UNIVERSITAS INDONESIA
DINAMIKA NONLINIER PADA PROTEIN SEKUNDER DALAM PENGARUH MEDAN MAGNET ABELIAN
SKRIPSI
DAVIT SIPAYUNG 0906643793
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM STUDI FISIKA DEPOK MEI 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
DINAMIKA NONLINIER PADA PROTEIN SEKUNDER DALAM PENGARUH MEDAN MAGNET ABELIAN
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
DAVIT SIPAYUNG 0906643793
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM STUDI FISIKA DEPOK MEI 2013
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
SKRIPSI ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
:
Davit Sipayung
NPM
:
0906643793
Tanda tangan
:
Tanggal
:
iii
10 Mei 2013
Universitas Indonesia
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh Nama
: Davit Sipayung
NPM
: 0906643793
Program Studi : S1 Reguler Fisika Judul Skripsi
: Dinamika Nonlinier pada Protein Sekunder dalam Pengaruh Medan Magnet Abelian
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar sarjana Sains pada Program Studi S1 Reguler Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia DEWAN PENGUJI
Pembimbing I
:
Dr. L.T.Handoko
(
)
Pembimbing II
:
Prof. Dr. Terry Mart
(
)
Penguji I
:
Dr. Agus Salam
(
)
Penguji II
:
Dr. Efta Yudiarsah
(
)
Ditetapkan di
:
Depok
Tanggal
:
10 Mei 2013 iv
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena kasih-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan waktu yang telah direncanakan. Skripsi ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mendapat gelar sarjana sains jurusan Fisika pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Saya menyadari bahwa dalam pembuatan skripsi ini saya mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. L.T Handoko dan Prof. Dr.Terry Mart selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, motivasi, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini. 2. Dr. Agus Salam dan Dr. Efta Yudiarsah selaku penguji I dan penguji II atas diskusi dalam penyelesaian tugas akhir ini. 3. Kak Januar dan Dr. Handhika, atas bantuan diskusi dalam penyelesaian tugas akhir ini ini. 4. Ayah, Ibu, dan saudara saya Menti, Melda, Vrindo , Arman dan Nober atas dukungan doa dan pemberian motivasi kepada saya. 5. Rekan-rekan mahasiswa fisika, khusunya Nanda, Wileam, Ihda, Zhaky,Enggar dan Jovial atas saran-saran dan diskusi selama penyelesaian skripsi dan juga semasa perkuliahan. 6. Chatrin yang terus mendorong dan menyemangati saya dalam penyelesaian tugas akhir ini ini. 7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan di sini atas dukungan dan doa kepada penulis selama penyelesaian tugas akhir ini. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Depok, Mei 2013 Davit Sipayung
viii
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini; Nama
: Davit Sipayung
NPM
: 0906643793
Program Studi
: S1 Reguler Fisika
Departemen
: Fisika
Peminatan
: Fisika Nuklir dan Partikel
Fakultas
: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Jenis Karya
: Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : DINAMIKA NONLINIER PADA PROTEIN SEKUNDER DALAM PENGARUH MEDAN MAGNET ABELIAN beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Depok, 10 Mei 2013
Davit Sipayung
v
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama
: Davit Sipayung
Program Studi : S-1 Fisika Judul Skripsi
: Dinamika Nonlinier pada Protein Sekunder dalam Pengaruh Medan Magnet Abelian
Diajukan sebuah model yang menjelaskan mekanisme pembentukan gerak pada protein berdasarkan interaksi-interaksi materi dengan pendekatan lagrangian. Sumber non-linier yang disuntikan direpresentasikan oleh lagrangian medan elektromagnetik. Pelipatan protein terjadi karena sumber nonlinier merambat melalui badan protein. Perambatan sumber non-linier melalui badan protein, dapat membuat transisi protein dari bentuk metastabil ke keadaan dasar.
Kata kunci
: pelipatan protein, model, non-linier, keadaan dasar.
x+31 hlm.
: lamp.
Daftar Pustaka : 15 (1984-2011)
vi
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name
: Davit Sipayung
Program of Study : S1 Physics Title
: Nonlinear Dynamics of Secondary Protein folding under the Influence of Abelian Magnetic Field
A model to describe the mechanism of conformational dynamics in protein based on matter interactions using lagrangian approach is proposed. Nonlinear sources injected are represented by electromagnetic field lagrangian. Protein folding is caused by nonlinear source propagate through the protein backbone. Propagation of nonlinear source through the bakcbobe of the protein, can mediate the transition of a protein from metastable conformation to its ground state
Keywords
: protein folding, model, nonlinear, ground state.
x+31 pp.
: appendices.
References
: 15 (1984-2011)
vii
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
iii
HALAMAN PENGESAHAN
iv
KATA PENGANTAR
viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSUTUJUAN PUBLIKASI ABSTRAK
v vi
DAFTAR ISI
viii
DAFTAR GAMBAR
x
1 PENDAHULUAN
1
1.1
Latar Belakang Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1
1.2
Tujuan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
2
1.3
Perumusan Masalah
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
2
1.4
Metode Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
2
2 LANDASAN TEORI
3
2.1
Persamaan Euler Lagrange . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
3
2.2
Lagrangian medan elektromagnetik . . . . . . . . . . . . . . . .
4
2.3
Transformasi Lokal Gauge U(1) . . . . . . . . . . . . . . . . . .
6
2.4
Perusakan Simetri Spontan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
7
2.5
Soliton . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
9
2.5.1
Persamaan Sine-Gordon . . . . . . . . . . . . . . . . . .
9
2.5.2
Persamaan Schr¨odinger Nonlinier . . . . . . . . . . . . .
10
Struktur Protein . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
12
2.6
3 PELIPATAN STRUKTUR PROTEIN SEKUNDER
14
3.1
Model Toy Ad-Hoc . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
14
3.2
Model Lagrangian Sine-Gordon . . . . . . . . . . . . . . . . . .
16
viii
Universitas Indonesia
4 PEMODELAN
18
4.1
Formulasi Lagrangian Protein . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
18
4.2
Transformasi gauge . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
19
4.3
Nilai Ekspektasi Vakum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
19
4.4
Persamaan Gerak Protein . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
20
5 ANALISA NUMERIK
23
6 HASIL DAN PEMBAHASAN
26
7 KESIMPULAN DAN SARAN
29
DAFTAR ACUAN
30
ix
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
2.1
Potensial V (φ) = 12 µ2 φ2 + 14 λφ4 dengan λ > 0 untuk (a) µ2 > 0 dan (b) µ2 < 0 (Halzen, 1984). . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
2.2
Struktur Protein. (a) Protein Primer,(b)Protein Sekunder, (c)Protein Tersier, (d) Protein kuartener. . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
3.1
8 13
Protein memiliki lima daerah potensial lokal yang konstanta potensialnya γ1 = γ5 = 0.9, γ2 = γ4 = 0.1 dan γ3 = 0.55. Perbedaan nilai dari γi ditunjukkan dengan perbedaan warna sepanjang keadaan awal (t=0). Kondisi awal soliton adalah ψ(t = 0) = 2sech[2(x − 40)]exp[i(x − 40)] dan φ = 0. Koefisien dari (3.6) adalah ξ = 0.1, Γ = 5, m = 0.5, C = 2, Λ = 0.5. Posisi soliton ditunjukkan oleh warna hijau dan tanda panah menunjukkan arah soliton (Berloff ,2000). . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
3.2
15
Perambatan soliton dan pelipatan badan protein. Sumbu vertikal menunjukkan evolusi soliton tiap waktu dalam sekon dan sumbu horizontal adalah amplitudo. Pembentukan gerak dalam bidang ( x,y,z ). Nilai kosntanta yang dipilih dalam simulasi adalah m = 0.08eV = 1.42 × 10−37 kg, L = 12eV −1 ≡ 2, 364 nm, Λ = 2.83 × 10−3 , λψ = 5 × 10−3 , λφ = 6 × 10−3 , dan h ¯ = c = 1,(Januar et.al,2011). . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
4.1
17
Protein primer di dalam tabung diinjeksikan medan magnet B searah sumbu z. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
21
5.1
Skema grid pada bidang r-t pada aplikasi finite difference. . . .
