Setelah era reformasi aktivitas DEPANRI hampir tidak ada kecuali untuk N 219 dalam rangka mendorong transfer knolwledge SDM dirgantara tua ke muda”. Hal ini menunjukkan tidak adanya visi pemerintah. Terkait sektor kelautan yang sekarang (kabinet Jokowi-JK) dorong seharusnya adalah dalam konteks Maritim Continental (Benua Kemaritiman), sehingga lingkup kemaritimin tersebut bukan hanya pada sumberdaya (biota laut: ikan, udang dan rumput laut; sumber daya energi dan mineral) juga pada aspek transportasi seperti kapal-kapal laut termasuk sarana-sarana angkutan udara/pesawat yang spesifikasinya tentunya disesuakan dengan kondisi kepulauan Indonesia seperti: dapat landing/take off pada landasan yang pendek dst. Iya, kami sangat mendukung (Program Upgrading N 250) Program R-80, namun kami butuh revitalisasi beberapa lab uji, karena sebagain besar merupakan peninggalan era 1970an. “Bahwa pada tataran makro, konsistensi kebijakan dalam mendorong kemandirian teknologi kedirgantaraan masih sangat lemah, dan sudah saatnya Indonesia mulai menaruh perhatian lebih pada kemandirian teknologi kedirgantaraan tersebut selain teknologi kemaritiman, dua teknologi tersebut (N 219 dan R-80) yang seyogyanya harus didukung oleh seluruh kebijakan sektoral, karena tidak semua jenis teknologi dapat dilakukan dengan ToT atau pembelian teknologi, tetapi harus dikuasai, nah upaya penguasaan teknologi tentunya menuntut kemauan politik yang kuat”. LAPAN pada intinya mendukunga R-80, karena saat ini LAPAN sedang menyusun Rencana Induk Pengembangan (RIP) “ transportasi pesawat 70 penumpang, namun LAPAN saat ini masih prioritas untuk N 219”. Ibu Rika juga menyarankan supaya PT RAI mengikuti proses N 219 dalam mendapatkan bantuan nasional. Seperti melalui DEPANRI (lebih kurang tiga kali pertemuan). Pada Perpres 28/2008 tentang industri pengembangan pesawat, termasuk peran PT DI didalamnya, di penjelasan Perpres tersebut khususnya dihal 37
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
Upgrading teknologi pada level organisasi.
Dukungan Upgrading pada level sektoral Dukungan Upgrading pada level kebijakan dan organisasi.
Dukungan Upgrading pada level organisasi. Dukungan Upgrading pada level politik Dukungan Upgrading pada level operasional.
295
6
Asisten Deputi Bidang IPTEK, BAPPENAS, Dr. Mesdin Sinarmata, Kamis 12 Juni 2014 di BPPT
Wawancara pada tanggal 17 November 2014 7
Asisten Deputi Bidang Relevansi Kebijakan, Dr. Sadjuga, Juni 2014 diruang Kerja Beliau dl Lt. 21 Gedung II Kementerian Ristek.
8
Asisten Deputi Bidang Relevansi Program, Ir Ahmad Dading. Gunadi: Tanggal 23 Juni 2014 diruang Kerja Beliau dl Lt. 21 Gedung II Kementerian Ristek
Tanggal 12 Agustus 2014 di Lt. 21 Gedung II Kementerian Ristek
dinyatakan bahwa untuk jangka menengah: dinyatakan untuk jangka menengah“ mengembangkan pesawat berpenumpang kurang dari 30 0rang” dan untuk jangka panjang” mengembangkan PT DI sebagai pusat produksi dan litbang dan LAPAN sebagai pusat R&D produk kedirgantaraan” Kemenperind telah mengadakan pertemuan dengan para industri-industri lokal untuk meningkatakan kemampuan TKDN pesawat terbang. Untuk Program RAI-80, beliau memintah PT RAI untuk berkoordinasi dengan LAPAN, beliau kemudian mengatakan: Saat ini, BAPPENAS lebih berkonsentrasi untuk ngurus N 219, satu-satu sajalah dulu Tidak perlu diperkuat atau di stated di RPJP tentang kemandirian teknologi dirgantara, karena sudah cukup dimasukkan (tersirat) dalam isu alat angkut udara. “Bahwa dokumen Rancangan Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025 telah cukup memayungi pembangunan teknologi kedirgantaraan karena dalam UU tersebut telah ada isu terkait dengan alat angkut udara.” Dalam kabinet Jokowi-JK melalaui nawa citanya, program N 219 akan terus disupport Baik dalam RPJPN maupun RPJPMN, dukungan terhadap kemandirian teknologi pada sektor kedirgantaraan masih belum dinyatakan secara tegas, karena pembangunan iptek yang saat ini masih diarahkan pada tujuh bidang prioritas yaitu: Pangan, Kesehatan Obat, Energi, Transportasi, TIK, Hankam dan Material Maju. Saat ini, Menteri Negara Riset dan Teknologi, Prof. Gusti Muhammad Hatta mendukung pengembangan R -80 yang ditindak lanjuti dengan pembentukan taskforce pengembagan R-80. ”Pihak LPDP akan bersedia menjadikan Agenda Riset Nasional (ARN 2015-2019) sebagai acuan dalam proses pendanan penelitian yang dibiayai” Untuk N 219, pemerintah langsung terlibat dalam development process (selain infrastruktur) yaitu membuat prototipe (N 219) itu sendiri, goverment intervensi dalam membuat prototipe, tapi kalau kasus untuk R80, tidak, justru pemerintah melakukan fungsi sebenarnya, yaitu menyediakan fasilitas/infrastruktur, karena biaya desain, pembuatan prototipe dsb dari mereka (PT RAI) lakukan sendiri, ...jadi sebenarnya untuk dukungan (infrastruktur) R-80 lebih merupakan tugas pemerintah dalam mengembangkan kapasitas (lab dan peralatan, sdm) dan kapabilitas, meningkatkan kapasitas dan kapabilitas, itu memang tugas pemerintah,..makanya kalau diajukan, bukan hanya pengembangan R -80
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
Dukungan Upgrading pada level sektoral Dukungan Upgrading pada level kebijakan
Dukungan Upgrading pada level kebijakan
Dukungan Upgrading pada level kebijakan Aspek sinergi kelembagaan pada pendanaan riset Dukungan Upgrading pada level kebijakan dan organisasi.
296
9
Presiden Director PT Regio Aviasi Industri, 14 Juli 2014
10
Corporate Secretary PT RAI, Rahayu S. Arifin, 23 Juni 2014 di Kementerian Ristek
11
Kepala Perencanaan Perusahaan PT DI, Sony Saleh Ibrahim
tetapi pengembangan pesawat... Kebutuhan ini terutama bedanya dengan N 219 harus dijelaskan ke Bu Almida (Menteri BAPPENAS), mungkin Bu Almida ndak ngerti, disangkanya sama dengan model pengembangan N 219, padahal beda.....Oleh program nasionalnya adalah dalam bentuk program revitalisasi/modernisasi/uograding peralatan-peralatan lab yang memang peninggalan tahun 1970an,, yang nanti arahnya bukan hanya untuk kebutuhan R-80 saja tetapi juga kebutuhan teknologi yang ada sekarang termasuk kebutuahn dari luar neger seperti di China dsb akan dapat dilyanani oleh lab kita dst... Sesuatu akan dianggap sebagai program nasional jika dinyatakan dalam Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN), nah untuk dukungan R-80 melalui dimasukkan program nasional revitalisasi laboratorium khusunya untuk pengujian pesawat terbang dst... Untuk mendukung pengembangan teknologi kedirgantaraan, dukungan Kebijakan dalam bentuk insentif untuk barang-barang yang diproduksi dalam negeri, serta sistem pendanaan dan perbankan (sejenis BAPINDO) Untuk tenaga SDM, saat ini selain tenaga yang merupakan tenaga SDM dulu yang terlibat dalam proyek IPTN, baik NC 212, CN 235 maupun N 250, juga terdiri atasan lulusan kedirgantaraan yang sempat bekerja di dunia perbankan, walaupun gajinya relatif kecil, namun mereka memeliki satu kebanggaan (nasionalisme) untuk berkerja di PT RAI guna pengembangan pesawat terbang nasional (R-80). Alokasi dana riset untuk tahun 2013 yang hanya sekitar 1% dari total anggaran PT DI sebesar Rp. 3 Triliun (01 November 2013) Dukungan kebijakan pemerintah dalam mendorong kemandirian teknologi kedrigantaraan adalah dalam bentuk insentif pendanaan ( 06/02/2014 jam 20.21 wib) Dukungan kebijakan pemerintah dalam mendorong kemandirian teknologi kedrigantaraan adalah dukungan sistem pendanaan/perbankan. Khusus untuk upgrading N 250 (R-80), dukungan yang dibutuhkan dari pemerintah adalah keberpihakan terhadap penggunaan R-80 untuk pasar domestik dengan membatasi produk serupa seperti ATR dan Bombardier”. Adapun untuk pasar luar negeri, pemerintah dapat dapat melakukan promosi baik melalui WTO maupun melalui pameran-pameran di luar negeri (2 Juni 2014). PT saat ini dalam rangka menjalankan plasma businessnya juga menjadi supplier beberapa komponen untuk AirBus dan Boeing, bahkan, khusus
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
Dukungan Upgrading pada level kebijakan dan organisasi. Semangat Nasionalisme untuk kemandirian teknologi kedirgantaraan.
Dukungan pada level operasional (industri) dalam mendukung upgrading teknologi Dukungan pada level sektoral dalam mendukung upgrading teknologi Dukungan pada level kebijakan dan sektoral dalam upgrading teknologi pesawat terbang nasional.
