LI.1. MM Art. Coxae 1.1.
Makro Articulatio coxae adalah sendi yang menghubungkan antara caput femoris dan
acetabulum. Termasuk jenis sendi enarthrosis spheroidea. Terdapat tulang rawan pada fasies lunata. Kelenjar Havers terdapat pada acetabuli.
Tulang: Antara caput femoris dan acetabulum Jenis sendi: Enarthrosis spheroidea Penguat sendi: Terdapat tulang rawan pada facies lunata Ligamentum Simpai sendi jaringan ikat di sebelah depan diperkuat oleh sebuah ligamentum yang kuat dan berbentuk Y, yakni ligamentum ileofemoral yang melekat pada SIAI dan pinggiran acetabulum serta pada linea intertrochanterica di sebelah distal. Ligamentum ini mencegah ekstensi yang berlebihan sewaktu berdiri . Di bawah simpai tadi diperkuat oleh ligamentum pubofemoral yang berbentuk segitiga. Dasar ligamentum melekat pada ramus superior ossis pubis dan apex melekat dibawah pada bagian bawah linea intertrochanterica. Ligamentum ini membatasi gerakan ekstensi dan abduksi. Di belakang simpai ini diperkuat oleh ligamentum ischiofemorale yang berbentuk spiral dan melekat pada corpus ischium dekat margo acetabuli. Ligamentum ini mencegah terjadinya hieprekstensi dengan cara memutar caput femoris ke arah medial ke dalam acetabulum sewaktu diadakan ekstensi pada articulatio coxae
Ligamentum teres femoris berbentuk pipih dan segitiga. Ligamentum ini melekat melalui puncaknya pada lubang yang ada di caput femoris dan melalui dasarnya pada ligamentum transversum dan pinggir incisura acetabuli. Ligamentum ini terletak pada sendi dan dan dibungkus membrana synovial.
Batas batas articulatio coxae Anterior : M. Iliopsoas, m.pectineus, m. rectus femoris.
M. Iliopsoas dan m.pectineus
memisahkan a.v. femoralis dari sendi. Posterior : m.obturatorius internus, mm.gemelli, dan m.quadratus femoris memisahkan sendi dari n.ischiadicus. Superior : musculus piriformis dan musculus gluteus minimus Inferior : tendo m.obturatorius externus Perdarahan Cabang cabang arteria circumflexa femoris lateralis dan arteria circumflexia femoris medialis dan arteri untuk caput femoris, cabang arteria obturatoria.
1.2.
Mikro Articulatio coxae merupakan sendi diartrosis. Pada jenis sendi ini permukaan sendi dari
tulang ditutupi tulang rawan hialin yang dibungkus dalam simpai sendi. Simpai sendi ini terdiri atas lapis fibrosa luar dari jaringan ikat padat yang menyatu dengan periosteum tulang. Lapis dalamnya adalah lapisan sinovial. Jaringan ikat pada sinovial langsung berhubungan dengan cairan sinovial dalam rongga sendi. Pada permukaan atau di dekatnya ditemukan sel mirip fibroblas yang menghasilkan kolagen, proteoglikan,dan komponen lain dari interstitium; sel makrofag yang membersihkan debris akibat aus dari sendi. Bisa terdapat limfosit pada lapisan yang lebih dalam Pendarahan sampai ujung os femur pada Art.Coxae dibentuk oleh tiga kelompok besar:
Cincin arteri Ekstracapsuler yang berada pada dasar collum femoris. Terdiri dari arteri circumleksa femoral medialis dan arteri circumfleksa femoral lateralis yang menjalar secara anterio maupun posterior.
Percabangan dari cincin arteri ascenden menjalar ke atas
yang berada pada
permukaan collum femoris sepanjang linea intertrochanterica.
Arteri pada Ligamentum teres dan pembuluh darah metafisial inferior bergabung membentuk pembuluh darah epifisial. Sehingga terbentuknya pembuluh cincin kedua sebagai pemasok darah pada caput femori
Pada fraktur collum femoris sering terjadi terganggunya aliran darah ke caput femori. Pembuluh darah Retinacular superior dan pembuluh epifisial merupakan sumber terpenting untuk suplai darah. Pada fraktur terbuka dapat menyebabkan kerusakan jaringan sekitarnya termasuk pembuluh darah dan sinovial. 1.3.
Kinesiologi
Gerak sendi: Fleksi: M. iliopsoas, M. pectineus, M. rectus femoris, M. adductor longus, M. adductor brevis, M. adductor magnus pars anterior tensor fascia lata Ekstensi: M. gluteus maximus, M. semitendinosus, M. semimembranosus, M. biceps femoris caput longum, M. adductor magnus pars posterior Abduksi: M. gluteus medius, M. gluteus minimus, M. piriformis, M. sartorius, M. tensor fasciae latae
Adduksi: M. adductor magnus, M. adductor longus, M. adductor brevis, M. gracilis, M. pectineus, M. obturator externus, M. quadratus femoris Rotasi medialis: M. gluteus medius, M. gluteus minimus, M. tensor fasciae latae, M. adductor magnus (pars posterior) Rotasi lateralis: M. piriformis, M. obturator internus, Mm. gamelli, M. obturator externus, M. quadratus femoris, M. gluteus maximus dan Mm. adductores LI.2. MM Fraktur 2.1. Definisi
Fraktur adalah terputusnya hubungan/kontinuitas struktur tulang atau tulang rawan bisa
komplet atau inkomplet. Fraktur adalah patah tulang atau terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang ditentukan
sesuai dengan jenis dan luasnya. Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang berupa retakan, pengisutan ataupun patahan yang lengkap dengan fragmen tulang bergeser.
