i
TRANSFORMASI STRUKTURAL DI MADURA: PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI SEKTORAL TERHADAP KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN PENDAPATAN
MOHAMMAD SAEDY ROMLI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Transformasi Struktural di Madura: Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Sektoral terhadap Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2016 Mohammad Saedy Romli NIM H453140081
iv
RINGKASAN MOHAMMAD SAEDY ROMLI. Transformasi Struktural di Madura: Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Sektoral terhadap Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan. Dibimbing oleh MANUNTUN PARULIAN HUTAGAOL dan DOMINICUS SAVIO PRIYARSONO. Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan perkapita secara teoritis akan diikuti oleh transformasi struktural. Pada banyak negara berkembang, transformasi struktural yang terjadi merupakan unbalanced transformation artinya laju transformasi struktur tenaga kerja relatif lebih lambat dibandingkan dengan laju transformasi struktur produksi. Unbalanced transformastion akan menghambat efektifitas pembangunan ekonomi dalam mengurangi angka kemiskinan dan menciptakan pemerataan distribusi pendapatan. Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) Menganalisis transformasi struktural Madura dari kurun waktu 1998-2014; (2) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi transformasi struktural di Madura selama kurun waktu 19982014; (3) Menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi sektoral terhadap Kemiskinan di Madura; (4) Menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi sektoral terhadap ketimpangan distribusi pendapatan di Madura. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi transformasi struktur produksi di madura meskipun tidak diimbangi dengan transformasi struktur tenaga kerja (unbalanced transformation) selama periode 1998-2014. Populasi dan pendapatan perkapita menjadi faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya transformasi struktur output di Madura. PDRB sektor Industri berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan dan memiliki parameter yang negatif. Variabel PDRB sektor pertanian juga memiliki parameter yang negatif namun tidak signifikan terhadap kemiskinan. Sementara itu, PDRB sektor jasa menunjukkan parameter yang positif. Pada pengujian pengaruh pertumbuhan ekonomi sektoral terhadap ketimpangan pendapatan didapatkan kesimpulan bahwa variabel PDRB sektor pertanian berpengaruh secara signifikan dan memiliki parameter yang negatif. PDRB sektor industri dan jasa berpengaruh secara signifikan dan memiliki parameter yang positif, artinya, peningkatan PDRB sektor industri dan jasa akan meningkatkan ketimpangan pendapatan. Unbalanced transformation di Madura perlu disikapi dengan mempercepat industrialisasi pedesaan di Madura terutama dengan mempercepat pembangunan industri padat karya yang berbasis pertanian (agroindustri) serta memiliki keterkaitan sektoral yang kuat sehingga surplus tenaga kerja pada sektor pertanian dapat terserap. Peningkatan produktivitas sektor pertanian perlu diupayakan dengan mempercepat terjadinya transformasi pertanian (agricultural transformation) karena secara statistik terbukti bahwa sektor pertanian menjadi sektor yang efektif dalam mengurangi kemiskinan dan disparitas income. Upaya tersebut bisa dilakukan dengan modernisasi, memperkuat kelembagaan pertanian serta mengubah pola pertanian menjadi lebih market oriented. Kata kunci: transformasi struktural, pertumbuhan ekonomi sektoral, kemiskinan, ketimpangan distribusi pendapatan
v
SUMMARY MOHAMMAD SAEDY ROMLI. Structural Transformation in Madura: Effects of Economic Growth on Poverty and income Inequality. Supervised by MANUNTUN PARULIAN HUTAGAOL and DOMINICUS SAVIO PRIYARSONO. Economic growth and rising income per capita are theoretically followed by structural transformation in most economic-developing countries. Unbalanced transformation occurs in many developing countries, meaning that transformation rate of labor structure is relatively slower than that of production structure. Unbalanced transformation inhibits the effectiveness of economic development in reducing poverty and creating income equality. The purpose of this study is to analyze (1) the structural transformation in Madura from 1998 to 2014, (2) the factors affecting the structural transformation, (3) the effect of economic growth on poverty in Madura, and (4) the effect of sectoral economic growth on inequality of income distribution. The results showed that transformation of production structure was not followed by transformation of workforce structure (unbalanced transformation) during 1998-2014. Based on data analysis, it was concluded that population and income per capita were factors that influence production structure transformation in Madura. It was also concluded that GDP in industry sector was significant factor that negatively influence the level of poverty. Additionally, GDP in agricultural sector also showed negative correlation, but not significant effect on poverty. Meanwhile, the services sector showed positive correlation, suggesting that its contribution increased poverty. Furthermore, study on effect of sectoral economic growth on unequal distribution of income concluded that GDP of agricultural sector was significant factor and had a negative parameter. GDP of industry and services sector was significant and positively-correlated factor on inequality of income distribution. Unbalanced transformation in Madura needs to be addressed by accelerating rural industrialization in Madura, especially labor-intensive industries that is based on agriculture (agro-industry) and has strong sectoral linkages. Thus, excessive labor supply in agricultural sector can be decreased. To increase productivity of the agricultural sector, agricultural transformation needs to be accelerated because it is statistically effective in reducing poverty and income disparity. Such efforts can be implemented by modernizing and strengthening agricultural institutions as well as developing more market-oriented agriculture. Keywords: structural transformation, economic growth, poverty, inequality of income distribution
vi
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vii
TRANSFORMASI STRUKTURAL DI MADURA: PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI SEKTORAL TERHADAP KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN PENDAPATAN
MOHAMMAD SAEDY ROMLI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
viii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Wiwiek Rindayanti, M.Si
x
PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rohman dan rohim-Nya sehingga penelitian dengan judul “Transformasi Struktural di Madura: Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Sektoral terhadap Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan” dapat selesai dengan baik. Sejak awal penulisan, penelitian ini mendapatkan banyak masukan yang datang dari berbagai pihak. Berkenaan dengan itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir Manuntun Parulian Hutagaol, M.S atas pengarahan dan masukan-masukan. 2. Anggota komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. D.S. Priyarsono, M. S, atas bimbingan intensif yang diberikan. 3. Ketua Program Studi EPN, Prof Dr Ir Sri Hartoyo, M.S, serta para dosen di EPN. 4. Keluarga besar tercinta, atas segala doa dan limpahan kasih sayang yang tiada hentinya. 5. Rekan-rekan EPN 2014, atas dukungan, diskusi dan saran-saran yang telah diberikan. Akhirnya, semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kepentingan bangsa dan negara. Penulis terbuka terhadap saran dan kritikan untuk perbaikan penelitian ini.
Bogor, September 2016
Mohammad Saedy Romli
xi
DAFTAR ISI DAFTAR ISI .............................................................................................................. xi DAFTAR TABEL .................................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ xii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xiii 1 PENDAHULUAN .................................................................................................... 1 Latar Belakang ....................................................................................................... 1 Perumusan Masalah ............................................................................................... 4 Tujuan Penelitian ................................................................................................... 8 Manfaat Penelitian ................................................................................................. 8 Ruang Lingkup dan Keterbatasan .......................................................................... 8 2 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 9 Pertumbuhan Ekonomi........................................................................................... 9 Transformasi Struktural ....................................................................................... 10 Model Pembangunan Dua Sektor Arthur Lewis .................................................. 11 Kritik Terhadap Model Dua Sektor Arthur Lewis ............................................... 12 Analisis Pola Pembangunan ................................................................................. 13 Kemiskinan .......................................................................................................... 14 Ketimpangan Pendapatan..................................................................................... 15 Penelitian Terdahulu ............................................................................................ 16 Kerangka Pemikiran ............................................................................................. 17 Hipotesis Penelitian ............................................................................................. 22 3 METODOLOGI PENELITIAN .......................................................................... 22 Wilayah Penelitian ............................................................................................... 22 Jenis dan Sumber Data ......................................................................................... 22 Metode Analisis ................................................................................................... 23 Transformasi Struktural ....................................................................................... 24 Faktor-Faktor Transformasi Struktur Ekonomi ................................................... 24 Pertumbuhan Ekonomi Sektoral dan Kemiskinan ............................................... 25 Pertumbuhan Ekonomi Sektoral dan Ketimpangan Pendapatan ......................... 26 Regresi Data Panel ............................................................................................... 26 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 30 Transformasi Struktural ....................................................................................... 30 Faktor-Faktor Transformasi Struktural ................................................................ 45
