UJI SITOTOKSISITAS BAGIAN Pandanus conoideus Lam. VARIETAS BUAH KUNING TERHADAP PERTUMBUHAN SEL HeLa SECARA IN VITRO DAN PROFIL KANDUNGAN KIMIA BAGIAN TERAKTIF
Skripsi
Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna memperoleh gelar Sarjana Sains
Oleh: Muslihah Nur Hidayati NIM. M0406010
JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kanker merupakan penyakit yang menempati peringkat kedua sebagai penyebab kematian di dunia. Salah satu jenis kanker yang memiliki potensi menimbulkan resiko kematian adalah kanker leher rahim. Kanker leher rahim (kanker serviks) adalah kanker yang terjadi pada serviks uterus, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim yang terletak antara rahim (uterus) dengan liang senggama (vagina). Kanker leher rahim terjadi karena adanya infeksi virus yang dikenal dengan Human Papiloma Virus (HPV). Telah terbukti bahwa HPV (Human Papiloma Virus) merupakan sebab mutlak terjadinya kanker serviks. Angka prevalensi di dunia mengenai karsinoma serviks adalah 99,7 % (Yohanes, 2008). Kanker serviks merupakan jenis kanker yang terbanyak diderita wanitawanita di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Di negara maju kanker ini menduduki urutan ke-10. Hal ini menyebabkan penelitian untuk menemukan obat-obat baru terus berkembang, bahkan dari bahan alampun kini banyak diteliti untuk pengobatan penyakit kanker ini (Sukardiman et al., 2005). Dewasa ini penelitian karsinogenesis banyak diarahkan pada salah satu gen supresor tumor yang dikenal sebagai gen supresor tumor p53 atau disingkat sebagai gen p53. Mutasi gen p53 menyebabkan terjadinya penurunan mekanisme apoptosis sel. Sebagian besar sel kanker serviks mempunyai gen p53 dan p105Rb
(retinoblastoma tumor suppressor gene product) dalam bentuk wild type. Gen pengatur pertumbuhan yang aktif dalam sel normal ini juga terdapat dalam sel kanker leher rahim. Namun, aktivitasnya dihambat oleh ekspresi protein E6 dan E7 dari HPV. Hal inilah yang menyebabkan munculnya kanker pada tubuh dan pertumbuhan sel menjadi tidak terkendali. Apabila ekspresi onkogen E6 dan E7 dihambat, maka protein tumor supresor p53 dan retinoblastoma aktif dan sel kanker serviks mengalami senescence yang kemudian menyebabkan apoptosis. (Meiyanto et al., 2007). Obat-obatan yang digunakan dalam penyembuhan penyakit kanker biasanya berupa obat kimia yang bekerja dengan system cycle dependent drug yang membunuh kanker secara selektif pada fase-fase pertumbuhannya (Robin dan Kumar, 1997) dengan mekanisme MDR (multidrug resistance) (Conze, 2001). Kebanyakan obat-obat kemoterapi mempunyai efek samping dan komplikasi berupa kerusakan-kerusakan pada jaringan yang masih sehat. Oleh karena itu mulai banyak dilakukan penelitian tentang bahan obat dari alam yang dapat berfungsi sebagai antikanker (Wahyuningsih dan Yustina, 1999). Beberapa penelitian mulai diarahkan pada pengujian potensi bahan alam sebagai agen kemoprevensi yang berpotensi sebagai agen pendamping kemoterapi. Tujuannya adalah untuk memperkecil efek negatif yang ditimbulkan oleh agen kemoterapi. Agen kemoprevensi yang dimaksud disini umumnya memiliki aktivitas menghambat pertumbuhan tumor melalui mekanisme cell cycle arrest (Saphiro and Harper, 1999), pemacuan apoptosis (Fisher, 1994) ataupun
menghambat ekspresi protein yang berperan dalam Multi Drug Resistance (Meiyanto et al., 2006). Masalah utama dalam pengembangan obat tradisional untuk tujuan pengobatan penyakit di Indonesia adalah kurangnya bukti ilmiah sehingga perlu dilakukan penelitian dan pengujian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Salah satu obat tradisional yang sekarang banyak beredar di masyarakat untuk pengobatan penyakit kanker adalah buah kuning (Pandanus conoideus Lam. varietas buah kuning). Menurut Budi (2005) senyawa yang terkandung dalam sari P. conoideus Lam. varietas buah kuning adalah α-tokoferol, karoten, dan betakaroten yang memiliki kemampuan menyebabkan cell cycle arrest, sehingga dapat menghambat proliferasi sel kanker. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Albright et al. (2004) yang menyatakan bahwa kombinasi antara tokoferol dengan vitamin A terbukti mampu menghambat pertumbuhan dan metastasis sel kanker payudara pada mencit transgenik. Kombinasi penggunaan betakaroten dan α-tokoferol juga terbukti memiliki aktivitas kemopreventif dan penghambatan tumorigenesis secara in vivo pada kanker paru-paru (King, 2000). Hasil uji sitotoksisitas yang telah dilakukan oleh Pratiwi (2009) menunjukkan bahwa LC50 sari P. conoideus Lam. varietas buah kuning terhadap sel kanker payudara T47D secara in vitro adalah 0,25 µl/ml. Menurut Ueda et al. (2002) ekstrak tanaman yang memiliki LC50 < 100 g/ml berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen anti kanker. Untuk itulah diperlukan kajian lebih lanjut tentang efek sitotoksik dari sari P. conoideus Lam. varietas buah kuning terhadap sel kanker.
B. Perumusan Masalah 1.
Bagaimana efek sitotoksik bagian Pandanus conoideus Lam. varietas buah kuning terhadap sel HeLa secara in vitro?
2.
Bagaimanakah profil kandungan kimia bagian Pandanus conoideus Lam. varietas buah kuning yang toksik terhadap sel HeLa secara in vitro?
C. Tujuan Penelitian 1.
Mengkaji efek sitotoksik bagian Pandanus conoideus Lam. varietas buah kuning terhadap sel HeLa secara in vitro dengan menggunakan uji doubling time.
2.
Mengkaji profil kandungan senyawa kimia bagian Pandanus conoideus Lam. varietas buah kuning yang toksik terhadap sel HeLa secara in vitro.
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian uji sitotoksisitas bagian Pandanus conoideus Lam. varietas buah kuning terhadap pertumbuhan sel HeLa secara in vitro dan profil kandungan kimia bagian teraktif adalah: 1. Memberikan kontribusi dalam perkembangan ilmu pengobatan mengenai penggunaan P. conoideus Lam. varietas buah kuning sebagai agen anti kanker. 2. Memberikan informasi mengenai besarnya pengaruh yang ditimbulkan oleh bagian P. conoideus Lam. varietas buah kuning terhadap pertumbuhan sel HeLa secara in vitro.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Pandanus conoideus Lam. Pandanus conoideus Lam. merupakan tanaman endemik Papua yang termasuk ke dalam famili Pandanaceae. Secara umum habitat asal tanaman ini adalah hutan sekunder dengan kondisi tanah lembab. Tanaman ini ditemukan tumbuh liar di wilayah Papua dan Papua New Guinea. Di wilayah Papua, P. conoideus Lam. ditemukan tumbuh di daerah dengan ketinggian antara 2-2300 meter di atas permukaan laut (dpl). Hal ini berarti bahwa tanaman ini dapat tumbuh di mana saja di wilayah Papua, mulai dataran rendah hingga dataran tinggi. Pandanus conoideus Lam. di Papua ditemukan pada daerah-daerah yang berada di sepanjang lereng pegunungan Jayawijaya. Diantaranya Kelia, Bokondini, Karubaga, Kobakma, Kenyam, dan Pasema (Budi, 2000). Pada dasarnya terdapat lebih dari 30 jenis atau kultivar P. conoideus Lam. di Papua. Namun, secara garis besar diketahui ada 4 kultivar yang dikembangkan karena memiliki nilai ekonomis, yakni kultivar merah panjang, merah pendek, cokelat dan kuning. Warna, bentuk, dan ukuran buah masingmasing jenis berbeda-beda (Budi dan Paimin, 2005). a. Klasifikasi Adapun klasifikasi dari P. conoideus Lam. varietas buah kuning menurut Sadsoeitoboen (1999) adalah:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Angiospermae
Sub kelas
: Monocotyledoneae
Ordo
: Pandanales
Famili
: Pandanaceae
Genus
: Pandanus
Spesies
: Pandanus conoideus Lam. varietas buah kuning
b. Deskripsi Pandanus conoideus Lam. termasuk terna berbentuk semak, perdu atau pohon. Daun tunggal berbentuk lanset sungsang berwarna hijau tua dan letaknya berseling. Ujung daun runcing, pangkal daun memeluk batang. Permukaan daun licin, dengan tepi daun berduri atau tidak berduri, tergantung jenisnya. Batang bercabang banyak, tegak, bergetah, dan berwarna coklat berbercak putih. Tinggi tanaman mencapai 16 m dengan tinggi batang bebas cabang 5-8 m diatas permukaan tanah. Akar tanaman tergolong akar serabut dengan tipe perakaran diangkat. Akar cenderung masuk hingga kedalaman tanah ± 94 cm. Akar-akar tunjang muncul dari bagian batang dekat permukaan tanah. Tanaman ini berbuah saat berumur tiga tahun sejak ditanam. Buah tersusun dari ribuan biji yang bebas tapi membentuk kulit buah. Biji kecil memanjang 9-13 mm dengan bagian atas meruncing. Bagian pangkal biji menempel pada bagian jantung. Sedangkan ujungnya membentuk totol-totol di bagian kulit buah. Biji berwarna hitam
kecoklatan dibungkus daging tipis berupa lemak. Daging buah dapat berwarna kuning, coklat, atau merah bata tergantung jenisnya (Budi dan Paimin, 2005). Buah dari P. conoideus Lam. varietas buah kuning berbentuk silindris, ujung tumpul dengan pangkal menjantung. Panjang buah 35-42 cm dan berdiameter 11-12 cm. Daun pelindung buah melancip. Tulang utama berduri sepanjang 1/3 bagian dari pangkalnya. Buah muda berwarna hijau, matang berwarna kuning dengan berat 2-3 kg (Budi dan Paimin, 2005).