2.2. Klasifikasi Secara umum fraktur dibagi menjadi dua, yaitu fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur tertutup jika kulit diatas tulang yang fraktur masih utuh, tetapi apabila kulit diatasnya tertembus maka disebut fraktur terbuka. Klasifikasi I. Menurut Penyebab terjadinya
Faktur Traumatik : direct atau indirect Fraktur Fatik atau Stress Trauma berulang, kronis, misal: fr. Fibula pd olahragawan Fraktur patologis : biasanya terjadi secara spontan
II. Menurut hubungan dg jaringan ikat sekitarnya
Fraktur Simple : fraktur tertutup Fraktur Terbuka : bone expose Fraktur Komplikasi : kerusakan pembuluh darah, saraf, organ visera
III. Menurut bentuk
Fraktur Komplet : Garis fraktur membagi tulang menjadi 2 fragmen atau lebih. Garis
fraktur bisa transversal, oblique, spiral. Kelainan ini menentukan arah trauma, fraktur stabil atau tidak Fraktur Inkomplet : sifat stabil, misal greenstik fraktur Fraktur Kominutif : lebih dari 2 segmen Fraktur Kompresi / Crush fracture : umumnya pada tulang kanselus
Fraktur dapat dibedakan jenisnya berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan disekitar, bentuk patahan tulang, dan lokasi pada tulang fisis. 1. Berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan disekitar Fraktur dapat dibagi menjadi : a) Fraktur tertutup (closed),bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. b) Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit. Fraktur terbuka terbagi atas tiga derajat (menurut R. Gustillo), yaitu: 1. Derajat I : i. Luka <1 cm ii. Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk iii. Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau kominutif ringan iv. Kontaminasi minimal 2. Derajat II : i. Laserasi >1 cm ii. Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/ avulsi iii. Fraktur kominutif sedang iv. Kontaminasi sedang 3. Derajat III :
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot, dan neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur terbuka derajat III terbagi atas: i. Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun terdapat laserasi luas/flap/avulsi atau fraktur segmental/sangat kominutif yang disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran luka. ii. Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau kontaminasi masif. iii. Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa melihat kerusakan jaringan lunak. 2. Berdasarkan bentuk patahan tulang a) Transversal Adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang atau bentuknya melintang dari tulang. Fraktur semacam ini biasanya mudah dikontrol dengan pembidaian gips. b) Spiral Adalah fraktur meluas yang mengelilingi tulang yang timbul akibat torsi ekstremitas atau pada alat gerak. Fraktur jenis ini hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak. c) Oblik Adalah fraktur yang memiliki patahan arahnya miring dimana garis patahnya membentuk sudut terhadap tulang.
d) Segmental Adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang, ada segmen tulang yang retak dan ada yang terlepas menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darah. e) Kominuta
Adalah fraktur yang mencakup beberapa fragmen, atau terputusnya keutuhan jaringan dengan lebih dari dua fragmen tulang. f) Greenstick Adalah fraktur tidak sempurna atau garis patahnya tidak lengkap dimana korteks tulang sebagian masih utuh demikian juga periosterum. Fraktur jenis ini sering terjadi pada anak – anak. g) Fraktur Impaksi Adalah fraktur yang terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang ketiga yang berada diantaranya, seperti pada satu vertebra dengan dua vertebra lainnya. h) Fraktur Fissura Adalah fraktur yang tidak disertai perubahan letak tulang yang berarti, fragmen biasanya tetap di tempatnya setelah tindakan reduksi. 3. Berdasarkan lokasi pada tulang fisis Tulang fisis adalah bagian tulang yang merupakan lempeng pertumbuhan, bagian ini relatif lemah sehingga strain pada sendi dapat berakibat pemisahan fisis pada anak – anak. Fraktur fisis dapat terjadi akibat jatuh atau cedera traksi. Fraktur fisis juga kebanyakan terjadi karena kecelakaan lalu lintas atau pada saat aktivitas olahraga. Klasifikasi yang paling banyak digunakan untuk cedera atau fraktur fisis adalah klasifikasi fraktur menurut Salter – Harris : a) Tipe I : fraktur transversal melalui sisi metafisis dari lempeng pertumbuhan, prognosis sangat baik setelah dilakukan reduksi tertutup. b) Tipe II : fraktur melalui sebagian lempeng pertumbuhan, timbul melalui tulang metafisis , prognosis juga sangat baik denga reduksi tertutup. c) Tipe III : fraktur longitudinal melalui permukaan artikularis dan epifisis dan kemudian secara transversal melalui sisi metafisis dari lempeng pertumbuhan. Prognosis cukup baik meskipun hanya dengan reduksi anatomi. d) Tipe IV : fraktur longitudinal melalui epifisis, lempeng pertumbuhan dan terjadi melalui tulang metafisis. Reduksi terbuka biasanya penting dan mempunyai resiko gangguan pertumbuhan lanjut yang lebih besar.
