TUGAS AKHIR Perbandingan Low-Orde Moment dan High-Orde Moment untuk Memodelkan Distribusi Butiran Hujan dan Implikasinya bagi Perkiraan Attenuasi Gelombang Elektromagnetik oleh Hujan Diajukan Guna Melengkapi Sebagian Syarat Dalam mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Disusun Oleh : Nama Nim Jurusan Peminatan Pembimbing
: Petrina : 41405120011 : Teknik Elektro : Telekomunikasi : Ir. Said Attamimi, M.T.
PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA 2009
LEMBAR PENGESAHAN
Perbandingan Low-Order Moment dan High-Order Moment untuk Memodelkan Distribusi Butiran Hujan dan Implikasinya bagi Perkiraan Attenuasi Gelombang Elektromagnetik oleh Hujan
Nama Nim Program Studi Peminatan
: Petrina : 41405120011 : Teknik Elektro : Telekomunikasi
Mengetahui,
Pembimbing
Koordinator TA/ Kaprodi Studi Teknik Elektro
(Ir. Said Attamimi, M.T.)
(Yudhi Gunardi, ST, MT.)
ABSTRAKS
Perbandingan Low-Orde Moment dan High-orde Moment untuk Memodelkan Distribusi Butiran Hujan dan Implikasinya bagi Perkiraan Attenuasi Gelombang Elektromagnetik oleh Hujan
Dalam telekomunikasi baik dengan satelit atau dengan system yang lain, attenusi atau pelemahan gelombang dapat dihitung dengan membandingkan antara sinyal yang dikirim dengan yang diterima. Butiran hujan akan sangat mempengaruhi gelombang elektromagnetik di atas 10 GHz. Oleh karena itu di dalam tugas akhir ini akan dianalisa pengaruh pemilihan metoda momen di dalam memperkirakan attenuasi oleh hujan untuk frekuensi 10 GHz, 15 GHz dan 20 GHz. Dimana dari berbagai simulasi didapatkan bahwa metode low orde momen lebih baik didalam memperkirakan attenuasi dibandingkan dengan High orde momen.
Kata kunci : attenuasi, gelombang elektromagnetik
iv
DAFTAR ISI Halaman Judul...........................................................................................
i.
Halaman Pernyataan……………………………………………………..
ii.
Halaman Pengesahan…………………………………………………….
iii.
Abstraksi…………………………………………………………………
iv
Kata Pengantar…………………………………………………………...
v
Daftar Isi…………………………………………………………………
vii
Daftar Tabel …………………………………………………………….
ix
Daftar Gambar ………………………………………………………….
x
Daftar Grafik……………………………………………………………
xi
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah…………………………...........
1
1.2 Tujuan Penulisan…………………………………..........
2
1.3 Batasan Masalah…………………………………...........
2
1.4 Sistematika Penulisan……………………………...........
2
GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK 2.1
Pengertian Gelombang Elektromagnetik.......................
4
2.2
Perambatan Gelombang Elektromagnetik.....................
4
2.3
Arah Rambatan Gelombang Elektromagnetik................
5
2.4
Propagasi........................................................................
6
2.5
Jalannya Gelombang......................................................
7
2.5.1
Amplitude Gelombang........................................
7
2.5.2
Panjang Gelombang............................................
7
2.5.3
Frekuensi Gelombang.........................................
8
vii
BAB III
BAB IV
BAB V
RAINDROP SIZE DISTRIBUTION (DSD) 3.1 Pengertian DSD..............................................................
8
3.2 Pemodelan DSD……………………………………......
9
3.2.1 Metode High Orde Moment…………………........
9
3.2.2. Metode Low Orde Moment…………………........
10
3.3 Attenuasi Gelombang Elektromagnetik oleh air hujan....
10
3.4 Aplikasi dalam prediksi attenuasi....................................
11
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 DSD Simulasi....................................................................
12
4.2 Applikasi di dalam memprediksi attenuasi oleh hujan.....
14
4.2.1
Attenuasi untuk (NT = 100).................................
16
4.2.2
Attenuasi untuk (NT = 1000)...............................
18
PENUTUP 5.2 Kesimpulan.....................................................................
20
5.3 Saran...............................................................................
21
Daftar Pustaka.........................................................................................