Gambar 1. Habitus P.conoideus Lam. (Budi dan Paimin, 2005) c. Kandungan Senyawa Aktif Hasil analisis oleh I Made Budi menunjukkan kandungan gizi P. conoideus Lam. varietas buah kuning adalah karoten (9500 ppm), betakaroten (240 ppm), tokoferol (10400 ppm). Selain itu juga mengandung asam oleat, asam linoleat dan dekonat, omega 3 dan omega 9 yang berperan
sebagai senyawa anti radikal bebas pengendali beragam penyakit antara lain kanker (Astirin, 2008). 1. Karoten dan Betakaroten Istilah karoten digunakan untuk menunjuk ke beberapa zat yang berhubungan yang memiliki formula C4 OH56. Secara kimia, karoten adalah terpena, disintesis secara biokimia dari delapan satuan isoprena, dan terbagi dalam dua bentuk utama yaitu α-karoten dan βkaroten (Mun’im, 2008). Karotenoid
berperan
penting
bagi
kesehatan
dan
kelangsungan hidup manusia. Karotenoid diasosiasikan dengan respon imun yang lebih baik terhadap serangan penyakit, perlindungan terhadap kanker, dan juga berfungsi sebagai antioksidan. Karotenoid, βkaroten dan α-karoten, secara umum dikenal untuk mengurangi radikal bebas. Radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan sel yang mungkin bersifat karsinogenik. Aktivitas antioksidan dari karotenoid adalah alasan di balik efek antikanker dan peningkatan sistem kekebalan tubuh (Wyeth, 2008) Betakaroten yang berfungsi sebagai antioksidan merupakan penangkal yang kuat untuk oksigen reaktif. Suatu penelitian epidemiologi menyebutkan bahwa orang yang banyak makan buah dan sayuran yang banyak mengandung karotenoid atau memiliki kadar betakaroten yang tinggi pada serum memiliki resiko rendah terhadap serangan kanker (Russel, 2002). β-karoten dapat membantu mencegah
kerusakan jaringan dan DNA. β-karoten juga berperan sebagai stimulator enzim penghancur karsinogen (zat penyebab kanker) dan menstimulasi kemampuan tubuh mengubah substansi toksik menjadi senyawa tak berbahaya (Winarto, 2007). Adapun struktur kimia βkaroten dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur kimia β- karoten (FAO, 2006) 2. Tokoferol Analisis kandungan gizi buah kuning menunjukkan kandungan tokoferolnya lebih tinggi daripada varietas lain P.conoideus yang telah teranalisis kandungan gizinya. Tokoferol merupakan bentuk vitamin yang larut dalam lemak yang berperan penting dalam proses reproduksi. Tokoferol juga merupakan antioksidan penting yang dapat menetralisir radikal bebas di dalam tubuh (Pratiwi, 2009). Struktur kimia tokoferol tersaji pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur kimia Tokoferol (FAO, 2006) α-tokoferol merupakan senyawa 6-hidroksikromana (tokol). Berperan dalam pertahanan terhadap peroksidasi asam lemak dan sebagai antioksidan dengan memutuskan berbagai reaksi rantai radikal
bebas (Murray et al., 2003). Vitamin E juga dikenal sebagai tokoferol, khususnya molekul α-tokoferol (Brock, 1993). 3. Asam – asam lemak Buah P. conoideus mengandung asam–asam lemak antara lain berupa asam Oleat, asam Palmitoleat dan asam Alfalinolenat. Asam
lemak
berperan
sebagai
inhibitor
pertumbuhan
dan
perkembangan tumor. Asam lemak yang memiliki lebih dari delapan atom karbon memiliki aktivitas sitolitik yang menyebabkan disrupsi dan disintegrasi sel. Saat asam lemak dimasukkan ke dalam membran inti, asam lemak tersebut akan memicu pemecahan sel. Apabila asam lemak diberikan pada sel tumor dalam konsentrasi tinggi akan menyebabkan lisis sel tumor tersebut, hanya dengan sedikit atau sama sekali tidak terjadi kerusakan pada sel normal (Mun’im, 2008).
2. Kanker Kanker merupakan penyakit yang menempati peringkat kedua sebagai penyebab kematian. Hal ini menyebabkan pengembangan penelitian untuk menemukan obat-obat baru terus berkembang, bahkan dari bahan alampun kini banyak diteliti untuk pengobatan penyakit kanker ini. Kanker serviks merupakan kanker yang terbanyak diderita wanita-wanita di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Di negara maju kanker ini menduduki urutan ke-10
sebagai
penyakit
penyebab
kematian.
Hal
ini
menyebabkan
pengembangan penelitian untuk menemukan obat-obat baru terus berkembang,
bahkan dari bahan alampun kini banyak diteliti untuk pengobatan penyakit kanker ini (Meiyanto et al., 2008). Salah satu pemicu terjadinya kanker adalah adanya radikal bebas dalam tubuh. Radikal bebas (free radical) didefinisikan sebagai suatu atom atau molekul yang mempunyai satu elektron atau lebih yang tanpa pasangan (Halliwel, 1985). Radikal bebas dianggap berbahaya karena menjadi sangat reaktif dalam upaya mendapatkan pasangan elektronnya, dapat pula terbentuk radikal bebas baru dari atom atau molekul yang elektronnya terambil untuk berpasangan dengan radikal bebas baru yang akhirnya bertambah banyak yang selanjutnya akan menyerang sel-sel tubuh dan menyebabkan kerusakan jaringan. Radikal bebas secara alami sudah terbentuk di dalam tubuh melalui berbagai proses kimiawi yang kompleks. Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan radikal bebas yang umumnya terdapat dalam tubuh yang terbentuk melalui berbagai aktivitas metabolisme (Pratiwi, 2009). Radikal bebas akan dinetralkan oleh senyawa antioksidan menjadi senyawa yang tidak berbahaya. Penelitian in vitro yang telah dilakukan menjelaskan bahwa radikal bebas berperan dalam kerusakan DNA (Phillip, 1956). Penelitian menggunakan kultur sel menunjukkan bahwa molekul yang mengalami kerusakan akibat radikal bebas tidak hanya DNA, molekul protein seperti enzim DNA repair, yang mencakup modulator apoptosis dan protein p53 juga akan mengalami modifikasi apabila terpapar radikal bebas (Marshall, 2000). Namun, karena kompleksitas pada radikal bebas, maka sulit untuk
menentukan peran spesifik dari tiap radikal bebas dalam karsinogenesis (Syah, 2005). Salah satu senyawa yang berpotensi untuk menghambat kerja radikal bebas adalah antioksidan. Antioksidan akan menghambat oksidasi dengan cara bereaksi dengan radikal bebas reaktif membentuk radikal bebas tak reaktif yang relatif stabil. Antioksidan melawan radikal bebas dengan cara memberikan satu elektron untuk menutupi satu elektron yang dibutuhkan radikal bebas. Antioksidan terbagi menjadi antioksidan enzim dan antioksidan vitamin. Antioksidan golongan vitamin lebih populer dibandingkan antioksidan enzim. Antioksidan vitamin mencakup asam askorbat (vitamin C), α-tokoferol (vitamin E), dan β-karoten (Winarto, 2007). Interaksi betakaroten dan tokoferol dengan protein meningkatkan produksi antibodi, hingga meningkatkan jumlah sel pembunuh alami dan memperbanyak aktifitas T helpers dan limfosit. Tokoferol, α-tokoferol, dan βkaroten yang terkandung dalam buah merah dan kuning berfungsi sebagai antioksidan yang mampu menangkal radikal bebas. Ketiga senyawa inilah yang diduga membantu proses penyembuhan kanker dan juga HIV/AIDS (Astirin et al., 2008).
3. Kanker Serviks Kanker leher rahim adalah tumor ganas (karsinoma) yang tumbuh di dalam leher rahim (serviks), yaitu suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim yang terletak antara rahim (uterus)
dengan liang senggama (vagina). Kanker ini biasanya terjadi pada wanita yang telah berumur, tetapi bukti statistik menunjukan bahwa kanker leher rahim dapat juga menyerang wanita yang berumur antara 20 sampai 30 tahun (Meiyanto, 2005). Penyebab paling utama kanker serviks adalah anggota famili Papovirida yaitu HPV (Human Papiloma Virus) yang mempunyai diameter 55 µm dan virus ini ditularkan secara seksual. HPV memiliki kapsul isohedral yang telanjang dengan 72 kapsomer, serta mengandung DNA circular double stranded dengan panjang kira-kira 8000 pasang basa (La Russo, 2004; Sjamsuddin, 2001). Berdasarkan penelitian Sjamsuddin (2001), disimpulkan bahwa terdapat 3 golongan tipe HPV dalam hubungannya dengan kanker serviks, yaitu : 1) HPV resiko rendah, yaitu HPV tipe 6, 11, dan 46 yang jarang ditemukan pada karsinoma invasif ; 2) HPV resiko sedang, yaitu HPV 33, 35, 40, 43, 51, 56, dan 58 ; 3) HPV resiko tinggi, yaitu HPV tipe 16, 18, dan 31. Ketiga jenis HPV ini dapat menyebabkan pertumbuhan sel yang abnormal, namun hanya tipe 2 dan 3 yang menyebabkan kanker (Syah, 2005). Untuk tumbuh menjadi kanker leher rahim dibutuhkan beberapa tahun sejak sel-sel leher rahim mengalami perubahan. Sel-sel leher rahim abnormal yang bukan merupakan sel kanker namun dapat berkembang menjadi kanker disebut dengan cervical intra-epithelial neoplasia (CIN). CIN juga disebut sebagai sel-sel prekanker yang jika tidak ditangani lebih lanjut akan berpotensi untuk berkembang menjadi kanker. Namun tidak semua wanita yang memiliki
CIN akan menderita kanker. Keberadaan CIN identik dengan displasia (Hidayat, 2002). Perkembangan kanker serviks meliputi displasia ringan (5 tahun), displasia sedang (3 tahun), displasia berat (1 tahun) sampai menjadi kanker stadium 0. Tahap pra kanker ini sering tidak menimbulkan gejala (92%), selanjutnya masuk tahap kanker invasif berupa kanker stadium I sampai stadium IV (DeFilippis et. al., 2007).
4. Sel HeLa Sel yang sering dijumpai pada kanker serviks adalah sel HeLa. Kultur sel HeLa atau HeLa cell line merupakan continuous cell line yang diturunkan dari sel epitel kanker leher rahim (cervix) seorang wanita penderita kanker leher rahim bernama Henrietta Lacks yang meninggal akibat kanker pada tahun 1951. Kultur sel ini memiliki sifat semi melekat dan digunakan sebagai model sel kanker dan untuk mempelajari sinyal transduksi seluler. Sel HeLa ini cukup aman dan merupakan sel manusia yang umum digunakan untuk kepentingan kultur sel (Syaifuddin, 2007). HeLa bersifat imortal yang artinya tidak dapat mati karena tua dan dapat membelah secara tidak terbatas selama kondisi dasar bagi sel untuk tetap hidup masih terpenuhi. Strain-strain baru dari sel HeLa telah dikembangkan dalam berbagai macam kultur sel, tapi semua sel HeLa berasal dari keturunan yang sama. Sel HeLa telah mengalami transformasi akibat infeksi Human Papiloma
Virus 18 (HPV 18) dan berbeda dengan sel leher rahim yang normal (Parhardian et al., 2004). Sel HeLa dapat tumbuh dengan agresif dalam media kultur. Media yang digunakan adalah media RPMI 1640-serum. Di dalamnya terkandung nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan, yaitu asam amino, vitamin, garam-garam anorganik, dan glukosa. Serum yang ditambahkan mengandung hormon-hormon yang mampu memacu pertumbuhan sel. Albumin berfungsi sebagai protein transport, lipid diperlukan untuk pertumbuhan sel, dan mineral berfungsi sebagai kofaktor enzim (Freshney, 2000). Sel HeLa adalah sel kanker leher rahim akibat infeksi HPV sehingga mempunyai sifat yang berbeda dengan sel leher rahim normal. Sel kanker leher rahim yang diinfeksi HPV diketahui mengekspresikan 2 onkogen, yaitu E6 dan E7. Protein E6 dan E7 terbukti dapat menyebabkan sifat imortal pada kultur primer keratinosit manusia, namun sel yang imortal ini tidak bersifat tumorigenik hingga suatu proses genetik terjadi. Jadi, viral onkogen tersebut tidak secara langsung menginduksi pembentukan tumor, tetapi menginduksi serangkaian proses yang pada akhirnya dapat menyebabkan sifat kanker (Hussain et. al., 2003). Sebagian besar sel kanker leher rahim, termasuk sel HeLa, mempunyai gen p53 dan p105Rb dalam bentuk wild type. Kedua gen pengatur pertumbuhan yang aktif dalam sel normal ini juga terdapat dalam sel kanker leher rahim. Namun, aktivitasnya dihambat oleh ekspresi protein E6 dan E7 dari HPV (Parhardian et. al., 2004).
