#28 The Sickness (Penyakit) Terbit Juni 1999, ghostwriter Melinda Metz Quote sampul depan : “Cassie akan melakukan sebuah perubahan untuk membuat segalanya menjadi lebih baik...”
Translated by Nat. 2009
[email protected]
Chapter 1 Namaku Cassie. Kuharap aku bisa memberitahu nama lengkapku. Karena artinya aku ini hanya gadis baik-baik yang normal. Tapi aku tidak begitu. Tidak baik. Tidak normal Oke, teman-temanku pikir aku baik. Marco selalu memanggilku pemeluk-pohon. Dan meskipun aku sebenarnya tidak memeluk pohon-pohon, aku memang peduli pada mereka. Fakta yang membuatku semakin baik, ya kan? Gadis yang peduli pada pohon seharusnya baik hati. Kalau gadis itu tidak pernah merobek leher makhluk hidup dengan gigi-gigi telanjang. Aku pernah melakukannya. Aku sedang morf menjadi serigala, tenggelam dalam pertarungan. Tujuh Hork-Bajir melawan enam anggota kami. Jake memberikan perintah untuk mundur. Dan entah sebelum atau sesudah dia mengatakan itu, aku mencabik leher Hork-Bajir yang sedang bertarung denganku. Kuharap sebelum. Kuharap aku tidak mengijinkan diriku sendiri mencabut nyawa disaat aku bisa saja pergi kabur. Tapi aku tidak yakin. Itulah alasan mengapa aku tidak mengkategorikan diriku ‘baik’. Mungkin kamu sudah mendapat petunjuk mengapa aku tidak bisa dikategorikan sebagai ‘normal’. Singkatnya : Seorang pangeran Andalite bernama Elfangor memberikan kekuatan untuk morf kepadaku dan empat teman-temanku. Dia tahu dia akan mati, dan dia tidak mau meninggalkan Bumi begitu saja di tangan Yeerk. Dia memperlihatkan sebuah kubus biru kecil kepada kami. Kami menyentuhnya. Dan kami berubah. Kubus morf itu lenyap selama beberapa waktu. Sekarang kami memilikinya lagi. Kami menggunakannya sekali, untuk menambah Animorphs baru dalam grup. Lalu kami harus mengurangi Animorphs baru itu. Dan sejak saat itu kami menyembunyikan kubus birunya. Sejak malam itu di tempat pembangunan terbengkalai, sejak perubahan itu, lima dari kami, ditambah adik laki-laki Elfangor, berjuang melawan Yeerk. Yeerk adalah parasit. Yeerk memasuki tubuh induk semang mereka melalui liang telinga, memipihkan tubuhnya sampai dia mencapai otak, dan mengambil alih secara total. Induk semang tidak bisa menggaruk bagian yang gatal kecuali Yeerk mereka mengizinkannya. Kami menyebut orang-orang yang sudah dikontrol sebagai Pengendali. Kamu pasti berpikir bahwa para Yeerk benar-benar jahat. Tapi biarkan aku memberitahumu bagaimana rasanya menjadi Yeerk di luar tubuh induk semang. Yeerk itu pada dasarnya berbentuk siput abu-abu. Tanpa tangan, tanpa kaki, tanpa mata, tanpa telinga. Jika seorang Yeerk ingin bebas, bebas untuk benar-benar bergerak, bebas untuk melihat keindahan dunia disekitar mereka, bebas untuk mendengar musik atau bahkan bunyi rintik hujan jatuh
di dedaunan, jika seorang Yeerk menginginkan hal itu, dia harus memiliki induk semang. Jika seorang Yeerk ingin bebas, dia harus memperbudak makhluk lain. Bukan pilihan mudah, ya kan? Aku tahu satu atau dua hal mengenai pilihan sulit. Aku sudah membuat berbagai pilihan sulit sejak aku menjadi seorang Animorph. Dan salah satu yang paling sulit dari semuanya adalah apakah aku memang ingin menjadi seorang Animorph. Karena aku tahu nanti saat –jika– segalanya telah berakhir, mungkin sudah terlalu terlambat bagiku untuk menjadi baik dan normal lagi. Seperti yang pernah kukatakan, aku tahu satu atau dua hal mengenai piliahn sulit. “Jadi, Cassie, ini plihanmu. Kalau kamu terdampar di pulau nggak berpenghuni, siapa yang kamu pilih untuk menemanimu – Baby Spice1 atau Marco?” Tanya Rachel saat kami duduk di bangku kantin kami yang biasa. “Hah?” Tanggapan apa lagi yang bisa kukeluarkan dari pertanyaan itu? “Permainan pulau tak berpenghuni,” jawab Rachel. “Kamu pilih dua orang menyebalkan. Lalu pilih lagi salah satu dari mereka yang paling bisa kamu toleransi kalau kalian berdua terdampar di pulau tak berpenghuni.” Aku melirik Marco di seberang kafetaria. Dia dan Jake sedang duduk di meja dekat jendela. “Marco nggak – “ aku memulai. Rachel mencengkram lenganku. “Hei, shush. Coba dengar Allison dan Brittany,” dia berbisik. Aku mengambil yoghurtku dari tas dan mencoba menguping tanpa terlihat sedang melakukannya. Allison dan Brittany duduk di ujung berlawanan meja kami. “Mungkin aku harus mengajaknya ke pesta dansa,” kata Allison. Ini yang Rachel mau aku dengarkan? “Lakukan saja,” Brittany mendesak. “Jake memang sudah jadi cute banget.” Tunggu. Apa dia bilang Jake? Si Jake? Atau Jake yang lain? Aku memperhatikan Brittany dan Allison sekilas. Mereka berdua sedang memandangi Jake. Jake yang itu, pemimpin Animorphs. Jake-ku. Sekarang mungkin kamu sedang membayangkan kami berdua berjalan di sekolah bergandengan tangan, mungkin berciuman di dekat locker sebelum kelas dimulai. Tapi sebenarnya tidak seperti itu. Hubungan kami lebih kepada bagian dalamnya. Kami hanya pernah berciuman sekali. Meskipun aku akan senang kalau hal itu terjadi lagi. Tapi kebanyakan orang di sekolah tidak tahu kami jadian. Tentu saja.
1
Aliasnya Emma Bunton, anggota termuda Spice Girls. Disebut Baby Spice gara-gara suka pake baju baby doll.
“Hei, Allison. Hei, dengarkan aku sebentar.” Allison menoleh dan Rachel menggelengkan kepalanya pelan-pelan. “Uh-uh. Jangan pernah memikirkan hal itu. Jake punya Cassie.” Mukaku memanas saat Brittany dan Allison mulai memandangiku dari atas ke bawah. Aku tidak cantik seperti Rachel. Dan kuakui kadang-kadang jeans-ku ternodai kotoran burung. Aku menghabiskan banyak waktu membantu ayahku di Klinik Satwa Liar yang terletak di gudang jerami kami, dan burung, selayaknya burung, memang membuang kotoran. Tapi hal itu tidak penting bagi Jake. Aku tahu bagaimana perasaannya terhadapku. Allison mengedikkan rambut merahnya yang diikat ekor kuda ke belakang bahunya. “Kelihatannya Jake dan Cassie nggak sedang jadian,” dia memberitahu Rachel. “Dia duduk di sana. Cassie di sini. Di sana, di sini. Jauuuuuuh di sana, berlawanan dengan tepat di sini.” “Yeah,” Brittany menimpali. “Memangnya Jake sudah mengajakknya ke pesta dansa?” Mereka bahkan tidak bertanya padaku. Mereka berlagak seolah-olah aku ini tembus pandang. Aku sudah terbiasa akan hal itu. Rachellah yang selalu hidup dengan lampu sorot pribadi menyala setiap waktu. “Pesta dansa? Tentu saja dia mengajaknya ke pesta dansa,” kata Rachel. Lalu dia berdiri dan mengambil yoghurtku di satu tangan, tasku di tangannya yang lain. “Allison, Brittany, kami, Cassie dan aku, akan pergi ke sana. Jauuuuuuh ke sana.” Rachel berjalan melintasi kafetaria menuju Marco dan Jake. Aku tidak punya pilihan lain selain mengikutinya. “Kamu dan sepupuku bikin aku pingin melempari kalian,” katanya dari balik bahu. “Jake bisa menghadapi kematian tiap hari, tapi dia nggak bisa mengajak cewek ke pesta dansa. Dan kamu juga nggak lebih baik.” “Aku? Memangnya apa yang harus kulakukan?” Aku memprotes. “Ampun, deh. Bahkan Allison si Kepala Kosong tahu,” kata Rachel. Rachel duduk di sebelah Marco. Dia meletakkan yoghurtku di sebelah Jake. Aku paham maksudnya dan duduk di sebelahnya. “Kita semua pergi ke pesta dansa malam Kamis,” Rachel memberitahu Jake. “Dan kamu bareng Cassie.” Jake tersedak makaroni sapinya. Marco memukul-mukul punggungnya. “Jadi, Rachel, kayaknya berarti kamu juga butuh pasangan, huh?” Kata Marco. “Aku bisa meluangkan waktu dari jadwalku yang padat.” “Lihat itu! Babi terbang!” Rachel berseru. Lalu, “Oh, sori, aku salah lihat. Kupikir tadi aku melihat babi terbang. Tapi ternyata nggak. Dan aku akan pergi denganmu hanya setelah aku melihat babi terbang.”
Jake memulihkan diri. Mukanya merah padam. Aku menunggu dia mengatakan bahwa kami tidak akan pergi ke pesta dansa. Kupikir dia akan memerintahkan kami semua menghabiskan malam itu mengawasi Yeerk atau apa. Tapi Jake hanya tersenyum kepadaku. “Kita bisa melewatkan malam itu melakukan sesuatu yang enak dan normal.” “Oh man,” Marco mengerang. “Apa?” “Tiap kali kita mencoba melakukan hal yang enak dan normal biasanya selalu berakhir menjijikkan dan aneh,” ujarnya. “Tiap kali.”
Chapter 2 Pesta dansa. Bayangkan musik keras. Bayangkan keripik dan saus celup dan semangkuk snack campur. Bayangkan pencahayaan yang redup, dekorasi yang menjulur-julur, guru-guru berkumpul di luar toilet mendiskuksikan apakah mereka harus melakukan mogok kerja. Bayangkan cowok sebagian besar berkumpul dengan cowok, cewek sebagian besar dengan cewek. Tapi dengan banyak kontak mata. Bukan tempatku, sebenarnya. Rachel sudah memaksaku memakai gaun. Dia menyeretku ke mall, memakaikan baju seakan aku adalah boneka Barbie pribadinya. Aku menggunakan sepatu yang tidak akan bisa kupakai berlari. Bahkan ada make-up di wajahku. Aku merasa sebagai orang aneh terbesar yang paling mencolok dari sejarah orang aneh. “Ax-man, seseorang sedang mengecekmu,” kata Marco. Aku tidak kaget Ax mendapat perhatian. Morf manusianya memang cute. Lebihkepada cantik daripada cute, sih. “Ah, nggak. Dia sedang mengecekku,” ujar Tobias. Dia melirik Rachel dengan cepat untuk melihat apakah dia suka kalau ada gadis lain yang memandanginya. “Uh-huh. Mungkin setelah pesta dansa kamu bisa mengajaknya balik ke pohonmu,” kata Rachel, mengedip-ngedipkan matanya pada Tobias. Tobias tertawa. “Hei, cewek-cewek akan tergila-gila pada bulu-bulunya, bay-beeee.” Dia tertawa lagi. “Sori. Ada Austin Powers di TV Ax kemarin malam.” Aku melihat Allison. Marco benar. Dia sedang memerhatikan Ax. Mungkin dia berpikir kalau dia tidak bisa mendapatkan Jake, dia akan mencoba menarik perhatian cowok baru manis ini. Bukannya Tobias tidak manis. Dan dia mungkin bisa dibilang cowok baru. Dia pernah sekolah disini untuk sementara, sewaktu dia masih manusia. Sebelum dia terperangkap di tubuh elang ekormerahnya. Sekarang tidak seorangpun kelihatan mengenalinya. Tapi memang, dia benar-benar berbeda dari orang yang dulu sering dijahili anak-anak iseng. Dia tidak memancarkan getaran-getaran ‘akusangat-tidak-berdaya-jadi-ayo-ancam-aku’ lagi. Sebagian hal itu disebabkan karena dia menjalani hidup dimana saat-saat baik juga berbahaya. Sebagian karena dia sudah lupa bagaimana cara mengekspresikan emosi lewat mimik wajahnya. Tersenyum saat dia sedang bahagia tidak lagi alami baginya, karena elang tidak tersenyum. Sekarang saat orang-orang melihat Tobias, mereka akan menyadari keganjilan wajahnya yang datar, bukan wajahnya sendiri. Bahkan saat dia tertawa dia tidak benar-benar tersenyum. “Mengecekku? Apa artinya?” Tanya Ax.
“Artinya cewek disana itu punya hasrat pada wujudmu,” Marco memberitahunya. “Artinya dia menginginkan tubuhmu.” Ax mulai terlihat gugup. “Tubuhkuuu? Tubuh, tubuh, tubb-uhhhh?” Normalnya Ax tidak memiliki mulut. Dalam morf manusia, dilengkapi mulut, Ax bisa terlihat… tidak biasa. “Dia sudah bergerak,” kata Marco pada Ax. “Tapi kalau kamu mau menyingkirkannya kamu tinggal ucapkan ‘tubb-uhhhh’ seperti tadi beberapa kali.” “Turb-uhh. T-buh,” kata Ax, melanjutkan bermain dengan bunyi-bunyian. Tentu saja jika Allison tahu wujud asli Ax, dia akan kabur menjerit-jerit ke arah lain. Tubuh Andlite Ax memang aneh. Aneh dan cantik dan mengintimidasi, juga. Bayangkan ini : tubuh biru-dan-kecoklatan berwujud rusa, ekor kelajengking besar, sepasang lengan yang kurus, kepala manusia tanpa mulut, dan dua bola mata ekstra di pucuk semacam tangkai – mata pengintai. Allison berhenti di depan Ax. Dia tersenyum dan mengedikkan kepalanya. “Hai. Aku ingin tahu kalau, kamu tahu, mau dansa?” Ajak Allison. Ax mengangguk. “Aku bisa menggerakkan kuku-kuku buatanku mengikuti musik denganmu. Tapi kamu tidak bisa mengambil tubuhku. Tubuh. Ku. Tubuhk. U.” Allison mundur. “Ah. Oh. Tahu nggak? Temanku memanggilku,” katanya. Lalu dia kabur. Aku tertawa nyaris histeris. Tidak bisa kucegah. Ekspresi Allison tadi sangat – “Tu. Buuh,” Ax mengulangi. “Aku suka waktu lidahku mengenai bagian depan mulutku ketika aku melafalkan suku kata itu. Tu. Oh! Makanan! Apa mereka punya olahan lezat lemak, garam dan gula disini?” Ax juga suka menggunakan mulutnya untuk makan. Ke tingkat yang berbahaya. Kadang waktu aku melihat Ax bermain-main dengan indra pengecap aku jadi kepikiran tentang para Yeerk. Saat mereka memasuki tubuh induk semang mereka dihantam ribuan sensasi baru. Aku tidak bisa membayangkan rasanya seperti apa. Aku harus mempersempit kemungkinankemungkinannya dulu. Ambil satu contoh, seperti warna. Lalu aku akan menutup mataku dan mencoba berpikir bahwa aku tidak pernah melihat warna seperti apapun. Saat aku membuka mataku, kumpulan warna-warna disekitarku membuatku pening. Dan warna hanyalah salah satu dari apa yang bisa dilihat oleh indra penglihatan. Dan penglihatan hanyalah salah satu dari berbagai indra yang bisa Yeerk rasakan dalam tubuh induk semang. Aku tidak merepotkan diri memberitahu teman-temanku tentang pemikiranku ini. Tidak satupun dari mereka tertarik memperhitungkan kebahagiaan yang bisa didapat seorang Yeerk dalam tubuh induk semang. Bukannya aku menyalahkan mereka, sih.
Yeerk adalah musuh. Lebih gampang melakukan tugas kami kalau pikiran kami terpatri pada pemahaman bahwa Yeerk adalah jahat. Kejahatan murni. Aku menggelengkan kepalaku dan menasehati diri bahwa pesta dansa bukanlah tempat untuk berfilosofi. Terlebih lagi ini semcam kencan pertamaku dengan Jake. Kencan yang melibatkan gaun betulan. Dan make-up. Aku kembali bergabung dengan obrolan. “Baby Spice atau Oprah?” Marco sedang berkata, mengamati Rachel dengan penuh perhitungan. “Memangnya Oprah kenapa?” “Dia ada di daftar orang-orang yang sudah terlalu sering kudengar.” “Kamu punya daftar?” Tanya Tobias skeptis. Aku tersenyum. Percakapan yang bodoh, normal dan tak ada juntrungannya. Enak juga jadi normal sekali-kali. Jake pasti merasakan hal yang sama. Pandangan kami bertemu. “Mau dansa?” “Aku nggak terlalu pintar dansa,” kataku. “Aku dansa kayak penebang pohon,” kata Jake. “Kayak penebang pohon yang sudah menebang satu kakinya,” Marco menimpali. “Kayak Penebang pohon satu kaki yang kaki sebelahnya itu batang pohon dan – “ Jake mengambil tanganku dan menarikku ke lantai dansa. Lantai dansa yang sebenarnya adalah lapangan basket. Lalu aku berdansa. Dengan Jake. Aku berputar kecil karena senang. Apa salah kalau aku berharap semua orang melihat? Terutama Allison? Kalaupun itu salah, itulah kenyataannya. Aku menyukai ide semua orang tahu bahwa aku, Cassie yang jeansnya-suka-ada-kotoran-burungnya, jadian dengan Jake. Jake tersenyum padaku. Dia punya senyum yang bagus, walaupun suka kelihatan agak aneh terpampang di wajahnya. Hanya karena dia biasanya sangat tertekan, memutuskan pilihan hidup-danmati bagi kami semua. Membuat lebih banyak pilihan sulit daripada yang pernah atau akan kubuat. Aku tersenyum balik, dan berputar sekali lagi. Aku melihat Ax, Marco, Rachel, dan Tobias berdansa dalam satu grup di dekat kami. Kuharap Rachel dan Tobias mendapatkan kesempatan untuk memisahkan diri dan berdansa berduaan saja. Aku mencoba menarik perhatian Rachel. Kupikir mungkin aku bisa memberi semacam tanda bahwa dia dan Tobias seharusnya tidak menghabiskan malam ini hanya bersama Ax dan Marco. Tapi perhatian Rachel tertuju sepenuhnya pada Ax. Dengan ekspresi ngeri dan terkejut. Apa yang salah? Aku melemparkan pandangan pada Ax, dan merasakan ekspresi wajahku melebur ke bentuk yang sama seperti Rachel.
Kepala Ax! Benjolan di kepala Ax berdenyut seirama dengan musik. “Kita punya masalah,” aku berbisik pada Jake.
Chapter 3 Jake dan aku menembus tubuh-tubuh yang sedang berputar, berjingkrak-jingkrak dan bergoyang. Ketika kami sampai di tempat mereka, Marco sudah melepaskan baju flanelnya. Dia mulai melipatnya menjadi bandana tepat saat – Boing! Mata pengintai Ax muncul dari benjolan tersebut. Aku dengan cepat meneliti seisi gym. Apa ada yang lihat? Tidak. Semuanya sedang sibuk berdansa. Atau berharap ada yang mau mengajak mereka berdansa. Atau memberanikan diri mengajak seseorang berdansa. Rachel merebut baju itu dari tangan Marco dan membalutkannya ke sekeliling kepala Ax. Dan satu hal mengenai Rachel, bahkan dalam krisis sekalipun : bandananya kelihatan keren. “Ax, kamu mulai demorf. Kamu harus berhenti,” Jake memberitahunya. Ax terkikik. “Demorf. Dee, dee. Bunyi mulut yang sangat menyenangkan. Dee!” “Dia mengigau,” kataku. Aku merasakan adrenalin mulai terpompa ke sekujur tubuhku. Situasi ini benar-benar buruk. “Dee lagi,” kata Ax bahagia, bergoyang. Aku mendengar suara desiran. Sejumput bulu biru tumbuh di leher Ax. “Ruangan perlengkapan seharusnya kosong,” kata Jake. “Sebelah kanan ruang pel. Sisi yang jauh. Ayo, ayo, ayo!” Kami membentuk lingkaran di sekeliling Ax dan berimpitan melintasi gym yang gelap dan berisik secepat yang kami bisa. Kami mencapai pintu ruang perlengkapan. Aku mencengkram gagang pintunya. Memutarnya. Terkunci. “Lewat jendela ruang locker cowok,” kata Marco. “Dua guru selalu jaga-jaga di sana,” Jake mengingatkannya. “Nggak di tempat cewek,” Rachel memberitahu. “Jalan tepat di belakang meja minuman. Antrian didepannya bisa menutupi kita sedikit,” perintah Jake. “Kamu bilang nggak ada guru yang patroli di ruangan locker cewek?” Tuntut Marco. “Nggak adil banget!” Kami merepet diantara meja minuman dan dinding, setiap dari kami memegangi Ax dengan satu tangan.
“Kita ketemu di lapangan parkir,” kata Jake saat kami mencapai ruang locker. Dia, Marco dan Tobias melepaskan Ax dan berbalik ke pintu keluar utama. Aku mendorong pintu terbuka. Dan Brittany dan Allison berjalan keluar dalam kabut parfum Love’s Baby Soft. “Dia mau tubuhku! TBUUH! TBUUH!” Ax menjerit ngeri. Dia memberontak pergi dariku dan Rachel lalu berlari secepat kilat ke pintu keluar utama. “Dia menuju Chapman dan Mr. Tidwell,” Rachel mengeluh. Wakil kepala sekolah Chapman. Pengendali yang populer. Dan Mr. Tidwell. Guru paling galak di sekolah. Kami memburu Ax. Dan berhasil mengejarnya tepat saat Chapman menangkap lengannya. Turban baju flannel Ax sudah longgar dari aksinya berlari-lari di gym. Satu gelengan kepala bisa mengirim kain itu menggeletak di lantai. Memberikan Chapman pemandangan berupa mata pengintai Ax. Pemandangan yang fatal. “Dia jelas sekali sudah minum-minum,” kata Mr. Tidwell. “Aku tahu anak ini. Aku akan panggil orangtuanya.” Sebelum Chapman bisa menjawab, Mr. Tidwell menggiring Ax keluar gym menuju koridor. Kami berjalan mengekor. Chapman menghalangi kami. “Tidak ada yang diperbolehkan keluar gym kecuali pesta dansa selesai atau dengan izin orangtua.” “Kami teman-temannya. Kami punya obatnya,” aku asal bicara. Ax yang sedang mengigau, sendirian bersama Mr. Tidwell, ini tidak bisa terjadi. Chapman mengamati kami selama beberapa waktu. “Dua menit,” katanya. Dia minggir dan kami mendobrak pintu keluar. Kami bertindak tanpa keraguan sedikitpun. Rachel dan Marco memosisikan diri diantara Ax dan Mr. Tidwell. Jake, Tobias dan aku menarik Ax melintasi hall ke air mancur minuman dan menceburkan kepalanya kedalam. Kami mempersempit jarak, mencoba menghalangi pandangan Mr. Tidwell dengan tubuh-tubuh kami. Aku melirik sebentar ke arah Mr. Tidwell. Bagaimana keadaan Rachel dan Marco? Mereka berdiri bahu-ke-bahu di depan Mr. Tidwell, membuat sedikit jarak antara dirinya dan Ax. Setidaknya untuk sekarang. “Dia dari luar kota,” aku mendengar Rachel berbicara saat aku mengembalikan perhatian pada Ax. “Jake tahu apa yang harus dilakukan.” “Obatnya khusus,” Marco menambahkan, frustrasi. “Khusus narkolepsi. Atau epilepsi. Semacam epsi-epsian.”