xii
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tambah Sektor Pertanian ..................45 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Nilai Tambah Sektor Industri ....47 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Nilai Tambah Sektor Jasa .........50 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Sektoral terhadap Kemiskinan........................52 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Sektoral terhadap Ketimpangan Distribusi Pendapatan............................................................................................................54 5 SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................... 57 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 59 LAMPIRAN .............................................................................................................. 62 RIWAYAT HIDUP .................................................................................................. 73
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Indeks Gini Madura 2008-2014 Ringkasan tujuan, metode analisis dan data PDRB dan Pendapatan Per Kapita Kabupaten Bangkalan Kontribusi Sektoral Kabupaten Bangkalan (Persen) PDRB dan Pendapatan Per Kapita Kabupaten Sampang Kontribusi Sektoral Kabupaten Sampang PDRB dan Pendapatan Per Kapita Kabupaten Pamekasan Kontribusi Sektoral Kabupaten Pamekasan PDRB dan Pendapatan Per Kapita Kabupaten Sumenep Kontribusi Sektoral Kabupaten Sumenep Hasil Estimasi Model Analisis Faktor yang Memengaruhi Nilai Tambah Sektor Pertanian dengan Model Efek Tetap (Fixed Effect Model) Hasil Estimasi Model Analisis Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tambah Sektor Industri dengan Model Efek Tetap (Fixed Effect Model) Hasil Estimasi Model Analisis Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tambah Sektor Jasa dengan Model Acak (Random Effect Model) Hasil Estimasi Model Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Terhadap Kemiskinan dengan Model Efect Tetap (fixed Effect Model) Hasil Estimasi Model Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Terhadap Ketimpangan Pendapatan Dengan Model Efect Acak (Random Effect Model)
7 24 33 34 36 37 39 40 42 44 46 48 50 52
55
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7
Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Pertumbuhan Ekonomi Madura Presentase Kemiskinan Madura Kerangka Pemikiran Penelitian PDRB Sektoral Kabupaten Bangkalan Tenaga Kerja Sektoral Bangkalan PDRB Sektoral Kabupaten Sampang
5 5 6 21 35 36 38
xiii
8 9 10 11 12
Tenaga Kerja Sektoral Kabupaten Sampang PDRB Sektoral Kabupaten Pamekasan Tenaga Kerja Sektoral Pamekasan PDRB Sektoral Kabupaten Sumenep Tenaga kerja sektoral Sumenep
DAFTAR LAMPIRAN 1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
Hasil Uji Hausman Test Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tambah Sektor Pertanian. 63 Hasil Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tambah Sektor Pertanian Menggunakan Metode Estimasi Model Efek Tetap (Fixed Effect Model) dengan Cross-section weight dan white heteroskedasticity 64 Hasil Uji Hausman Test Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tambah Sektor Industri 65 Hasil Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tambah Sektor Industri Menggunakan Metode Estimasi Model Efek Tetap (Fixed Effect 66 Model) dengan Cross-section weight dan white heteroskedasticity Hasil Uji Hausman Test Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tambah Sektor Jasa 67 Hasil Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tambah Sektor Jasa Menggunakan Metode Estimasi Model Efek Acak (Random Effect Model) dengan Cross-section weight dan white heteroskedasticity 68 Hasil Uji Hausman Test Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Sektoral terhadap Kemiskinan 69 Hasil Regresi Pengaruh Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Sektoral terhadap Kemiskinan Menggunakan Metode Estimasi Model Efek Tetap (Fixed Effect Model) dengan Cross-section weight dan white heteroskedasticity 70 Hasil Uji Hausman Test Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Sektoral terhadap Ketimpangan Pendapatan 71 Hasil Regresi Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Sektoral terhadap Ketimpangan Pendapatan Menggunakan Metode Estimasi Model Efek Acak (Random Effect Model) dengan Cross-section weight dan white heteroskedasticity. 72
39 41 42 43 45
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Tujuan akhir pembangunan nasional di setiap negara ialah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas serta menciptakan pemerataan pendapatan. Kenaikan kesejahteraan masyarakat suatu negara salah satunya dicerminkan melalui pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita masyarakat yang tinggi. Selain itu menurut Todaro dan Smith (2006) tujuan pembangunan nasional bukan hanya semata-mata untuk menciptakan pertumbuhan GDP yang setinggi-tingginya, namun lebih luas daripada itu, yaitu juga dapat menghapuskan tingkat kemiskinan serta ketimpangan pendapatan. Sejarah ekonomi Indonesia telah mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi semata tidak efektif dalam mengurangi angka kemiskinan dan menciptakan pemerataan distribusi pendapatan. Pertumbuhan ekonomi perlu diusahakan secara terus menerus dan diarahkan pada sektor-sektor ekonomi yang bisa menjangkau lapisan masyarakat paling bawah. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan proses akumulasi dari pertumbuhan ekonomi sektoral yang dalam perjalanannya akan mengalami pergeseran struktur, baik dalam pembentukan PDRB maupun serapan tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi yang berlangsung secara terus menerus secara teoritis akan diikuti oleh transformasi struktural. Transformasi struktural dialami oleh hampir semua negara yang sedang melakukan pembangunan ekonomi. Berdasarkan model pembangunan dua-sektor Arthur Lewis, transformasi struktur ekonomi memiliki arti perubahan struktur ekonomi dalam negeri dari pola pertanian subsisten tradisional ke perekonomian modern yang lebih berorientasi kehidupan perkotaan. Perekonomian negara-negara berkembang terdiri dari dua sektor, yakni: (1) sektor tradisional, yaitu sektor pedesaan subsisten dengan produktivitas rendah, serta (2) sektor industri perkotaan modern dengan tingkat produktivitas yang tinggi. Perubahan struktur ekonomi tersebut ditandai dengan menurunnya kontribusi sektor pertanian dan meningkatnya kontribusi sektor industri, baik dalam produk domestik bruto (PDB) maupun dalam penyerapan tenaga kerja. Perubahan tersebut sebagai akibat meningkatnya output sektor modern sehingga menyerap tenaga kerja dengan produktivitas marginal nol yang ada di sektor tradisional. Oleh karenanya, sektor industri seringkali dijadikan tolok ukur kemajuan pembangunan ekonomi suatu negara; semakin tinggi kontribusi sektor industri dalam perekonomian, semakin maju pula perkembangan pembangunan ekonominya. Transformasi struktural dibuktikan oleh Clark (1951) dimana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan perkapita suatu negara semakin kecil peranan sektor pertanian baik dalam pangsanya terhadap pembentukan PDB maupun dalam penyediaan kesempatan kerja, sebaliknya, pangsa sektor industri terhadap total PDB semakin tinggi dan peranannya semakin penting dalam menampung tenaga kerja. Kemudian, Kuznet (1960) membuktikan
2
secara empiris terjadinya proses transformasi struktural dan pembuktian secara statistik dilakukan oleh Chenery (1960), keduanya menemukan bahwa akumulasi modal (fisik dan kualitas SDM) bukan satu-satunya faktor yang mendorong terjadinya transformasi struktural melainkan juga diperlukan perubahan struktur ekonomi yang saling berkaitan antar sektor agar terjadi perubahan perekonomian tradisonal menjadi perkonomian modern (Budiharsono 1996). Pembangunan di Indonesia telah berhasil memacu pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi yang secara teori akan diikuti oleh transformasi struktural. Budiharsono (1996) mengkaji transformasi struktural dan pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia 1969-1987, mendapati pertumbuhan ekonomi Indonesia telah mendorong terjadinya transformasi struktural yang dibuktikan dengan penurunan pangsa sektor pertanian dan meningkatnya pangsa sektor industri terhadap total PDB selama kurun waktu 1969-1987 akan tetapi transformasi struktural yang terjadi merupakan unbalanced transformation karena tidak diikuti oleh transformasi struktur tenaga kerja karena relatif kecilnya keterkaitan antara sektor pertanian dengan sektor Industri. Unbalanced transformation tersebut sangat mempengaruhi adanya kesenjangan pertumbuhan ekonomi antara Provinsi Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI), juga mengakibatkan terjadinya penyimpangan transformasi distribusi pendapatan. Pada tingkat regional, transformasi yang di dorong oleh pertumbuhan ekonomi yang terus menerus juga merupakan unbalanced transformation, Kagami (2000) melakukan penelitian di Propinsi Sumatera Selatan mendapati kesimpulan bahwa perekonomian telah mengalami transformasi struktural akan tetapi tidak diikuti oleh transformasi struktur ketenagakerjaan. Kesimpulan yang hampir sama berdasarkan penelitian Erikasari (2005) yang mengkaji transformasi struktural di Daerah Istimewa Yogyakarta menyimpulkan transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian inelastis terhadap perubahan kesempatan kerja sektor pertanian dan elastis terhadap kesempatan kerja sektor non pertanian. Amir dan Nazara (2005) mengkaji transformasi ekonomi Provinsi Jawa Timur; selama kurun waktu tahun 1994-2000 telah terjadi perubahan struktur perekonomian, yang ditunjukkan oleh perubahan dalam visualisasi economic landscape. Perubahan ini mengindikasikan adanya perubahan pengaruh sektoral terhadap perekonomian atau perubahan peranan sektor-sektor penting bagi perekonomian namun tidak demikian yang terjadi pada struktur tenaga kerja. Fenomena unbalanced transformation di negara berkembang termasuk Indonesia berkaitan erat dengan kritik terhadap model dua sektor Arthur Lewis yang dianggap gagal menjelaskan fenomena tersebut, pasalnya, asumsi-asumsi yang dibangun oleh model Lewis tidak semuanya terbukti terutama pada negaranegara berkembang. Penerapan model Lewis sangat tergantung pada tingkat dan jenis teknologi yang digunakan. Apabila keuntungan yang didapat oleh para investor diinvestasikan kembali pada tenologi yang padat modal dan perluasan hanya terjadi pada sektor hulu maka sektor industri tidak akan bisa menyerap semua surplus tenaga kerja dari sektor pertanian. Selanjutnya asumsi bahwa semua keuntungan akan di investasikan kembali pada perluasan industri dalam negeri kurang mendapat pembenarannya pada kasus perekonomian Indonesia, terjadi pelarian modal (capital flight) keluar negeri sehingga sektor industri dalam negeri tidak memperluas kesempatan kerja dan tidak menyerap surplus tenaga kerja yang ada di sektor pertanian.
