Damianus Journal of Medicine; Tuli sensorineural pasca kemoradiasi pada pasien karsinoma nasofaring Vol.9 No.1 Februari 2010: hlm. 55–60
TINJAUAN PUSTAKA
Tuli sensorineural pasca kemoradiasi pada pasien karsinoma nasofaring Lia Natalia, Zanil Musa
ABSTRACT Cisplatin and radiation, a combined modality therapy in nasopharyngeal carcinoma can cause sensoryneural hearing impairment. Chronic exposure to radiation and cisplatin can destruct temporal bone, organ Corti, hair cells leading to sensoryneural hearing loss. The effect was influenced by age, gender, and dose. Post radiation otitis media and sensorineural hearing loss appear as early as completion of radiotherapy. Early changes may be transient, but chronic exposure can make persistent damage. Audiologic examination is important for early detection of sensorineural hearing loss.
Departemen Ilmu Kesehatan THTKL, Rumah Sakit/Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya, Jl. Pluit Raya 2, Jakarta 14440
Key words: nasopharyngeal carcinoma, cisplatin, radiation, sensorineural hearing loss, hair cells.
PENDAHULUAN Karsinoma nasofaring merupakan keganasan kepala leher terbanyak, terutama di benua Asia. Sebanyak 60% dari jenis penyakit ini adalah tumor kepala dan leher.1 Insiden karsinoma nasofaring sebesar 30-50 kasus per 100.000 orang pertahun dengan, lebih sering pada laki-laki dibanding perempuan (2,3:1). 1,2 Karsinoma nasofaring dapat menyebar ke segala arah dan menimbulkan gangguan organ sekitar. Yang Mingshiang et.al3 melaporkan bahwa sebanyak 38% penderita kanker nasofaring mengalami otitis media efusi dan sebanyak 18% mengalami sindroma gangguan pendengaran. Kombinasi terapi radiasi dan cisplatin merupakan terapi yang efektif untuk karsinoma nasofaring.4-6 Na-mun demikian, kombinasi radiasi dan cisplatin pada penderita kanker nasofaring dapat menyebabkan ketulian. Jenis ketulian akibat radiasi dapat bersifat konduktif maupun sensorineural sedangkan cisplatin hanya menyebabkan tuli sensorineural.7 Oleh sebab itu, jenis tuli sensorineural adalah jenis ketulian yang lebih sering dijumpai pada penderita karsinoma nasofaring pasca kemoradiasi. Tuli akibat pemberian cisplatin pada kanker nasofaring dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pedalini et.al 8
menyatakan bahwa gangguan pendengaran akibat cisplatin sangat dipengaruhi oleh cara pemberian, letak tumor, ada tidaknya gangguan fungsi ginjal, umur pasien, dan faktor individual yaitu adanya riwayat radiasi dan gangguan pendengaran sebelumnya serta dosis kumulatif yang diberikan. Dosis ototoksik cisplatin yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran adalah pada pemberian dosis 90-360 mg/m2. Di samping itu, kombinasi cisplatin dengan radioterapi akan meningkatkan risiko terjadinya tuli sensorineural sebesar 60-80%.4 INSIDEN DAN FAKTOR RISIKO Usia tua meningkatkan risiko terjadinya tuli akibat kemoradiasi. Chua dan Tan9 serta Oh et.al4 melaporkan bahwa insiden tuli sensorineural pada pasien berusia 50 tahun atau lebih adalah sebesar 37% pasien sedangkan pada pasien berusia kurang dari 50 tahun sebesar 25%. Chua dan Tan9 juga melaporkan peningkatan kejadian tuli sensorineural persisten sebanyak 17%-37% pada usia pasien 30-50 tahun dan akan meningkat pada usia >55 tahun. Faktor risiko lain yang memengaruhi terjadinya tuli jenis kelamin. Kwong dkk9 melaporkan pria lebih banyak mengalami tuli sensorineural persisten dibandingkan wanita, yakni sebesar 29% vs 15%.