e) Tipe V : cedera remuk dari lempeng pertumbuhan, insidens dari
gangguan pertumbuhan
lanjut adalah tinggi. 2.3. Etiologi dan faktor resiko Etiologi Etiologi fraktur yang dimaksud adalah peristiwa yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur diantaranya peristiwa trauma(kekerasan) dan peristiwa patologis. Peristiwa Trauma (kekerasan) a) Kekerasan langsung Kekerasan langsung dapat menyebabkan tulang patah pada titik terjadinya kekerasan itu, misalnya tulang kaki terbentur bumper mobil, maka tulang akan patah tepat di tempat terjadinya benturan. Patah tulang demikian sering bersifat terbuka, dengan garis patah melintang atau miring. b) Kekerasan tidak langsung Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang di tempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam hantaran vektor kekerasan. Contoh patah tulang karena kekerasan tidak langsung adalah bila seorang jatuh dari ketinggian dengan tumit kaki terlebih dahulu. Yang patah selain tulang tumit, terjadi pula patah tulang pada tibia dan kemungkinan pula patah tulang paha dan tulang belakang. Demikian pula bila jatuh dengan telapak tangan sebagai penyangga, dapat menyebabkan patah pada pergelangan tangan dan tulang lengan bawah. c) Kekerasan akibat tarikan otot Kekerasan tarikan otot dapat menyebabkan dislokasi dan patah tulang. Patah tulang akibat tarikan otot biasanya jarang terjadi. Contohnya patah tulang akibat tarikan otot adalah patah tulang patella dan olekranom, karena otot triseps dan biseps mendadak berkontraksi.
Faktor resiko 1. Umur Pada kelompok umur muda lebih banyak melakukan aktivitas yang berat daripada kelompok umur tua. Aktivitas yang banyak akan cenderung mengalami kelelahan tulang dan jika ada trauma benturan atau kekerasan tulang bisa saja patah. Aktivitas masyarakat umur muda di luar rumah cukup tinggi dengan pergerakan yang cepat pula dapat meningkatkan risiko terjadinya benturan atau kecelakaan yang menyebabkan fraktur. Insidens kecelakaan yang
menyebabkan fraktur lebih banyak pada kelompok umur muda pada waktu berolahraga, kecelakaan lalu lintas, atau jatuh dari ketinggian. 2. Jenis Kelamin Laki – laki pada umumnya lebih banyak mengalami kecelakaan yang menyebabkan fraktur yakni 3 kali lebih besar daripada perempuan. Pada umumnya Laki – laki lebih aktif dan lebih banyak melakukan aktivitas daripada perempuan. Misalnya aktivitas di luar rumah untuk bekerja sehingga mempunyai risiko lebih tinggi mengalami cedera. Cedera patah tulang umumnya lebih banyak terjadi karena kecelakaan lalu lintas. Tingginya kasus patah tulang akibat kecelakaan lalulintas pada laki – laki dikarenakan laki – laki mempunyai perilaku mengemudi dengan kecepatan yang tinggi sehingga menyebabkan kecelakaan yang lebih fatal dibandingkan perempuan. 3. Aktivitas Olahraga Aktivitas yang berat dengan gerakan yang cepat pula dapat menjadi risiko penyebab cedera pada otot dan tulang. Daya tekan pada saat berolah raga seperti hentakan, loncatan atau benturan dapat menyebabkan cedera dan jika hentakan atau benturan yang timbul cukup besar maka dapat mengarah pada fraktur. Setiap tulang yang mendapat tekanan terus menerus di luar kapasitasnya dapat mengalami keretakan tulang. Kebanyakan terjadi pada kaki, misalnya pada pemain sepak bola yang sering mengalami benturan kaki antar pemain. Kelemahan struktur tulang juga sering terjadi pada atlet ski, jogging, pelari, pendaki gunung ataupun olahraga lain yang dilakukan dengan kecepatan yang berisiko terjadinya benturan yang dapat menyebabkan patah tulang.