3
Fenomena unbalanced transformation yang ditandai dengan kegagalan sektor industri menyerap surplus tenaga kerja pada sektor pertanian akan mengakibatkan banyaknya pengangguran terselubung pada sektor pertanian. Sektor pertanian menanggung beban tenaga kerja melebihi kapasitas idealnya akibatnya produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian sangat rendah, kondisi tersebut apabila dibiarkan akan mengakibatkan terjadinya pemiskinan dan eksploitasi sumberdaya manusia di sektor tersebut (Ediana 2006). Unbalanced transformation akan sangat berpengaruh pada tingkat kemiskinan dan ketimpangan yang menjadi tujuan utama pembangunan ekonomi. Kemiskinan masih menjadi masalah yang belum bisa di atasi oleh pemerintah Indonesia, tercatat pada bulan Maret 2015, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,59 juta orang atau sebesar 11,22 persen dari total penduduk Indonesia. Angka ini meningkat sebesar 0,26 persen atau 0,86 juta orang dibandingkan dengan kondisi pada September 2014 yang hanya sebesar 27,73 juta orang atau 10,96 persen (BPS 2015). Data-data tersebut membuktikan pertumbuhan ekonomi belum secara efektif mengurangi angka kemiskinan. Meningkatnya angka kemiskinan tersebut juga diikuti dengan semakin memburuknya ketimpangan distribusi pendapatan masyarakat. Indeks gini Indonesia terus mengalami peningkatan. BPS mencatat koefisien gini Indonesia sejak tahun 2010 hingga 2013 meningkat dari 0,38 menjadi 0,41. Angka ini merupakan angka terbesar dari sebelumnya 0.37 pada tahun 2006 dan 0.35 pada tahun 1996. Berdasarkan laporan World Bank (2015), Ada empat pendorong utama ketimpangan di Indonesia: (1) Ketimpangan peluang, (2) Pekerjaan yang tidak merata, (3) Tingginya konsentrasi kekayaan, (4) Ketahanan ekonomi rendah (Indonesia’s rising divide 2015). Salah satu penyebab ketimpangan adalah pekerjaan yang tidak merata, sangat berkaitan erat dengan transformasi struktural yang terjadi selama masa pertumbuhan ekonomi. Unbalanced transformation akan menyebabkan tenaga kerja terbagi menjadi pekerja berketerampilan tinggi (skill labor) yang upahnya semakin meningkat dalam hal ini sektor non pertanian (industri dan jasa), dan pekerja yang tidak memiliki keterampilan tinggi (unskill labor) sehingga terjebak dalam pekerjaan dengan produktivitas rendah dan berupah rendah dalam hal ini sektor pertanian (Aizenman et al. 2012). Penelitian Goh et al. (2009) juga membuktikan polarisasi tenaga kerja menjadi skill labor dan unskill labor akan semakin meningkatkan ketimpangan distribusi pendapatan karena ada perbedaan peluang dan dan intensif yang diterima. Hipotesis Kuznet (1955) menyatakan adanya hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi dengan distribusi pendapatan. Hubungan antara tingkat pendapatan dan ketimpangan distribusi pendapatan dihipotesiskan berupa bentuk hubungan dengan pola U-terbalik (inverted U shaped pattern).Artinya, distribusi pendapatan cenderung semakin timpang pada tahap awal pembangunan dan kemudian cenderung lebih merata pada tahap selanjutnya sejalan dengan perbaikan tingkat pendapatan. Sementara Field (1979) berpendapat bahwa distribusi pendapatan cenderung membaik pada kasus pertumbuhan ekonomi yang terjadi sebagai akibat peningkatan pendapatan secara signifikan pada sektor pertanian (traditonal sector enrichment), sebaliknya distribusi pendapatan semakin memburuk karena peningkatan pendapatan sektor non pertanian (modern). Korelasi antara transformasi struktur ekonomi dengan distribusi
4
pendapatan dibuktikan oleh Cheong dan WU (2014) yang melakukan penelitian di China mendapati fakta bahwa pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh transformasi struktural sangat membantu dalam meningkatkan standar hidup masyarakat meskipun pertumbuhan ekonomi tersebut diikuti dengan meluasnya ketimpangan distribusi pendapatan. Penurunan angka kemiskinan dan pemerataan pendapatan merupakan masalah inti yang ingin di capai oleh pembangunan ekonomi, karena kemiskinan dan ketimpangan jika dibiarkan dalam jangka yang panjang akan memberikan dampak buruk terhadap perekonomian nasional yaitu berupa instabilitas sosial, ketidakpastian, dan tragedi kemanusiaan seperti kelaparan, tingkat kesehatan yang rendah dan gizi buruk. Apabila keadaan tersebut terus berlanjut, maka pada akhirnya akan mengganggu keamanan, stabilitas ekonomi makro dan kelangsungan pemerintahan yang ada (Muslianti 2011). Oleh karenannya, kajian mengenai transformasi struktural dan pertumbuhan ekonomi sektoral menjadi sangat penting dilakukan agar pertumbuhan ekonomi dan transformasi struktural yang terjadi bisa efektif dalam mengurangi angka kemiskinan dan menciptakan pemerataan distribusi pendapatan.
Perumusan Masalah Kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan merupakan masalah mendasar yang dihadapi oleh setiap negara terutama negara berkembang termasuk Indonesia. Pembangunan ekonomi dilakukan untuk mengatasi masalah kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi, peningkatan produktivitas kerja, partisipasi kerja dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi Jawa Timur sebagai sebuah rangkaian dari pembangunan nasional menunjukkan angka yang sangat mengembirakan. Selama kurun waktu 2001-2012 angka pertumbuhan ekonomi Jawa timur terus mengalami peningkatan meskipun pada tahun 2013 dan 2014 mengalami penurunan. Selama periode 2006-2013 Ekonomi Jawa Timur tumbuh pada laju rata-rata 6.32 persen pertahun. Laju pertumbuhan tersebut lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional yang berada pada angka 5.90 persen per tahun pada periode yang sama. Pada tingkat regional, Provinsi Jawa Timur merupakan Provinsi dengan output PDRB terbesar kedua setelah DKI Jakarta dengan sumbangan sebesar 25.28 persen terhadap pembentukan PDRB Wilayah JawaBali dan sebesar 14.88 persen terhadap pembentukan PDB nasional (http://simreg.bappenas.go.id). Namun sayangnya, tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut tidak efektif dalam mengatasi masalah kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Jawa Timur tercatat sebagai Provinsi di Pulau Jawa dengan jumlah kemiskinan terbesar dan ketimpangan wilayah perkotaan dengan pedesaan yang sangat besar. Penduduk miskin di pedesaan pada Maret 2014 sebesar 67.92 persen dari total penduduk miskin di Provinsi Jawa Timur sedangkan sisanya 32.08 persen berada di perkotaan. Persentase penurunan penduduk miskin di perdesaan (0.10 poin persen) lebih kecil daripada di perkotaan (0.55 poin persen) (BPS 2013).
5
Ketimpangan distribusi pendapatan di Jawa Timur terlihat dari nilai indeks gini. Indeks gini jawa Timur memiliki kecenderungan kenaikan selama periode 20092012. Pada 2009, indeks gini Jawa Timur tercatat sebesar 0.33 dan naik menjadi 0.36 pada 2012 (BPS Jatim 2013). 8 7 6 5 4 3 2 1 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Gambar 1. Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Madura sebagai bagian integral dari Provinsi Jawa Timur tentunya juga sangat terpengaruh oleh dinamika perkeonomian yang ada pada tingkat Provinsi. Laju pertumbuhan ekonomi Madura berada pada pertumbuhan ekonomi rata-rata Provinsi Jawa Timur. 8 6 Bangkalan
4
Sampang Pamekasan
2
Sumenep
0 2009
2010
2011
2012
2013
Gambar 2 Pertumbuhan Ekonomi Madura Gambar 2. menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Madura mengalami peningkatan dari tahun ke tahun meskipun peningkatannya berjalan sangat lambat. Sayangnya, pada 2013 Pertumbuhan ekonomi Bangkalan, Sampang dan Pamekasan mengalami penurunan. Hanya Kabupaten Sumenep yang mengalami peingkatan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tersebut diharapkan efektif dalam mengurangi angka kemiskinan. Namun berdasarkan data BPS, angka kemiskinan di Madura masih relatif tinggi meskipun memiliki kecenderungan menurun. Masih tingginya angka kemiskinan di Madura terlihat dari kenyataan bahwa 3 dari 4 kabupaten yang ada di Madura masuk pada kategori 10 besar Kabupaten dengan jumlah kemiskinan tertinggi di Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Pamekasan menjadi kabupaten dengan tingkat kemiskinan relatif kecil. Namun meski begitu melihat angka kemiskinan absolute Kabupaten Pamekasan pada tahun 2013 yang sebesar 153.103 jiwa terbilang masih sangat tinggi.
6
35.00 30.00 25.00 Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep
20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 2008
2009
2010
2011
2012
Gambar 3. Presentase Kemiskinan Madura Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang berlangsung di Madura terbukti belum terlalu efektif dalam mengatasi masalah kemiskinan. Ekonomi tumbuh pada kisaran rata-rata pertumbuhan ekonomi Jawa Timur namun tingkat kemiskinannya menjadi salah satu yang tertinggi di antara Kabupaten/Kota yang lain di Jawa Timur. Ketidakefektifan pertumbuhan ekonomi tersebut diduga disebabkan oleh terjadinya unbalanced transformation di Madura. Pertumbuhan ekonomi yang berlangsung secara terus menerus di Madura, secara teoritis akan diikuti oleh transformasi struktural, dimana pada fase ini, beberapa sektor ekonomi tumbuh lebih cepat dibandingkan sektor ekonomi yang lain. Transformasi struktural pada banyak Negara berkembang termasuk Indonesia merupakan unbalanced transformation, dimana transformasi struktur produksi berjalan lebih cepat dibandingkan dengan transformasi struktur tenaga kerja. Selain menyebabkan tenaga kerja terbagi menjadi 2 kutub besar: (1) Tenaga kerja sektor non pertanian (skill labor) dengan produktivitas tinggi, dan (2) tenaga kerja sektor pertanian (unskill labor) dengan produktivitas rendah, juga akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi sektoral yang berbeda. Pertumbuhan sektor industri dan jasa akan berjalan lebih cepat dibandingkan pertumbuhan di sektor pertanian. Transformasi struktural yang tidak seimbang (unbalanced transformation) di Madura terlihat dari merosotnya kontribusi sektor pertanian terhadap pembentukan PDRB. Perekonomian Bangkalan, pada tahun 1998 sektor pertanian berkontribusi sebesar 44.12 persen menurun menjadi hanya 19.59 persen pada tahun 2014, sementara di Sampang pada tahun 1998 sektor pertanian menyumbang 53.68 persen menurun menjadi 30.60 persen, demikian juga yang terjadi pada perekonomian Pamekasan dan Sumenep. Di Pamekasan sektor jasa menjadi leading sector pada akhir tahun 2014 dengan kontribusi sektoral sebesar 46.88 persen. Sementara di Kabupaten Sumenep, pada tahun 1998 kontribusi sektor pertanian Sumenep terhadap pembentukan PDRB sebesar 41.11 persen menurun menjadi 32.06 persen pada akhir tahun 2014 (BPS Jatim 2015). Namun di sisi lain, belum terjadi transformasi struktur tenaga kerja. Tercatat sektor pertanian masih menjadi sektor dengan serapan tenaga kerja terbesar dibandingkan sektor ekonomi yang lain. Pada akhir tahun 2014 sektor pertanian menyerap tenaga kerja sebesar 60.60 persen di Bangkalan (BPS Kabupaten Bangkalan 2015), sementara di Sampang pada tahun yang sama sektor pertanian menyerap tenaga kerja sebesar 56.67 persen (BPS Kabupaten Sampang 2015). Hal yang serupa terjadi di Pamekasan, sektor pertanian menyerap tenaga kerja sebesar
7
65.54 persen pada tahun 2014 (BPS Kabupaten Pamekasan 2015). Demikian juga di Kabupaten Sumenep, pada akhir tahun 2014, sektor pertanian bahkan menyerap tenaga kerja sebesar 76.54 persen (BPS Kabupaten Sumenep 2015). Unbalanced transformation yang terjadi di Madura selain berakibat pada masih tingginya angka kemiskinan, juga akan menyebabkan terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan. Persoalan ketimpangan distribusi pendapatan tidak lepas dari adanya perbedaan pertumbuhan sektoral yang berbeda. Sektor ekonomi dengan produktivitas rendah (pertanian) akan menyebabkan rendahnya tingkat pendapatan tenaga kerja yang ada di sektor tersebut, sementara sektor ekonomi dengan produktivitas yang tinggi akan menciptakan pertumbuhan sektoral yang lebih cepat dan tingkat pendapatannya lebih tinggi. Ketimpangan distribusi pendapatan di Madura terlihat dari angka indeks gini masing-masing Kabupaten yang ada di Pulau Madura. Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Pamekasan dari tahun 2012 sampai 2014 mengalami kenaikan, sementara Kabupaten Sampang dan Kabupaten Sumenep mengalami tren yang sebaliknya pada tahun yang sama. Tabel 1. Indeks Gini Madura 2008-2014 No 1 2 3 4
Kabupaten Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep
2008 0.34 0.25 0.25 0.24
2009 0.29 0.27 0.24 0.24
2010 0.29 0.24 0.26 0.27
2011 0.30 0.26 0.28 0.27
2012 0.28 0.25 0.24 0.30
2013 0.28 0.25 0.25 0.29
2014 0.33 0.23 0.26 0.25
Sumber: BPS 2015 (diolah)
Pertumbuhan ekonomi perlu diarahkan ke sektor-sektor ekonomi yang efektif dalam mengurangi angka kemiskinan dan menciptakan pemerataan distribusi pendapatan. Memahami karakteristik pertumbuhan ekonomi sektoral dan arah transformasi struktural suatu wilayah merupakan hal penting untuk dapat mengetahui sektor-sektor ekonomi manakah yang efektif dalam mengatasi masalah surplus tenaga kerja sektor pertanian (unbalanced transformation) dan sektor-sektor ekonomi manakah yang efektif dalam mengurangi angka kemiskinan sekaligus menciptakan pemerataan distribusi pendapatan. Intervensi pemerintah sangat dibutuhkan dalam perencanaan pembangunan ekonomi terutama dalam upaya menciptakan transformasi struktural dan pertumbuhan ekonomi sektoral yang ideal. Kajian-kajian strategis yang mendasari setiap tindakan pemerintah sangat dibutuhkan agar transformasi struktural dan pertumbuhan ekonomi bisa diarahkan dan efektif dalam mengurangi angka kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan. Dengan demikian, masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) bagaimana gambaran struktur perekonomian Madura dalam hubungannya dengan transformasi struktural, (2) faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi transfornasi struktural di Madura, (3) bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi sektoral terhadap kemiskinan di Madura, dan (4) bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi sektoral terhadap ketimpangan distribusi pendapatan di Madura.