“Dalam beberapa menit dia akan baik-baik saja,” Rachel berjanji. Sekali lagi aku melirik ke arah mereka. Mr. Tidwell sama sekali tidak bereaksi. Dia memandangi Ax lurus-lurus. Aku membungkuk lebih dalam lagi dan berbisik di telinganya. “Ax, kamu bisa pertahankan morf manusiamu sampai di luar? Seenggaknya sampai kita benar-benar berada di luar?” Ax tidak menjawab. Bibirnya mulai meleleh menjadi satu. “Mr. Tidwell! Beberapa anak di toilet punya bom ceri. Mereka akan meledakkan seluruh tutup kloset!” Teriak Marco. “Akan terjadi pembantaian toilet!” Tidwell tetap tidak mengambil satu langkahpun menuju gym. Tapi Rachel dan Marco mencegahnya bergerak menuju kami. Sejauh ini. Dua kaki tumbuh dari dada Ax. KA-BANG. KA-BANG. Kuku-kuku menabrak dinding keramik di belakang air mancur. Chinkle, pop, chinkle. Keramik dan semen berjatuhan ke air mancul metal. Tidwell mungkin tidak melihat hal itu. Tapi dia pasti mendengarnya. P-p-pop. Bibir Ax membelah. Ax terlihat seperti anak biasa lagi. “Obatnya bekerja,” aku melaporkan. Aku melirik Mr. Tidwell dengan panik. “Kami harus membawanya pulang,” kata Jake keras-keras. Lalu dia merendahkan suaranya. “Sekarang kita bawa dia melewati Tidwell dan ayo berdoa supaya Ax bisa bertahan sampai luar.” Jake berjalan duluan. Tobias dan aku masing-masing memegang lengan Ax dan berjalan di belakang. Pasti akan berhasil. Ax tidak bicara macam-macam atau mulai demorf. Mr. Tidwell tidak meneriakkan apa-apa tentang nomor telepon orangtua kami. Dalam tiga langkah kami akan mencapainya. Dan dalam dua langkah kami sudah akan melewatinya. Satu. Dua. Riiip. Aku tidak suka bunyi itu. Tidak suka sama sekali. Aku menoleh ke belakang bahuku tepat saat ekor kalajengking raksasa Ax merobek celananya, mengayun ke kiri – dan menampar bokong Mr. Tidwell.
Chapter 4 Aku berlari menuju Mr. Tidwell dan menolongnya berdiri. “Anda baik-baik saja?” Tanyaku. Setidaknya Ax menamparnya dengan sisi pisau ekornya. Alternatif lain Mr. Tidwell mungkin bisa memandangi tubuhnya sendiri dari lantai. Mr. Tidwell tidak menjawab. Dia hanya mencengkram lenganku dan membawaku menyusuri hall menjauhi yang lainnya. Apa yang dia lakukan? Mau apa dia denganku? Adrenalin mulai terpompa tadi di gym. Sekarang aku benar-benar bisa merasakannya membentur-bentur dinding pembuluh darahku. Aku memandang ke belakang. Marco dan Tobias meringkuk di sekliling Ax. Jake sedang menahan Rachel agar tidak mengikutiku. “Jangan katakan apapun,” aku melihat mulutnya berbicara. Aku tahu apa yang sedang mengalir dalam pikiran Jake. Mengalir juga di pikiranku, soalnya : Tidwell tidak bisa tahu. Tidak bisa. Semahal apapun harganya. “Kami benar-benar harus membawa teman kami – “ aku memulai saat Mr. Tidwell menarikku berhenti. “Jangan. Aku tahu temanmu itu Andalite,” dia memberitahuku, suaranya kalem dengan gaya inilah-kenyataannya. Mulutku kering. Kerongkonganku juga. Langsung jadi padang pasir. Aku ingin memberitahu Mr. Tidwell aku sama sekali tidak menegrti apa yang sedang dia bicarakan. Tapi aku tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. “Aku juga tahu siapa kamu dan apa kamu ini sebenarnya. Kalian semua,” Mr. Tidwell melanjutkan. Keringat bermunculan di tanganku, dibawah lenganku, dan turun di tengah punggungku. Rasanya seperti seluruh cairan di mulut dan kerongkonganku sudah migrasi. Bermigrasi dan berdupikasi. Mr. Tidwell seorang Pengendali. Tidak ada pertanyaan tentang itu. Dan artinya dia tidak bisa berjalan pergi. Tidak bisa melanjutkan hidup untuk menyakiti kami, menghancurkan kami. Aku bersiap-siap morf. Aku mendengar kuku-kuku Ax menabrak dinding lagi. Tapi aku tidak mengalihkan pandangan dari Mr. Tidwell. Dia terlihat begitu biasa. Rambut coklat keabu-abuan yang menipis. Perut buncit. Kacamata berbingkai kawat. Mata biru sedang. Tapi itulah para Pengendali : mereka bisa terlihat seperti siapa saja. Merekalah siapa saja. “Aku Illim. Aku mengontrol Mr. Tidwell. Kami berdua bergabung dalam gerakan damai Yeerk. Kami mau menyampaikan pesan dari Aftran Sembilan Empat Dua,” dia melanjutkan.
Aku menoleh dan memberikan sinyal aku-oke-beri-waktu-semenit-saja pada Jake. Aku harus mendengar apa yang akan dikatakan Mr. Tidwell. Dia kenal Aftran. Mungkin artinya Mr. Tidwell juga sekutu. Termasuk Illim, Yeerk yang berada dalam kepala Mr. Tidwell, karena kepada dialah aku benar-benar sedang berbicara. Aku merasakan otototot di bahuku merenggang sedikit. Aftran adalah Yeerk yang mebuat persepsiku tentang Yeerk berubah. Aftran membuatku menyadari bahwa para Yeerk merupakan individu tunggal, tidak ada dua yang sama. Dia memaksaku menerima bahwa tidak semua Yeerk merupakan musuh kami. Malam dimana aku merobek leher Hork-Bajir itu, aku juga membunuh saudara laki-laki Aftran. Saudaranya adalah Yeerk yang mengontrol Hork-Bajir itu. Aftran, dalam tubuh Karen, gadis kecil induk semangnya, membuntutiku, berencana menyerahkanku kepada Visser Three. Singkatnya : Aku menyelamatkan nyawanya. Dia menyelamatkan nyawaku. Dan lalu Aftran dengan sukarela kembali menjalani kehidupan sebagai makhluk mirip siput yang buta dan tak berdaya. Dia mengorbankan kebebasannya untuk membebaskan Karen. “Buuh! Tu-BUUH!” Ax berteriak, merenggutku dari pikiranku sendiri. Aku berdehem. “Pesan apa?” “Aftran telah ditangkap petugas keamanan Yeerk,” jawabnya. “Kapan?” Tuntutku. “Apa dia baik-baik saja? Apa yang sudah dia beritahukan kepada mereka? Kenapa Anda tidak menemuiku lebih awal?” Mr. Tidwell mengangkat kedua tangannya. “Aftran masih baik-baik saja sekarang. Dia belum ditanyai,” dia memberitahuku. “Visser Three mau menginterogasinya sendiri.” Onggokan dingin terbentuk di dasar perutku. Interogasi oleh Visser Three berarti siksaan. Aku yakin Aftran akan bertahan selama yang dia bisa. Tapi dia akan berakhir dengan memberitahu Visser Three segala hal yang dia ketahui. Yang merupakan segala hal yang aku ketahui. Aftran sudah pernah berada di dalam kepalaku. Dia sudah membuka seluruh memoriku. Dia tahu apa saja yang perlu diketahui dari para Animorphs. “Kapan?” Aku bertanya. Aku memeluk diriku sendiri. Aku menangkap sekelebat gerakan di ujung mataku. Kaki-kaki Ax mencuat keluar dari dadanya dan terhisap ke dalam. Lagi dan lagi. “Interogasinya akan dilaksanakan dalam beberapa hari,” Mr. Tidwell menjawab. “Sang Visser sedang menghadiri seminar pengenalan ulang tentang pesawat Blade.” Jadi kami punya seidkit waktu. Kami bisa menghentikan hal ini. Mata biru Mr. Tidwell yang berair memandangi mukaku. “Aku yakin kamu mengerti kalau Aftran bisa menghancurkan gerakan damai Yeerk. Dan kamu sendiri.”
Aku mengangguk. “Dimana tempat dia ditahan?” Mr. Tidwell menelan ludah. “Dia dipenjara di kolam Yeerk. Kami butuh bantuanmu untuk mengeluarkannya.” Kolam Yeerk. Tempat sempurna untuk serangan dadakan. Aku menasihati diri agar bertindak pintar. Aku tidak bisa memercayai semua yang dikatakan Mr. Tidwell hanya karena dia membawa-bawa nama Aftran. “Bagaimana cara kami tahu kalau ini bukan jebakan?” Tanyaku, mengamati muka Mr. Tidwell. “Bagaimana cara kami yakin kami bisa memercayai Anda?” “Kalau kamu tidak memercayaiku, kamu seharusnya sudah mati sekarang,” jawabnya. Dia melirik pintu gym. “Kalau aku tidak kembali ke dalam, Chapman akan mencari kita. Aku akan tetap menghubungimu. Bawa si Andalite keluar dari sini.” Mr. Tidwell kembali ke gym dengan terburu-buru. Aku kembali ke tempat Ax dan yang lainnya. “Apa kita mau membiarkan Mr. Tidwell pergi bergitu saja?” Tanya Rachel tidak percaya. “Setelah apa yang sudah dia lihat?” “Dia anggota gerakan damai Yeerk,” kataku. “Yeah, dimana mereka bilang ‘permisi’ sebelum mereka mendorong tubuh mereka yang berlendir ke dalam telingamu dan mengambil alih kontrol otakmu,” Marco memprotes. “Kamu ini apa, gila?” “Dia menyelamatkan kita dari Chapman,” balasku tidak terima. “Terus kenapa?” “Diamlah!” Tobias meledak, dalam gaya yang bukan-Tobias-sekali. “Apa yang aku pedulikan sekarang cuma cara membawa Ax pulang.” “Dia benar. Ayo jalan,” kata Jake. Aku meletakkan lenganku di sekeliling Ax dan membantu Tobias memapahnya keluar. Aku benar-benar tidak suka tampilan Ax. Dia sudah kembali ke morf manusianya. Tapi benda kental bernanah berwarna hijau-kuning menempel kedua kelopak matanya hingga tertutup. Dan bibirnya pecah-pecah, seperti saat kita sedang terserang demam tinggi. “Bagaimana keadaanmu, Ax?” Tanyaku. “Aku mengi-i-i-igau!” Teriaknya.
Chapter 5 Langsung setelah kami keluar dari sekolah, aku berhasil bicara dengan Ax saat dia demorf ke tubuh Andalitenya. Dan dia tetap tinggal dalam wujud itu. Melegakan. Tobias juga demorf. Dia terbang di atas untuk memberitahu arah jalan yang tidak ramai dilalui orang. Dan dimana kami harus menyembunyikan Ax saat kami hampir terperogok. Kami akhirnya sampai ke gudang jerami, tapi perjalanan itu tidak menyenangkan. “Bawa dia ke kandang kuda paling ujung,” aku menginstruksikan. “Marco, isi tempat makanannya dengan air. Rachel, tolong ambil selimut dari tumpukan dekat pintu. Jake, pergi ke kamar mandi di rumahku dan ambil termometer, aku nggak bisa pakai peralatan khusus hewan, aku butuh yang bisa digunakan lewat telinga. Jangan khawatirkan orangtuaku. Ayo.” Aku mendongak dan melihat mereka terbelalak. Memang benar biasanya bukan aku yang melontarkan perintah-perintah. Tapi akulah yang paling tahu cara menangani binatang yang sedang sakit. Bukannya Ax itu binatang, sih. “Aku kayak merasa lagi dalam acara ER2,” kata Marco saat dia bergerak menuju selang air. “Kayak lagi mengalami hal-hal yang sering dialami Noah Wyle3.”
Tanya Tobias dari tempat bertenggernya di kasau. “Berjaga-jaga saja,” jawabku. kata Tobias. Rachel kembali dan menyerahkan selembar selimut kepadaku. Aku menebarkannya dari punggung sampai bahu Ax. Aku bisa merasakannya gemetar. “Jadi apa kamu sudah mau beritahu kami tadi Tidwell ngomong apa, atau bagaimana?” Tanya Marco sambil mengisi tempat makanan. “Maksudku, kalau sekarang ada Hork-Bajir yang mau menerobos masuk aku bisa panggang kue dulu atau ngapain.” “Ax sedang sakit, Marco. Kita harus bereskan masalah ini dulu,” jawabku. “Kalau Tidwell buka mulut, keadaan Ax bakal kebih buruk dari sakit. Dia bakal mati! Kita semua bakal!” Rachel angkat bicara. “Cassie, apa yang kamu katakan padanya? Apa yang dia katakan padamu?” Aku mengacuhkannnya. Harus. Dia berputar dan mulai berjalan mondar-mandir dalam kandang. “Bisa kamu beritahu apa yang salah denganmu, Ax?” Tanyaku. “Kamu pernah mengalami hal yang sama sebelumnya?” dia menjawab. “Apa itu?” Aku bertanya.
2
Drama TV tentang kedokteran, tayang di Amerika dari tahun 1994-2006, di stasiun NBC. Terkenal, pernah menang Emmy Award. 3 Pemeran dokter John Carter di film ER.
Ax harus memberitahu kami cara menyembuhkan penyakitnya. Kedua orangtuaku adalah dokter hewan. Perpustakaan kedokteran kami mungkin yang terbaik dalam radius bermil-mil. Tapi tidak ada satupun buku yang membahas tentang penyembuhan dan perawatan alien. “Ayolah Ax,” kataku, sedikit lebih menekan. “Yamphut itu apa?” Bahasa-pikiran Ax memudar. kata Tobias. “Coba kita beri dia minum sedikit,” kataku. “Tolong aku mengangkat kakinya ke dalam tempat makan, oke, Marco?” Pintaku. Marco membuka tutup tempat makan dan mematikan selangnya. Lalu kami mengangkat salah satu kaki depan Ax dan mencelupkan kukunya ke dalam air. Ax oleng, dan aku menahan tubuhnya dengan bahuku, membiarkannya bersandar sementara dia menyerap airnya. Aku bisa merasakannya berjuang menarik nafas yang berat. “Cukup,” kataku setelah kuku Ax tercelup selama sekitar setengah menit. Marco dan aku menarik kakinya keluar dari tempat makan. Rachel mengambil selimut lain dan melemparkannya pada Marco sehingga dia bisa mengeringkan kaki Ax. Aku berjaga di dekat mereka kalau-kalau dia kehilangan keseimbangan lagi. “Oke, Ax. Coba fokus. Beritahu kami yamphut itu apa,” kataku pelan-pelan dan jelas. jawab Ax. Jake memasuki gudang jerami. “Aku dapat termometernya,” Dia meletakkannya di tanganku dengan gaya suster bedah. Lalu dia duduk dan bersandar pada dinding kandang. Aku menaruh termometernya di telinga Ax dan menunggu suara beep. Ketika sudah terdengar, aku menariknya keluar dan mengecek suhunya. “Sembilan lima koma lima,” kataku pada yang lain. “Kukira dia demam,” kata Rachel. “Mungkin,” kataku pada Rachel. “Tapi kita nggak tahu. Karena kita nggak tahu suhu normal Andalite itu berapa!” “Ax? Bisa beritahu kami?” tanya Rachel padanya. <Sembilan puluh satu koma tiga,> Ax tersedak. dia menambahkan. “Ax, itu temperatur semua orang, bukan cuma temperatur kami,” Marco mulai berargumen. Tapi lalu dia berhenti. Sekitar empat derajat di atas normal. Aku tidak suka ini. Aku tahu beberapa cara untuk menurunkan suhu. Tapi aku tidak tahu seperti apa efeknya pada seorang Andalite. Bagaimana kalau apa yang kulakukan malah membuat keadaannya jadi tambah buruk?
“Beritahu kami tentang Kelenjar Tria,” kataku. jawab Ax. <Bukannya itu bagus?> Tanya Tobias. Kedengarannya bagus. Mungkin tubuh Ax akan sembuh sendirinya. kata Ax terputus-putus. “Bagaimana cara kami menceghanya pecah?” Tanya Jake cepat. Ax mengunci pandangan keempat matanya padaku. Dia meraih tanganku dan menggenggamnya lemah. Kulitnya terasa licin dan dingin dari keringat. bisiknya. Mata utamanya menutup. Mata pengintainya turun. <Waktu suhu kembali normal… Kelenjar Tria harus keluar. Atau organisme penyakit bunuh.> “Oke. Oke, yeah. Dimana letaknya kelenjar Tria ini?” Tanyaku. “Aku tahu kamu capek. Dan kamu bisa tidur sebentar lagi. Tapi kamu harus beritahu dulu dimana kelenjar Tria ini,” aku bersikeras. “Sekarang, Ax!” Ax menjawab. Aku merasakan darah meninggalkan mukaku. Otomatis, aku menoleh pada Jake. Dia memandang Ax seakan dia tidak bisa percaya pada apa yang barusan Ax katakan. Kesunyiannya menular. “Aku bukan tukang bedah otak,” Marco akhirnya angkat suara. “Tapi kayaknya kita sedang membahas pembedahan otak, deh.”
Chapter 6 Bedah otak. Menggambarkan darah, dan pisau bedah, dan lapisan otot yang sensitif. Aku tidak tahu apa kami bisa berhasil. Tapi kalau tidak, Ax bisa mati. “Ayo kita pindah ke tempat lain,” kataku. “Aku mau Ax istirahat dulu.” Itu benar. Tapi aku juga tidak mau Ax mendengar kami mulai panik, yang aku tahu sudah pasti akan terjadi. “Ide bagus,” kata Jake. Dia berdiri dan berjalan di gudang jerami, Marco dan Rachel di belakangnya. Perlahan aku menarik tanganku dari genggaman Ax, jari-jariku mengilap terkena keringatnya. “Aku akan kembali sebentar lagi,” bisikku. “Terberkatilah tulang-tulang munglimu.” Kata-kata itu keluar begitu saja. Itu yang selalu dikatakan ibuku kalau aku sedang sakit. Ax yang malang. Dia pasti rindu sekali dengan ibunya sekarang. Setidaknya setiap aku merasa tidak enak, aku senang kalau ibuku jadi khawatir. Dan Ax jelas sekali sedang merasa tidak enak. Aku mengikuti teman-temanku dan duduk di tumpukan jerami di sebelah Rachel. Aku kecapaian. “Oke, jadi kita culik seorang dokter dan buat dia mengoperasi Ax,” kata Rachel spontan. “Lalu bagaimana?” Tanyaku. Dia tidak menjawab. Jawabannya tidak bisa diterima. Satu-satunya dokter yang bisa kami percayai untuk dieberi rahasia kami adalah dokter yang sebentar lagi akan mati. “Aku akan mengecek suhunya tiap jam,” kataku. “Kita harus tahu kapan suhunya turun jadi sembilan satu koma tiga.” “Lalu bagaimana?” Tuntut Rachel, mengulangi pertanyaanku. “Lalu kita harus memainkan versi live Operation4. Tapi kalau kita salah, hidung Ax nggak nyala, kelenjar Trianya yang meledak,” jawab Marco, suaranya datar. Tanya Tobias keras. “Yeah. Dan kamu mau ketawa lagi?” Marco membalas, marah. “Ax tertangkap basah berAndalite-ria malam ini!” “Kita harus dengar apa yang Tidwell katakan,” kata Jake padaku. Dia mengusap muka dengan tangannya. Muka yang lelah dan pucat.
4
Semacam permainan yang populer dimainkan di festival-fesival. Alat-alatnya menggunakan dua baterai. Di ‘meja operasi’ ada ‘pasien’ bernama Cavity Sam yang di hidungnya ada lampu warna merah. Cara mainnya pakai kartu, ribet kalau dijelasin.
Aku menarik nafas dalam-dalam. “Mr. Tidwell anggota gerakan damai Yeerk,” aku memulai. “Yeerk dalam kepalanya, Illim, menyampaikan pesan dari Aftran untukku. Dia tertangkap. Malam Minggu Visser Three berencana menginterogasinya. Illim mau kita menyelamatkannya.” “Nggak mungkin. Ini perangkap,” Marco menginterupsi. “Kalau para Yeerk sudah tahu siapa kita, kenapa harus repot-repot bikin perangkap segala? Kenapa nggak datang saja ke rumah kita dan bunuh kita satu-satu?” Kami berdua menoleh pada Jake. Dia mengusap wajahnya lagi. “Datang ke rumah kita bukan hal bijaksana. Menarik perhatian. Membawa kita semua ke kolam Yeerk merupakan strategi bagus.” “Mungkin itu perangkap, tapi kita tetap harus pergi,” kata Rachel. “Karena kalau Tidwell atau Illim atau siapalah memberitahukan hal yang sebenarnya, kita tamat. Aftran nggak akan tahan waktu si Visser menginterogasinya, dan dia tahu segalanya tentang kita. Segalanya. Ya, kan, Cassie?” Tanyanya pedas, memandangku kesal. Aku membalas pandangannya tanpa berkedip. Suaraku mantap. “Betul,” aku menjawab. Aku tidak mau berpura-pura kami tidak akan berada dalam situasi ini kalau bukan karena aku. Marco sudah hampir membunuh Aftran, dulu. Yang berarti juga membunuh Karen. Aku membiarkan Aftran masuk ke kepalaku untuk membebaskannya dari tubuh Karen. Untuk menyelamatkan nyawa seseorang yang bahkan tidak kukenal, aku membahayakan nyawa teman-temanku. Aku tidak agung dan hebat. Aku melakukannya karena aku ini pengecut. Aku tidak bisa mengambil nyawa gadis kecil itu – atau membiarkan Marco melakukannya untukku – sekalipun aku tahu dengan membiarkannya hidup seisi penghuni planet bisa mati. Atau lebih buruk lagi, menjadi inang bagi para Yeerk. Aku membahayakan seluruh nyawa itu sebagai ganti satu harapan kecil. Harapan bahwa Aftran dan aku bisa mengambil langkah pertama perdamaian antara Yeerk dan manusia bersama-sama. Harapanku jadi kenyataan. Aftran tidak menyerahkanku pada Visser Three. Dia tidak menggunakan informasi yang dia peroleh dari otakku untuk menyakitiku dan teman-temanku. Dia malah memilih untuk hidup tanpa induk semang. Buta dan hampir tak bisa bergerak. Keputusanku berakhir baik. Atau memang begitukah? “Rachel benar. Kita harus pergi,” Jake memutuskan. “Malam ini. Kalau ini perangkap, mereka nggak akan mengira kita datang seawal ini, karena Illim bilang Visser akan pergi sampai Minggu.” Tanya Tobias. “Alasan lain kenapa kita harus pergi malam ini,” kataku. “Kita kembali sebelum Ax jatuh ke masa kritis.” “Kita nggak bisa tinggalkan dia disini,” Jake berargumen. “Ayah Cassie selalu kesini.”
