598 6 ~
UNGKAPAN DALAM PERKAWINAN ADAT SUKU MORONENE
r-i~ :
PUf ·-~T J,
SA
I !
DEPARTEr ..JJ i'ENfliDlKAN NAStat:At.l
Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi T enggara Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional 2008
PERP!JST.AK~AN PUSAT BAHASA ~f:f.lk • rr:10UK • • S"Db Kl 351 I as1· ,'iO. : - --
?12.·"ZJ J?f8 G T; !.
vt-
A-
Ttd.
j.
:elf -w --~ . - --
.
UNGKAPANDALAMPERKAWINAN ADAT SUKU MORONENE ISBN 978-685-714-2 Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara Jalan Haluoleo, Kompleks Bumi Praja, Anduonohu, Kendari 93231 Sulawesi 'fenggara Pengarah
: Kepala Pusat Bahasa
Penangungjawab : Kepala kantor Bahasa Prov. Sultra Editor
Penata letak Pewajah Kulit
: Drs. Haruddin, M .Hum. Uniawati, S.Pd., M.Hum. Zakiyah M. Husba, S.S. : Hairil M. lndra Jaya, S.Sos. :Harry
Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang memperbanyak buku ini, baik sebagian maupun keseluruhan tanpa ada izin tertulis dari penulis dan penerbit, kecuali pengutipan untuk keperluan penulisan artikel dalam penulisan artikel atau penelitian 807.2ASR Asri Ungkapan dalam Peckawinan Adat Suku Moronene/ Asci, -Kendaci: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, 2008, vii, 77 hal.; 18x11,1 em. ISBN 978-685-714-2 1. Kesastraan Daerah; 2. Penelitian
KATAPENGANTAR KEPALA PUSAT BAHASA
Masalah
kesastraan
di
Indonesia tidak dapat
terlepas dari kehidupan masyarakat pendukungnya. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia telah terjadi berbagai perubahan baik sebagai akibat tatanan kehidupan yang baru, seperti akan diberlakukannya pasar bebas dalam rangka
globalisasi,
maupun
akibat
perkembangan
teknologi informasi yang amat pesat. Kondisi ini telah mempengaruhi
perilaku
masyarakat Indonesia dalam
bertindak. Oleh karena itu, masalah sastra perlu digarap dengan sungguh-sungguh dan berencana sehingga tujuan akhir pembinaan dan pengembangan sastra Indonesia dan daerah dapat tercapai. Tujuan akhir pembinaan dan pengembangan itu, antara lain, adalah meningkatkan sikap positif masyarakat terhadap sastra. Untuk keperluan itu, Kantor Bahasa sebagai Unit Pelaksana Teknis di tingkat provinsi memiliki tugas pokok metaksanakan
berbagai
kegiatan
kesastraan
yang
bertujuan mendorong pertumbuhan dan peningkatan apresiasi masyarakat terhadap sastra Indonesia dan daerah. Salah satu putusan Kongres Bahasa Indonesia VII Tahun 2003 mengamanatkan perlunya diterbitkan berbagai naskah yang berkaitan dengan bahasa dan sastra. Untuk melaksanakan putusan kongres tersebut, Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara melaksanakan kegiatan penerbitan sastra, terutama untuk memenuhi berbagai keperluan pembinaan dan pengembangan sastra Indonesia
dan daerah. Untuk itu, kepada para penyusun Penerbitan buku sastra, saya sampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Oemikian juga kepada Kepala Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara beserta seluruh stat yang telah mengelola penerbitan sastra ini, saya ucapkan terima kasih. Penerbitan memberikan
Sastra
manfaat
ini bagi
mudah-mudahan peminat
masyarakat pada umumnya. Jakarta, ...., .... 2008
Dendy Sugono
sastra
dapat serta
DAFTARISI
Kata Pengantar Kepala Pusat Bahasa Kata Pengantar Kepala Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara Daftar lsi .......................................... .................. ...... vi Bab I
Pendahuluan .... ................................... ...... 1
Bab II
Hakikat Sastra Lisan ........... ....... ................ . 9
Bab Ill
Selayang Pandang Perkawinan Adat Suku Moronene ............... ............... .. 21
Bab IV
Ungkapan Tradisional dalam Perkawinan Adat Suku Moronene .................................................. 57
Bab V
Penutup ............................................ ..... .... 80
Daftar Pustaka ................ ............................. .... ........ 82
KATAPENGANTAR KEPALA KANTOR BAHASA PROVINSI SULAWESI TENGGARA Penerbitan sastra ini dilakukan oleh tenaga teknis Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara. Hasil Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan mutu sastra dengan ditemukannya hal-hal baru serta dapat mengembangkan bahan informasi kesastraan. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan oleh berbagai pihak untuk berbagai keperluan. selaku kepala kantor, saya sampaikan ucapan terima kasih kepada
Dr.
Dendy
Sugono,
Kepala
Pusat
Bahasa,
Departemen Pendidikan Nasional, yang telah memberikan bimbingan dan izin meneliti kepada tenaga teknis Kantor Bahasa
Provinsi
terbitnya
Sulawesi
Tenggara
penerbitan sastra
sampai
dengan
ini. Selanjutnya,
kepada
penulis naskah dan editor serta staf administrasi Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara yang telah membantu mewujudkan penerbitan ini kami juga mengucapkan terima kasih. Untuk
penyempurnaan
berikutnya,
kritik dan
harapkan.
Mudah-mudahan
saran
penerbitan
pembaca
sangat
penerbitan
sastra
membawa manfaat dalam upaya membina mengembangkan sastra Indonesia dan Daerah.
Kendari, .... , .... 2008
sastra
Drs. Haruddin, M.Hum.
kami ini dan
BABI PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Suku Moronene sebagian besar mendiami wilayah Selatan jazirah Sulawesi Tenggara atau dengan kata lain hampir sebagian besar mendiami wilayah Kabupaten Bombana (kabupaten pemekaran dari Kabupaten Buton). Suku Moronene mendiami hampir di setiap kecamatan yang ada di Kabupaten Bombana. Keenam kecamatan itu adalah, dua terletak di pulau Kabaena yaitu, Kabaena Timur dan Kabaena Barat serta lima terletak di bekas Kabupaten Buton daratan yaitu, Rumbia, Waworotu, Poleang, Poleang Timur, dan Poleang Barat. Ketujuh wilayah kecamatan tersebut merupakan suatu wilayah kerajaan pada zaman Kerajaan Moronene. Di samping itu, di beberapa kecamatan di Kabupaten Kolaka ditemukan pula suku Moronene yang dahulunya berasal dari Kecamatan Poleang dan Rumbia. Nama Moronene digunakan untuk nama bahasa dan nama suku bangsa yang dahulunya terhimpun dalam satu wadah kerajaan yaitu Kerajaan Moronene. Suku Moronene, seperti juga suku-suku lain di Indonesia mempunyai keanekaragaman budaya. Moronene adalah salah satu suku atau etnis yang ada di Sulawesi Tenggara yang mempunyai corak budaya tersendiri, memiliki berbagai 1
hasil budaya sastra dengan Jatar belakang kebudayaan yang dimiliknya seperti dalam bentuk sastra lisan. Dalam kebudayaan Moronene, sastra lisan ini sangat berperan sebagai sarana informasi dan komunikasi baik sosial maupun budaya yang diungkapkan dan disampaikan dalam bentuk sastra lisan. Usaha melestarikan sastra lisan, sebagai kekayaaan budaya, perlu dilaksanakan karena berubah dan hilangnya ragam sastra lisan tldak akan pernah berhenti. Kalau dibiarkan terus dan tidak diadakan penelltian, proses perubahan dan penghilangan sastra lisan itu akan berlangsung terus. Seiring dengan hal tersebut, kekayaan budaya yang terkandung dalam sastra lisan akan punah dan berubah. Justru pada masa sekarang dan masa yang akan datang isi yang terkandung di dalamnya perlu digali agar bermanfaat bagi pembangunan bangsa Indonesia. Sastra lisan dapat diungkap dari segi bentuk dan isinya untuk memperkaya khazanah kebudayaan bangsa Indonesia. Pengungkapan sastra-sastra lisan di Indonesia mempunyai keuntungan, yaitu dapat memperlihatkan keanekaragaman kekayaan budaya dan dapat menimbulkan sating memahami antarsuku bangsa Indonesia melalui nilai-nilai yang terkandung di dalam sastra lisan tersebut. Sastra lisan Moronene adalah salah satu sastra lisan yang ada di Sulawesi Tenggara yang daerah penyebarannya terbanyak di Kabupaten Bombana dan sebagian di Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara. Wilayah ini merupakan dua di antara sepuluh wilayah kota/kabupaten yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
2
teknologi, maka dalam kehidupan masyarakat Moronene, sastra lisan kurang lagi ditemukan dan ini membuat ungkapan tradisional tidak banyak lagi dipakai di kalangan masyarakat. namun di pelosok-pelosok perkampungan Moronene masih dapat ditemukan dan dijumpai di kalangan masyarakat tertentu yang masih mampu menuturkan sastra lisan tersebut. Dalam masyarakat Moronene, ungkapan tradisional dipandang sebagai sesuatu yang berhubungan dengan suasana kesakralan karena hal tersebut berkaitan erat dengan sifat relegius manusia dan sampai sekarang masih ada sekelompok masyarakat yang percaya akan kekuatan gaib yang dapat menolong apabila tertimpa bencana dan ini tidak terlepas dari pengaruh kepercayaan animisme dan dinamisme. Ungkapan tradisional upacara perkawinan adat di masyarakat Moronene merupakan salah satu kekayaan sastra lisan Moronene yang belum banyak diteliti dan dikajl. Jika hal ini diblarkan terus-menerus tanpa ada usaha untuk melestarikan dan menggunakannya dalam suatu kegiatan, maka dapat dipastlkan suatu saat jenis sastra lisan ini akan hilang dengan sendirinya. Saat ini perhatian dan pemakaian ungkapanungkapan tradisional yang ada di masyarakat Moronene sudah jarang ditemukan pada saat upacara-upacara atau keglatan-kegiatan adat terutama oleh generasi mudanya. Hal ini disebabkan mereka menganggap bahwa mempelajari atau memakai ungkapan-ungkapan tradisional tersebut dianggap sudah ketinggalan zaman. Penyebab lainnya adalah karena kurangnya minat untuk
3
mempelajari nilai-nilai yang terkandung di dalam ungkapan-ungkapan tersebut merupakan warisan leluhur nenek moyang kita yang perlu dilestarikan. Keanekaragaman suku dan bahasa yang ada di Sulawesi Tenggara menyebabkan bahasa dan sastra lisan Moronene sudah mulai ditinggalkan oleh pemakai atau penuturnya terutama generasi muda. Hal itu terjadi karena mereka sebagai penutur merasa janggung apabila memakai bahasa daerahnya sendiri, karena di sekitar tempat tinggalnya terdapat berbagai macam suku yang memakai bahasa daerahnya masing-masing sebagai bahasa sehari-harinya. Tidak mengherankan apabila pada saat ini banyak generasi muda yang mengaku sebagai orang atau suku Moronene tetapi tidak dapat berbahasa daerah Moronene dalam kehidupan sehari-harinya. Mereka lebih cenderung memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari di kalangan keluarganya. Suatu acara atau upacara perkawinan membutuhkan atau melibatkan banyak orang. Hal itu terjadi karena perkawinan bukan saja acara bagi kedua mempelai, akan tetapi melibatkan keluarga dan kerabat bahkan menjadi urusan anggota masyarakat juga. Sebelum memasuki suatu upacara perkawinan, banyak proses dan tahap sebagai rangkaian dari upacara tersebut yang harus dilaksanakan. Tahapan upacara tersebut dibagi lagi beberapa bagian yang menggunakan ungkapan. Masing-masing ungkapan tersebut berbeda antara bagian yang satu dengan bagian yang lain. Ungkapan merupakan suatu unsur kebudayaan yang di dalamnya dapat ditemukan gambaran sifat dan adat
4
istiadat masyarakat pemiliknya. Ungkapan ini dilantunkan dari mulut ke mulut sehingga tumbuh dan menyebar di kalangan masyarakat Moronene. Ungkapan sebagai sarana pendidikan etika dan moral memiliki berbagai macam fungsi utama, antara lain sebagai pengukuh norma-norma, pengikat solidaritas sosial, serta pengukuh nilai-nilai yang menjadi pegangan bagi masyarakat pendukungnya.
1.2
Batasan Masalah
Seperti yang diuraikan pada Jatar belakang masalah bahwa proses perkawinan masyarakat atau suku Moronene sangat kompleks. Untuk melaksanakan suatu perkawinan dibutuhkan waktu yang panjang sebab seluruh rangkaian upacara harus dilaksanakan dengan hikmat dan teratur menu rut tradisi setempat. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, maka dalam penelitian ini, penulis meneliti salah satu bagian yang sangat penting, yaitu tata cara perkawinan dan ungkapan yang dipakai dalam perkawinan ada suku Moronene.
1.3
Masalah
Penelitian ini membahas beberapa masalah berkaitan dengan ungkapan tradisional sastra lisan Moronene yang rumusan masalah sebagai berikut: (1)
Bagaimana tata Moronene?
(2)
Bagaimana bentuk ungkapan tradisional perkawinan adat suku Moronene?
cara
perkawinan
adat
suku
5
1.4 Tujuan dan Hasil Penelltlan Penelitian ini bertujuan untuk mendokumentasikan ungkapan tradisional sastra lisan Moronene khususnya tata cara dan ungkapan dalam perkawlnan adat suku Moronene. Data yang terekam ditranskrlpsikan dan diterjemahkan. Penelitian ini mempunyai relevansi dengan pengembangan dan pembinaan sastra lisan Moronene khususnya dan apresiasi pada umumnya. Hasil yang diharapkan dalam penelitian lni adalah memberikan sumbangan atau masukan bagi bahan muatan lokal dalam pendidikan dasar dan menengah serta bahan kuliah di perguruan tinggi. Selain itu, hasil penelltian mengenai sastra lisan Moronene diharapkan pula dapat membantu kita untuk lebih mengenali khazanah sastra lisan Moronene.
1.5 Metode dan Teknlk Penelltian Sesuai dengan permasalahan, penelltian 101 menggunakan metode deskriptlf kualitatif yang dilakukan dengan pengumpulan data (berupa bahan-bahan sastra lisan Moronene yang bersifat ritual), pengalihaksaraan, penerjemahan, pengarsipan, dan pengklasifikasian.