8
Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis transformasi struktural, pertumbuhan ekonomi sektoral dan bagaimana pengaruhnya terhadap kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di Madura. Sedangkan tujuan spesifik dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis transformasi struktural Madura dari kurun waktu 1998-2014 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi transformasi struktural di Madura selama kurun waktu 1998-2014 3. Menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi sektoral terhadap Kemiskinan di Madura 4. Menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi sektoral terhadap ketimpangan pendapatan di Madura.
Manfaat Penelitian Penelitian mengenai transformasi struktural, pertumbuhan ekonomi sektoral dan pengaruhnya terhadap kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan di Madura diharapkan mampu memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang terkait dalam studi ini. Manfaat tersebut antara lain: 1. Sebagai bahan masukan bagi pembuat kebijakan terkait dengan posisi perekonomian Madura mengenai sektor-sektor ekonomi yang menjadi sektor utama (leading sector) dalam perekonomian Madura. 2. Sebagai bahan pertimbangan bagi penyusun kebijakan baik pemerintah pusat maupun daerah terutama dalam kebijakan pembangunan untuk pengurangan angka kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan. Melalui informasi sektor-sektor ekonomi yang efektif dalam mengatasi masalah unbalanced transformation serta pertumbuhan ekonomi sektoral yang paling efektif dalam mengurangi angka kemiskinan dan menciptakan pemerataan distribusi pendapatan. 3. Sebagai referensi pembanding atau studi pustaka bagi penelitian selanjutnya yang memiliki keterkaitan dengan transformasi struktural, pertumbuhan ekonomi sektoral dan pengaruhnya terhadap kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Skala penelitian hanya mencakup regional Madura dengan data selama 17 tahun yakni periode 1998-2014 oleh karenanya, hasil penelitian ini belum dapat digenarilisasikan pada daerah-daerah lain. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis transformasi struktural Madura serta pengaruh pertumbuhan ekonomi sektoral terhadap kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Adapun keterbatasan lain pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pertumbuhan ekonomi yang dimaksud adalah pertumbuhan ekonomi sektoral, yakni pertumbuhan sektor pertanian, sektor industri dan sektor jasa.
9
2. Transformasi struktural yang di maksud adalah perubahan kontribusi sektoral dalam struktur ekonomi. Transformasi struktural terdiri dari transformasi struktur output dan transformasi struktur tenaga kerja. 3. Transformasi struktur output terdiri dari sektor pertanian, Industri dan jasa yang didasarkan pada perubahan kontribusi sektoral dalam pembentukan PDRB. Sementara transformasi struktur tenaga kerja terdiri dari sektor pertanian dan non pertanian yang didasarkan pada perubahan serapan tenaga kerja. 4. Sektor pertanian terdiri dari pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan, pertambangan & penggalian. Sektor Industri terdiri dari industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih, bangunan dan kontruksi. Sektor Jasa terdiri dari perdagangan, rumah makan dan hotel, pengangkutan, perdagangan & komunikasi, keuangan, asuransi, persewaan bangunan & jasa perusahaan, jasa-jasa kemasyarakatan. 5. Pada pengujian faktor-faktor yang mempengaruhi transformasi struktur output, pengujian dilakukan pada setiap sektor ekonomi yakni pertanian, industri dan jasa dengan hanya menlihat faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan nilai tambah sektoral serta tidak memasukkan variabel ekspor-impor dan teknologi. 6. Regresi model pengaruh pertumbuhan ekonomi sektoral terhadap kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan menggunakan nilai PDRB masing-masing sektor.
2 TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi utama atau suatu keharusan bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan. Karena jumlah penduduk bertambah setiap tahun yang dengan sendirinya kebutuhan konsumsi sehari-hari juga bertambah setiap tahun, maka dibutuhkan penambahan pendapatan setiap tahun. Selain dari sisi permintaan (konsumsi), dari sisi penawaran, pertumbuhan penduduk juga membutuhkan pertumbuhan kesempatan kerja (sumber pendapatan). Pertumbuhan ekonomi tanpa dibarengi dengan penambahan kesempatan kerja akan mengakibatkan ketimpangan dalam pembagian dari penambahan pendapatan tersebut, yang selanjutnya akan menciptakan suatu kondisi pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan kemiskinan. Pemenuhan kebutuhan konsumsi dan kesempatan kerja itu sendiri hanya bisa dicapai dengan peningkatan output agregat (barang dan jasa) atau PDB yang terus menerus. Pertumbuhan ekonomi adalah penambahan PDB (Tambunan 2003). Terdapat dua pandangan yang berbeda tentang terjadinya pertumbuhan ekonomi yaitu: (1) pandangan Neo Klasik yang mengemukakan bahwa peningkatan produk domestik bruto sebagai akibat pengaruh jangka panjang dari pembentukan modal, perkembangan tenaga kerja dan perubahan teknologi yang
10
diasumsikan terjadi dalam keseimbangan persaingan. Dalam keadaan keseimbangan masing-masing faktor produksi mendapat imbalan sejumlah nilai produktivitas marginalnya di sektor manapun faktor-faktor produksi tersebut digunakan, sehingga pergeseran permintaan dan perubahan alokasi sumberdaya dari satu sektor ke sektor lainnya tidak berarti dan (2) pandangan struktural yang mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi sebagai aspek dari perubahan struktural karena adanya pergeseran permintaan yang mendorong terjadinya perubahan teknologi (Chenery 1986). Perbedaan yang mendasar antara kedua pandangan tersebut terletak pada asumsi bahwa selalu terjadi sumber daya yang efisien, sehingga tidak mungkin meningkatkan output dengan menggeser penggunaan faktor-faktor produksi dari satu sektor ke sektor lainnya. Realokasi terjadi jika seluruh perekonomian berkembang. Neo Klasik menjelaskan pertumbuhan ekonomi denga n pengamatan terhadap sumber-sumber pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Pendekatan kedua sering disebut sebagai pendekatan struktural dengan asumsi tidak semua sumberdaya dialokasikan secara optimal, akibatnya terdapat keragaman imbalan tenaga kerja dan modal dalam setiap penggunaan berbeda, sehingga akan terjadi pergeseran alokasi sumberdaya yang menimbulkan peningkatan output. Asumsi pendekatan struktural lebih sesuai dengan keadaan negara berkembang, dimana sumber utama ketidak seimbangan yaitu adanya dualitas di pasar tenaga kerja yang merupakan karakteristik negara berkembang. Dualitas terjadi karena pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak diserap di sektor yang produktivitasnya tinggi, akibatnya terjadi surplus tenaga kerja yang terpusat di sektor pertanian. Sumber ketidakseimbangan kedua adalah kegagalan mengalokasikan sumberdaya untuk meningkatkan ekspor atau menggantikan impor. Keadaan ketidakseimbangan tersebut merupakan potensi untuk mendorong pertumbuhan dengan mengurangi hambatan dan alokasi sumberdaya ke sektor yang produktivitasnya tinggi.