5. Gen p53 Gen p53 dikenal juga sebagai TP53 atau tumor protein adalah sebuah gen yang berperan dalam regulasi siklus sel dan termasuk golongan tumor suppressor gen. Sedemikian penting perannya bagi organisme multisel untuk mencegah keganasan sehingga dia dijuluki “the guardian of the genome”, sehubungan dengan perannya dalam menjaga stabilitas sel dan mencegah mutasi genome (Pecorino, 2004). Pada tahun 1979, gen p53 ditemukan berupa fosfoprotein dengan berat molekul 53 kD (Foulkes, 2007). Dikenal ada 2 tipe protein p53 yaitu protein p53 tipe wild dan tipe mutan. Gen p53 tipe wild berperan menghambat proliferasi sel, transkripsi sel, reparasi DNA dan apoptosis, sedangkan protein p53 tipe mutan berfungsi menghambat protein p53 tipe wild sehingga proliferasi sel kehilangan hambatannya (Brock, 1993). Protein P53 merupakan protein tumor regulator checkpoint yang diaktivasi oleh adanya kerusakan DNA atau adanya stress tertentu pada sel. Protein ini dapat memacu proses apoptosis melalui peningkatan ekspresi Bax, gen yang menyandi suatu protein Bax yang berperan dalam apoptosis. Namun demikian ekspresi Bax oleh p53 masih belum cukup untuk memacu proses apoptosis sendirian sehingga masih diperlukan pemacu lainnya. Dalam hal ini Bax bersama-sama dengan protein lainnya akan mengaktifkan sitokrom c yang dilepas dari mitokondria dan selanjutnya akan terjadi aktivasi berantai terhadap caspase 9 dan caspase 3 hingga apoptosis terjadi (Meiyanto, 2008).
Sebagian besar sel kanker serviks mempunyai gen p53 dan p105Rb dalam bentuk wild type. Kadar protein P53 tipe wild dalam inti sangat sedikit, bersifat labil dan mempunyai waktu paruh yang pendek sehingga tidak terdeteksi dengan teknik pewarnaan immunositokimia. Protein ini berperan menghambat proliferasi sel, transkripsi sel, reparasi DNA, dan apoptosis. Sedangkan protein P53 tipe mutan berperan menghambat protein P53 tipe wild sehingga proliferasi sel kehilangan hambatannya (Brock, 1993). Terjadinya p53 mutan menyebabkan terganggunya fungsi kontrol terhadap adanya kerusakan DNA sehingga mengakibatkan tidak teraktivasinya jalur caspase (Hanahan dan Weinberg and Hanahan, 2000). Gen p53 menghasilkan produk yang berfungsi sebagai aktivator transkripsi yang berperan mengatur siklus sel pada titik tertentu, khususnya fase G1 dan G2. Sebagian besar mutasi gen p53 terletak antara codon 120 dan 290 pada exon 5-9 (DBD). Bagian ini disebut “hot-spot” mutasi p53. Pada manusia paling tidak terdapat 4 hotspot (daerah rawan mutasi) dalam gen p53, yaitu terletak pada kodon yang menyandi asam amino nomor 175, 248, 273, dan 282. Mutasi kodon-kodon hotspot tersebut diperkirakan mencapai 30% dari semua bentuk mutasi gen p53 (Sherman cit Syaifuddin, 2007).
6. Uji Sitotoksisitas Penelitian terkait pengobatan kanker serviks terus dilakukan. Salah satu metode yang sering digunakan adalah melalui uji sitotoksisitas senyawa yang diduga berpotensi sebagai senyawa antikanker. Uji sitotoksisitas dilakukan
untuk konfirmasi dari kemampuan sitotoksik fraksi uji terhadap sel HeLa. Dari morfologi sel Hela dapat diketahui adanya efek toksik yang ditimbulkan oleh fraksi uji. Efek toksik terlihat melalui adanya fenomena dose dependent yang menunjukkan korelasi antara konsentrasi fraksi uji dengan sitotoksisitasnya. Seiring dengan bertambahnya konsentrasi, jumlah sel yang mati semakin banyak. Hal ini mengakibatkan semakin tinggi konsentrasi fraksi uji, semakin rendah absorbansi sumuran sehingga persen kehidupannya semakin kecil. Sedangkan pada kontrol, tidak terdapat korelasi yang signifikan antara konsentrasi dan persen kehidupan sel (Meiyanto et. al., 2005). Sitotoksisitas adalah sifat toksik atau beracun yang dimiliki suatu senyawa terhadap suatu sel hidup. Uji sitotoksisitas adalah suatu uji yang secara in vitro dilaksanakan menggunakan kultur sel dalam mengevaluasi keamanan suatu obat, makanan, kosmetik, maupun bahan-bahan kimia lainnya. Uji ini selain menggunakan kultur sel juga uji farmakokinetika in vitro untuk mengembangkan obat-obat terapeutik dan mengamati toksisitas baik akut maupun kronik (Freshney, 2000). Dari sejumlah data eksperimental terbukti bahwa sebagian besar tanaman yang memiliki aktivitas antimikroba pada umumnya menunjukkan potensi sebagai antikanker karena sifat toksisitas yang dimilikinya tersebut dapat pula bekerja terhadap fase tertentu dari siklus sel tumor (Nursid et al., 2006).
7. Uji Doubling Time Doubling time adalah waktu yang diperlukan sel untuk menggandakan diri menjadi dua kali dari jumlah sel semula. Setiap sel kanker memiliki waktu yang berbeda dalam menggandakan diri. Doubling time juga dapat digunakan untuk
membandingkan
karakteristik
biologi
antara
cell
line
serta
mendeskripsikan pola pertumbuhan sel (Kim, 1995). Proliferasi sel dapat digunakan untuk menjelaskan respon sel terhadap pengaruh stimulasi atau senyawa toksik. Hal ini berguna untuk melihat konsistensi sel dan mengetahui waktu subkultur sel yang terbaik (Freshney, 2000). Meiyanto et al. (2007) menyampaikan bahwa senyawa yang mampu memperpanjang waktu doubling time menunjukkan kemampuan senyawa tersebut untuk menghambat proliferasi sel kanker melalui mekanisme cell cycle arrest. Mekanisme yang terjadi dalam penghambatan doubling time ini dapat dijelaskan melalui sinyal tranduksi dalam cell cycle arrest yang diduga dimulai dari penghambatan kerja enzim oksidasi yang berperan dalam produksi ATP oleh α-tokoferol, sehingga energi yang digunakan untuk pembelahan sel kurang tersedia (Kawai et al., 1974), selain itu juga dikarenakan adanya penghambatan protein kinase C (Prasad et al., 1999). Protein kinase C berfungsi dalam fosforilasi pRb. Saat pRb menjadi hipofosforilasi maka pRb akan mengikat E2F sehingga menghambat aktivitas dari E2F yang merupakan faktor transkripsi. Penghambatan E2F ini akan menyebabkan cell cycle arrest (Guasconi et al. cit Pratiwi, 2009).
8. Apoptosis Apoptosis adalah tipe kematian terprogram melalui serangkaian perubahan struktural sebagai hasil dari rangsang fisiologis atau patologis. Ciri morfologi apoptosis adalah pengerutan sel, penonjolan membran (membrane blebbing), kondensasi kromatin, dan fragmentasi inti sel (Suryadi et. al., 2004). Dalam kaitannya dengan pengendalian tumorigenesis,
apoptosis
merupakan mekanisme penting untuk mencegah proliferasi sel yang mengalami kerusakan DNA, agar sel-sel dengan lesi DNA tersebut tidak dilipatgandakan, sehingga dalam hal ini apoptosis berfungsi sebagai salah satu kontrol checkpoint dalam siklus sel. Kegagalan sel-sel tumor untuk melaksanakan mekanisme apoptosis merupakan salah satu faktor yang mendasari pertumbuhan tumor yang makin lama makin besar, instabilitas genetik sel-sel bersangkutan dan resistensi terhadap kemoterapi (Weinberg and Hanahan, 1996). Tidak adanya mekanisme apoptosis dapat meningkatkan ketahanan hidup sel dan menambah kemungkinan ekspansi sel ganas. Selain itu, tidak adanya mekanisme apoptosis akan memperbesar kemungkinan terjadinya keganasan sel akibat instabilitas genetik dan akumulasi kelainan genetik dan merupakan akibat dari ketidaktaatan terhadap aturan yang ditentukan pada checkpoint siklus sel untuk menginduksi apoptosis (Reed, 1997).
9. Penelitian Bahan Alam Uji eksperimental secara in vitro dengan menggunakan kultur sel tumor yang diberi perlakuan ekstrak tanaman obat tradisional merupakan model yang
bisa dikembangkan sebagai dasar dalam mempelajari efek molekul anti kanker yang ditampilkan. Hal ini sangat diperlukan guna menjawab dan memastikan potensi anti kanker dari suatu tanaman obat. Penggunaan human cell lines sebagai model dalam eksperimental biomedik sering dijumpai. Keutamaan penggunaan cell lines atau galur sel didapatkan homogenitas genetik dan fenotip sampel yang cukup tinggi, serta tidak dijumpainya variasi individual. Selain hal tersebut cancer cell lines memiliki sifat specific accumulate multiple genetic change, khususnya pada proto-oncogenes dan tumor suppressor genes (Wozniak and Keely, 2005). Penggunaan bahan-bahan alam dalam pengobatan kanker didasari oleh sistem kerja obat kimia secara system cycle dependent drug yang membunuh kanker secara selektif pada fase-fase pertumbuhannya seperti pada tahap mitosis sel (Robin dan Kumar, 1997). Kebanyakan obat-obat kemoterapi mempunyai efek samping dan komplikasi berupa kerusakan-kerusakan pada jaringan yang masih sehat, oleh karena itu mulai banyak dilakukan penelitian tentang bahan obat dari alam yang dapat berfungsi sebagai antikanker (Wahyuningsih dan Yustina, 1999).
10. Pemisahan Kandungan Senyawa Kimia Pemanfaatan bahan alam sebagai agen terapi kanker yang sering dijumpai adalah melalui senyawa aktif yang dikandung suatu tumbuhan. Senyawa aktif tumbuhan dapat diperoleh melalui beberapa metode pemisahan. Salah satunya adalah dengan metode partisi dan fraksinasi untuk memperoleh
senyawa spesifik yang potensinya paling besar terhadap penghambatan proliferasi sel kanker (Nursid et al., 2006). Untuk identifikasi senyawa hasil pemisahan sering digunakan metode KLT (Kromatografi Lapis Tipis). Prinsip metode ini adalah pemisahan senyawa berdasarkan tingkat polaritasnya. Dua fase yang berperan di dalamnya adalah fase diam dan fase gerak. Senyawa yang dipisahkan akan terelusi oleh pelarut yang digunakan sebagai fase gerak sehingga dapat diidentifikasi golongannya (Bogoriani et. al., 2007). Data yang diperoleh dari KLT adalah nilai Rf (Retardation factor) yang berguna untuk identifikasi senyawa. Nilai Rf untuk senyawa murni dapat dibandingkan dengan nilai Rf dari senyawa standar. Nilai Rf dapat didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh oleh senyawa dari titik asal dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut dari titik asal. Oleh karena itu bilangan Rf selalu lebih kecil dari 1,0 (Rossaria, 2007).