Vol. 9, No.1, Februari 2010
55
DAMIANUS Journal of Medicine
Hantaran suara pada frekuensi tinggi lebih mudah mengalami gangguan akibat efek kemoradiasi. Wang dkk13 mencatat bahwa pada 261 telinga pasca radioterapi mengalami perburukan hantaran tulang >10 dB sebesar 8,9-28,8% pada frekuensi percakapan dan pada frekuensi 4KHz sebesar 18-34,2%. Perburukan terjadi selama tiga bulan pertama pada frekuensi percakapan sebesar rata-rata 5 dB dan pada frekuensi 4KHz sebesar 3 dB. Tuli sensorineural yang terjadi bersifat progresif dan biasanya akan terjadi pada bulan pertama sampai 1 tahun pasca radiasi.9 Sementara itu, Somefun dkk10 juga melaporkan pada 40 pasien (80 telinga) yang mendapatkan terapi radiasi tanpa kemoterapi dengan kisaran umur 4-79 tahun, pemeriksaan pendengaran preradiasi dilaporkan pada 62 telinga (77,5%) dengan ambang normal, 8 telinga (10%) dengan tuli sensorineural ringan dan 5 telinga (6,25%) dengan tuli konduktif ringan sedang. Kemudian setelah 6 bulan pasca radiasi didapatkan 64 telinga (80%) dengan pendengaran normal, 11 telinga (13,8%) dengan tuli sensorineural ringan dan 2 telinga (2,5%) dengan tuli campur. PATOFISIOLOGI TULI AKIBAT PEMBERIAN CISPLATIN Patofisiologi ototoksik cisplatin adalah multifaktor. Penelitian yang dilakukan pada binatang menunjukkan penurunan fungsi pendengaran disebabkan oleh adanya radikal bebas dan hambatan antioksidan. Ini menyebabkan terjadinya perubahan pada stria vaskularis, organ Corti dan sel-sel ganglion spiral. Kerusakan pada stria terutama terjadi pada sel-sel marginal dan selsel intermediate. Perubahan sel-sel tersebut be-rupa mengecilnya ukuran sel-sel yang akan menye-babkan penipisan stria. Pada pemberian cisplatin do-sis tinggi akan menyebabkan degenerasi sel-sel ram-but yang secara histopatologi menunjukkan ruptur sel-sel marginal dan atrofi stria. Hilangnya sel-sel rambut luar terutama terjadi pada bagian basal. Sel-sel rambut dalam juga mengalami kerusakan dan degenerasi bila 3 baris sel-sel rambut luar telah berdegenerasi. Di samping itu, dosis tinggi cisplatin akan menimbulkan kerusakan lokal pada sel-sel penunjang lainnya.11 Cisplatin pada dosis rendah akan menyebabkan ke-
56
rusakan terutama pada stereosilia sel-sel rambut di organ Corti. Efek ototoksik cisplatin akan terjadi akut yaitu 3-4 hari pasca pemberian cisplatin dengan karakteristik tuli sensorineural pada frekuensi tinggi, ireversibel, bilateral dan simetris. Dengan pemberian dosis kumu-latif yang tinggi akan menimbulkan gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi yang lebih berat dan akan menimbulkan pula progresifitas gangguan pendengaran pada frekuensi rendah. Hal tersebut di atas tergantung pada dosis pemberian cisplatin.12,13 Gratton dan Smyth11 juga menyampaikan karakteristik ototoksik cisplatin antara lain tinitus, tuli sensorineural pada frekuensi tinggi, adanya progresifitas penurunan pada frekuensi rendah, bersifat bilateral dan permanen, hal tersebut akan terjadi pada dosis kumulatif lebih dari 200 mg. Jongh dkk sebagaimana dikutip oleh Gratton dan Smyth11 mengungkapkan pada penelitiannya tahun 1990-2001 terdapat 42% dari 400 pasien yang mendapatkan dosis tinggi cisplatin (75-85 mg/m2 dengan dosis kumulatif 400 mg) mengalami gejala ototoksik menyimpulkan bahwa dosis ototoksik yang akan menimbulkan tuli sensorineural adalah >600 mg/m2. Pemeriksaan audiometri harus dilakukan sebagai deteksi dini gejala ototoksik. Menurut Fausti dkk12 frekuensi yang biasa diperiksa adalah 5 frekuensi di atas 8000 Hz. Perubahan pada hantaran udara diklasifikasikan dalam tuli konduktif dan perubahan hantaran tulang diklasifikasikan pada tuli sensorineural. Selain itu, timpanometri dan refleks akustik juga dapat membantu untuk menentukan tipe gangguan pendengaran yang terjadi.8 Chen et.al14 meyebutkan bahwa hantaran udara frekuensi tinggi biasa digunakan untuk mendeteksi dini adanya gejala ototoksik. Tetapi bila terdapat otitis media yang disebabkan oleh gangguan fungsi tuba Eustachius maka biasanya akan didapatkan tuli campur atau tuli konduktif. Maka hantaran udara tidak digunakan lagi untuk menilai adanya kerusakan sensorineural koklea dan yang digunakan adalah hantaran tulang yang lebih tidak berefek akibat gangguan telinga tengah.