<Mungkin kita bisa buat semacam perlindungan ekstra di sekliling scoop-nya,> Tobias mengusulkan. Aku menggelengkan kepala. “Terlalu lembab disana,” kataku. “Erek,” kata Marco. “Chee itu berhutang budi.” “Ide bagus, Marco,” kata Jake. “Pergi. Sekarang.”
Chapter 7 Marco morf dan mengudara. Kami yang tersisa menonton Ax berkeringat dan gemetaran. “Para Yeerk mungkin sudah tahu cara kita menerobos ke dalam waktu terakhir kali,” kata Rachel. “Kita butuh jalan lain kalau kita nggak mau diserang duluan.” “Mungkin kita bisa coba mendaftar semua yang kita tahu soal pertahanan kolam Yeerk,” usulku. “Kita tahu ada Gleet BoiFilter, lalu-“ tambah Tobias. “Nggak pernah gampang,” kata Jake. “Tapi sekarang lebih susah.” “Pasti ada jalan lain,” kata Rachel. Kami mendiskusikan segala macam cara tetapi tidak menemukan jalan keluar. Dan Ax masih gemetaran. Aku mengecek jam tanganku. Waktu kami hampir habis. Orangtuaku akan kembali sebentar lagi. Dan hal pertama yang akan ayahku lakukan adalah melihat keadaan gudang jerami. <Marco dan Erek datang,> Tobias mengumumkan, akhirnya. Aku menoleh ke arah pintu gudang. Erek dan Marco, berjalan berdampingan dengan terburuburu. Kalau kamu melihat Erek kamu akan berpikir dia hanya anak normal. Dia terlihat seperti Jake, hanya sedikit lebih pendek. Tapi Erek adalah android. Bagian dari suatu ras bernama Chee. Dan apa yang kau lihat ketika bertemu dengannya, itu hanya hologram. Dibawah hologram itu tersembunyi Erek yang terlihat seperti anjing yang berjalan dengan kaki belakang mereka. “Tumben,” kata Erek. “Biasanya aku yang mengabarkan berita buruk.” “Kamu mau berita buruk?” Kata Rachel. “Ax tidak bertambah sehat dan kami nggak ketemu cara masuk ke kolam Yeerk.” “Kamu tahu sesuatu tentang struktur tubuh Andalite?” Aku bertanya pada Erek. Dia mengangkat bahu. Atau setidaknya dia membuat hologramnya mengangkat bahu. “Nggak.” “Apa ada temanmu yang bekerja jadi dokter bedah?” Tanyaku. Erek menggelengkan kepalanya. “Orang yang berperan jadi ayahku? Dia seorang dokter di Perancis abad ke lima belas. Percaya aku, dia nggak tahu apapun yang berguna.” “Erek, kolam Yeerk punya toilet nggak?” Kata Marco tiba-tiba. “Marco, bukan waktunya,” Jake bergumam. “Marco,” Rachel memperingati, “kalau kamu nggak bisa berguna sedikit, diam saja.”
“Ayolah. Struktrunya sudah seperti kota di bawah sana,” lanjut Marco. Mereka pasti punya tempat dimana induk semang manusia bisa buang air atau cari tempat minum,” dia bersikeras. “Keran air, toilet. Mereka punya pekerjanya, tentu,” jawab Erek. Para Chee benar-benar diprogram anti-kekerasan. Tapi tidak berarti mereka tidak membenci Yeerk. Dan mereka adalah mata-mata terbaik yang bisa kau bayangkan. “Berarti mereka punya saluran air. Pipa. Dan berarti kita punya jalan masuk ke kolam Yeerk,” kata Marco pada yang lain. “Kita morf jadi binatang kecil, binatang yang bisa berenang. Panjat kloset kita, suruh Erek flush kita, berenang sedikit, dan keluar di salah satu keran atau toilet Yeerk.” “Oh yeah, pasti berhasil,” kata Rachel. “Kamu ini apa, gila?” komentar Tobias. Jake mengangkat kepalanya. “Nggak kalau kita mulai berenang dari menara air. Kita bisa ikuti arusnya.” Dia mulai terdengar sedikit bersemangat. Matanya berkilat-kilat. “Erek, kamu bisa menyusup ke departemen air kota ini? Kombinasikan dengan …” Jake menghela nafas dan menyeka mulutnya. “Kombinasikan data disana dengan, um, dengan apa saja yang kamu tahu soal kolam Yeerk dan… tahulah…” “Dan buat peta? Arah?” Erek mengangguk. “Aku bisa memberimu arah ke keran atau toilet manapun di dunia.” Dia menunjuk komputer yang biasa digunakan olehku dan ayahku untuk mengatur data-data binatang. “Boleh pakai ini?” “Nggak ada modem,” kataku. Erek tersenyum. “Nggak perlu juga. Aku bisa jadi modem.” Marco memandang Rachel dengan tatapan kemenangan. “Lihat? Masih mau bilang ideku gila?” Mukanya berubah muram. “Tunggu sebentar. Memang gila, sih. Kenapa aku ini? Apa aku gila?” <Apa kita punya morf yang sesuai?> Tanya Tobias. “Mungkin kecoak,” jawabku. Jake menggeleng. “Pipa dari menara air sampai kolam Yeerk itu panjang. Aku tahu mereka nggak harus bernafas terus-terusan, tapi kecoak harus bernafas juga di udara.” Kata Tobias, Saat mimik mukaku berubah aneh, dia bilang, “Belut? Ambil,” perintah Jake. Sedetik kemudian, Tobias melayang pergi. “Ayo, Erek. Biar kutunjukkan tempat Ax supaya kamu bisa buat hologram disana,” kata Marco. Ax sudah tidur. Dia menyelipkan kaki-kakinya ke dalam jerami saat kami berdesakan di pintu kandang yang rendah, tapi dia tidak terbangun. Aku mengecek temperaturnya.
Sembilan puluh lima koma tujuh. Belum turun terlalu jauh. Bagus. Dia belum mendekati masa kritis. “Kupikir akan lebih baik kalau aku tinggal dalam kandang bersama Ax,” kata Erek. “Aku bisa memproyeksikan hologram yang melingkupi kami berdua.” Dia masuk ke dalam kandang dan menutup pintunya. Sesaat kemudian, dia dan Ax seakan menghilang dari pandangan. Kandangnya benar-benar terlihat kosong. Aku mencondongkan kepalaku melewati pintu kandang. Udara di sekelilingku beriak, lalu Erek dan Ax muncul. “Thanks sudah mau melakukan ini, Erek,” kataku. “No prob,” jawabnya. “Apa kamu mau buku bacaan?” Tanyaku. “Bakal membosankan nanti.” “Aku punya beberapa ribu buku yang disimpan di otakku. Kadang-kadang aku menghabiskan waktu melihat seberapa banyak yang bisa kubaca dan kupahami secara bersamaan.” “Ooooooke. Lupakan aku pernah bertanya.” Aku menarik kepalaku keluar dari kandang. Aku meneliti hologram yang melindungi Ax dan Erek. Tidak ada lekukan atau gelombang atau bayangan yang bisa membuat ayahku curiga. Kecuali dia mencoba masuk ke dalam. Tidak akan, aku meyakinkan diri. Dia akan disibukkan oleh binatang yang sakit dalam sangkar sehingga dia tidak akan mencoba main-main dengan kandang kuda yang kosong. Kuharap. “Aku baru saja berpikir,” kata Marco. “Aku akan membelikanmu kartu untuk memeringati hari ini.” Rachel, tentu saja. Marco tidak repot-repot membalas. “Kalau Ax sedang dalam mode mengigau, dia bisa pergi berlarian di kota dengan celana dalam dipakai di kepala atau bagaimana. Erek nggak akan bisa mencegahnya.” Dia benar. Chee tidak diprogram untuk kekerasan. Kekerasan dalam bentuk apapun. Aku menoleh pada Jake. Ketika hal-hal seperti ini muncul, kami semua selalu mencari Jake. Jake menekuk kepala ke belakang dan menutup mata selama beberapa waktu. Lalu dia mengutarakan keputusannya. “Kita harus mengambil resiko ini. Kalau ada yang nggak beres di kolam Yeerk nanti, kita mungkin butuh anggota kita lengkap semua untuk mencari jalan keluar.” Aku mendengar kepakan sayap. Sesuatu yang licin meluncur di bahuku dan jauh ke lantai gudang. <Sori,> Tobias meminta maaf.
“Selicin belut,” Marco bercanda. “Ngomong-ngomong, mau ini sedang krisis atau apa, aku nggak akan bicara apa-apa soal kebodohan dan keanehan mengendarai arus air buat suplai kota… Tapi, asal tahu saja, ini GILA!” Dia memungut belutnya dan memegangnya selama beberapa saat, menyerap DNAnya. Lalu dia menyerahkannya pada Rachel. Setelah selesai, dia menyerahkannya pada Jake. Dia menggenggamnya sebentar, fokus, lalu memberikannya padaku. “Kamu sudah dapat?” Aku menanyai Tobias. katanya. Aku melirik teman-temanku. “Kayaknya kita melupakan seseorang,” kataku. Lalu kenyataan menancap. Benar-benar menancap. Ax. Kami akan melakukan misi ini tanpa Ax.
Chapter 8 Satu jam kemudian Jake, Rachel, Marco dan aku mencelupkan kaki-kaki kami di dalam menara air yang terletak di ujung lapangan parkir mall, gemetaran karena dinginnya air. Kamu pasti sudah tahu menara air seperti apa yang sedang kubicarakan : biasanya dicat warna biru langit. Besi. Empat kaki penopang panjang dan tangki besi besar di paling atas. Bukan teknologi yang mutakhir. Pokoknya mereka memompa air ke dalam menara, dan gravitasi membawanya turun ke rumah-rumah dan lahan bisnis dan kamar mandi cewek di sekolah. Dalam tanki itu gelap. Seperti berada dalam kolam renang di malam yang paling kelam. Seram. Kecuali, sebenarnya ini bagian yang gampang. Aku terus mengulang-ulang instruksi dari Erek. Jumlah pipa-pipa besar, pipa air utama, kami akan melewatinya ke kanan dan kiri. Belokan siku-siku. Pipa air utama yang harus kami masuki. Lalu belokan siku-siku ke bawah, belokan kecil yang lain dan pada akhirnya turunan vertikal panjang yang menandakan kami sedang turun ke kolam Yeerk. Terlalu banyak detail. Ax pasti akan mengingat semua itu. Tapi Ax sedang tidak bersama kami. “Oke, ingat, pipa-pipa itu seperti jalanan. Banyak belokan dan putaran, tapi kalau kita mengikuti instruksi Erek kita akan sampai di pipa yang langsung menuju kolam Yeerk. Kerannya selalu terbuka. Cairan kolam Yeerk sebagian besar air.” Jake mencoba menenangkan yang lain. Tapi dia sendiri tidak terdengar terlalu tenang. “Entah bagaimana aku akan berakhir di-flush orang,” kata Marco suram. “Akan ada acara flushflushan nanti.” “Ya sudah ayo lakukan saja!” Rachel berteriak tidak sabar. Dia terdengar kedinginan, aku hampir-hampir tidak bisa melihatnya dalam cahaya redup dari pintu masuk yang kami biarkan terbuka. Aku mengalihkan perhatian ke DNA belut di dalam diriku. Bunyi gigiku yang bergemeletukan agak mengganggu konsentrasi. Lalu bunyi itu berubah. Jadi lebih tinggi dan ringan. Karena gigi-gigiku mulai berganti, memperbanyak diri, tumbuh memanjang dan menipis dan setajam silet. Proses metamorfosis sama sekali tidak bisa diprediksi. Tidak seperti dari bagian atas tubuh lalu turun ke kaki. Atau seluruh tubuh berubah bersamaan, seperti film gerak lambat. Lebih menjijikkan daripada itu. Lebih aneh. Bagian tubuh bermunculan begitu saja. Seperti sirip tipis dan sempit yang muncul sepanjang punggung Jake. Bagian yang lain menghilang. Seperti rambut pirang Rachel, yang baru saja terhisap ke dalam kepalanya seperti sphagetti ke dalam mulut yang sangat lapar. Muncul dan menyusut hanya sebagian dari proses. Mataku mengecil dan menggelinding ke ujung hidungku. Hidung dan daguku tertarik keluar, keluar, keluar membungkus gigi-gigi jarumku yang baru. Dahiku runtuh.
Tulang-tulangku mencair, dan tubuhku menggulung sendiri sampai jadi sekurus pensil. Lenganku layu di sisiku. Kakiku mengkerut dan hilang sepenuhnya. Aku merasakan rasa geli dan gatal saat sirip yang panjang muncul menjalar di punggungku dan insang terbuka di belakang mulutku. Sisik-sisik yang membentuk diri di sekujur tubuh baruku seperti cacar. Lalu lendir yang licin dan berminyak menyelimutinya, diekskresikan dari tubuhku sendiri. <Semua selesai? Kalu iya ayo kerja. Keluar dari lubang di bawah,> perintah Jake. Aku menangkap sebersit gerakan di sebelah kananku. Makanan. Makanan hidup! Zip! Chomp! protes Tobias. Ya ampun, walaupun ukurannya sekecil pensil, ternyata belut itu agresif. Insting belut mendorongku untuk menggigit apa saja yang bergerak dan kalau mau tanya-tanya nanti saja. Dan makan. Aku mau makanan hidup. Lalu… Chomp! Gigi yang tajam menangkap bagian tengah tubuhku. Teriakku, Aku menekan otak belutku, mendorong insting yang sederhana dan memaksa itu jauh-jauh. Jangan menggigit, aku menasehati diri, jangan menggigit. Tapi lalu sesuatu bergerak dan.. Tidak! Aku menghentikan diriku sendiri tepat waktu. kata Rachel dengan tawa. kata Jake. Aku mulai bergerak dalam aliran gerakan meliuk-liuk. Otot rileks di satu sisi, berkontraksi di sisi yang lain. Tubuhku bergerak kiri, kanan, kiri, kanan. Ekorku mencambuk lagi dan lagi. Turun dan turun. Mungkin hanya tiga puluh kaki untuk ukuran manusia, tapi penyelaman yang lumayan panjang bagi belut yang lebarnya hanya seukuran jari seseorang. Dan, saat kami turun, aku mulai merasakan arusnya. Kami berada dalam sebuah baskom yang besar. Kami turun mengikuti arah sumbat dibuka. Airnya mulai berputar, pusaran air! Putar, putar, makin cepat dan makin cepat! Lalu, tiba-tiba… WOOOSH!
Langsung turun sejuta mil per jam!
Chapter 9 Turun! Turun lewat sebuah lubang, turun lewat pipa yang sangat besar, hitam – hitam pekat di sekeliling kami. Tidak ada yang bisa dibaui atau dilihat kecuali sensasi dari kecepatan, atau rasa sedang jatuh dalam waktu yang sangat lama. kata Rachel, tertawa hampir histeris. Aku menghirup sejumlah air dam memompanya ke dalam insangku. Harus ingat untuk tetap bernafas. Aku mencambukkan tubuhku terus-menerus sekencang mungkin. Kecepatan kami tinggi. Tapi aku ingin lebih cepat lagi. Kalau tidak begitu aku ini hanya benda, tidak bisa mempertahankan kepalaku di depan dan ekor di belakang. Tiba-tiba, kami berenang datar. Tapi kecepatannya tidak berkurang. Kami berada dalam roket! Melewati pipa-pipa, buta, tidak sadar apa-apa… Tidak, tidak juga. Ada suara. Air yang datang memperjelas setiap ketidaksempurnaan dalam pipa. Dan di depan… di depan ada suara lain. Lebih keras. Air – Aku menjerit. Kami hanya punya sepersekian detik untuk bereaksi. Kami berada dalam pipa. Arusnya mendorong tubuhku dan menariknya ke kanan. Aku mencoba melawannya dengan segenap kekuatan alot dari tubuh si belut. Lalu, kami melewati pipa air utama itu. kata Jake. <Semuanya tetap waspada. Masih banyak yang harus kita lewati.> Kami bisa mendengarnya, tapi selalu saja terlambat. Benar-benar membuat frustasi. Salah satu kali saja membelok, tidak akan ada yang tahu dimana kami keluar nantinya. Kami punya waktu dua jam dalam morf. Kalau kami terperangkap dalam suatu jalan buntu, tanpa sekat pembuka, kami akan terkurung dalam pipa. Terkurung. Tidak bisa demorf. Tidak bisa keluar. Kami akan menghabiskan sisa hidup kami sebagai belut. <Jangan pikirkan hal itu,> aku memberitahu diriku sendiri. Tapi mungkin aku mengatakannya dalam bahasa-pikiran karena Tobias bertanya, <Jangan pikirkan hal apa?> <Jangan pikirkan kenyataan bahwa kita semua bisa berakhir terperangkap dalam tabung suplai air yang menuju ke sebuah toilet di sebuah bangunan terbengkalai yang nggak pernah di-flush siapasiapa,> kata Marco. <Shhh! Jangan pikirkan hal itu!> Jake mengumumkan.
dalam beberapa detik dan semua itu nanti hanya akan terjadi sekitar tiga detik. Jangan mikir, jangan ngobrol, bergerak saja.> Jake berada di depan. Aku di belakangnya. Tobias di belakangku, diikuti Marco dan Rachel. Tiba-tiba… Tikungan! Lewati! Kanan! Lewati! Lewati! Jake menjerit. Aku berenang ke arahnya, ekornya bergerak tak terkendali. Dia terhisap ke dalam pipa yang salah. Dia berjuang melawan arus, mencoba berenang ke arah yang sebaliknya, tidak ada waktu… Chomp! Aku menerjang tanpa benar-benar melihat. Gigi-gigiku yang setajam silet mencaplok sebuah ekor. Aku merasakan Tobias menekan dari belakang. Ada rasa sakit yang tajam saat Tobias menggigit ekorku. Sekarang aku tidak bisa berenang. Tobias memegangku, tapi dia juga tidak bisa melawan arusnya. Kata Marco spontan, setelah berhasil mencerna situasi. Chomp! Chomp! Jangan tanya aku bagaimana cara mereka menemukan tubuhku, tapi mereka menemukannya. Aku berdarah dan merasa kesakitan, tapi yang memegangku sekarang ada tiga belut. Aku meliukkan tubuhku dalam satu cambukkan kencang. Jake tertarik dari dalam pipa kembali ke arus yang benar. kata Jake akhirnya. Tanya Tobias. Jake berhenti. Dia terdengar pusing. Benar-benar tidak fokus. Apa dia tadi sebegitu ketakutannya? Mungkin, tapi Jake tidak pernah gagal mengendalikan diri. Aku teringat saat dia duduk di gudang jerami dengan kepala ditumpangkan di tangan. Lalu matanya saat Marco menerangkan cara masuk kolam Yeerk. Kupikir matanya berkilat-kilat oleh semangat. Aku mungkin akan menampar diri sendiri kalau aku punya tangan. Jake sakit.
Chapter 10 Aku mengirimkan bahasa-pikiranku ke Rachel, Tobias dan Marco. Rachel menyelesaikan kalimatku. kata Marco. Rachel membalas. <Marco dan Cassie, urus Jake. Tobias dan aku jalan terus.> <Apa, sekarang kamu bosnya?> Marco memulai. Jake bergumam. aku menenangkannya. kata Rachel mengukuhkan diri. <Stop! Please, stop!> Kataku putus asa. Aku membuka bahasa-pikiranku agar Jake bisa ikut mendengar. <Jake, kupikir kamu ketularan yamphut itu. Sebaiknya kami ngapain?> Sunyi lama. <Jake? Kamu dengar aku?> Aku akhirnya bertanya. <Apa nggak lebih baik kalau dua dari kita lanjut?> Rachel berargumen. perintah Jake. Kata Marco. Kata Jake mengambang. Aku melasakan suatu gelombang yang tidak enak. Kami tersesat. Tersesat dalam pipa yang panjangnya bermil-mil. Jake tak bisa diajak kompromi. Tidak ada yang punya ide. <Seperti di udara!> Kata Tobias tiba-tiba. <Apa?>
jelasnya. Marco memotong keras. <Jadi bagaimana? Kita ikuti arus?> Tanyaku. <Simpel, ini?> Gumam Marco. Kami patuh. Kami tidak ingat waktu lagi. Tidak tahu dimana kami, dan berapa waktu yang tersisa dalam morf. Kami hanya mengikuti arus dalam kegelapan, sesekali berenang untuk tetap mengontrol arah tubuh. Seabad. Rasanya seperti seabad. Bawah. Atas. Kanan. Kiri. Dengan Jake yang makin tidak merespons. Bergerak makin pelan. Lalu… Tanya Marco. kata Rachel. <Bunyinya keras sekali, y –> aku memulai, tapi dipotong oleh satu tarikan kuat, dan wooosh, menuruni pipa yang berkelok dan berdinding kasar, ditekan oleh tekanan yang datang tiba-tiba, dan… Tidak ada pipa! Aku jumpalitan di udara! Mata belutku tidak terlalu bagus, tapi aku bisa melihat apinya. Api yang ada dimana-mana! Yang lainnya meluncur keluar dari ujung pipa. Kami berlima belut. Ditembakkan keluar dari ujung selang air pemadam kebakaran, melayang di udara menuju gedung yang sedang terbakar.