B. Kerangka Pemikiran Kanker Serviks dengan gen p53 termutasi (Parhardian et. al., 2004)
Angka kematian tinggi (Yohanes, 2008)
Kemoterapi menimbulkan efek negatif (Wahyuningsih, 1999) Bahan alam sebagai antikanker Sari Pandanus conoideus Lam. Varietas buah kuning Berpotensi senyawa antikanker payudara Pemisahan kandungan senyawa kimia Uji sitotoksisitas sel HeLa terhadap 2 bagian hasil pemisahan
Bagian teraktif terhadap sel HeLa
Penentuan golongan senyawa kimia
Uji doubling time
Gambar 4. Bagan alir proses penelitian Setiap tahun diperkirakan terdapat 500.000 kasus kanker serviks baru di seluruh dunia. Kanker serviks terjadi karena adanya infeksi dari Human Papiloma Virus (HPV) dengan gen p53 yang termutasi. Angka kematiannya yang cukup
tinggi mendorong para peneliti untuk menemukan alternatif senyawa antikanker dari bahan alam. Mengingat penggunaan bahan-bahan kimia sebagai agen kemoterapi terbukti menimbulkan efek negatif bagi sistem tubuh. Salah satu bahan alam yang mulai dikembangkan sebagai senyawa antikanker adalah Pandanus conoideus Lam. varietas buah kuning. Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Pratiwi (2009) menunjukkan bahwa sari Pandanus conoideus Lam. varietas buah kuning terbukti memiliki sifat sitotoksik terhadap penghambatan aktivitas pertumbuhan sel kanker payudara. Berdasarkan data di atas maka akan dilakukan uji sitotoksisitas sari Pandanus conoideus Lam. varietas buah kuning terhadap sel HeLa yang diturunkan dari kanker serviks. Penelitian diawali dengan pemisahan kandungan senyawa kimia, dilanjutkan dengan uji sitotoksisitas hasil pemisahan terhadap kultur sel HeLa kemudian dilakukan penentuan golongan senyawa kimia dan uji doubling time untuk mengetahui waktu penggandaan dari sel tersebut terhadap bagian teraktif.
C. Hipotesis 1. Bagian Pandanus conoideus Lam. varietas buah kuning diduga memiliki efek sitotoksik terhadap kultur sel HeLa dan mampu menghambat laju pertumbuhan sel setelah dilakukan uji doubling time. 2. Bagian Pandanus conoideus Lam. varietas buah kuning diduga mengandung senyawa aktif yang berpotensi sebagai senyawa antikanker.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat penelitian Penelitian dilakukan mulai bulan Juni-Agustus 2009 di Laboratorium Pusat MIPA Universitas Sebelas Maret dan Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) Universitas Gadjah Mada.
B. Alat dan Bahan 1. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Laminer air flow cabinet, timbangan digital, inkubator CO2, refrigerator, mikroskop cahaya, mikroskop inverted, mikroplate 96 sumuran, mikroplate 24 sumuran, kamera digital, pipet mikro, sentrifuse, pipet pastur, hemasitometer, tissue culture flask 40 ml, vortex, alat gelas, filtermikro (milipore 0,22 µm), conical tube, deck glass, obyek glass yang dilapisi poly L-lysine, coverslip plastik Ф 12 mm, tabung eppendorf, bunzen buchner, corong pisah, pipa kapiler, chamber, pipet tetes, penyemprot dan oven.
2. Bahan a. Bahan Utama Bahan utama yang digunakan dalam penelitian adalah sari Pandanus conoideus Lam. varietas buah kuning yang diperoleh dari I Made Budi, peneliti bahan alam dari Jurusan Biologi FMIPA Universitas Cendrawasih (UNCEN) Papua. b. Bahan untuk Pemisahan Kandungan Senyawa Kimia Bahan yang digunakan untuk pemisahan kandungan senyawa kimia adalah MeOH 100% (Brataco), eter (Brataco) dan KOH 30% (Brataco) (dalam aquades). c. Bahan untuk Penentuan Golongan Senyawa Kimia Bahan yang digunakan untuk penentuan golongan senyawa kimia adalah SiOH, alumina, wash benzena, eter, pereaksi semprot FeCl3, pereaksi semprot Lieberman Burchard, pereaksi semprot dragendorf, dan pereaksi semprot vanilin-H2SO4 pekat. d. Bahan untuk uji Sitotoksisitas Bahan yang digunakan untuk uji sitotoksisitas adalah bagian P. conoideus Lam. varietas buah kuning hasil pemisahan, kultur sel HeLa, Media RPMI 1640, Aquades, alkohol 70% HCl, NaOH, Phosphate Buffer Saline (PBS), Fetal Bovine Serum (FBS), Penicillin / Streptomycin, Fungizon, Hepes, Natrium bicarbonate, Tryphan blue, dan Tripsin.
C. Cara Kerja 1. Pemisahan Kandungan Senyawa Kimia Sari buah kuning dipartisi menjadi dua bagian. Pelarut yang digunakan adalah MeOH : eter : KOH 30% (dalam aquades) dengan perbandingan 1:1:1. Setelah diperoleh dua bagian, profil kandungan senyawa kimia dimonitor menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis Preparatif dengan fase diam silika : alumina (3:2 b/b) dan fase gerak wash benzena : eter (1:1 v/v). Hasil pemisahan kemudian dideteksi di bawah UV 254 dan 366 serta pereaksi semprot Serium (IV) Sulfat (Sr IV SO4). 2. Uji Sitotoksisitas Sel HeLa diambil dari tangki nitrogen cair, segera dicairkan dalam penangas air pada suhu 37°C, kemudian ampul disemprot dengan etanol 70 %. Selanjutnya sel dipindahkan ke dalam tabung conical steril berisi media RPMI. Suspensi sel kemudian disentrifugasi 325 g selama ± 5 menit. Supernatan dibuang sedangkan endapan ditambah 1 mL medium penumbuh yang mengandung 20 % PBS dan diresuspensi perlahan hingga homogen, kemudian sel ditumbuhkan pada tissue culture flask kecil dan diinkubasi pada inkubator CO2 suhu 37°C dengan aliran 5% CO2. Setelah 24 jam media diganti dan sel ditumbuhkan hingga konfluen dan jumlahnya cukup untuk penelitian. Setelah jumlah sel cukup, dilakukan pemanenan sel. Sel HeLa dicuci dengan PBS pH 7,2 sebanyak 5 mL. Selanjutnya sel yang melekat pada dinding tissue culture flask dilepas dengan tripsin. Sel dipindahkan ke dalam tabung konikal steril, diberi 10 mL media RPMI dan disentrifugasi 325 g
selama 5 menit. Dihitung jumlah selnya menggunakan hemasitometer tanpa penambahan tryphan blue. Suspensi sel ditambah 100 µl medium RPMI komplit (FBS, Pen-Strep, Fungizon ®) sehingga diperoleh konsentrasi sel 2 x 104 sel / 100 mL. Suspensi sel yang telah disiapkan kemudian dimasukkan ke dalam mikrokultur 96 sumuran. Ditambahkan bagian buah kuning hasil partisi sebanyak 100 µl pada peringkat konsentrasi yang berbeda secara triplet. Variasi konsentrasi yang digunakan adalah 10 µl/ml; 5 µl/ml; 2,5 µl/ml; 1,25 µl/ml; 0,625 µl/ml; 0,3125 µl/ml; 0,15625 µl/ml, 0,078125 µl/ml; 0,0390625 µl/ml;
0,01953125
µl/ml;
0,009765625
µl/ml;
0,0048828125
µl/ml;
0,00244140625 µl/ml; 0,001220703125 µl/ml dan 0,0006103515625 µl/ml. Dengan menggunakan mikropipet masing-masing konsentrasi ekstrak sampel uji yang telah disiapkan dalam eppendorf steril dipindahkan ke sumuran. Disiapkan pula kontrol negatif media RPMI 1640 dan kultur sel kemudian diinkubasi selama 24 jam dalam inkubator CO2 37°C dengan kadar CO2 5%. Setelah 24 jam media RPMI 1640 dibuang dan diresuspensi dengan 100 µl tripsin-EDTA 0,25%, didiamkan hingga sel terlepas dari dasar sumuran ±3-5 menit. Selanjutnya pada setiap sumuran ditambahkan 100 µl trypan blue, kemudian diambil kira-kira 10 µl diletakkan pada hemasitometer dan dihitung jumlah sel mati maupun sel hidup di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 100 kali.
3. Uji Doubling Time (waktu penggandaan) Uji doubling time dilakukan dengan menstarvasi sel selama 24 jam dalam media kultur yang mengandung FBS 5%, streptomisin 2%, penisilin 2% dan fungizon 0,5% kemudian sel HeLa dengan kerapatan sekitar 2x104 sel/mL dimasukkan dalam microplate 96 sumuran sebanyak 100 µl. Selanjutnya sel diinkubasi dalam inkubator CO2 selama semalam. Setelah semalam media RPMI 1640 diganti baru dan ditambahkan larutan uji hasil pemisahan masingmasing sebanyak 100 µl dalam biakan sel kultur, dengan ulangan sebanyak 3 untuk tiap perlakuan. Konsentrasi larutan uji yang digunakan adalah 4 konsentrasi di bawah LC50 hasil uji sitotoksisitas. Pengambilan sampel dilakukan pada jam ke 0, 24, 48 dan 72. Selanjutnya media RPMI 1640 dibuang dan ditambahkan tripsin sebanyak 100 µl, diinkubasi 10 menit kemudian ditambahkan 100 µl tryphan blue. Suspensi sel dari masing-masing perlakuan diambil 10 µl untuk dihitung menggunakan hemasitometer. Hasil perhitungan kemudian ditampilkan dalam kurva jumlah sel dan waktu inkubasi. 4. Penentuan Golongan Senyawa Kimia Penentuan golongan senyawa kimia dilakukan pada bagian yang menunjukkan nilai sitotoksisitas yang tinggi terhadap sel HeLa dengan menggunakan beberapa pereaksi semprot kimia spesifik. Deteksi golongan senyawa kimia dilakukan dengan mengelusi bagian hasil partisi menggunakan silika alumina (3:2 b/b) sebagai fase diam dan wash benzena : eter ( 1:1 v/v) sebagai fase gerak serta pereaksi semprot besi (III) klorida untuk deteksi
keberadaan senyawa fenolik, pereaksi semprot dragendorf untuk deteksi senyawa alkaloid, pereaksi semprot vanilin-H2SO4 pekat untuk deteksi terpenoid dan pereaksi semprot Lieberman Burchard untuk deteksi senyawa steroid.