1.6 Metode dan Teknlk Pengumpulan Data Penelitian ini termasuk penelitian lapangan. Datadata dikumpulkan dari lapangan, yaitu dengan mendekati penutur sebagai informan. pencerita, juga termasuk tokoh adat, tokoh agama dan tokoh pendidikan.
6
Pengumpulan data dilaksanakan dengan cara wawancara dengan penutur dan informan yang direkam pada alat perekam. Data dan cara bercerita dicatat pada buku catatan penelitian. Data sekunder berupa jati diri penutur, wilayah persebaran, cara penuturan, dan ·informasi lain yang terkait dengan tuturan ritual diperoleh dengan cara wawancara langsung ke penutur. Data sekunder mengenai jumlah penutur, wilayah Moronene, pusat-pusat budaya, keadaan geografis, dan data sosial budaya masyarakat Moronene dikumpulkan dari dokumen yang disimpan oleh pemerintah setempat dan pemuka masyarakat.
1.7 Metode dan Teknik Pencolahan Data Pengolahan data pertama-tama dilakukan dengan cara transkripsi, yaitu pengubahan data lisan menjadi data tulis. Huruf dan ejaan yang digunakan disesuaikan dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD). Bahanbahan yang ditranskripsikan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Penerjemahan dilaksanakan secara bertahap. Pertama, penerjemahan alamiah. Dalam tahap tnl penutur diminta untuk menerjemahkan tuturannya secara bebas. Kata-kata kunci atau ungkapan kunci dimintakan penjelasan makna mitosnya. Kedua, melalui penerjemahan akademis. Dalam tahap ini, peneliti bersama pakar bahasa Moronene menerjemahkan secara harfiah, kemudian dengan berbagai macam pertimbangan atas konvensi kesastraan Moronene, dan juga atas informasinya serta terjemahan alamiah penutur, 7
disusunlah terjemahan kesastraannya yang disajikan dalam laporan penelitian ini. Untuk keperluan pengarsipan, data yang telah ditranskripsikan dan diterjemahkan, diarsipkan sesuai dengan panduan pengarsipan tradisi lisan.
1.8 Sumber Data Ada dua macam data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer berupa tuturan ritual dan data sekunder berupa informasi sekitar fungsi dan kedudukan ungkapan tradisional tersebut. Sumber data primer diperoleh dari nara sumber, yaitu penutur sastra lisan. Data sekunder diperoleh dari tokoh masyarakat, kantor budaya/pariwisata, perpustakaan, koleksi buku-buku yang relevan dengan penelitian dan Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara.
8
BABII LANDASAN TEORI
2.1
Sastra Usan, Clri-ciri dan Fungsinya
Sastra lisan atau kesusatraan lisan di dalam penelitian ini adalah kesusastraan yang mencakup hasil ekspresi warga suatu kebudayaan masyarakat tertentu yang diwariskan atau diturun-temurunkan dan disebarluaskan secara lisan dari mulut ke mulut (Hutomo, 1983:2). Atmazaki (1986:82) berpendapat bahwa sastra lisan adalah sastra lama yang disampaikan secara lisan (dari mulut ke mulut) oleh seorang penderita atau penyair kepada seseorang atau kelompok pendengar. Sejalan dengan itu, Shiplay dalam Gafar (1990:3) menyatakan, "Sastra lisan adalah jenis sastra tertentu yang dituturkan dari mulut ke mulut, tersebar secara lisan, anonim, dan menggambarkan kehidupan masyarakat pada masa lampau"'. Arifln (1990:118) mengemukakan bahwa sastra lisan adalah sastsra lama yang disampaikan dengan dendang, baik dengan musik (rebana, kecapi, dan sebagainya) maupun tidak. lsi ceritanya umumnya bersifat pelipur lara. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri sastra lama (lisan) adalah sebagai berikut: 1)
anonim, yaitu karya-karya sastra lisan tersebut sudah tidak diketahui lagi pengarangnya;
9
2)
statis, yaitu baik isi maupun bentuk cerita sangat lambat perubahannya;
3}
relegiositasi, yaitu karya-kary berhubungan dengan agama dan kep yang dianut;
.....
< it!.!( ~
ciaa~ ~ ~ :X: ~
klise imitatif, yaitu baik isi maupun be t~ny~ ~ selalu meniru yang sudah ada sebelum y&7 · ffi :1 1- Q. Secara garis besar, ekspresi sastra lisa ~i~a~ ~ menjadi dua bagian besar sebagai berikut. ~ :.::> ~ 4)
'
Ct.
1) Sastra lisan yang lisan (murni), yaitu sastra li~n yang benar-benar diturunkan secara lisan. Hal ini terlihat pada sastra lisan yang berbentuk prosa murni seperti dongeng, cerita rakyat, dan lain-lain. Selain itu, ada pula berbentuk prosa liris (yang penyampaiannya dinyanyikan atau dilagukan). Dalam bentuk puisi berwujud nyanyian rakyat (pantun, syair, tembang anak-anak, ungkapan-ungkapan tradisional, teka-teki berirama, dan lain-lain).
2) Sastra lisan yang setengah lisan, yaitu sastra lisan yang penuturnya dibantu oleh bentuk-bentuk seni yang lain, misalnya sastra ludruk, sastra ketoprak, sastra wayang, dan lain-lain (Hutomo, 1983:9-10). Lebih jauh Hutomo menjelaskan bahwa istilah-istilah sastra lisan yang digunakan para ahli sebagai dasar penggolongan sastra lisan adalah mengacu pada hal-hal berikut ini: a.
bahan-bahan yang bercorak cerita, yaitu : 1.
10
cerita-cerita biasa (tales),
fu
0: 0
2.
mitos (miths),
3.
legenda (legends),
4.
epik (epics),
5.
cerita tutur (ballads), dan
6.
memori (memorates).
b. bahan yang bukan bercorak cerita, yaitu : 1. ungkapan, 2. nyanyian, 3. peribahasa, 4. teka-teki, 5. puisi lisan, 6. nyanyian sedih pemakaman, dan
7. undang-undang atau peraturan adat. c. bahan yang bercorak tingkah laku (drama), yaitu: 1. drama panggung
2. drama arena
Secara sistematis sastra lisan di tengah-tengah masyarakat berfungsi (1) sebagai sistem proyeksi, (2) untuk pengesahan kebudayaan, (3) sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan sebagai alat pengendali sosial, (4) sebagai alat pengendali pendldikan, {5) untuk memberikan suatu jalan yang dibenarkan oleh
11
masyarakat agar dia dapat lebih superior daripada orang lain, (6) sebagai alat untuk memprotes ketidakadilan dalam masyarakat, dan (7) untuk melarikan diri dari himpitan hidup sehari-hari (Hutomo, 1983:17). Atmazaki (1986:86) menyatakan," Sastra lisan antara lain berfungsi sebagai alat untuk membantu masyarakat atau nenek moyang umat manusia mengekspresikan gejolak jiwanya dan renungan tentang kehidupan". Dikatakan pula bahwa emosi cinta diungkapkan lewat puisi-pulsi sentimentil, binatang dihadang dan dijinakkan dengan mantra-mantra, asal-usul daerah, hukum adat, dan bermacam-macam kearifan dicurahkan lewat mitos, dongeng, tambo, dan riwayat termasuk di dalamnya permainan rakyat dan nyanyian-nyanyian sakral. Berdasarkan permasalahan yang ada pada bab sebelumnya, penelitian ini mengacu pada petunjuk penelitian bahasa dan sastra. Kata ungkapan merupakan kata sifat/adjektiva yang mengandung makna "berkenan dengan ritus" Alwi, dkk (KBBI, 1996:843). Ritus adalah adalah tata cara di dalam upacara keagamaan. Ritus dalam tatanan masyarakat tradisional yang masih memeluk kepercayaan animisme dan dinamisme memiliki keunikan tersendiri. Keunikan bukan hanya terletak pada upacaranya, tetapi juga bahasa yang digunakan dalam kepercayaan animisme dan dinamisme, sewaktu mereka melakukan upacara ritual berarti mereka sedang berkomunikasi dengan roh leluhurnya yang dipujanya, atau dengan roh yang lain. Mereka melakukannya dalam suasana yang sakral. Balk bahasa maupun ekspresi penuturannya memiliki kekhasan yang menunjang kesakralannya. Kadang-kadang ditemukan kata-kata yang
12
tidak pemah ada dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, tuturan ritual merupakan sebuah komunikasi manusia pada tuhannya. Menurut Kridalaksana yang dikutip oleh Apitulay. (1991:52) fungsi sastra lisan sebagai berikut. 1.
Fungsi mendidik yang bertujuan untuk: a.
membina tingkah laku yang baru agar tercapai keserasian hidup bersama,
b.
membina kemampuan perasaan,
c.
mendidik moral yang tinggi seperti jujur, belas kasih, dan suka menolong.
2.
Fungsi menyimpan, bertujuan agar generasi muda dapat mengetahui dan memahami hikayat hidup dan leluhur dan nenek moyangnya.
3.
Fungsi motivasi, bertujuan agar generasi muda dapat menjadikan pemicu dan pendorong semangat hidup dari manfaat yang dipetik dalam sastra lisan tersebut.
4.
Fungsi rekreasi, bertujuan memberikan nyaman dan hiburan bagi penikatnya.
rasa
2.2 Ungkapan Tradlsional 2.2.1 Deflnlsi Ungkapan Tradislonal Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ungkapan adalah kelompok kata atau gabungan kata yang menyatakan makna khusus (makna unsur-unsurnya
13
seringkali dikaburkan) dan tradisional adalah sikap dan cara berpikir yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat keblasaan yang ada secara turun temurun. Cervantes mengemukakan bahwa ungkapan tradisional adalah kalimat pendek yang disarikan dari pengalaman yang panjang (dalam Dananjaya, 1984:28), sedangkan menurut Kridalaksana (1993:80) melihat ungkapan tradisional dari sudut linguistik. Ungkapan tradisional merupakan kontruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna anggota-anggotanya. Bila diamati secara seksama, ungkapan dapat memberikan informasi atau pengetahuan yang sangat berguna. Pada umumnya, informasi ini tersirat karena makna yang terkandung dalam ungkapan bersifat metafora sehingga tertutup kemungkinan adanya makna langsung. Ayatrohaedi dalam Yunus (1985:4) mengatakan bahwa ungkapan tradisional ialah ungkapan yang telah dikenal oleh masyarakat secara turun temurun, tidak lagi diketahui siapa pencipta pertamanya, dan disebarluaskan secara lisan dalam bentuk tuturan yang sudah klise. Ungkapan tradisional adalah satu bentuk sastra lisan yang berupa kalimat-kalimat baku, menjadi ujaran di dalam masyarakat, dan ditaati oleh masyarakat penutumya secara turun temurun sampai saat ini. Dalam ungkapan tradisional banyak mengandung ajaran-ajaran dan nilai-nilai, misalnya ajaran tentang pendidikan, moral, hukum dan lain-lain. Dari beberapa pendapat ahli mengenai ungkapan tradisional, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud ungkapan tradisional adalah kiasan atau kalimat yang berupa simbol, nasehat atau petuah
14
yang memiliki arti yang sangat mendalam yang dituruntemurunkan untuk digunakan dalam berbagai upacara adat.
2.2.2 Funssi dan Makna Unpapan Tradlsional Menurut Oanandjaya (1984:32), ungkapan tradisional memiliki fungsi sebagai berikut. 1.
Sebagai sistem proyeksi yaitu sebagai pencerminan angan-angan suatu kolektif;
2.
Sebagai alat pengesahan pranata-pranata lembaga-lembaga untuk kemajuan dirinya;
3.
Sebagai alat pendidik anak; dan
4.
Sebagai alat pemakai dan pengawas norma-norma masyarakat selalu dipatuhi anggota kolektifnya.
dan
Ungkapan tradisional juga mempunyai fungsi sosial antara lain sebagai pengokoh nilai-nilai dan norma-norma yang bertaku dalam masyarakat dan menjadi pedoman bagi masyarakat untuk menentukan slkap dan tingkahnya di dalam tata pergaulan masyarakat.
2.2.3 Ungkapan Tradisional sebapi Salah Satu Karya Sastra Usan Ungkapan tradisional merupakan salah satu karya sastra lisan yang perlu diperhatikan kehadirannya dalam
khazanah dunia kesastraan. Selain itu, ungkapan tradisional merupakan salah satu aspek yang turut mendukung perkembangan kebudayaan nasional.
15
Danandjaya (1986:30) mengemukakan bahwa salah satu bentuk sastra lisan yang juga merupakan bagian dari folklor adalah ungkapan tradisional seperti peribahasa, pepatah, dan pameo.
Ungkapan tradisional mempunyai tiga sifat hakiki yang perlu dlperhatikan oleh mereka yang hendak menelitinya. 1.
Peribahasa harus berupa satu kalimat ungkapan, tidak cukup hanya berupa satu kata ungkapan tradisional saja.
2.
Peribahasa ada dalam kalimat bentuk yang sudah standar.
3.
Suatu peribahasa harus mempunyai vltalitas (daya hidup) tradisi lisan yang dapat dibedakan dari bentukbentuk klise tulisan yang berbentuk syair, iklan, reportase olahraga, dan sebagainya (Danandjaya, 1986:28).
Peribahasa dapat dibedakan menjadi empat bagian yaitu. 1. Peribahasa yang sesungguhnya, ungkapan tradisional yang memiliki sifat-sifat seperti: (a)
kalimatnya lengkap,
(b) bentuk biasanya kurang mengalami perubahan, dan (c)
mengandung kebenaran dan kebijakan.
2. Peribahasa tidak lengkap, kalimatnya juga mempunyai sifat-sifat khas, seperti: 16
(a)
kalimatnya tidak lengkap,
(b)
bentuknya sering berubah,
(c)
jarang mengungkapkan kebijaksanaan, dan
(d)
biasanya bersifat kiasan.
3. Peribahasa perumpamaan, ungkapan tradisional yang biasanya dlmulai dengan katakata seperti, bagai, bagaikan atau laksana, dan lain-lain. 4. Ungkapan-ungkapan yang m1np peribahasa, ungkapan-ungkapan yang dipergunakan untuk penghinaan, ejekan, atau suatu jawaban pendek, tajam, lucu, dan merupakan peringatan yang dapat menyakitkan hati.