Strategi pada level operasional
297
Tanggal 2 September 2014
12
Direktur Teknologi PT DI, Andi Alisyahbana, 26 Juni 2014 di BPPT
13
Bagian Pengadaan PT RAI, Budi Wibowo di PT RAI Kuningan Jakarta, dari jam 7.308.30 Hari Senin, tanggal 9 Juni 2014
untuk komponen bahu pesawat Airbus A380, PT DI dipercaya sebagai single supplier (01 November 2013) PT DI telah menyederhananakan spesifikasi pesawat N 250 sebelum diserahkan ke para suppliers, sehingga suppliers mudah memenuhi requirement yang diminta (2 Juni 2014). SDM kunci yang saat ini sangat dibutuhkan untuk industri penerbangan adalah pada dua bidang yaitu Elektronika Pesawat dan Material” (2 Juni 2014). Saat ini karyawan PT DI sekitar 3000an, dan 50% darinya akan memasuki masa pensiun (01 November 2013). Pengembangan Pesawat R-80 memanfaatkan pengalaman rancang bangun anak bangsa dalam mengembangkan pesawat terbang sejak 1979 – 1982 (CN-235) dan 1989 – 1996 (N-250). Di desain R-80 akan dilakukan beberapa upgrading teknologi dari N 250 (2 Juni 2014). Pasar pesawat berkapasitas 80-100 penumpang ini memiliki pasar yang cukup bagus. Karena itu, jika produksi pesawat tersebut jadi, maka PT DI pun akan ikut mendapatkan keuntungan."Analisa market untuk pesawat kelas itu cukup bagus, di dalam negeri saja, paling tidak kebutuhannya sekitar 100 pesawat,". Pada tanggal 3 Mei 2013 bertempat di PT DI, PT Dirgantara Indonesia (Persero) telah meneken kerjasama dengan PT Regio Aviasi Indonesia untuk mengembangkan pesawat terbang turboprop modern berkapasitas 7090 orang penumpang bernama Regioprop Pada tahun 2010, keuangan PT DI masih negatif sekitra Rp. 700 Milyar, dan sejak tahun 2013, PT DI memiliki cashflow sekitar 40 Miliar positif. Hingga saat ini, perbankan nasional belum memberikan sistem leasing untuk pesawat terbang, adapaun Ban Eksim hanya memberikan untuk pemebelian komponens pesawat Pelajaran berharga dari kegagalan N 250 (selain permasalahan politik) adalah dalam hal TKDN, di N 250 dulu TKDN masih sangat lemah terutama untuk komponen, termasuk landing gear, sistem avionics, FBW dll. Nah dengan adanya penngembangan N 219 yang memiliki TKDN minimal 40%, akan memberikan manfaat dalam upgrading N 250 khususnya R-80 kedepan. N 250 sudah melakukan uji terbang sebanyak 800 jam Saat ini infrastruktur pengujian di rumpin LAPAN masih cocok hanya untuk N 219, karena :1. Untuk fasilitas landasan untuk uji terbang yang dibutuhkan untuk R 80 sekitar 1500-2000 meter; 2. Tower (uji telemeteri) yang dibutuhkan untuk R-80 sekitar 20-30 meter
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
Tipologi Struktur Global Value Chain Modular Dukungan SDM untuk proses upgrading teknologi pesawat terbang
Dukungan pada level operasional dalam mendukung upgrading teknologi
Dukungan sektor/kelembagaan dalam upgrading teknologi pesawat terbang
298 Tidak tercapainya target penjualan CN 235 adalah: karena spesifikasi CN 235 berat sehingga direct operational cost tinggi dan menyebabkan mahal, dan spek ini memang lebih cocok untuk militer, terbukti banyak sekali pasar untuk militer untuk CN 235, bahkan Korsel menggunakan CN 235 untuk pesawat kepresidenannya sampai sekarang, Beliau (pak Budi) dulu merupakan salah satu tim ketika menyiapkan pesawat tersebut untuk Korsel (pesawat presiden) selain thailand dan Malaysia. Dalam program R-80, PT RAI bermain pada level desain, Merketing dan Assesment
Permasalahan pada level operasional dalam upgrading teknologi pesawat terbang
Pengembangan R 80 sebenarnya mengandalkan pada 51 orang yang dulu ikut mengembangan N 250, dan sebagaian besar pulang dipanggil oleh pak habibie. Atas pengalaman dalam pengembangan N 250 dan pengalaman lainnya, PT RAI mengembangkan R 80 berdasarkan pada pengalaman dalam membuat N 250 dulu. Saat ini telah dipesan oleh PT NAM Air (sejumlah 100), 50 Firm order (sesuai desain awal); 50 unit bersifat optional (berdasarkan masukan setelah dioperasikan) 14
Ketua Komtek Soshum DRN, Dr. Lala Kolopaking, 26 Juni 2014
15
Direktur Riset LPDP, Bapak M.Sofwan, pada Tanggal 23 Juni 2014
Bahwa yang sangat penting dalam pembangunan iptek adalah “ aku cinta produk negeri”. Hal ini yaitu nasionalisme merupakan faktor keberhasilan dalam proses pembangunan iptek di Korea Selatan “Saat ini LPDP sedang melakukan kajian untuk mengembangkan fokus risetnya untuk lebih diarahkan pada pengembangan iptek baik riset dasar dan termasuk pengembagan riset hightech yang bersifat jangka panjang yang tentunya akan mengacu pada Agenda Riset Nasiona (ARN). Bahkan kata Beliau saat ini pun LPDP, selain Dana Riset Inovatif produktif (RISPRO) yang diarahkan pada komersialisasi produk dan implementasi kebijakan, juga telah mengeluarkan pendanaan riset atau inovasi yang bersifat Afirmasi Nasional, dengan mekanismenya adalah merupakan usulan dari Kementerian/Lembaga terkait kesalah satu anggota dari Dewan Penyantun (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Agama), kemudian permohonan tersebut akan disetujui setelah mendapat persetujuan dari dua Anggota Dewan Penyatun lainnya selama program tersebut mendukung program nasional. Dan dana melalui skim ini tidak terbatas baik tema (asal sesuai dengan prioritas nasional), jumlah dan tahunnya”. “Pada prinsipnya LPDP akan mengacu ARN selama fokus bidang ARN tersebut memang sejalan dengan prioritas nasional”.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
Semangat Nasionalisme untuk kemandirian teknologi kedirgantaraan. Dukungan Upgrading pada level kebijakan
Aspek sinergi kelembagaan pada pendanaan riset
299
16
Kepala Divisi Evaluasi Penyaluran Dana Kegiatan Pendidikan LPDP- Ibu Ratna Prabandari
17
Asisten Deputi Produktivitas Riset Iptek Masyarakat periode 2010-2013, Perencana BPPT, Anwar Darwadi, Juli 2014.
18
Wawancara dengan Pak Rohendi Triatna, Humas PT DI, 01 November 2013,
19
Wawancara dengan Asdep Produktivitas Riptek Industri-Kementerian Riset dan Teknologi, Santosa, April 2014
20
Wawancara yang dilakukan terhadap Pak Dr. R. Purwanto, Kasubdit Kerjasama Antar Lembaga, Dit Kelembagaan dan Kerjasama Ditjen Dikti, tanggal 08 Agustus 2014 Direktur PT DI, Budi Santoso, pada tanggal 11 Agustus 2014 di BPPT
21
22
Program Manajer N 219 PT DI, Directorate of technology & Development, Budi Sampurno, pada tanggal 11 Agustus 2014 di BPPT
Mengatakan bahwa untuk dana beasiswa pendidikan, LPDP menyediakan tiga layer bidang yang masing-masing adalah layer pertama: teknik, pertanian, Science, dan Kedokteran; layer kedua: sosial, ekonomi, pendidikan, budaya/bahasa dll. Layer ketiga adalah: Hukum, Akuntansi Keuangan, dan Agama. Bahwa penentuan arah pembangunan iptek yaitu tujuh bidang fokus tidak didasarkan pada satu riset kebijakan yang memadai tetapi lebih didasarkan pendekatan isu based bahkan bersifat mengakomodir kepentingan pihak tertentu. Sejatimya pada zaman Habibie telah mulai dibangun segala industri pendukung untuk pesawat terbang, mulai dari industri material, karet, turbin dll. Bahwa kolabarasi kelembagaan ABG dalam riset dan inovasi sangat membutuhkan environment yang menunjang, diantaranya adalah regulasi kebijakan pada tataran non fiskal khususnya mobilisasi peneliti terutama yang PNS ke Industri. Dalam 7 agenda riset nasioanl (ARN)..ada tentang (bidang) transportasi . Hanya tak ada penugasan secara spesifik langsung tentang kedirgantaraan. Tapi, kami terbuka bagi researcher yang tertarik tentang kedirgantaraan tersebut. Terkait R-80, PT DI akan menunggu kepastian financingnya, Karena kami tidak ingin gagal dua kali (dalam sejarah N 250). Karena untuk menghidupkan N 250 butuh biaya yang sangat besar (sekitar $US I milyar) Kami juga masih menunggu adanya komitmen membeli atau pasar R-80 dari perusahaan air line yang telah memiliki nama seperti Lion Air, Garuda Airliner dll, dan bukan komitmen pembelian dari perusahaan air line kecil. Karena hal ini (besar/kecilnya pasar) akan dapat berdampak pada sejauh efisiensi pembelian Enginenya. Hingga saat ini, teknologi kunci yang sangat mempengaruhi kompetitif tidaknya pesawat adalah pada efisiensi penggunaan Enginenya bukan pada frame atau desainnya. Dan kepastian adanya pasar terutama dari perusahaan penerbangan yang telah memiliki nama, akan dapat meningkatkan kompetitifya harga pesawat. PT DI akan terlibat dalam program R-80 hanya dalam koridor kontrak untuk manufacturing bukan dalam konteks risk sharing. Program R-80 lebih bersifat technology driven dari pada market driven, dan tentunya hal ini akan sangat beresiko, pertama: dari sisi pasar, yaitu jika
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
Dukungan organisasi dalan upgrading kemandirian teknologi kedirgantaraan
Arah pembangunan iptek
Gambaran pada level operasional
Gambaran pada level organisasi.