D. Analisis Data 1. Uji Sitotoksisitas Hasil pengamatan kematian sel uji ditampilkan dalam bentuk persentase kematian sel dengan rumus: % kematian sel = 100% - % viabel sel dimana,
% viabel sel = Jumlah sel hidup total sel
x 100%
(Doyle and Griffith, 2000) Signifikansi data dianalisis menggunakan analisis probit. Data ditampilkan dalam bentuk kurva hubungan konsentrasi senyawa uji dengan persentase kematian sel uji. Aktivitas sitotoksik dinyatakan dengan LC50 yang ditetapkan melalui hasil perhitungan direct counting. 2. Uji doubling time Masing-masing
sumuran dihitung
jumlah
sel hidup dengan
hemasitometer lalu dibuat kurva antara jumlah sel dengan waktu inkubasi (Mursyidi, 1985). Perhitungan jumlah sel hidup dihitung dengan rumus sebagai berikut :
N= N xAxB 4 Dimana, N
: Jumlah sel hidup
4
: Jumlah bilik hitung yang digunakan
A
: Jumlah suspensi sel yang diambil (misal 10µl)
B
: Pengenceran (misal 100 µl tripsin dan 100 µl tryphan blue) Perbedaan waktu penggandaan sel dihitung dari slope pada kurva dari
persamaan grafik log antara jumlah sel hidup dan waktu pengamatan. 3. Profil Kandungan Kimia Bagian Teraktif Senyawa kimia yang terkandung dalam bagian dengan aktifitas sitotoksik lebih tinggi dianalisa berdasarkan reaksi positif yang ditunjukkan oleh reagen yang digunakan sebagai pereaksi semprot spesifik.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Kanker serviks merupakan salah satu jenis penyakit dengan angka kematian yang cukup tinggi bagi seluruh wanita di dunia. Menurut data yang disampaikan oleh Yohanes (2008) angka prevalensinya di dunia mencapai 99,7%. Oleh karena itu penelitian terkait pengobatan kanker serviks terus saja dikembangkan. Salah satunya adalah melalui penelitian bahan alam. Hal ini didukung oleh adanya efek negatif yang ditimbulkan dari penggunaan agen kemoterapi. Sebagaimana disebutkan oleh Wahyuningsih dan Yustina (1999) kebanyakan agen kemoterapi mempunyai efek samping dan komplikasi pada jaringan yang masih sehat. Salah satu jenis bahan alam yang mulai dikembangkan sebagai senyawa anti kanker adalah Pandanus conoideus Lam. varietas buah kuning. Menurut Pratiwi (2009) sari P. conoideus Lam. varietas buah kuning yang diujikan secara in vitro pada sel kanker payudara T47D memberikan aktivitas sitotoksik dengan nilai LC50 sebesar 0,25 µl/ml. Selain itu, Wibowo et. al. (2007) dan Astirin (2008) juga menyampaikan bahwa P. conoideus Lam. varietas buah kuning diduga berperan dalam penghambatan pertumbuhan dan toksisitas terhadap sel kanker karena di dalamnya terkandung beberapa komponen diantaranya karoten, βkaroten, tokoferol, dan asam lemak yang memiliki potensi sitotoksis terhadap cell line T47D, MCF7, HT29, Raji, dan HeLa.
Hal tersebut di atas melatarbelakangi dilaksanakannya penelitian ini yang bertujuan untuk mengkaji efek sitotoksik serta profil kandungan kimia bagian P. conoideus Lam. varietas buah kuning terhadap sel HeLa secara in vitro. Dalam penelitian ini dilakukan uji sitotoksisitas untuk mendapatkan nilai LC50 dari bagian hasil partisi serta uji waktu penggandaan (doubling time) untuk mengetahui aktivitas penghambatan terhadap pertumbuhan sel kanker.
A. Pemisahan Kandungan Senyawa Kimia Langkah pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pemisahan kandungan kimia terhadap sari P. conoideus Lam. varietas buah kuning yang akan digunakan sebagai bahan uji.
Hal ini bertujuan untuk menyederhanakan
kandungan senyawa kimia yang ada sehingga akan diperoleh dua bagian dengan aktivitas sitotoksik yang berbeda. Pemisahan dilakukan menggunakan corong pisah dengan melarutkan sari P. conoideus Lam. varietas buah kuning ke dalam metanol, eter dan KOH 30% (dalam aquades). Salah satu komponen yang terdapat dalam sari P. conoideus Lam. varietas buah kuning adalah karotenoid. Karotenoid yang ada ini kemungkinan masih terikat dengan ester (misalnya karotenol ester) sehingga diperlukan tahap penyabunan untuk memisahkannya secara optimal. Dalam penelitian ini penyabunan dilakukan dengan memasukkan sari P. conoideus Lam. varietas buah kuning ke dalam campuran metanol serta eter yang telah ditambah dengan KOH 30% (dilarutkan dalam aquades).
Setelah
dilakukan
proses
pencampuran
dan
dilanjutkan
dengan
penggojogan dalam corong pisah, maka diperoleh dua lapisan. Lapisan atas berwarna kuning keruh sedangkan lapisan bawah berwarna kuning cerah, sebagaimana terlihat pada Gambar 5. Lapisan atas merupakan bagian yang larut dalam eter dan KOH 30% sehingga dimungkinkan mengandung lebih banyak karotenoid karena eter dan KOH 30% memiliki kemampuan untuk menarik karotenoid. Hal ini terlihat dari warna lapisan atas yang tampak lebih keruh. Hasil pemisahan kemudian diuapkan di atas penangas air dengan tujuan untuk mempurifikasi hasil pemisahan dari pelarut yang digunakan.
a
b Gambar 5. Hasil pemisahan terbentuk dua lapisan dengan warna yang berbeda. (a) bagian atas berwarna coklat kehitaman; (b) bagian bawah berwarna kuning cerah. Hasil
pemisahan
yang
telah
dipurifikasi
kemudian
dimonitor
pemisahannya menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis Preparatif. Fase diam yang digunakan adalah silika : alumina (3:2 b/b) sedangkan fase geraknya adalah wash benzena : eter (1:1 v/v). Modifikasi fase diam bertujuan untuk mengoptimalkan deteksi hasil pemisahan. Hal ini disebabkan karena plat alumina mampu menghasilkan jumlah spot yang lebih banyak daripada plat silika. Namun, plat alumina bersifat sangat rapuh karena tidak menggunakan binder (perekat),
sedangkan plat silika lebih rekat dan tidak mudah rapuh karena menggunakan binder sehingga dilakukan pencampuran keduanya. Hasil pemisahan ini dideteksi di bawah sinar UV pada panjang gelombang 354 dan 366 nm serta menggunakan pereaksi semprot Serium (IV) Sulfat. Sinar UV digunakan untuk mendeteksi keberadaan ikatan rangkap terkonjugasi sedangkan Sr (IV) Sulfat untuk mendeteksi keberadaan senyawa organik dalam bagian hasil pemisahan. Hasil deteksi UV terlihat pada Gambar 6. Sedangkan hasil deteksi menggunakan pereaksi semprot Se (IV) Sulfat ditunjukkan pada Gambar 7.
Bagian atas
Bagian bawah
Bagian atas
Bagian bawah
a b Gambar 6. Hasil deteksi bagian P. conoideus Lam. varietas buah kuning di bawah sinar UV: 254 nm (a), 366 nm (b). Keduanya menunjukkan hasil negatif (tidak muncul peredaman). Deteksi UV 254 dan 366 nm memberikan reaksi negatif yang ditunjukkan dengan tidak adanya peredaman. Hal ini terjadi karena bagian hasil pemisahan tidak mengandung senyawa yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi. Sedangkan hasil deteksi dengan pereaksi semprot Se (IV) Sulfat menunjukkan terbentuknya dua spot yang berbeda. Ini menunjukkan bahwa senyawa organik
yang terkandung dalam sari P. conoideus Lam. varietas buah kuning telah mengalami pemisahan sehingga memunculkan dua bagian yang masing-masing menunjukkan bercak dengan profil yang berbeda. Bagian bawah memberikan nilai Rf sebesar 0,05 sedangkan bagian atas memberikan nilai Rf 1 sebesar 0,03, Rf
2
sebesar 0,24 dan Rf 3 sebesar 0,97. Rf
Rf 0,97
0,24 0,05
0,03
a b Gambar 7. Hasil deteksi bagian P. conoideus Lam. varietas buah kuning dengan pereaksi semprot Sr (IV) Sulfat menunjukkan bercak yang berbeda: bagian bawah (a), bagian atas (b). Fase diam : silika alumina (3:2 b/b), Fase gerak : wash benzena dan eter (1:1 v/v).
B. Uji Sitotoksisitas Setelah diperoleh dua bagian uji hasil pemisahan, yaitu bagian atas dan bawah kemudian dilanjutkan dengan uji sitotoksisitas. Langkah ini bertujuan untuk mengetahui efek sitotoksik dari masing-masing bagian hasil pemisahan terhadap kultur sel HeLa sehingga dapat ditentukan besarnya nilai LC50 dari tiap bagian untuk selanjutnya dijadikan sebagai dasar untuk menentukan bagian teraktif.
Tahap uji sitotoksisitas dan doubling time dilaksanakan dengan menggunakan metode direct counting. Untuk mengetahui jumlah sel digunakan hemasitometer sebagai media hitung dan tryphan blue sebagai counterstain. Metode ini dipilih karena senyawa uji yang digunakan merupakan senyawa berwarna. Pada beberapa kasus ditemukan bahwa senyawa berwarna akan menimbulkan bias jika menggunakan metode ELISA reader dengan prinsip kerja menggunakan absorbansi. Theiszova et al. (2005) juga menyebutkan bahwa metode direct counting memiliki sensitivitas yang lebih tinggi terhadap penghambatan pertumbuhan sel fibroblast NIH-3T3 dibandingkan dengan pengukuran yang dilakukan menggunakan metode MTT (3-(4,5-dimethylthiazol2yl)-2,5-diphenyltetrazolium bromide). Metode MTT merupakan salah satu metode uji sitotoksik yang prinsipnya didasarkan pada kemampuan sel hidup untuk mereduksi garam MTT menjadi kristal formazan. Menurut Rode et al. (2004) apabila menggunakan metode direct counting sel yang mati akan terpulas biru karena tryphan blue berikatan dengan protein intraseluler pada sel yang rusak akibat permeabilitas membran selnya terganggu (Rode et al., 2004), sedangkan sel hidup masih memiliki membran sel yang utuh sehingga tryphan blue tidak dapat masuk ke dalam sel dan sel tampak transparan. Menurut Syaifuddin (2007) kultur sel HeLa sering digunakan sebagai model dalam penelitian karena tumbuh lebih cepat sehingga mampu memproduksi lebih banyak sel dalam satu flask dan merupakan sel manusia yang umum digunakan untuk kepentingan kultur sel. Kultur sel HeLa memiliki sifat semi melekat. Hal ini disebabkan karena sel kultur melepas suatu protein matriks
ekstraseluler sehingga menyebabkan sel–sel tersebut menempel satu sama lain dan menempel pada dasar microplate. Oleh karena itu diperlukan penambahan Tripsin untuk melepas sel-sel tersebut dari dasar microplate. Menurut Freshney (2000) Tripsin merupakan protease yang akan mendigesti ekstraselular matriks tersebut sehingga sel dapat terpisah satu sama lain dari dasar microplate. Sel–sel yang telah terlepas dari dasar microplate akan tampak berbentuk bulat–bulat, seperti terlihat pada Gambar 8.
2b 1b
1a 2a
a
b
Gambar 8. Sel HeLa sebelum ditambahkan tripsin (a), sel HeLa setelah penambahan tripsin (b). Keterangan: 1a. sel hidup (berbentuk lonjong seperti daun), 2a. sel mati (berbentuk bulat), 1b. Sel hidup (tampak bercahaya), 2b. Sel mati (berbentuk bulat tidak bercahaya) Uji sitotoksisitas diawali dengan menumbuhkan sel HeLa hingga konfluen pada medium RPMI 1640-serum. Menurut Freshney (2000) dalam medium ini terkandung nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan, yaitu asam amino, vitamin, garam-garam anorganik, dan glukosa. Serum yang ditambahkan mengandung hormon-hormon yang mampu memacu pertumbuhan sel. Albumin berfungsi sebagai protein transport, lipid diperlukan untuk pertumbuhan sel, dan mineral berfungsi sebagai kofaktor enzim. Komposisi medium RPMI 1640 secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1.