2.3 Konsep Perkawinan Perkawinan merupakan suatu hal yang agung, sakral, dan mulia bagi kehidupan setiap manusia agar hidupnya bahagia lahir dan batin, serta damai dalam mewujudkan rasa kasih sayang di antara keduanya. Perkawinan bukan saja sekadar pemenuhan kebutuhan biologis semata-mata tetapi juga merupakan sumber kebahagiaan. Di dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dinyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap perkawinan dicatat menurut peraturan undang-undang yang berlaku.
17
Perkawinan adalah suatu titik permulaan dari suatu mata rantai kehidupan baru. Agoes Achir (dalam Yanti Adriani, 2003:12), menyatakan bahwa adanya kehidupan baru karena individu itu bersepakat untuk kawln dan telah disahkan secara tertulis balk secara agama maupun secara undang-undang perkawinan. Mereka bukan lagi dianggap sebagai individu yang bebas dan tunggal tetapi sebagai suami istri yang terikat satu sama lain. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. K. Wantjik Saleh, S.H. dalam Yanti Adriani, {2003:13}. Perkawinan menurut hukum adat, sebagaimana yang dikemukan oleh Teer Haar {1980:187) bahwa perkawinan adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan derajat, dan urusan pribadi satu sama lain dan hubungannya yang sangat berbeda-beda. Masyarakat hukum adat memandang perkawinan sebagai untuk meneruskan keturunan, mempertahankan silsllah dan kedudukan soslal yang bersangkutan. Di samping itu, adakalanya suatu perkawinan merupakan sarana untuk memperbaikl hubungan kekerabatan yang telah retak dan begitu pula perkawinan itu bersangkut paut dengan warisan, kedudukan, dan harta perkawinan. Pada kalangan masyarakat adat yang masih kuat prinsip kekerabatannya, maka merupakan suatu nilai hidup untuk dapat meneruskan keturunan, mempertahankan silsllah dan kedudukan soslal yang bersangkutan. Di samping itu ada kalanya suatu kekerabatan yang telah jauh atau retak, ia merupakan sarana pendekatan dan
18
perdamaian kekerabatan dan begitu pula perkawinan bersangkut paut dengan warisan, kedudukan, dan harta kekayaan. Perkawinan adat-istiadat adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut adat setempat dengan tidak mementingkan peraturan-peraturan agama. Penyelenggaraan perkawinan senantiasa disertai dengan berbagai upacara yang kesemuanya itu bertujuan untuk menjamin terpenuhinya semua kepentingan yang bersangkutan. Menurut Koenjaraningrat (1997), pengertian perkawinan adalah suatu atau serangkaiaan kebiasaankebisaan yang berlaku dalam suatu masyarakat apabila melakukan perkawinan. Sistem aturan-aturan khusus yang mungkin saja berbeda tetapi mungkin saja sama dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat lainnya. Selanjutnya, Soerjono Soekanto (1983:242) menjelaskan bahwa perkawinan dilihat dari segi pelaksanaan operasionalnya sebagai aktifrtas budaya dan gejala kebudayaan yang universal memiliki clri-ciri umum pada semua bangsa. 1.
Mempunyai pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku yang mendidik dan mengarahkan orang ke perwujudan aktifitas-aktifttas sosial dengan segala hasil-hasilnya.
2.
Mempunyai tingkat kekekalan tertentu dan system kepercayaan maupun tindakan tertentu terhadapnya. Pemikiran terhadap norma-norma apa yang harus dipertahankan untuk memeliharanya.
19
3.
Mempunyai tujuan tertentu.
4.
Mempunyai alat-alat kelengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan kelembagaan yang bersangkutan.
5.
Mempunyai simbol-simbol (lembaga tertentu yang menggambarkan tentang tujuan dan fungsi lembaga masyarakat pendukungnya).
6.
Mempunyai tradlsi/sistem aturan-aturan khusus kelembagaan yang bersifat tertulis maupun tidak tertulis yang merumuskan klasifikasi-klaisikasi dan tipe-tlpe kelembagaan sosial dari masyarakat pendukungnya.
Berdasarkan dengan pengertian tentang adat-istiadat perkawinan tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan adat perkawinan adalah serangkaian kegiatan atau aktifitas yang sering dilakukan di kalangan masyarakat yang berdasarkan · ketentuan-ketentuan yang berlaku dan bertujuan untuk membina dan memasyaratkan agar pelaksanaan perkawinan itu sendiri dapat berjalan dengan baik. Abdurrauf Tarimana mengemukakan bahwa perkawinan menurut orang Tolaki memakai tiga istilah yaitu medulu yang berarti berkumpul dan bersatu, mesanggina yang berarti makan bersama dalam satu piring, dan merapu dalam masyarakat Tolaki yang berarti merumpun. Keadaan suami, istri, anak-anak, mertua, menantu, paman, bibi, ipar, kemenakan, sepupu, kakek, nenek, dan cucu merupakan suatu pohon yang rimbun dan rindang (1989:142).
20
BAB Ill
SELAYANG PAN DANG PERKAWINAN ADAT SUKU MORON ENE
3.1 Perkawlnan Adat Suku Moronene Perkawinan merupakan tahap awal peralihan dari kehidupan muda ke dalam kehidupan dewasa. Kedewasaan di sini bukan saja berarti dewasa dari segi umur, tetapi juga dewasa dalam pandangan masyarakat. Perkawinan bagi suku Moronene dianggap sakral sehingga dalam pelaksanaannya melibatkan banyak orang. Hal itu menunjukkan betapa suci dan mulianya sebuah perkawinan yang sejalan dengan ajaran Islam, yaitu mengikuti sunnah Nabi Muhammad Saw. Perkawinan dalam pelaksanaannya dlbagi atas beberapa jenjang yang memerlukan waktu dan tenaga yang besar. Rambe (1993:21) menjelaskan mengenai perkawinan Moronene. Dalam perkawinan suku Moronene dikenal beberapa istilah, yaitu: mesinca, medu/u, mesalako, mesampora, merapi, mesalaica, dan mesamotu'a. 1.
Mesinca berarti berpisah dan menyendiri, yaitu memisahkan diri dari rumah orang tua dan membangun rumah sendiri (rumah tangga baru).
2.
Medulu berarti berkumpul, yaitu bersatu menjadi suami-istri.
21
3.
Mesalako berarti berjalan bersama, yaitu ternan berjalan pada waktu ke luar rumah. Sebelum perkawinan dua orang remaja (muda"mudi) dilarang berjalan bersama-sama.
4.
Mesampora yang berarti bertunangan. Sampora menurut arti yang sebenarnya adalah tunangan.
5.
Merapi berarti berkeluarga. Rapi artinya keluarga batih atau keluarga inti, yaitu keluarga yang terdiri atas suami, istri, dan anak-anak yang belum kawin.
6.
Mesalalaica berarti bersatu dalarn satu rumah. Serumah yaitu tinggall bersama-sama dalam satu rumah untuk saling menolong dan saling melayani dengan kasih sayang {mekalolaro) sebagai suami istri.
7.
Mesamotu'a yang berarti bersatu atau bersama-sama satu orang tua, yaitu menyatukan orang tua kedua belah pihak beserta sanak famili menjadi satu keluarga luas.
Dengan istilah-istilah tersebut, maka perkawinan menurut pengertian suku Moronene adalah pembentukan suatu keluarga batih yang dilakukan ~engan suatu ikatan pribadi antara seorang pria dan wanita dengan restu dan persetujuan dari semua sanak famili dengan maksud untuk melanjutkan keturunan yang dilandasi dengan cinta kasih. Selain itu, perkawinan c!imaksudkan juga bahwa seseorang yang kawin itu telah bersatu dalam ikatan sebagai anggota keluarga dari satu keluarga {ibu bapak), suatu keluarga yang tergabung erat dengan semua anggota kerabat baik dari pihak istri maupun dari pihak suami. Lebih lanjut, Rambe (1993:22) mengatakan bahwa hampir di semua suku bangsa di Indonesia, dalam upacara 22
perkawinan memakai alat yang berfungsi untuk menjembatani antara kerabat kedua belah pihak yang akan melaksanakan perkawinan. Demikian juga dengan suku Moronene, memakai alat yang fungsinya sama yang lazim disebut dengan istilah "niwindahako". Niwindahako adalah istilah yang melambangkan katakata kerukunan dari damamtu'a (orang tua) yang memegang peraturan-peraturan atau adat yang mengikat dan harus diikuti dan ditaati oleh masyarakatnya. Peraturan-peraturan ltu dibentuk/diangkat oleh masyarakat itu sendiri, berdasarkan pengalamanpengataman yang pernah terjadi dan yang mereka alami. lstilah niwindahako terdiri dari kata dasar "winda" yang berarti saji. Kata niwindahako memperoleh prefiks ni dan sufiks ako serta konsonan h sebagai konsonan pelancar Niwinda-(h)ako artinya disajikan. Bahan niwindahako terdiri dari sebuah piring sebagai wadah dan selembar sarung atau barang lain sebagai isinya. Waktu dulu sebelum ada piring, digunakan kosiu (bersudut) yaitu sebagai piring asli suku .Moronene. Bahannya terbuat dari daun pandan diraut kecil-kecil kemudian dianyam sedemikian rupa sehingga berbentuk bujur sangkar, bersudut empat sebesar piring. Jadi, sekarang wadah tersebut telah mengalami perkembangan dari jenis bahannya, yaitu dari kosiu menjadi piring. Demikian juga halnya isi wadah itu, waktu dulu adalah sirih dan pinang, sekarang telah mengalami perkembangan jenis menjadi sarung atau barang berharga lainnya. Penggunaan peralatan niwindahako tersebut berasal dari tiruan perai;Jtan yang digunakan oleh tumpuroo
23
(dukun padi) dalam upacara pemujaan songkoleompoe (roh padi, dewi sri) pada waktu panen. Peralatan tersebut terdiri atas kosiu (ukuran kecil15 x 15 em) sebagai wadah yang berisi empat kerat buah sirlh dan pinang muda, sebagai sesajian untuk Dwi Sri. Sesajian tersebut dalam bahasa Moronene lazim dinamakan polongori. Niwindohoko lazim digunakan dalam urusan-urusan perkawinan, perdamaian, penyerahan suatu tanggung jawab, dan penyampaian sesuatu kepada raja atau penguasa tentang kejadian atau peristiwa penting.
3.1.1 Macam-Macam Perkawfnan Adat Suku Moronene Menurut Rambe (1993:28) bahwa di kalangan masyarakat Moronene dlkenal dua macam perkawinan menu rut terjadinya, yaitu: 1.
Perkawinan Mowindohoko Perkawinan mowindahako adalah perkawinan melalui pinangan. Jenis perkawinan ini berlaku umum, baik dari golongan bangsawan maupun dari golongan biasa. Apabila telah tercapai kesepakatan dalam mowindohako, maka hubungan kedua calon pengantin dlsebut mesomporo yang berarti bertunangan. Cara perkawinan dengan mowindahako adalah suatu cara yang telah dilazimkan di kalangan masyarakat suku Moronene dalam rangkaian pelaksanaan perkawlnan untuk menjamln terciptanya suatu keluarga yang diterima, baik di
24
~"""-" Jll
datam lingkungan ketuarga lingkungan masyarakat.
2.
maupun
datam
Perkawinan Mogoumpata Perkawinan mogaumpata adatah perkawinan di luar peminangan. Jenis perkawinan ini adatah perkawinan yang tercela karena tidak menghargai orang tua dan kerabat dari kedua belah pihak (pria dan wanita). Perkawinan ini dirancang dan dilaksanakan oleh kedua calon suami istri sendiri di luar proses adat perkawinan yang telah dllazimkan oleh masyarakat.
Adapun sebab umum sehingga terjadi perkawinan mogaumpata ialah karena yang bersangkutan tidak dapat melaksanakan syarat-syarat adat perkawinan sehingga jalan ke luar baginya adalah berusaha metaksanakan perkawinan tata cara yang lazim dilaksanakan, antara lain dengan cara kawin lari. Menurut proses terjadinya perkawinan mogaumpata dikalangan suku Moronene terdiri atas beberapa jenis yaitu: a.
Montiihako yang berarti kawin lari, yaitu membawa lari gadis (atas kesepakatan kedua eaton suami istri) dengan jatan eaton suami menyuruh seorang kawan karibnya pergi menjemput gadis (calon istrinya) itu dengan sangat hati-hati dan tldak boleh diketahui oleh slapapun juga. Mereka (calon suami istrl) lalu pergl ke rumah imam atau ke rumah ketua adat untuk minta dlurus perkawinan mereka.
25
b.
Molaisako, sama halnya dengan montiihako, hanya bedanya calon suami sendiri yang pergi menjemput gadis (calon istrinya) dengan sangat hatj.:.hati dan tidak boleh dlketahui oleh siapapun juga. Mereka kemudian pergi ke rumah imam atau ke rumah ketua adat untuk minta dikawinkan;
c.
Lakompa'odu yang berarti gadis sendiri yang datang ke rumah pria (calon suami) untuk minta dikawini. Hal demikian terjadi karena gadis tersebut kena gunaguna (pekasih) yang lazim disebut kamasi atau karena wanita itu sudah hamil.
d.
O'api yang berarti wanlta yang sudah bersuami meninggalkan suaminya dan kawin dengan pria lain. Bila terjadi perkawinan yang demikian, maka suami yang ditinggalkan dapat menuntut ganti rugi yaitu pengembalian mahar dan ~rang-barang pemberian lainnya. Tuntutan ganti rugi tetsebut akan diputuskan dalam sidang adat bersama pemerintah di mana orang tua dan kerabat kedua belah pihak akan ikut hadir.
e.