4. Massa Tulang Massa tulang yang rendah akan cenderung mengalami fraktur daripada tulang yang padat. Dengan sedikit benturan dapat langsung menyebabkan patah tulang karena massa tulang yeng rendah tidak mampu menahan daya dari benturan tersebut. Massa tulang berhubungan dengan gizi tubuh seseorang. Dalam hal ini peran kalsium penting bagi penguatan jaringan tulang. Massa tulang yang maksimal dapat dicapai apabila konsumsi gizi dan vitamin D tercukupi pada masa kanak – kanak dan remaja. Pada masa dewasa kemampuan mempertahankan
massa tulang menjadi berkurang seiring menurunnya fungsi organ tubuh. Pengurangan massa tulang terlihat jelas pada wanita yang menopause. Hal ini terjadi karena pengaruh hormon yang berkurang sehingga tidak mampu dengan baik mengontrol proses penguatan tulang misalnya hormon estrogen. 5.Faktor Perantara Agent yang menyebabkan fraktur sebenarnya tidak ada karena merupakan peristiwa penyakit tidak menular dan langsung terjadi. Namun bisa dikatakan sebagai suatu perantara utama terjadinya fraktur adalah trauma benturan. Benturan yang keras sudah pasti menyebabkan fraktur karena tulang tidak mampu menahan daya atau tekanan yang ditimbulkan sehingga tulang retak atau langsung patah. Kekuatan dan arah benturan akan mempengaruhi tingkat keparahan tulang yang mengalami fraktur. Meski jarang terjadi, benturan yang kecil juga dapat menyebabkan fraktur bila terjadi pada tulang yang sama pada saat berolahraga atau aktivitas rutin yang menggunakan kekuatan tulang di tempat yang sama atau disebut juga stress fraktur karena kelelahan. 6. Faktor lingkungan Faktor lingkungan yang mempengaruhi terjadinya fraktur dapat berupa kondisi jalan raya, permukaan jalan yang tidak rata atau berlubang, lantai yang licin dapat menyebabkan kecelakaan fraktur akibat terjatuh. Aktivitas pengendara yang dilakukan dengan cepat di jalan raya yang padat, bila tidak hati – hati dan tidak mematuhi rambu lalu lintas maka akan terjadi kecelakaan. Kecelakaan lalu lintas yang terjadi banyak menimbulkan fraktur. 2.4. Diagnosis 2.4.1. Pemeriksaan fisik A. Inspeksi / Look Deformitas : angulasi, rotasi, pemendekan, pemanjangan, bengkak Pada fraktur terbuka : klasifikasi Gustilo B. Palpasi / Feel ( nyeri tekan (tenderness), Krepitasi) Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa. Lakukan palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi persendian diatas dan dibawah cedera, daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi Neurovaskularisasi bagian distal fraktur meliputi : pulsasi aretri, warna kulit, pengembalian cairan kapler (Capillary refill test) sensasi
C.
Gerakan / Moving, untuk mencari :
Krepitasi, terasa bila fraktur digerakan. Tetapi pada tulang spongiosa atau tulang rawan epifisis tidak terasa kreitasi. Pemeriksaan ini sebaiknya tidak dilakukan karena akan menambah trauma. Nyeri bila digerakan, baik pada gerakan akti f maupun pasif. Seberapa jauh gangguan – gangguan fungsi, gerakan – geraka yang tidak mampu digerakan, range of motion ( derajat dari ruang lingkup gerakan sendi), dan kekuatan. D.
Pemeriksaan trauma di tempat lain : kepala, toraks, abdomen, pelvis Sedangkan pada pasien dengan politrauma, pemeriksaan awal dilakukan menurut
protokol ATLS. Langkah pertama adalah menilai airway, breathing, dan circulation. Perlindungan pada vertebra dilakukan sampai cedera vertebra dapat disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan radiologis. Saat pasien stabil, maka dilakukan secondary survey. 2.4.2. Pemeriksaan penunjang Laboratorium : darah rutin, faktor pembekuan darah, golongan darah, cross-test, dan urinalisa. Radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut rule of two, terdiri dari : I. 2 gambaran, anteroposterior (AP) dan lateral II. Memuat dua sendi di proksimal dan distal fraktur III. Memuat gambaran foto dua ekstremitas, yaitu ekstremitas yang cedera dan yang tidak terkena cedera (pada anak) ; dan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan. 2.5. Penatalaksanaan Menurut Mansjoer (2000) dan Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi. 1. Rekognisi (Pengenalan ) Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka. 2. Reduksi (manipulasi/ reposisi) Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan
dengan reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer, 2002). 3. Retensi (Immobilisasi) Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur, humerus dan pelvis (Mansjoer, 2000). 2.6. Komplikasi 1. Sindrom Emboli Lemak Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan kondisi fatal. Hal ini terjadi ketika gelembung – gelembung lemak terlepas dari sumsum dan mengelilingi jaringan yang rusak. Gelombang lemak ini akan melewati sirkulasi dan dapat menyebabkan oklusi pada pembuluh – pembuluh darah pulmonary yang menyebabkan sukar bernafas. Gejala dari sindrom emboli lemak mencakup dyspnea, perubahan dalam status mental (gaduh, gelisah, marah, bingung, stupor), tachycardia, demam, ruam kulit ptechie. 2. Sindrom Kompartemen Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam ruang tertutup di otot, yang sering berhubungan dengan akumulasi cairan sehingga menyebabkan hambatan aliran darah yang berat dan berikutnya menyebabkan kerusakan pada otot. Gejala – gejalanya mencakup rasa sakit karena ketidakseimbangan pada luka, rasa sakit yang berhubungan dengan tekanan yang berlebihan pada kompartemen, rasa sakit dengan perenggangan pasif pada otot yang
terlibat, dan paresthesia. Komplikasi ini terjadi lebih sering pada fraktur tulang kering (tibia) dan tulang hasta (radius atau ulna). 3. Nekrosis Avaskular (Nekrosis Aseptik) Nekrosis avaskular dapat terjadi saat suplai darah ke tulang kurang baik. Hal ini paling sering mengenai fraktur intrascapular femur (yaitu kepala dan leher), saat kepala femur berputar atau keluar dari sendi dan menghalangi suplai darah. Karena nekrosis avaskular mencakup proses yang terjadi dalam periode waktu yang lama, pasien mungkin tidak akan merasakan gejalanya sampai dia keluar dari rumah sakit. Oleh karena itu, edukasi pada pasien merupakan hal yang penting. Perawat harus menyuruh pasien supaya melaporkan nyeri yang bersifat intermiten atau nyeri yang menetap pada saat menahan beban. 4. Osteomyelitis Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan korteks tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh) atau hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam tubuh). Patogen dapat masuk melalui luka fraktur terbuka, luka tembus, atau selama operasi. Luka tembak, fraktur tulang panjang, fraktur terbuka yang terlihat tulangnya, luka amputasi karena trauma dan fraktur – fraktur dengan sindrom kompartemen atau luka vaskular memiliki risiko osteomyelitis yang lebih besar. LI.3. MM Fraktur Femoris 3.1. Definisi Fraktur femoris adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi tulang atau osteoporosis. 3.2. Klasifikasi Fraktur Collum femoris ialah patahnya bagian collum(leher) dari os.femur yang dapat bersifat intracapsuler atau ekstracapsuler.