24
6.1
Perubahan kerapatan protein setelah diinjeksi potensial magnetik Ai . Perubahan kerapatan protein |φ|2 setiap waktu terhadap r ditunjukkan gambar sebelah kanan.Nilai konstanta yang digunakan pada simulasi ini adalah, m = 2 × 10−21 Kg, u = 1 × 10−38 , v = 1 × 10−47 , r = 1 × 10−8 m, dan t = 3, 75 × 10−8 s. . . . . . . . .
x
28
Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Masalah Protein adalah senyawa organik kompleks yang tersusun dari asam amino.
Terdapat 20 asam amino di alam yang dapat disusun menjadi protein. Asam amino tersebut tersebut tersusun dari C,H,O,N dan S. Secara struktur , asam amino hanya dibedakan oleh gugus R. Protein memiliki peran yang sangat penting dalam sruktur mahluk hidup. Protein berperan sebagai enzim, sebagai alat transportasi ion-ion dalam tubuh , sebagai antibodi yang menghancurkan sel-sel asing dalam tubuh dan sebagai hormon untuk menghantarkan sinyal informasi dari sel ke organ [12]. Struktur protein dibagi menjadi empat yaitu protein struktur primer, sekunder , tersier dan kuartener. Struktur primer tersusun dari rantai asam amino yang dihubungkan dengan ikatan peptida. Sifat protein ditentukan oleh susunan rangkaian asama amino dalam rantai peptida. Potein primer yang membentuk tiga dimensi lokal yang distabilkan oleh ikatan hidrogen disebut protein sekunder. Perubahan protein primer membentuk struktur tiga dimensi disebut pelipatan protein (protein folding). Mekanisme pelipatan protein adalah salah satu masalah penting yang belum terselesaikan di era ilmu pengetahuan modern ini. Gagalnya pelipatan protein akan menghasilkan akumulasi fibril amiloid yang dapat menjadi racun, kanker, mutasi genetika dan berbagai penyakit lainnya [12]. Banyak pendekatan yang sudah dilakukan untuk menjelaskan mekanisme pelipatan protein . Sebelumnya, Berloff mengajukan model toy ad-hoc yang menjelaskan pelipatan protein melalui perambatan soliton melalui badan protein [11], Caspi dan Ben-Jacob menjelaskan bahwa perambatan soliton menyebabkan transisi protein dari bentuk metastabil ke keadaan stabil[13]. Penelitian yang lebih lanjut, memodelkan badan protein awalnya nonlinier dan direpresentasikan dengan persamaan SineGordon dan kemudian diinjeksikan sumber nonlinier yang dimodelkan dengan interaksi φ4 [8]. Penelitian ini mengikuti penelitian sebelumnya yaitu, dimulai dengan prinsip utama menggunakan metode lagrangian. Pelipatan protein terjadi karena injeksi sumber nonlinier berupa medan magnet ke badan protein. Sumber nonlinier 1
Universitas Indonesia
dan perubahan bentuk protein dimodelkan dalam lagrangian Ginzburg-Landau bergantung waktu. Perbedaannya dengan penelitian sebelumnya adalah sumber injeksi medan magnet lebih fisis dan lebih memungkinkan untuk diaplikasikan. 1.2
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh medan magnet ter-
hadap dinamika gerak protein dan mengkaji apakah terjadi pelipatan protein karena pengaruh medan magnet yang diinjeksikan ke badan protein. 1.3
Perumusan Masalah Beberapa model yang meninjau mekanisme pelipatan protein mengguna-
kan lagrangian Klein Gordon [8, 11]. Dengan mengunakan model lagrangian Ginzburg-Landau dan melanjutkan penelitian sebelumnya [8] diajukan sebuah model yang menerangkan fenomena pelipatan protein menggunakan medan magnet. Penulisan karya ilmiah ini dibatasi hanya pada meninjau proses pelipatan protein dan dapat menjelaskan phenomena fisis yang terjadi pada protein karena pengaruh medan magnet. 1.4
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan secara teori menggunakan formulasi lagrangian. Struk-
tur protein dan sumber injeksi dari luar terhadap badan protein dimodelkan dengan lagrangian. Selanjutkan akan didapatkan persamaan gerak protein dengan menggunakan persamaaan Euler lagrange dan kemudian diselesaikan secara numerik.
2
Universitas Indonesia
BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1
Persamaan Euler Lagrange Lagrangian suatu sistem dalam mekanik klasik bergantung pada koordinat
q dan kecepatan q. ˙ Lagrangian adalah selisih antara energi kinetik dan energi potensial L(q, q) ˙ =T −V
(2.1)
dimana T dan V masing-masing adalah energi kinetik dan energi potensial. Kita gunakan aksi minimum Z
t2
δS = δ
dtL(q, q) ˙ =0
(2.2)
t1
untuk memperoleh persamaan Euler Lagrange berikut d ∂L ∂L − = 0. dt ∂ q˙ ∂q
(2.3)
Kita selanjutnya akan menemukan bentuk persamaan Euler Lagrange untuk sistem yang kontinu. Keadaan partikel dalam teori medan kuantum dinyatakan medan φ(x, t). Aksi ditunjukkan dengan persamaan berikut, Z S= dimana ∂µ φ =
∂φ ∂xµ
L(φ, ∂µ φ)d4 x
(2.4)
dan d4 x = dtd3~x. Fungsi L disebut dengan Lagrangian den-
sity. Variasikan medan φ dan turunannya φ → φ + δφ,
∂µ φ → ∂µ φ + δ∂µ φ,
δ∂µ φ = ∂µ δφ,
(2.5)
maka kita akan memperoleh variasi aksi ∂L ∂L δS = dx δφ + δ(∂µ φ) ∂φ ∂(∂µ φ) R Z ∂L ∂L ∂L 4 δS = dx δφ + ∂µ δφ − ∂µ δφ ∂φ ∂(∂µ φ) ∂(∂µ φ) R Z ∂L ∂L ∂L 4 δS = δφ + dx δφ − ∂µ δφ δφ ∂(∂µ φ) ∂φ ∂(∂µ φ) R Z
4
3
(2.6)
Universitas Indonesia
R adalah daerah dari ruang dan waktu yang mana pada bidang batas R, δφ = 0. Mengunakan prinsip aksi minimum δS = 0 ,maka akan memperoleh persamaan Euler-Lagrange berikut ini, ∂L ∂L − ∂µ =0 ∂φ ∂(∂µ φ)
(2.7)
Sekarang mari kita buktikan bahwa persamaan Klein-Gordon dapat dibentuk dari lagrangian berikut ini 1 1 L = ∂µ φ∂ µ φ − m2 φ2 , 2 2 dengan mencari turunan lagrangian terhadap φ dan ∂µ φ ∂L = −m2 φ , ∂φ
(2.8)
∂L = ∂µ φ ∂(∂µ φ)
maka persamaan Euler Lagrange dari bentuk lagrangian (2.8) adalah (∂ µ ∂µ − m2 )φ = 0.