Chapter 11 Melintasi udara! Melintasi jendela. Splat! Aku menabrak sesuatu, lalu menggelincir di lantai. Teriak Rachel. Aku tidak butuh perintah apa-apa. Aliran air yang kuat mendorong tubuhku ke atas sebuah kompor. Aku demorf sementara air memukul-mukul tubuhku. Tapi bukan airnya yang jadi masalah. Apinya. Mata manusiaku terbentuk kembali dan langsung pedih. Aku mengerutkan wajah, menutupi muka dengan tangan yang licin dan masih terbentuk. Teman-temanku bangkit berdiri seperti monstermonster mengerikan dari air yang menggenang, Kami berada di dapur. Api utama berasal dari ruang keluarga. Aku melihat ada tangga. “Tangga,” Jake tercekat. “Naik.” Kami terhuyung, sekelompok monster setengah-berubah yang biasa mengisi mimpi buruk, naik ke atas tangga, menjauhi api. Selang yang lain pasti sudah menyirami lantai atas karena air mengalir di tangga seperti air terjun. Kami berhasil mencapai lantai dua. Jake bersandar di palang pembatas dan muntah. “Aku nggak lihat siapapun di atas sini,” kata Rachel, tersedak asap. Aku mengangguk setuju. “Ayo…” Lalu aku mulai batuk-batuk. Tidak masalah. Kami tahu apa yang harus dilakukan. Kupikir tidak ada yang melihat burung-burung pemangsa yang menerobos jendela belakang, penuh jelaga dan basah kuyup. Kami terbang hanya sebentar. Jake terlalu lemah untuk tetap bertahan di udara. Kami mendarat dan demorf. “Well, tadi itu menyenangkan,” kata Marco. “Ayo kita lakukan lagi, secepat mungkin.” “Pasti gara-gara yamphut sial ini,” kata Rachel, membantuku memapah Jake. “Jake sakit waktu jadi belut. Jadi manusia tetap sakit.” Tobias menambahkan. Dia berada di atas, memantau kalau-kalau kami diikuti atau diperhatikan. “Kita coba lagi besok sepulang sekolah,” Jake memberitahu kami setelah dia turun dari tangga. “Kalau kondisiku nggak membaik, kalian harus pergi tanpa aku. Aku pulang dulu. Istirahat.”
“Marco dan aku akan mengantarmu,” aku menawarkan diri. “Aku akan morf jadi burung hantu dan terbang balik ke gudang,” kata Rachel. “Mengecek Ax. Dan aku akan tanya dia bagaimana cara yamphut menulari manusia, lalu menelepon kalian di rumah Jake.” Jake menyeka mulutnya dengan lengan baju. “Kamu balik ke gudang jerami juga, Tobias. Dan diam disana,” instruksinya. “Hologram Erek bagus. Tapi itu nggak cukup. Kalau Ax pergi dari kandang kuda, morf jadi sesuatu yang besar lalu stop dia. Kalau suhunya mendekati-“ “Sembilan satu koma tiga,” aku menginformasikan. “Ya. Oke. Wow. Man, kepalaku melayang. Ini menyebalkan. Kayak kena flu. Begitu rasanya. Kayak aku jadi harus…” Dia membungkuk dan menarik nafas. “Kayak kamu jadi harus muntah?” Marco menyarankan. Marco dan aku masing-masing melingkarkan lengan kami di sekliling pinggul Jake dan berangkat. Untungnya menara air berada di bagian kota yang sama dengan rumah Jake. Tapi tetap saja jauh. Rachel dan Tobias juga pergi. “Kamu tahu berapa banyak cara mengatakan ‘muntah’ dalam bahasa Inggris?” Tanya Marco saat kami melewati Dunkin’ Donuts, toko pertama di barisan restoran cepat saji yang mewarnai jalan utama yang melintasi kota. “Ada vomiting, tentu saja. Hurling. Tossing your cookies. Puking, yang jadul. Ralphing.” Aku lega karena Marco mengisi kesunyian yang ada. Walau aku tahu dia bisa membicarakan topik yang lebih bermutu. “Ada juga cascading. Tapi aku memilih istilah yang lebih realistis. Kayak blowing chunks. Spewing your guts.” Marco mengambil nafas yang dalam dan tetap melanjutkan bicara saat kami melewati Taco Bell. “Tangoing with the toilet.Yang itu bagus, tuh,” katanya lebih pada diri sendiri. “Technicolor yawn.” Jake melepaskan diri dari kami, terhuyung menghampiri pinggiran jalan, membungkuk di atasnya, lalu – isi saja istilah ‘muntah’ favoritmu disini. “Kuberi nilai empat,” Marco memberitahu Jake. “Sori, guy. Tapi kekuatan pendorongmu nggak berada di tempat yang benar.” Jake menegakkan badan. Lalu lututnya menekuk. Marco dan aku menangkapnya tepat sebelum dia jatuh ke jalan. Marco mengangkat salah satu lengan Jake ke bahunya. Aku menyisipkan lengan yang satu lagi ke sekelilingku. Lalu Marco dan aku mengangkatnya dengan berpegangan tangan di bawah tubuhnya.
Sebentar Marco dan aku sudah terlalu terengah-engah untuk berbicara. Kami berbelok keluar dari jalan utama, berjalan makin dalam menuju daerah pemukiman penduduk. Beberapa lampu jalan menyala, tapi keadaan lumayan gelap. Dan sunyi, kecuali suara terengah-engah kami yang tadi. “Hampir sampai,” Marco berkata sambil megap-megap. Kami berbelok ke arah blok rumah Jake. Saat kami mencapai serambi rumahnya, kami menurunkan kakinya pelan-pelan. Dia terhuyung sedikit, tetapi berhasil berdiri tegak. “Jangan biarkan Tom melihatku. Kalau-kalau aku morf,” gumamnya. Aku mengangkat tanganku untuk mengetuk pintu, tapi ibu Jake sudah membuka pintunya bahkan sebelum kami sempat mengetuk. “Jake kena flu,” dustaku. “Aku tahu. Rachel sedang meneleponku.” Ibu Jake memegang gagang telepon. “Dia bilang kalian sedang dalam perjalanan.” “Kupikir Jake hampir muntah lagi,” seru Marco. Dia membawa Jake menyusuri hall menuju kamar mandi. “Bisakah saya bicara dengan Rachel sebentar?” Pintaku. Ibu Jake menyerahkan teleponnya padaku. “Rachel, ini aku,” kataku. “Jake beruntung,” Rachel memberitahuku. “Teman kita yang lain flunya jauh, jauh lebih parah. Teman kita pikir Jake hanya akan kena gejala yang biasa. Tahulah, demam, muntah, sakit kepala. Teman kita punya penjelasan yang panjang, lumayan mengigau yang pasti nggak mau kamu dengar.” “Bagus. Seenggaknya infonya cukup melegakan,” kataku lelah. “Berita buruknya kita semua mungkin akan sakit. Flu jenis ini menular banget,” Rachel melanjutkan. “Sudah ya, kayaknya aku dengar mobil orangtuamu.” Aku berdiri mematung. Memandangi telepon di tanganku. Kalau kami semua sakit, siapa yang akan menyelamatkan Aftran? Dan siapa yang akan mengoperasi Ax?
Chapter 12 Aku mengusap tanganku dengan air hangat yang berbusa. Lalu aku mendorong pintu ruangan operasi dengan sikuku. “Dia berada dalam masa kritis,” kata Noah Wyle saat aku menghampiri sang pasien. Dia meletakkan pisau bedah mungil ke tangaku. “Kau akan baik-baik saja,” aku menenangkan pasien kami. “Aku memercayaimu, Cassie,” pasien itu menjawab. Dia adalah ayahku, berbaring di meja operasi dengani selimut hijau. “Bu-bukankah dia harus dibius?” Tanyaku tercengang. Noah Wyle terlihat kaget. “Tidak bisa kalau kita mau mengoperasi yamphut.” Aku mengambil nafas dalam-dalam, bau disinfektan membakar paru-paruku. Aku memantapkan posisi ujung pisau di dahi ayahku. Tap, tap, tap. Aku menoleh ke atas dan melihat Jake, Marco, Rachel, dan Tobias dibalik kaca ruang tunggu. Mereka mengetuk-ngetuk kaca dan melambai padaku. Aku mengembalikan perhatian pada ayahku. Tapi yang berbaring di meja bukanlah ayahku lagi. Ax. Aku tidak tahu dimana aku harus membuat sayatan pembuka. Apa Kelenjar Tria itu terletak di depan kepala? Di belakang? Tap, tap, tap. Kenapa mereka terus mengetuk-ngetuk kaca? Apa mereka tidak tahu operasi ini sangat butuh konsentrasi? Aku butuh kesunyian. Tap, tap, tap. Bunyi itu akhirnya membangunkanku. “Cassie, kamu akan terlambat ke sekolah,” ibuku memperingatkan. Dia mengetuk-ngetuk pintu kamarku sekali lagi. “Aku sudah bangun!” Teriakku. Aku berdiri dan membuka laci tengah lemari pakaianku. Langsung menarik pasangan baju dan celana yang pertama kali disentuh jariku. Lalu aku memasang kaos kaki dan sepatu, berpamitan pada orang tuaku, dan mencomot sebuah Pop-Tart sambil berangkat. Aku tidak bisa berhenti menguap. Serasa hanya sempat tidur lima belas menit. Marco dan aku bergantian menjagai Jake kemarin malam. Marco sekarang masih berada disana. Sampai Tom pergi ke sekolah. Kami khawatir kalau-kalau dalam demamnya Jake akan mengatakan sesuatu yang fatal jika sampai di telinga Tom.
Jadi aku menghabiskan setengah malam hinggap di dinding rumah Jake. Bersembunyi di semaksemak untuk demorf dan remorf cepat-cepat. Jake tidak mengatakan apapun yang mencurigakan. Sesakit apapun dia, kupikir ada semacam bagian dari dirinya yang mengetahui betapa berbahayanya kata-kata yang salah diucapkan. Aku langsung mendatangi gudang jerami untuk menengok Ax. Aku memasukkan kepalaku ke dalam hologram. Ax mengedip dengan mata bentuk-almondnya yang manis. <Maaf,> gumamnya. “Kupikir dia merasa tidak enak dia jatuh sakit pada saat kalian membutuhkan dia,” Erek menjelaskan. Dia menyerahkan sebuah grafik yang berisi catatan temperatur Ax yang diukur tiap jam. Sudah turun dibandingkan kemarin. Tapi kurang dari satu derajat. Sembilan puluh empat koma empat. Kami harus mengoperasinya ketika suhunya mencapai sembilan puluh satu koma tiga. Masih ada sedikit waktu. Aku mengembalikan grafik itu pada Erek, dan membelai leher Ax yang dipenuhi bulu-bulu halus. “Bahkan prajurit juga bisa sakit sewaktu-waktu,” aku memberitahunya. “Bukan salahmu.” kata Tobias dari tempat bertenggernya yang biasa di kasau. “Aku akan terlambat kalau nggak berangkat sekarang,” kataku. “Tobias, kamu tahu dimana aku kalau kamu butuh bantuan.” Aku berbalik dan berlari keluar. Aku sampai di sekolah sekitar empat menit sebelum bel masuk berbunyi. Aku langsung menunggu Rachel di lockernya. Aku menunggu disana sampai waktu bel berbunyi tinggal semenit lagi. Lalu aku memutuskan untuk mengecek lockerku. Siapa tahu Rachel sudah menunggu disana. Aku berjalan cepat-cepat menuju lockerku. Tidak ada Rachel. Bel pun berbunyi. Aku berdiri di dekat locker Rachel sampai koridor sekolah mulai lengang. Saat tidak ada lagi orang yang tersisa, aku akhirnya memutuskan untuk masuk ke kelas. Aku berhasil duduk di kursi sekitar sedetik sebelum bel kedua berbunyi. Aku mengeluarkan catatan dan pensilku, lalu mencoba berkonsentrasi pada perkataan guruku. Tapi otakku terlalu jenuh untuk dimasuki informasi baru. Aku terus menerus memikirkan seberapa rendah suhu Ax sekarang. Dan bagaimana keadaan Jake. Dan dimana Rachel berada. Setidaknya aku bisa menjawab pertanyaan terakhir. Aku mengangkat tangan dan meminta izin pergi ke belakang. Guruku tidak terlalu senang aku tidak ke toilet dulu sebelum kelas dimulai tapi dia tetap memberiku izin.
Aku membuka pintu, melewati toilet, dan pergi ke kelas pertama Rachel. Aku mengintip dari jendela kotak kecil di dinding. Rachel tidak ada di dalam. Aku berbalik dan pergi ke telepon umum di luar gym. Saat aku mencapainya, kutelepon rumah Rachel. Ibunya menjawab setelah dering kedua. “Ini Cassie. Apa Rachel di rumah?” Tanyaku tanpa basa-basi. “Rachel baru saja tidur,” katanya. “Dia muntah-muntah terus sepanjang malam.”
Chapter 13 Saat waktu makan siang tiba, aku langsung pergi ke kafetaria. Aku mencari-cari sosok Marco. Aku merasakan ketukan kecil di bahuku dan mengira bahwa itu adalah Marco. Aku membalikkan badan hanya untuk melihat Mr. Tidwell berdiri disana. “Kita harus mendiskusikan masalah pesta Klub Bahasa Spanyol,” katanya. Dia mencoba terdengar biasa. Tapi aku bisa merasakan tekanan dari suaranya. Tidak apa-apa, dia mungkin juga bisa merasakan tekanan dariku. Dia membawaku ke kelas yang kosong dan menutup pintunya rapat-rapat di belakang kami. “Visser Three akan kembali lebih cepat dari yang diperkirakan. Interogasi Aftran mungkin akan dipercepat, bisa saja malam ini. Kalian harus lekas bertindak.” Saat dia berbicara, aku tidak bisa berhenti memerhatikan mulutnya. Seorang Yeerk menggerakkan bibirnya. Mengontrol lidahnya. Apa Yeerk itu yang membuat otot-otot kerongkongan Mr. Tidwell menjadi tegang sehingga aku bisa mendengar tekanan dari nada suaranya? Apa itu merupakan bagian dari rencana yang dibuat sedemikian rupa untuk membuatku menaruh kepercayaan padanya? Untuk memastikan bahwa aku telah meyakinkan teman-temanku agar mau berjalan tepat menuju serangan dadakan? “Kenapa Anda datang pada saya?” Tanyaku tba-tiba. “Anda bilang Anda tahu segalanya tentang kami. Jadi Anda pasti tahu pemimpin kami Jake. Kenapa tidak datang padanya?” Mr. Tidwell duduk di meja guru. “Atran memercayaimu. Hanya kau. Dia bilang kamu sudah membuktikan dirimu padanya,” jelas Mr. Tidwell. Illim, maksudku. Sangat sulit mengasosiasikan dirinya dengan orang lain selain Mr. Tidwell. Aku berharap Illim tidak menarikku dari kelompokku. Kami semua seharusnya berada disini. Setidaknya semua dari kami yang kondisinya memungkinkan. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah mencoba dan memastikan aku menanyakan seluruh pertanyaan yang akan ditanyakan teman-temanku senadainya mereka disini. Tidak sulit menebak apa yang ingin Marco ketahui. “Saya punya pertanyaan lain. Bagaimana dengan Mr. Tidwell? Mr. Tidwell yang manusia, yang asli?” “Saat aku baru menggunakan Mr. Tidwell, aku bukan anggota gerakan damai,” Illim mengakui. “Dia bukan induk semang sukarela. Tidak, bukan begitu cara pengucapannya. Dia induk semangku, budakku.” Matanya terlihat lebih berair daripada biasanya. Bisakah Yeerk mengontrol bagian tubuh yang tidak digunakan manusia setiap saat? Bisakah Yeerk itu menekan satu neuron atau apa dan menstimulasi kelenjar air mata induk semangnya? “Sebenarnya hal yang mendorongku menjadi anggota gerakan damai adalah kesusahan yang dialami Mr. Tidwell,” lanjut Illim. “Teriakan-teriakan marah dan kesedihannya memaksaku mengakui
perbuatanku padanya. Pada saat bersamaan aku mendengar tentang kumpulan beberapa Yeerk yang berpikir bahwa menggunakan induk semang tidak sukarela merupakan hal yang salah.” Aku mengangguk. Masuk akal bagiku. Mendengar jeritan-jeritan makhluk berperasaan terus menerus, mengetahui bahwa kau telah menyakitinya. Bagaimana mungkin hal itu tidak memengaruhimu? Lalu aku teringat sesuatu yang Aftran katakanpadaku. Bagi sebagian besar Yeerk, manusia itu sama seperti babi. Hanya seonggok daging. Oink, oink. “Tidak langsung terjadi begitu saja,” Illim meneruskan. “Tapi perlahan-lahan aku menyadari bahwa aku tidak mau menggunakan tubuh Mr. Tidwell kalau itu berarti mengorbankan kebebasannya bagiku.” “Dan sekarang… sekarang, Mr. Tidwell ingin mengatakan sesuatu. Aku akan mengulang apa yang dia pikirkan persis sama, kata per kata,” kata Illim. “Apa Anda tidak bisa membiarkannya bicara sendiri?” Tanyaku. “Sekarang aku bicara sendiri,” kata Tidwell. “Bagaimana aku tahu itu benar?” “Kau tidak bisa tahu.” Aku ragu-ragu. “Oke. Apa yang ingin Anda katakan?” “Cassie, aku mengundang Illim untuk tetap tinggal dalam tubuhku,” Mr. Tidwell menjelaskan. “Kupikir bersama kami bisa melakukan lebih banyak bagi perdamaian daripada kalau kami berjalan sendiri-sendiri. Dia menggunakan tubuhku dengan izinku, sekarang.” Tidak ada perbedaan dalam suara dan caranya bicara. Tapi memang tidak akan ada. Tidwell menelan ludah. “Istriku meninggal beberapa tahun yang lalu. Cukup lama, aku menjadi tidak peduli pada apapun. Aku tertatih-tatih menjalani hidup. Mencoba kembali ke sekolah. Mencoba pulang kembali.” Dia mencondongkan badan, matanya terpaku padaku. “Ketika Illim mengembalikan kebebasanku kembali, aku sadar aku ingin berbuat sesuatu dengan itu. Jadi aku memutuskan untuk ikut bertempur. Apa lagi yang lebih penting dari itu?” Tanyanya. “Dan Illim dan aku, kami menjadi sahabat. Dia sebenarnya teman yang sangat baik.” Aku tidak tahu apakah Marco dan yang lainnya percaya bahwa yang barusan kudengar adalah Mr. Tidwell sendiri dan bukan semacam trik dari Yeerk. Aku tidak yakin aku percaya. Tapi aku ingin memercayainya. “Begini, saya mau membantu,” Kataku pada Mr. Tidwell/Illim. “Tapi tiga anggota kelompok kami sedang sakit. Benar-benar sakit. Bahkan salah satu dari mereka butuh bedah otak. Apa gerakan damai Yeerk benar-benar tidak bisa menyelamatkan Aftran tanpa bantuan kami?”
“Sekarang Illim yang bicara,” katanya. “Gerakan damai sedang berkembang. Kami memiliki sekitar seratus anggota. Tapi tidak semua Yeerk yang bergabung punya induk semang. Dan tidak semua induk semang cocok untuk pertempuran.” Illim menepuk-nepuk perut buncit Mr. Tidwell. “Apa bisa bertarung dengan Hork-Bajir menggunakan tubuh ini?” Tanyanya. “Aku turut prihatin mendengar ada anggota grupmu yang sakit. Tapi setelah sang Visser selesai dengan Aftran, dia akan tahu segalanya. Dan kemudian setiap Yeerk dalam gerakan damai akan mati. Induk semang mereka juga. Semua orang yang pernah menolongmu akan dipojokkan dan dijadikan Pengendali,” Illim melanjutkan. “Semua orang yang kalian sayangi akan dijadikan Pengendali. Semuanya akan berakhir, Cassie. Kekalahannya akan terjadi total, dan permanen.” Aku terduduk dan meninggalkan mukaku terkubur dalam tangan selama beberapa menit. Rasanya kepalaku mau pecah. Benar-benar tidak ada harapan! Misi penyelamatan yang mustahil, dengan setengah kekuatan kami tidak bisa digunakan? Tapi tidak ada alternatif lain. “Baiklah,” kataku, pada akhirnya. “Kalau kami bisa melakukannya, kami akan melakukannya.” Aku mendorong tubuhku berdiri dan berlajan ke pintu, kaki gemetaran. Lalu… Lalu sebuah ide… Aku berhenti, dan membalikkan badan. “Illim, bisakah Anda bertahan hidup di luar tubuh Mr. Tidwell selama beberapa jam? Tanpa berada dalam kolam Yeerk, maksudku,” tanyaku. “Selama aku tinggal di tempat yang cair,” jawabnya. Dia terlihat agak kebingungan. Tapi aku tidak kebingungan. Aku punya rencana. Rencana yang benar-benar menyeramkan. Tapi rencana.
Chapter 14 “Hei, Marco. Tunggu sebentar.” Aku mengejarnya di jalanan sampai aku sejajar dengannya. Aku sudah berharap bisa bertemu dengannya dalam perjalanan pulang. “Aku bicara dengan Tidwell. Visser Three akan balik lebih awal.” “Kamu ingat ‘Lima Monyet Kecil’?” Tanya Marco padaku, nyengir aneh. “Kamu dengar nggak?” Tanyaku menuntut. “Kita harus selamatkan Aftran hari ini. Tapi kupikir aku punya rencana.” “Itu lagu. Lebih mirip irama tanpa nada, sih. Pakai gerakan tangan dikit-dikit,” Marco meneruskan. Tanpa menghiraukanku. “Begini.” Marco mulai bicara dengan ritme. “Lima monyet lompat di tempat tidur. Satu monyet jatuh kepala luka. Mama panggil dokter dan dokter bilang – “ Aku melagukan kalimat terakhir bersama Marco. “’Monyet jangan lompat di tempat tidur.’ Yeah, yeah, bisa lanjut?” “Terus ulangi lagi dari awal. Tapi sekarang monyetnya tinggal empat,” kata Marco. Aku memutar tubuhku dan berjalan mundur sehingga aku bisa melihat wajahnya waktu dia bicara. “Aku masih ingat. Sekarang, kamu mau main lompat karet atau mau dengar rencanaku?” “Kita ini lima monyet kecilnya,” tukas Marco, memandang mataku dalam-dalam. “Well, enam. Tiga dari kita sudah jatuh dari tempat tidur. Sekarang tinggal tiga yang terisa. Monyet Cassie. Monyet Tobias. Dan Monyet Marco.” Dia ber oooh-ooh-oooh setengah hati dan menggaruk-garuk badan a’la monyet di kartunkartun. “Kamu ketakutan, ya, kan?” Tanyaku. Aku kembali berjalan di sampingnya. “Yeah, aku ketakutan. Tentu saja aku ketakutan,” dia membalas. “Ax bisa mati. Dan kita mau siap-siap masuk kolam Yeerk dengan setengah kekuatan tempur kita. Setengah! Itu juga kalau salah satu dari kita nggak sakit duluan beberapa jam lagi. Padahal kemungkinan itu terjadi besar.” “Kamu merasa baik-baik saja kan, tapi?” Tanyaku. Aku mengangkat tangan dan menekankan pergelangan tanganku di dahinya. Lumayan hangat. Agak lembab. Tapi kami sudah jalan cukup jauh. Marco mungkin hanya berkeringat. “Mataku rasanya agak aneh. Kayak ada getahnya,” Marco mengakui. “Tapi tadi ada film di Health hari ini5.” “Nggak apa-apa, kan, kalau begitu.”