Fraktur Intracapsularis(Fraktur collum femur) Berada di antara collum dan trochanter major
Fraktur Ekstracapsularis(Fraktur intertrochanter femur)
Berada diantara trochanter major dan minor Fraktur collum femoris merupakan salah satu bentuk fraktur pada panggul. Ada 3 kelompok fraktur articulatio coxae: a.
Fraktur subkapitalis: Terjadi di bawah kaput femur dan alasan paling sering atas nekrosis avaskular pada kaput.
b.
Intertrokanterika: Fraktur yang terjadi di antara trochanter major dan minor.
c.
Subtrokanterika: Fraktur terjadi di bawah trochanter mino
Berdasarkan arah sudut garis patah dibagi menurut Pauwel :
Tipe I : garis fraktur membentuk sudut 30° dengan bidang horizontal pada posisi tegak Tipe II : garis fraktur membentuk sudut 30-50° dengan bidang horizontal pada posisi
tegak Tipe III: garis fraktur membentuk sudut >50° dengan bidang horizontal
Klasifikasi Pauwel’s untuk Fraktur Kolum Femur berdasarkan atas sudut yang dibentuk oleh garis fraktur dan bidang horizontal pada posisi tegak. Dislokasi atau tidak fragment ( menurut Garden’s) adalah sebagai berikut : i.
Grade I : Fraktur inkomplit ( abduksi dan terimpaksi) ii.
Grade II : Fraktur lengkap tanpa pergeseran
iii.
Grade III : Fraktur lengkap dengan pergeseran sebagian (varus malaligment)
iv.
Grade IV : Fraktur dengan pergeseran seluruh fragmen tanpa ada bagian segmen yang
bersinggungungan 3.3. Etiologi dan faktor resiko Etiologi a. Trauma langsung (direct)
Penderita biasanya terjatuh dengan posisi miring dimana daerah trochanter mayor langsung terbentur dengan benda keras. b. Trauma tidak langsung (indirect) Disebabkan gerakan eksorotasi yang mendadak dari tungkai bawah. Karena kepala femur terikat kuat dengan ligament di dalam aceptabulum oleh ligament iliofemoral dan kapsul sendi, mengakibatkan fraktur di darah collum femur. Kebanyakan terjadi pada wanita tua dimana tulangnya sudah mengalami osteoporosis. Trauma yang dialami oleh wanita tua ini biasanya ringan, contoh : jatuh terpleset di kamar mandi. c. Fraktur patologis Fraktur yang disebabkan trauma yamg minimal atau tanpa trauma. Contoh fraktur patologis: Osteoporosis, penyakit metabolik, infeksi tulang dan tumor tulang. Faktor resiko 1. Umur Pada kelompok umur muda lebih banyak melakukan aktivitas yang berat daripada kelompok umur tua. Aktivitas yang banyak akan cenderung mengalami kelelahan tulang dan jika ada trauma benturan atau kekerasan tulang bisa saja patah. Aktivitas masyarakat umur muda di luar rumah cukup tinggi dengan pergerakan yang cepat pula dapat meningkatkan risiko terjadinya benturan atau kecelakaan yang menyebabkan fraktur. Insidens kecelakaan yang menyebabkan fraktur lebih banyak pada kelompok umur muda pada waktu berolahraga, kecelakaan lalu lintas, atau jatuh dari ketinggian.
2. Jenis Kelamin Laki – laki pada umumnya lebih banyak mengalami kecelakaan yang menyebabkan fraktur yakni 3 kali lebih besar daripada perempuan. Pada umumnya Laki – laki lebih aktif dan lebih banyak melakukan aktivitas daripada perempuan. Misalnya aktivitas di luar rumah untuk bekerja sehingga mempunyai risiko lebih tinggi mengalami cedera. Cedera patah tulang umumnya lebih banyak terjadi karena kecelakaan lalu lintas. Tingginya kasus patah tulang akibat kecelakaan lalulintas pada laki – laki dikarenakan laki – laki mempunyai perilaku
mengemudi dengan kecepatan yang tinggi sehingga menyebabkan kecelakaan yang lebih fatal dibandingkan perempuan. 3. Aktivitas Olahraga Aktivitas yang berat dengan gerakan yang cepat pula dapat menjadi risiko penyebab cedera pada otot dan tulang. Daya tekan pada saat berolah raga seperti hentakan, loncatan atau benturan dapat menyebabkan cedera dan jika hentakan atau benturan yang timbul cukup besar maka dapat mengarah pada fraktur. Setiap tulang yang mendapat tekanan terus menerus di luar kapasitasnya dapat mengalami keretakan tulang. Kebanyakan terjadi pada kaki, misalnya pada pemain sepak bola yang sering mengalami benturan kaki antar pemain. Kelemahan struktur tulang juga sering terjadi pada atlet ski, jogging, pelari, pendaki gunung ataupun olahraga lain yang dilakukan dengan kecepatan yang berisiko terjadinya benturan yang dapat menyebabkan patah tulang. 4. Massa Tulang Massa tulang yang rendah akan cenderung mengalami fraktur daripada tulang yang padat. Dengan sedikit benturan dapat langsung menyebabkan patah tulang karena massa tulang yeng rendah tidak mampu menahan daya dari benturan tersebut. Massa tulang berhubungan dengan gizi tubuh seseorang. Dalam hal ini peran kalsium penting bagi penguatan jaringan tulang. Massa tulang yang maksimal dapat dicapai apabila konsumsi gizi dan vitamin D tercukupi pada masa kanak – kanak dan remaja. Pada masa dewasa kemampuan mempertahankan massa tulang menjadi berkurang seiring menurunnya fungsi organ tubuh. Pengurangan massa tulang terlihat jelas pada wanita yang menopause. Hal ini terjadi karena pengaruh hormon yang berkurang sehingga tidak mampu dengan baik mengontrol proses penguatan tulang misalnya hormon estrogen.