22
Lampiran
viii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 4.1 Indek bias butiran hujan untuk frekuensi 10 – 30 GHz pada temperatur 25oC.................................
ix
15
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 4.1
DSD yang disimulasikan dengan input parameter m = 2, λ = 6 dan jumlah butiran atau NT = 100 dan 1000 serta hasil fitting dari moment M2M3M4 dan M3M4M6.........................................................................................
Gambar 4.2
Memperlihatkan
attenuasi
untuk
13
beberapa
frekuensi yang diperoleh dari DSD tanpa fitting (attenuasi terukur) dan DSD dari fitting (attenuasi terhitung) untuk NT = 100....................................... Gambar 4.3
Memperlihatkan
attenuasi
untuk
16
beberapa
frekuensi yang diperoleh dari DSD tanpa fitting (attenuasi terukur) dan DSD dari fitting (attenuasi terhitung) untuk NT = 1000.....................................
x
18
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Masalah Dengan seringnya musim hujan di Indonesia terutama untuk daerah
Jakarta, maka di sini penulis ingin mengetahui seberapa besar pengaruh hujan terhadap
attenuasi
gelombang
elektromagnetik.
Attenuasi
gelombang
elektromagnetik akan mempengaruhi penangkapan sinyal pada satelit di bumi seperti kebersihan sinyal televisi, sinyal hand phone dan lain-lain. Raindrop size distribution (DSD) atau dalam istilah bahasa Indonesia dikenal dengan distribusi ukuran butiran hujan merupakan parameter utama untuk menggambarkan hampir semua parameter penjalaran gelombang mikro di dalam awan dan hujan khususnya pada frekuensi gelombang mikro yang sensitif terhadap partikel-partikel hujan (Sauvageout dan Lacaux, 1995; Willis dan Tattelman, 1989). Saat ini banyak model matematika yang sudah dikembangkan untuk memodelkan DSD diantaranya distribusi exponensial, gamma dan lognormal. Di dalam applikasi, distribusi gamma merupakan yang paling banyak digunakan, karena hasil pengamatan dari DSD di lapangan yang memperlihatkan bahwa DSD lebih cenderung mengikuti distribusi gamma dari pada exponensial. Beberapa teknik matematika sudah dikembangkan untuk menghitung parameter gamma dari DSD, diantaranya yang paling terkenal adalah moment method (metode pangkat). Metode ini sangat sederhana. Kozu dan Nakamura (1991) mengembangkan metode pangkat dengan menggunakan DSD pangkat 3 (M3), pangkat 4 (M4) dan pangkat 6 (M6). Metode ini sudah dipergunakan secara luas di dalam menghitung parameter DSD. Seperti dijelaskan di atas, Kozu dan Nakamura (1991) menggunakan moment orde tinggi (high order moment) yang sangat tinggi biasnya (tingkat errornya) untuk memodelkan DSD. Oleh karena itu, di dalam tugas akhir ini penulis akan membandingkan dengan moment orde rendah (low-order moment).
2
Selanjutnya akan dilihat pengaruhnya dalam memprediksi attenuasi (pelemahan) gelombang elektromagnetik oleh air hujan. Air hujan akan sangat berpengaruh untuk frekwensi gelombang di atas 10 GHz.
1.2
Tujuan Penulisan Tugas akhir ini bertujuan untuk membandingkan antara moment method
orde rendah dengan moment method orde tinggi yang dihitung dengan parameter DSD terhadap pengaruhnya pada pemodelan attenuasi gelombang.
1.3
Batasan Masalah Untuk mencapai tujuan penulis, dilakukan perbandingan antara metoda
Low-Order Moment (moment orde rendah) dan metoda High-Order Moment (moment orde tinggi) untuk frekwensi 10 GHz – 20 GHz. Setelah didapat hasilnya maka dilihat perbandingannya didalam penghitungan attenuasi gelombang elektromagnetik,
dimana
attenuasi
gelombang
elektromagnetik
akan
mempengaruhi penangkapan sinyal pada satelit di bumi (seperti kebersihan sinyal televisi, sinyal hand phone dan lain-lain).