300
23
Bagian Marketing, Keuangan dan Promosi PT DI, Pak Dhiwan Renaldi, pada tanggal 11 Agustus 2014 di BPPT
tidak ada kepastian pasar (terutama ada komitmen membeli dari perusahaan air line besar) maka akan menyebabkan harga pesawat tidak akan kompetitif. Karena tingginya komitmen pasar yang dilihat dari adanya komitmen pembelian dari perusahaan air line yang besar terhadap R-80 akan dapat diskon dari harga engine sampai 30%. Tentunya mengingat bahwa dari harga pesawat, sekitar 17,5 sampai 20%nya adalah harga untuk engine. Untuk membuat pesawat terbang (N 219) dibutuhkan sekitar 1,2 Juta man hours Pelajaran dari N 250 adalah, bahwa untuk sertifikasi dapat bertahap, yaitu pertama-tama untuk pasar domestik dengan sertifikasi laik udara dari Directorate General of Civil Aviation-DGCA (Dephub), dan kemudian untuk dapat secara luas dipasarkan secara internasional kemudian dapat dilakukan untuk mendapat sertifikasi FAA atau Eyasa (Eropa) Sinergi kelembagaan dalam pengembangan pesawat khususnya N 219, adalah Kemenperind selain lobi marketing juga melakukan pembinaan Industri untuk TKDN 40-60%, Kemen BUMN melakukan lobi financing, seperti yang telah dilakukan adalah upaya mendapatkan bantuan donor investasi dari negara-negara (Islamic Development Bank)- IDB dan OKI sekitar $US 30 Juta yang dilakukan olah KemenBUMN (Dahlan Iskandar) Upaya pengembangan atau menghidupkan kembali N 250 akan sangat memakan biaya, salah satunya adalah akan ada klaim terkait Non Recurring Cost (NRC)/biaya-biaya pengembangan) oleh vendor-vendor luar negeri. Karena paten dari N 250 hanyalah di desain saja. Oleh karena itu, dari sisi PT DI, upgrading CN 235 dengan kapasitas 50 penumpang versi sipil lebih ekonomis dari sisi biaya, karena untuk pengembangan tersebut hanya dibutuhkan sekitar Rp.700 Miliar dibandingkan untuk “upgrading N 250 menjadi R-80” yang membutuhkan dana (yang diharapkan dari pemerintah sekitar Rp. 3 triliun) CN 235 seri 110 buatan PT DI Indonesia telah mendapat sertifikasi internasional yaitu dari Eyasa (Eropa). Upgrading N 250 menjadi R-80 akan sukses selain dari dari aspek marketing adalah jika ada dukungan politik dan pendanaan yang kuat dari pemerintah. Jumlah SDM saat ini tahun 2014, sekitar 3000 lebih, dan tenaga kontrak sekitar 1500 orang, dan ditahun 2016 akan banyak yang pensiun Dari sekitar 15 900 pegawai PT DI, setelah sempat dipensuin dinikan, akhirnya pada tahun 2003 sekitar 6000 pegawai PT DI dirumahkan dan tersisa sekitar 3000 karyawan, dan di tahun 2004 dilakukan seleksi ulang
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
301
24
Wawancara dengan Asdep Produktivitas Iptek Strategis, Bambang Sutedja, 12 Agustus 2014, di lantai 21 Kemenristek
25
Wawancara Representative, Agustus 2014
dengan Gustaferi
PT
Marketing RAI, 12
26
Wawancara dengan Pustekbang Structuer, Bapak Fajar Dono
Aero
27
Wartawan Senior Kompas, Ninok Leksono
Sejak krisis 1997-1998, dikenal dengan masa bleeding, jika variabel machine hour dimasukkan bahkan Cash Flow IPTN negatif. Baru pada tahun 2011, ketika hutang PT DI sebesar Rp. 2 triliun diputihkan sebagai penyertaan modal pemerintah, setelah itu baru cash flow PT DI positif Perusahaan NTP adalah anak perusahaan PT DI di Bandung, yang melayani jasa servis turbin. Kemen BUMN saat ini lebih berperan dalam melobi untuk mendapat donator untuk PT DI, seperti dalam kasus N 219. Local content untuk N 250 sangat rendah, yaitu pada kaca samping dan interior dll Untuk pengembangan N 250 sempat mendapatkan sumber pendanaan (pinjaman dari dana reboisasi dan potongan gaji PNS/Guru). Pengajuan pendanaan (apakah dengan APBNP) untuk pembangunan infrasrtuktur R-80 sebaiknya diajukan bersamaan dengan kebutuhan upgrading untuk pengujian N 219, hal ini mengingat antar N 219 dengan R80 merupakan sama-sama program pengembangan pesawat terbang nasional, hanya bedanya satu diiniasi oleh BUMN dan satunya adalah inisiasi swasta ... Untuk mengembangkan R-80 dibutuhkan sekitar 1000 SDM tentunya dengan bermitra dengan PT DI, dan pemerintah: Ristek, BPPT, LAPAN, Dephub dan ITB dll. Kemen BUMN berjanji akan membeli 20 unit untuk Garuda Saat ini pasar yang telah komit untuk membeli R-80 adalah NAM Air sebanyak 100 unit, Kalstar sebanyak 25 unit, dan Trigana sebanyak 20 unit, bahkan penerbangan dari Australia telah menyatakan mintah untuk membeli 2 unit R-80. Untuk mendapat sertifikasi Eyasa harusnya sudah mencapai 1000 jam terbang, dan untuk sertifikasi FAA sekitar 1500 jam terbang. Adapun unutuk sertifikasi DGCA. dibutuhkan waktu lebih kurang 2 tahun. Saat ini ada tujuh Working Group Ariliner yaitu: Sky, Merpati, Wings, Citilink, Nam Air, Trigana, dan Klastar Saat ini LAPAN sedang membangun tiga fasilitas pengujian untuk N 219, yaitu: Drop Test, Engineering Flight Simulation (EFS), dan Uji Composite (saat sedang dilakukan uji tarik). Status N 219 saat ini adalah telah melakukan TCBM (Typte Certificate Board Meeting) yang merupakan pra sertifikasi DGCA DGCA selesai diperkirakan dalam jangka 3 tahun Untuk keberhasilan program R-80 adalah proses panjang serta sangat membutuhkan dukungan yang kuat dari pemerintah dan tentunya leadership
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
Dukungan upgrading pada aspek kebijakan
302 28
Wawancara dengan Prof. Suyantao H, Mantan Direktur Teknologi Proses BPPT di Era Habibie, 11 Agustus 2014
29
Kabid Peta Rencana pada Keasdepan Relevansi Kebijakan Riset dan Iptek, Asep Supanda. 13 Agustus 2014 Bagian Inspeksi B2TKS, Ir. Soekardi ( Terlibat dalam pengujian CN 235 dan N 250), Pada Pameran Teknologi BPPT, tanggal 20 Agustus 2014 di BPPT II.
30
31
Wawancara dengan Dr. Ilham Habibie PT RAI, 25 September 2014, jam 11.35-11.50
32
Wawancara dengan Pak Sudira, Bagian HKI PT DI, 13-November 2014
Pada zaman Habibie sebagai Menristek, kinerja dan semangat kerja karyawan sangat tinggi, bahkan seringkali Menristek dengan para segenap Eselon I nya bekerja dan mengadakan rapat malam untuk menyelesaikan target-targer kegiatan. Kementerian Ristek seharusnya menghasilkan roadmap kebijakan llmu Pengetahuan dan teknologi pada level sektoral, yang kemudian menjadi acuan kegiatan litbang nasional. Saat ini SDM B2TKS sekitar 25 Orang, kalau dihitung yang sudah pensiun dan masih bisa diberdayakan sekitar 30 orang
Saat in untuk pengujian N 219 belum dilakukan Dulu kami sudah siap dengan N 250, kami sudah siap untuk segala pengujiannya....tapi sayang tehenti karena politik. Khususnya sejak Gusdur dan Menteri AS Hikam. BPPT sejak saat itu termasuk B2TKS dianggap sebagai mainan Habibie. Untuk pesawat R-80, tantangan utamanya pada ketersediaan SDM, karena dalam dua tahun kedepan ahli seperti uji inspeksi akan habis karena pensiun Begini ya, Engineering itu butuh kesinambungan untuk “mempraktekan ilmunya” kalau setahun saja fakum, maka akan hilang sense, kepekaannya dll Dulu B2TKS hanya untuk IPTN, tetapi sejak Era AS Hikam B2TKS dihabiskan, dan dipaksa membuka jasa pengujian seperti mobil dll Kekhawatiran Barat terhadap rencana pengembangan pesawat terbang IPTN adalah, karena kalau kita sudah dapat menguasai desain dan produksi Pesawat Jet, yang rencananya adalah setelah N 250, maka akan dengan mudah untuk mendesain dan memproduksi pesawat tempur. Seperti yang sudah dikuasi Iran.... B2TKS telah mendapat sertifikasi FAA sejak tahun 1995. Jika pemerintah tidak mendukung program upgrading infrastruktur sektor dirgantara yang kemudian dapat dimanfaatkan oleh R-80, maka PT RAI akan melaksanakan skenerio lain dengan melakukan sebagiannya kegiatan dengan melibatkan pihak luar negeri Setiap pesawat dirancang denga misi tertentu, N 219 digunakan untuk misi perintis, CN 235 untuk misi tertentu dan militer, N 250 adalah untuk misi bisnis- wisata dan misi nasionalisme, misi bisnis dan pariwisata, harapannya adalah setelah penumpang turun dari pesawat sejenis Beoing dan Airbus, dan ketika ingin melanjutkan perjalanan antar propinsi, maka pesawat N 250 masih menyediakan kenyamaan dan tingkat keamanan yang relatif tidak
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
Budaya kerja
Strategi pada level operasional
303 kalah dengan dua pesawat sebelumnya.