Vol. 9, No.1, Februari 2010
Tuli sensorineural pasca kemoradiasi pada pasien karsinoma nasofaring
American Speech and Hearing Association (ASHA) memberikan beberapa kriteria tanda ototoksik antara lain yaitu setiap penurunan 20 dB atau lebih di satu frekuensi atau penurunan 10 dB pada dua frekuensi yang berdekatan atau penurunan respon pada 3 frekuensi yang berdekatan serta perubahan yang konstan pada 2 kali pemeriksaan yang dilakukan berkala.15 PATOFISIOLOGI TULI AKIBAT KEMOTERAPI Tiga prinsip terapi radiasi adalah menimbulkan hipoksia, hipovaskularisasi dan hiposeluler tumor sinar X dan sinar gamma dapat menimbulkan kerusakan bio-logi secara tak langsung. Dengan elektron yang berge-rak cepat dan sinar-sinar tersebut mengeluarkan ener-gi akan menimbulkan kerusakan sel sampai kematian sel. Sinar radiasi yang menggunakan neutron dan proton memerlukan tenaga yang kuat untuk menggerakkannya. Proton memiliki kelebihan menimbulkan hipoksia pada tumor secara tepat dan tetap tidak merusak jaringan sekitarnya dan organ-organ penting. Berdasarkan data tentang sensitifitas telinga dalam terhadap radiasi sampai saat ini masih diperdebat-kan. Dosis radiasi 30 Gy merupakan dosis yang direkomendasikan untuk mempertahankan fungsi telinga. Sedangkan dosis radiasi yang biasa diberikan adalah 70 Gy yang akan menyebabkan gangguan peendengaran.16,17 Daerah target radiasi pada karsinoma nasofaring adalah suatu daerah yang terdiri dari beberapa struktur kulit, mukosa, subkutaneus, otot, tulang, gigi, kelenjar ludah, telinga, mata, aksis endokrin, saraf-saraf, spinal cord dan otak. Efek samping terjadi cukup sering dan tidak dapat dihindari, antara lain eritema kutaneus, mukositis dan xerostomia.9 Tan dkk2 membagi komplikasi akibat terapi radiasi atas komplikasi akut dan komplikasi lanjut, yang akan mengakibatkan kondisi yang progresif dan bersifat irreversibel karena terapi radiasi menimbulkan kerusakan jaringan sampai terjadinya osteoradionekrosis. Aplikasi radiasi terhadap tulang temporal akan menyebabkan perubahan-perubahan patologis pada telinga
luar, telinga tengah, telinga dalam dan susunan saraf pusat. Pada keadaan lanjut, radiasi dapat menimbulkan endarteritis obliteratif yang mengakibatkan berkurangnya vaskularisasi jaringan dan mengganggu proses penyembuhan.4-6 Gangguan tuli konduktif terjadi akibat adanya otitis media setelah radioterapi. Ionisasi radiasi akan menyebabkan gangguan pada tuba Eustachius, otitis media efusi atau otitis media kronis, hal tersebut di atas bersifat sementara. Pada pemeriksaan histopatologis didapatkan gambaran mukosa yang edema akibat radiasi yang mempengaruhi patensi tuba Eustachius dan menyebabkan akumulasi produksi cairan di telinga tengah. Seperti dikutip oleh Sataloff dan Rosen (1962), Borsanyi dan Blanchard melaporkan 14 pasien yang menerima radiasi sebesar 4000-6000 Rad di daerah telinga mendapatkan adanya gambaran audiogram berupa penurunan di frekuensi 2 dan 4 KHz. Gejala rekruitmen juga terjadi selama fase pengobatan tetapi kemudian dapat kembali normal secara spontan. Tetapi pada laporan tersebut tidak dilakukan pemeriksaan audiogram untuk selanjutnya. Hipotesa terdapatnya gejala rekruitmen selama radiasi diakibatkan vaskulitis sementara pada stria vaskularis dan arachnoid mesh di daerah perilimfatik. Kerusakan pembuluh darah karena edema dan degenerasi kolagen akhirnya mengganggu fungsi koklea, labirin dan tulang-tulang pendengaran, sedangkan perubahan pada tulang temporal akan terjadi dalam waktu lama.6 Gangguan tuli sensorineural terjadi akibat radiasi langsung