(2.9)
Persamaan (2.9) merupakan persamaan Klein-Gordon sehingga (2.8) dapat kita sebut sebagai lagrangian Klein-Gordon untuk medan skalar. 2.2
Lagrangian medan elektromagnetik Tentu kita sudah mengenal persamaan Maxwell. Kita akan membentuk la-
grangian medan listrik E dan medan magnet B. Berikut ini merupakan empat persamaan Maxwell (dalam satuan Heaviside-Lorentz)
(a) ∇ · B = 0,
(2.10)
(b) ∇ · E = ρ,
(2.11)
∂B = 0, ∂t ∂E (d) ∇ × B − = j, ∂t (c) ∇ × E +
(2.12) (2.13)
(a) menjelaskan tidak ada magnet monopole, (b) adalah hukum Faraday; perubahan medan magnet menghasilkan medan listrik, (c) adalah hukum Gauss ; total muatan didalam luasan tertutup dapat dihasilkan dengan mengintegrasikan komponen normal E yang menembus permukaan, dan (d) adalah hukum Ampere; perubahan medan listrik menghasilkan medan magnet. 4
Universitas Indonesia
Aµ adalah potensial 4-vektor yang terdiri dari potensial skalar dan potensial vektor Aµ = (ρ, A). Medan listrik dan medan magnet dapat dihasilkan dari potensial skalar dan potensial vektor. ∂A , ∂t persamaan (2.14) harus memenuhi ∇ · B = 0 dan ∇ × E + B = ∇ × A,
E = −∇ϕ −
(2.14) ∂B ∂t
= 0. Sekarang
kita perkenalkan tensor medan elektromagnetik F µν = ∂ µ Aν − ∂ ν Aµ ,
(2.15)
komponen dari Fµν adalah F 0i = ∂ 0 Ai − ∂ i A0 ∂A = ∇ϕ + ∂t = −E i dimana (∂ i = −∂i ) dan F ij = ∂ i Aj − ∂ j Ai = −εijk B k dimana εijk = εijk yang merupakan simbol Levi-Civita
εijk =
+1 jika permutasi siklik (123) −1 permutasi antisiklik (123) 0 untuk yang lainnya.
Matriks tensor medan elektromaknetik adalah 0 −E 1 −E 2 −E 3 1 3 2 E 0 −B B . Fµν = E2 B3 0 −B 1 3 2 1 E −B B 0 Kita dengan mudah mudah dapat membuktikan ∂µ F µν = j ν
(2.16)
j ν = (ρ, j).
(2.17)
dimana
5
Universitas Indonesia
Kalau menggunakan ν = 0 akan terbukti hukum Gauss (b). Kita akan membentuk lagrangian density medan elektromagnetik yang persamaan geraknya harus memenuhi persamaan (2.16). Lagrangian density harus skalar dan bukan vektor. Kita bentuk lagrangian density dari medan elektromaknetik dari tensor medan elektromagnetik. Kita pilih bentuk lagrangian 1 L = − Fµν F µν 4 1 2 (E − B2 ) = 2
(2.18)
Kita gunakan persamaan Euler lagrange untuk medan elektromagnetik ∂L ∂L − ∂µ = 0, ∂Aυ ∂(∂Aν )
(2.19)
maka akan didapatkan persamaan gerak tanpa sumber muatan ∂µ F µν = 0.
(2.20)
Jika terdapat sumber muatan j ν = (ρ, j), persamaan lagrangian density dari medan elektromagnetik menjadi 1 L = − Fµν F µν − Aµ j ν 4 2.3
(2.21)
Transformasi Lokal Gauge U(1) Suatu persamaan fisika yang invarian terhadap translasi, rotasi dan trans-
formasi lorentz masing-masing memiliki arti fisis. Misalnya, persamaan fisika yang invarian terhadap rotasi berlaku kekekalan momentum sudut. Transformasi gauge adalah suatu cara dalam teori medan kuantum untuk membuat keinvarianan teori fisika . Transformasi gauge dibagi menjadi dua yaitu transformasi global gauge dan transformasi lokal gauge. Transformasi global gauge memiliki parameter konstan sedangkan transformasi lokal gauge memiliki parameter bergantung pada perubahan ruang-waktu. Transformasi yang dibahas dalam bab ini adalah simetri grup U(1) yang memiliki satu generator saja. Simetri yang memiliki satu generator disebut simetri Abelian sedangkan simetri yang memiliki lebih dari sutu generator disebut simetri non-Abelian. Transformasi lokal gauge memiliki bentuk φ(x) → eiα(x) φ(x) 6
(2.22) Universitas Indonesia
dimana φ(x) adalah medan skalar kompleks dan α(x) merupakan transformasi bergantung ruang dan waktu. Mari kita tinjau lagrangian medan boson, L = ∂µ φ∂ µ φ − m2 φ2
(2.23)
transformasi lokal gauge φ dan φ∗ dinyatakan dengan φ → eiα(x) φ(x)
(2.24)
φ∗ → e−iα(x) φ(x)
(2.25)
Kalau kita mensubtitusikan persamaan (2.24) dan (2.25) ke persamaan (2.23) maka kita akan mendapatkan bentuk lagrangian medan boson tidak invarian. Agar mendapatkan lagrangian boson yang invarian terhadap transformasi gauge lokal, kita harus mengantikan derivatif ∂µ dengan kovarian derivatif Dµ . Kita menambahkan vektor Aµ . Dµ = ∂µ − ieAµ
(2.26)
1 Aµ → Aµ + ∂µ α. e
(2.27)
dan transformasi Aµ adalah
Bentuk lagrangian medan boson menjadi L = Dµ φDµ φ − m2 φ2
(2.28)
Kita dengan mudah dapat membuktikan bahwa lagrangian (2.28) invarian terhadap transformasi lokal gauge dengan menggunakan kovarian derivatif Dµ dan transformasi Aµ . 2.4
Perusakan Simetri Spontan Misalkan suatu lagrangian partikel skalar dinyatakan dengan 1 1 1 L = T − V = L = ∂µ φ∂ µ φ − ( µ2 φ2 + λφ4 ) 2 2 4
(2.29)
dimana λ > 0 merupakan konstanta coupling. λ memiliki peranan penting dalam teori parturbasi, jika λ 6= 0 maka bentuk persamaan geraknya nonlinier. Lagrangian density (2.29) invarian terhadap operasi simetri dengan mengganti φ menjadi −φ. Potensialnya dapat dituliskan 1 1 V = µ2 φ2 + λφ4 2 4 7
(2.30) Universitas Indonesia
Gambar 2.1: Potensial V (φ) = 21 µ2 φ2 + 14 λφ4 dengan λ > 0 untuk (a) µ2 > 0 dan (b) µ2 < 0 (Halzen, 1984).
suku φ4 merupakan suku medan self interaction . Terdapat dua jenis bentuk dari potensial pada persamaan(2.30) yang bergantung pada nilai µ2 . Bentuk (a) µ2 > 0, massa dari medan skalar dinyatakan dengan µ. Pada keadaan ground state φ = 0.
Bentuk (b) µ2 < 0, suku φ2
memiliki tanda yang sama dengan suku kinetik. Berbeda dengan bentuk (a), bentuk (b) memiliki dua titik minimum. Syarat keadaan minimum ∂V = φ(µ2 + λφ2 ) = 0. ∂φ
(2.31)
Kita akan mendapatkan dua keadaan minimum yaitu p φ = ±ν dimana ν = µ2 /λ
(2.32)
Kita gunakan teori parturbasi disekitar titik minimum φ(x) = ν + η(x)
(2.33)
dimana η(x) merupakan suku ekspansi. Kita substitusi (2.33) ke (2.29) maka akan diperoleh bentuk lagrangian 1 1 L = ∂µ η∂ µ η − λν 2 η 2 − λνη 3 − λη 4 + konstanta. (2.34) 2 4 Suku η 2 memiliki tanda yang benar yang mengandung komponen massa gauge boson
√ mη =
2λν 2 =
p −2µ2 .