Transformasi Struktural Transformasi struktural merupakan salah satu model teoritis tentang pembangunan ekonomi yang paling terkenal.. Model transformsasi struktural merupakan sebuah mekanisme yang memungkinkan negara-negara yang masih terbelakang untuk mentransformasi struktur perekonomian mereka dari pola perekonomian pertanian subsisten tradisonal ke perekonomian yang lebih modern, lebih berorientasi ke kehidupan perkotaan, serta memiliki sektor industri manufaktur yang lebih bervariasi dan sektor-sektor jasa yang tangguh. Model transformasi struktural dalam analisisnya menggunakan perangkatperangkat neo klasik berupa teori harga dan alokasi sumber daya, serta metodemetode ekonometrik modern untuk menjelaskan terjadinya transformasi. Transformasi struktural dicetuskan oleh Arthur Lewis dengan model teoritisnya tentang surplus tenaga kerja dua sektor (two sector surplus labor) dan dikembangkan oleh Hollis B Chenery yang sangat terkenal dengan analisis empirisnya tentang pola-pola pembangunan (pattern of development). Asumsi model struktural dianggap lebih sesuai dengan keadaan Negara berkembang, dimana sumber utama ketidakseimbangan yaitu adanya dualitas di
11
pasar tenaga kerja yang merupakan karakteristik negara berkembang. Dualitas terjadi karena pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak terserap oleh sektor yang produktivitasnya tinggi, akibatnya terjadi over supply tenaga kerja di sektor pertanian (primer). Sumber ketidakseimbangan kedua adalah kegagalan mengalokasikan sumberdaya untuk meningkatkan ekspor atau menggantikan impor. Keadaan ketidakseimbangan tersebut merupakan potensi untuk mendorong pertumbuhan dengan mengurangi hambatan dan alokasi sumberdaya ke sektor yang memiliki produktivitas tinggi. Transformasi struktural merupakan proses yang terjadi pada masa transisi dari sistem ekonomi tradisional ke sistem ekonomi modern, dalam proses ini, akibat meningkatnya pendapatan dapat meningkatkan akumolasi modal fisik dan kualitas manusia, pergeseran komposisi permintaan, perdagangan, produksi serta pemanfaatan tenaga kerja (Chenery 1981). Lebih jauh Chenery membedakan pertumbuhan dalam tiga tahap transformasi yaitu : (1) tahap produksi primer, (2) tahap industrialisasi, dan (3) tahap ekonomi berkembang. Pada tahap pertama atau produksi primer, pendapatan perkapita suatu negara berkisar antara US $ 200 –US $ 600 (nilai tahun 1976). Transformasi struktural yang terjadi pada tahap ini ditandai dengan keunggulan kegiatan primer (pertanian) sebagai sumber utama peningkatan output. Pada tahap produksi primer ini juga biasanya tumbuh dengan lambat karena sangat tergantung pada siklus musim dan hanya memberikan kontribusi kecil pada pendapatan perkapita. Pada tahap kedua atau industrialisasi (sekunder), disini pendapatan perkapita bergerak antara US $600–US $3000. Dalam tahap ini juga transformasi ditandai dengan pergeseran konsentrasi ekonomi dari produksi primer menuju industri. Jadi, peranan sektor industri sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi. Dari segi penawaran, peranan akumulasi kapital sangat tinggi karena tingkat investasi untuk menghasilkan produksi sektoral meningkat dengan pesat, dan tahap terakhir adalah tahap ekonomi berkembang, ini terjadi pada tingkat pendapatan perkapita bergerak di atas US $2100. Sedangkan menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Clark (1951) menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan suatu negara, makin kecil peranan sektor primer dalam menyediakan kesempatan kerja. Disamping itu, transformasi struktural juga dapat ditelusuri dari output akhir dari suatu Negara (Chenery 1986). Transformasi struktural memiliki tiga dimensi yaitu: (1) sumbangan sektor pertanian secara relatif akan merosot sedangkan sektor non pertanian sumbangannya meningkat (2) penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian secara absolut meningkat, namun persentasenya dalam jumlah lapangan kerja keseluruhan semakin menurun, dan (3) tingkat produksi di semua bidang akan menjadi lebih bersifat industri. Produksi pertanian akan semakin banyak memakai sistem industri, yaitu hasil pertanian akan diproduksi secara besar-besaran untuk dijual ke pasar dengan menggunakan teknologi modern (Ediana 2006).
Model Pembangunan Dua Sektor Arthur Lewis Menurut model pembangunan dua sektor Arthur Lewis, perekonomian yang terbelakang terdiri dari dua sektor, yakni: (1) sektor tradisonal, yaitu sektor pedesaan subsisten yang kelebihan penduduk dan ditandai dengan produktivitas
12
marjinal tenaga kerja sama dengan nol, kondisi ini merupakan situasi yang memungkinkan Lewis untuk mendefinisikan kondisi surplus tenaga kerja (surplus labor) sebagai suatu fakta bahwa jika sebagian tenaga kerja tersebut ditarik dari sektor pertanian maka sektor itu tidak akan kehilangan outputnya dan (2) sektor industri perkotaan modern yang tingkat produktivitasnya tinggi dan menjadi tempat penampungan tenaga kerja yang di transfer sedikit demi sedikit dari sektor subsisten. Perhatian utama model ini diarahkan pada terjadinya proses pengalihan tenaga kerja, pertumbuhan output dan peningkatan penyerapan tenaga kerja pada sektor modern. Pengalihan tenaga kerja dan pertumbuhan kesempatan kerja dimungkinkan oleh adanya perluasan output sektor modern. Kecepatan perluasan penyerapan tenaga kerja pada sektor industri sangat tergantung pada tingkat investasi di bidang industri dan akumulasi modal secara keseluruhan di sektor modern. Peningkatan investasi dimungkinkan oleh adanya kelebihan keuntungan sektor modern dari selisih upah dengan asumsi bahwa para pemilik modal sektor modern menanamkan kembali seluruh keuntungannya. Asumsi selanjutnya adalah tingkat upah pada sektor modern diasumsikan konstan dan berdasarkan suatu premis tertentu jumlahnya ditetapkan melebihi tingkat rata-rata upah di sektor pertanian subsiten tradisional. Tingkat upah di daerah perkotaan sekurangkurangnya harus 30 persen lebih tinggi dari pada rata-rata pendapatan di daerah pedesaan untuk memaksa para pekerja pindah dari desa-desa asalnya ke kota. Rangkaian proses pertumbuhan berkesinambungan dan perluasan kesempatan kerja di sektor modern diasumsikan akan terus berlangsung sampai semua surplus tenaga kerja pedesaan di serap habis oleh sektor industri. Selanjutnya, tenaga kerja tambahan yang berikutnya hanya dapat ditarik dari sektor pertanian dengan biaya yang lebih tinggi karena hal tersebut pasti akan mengakibatkan merosotnya produksi pangan. Hanya penurunan rasio tenaga kerja terhadap tanah secara drastis sajalah yang akan mampu membuat produk marjinal tenaga kerja desa menjadi tidak sama dengan nol lagi. Dengan demikian tatkala tingkat upah serta kesempatan kerja di sektor modern terus mengalami pertumbuhan, kemiringan kurva tenaga kerja bernilai postif. Transformasi struktural perekonomian dengan sendirinya akan menjadi suatu kenyataan dan perekonomian pada akhirnya akan beralih dari perekonomian pertanian tradisonal yang berpusat di daerah pedesaan menjadi sebuah perekonomian industri modern yang berorientasi pada pola kehidupan perkotaan.
Kritik Terhadap Model Dua Sektor Arthur Lewis Secara umum model Lewis sudah dapat menjelaskan bagaimana pertumbuhan ekonomi dan transformasi struktur ekonomi di Negara-Negara Barat. Namun ada beberapa asumsi yang ternyata sama sekali tidak cocok dengan kenyataan institusional dan ekonomis di sebagian Negara Berkembang (Dunia ketiga). Pertama, model ini secara implisit mengasumsikan bahwa tingkat pengalihan tenaga kerja dan penciptaan kesempatan kerja di sektor modern sebanding dengan tingkat akumulasi modal sektor modern. Semakin cepat tingkat
13
akumulasi modalnya, semakin tinggi tingkat pertumbuhan sektor modern dan semakin cepat pula penciptaan lapangan kerja baru. Akan tetapi pada kenyataannya keuntungan para kapitalis justru diinvestasikan kembali dalam bentuk barang-barang modal yang lebih canggih dan lebih hemat tenaga kerja bukan pada barang modal yang hanya merupakan duplikasi dari modal yang sudah ada sebelumnya. Kedua, asumsi terjadinya surplus tenaga kerja di pedesaan dan terjadinya kondisi full employment di perkotaan tidak terbukti pada sebagian negara-negara berkembang. Faktanya jumlah pengangguran di perkotaan cukup besar sebaliknya surplus tenaga kerja di pedesaan relatif sedikit. Ketiga, dugaan tentang adanya pasar tenaga kerja yang kompetitif di sektor modern akan menjamin keberlangsungan upah riil di perkotaan tetap konstan sampai surplus tenaga kerja habis terpakai. Pada kenyataannya tingkat upah dan pasar tenaga kerja perkotaan di hampir semua negara sedang berkembang cenderung meningkat sangat besar dari waktu ke waktu baik secara absolut maupun secara relatif, yakni apabila dibandingkan dengan rata-rata pendapatan di daerah pedesaan. Keempat, ketidaktepatan asumsi yang mengatakan bahwa tingkat hasil akan semakin menurun pada sektor industri modern. Banyak fakta membuktikan bahwa sektor industri modern mengalami peningkatan. Kritikan terhadap model dua sektor lewis merupakan persoalan yang tidak dapat dibantah sehingga memberi kesimpulan perlunya serangkaian modifikasi baik dalam asumsi maupun analisisnya agar benar-benar cocok dengan kenyataan yang ada pada negara-negara Dunia Ketiga. Namun demikian kontribusi model Lewis sebagai sebuah konsep awal yang menggambarkan interaksi sektoral dan transformasi struktural tidak boleh dinafikan karena model Lewis menjadi dasar untuk pengembangan model transformasi struktural berikutnya.