pada batang otak atau hanya proses endartritis obliteratif. Radiasi akan menganggu proses mitosis sel dan menimbulkan perubahan pada pembuluh darah, walaupun hanya sementara biasanya vaskulitis bersifat progresif dan mengawali terjadinya hambatan pada pembuluh darah yang memperdarahi koklea. Pada akhirnya terjadi degenerasi koklea pada organ Corti, seperti pada sel-sel rambut, stria vaskularis, ganglion spiral dan neuron-neuron koklea. Hal tersebut didukung dengan pemeriksaan histologis, didapatkan gambaran perubahan anatomi antara lain nekrosis pada tulangtulang pendengaran, kerusakan pada organ Corti atau sel-sel rambut luar, degenerasi stria vaskularis, dan
Vol. 9, No.1, Februari 2010
57
DAMIANUS Journal of Medicine
osteoradionekrosis pada tulang temporal.8,6 Wang et.al18 mengemukakan bahwa insiden tuli sensorineural pasca radioterapi adalah bervariasi terhadap organ-organ dan tergantung jumlah radiasi yang diberikan yang dipengaruhi oleh reaksi jaringan yang terkena radiasi, mutasi genetik dan induksi dari kanker. Radiasi menimbulkan eksitasi molekul dan melepaskan ion-ion dan radikal bebas yang mampu mempengaruhi aktivitas enzim. Gangguan pendengaran terjadi akibat efek kumulatif radiasi atau tingginya paparan radiasi yang diberikan.10,12 Schuknect dan Karmody sejak tahun 1965, seperti yang dikutip oleh Mencher dkk melaporkan perubahan jaringan lunak akibat radiasi yaitu peradangan daun telinga, liang telinga, dan mukosa membran telinga tengah, atrofi pada organ Corti, destruksi sel-sel rambut dan atrofi membran basilaris dan spiral ligamen serta atrofi pada stria vaskularis. Apabila sinar radiasi yang diberikan terserap baik oleh tulang maka efek samping yang akan terjadi biasanya lama, tetapi hal ini akan menyebabkan kematian osteofit, peningkatan pembentukan tulang baru dan hilangnya substansi sumsum tulang. Kejadian nekrosis pada struktur telinga luar dan tengah termasuk tulang-tulang pendengaran bukanlah suatu yang biasa terjadi. Hal ini diakibatkan karena fokus dan dosis radiasi yang diberikan sangat bervariasi maka tidak ada suatu pengertian yang mendefinisikan besarnya gangguan pendengaran yang terjadi.12 Tuli sensorineural akan terjadi pada awal 3 bulan pertama pasca radiasi yaitu adanya perburukan ambang dengar akibat kekakuan membran timpani dan tulang-tulang pendengaran. Liberman dkk8 mengutip bahwa terdapat beberapa penelitian yang telah menunjukkan adanya tuli sensorineural setelah radioterapi yang mempunyai masa laten 12 hari lebih. Sedangkan tuli konduktif pasca terapi radiasi akan muncul pada awal terapi radiasi. Ho dkk seperti dikutip oleh Adunka dan Buchman melaporkan pasien karsinoma nasofaring yang menerima radiasi kemudian dilakukan pemeriksaan audiometri nada murni, didapatkan hasil adanya tuli sensorineural yang terjadi lambat.19 Begitu pula Akmansu dkk yang melakukan pemeriksaan otoacoustic emission (OAE) pada binatang percobaan yang menggambarkan adanya ke-
58
rusakan fungsi sel-sel rambut akibat radiasi.12,20 Penelitian yang dilakukan Wang et.al18 melaporkan bahwa pemeriksaan audiometri dibagi menjadi dua bagian, yakni frekuensi percakapan dan frekuensi 4 KHz pada hantaran tulang. Setelah ditindaklanjuti diperoleh informasi bahwa frekuensi 4 KHz menjadi memburuk dibandingkan frekuensi percakapan dan perubahan tersebut akan terus meningkat setelah tiga bulan. Dengan demikian, dalam beberapa kasus karsinoma nasofaring yang mendapat terapi kemoradiasi akan menimbulkan tuli sensorineural yang lebih berat dibandingkan pada pemberian terapi radiasi saja.20 PENCEGAHAN