(2.35)
Bentuk lagrangian pada persamaan (2.29) dan (2.34) memiliki bentuk yang mirip. Dengan melakukan ekspansi disekitar φ = ±ν maka didapatkan suku massa. Sistem pada φ = 0 berada dalam keadan metastabil dan keadaan stabil berada pada titik φ = ±ν. Perusakan simetri spontan menunjukkan operasi simetri pada keadaan dasar tidak invarian. 8
Universitas Indonesia
2.5
Soliton Soliton merupakan solusi klasik persamaan nonlinier. Soliton merupakan
gelombang berjalan yang tidak mengalami perubahan bentuk jika mengalami superposisi. Solusi persamaan nonlinier dapat berbentuk gelombang berjalan. Contoh persamaan nonlinier yang solusinya berbentuk soliton adalah persamaan Sine-Gordon dan persamaan Schr¨odinger nonlinier . Kita dapat menyelesaikan persamaan nonlinier dengan mengasumsikan bahwa solusinya sebagai gelombang berjalan. Oleh karena itu, kedua persamaan tersebut dapat diselesaikan dengan menggunakan cara solusi gelombang berjalan. 2.5.1
Persamaan Sine-Gordon
Persamaan Sin-Gordon memiliki bentuk ∂ 2φ ∂ 2φ 1 − 2 + 2 sin b(φ) = 0. 2 ∂t ∂x b dimana b adalah suatu konstanta, φtt =
∂2φ ∂t2
(2.36)
dan φxx =
∂2φ . ∂x2
Medan skalar φ
dalam satu dimensi ruang dan waktu. Untuk mendapatkan solusi persamaan Sin-Gordon, kita asumsikan solusinya merupakan gelombang berjalan φ(x, t) = φ(x − vt) = f (ξ) = φ(ξ).
(2.37)
Kita gunakan persamaan (2.37) untuk menemukan solusi eksak dari persamaan Sine-Gordon. Kita terlebih dahulu menemukan turunan kedua φ terhadap waktu dan ruang φt = ξt φξ = −vφξ , φtt = −vξt φξξ = v 2 φξξ ,
(2.38)
φxx = φξξ ,
(2.39)
dan kita dapatkan 1 sin b(φ) = 0. (2.40) b2 Misalkan γ = (1 − v 2 ) kemudian kalikan persamaan (2.40) dengan φξ , kita (1 − v 2 )φξξ −
mendapatkan 1 (1 − v 2 )φξ φξξ − 2 sin b(φ)φξ = 0, b d γ 2 1 φ + cos b(φ) = 0, dξ 2 ξ b3 γ 2 1 φξ + 3 cos b(φ) = C, 2 b 9
Universitas Indonesia
C merupakan suatu konstanta. Kondisi awal φ = 0 maka kita akan mendapatkan C=
1 . b3
Sehingga, γ 2 1 φξ = 3 (1 − cos b(φ)) 2 b 2 b(φ) γ 2 φξ = 3 sin2 2 b 2 r dφ 4 = ± dξ b(φ) γb3 sin 2
maka solusinya dari persamaan Sine-Gordon φξ =
p 4 arctan exp[±(ξ/ γb ]. b
(2.41)
Solusi dari persamaan Sine-Gordon merupakan gelombang berjalan yang berbentuk soliton. Soliton dapat mendisipasikan energinya terhadap medium yang dilewatinya. 2.5.2
Persamaan Schr¨ odinger Nonlinier
Berikut adalah bentuk persamaan Scrodinger nonlinier 1 iut + uxx + β|u|2p u = 0 2
(2.42)
dimana β dan p adalah konstanta. Tanda dari β menunjukkan jenis interaksi yang terjadi. Untuk β > 0, gaya antar partikel repulsif sedangkan untuk β < 0, gaya antar partikel interaktif. Persamaan Schr¨odinger nonlinier kubik memiliki bentuk pontensial β|u|2 . u merupakan fungsi kompleks dan dengan alasan ini kita mengharapkan solusinya adalah gelombang berjalan. Mari kita gunakan solusi gelombang berjalan untuk menyelesaikan persamaan (2.42). Kita asumsikan bahwa solusinya memiliki bentuk u(x, t) = φ(ξ)ei(vx+ωt) ,
ξ = x − vt
(2.43)
dimana φ adalah fungsi gelombang real, v dan ω adalah konstanta. Turunan u terhadap waktu dan ruang dinyatakan dengan
ut = −vφξ ei(vx+ωt) + iωei(vx+ωt)
(2.44)
ux = φξ ei(vx+ωt) + ivφei(vx+ωt) uxx = φξξ ei(vx+ωt) + 2ivφei(vx+ωt) − v 2 ei(vx+ωt) 10
(2.45)
Universitas Indonesia
Substitusikan ut dan uxx ke persamaan (2.42),dan setelah menghilangkan faktor eksponensial ei(vx+ωt) maka kita akan mendapatkan persamaan differensial untuk φ(ξ). φ” (ξ) − (2ω + v 2 )φ(ξ) + 2βφ2p+1 (ξ) = 0 dimana φ” (ξ) =
∂2φ . ∂t2
(2.46)
Mari kita selesaikan persamaan (2.42) untuk nilai β > 0.
Kita selesaikan (2.42) dengan menggunakan persamaan differensial orde satu yang memiliki solusi eksak. Persamaan differensial orde satu yang kita gunakan adalah F
02
2
= ρF − σF +
σ2 − ρ F 2+2p 4ρ
ρ > 0, p > 0
(2.47)
dimana solusi eksaknya F (ξ) =
1 √ cosh p ρξ −
! σ 2ρ
,
−2ρ ≤ σ ≤ 2ρ
(2.48)
Kita asumsikan bahwa hubungan φ(ξ) dan F (ξ) adalah berbanding lurus, yaitu φ(ξ) = µF (ξ),
µ>0
(2.49)
dimana F (ξ) memenuhi persamaan (2.47) dan solusinya ditunjukkan pada(2.48). Menggunakan persamaan (2.47) dan (2.49) kita dapat membuktikan bahwa
σ(p + 2) 1+p φ = µF = µ ρF + F + (2 + 2p) 2 00
”
σ2 2p+1 −ρ F 4ρ
(2.50)
Setelah mensubstitusikan (2.49) dan (2.50) ke (2.46), kita akan mendapatkan σ(p + 2) 1+p {ρ − (2ω + v 2 )}F + µp F + 2 2 σ 2p −ρ F 2p+1 = 0 (2.51) 2 βµ + (1 + p) 4ρ Koefisien dari F, F p+1 , F 2p+1 haruslah bernilai nol agar solusi solusi persamaan(2.51) ada. Oleh karena itu kita akan mendapatakan persamaan aljabar berikut ini untuk mendapatakan nilai ω, µ dan σ. ρ − (2ω + v 2 ) = 0 σ(p + 2) = 0 µp 2 2 σ 2p 2βµ + (2 + 2p) −ρ = 0 4ρ 11
(2.52) (2.53) (2.54)
Universitas Indonesia
Dengan menyelesaikan persamaan aljabar diatas maka kita akan mendapatkan 1 (ρ − v 2 ) 2 σ = 0 1 ρ(p + 1) 2p . µ = 2β
ω =
(2.55) (2.56) (2.57)
Dengan menggunakan persamaan (2.43),(2.48),(2.49) dan kemudian mensubstitusi ω, σ, µ maka kita dapat membuktikan bahwa solusi dari persamaan Schr¨odinger nolinier (2.42), yaitu 12 1 2 ρ √ u(x, t) = ei(vx− 2 (v −ρ)t) sech ρ(x − vt) β
(2.58)
Solusi persamaan(2.42) merupakan soliton seperti yang ditunjukkan oleh persamaan (2.41). 2.6
Struktur Protein Ada empat struktur yaitu protein struktur primer, sekunder , struktur tersier
dan kuartener. Struktur primer suatu protein merujuk pada susunan asam amino dalam rantai polipeptida seperti pada Gambar 2.2 . Elemen penting dari struktur primer adalah urutan dari asam amino. Struktur primer dapat mengalami pelipatan dan membentuk struktur tiga dimensi. Pelipatan protein primer membentuk struktur tiga dimensi dan ikatan peptida distabilkan oleh ikatan hidrogen disebut struktur sekunder. Rantai protein memiliki atom H yang elektropositif dan atom O (C=O) yang elektronegatif. Adanya gugus atau atomatom ini menyebabkan terbentuknya interaksi di antara mereka melalui ikatan hidrogen. Protein sekunder yang paling umum berbetuk α − helix dan β − sheet. Pada protein sekunder α − helix ,ikatan hidrogen terbentuk pada molekul itu sendiri (intramolekular) sedangkan β − sheet ikatan hidrogen terbentuk antara molekul satu dengan molekul lainnya (inter molekular). Konformasi 3-dimensi yang disebabkan oleh lipatan-lipatan tertentu suatu protein yang menyebabkan bentuk konformasi yang khas. Bentuk ini menyebabkan fungsi yang spesifik dari protein. Struktur tersier digambarkan sebagai pita-pita yang sederhana akan tetapi menggambarkan lipatan-lipatan tertentu dari suatu protein. Lipatan ini stabil dan tidak berubah-ubah akibat adanya ikatan disulfida. Terkadang protein-protein berassosiasi dengan molekul protein 12
Universitas Indonesia
Gambar 2.2: Struktur Protein. (a) Protein Primer,(b)Protein Sekunder, (c)Protein Tersier, (d) Protein kuartener.