1.4
Sistematika Penulisan Tahapan yang dilakukan dalam tugas akhir yang berjudul ” Perbandingan
Low-Order Moment dan High-Order Moment untuk Memodelkan Distribusi Butiran Hujan dan Implikasinya Bagi Perkiraan Attenuasi Gelombang Elektromagnetik oleh Hujan” ini adalah :
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.2 Tujuan Penulisan 1.3 Batasan Masalah 1.4 Sistematika Penulisan
3
BAB II GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK 2.1. Pengertian Gelombang Elektromagnetik 2.2. Perambatan Gelombang Elektromagnetik 2.3. Arah Rambatan Gelombang Elektromagnetik 2.4. Propagasi 2.5. Jalannya Gelombang 2.5.1. Amplitude Gelombang 2.5.2. Panjang Gelombang 2.5.3 Frekuensi Gelombang BAB III RAINDROP SIZE DISTRIBUTION (DSD 3.1. Pengertian DSD 3.2. Pemodelan DSD 3.2.1 Metode High Orde Moment 3.2.2 Metode Low Orde Moment 3.3. Attenuasi Gelombang Elektromagnetik oleh air hujan 3.4. Aplikasi dalam prediksi attenuasi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. DSD Simulasi 4.3
Applikasi di dalam memprediksi attenuasi oleh hujan 4.3.1. Attenuasi untuk NT = 100 4.3.2. Attenuasi untuk NT = 1000
BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan 5.2. Saran
BAB II GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK 2.1
Pengertian Gelombang Elektromagnetik Gelombang elektromagnetik adalah gelombang yang terdiri dari medan
listrik dan medan magnit yang satu sama lain saling tegak lurus. Sebuah pesawat pemancar akan bekerja dan memancarkan gelombang elektromagnetik secara terus menerus selama pesawat pemancar tersebut bekerja. Gelombang-gelombang elektromagnetik ini akan merambat ke segala arah jika ditransmisikan dengan type omnidirectonal antenna. Gelombang elektromagnetik dapat dipantulkan dari beberapa macam permukaan benda seperti halnya yang terjadi pada pemantulan cahaya oleh sebuah cermin. Benda yang mempunyai konductivitas listrik (kemampuan menghantar listrik) dan permukaan yang halus misalnya plat tembaga atau alumunium, adalah pemantul gelombang elektromagnetik yang baik. Permukaan bumi dapat juga menjadi pemantul yang baik. Di samping permukaan bumi, lapisan-lapisan ionosphere yang terdapat pada daerah atmosphere bumi yang paling tinggi juga merupakan pemantul yang baik.
2.2
Perambatan Gelombang Elektromagnetik Perambatan gelombang elektromagnetik sama dengan perambatan dari
gelombang cahaya atau sinar, antara lain dalam rambatannya mengalami refleksi (pemantulan), refraksi (pembiasan) dan diffraksi (pembawuran atau pemecahan). Ada dua macam peristiwa yang terjadi pada gelombang elektromagnetik yang datang dari daerah yang kelistrikannya lebih kecil ke daerah kelistrikannya lebih besar yaitu jika gelombang elektromagnetik yang tiba di daerah perbatasan secara tegak lurus (dengan sudut datang 90°), maka gelombang tersebut akan dipantulkan secara keseluruhan dan tegak lurus pada daerah perbatasan sehingga akan kembali melalui jalan semula.
5
Gelombang elektromagnetik yang tiba di daerah perbatasan dengan sudut datang lebih kecil dari 90°, maka gelombang tersebut, sebagian akan dipantulkan dengan sudut datang sama dengan sudut pantul dan sebagian akan diteruskan.
2.3
Arah Rambatan Gelombang Elektromagnetik Medan listrik dan medan magnet berubah secara sinus dan mempunyai
frekwensi seperti frekwensi getaran listrik yang dipancarkan oleh pesawat pemancarnya. Adapun arah rambatan dari gelombang elektromagnetik ini ditentukan oleh sebuah vektor P (Pointing) yang merupakan hasil kali secara silang dari vektor medan listrik (E) dengan vektor medan magnit (H), yang dapat ditulis sebagai berikut :
Ρ = Ε×Η
(2.1)
Perlu diketahui bahwa di dalam perhitungan secara vektor, hasil kali secara titik dari dua buah vektor tidak sama dengan hasil kali secara silang dari dua buah vektor tersebut. Yang terkecil arah putaran ke kanan, maka arah vektor P tegak lurus bidang E dengan H ke depan. Kalau E diputar ke H dengan melalui sudut yang terkecil arah putaran ke kiri, maka arah vektor P tegak lurus bidang E dengan H ke belakang. Di dalam sebuah pesawat pemancar getaran yang dibangkitkan oleh rangkaian osilator (pembangkit getaran) diperkuat, kemudian disalurkan ke antenna untuk dipancarkan ke udara yang terlebih dahulu dirubah menjadi getaran-getaran listrik. Getaran-getaran ini asal mulanya dapat berupa getaran suara, musik, getaran optis (pada TV), getaran mekanik dan lain-lain. Setelah getaran tersebut diolah dengan berbagai proses sehingga akhirnya siap dipancarkan melalui saluran.