32
33
Hasil Kutipan dari Wawancara yang dilakukan oleh Pihak Lain Wawancara antara Pak Habibie dengan Peter Dulu pada zaman Bung Karno, ada indoktrinasi: (yaitu) untuk menyedot F Gonta, 8 Januari 2012. ilmu pengetahuan tinggi dari Negara-negara maju diantaranya Jerman. (Setelah selesai) kembali untuk membangun Negara, waktu itu, ditahun http://www.youtube.com/watch?v=I7qX8Uk 1950an hanya ada dua jurusan yang diperkenalkan untuk belajar ke Luar 8nAg Negeri yaitu Maritim dan Dirgantara, karena visi Bung Karno tidak hanya memberikan nasionalisme kepada kita, tetapi juga menyakinkan bahwa NKRI itu dari sabang sampai merauke hanya bisa sepanjang masa dipertahankan dan bersatu dan menjadi satu negara yang makmur, jikalau bangsa ini menguasai secara mandiri teknologi dirgantara dan teknologi maritim...”Visi Bung Karno tersebut kemudian dilanjutkan dan diterjemahkan dalam strategi yang lebih kongkrit dalam era Presiden Soeharto Ketika pertanyaan tentang, kenapa prioritasnya waktu itu harus teknologi sektor dirgantara bukan pertanian? Jawaban Beliau: “Apakah mungkin manusia/ekonomi Indonesia akan berfungsi tanpa pesawat terbang? Tidak mungkin, lihat aja lapangan terbang Surabaya, bukan main!! Lihat aja bagaimana berkembangnya perhubungan udara...
Wawancara antara Pak Habibie dengan Najwa Shihab di Mata Anajwa, 5 Februari 2014, Metro Tv
Habibie mangatakan: Sekitar 200 unit pesawat termpur F 16 dari General Dynamic-USA yang diperuntukkan untuk TNI AU, sisipnya dibuat oleh IPTN. Kerjasama tersebut dilakukan dalam mekanisme off set yaitu sekitar 35-40% dari total harga 1,5 squadron F 16 pengadaaanya tidak dengan uang, tetapi dengan lapangan kerja/jasa pembuatan sirip pesawat terbang tersebut oleh IPTN. ..lihat aja, di Amerika, industri yang dah anjlok ..untuk mempertahankan itu, (oleh pemerintahnya) dibail out, diberikan duit,.. saya yang sehat didepan pintu mau mendapatkan FAA, ditikam, dimatikan, model maana itu!!!! “Jangan lupa ya, saya membuat industri strategis itu bukan ide saya, ide bangsa Indonesia yang dicetuskan oleh Bungkarno, saya itu diindoktrinasi, waktu pesawat terbang itu terbang, saya plong, karena indoktrinasi yang saya yakin harus laksanakan itu telah saya berikan kepada bangsa ini… saya mulai dengan 20 orang, waktu saya jadi Wapres (maret 1998), harus saya letakkan (jabatan vice chairman BPIS) industri strategis dengan 48. 000 orang dengan turnover US$10 billion, dan pada saat itu (untuk N 250) telah
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
Dukungan upgrading pada aspek kebijakan
304 ditandatangani kontrak untuk mengadakan di Alabama (US) di mobil, saya buat assembling line dari N 250 dan saya buat di Sttutgart assembling line untuk N 250 dan sudah 80% FAA sertifyte, tiba-tiba disuruh berhenti.. yang benar aja dong. Alasannya, hutang-hutang kita banyak, hutangnya yang mana?, hutang swasta! bukan hutang BUMNIS, ..dihentikan, (kemudian) yang mengambil alih (Era Gusdur) Dia Bubarkan (BPIS). (Kemudian) yang bersangkutan pernah datang sama saya mengatakan “yang melaksanakan (memerintahkan) itu adalah IMF, (lalu Beliau merespon) Eh, kalau IMF datang kemari, dia mengatkan dia mau membantu, tapi saya harus matikan perusahaan (BUMNIS), saya tendang keluar itu IMF!!!! 34
Wawancara yang dilakukan oleh rtv terhadap Vice Chairman II PT RAI, Dr. Ilham Habibie, Awal Juli 2014 di rtv.
35
Wawancara yang dilakukan Rosianna Silalahi oleh Global TV dalam acara Rossi, 2 September 2010 http://www.youtube.com/watch?v=n5Y5eW bNVEg.
Yang diharapkan dari pemerintah dalam program R-80 khususnya terhadap industri dirgantara secara umum adalah dukungan dalam sistem perpajakan, dimana laba dari kegiatan litbang dapat dijadikan sebagai factor pengurang pajak (tax deduction). Pada era pengembangan N 250, pengetahuan bisnis manajemen IPTN masih lemah Ketika dikatakan kepada Beliau bahwa visi Bapak dianggap terlalu cepat, Proyek ambisius sehingga itu kemudian dimentahkan? Saya rasa itu yang mengatakan proyek ambisius itu tidak benar, kita harus melihat ya, pasar domestik Indonesia didalam bidang dirgantara Commersial airplane itu tidak perlu saya berbicara dengan angka-angka, anda masuk aja ke lapangan terbang melihat berapa banyak pesawat terbang yang mirip seperti N 250 terbang, ...memang bahwasanya adalah bahwa pesawat-pesawat terbang yang ada di bumi Indonesia untuk commersial airplane adalah “hasil rekayasa dan ciptaan putra-putri Indonesia sendiri...” (Karena sejak proyek N 250 diberhentikan, sejumlah karyawan IPTN beralih kerja di Boeing, AirBus, Embraer, Turki dan negara-negara tetangga) Ketika Rossi menanyakan kepada Karyawan Boeing yaitu Pak Grek yang pernah kerja di IPTN selama 8 tahun pada Era IPTN Habibie, tentang harapannya ke Pak Habibie menyatakan: ..saya yakin (kalau) Pak Habibie konsentrasi penuh ke IPTN atau PT DI, ini bakal meningkatkan motivasi dan moral karyawan PT DI sekarang, dan saya yakin, kita pasti bisa membangkitkan industri dirgantara Indonesia lagi... ...Kalau orang mengakatan kan kamu (IPTN) terlalu banyak pegawainya, yang benar aja, kalau saya harus membuat perusahaan tersebut di Eropa atau di Amerika, (kalau) saya butuh pegawai, saya tinggal pasang iklan, pada
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
Dukungan upgrading pada aspek kebijakan dan organisasi
Gambaran pada level operasional
305
36
Wawancara dengan Depuit Pendayagunaan Iptek-Dr. Pariatmono, pada tanggal 5-122014
37
Diskusi informal dengan Anang Witjaksono, Head of Ref Office Jasa Raharja dan salah seorang yang pernah terlibat dalam proses pengadaan komponen pesawat terbang IPTN pada awal tahun 1990an, di gedung MochtarPGT Cikin UI, pada tanggal 11 Desember 2014
38
Wawancara dengan Mantan Direktur Keuangan IPTN, Asril, tanggal 17-12-2014
39
Wawancara dengan Nugroho Ananto, Kabag. Pengembangan Organisasi dan Sistem Manajemen -Badan Pengelola Industri Strategis pada tahun 1990.