Analisis Pola Pembangunan Analisis pola pembangunan memusatkan perhatiannya pada proses yang mengubah struktur ekonomi, industri dan kelembagaan secara bertahap pada suatu perekonomian yang terbelakang sehingga memungkinkan munculnya industriindustri baru untuk menggantikan sektor pertanian sebagai penggerak roda pertumbuhan ekonomi. Teori ini menyatakan bahwa peningkatan tabungan dan investasi merupakan syarat yang harus dipenuhi tetapi tidak akan memadai jika harus berdiri sendiri (neccesary but not sufficient conditions) dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Pola ini juga mensyaratkan bahwa selain akumulasi modal untuk pengadaan sumber daya fisik maupun sumber daya manusia diperlukan juga suatu rangkaian perubahan yang saling berkaitan dalam struktur perekonomian negara demi terjadinya transisi yang bersifat mendasar dari sistem ekonomi tradisonal ke sistem ekonomi modern. Model perubahan struktural paling terkenal adalah model yang disusun berdasarkan penelitian empiris Hollis B. Chenery yang meneliti pola-pola pembangunan di sejumlah negara Dunia Ketiga selama kurun waktu pasca perang dunia kedua. Bahan-bahan studi meliputi transisi dari pola perekonomian agraris
14
ke perekonomian industri, kesinambungan akumulasi modal fisik dan manusia, perubahan jenis permintaan konsumen dari produk kebutuhan pokok dan pangan ke berbagai barang dan jasa manufaktur, perkembangan daerah perkotaan terutama pusat-pusat industri berkat migrasi para pencari kerja dari daerah pertanian pedesaan dan kota-kota kecil serta pengurangan jumlah anggota setiap keluarga. Dalam proses pembangunan, pertama-tama pertumbuhan populasi akan meningkat sebelum akhirnya menurun. Hipotesis utama dari model perubahan struktural adalah pembangunan merupakan suatu proses pertumbuhan dan perubahan yang dapat diamati yang ciri-ciri pokoknya sama di semua negara. Perbedaan dapat terjadi di antara satu negara berkembang dengan yang lain dalam hal langkah–langkah yang ditempuhnya serta pola umum pembangunannya yang semuanya ditentukan oleh sejumlah faktor. Faktor-faktor tersebut adalah jumlah dan jenis sumber daya yang dimiliki masing-masing negara, ketepatan rangkaian kebijakan dan sasaran yang ditetapkan oleh pemerintah setempat, tersedianya modal dan teknologi dari luar, serta kondisi-kondisi lingkungan perdagangan internasional.
Kemiskinan Berbagai konsep kemiskinan dikemukakan oleh para ahli, diantaranya Bellinger (2007) yang berpendapat bahwa kemiskinan memiliki dua dimensi yaitu dimensi pendapatan dan nonpendapatan. Kemiskinan dalam dimensi pendapatan didefinisikan sebagai keluarga yang memiliki pendapatan rendah, sedangkan dari dimensi non pendapatan ditandai dengan adanya ketidakmampuan, ketiadaan harapan, tidak adanya perwakilan dan kebebasan. Kemiskinan dari sisi pendapatan lebih sering didiskusikan karena lebih mudah diukur, dan dapat dibedakan menjadi kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Todaro dan Smith (2006) berpendapat bahwa kemiskinan absolut adalah sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu, atau dapat dikatakan hidup di bawah garis kemiskinan internasional, selain kemiskinan absolut, beberapa ekonom mencoba mengkalkulasikan indikator jurang kemiskinan total yang mengukur pendapatan total yang diperlukan untuk mengangkat mereka yang masih di bawah garis kemiskinan ke atas garis tersebut. Kemiskinan relatif merupakan ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, biasanya berkaitan dengan ukuran di bawah tingkat rata-rata distribusi pendapatan nasional, indeks gini merupakan salah satu contoh ukuran kemiskinan relatif. World Bank (1990) menyatakan bahwa garis kemiskinan berbeda untuk tiap negara, tetapi yang umum dijadikan standar untuk membandingkan antar negara adalah garis kemiskinan internasional yang menggunakan pendapatan perkapita sebesar US$ 1 per hari. Sementara Badan Pusat Statistik (2008) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makannya kurang dari 2100 kalori perkapita per hari yang setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di pedesaan dan 480 kg/kapita/tahun di daerah perkotaan. Schiller (2004) menyatakan bahwa terdapat tiga hal yang dapat menjadi penyebab kemiskinan, antara lain:
15
1. Kurangnya motivasi atau keterampilan individu 2. Adanya hambatan sosial terhadap akses pada kesempatan (society’s barrier to opportunity) 3. Kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya penurunan pendapatan dan partisipasi kerja.
Ketimpangan Distribusi Pendapatan Distribusi pendapatan merupakan pembagian hasil pembangunan suatu negara yang mencerminkan tingkat kemerataan atau ketimpangan dikalangan penduduknya (Dumairy 1999). Para ekonom umumnya membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan, yang keduanya digunakan untuk tujuan analitis dan kuantitatif: (1) Distribusi pendapatan perorangan (2) Distribusi pendapatan fungsional (Todaro & Smith 2006). Distribusi pendapatan perorangan memberikan gambaran tentang distribusi pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga. Dalam konsep ini, yang diperhatikan adalah seberapa banyak pendapatan yang diterima oleh individu atau rumah tangga, tidak peduli dari mana sumbernya. Entah itu berasal dari gajinya karena bekerja, atau sumber lainnya seperti bunga, hadiah, keuntungan maupun warisan. Demikian pula tempat dan sektor sumber pendapatan pun turut diabaikan. Sementara distribusi pendapatan fungsional mencoba menerangkan bagian dari pendapatan yang diterima oleh tiap faktor produksi. Faktor produksi tersebut terdiri dari tanah atau sumberdaya alam,tenaga kerja dan modal. Pendapatan didistribusikan sesuai dengan fungsinya seperti buruh menerima upah, pemilik tanah memerima sewa dan pemilik modal memerima bunga serta laba. Jadi setiap faktor produksi memperoleh imbalan sesuai dengan kontribusinya pada produksi nasional, tidak lebih dan tidak kurang. Menurut Wie (1983), masalah ketimpangan dalam pembagian pendapatan dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu: 1. Pembagian pendapatan antara golongan pendapatan (size distribution of income) atau ketimpangan relatif, ketimpangan yang terjadi antar golongan ini sering kali diukur dengan menggunakan koefisien Gini. Kendati koefisien Gini bukan merupakan indikator yang ideal mengenai ketimpangan pendapatan antar berbagai golongan, namun sedikitnya angka ini dapat memberikan gambaran mengenai kecenderungan umum dalam pola distribusi pendapatan. 2. Pembagian pendapatan antara daerah perkotaan dan daerah pedesaan (urbanrural income disparities), ketimpangan dalam distribusi pendapatan dapat juga ditinjau dari segi perbedaan pendapatan antara masyarakat desa dengan masyarakat perkotaan (urban-rural income disparities). Untuk membedakan hal ini, digunakan dua indikator: (1) perbandingan antara tingkat pendapatan per kapita di daerah perkotaan dan pedesaan, dan (2) disparitas pendapatan daerah perkotaan dan daerah pedesaan (perbedaan pendapatan rata-rata antara kedua daerah sebagai persentase dari pendapatan nasional rata- rata). Menurut World Bank, pola pembangunan Indonesia memang memperlihatkan suatu urban bias dengan tekanan berat pada sektor industri, yang merupakan landasan bagi ketimpangan distribusi pendapatan di kemudian hari.
16
3. Pembagian pendapatan antara daerah (regional income disparities), satu lagi sisi lain dalam melihat ketimpangan distribusi pendapatan nasional, adalah ketimpangan dalam perkembangan ekonomi antar berbagai daerah di Indonesia, yang mengakibatkan pula terjadinya ketimpangan pendapatan per kapita antar daerah (regional income disparities). Ketimpangan pendapatan seperti ini disebabkan oleh karena penyebaran sumberdaya alam yang tidak merata serta perbedaan dalam laju pertumbuhan antar daerah, dan belum berhasilnya usaha-usaha pembangunan yang merata antar daerah di Indonesia.
Penelitian Terdahulu Penelitian dengan tema transformasi struktural dan pertumbuhan ekonomi sektoral sudah banyak dilakukan baik nasional maupun internasional, hanya saja konsentrasi dan fokus penelitian berbeda-beda. Transformasi struktural dan pertumbuhan ekonomi sektoral bisa ditinjau dari sisi pergeseran tenaga kerja, kesempatan kerja, pergeseran faktor produksi, dan lain-lain. Sementara itu, penelitian dengan tema transformasi struktural dan pertumbuhan ekonomi sektoral yang dilihat hubungannya dengan kemiskinan dan distribusi pendapatan masih relatif jarang dilakukan. Budiharsono (1996) melakukan penelitian dengan mengangkat judul Transformasi struktural dan pertumbuhan ekonomi antar daerah di Indonesia menyimpulkan transformasi struktur produksi dan tenaga kerja berbeda dengan pola normalnya. Hal ini disebabkan kurang adanya keterkaitan antara sektor pertanian dengan sektor Industri dimana sektor Industri yang ada lebih banyak menggunakan bahan baku Impor hal ini juga diperarah dengan tidak terserapnya surplus tenaga kerja sektor pertanian oleh sektor Industri sebagai akibat kualitas SDM yang tidak sesuai dengan yang dibutuhkan oleh sektor Industri. Penelitian Sudarmono (2006) dengan judul penelitian Analisis Transformasi Struktural, Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Antar Daerah di Wilayah Pembangunan I Jateng menyimpulkan bahwa hanya di Kabupaten Semarang dan Kabupaten Kendal yang mengalami transformasi struktural di samping itu pertumbuhan ekonomi yang terjadi memiliki kecenderungan menyebabkan ketimpangan. Penelitian Erikasari (2005) tentang kesempatan kerja dan transformasi tenaga kerja sektor pertanian yang mengambil lokasi penelitian di Yogyakarta menyatakan bahwa kesempatan kerja dipengaruhi oleh tingkat Investasi, PDRB, luas lahan dan produksi sektoral. Disamping itu tingkat upah berpengaruh negatif terhadap sektor pertanian sementara jumlah perusahaan perindustrian berkorelasi positif dengan kesempatan disektor non pertanian. Penelitian tentang dampak transformasi struktural dan peningkatan Industri terhadap ketimpangan di China dilakukan oleh Cheong dan WU mendapati fakta bahwa transformasi struktural dan peningkatan Industri sangat membantu dalam meningkatkan standart hidup masyarakat serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi China meskipun pertumbuhan ekonomi tersebut diikuti dengan meluasnya ketimpangan distribusi pendapatan.