5
Kalau mau jujur, saya udah cari kemana-mana tapi tetap nggak ketemu referensi acara Health ini.
“Kupikir gara-gara Rachel nggak bisa, aku yang pegang tanggung jawab sekarang,” kata Marco. “Yep. Kamulah orangnya,” jawabku. “Jadi, karena aku pemimpinnya, sepertinya aku harus mendengar rencanamu,” ujarnya. Marco memindahkan beban tasnya ke bahu yang satunya. Lalu memindahkannya lagi. “Aku bicara dengan Mr. Tidwell aktu istirahat. Dia bilang dia sukarela bergabung dengan gerakan damai Yeerk. Dia pikir itu adalah pekerjaan terpenting yang bisa dia lakukan sekarang,” jelasku. Marco tidak berkomentar pedas seperti biasa, jadi aku melanjutkan. “Illim, Yeerknya Mr. Tidwell, bilang kalau dia bisa bertahan beberapa jam di luar tubuh kalau dia ada di lingkungan yang cair. Dia nggak harus ada di kolam Yeerk atau dimana.” Aku mengambil nafas. “Kupikir aku bisa morf jadi dia dan-“ “Kamu mau morf jadi Yeerk?” Tanya Marco tidak percaya. Dia mulai mengeluarkan suara-suara seakan ingin muntah. “Aku tahu kedengarannya depresi, tapi…” Suaraku menghilang saat Marco terhuyung menghampiri semak-semak dan muntah betulan. Aku berjalan menghampirinya dan meletakkan tanganku di punggungnya. Akhirnya punggung Marco berhenti berguncang. Dia menegakkan badan dan menyeka mulutnya dengan lengan baju. Lalu dia berbalik memandangku. “Satu monyet lagi jatuh dari tempat tidur,” katanya. Lalu, dengan senyum sedih dia menambahkan, ” Cassie yang malang.” Aku mencoba membalas tersenyum berani. Tapi aku sama sekali tidak merasa berani. Aku merasa ketakutan dan ditinggalkan. “Harus perhitungkan satu hal,” ujar Marco lemah. “Apa?” “Bagaimana kalau… Bagaimana kalau kamu berhasil?” Lalu dia ambruk. Dan aku jadi terlalu sibuk membawanya berdiri di atas kakinya untuk memikirkan perkatannya barusan. Baru nanti hal itu terpikir kembali. Marco sudah melihat kesalahan fatalnya. Kalau aku berhasil. Kalau aku menyelamatkan Aftran. Lalu apa? Aku akan punya seorang Yeerk pelanggar hukum, tanpa induk semang, dan yang paling buruk sejauh ini, tampa akses ke sinar Kandrona penentu-hidup. Aku bisa menyelamatkan Aftran. Hanya untuk melihatnya mati.
Chapter 15 lapor Tobias dari tempat hinggapnya saat aku memasuki gudang jerami. Aku berhitung sedikit dalam kepala. Aku sudah pergi selama sembilan jam. Suhu Ax sudah turun satu koma enam derajat. Jadi dia kehilangan hampir dua derajat per jam. Berarti kami punya sekitar delapan jam sebelum dia mencapai masa kritis. “Visser Three kembali malam ini,” kataku pada Tobias. Aku memberitahunya seluruh isi percakapanku dan rencanaku. “Aku harus sudah kembali dari kolam Yeerk sebelum Ax butuh dioperasi,” kataku. Kalau aku bisa kembali. Aku menuju kandang kuda tempat Ax. <Masalah,> kata Tobias. <Suhunya terus menerus turun sepanjang hari. Masa kritisnya bisa terjadi malam ini, atau beberapa jam dari sekarang, atau sekarang juga. Aku sama sekali nggak bisa lihat polanya. Kadang turunnya lambat, kadang cepat.> “Mungkin kamu harus melakukannya sendiri. Operasinya,” ujarku. “Kamu harus buat Ax memberitahu dimana letak kelenjar itu. Kamu bisa gunakan ruangan kecil yang dipakai ayahku untuk mengatur tulang dan macam-macam. Ada alat-alat di dalam.” <Jadi, Rachel dan Marco?> Tanyanya. “Yeah,” jawabku. balasnya. <Mencoba menyelamatkan dunia lebih awal. Kamu tahu lebih banyak soal obat dan sebagainya daripada aku.> “Aku janji nggak akan ikut pesta setelah-menyelamatkan-dunia,” ujarku. Aku ingin berada disini ketika Ax mencapai masa kritisnya. Tapi aku tidak yakin aku akan bisa melakukan lebih dari yang Tobias bisa. Yeah, aku tahu cara membalut sayap burung yang patah dan memaksa seekor rakun menelan pil. Tapi itu semua bukan bedah otak. Sama sekali bukan. Satu sayatan di tempat yang salah, dan Ax bisa kehilangan kemampuan berbahasa-pikiran. Atau bernafas. Akan sangat mudah menyebabkan kerusakan permanen. Padanya. Sangat mudah membunuhnya. Bagaimana caraku hidup dengan kenyataan bahwa aku telah membunuh seorang sahabat? Mengingatkanku pada Aftran. Dia juga seorang sahabat. Dan menyelamatkannya dari kolam Yeerk berarti menyiksanya dengan rasa lapar kekurangan Kandrona kecuali aku bisa memikirkan jalan lain.
Aku tidak tahu bagaimana cara Jake melakukannya. Bagaimana cara dia membuat keputusankeputusan hidup-dan-mati tanpa jadi gila dengan rasa bersalah dan penyesalan. <Mungkin aku akan pergi menengok yang lainnya,> kata Tobias, menarikku dari pikiranpikiranku. “Lebih baik begitu,” jawabku. Dia pasti mau menengok Rachel. “Aku akan berangkat sekitar sejam lagi.” janjinya. Dia mengepakkan sayapnya keluar dari jendela ventilasi bagian atas. Aku menghampiri tempat Ax. Saat aku membuka pintu, Ax dan Erek muncul di hadapanku. “Bagaimana keadaan kalian?” Aku menanyai mereka. <Erek sudah mengajariku cara bermain Gunting, Batu, Kertas. Batu menghancurkan gunting, bisa kumengerti,> katanya. “Kertas mengalahkan batu. Memang agak aneh,” aku menimpali. Ax memberitahuku. Aku mengangkat alis pada Erek. Dia mengangkat bahu. <Satu juta tujuh dolar. Apa uang sejumlah itu termasuk besar?> Tanya Ax. “Di atas sana,” kataku, menepuk-nepuk lengannya sekilas, Ax memutar mata pengintainya ke atas, memerhatikan atap gudang. katanya. “Maksudku, iya, itu jumlah yang besar. Uang yang sangat besar jumlahnya,” jelasku. Ax tetap mengunci pandangannya ke atas. Dia maju ke depan sekali dan tubuhnya langsung berguncang. “Sudahlah,” kata Erek. “Jangan permasalahkan hal itu. Kita akan main lagi nanti, dan kamu akan memenangkan hutangmu.” Ax tidak menjawab. Dia masih memerhatikan langit-langit. Erek mencondongkan badan ke arahku. “Keadaannya sudah seperti ini sepanjang hari,” bisiknya. “Dia akan terlihat baik-baik saja. Tapi lalu lepas lagi.” Jadi dia masih mengigau kadang-kadang. “Pernah hampir tertangkap basah ayahku?” Tanyaku. Aku melirik pintu kandang. Dari sisi bagian dalam, hologramnya terlihat seperti awan perak berkabut. Aku hanya bisa melihat bentuk-bentuk buram dan bayangan di gudang jerami.
“Sekali, Tobias sampai harus membuat keributan di setiap kandang. Binatang-binatang semua jadi panik, dan ayahmu disibukkan oleh hal itu,” Erek menjawab. “Tolong bilang padaku kamu nggak akan ikut terjangkit.” Erek tersenyum, ”Aku tidak pernah sekalipun sakit dalam hidupku. Dan aku ini sangat, sangat tua.” Aku menoleh pada Ax. “Ax. Hei, Ax. Ayolah, berhenti memandangi langit-langit. Kita harus bicara.” Perlahan Ax menurunkan mata pengintainya. “Bisakah kamu memberitahuku dimana letak kelenjar Tria? Bisa tolong tunjukkan daerahnya di kepalamu?” Ax memprotes. Oh, man. Dia pikir dia sedang berada di sekolah. “Ini bukan ulangan, Ax. Kamu nggak bakal menerima nilai atau apa,” aku mencoba menenangkannya. “Jawab saja. Dimana kamu pikir letak kelenjar Tria itu? Aku harus tahu.” Thump. Thump. Thump. Erek mencengkram bahuku dan menunjuk ke arah gudang. Ada bayangan hitam yang bergerak mendekat. Sepatu bot ayahku yang berisik bergeletokan melintasi gudang jerami. Dan dia sedang berjalan tepat menuju tempat kami. Aku melompat melewati pintu kandang dan cepat-cepat merangkak berdiri. Pasti aku kelihatan seperti muncul dari udara kosong. “Ayah nggak usah melakukan apa-apa lagi,” kataku cepat. “Aku sudah memberi makan dan minum semua binatang.” Ayahku mengintip ke belakang bahuku. “Dimana tadi kamu sembunyi? Aku tadi yakin kandang kuda itu kosong waktu aku datang.” “Aku disitu terus kok. Ayah harus mulai pakai kacamata,” kataku. Ayahku mengerutkan dahi. “Kamu nggak bisa membohongi Ayah, Cassie,” katanya padaku. “Aku tahu kamu tadi berada di dalam kandang kosong itu. Dan kenapa.” Jantungku berdegup kencang. “Ayah tahu?” Tanyaku. Dia mengangguk. “Kamu sedang pura-pura jadi kuda, kan?” Selidiknya.
Aku sudah tidak pernah lagi memainkan permainan itu sejak umurku lima tahun. Oke, mungkin enam. Tapi aku tidak mengakui hal itu pada ayahku. Aku hanya tersenyum lemah padanya. “Yah. Ketahuan, deh.”
Chapter 16 Setelah ayahku keluar dari gudang jerami, aku memberi makan dan minum para binatang. Harus, karena aku bilang aku sudah melakukannya. Lalu aku pergi ke tempat dimana ayahku punya semacam daerah pertukangan dalam gudang jerami. Dia bukan Yusuf si tukang kayu, tapi dia pernah benar-benar berminat membuat rumah burung. Ditambah lagi dia masih membuat sangkar burung kadang-kadang, dan dia sendirilah yang memperbaiki gudang jerami kalau ada yang rusak. Jadi jumlah dan variasi alat-alat pertukangannya lumayan banyak. Aku tahu ayahku punya sebagian besar peralatan yang dibutuhkan untuk operasi kelenjar Tria di ruang operasi. Tapi kupikir dia tidak ada satu pun alat itu yang bisa kugunakan untuk melubangi tengkorak Ax. Ayahku adalah dokter hewan yang hebat, tapi dia jarang membedah menembus tulang. Aku memerhatikan tumpukan berantakan alat-alat itu satu persatu. Apa ada yang bisa memotong tulang? Ayahku punya sebuah gergaji dengan gigi-gigi tajam yang kupikir bisa berguna. Tapi gergaji itu terlalu panjang. Kecuali aku mau memotong kepala Ax dari luar ke dalam seperti melon besar… Aku memejamkan mata erat-erat, menghalau bayangan sadis yang muncul di kepalaku. Aku mencoba meyakinkan diri sendiri. Kelenjar Tria itu mungkin tidak terlalu besar. Aku hanya butuh membuat lubang yang kecil. Lubang kecil yang akan langsung mengekspos otak Ax. Entah kenapa hal itu tidak terlalu menenangkan. Aku memeriksa alat-alat itu lagi. Ada bor listrik. Pasti bisa melubangi tulang. Tapi lubang yang dibuat pasti terlalu kecil. Aku melihat beberapa peralatan lain terselip di belakang rumah burung yang setengah selesai. Aku mengambilnya, jariku mengelilingi lubang bundar kecil di bagian depannya. Hmmm. Lubang itu mungkin punya ukuran yang sesuai dengan yang kubutuhkan. Aku mengingat-ingat benda apa yang digunakan ayahku menggunakan alat ini. Namanya gergaji lubang. Terlihat agak seperti pembuka tutup botol. Kecuali, di tempat dimana seharusnya ada cincin metal untuk membuka tutup botol, ada gergaji bulat mungil. Aku berlari menuju ruang operasi, menyalakan lampu neon, dan menyimpan gergaji itu. Lalu aku mengumpulkan barang-barang yang kupikir akan kubutuhkan : hemostat, retraktor, gunting, jarum suntik, benang operasi, bola-bola kapas, perban, betadine, alkohol. Saat aku melangkah keluar dari ruang oeprasi, aku mendengar bunyi kepakan sayap. Lalu Tobias memasuki gudang melalui ventilasi. “Bagaimana keadaan Rach-“ Aku memulai. jawabnya sambil melayang menuju tempat bertenggernya yang biasa. <Mulai merasa…> Kata-katanya mengambang pergi saat dia menukik ke bawah untuk mendarat. Makin ke bawah.
Terlalu ke bawah. “Tobias, awas!” Teriakku ngeri. THUMP! Tobias menubruk kasau itu kepala duluan. Dia meluncur tajam. THUD! Dia mendarat di lantai gudang. Dan tidak bergerak-gerak lagi. “Jangan! Jangan, jangan, jangan!” Aku berlari menghampirinya dan menjatuhkan lututku disamping tubuhnya. Pelan-pelan aku mengangkatnya dari lantai. Aku tidak tahu siapa yang sedang gemetar. Dia. Atau jari-jariku yang memeganginya. “Tobias, kamu baik-baik saja?” Tanyaku perlahan. Dia tidak menjawab. “Tobias? Tobias!” jawabnya. Dia agak pening. Tapi yang jelas masih hidup. Aku memanjat berdiri, melangkah hati-hati untuk menghindari guncangan, dan menuju deretan sangkar-sangkar. “Aku akan meletakkanmu di samping seekor elang emas. Aku tahu kamu benci mereka, tapi cuma itu sangkar yang kosong.” Tobias mengepak lemah di tanganku. Protesnya. “Biar ayahku yang merawatmu,” jawabku. Aku menaruhnya di dalam sangkar yang kosong itu dan mengunci pintunya. Jeritnya. Dia mencoba berdiri dengan cakarnya dan merentangkan bulu-bulunya. Aku menarik kartu keterangan dan menulis bahwa si elang ekor-merah terlihat kacau. Aku menambahkan perkiraan bahwa dia sudah menabrak salah satu kasau. Kalau ada gejala-gejala lain, ayahku akan tahu cara mengatasinya. Setidaknya aku tidak harus khawatir soal Tobais. Aku harus memindahkan kekhawatiranku pada Ax. Jika dia mencapai masa kritis saat aku sedang bertarung di kolam Yeerk, tidak akan ada yang bisa mengoperasinya.
Tobias mematuk salah satu jeruji besi sangkar dengan paruhnya. “Oh, sudahlah,” kataku kesal. “Kamu ada di tempat terbaik dari tempat manapun yang bisa kamu bayangkan. Aku nggak punya waktu, nggak punya, NGGAK PUNYA waktu buat hal yang aneh-aneh, oke?!” jawabnya patuh. “Ya, bu,” kata Erek dari kandang kuda paling ujung. Aku mencoba mengontrol diri. Aku menarik nafas dalam-dalam dua kali. Tidak berguna. Aku tidak bisa tenang.
Chapter 17 Tobias benar, pikirku, saat aku masuk ke dalam rumah. Aku pemimpinnya sekarang. Pemimpin dari satu anggota. Monyet kecil terakhir yang melompat-lompat di tempat tidur. Aku melihat ibuku duduk di depan komputer. “Aku sedang menulis karya tulis soal bedah otak pada binatang,” kataku padanya. “Ada buku yang kira-kira bagus, nggak?” “Hmm.” Ibuku menarik satu buku hijau tebal dari rak di atas kepalanya. “Bagian pembukaan buku yang ini lumayan bagus.” Dia mengambil satu buku lagi yang lebih tipis. “Yang ini punya beberapa foto yang bagus.” Aku mengambil buku-buku itu. “Thanks. Rachel sedang flu. Aku tadi bilang padanya aku mau menemaninya.” “Well, kamu perhatian sekali,” katanya. Dia mengambil cangkir kopinya dan menenggaknya. Aku ingat hari dimana dia mendapatkan cangkir itu. Dia dan ayahku sedang berada di taman hiburan The Gardens. Disitu ada tempat foto dimana kamu bisa menempelkan mukamu di tubuh orang lain. Kami bertiga memutuskan menjadi supermodel. Ibuku pikir itu lucu sekali jadi dia mencetaknya di dinding cangkir. Ibuku dan aku suka menggoda ayahku, mengatakan bahwa dialah yang paling cantik dari antara kami bertiga. Dia selalu tertawa dan pada akhirnya memberikan tips-tips kecantikan ngaco. “Akan kusampaikan salam,” kataku. Berbohong, dengan cara yang sama seperti setiap kebohonganku sejak Elfangor membrikan kami kemampuan morf. “Urn, dadah.” Kuharap aku bisa mengatakan sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih. Hari ini bisa menjadi hari terakhirku –. Aku berlari keluar rumah dan kembali ke gudang jerami. Aku berjalan menuju tempat Ax. Mengambil satu tarikan nafas dalam, lalu melangkah ke dalam. “Bagaimana keadaanmu, Ax?” Tanyaku. Salah satu mata pengintainya berayun setengah lingkaran padaku. Hanya itu responsnya. “Aku baru saja mengukur suhunya. Sembilan satu koma sembilan,” kata Erek. Turun hampir satu derajat kurang dari satu jam. Kalau suhunya terus turun dengan kecepatan seperti ini, aku pasti tidak akan kembali tepat waktu. Tobias bilang temperaturnya tidak turun dengan pola yang bisa diprediksi. Aku harus berharap turunnya akan jadi lebih perlahan sekarang. “Erek, sekarang Tobias juga sakit. Aku harus menaruhnya di salah satu sangkar,” kataku. “Kalau Ax mencapai masa kritis sebelum aku kembali…” Aku benar-benar tidak mau mengatakan hal ini. Tapi harus.
“Kamu jangan pergi mendatangi ayahku atau siapapun untuk minta pertolongan,” aku meyelesaikan kalimatku. Apa yang sedang kukatakan pada Erek adalah dia harus membiarkan Ax mati. Erek mengangguk. “Aku mengerti.” Kalau Ax sedang normal, dia pasti juga bisa mengerti. Aku tahu dia bisa. Ax adalah kadet-prajurit yang terlatih. Dia tahu terkadang salah satu anggota grup harus mati untuk menyelamatkan sisanya. Aku meletakkan telapak tanganku pada dahi Ax. “Kamu bisa dengar aku, Ax?” Tanyaku. Aku merasakan gerakan yang sangat pelan terjadi di bawah tanganku. Apa dia mendengarkan? Apa dia mencoba menjawab? Aku tidak bisa yakin. “Sori, Ax,” bisikku. “Aku akan tinggal bersamamu seandainya aku bisa.” Aku merasakan air mata yang panas menyakiti mataku dan aku mengedip keras-keras. “Kamu mengerti, kan?” Lanjutku. “Aku harus mencoba menyelamatkan kita semua. Bukan hanya kamu.” Dengan berat hati aku mengangkat tanganku dari dahinya. Lalu aku berbalik pergi dari tempat itu tanpa berkata apa-apa lagi. Aku mengambil sepedaku dari tempatnya diparkir di samping pintu gudang. Aku menaikinya dan mengayuhnya sekencang mungkin. Aku tidak akan pergi jauh-jauh. Sepeda yang normal, baik, dan tua ini merupakan kendaraan terbaik. Aku mengayuh pergi meninggalkan Ax dan Tobias dan Erek. Meninggalkan kedua orang tuaku. Meninggalkan Jake, Marco dan Rachel. Aku benar-benar sendirian. Aku menghentakkan kakiku memutar pedal. Berusaha membakar sebagian rasa takut yang menumpuk dalam diriku. Mencoba menghalau semua pemikiran ‘bagaimana kalau’. Bagaimana kalau aku tidak kembali saat Ax mencapai masa kritisnya? Bagaimana kalau rencanaku tidak berhasil? Bagaimana kalau aku jatuh sakit sebelum aku bisa menyelamatkan Aftran? Bagaimana kalau aku jadi kacau? Bagaimana kalau? Bagaimana kalau? Bagaimana kalau? Bagaimana kalau dari dulu aku sudah membunuh Aftran? Kecepatanku melambat saat aku memikirkan hal itu.
Aku juga sendirian pada saat itu. Sendirian, aku mengambil keputusan untuk membiarkan Aftran hidup. Itu merupakan pilihan yang tepat. Aftran tidak mengkhianatiku atau anggota Animorphs yang lain. Dia pergi melakukan hal yang penting bagi gerakan damai Yeerk. Kalau aku mengeluarkan Aftran dari kolam Yeerk sebelum sang Visser menginterogasinya, gerakan damai itu akan terus beroperasi. Animorphs akan terus berjuang. Kalau aku gagal…
Aku mengendarai sepedaku masuk ke garasi Mr. Tidwell dan memarkirnya. Lalu aku langsung menuju pintu depannya. Dia mengayunnya terbuka sebelum aku membunyikan bel. “Dimana yang lain?” Tanyanya. “Sakit.” “Cuma kau sendirian?” “Ya. Aku. Aku atau tidak siapapun juga.” Dia terdiam sejenak, lalu mengundangku masuk. “Jadi dimana kita akan melakukan hal ini?” Ujarnya langsung setelah aku menjejakkan kakiku ke dalam. “Kamar mandi? Dapur? Dimana?” Dia terus memegangi telinganya, menggosok-gosokkan jari pada daunnya. Dia terlihat benarbenar ngeri pada apa yang sebentar lagi akan kami lakukan. Aku jadi ingin memberitahunya untuk bergabung dengan klub6. Tapi mungkin segalanya nanti akan jadi lebih buruk. “Dapur juga bisa,” jawabku. Aku yang memimpin perjalanan, walaupun itu rumahnya. Walaupun dia guru dan aku muridnya. Kami tidak punya waktu berurusan dengan hal itu. Aku duduk di meja dapur dan mengajak Mr. Tidwell duduk di kursi yang terletak di sebelahku. “Jadi sekarang?” Tanyanya. “Ayo lakukan!” Kataku. Seharusnya itu kalimat Rachel. Tapi Rachel tidak sedang berada disitu. Mungkin kalimat itu bisa membawa keberuntungan bagi kami. Bagi kami semua. Mr. Tidwell menelengkan telinga kanannya pada meja. Aku membungkuk. Mataku terkunci pada lubang telinga itu. Aku tidak bisa memalingkan perhatian. Ada sesuatu yang berkilat-kilat di dalam lubang itu. Lalu tubuh abu-abu sekurus pensil mencuat keluar. Bergoyang kesana dan kemari. Makhluk itu seakan-akan sedang mencicipi udara. Shh-lop. Shh-lop. Shh-lop. Lebih banyak lagi bagian tubuh abu-abu mendorong dirinya keluar dari telinga Mr. Tidwell. Plop!