Telangkahako yang berarti terungkap hubungan gelap, yaitu perkawinan yang terjadi karena keduanya (calon suami lstri) tertangkap basah sedang melaksanakan hubungan seks sehingga mereka diupayakan segera kawin. Hubungan gelap tersebut lazim disebut mesosanto'ori. ·
Apabila terjadi perkawinan mogaumpata, maka pihak pria akan berusaha memperbalkl hubungan keluarga pihak lstrinya dengan melalul acara kohala. Acara kohala itu dilaksanakan dengan perantaraan seorang to/eo yang akan pergi ke rumah orang tua wanita dengan pembawa halo
26
u..,t-,-. "-'Pfl;rttt~Winan
tidal .iako 1'\orolliZilfl
berupa selembar piring dan satu pis kain putih (kain kaci atau belacu), serta barang berharga lainnya. Setelah tiba di rumah orang tua wanita, to/eo akan meletakkan halo itu dihadapan orang tua wanita atau yang mewakillnya kemudian mengucapkan kata-kata kiasaan yang isinya minta maaf atas kesalahan kedua suami istri. Pada setiap jenjang masih dibagi lagi atas beberapa tahap yang merupakan mata rantai yang berkaitan sehingga tahap pertama menunjang terlaksananya tahap berikutnya.
3.1.2 Perkawlnan Menurut Adat Suku Moronene
Tradisi atat.i adat istiadat itu timbul pada golongan masyarakat dalam menghadapi persoalan-persoatan hidup sehari-hari yang turun temurun dan selalu mengalami perubahan dari golongan tersebut. Tradisi atau adat istiadat itu selalu menyesuaikan kehidupan manusia, balk sederhana maupun telah maju (Sadly, 1983:355). Berdasarkan dari pendapat di atas, maka dapat dipahami bahwa tata tertib tingkah laku setiap individu maupun kelompok telah diatur oleh hukum adat. Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa adat suatu daerah dengan daerah lain terdapat perbedaan dan persamaan. Di Bombana, seperti hainya daerah lain di Sulawesi Tenggara, perkawinan itu bukan saja pertautan antara dua insan, tetapl juga merupakan antara dua keluarga yang mampu membawa diri dan melebur sebagaimana keluarga sendiri. Suatu perkawinan sangat membutuhkan adanya
27
u..,..,_~ ~Winon
'(!dot liuMLI Moronl!llt<
suatu pembauran yang bersifat positif dari kedua insan yang mengalaminya yang mendukung terciptanya sebuah kehidupan yang harmonis. Sebuah perkawinan harus mampu melebur dua pribadl yang berlalnan jenis dan berbeda latar belakang keluarga ke dalam sebuah mahligai rumah tangga yang mampu melahirlqm generasi yang menjadi tumpuan segala harapan dan dambaan setiap insan yang kelak dapat mengangkat harkat dan martabat keluarga. Bagi suku Moronene, sebuah perkawinan dipandang agung sehingga membutuhkan waktu panjang dalam persiapannya sehingga dapat berjalan lancar, aman, tertib dan khikmat, dan diharapkan hanya dialami satu kali untuk seumur hidup.
3.1.3 Perkawinan Menurut Hubungan Darah Masyarakat atau suku Moronene mengenal sistem prental atau bilateral, yaitu sistem yang mengakui kekerabatan kedua belah pihak, baik dari ayah maupun dari ibu. Sistem perkawinan masyarakat di Kabupaten Bombana mengenal tiga tingkatan perkawinan yang dianggap baik atau ideal, yaitu; 1.
28
Perkawinan yang ideal (saudara sepupu silang atau sepupu satu kali), yaitu perkawlnan seorang pria dengan salah seorang anak wanita dari saudara pria ibunya atau salah seorang anak wanita dari saudara wanita bapaknya. Jenis perkawinan saudara silang ini sering dilaksanakan di kalangan bangsawan dengan
~.41.-. :P1lrkl>winan '!'!dot <J>ul(a 1'\oroniZ!lf'
maksud agar harta warisannya nanti tidak jatuh ke tangan orang lain. Di kalangan masyarakat biasa jarang sekali terjadi perkawinan saudara sepupu silang karena banyak juga yang beranggapan bahwa saudara sepupu silang masih tergolong sebagai saudara kandung. 2.
Perkawinan antara (saudara sepupu dua kali, atau sepupu tiga kali atau kerabat yang sudah agak jauh) dengan istilah: moko'okudaapetila (mendekatkan saudara) atau mo'ompu petila (menyambung saudara); Perkawinan antara saudara sepupu tersebut dianggap tepat.
3.
Sebagai lawannya dan yang kini sering terjadi adalah perkawinan di luar sepupu, yaitu perkawinan dengan orang lain (di luar kerabat) atau dengan suku lain atau dengan bangsa lain yang didasarkan atas suka dan disetujui oleh orang tua kedua belah pihak.
Dewasa ini banyak warga masyarakat yang mencari atau mendapatkan jodohnya di luar lingkungan keluarganya bahkan mereka sudah bebas memilih dan menentukan jodohnya di antara suku bangsa di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa pada suku Moronene ada yang disebut sistem perkawinan bebas, dalam arti bahwa bebas memilih dan menentukan sendiri ternan hidupnya.
3.2 Tata tara Pericawinan Proses perkawinan pada umumnya dlsertai dengan serangkaian upacara-upacara yang dianggap sakral bagi masyarakat pendukungnya. Tanpa upacara, sebuah
29
~"-'-Pizrkll,.,inan ~dat iuku 1'\oron~~
perkawinan terasa hambar dan kurang semarak walaupun upacara tersebut bukanlah suatu keharusan ataupun kewajiban. Hal ini semata-mata karena kebiasaan yang sudah membudaya. Hal ini tejadi blla dipandang dari sudut adat dan terlepas kaitannya dengan agama, sebab ada anggapan yang mengatakan bahwa sebuah pesta adalah . arena untuk berfoya-foya. Sebelum melaksanakan suatu perkawinan sebaiknya terlebih dahulu diketahui orang yang layak dikawini dan orang yang tak layak dikawini. Seperti yang dijelaskan Rambe (1993:23) bahwa suku Moronene mengenal beberapa jenis perkawinan yang terlarang/tabu, yaitu: 1.
kawin dengan ibu/ibu tiri (mesomporaako tinano/tina awono),
2.
kawin dengan bapak/baj)ak tiri tamono/tamaawono),
3.
kawln dengan nenek, yaitu ibu dari ibu kandung atau ibu dari bapak kandung (mesamporaako mbue ntinano),
4.
kawin dengan nenek yaitu bapak dari ibu kandung atau bapak dari bapak kandung {mesamporaako mbue ntamano),
5.
kawin dengan anak kandung atau (mesamporaako anano/ana awono),
6.
kawin dengan saudara kandung (mesamporaako pe'out /ulaino),
7.
kawin dengan anak dari bapak tiri atau anak dari ibu tiri (mesamporaako anano awono),
30
(mesamporaako
anak
tiri
~"-'Pfl!'kllwinon '(1<1111 .§ukn Moron!ZiltZ
8.
kawin dengan sepupu sekali yaitu anak dari saudara pria dari bapak kand4ng atau anak dari ~udara wanita dari ibu kandung {mesamporaako topisa ponohano).
9.
kawin dengan pamannya yaitu saudara pria dari bapak atau ibu (mesomparaoko mo'eno),
10. kawin dengan tante, yaitu saudara wanlta bapak atau ibu {mesamporooko tina ateno), 11. kawin dengan anak dari saudara pria, atau anak dari saudara wanita (mesamporoako loki onano), 12. kawin dengan cucu dari saudara kandung wanita atau pria {mesomporooko mbue pe'()mpu lufoino), 13. kawin dengan mertua dari istri atau dari suami atau dengan menantu, yaitu suami atau istri dari anak {mesamporooko ponino), 14. kawin silang, yaitu dengan saudara wanita dari ipar pria (mesompora mosufo wua ), dan 15. kawin dengan saudara kandung istri atau suami. Hal ini dapat dilaksanakan kecuali jika istri atau suami meninggal dunia (mesomporaoko oleano). Jenis perkawinan inl dalam istilah Moronene disebut mo'ompu rongo berarti menyambung tali. Pelanggaran dengan kata lain pelaksanaan perkawinan dalam golongan terlarang adalah perbuatan tabu dan dianggap dosa besar yang harus di!"tukum c!an inclividu yang bersangkutan biasanya diusir atau dibuang dari kampungnya. Berikut ini · dapat dilihat urutan-urutan perkawinan adat Moronene.
upacara
31
~"-'J)£rkewlnon '(!dot -!>oku 1'\oromm~>:
3.2.1
Upacara Sebelum Perkawinan
Pada tahap ini, upacara dibagi beberapa bagian yang merupakan tahap awal suatu perkawinan bahkan sering disebut rencana perkawinan. Perkawinan yang ideal di kalangan masyara~at Mor~mene dilaksanakan melalui beberapa tahap. Sejak langkah awal mencari jodoh sampai pelaksanaan acara perkawinan, pihak prialah yang aktif berusaha melaksanakan semua rangkaian acara adat. Ada beberapa rangkaian acara adat yang harus dilaksanakan dalam adat perkawinan yang ideal, yaitu : 1. metiro atau mo'ombo
Metiro berarti mellrik jodoh, di mana orang tua pihak pria yang aktif mencarikan calon istri anak mereka. Mereka berkunjung ke tempaHempat keramaian seperti Pada s(ilat ndo'ua {pesta), saat motasu {tanam padi), saat mongkotu (panen padi), dan di tempat-tempat keramaian lain. Mereka akan mencari gadis-gadis yang ideal dengan pertimbangan untuk terbentukrlya suatu hubtmgan yimg sejajar dan sepadan; Selain metiro, sering juga dilakukan cara lain yang dlsebut mo'ombo. (mengklaim) yaitu dengan cara menjodohkan kedua anak (pria dan wanita yang masih kecil) oleh kedua orang tua mereka deng<m maksud untuk mempererat hubungan keluarga yang telah agak jauh. Cara pelaksanaan mo'ombo adalah ditandai dengan pemberian setangkai daun sangke~la (sejenis tanaman perdu yang biasa ditanam di halaman rumah sebagai tanaman hias (kembang daun)) kepada orang tua anak wanita pada saat mereka berkunjung ke rumah keluarga tersebut.
32
u..;...,- .41-. Plzrka.,inan '(ldtlt
~ku 1'\oro~
2. mongkiro-kiro atau mowowo kinombolu Mongkiro-kiro, artinya meniatkan atau merencanakan untuk meminang, sedan~kan mowawa kinambalu artinya membawa sesuatu barang yang dalam keadaan terbungkus. Cara pelaksanaannya adalah orang tua pihak pria menyiapkan sesuatu barang (biasanya siri/pinang atau daging hewan hasil berburu) yang dibungkus dengan daun agel atau seludang mayang pinang yang telah kering dan diikat dengan tall agel atau sejenisnya lalu disimpul hidup. Setelah itu kedua ujungnya dipintal sebagai simbol yang bermakna sesu<.~t!J yang rjjniatkan/direncanakan. Or;mg tua (ayah/ibu dari pihak pria) kemudian mengantarkan kinambalu itu ke rumah orang tua wanita, yang lazim diistila!lk;m mowowo kinambo/u. 3. Mowindohoko Mowindohoko artinya meminang. Cara pelaksanaan mowindohoko adalah orang tua pria dengan bantuan seorang to/eo pergi ke r!,Jmah orang tua pihak wan ita untuk meminang anak dara yang telah menjadi pilihan orang tua pria dan wanita yang disetujui oleh anak mereka. Bahan yang dibawa oleh to/eo yang dibantu oleh seorang yang biasa disebut ononto/eo adalah niwindohoko. Yaitu sebuah piring dan selembar kain sarung atau benda berharga lainnya. Sarung yang masih terlipat baik itu diletakkan di atas piring. Untuk golongan bangsawan piring yang digunakan berbunga biru atau merah dan untuk rakyat biasa adalah piring putih polos. Tolea meletakkannya di muka orang tua wanita atau yang mewakilinya. Setelah itu, to/eo menyampaikan maksudnya
33
~'"P!I:rkaWlnen '!'ldet ialw /1\oron~~
dengan memakai bahasa perlambang dan bertutur kata yang sopan, penuh dengan tamsil dan ibarat. Percakapan langsung antara orang tua kedua belah pihak dlanggap kurang sopan dan kurang bijaksana. Oalam acara peminangan ini, orang tua wanita belum dapat menjawab maksud (tutur kata) to/ea. Tolea dan pendampingnya anantolea akan ~gera pulang ke rl!rnall orang tua pria untuk melaporkan bahwa Ia telah melaksanakan tugas yaitu mowindahako. Setelah itu, to/ea dan onantoleo akan pulang ke rumah masing-masing menunggu ad<mya kemungkinan untuk m~laksanakan acara mompokontodo. Orang tua wanita akan mengembalikan niwindahako ke rumah orang tua pihak pria dengan dua kemt,~ngkinan, yaitu.
itu
34
1.
Apabila dikembalikan pada hari itu juga dengan disungkt,~pkan piring lain l;>erCirti lc:tm;~r;~n ditolak karena anak gadls yang dllamar telah ada yang duluan melamar. Kerrmngkinan lain niwindahako ditolak ka.rena pria yang mehunar itu tid!lk memenuhl kriteria, Apapila dikembali~n dalam keadaan tersungkup dan diikat dengan simpul hidup berarti peluan~ bagi pihak yan~ melamar, tergantung dari kepandaian berdiplomasi oleh tolea, tetapi apabila ikatannya itu adalah simpul mati, berartl tidak ada peluang sama sekali dan kegiatan selanjutnya akan dihentikan.
2.
Apabila dikembalikan pada hari itu juga . atau beberapa hari (biasanya dua hari kemudiim) dan tidak disungkuP dengan pirlng lain berarti anak
~.1.1Pirrlu>winan 'l'ldbl au!W /11orollfltl~
gadis yang dilamar itu belum ada yang melamar sehingga ada lowongan untuk melanjutkan acara berikutnya yaitu acara mompokontodo. 4.
Mompakantodo
Mompokontocio artinya memantapkan lamaran pihak pria dengan maksud untuk memperoleh jawaban dari pihak wan ita.