6
2.4
Propagasi (Penjalaran) Propagasi merupakan proses pengiriman atau pemindahan tenaga dari satu
tempat ke tempat lain dengan perantaraan gelombang elektromagnetik. Bila propagasi ini terjadi pada gelombang radio maka proses ini berlangsung sejak gelombang tersebut dipancarkan oleh antenna pemancar, sampai gelombang tersebut diterima oleh antenna penerima. Gelombang radio yang dipancarkan oleh antenna pemancar tersebut dapat berupa gelombang yang tidak dimodulasi maupun gelombang yang telah dimodulasi dengan gelombang pemodulasi. Di mana gelombang pemodulasi tersebut dapat berupa: a) Pulsa-Pulsa - pada radar. b) Getaran optis - pada televisi. c) Getaran suara - pada radio. d) Getaran mekanik - pada morse.
Untuk mengetahui kualitas daripada propagasi gelombang radio dan menentukan akan baik buruknya hasil komunikasi yang dicapai, maka kualitas propagasi ini dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain: a) Tergantung daripada waktu sepanjang tahun, bulan, hari. b) Tergantung daripada lintasan bumi terhadap matahari. c) Tergantung daripada frekuensi gelombang radio yang dipancarkan, antenna dan lain-lain. d) Tergantung dari macamnya polarisasi gelombang. e) Tergantung dari daerah.dimana pesawat pemancar dan penerima berada.
Semua
sistem
ini
menggunakan
pemancar
sebagai
alat
untuk
menghasilkan sinyal yang disalurkan melalui saluran transmisi ke antenna pemancar
dimana
selanjutnya
dipancarkan
dalam
bentuk
gelombang
elektromagnetik. Dari sini dimulailah penjalaran gelombang serta perubahanperubahan yang terjadi sepanjang transmisi. Kemudian sinyal dikirim ke pesawat penerima dengan melalui saluran transmisi, untuk selanjutnya diubah menjadi bentuk kode, suara, gambar dan lain-lain, seperti bentuk semula.
7
Tenaga listrik dari sinyal, oleh antenna pemancar diubah menjadi tenaga gelombang elektromagnetik yang kemudian dipancarkan ke segala arah oleh jenis antenna omnidirectional. Sehingga kekuatan radiasi yang dipancarkan pada satu arah tertentu hanyalah sebagian kecil dari seluruh tenaga yang dipancarkan oleh antenna pemancar.
2.5
Jalannya Gelombang Jalannya gelombang elektromagnetik di udara banyak persamaan dengan
jalannya ombak air yang berada di dalam bak atau kolam. Jika sebuah batu dijatuhkan ke dalam bak yang berisi air maka timbullah gelombang air dan gelombang tersebut berjalan dari titik dimana batu tersebut jatuh, terus menuju ke semua arah pada permukaan air, sehingga membentuk suatu lingkaran yang makin lama jari-jarinya makin membesar.
2.5.1 Amplitudo Gelombang Yang dimaksud dengan amplitudo gelombang adalah jarak antara puncak gelombang dengan permukaan rata. Dari pandangan kita adalah nampak jelas bahwa amplitudo dari gelombang di tempat jatuhnya batu tersebut adalah paling besar dibandingkan dengan amplitude-amplitude dari gelombang yang letaknya semakin jauh dari tempat jatuhnya batu tersebut. Semakin jauh gelombang tersebut dari tempat jatuhnya batu, semakin kecil pula amplitudonya.