5.Faktor Perantara Agent yang menyebabkan fraktur sebenarnya tidak ada karena merupakan peristiwa penyakit tidak menular dan langsung terjadi. Namun bisa dikatakan sebagai suatu perantara utama terjadinya fraktur adalah trauma benturan. Benturan yang keras sudah pasti menyebabkan fraktur karena tulang tidak mampu menahan daya atau tekanan yang ditimbulkan sehingga tulang retak atau langsung patah. Kekuatan dan arah benturan akan mempengaruhi tingkat
keparahan tulang yang mengalami fraktur. Meski jarang terjadi, benturan yang kecil juga dapat menyebabkan fraktur bila terjadi pada tulang yang sama pada saat berolahraga atau aktivitas rutin yang menggunakan kekuatan tulang di tempat yang sama atau disebut juga stress fraktur karena kelelahan. 6. Faktor lingkungan Faktor lingkungan yang mempengaruhi terjadinya fraktur dapat berupa kondisi jalan raya, permukaan jalan yang tidak rata atau berlubang, lantai yang licin dapat menyebabkan kecelakaan fraktur akibat terjatuh. Aktivitas pengendara yang dilakukan dengan cepat di jalan raya yang padat, bila tidak hati – hati dan tidak mematuhi rambu lalu lintas maka akan terjadi kecelakaan. Kecelakaan lalu lintas yang terjadi banyak menimbulkan fraktur 3.4. Diagnosis 3.4.1. Pemeriksaan fisik -
Pada fraktur collum femur penderita tua (>60 tahun) penanggulangannya agak berlainan. Bila penderita tidak bersedia dioperasi atau dilakukan prinsip penanggulangan: do nothing dalam arti tidak dilakukan tindakan internal fiksasi, caranya penderita dirawat, dilakukan skin traksi 3 minggu sampai rasa sakitnya hilang. Kemudian penderita dilatih berjalan dengan menggunakan tongkat (cruth). Kalau penderita bersedia dilakukan operasi akan digunakan prinsip pengobatan do something yaitu dilakukan tindakan operasi arthroplasty dengan pemasangan
-
prothese Austine Moore. Pada penderita muda ditemukan riwayat mengalami kecelakaan berat (tabrakan). Pada penderita tua biasanya traumanya ringan (kepeleset di kamar mandi). Penderita tak dapat berdiri karena rasa sakit sekali pada panggul. Posisi panggul dalam keadaan fleksi dan eksorotasi. Didapatkan juga adanya perpendekan dari tungkai yang cedera. Paha dalam posisi fleksi dan abduksi dan eksorotasi. Pada palpasi sering ditemukan adanya hematoma di panggul. Pada tipe impacted, biasanya penderita masih dapat berjalan disertai rasa sakit yang tak begitu hebat. Posisi tungkai masih tetap dalam posisi netral.