Cara pelaksanaan mompokontodo adalah setelah selang beberapa hari selesainya mowindahako, tolea ber$ama anantolea pergi ke rumah orang tua anak gadis dengan membawa niwindahako yang kedua. Niwindohako yang kedua itu dinamakan pokontodo, bahannya sama dengan niwindahako yang pertama, yaitu sebuah piring dan selembar sarung. Niwindah(Jko yang pertama maiJpUn yang kedua (pokontodo) diletakkan bersama-sama di hadapan orang tua anak dara. Setelah itu, ia mengucapkan kata-keita SQpan yang berisi dengan bahasa perlambang dan kiasan yang intinya adalah minta diterima dan disahkan lama ran orang tua pria. setelah tolea selescil menuturkan kata-kata tersebut, maka yang mewakili orang tua wanita akan menyentuh lam(lran it1,1 d~mgan j<Jri tengii!h kanan yang menanc;lakan bahwa lamaran tersebut telah diterima. Walaupun lamaran telah diterima, tetapi belum tentu anak dara yan~ bersangkutan menyetujuinya. Untuk mengetahui bahwa anak dara tersebut telah menyetujui lamaran tersebut, orang tua anak dara menetapkan waktu pelaksanaan acara mesisiwi (menbujuk anak dara). Dalam acara mesiSIWI ini, orang tua anak dara mengundang orang tua pria beserta kerabatnya untuk ambil bagian
35
~"-'..lnon 1'1dol Auku 1'\orommlZ
p~
secara aktif bersama-sama den~an orang tua anak dara. Merek~ berupaya membujuk anak dara agar menyetujui lamaran tersebut. 5.
Mesisiwi
Mesisiwi adalah acara meml,lujuk anak dara yang telah dilamar agar menyetujui lamaran yang telah diterima. Mesisiwi dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan oleh orang tua anak dara dan biasanya pada waktu malam. Yang lebih aktif membujuk anak dara tersebut adalah orang tua dan kerabat pihak prla. Mereka membujuk anak dara tersebut dengan cara memberikan perhiasan seperti: enu wv/qq (kalung/r<Jnte emas), tole wulaa (anting-anting emas), atau benda berharga lainnya agar menyetujui atau menerima lamaran pihak keluarga pria. Sebagai tanda bahwa anak dara tersebut telah menyetujui lamaran itu adalah dengan mengucapkan katakata: «po'ehendo miono motu'ongku donta ninunukuH yang artinya, "kemauan orang tua saya akan yang saya ikuti". Orang tua kedua belah pihak beserta kerabat yang hadir dalam acara mesisiwi itu akan merasa lega dan bergembira karena anak dara telah menerlma atau menyetujui lamaran tersebut dengan tutus dan tidak dengan terpaksa. Sering juga ter.iadi pada acara mesisiwi anak dara itu hanya meneteskan air mata atau menangis dengan tidak mengeluarkan kata-kata. Para hadirin lalu berkesimpulan bahwa
36
~.41-. p~.,.,;nan
'(!dot .Wko Moroll£11~
Apabila terjadi persetujuan terpaksa oleh anak dara, maka · orang · tua kedua belah pihak akan mempertimbangkan agar masa mesampora (bertunangan) dilaksanakan agak lebih lama (umpamanya empat sampai tujuh tahun). Masa bertunangan yang lama adalah dimaksudkan agar si anak dara dan si pemuda sebagai calon suami istri saling mengenal dan kemudian saling mencintai dan mereka terhindar dari kawin paksa. Masa bertunangan yang terlalu singkat umpama satu sampai dua tahun saja ada kemungkinan si anal< dara belum menclntai calon suaminya dan akan terjadi perkawinan paksa. Kalau sampai terjadi perkawinan paksa, maka kemungkinan besar rumah tan~a baru itu akan berantakan atau anak dara itu menono'o (mengakhiri hidupnya) antara lain dengan cara me'nee (gantung diri). Salah satu cor\toh adalah cerita tentang Tina Orima, yaitu cerita tentang seorang anak dara yang dikawinkan paksa dengan s~orang pemuda yang tidak dicintainya. !a p1,1n mengakhiri hidupnya (menono'o) di kaki sebuah bukit dekat desa Kassi Pute. Sampai sekarang bukit tersebut sudah lazlm dinamai orang dengan "Pusu Tina Oriman ;;~tau "Gunung Tina Orlma". 6,
MesQmpora
rvresampora berarti bertunangan. Kedua calon suami istri akan saling mengenal sifat dan perangai masingmaslng dan kemudian diharapkan akan saling mencintai seliingga dapat dihindari perkawinan paksa. Lamanya masa bertunangan itu al
37
u...;...,-. "-'-
P!zrl(aWinan ~dat auku 1'\oron!ZiliZ
satu sampai tujuh tahun. Setelah tercapai kesepakatan tentang lamanya masa bertunangan, maka secara resmi pula mulai berlakunya masa bertunangan itu dan kedua calon suami istri itu diharuskan mentaati semua kewajiban yang telah dilazimkan oleh suku Moronene. Selama masa bertunangan, calon suami diwajibkan melaksanakan tugas-tugas tertentu seperti membantu calon mertuanya memperbaiki rumah atau lumbung. mengerjakan kebun, dan pekerjaan lain di dalam rumah maupun di luar rumah. Semua tugas yang diberikan oleh calon mertua atau calon istrinya akan dikerjakan dengan tekun dan tidak boleh mengeluh ataupun menolaknya. Apabila caJon istri ingin menyuruh calon suaminya untuk mengerjakan sesuatu (umpama menumbuk padi), ia harYs mf?tofea yaitu dengan cara menvur1,.1h orang l;;tin (menyebut nama orang lain) dan si calon suami pun akan memahami hal itu bahwa ialah yang sedang disuruh oleh calon istrinya. Berbicara secara lan~sun~ antara calon suami istri pada masa bertunangan dianggap kurang etis. Untuk menghindari terjadinya percakapan l<mgsung antara caJon suami istri, mereka akan selalu ditemani oleh salah seorang saudara dari kedua belah pihak yang akan bertindak sebagai perantara bila mereka mgm berkomunikasi. Apabila orang yang menemani itu adalah seorang wanita, maka ia akan selalu berjalan bersamasama dengan si caloh istri. Demikiah juga halnya, jika orang yang menemani itu adalah laki-laki, maka ia akan selalu berJal;m bersama-sama dengan si calon suami d;;tlam segala kegiatan di dalam maupun di luar rumah.
38
Pada masa bertunan~an, calon istri sering memberi tugas yang berat kepada calon suaminya sekedar untuk mengetahui apakah calon suaminya itu memiliki perilaku terpuji seperti kesetiaan, ketekunan, kesabaran, kejujuran, dan lain-lain. Apabila caJon suami mengeluh ataupun menolak mengerjakan tugas yang diberikan oleh caJon istrinya, maka ia akan dikenakan hukuman yang lazim disebut tesoka van~ artinya lamarannya dibatalkan dan semua kerugiannya tidak akan dikembalikan. pemikian juga halnya selama masa bertunangan itu, caJon suami akan tetap berusaha agar tidak mengucapkan kata-kata yang tidak senonoh ataupun melakukan suatu pelanggaran adat maupun hukum agar ia tidak dikenakan hukuman tesoka. 7.
Mowawa koota olu
Secara harfiah, mowawa koota o/u berarti membawa tali simpul. Caranya adalah setelah selesai masa bertunansan, maka to/eo akan pe'li ke rumah orang tua calon istri mowawa kooto olu untuk minta penetapan waktu pelaksanaan acara lumanga (antar langa). Bahan kootu olu terdiri atas selembar plring dan seutas tali besar lidi enau (dari benang warna putih) yang telah disimpul mati dua buah atau empat buah (boleh lebih asalkan genap) sesuai waktu yang diinginkan. Simpul yang telah dibuat oleh pihak orang tua caJon suami tidak boleh dikurangi oleh orang tl.la eaton istri. Setelah selesai melaksanakan acara mowawa kootu o/u, to/eo alcan pulang ke rumah orang tua calon suami untuk mempersiapkan pelaksanaan acara lumanga. Orang tua calon suami akan mengundang kerabatnya untuk membicarakan dan mempersiapkan bahan-bahan yang
39
dipertukan dalam acara lumonfiO. Persiapan yan.J mantap menghadapi acara lumanga mempertancar jalannya acara tersebut dan akan merupakan gambaran hasil musyawarah orang tua bersama kerabatnya dart plhak caJon suami. B.
LiJirionga
Lumongo berasal darl kata Iongo yang hampir serupa wujudnya dengan kata mahar, tetapi dari segi makna dan penggunaannya jauh berbeda.
Adapun kata mahar atau m<Jskawin adalah pemberi•m wajib berupa u~ng e~talj benda dari mempelal laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nlkah. Mahar diterlma, disimpan, dan digunakan sendlrt oleh mempelai perempuan. Bila mahar itu berbentuk uang, maka ia akan menggunakannya untuk membeli makanan, pakalan, dan kebutuhan lainnya. Mengenai kata Iongo di dalam masyarakat suku Moronene adalah pemberian wajlb berupa sejumlah benda adat dari pihak caJon mempelai laki-laki kepada orang tua mempelai perempuan beberapa hart sebelum dllangsungkan upacara perkawinan. Kata lumongo adalah acara penyerahan Iongo pada hari yang telah disepakati oleh kedua belah pihak orang tl.!a cal<m ~m~lai. Longo terdiri atas delapan jenis benda adat sebagai pokok Iango, yaitu: piring (piri}, cerek kuningan (serengkale), periuk kunlngan (kunmgkole), kalung emas (enu wuloo), kain sarung (sowu), gong (rondu), kain kaci (kotll, dan kerbau (~<Jn;~mbt11!) Y!lng drntrnbah lagi den~n tiga jenis benda adat lain sebapi pelengkap (pempokokoo Iongo), yaitu: kapak (im/11, parang (to'awu), dan tombak (panda). 40
74-,~w.t- "-'~\
Moron£n£
Benda-benda adat itu selain nilai ekonominya, juga mempunyai makna simbolis yang melambangkan status sosial pemiliknya. Kadang dalam penggunaannya melambangkan harapan-harapan agar rukun dalam hidup bermasyarakat maupun hubungannya dengan alam gaib, seperti; Piring sebagai lambang berumah tangga.
kesetiaan
dalam
hidup
Cerek kuningan, lazim digunakan menyimpan air bersih untuk diminum dan juga keperluan lainnya. Selain itu, sebagai Iango melambangkan kesehatan yang diharapkan oleh kedua calon mempelai dalam hid up berumah tangga. Periuk kuningan, digunakan untuk memasak nasi dan bahan makanan lainnya. Selain itu, dalam Iango melambangkan penggunaannya sebagai kesejahteraan yang diharapkan oleh kedua calon mempelai dalam rumah tangga baru. Kalung emas sebagai lambang mayang padi yang menguning di ladangfdi sawah yang diharapkan oleh kedua calon mempelai bila mereka mengolah ladang/sawah dari tahun ke tahun dalam perjalanan hidup berumah tangga. Selain itu, kalung emas selalu digunakan sebagai salah satu bahan dalam upacara purifikasi yang di dalam bahasa Moronene disebut metampe yang ~elalu diadakan setelah selesai masa panen di ladang atau di sawah. Kain sarung sebagai lambang kasih sayang ibu terhadap bayi atau anak yang lahir dalam suatu perkawinan. Ada istilah pete-teno'a yaitu kain sarung
41
~.t..tP!zrkewinan 'rtdet iuka MoroniZll~
yang digunakan oleh seorang ibu untuk menyelimuti bayinya (mempelai perempuan) yang akan ia terima pada waktu acara lumanga sebagai wujud untuk mengenang kasih sayang yang ia telah dicurahkan. Gong sebagai lambang kesetiakawanan yang diharapkan oleh anggota keluarga kedua belah pihak dan masyarakat pada umumnya terhadap kedua calon mempelai. Telah lazim bahwa bila gong dibunyikan dengan irama tertentu, maka semua yang mendengarnya akan tahu maksudnya dan akan $egera dat<;~ng ke tempat gQng yang dibunyikan untuk bekerja sama, umpamanya membuat bangsal/rumah, menguburkan orang yang meninggal dunia, dan keperluan lain yang harus dikerjakan bersama. Kain kaci sebagai lambang kepedulian/pengh()rm!ltan terhadap seseor!)ng yang telah meninggal dunia yang harus dikafani dengan kain kaci dan kemudian dikuburkan. Kerbau sebagai lambang kendaraan roh orang telah meninggal dunia pergi ke alam baka. Suku Moronene biasanye~ mem<;~tong seekor kerbau bagi yc,tng mampu atau seekor ayam bagi yang kurang mampu pada saat seseorang meninggal dunia yang lazim disebut perongati. Van~ diyakini seba~ai hewan yang akan menjadi kendaraan bagi roh orang yang barll meninggal dunia pergi ke alam baka. Setelah agama Islam dan Kristen masuk di wilayah Moronene, kebiasaan itu sudah berangsur-angsur memudar.