datang, (lalu) saya pilih saja, tempat saya (Indonesia) tidak ada, saya tidak mau ambil orang dari luar negeri, saya hanya justru memilih manusia Indonesia yang berbakat, tidak mengenal SARA dan Gender dsb......Itu seharusnya N 250 akan masuk pasar tahun 2000, dan N 2130 akan masuk pasar tahun 2004, sekarang tahun 2010..kan konyol itu..dimana semua itu!!!, nah sekarang yang menikmati orang-orang lain (perusahaan pesawat asing). Tentang R-80, Pak Habibie telah bertemu dengan Menristek Dikti (Muhammaf Natsir) dengan dukungan terhadap pengembangan R-80, intinya “Pak Menristek mendukung pengembangan infrastruktur untuk dirgantara nasional sekaligus yang dapat dimanfaatkan dalam pengembangan R-80 sekitar minggu kemarin (akhir november 2014) Pada saat itu sekitar awal tahun 1990an (persis proses pengembangan N 250 dimulai), saya menemani teman saya yang merupakan pegawain IPTN pada bagian pengadaan IPTN melakukan pencarian untuk komponen pesawat, salah satunya adalah Ban Pesawat, Ban tersebut dibeli di Tangerang dan kami pasang dengan merek “made in germany”. Kondisi demikian tidak hanya pada pengadaan Ban tetapi juga sangat mungkin pada komponenkomponen lainnya. Teman saya itu, dengan uang haramnya tersebut mampu membeli dan mengganti mobilnya beberapa kali hanya dalam satu tahun. Sejatinya pengembangan N 250 terutama untuk 70 sheeter sudah didahului dengan feasibility study, karena keputusan untuk 70 penumpang waktu itu sangat tepat sekali..... Terkait pengadaan komponen, saya tidak mendapatkan “hitam diatas putih” terkait keganjilan dalam proses pengadaan, namun yang jelas, semakin banyak agen akan semakin banyak komisi, oleh karena itu pada waktu itu, terkait komponen pesawat, (kemudian) kami lakukan pengadaan langsung ke Amerika Serikat (misal dengan mendirikan Assembling Line untuk N 250 di Alabama). Sejatinya, pada awal pengembangan N 250, telah diusulkan untuk dibawah program kementerian ristek sebagai program riset dan dikontrakkan ke IPTN dan Pak Harto sudah setuju pada saat itu, namun sayangnya itu tidak jalan. Habibie ketika menduduki Presiden OKI pernah mengundang anggota OKI mengunjungi Industri Strategis waktu itu, salah satunya adalah IPTN, nah Barat mengkhawatirkan Indonesia sebagai negara dengan negara Islam terbesar akan tumbuh juga sebagai negara dengan kekuatan teknologi yang sangat kuat, dan tentunya ini sangat mengancam hegemoni negara-negara Eropa.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
Aspek dukungan kebijakan/politik
Analisis level operasional
306
Lampiran 10. Analisis Data Hasil FGD/Diskusi Konstruksi Tiga Level Hierarki Proses Kebijakan dalam Upgrading Teknologi Pesawat Terbang di GVC No
Tema dan Waktu
Narasumber/Undangan
1
FGD persiapan pengembangan N 219, 20 Desember 2012 di Kementerian Ristek
Kemristek, Kemperin, Kemenko, Kemhub, Bappenas, LAPAN dan BPPT
2
FGD Persiapan Pembentukan Task force untuk Pengembangan R-80 yang merupakan upgra N 250, 23 Juni 2014 di Gedung 2 BPPT lantai 21
10. Deputi Relevansi dan Produktivitas Iptek 11. Deputi Bidang Penelitian Dasar dan Terapan-BATAN 12. Kabid Pusat TIK-BPPT 13. Semua Asdep di lingkungan Dep IV 14. Empat Kabid di ADPRIS 15. Direktur teknologi- PT RAI 16. Rahayu S Arifin-Corporate Secretary-PT RAI 17. Tjahjo Kartiko- Cief Certification-PT RAI dll
Hasil/ Kesimpulan FGD yang telah direduksi Ditjen IUBTT-Kemenperind, memaparkan bahwa: kemampuan dalam negeri untuk industri hulu maupun industri antara dalam pengembangan pesawat terbang nasional masih sangat rendah. Dan saat ini Kemenperin terus membangun kemampuan Industri Komponen Pesawat dalam negeri. Tujuan PT RAI adalah mengembangkan kemitraan dalam membangun kemandirian teknologi kedirgantaraan nasional berupa suatu program b-to-b yang disponsori dan didanai oleh swasta (RAI) dan bekerja sama dan mengoptimalkan kapasitas PT DI Untuk mengangkat program R-80 yang merupakan upgrading teknologi N 250 sebagai program nasional, maka dilakukan dua hal 5. Segera mempelajari proses N 219 dalam mendapatkan dukungan nasional, karena alurnya sangat jelas dan sudah terbukti. Karena dukungan pendanaan akan turun dengan sendirinya setelah R-80 terangkat sebagai program nasional. 6. Atau mencoba mekanisme lewat LPDP (melalui program afirmasi nasional, sebagaimana telah digunakan untuk program Molina). 7. Dalam jangka panjang kedepan,
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
Aspek
Keterangan
Paparan kondisi pada aspek operasional
Penanggung jawab Kegiatan tersebut adalah Asdep Relevansi Program Riptek dan pada saat itu Peneliti adalah sebagai Satf di Kasdepan tersebut.
Proses mendapatkan dukungan upgrading teknologi baik pada aspek organisasi maupun pada aspek politik.
Penanggung jawab Kegiatan tersebut adalah Asdep Relevansi Program Riptek dan Peneliti adalah sebagai Kasub Analisis Kinerja Program, sekaligus diminta oleh Dpeuti Relevansi Program Riptek untuk membantu dalam kegiatan tersebut. (Notulensi terlampir)
307
3
Audiensi dengan Presiden III Prof Dr BJ Habibie dalam rangka Hakteknas 19 di kediaman Beliau di di Jl Patra Kuningan XIII, 14 Juli 2014.
Deputi Kelembagaan Iptek-Dr Mulyanto, Deputi Pendayagunaan Iptek 2009-2013/Staf Ahl Bidang Energi Dr. Idwan, Presiden Director PT RAI, Agung Nugroho, Empat Eselon II/Asdep di Kementerian Ristek, satu Eselon III dan Peneliti.
sudah saatnya isu kemandirian teknologi kedirgantaraan dan kemaritimin seyogyanya harus distated dengan tegas dalam arah pembangunan jangka panjang, tentunya ketegasan Jakstranas dan ARN dapat kemudian dijadikan naskah akademik yang dapat digunakan dalam proses teknoratik penyusunan RPJP kedepan. Karena kalau hanya RPJPM, sangat sulit menjamin konsistensi keperpihakan politik hanya lima tahunan, sedangkan proses pembangunan teknologi kedirgantaraan tentunya dibutuhkan frame waktu yang panjang (dalam hal ini sejumlah negara bisa dijadikan sebagai benchmarking, keberhasilan Brazil, China dan kegagalan Rumania, Argentina, dan N250 Indonesia, dimana determinant 8. R-80 rencananya akan menggunakan komposit (Karbon, campuran kevlar) di bagian sayap dan di ekor Pak Habibie mengatakan: Pesawat R-80 adalah pengembangan yang lebih sempurna dari N 250. Selanjutnya, Pak Habibie dan PT RAI mengharapkan dimasukkannya program R-80 tersebut sebagai salah satu program nasional, melalui dicantumkannya program R-80 tersebut dalam pidato Presiden dalam peringatan Hari Teknologi Nasional (Harteknas XIX) dan dalam Pidato Presiden tanggal 16 Agustus 2014. Director utama PT RAI, Agung Nugroho mengharapkan pemerintah dapat
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
Proses mendapatkan dukungan upgrading teknologi pada aspek organisasi maupun pada aspek politik.
308
4
Pertemuan antara PT RAI dengan LAPAN Tanggal 16 April 2014 di LAPAN
Dari PT RAI hadir Agung Nugroho Budi Wibowo. Sedangkan dari LAPAN adalah: Prof.Dr.-Ing.Soewarto Hardhienata, Gunawan Prabowo, dan Ariebowo
5
Pembahasan Pengembangan pesawat perintis N219 Kamis, 8 Februari 2012 di BAPPENAS
Rapat dipimpin oleh Direktur Transportasi Bappenas dan dihadiri oleh Direktur Industri, Iptek dan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif BAPPENAS; Perwakilan dari Kemenristek; Kemenprin; Kemenhub; BI
memberikan insentif pembiayaan untuk industri-industri dalam negeri yang bergerak pada komponen pesawat terbang Deputi Kelembagaan Iptek, Dr. Mulyanto, mengatakan bahwa: Hasil Musyawarah perencanaan nasional (Musrenas) yang dulu bernama Rakornas akan lemah karena tidak ada kepastiannya akan diacu dalam Sistem Penganggaran Nasional, oleh karena itu kedepannya, Kemenristek akan bertindak sebagai clearing houes Iptek bersama BAPPENAS, untuk itu Kemenristek akan memperkuat fungsi koordinasi kegiatan litbangnya melalui amandemen UU 18 yang akan mencantumkan peran Kemenristek dalam koordinasi kegiatan litbang nasional Habibie mengatakan: Kalau tidak dibangun (R-80), lima tahun kedepan ahli-ahli dirgantara akan habis RAI juga mengharapkan bahwa dengan program R-80, RAI sebagai “swasta” dapat memberikan program ke Pemerintah, yang dapat berdampak kepada fasilitas LAPAN dapat dikembangkan dan diberdayakan. Jika Pemerintah memberikan dana misalkan kepada PT DI untuk membangun hangar, maka RAI dapat menyewa hangar untuk produksi pesawat R-80. Kemenprin, Kemenhub, dan BPPT akan mendukung pengembangan pesawat N219. Kemenhub akan memberikan dukungan dalam uji kelaikan pesawat. BPPT telah memberikan bantuan
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
Aspek Kebijakan terkait arah pembangunan iptek.
Sinergi kelembagaan dalam kemandirian teknologi kedirgantaraan
Sinergi kelembagaan dalam kemandirian teknologi kedirgantaraan
Penanggung jawab Kegiatan tersebut adalah Asdep Relevansi Program Riptek dan pada saat
309 pengujian angin pada tahun 2011 dan akan mengajukan new inisiatif untuk tahun 2013. Adapun kemenperin akan mendukung diantaranya dalam melakukan bimtek (bimbingan teknologi) kepada industri-industri manufaktur pendukung dalam negeri. 6
Rapat Koordinasi Pengembangan Pesawat N-219, Jum’at /13 Desember 2013 di Hotel Gino Feruci, Bandung
1.
2.
3.
4. 5.
6.