DAN DETEKSI DINI Pencegahan dan deteksi dini perubahan yang ter-jadi akibat komplikasi terapi radiasi perlu diketahui sehingga dapat dilakukan penanganan lebih lanjut. Untuk daerah telinga luar diperlukan pencegahan dan deteksi dini karena perubahan penting akibat radiasi, yaitu berupa tanda-tanda iritasi kulit, sehingga diperlukan tatalaksana yang benar pada saat dilakukan pembersihan telinga dan otoskopi. Keluhan yang menetap antara lain nyeri tellinga dan otore biasanya menunjukkan adanya osteoradionekrosis tulang temporal yang merupakan komplikasi serius pasca radioterapi. Hao Sheng-Po dkk26 melaporkan gejala dan tanda osteoradionekrosis pada liang telinga luar, antara lain krusta, otore, otalgia, gangguan pendengaran, bau sekret yang tidak sedap dan fistula preaurikula. Osteora-dionekrosis dapat terjadi bila dosis radiasi sebesar 60 Gy, seperti dikutip oleh Adunka dan Buchman, kom-plikasi osteoradionekrosis tulang temporal berupa otitis media, paresis fasialis dan tuli sensorineural masih bisa terjadi. 25 Adanya penurunan ambang dengar sebesar 10 dB tidak akan memengaruhi kehidupan pasien kecuali perubahan tersebut sebesar sama dengan atau lebih dari 30 dB, karena akan mengakibatkan gangguan komunikasi yang memerlukan suatu rehabilitasi pendengaran.13 Gangguan pendengaran yang terjadi dapat bersifat ireversibel dan menyebabkan tuli total. Bila hal tersebut sudah terjadi, dapat dipertimbangkan dilakukan implan koklea atau implan batang otak.23
Vol. 9, No.1, Februari 2010
Tuli sensorineural pasca kemoradiasi pada pasien karsinoma nasofaring
KESIMPULAN Modalitas kemoradiasi merupakan kombinasi terapi yang efektif untuk karsinoma nasofaring namun dapat memberikan efek samping, yakni gangguan pendengaran baik pada awal terapi maupun pada akhir terapi. Tuli sensorineural merupakan jenis ketulian yang lebih sering ditemukan akibat pemberian kemoradiasi dan sering bersifat progresif. Insiden tuli sensorineural pasca radioterapi bervariasi antara 0-50%. Dosis terapi radiasi yang menimbulkan ketulian adalah 60-70 Gy, sedangkan dosis cisplatin sebesar >600 mg/m2. Pemberian cisplatin akan memberikan gambaran tuli sensorineural yang lebih tinggi dibandingkan terapi radiasi saja. Tuli akibat pemberian kemoradiasi disebabkan oleh nekrosis tulang-tulang pendengaran, destruksi organ corti atau sel-sel rambut luar, degenerasi stria vaskularis dan osteoradionekrosis. Tuli biasanya pada hantaran frekuensi tinggi karena karena sel-sel rambut luar terletak pada bagian basal dan bertanggung jawab terhadap transduksi suara frekuensi tinggi, sedangkan sel-sel rambut di bagian apeks yang bertanggung jawab untuk suara pada frekuensi rendah. Kerusakan koklea akan dibuktikan dengan pemeriksaan audiometri nada murni, namun biasanya bukan pada periode awal. Deteksi dini dengan pemeriksaan audiometry merupakan tindakan penting untuk mengetahui tuli akibat kemoradiasi.
Joint Committee on Cancer / International Union Against Cancer Stage II and IV Nasopharyngeal Cancer of the Endemic Variety. J Clin Oncol 2005;23;p. 6370-6738. 5.
Tan LCS, Sitoh YY and Tjia HTL. Radiation-induced neurogical complica-tions of nasopharyngeal carcinoma. Neurol J Southeast Asia 1999;4;p.83-8
6.
Yang Ming-Shiang et al. Nasopharyn-geal carcinoma spreading along the Eustachian tube: the imaging appearance. J Chin Med Assoc 2004;67:p.200-3.
7.
Wolden et al. Accelerated concomitant boost radiotherapy and chemotherapy for advanced nasopharyngeal carcinoma spreading along the Eustachian tube: The imaging appearance. J Chin Med Assoc 2004;67:p.200-3.