42
u..,..,-.~
J)erl(ftWinan '(ldat iulw i'loroniZJl£
Selain itu, ketiga jenis benda adat sebagai pelengkap Iango (pompokokoa Iango) mempunyai makna simbolis yang melambangkan ketegaran, seperti; Kapak sebagai lambang kesabaran yang diharapkan agar masing-masing eaton mempelai tidak akan Iekas pemarah dalam membina rumah tangga. Parang sebagai lambang keuletan kedua calon mempelai yang diharapkan dalam usaha mengolah ladang/sawah dan usaha lain agar kebutuhan hidup keluarga dapat terpenuhi. Tombak sebagai lambang kemampuan talon mempelai laki-iaki untuk melindungi istrinya serta seisi rumahnya dalam hidup berumah tangga. Untuk ukuran jumlah Iango digunakan kata ntaroa ya.ng artinya setel c:la.n dlsesuaikan dengan penggolongan dalam masyarakat, yaitu: golongan bangsawan (mokole) sejumlah delapan setel {haluntoroa) golongan pemangku adat {limbo) sejumlah empat setel (patontaroa) golongan rakyat biasa {songkinoo) sejumlah dua setel {ruantaroa) golongan budak (oto, kungkuholue) sejumlah satu setel (osontaroa) Sekarang pengsolongan itu telah mengalami perubahan sehingga tinggal dua macam saja yaitu:
43
~"-'-~&~nan
'(Ida! iaku 1'\oroniZJl!Z
golongan bangsawan dltetapkan sejumlah empat setel ~atantanoa) golongan rakyat biasa dltetapkan sejumlah dua setel (ruantaroa) Yang dimal<sud dengan E!ffiPat setel d
44
u..r-,-..t..JP\Tka ..imm '(ldal iuku """"'""""
dibenarkan oleh adat leluhur masyarakat suku Moronene karena makna Iango akan berubah menjadi nilai atau harga wanita (calon mempelal perempuan). Semua benda adat (Iango), kecuali kerbau disiapkan dan dimasukkan dalam wadah yang lazim dinamakan kompe yaltu keranjang yang terbuat dari daun agel muda yang telah disiapkan sebelum acara lumanga dilaksanakan. Jumlah kompe (keranjang) .itu juga disesuaikan dengan penggolongan masyarakat, yaitu: delapan buah, empat buah, dua buah, dan satu buah, (sekarang tinggal empat dan d~CI l;Juah), !<erbau yang disiapkan ~t:lagai bagian dari Iango disimbolkan dengan solokeri, yaitu tiga utas rotan yang telah diraut kecil, dan dipintal berbentuk gelang lalu diletakkan di atas sebuah piring kemudian diletakkan bersama-sama dengan barang Iango lainnya pada saat acara lumanga. Masyarakat suku Moroneile menyakini bahwa Iongo yang terdiri atas benda-benda adat itu adalah sebagai personiflkasi mempelai perempuan yang akan tinegalkan rumah orang tuanya pergi mengikuti suaminya. Dari keyakinan itu serta adanya kebiasaan memberikan beberapa buah benda Iango kepada anggota keluarga terdekat oleh orang tua dari mempelai perempuan, nampak adanya pranata kekerabatan dan juga pranata ritual. . Dalam pranata kekerabatan nampak kebiasaan orang tua mempelai perempuan memberikan juga bagian Iango itu kepada anggota keluarga terdekat sebagai simbol perekat antaranggota keluarga yang lazim disebut molanaari dan mekilanaa. Adaoun arti dari kata molan~?ari adalah membagikan benda-benda Iango itu kepada
45
'l4y4-,- ,_,_ PI'J'k&>WinM '!'ldet iuku 1'\oroni!lliZ
anggota keluarga terdekat, kata mekilanga berarti minta pembagian benda lpnga karena pada masa kecil memp~lai perempuan, ia juga mengasuh dan merawatnya. Selain itu, dari segi pranata ritual nampak bahwa rriempelai perempuan adalah sangat terlarang/tabu untuk menerlma, menyimpan, dan menggunakan sebagian atau seluruh Iango dirinya sendiri karena Iango itu adalah simbol dirinya (jasmani dan rohnya). Diyakini bahwa apabila ia menggunakan seperti memakai pakaian atau makan makanan dari hasil penjualan benda langa tersebut berarti ia me!'llakai atai.J memakan b~d!1n~ dan akhimya akan Iekas meninggal dunia. Selaiil itu, kapak (pali yaitli bagian dari langa) digunakan sebagai alat ritual dalam upacara perkawinan yan~ merupakan ritus krisis pada masa peralihan. Pada wal
46
pirlng pengalas mahar (porombohi Iongo). lalu ia merniringkan sedildt bad;mnya ke kiri dan menventuhkan ujung parang itu pada pengalas yaltu tikar (empe) tepat di mana ia duduk selama berlangsung acara lumongo sambil mengucapkan kata-kata yang lntinya adalah semacam doa agar ia sebagai to/eo senantiasa sehat dan semt.~a acara pel"kawinan serta tirusan ker'nasyarakatan laihriya yang ia laksanakan tetap berjalan lancar dan dlterima oleh semua anggota masyar~kat. Mosungki Iongo dalam perkawinan suku Moronene m~mplmyai
arti ~iml:loli$, yaitu;
Parang yang biasa digunakan memotong kayu, rumput, dan lain:-lain melambangkan bahwa semua hasil pemblcaraan dalam acara lumongo telah diputuskan (dlpotong) dan menjadi keputusan bersarna, Parang yang terbuat dari bi!Si sifatnya keras, melambangkan bahwa keputusan yang telah dltetapkan ltu adalah tegas, adil, dan tldak dapat diu bah lagi oleh slapapun juga. 9.
Mororondo Mororondo secara harfiah berarti menyayangi, dalam
arti klasannya adalah waktu mempersiapkan segala sesuatu yang ada hubungannya denpn pelaksanaan ndo'ua (pasta perkawinan), sepertl; - Mo'isa poe (menumbuk padi) untuk dimasak pada
waktu pesta perkawlnan yang dikerjakan oleh muda-mudi secara bergotong-royong.
47
'11+1- "-'P~wl nan
'(ldat ~lw Mcroll!!lll<
- Moweweu bantea (membuat bangsal) untuk tempat duduk para tamu pada waktu pesta perkawinan yang dikerjakan oleh orangoorang tua. - Moweweu patande (membuat panggung) untuk tempat iStirahat pengantin wanita dan rombongannya pada saat pelaksanaan metlwawa (mengantar pengC!ntin wanita. - Moweweu pontampoa (membuat pondok kecil) tempat menyimpan daging pada saat pesta. Mengenai patande maupun pontampaa untuk dipotong pada waktu pesta. Memotong ·kerbau, menguliti, dan memisah-misahkannya harus dikerjakan oleh orang-orang yang paham betul karena ada bagian-bagian tertentu yang disebut losi yang harus dikerjakan lebih dahulu kemudian berturut bagian lainnya, Selama masa mororondo {biasanya beberapa bulan) kaum muda-mudi bergembira ria pada malam hari dalam acara molulo (menarl) atau acara-acara kesenian lainnya.
3.Z.:i
Upacara Perkawinan (Ndo~uo)
Ndo'uo artinya pesta perkawinan yang ditandai dengan berbagai kegiatan dari kedua belah pihak orang tua dan kerabat calon suami istri; yaitu: 1.
Metotoa dan Mosusu Tuamentaa
Metotoa artinya menyumbang yang diadakan oleh kerabat pihak pengantin pria untuk membantu
48
~.41-. ~winon
1'idot I
pelaksanaan pesta perkawinan yang diadakan oleh orang tua pengantin pria. Jenis barang yang dibawa pada acara metotoa adalah sebagai berikut:
•
asa be'u inisa (satu bakul beras kurang lebih 40 liter),
•
asa boto kurongkale (satu buah periuk dari kuningan),
•
asantaroa Pongkaana (satu pasang tempat makan yaitu: piring, mangkuk, gelas dan masing-masing satu buah), dan
•
asa tumbu balatu/kati (satu pis kain belacu/kaci) yang selanjutnya akan dijadikan umbul-umbul yang dipasang di halaman rumah tempat pesta.
Mosusu tuamentaa secara etimologi terdiri dari tiga kata, yaitu; mosusu berarti memasang, tua berarti tuak, dan mentaa berarti pahjang. Pada mulanya, tuamehtaa sesuai dengan makna yang sebenamya yaitu tuak yang diisi dalam sebatang bambu (kurang leblh tiga ruas) yang disebut teora yang disumbangkan bersama bahan petotoa lainnya kepada kerabat yang melaksanakan ndo'uo, untuk diminum oleh para undangan pada saat makan bersama. Umumnya, suatu pesta dirasakan kurang lengkap kalau tidak disertai dengan min urn tuak. Lama kelamaan tuamentaa itu telah mengalami perubahan bentuk dan jenis bahannya sehingga hanya merupakan simbol yaitu sebatang bambu dengan garis menengah kurang lebih 5 centimeter dan panjangnya kurang lebih empat meter yang melambangkan teora (tempat tuak) dan kain putih dari kain belacu atau kain kaci yang melambangkan tuak yang melimpah busanya berwarna putih. Selain itu, tersirat nilai sosial ekonomi
49
dalam usaha membantu keluarga yang melaksanakan pesta perkawinan tersebut. Demikian juga halnya dengan dipasangnya tuamentaa tersebut, mengandung makna estetis yang menambah semaraknya pesta. Di samping itu, tuamentaa juga mengandung makna ritual yang diyakini akan menyenangkan hati dewa perang yang disebut sangiamponga'e agar terhiiidar dari bahaya misalnya jatuh pingsan yang diyakini karena ditegur oleh dewa perang dalam suatu keramaian yang disertai teriakan hadirin. Diyakini bahwa kain putih dan daun kelapa muda penghias tuamentaa adalah barang yang disukal oleh para roh halus. Bahan tuamentaa adalah satu pis kain belacu/i
2.
Metiwawa/metarima
Metiwawa artinya mengantar pengantin wanita ke rumah pengantin laki-laki. Cara metiwawa adalah orang tua dan kerabat pengantin wanita beserta undangan lainnya mengantar pengantin wanita dengan berjalan menuju rumah pengantin pria tempat dilaksanakannya pesta perkawinan. Pengantin wanita dan rombongannya itu akan singgah berlstlrahat sebentar di panggung yang 50
u...;...,- "-'Jl;rrlwinon "(Idol *'lw 1'\orolltZJ>I'
telah disiapkan yang disebut potende untuk menunggu pelaksanaan ac;:ara mol()ngko tinoniwowo, Metarima artinya menunggu kedatangan pengantin wanita yang ditandai dengan diadakannya berbagai kegiatan, antara lain ndo'ua (pesta perkawinan). 3.
Mo/ongko TinaniWawa
Molongko artinya mengundang dan tinaniwawa artinya pengantin wanita. Cara molongka tinaniwawa adalah orang tua dan kerabat terdekat pengantin pria dan dipirnpin oleh tole.a datang rnenjemput tinaniwawa di potende (panggung) yang telah disiapkan dengan membawa polongko (undangan) berupa niwindahako. Setelah tolea selesai melaksanakan acara molongka tinoniwowa, maka tinaniwawa beserta rombongannya ak<m berjalan menuj1,.1 ke rumah tempat pesta (ndo'uo), yaitu rumah ,orang tua pengantin prla. Pada saat tinaniwawa meninggalkan potende berjalan sampai di muka tangga rumah orang tua pengantin pria, mereka akan disambut dengan kegembiraan o!eh orang tua beserta kerabat pengantin pria yang diwujudkan dalam bentuk; a.
cakale/e (momaani) yang diiringi dengan pukulan gong (randu) dan gendang (dimba) menurut irama caka/ele;
b.
pekik gemuruh (keilolopo) oleh hadirin yang berada di sekitar panggung menunggu kedatangan tlnaniwawo; dan
51
~"-'~Wincn
'!'Idol iuko MoroTl£lll'
c.
sering ada juga keluarga pengantin pria yang membentangk~n kaln putih dl atas j~lan yang akan dilalui pengantin wanita dan sementara ia berjalan akan diatapi/dipayungi dengan kain putlh atau kuning seperti wida (selendang) yang dibentangkan di atas kepalanya
4.
Pinokompompinda pali
Secara harfiah, pinokompompinda pali berarti dituntun menginjak kapak. kata pinokompompinda pali terdiri atas kata pinoko artinya "dituntun", pomplndo artinya "menginjak", dan poli artlnya "kapak". Acara pinokompompinda pali merupakan ritus krisis pada masa peralihan, dari masa remaja ke masa berumah tangga. Dalam acara tersebut, mereka menggunakan wad.ah yang disebut singcu, terbuat dari pelepah pinang yang sudah kering dan dlbentuk menyerupal sebuah loyang, diisi dengan bahan-bahan yang pada hakikatnya satu demi satu dari aspek nama, bentuk, sifat, dan warnanya mengandung makna dan lambang tertentu. Tiap-tiap benda itu mengutarakan harapan tertentu, seperti berikut in!. a.
E'e (air satu liter) dihubungkan dengan kata e'elho yang artinya sirami, bersihkan, dan sucikan. Air melambangkan suatu harapan agar menawarkan atau menetralisir kekuatan gaib yang membahayakan.
b.
Ririkumapu (riri artinya daun dan kumapu artinya tumbuhan yang merambat pada batang pohon, sejenis sirih dan daunnya Iebar). Dihubungkan dengan kata momapu artinya sejuk, dan nyamao yang melambangkan suatu harapan agar kedua mempelai
52
~.uPfrtawlnftn 'fidel J><JIW /1\oro~
itu sehat-sehat selalu dan terhindar dari segala marabahay~.
c.
Riri doule (riri artinya daun dan dou/e adalah sejenis tumbuhan perdu, pohonnya rlmbun dan daunnya kuning). Dihubungkan dengan kata lee yang artinya turunan atau anak yang melambangkan suatu harapan agar rumah tangga baru itu dikaruniai anak yang banyak oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
d.
Riri alondoro (riri artinya daun dan olondoro adalah sejenis tumbuhan perdu yang daunnya berwarna ungu atau hijau). Dihubungkan dengan kata morondo yang artinya hijau, subur yang melambangkan suatu harapan kedua mempelai agar pengolahan kebun mereka senantiasa memperoleh hasil yang banyak. Selain itu, dihubungkan dengan kata rorondoo yang artinya sa.yangi dan mekarorondo yang ilrtinyil saling menyayangi, seia sekata, rukun, dan damai dalam membina rumah tangga.
e.
Pali (kapak) dihubungkan dengan kata upali yang artinya tabu atau terlarang. Pali melambangkan
bahwa kf:dva mempelai telah direstvi perkaWinan mereka oleh tokoh-tokoh adat dan para hadirin. Sejak itulah mereka resmi menjadi suami lstri. Pelaksanaan acara pinokompompinda pa/i adalah sebagai berikut. Tolea memegang pergelangan kaki kanan kedua mempelai (tangan kirinya memegang kaki wanita dan tangan kanannya memegang kaki pria) kemudian memasukkan telapak kaki mereka ke dalam singsu yang telah disiapkan tadi berisi air dan bahan-bahan lainnya.
53
Telapak kaki pria diletakkan di atas telapak kaki wanita kemudian mengucapkan kata-kata perlamt)ang sejenis doa. Setelah selesai acara pinokompompindo poli, kedua pengantin itu akan di.a ntar oleh to/eo naik dan masuk ke dalam rumah lalu duduk di tempat yang telah disiapkan di ruangan tengah di hadapan tamu/undangan untuk selanjutnya melaksanakan acara pinokompe'olo. 5.