17
Kerangka Pemikiran Pertumbuhan Ekonomi dan Transformasi Struktural Suatu wilayah dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi apabila terjadi peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) riil di wilayah tersebut (Arsyad 2010). Peningkatan PDRB dalam suatu wilayah dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan sektoral yang berkontribusi dalam pembentukan PDRB. Pertumbuhan ekonomi yang berlangsung secara terus menerus akan merubah peran ekonomi sektoral dalam struktur perekonomian. Terdapat hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktural. Beberapa penulis yang membahas tentang hubungan ekonomi dan perubahan struktural antara lain Chenery (1986), Fisher (1935), Clark (1940), Kuznets (1955), Chenery dan Taylor (1968), Chenery dan Syrquin (1975,1988) dan Kuznets (1966) (Dasril, 1993). Terdapat dua pandangan yang berbeda tentang terjadinya pertumbuhan ekonomi yaitu: (1) pandangan Neo Klasik yang mengemukakan bahwa peningkatan produk domestik bruto sebagai akibat pengaruh jangka panjang dari pembentukan modal, perkembangan tenaga kerja dan perubahan teknologi yang diasumsikan terjadi dalam keseimbangan persaingan. (2) pandangan struktural yang mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi sebagai aspek dari perubahan struktural karena adanya pergeseran permintaan yang mendorong terjadinya perubahan teknologi (Chenery 1986). Asumsi pendekatan struktural dianggap lebih sesuai dengan keadaan negara berkembang, dimana sumber utama ketidakseimbangan yaitu adanya dualitas di pasar tenaga kerja yang merupakan karakteristik di negara berkembang. Dualitas terjadi karena pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak diserap di sektor yang produktivitasnya tinggi, akibatnya terjadi surplus supply tenaga kerja yang terkonsentrasi di sektor pertanian. Sumber ketidakseimbangan kedua adalah kegagalan mengalokasikan sumberdaya untuk meningkatkan ekspor atau menggantikan impor. Keadaan ketidakseimbangan tersebut merupakan potensi untuk mendorong pertumbuhan dengan mengurangi hambatan dan alokasi sumberdaya ke sektor yang produktivitasnya tinggi. Salah satu model dasar dalam transformasi struktural adalah model pembangunan dua-sektor Arthur Lewis, perubahan (transformasi) struktur ekonomi memiliki arti perubahan struktur ekonomi dalam negeri dari pola pertanian subsisten tradisional ke perekonomian modern yang lebih berorientasi kehidupan perkotaan. Perubahan struktur ekonomi tersebut ditandai dengan menurunnya kontribusi sektor pertanian dan meningkatnya kontribusi sektor industri, baik dalam produk domestik bruto (PDB) maupun dalam penyerapan tenaga kerja. Transformasi struktur produksi ditandai dengan penurunan pangsa relatif sekor pertanian terhadap pembentukan PDB disis lain sektor industri dan jasa peranannya dalam pembentukan PDRB semakin meningkat. Keadaan tersebut menunujukkan relatif lambatnya laju pertumbuhan produksi dan nilai tambah bruto sektor pertanian terhadap sektor non pertanian. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menaikkan tingkat pendapatan yang akan berimplikasi pada perubahan pola konsumsi masyarakat terhadap barangbarang pertanian. Peningkatan pendapatan masyarakat akan menggeser permintaan masyarakat dari barang-barang makanan (pertanian) ke barang-
18
baranng non makanan (industri dan jasa). Hal tersebut sejalan dengan penelitian Clark (1951), menunjukkan bahwa makin tinggi pendapatan perkapita suatu negara makin kecil peranan sektor pertanian baik dalam pangsanya terhadap total PDB maupun dalam penyediaan kesempatan kerja. Selain itu, pergeseran pola konsumsi yang menyebabkan terjadinya transformasi struktural dapat dijelaskan dengan hukum Engel yang menyatakan elastisitas pendapatan terhadap permintaan barang-barang pertanian menurun seiring meningkatnya pendapatan (Bennet dan Kassarjian 1983). Penurunan ini terutama disebabkan oleh peningkatan konsumsi barang-barang bernilai tinggi dan keterbatasan fisik masyarakat dalam mengonsumsi makanan. Negara dengan penghasilan yang rendah memiliki elastisitas pendapatan terhadap permintaan barang-barang makanan berkisar 0.6-0.9, sementara negara maju memiliki elastisitas berkisar 0.2-0.3 (Mellor 1980; Budiharsono 1996). Sementara elastisitas pendapatan terhadap barang-barang industri diatas 1 yakni berkisar antara 1.11 sampai 1.90 (Herrick dan Kindleberger 1983). Pertumbuhan ekonomi dan perubahan pola permintaan masyarakat akan mendorong terjadinya transformasi struktur produksi yang selanjutnya juga akan diikuti oleh transformasi struktur tenaga kerja. Dengan semakin besarnya skala sektor industri akan semakin besar pula kemampuan sektor tersebut menampung surplus tenaga kerja sektor pertanian sebagaimana yang ada pada model 2 sektor Arthur Lewis. Tingkat pertumbuhan sektor industri dan jasa (non pertanian) sangat dipengaruhi oleh tingkat investasi dan akumulasi modal secara keseluruhan yang ada pada sektor tersebut. Kenaikan tingkat investasi dan akumulasi modal di sektor Industri dan jasa tidak hanya akan meningkatkan PDRB secara keseluruhan namun juga akan efektif dalam menyerap surplus tenaga kerja sektor pertanian yang menjadi masalah mendasar yang menyebabkan kemiskinan dan ketidakmerataan distribusi pendapatan. Transformasi Struktural, Kemiskinan dan Ketimpangan Distribusi Pendapatan Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berlangsung secara terus menerus selalu diikuti oleh transformasi struktural dimana pada periode ini beberapa sektor tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan sektor yang lain (George et al. 2005). Transformasi struktural didefinisikan sebagai perubahan struktur ekonomi dari sektor tradisonal yang memiliki produktivitas rendah menuju sektor ekonomi dengan produktivitas tinggi (Szirmai et al. 2012). Perubahan struktur ekonomi tersebut ditandai dengan menurunnya kontribusi sektor pertanian dan meningkatnya kontribusi sektor industri sementara sektor jasa cenderung konstan, baik dalam produk domestik bruto (PDB) maupun dalam penyerapan tenaga kerja (Timmer & Akkus 2008). Pertumbuhan ekonomi dan perubahan pola permintaan masyarakat akan mendorong terjadinya transformasi struktur produksi yang selanjutnya akan berimplikasi pada transformasi struktur tenaga kerja. Ketika permintaan terhadap barang-barang industri meningkat maka secara otomatis sektor industri akan memperluas skala usahanya sehingga kemampuan sektor industri menampung surplus tenaga kerja sektor pertanian akan semakin tinggi. Pada tahap ini tenaga kerja secara perlahan akan beralih menuju sektor industri dan jasa sebagaimana dijelaskan Lewis dalam model dualistiknya.
19
Pada banyak negara berkembang, laju transformasi struktur tenaga kerja relatif lebih lambat dibandingkan dengan laju transformasi struktur output. Berdasarkan penelitian Sulistiyaningsih (1997) transformasi struktur produksi yang terjadi di Indonesia diikuti oleh transformasi struktur tenaga kerja meskipun laju transformasinya sangat lambat dan masih didominasi oleh sektor pertanian. Kondisi Unbalanced transformation tersebut menyebabkan titik balik aktivitas ekonomi (economic turning point) tercapai lebih dahulu dibanding titik balik penggunaan tenaga kerja (labor turning point) (Suhartini 2001). Masalah unbalanced transformation ini seringkali menimbulkan perdebatan, diantaranya: (1) apakah penurunan angka PDB sebanding dengan penurunan pangsa serapan tenaga kerja sektoral, dan (2) industri mana yang berkembang lebih cepat, agroindustri atau industri manukfaktur. Karena Jika transformasi kurang seimbang maka dikhwatirkan akan terjadi proses pemiskinan dan eksploitasi sumber daya manusia pada sektor pertanian (Ediana 2006). Fenomena ini lah yang sedang terjadi hingga ke daerah, dimana nilai tukar pekerja di sektor pertanian sangatlah kecil, hal ini tercermin dari pendapatan yang rendah, kesehatan yang relative kurang baik serta tingkat pendidikan rendah membuat para pekerja sektor primer kesulitan untuk keluar dari lingkaran kemiskinan (Alfarabi et al. 2014). Selain berdampak pada tingkat kemisknan, unbalanced transformation juga berdampak pada ketimpangan distribusi pendapatan. Kurangnya keterkaitan antara sektor pertanian dengan sektor industri dan jasa akan menyebabkan peran sektor pertanian sebagai penyedia bahan baku dan modal tenaga kerja industri tidak begitu maksimal. Keterkaitan sektoral yang dimaksud adalah sektor industri yang ada lebih pada industri padat modal serta menggunakan bahan baku impor sehingga penggunaan input lokal dan daya serap tenaga kerjanya sangat kecil. Disamping itu sektor pertanian tidak bisa menyerap lebih banyak tenaga kerja. Menurut Budiharsono (1996) penurunan kemampuan serapan tenaga di sektor pertanian dipengaruhi oleh: (1) produk marjinal sektor pertanian semakin menurun, (2) harga relatif barang-barang pertanian terhadap barang-barang non pertanian semakin menurun. Oleh karena itu, untuk meningkatkan produktivitas sektor pertanian dan produkstivitas tenaga kerja dibutuhkan penggeseran tenaga kerja dari sektor dengan produktivitas rendah (pertanian) ke sektor dengan produktivitas yang tinggi (industri dan jasa). Transformasi struktur tenaga kerja menjadi sangat urgen karena jika tenaga kerja tidak dialihkan dari sektor produktivitas rendah menuju sektor produktivitas tinggi, tenaga kerja akan terpolarisasi menjadi 2 kutub: (1) unskill labor dan (2) skill labor (Aizenman et al. 2012). Peningkatan ketimpangan distribusi pendapatan disebabkan oleh peluang dan insentiff yang berbeda antara skill labor dengan unskill labor (Goh et al. 2009). Penelitian Cheong dan Wu (2014) juga membuktikan bahwa ada korelasi antara transformasi struktural dengan meningkatnya ketimpangan distribusi pendapatan. Secara umum, transformasi struktural mempengaruhi tingkat distribusi pendapatan melalui 5 cara: (1) tingkat upah (2) perubahan tehnologi (3) akumulasi modal fisik dan manusia (4) pendidikan dan akses terhadap pasar modal, dan (5) perubahan tatanan sosial dan politik (Aizenman 2012). Kelima hal tersebut dalam jangka panjang akan semakin menciptakan jurang pemisah yang semakin melebar antara skilled labor dengan unskilled labor.