2.5.2
Panjang Gelombang (λ). Meskipun amplitudo dari gelombang-gelombang tersebut makin jauh
makin kecil, akan tetapi jarak antara puncak yang satu dengan yang lain adalah tetap sama. Jarak antara puncak yang satu ke puncak yang lain atau jarak dari lembah yang satu ke lembah yang lain inilah yang disebut panjang gelombang (λ). Pada gelombang elektromagnetik, gelombang dipancarkan terus-menerus selama pesawat pemancar bekerja. Pada gelombang air yang disebabkan oleh batu yang dijatuhkan ke dalam air, gelombang tersebut merambat secara radial dan amplitudonya makin lama makin kecil dan hilang.
8
2.5.3 Frekuensi Gelombang Banyaknya gelombang yang dipancarkan tiap satu detik disebut frekuensi, gelombang tersebut. Disingkat dengan huruf (f). Untuk mencari suatu panjang gelombang bisa digunakan rumus seperti dibawah ini :
λ=
c f
Dimana :
λ adalah panjang gelombang (m)
f adalah frekwensi dalam Hz
c adalah konstanta (3.108 m/s).
(2.2)
BAB III RAINDROP SIZE DISTRIBUTION (DSD) 3.1.
Pengertian DSD Raindrop size distribution (DSD) merupakan distribusi butiran hujan
untuk setiap ukuran tertentu per satuan volume pengamatan. DSD ini adalah sebuah parameter dasar daripada hujan, dimana semua parameter hujan merupakan fungsi daripada DSD. Karena attenuasi gelombang mikro oleh air hujan sebanding dengan DSD, maka pengetahuan akan DSD merupakan hal yang penting untuk memperbaiki keakuratan pemodelan attenuasi.
3.2
Pemodelan DSD Dalam permodelan DSD ini distribusi yang digunakan adalah fungsi
gamma, dengan bentuk :
N ( D ) = N 0 D m exp( − ΛD ) ,
(3.1)
Dimana :
N(D) adalah DSD dalam mm-1m-3
N0 adalah intercept (mm-1-mm-3)
m adalah shape
D adalah diameter butiran hujan (mm)
Λ adalah slope (mm-1), sebagai parameter (Ulbrich, 1983).
3.2.1 . Metode High Orde Moment Parameter untuk menghitung dengan metode momen orde tinggi (M3,M4, M6) adalah dengan nilai x1 = 3, x2 = 4, dan x3 = 6. Parameter hujan dalam fungsi DSD sebagai distribusi gamma dapat ditulis sebagai berikut :
10
∞
M x = ∫ D x N ( D)dD ,
(3.2)
0
Dimana :
M adalah metode yang digunakan yaitu High Orde Moment.
x adalah nilai pangkat momen orde yaitu x1 = 3, x2 = 4, x3 = 6
N(D) adalah fungsi gamma
D adalah diameter butiran hujan (mm)
3.2.2
Metode Low Orde Moment Parameter untuk menghitung dengan metode momen orde rendah (M2,
M3, M4) dengan nilai x1 = 2, x2 = 3 dan x3 = 4. Parameter hujan dalam fungsi DSD sebagai distribusi gamma dapat ditulis sebagai berikut : ∞
M x = ∫ D x N ( D)dD ,
(3.3)
0
Dimana :
3.3
M adalah Metode yang digunakan yaitu Low Orde Momen..
x adalah nilai pangkat momen orde yaitu x1 = 2, x2 = 3, x3 = 4
N(D) adalah fungsi gamma
D adalah diameter butiran hujan (mm)
Attenuasi Gelombang Elektromagnetik oleh air hujan Koefisen attenuasi oleh hujan menggunakan DSD dalam satuan decibels
per kilometer digambarkan oleh persamaan berikut: ∞
A = 4.343 x 10
-3
∫ N (D)σ 0
ext
( D, m, λ )dD ,
(3.4)
11
Dimana :
A adalah attenuasi gelombang (dB/km)
λ adalah panjang gelombang
m adalah indek bias butiran air hujan.
σext adalah extinction cross-section dari air (bundar)
D (mm2) adalah diameter butiran.
N(D) adalah fungsi gamma
Extinction cross-section dihubungkan dengan efficiencies for extinction sebagai berikut :
σ ext = Qext .πa 2 ,
(3.4)
Dimana :
σext adalah extinction cross-section dari air
a adalah jari-jari partikel (butiran hujan).
π = 3,14
Extinction cross-section di dalam penelitian ini akan dihitung dengan menggunakan
Mie
Sacttering
calculator
yang
sudah
tersedia
online
(http://omlc.ogi.edu/calc/mie_calc.html).