7
Diskusi Penyiapan Inpres N 219, Kamis / 16 Februari 2012, Ruang Rapat Kemristek lantai 6
Presentasi ”Sinergi Antar Lembaga dalam Pengembangan Pesawat N-219” – Ahmad Dading Gunadi Presentasi “Rencana Pengembangan Industri Transportasi Nasional dalam RPJMN 2015-2019”, Direktorat Transportasi Bappenas – Adi Permana Presentasi “Kesiapan PT. DI dalam Pengembangan Pesawat N-219” – Andi Alisjahbana Presentasi “Program Pengembangan Pesawat N-219” – LAPAN Presentasi “Kebijakan Pengembangan Kedirgantaraan”, Direktur Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kemenperin - Hasbi Presentasi “Rapat Koordinasi N -219” – B2TKS, BPPT – Cahyo Pranoto
Peserta rapat yang hadir berjumlah 17 orang yang mewakili lembaga-lembaga: Kemristek, Kemperin, Kemenko, Kemhub, Bappenas,LAPAN dan BPPT
itu Peneliti adalah sebagai Satf di Kasdepan tersebut.
Sehubungan bahwa tahun 2014 merupakan tahun politis, manfaatkan peluang ini dengan baik, adapun strategi yang dilakukan adalah: a. Tahun 2015 akan memasuki tahap pengembangan RPJM ke3. Insertkan program N-219 ke dalam RPJM Bappenas b. Riset kedirgantaraan akan diinsertkan ke dalam ARN 2015-2019 Kemenristek c. Optimalisasi industri manufaktur transportasi yang telah terbangun (PT. DI, PT. PAL, PT. KAI) dengan dukungan political will yang besar dari Pemerintah.
Dukungan upgrading teknologi kedirgantaraan baik pada aspek kebijakan, sektoral dan operasional.
Disepakati agar Kemristek menjadi koordinator dari program Percepatan Pengembangan dan Pemanfaatan Pesawat Udara Perintis 19 (Sembilan Belas) Penumpang. Adapun terkait Inpres khusus N 219, tidak diperlukan karena sudah ada sejumlah Perpres yang telah mencakup seperti Perpres No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional dan Perpres No. 32 Tahun 2011/MP3Ei, dimana kedua perpres ini telah secara
Dukungan kebijakan untuk kemandirian teknologi kedirgantaraan
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
310
8
Sidang Paripurna I DRN tahun 2014 pada tangal 26 Juni 2014, Sidang tersebut membahas tentang Arah Pembangunan Iptek kedepan (Agenda Riset Nasional 20152019)
Rapat dihadiri oleh Menristek beserta Pejabat Kementerian Ristek, Kepala LPNK, Ketua DRN beserta seluruh Anggota DRN. Adapun 5 narasumber berkompeten, yaitu: (i) Dr. Iding Chaidir (Sekretaris DRN) Kebijakan Indonesia yang Sejahtera dan Berdaulat, (ii) Andi Alisyahbana MSME (Anggota DRN – Komtek Transportasi) Pengembangan Teknologi Transportasi Tepat Butuh di Indonesi, (iii) Prof. Dr. Laode M Kamaluddin (Tim Ahli Bidang SDM dan Iptek dari Capres Nomor 1) - Peran Iptek untuk Mendukung Visi Indonesia yang Bersatu, Berdaulat, Adil dan Makmur serta Bermartabat, (iv) Dr. Alexader Sonny Keraf (Tim Ahli Bidang SDM dan Iptek dari Capres Nomor 2, serta Menteri LH dan Anggota DPR Komisi VII 2005-2009 - Peran Iptek untuk Mendukung Visi Indonesia Yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong, dan (v) Dr. Ir. Mesdin Kornelis Simarmata, MSc (Direktur Industri, IPTEK, Pariwisata dan Ekonomi KreatifBappenas) Naskah Teknokratik Pembangunan Iptek RPJMN 20152019.
tegas mendukung pengembangan pesawat terbang commuter nasional Terkait kemandirian teknologi, Prof. Dr. Laode M. Kamaluddin selaku tim ahli dari calon presiden Prabowo selain menekankan pentingnya pembangunan budaya iptek juga mengatakan: “kami sangat mendukung kemandirian teknologi dalam negeri termasuk teknologi kemaritiman, tetapi karena kemandirian teknologi pada akhirnya adalah sangat ditentukan oleh sejauh mana visi iptek presidennya, oleh karena itu sangat dibutuhkan pemimpin yang mempunyai leadership yang kuat serta memiliki keberpihakan terhadap kemandirian teknologi yang sangat tinggi” Adapun dari politisi yang sekaligus merupakan tim sukses calon presiden Jokowi, yaitu Dr. Alexander Sonny Keraf, Beliau juga pernah menjadi anggota Komisi VII DPR selama lima tahun (2004-2009) dan Menteri Lingkungan Hidup pada Kabinet Persatuan. Dalam paparannya terkait dengan visi misi calon presiden Jokowi, Beliau juga mangatakan” selain pembangunan karakter, (terkait pembangunan iptek) kami sangat memberikan perhatian khusus pada pengembangan iptek dibidang maritim, baik yang berkaitan dengan pertahanan keamanan maupun SDA khususnya sebagai sumber pangan, .. demi mendukung daya saing nasional. Catatan: dalam Sidang tersebut, hanya dari PT DI dan BAPPENAS yang mengangkat isu kemandirian teknologi kedirgantaraan kedepan, BAPPENAS
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
Dukungan kebijakan untuk kemandirian teknologi kedirgantaraan
Penanggung jawab Kegiatan tersebut adalah Asdep Relevansi Program Riptek dan pada saat itu Peneliti adalah sebagai Koordinator Kajian Penyusunan ARN 2015-2019
311
9
FGD tentang penyusunan Agenda Riset Nasional (ARN) periode tahun 2015Selasa, 11 2019, Februari 2014 (D,ADRPI, KAJIAN)
Acara dibuka oleh Asisten Deputi Relevansi Program Riptek, Ahmad Dading Gunadi dengan agenda pokok: 4. Arahan oleh Deputi Relevansi dan Produktivitas Iptek; 5. Paparan tentang Evaluasi ARN oleh Asdep Relevansi Program Riptek; 6. Paparan tentang Jakstranas oleh Asdep Relevansi Kebijakan Riptek; 7. Paparan tentang peran DRN dalam Penyusunan ARN oleh Sekretaris DRN;
10
FGD tentang Masukan untuk naskah akademik penyusunan Jakstranas dan Agenda Riset Nasional (ARN) periode tahun 20152019, Selasa, 16 April 2013 (D,ADRPI,
Acara dibuka oleh Asisten Deputi Relevansi Program Riptek, Ahmad Dading Gunadi yang dihadiri oleh BAPPENAS, DRN, Karoren Ristek, Karoren LPNK dll
lebih khusus menekankan pentingnya merampungkan N 219, Adapun PT DI lebih luas lagi dan menekankan bahwa teknologi kedirgantaraan dapat diaplikasikan tidak hanya untuk pesawat terbang tetapi bidang lain seperti energi, contohnya adalah teknologi turbin. PT DI menyampaikan ilustrasi urgensi transportasi udara: Dipedalaman Papua, Beras Raskin senilai Rp 3000/kg dapat menjadi Rp 25,000/kg , begitupun bahan bakar subisidi Rp 4500/L dapat menjadi Rp 30,000/L. Padahal, kalau tersedia modal pesawat commuter atau feeder liner, maka dengan asumsi harga angkut perkilogram adalah seharusnya Rp 8 Juta/2000 kg = Rp 4000,-/Kg UU No 17/2007 tentang RPJPN 20052025 menyebutkan bahwa agenda riset harus sesuai dengan kebutuhan pasar, Adapun fokus ARN adalah: a. ARN 2005-2009 : 6 bidang fokus dan 2 bidang pendukung (sosial kemanusiaan dan science dasar) b. ARN 2010-2014 : 7 bidang fokus dan 1 bidang pendukung (sosial kemanusiaan) c. ARN 2015-2019 : 8 bidang fokus (termasuk di dalamnya sosial humaniora) 1. Short-cuting dengan memasukan agenda ARN didalam penyusunan RPJMN merupakan salah satu opsi untuk enforcement ARN 2. Politic will merupakan key factor baik bagi keteracuan ARN maupun adanya keterikatan /bounding ARN.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
Dukungan kebijakan untuk kemandirian teknologi kedirgantaraan
Dukungan kebijakan untuk kemandirian teknologi kedirgantaraan
312
11
MOM, ARN) FGD tentang penyusunan Agenda Riset Nasional (ARN) periode tahun 20152019, 25 Februari 2014 (D,ADRPI, KAJIAN)
Deputi Relevansi dan Produktivitas Iptek, Ketua DRN, Komtek Pangan, Komtek Transportasi, Komtek Energi, Komtek Hankam, Komtek Kesehatan Obat, Komtek Material Maju, Komtek TIK, Komtek Sosial, Sekretaris DRN, Dudi Hidayat MSc, Staf Ahli bidang Energi Material Maju, Asdep Relevansi Kebijakan Riptek, Asdep Relevansi Program Riptek, Kabid Evaluasi, Kabid Perkembangan Program, Kabid Insentif, Kasubid Evaluasi, Analis Asdeo Relevansi Program Riptek Semua Eselon II di Lingkungan Kementerian Negara Riset dan Teknologi
12
FGD penyusunan Renstra Kementerian Riset dan teknologi 19 Juni 2014 di Gedung BPPT II lantai 21,
13
FGD Scholarship di Lantai 18 di Kementerian Ristek, 14 Juli 2014
Rapat dihadiri oleh Pengelola Pendanaan Inovasi di Kementerian Keuangan-LPDP, Kementerian Diknas-Hibah Dikti, Insentif Riset-Kementerian Ristek, US Aids dll
14
Rapat tentang pendanaan Inovasi di LPDP pada tanggal 26 September 2013 di LPDP
Rapat dihadiri oleh Direktur Utama LPDP, Eko Prasetyo dan seluruh Direktur di LPDP, The European Union (EU) dan Penulis sendiri.