6
Bergabung dengan klub = Join the club. Frase Amerika. Maksudnya, bergabung dengan orang-orang yang merasa sehati gara-gara suatu alasan, di kasus ini, sehati merasa gugup. Jadi ikut bergabung dengan klub gugup imajiner, begitu.
Yeerk itu jatuh dari jarak beberapa inci ke atas meja. Tubuhnya sudah memipih dan memanjang saat dia berusaha keluar dari lubang telinga. Aku memerhatikan dagingnya berkontraksi, seperti tangan yang mengepal. Membentuk tubuhnya yang seperti-siput. Aku tersentak mundur. Kaki-kaki kursi yang kududuki berdecit di lantai dapur. Itu Illim, kataku pada diriku sendiri, mencoba mengontrol belitan di perutku. Mr. Tidwell mengambil lap tangan dari meja dan menyeka telinganya. “Selalu membuatku merasa… Entahlah. Kosong.” Aku tidak menjawab, Aku mau rencanaku berlanjut. Aku tidak mau ada terlalu banyak waktu dimana aku bisa berpikir akan apa yang nanti mau kulakukan Aku mengangkat tangan dan meletakkan ujung jariku pada tubuh Illim yang lembab dengan lembut. Aku menutup mataku. Berkonsentrasi. Dan DNA dari Yeerk itu menjadi satu denganku. Yeerk itu. Yeerk itu menjadi salah satu bagian dariku. Aku menarik tanganku dari Illim. Mr.Tidwell mengisi sebuah kantong Ziploc7 dengan air dan menyelipkan Illim ke dalamnya. Lalu dia mengunci bagian tutupnya hampir penuh dan meletakkan kantongitu di saku jaket corduroynya8. “Kau tahu, jika ada satu hal yang salah, Visser Three bisa tahu akulah yang membawamu masuk,” katanya. “Kalau sudah begitu, dia akan membunuh kita semua.” “Yeah, well, dia sudah mencoba melakukan hal itu sejak dulu, tapi lihat aku sekarang masih disini,” kataku. Lalu aku menertawakan aksi beraniku sendiri. Mr. Tidwell tersenyum. “Kamu selalu jadi murid yang baik. Tidak seperti Jake, yang tidak pernah benar-benar menggunakan seluruh potensinya.” Aku menghela nafas. “Well, kuharap Jake ada disini sekarang. Ya sudah. Aku harus melakukannya. Agak tidak menyenangkan untuk dilihat.” “Sepertinya aku bisa tahan.” Aku memfokuskan pikiranku. Perubahannya terjadi. Setiap morf itu menakutkan. Setiap morf baru itu dua kali menakutkan. Morf ini… Inilah musuh kami. Parasit. Siput. Kulitku jadi licin tertutup lapisan tipis lendir. Menyelubungi seluruh tubuhku, keluar dari poripori. Di kelopak mataku. 7
Kantong plastik yang ada resletingnya. Semacam… mmm… kalau kita beli obat bentuk kaplet atau pil pasti obatnya dimasukin ke kantong Ziploc. Di kantong tertera nama pasien sama jawal minum obat. Semacam itu. 8 Corduroy = sejenis beludru atau kain katun tebal.
Di sela-sela jari-jari kaki dan tanganku. Lehrku, kakiku, perutku. Lendir itu makin lama makin tebal menyerupai Jell-O setengah jadi. Merembes ke dalam telingaku. Hidungku. Mulutku. Aku tersedak saat lendir itu berkumpul di mulutku. Gigi-gigiku mulai melebur, seakan terbakar oleh asam. Bibirku meleleh menjadi satu, menngunci gigiku yang sudah tiada bersama tumpukan lendir didalamnya. Ax selalu bilang akulah yang paling jago bermetamorfosis. Tapi sulit sekali melanjutkan morf ini. Aku mencoba rileks. Untuk membiarkan perubahan-perubahan terjadi. Tubuhku jadi dingin saat lendir tebal itu mengalir di kerongkonganku, mengisi esofagusku. Entah bagaimana aku masih bisa bernafas. Mungkin lewat kulit. Gelombang rasa mual menjalari tubuhku saat cairan itu mencapai isi perutku. Aku merasakan bagian-bagian itu menggulung dan menghilang. Lendir itu juga mencapai jantungku. Lalu jantungku mengkerut dan berhenti berdetak. Tanganku menempel ke sisi tubuhku dan kakiku menempel satu sama lain. Aku merasakan lendirnya menyerap melewati kulit dan dagingku sampai akhirnya mencapai tulang. Tulangku serasa berubah jadi es. Lalu tiba-tiba pecah menjadi triliunan keeping. Lantai menerjangku saat aku jatuh dari kursi. Ukuranku masih belum kecil, dan aku berbaring saja disana, siput terbesar di dunia. Seluruh tubuhku hanya terdiri dari daging yang licin dan lembek. Hanya matakulah yang belum berubah sama sekali. Pandanganku tertuju ke langit-langit. Aku bisa melihat Mr. Tidwell di atasku. Mukanya menujukkan ekspresi ngeri yang amat sangat. Sepertinya dia sedang berteriak. Aku tidak bisa mendengarnya. Wajahnya jadi buram saat lendir mulai melapisi mataku. Aku tidak bisa melihatnya lagi saat mataku pun meleleh sepenuhnya. Lalu tubuhku menggulung sendiri. Makin ke dalam, makin ke dalam. Menjadi lebih kecil dan makin kecil. Jatuh… Jatuh… Lalu selesai. Perubahannya berhenti. Aku telah menjadi seorang Yeerk.
Chapter 19 Aku terdiam di lantai dapur Mr. Tidwell. Tuli, buta, hanya mampu bergerak sangat terbatas. Bagaimana caraku menemukan telinga Mr, Tidwell? Aku tidak tahu, tapi Yeerk ini tahu. Aku mencoba membuka diri ke insting alaminya dan membiarkan Yeerk itu membimbingku. Aku menyadari aku bisa melakukan sesuatu seperti penginderaan gema kelelawar. Atau seperti sonar. Yeerk itu menembakkan gelombang-gelombang elektrik, lalu menganalisa pantulannya. Gelombang itu bisa memberi bayangan seperti apa bentuk dan ukuran sebuah benda. Sonarku merasakan sebuah objek, lebih besar daripada aku, sedang bergerak. Aku merasakan kehangatan mengelilingi tubuhku, dan aku dibawa naik, naik, naik. Sonarku menangkap bentuk lain. Insting Yeerkku langsung terdorong keluar. Aku mengeluarkan dua tonjolan dari bagian depan tubuhku. Meraba-raba sekitarku sampai aku menemukan satu lubang kecil. Lalu aku bergerak masuk. Melata tepat menuju bagian dalam telinga Mr. Tidwell. Sempit. Aku mengekskresikan semacam zat pembunuh rasa sakit untuk melegakan liang telinganya dan menggeliat, mengatur bentuk tubuhku, mendorong tulang dan otot agar tidak menghalangi jalanku dengan kekuatan yang mengagetkan. Aku menembus telinga. Maikn dalam. Mencapai daging, sekarang. Makin ke dalam. Aku terus bergerak sampai akau merasakan satu sentilan kecil arus listrik. Ya! Inilah yang aku cari-cari. Otak! Neuron-neuron menghujaniku dengan arus bertegangan mikro saat aku meregangkan tubuh. Aku hanya setipis kertas. Melebar seperti Silly Putty9 yang sudah dipukuli. Aku mengisi tiap celah dan retakan dalam otak. Ah! Sekarang aku bisa merasakannya. Nuron-neuron itu berhubungan denganku. Membuatku menjadi bagian dari tubuh yang aneh dan peuh misteri ini. Aku merasakan kesenangan dan rasa kagum dari si Yeerk atas kemampuan barunya. Atas ukuran, kekuatan dan kemampuannya. Rasa senang hewani yang mendalam, tanpa-sadar, dan tanpapemahaman. Aku menyentuh pusat pendengaran otak. Ahhh! Rasanya seperti hidup kembali. Suara air yang menetes-netes di tempat cuci piring sangat menyenangkan untuk didengar. Lalu, aku menyentuh pusat penglihatan. 9
Polimer anorganik. Lentur, bisa memantul tapi pecah kalau dipukul keras-keras. Bisa juga meleber kayak air, membentuk genangan kalau dibiarkan begitu saja. Produknya Crayola, buat mainan anak-anak.
Seakan keluar dari lorong gelap setelah terperangkap selama-lamanya. Terlalu banyak untukku! Begitu membahagiakan! Kegilaan yang saking memesonanya membuat pening. Aftran memang benar saat dia bilang manusia hidup di tengah-tengah keindahan dan keagungan. Taplak meja Mr. Tidwell yang bermotif kotak-kotak merah dan putih benar-benar sesuatu yang harus dinikmati pelan-pelan. Dan – Aku mendengar sebuah suara memanggilku. Mr. Tidwell. Berbicara dalam pikiranku. <Apa kau tidak tahu cara menggerakkan tubuhku?> Tanyanya, terdengar panik. Aku bisa saja berdiri di dapur Mr. Ttidwell semalam suntuk. Membiarkan diriku tenggelam dalam rasa bahagia mendapati sensasi-sensasi baru. Tapi aku punya satu tugas. Dan tidak banyak waktu. Aku mengontrol keinginan Yeerkku untuk menjelajahi dunia yang menurutnya baru ini. Aku tidak tahu cara menggunakan hubungan antara diriku dengan Mr. Tidwell untuk mengontrol tubuhnya. Tapi Yeerk ini tahu. Aku membiarkannya menelaah bagian-bagian otak Mr Tidwell. Beberpa bagian mengontrol fungsi fisik seperti menggerakkan otot. Bagian yang lain menyimpan memori. Saat aku merambah area itu, pikiranku dibanjiri oleh gambaran-gambaran dari potongan hidup Mr. Tidwell. Mr. Tidwell duduk di dapur ini, tempat cuci piring dipenuhi cucian kotor. Meja dapur diselubungi bercak-bercak makanan. Bau sampah mengambang di udara. Mr. Tidwell yang lebih muda, lebih kurus, berada di dapur yang sama, tapi berseri-seri dan bersih. Dia berdiri di sebelah istrinya sambil mencipratinya dengan air sabun. Mr. Tidwell berjalan menuju kelas di hari pertamanya sebagai seorang guru. Merasa bangga dan gugup saat dia menuliskan namanya di papan tulis dan berbalik untuk menghadapi murid-muridnya. Mr. Tidwell memanjat tempat tidurnya kemarin malam, dan meletakkan foto istrinya di atas bantal di sebelahnya dengan hati-hati. Aku tidak mau melihat hal itu. Aku tidak mau mengorek memori Mr, Tidwell. Kuharap aku bisa minta maaf padanya, tapi walaupun aku bisa mendengar pikirannya, aku tidak tahu bagaimana cara mengirim pikiranku balik. Aku melanjutkan mencari-cari seisi otaknya, mundur saat aku bertemu kepingan memori. Tapi memori ada dimana-mana. Aku sedang menyerang rahasianya, menghancurkan segala macam privasi. Aku merasa malu. Aku mencoba menggerakkan tangan. Bergerak.
Aku mencoba bersuara. Lumayan gampang. “Oke, kupikir aku sudah mengerti,” gumamku dalam suara Mr. Tidwell. Aku berjalan selangkah – dan menabrak meja. <Jangan khawatir, aku memang agak ceroboh,> kata Mr. Tidwell. Aku menghargai usahanya untuk bercanda. Aku melangkah sekali lagi. Tidak menabrak apa-apa. Aku berjalan pelan-pelan ke pintu depan, tiap gerakan membuat kontrolku semakin lancar. Aku menaiki mobil Mr. Tidwell. Aku tidak tahu caranya mengemudi, tapi Mr. Tidwell tahu. Dan apa saja yang dia bisa kerjakan, sekarang bisa kukerjakan. Aku mengambil kunci dari kantung Mr, Tidwell, menyalakan mesinnya, dan meluncur ke jalanan. Keren juga mengendarai mobil sendiri. Aku jadi agak sedih saat kami memarkir mobil kami di tempat parkir Mc Donald’s. Sedih disebabkan berbagai alasan. Biasanya sekarang aku akan mendengarkan instruksi-intruksi akhir dari Jake, tertawa pada lelucon yang dilontarkan Marco tepat sebelum kami melakukan sesuatu yang bahayanya gila-gilaan. Tobias mungkin akan terbang di atas, memberikan laporan lalu lintas versinya sendiri. Rachel akan langsung bersikap macho, keberaniannya menyokongku. Aku jadi sadar lagi betapa sendiriannya aku sekarang. Aku merindukan mereka. Aku amat sangat merindukan mereka. Aku turun dari mobil dan masuk ke dalam McDonald’s. Bebauan dan warna-warni yang baru sangat menarik perhatian Yeerkku tetapi aku tidak membiarkan perhatianku teralih. Aku mengantri di antrian yang paling dekat dengan kamar mandi. Saat gadis di belakang meja kasir menanyakan pesananku, aku bliang bahwa aku mau satu set Happy Meal dengan ekstra happy. Gadis itu pura-pura tertawa, mengatakan bahwa dia sudah mendengar lelucon itu milyaran kali. Tentu saja sudah. Memesan ekstra happy adalah kata sandi untuk masuk ke dalam kolam Yeerk. Mungkin para Yeerk punya selera humor. Mr. Tidwell sudah tahu harus pergi ke mana. Yang berarti aku juga. Aku berjalan melewati kamar mandi dan membuka pintu selanjutnya, yang membawaku menuju dapur. Aku masuk ke dalam ruang pendingin. WHOOSH! Dinding belakang ruangan itu terbelah dan membuka. Aku tahu Gleet Bio-Filter ada disana. Aku mengambil satu tatikan nafas yang dalam dan melangkah maju. BioFilter itu tidak berbunyi Brrr-EEET. Yang terdeteksi olehnya hanyalah manusia dan Yeerk. Keduanya merupakan bentuk kehidupan yang diizinkan.
Benda itu tidak bisa mendeteksi seorang Animorph yang sedang memasuki kolam Yeerk.
Chapter 20 Aku menuruni anak tangga menuju kolam Yeerk. Udaranya terasa lembab di mukaku. Hampir berminyak. Kacamata Mr. Tidwell berembun. Aku menariknya lepas dan segalanya langsung jadi buram. Cepat-cepat aku mengelapnya dengan lengan bajuku dan memasangnya lagi. Aku tidak bisa melihat tanpa benda ini. Rasanya sangat aneh berada dalam tubuh manusai lain. Sangat berbeda. Bahkan suara langkah kakinya terdengar aneh. Terlalu berat dan keras. Aku menyusuri tangga. Aku langsung berharap langkah kakiku lebih berisik lagi. Aku mau menghalau suara-suara yang datang dari bawah sana. Jeritan-jeritan amarah. Teriakan-teriakan penderitaan. Dan, dibalik itu semua, isakan pelan keputusasaan. Aku tahu sekali siapa yang sedang mengeluarkan suara-suara yang menyayat jiwa itu. Induk semang bukan sukarela dikurung dalam kurungan-kurungan yang mengelilingi tepian kolam Yeerk, manusia dan Hork-Bajir. Mereka menjerit, mengancam, berteriak dan menangis karena mereka bisa melakukannya. Untuk beberapa jam suara mereka adalah milik mereka sendiri saat Yeerk mereka berenang di kolam, menyerap sinar Kandrona dan nutrisi lainnya. Menyerap kehidupan. Aku memaksa kakiku tetap menuruni tangga. Dinding tanah di sekitarku berubah menjadi batu. Dan sinar ungu dari dasar tangga jadi lebih terang. Turun, turun, turun. Lengkingan para induk-semang jadi makin keras. Dan aku mulai mendengar suara desiran dari cairan yang menghempas pesisir kolam. Dinding batu itu melebar. Aku hampir sampai. Turun, turun, turun. Aku menuruni anak tangga terakhir, dan melangkahkan kakiku ke dalam gua raksasa itu. Hampir mirip kota kecil. Manusia, Taxxon, Hork-Bajir dimana-mana. Bangunan serta gudang disusun melingkar di pinggiran. Pengeruk tanah Caterpillar berwarna kuning cerah dan mesin berat lainnya menandakan bahwa mereka masih terus mengembangkan daerah itu. Pengembangan. Memikirkan hal itu membuat perutku mulas. Mr. Tidwell menginstruksikan. Saat aku berjalan menuju dermaga yang paling dekat, aku mendengar sebuah suara yang sangat mengerikan. Suara tawa. Aku memandang sekeliling, mencari-cari sumber suara itu. Ternyata sekelompok manusia sedang menonton tayangan ulang Full House di dinding belakang.
Mereka induk semang sukarela. Orang-orang yang memilih untuk mengizinkan Yeerk mengontrol tubuh mereka. Mereka hanya duduk-duduk sambil menonton TV sementara Yeerk mereka berenang-renang di kolam. Entah bagaimana mereka berhasil untuk mengacuhkan jeritan dan tangisan dari kurungan di sekeliling mereka. Aku menoleh ke arah lain dan melanjutkan berjalan ke dermaga. Aku berdiri di antrian. Ada tiga manusia dan satu Hork-Bajir didepanku. Akan makan waktu berapa lama? Aku harus mengeluarkan Aftran dari sini sebelum Visser Three kembali. Manusia yang paling depan, seorang anak laki-laki berumur sekitar lima tahun, berjalan ke ujung dermaga. Dengan tenang dia berlutut dan dua Pengendali Hork-Bajir membantunya menurunkan kepala mendekati permukaan cairan kelabu-besi kolam Yeerk. Aku tahu saat dimana Yeerk itu keluar dari telinganya. Kakinya mulai menendang-nendang dermaga metal itu. Wham! Wham! Wham! Kedua Pengendali Hork-Bajir menariknya berdiri. Anak itu membuka mulutnya lebar-lebar. “Mammaaaa!” Teriaknya. Panggilan bernada tinggi yang menyedihkan itu membuat bulu-bulu di leherku – leher Mr. Tidwell berdiri. Bulu-bulu di tanganku , juga. Dua Hork-Bajir lain mendatangi dermaga. Mereka mengambil anak kecil itu dari dua Hork-Bajir yang pertama, dan mengantarnya kembali ke kurungan. Saat mereka melewatiku, aku ingin mengulurkan tangan dan menarik anak itu dari cengkraman mereka. Dia seharusnya sedang meluncur di perosotan. Dia seharusnya sedang menghafal semua namanama krayon Crayola ukuran paling besar. “Mammaaaa!” Dia memanggil lagi. “Mammaaaa!” Aku sedang berjuang untuk mempertahankan ekspresi Mr. Tidwell agar terlihat kosong saat aku mendengar bunyi pintu kurungan dibanting di belakangku, mengunci anak itu didalamnya. Kalau ada sedikit saja simpati tercermin di mukaku, kami beresiko tertangkap. Aku pun menyadari bahwa Illim harus mengalami hal seperti tiap kali. Dia harus berakting agar terlihat seperti Yeerk biasa. Yang berarti berakting seakan-akan perasaan induk semangnya tidak berarti baginya. Manusia selanjutnya, wanita tinggi berbusana rapi , berlutut di ujung dermaga dan menurunkan kepalanya. Dia mengedikkan kepalanya sedikit untuk memberi tanda bahwa Yeerknya sudah keluar. Lalu dia berdiri, tegak menjulang. Matanya terbakar kebencian saat para Pengendali Hork-Bajir membawanya ke kurungan. Tapi dia sama sekali tidak bersuara. Satu Hork-Bajir maju setelah wanita itu. Sementara aku memerhatikannya menurunkan kepala ke kolam, aku tidak bisa berhenti berpikir tentang koloni kecil Hork-Bajir merdeka yang tinggal di lembah rahasia mereka.
Hork Bajir itu melengking memilukan saat dia mengangkat kepalanya. Tinggal satu orang lagi di depanku. Pria pendek berambut gelap. Dia berlutut. Mencelupkan kepalanya. Lalu, seperti wanita tadi, dia berdiri tanpa tangisan atau pemberontakan. Kedua Hork-Bajir penjaga memegangi lengannya. Pria itu berjalan dua langkah, lalu tiba-tiba jatuh berlutut. Dia pasti membuat kedua Hork-Bajir itu terkejut, karena dia berhasil membebaskan diri dari mereka. Dia bangkit berdiri dan berlari melewatiku, menjauhi dermaga. Ayo, ayo, ayo! Pikirku. Tapi aku berhati-hati agar dukunganku tidak keluar dari mulutku. Salah satu Hork-Bajir menarik keluar senjata Dracon. TSEEEWWWW! TSEEEWWWW! Dengan cepat aku menoleh ke belakang untuk melihat pria itu tersungkur di tanah, bajunya yang terbakar berasap. Dia menggerung kesakitan, dan barulah aku menyadari kulitnya juga terbakar. Para Pengendali Hork-Bajir mengangkatnya dengan kasar dan membawanya ke kurungan. “Kenapa kalian tidak membunuhku?” DIa berteriak. “Mengapa kalian tidak membunuhku saja?” Aku tahu kenapa mereka tidak bisa membunuhnya. Mereka tidak mau menghancurkan tubuh induk semang yang kondisinya baik. Aku menyelipkan tangan ke dalam kantungku dan membuka Ziplocnya. Aku mendorong Illim ke atas lengan jaketku. Aku akan memasukkan tanganku saat aku menurunkan kepala nantinya. Dengan begitu dia bisa masuk ke kolam dan siap untuk memasuki telinga Mr. Tidwell. Pengendali Hork-Bajir di ujung dermaga memberi tanda bagiku untuk maju. Giliranku.