3.4 Aplikasi dalam prediksi attenuasi. Kemampuan dari dua metode ini akan diuji bagaimana pengaruhnya di dalam memprediksi attenuasi oleh hujan. Di dalam tugas akhir ini akan dilihat attenuasi pada gelombang dengan frekuensi 10 GHz, 15 GHz dan 30 GHz.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
DSD Simulasi Pentingnya penelitian mengenai butiran hujan telah memotivasi banyak
peneliti dan insinyur diberbagai bidang untuk mengembangkan alat untuk mengukur butiran hujan secara atraktif dan informatif. Di antara dua alat yang umum digunakan adalah: 1. Joss-Wadvogel Disdrometer; JWD; (Joss and Waldvogel (1969). 2. Video Disdrometer Dua Dimensi; 2DVD; (Schoenhuber et al. 1997). Secara sederhana prinsip semua alat yang ada adalah menghitung jumlah butiran hujan untuk setiap ukuran yang melewati daerah pengukuran (measuring area) dalam kurun waktu tertentu. Setelah semua butiran dalam berbagai ukuran terekam dengan sensor yang digunakan maka untuk mendapatkan DSD, butiran ini dikelompokkan ke dalam kelas tertentu sesuai dengan kelompok ukuran yang ditetapkan oleh pengguna alat yang bersangkutan, misalnya butiran dalam ukuran 0.0 ≤ D < 0.1 mm di kelompokkan ke dalam kelas pertama dan butiran dengan ukuran 0.1 ≤ D < 0.2 mm di kelompokkan dalam ukuran kedua, dan seterusnya. Dengan contoh ini berarti DSD yang dihasilkan memiliki lebar kelas 0.1 mm. Pada tugas akhir ini penulis tidak mempunyai akses data hasil pengukuran ,oleh karena itu digunakan data butiran hujan yang disimulasikan dengan komputer. Seperti halnya data pengukuran, butiran yang secara acak disimulasikan mengikuti distribusi gamma dikelompokkan juga ke dalam kelas – kelas dengan lebar kelas 0.1 mm. Ukuran butiran paling besar yang digunakan di adalah 8 mm. Input parameter dari DSD yang disimulasikan adalah :
m=2
λ=6
NT atau jumlah butiran = 100 dan 1000.
13
4
10
NT = 100 (simulasi) NT = 1000 (simulasi) M2M3M4(fiitting) -1 )
M3M4M6(fitting)
m
3
M2M3M4(fitting)
N (D ) (m m
-3 m
10
M3M4M6(fitting) 2
10
1
10
0
0.5
1 1.5 Diameter butiran(mm)
2
2.5
Gambar 4.1 DSD yang disimulasikan dengan input parameter m = 2, λ = 6 dan jumlah butiran atau NT = 100 dan 1000 serta hasil fitting dari moment M2M3M4 dan M3M4M6.
14
Gambar 4.1 memperlihatkan perhitungan DSD dengan simulasi dan hasil fitting dengan moment M2M3M4 dan M3M4M6. Digunakan jumlah butiran hujan atau NT = 100 dan NT = 1000. Pada saat NT = 100 metode momen orde
rendah (M2M3M4) tampak lebih baik dalam
memodelkan DSD ditunjukkan dengan kurva yang mendekati perhitungan DSD simulasi. Pada saat NT = 1000 metode momen orde rendah (M2M3M4) juga memperlihatkan hasil yang mendekati perhitungan DSD simulasi khususnya pada diameter butiran yang kecil (< 0.5 mm). Sementara pada diameter butiran yang lebih besar (. 0.5 mm) memperlihatkan hasil cenderung sama Jadi terlihat bahwa dua DSD (NT = 100 dan NT = 1000), metode momen orde
rendah (M2M3M4) tampak lebih baik dalam
memodelkan DSD, khususnya pada diameter butiran yang kecil (< 0.5 mm). Pada ukuran butiran yang besar, kedua metode memperlihatkan hasil yang hampir sama terutama pada DSD dengan jumlah butiran yang besar (1000).