3.4.2. Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan rontgen: Untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur b. Scan tulang, tomogram, CT-scan/ MRI: Memperlihatkan mengidentifikasikan kerusakan jaringan lunak
frakur
dan
c. Pemeriksaan darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (pendarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel), Peningkatan Sel darah putih adalah respon stres normal setelah trauma. d. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal. Foto Rontgen Pemeriksaan radiologis (rontgen), pada daerah yang dicurigai fraktur, harus mengikuti aturan role of two, yang terdiri dari : • Mencakup dua gambaran yaitu anteroposterior (AP) dan lateral. • Memuat dua sendi antara fraktur yaitu bagian proximal dan distal. • Memuat dua extremitas (terutama pada anak-anak) baik yang cidera maupun yang tidak terkena cidera (untuk membandingkan dengan yang normal) • Dilakukan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan. Pada proyeksi AP kadang tidak jelas ditemukan adanya fraktur pada kasus yang impacted, untuk ini diperlukan pemerikasaan tambahan proyeksi axial. Pergeseran dinilai melalui bentuk bayangan tulang yang abnormal dan tingkat ketidakcocokan garis trabekular pada kaput femoris dan ujung leher femur. Penilaian ini penting karena fraktur yang terimpaksi atau tidak bergeser (stadium I dan II Garden ) dapat membaik setelah fiksasi internal, sementara fraktur yang bergeser sering mengalami non union dan nekrosis avaskular.4,5 Radiografi foto polos secara tradisional telah digunakan sebagai langkah pertama dalam pemeriksaan pada fraktur tulang pinggul. Tujuan utama dari film x-ray untuk menyingkirkan setiap patah tulang yang jelas dan untuk menentukan lokasi dan luasnya fraktur. Adanya pembentukan tulang periosteal, sclerosis, kalus, atau garis fraktur dapat menunjukkan tegangan fraktur. Radiografi mungkin menunjukkan garis fraktur pada bagian leher femur, yang merupakan lokasi untuk jenis fraktur. Fraktur harus dibedakan dari patah tulang kompresi, yang menurut Devas dan Fullerton dan Snowdy, biasanya terletak pada bagian inferior leher femoralis. Jika tidak terlihat di film x-ray standar, bone scan atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) harus dilakukan. Bone Scanning Bone scanning dapat membantu menentukan adanya fraktur, tumor, atau infeksi. Bone scan adalah indikator yang paling sensitif dari trauma tulang, tetapi mereka memiliki kekhususan yang sedikit. Shin dkk melaporkan bahwa bone scanning memiliki prediksi nilai positif 68%. Bone scanning dibatasi oleh resolusi spasial relatif dari anatomi pinggul. Di masa lalu, bone scanning dianggap dapat diandalkan sebelum 48-72 jam setelah patah tulang, tetapi sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hold dkk menemukan sensitivitas 93%, terlepas dari saat cedera.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) MRI telah terbukti akurat dalam penilaian fraktur dan andal dilakukan dalam waktu 24 jam dari cedera, namun pemeriksaan ini mahal. Dengan MRI, fraktur biasanya muncul sebagai garis fraktur di korteks dikelilingi oleh zona edema intens dalam rongga meduler. Dalam sebuah studi oleh Quinn dan McCarthy, temuan pada MRI 100% sensitif pada pasien dengan hasil foto rontgen yang kurang terlihat. MRI dapat menunjukkan hasil yang 100% sensitif, spesifik dan akurat dalam mengidentifikasi fraktur collum femur. Pemeriksaan laboratorium, meliputi: • Darah rutin, • Faktor pembekuan darah, • Golongan darah (terutama jika akan dilakukan tindakan operasi), • Urinalisa, • Kreatinin (trauma otot dapat meningkatkan beban kreatinin untuk kliren ginjal). Pemeriksaan arteriografi dilakukan jika dicurigai telah terjadi kerusakan vaskuler akibat fraktur tersebut. 3.4.3. Diagnosis banding a.Osteitis Pubis b.Slipped Capital Femoral Epiphysis c.Snapping Hip Syndrome 3.5. Penatalaksanaan Terapi Impacted fraktur Pada fraktur infraskapuler terdapat perbedaan pada daerah collum femur di banding fraktur tukang di tempat lain. Pada collum femur-periosteumnya sangat tipis sehingga daya osteogenesisnya sangat kecil, sehingga seluruh penyambungan collum femur boleh dikata tergantung pada pembentukan callus endosteal. Lagipula aliran pembuluh darah yang melewati collum femur pada fraktur collum femur terjadi kerusakan. Lebih-lebih lagi terjadinya haermathrosis yang akan menyebabkan aliran darah sekitar fraktur tertekan alirannya. Maka mudah dimengerti apabila terjadi fraktur intraskapuler dengan dislokasi akan terjadi avaskuler nekrosis. Penanggulangan Impacted fraktur Pada fraktur, collum femur yang benar-benar impacted dan stabil. Maka penderita masih dapat berjalan selama beberapa hari. Gejalanya ringan, sakit sedikit pada daerah panggul. Kalau impactednya cukup kuat, penderita dirawat 3-4 minggu kemudian diperbolehkan berobat jalan dengan memakai tongkat selama 8 minggu. Kalau pada X-ray foto impactednya