Chapter 21 Aku bisa merasakan lututku gemetaran saat aku berlutut di sana. Aku mengambil satu tarikan nafas yang dalam dan menurunkan posisi kepalaku ke atas permukaan cairan. Hal pertama yang kulakukan adalah membebaskan Illim. Lalu aku bergerak menuju liang telinga Mr. Tidwell, memutuskan hubungan dengan otaknya. Aku menyesuaikan ukuran tubuhku saat aku menggeliat keluar dari terowongan sempit itu. Lalu aku pun bebas. Di dalam kolam Yeerk. Aku buta, hampir tuli, dan bisu. Tapi inilah bagian yang aneh, aku tidak peduli. Aku sedang berada bersama saudara laki-laki dan saudara perempuanku, menyerap sinar Kandrona yang sangat diidam-idamkan tubuhku. Kalau aku punya mulut, aku pasti akan menyerukan ‘aaaah’-nya tanda puas. Aku berada di rumah. Aku berada di rumah! Aku menampar kedua pipiku daalm hati. Aku sudah membiarkan insting Yeerkku mengambil alih selama beberapa saat. Tempat ini sama sekali bukan rumah. Dan aku punya satu misi yang harus kuselesaikan. Aku harus menemukan Aftran. Secepatnya. Aku menggunakan sonarku untuk memeriksa keadaan sekitar. Yeerk dimana-mana. Di atasku. Di bawahku. Di keempat arah mata angin. Aku mengingatkan diri sendiri bahwa aku juga merupakan salah satu Yeerk. Tidak ada hal yang aneh pada diriku. Aku benar-benar aman. Kepala seorang Hork-Bajir tercebur ke dalam air. Aku mengendarai gelombang yang terjadi untuk bergerak lebih dalam. Sekali lagi aku menggunakan sonarku. Yeerk, Yeerk, dan lebih banyak lagi Yeerk. Sebuah riak menghempasku saat aku sedang setengah jalan ingin berbelok. Sonarku mendeteksi dua dermaga besi. Dibawah dermaga yang paling jauh terdapat rantai dengan kotak di ujungnya. Kotak itu ukurannya tepat sekali untuk seorang Yeerk. Aftran. Dia berada di dalam kotak itu. Aku tahu. Tapi bagaimana caranya agar aku bisa mencapainya? Aku tidak punya kaki untuk mengayuh. TIdak punya tangan untuk berenang. Aku menggeliat sekencang yang aku bisa dan berpindah sekitar seperempat inci. Aftran berada sekitar enam kaki jauhnya, Tapi kalau begini terus aku bisa menghabiskan satu malam hanya untuk mencapai tempatnya. Gunakan Yeerk ini, kataku pada diri sendiri. Dia tahu caranya berenang. Aku mengurangi kendali pada pikiranku. Lipat-dorong. Lipat-dorong. Lipat-dorong. Aku membuat tubuhku berkontraksi, lalu mengejangkannya. Aku berhasil berenang!
Yah, semacam berenang. Aku tidak akan mencalonkan diri dalam tim Olimpiade, tapi aku berhasil bergerak lebih cepat dari sebelumnya. Lipat-dorong. Lipat-dorong. Lipat-dorong. Akhirnya aku mencapai kotak itu. Aku mempelajari bentuknya dengan sonarku. Sebuah kotak, terbuat dari logam, tebakku, dengan lubang-lubang sangat kecil di sekelilingnya. Lubang itu terlalu kecil bagi Yeerk untuk melewatinya. Tapi kuncinya sepertinya cukup simpel. Tidak akan terlalu sulit untuk dibuka. Seandainya aku punya tangan. Aku bisa demorf ke tubuhku sendiri. Tapi aku berada tepat di bawah dermaga. Dua Hork-bajir berdiri di ujungnya. Dan lebih banyak lagi berjalan hilir mudik, mengantar para induk semang. Cukup besar kemungkinan mereka akan melihatku berubah. PA-loosh! Kepala seorang induk semang diceburkan ke dalam air. Sonarku memantulkan gerakan-gerakan liar yang dilakukan induk semang itu – seorang pria tua – saat dia mencoba memutar kepalanya agar Yeerk tidak memasuki telinganya. Tapi Yeerk itu mendorong tubuhnya masuk ke dalam induk semangnya dan beberapa saat kemudia pria itu berhenti memberontak dan mengangkat kepalanya dengan tenang. Pengembalian Yeerk ke dalam induk semang disini mengingkatkan kemungkinanku tertangkap basah. Seorang induk semang yang dimasuki Yeerk bisa melihatku dalam morf manusia, mengangkap kepalanya dan melaporkanku. Aku tidak bisa mengambil resiko morf begitu dekat dengan dermaga. Aku harus mencari cara lain untuk mengeluarkan Aftran dari sini. PA-loosh. Kepala induk semang lain didorong tenggelam ke dalam kolam. Seoang gadis. Sonarku menangkap gambaran rambut panjangnya mengambang di air. Sulit untuk memastikannya, tapi kupikir dia tidak jauh lebih tua daripada aku. Suara itu. Suara iblis. Menghujamku, menyebarkan jarum-jarum rasa takut ke seluruh tubuhku yang kecil dan lembek. Visser Three! Dia sudah kembali! Dan aku bahkan belum menemukan cara untuk membuka kurungan Aftran! perintah Visser Three. Kurungan Aftran bergerak dalam air. Seseorang sedang menarik rantainya. Menarik Aftran menjauhiku.
Dan aku tidak punya tangan untuk mencegah hal itu terjadi. Tapi aku harus melakukan sesuatu. Sekarang! <Semuanya harap berkumpul di dermaga pengembalian ulang,> kata Visser Three, terdengar senang.
Chapter 22 Tidak ada waktu untuk berencana. Tidak ada waktu untuk berbuat apapun selain bergerak. Lipat-dorong. Lipat-dorong. Lipat-dorong. Aku bergerak secepatnya menghampiri kepala gadis yang sedang tercelup ke dalam air itu. Seorang Yeerk hampir memasuki telinganya. Aku mendorongnya minggir dan menggantikan posisinya memasuki telinganya. Aku mengekskresikan pembunuh rasa sakit dan menggeliat dalam liang telinganya. Aku melebarkan tubuhku membungkus otak. Tembakan-tembakan listrik berukuran microvolt menggelitik tubuhku. Dan aku pun terhubung dengannya. Aku membuka memori gadis itu dengan panik. Dia anggota The Sharing. Gadis ini – dia adalah induk semang sukarela. Seorang kolaborator. Aku tidak bisa membiarkan dirinya mendapat apapun dariku. Tidak pikiran. Tidak emosi. Tidak secuil pun dari diri Cassie. Aku merasakan tangan-tangan memegang bahuku, membantuku keluar dari air. Aku berdiri dengan kikuk. Kapan saja gadis ini pasti tahu aku bukan Yeerknya yang biasa. Tapi dia tidak akan bisa melakukan apapun untuk menghalangiku. Tidak sekarang. Aku mengontrol tubunya. Tapi setelah aku meninggalkan tubuhnya, dia akan memberitahu Visser Three apa saja yang dia ketahui selama aku menduduki otaknya. Aku harus bertindak! Sekarang! Sebelum aku tidak sengaja membocorkan bahwa ‘Bandit-Bandit Andalite’ buruan Visser sebagian besar adalah manusia. Sebelum aku mengkhianati Illim dan Tidwell. Atau para Chee. Aku berbalik dan mengunci pandanganku pada Visser Three. Dalam morf Andalitenya. Dia berdiri setengah jalan menuju ujung dermaga, sedang memandang ke arah lain. Sekumpulan manusia, dan Pengendali Hork-Bajir, dan Taxxon berkumpul di depannya, tidak sabar menantikan adegan penyiksaan yang akan datang. Sang Visser membuka kurungan Aftran. Menariknya keluar. Dia menggenggamnya dan mengangkatnya ke atas, menancapkan jari-jarinya ke tubuhnya yang tidak terlindungi apa-apa. Kata Visser Three pada Aftran, bahasa-pikirannya cukup keras sehingga semua orang bisa mendengar. Wham! Wham! Wham! Kakiku menghentak di dermaga besi itu saat aku menerjang ke arahnya. Satu-satunya hal yang diterima pikiran induk semangku hanyalah perintah-perintah seperti Aku menubruk Visser Three sekeras yang kubisa.
Dia berbalik ke arahku, pisau ekornya terangkat. Tapi dia terlalu kaget dan heran untuk bereaksi. Aku menangkap Aftran. Visser Three mengepalkan tangannya. Tapi tangan-tangan Andalite lemah. Aku menggigit pergelangan tangannya. Aftran terjatuh. Aku menangkapnya dari tengah-tengah udara dan berlari. Berlari tanpa tujuan. Aku melakukan satu-satunya hal yang bisa kulakukan. Aku terjun ke dalam kolam Yeerk. Visser Three menggelegar. PA-loosh. PA-loosh. Aku menoleh sekilas ke belakang bahuku. Taxxon. Dua orang. Kamu pasti tidak akan mengira bahwa mahkluk yang terlihat seperti lipan dua belas kaki panjangnya dan empat kaki lebarnya bisa berenang. Tapi mereka bisa. Dan mereka mengejarku. Aftran menggelincir dari tanganku. Kuharap dia tahu dia harus tetap berada di dekatku. TSEEEWWWW! TSEEEWWWW! TSEEEWWWW! Panncaran-pancaran cahaya melintasi air. Hebat. Seseorang sedang menembakiku dengan sinar Dracon dari dermaga. Aku mendayung makin dalam. Tembakan itu masih bisa mengenaiku, tapi penembaknya tidak akan bisa membidik. TSEEEWWWW! Aku melihat selusin Yeerk mengkerut dan hangus. VIsser Three sedang menghabisi kaumnya sendiri hanya untuk menangkapku. AKu merasakan sebuah capit mencapit kakiku. Taxxon, entah darimana! Dia memegangku dengan salah satu tangan lobsternya. Waktunya kabur. Aku menarik diriku dari otak gadis itu, menggeliat melewati liang telinganya, dan masuk ke dalam air. Dengan sonarku aku melihat gadis itu dbawa ke permukaan. Tidak akan lama sebelum mereka mengetahui bahwa Yeerk yang tadi mengontrolnya sudah tidak lagi berada dalam tubuhnya. Aku tidak ragu Visser Three akan menemukan cara untuk memeriksa kolam agar bisa menemukanku dan Aftran.
Aku harus keluar dari sini. Sekarang. Sesuatu dengan sayap. Aku benar-benar amat sangat menginginkan sayap. Tapi sebelum aku bisa morf menjadi burung, aku harus demorf ke tubuh asliku. Dalam kolam Yeerk. Aku menyelam dalam. Lebih dalam daripada Yeerk-Yeerk yang lain. Dan aku memulai perubahanku menuju manusia. Tubuh Yeerkku memipih. Melebar, melebar, melebar, Membentuk kepala. Lengan. Kaki. Tapi semuanya masih datar. Aku seperti boneka kertas raksasa. Aku merasakan tulang-tulangku tumbuh kembali, menekan bagian dalam tubuhku yang datar. Membuatnya tiga dimensi lagi. Kulitku berganti tekstur, dan aku tidak lagi bisa bernafas melaluinya. Mata, hidung, bibir menonjol keluar dari muka boneka-kertasku. Dentuman terjadi di dadaku saat jantungku kembali terbentuk. Pembuluh arteri dan venaku melebar, dan darah mulai mengalirinya. Isi perutku menggembung di dalam tubuh. Paru-paruku tidak lagi datar. Dia mulai terbakar. Aku butuh udara. Sangat. Aku berenang menuju permukaan. Aku menekuk kepalaku ke belakang dan hanya membiarkan hidungku yang menyembul keluar air. Aku menarik nafas demi nafas ke dalam paru-paruku yang sakit. Lalu aku mendengar kata-kata yang membuat tubuhku serasa jadi batu. kata Visser Three.
Chapter 23 Aku berenang. Aku berenang kuat-kuat. Lalu… <Makhluk ini tidak punya Yeerk!> Teriaknya. Dia tidak sedang berbicara denganku! Dia sedang berbicara kepada gadis yang tubuhnya tadi kugunakan untuk menyerangnya. Dia akan mengetahuinya kapan saja. Kapan saja… Aku bernafas dalam-dalam sebelum mendorong diriku ke dalam kolam. Para Yeerk menggesek lenganku, kakiku, mukaku. Bersentuhan dengan tubuh-tubuh mereka yang lembek bagaikan ubur-ubur membuatku geli. Aku menyingkirkan mereka jauh-jauh. Tapi saat aku melakukan itu, Yeerk yang lain akan menggantikan tempat mereka. Acuhkan mereka, perintahku pada diri sendiri. Sekarang bukan waktunya mengalihkan perhatian. Aku harus morf. Morf di bawah air tanpa bernafas itu lebih dari beresiko tinggi. Itu bodoh. Tapi aku harus keluar dari kolam dan aku tidak punya teman-teman lain yang bisa mendukungku. Aku harus menggunakan kesempatan ini. Seekor burung hantu. Dia akan cukup kuat untuk membawa Aftran. Dan matanya akan memungkinkanku untuk bermanuver dalam gua yang redup. Aku berkonsentrasi pada DNA burung hantu di dalam darahku. Aku merasakan bulu-bulu mulai terbentuk. Mereka menempel di tubuh manusiaku, basah dan berat. Aku tidak akan bisa mengangkat diriku dengan bulu-bulu basah ini! Belum lagi mengangkat Aftran. Paru-paruku terbakar. Tapi aku tidak bisa mengambil resiko menarik satupun tarikan nafas. Aku memikirkan morf-morf lain yang mungkin bisa kulakukan. Binatang apa yang bisa memberikanku kemungkinan terbaik untuk meloloskan diri? Pikir, pikir, pikir! Hiu. Tidak. Lumba-lumba. Tidak. Tupai. Mungkin. Tidak. Morf seranggaku sudah tidak mungkin juga. Aku mulai pusing. Aku mulai kehabisan waktu. Tunggu. Tentu saja! Morf ospreyku! Osprey memburu ikan. Berarti mereka bisa kena air tapi tetap bisa terbang! Aku berkonsentrasi pada DNA ospreyku. Aku mengacuhkan tekanan yang mulai menekan rongga dadaku. Kaki-kakiku menciut kurus. Sekurus mi. Kaki-kaki itu berayun di air sebelum memendek. Aku merasakan bibir dan hidungku meleleh membentuk paruh. Aku tersedak saat cairan kolam Yeerk mengalir masuk ke tenggororkanku. Terasa pahit pada lidahku yang sedang mengecil.
Dimana sayap-sayapku? Aku butuh sayap! Paru-paruku berdenyut sakit. Aku tidak bisa lagi menahan nafasku – Sensasi seperti ditarik menjalari lenganku saat sayapku terentang. Yes! Teriakku walaupun aku tahu dia tidak akan bisa mendengar atau menjawab. Aku merasakan tusukan-tusukan kecil di tubuhku saat bulu-bulu mulai bermunculan. Aftran menyelip di antara cakarku.Aku memegangnya. Setidaknya aku berharap itu dia. Kami akan keluar dari sini! Bintik-bintik merah membanjiri penglihatanku saat aku berusaha mencapai permukaan. Aku mendorong paruhku melewatinya dan menarik sebanyak mungkin udara yang bisa ditampung paruparuku. kataku pada Aftran. Aku mengepakkan sayapku di tengah cairan, mendorong tubuhku melayang dari kolam Yeerk. Aku tahu mereka akan menungguku keluar. Aku tidak bisa mengendap-endap. “Visser! Seekor burung!” TSEEEWWW! Sinar Dracon ditembakkan ke arahku. Meleset. Aku mengepak lagi kencang-kencang, menyusuri permukaan kolam, cakarku menggantung. Hampir mengudara. Hampir! Zap! Tentakel kuning panjang melecut keluar dari cairan dan mencambuk sayapku. Bagian yang dicambuknya langsung jadi kaku. Kehilangan keseimbangan, aku berbelok. Sploosh! Setengah tubuhku tercebur ke dalam kolam lagi. Visser Three! Dia sudah morf menjadi… menjadi sesuatu yang bisa berenang. Sesuatu yang kuat dan cepat. Tanyanya. Sekarang dia sedang berbicara denganku. Pastinya. Dan aku sendirian. Aku tidak punya Marco, jake, Tobias, Rachel, atau Ax untuk mengalihkan perhatian si Visser. Morf barunya ini menakutkan. Terlihat seperti bola mata mengambang dengan tentakal panjang, sangat panjang sebagai cambuk. Salah satu tentakel itu melecut dan mencambuk sayapku lagi. Kaku.
Tentakel itu pasti ada racunnya. Kalau aku tercambuk lebih banyak lagi, aku tidak akan bisa menggerakkan sayapku lagi. Aku akan tenggelam langsung ke dasar dan Visser – Zap! Aku tercambuk lagi. Kali ini sayap yang lain. Aku harus membawa diriku keluar dari air. Aku menampar air dengan sayapku. Zap! Sayapku yang pertama. Hampir sebagian kaku semua. Pikirkan Ax. Pikirkan Jake. Aku mengepak lagi dan lagi. Rachel. Tobias. Maco. Lebih banyak lagi titik-titik merah. Aku tidak bisa lagi menahan nafas. Aku melesat keluar dari permukaan air. Ibu. Ayah. Aku mengepak naik, naik, naik. Otot-ototku berteriak kesakitan. Ya! Aku sudah berada diluar jangkauan tentakel-tentakel itu. Para manusia dalam kurungan bersorak. Pengendali-manusia menyumpah dan menjerit marah. Taxxon-Taxxon mendesis. Pengendali Hork-Bajir melengking. Aku melihat Mr. Tidwell sekilas. Dia mengacungkan tinjunya di udara. Bagi yang lainnya mungkin terlihat seperti gerakan untuk mengekspresikan kemarahan. Tapi aku tahu dia merasa menang. TSEEEWWW! TSEEEWWW! TSEEEWWW! Aku berzigzag selincah yang bisa dilakukan sayap-sayapku yang terluka, Aftran masih terkunci di dalam cakarku. Pengendali Hork-Bajir menembakiku dari dermaga. <Apa memang susah sekali bagi kalian untuk benar-benar mengenai sasaran?!> Aku mendengar teriakan marah Viser Three. Aku mencapai tangga. Naik, naik, naik, aku terbang. Menelan udara. Paru-paruku terbakar. Dinding batu berganti menjadi dinding tanah. Sinar Dracon yang ditembakkan dari dermaga tidak bisa mencapaiku disini. Kataku. Aku mengepak lebih kuat. Tidak bisa melambat. Tidak sekarang! TSEEEWWW!
Bau yang menusuk seperti asam memenuhi hidungku. Bau bulu-buluku sendiri. Sinar Dracon sudah mengenainya. Aku berbelok tajam ke kiri. Sekarang aku bisa melihat sesuatu yang dari tadi tidak kulihat karena kesibukanku. Robot pemburu.
Chapter 24 Aku tahu robot pemburu hanya punya satu titik kelemahan. Mata pembidiknya. Aku mengepak keras, berusaha mendapat sedikit ketinggian. Aku melayang menuju posisi di atas robot itu. Aku hanya punya satu kesempatan. Aku menunggunya. Bola metal besar itu berputar sampai lensa kameranya tertuju padaku. Dalam sedetik dia akan menembak. BLAT! Gumpalan abu-abu-putih jatuh. Hidupku, hidup Aftran, hidup seluruh teman-temanku, masa depan umat manusia, bergantung pada gumpalan itu. Tepat mengenai lensanya. Robot itu berputar ke kanan. Lalu ke kiri. Lalu ke kanan lagi. Tembakan jitu kotoran burung. Aku mengepakkan sayapku ke pintu besi. Tidak ada pegangan pintu. Hanya besi yang mulus dan mengilap. Aku memandangi dinding di sekeliling pintu. Pasti ada semacam mekanisme untuk membuka pintunya, kan? Mungkin ini hanya pintu masuk, pikirku. Mungkin seperti ruang ganti di the Gap. Orang-orang masuk ke kolam Yeerk disana. Tapi mereka keluar dari bioskop. Aku melayang mendekatinya. Brrrr-EEEEET! Brrrr-EEEEET! Oh, tidak! Gleet BioFilter. Aku benar-benar melupakannya. Kenapa aku bisa begitu bodoh? “Bentuk kehidupan tak diizinkan terdeteksi,” sebuah suara mekanis mengumumkan. BrrrrEEEEET! Brrrr-EEEEET! “Bentuk kehidupan tak diizinkan terdeteksi.” Dalam beberapa detik aku akan hancur. BioFilter akan memusnahkan semua bentuk kehidupan yang DNAnya belum dimasukkan ke dalam komputer. Osprey tentu saja tidak masuk ke dalam daftar tamu Yeerk. Bisakah aku morf menjadi Yeerk tepat waktu? Apa morf manusiaku akan lebih baik? Aku mendengar suara hentakan kaki menaiki tangga menghampiriku. Kaki-kaki yang sangat besar. Prajurit Hork-Bajir.
“Tutup mata Anda rapat-rapat untuk mencegah kerusakan retina yang diakibatkan Gleet BioFilter,” suara mekanis itu memberi petunjuk. Aku akan tamat. Whoosh! Pintu metal itu terbelah menjadi dua. Seorang wanita berjalan masuk. Dia melihatku. “Andalite!” Jeritnya. Dia mengayunkan tas tangannya. Aku mengepak ke atas keras-keras, mengacuhkan rasa sakit yang meremas sayapku yang terluka. Tas tangan tidak cukup untuk menghentikanku. Hampir tidak cukup. Aku terbang menuju udara dingin dalam ruangan kulkas. Pintu keluar sedang tertutup. Bisakah aku keluar? Ruangan meledak dalam warna putih terang. Clang! Aku terpental ke salah satu lemari besi. Crash! Sepertinya ada semacam benda kaca yang jatuh. Aku tidak berhenti. Aku terbang lurus ke depan. Berhasil! Thump! Pintu kulkas tertutup di belakangku. “Dad, lihat, ada burung!” Aku mendengar seorang gadis kecil berteriak. “Benda apa yang sedang dibawanya itu?” Satu orang bertanya-tanya. Penglihatanku mulai pulih. Setidaknya cukup baik sehingga aku bisa mencapai pintu depan. Tentu saja pintunya tertutup. Kau tidak tahu seberapa bergunanya tangan sampai kamu tidak memilikinya lagi. Tapi tahukah apa yang keren? Manusia. Sembilan dari sepuluh manusia sebenarnya makhluk yang lumayan baik. Salah satu manusia baik itu, bersimpati pada seekor burung yang panik karena terperangkap, membuka pintunya. Aku terbang keluar. Aku terbang, terbang, terbang ke langit yang bebas dan luas. <Seperti yang pasti Marco katakan kalau dia ada disini : Tadi itu menarik juga. Jangan, jangan pernah lakukan itu lagi.> Aku lega. Tapi aku tidak punya waktu untuk merayakannya. Aku harus kembali ke rumah. Ax membutuhkanku.