4.2
Applikasi di dalam memprediksi attenuasi oleh hujan
Di dalam telekomunikasi baik dengan satelit ataupun dengan sistem yang lain, attenuasi atau pelemahan gelombang dapat dihitung dengan membandingkan antara sinyal yang dikirim dan yang diterima. Butiran hujan akan sangat mempengaruhi gelombang elektromagnetik di atas 10 GHz. Oleh karena itu di dalam penelitian ini akan diteliti bagaimana pengaruh pemilihan metode momen di dalam memperkirakan attenuasi oleh hujan untuk beberapa frekuensi di atas 10 GHz. Attenuasi akan sangat dipengaruhi oleh indek bias dari butiran hujan. Indek bias butiran hujan dihitung dengan metode yang dikembangkan oleh Ray (1972). Indek bias terdiri atas bagian ril dan imajiner.
15
Tabel 4.1 memperlihatkan indek bias butiran hujan untuk frekuensi 10 – 30 GHz pada temperatur 25oC.
Tabel 4.1 Indek bias butiran hujan untuk frekuensi 10 – 30 GHz pada temperatur 25oC. Frequency
Bagian ril indek bias
Bagian imajiner indek bias
GHz)
(n’)
(n”)
10
8.12982
1.845184
11
8.006861
1.97109
12
7.880968
2.085442
13
7.753356
2.188676
14
7.625082
2.281338
15
7.497048
2.36404
16
7.370009
2.43744
17
7.244585
2.502213
18
7.121272
2.559033
19
7.000461
2.608558
20
6.88245
2.65142
21
6.767454
2.688219
22
6.655625
2.719518
23
6.547056
2.74584
24
6.441798
2.767669
25
6.33986
2.785451
26
6.241226
2.79959
27
6.145854
2.810458
28
6.053684
2.818391
29
5.964642
2.823694
30
5.878645
2.826643
Penulis tidak menghitung parameter tersebut secara manual, akan tetapi dihitung dengan menggunakan Mie Scattering Calculator yang sudah tersedia secara online di internet (http://omlc.ogi.edu/calc/mie_calc.html). Jadi tampang lintang butiran hujan dengan diameter maksimal 8 mm untuk setiap frekuensi pada Tabel 4.1 di atas dihitung dengan kalkulator online tersebut.
16
Setelah nilai-nilai fisis untuk menghitung attenuasi diperoleh, maka attenuasi siap dimodelkan dengan menggunakan DSD hasil simulasi (acuan – tanpa fitting) dan DSD hasil fiitting dengan metode M2M3M4 dan M3M4M6. 4.2.1. Attenuasi untuk NT = 100 Dibawah ini adalah nilai attenuasi untuk jumlah butiran air hujan (NT) =
A tten u as i terh itu n g (d B /k m )
0.06
A tten u as i terh itu n g (d B /k m )
0.06
A tten u as i terh itu n g (d B /k m )
100 per menit.
0.06
M2M3M4
(a) 10 GHz
0.04
M3M4M6
0.02 0
0
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
(b) 15 GHz 0.04 0.02 0
0
0.01
(c) 20 GHz 0.04 0.02 0
0
0.01
Attenuasi terukur (dB/km)
Gambar 4.2
17
Memperlihatkan attenuasi untuk beberapa frekuensi yang diperoleh dari DSD tanpa fitting (attenuasi terukur) dan DSD dari fitting (attenuasi terhitung) untuk NT = 100. Gambar 4.2 memperlihatkan attenuasi untuk frekuensi 10 GHz, 15 GHz dan 20 GHz yang diperoleh dari DSD tanpa fitting (attenuasi terukur) dan DSD dari fitting (attenuasi terhitung). DSD pada gambar ini mengandung 100 butiran hujan Dapat kita lihat pada frekuensi 10 GHz nilai attenuasi untuk kedua metode masih kecil. Kemudian pada saat frekuensi 15 GHz nilai attenuasi semakin bertambah. Begitu juga pada saat frekuensi 20 GHz nilai attenuasinya semakin tinggi. Jadi jelas terlihat bahwa nilai attenuasi sebanding frekuensi yang kita gunakan. Secara umum attenuasi dari DSD yang dihitung dengan dua metode momen memperlihatkan korelasi yang baik. Dimana tingkat error pada saat penghitungan attenuasi NT = 100 sedikit. Oleh sebab itu untuk melihat lebih jauh pengaruh penggunaan metode momen terhadap tingkat error pada perhitungan attenuasi maka digunakan jumlah butiran air hujan yang lebih banyak yaitu NT = 1000.