kurang kuat ditakutkan terjadi disimpacted, penderita dianjurkan untuk operasi dipasang internal fixation. Operasi yang dilakukan untuk impacted fraktur biasanya dengan multipin teknik percutaneus. Penanggulangan Dislokasi fraktur collum femur Penderita segera dirawat di Rumah Sakit, tungkai yang sakit dilakukan pemasangan tarikan kulit (skin traction) dengan Buck-extension. Dalam waktu 24 jam-48 jam dilakukan tindakan reposisi yang dilanjutkan dengan pemasangan internal fixation. Reposisi yang dilakukan dicoba dulu dengan reposisi tertutup dengan salah satu cara yaitu: menurut Leadbetter. Penderita terlentang di meja operasi. Asisten memfiksir pelvis. Lutut dan coxae dibuat flexi 90 untuk mengendurkan kapsul dan otot-otot sekitar panggul. Dengan sedikit adduksi paha ditarik ke atas, kemudian pelan-pelan dilakukan endorotasi panggul 45. Kemudian sendi panggul dilakukan gerakan memutar dengan melakukan gerakan abduksi dan ekstensi. Setelah itu dilakukan test. Palm heel test: tumit kaki yang cedera diletakkan di atas telapak tangan. Bila posisi kaki tetap dalam kedudukan abduksi dan endorotasi berarti reposisi berhasil baik. Setelah reposisi berhasil dilakukan tindakan pemasangan internal fiksasi dengan tekinik multi pin pecutaneus. Kalau reposisi pertama gagal dapat diulang sampai 3 kali, dilakukan open reduksi. Dilakukan reposisi terbuka setelah reposisi dilakukan internal fiksasi. Macam-macam alat internal fiksasi -
diantaranya
:
- Knowless pin Cancellous screw Plate Pada fraktur collum femur penderita tua (>60 tahun) penanggulangannya agak berlainan. Bila penderita tidak bersedia dioperasi atau dilakukan prinsip penanggulangan: do nothing dalam arti tidak dilakukan tindakan internal fiksasi, caranya penderita dirawat, dilakukan skin traksi 3 minggu sampai rasa sakitnya hilang. Kemudian penderita dilatih berjalan dengan menggunakan tongkat (cruth). Kalau penderita bersedia dilakukan operasi akan digunakan prinsip pengobatan do something yaitu dilakukan tindakan operasi arthroplasty dengan pemasangan prothese Austine Moore. 3.6. Komplikasi Komplikasi umum yang biasa menyertai cedera atau operasi pada manula cenderung akan terjadi, terutama thrombosis vena betis, embolisme paru, pneumonia dan ulkus
dekubitus: belum lagi kelainan yang mungkin telah ada sebelum fraktur dan yang mengakibatkan kematian pada banyak kasus. Pada beberapa pusat perawatan, antikoagulan digunakan secara rutin. Nekrosis avaskular terjadi pada sekitar 30% pasien dengan pergeseran fraktur dan 10% pasien fraktur tanpa pergeseran. Tidak ada cara untuk mendiagnosis hal ini pada saat terjadi fraktur. Beberapa minggu kemudian, scan nanokoloid dapat memperlihatkan berkurangnya vaskularitas. Perubahan pada sinar-X –meningkatnya kepadatan kaput femorismungkin tidak nyata selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Baik fraktur itu menyatu atau tidak, kolapsnya kaput femoris akan menyebabkan nyeri dan semakin hilangnya fungsi. Terapinya adalah dengan penggantian sendi total. Non-union lebih dari sepertiga fraktur leher femur tidak menyatu, dan resiko ini terutama mengancam pasien yang mengalami pergeseran berat. Terdapat banyak penyebab: buruknya pasokan darah, tak sempurnanya reduksi, tak mencukupinya fiksasi, dan lambatnya penyembuhan yang merupakan tanda khas untuk fraktur intra-artikular. Tulang di tempat fraktur remuk, fragmen terpecah dan paku atau sekrup menjebol keluar dari tulang atau menjulur ke lateral. Pasien mengeluh nyeri, tungkai memendek dan sukar berjalan. Sinar X menunjukkan hasil yang mengecewakan. Metode terapi bergantung pada penyebab non union dan pada umur pasien. Pada pasien yang relatif muda, terdapat tiga prosedur. (1) kalau fraktur terlalu vertical, tetapi kaput tetap dapat hidup, osteotomi subtrokanter dengan fiksasi paku plat mengubah garis fraktur sehingga membentuk sudut yang lebih horizontal. (2) kalau reduksi atau fiksasi salah dan tidak terdapat tanda-tanda nekrosis, sekrup itu pantas dibuang, fraktur direduksi, sekrup yang baru disisipkan dengan benar dan juga menyisipkan cangkokan fibula pada fraktur itu; (3) kalau kaput bersifat avaskular, kaput ini dapat diganti dengan prosthesis logam; kalu sudah terdapat arthritis, diperlukan pergantian total. Pada pasien yang berusia lanjut, hanya dua prosedur yang harus dipertimbangkan. (1) kalau nyeri tidak hebat, pengangkatan tumit dan penggunaan tongkat yang kuat atau kruk penopang siku sering mencukupi. (2) kalau nyerinya hebat, maka, tak peduli apakah kaput
avaskular atau tidak, kaput ini terbaik dibuang; kalau pasien cukup sehat, dilakukan penggantian sendi total. Osteoarthritis nekrosis avaskuler atau kolapsnya kaput femoris dapat mengakibatkan osteoarthritis sekunder setelah bebearapa tahun. Kalau terdapat banyak kehilangan gerakan sendi dan kerusakan meluas ke permukaan sendi, diperlukan pergantian sendi total.
3.7. Pencegahan 3.8. Prognosis Beberapa ahli mengusulkan bahwa prognosis untuk fraktur stadium III dan IV tidak dapat diramalkan sehingga penggantian prostetik selalu lebih baik. Penggantian pinggul total mungkin lebih baik kalau terapi telah tertunda selama beberapa minggu dan dicurigai ada kerusakan acetabulum dan pada pasien dengan penyakit paget atau metastatic. Pada fraktur leher femur inpaksi biasanya penderita dapat berjalan selama beberapa hari setelah jatuh sebelum timbul keluhan. Umumnya gejala yang timbul minimal dan panggul yang terkena dapat secara pasif digerakkan tanpa nyeri. Fraktur ini biasanya sembuh tiga bulan tanpa tindakan operasi, tetapi apabila tidak sembuh atau terjadi disinpaksi yang tidak stabil atau avaskuler, penanganannya sama dengan yang di atas.