yang sama atau berbeda membentuk suatu kompleks multi-protein yang stabil. Susunan spesifik suatu protein membentuk suatu kompleks dikenal sebagai struktur kuarterner
13
Universitas Indonesia
BAB 3 PELIPATAN STRUKTUR PROTEIN SEKUNDER Struktur primer protein merupakan urutan asam amino yang dihubungkan dengan ikatan peptida. Pada struktur primer tidak ada interaksi antara asam amino, sehingga bentuknya seperti benang. Rangkaian asam amino yang membentuk struktur tiga dimensi yang distabilkan dengan ikatan hidrogen, gaya van der Walls, interaksi elektrostatik dan efek hidrofobik disebut struktur sekunder protein. Bentuk dari protein sekunder yang terkenal adalah alpha helix dan beta sheet. Struktur protein sekunder terbentuk dari sekumpulan asam amino yang dianggap sebagai keadaan dasar. Perubahan sturktur protein dari struktur primer menjadi struktur sekunder dan struktur tersier disebut sebagai pelipatan protein. Perubahan urutan asam amino pada protein dapat mengubah bentuk protein dari struktur primer menjadi struktrur sekunder. Beberapa model telah dibuat untuk menjelaskan perubahan struktur protein ini [8, 9, 11]. Tulisan ini juga memberikan sebuah model untuk menjelaskan pembentukan gerak pada struktur protein sekunder. 3.1
Model Toy Ad-Hoc Model ini diajukan oleh Berloff [11] untuk menjelaskan pembentukan gerak
struktur protein sekunder. Rantai protein diasumsikan sebagai φ(x) yang kemudian berinteraksi dengan soliton ψ. Model ini menghasilkan persamaan gerak nonlinier dari lagrangian 1 L = iψ ∗ ∂t ψ − |∂x ψ|2 + |ψ|4 + m(∂t φ)2 − V (φ) − U (|ψ|, φ) − T (φ) − (∂x φ)2 (3.1) 2 Tiga suku pertama dalam persamaan (3.1) merepresentasikan Lagrangian persamaan Schr¨odinger nonlinier. Suku terkahir persamaan (3.1) menunjukkan tegangan lokal protein. U adalah potensial interaksi antara soliton dan badan protein, V merupakan potensial lokal yang menerangkan bentuk badan protein
14
Universitas Indonesia
Gambar 3.1: Protein memiliki lima daerah potensial lokal yang konstanta potensialnya γ1 = γ5 = 0.9, γ2 = γ4 = 0.1 dan γ3 = 0.55. Perbedaan nilai dari γi ditunjukkan dengan perbedaan warna sepanjang keadaan awal (t=0). Kondisi awal soliton adalah ψ(t = 0) = 2sech[2(x − 40)]exp[i(x − 40)] dan φ = 0. Koefisien dari (3.6) adalah ξ = 0.1, Γ = 5, m = 0.5, C = 2, Λ = 0.5. Posisi soliton ditunjukkan oleh warna hijau dan tanda panah menunjukkan arah soliton (Berloff ,2000).
sedangkan T adalah potensial regangan antara ikatan peptida yang menyusun protein. Bentuk potensial U,V, dan T sebagai berikut 1 2 U (|ψ|, φ) = Λ|ψ| φ − 2
(3.2)
V (φ) = C(φ − γ(x))2 × (γ(x))2 + γ(x)(φ − 1) + φ(3φ − 4)) (3.3) T (φ) = ξ (φ(x) − φ(x − li ))2 + (φ(x) − φ(x + li ))2 (3.4) dimana Λ, C dan ξ adalah konstanta. Dengan menggunakan persamaan Euler Lagrange, maka kita akan memperoleh dua persamaan gerak tercouple dari (3.1), yaitu 1 2 i∂t ψ = −ψxx + Λ(φ − ) − 2|ψ| ψ, 2 m∂tt
(3.5)
1 = −12Cφ(φ − 1)(φ − γ(x)) − 2Λ|ψ| φ − + 2 2
φxx − 2ξ(φ − φ(x − li )) − 2ξ(φ − φ(x + li )) − Γ∂t φ.
(3.6)
Model toy ad-hoc didasarkan oleh persamaan Schr¨odinger dan Klein-Gordon nonlinier. Berloff berhasil membuat model yang dapat menunjukan pelipatan protein struktur sekunder protein. Solusi dari persamaan gerak yang didapatkan oleh Berloff ditunjukkan pada gambar 3.1. Gambar tersebut menunjukkan perubahan struktur primer protein menjadi struktur sekunder. 15
Universitas Indonesia
3.2
Model Lagrangian Sine-Gordon Model ini [9] adalah pengembangan dari model Ad-Hoc yang menjelaskan
mekasisme pembentukan gerak protein berdasarkan interaksi-interaksi materi menggunakan pendekatan lagrangian. Pada model ini protein diasumsikan nonlinier dan kemudian diinjeksi sumber nonlinier seperti laser. Perubahan bentuk protein dan sumber non-linier yang disuntikkan diinterpretasikan dengan lagrangian boson dengan tambahan interaksi φ2 sebagai sumber gangguan. Kondisi awal protein diasumsikan nonlinier seperti soliton Sine-Gordon, " 4 m 1 φ Lc = (∂µ φ)∗ (∂µ φ) + 1 − cos 2 λφ
!# p λφ |φ| . mφ
(3.7)
Sumber nonlinier dimodelkan dengan interaksi ψ 4 yang direpsentasikan dalam bentuk lagragian berikut, 1 λψ Ls = (∂µ ψ)∗ (∂µ ψ) + (ψψ ∗ )2 . 2 4!
(3.8)
Interaksi antara sumber nonlinier dan protein dimodelkan dengan, Lint = −Λ(ψψ ∗ )(φφ∗ )
(3.9)
Persamaan gerak diperoleh dengan menggunakan persamaan Euler Lagrange terhadap lagrangian total sistem, ∂Ltot ∂L − ∂µ =0 ∂φ ∂(∂µ φ)
dan
∂L ∂L − ∂µ =0 ∂ψ ∂(∂µ ψ)
(3.10)
dimana Ltot = Lc + Ls + Lint berasal dari persamaan (3.7),(3.8),dan (3.9). Kita akan mendapatkan persamaan gerak yang nonlinier dan saling tercoupel, ! p λφ |φ| = 0 mφ
(3.11)
∂ 2φ 1 ∂ 2φ λψ 3 − + 2Λφ2 ψ − ψ = 0. 2 2 2 ∂x c ∂t 6
(3.12)
m3φ c3 ∂ 2φ 1 ∂ 2φ 2 − + 2Λφψ − 3 p sin ∂x2 c2 ∂t2 h ¯ λφ
Model ini juga berhasil menunjukan pelipatan protein struktur sekunder protein. Solusi dari persamaan geraknya ditunjukkan pada gambar 3.1. Gambar tersebut menunjukkan perubahan struktur primer protein menjadi struktur sekunder setelah diinjeksikan sumber nonlinier.