Setelah sel yang akan digunakan sebagai model uji jumlahnya cukup kemudian dilakukan pemanenan sel yang dilanjutkan dengan pencucian menggunakan PBS. Hal ini bertujuan untuk membersihkan serum yang terkandung dalam medium RPMI karena serum ini dapat menghambat kerja tripsin. Selanjutnya dilakukan penambahan tripsin untuk melepas sel dari dasar tabung dan dilanjutkan dengan penambahan medium RPMI sehingga diperoleh suspensi sel yang dapat langsung dipindahkan ke dalam microplate. Setelah sel dalam microplate siap kemudian dilakukan penambahan bagian uji hasil pemisahan dengan konsentrasi yang berbeda. Variasi konsentrasi yang digunakan adalah 10 µl/ml; 5 µl/ml; 2,5 µl/ml; 1,25 µl/ml; 0,625 µl/ml; 0,3125 µl/ml; 0,15625 µl/ml, 0,078125 µl/ml; 0,0390625 µl/ml; 0,01953125 µl/ml; 0,009765625 µl/ml; 0,0048828125 µl/ml; 0,00244140625 µl/ml; 0,001220703125 µl/ml dan 0,0006103515625 µl/ml. Selain itu dibuat pula kontrol negatif berupa kultur sel dalam medium RPMI 1640. Setelah inkubasi 24 jam dan diamati di bawah mikroskop maka terlihat adanya perubahan dari morfologi sel. Morfologi sel kontrol dan setelah perlakuan dapat dilihat pada Gambar 9. Sedangkan gambar lengkap untuk morfologi sel tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 6. Pengamatan mikroskopis menunjukkan adanya perbedaan morfologi pada sel HeLa kontrol dan perlakuan (Gambar 9). Sel kontrol tampak berbentuk seperti daun, menempel di dasar sumuran, sedangkan sel dengan perlakuan konsentrasi 2,5 µl/ml untuk bagian bawah dan 0,15625 µl/ml untuk bagian atas tampak banyak yang mati. Sel yang mati tampak berubah bentuknya, keruh dan mengapung.
Dari pengamatan terlihat bahwa penambahan konsentrasi bagian uji menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah kematian sel. Jumlah sel hidup yang ada pada kontrol jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah sel hidup yang ada pada sumuran dengan penambahan konsentrasi bagian uji. Data hasil penghitungan direct counting jumlah sel yang hidup maupun yang mati disajikan pada Lampiran 2.
a b c Gambar 9. Kenampakan morfologi sel HeLa pada perbesaran 100x setelah penambahan bagian P. conoideus Lam. varietas buah kuning pada perlakuan (a) kontrol, (b) LC50 bagian atas (konsentrasi 0,15625 µl/ml), (c) LC50 bagian bawah (konsentrasi 2,5 µl/ml). Keterangan: : sel hidup, : sel mati. Selanjutnya ditentukan persentase kematian sel dan dihitung nilai rataratanya untuk menentukan nilai LC50 dari masing-masing bagian yang diujikan. LC50 merupakan konsentrasi yang menyebabkan kematian sel sebesar 50% dari populasi sel. Berdasarkan hasil analisa probit maupun direct counting yang dilakukan didapatkan nilai LC50 sebesar 0,15625 µl/ml untuk bagian atas dan 2,5 µl/ml untuk bagian bawah. Perhitungan probit secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3. Hasil analisa probit ini diperoleh dengan mengubah persentase kematian menjadi angka probit dengan menggunakan tabel probit (Lampiran 3), kemudian dibuat grafik
persamaan regresi linier probit dan log konsentrasi. Menurut Ueda et al. (2002) ekstrak tanaman yang memiliki LC50 < 100 g/ml berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen anti kanker. Dari hasil perhitungan LC50 ini terlihat bahwa bagian atas merupakan bagian yang lebih aktif karena menunjukkan nilai LC50 yang lebih kecil. Hubungan tingkat kematian sel dengan konsentrasi bagian P. conoideus Lam. varietas buah kuning dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rata-rata persentase kematian sel HeLa setelah perlakuan dengan bagian P. conoideus Lam. varietas buah kuning. No. Konsentrasi Rata-rata kematian sel Rata-rata kematian sel (µl/ml)
(%) ± SD bagian atas
(%) ± SD bagian bawah
1.
10
100%±0,00
77,87%±0,32
2.
5
96,47%±1,50
64,22%±1,41
3.
2,5
78,90%±0,29
50,00%±0,00
4.
1,25
66,91%±0,42
43,87%±0,63
5.
0,625
61,65%±0,74
37,97%±0,42
6.
0,3125
56,57%±0,50
34,75%±0,37
7.
0,15625
50,00%±0,00
29,40%±0,72
8.
0,078125
46,02%±0,49
25,28%±0,66
9.
0,0390625
39,89%±0,40
22,03%±0,00
10.
0,01953125
33,90%±0,57
17,51%±0,73
11.
0,009765625
29,67%±0,28
13,11%±0,00
12.
0,0048828125
23,65% ± 0,64
7,52%±0,83
13.
0,00244140625
21,24%±0,83
3,82%±0,89
14.
0,001220703125
21,50%±0,79
3,66%±0,89
15.
0,0006103515625
18,41%±0,86
3,55%±0,86
Dari Tabel 1 terlihat bahwa kenaikan persentase kematian sel HeLa sebanding dengan kenaikan konsentrasi bagian P. conoideus Lam. varietas buah
kuning yang diberikan, peningkatan konsentrasi secara linier juga menyebabkan meningkatnya persentase kematian. Apabila disajikan dalam grafik (Lampiran 3), maka akan diperoleh nilai R2 yang mendekati satu dan menunjukkan kedekatan hubungan antara konsentrasi sari P. conoideus Lam. varietas buah kuning yang digunakan dengan persentase kematian sel, kematian sel benar-benar disebabkan oleh adanya perlakuan sari P. conoideus Lam. varietas buah kuning. Menurut Budi dan Paimin (2005) sari P. conoideus Lam. varietas buah kuning mengandung senyawa yang diduga memiliki efek sitotoksik pada sel kanker, yaitu karoten, betakaroten, dan α-tokoferol. Ketiga senyawa ini bersifat sebagai antioksidan yang dapat menangkal radikal bebas. Antioksidan melawan radikal bebas dengan cara memberikan satu elektron untuk menutupi satu elektron yang dibutuhkan radikal bebas. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (2009) menyatakan bahwa ketiga senyawa tersebut berinteraksi dengan sel kanker dimulai dari membran sel. Karoten, α-tokoferol, dan betakaroten merupakan senyawa yang larut dalam lemak sehingga dapat berdifusi melalui membran sel, kemudian masuk ke dalam sitoplasma. Alfa tokoferol di dalam membran sel maupun membran mitokondria akan menghambat aktivitas Na dan K ATPase sehingga α-tokoferol dapat mengganggu aktivitas pertukaran ion melalui Na dan K channel. Alfa tokoferol juga telah terbukti menghambat aktivitas beberapa enzim oksidasi, diantaranya adalah enzim-enzim yang terlibat dalam proses glikolisis dan fosforilasi oksidatif ADP menjadi ATP, sehingga akan menurunkan produksi ATP dalam sel.
Penurunan produksi ATP akan berpengaruh terhadap penurunan aktivitas sel untuk melakukan pembelahan (Kawai et al., 1974). Penelitian Prasad et al. (1999) juga menyebutkan bahwa α-tokoferol terbukti menghambat protein kinase C, meningkatkan sintesis dan transformasi growth factor B yang merupakan salah satu sinyal penghambat pertumbuhan termasuk di dalamnya pembelahan sel. Bagian P. conoideus Lam. varietas buah kuning yang mengandung α-tokoferol diduga dapat menghambat proliferasi sel HeLa. Hasil uji sitotoksisitas yang menunjukkan bahwa bagian atas P. conoideus Lam. varietas buah kuning merupakan bagian teraktif dengan nilai LC50 sebesar 0,15625 µl/ml selanjutnya digunakan untuk menentukan dosis yang akan digunakan untuk uji doubling time, yaitu dipilih 4 dosis di bawah LC50 bagian teraktif.
C. Uji Doubling Time Uji doubling time dilakukan untuk mengetahui efek penghambatan proliferasi sel HeLa oleh bagian teraktif P. conoideus Lam. varietas buah kuning. Moeljoprawiro et al. (2007) menyebutkan bahwa kemampuan proliferasi sel dapat diartikan sebagai kemampuan sel untuk tumbuh membelah dan berkembang. Apabila proliferasi sel kanker dihambat melalui mekanisme cell cycle arrest maka sel akan berhenti membelah, sehingga pengaruh hambatan ini berupa kematian sel. Proses kematian sel yang terjadi dapat melalui dua proses yaitu apoptosis dan nekrosis. Apoptosis adalah kematian sel per sel, sedangkan nekrosis
melibatkan sekelompok sel. Membran sel yang mengalami apoptosis akan mengalami penonjolan-penonjolan ke luar tanpa disertai hilangnya integritas membran. Sel yang mengalami nekrosis mengalami kehilangan integritas membran. Sel yang mengalami apoptosis terlihat menciut, dan akan membentuk badan apoptosis. Sel yang mengalami nekrosis akan terlihat membengkak untuk kemudian mengalami lisis. Sel yang mengalami apoptosis lisosomnya utuh, sedangkan sel yang mengalami nekrosis terjadi kebocoran lisosom (Iswanto et al., 2002). Uji doubling time ini dilakukan dengan menghitung jumlah sel yang hidup dan mati oleh masing-masing bagian teraktif P. conoideus Lam. varietas buah kuning setiap satuan waktu. Doubling time sendiri merupakan waktu yang diperlukan oleh sel untuk menggandakan dirinya menjadi dua kali jumlah semula. Senyawa yang mampu memperpanjang waktu doubling time menunjukkan kemampuan senyawa tersebut untuk menghambat proliferasi sel kanker melalui mekanisme cell cycle arrest (Meiyanto et al., 2007). Doubling time dilakukan dengan menstarvasi sel dalam media RPMI 1640 yang ditambah FBS (Fetal Buffer Serum). Hal ini dimaksudkan agar sel–sel yang akan diberi perlakuan berada dalam kondisi yang sama. Starvasi dilakukan selama semalam (over night) dalam inkubator CO. Setelah starvasi, sel–sel yang telah diberi perlakuan diinkubasi selama 24, 48, dan 72 jam, kemudian jumlah sel hidup dan sel mati dihitung dengan bantuan haemositometer dan tryphan blue sebagai counterstain.
Dosis yang digunakan dalam uji doubling time adalah 4 dosis di bawah LC50. Hal ini dikarenakan uji doubling time dilakukan sampai jam ke-72 sehingga diperlukan dosis yang relatif tidak mematikan sel. Selain itu juga untuk memastikan bahwa apabila terjadi kematian sel adalah benar-benar karena bagian teraktif bersifat toksik terhadap sel, bukan karena konsentrasi yang terlalu besar sehingga dapat mengganggu kesetimbangan media. Hasil perhitungan jumlah sel setelah inkubasi ditampilkan pada Gambar 10. Dari Gambar 10 terlihat bahwa jumlah sel HeLa setelah diinkubasi akan mengalami perubahan. Peningkatan jumlah sel terbesar terlihat pada kontrol sedangkan pada perlakuan bagian teraktif P. conoideus Lam. varietas buah kuning, peningkatan jumlah sel berbanding terbalik dengan besarnya konsentrasi yang diberikan. Semakin besar konsentrasi bagian uji maka peningkatan jumlah sel akan lebih kecil.