Aku terbang seperti burung gila ke rumah. Tubuhku gemetar karena kelelahan saat aku akhirnya melewati kusen jendela ventilasi. Aku mendarat di setumpuk jerami dan membebaskan Aftran. janjiku padanya. Jantung burungku yang mungil berdetak gila-gilaan. Yang kuinginkan hanyalah merapikan bulubuluku dan menyembunyikan kepalaku di bawah sayap. Tapi, aku malah berkonsentrasi pada DNA manusiaku. Bulu-bulu yang menyelimuti tubuhku memipih sampai terlihat seperti tato dua dimensi. Tulangtulangku yang kosong tumbuh memanjang dan solid. Aku mendengar bunyi ‘slosh’ saat organ-organ dalamku bergeser dan berubah. Mata burungku membesar dan penglihatanku menjadi jelas lagi. Aku memerhatikan beberapa perubahan terakhir. Lalu aku berdiri sambil menghela nafas. Aku membawa Aftran dan pergi ke tempat Ax. Aku tidak bisa tidak terkejut saat aku membuka pintu dan memasuki hologram. Ax berbaring mendatar. Dia tidak pernah begitu. Dan aku bisa mendengar nafasnya yang terputus-putus dan serak. “Dia sudah mencapai masa kritis,” kata Erek padaku.
Chapter 25 Aku berlutut di sebelah Ax. “Aku kembali,” kataku. “Aku di sini bersamamu.” Dia tidak menjawab. “Dia tidak sadar,” Erek menjelaskan. “Sudah begitu selama lebih dari setengah jam.” “Anak malang,” aku mengelus tubuhnya yang dipenuhi bulu-bulu biru-dan-kecoklatan. Badannya bergerak kesusahan dalam setiap nafas yang diambilnya. “Kupikir kamu tidak punya banyak waktu lagi,” kata Erek lembut. “Kamu benar.” Aku berdiri dan mencelupkan Aftran ke dalam tempat minum. “Kamu akan aman disini,” kataku padanya. Aku tahu dia tidak bisa mengerti perkataanku. Aku tahu dia pasti ketakutan. Tapi aku harus meninggalkannya. Aku berbalik menghadapi Erek. “Aku khawatir kita akan menyakitinya kalau kita memindahkan tubuhnya. Mungkin kita bisa – “ Erek membungkuk dan mengangkat Ax dengan tangannya. Aku tadi lupa betapa kuat para Chee itu. Aku mengintip dari pintu kandang untuk memeriksa apakah gudang jerami masih kosong. Lalu aku membuka pintunya dan menuntun Erek menuju ruang operasi. Aku menunjuk ke meja besi dan Erek meletakkan Ax di atasnya. “Bisa buat satu hologram lagi biar ruangan ini kelihatan kosong?” Pintaku. “Buat jaga-jaga.” “Tentu,” jawabnya. Aku tidak percaya aku benar-benar melakukan ini. Aku tidak percaya aku benar-benar akan melakukan bedah otak. Pada seorang alien. Tiba-tiba aku dihantam keinginan kuat untuk pergi dari sini. Untuk pergi mencari TV, duduk didepannya dengan seliter es krim Ben and Jerry’s, memperbesar volume, dan melupakan segalanya. “Mungkin nggak ada acara yang bagus, sih,” gumamku. “Apa?” “Nggak…” Satu langkah tiap satu waktu, aku menuntun diriku sendiri. Tapi apa langkah pertamanya? Aku menutup mata dan mencoba membayangkan hal pertama yang dilakukan ayahku sebelum dia memulai operasi dan apa yang pernah kulihat dari buku-buku yang diberikan ibuku. Ya. Langkah pertama : bersihkan alat-alat. Tentu saja, ya ampun. Hampir tidak bisa merasakan kakiku, aku bergerak ke wastafel dan mencuci tanganku dengan sabun antibakteri. Aku mengeringkan tangan, lalu memasang sepasang sarung tangan karet.
Aku mengambil sebotol alkohol dari rak dan setoples bola-bola kapas. Aku membasahi satu kapas dengan alkohol. “Rasanya akan agak dingin,” kataku pada Ax sebelum aku mengusap kepalanya dengan kapas itu. Aku tahu dia tidak bisa mendengarku. Tapi aku jadi merasa lebih baik setelah berbicara padanya. Setelah selesai, aku melemparkan kapas itu ke tong sampah dan dengan hati-hati mengembalikan alkohol beserta sisa kapas yang lain ke tempat semula. Aku gemetar. Bisa fatal akibatnya bagi Ax. Aku tidak tahu berapa waktu yang tersisa untuknya. Aku menarik terbuka laci panjang yang terletak di salah satu lemari ayahku dan mengambil sebuah pisau bedah. Aku membawanya pada Ax. Jantungku berdentum begitu keras aku bisa merasakan getarannya di seluruh tubuhku. Di telingaku. Bahkan di ujung-ujung jariku. Aku membawa pisau bedah itu ke kepalanya. Lalu aku membeku. Bagaimna aku bisa memotong sembarangan? Dimana kelenjar Tria itu?! Mungkin aku bisa merasakannya lewat kulit kepala Ax. Mungkin akan ada pembengkakan. Atau satu daerah yang terasa lebih panas atau lebih dingin dari daerah sekitarnya. Aku menggunakan tanganku yang lain untuk memeriksa kepala Ax. Aku memulai dari dahinya. Tidak ada apa-apa. Bergerak ke daerah diantara mata pengintainya. Tidak ada apa-apa. Aku memeriksa daerah di sekeliling kedua telinganya. Tidak ada apa-apa. Aku meraba setiap inci daerah belakang tengkoraknya, dua kali. Tidak ada apa-apa. Tidak ada. “Ini tidak bisa! Mustahil!” Jeritku. “Dia akan mati, dan aku hanya bisa berdiri di sampingnya!” “Kamu sudah melakukan satu hal yang mustahil malam ini,” Erek mengingatkanku. Menyelamatkan Aftran dari Visser Three sudah cukup mustahil. Sekarang setelah Aftan selamat dan baik-baik saja – Tunggu. Tunggu. Pikiranku sepertinya melambat dan jadi cepat dalam waktu bersamaan. Aftran! “Sebentar aku balik,” kataku pada Erek. Aku berlari keluar dari ruang operasi dan menuju kandang Ax. Aku mengangkat Aftran dari tempat air minum dan berlari kembali. Aku berhenti di tepi meja operasi. Aku membawa Aftran ke salah satu lubang telinga Ax. Insting Yeerknya seharusnya membawanya ke dalam telinga. Ya! Atran menggelincur turun dari telapak tanganku dan masuk ke dalam liang telinga Ax. Aku memerihatikan tubuhnya yang keabu-abuan menghilang di dalam. “Pintar sekali,” kata Erek. “Kecuali…” “Yeah. Ayo kita coba lihat dulu,” jawabku.
Aku memandangi Ax. Menunggu. Aftran pasti sudah mencapai otak Ax sekarang, pikirku. Waktu dia sudah mengambil kontrol, dia pasti bisa bicara. Ya, kan? Harus berhasil. Harus. Kalau tidak – Jangan, aku memerintahkan pikiranku untuk berhenti. Aftran pasti bisa mengatasinya. Tapi kenapa dia tidak bilang apa-apa? Kenapa lama sekali? Apa dia mengalami masalah dengan otak Andalite? Apa penyakit Ax membuatnya sulit terkoneksi? Kata Aftran dalam bahasa-pikiran Andalite. “Aku disini. Kita berhasil lolos dari Visser Three. Kamu berada dalam temanku, Ax,” jelasku, berbicara secepat mungkin. “Ada kelenjar di kepalanya yang bisa meledak kapan saja. Kalau meledak, dia mati. Bisa kamu beritahu aku dimana aku harus memotong?” jawabnya. “Apa?” Tanya Erek tegang.”Tunggu apa?” Aku mengambil pisau bedahku dengan tangan yang gemetaran. “Beritahu saja dimana aku harus memotong.”
Chapter 25 Aftran menerangkan. <Sejajar dengan bagian bawah telinga. Tepat di tengah.> Aku memutar kepala Ax agar jadi lebih mudah. “Oke, aku akan memulai sayatan pertama,” kataku padanya. “Hati-hati di dalam sana.” “Thanks.” Aku mengangkat pisaunya dan membawanya ke salah satu sisi daerah yang dideskripsikan Aftran. Lalu aku memotong lurus sepanjang sekitar empat inci. Aku bisa merasakan mata pisaunya bersentuhan dengan tulang tengkorak Ax. Tapi itu artinya bagus. Aku memang harus memotong sedalam itu. Aku harus menyingkirkan selapis kulit agar aku bisa bekerja pada tulangnya. Segaris darah biru-kehitaman muncul. Perutku langsung jungkir balik. Aku menelan ludah dan membuat satu potongan lagi yang tegak lurus dengan potongan pertama, sekitar empat inci. “Hemostat!” Teriakku. Benda itu berada di tanganku setangah detik kemudian. “Yang lain. Oke. Retraktor. Bukan, bukan itu!” Aku melipat kulit yang sudah terbuka itu ke atas. “Selotip,” kataku. “Berapa panjang?” Tanya Erek. “Tiga inci.” Dia memberikan potongan selotip kain itu padaku. Aku menggunakannya untuk menempel lipatan kulit tadi agar tidak mengganggu tulang. Aftran mengumumkan. “Kamu bisa kontrol detak jantungnya?” Tanyaku. “Coba dipelankan?” katanya. “Kain kassa, Erek.” Aku membuka tangan dan Erek meletakkannya disana. Aku mengelap darah yang keluar dengan alat itu. “Sekarang gergaji lubangnya. Ada di sterilizer.” “Ini.” kata Aftran.
Afran terdengar gugup. Apa yang akan terjadi padanya kalau kelenjar Tria Ax pecah saat dia masih berada dalam kepalanya? “Oke, tolong lap darah yang keluar sementara aku bekerja,” kataku pada Erek. “Tentu.” Erek memberikan gergaji lubang itu padaku. Aku memosisikan gigi-gigi gergaji itu di sekeliling tempat yang kuharap merupakan letak kelenjar Tria. Aku menyalakan gergajinya beberapa kali. Aku menariknya mundur, dan tulang berbentuk bulat ikut terbawa. Sekarang aku melihat otak Ax secara langsung. Keringat membanjiri dahiku dan mulai turun mengalir di pipi dan hidungku. Erek mengelapnya sebelum keringat itu menetes ke otak Ax. Aku tidak harus minta tolong pada Aftran lagi untuk bisa menemukan kelenjar itu. Gampang dideteksi. Ungu gelap. Menonjol. “Retraktor,” kataku pada Erek. “Pisau bedah.” Jariku bergetar saat dia meletakkan kedua alat itu di tanganku. Kelenjar itu terlihat siap pecah. Aku khawatir jika aku menyentuhnya, dia akan bocor. “Pegang ini. Mata kiriku! Keringat!” Erek menghapusnya dengan gumpalan kapas. “Oke. Ayo lakukan,” aku berbisik. Aku menyelipkan pisau bedah ke bawah kelenjar itu dengan kehati-hatian yang membuat tanganku gemetar. Aku memotong. Kelenjar itu lepas. Aku melemparnya ke wadah besi. “Oke.” Aku memeluk tubuhku sendiri. Seluruh tubuhku gemetaran. Jangan hilang kendali sekarang, pikirku. Secepat yang kubisa, aku mengembalikan lingkaran tulang tadi ke tempat asalnya. Akan menyatu kembali sendirinya. Aku melepas selotip yang menempel di kulit kepalanya dan meratakannya kembali. “Sekarang kita menjahit.” lapor Aftran. “Salah satu hal terkeren yang pernah kulihat,” kata Erek tertawa. “Padahal aku sudah melihat banyak hal.” kata Aftran.
Chapter 26 “Apa yang salah?” Tanyaku. “Apa ada yang sakit?” <Bukan,> kata Aftran, suaranya tiba-tiba datar. “Ax, dengarkan aku. Yeerk ini Aftran. Dia menolongku menyelamatkan nyawamu,” teriakku. Aftran memberitahuku. “Dia nggak ngerti,” jawabku. kata Aftran memaksa. Sesaat kemudian, Aftran menggeliat keluar dari telinga Ax. Ax langsung melompat berdiri dengan keempat kakinya di atas meja. Mata pengintanya bergerak kesana kemari. Teriaknya. <Jangan sampai makhluk itu menyentuhku!> Aku memegangi kepalanya dengan kedua tanganku. “Stop!” Perintahku marah. “Kamu harus diam sampai aku selesai menjahit kepalamu!” Ax berbaring kembali dengan patuh. Tapi aku bisa melihat getaran-getaran kecil menjalari tubuhnya. Kemarahanku menguap. Ax tadi benar-benar sakit. Lalu dia sadar dan menemukan seorang Yeerk di kepalanya. Monster yang sudah membunuh kakaknya. Tidak heran dia jadi panik. Dia mungkin mengira dia sudah ditangkap dan dijadikan induk semang. “Kamu baik-baik saja,” kataku menenangkannya. “Kamu berada di ruang operasi ayahku. Aku menaruh Aftran di kepalamu. Dia yang mencari letak kelenjar Tria itu. Dia menolongku melakukan operasi. Aku mengeluarkan kelenjarnya. Kamu sudah melewati masa kritis.” Aku mengangkat Aftran, mengisi wastafel dengan air, dan memasukkannya ke dalam. “Aku akan kembali dalam beberapa saat,” janjiku. Walaupun dia sudah tuli lagi. Buta, bisu. Tidak berdaya. Aku berbalik pada Ax. Dia terus mengusap-usap telinganya. Aku tahu dia merasa tidak dihargai. Jijik akan apa yang sudah kulakukan terhadapnya. “Visser Three berencana menginterogasi Aftran malam ini,” kataku lembut saat aku kembai untuk menjahit sayatan di kepala Ax. “Dia tahu Aftran anggota gerakan damai.” katanya keras. Aku melakukan jahitan terakhir. “Yeerk kotor itu menolongku menyelamatkan nyawamu. Dan dia hampir memberikan nyawanya untuk kedamaian antara manusia dan Yeerk. Dan sekarang, kecuali aku bisa memikirkan satu cara untuk menyelamatkannya, dia akan mati kelaparan karena kekurangan sinar Kandrona.” Ax tidak merespons. Mungkin setelah dia istirahat sejenak, dia akan memikirkannya.
“Erek, bisa tolong bawa Ax kembali ke kandang kuda?” Tanyaku. “Dia akan butuh sekitar beberapa hari untuk sembuh. Apa tidak terlalu lama untuk mempertahankan hologramnya?” Pelan-pelan Erek mengangkat Ax dari meja. “Kamu sedang bicara pada orang yang membantu membangun piramid. Beberapa hari itu bukan apa-apa.” Aku tersenyum padanya. “Thanks. Aku nggak akan bisa melakukan semua ini tanpa kamu.” “Oh, kamu bisa. Tapi, sama-sama,” jawabnya saat dia membawa Ax melewati pintu. Aku duduk di kursi kecil tanpa lengan yang diletakkan ayahku di dekat meja. Aku membawa tanganku memeluk lutut. Seluruh rasa takut yang dari tadi kutekan tiba-tiba menghantamku. Aku merasa tubuhku seakan mengempis. Hanya reaksi yang tertunda, kataku pada diri sendiri. Kamu aman. Ax aman. Aftran aman. Tidak benar-benar aman, sih. Yeah, aku membebaskan Aftran dari Visser Three. Tapi dia akan mati dalam tiga hari. Aku mendorong tubuhku berdiri dan bersandar di wastafel, memerhatikan Aftran. Dia sudah melakukan hal yang tidak banyak orang bisa melakukannya. Dia sudah mempertanyakan keyakinan yang dia bawa sejak dia lahir. Dan puncaknya, dia sudah memilih untuk berbalik pada kaumnya sendiri. Berbalik pada segala hal yang dulu dia percayai, untuk menjadi musuh dari orang-orang terdekat baginya. Aftran sudah berkorban begitu banyak. Dia sudah pernah merasakan segala kekayaan dunia kita yang berkilauan. Tapi saat dia yakin dia tidak punya hak untuk mengontrol makhluk lain, dia cukup kuat untuk meninggalkan semua itu agar bisa menyelamatkan nyawa seorang gadis kecil. Dia kembali ke kolam Yeerk. Pasti rasanya seperti penjara terburuk sedunia setelah apa yang dia alami dalam tubuh Karen. Tapi dia tidak membiarkan dirinya tenggelam dalam kesedihan. Dia memilih untuk bertarung. Dia bertarung untuk membebaskan kami semua. Aku mencelupkan tanganku ke dalam air dan menyelipkan Aftran dalam tanganku. Aku meletakkannya di telingaku. Hanya itu satu-satunya cara agar aku bisa bicara padanya, dan aku harus berterimakasih atas segala yang telah dia lakukan. Sesaat kemudian aku merasakan tubuhnya yang dingin dan licin menyentuh kulitku. Telingaku geli saat dia memasukinya. katanya langsung setelah dia berhubungan dengan otakku. Banyak sekali yang ingin kukatakan padanya, aku sampai tidak tahu harus mulai dari mana. jawabku. Dia tertawa. tambahku.
katanya menyetujui. Tapi lalu nada suaranya menggelap. <Apa saja,> ujarku spontan. katanya simpel. <Apa?> Jeritku. jawab Aftran. Aku merasakan kerongkonganku tersumbat oleh isakan yang tidak keluar. Isakanku? Atau Aftran? Mungkin isakan kami berdua. Kami berdua. Aku jadi mendapat ide. Kataku. <Tidak. Kamu harus pergi ke kolam Yeerk tiap tiga hari. Terlalu berbahaya. Kalau entah bagaimana kamu ketahuan, Visser Three akan tahu segalanya tentang teman-temanmu dan gerakan damai kami. Kita semua akan hancur,> balasnya. Dia pasti merasakan gelombang kesedihan dan kemuraman menjalari tubuhku. <Mati bagi sesuatu yang kamu percayai tidak begitu buruk, kok. Masih ada kematian yang lebih buruk,> katanya lembut.
Chapter 27 “Ibuku sama sekali nggak memperbolehkan aku makan makanan padat sampai hari ini,” Rachel memprotes. “Padahal sudah empat hari aku sembuh.” Dalam perjalanan ke pantai, Jake, Rachel, Marco, Tobias, dan Ax sedang mencoba membandingkan siapa yang mendapatkan pengalaman terburuk saat mereka semua jatuh sakit. <Masa itu hal terburuk yang terjadi waktu kamu sakit?> Tanya Tobias sambil melayang di atas kepala kami. “Yeah, well, ayahku membelikan aspirin bayi dari apotik. Aspirin bayi!” Kata Marco jijik. “Kayak, yang buat bayi itu.” “Ada Yeerk dalam kepalaku,” kata Ax, masih tercengang. Tentu saja dia berada dalam morf manusianya. “Di kepalaku. Ke-plah.” Aku tidak terlalu mengacuhkan kontes protes teman-temanku. Aku sedang menikmati pasir yang hangat di sela-sela jari kakiku. Dan bau garam dan suara lembut lautan. Tidak ada pengalaman selain masuk ke kolam Yeerk yang bisa membuatmu bergitu menghargai kehidupan dan kebebasan. “Disini tempat kita ketemu Aftran?” Tanya Jake. “Uh-huh. Saat aku morf jadi lumba-lumba dan mengunjunginya tadi pagi, dia bilang sudah waktunya dia jalan terus. Tapi dia ingin mengucapkan selamat tinggal,” jawabku. “Lihat saja disana.” Aku menunjuk pada air yang berwarna biru-kehijauan. “Aku nggak lihat apa-apa,” ujar Marco. Tobias menimpali. Kami berputar. Aku memandangi laut dan menemukan satu daerah penuh busa. Lalu air memuncah dan muncullah satu sirip raksasa. Seekor paus bungkuk pun melompat. Sepenuhnya keluar dari air. Tetesan-tetesan air bercipratan di sekelilingnya seperti komet yang bercahaya. Seharusnya gambaran itu masuk ke dalam kamus, dengan pokok bahasan keindahan. Dan kebahagiaan. “Kita membuat keputusan yang benar,” kata Jake. “Lebih baik daripada terakhir kali kita menggunakan kubus biru itu.” “Sulit juga sih untuk melakukan kesalahan yang lebih buruk,” kata Marco. “Yang penting. Visser Three nggak akan bisa menemukan Aftran sekarang.” Pada hari kedua Aftran keluar dari kolam Yeerk, semua anggota kami cukup kuat untuk menghadiri satu rapat pendek. Kami semua setuju bahwa kami tidak bisa membiarkan Aftran mati. Jakelah yang menemukan cara untuk menyelamatkannya.
Dia mengusulkan untuk memberinya kemampuan morf, dengan syarat dia memilih satu morf dan tinggal dalam tubuh itu selama-lamanya. Lebih aman kalau begitu. Lebih aman bagi semuanya. Seperti yang kukatakan, keputusan itu disetujui oleh semuanya. Aftran melompat sekali lagi dalam siraman cahaya. Aku merasa seakan hatiku juga ikut melompat bersamanya. “Whoa! Lompatan bagus!” Kata Marco sepenuh hati. Rasanya menyenangkan. Kami semua bersama-sama lagi. Hidup. Baik-baik saja. Dan Aftran bebas. Betapa ajaibnya itu semua? lapor Tobias. “Dia pasti merasa seperti di surga,” kataku. “Bisa bayangkan tinggal di laut setelah tinggal di kolam Yeerk? Dan dalam tubuh itu – cepat, kuat, bisa melihat, mendengar, merasa dan berkomunikasi.” “Aku yakin dia akan rindu pertempuran,” tambah Rachel. “Dia sudah melaksanakan tugasnya,” ujar Jake. Pikiranku kembali pada saat aku mengizinkan Aftran untuk memasuki kepalaku. Satu keputusan, begitu banyak akibat. Aku menangkap basah Jake memerhatikanku. “Apa?” Tanyaku. Dia mengangkat bahu. “Bertanya-tanya apa yang lagi kamu pikirkan.” “Nggak dalam-dalam amat,” kataku. “Cuma…” “Cuma apa?” “Cuma, setelah bertarung sekian kali, kita benar-benar memenangkan yang satu ini.” Dia mengangguk. “Kadang kita memang menang,” dia menyetujui. “Kali ini? Kali ini, Cassie, kamu yang menang.”