Pinokompe'olo
Pinokompe'olo artinya dltYntun/dipimpin makan bersama dalam satu plring. Arti simbolisnya adalah melambangkan suatu harapan agar kedua pengantin itu senantiasa hldup rukun, seiya sekata, dan salin~ melayani dengan penuh rasa kasih sayang. Om~ pelaf®n!;lan ac:~ra plnQkQm~'t;Ho adalah sebagal berikut. Setelah kedua pengantln duduk bersanding pada tempat yang telah disediakan, toleo akan men$an~at sebuah plrlng van$ telah disediakan berlsl nasi dan lauknya kemudian mempersllakan kedua pengantin tersebut Yntuk $aling menyuapi. Penmmtin prla yang lebih dahulu mengambil sesuap nasi dan menyuapi pengantin wanita kemudian pengantln wanlta menyuapi pengantin pria.
Saat kedua pengantin makan bersama dalam satu piring, undangan lain akan disuguhkan makanaii dan minuman untuk makan bersama. Setelah selesai makan bersama dilanjutkan dengan acara pinokompopanga.
54
6.
Pinokompompanga
Pinokomponpanga artinya dituntun/dlpimpin makan sirih bersama. Cara pelaksanaan acara pinokomponpanga adalah sebagai berikut. setelah semua undangan selesai makan dan minum bersama, tolea akan memimpin acara tersebut dengan mengambil buah pinang dan sirih, pi nang, gamblr, dan kapur yang terbuat dari daun angel yang telah dianyam berbentuk keranjang kecil. Sirih dan pinang tersebut dikerat masing-masing dua kerat kemudian meletakkannya dalam wadah lain pada tango kolungku (penutup tempat kapur dari kuningan) atal! lopa'a (tempat sitih, pinang, gambit dan kaput yang terbuat dari perak}.
Sarna
halnya
pada
waktu
pelaksanaan
acara
pinokompe'olo, tolea juga akan mengangkat wadah yang
berisi sirih pinang tersebut dan menyuguhkan kepada kedua peng~mtin sambil mem~rsilakifn untuk $3ling menyuapi secara bergantian. Pengantin pria yang lebih dahulu mengambil sirih pinang masing-masing sekerat kemudian menyuapkan kepada istrinya. Setelah itu, pengantin wanlta juga akan melakukan hal yang sama yaitu mengambil sirih dan pinang masing-masing sekerat dan menyuapkan kepada suaminya. Pada saat itu juga, semua hadirin akan dipersilakan makan sirih (bagi yang makan sirih akan disuguhkan sirih dan bagi yang merokok akan disuguhkan rokok}. Setelah selesai acara pinokompomponga, disusul pelak.sanaan acara pengucapan akad nikah menurut ajaran agama Islam bagl mereka yang beragama Islam atau pencatatan dan pemberkatan pernikahan bagi mereka yang beragama Kristen. Setelah selesai acara perkawinan
55
~'"~wlnan '({dat
iaiW /¥\oror>eJ>iZ
menurut agama yang dianut kedua pengantin, dilanjutkan dengan pelaksanaan acara pinokompekai. 7.
Pinokompekai
Pinokompekai artinya dituntun/dipimpin untuk berpe&angan tansan mensikuti atanJ melulo (menari bersama) di halaman n.imah (oluo). Dalam acata mell.ilo yang diiringi dengan bunyJ gong dan gendang, kedua pengantln akan dituntun/dipimpin oleh orang tua atau · saudaranya untuk berpegangan tangan yang di dalam bahasa Moronene lazim disebut mekai. Ae.ara mokompekoi sering juga digunakan istilah lain yaitu pinokompolulo yang artinya dituntun/diplmpin untuk melulo bersama.
Kedua pengantin akan ikut melulo bersama (di pagi hari) yang menandai berakhimya acara ndo'ua (pesta perJ<S~winan). Setelah a<:ara pesta perkilwinan itu berakhir dan para undangan telah pulang ke rumah masing-masing, maka orang tua pengantln pria akan melaksanakan acara lain yaitu moreantolea.
56
BABIV UNGICAPAN TRADISIONAL DALAM PERKAWINAN ADAT SUKU MORONEN£
4.1
4.1.1
Transkrlpsi Data
$Unakapan yana Dlpakal Pada Saat Pelamaran (Mowltidaliako) Tabea rua pulu tabea Berlimpah-limpah hormat
Rua pulu lebo po olono, rua pu/u tangkeno po aino Oua puluh lembah pemisahnya, dua puluh gunung penyekatnya
Ira indo pu'ununu konee, kau kapopalia Oi hadapan pohon beringin kenamaan, kayu yang keramat
Ira indo dawawaa wonua ronga raromiano motu a naoma pero doleu, dao nimorou'o
57
~"-'PI!!'ke..,inon '(Idol &lllu /¥\o~
Di hadapan pemerintah, bersama para orang tua serta hadirin, yang dlmuliakan
Adie datepolele ira'i, telenga i'olotanto. lni yang terletak di muka, terbentang di hadapan kita
Wua asa inete, bite asa mpangoha Pinang satu kerat, sirih sekapur sirih
Pinanga mpo'ontoni, wuo mpowindahoko Sekapur sirih untuk suguhan, pinang untuk peminangan
Heino mengkaumo, mentao po'olonP Betapa lamanya, panjang antaranya
..... maraa-morumai .....ke sana ke mari
Kano-kanomo wae-waea, ganda, wulu mpae nte'asi
58
~"-'Perka..,inon '{1dot ~ku Moro~
Laksana sebiji kemiri dalam gendang, buluh padi terselip
Koi tekideiho tesllori motaho Hingga terpandang olehnya, terlintas di matanya
Tandu-tanduno raha, singkuano komali Tanduknya rumah, bumbungannya mahligai
Hei moico inonto, mohompa kinidei Betapa baik dilihat, indah dipandang
Sesekino atono, kolo padangkahono lri5aii atapliya, potong;m p;:ingkal ka5aunya
Mo'olu turupa atano, tapu tolongkeuno Teduh tirisan atapnya, ujung potongan kayunya
Koi tewuwungka /orono teleu patuduno Hingga tergerak hatinya, datang niatnya
59
~"-'~winan
'(ldllt lx!ka 1'\oron{ll'l!l
Ntaleu metudu, dungku me'olu-ulu
Akan datang istirahat, tiba berteduh,
Hoi tapu tolongkeun(), tJJrupa atono
Di ujung potongan kayunya, tirisai'l atapnya
Pu'u nunungkonee, keu ngkopopalia
Pohon beringin kenamaan, kayu keramat
Ntaperanomo
inaa~
donta
tianio
rongo
mokomoicco, yt;~h® rqro micmo mQti!'P Sekianlah di sini, yang akan bertambah dan perbaiki, ialah para orang-orang tua.
4.1.2
Ungkapao y~og Dipaka• Pacla Saat Pelamarao Kedoa/Pemantapan Pelamarao
(Mo.mpokontodo) Tobea rya pulu tat,e()
Berlimpah-limpah hormat
Aso ie ndoka.... (anontoleo) doho lehao rumpo, poltJ/e tewoi
60
lnilah katanya ... (pembantu tolea) sedang letakkan c:ledaunan, bentangkan pertanda
Sembitalco ponglcoko, hombi'o pokodoro
Simpulkan pengikat, selempangkan pemantap
Kei doo nta mepole/e, .a tawo mepokoe
Sekiranya akan berlalijut at;Ju !>ersamblit
Danta ompu'o, danta tianio
Yang ak<Jn hublmgk;m, Yang CJkan tambahlcan
Yahoo luwu miano motu'a. ntaperanomo inai'ai
lafah semua o~ang tua, seklamah di sini.
4.1.3
Uogkapan pada Saat Mengbant.r Llmga (LIIItlllnga)
Tabea rua pu/u tabeo,
Berllmpah-llmpah hormat,
61
~,u.... Pfzrlu>wlnen 11det ioku 1'\oroll!Zil£
Umbee na'amiu peie tamana ... .
Yah rupanya di sana Bapaknya ... (bapak pria)
Heidaa mokowia umpetena S~dang
antusias menyuruh, serius nteminta tolong
Kaida me'etahlra tamano .... (anantolea)
Sehingga mintai (pembantu tolea}
pertolongan
Bapaknya ...
Mokad(JngkiJ'qkono'o damepolele itongo, mdio t'olo-o/o
Menyampaikannya yang terbentang di tengah diletakkan di hadapan
Yo sarano wonua
lalah adatnya negeri
Kei daa dioho, sorongoa /orono /aicono
Sekiranya rumahnya
62
ada
disimpan,
dipetikan
dalam
Dokito nto'ontoo, lolonto i'oloto
Kita akan Jihat, tampak di hadapan
Romoi mempebvngi, leu mompeh;noJNCJ i'olo-olo
Kelihatannya membukit menggununa di hadapan
Te'iaamo konahina, die nto puraamo
Demikianlah katanya, ini telah habis
No gimpl'o dale, asi'o tuora tarono
Terhimpit rejeki, terjepit nasib baginya
Koi dungku tegori, teleu tegorisi perano tuarano
Hingga ~mpai tersurat, terpenuhi kesepakatan batas kemampuannya
Te'ioa kanah/, kef dao dahano sai dungku, sai teleuhano
Singkatnya kata, sekiranya ada yang tak sampai, tak terpenuhi
63
14+-1-~ P!zrllawi!lfln 't'ldot iuku /¥\oron!Uli<
/ramo raro damotu'a, danta mokodungku'o
Mereka para mencukupinya.
4.1.4
tetua
adat,
yang
akan
Unpapan Pada Saat MenJUndang Pengantin Wan ita (Molongko Tlnanlwawa}
Tobea ruapulu tabea, ruapulu tangkeno po aino ruapu/u lebo po olono
Diaturkan limpah hormat, dua puluh gunung pemisahnya dua puluh lembah penyekatnya
Da tepolele, ira'l! telen{Ja l'olotanto Van~
terletak di muka, terbentang di hadapan
kita.
Polongko mami, kando mobatangkaru mohica pelimpado
Vnc;langan kami, agar merek(l ringaf1 kaki lancar langkah mereka.
Oanta ompu'o, danta ti(Jnio
Yang akan sambung, yang akan tambah
64
Yahoo pu'u nunungkunee, keungkopopolio
lalah pohon beringin kenamaan, kayo keramat
ToJH!rO!Iomo ino'oi
Sekianlah di sini
4.~
4.2.1
Analisis Data
Makna Ufllkapan UnskaPan yang Dlpakai Pada Sal~
.,_,.,_n
(ftf~hqlco}
Tobeo rua pulu tabea
Berlimpah-Hmpah hormat
Sebagai rasa penghormatan kepada keluarga si wanita yang akan dlfamar, tolea menghaturkan berlimpah-llmpah hormat kepada kedua orang tua si wanita dan para kerabat yang ada di tempat tersebut. Ungkapan ini sebagai kata pembuka dalam acara pelamaran (mowlndahako) ini.
65
Ruo pulu lebo po olono, ruo pulu tongkeno po oino
Dua puluh lembah pemisahnya, dua puluh gunung penyekatnya Semoga orang tua wanita dan para keluarga yang hadir di tempat tersebl.lt tidak terslnggyng ~tas kedatangan juru bicara (to/eo).
Ira indo pu'ununu konee, kau kapopalio
Di hac,lapan poh()n peri11gin kenamaan, ka.yu yang keramat
Oi hadapan juru btcara (to/ea) orang terpandang, dihormati disegani, dan dimuliakan ibarat pohon beringin yang keramat.
Ira indo dawawoa wpnua rongo raromianQ motu a noomo pera doleu, doo nlmarou'o
Di hadapan pemerintah, bersama para orang tua serta hadirin, yang dimuliakan Di hadapan juru bicara, pemerintah atau tetua adat c,lan Qrang tl!a yang sangat dimuliak~n,
Adie datepolele iro'i, telengo i'olotonto.
tni yang terletak di muka, terbentang di hadapan kit a
66
Di hadapan orang tua si wanita dan keluarga sudah dltetakkan perangkat adat dan sudah diketahui oleh semua hadirin bahwa syarat,syarat adat sudah diletakkan di hadapan orang tua wanlta.
Wua asa inete, bite asa mpangaha
Pinang satu kerat, sirih sekapur sirih
Pinahg satu buah yang sudah diiris yang siap dicampur dengan sirih untuk dimakan atau dikunyah sebagai simbol pelamaran.
Pinanga mpo'antoni, wua mpowindohako
Sekapur sirih untuk suguhan, pinang untuk peminangan
Sebagai simbol pinang untuk peminangan dan sirih untuic suguhan sebagai pengganti rokok.
Heino mengkaumo, mentaa po'olono
Betapa lamanya, panjang antaranya
67
Keinginan untuk melamar tetapi harus melalui proses yang panj~ng !!gar hilcmat dan tidak membawa aib bagi kedua belah pihak•
....• morQa-morumqi ...•. ke sana ke marl
Ke sana ke mari bertanya mengenai keadaan si wanita yang ~kan dilamar.
Kona-kanomo wae-waea, gonda, wulu mpae nte'asi Laksana sebiji kemirl dalam gendang, buluh padi terse lip
lbarat kemiri ~ng ada c;lalam gendang apabiiCI digoncang akan ke sana ke mari seperti buh.i padi yang berarti segan dan malu-malu.
Kai tekideiho tesilori mataho Hlngga terpandang olehnya, terlintas di matanya
Agar nyata di!!hat dan diketahui olell masyarakat awam bahwa laki-laki sudah menyatakan maksud untuk bersatu dengan keluarga perempuan.
68
~"-'~wlnan 'tklatliuku
Moro!lf
Tandu-tanduno raha, singkuano komali
Tanduknya rumah, bumbungannya mahligai
Tanduknya rumah, rasa hormat dan penghargaan untuk membina mahligai cinta yang suci.
Hei moico inonto, mohampa kinidei
Betapa baik dilihat, indah digandang
Yang indah dilihat dan indah dipandang mata oleh semua orang.
Sesekino atono, kola padangkahono
lrisan atapnya, potongan pangkal kasaunya
Seperti teduhnya tirisan atap rumah dan sindah pangkal kasau rumahnya, seteduh hatinya dan sekata seperti awal maksud hatinya.
Mo'olu turupa atano, tapu tolongkeuno
Teduh tirisan atapnya, ujung potongan kayunya
69
~tiJ-, PIZI'k&winon '(Ida! iaka 1'1oron!znsz
Seteduh hatinya dan sekata seperti awal maksud hatinya.
Koi tewuwungko /orono teleu potuduno
Hingga tergerak hatinya, dating niatnya Semoga tergugah hatinya, terwujud maksud hati iaki-laki kepada perempuan.