18
4.2.2
Attenuasi untuk NT = 1000 Untuk DSD yang mengandung jumlah butiran lebih besar (NT=1000),
A ttenuasi terhitung (dB /km )
0.4
A ttenuasi terhitung (dB /km )
0.4
A ttenuasi terhitung (dB /km )
nilai attenuasi diperlihatkan pada Gambar 4.3.
0.4
(a) 10 GHz
0.3 0.2 0.1 0
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
(b) 15 GHz
0.3 0.2 0.1 0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
(c) 20 GHz
0.3 0.2
M2 M3 M4
0.1
M3 M4 M6
0
0.4
0.1
0.15
0.2
0.25
Attenuasi terukur (dB/km)
Gambar 4. 3.
0.3
0.35
0.4
19
Memperlihatkan attenuasi untuk beberapa frekuensi yang diperoleh dari DSD tanpa fitting (attenuasi terukur) dan DSD dari fitting (attenuasi terhitung) untuk NT = 1000. Seperti halnya pada gambar 4.2, di gambar 4.3 juga dapat kita lihat peningkatan nilai attenuasi seiring dengan peningkatan frekuensi yang digunakan. Sementara untuk NT = 1000 ini terlihat bahwa hasil perhitungan dengan metode M3M4M6 tingkat error lebih tinggi. Sedangkan M2M3M4 tingkat errornya sangat sedikit sekali Dan terlihat beberapa data dari metode momen M3M4M6 sangat besar nilainya dari attenuasi terukur (tanpa fitting). DSD di alam biasanya mengandung butiran antara 10 - 105 butiran/m3 (Gordon and Marwitz (1984), oleh karena itu nilai attenuasi yang diperoleh di alam tentu lebih besar dari hasil model ini yang hanya membahas DSD dengan jumlah butiran 100 dan 1000 saja. Walaupun demikian, tujuan tugas akhir ini adalah untuk melihat pengaruh penggunaan metode momen dalam memodelkan DSD serta pengaruhnya dalam memprediksi attenuasi gelombang elektromagnetik oleh butiran hujan. Dan dapat kita lihat bahwa metode momen M2M3M4 memberikan nilai yang lebih baik.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Setelah penulis melakukan penelitian yang berjudul “Perbandingan LowOrder Moment dan High-Order Moment untuk Memodelkan Distribusi Butiran Hujan dan Implikasinya Bagi Perkiraan Attenuasi Gelombang Elektromagnetik oleh Hujan” maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Pada gambar 4.1 terlihat bahwa dalam memodelkan DSD, metode moment orde rendah (M2M3M4) lebih baik dari metode moment orde tinggi (M3M4M6), dimana metode M2M3M4 hasilnya lebih mendekati ke hasil pengukuran (simulasi) dibandingkan dengan metode M3M4M6. 2. Pada gambar 4.2 dan gambar 4.3 metode momen orde rendah (M2M3M4) tingkat error didalam penghitungan attenuasi gelombang elektromagnetik lebih sedikit dari pada metode moment orde tinggi (M3M4M6). 3. Pada gambar 4.2 dan 4.3 terlihat bahwa semakin besar nilai frekuensi yang digunakan maka attenuasi gelombang elektromagnetik yang dihasilkan akan semakin besar.
21
5.2. Saran Dari hasil penelitian ini penulis berharap di masa depan pemodelan DSD perlu diuji dengan data DSD hasil pengukuran di lapangan tidak hanya dengan membandingkan dari hasil DSD simulasi.
DAFTAR PUSTAKA
C. F. Bohren and D. R. Huffman, Absorption and Scattering of Light by Small Particles, New York, USA: John Wiley & Sons, Inc, 1983 .
Kozu
and K. Nakamura, Rainfall parameter estimation from dual radar measurements
combining
reflectivity
profile
and
path-integrated
attenuation, J. Atmos. Oceanic Technol., 8, pp. 259-271, 1991.
G. Marsaglia and W.W. Tsang, A simple method for generating gamma variables, ACM Transactions on Mathematical Software, Vol. 26, No. 3, Pages 363-372, September, 2000.
Marshall, J. S. and W. Mck. Palmer, The distribution or raindrop with size, J. Meteor., Vol. 5, pp. 165-166, august 1948.
Ulbrich, C. W, Natural variations in the analytical form of the raindrop size distribution. J. Climate Appl. Meteor., 22, 1764-1775. 1983.
23