16
Universitas Indonesia
t Gambar 3.2: Perambatan soliton dan pelipatan badan protein. Sumbu vertikal menunjukkan evolusi soliton tiap waktu dalam sekon dan sumbu horizontal adalah amplitudo. Pembentukan gerak dalam bidang ( x,y,z ). Nilai kosntanta yang dipilih dalam simulasi adalah m = 0.08eV = 1.42 × 10−37 kg, L = 12eV −1 ≡ 2, 364 nm, Λ = 2.83 × 10−3 , λψ = 5 × 10−3 , λφ = 6 × 10−3 , dan ¯h = c = 1,(Januar et.al,2011).
17
Universitas Indonesia
BAB 4 PEMODELAN Model ini pengembangan dari model Ad-Hoc yang dibuat oleh Berloff [11]. Model ini menggunakan potensial vektor magnetik sebagai sumber nonlinier. Inilah yang membedakan model ini dengan penelitian sebelumnya[9, 11]. Kita akan mengkontruksi lagrangian total yang merepresentasikan perubahan bentuk protein, injeksi medan magnet,dan interaksi medan magnet dengan protein. 4.1
Formulasi Lagrangian Protein Rantai protein dinyakan sebagai φ berinteraksi dengan medan magnet yang
direpresentasikan oleh potensial vektor magnetik A. Lagrangian total protein yang digunakan dalam model ini adalah lagrangian Ginzburg- Landau bergantung waktu[15]. Bentuk lagrangian ini sudah merepresentasikan perubahan bentuk protein, injeksi medan magnet dan interaksinya dengan protein. Lagrangian ini juga invarian terhadap transformasi gauge. Kita dapatkan lagrangian total, Ltot =
1 (At + ∇ϕ) − (∇ × A)2 − V (φ) 2 h ¯2 ieA ∗ ieA ∗ φ · ∇φ + φ − ∇φ − 2m h ¯c h ¯c h ¯2 ieϕφ∗ ieϕφ ∗ + ∂t φ − ∂t φ + . 2m h ¯c h ¯c
(4.1)
Dua suku pertama dari Lagrangian (4.1) merepresentasikan lagrangian medan elektromagnetik sebagai sumber injeksi nonlinier, dimana ϕ potensial listrik dan At menunjukkan turunan pertama potensial vektor terhadap waktu. Energi potensial protein dimodelkan dengan sumur potensial ganda φ4 u V (φ) = −vφφ∗ + (φφ∗ )2 . 2
(4.2)
dimana u dan v adalah konstanta positif yang menunjukkan kedalaman sumur potensial. φ∗ merupakan kompleks konjugate dari φ. Larangian Ginzburg- Landau bergantung waktu yang merupakan bentuk nonrelativistik dari lagrangian Higgs. Nielson dan Olesen menemukan bahwa solusi dari persamaan gerak lagrangian Higgs dapat berupa soliton [6]. Oleh karena itu 18
Universitas Indonesia
bentuk lagrangian ini dapat kita pakai sebagai model. Interaksi medan magnet dengan suatu materi terkandung dalam lagrangian Higgs. Bentuk lagrangian Higgs sebagai berikut 1 L = Dµ φDµ φ − m2 φφ∗ − λ(φφ∗ )2 − F µν Fµν . 4
(4.3)
Salah satu penerapan dari mekanisme Higgs adalah phenomena superkonduktor. 4.2
Transformasi gauge Kita mengetahui bahwa persamaan maxwell invarian terhadap transformasi
lokal gauge. Suatu lagrangian dikatakan memenuhi abelian gauge jika lagrangian tersebut invarian terhadap transformasi gauge. Lagrangian (4.1) invariant gauge terhadap transformasi berikut A → A + ∇χ ϕ → ϕ−
(4.4)
∂χ ∂t
(4.5)
ie
φ → e h¯ c χ φ.
(4.6)
χ merupakan suatu fungsi skalar. Transformasi ini tidak berpengaruh secara fisis terhadap nilai medan magnet dan medan listrik. 4.3
Nilai Ekspektasi Vakum Energi potensial protein dimodelkan dengan sumur potensial ganda φ4 , u V (φ) = −vφφ∗ + (φφ∗ )2 . 2
Mari kita tinjau keadaan minimum dari potensial protein, ∂V ∂φ
= 0
−vhφi + uhφi3 = 0 r v hφi = 0, dan hφi = ± . u
(4.7)
Pada keadaan dasar hφi = 0 yang awalnya stabil dapat berubah menjadi keadaan metastabil dikarenakan adanya injeksi dari luar. Sistem kemudian dapat p melakukan transisi menuju keadaan yang lebih stabil hφi = ± uv . Pada keadaan yang lebih stabil nilai φ tidak nol. Perubahan dari keadaan metastabil menjadi 19
Universitas Indonesia
keadaan stabil dapat merusak simetri pada keadaan dasar. Protein mengalami pelipatan saat transisi dari keadaan metastabil ke keadaan lebih stabil. Transisi ini dapat terjadi jika ada interaksi dari luar. 4.4
Persamaan Gerak Protein Kita akan menemukan persamaan gerak dari lagrangian (4.1) dengan meng-
gunakan persamaan Euler lagrange terhadap φ dan A. ∂Ltot ∂Ltot =0 − ∂µ ∗ ∂φ ∂(∂µ φ∗ )
dan
∂Ltot ∂Ltot − ∂µ =0 ∂Ai ∂(∂µ Ai )
(4.8)
Persamaan gerak yang diperoleh dari (4.1) adalah i2e¯h e2 A2 2e2 2 A · ∇φ + h ¯ 2 ∂tt − ∇2 φ + φ − ϕφ c c2 c2 i2¯h ϕ∂t φ = 2m v − u|φ|2 φ + c 2e2 A ∗ ie¯ h (φ∇φ∗ − φ∗ ∇φ) − φφ mc mc2 Persamaan (4.10) dapat ditulis dalam bentuk arus Noether, (At + ∇ϕ)t + ∇ × ∇ × A =
j=
ie¯ h 2e2 A ∗ (φ∇φ∗ − φ∗ ∇φ) − φφ − (At + ∇ϕ)t . mc mc2
(4.9) (4.10)
(4.11)
Persamaan (4.11) merupakan persamaan kontinuitas dan bentuknya menyerupai fluks arus pada persamaan Schr¨odinger. Sekarang kita dapat memperkenalkan bahwa parameter |φ|2 menunjukkan kerapatan protein. Kita pilih koordinat silinder (r, θ) pada bidang x-y. Untuk melihat solusi dalam koordinat silinder, kita gunakan ansatz [2, 5] r v φ(r, θ, t) = (1 − ρ(r, t))eiθ u λ¯hc a(r, t) ˆ θ e r A0 (r, θ, t) = ϕ = 0 Ai (r, θ, t) =
(4.12) (4.13) (4.14)
dimana λ adalah suatu konstatanta bernilai 0 dan 1. Jika λ = 1 maka ada injeksi medan magnet, sedangkan λ = 0 menunjukkan tidak adanya injeksi medan magnet. Ai (r, θ, t) merupakan potensial vektor magnetik sedangkan A0 (r, θ, t) potensial listrik. Medan magnet diberikan oleh B=∇×A=
λ¯hc ∂a(r, t) zˆ. re ∂r
20
(4.15) Universitas Indonesia
Gambar 4.1: Protein primer di dalam tabung diinjeksikan medan magnet B searah sumbu z.