8.
Khademi Bijan et al. Treatment result of nasopharyngeal carcinoma: A 15 year single institutional experience. J of Egyptian Nat Cancer Inst 2006;18(2); p. 147-55.
9.
Honore Henriette B et al. Sensorineural hearing loss after radiotherapy for naso-pharyngeal carcinoma: Individualized risk estimation. Radiotherapy and Onco-logy 2002(65);p.9-16.
10. Liberman et al. Auditory effects after organ preservation protocol for larynge-al/hypolaryngeal carcinomas. Arch Oto-laryngolog Head Neck Surg 2004;130: p.1265-8. 11. Chua Dennis and Tan Henry. Succesful rehabilitation Induced Hearing Loss in Nasopharyngeal Carcinoma Patient. Ann Acad Med Singapore 2007;36:747 12. OA Somefun et al. Post irradiation hearing loss in head / neck patients in Lagos, Nigeria. West African Journal of Radiology 2005;12(1);p.1-7.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Oh Young-Taek et al. Sensorineural hearing loss after concurrent cisplatin and radiation therapy for nasopha-ryngeal carcinoma. Radiotherapy and Oncology 2004;72;p.79-82.
2.
Balraj A, Raman R and Rangad F. Effect of radiation on hearing in patient with malignancies of head and neck. Singapore Med J 1992;33;p.481-3.
3.
Sataloff RT and Rosen Deborah C. Effect of cranial irradiation on hearing acuity: A review of the literature. The American Journal of Otology 1994; 15 (6);p.77280.
4.
Wee Joseph et al. Randomized trial of radiotherapy versus concurrent chemo-radiotherapy followed by adjuvant chemotherapy in patients with American
13. Wang Ling-Feng et al. Hearing loss o patients with nasopharyngeal carcinoma after chemotherapy and radiation. Kao-hsiung J med Sci 2003;19(4);p.1639. 14. Austin D F. Anatomi dan embriologi telinga. Dalam: editor staf ahli bagian THT RSCM FKUI, edisi 13: Ballenger JJ Penyakit telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Jakarta: Binarupa Aksara, 1997. Hal: 101-5. 15. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan pendengaran (tuli). Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6 editor Prof Dr. Efiaty Arsyad Soepardi Sp.THT(K) dkk. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2007. Hal: 22-10.
Vol. 9, No.1, Februari 2010
59
DAMIANUS Journal of Medicine
16. Wei William I. Nasopharyngeal cancer: current status of management. Arch Otolaryng. Head Neck Surg 2001;127; 766-9.
21. Chen W illiam C et al. Sensorineural hearing loss in combined modality treatment of nasopharyngeal carcinoma. Cancer 2006; 106; p. 820-9.
17. Ho SL, Fee W E. Malignant Nasopharyngeal Tumor. Department of otolaryn-gology Head and Neck Surgery,Wayne State University, Detroit Medical Centre. Last update: Dec 21, 2007. cited February 5, 2009 from: www.emedi cine.com
22. Low W ong Kein et al. Sensorineural Hearing Loss After Radiotherapy and Chemotherapy: A single, Blinded, Randomized Study. Journal of Clinical Oncology 2006;24:12;1904-9.
18. NCCN. Cancer of Nasopharynx. In Head and Neck Cancer version 1. Clinical Practices Guidelines in Onco-logy, NCCN, 2006. 19. Mencher George T et al. Ototoxicity and irradiation: additional etiologies of hearing loss in adults. J Am Acad Audiol 1995;6:351-7. 20. Gratton MA and Smyth Brendan J. Ototoxicity of platinum compounds. In: Roland Peter S, Rutka John A, Ototoxicity. Editor BC Denver Inc Hamilton London, 2004: p. 74-60.
60
23. Formanek M et al. Cochlear impantation as a successful rehabilitation for radiation-induced deafness. Eur Arch Oto-rhinolaryngol 1998;255:175-8. 24. Wang Ling-Feng et al. A Long term study on hearing status patient with nasopharyngeal carcinoma after radio-therapy. Otology & Neurootology 2004; 25:p.168-73. 25. Adunka OF and Buchman CA. Cochlear implantation in the irradiated temporal bone. The Journal of Laryngology and otology 2007;121;p.83-6.
Vol. 9, No.1, Februari 2010