Kerangka RPJPN maupun RPJPMN menyebutkan iptek untuk pembangunan dan pembangunan iptek. Yang tentunya kedua penekanan tersebut berbeda. Didalam FGD tersebut (Gambar 5.2), Ketua Komisi Teknologi Bidang Transportasi Prof. Dr Carunia Firdausi mempertanyakan “Apakah pendekatan atau Madzhab yang dianut RPJPN, iptek untuk pembangunankah atau pembangunan untuk iptek”. Dalam FGD tersebut Kepala Biro Perencanaan Kementerian Ristek menyatakan bahwa “ proses perumusan arah kebijakan Iptek antara Kementerian Riset yang akan dituangkan dalam Agenda Riset Nasional dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) III berjalan sendiri-sendiri” Dalam FGD tersebut, Ahmad Dading Gunadi selaku penanggung jawab Insentif Riset mengatakan bahwa”: Hambatan dalam pendanaan inovasi di Indonesia adalah, dana-dana tersebut masih terscatter (terpecah-pecah) di lembaga yang berbeda-beda dan induk yang juga berbeda. Dalam diskusi tersebut Eko Prasetyo menyatakan bahwa LPDP adalah lembaga pendanaan inovasi yang berbentuk BLU dibawah Kementerian Keuangan dan didirikan oleh tiga Dewan Penyantun yaitu: Kementerian Pendidkan, Kementerian Keuangan dan Kementerian Agama. LPDP membiaya riset untuk bidang: governance, budaya,
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
Dukungan kebijakan untuk kemandirian teknologi kedirgantaraan
Aspek Kebijakan terkait arah pembangunan iptek.
Dukungan pendanaan untuk kemandirian teknologi kedirgantaraan
313
15
Seminar, Koordinasi Lembaga Penerima Insentif Riset SINas Jakarta, 22 Mei 2013 (DATA, ADPRI, 2013)
Direktur Industri, Iptek, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif BAPPENAS, Asdep Relevansi dan Produktivitas Riptek, Karoren BATAN, Karoren Ristek, Asdep Relevansi Kebijakan, Asdep Kelembagaan dll.
Sosial keagamaan, pertumbuhan ekonomi, kesehatan, pangan, dan energi Mesdin dalam paparannya menekankan perlunya penguatan kelembagaan dan Infrastuktur Iptek. Sesuai amanat RPJPN 2005-2025, pembangunan Iptek harus dapat memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis SDA yang tersedia, SDM yang berkualitas, serta kemampuan penguasaan Iptek Untuk model kelambagaan inovasi, maka ada dua model yang bisa diadopsi yaitu: • HIRARKI KOMANDO Penyederhanaan Struktur Kelembagan Iptek Sehingga Berada dalam Satu Garis Komando Pemberdayaan Salah Satu Entitas Tersebut Sehingga Berwenang Melakukan “Oversight” Ke Semua Lembaga • DANA RISET TERPUSAT ARN dirancang dan ditetapkan Secar a Top Down dan Anggarannya dikendalikan oleh Satu Entitas Distribusi Anggaran ARN dilakukan Melalui Mekanisme Seleksi Proposal Secara Professional Dalam Seminar tersebut diungkapkan berbagai pendekatan pemerintah berdasarkan tipologi teknologi, untuk jenis teknologi yang bersifat Development of complex systems dengan ciri High cost Risk Limited appropriability (particularly for infrastructure technology) seperti
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
Dukungan kebijakan untuk kemandirian teknologi kedirgantaraan
Penanggung jawab Kegiatan tersebut adalah Asdep Relevansi Program Riptek dan pada saat itu Peneliti adalah sebagai Saff di Kasdepan tersebut.
314
16
Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas), Ristek-Komisi III bidang Transportasi, 27-28 Agustus 2013 dengan tema “Inovasi untuk kemajuan bangsa: Sinergi iptek, pendidikan, dan industri untuk mendorong inovasi dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi”.
Pakar dari BAPPENAS, Kemenristek, Kemenhub, PU, Kemenperin, Pemerintah Daerah, BPPT, LIPI, BUMN, perguruan tinggi dll.
Aerospace (kedirgantaraan); Electrical and electronics technology; Telecom/computer technology; semiconductor. Maka intrsumen kebijakan yang relevan adalah dalam hal: R&D cooperation Subsidies; dan Bridging institutions to faciltate development of infra-structure technology BJ Habibie mengatakan bahwa: Indonesia telah berpikir untuk mengembangkan teknologi kedirgantaraan sejak proklamasi. Saat itu, Presiden Soekarno mengatakan bahwa negara ini perlu menguasai teknologi pesawat terbang untuk memudahkan dan mempercepat transportasi antarpulau di wilayah Indonesia. Kriteria Sistem transportasi yang ingin di kembangkan adalah: 1. Sesuai dengan Kondisi Geografi 2. Sesuai dengan Ketersedian Sumberdaya Energi 3. Kesiapan Teknologi (TRL) 4. Faktor Ekonomi/Keterjangkauan 5. Keberlanjutan 6. Demand – Driven Adapun tema riset yang direkomendasikan adalah: 1. Sistem Transportasi multimoda untuk Konektifitas Nasional 2. Sistem transportasi Perkotaan 3. Sistem transportasi untuk sistem Logistik 4. Teknologi keselamatan dan keamanan transportasi
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
Dukungan kemandirian teknologi kedirgantaraan pada level kebijakan, organisasi.
Kegiatan tersebut adalah ada dalam kegiatan Kedeputian Relevansi dan Produkvitias Iptek dan saat itu Peneliti adalah sebagai Satf di Kedeputian tersebut.
315
17
FGD Sinkronisasi PP No. 35 Tahun 2007 untuk Meningkatkan Produktivitas Riptek Industri, 10 September 2013 di Gedung II BPPT lantai 21
Deputi Bidang Relevansi dan Produktivitas Iptek, I Wayan Budiastra, Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Badan Kebijakan FiskalKementerian Keuangan, industri (PT LEN, PT Biofarma dan PT Taharica) dan Para Asisten Deputi terkait di lingkungan Kemenristek. Dalam kesempatan tersebut, selaku moderator acara FGD adalah Asisten Deputi Produktivitas Ripek Industri, Santosa Yudo Warsono.
5. Klaster Industri Transportasi 6. Riset pendukung Transportasi Pemberian stimulus perlu mempertimbangkan arah strategi pengembangan iptek dan Industri di Indonesia; serta perlu adanya batasan yang jelas jenis kegiatan R&D strategis yang perlu didorong dan diberikan fasilitas, untuk menghindari timbulnya distorsi pada tujuan pemberian stimulus. PP no.35 tahun 2007 adalah suatu kebijakan yang mikro, padahal dari sisi lain ada strategi yang benefitnya lebih besar dan dapat difasilitasi. Pemberian fasilitas perpajakan dan kepabeanan saat ini belum mensyaratkan adanya rekomendasi yang telah diterima Badan Usaha dari Menristek (amanah PP no.35/2007). Fasilitasi Fiskal (PPh) R&D dan Pajak Pertambahan Nilai & Pajak Penjualan Barang Mewah (PPN & PPnBM) terkait dengan litbang sudah ada dan sudah diimplementasikan secara umum, yaitu : 1. Biaya litbang perusahaan yang dilakukan di Indonesia dapat dibiayakan untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak (UU PPh Pasal 6); 2. Biaya sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia dapat dibiayakan untuk menghitung Penghasilan Kena Paja (UU PPh Pasal 6 jo. PP 93/2010); 3. Pengecualian dari Objek PPh (UU PPh Pasal 4 ayat (3) jo. PMK 80/PMK.03/2009): Dikecualikan
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
Level Kebijakan
Level organisasi dan operasional
316
4.
5.
6.
7.
dari objek pajak atas sisa lebih yang diterima/diperoleh badan/lembaga nirlaba yang bergerak di dalam pendidikan dan/atau bidang litbang; Tambahan Kompensasi Kerugian 1 tahun (UU PPh Pasal. 31A jo PP 1/2007 s.t.d.d. PP 52/2011): Wajib pajak yang memperoleh fasilitas Investment Allowance (PP 1/2007 s.t.d.d. PP 52/2011), apabila mengeluarkan biaya penelitian dan pengembangan di dalam negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi produksi paling sedikit 5% (lima persen) dari investasi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun; Pengecualian dari Pemungutan PPh Pasal 22 Impor (UU PPh Pasal 22 jo. PMK 154/PMK.03/2010 s.t.d.d. PMK 224/PMK.011/2012) : Dikecualikan dari Pemotongan PPh Pasal 22 atas impor barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; PPN dan PPnBM tidak Dipungut (PMK 231/KMK.03/2001 s.t.d.d. PMK 70/PMK.011/2013) : Tidak dipungut PPN dan PPnBM atas impor Barang Kena Pajak untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; Pembebasan Bea Masuk Barang Iptek (KMK 143/KMK.05/1997 s.t.d.d. PMK 51/PMK.04/2007): Dibebaskan dari Bea Masuk dan Cukai atas pemasukan barang barang yang benar benar digunakan untuk memajukan ilmu pengetahuan termasuk untuk
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
317
18
Diksusi tentang: Kolaborasi kelembagaan dalam Riset, tanggal 7 Agustus 2014 di Gedung II BPPT lantai 21
Narasumber: Mantan Dirjen Dikti, Prof Dr. Satrio Soemantri Brodjonegoro, Moderator: Asisten Deputi Relvansi Program Riptek, Ahmad Dading Gunadi. Peserta: Kepala Bidang Evaluasi, Adhi Hermanoe, Kabid Insentif Riset, Hary Subagyo, Kasub Analisis Kinerja Program, M. Athar, Peneliti LIPI, Dudi Hidayat, Direktur CIPG dan satu orang staf CIPG.