Kita membuat protein di dalam tabung dan kemudian menginjeksikan medan magnet searah dengan sumbu-z seperti pada gambar 4.1 . Ansatz (4.12) merupakan saparasi variabel dari fungsi φ(r, θ, t) dan juga memenuhi simetri koordinat silinder exp(iθ) = exp[i(θ + 2π]. Kita membuat sistem dengan potensial listriknya sama dengan nol. Sehingga, sumber injeksi dari luar hanya medan magnet saja. Selanjutanya, kita akan meninjau lebih lanjut solusi dari persamaan gerak (4.18) dan (4.21) dengan menggunakan ansatz(4.12-4.14). Substitusi (4.12-4.14) ke (4.9), r ∂2 1 ∂ ∂ 1 ∂2 i2e¯ h c¯ v ha 1 ∂ iθ h ¯ − r − (1 − ρ)e + (1 − ρ)eiθ ∂t2 r ∂r ∂r r2 ∂θ2 u c er r ∂θ r 2 r e2 c¯ha v v + 2 (1 − ρ)eiθ = 2m v − u(1 − ρ)2 (1 − ρ)eiθ (4.16) c er u u 2
r 2 v 2a a2 ∂ ρ ∂ 2 ρ 1 ∂ρ 1 − 2 + 2+ + (1 − ρ) − 2 (1 − ρ) + 2 (1 − ρ) u ∂t ∂r r ∂r r2 r r =
−
3/2 2m 3 v ((1 − ρ) − (1 − ρ )) u1/2 h ¯2
(4.17)
∂ 2 ρ ∂ 2 ρ 1 ∂ρ 1 2mv + 2+ + 2 (1 − ρ)(1 − a)2 = 2 ((1 − ρ) − (1 − ρ)3 ) (4.18) 2 ∂t ∂r r ∂r r h ¯
Dengan mengikuti langkah sebelumnya, substitusi (4.12-4.14) ke (4.10) maka
21
Universitas Indonesia
akan diperoleh h ¯ c ∂ 2a h ∂ ie¯ hv 1 ∂ ¯ c ∂ 2a h ¯ c 1 ∂a iθ = (1 − ρ)e + (1 − ρ)e−iθ − + 2 2 er ∂t er ∂r er r ∂r mcu ∂r r ∂θ ∂ 1 ∂ 2e2 v h ¯c ie¯ hv (1 − ρ)e−iθ + (1 − ρ)eiθ − a(1 − ρ)2 = 0 (4.19) − 2 mcu ∂r r ∂θ mc u er ∂ 2 a ∂ 2 a 1 ∂a e2 v e2 v 2e2 v 2 2 = (1 − ρ) + (1 − ρ) − a(1 − ρ)2 = 0(4.20) − + ∂t2 ∂r2 r ∂r mc2 u mc2 u mc2 u Kita dapatkan hasil akhir, ∂ 2 a ∂ 2 a 1 ∂a 2e2 v − 2 + 2− = (1 − ρ)2 (a − 1) 2 ∂t ∂r r ∂r mc u
(4.21)
Persamaan (4.18) dan (4.21) merupakan persamaan nonlinier yang tercouple. Kedua persamaan harus diselesaikan secara simultan menggunakan metode numerik. Syarat batas dari persamaan persamaan (4.18) dan (4.21), a(r, t) → 1 dan ρ(r, t) → 0 pada r → ∞
(4.22)
a(r, t) → 0 dan ρ(r, t) → 1 pada r → 0
(4.23)
Syarat batas ini bertujuan juga agar ansatz tersebut tidak singular.
22
Universitas Indonesia
BAB 5 ANALISA NUMERIK Solusi persamaan (4.18) dan (4.21) sangatlah sulit diselesaikan secara analitik karena mengandung suku nonlinier dan persamaannya saling tercouple. Solusi persamaan tersebut dapat diperoleh dengan cara numerik. Metode numerik yang akan digunakan adalah finite difference[14]. Jika sudah mendapatkan solusinya maka kita bisa mensimulasikan dinamika gerak protein yang disebabkan oleh injeksi medan magnet. Simulasi ini tentunya akan membantu menunjukkan apakah terjadi fenomena pelipatan protein karena injeksi medan magnet . Sekarang mari kita selesaikan solusi dari (4.18) dan (4.21) dalam formulasi finite difference. Misalkan koordinat ruang R = {(r, t) : 0 ≤ r ≤ L, 0 ≤ t ≤ b)}. Maksudnya adalah variasi titik r berada antara 0 dan L. Demikian juga variasi titik-titik t, dibatasi mulai dari 0 sampai b. Kita buat grid yang berisikan (N − 1) × (M − 1) pada bidang r-t dengan 4r = hr dan 4t = ht seperti pada gambar 5.1. Syarat batas dari persamaan (4.18) dan (4.21) adalah sebagai berikut,
∂a(r, 0) = g(r) ∂t ∂ρ(r, 0) ρ(r → 0, t) = 1, ρ(r → ∞, t) = 0, ρ(r, 0) = p(r), dan = q(r), ∂t a(r → 0, t) = 0, a(r → ∞, t) = 1, a(r, 0) = f (r), dan
(5.1) , (5.2)
dimana fungsi f (r), g(r), p(r), dan q(r) merupakan fungsi yang harus kita ketahui. Kita akan mendapatkan solusi numerik dengan menyelesaikan persamaan pada semua grid dengan menggunakan syarat batas. Dengan menggunakan metode finite difference maka bentuk diskrit dari a(r, t) dan ρ(r, t) memenuhi relasi ,
∂a ai+1,j − ai−1,j = ∂r 2hr
dan
∂ρ ai+1,j − ai−1,j = ∂r 2hr
(5.3)
∂ 2a ai,j+1 − 2ai,j + ai,j−1 = ∂t2 h2t
dan
∂ 2ρ ρi,j+1 − 2ρi,j + ρi,j−1 = ∂t2 h2t
(5.4)
∂ 2a ai+1,j − 2ai,j + ai−1,j = 2 ∂r h2r
dan
∂ 2ρ ρi+1,j − 2ρi,j + ρi−1,j = . 2 ∂r h2r
(5.5)
23
Universitas Indonesia
Gambar 5.1: Skema grid pada bidang r-t pada aplikasi finite difference.
Bentuk diskrit dari persamaan gerak (4.18) dan (4.21) memimiliki bentuk, ρi+1,j − 2ρi,j + ρi−1,j 2 ρi,j+1 = 2ρi+1,j − ρi,j−1 + ht + h2r 1 ρi+1,j − ρi−1,j 1 + 2 (1 − ρi,j )(ai,j − 1)2 ri 2hr ri −α((1 − ρi,j ) − (1 − ρi,j )3 (5.6) ai+1,j − 2ai,j + ai−1,j ai,j+1 = 2ai+1,j − ai,j−1 + h2t + h2r 1 ai−1,j − ai+1,j 2 − κ(1 − ρi,j ) (ai,j − 1) (5.7) ri 2hr dimana α =
2mv h2 ¯
dan κ =
2e2 v . mc2 u
Syarat batas dibutuhkan menghitung nilai dari
persamaan (5.6) dan (5.7) seperti yang ditunjukkan dan pada kedua persamaan tersebut dicari perubahan a dan ρ terhadap waktu. Mari kita tinjau (5.6) dan (5.7) untuk j = 1 diperoleh ρi,2 dan ρi,2 sebagai berikut ρi+1,1 − 2ρi,1 + ρi−1,1 2 + ρi,2 = 2ρi+1,1 − ρi,0 + ht h2r 1 ρi+1,1 − ρi−1,1 1 + 2 (1 − ρi,1 )(ai,1 − 1)2 ri 2hr ri −α((1 − ρi,1 ) − (1 − ρi,1 )3 ai+1,1 − 2ai,1 + ai−1,1 2 ai,2 = 2ai+1,1 − ai,0 + ht + h2r 1 ai−1,1 − ai+1,1 2 − κ(1 − ρi,1 ) (ai,1 − 1) ri 2hr 24
(5.8)
(5.9)
Universitas Indonesia
dimana i = 2, 3, . . . , N − 1 . Untuk mengetahui nilai ρi,0 dan ai,0 , anggap ∂ρ ∂t
dan
∂a ∂t
pada semua r pada t = 0 diketahui, yaitu
∂ρ(r,0) ∂t
= qi dan‘ ∂a(r,0) = gi . ∂t
Kita gunakan ∂ρ(r, 0) ρi,2 − ρi,0 = = qi ∂t 2ht ρi,0 = ρi,2 − 2ht qi
(5.10)
ai,2 − ρi,0 ∂a(r, 0) = = gi ∂t 2ht ai,0 = ai,2 − 2ht gi
(5.11)
dan
Selanjutnya, subtitusikan (5.10) ke (5.8) dan (5.11) ke (5.9) maka akan diperoleh ρi,2
ai,2
h2t ρi+1,1 − 2ρi,1 + ρi−1,1 = ρi+1,1 + 2ht qi + + 2 h2r 1 1 ρi+1,1 − ρi−1,1 + 2 (1 − ρi,1 )(ai,1 − 1)2 ri 2hr ri −α((1 − ρi,1 ) − (1 − ρi,1 )3 h2t ai+1,1 − 2ai,1 + ai−1,1 + = ai+1,1 + 2ht gi + 2 h2r 1 ai−1,1 − ai+1,1 2 − κ(1 − ρi,1 ) (ai,1 − 1) ri 2hr
(5.12)
(5.13)
Dengan menggunakan syarat batas g(r) = q(r) = 0 maka untuk kondisi awal ρ(r, 0) dan a(r, 0) merupakan solusi statik dari persamaan (4.18) dan (4.21 yang dapat diperoleh secara numerik kita . Nilai awal kita peroleh dari persamaan (5.12) dan (5.12) dan kemudian mensustitusikannya ke dalam persamaan (5.6) dan (5.7). Kita akan melakukan simulasi untuk dapat melihat fenomena apakah pelipatan protein terjadi saat diinjeksikan medan magnet dari luar. Nilai konstanta pada simulasi pelipatan protein adalah sebagai berikut ( dalam satuan SI), m = 2×10−21 Kg, u = 1×10−38 , v = 1×10−47 , L = 1×10−8 m, dan b = 3, 75×10−8 s. Hasil simulasi dapat dilihat pada Bab 6.