400 350
Jumlah sel
300
kontrol
250
0.078125
200
0.0309625 0.01953125
150
0.0097656
100 50 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
Waktu Inkubasi (jam)
Gambar 10. Grafik hubungan jumlah sel dan waktu inkubasi pada uji doubling time bagian aktif P. conoideus Lam. varietas buah kuning konsentrasi 0,078125 µl/ml; 0,0309625 µl/ml; 0,01953125; dan 0,0097656 µl/ml yang dilakukan perhitungan pada waktu inkubasi 0, 24, 48, dan 72 jam.
Menurut Astirin, et. al (2009) nilai uji doubling time dapat ditentukan melalui persamaan regresi linier antara log jumlah sel dengan waktu inkubasi sehingga diperoleh nilai slope yang merupakan parameter kinetika proliferasi (Tabel 2). Semakin tinggi nilai slope maka semakin cepat waktu doubling time yang diperlukan. Kontrol dengan nilai slope tertinggi 0,0129 memiliki waktu doubling time tercepat yaitu 23,23 jam, sedangkan konsentrasi 0,078125 µl/ml memiliki nilai slope terendah senilai 0,01 dengan waktu doubling time paling lama yaitu 32,97 jam. Tabel 2. Persamaan garis regresi dari waktu inkubasi dan jumlah sel, serta nilai doubling time Konsentrasi (µl/ml) Kontrol 0,078125 0,0309625 0,01953125 0,0097656
Persamaan garis waktu inkubasi dan jumlah sel Y=0,0129x +1,6033 Y=0,01x + 1,5733 Y=0,0115x + 1,56 Y=0,0115x + 1,5967 Y=0,0117x + 1,6133
Nilai slope
R2
0,0129 0,01 0,0115 0,0115 0,0117
0,999 0,998 0,999 0,999 0,998
Nilai doubling time (jam) 23,23 32,97 29,82 26,63 24,76
Hasil uji doubling time menunjukkan bahwa bagian teraktif P. conoideus Lam. varietas buah kuning pada konsentrasi 0,078125 µl/ml membuat waktu penggandaan sel menjadi 1,42 kali dibandingkan dengan kontrol, sedangkan pada konsentrasi 0,0309625 µl/ml waktu penggandaan sel menjadi 1,28 kali dari kontrol. Pada konsentrasi 0,01953125 µl/ml waktu penggandaan sel menjadi 1,15 kali dari kontrol dan pada konsentrasi 0,0097656 µl/ml membuat waktu penggandaan sel lebih lama 1,06 kali dibandingkan dengan sel kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa nilai doubling time berbanding lurus dengan besarnya variasi konsentrasi yang diberikan. Semakin besar konsentrasi bagian teraktif maka
semakin besar pula waktu yang diperlukan oleh sel untuk menggandakan jumlahnya. Hasil uji doubling time menunjukkan bahwa kandungan senyawa yang terdapat pada bagian teraktif P. conoideus Lam. varietas buah kuning dalam hal ini α-tokoferol, karoten, dan betakaroten dapat menyebabkan cell cycle arrest, sehingga dapat menghambat proliferasi sel kanker. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Astirin, et. al (2009) yang menunjukkan bahwa nilai LC50 dari sari P. conoideus Lam. varietas buah kuning yang diujikan pada sel kanker payudara T47D berpotensi untuk dikembangkan sebagai anti kanker. Mekanisme yang terjadi dalam penghambatan doubling time ini dapat dijelaskan melalui sinyal tranduksi dalam cell cycle arrest yang diduga dimulai dari penghambatan kerja enzim oksidasi yang berperan dalam produksi ATP oleh α-tokoferol, sehingga energi yang digunakan untuk pembelahan sel kurang tersedia (Kawai et al., 1974), selain itu juga dikarenakan adanya penghambatan protein kinase C (Prasad et al., 1999). Protein kinase C berfungsi dalam fosforilasi pRb, dimana pRb akan menjadi hipoposforilasi sehingga akan mengikat E2F dan menghambat aktivitas dari E2F yang merupakan faktor transkripsi. Penghambatan E2F ini akan menyebabkan cell cycle arrest (Guasconi et al. cit Pratiwi, 2009). Pada saat siklus sel terhenti inilah dimungkinkan adanya kesempatan sel kanker untuk melakukan DNA repair. Penghambatan aktivitas dari E2F ini kemungkinan dapat mengatur ekspresi gen p53 tipe wild sebagai salah satu tumor suppressor gen pada fase G1/S dan menginduksi apoptosis (Pacifico and Leone,
2007). Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Carlisle et al. (2000) dimana tokoferol terbukti mampu menginduksi apoptosis dan meningkatkan ekspresi gen p53 tipe wild pada kanker paru-paru (HLF cell). Sebagai antioksidan di dalam sel kanker, kemungkinan aktivitas αtokoferol akan menurunkan konsentrasi ROS penyebab kerusakan oksidatif sehingga akan dapat meningkatkan kemampuan sel untuk melakukan DNA repair. Konsentrasi ROS di dalam sel yang menurun dapat memaicu keluarnya sitokrom C dari mitokondria, sitokrom C dapat memacu aktivitas gen-gen pengatur apoptosis. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Salganik (2001). Menurut Bohm et. al (1997) interaksi antara α-tokoferol dan betakaroten bersifat sinergis. α-tokoferol yang telah mendonorkan elektronnya pada senyawa radikal bebas akan berubah menjadi α-tokoferoksil radikal yang tidak reaktif apabila dibandingkan dengan ROS. Alfa tokoferoksil radikal ini kemudian akan menerima elektron dari betakaroten sehingga menjadi α-tokoferol kembali, selanjutnya betakaroten radikal akan dihilangkan oleh adanya aktivitas anti oksidan endogen seperti superoxside dismutase dan gluthation peroksidase dari sel.
D. Penentuan Golongan Senyawa Kimia Penentuan golongan senyawa kimia dilakukan pada bagian teraktif P. conoideus Lam. varietas buah kuning terhadap sel HeLa dengan menggunakan beberapa pereaksi semprot kimia spesifik. Deteksi golongan senyawa kimia
dilakukan dengan mengelusi bagian teraktif menggunakan silika alumina (3:2 b/b) sebagai fase diam dan wash benzena : eter ( 1:1 ) sebagai fase gerak serta pereaksi semprot besi (III) klorida untuk deteksi keberadaan senyawa fenolik, pereaksi semprot Dragendorf untuk deteksi senyawa alkaloid, pereaksi semprot VanilinH2SO4 pekat untuk deteksi terpenoid dan pereaksi semprot Lieberman Burchard untuk deteksi senyawa steroid.
a b c d Gambar 11. Profil kromatografi preparatif bagian teraktif P. conoideus Lam. varietas buah kuning hasil deteksi dengan pereaksi semprot spesifik : (a) Dragendorf; (b) Lieberman Burchard; (c) vanilin-H2SO4 dan (d) FeCl3. Fase diam : silika alumina (3 : 2 b/b) Fase gerak : wash benzena dan eter (1:1 v/v). Hasil dari deteksi golongan senyawa kimia dapat dilihat pada Gambar 11. Reaksi positif ditunjukkan oleh pereaksi Lieberman Burchard yang memberikan warna hijau kebiruan dan pereaksi vanilin-H2SO4 yang memberikan warna coklat. Sedangkan reaksi negatif ditunjukkan oleh pereaksi Dragendorf yang seharusnya menunjukkan bercak berwarna orange serta pereaksi FeCl3 yang seharusnya menunjukkan warna merah. Hasil deteksi menunjukkan bahwa bagian teraktif P.
conoideus Lam. varietas buah kuning mengandung senyawa kimia yang masuk ke dalam golongan terpenoid dan steroid. Selain itu, dari profil Kromatografi Lapis Tipis Preparatif yang dilakukan pada bagian teraktif P. conoideus Lam. varietas buah kuning juga diperoleh nilai Rf
1
sebesar 0,03, Rf
2
sebesar 0,24 dan Rf
3
sebesar 0,97. Nilai Rf diperoleh
dengan membandingkan jarak yang ditempuh oleh bagian teraktif P. conoideus Lam. varietas buah kuning yang dielusikan dengan jarak yang ditempuh oleh fase gerak dari titik awal penotolan. Hasil deteksi ini sesuai dengan penelitian yang disampaikan oleh I Made Budi (2005) bahwa senyawa yang terkandung dalam P. conoideus Lam. varietas buah kuning diantaranya adalah karoten, betakaroten, tokoferol serta asam-asam lemak. Karoten merupakan senyawa yang masuk ke dalam golongan terpenoid karena disintesis secara biokimia dari delapan satuan isoprena, dan terbagi dalam dua bentuk utama yaitu α-karoten dan β-karoten (Mun’im et. al., 2008). Karoten merupakan senyawa yang mengandung pigmen warna merah dan kuning bersifat larut dalam lipid serta merupakan salah satu komponen minyak atsiri. Karoten selain berperan dalam proses fotosintesis tumbuhan juga merupakan senyawa yang memberi warna pada bunga maupun buah. Oleh karena itulah bagian teraktif P. conoideus Lam. varietas buah kuning dinyatakan mengandung karoten karena menunjukkan warna kuning dan masuk ke dalam golongan senyawa terpenoid. Sedangkan tokoferol serta asam-asam lemak merupakan bagian dari golongan steroid (Harborne, 1987).
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Bagian atas Pandanus conoideus Lam. varietas buah kuning hasil pemisahan merupakan bagian teraktif yang memiliki efek sitotoksik terhadap sel HeLa dengan menunjukkan LC50 sebesar 0,15625 µl/ml dan mampu menghambat laju pertumbuhan sel HeLa menjadi 1,42 kali dibandingkan kontrol dengan waktu penggandaan sel sebesar 32,97 jam pada konsentrasi 0,078125 µl/ml. 2. Bagian teraktif Pandanus conoideus Lam. varietas buah kuning mengandung senyawa aktif golongan terpenoid dan steroid sehingga berpotensi sebagai senyawa antikanker.
B. Saran 1. Perlu dilakukan pemisahan komponen kandungan kimia yang lebih lanjut terhadap bagian teraktif Pandanus conoideus Lam. varietas buah kuning untuk menentukan senyawa yang menunjukkan efek sitotoksisitas. 2. Perlu dilakukan penelitian mengenai efektivitas Pandanus conoideus Lam. varietas buah kuning sebagai agen antikanker secara in vivo.