penyelenggaraan penelitian dengan tujuan untuk mempertinggi tingkat ilmu pengetahuan, oleh Perguruan Tinggi, Lembaga dan Badan. 8. Pembebasan Bea Masuk Buku Iptek (PMK 103/PMK.04/2007) : Pembebasan Bea Masuk atas impor buku iptek dan buku lainnya. Menurut Pak Satrio bahwa, rendahnya efektivitas kolaborasi ABG dalam kegiatan riset lebih disebabkan skema penggunaan dan pertanggunjawaban dana yang rigid, terutama untuk kegiatan riset yang bersifat multiyears. Sementera menurut Pak Dading, bahwa kendala utama kolaborasi ABG ada tiga: pertama, adalah tidak adanya kepastian keberlanjutan riset (berhenti dijalan); kedua, Tidak ada mitra industri yang benar-benar mau menggunakan hasil inovasi, saat ini baru ada dari industri yang tergolong BUMN; ketiga, adalah masalah ribetnya administrasi keuangan; keempat, adalah kekurangan tenaga pengelola administritatif di lingkungan Kemenristek. Untuk efektifitas pendanaan inovasi kedepan, Diskusi menyarankan supaya kedepan dibentuk Funding Agency yang bersifat Independen seperti LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan_Kementerian Keuangan), namun kedepan, LPDP hanay sebagai eksekusi pendanaan saja, adapun penentuan tema riset sampai kegiatan seleksi proposal diserahkan ke instansi rerkait (untuk ranah riset –riset pengembangan di Kementerian Ristek) dan untuk ranah riset-riset dasar di
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
Dukungan organisasi (pendanaan) dalam upgrading teknologi
Penanggung jawab Kegiatan tersebut adalah Asdep Relevansi Program Riptek dan pada saat itu Peneliti adalah sebagai Kasub Analisis Kinerja Program dan Koordinator Kajian Penyusunan ARN 2015-2019
318
19
Pidato Wapres di Haktkenas 19 11 Agustus 2014 di BPPT Lantai 3
Dihadiri Presiden RI III, Menristek, sejumlah Menteri, Dirut BUMN, dan seluruh stakeholder Iptek
20
Diskusi antara Kemenristek dengan PT RAI, Tanggal 11 Agustus 2014 di Ruang Deputi Program dan Produktivitas Iptek Lantai 21 FGD Masukan Kebijakan Strategis Nasional (Jakstranas) Iptek 2015-2019, pada tanggal 10 September 2014. Dihadiri seluruh
Deputi Revansi Program dan Produktivitas Iptek Dr Agus Puji, Asdep Relevansi Program Riptek, Ir Ahmad Dading, Asdep Produktivita Riptek Strategis, Bambang Sutedja, Presiden Director PT RAI, Agung Nugroho dan Director of Commercial and Admin, Agung B. Ismadi, Hary Subagyo Kabid Insentif Narasumber: Prof Sofyan Effendi, Mantan Asisten Menteri bidang Koordinasi Formulasi dan Evaluasi Kebijakan Iptek Menristek pada era 1995-1998 Dan sekarang sebagai salah satu anggota tim arsitek Kabinet Jokowi-Hatta
21
Perguruan Tinggi). Untuk transisi dari resources based economy ke knowledge based economy memerlukan waktu jangka panjang dan sangat kompleks. Didalamnya selain membutuhkan perubahan paradigma juga tentunya investasi SDM yang sangat besar. Permasalahan utama yang saat ini dihadapi bahkan lama adalah membangun koordinasi dan sinergi antar stakeholder iptek. Saat ini, sudah sepatusnya tidak ada dikotomi antara ekonom dan technolog, karena keduanya merupakan keduanya seharusnya bersinergi. Dari sisi proses inovasi, dengan mengacu pada studi Schumpeter di Amerika Serikat, bahwa innovation cost yang paling besar adalah justru pada dua tahap lanjutannya yaitu tahap inovasi dan tahap difusi. Oleh karena itu untuk pembangunan tidak semestinya semua bergantung pada iptek tetapi juga pada efisiensi.
Penulis hadir langsung karena sekaligus sebagai panitia Hakteknas 19
Diskusi merekomendasikan supaya PT RAI mengidentifikasi kebutuhannya (infrastruktur pengujian) secara lebih detail dan kemudian mengajukan surat permintaan dukungan infrastruktur ke DEPANRI sebagaimana proses N 219.
Dukungan kebijakan dan organisasi dalam upgrading teknologi
i.
Level Kebijakan
Dulu pada zaman Habibie, Jakstranas Iptek diarahkan untuk mendukung BPIS, Jakstranas sekarang belum jelas arahnya, mau dorong (industri) yang mana? ii. Membangun Indonesia harus
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
Penulis langsung
hadir
319 eselon I Kementerian Ristek serta staf khusus Menristek.
22
FGD II Pengembangan R-80, Senin, 15 September 2014
Pimpinan Rapat : Asdep Iptek Industri Strategis Peserta: 21. IbuRahayu Corporate Secretary PT. RAI 22. Bp. Agung B. Ismadi-Direktur Bisnis R80 23. Pak TjahjoKartiko – Head of Certification- PT RAI 24. Antari W. M – Ristek 25. ArifRahman – Ristek 26. IsmetYus P. – Ristek 27. M. Athar – Ristek 28. Isabel Sibarani – Ristek 29. Erlani Pusparini – Ristek
23
FGD III pengembangan R-80, tanggal 3 Oktober
PemimpinRapat:DeputiPendayagunaanIptek Peserta: 30. IbuRahayu Corporate Secretary PT. RAI 31. Bp. Agung B. Ismadi-Direktur Bisnis R80 denganLembaga 32. Pak Doni – Program Manager PT RAI 33. Pak TjahjoKartiko – Head of Certification- PT RAI 34. Tjahja P – B2TKS BPPT 35. Gatot M. Pribadi – PT. DI 36. Hisar M. Pasaribu – FTMD ITB 37. Taufiq M. – FTMD ITB 38. W. Wira Y – PTIK BPPT
2014
melihat 30 tahun kedepan , itu dulu yang selalu ditanamkan Pak Habibie kepada kami. Feasibility ekonomi menurut ekonomekonomi di lingkungan Kementerian Keuangan adalah dalam jangka waktu lima tahun, oleh karena itu Ristek harus bisa memilih teknologi yang benar-benar dapat “meyakinkan mereka” (demand driven). Notulensi terlampir
Notulensi terlampir
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
Level Sektoral
Tiga Level (Kebijakan, Intersektoral dan Organisasi)
Peneliti sebagai salah satu peserta dan narasumber (Notulensi terlampir)
Tiga Level (Kebijakan, Intersektoral dan Organisasi)
Peneliti sebagai salah satu peserta dan narasumber (Notulensi terlampir)
320 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49.
24
Hakteknas, 8 Agustus 2014, di BPPTCeramah IlmahHabibie
Widrianto – PTIK BPPT A. Witjaksono – PTIK BPPT YantoDaryanto – LAGG BPPT Asdep Industri Strategis-Lenggo Asdep Bambang S. – Ristek Antari W. M – Ristek ArifRahman – Ristek IsmetYus P. – Ristek M. Athar – Ristek Isabel Sibarani – Ristek Erlani Pusparini – Ristek
Sebenarnya saya sekembali dari Jerman hanya ini fokus untuk mengurusi IPTN, namun Pak Harto memaksa saya untuk memegang semua industri strategis (PAL, PINDAD dll)
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
Fokusing dalam dunia Industri-Level Operasional
Peneliti hadir langsung dalam ceramah tersebut.
321 Lampiran Sebagian Foto –Foto Terkait
Audiensi Kemenristek dalam rangka Hakteknas di Kediaman Pak Habibie di Jl Patra Kuningan XIII, 14 Juli 2014.
Sidang Paripurna DRN 2014, dengan narasumber utama dari Politisi, BAPPENAS, DRN, PT DI. 26 Juni 2014
Proses Penentuan Arah Pembangunan Iptek sebagai bahan masukan untuk Agenda Riset Nasional (ARN 2015-2019) yang dilakukan Kementerian Ristek dengan Pakar dari DRN ditambah pakar dari sektor terkait, 2013.
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
FGD Persiapan Pembentukan Task force upgrading N 250; 11 Agustus 2014
FGD Penyusunan ARN 2015-2019 Ristek dengan DRN, 25 Februari 2014
322
Kunjungan ke PT DI November 2013
Diskusi antara Kemenristek dengan PT RAI, Tanggal 11 Agustus 2014 di Ruang Deputi Program dan Produktivitas Iptek Lantai 21
FGD Sinkronisasi PP No. 35 Tahun 2007 untuk Meningkatkan Produktivitas Riptek Industri, 10 September 2013 di Gedung II BPPT lantai 21
Proses kebijakan..., Muhammad Athar Ismail Muzakir, FISIP UI, 2015.
Rapat Koordinasi Pengembangan Pesawat N-219, Jum’at /13 Desember 2013 di Hotel Gino Feruci, Bandung
Sidang Paripurna DRN 2014, dengan narasumber utama dari Politisi, BAPPENAS, DRN, PT DI. 26 Juni 2014