25
Universitas Indonesia
BAB 6 HASIL DAN PEMBAHASAN Simulasi numerik telah dilakukan seperti yang ditunjukkan pada gambar 6.1. Gambar sebelah kiri menunjukkan injeksi potensial magnetik ke badan protein, sedangkan gambar sebelah kanan menunjukkan perubahan kerapatan protein. Sebelum ada potensial magnetik λ = 0 (4.13), maka dari persamaan (4.10) dihasilkan ρ(r, t) = 1. Nilai ρ(r, t) = 1 menunjukkan bahwa protein berada pada keadaan dasar (groud state) dimana hφi = 0 (4.7). Gambar 6.1 ini menjukkan adanya perubahan kerapataan protein sesudah diinjeksi potensial magnetik. Perambatan sumber nonlinier pada badan protein menunjukkan adanya dinamika gerak protein. Hal ini bisa terjadi karena adanya interaksi medan magnet dengan badan protein. Sangat menarik kalau kita melihat perubahan kerapatan protein gambar 6.1 pada rentang waktu 29.2 − 33.3ns. Kita dapat melihat bahwa kerapatan protein tidak kontinu. Perubahan kerapatan protein ini menunjukkan terjadinya pelipatan protein. Interaksi medan magnet dengan protein awalnya akan membuat protein berada dalam keadaan metastabil. Perambatan sumber nonlinier melalui badan protein mengakibatkan transisi protein dari bentuk metastabil ke bentuk yang lebih stabil. Proses perubahan bentuk ini terjadi karena injeksi sumber nonlinier membawa energi yang cukup untuk melakukan transisi dari keadaaan metastabil ke keadaan yang lebih stabil. Fenomena pelipatan protein terjadi karena adanya pemindahan energi dari sumber nonlinier berupa medan magnet yang melalui badan protein.
26
Universitas Indonesia
Model ini tidak secara langsung menunjukkan proses pelipatan protein seperti pada model sebelumnya [9, 11]. Akan tetapi, perubahan kerapatan protein karena interaksinya dengan medan magnet dapat diinterpretasikan adanya pelipatan protein. kelebihan dari model ini adalah injeksi medan magnet lebih fisis daripada menggunakan sumber nonlinier dalam bentuk lagrangian boson.
27
Universitas Indonesia
Gambar 6.1: Perubahan kerapatan protein setelah diinjeksi potensial magnetik Ai . Perubahan kerapatan protein |φ|2 setiap waktu terhadap r ditunjukkan gambar sebelah kanan.Nilai konstanta yang digunakan pada simulasi ini adalah, m = 2 × 10−21 Kg, u = 1 × 10−38 , v = 1 × 10−47 , r = 1 × 10−8 m, dan t = 3, 75 × 10−8 s.
28
Universitas Indonesia
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN Sebuah model telah diajukan untuk menjelaskan mekanisme pembentukan gerak pada protein berdasarkan interaksi-interaksi materi dengan pendekatan lagrangian. Sumber non-linier yang disuntikan direpresentasikan oleh lagrangian medan elektromagnetik. Pelipatan protein terjadi karena sumber nonlinier merambat melalui badan protein. Interaksi medan magnet dengan protein akan membuat protein mengalami transisi dari keadaan metastabil ke keadaan yang lebih stabil. Dinamika protein terjadi karena adanya energi yang berasal dari medan magnet yang kemudian mengalir melalui badan protein. Perubahan kerapatan protein karena mendapatkan energi dari sumber injeksi medan magnet menunjukkan dinamika gerak protein. Melalui model ini kita dapat menjelaskan mekanisme pelipatan protein dengan injeksi medan magnet. Penelitian yang lebih lanjut yang mungkin dilakukan adalah menghitung sifat mekanika statistik protein seperti capasitas dan energi bebas.
29
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
[1] A. Vilenkin and E.P.S. Shellard, Cosmic String and Others Topological Defect, Combridge University Press,(1994). [2] C.A. Linhares dan H.P. de Oliveira, Galerkin-method Approach to Nonlinier Classical Stability, Brazillian Journal of Physics, vol.27, no.2A (2007). [3] F.Halzen dan A.D. Martin, Quark and Leptons :An Introductory Course in Modern Particle Physics, John Wiley & Son, Singapura,(1984). [4] H.Kleinert, Gauge Field in Condensed Matter, Vol.I, Superflownand Vortex Lines. Word Scientific, Singapore, (1987). [5] James Charbonneau, Introduction to Ginzburg-Landau Equation, Departement Of Physics & Astronomy, University of British Columbia (2005). [6] L. H. Ryder,Quantum field theory 2nd Ed ,Combridge University Press,(1996). [7] Mingliang wang, Xiangzheng Li dan Jinliang Zhang,Various Exact Solution of Nonliniar Schr¨o dinger Equation with two nonliniar terms, ScienceDirect (2005). [8] M. Januar, A.Sulaiman, L.T.Handoko Conformation changes and protein folding by φ4 interaction,arXiv: 1109.6065v1(2011). [9] M. Januar, A.Sulaiman, L.T.Handoko Nonlinier Conformation and protein folding by φ4 interaction,arXiv: 1201.0350v1(2012). [10] M. Januar, Nonlinier dynamics and statistical mechanics of secondary protein folding, Tesis S1, (2011). [11] N. G. Berloff, Phys. Lett. A 337, p.391(2005). [12] P. Echenique, Contemporary Physics 48, p.81(2008). [13] S.Caspi,E.Ben-Jacob,Phys.Lett.A 272(2000)124.
30
Universitas Indonesia
[14] Supriyanto suparno, Komputasi Sains dan Teknik Menggunakan Matlab, Ed.3, Departemen Fisika, Universitas Indonesia, 2010. [15] Zagrodzinski dan Nikiciuk,Time-dependen Ginzburg Landau approach and its application to superconductivity, arXiv:cond-mat/0111223v1(2001)
31
Universitas Indonesia