DAFTAR PUSTAKA Albright, C. D., R. I., Salganik, and T. V., Dyke. 2004. Dietary Depletion of Vitamin E and Vitamin A Inhibits Mammary Tumor Growth and Metastasis in Transgenic Mice. Journal of Nutrition 134:1139-1144. Astirin, O. P., M. Harini, dan N. S. Handajani. 2009. The Effect of Crude Extract of Pandanus conoideus Lamb. Var Yellow Fruit on Apoptotic Expression of The Breast Cancer Cell Line (T47D). Journal of Biological Diversity. 10 (1). Astirin, O. P. 2008. Efek Potensiasi Ekstrak Buah Kuning (Pandanus conoideus. Lam.) dan Komponen VCO terhadap Ekspresi P53 Mutan Galur Sel Kanker Payudara T47D. Laporan Penelitian. Hibah Riset Grant PHK A2 Jurusan Biologi FMIPA UNS. Astirin, O. P., D. R. Budiani, dan F. R. Wibowo. 2008. Ekspresi P53 pada Kultur Sel T47D sesudah Pemberian Buah Merah sebagai Kandidat Antikanker. Makalah Seminar disampaikan dalam Seminar Biodiversitas UNAIR 2008 [13 April 2009]. Bohm F., R. Edge, E. J. Land, D. McGarvey, and T. G. Truscott. 1997. Carotenoids Enhance Vitamin E Antioxidant Efficiency. J Am Chem Soc. 119:621–622. Brock, D. H. J. 1993. Molecular for The Clinician. University Press, Chambridge. Budi, I. M. 2000. Kajian Kandungan Zat Gizi dan Sifat Fisika Kimia Berbagai Jenis Minyak Buah Merah (Pandanus conoideus Lam.) Hasil Ekstraksi secara Tradisional di Kabupaten Jayawijaya Propinsi Irian Jaya. Tesis Program Pasca Sarjana. IPB-Bogor. Budi, I. M., dan F. R. Paimin. 2005. Buah Merah. Seri Agrisehat. Penebar Swadaya. h:20-48, Jakarta. Carlisle, D. L., D. E. Pritchard, J. Singh, B. M. Owens, L. J. Blakenship, J. M. Orestein, and S. R. Patieno. 2000. Apoptosis and p53 Induction in Human Lung Fibroblast Exposed to Chromium (VI): Effect of Ascorbate and Tocopherol. Toxicological Science 55:55-68. DeFilippis, R. A., E. C. Goodwin, W. Lingling, and D. DiMaio. 2007. Endogenous Human Papillomavirus E6 and E7 Proteins Differentially Regulate Proliferation, Senescence, and Apoptosis in HeLa Cervical Carcinoma Cells. Journal of Virology. 77 (2): 1551-1563. Doyle, A., and J. B. Griffith. 1988. Cell and Tissue Culture for Medical Research. Chichester: John Willey and Sons LTD. p.12-16.
FAO.
2006. Composition of Dietary /V4700E07.htm [22 April 2009].
Fat.
www.fao.org/docrep/V4700E
Foulkes, W. D. 2007. Gene p53 Master and Commander. The New England Journal of Medecine 357: 2539-2541. Freshney, R. 2000. Culture of Animal Cells: A Manual of Basic Technique 4th Edition. John Wiley and Sons. Inc, New York. Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia. Penerbit ITB, Bandung. Hidayat, M.A. 2002. Uji Aktivitas Antikanker Ekstrak Heksana Daun Eupatorium triplinerve Vahl. terhadap Kultur Sel Meioloma. Jurnal Ilmu Dasar. 3 (2). Hussain, S. P., L. J. Hofseth, and C. C. Harris. 2003. Radical Causes Cancer. Journal of Nature (3):1-5. Iswanto, J., A. Turchan, dan J. Wahyuhadi. 2002. Apoptosis. Kajian Multi Trauma RSUD. Dr. Soetomo Vol. XV No. 2. Kawai, K., M. Nakao, T. Nakao, and G. Katsu. 1974. Inhibition of Membrane Cell Adenosine Triphosphatase By Alpha-tokopherol and Its Derivates. J. Clin. Nutr. 27:987 -994. Kim, Y., N. Chongviriyaphan, C. Liu, R. M. Russel, and X. D. Wang. 2006. Combined Antioxsidan (β-Carotene, α-Tocopherol, and Ascorbic Acid) Suplementation in Increase The Level of Lung Retinoic Acid and Inhibits The Activation of Mitogen-Activated Protein Kinase in The Ferret Lung Cancer Model. Carcinogenesis 27(7):1410-1419 King, R. J. B. 2000. Cancer Biology 2nd edition. Pearson Education Limited, London. Meiyanto, Susidarti, Handayani, Rahmi. 2008. Ekstrak Etanolik Biji Buah Pinang (Areca catechu L.) mampu Menghambat Proliferasi dan Memacu Apoptosis Sel MCF-7. Majalah Farmasi Indonesia, 19(1), 12 – 19, Yogyakarta. Meiyanto, E., F. Rahmi, dan S. Riyanto. 2007. Efek Sitotoksik Fraksi Semipolar Ekstrak Metanolik Kulit Batang Cangkring (Erythrina fusca Lour) terhadap Sel HeLa. Majalah Obat Tradisional, 11(41): 1-11. Meiyanto, E., Supardjan, M. Da'i, dan D. Agustina. 2006. Efek Antiproliferatif Pentagamavunon-0 terhadap Sel Kanker Payudara T47D. Jurnal Kedokteran Yarsi, 14 (1) : 011-015. Meiyanto, E., R. I. Jenie, F. Rahmi, dan E. P. Septisetyani. 2005. Aktivitas Antikanker Minyak Buah Merah terhadap Sel Kanker Plasma Darah, Sel
Kanker Payudara, dan Sel Kanker Leher Rahim. Laporan Penelitian Kerjasama UGM dengan Bernard T. Wahyu Wiryanta. Murray, R. K., M. L. Rand, and E. J. Harferints. 2003. Biokimia Harper. Diterjemahkan oleh: dr. Andry Hartono. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Mun‘im, A., R. Andrajati, dan H. Susilowati. 2008. Uji Hambatan Tumorigenesis Sari Buah Merah (Pandanus conoideus Lam.) terhadap Tikus Putih Betina yang Diinduksi 7,12 Dimetilbenz (a) Antrasen (DMBA). Majalah Ilmu Kefarmasian. Vol. III, No. 3: 153 – 161. Mursyidi, A. 1985. Statistika Farmasi dan Biologi. Jakarta: Ghalia Indonesia. Nursid, M., T. Wikanta, N. Fajarningsih, dan E. Marraskuranto, 2006. Aktifitas Sitotoksik, Induksi Apoptosis dan Ekspresi Gen p53 Fraksi Metanol Spons Petrosia cf.nigricans terhadap Sel Tumor HeLa. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Vol.1 No.2. Pacifico, A., dan G. Leone. 2007. Role of p53 and CDKN2A Inaktivation in Human Squamus Cell Carcinoma. Journal of Biomedicine and Biotechnology. http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=1874671 [Mei 2009]. Parhardian, Sudjadi, dan Mubarika. 2004. Selektivitas Antikanker Ekstrak Kasar dan Fraksi Kolom Biji Momordica charantica L. terhadap Sel Raji, HeLa dan T47D. Berkala llmu Kedokteran Vol. 36, No. 2. Prasad, K. N., A. Kumar, V. Kochupillai, and W. C. Cole. 1999. High Doses of Multiple Antioxidant Vitamins: Essential Ingredients in Improving the Efficacy of Standard Cancer Therapy. Journal of the American College of Nutrition, 18(1):13–25. Pratiwi, A. P. 2009. Uji Sitotoksissitas Campuran Ekstrak Pandanus conoideus Lam. Varietas Buah Kuning dan Asam Laurat dari VCO terhadap Sel Kanker Payudara T47D secara In Vitro. Skripsi Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Pratiwi, D. I. 2009. Uji Sitotoksisitas dan Efek Antproliferasi Sari Pandanus conoideus Lam. Varietas Buah Kuning pada Sel Kanker Payudara T47D secara In Vitro. Skripsi Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Radji, Sumiati, dan I. Nuning. 2004. Uji Mutagenitas dan Antikanker Ekstrak Aseton dan n-heksana dari Kulit Batang Sesoot (Garcinia picrorrhiza
Miq.). Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. I, No.2, Agustus 2004, 69 – 78. Departemen Farmasi, FMIPA Universitas Indonesia. Reed, J. C. 1997. Bcl2 family proteins: Regulators of Apoptosis and Chemoresistance in Hematologic Malignancies. Semin in Hematol; 34: 919. Rode, H. D., D. Eisel, and I. Frost. 2004. Apoptosis, Cell Death and Cell Proliferaton Manual, 3rd ed. Roche Applied Science. Rossaria, N. 2007. Kajian Antiproliferatif Ekstrak Daun Benalu Duku (Loranthaceae dendropthoe species) terhadap Sel Meiloma secara InVitro. FKH Universitas Airlangga, Surabaya. Russel, R. M. 2002. Beta Carotene and Lung Cancer. IUPAC Pure Applied Chemistry 74(8):1461-1467. Sadsoeitoboen, dan M. Justina. 1999. Pandanaceae: Aspek Botani dan Etnobotani dalam Kehidupan Suku Arfak Irian Jaya. Tesis Program Pasca Sarjana. IPB-Bogor. Salganik, R. I. 2001. The Benefits and Hazards of Antioxidants: Controlling Apoptosis and Other Protective Mechanisms in Cancer Patients and the Human Population. Journal of the American College of Nutrition 20(5):464S–472S. Sukardiman, A. Rahman, W. Ekasari, dan Sismindari. 2005. Induksi Apoptosis Senyawa Andrografolida dari Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) terhadap Kultur Sel Kanker. Majalah Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada Vol. 21, No. 3. Suryadi, H., S. G. Malik, H. Sudoyo, dan S. Marzuki. 2004. Mitochondrial Medicine. Eijkmann Lecture Series 2. Lembaga Eijkmann h: 145-64. Jakarta. Syah, A. N. A. 2005. Perpaduan Sang Penakluk VCO Penyakit VCO dan Minyak Buah Merah. Agromedia Pustaka, Depok. Syaifuddin, M. 2007. Gen Penekan Tumor p53, Kanker dan Radiasi Pengion. Buletin Alara, Volume 8 Nomor 3,119 – 128. Theiszova, M., S. Jantova, J. Dragunova, P. Grznarova, and M. Palou. 2005. Comparison The Cytotoxicity of Hidroxyapatite Measured by Direct Cell Counting and MTT Test in Murine Fibroblast NIH-3T3 Cells. Biomed Pap Med 149(2): 393-396.
Ueda, Y., Y. Tezuka, A. H. Banskota, Q. L. Tran, Q. K. Tran, Y. Harimaya, I. Saiki, and S. Kadota. 2002. Antiproliferatif Activity of Vietnamese Medicinal Plants. Biol.Pharm Bull 25 (6): 753-760. Wahyuningsih, dan A. Yustina. 1999. Effect of Benalu (Dendrophtoe sp.) Leaves Extract on The Male Rat (Rattus Norvegicus) Benzidine Induced Hepatotoxicity. Jurnal Kedokteran Yarsi 7 (1) : 121-132. Weinberg, R. A., and D. Hanahan. 2000. The molecular pathogenesis of cancer. In: BishopJM and Weinberg RA (eds). Molecular oncology. Scientific American 1996; 179-204, New York. Wibowo F. R., O. P. Astirin, dan D. R. Budiani. 2007. Sitotoksisitas buah Merah (Pandanus conoideus Lam.) terhadap Sel Kanker, in-press. Winarto. 2007. Pengaruh Minyak Buah Merah (Pandanus conoideus Lam.) terhadap Gambaran Sel β-Pankreas dan Efek Hipoglikemik Glibenklamid pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Wistar Diabetik. Tesis Program Studi Ilmu Kedokteran Dasar dan Biomedis Minat utama Histologi dan Biologi Sel Universitas Gajah Mada. Wozniak, M. A., and P. J. Keely. 2005. Use of Three-Dimensional Collagen Gels To Study Mechanotransduction in T47D Breast Epithelial Cell. Biol. Proced. Online 7(1):144-161. Wyeth. 2008. Antioksidan. http://wyethindonesia.com/$$Anti%20Oksidan.html [11 April 2009]. Yohanes, R. 2008. The Evaluation of Cervix Cancer. Australia Ltd.co.al., New South Wales.