Ntoleu metudu, dungku me'olu-ulu
Akan datang istirahat, tiba berteduh,
Untuk datang beristirahat dan berteduh di hati wan ita setelah sekian lama hidup sendiri.
Hoi topu tolongkeuno, tu111pa atqnp
Di ujung potongan kayunya, tirisan atapnya
Di hati wanita di akh!r perjalanan llkU-liku hidupnya yang panjang.
Pu'u nunungkonee, keu ngkopopolio
Pohon beringin kenamaan, kayu keramat
70
Oi hadapan juru bicara ibarat pohon beringin yang terpandang, terhormat, disegani oleh siapapun.
Ntoperonomo inooi, donto tionio mokqmoit;co, yahoo rorp miqno motu'a
rongo
Sekianlah di sini, yang akan bertambah dan perbaiki, ialah para orang-orang tua.
Untuk semeotara cukup sampai di sm1 acara pelamaran, lebih dan kurangnya yang telah diutarakan tolea akan dibicarakan lebih lanjut dengan kedua orang tua si wanita dan si laki-laki.
4.2.2
Malma Uogkapao Pada Saat Pelamaran Lam.aran (Mompokontodo) l(et'lualm~mantapkan
Tobeo ruo pulu tobeo
Berlimpah-llmpah hormat
Ampun beribu ampun, berlimpah hormat kepada orang tua wanita dan para hadirin yang hadir di tempat itu. Aso i~ ndoka,... (anontolea) daho lehoo rumpa, polele tewoi
71
lnilah katanya ... (pembantu tolea) sedang letakkan dedaunan, bentang1can pertanda Maksudnya adalah di hadapan kita pembantu juru bicara (anatolea) meletakkan perangkat syarat adat agar diketahui.
Sembitako pongkoko, hambi'o pokodoro
Simpulkan pengikat, selempangkan pemantap
Maksudnya adalah membuka pengikat atau tirai pemisah antara laki-laki dan perempuan serta mempermantap maksud untuk membina rumah tangga.
Kei daa nta mepoleie, atawa mepokoe
Seklranva akan berlanjut atau bersambut
Apabila lamaran kedua ini berterima dan disambut baik, maka kami akan melanjutkan pembicaraan yang tebih serius dan diperbolehkan menyajikan mahar,
Danta ompu'o, donta tianio
Yang akan hubungkan, yang akan tambahkan
72
~.1.4... ~kawinen '(ldel
liuku 1'\orolljllljZ
Yang akan menyambung atau menghubungkan maksudnya berterima atau ditolak.
Yahoo /uwu miano motu'a. ntaperanomo inai'ai
lalah semua orang tua, sekianlah di sini.
Keputusan ini diserahkan kepada kedua orang tua wanita atau keluarga untuk memutuskan apakah lamiJran ini ditolak atau diterima. Kalau diterima, maka tolea akan membicarakan lebih lanjut mengenai mahar dan syarat-syarat lain.
4.2.3
Makna Ungkapan Pada Saat Menghantar Langa (LiiJt~~~~Jga)
TQbea r1.1a pu/IJ tabea,
Berlimpah-limpah hormat,
Sebelum acara penyerahan mahar oleh pihak lakil
73
~'"~WiDDD '!'Ida! lk!ku
1'\orollfiJl(l
Umbee na'amiu peie tamano .....
Yah rupanya di sana Bapaknya ... (bapak pria)
Tidak lupa juru bicara atau tolea selaku wakil pihak laki-laki menyampaikan salam dan permohonan maaf dari orang tua laki-laki karena tidak sempat menghadiri acara lumanga tersebut dan hanya diwakilkan kepada keluarga lainnya.
Heidaa mokowia umpetena
Sedang antusias menyuruh, serius meminta tolong l<edatangan juru bicara (tolea) di ternpat pihak perempuan atas suruhan orang tua pihak laki-laki yang sangat antusias menyuruh dan meminta tolong kepada kami agar segera ke rumah eaton mempelai perempuan untuk menyerahkan mahar.
Kaida me'etahira tamano .... (anantolea)
Sehingga meminta (pembantu tolea)
pertolongan
bapaknya ...
Maksl.Jdnya adalah minta tolong kepada kami (pembantu tolea).
74
~"-'P!lrkll.,inon '(ldal ioku 1"\oroll!Zil!Z
Mokodungku'akono'o domepolele itonga, mdio l'olo-olo
Menyampaikannya yang terbentang di tengah diletakkan di hadapan
Maksudnya adalah menyampaikan barang (mahar) seperti yang telah diletakkan di hadapan hadlrin.
Yo sarano wonua
lalah adatnya negeri
Maksudnya adalah sebagai syarat adat yang berlaku di negeri ini.
Kei daa dioho, sorongaq /orono /picano
Sekiranya rumahnya
ada
disimpan,
dipetikan
dalam
Maksudnya adalah sekiranya boleh disimpan dalam rumah berarti mahar kami sudah diterima oleh orang tua wanita dan keluarganya.
Dakita nta'ontoo, lo/onto i'olota Kita akan lihat, tampak di hadapan
75
'l4ylwy- "-'Plzrl\o...inan fldat l>uku MomntzM;
Maksudnya adalah kami akan mellhat peti (koper) untuk menyimpan barang~barang tersebut di hadapan to/eo dan onotoleo.
Ramoi mempt?bungi, leu momp(:!hinowu i'olo-olo
Kelihatannya membukit, menggunung di hadapan
Akan kelihatan membukit apabila barang (mahar) dlsimpan di dalam peti.
t~rsebut
Te'iaamo kanohino, die nto puroomo
Demikianlah katanya, ini telah habis
Sudah cukuplah yang ka.mi suguhkan sebagai syarat adat.
Na gimpi'o dole, asi'o tuart:~ tarono
Terhimpit rejeki, tei'"jepit nasib baginya
Jangan sampai terhimpit jodoh dan rezkinya terjepit.
76
~"-'~Winsn
'(ldet iulw .oloro~
Koi dungku tegori, te/eu tegorisi perono tuorono
Hingga sampai tersurat, terpenuhi kesepakatan batas kemampuannya Hin~a pada saat penentuan hari perkawinan karena sudah lengkap dan cukup.
Te'ioo kanohi, kei daa dahano sai dungku, sai teleuhano
Singkatnya kata, sekiranya ada yang tak tak terpenuhi.
~ampai,
Singkat kata k
tramo raro damotu'o, danta mokodungku'o
Mereka para mentukupinya.
tetua
adat,
yang
akan
Apabila mahar atau Iango yang telah diberikan belum dianggap cukup, maka pihak perempuanlah pihe~k laki-laki yang mencllkupi karena kemampuannya hanya sampai di situ seperti yang telah disepakati pada saat pelamaran.
77
~"""PI!l'ka"'lnan '('ldat 3aku i'loron!Zilfl
4.2.4
Makna
Ungkapan
Pada
Saat
Menpndang
Pengantln wantta (MQiqrJgko Tlna(JiwqWQ)
Tabea ruapulu tabea,
Dihaturkan limpah hormat,
Seperti pada acara-acara sebelumnya setiap dimulai acara tetap disampaikan rasa penghormatan kepada pih.ak keluarga ~ wanita, to/eo menghaturkan berlimpah-limpah hormat kepada kedua orang tua wanita dan para kerabat yang ada di tempat tersebut. Ungkapan ini sebagai kata pernbul
ruapulu tangkeno po a/no ruapulu lebo po olono
dya puluh gun1,1ng penyekatnya.
p~misahnya
dua puluh lembah
Do tepolele, ira'/, te/enga l'olotanto
Yang terletak di muka, tE!rbentang di hadapan kita.
Semoga orang tua ~ngantin wanita. dan para pengantar tidak tersinggung atas kedatangan juru bicara {to/eo}. 78
~"-'PI
Polongko mami, kando mobatangkaru mohica pelimpado
Undangan kami, agar mereka ringan kaki lancar langkah mereka.
Keluarga pengantin pria mengundang keluarga pengantin wanita masuk ke tempat pesta.
Danta omprlo, danta tianio
Yang akan sambung. yang akan tambah
Yahoo pu'u nunungkunee, keungkopopalia
lalah pohon beringin kenamaan, kayu keramat
Semoga keduil keluarga pasangan pengantin menjadi keluarga besar seperti layaknya pohon beringln.
Taperanoma ina'ai
Sekianlah di sini
79
BABIV
PENUTUP
4.1 Sh:npuJ•n Berdasarkan hasil penelitiiu'l pada bab terdahulu, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut. 1.
Tata cara upacara suatu da.e rah menunjukkan identitas daerah tersebut, tetapi tidak tertutup kemungkinan ad~nya daerah yang sama upacara perkawinannya.
2.
Setiap ungkapan mewakili fase dalam perwakilan sehingga setiap fase me.millki ungkapan tersendiri.
3.
Secara garis besar, upacara perkawinan suku Moronene dibagi atas tiga bagian, yaitu upacara sebelum perkawinan, upacara dalam perkawinan, dan upacara setelah perkawinan.
4.
Setlap ungkapan m~ngandung makna tert~ntu, baik tnakna denotatif, konotatif, maupun simboilk. Pada umumnya, makna simbolik menggunakan simbolsimbol dengan mengunakan benda-benda yang akrab dengan kehidupan sehari-hari.
5.
Ungkapan yang diung~apkan juru t;licc:tra (t9le(J) pada upacara adat hahya sebatas pada saat upacara peminangan atau pelamaran (mowlndahako), pemantapan peminangan atau pelamaran (mompokontodo}, dan menaik!
80
~""'Pelt..lfl:
6.
Ungkapan dalam perkawinan adat suku Moronene Silrat dengan makna. Setiap tuturan yang diucapkan kedua juru bicara mengandung makna bahwa di dalam memasuki kehidupan baru perlu aturan-aturan yang harus dipatuhi kedua belah pihak agar tidak ada pennasalahan yang akan terjadi sejak pelamaran sampai memasuki tatanan hidup baru.
4.2 Saran Ungkapan tr;:tdi~ional adalah salah satu jenis sastra lisan yang han.is dilestarikan. oleh karena itu penelitian mengenai ungkapan tradisional perlu dilaksanakan. Penelitian mengenai ungkapan tradisional sampai sekarang belum banyak dilakukan, padahal Sulawesi Tenggara siJngat kayii dengan ungkapan-ungkapan tradisional yang masih dituturkan oleh masyarakat pada waktu melakukan "'pacara-upacara adat tradlslonal. Ungkapan tradisional yang terdapat di tengah-tengah rna$yarakat perlu segera diinventatisasi dan dibukukan agar unskt~pan-ungkapan tradisiont~l itu tid<Jk hUang seiring dengan makin berkurangnya penutur yang menguasai ungkapan-ungkapan tradisional tersebut.
81
Daftar Pustaka
Amarul, Setlin. 2000. Anal/sis Mantra Mosehe dalam Masyarakat Tolakl, Suotu Kojion Antropo/inguistlk. Kendari: Universitas Hah.loleo.
Atmazaki. 1986. 1/mu sastra (Teori don Teropan). Bandung: Pustaka Prima.
Ashur. AI Arsamid. 19~6. HIJkum Perkawinon Orang Tolaki. Kendari: Pemda.
~5asir; Ro~;lina.
1995. Perkawinan Antarstratlfikosi Sosi(Jf pado Mosyorakot Tolaki. Kendari: Unhalu.
oamono,
S<Jpardi Djoko. 1984. Sosiologi SOstra, Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Oanandjaya, James. 1982. Folk/or Indonesia, lknu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafis Pers. Fananie, Zainuddin. 2001. Telaah Sastra. Muhammadiyah University Press.
82
Surakarta:
Hadikusuma. H. Hilman, 1977. Hukum Perkawinan Adat. Jakarta: Alumni.
Hutomo, Suripan Sadi. 1983. Panduan Penelitian Sastro Uson/()aeroh, Jakarta: Pusat Pemblnaan dan Pengembangan Bahasa. Ishak, Nur. 2002. Menelusuri Jejak Kearifan Lokal di Taman Nosional Rawa Aopa Wotumohai. Kendari: LEPMIL.
Jumiati. 2003. Fungsi Kalosara sebagai Media Komunikasi Tradisional do/am Penyelesoion Perkowinon Bawa Lori. Kendari: Unhalu.
Kleden, lgnas. 2004. Sostra Indonesia do/am Enom Pertanyaon, Esai--esai Sastra dan Budaya Jakarta: Pustaka Utama Grafitti. l(~ntjoranlngrat.1977.
Metode-Metode Mssyarokat. Jakarta: Gramedia.
Penelltian
Pradopo, Rachmat Djoko, dkk. 2003. Metodologi Penelitian Sastro. Vogyak;~rta: Hanind.ita Graha Widya.
Rosna. 2002. Makno Tuturan dalam Penyelesaian Pelanggaran Adat Mombolasuako Masyarokat Tolaki. Kendari: Universitas Haluoleo.
83
v I --
v L.- {;.
't
u...,t..,- "-'P!zrka""n&n ~&I 3olw 1'\oro,_
Rambe. 1993. Adat PeFk.awlnan Moronene (Dolarn Upaya Meiestorikon Kebudoyoon Moronene). SuJawesi Ten~ra.
Teeuw, A. 1982. Khozonoh Sostra Indonesia: Beberapo Mosolah Penelltlofl don Pt!nye/)orluosonnyo. Jakarta: Balai Pustaka.
laridal01, Yusran. 2005. PerubohQn Sosiol poda Masyorokot Tolok.i, Sket$a AntrpppSQsial di .Ran.ah 8udayQ Tplaki. Kendari: Yayasan Hljau Sejahtera. Tarimana, Abdurrauf. 1989. Kebudoyoan Toloki. Kendari: Unhalu.
Warren, Austin dan Rene Wellek. 1995. Teori Kesusostroon. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum.
Zaidan, Abdul Rozak. 2002. Pedomon Penelition Sostro Doerph. Jakarta: Oep(!rtemen PE!ndidikan Nasion(!L
;._(j _:-:
~ a'~..:d.r· ·"''-. :=A"
r1
c _.,.r:o U .. .,, ~ r~ , . ;•· ,.-. ._ ' ' r~ -~·J1-:- _r r .. i: ~Sl·!!!-,':r..~~ I: . l . ·---- _"__ _
84
392.~