20
Transformasi struktural yang diharapkan adalah adanya pergeseran pola permintaan masyarakat akan merubah struktur produksi menuju peningkatan produksi sektor industri dan jasa. Peningkatan pertumbuhan sektor industri dan jasa sangat diperlukan untuk menyerap surplus tenaga kerja yang ada pada sektor dengan produktivitas yang rendah. Peningkatan ouput sektor industri dan jasa bisa dicapai dengan meningkatkan alokasi investasi dan teknologi yang lebih baik. Industri dan jasa yang dikembangkan harus menjadikan sektor pertanian sebagai landasan utama, sehingga pertumbuhan sektor industri memiliki keterkaitan yang erat dengan sektor pertanian. Dengan peningkatan investasi pada sektor industri dan jasa akan meningkatkan tingkat penyerapan tenaga kerja dari sektor pertanian sehingga dengan sendirinya transformasi struktur produksi akan diiukti oleh transformasi struktur tenaga kerja. Transformasi struktur tenaga kerja akan meningkatkan tingkat upah yang diterima tenaga kerja pada setiap sektor ekonomi sehingga diharapkan dapat meningkatkan tingkat pemerataan distribusi pendapatan. Intervensi pemerintah sangat dibutuhkan untuk menciptakan transformasi struktural dan pertumbuhan ekonomi yang ideal, untuk itu diperlukan kajiankajian strategis yang mendasari setiap tindakan pemerintah agar transformasi struktural dan pertumbuhan ekonomi bisa diarahkan dan efektif dalam mengurangi angka kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan. Kerangka ekonomi yang dibangun harus sesuai dengan potensi daerah serta didukung oleh kebijakan yang tepat sehingga perekonomian dapat berjalan secara berkesinambungan dan tidak limbung menghadapi fenomena transformasi struktural. Fenomena transformasi struktural bisa dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif dengan cara melihat kontribusi sektor pertanian, industri dan jasa dalam pembentukan PDRB dan serapan tenaga kerja. Selanjutnya kesimpulan dari analisis tersebut bisa dijadikan pijakan dasar dalam menentukan sektor-sektor ekonomi yang perlu dikembangkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan transformasi struktural yang ideal. Studi pustaka dan pengujian secara statistik digunakan untuk memperkuat hasil analisis. Model regresi data panel dengan memasukkan variabel PDRB sektoral (Pertanian, industri dan jasa) akan digunakan untuk melihat pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan. Kajian ini sebagai landasan untuk pengembangan sektor-sektor ekonomi yang paling efektif dalam mengurangi angka kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan melalui peningkatan pertumbuhan sektoral dan peningkatan serapan tenaga kerja sebagaimana pembangunan ekonomi tidak hanya bertujuan meningkatkan PDRB semata namun lebih jauh daripada itu yaitu mengurangi angka kemiskinan dan menciptakan pemerataan distribusi pendapatan (Todaro & Smith 2006). Model transformasi struktural yang dikembangkan Chenery-Syrquin secara empiris mampu menjelaskan fenomena transformasi struktural, untuk itulah model tersebut diadopsi untuk melihat faktor-faktor yang menyebabkan perubahan nilai tambah sektoral yang dalam jangka panjang menyebabkan terjadinya transformasi struktural. Variabel pendapatan per kapita dan populasi masyarakat menjadi variabel kontrol dalam model Chenery-Syrquin. Populasi masyarakat mewakili tingkat kuantitas permintaan yang akan mempengaruhi
21
struktur produksi, sementara tingkat pendapatan perkapita mewakili perubahan pola konsumsi masyarakat dari barang-barang pertanian menuju barang-barang manufaktur dan jasa. Kedua variabel tersebut akan mempengaruhi tingkat permintaan yang akan berimplikasi pada perubahan pola produksi, selanjutnya juga akan diikuti oleh perubahan pola struktur tenaga kerja.
Pertumbuhan Ekonomi
Transformasi struktural
Pertumbuhan Serapan TK Sektoral
Unbalanced transformation
Transformasi Tenaga kerja
Skill labor / Non Pertanian
Pertumbuhan Sektoral
Unskill labor / Pertanian
Sektor yang Menyerap Surplus Tenaga Kerja Pertanian
Transformasi Produksi
Pertani an
Ket: : : Terdiri dari : Menyebabkan : Kondisi tidak ideal
Jasa
Sektor yang Efektif terhadap Kemiskinan dan Ketimpangan
Solusi Kebijakan Pengentasan Kemiskinan dan Ketimpangan Distribusi Pendapatan Gambar 4 Kerangka Pemikiran Penelitian
Industri
22
Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Selama Periode 1998-2014 telah terjadi Transformasi struktur produksi namun tidak diikuti oleh tranformasi struktur tenaga kerja di Madura (unbalanced transformation) 2. Variabel populasi dan pendapatan per kapita berpengaruh terhadap perubahan nilai tambah sektoral yang menyebabkan terjadinya transformasi struktural 3. Variabel PDRB sektor pertanian, industri dan jasa berpengaruh terhadap kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan.
3 METODOLOGI PENELITIAN Wilayah Penelitian Wilayah Penelitian ini adalah Pulau Madura yang terdiri dari 4 Kabupaten: (1) Kabupaten Bangkalan (2) Kabupaten Sampang (3) Kabupaten Pamekasan dan (4) Kabupaten Sumenep. Dengan objek penelitian transformasi struktural, pertumbuhan ekonomi sektoral serta bagaimana pengaruhnya terhadap kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan selama kurun waktu 19982014.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel (pooled data), yaitu kombinasi antara data time series dan data cross section. Data yang digunakan adalah data 4 Kabupaten di Pulau Madura dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2014. Baltagi (2008) mengemukakan bahwa terdapat beberapa keuntungan menggunakan data panel untuk model regresi, antara lain: (1) dapat mengontrol unobserved heterogeneity, (2) dapat memberikan data yang lebih informatif, lebih bervariasi, mengurangi kolinearitas antar peubah, memperbesar derajat kebebasan, dan lebih efisien, (3) dapat mempelajari perubahan yang dinamis, (4) dapat mendeteksi dan mengukur efek suatu variabel pada variabel lainnya dengan lebih baik dibanding jika hanya menggunakan data deret waktu atau data cross section, dan (5) dapat digunakan untuk model prilaku (behavioral model) yang lebih kompleks. Data-data tersebut berupa data sekunder yang dikumpulkan dengan metode kepustakaan bersumber dari berbagai publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Timur, Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bangkalan, Badan Pusat Statistik (BPS)
23
Kabupaten Sampang, Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Pamekasan dan Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sumenep. Data dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah data populasi, pendapatan regional menurut lapangan usaha dan data tenaga kerja menurut lapangan usaha. Data pendapatan regional adalah Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten-Kabupaten di Madura yang dirinci menurut lapangan usaha. Untuk menghilangkan pengaruh harga, digunakan PDRB harga konstan 2000. Data tenaga kerja menurut lapangan usaha merupakan data jumlah penduduk yang berusia 15 tahun ke atas yang bekerja selama seminggu yang lalu menurut Kabupaten-Kabupaten di Pulau Madura dan dirinci menurut lapangan usaha. Lapangan usaha sebagai rincian data PDRB maupun jumlah tenaga kerja dirinci menjadi sembilan sektor yang meliputi: 1. Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan 2. Pertambangan & Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Bangunan dan Kontruksi 6. Perdagangan, Rumah Makan dan Hotel 7. Pengangkutan, Perdagangan & Komunikasi 8. Keuangan, Asuransi, Persewaan Bangunan & Jasa Perusahaan 9. Jasa-Jasa Kemasyarakatan Sembilan sektor diatas selanjutnya dikelompokkan menjadi tiga sektor sesuai dengan pengelompokkan yang dilakukan oleh Chenery-Syrquin yang terdiri dari: (1) Sektor Pertanian, (2) Sektor Industri, (3) Sektor Jasa. Pengelompokkan ini bertujuan untuk memudahkan dalam menganalisa kondisi struktur ekonomi di Madura. Sektor pertanian terdiri dari pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan, sementara sektor industri terdiri dari pertambangan & penggalian, industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih, bangunan dan kontruksi. Sektor jasa terdiri dari perdagangan, rumah makan dan hotel, pengangkutan, perdagangan & komunikasi, keuangan, asuransi, persewaan bangunan & jasa perusahaan, jasajasa kemasyarakatan.
Metode Analisis Secara ringkas, hubungan antara tujuan penelitian, metode analisis dan kebutuhan data yang akan digunakan disajikan dalam Tabel 2 berikut. Metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) untuk menganalisis transformasi struktural Madura selama kurun waktu 1998-2014 digunakan metode analisis deskriptif dengan cara melihat kontribusi sektoral terhadap pembentukan PDRB dan penyerapan tenaga kerja (2) untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi transformasi struktural Madura digunakan metode analisis regresi data panel model Chenery-Syrquin (3) untuk menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi sektoral terhadap kemiskinan di Pulau Madura digunakan model regresi data panel, dan (4) untuk menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi sektoral terhadap ketimpangan pendapatan juga menggunakan regresi data panel.
24
Tabel 2 Ringkasan tujuan, metode analisis dan data Tujuan Penelitian Metode Analisis 1. Menganalisis Deskriptif transformasi struktural Madura selama kurun waktu 1998-2014
2. Menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi transformasi struktural Madura selama kurun waktu 1998-2014 3. Menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi sektoral terhadap Kemiskinan di Madura 4. Menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi sektoral terhadap ketimpangan distribusi pendapatan
Regresi data panel model Chenery-Syrquin
Regresi Data Panel
Regresi Data Panel
Jenis Data PDRB sektoral seluruh Kabupaten di Pulau Madura, Tenaga kerja sektoral seluruh Kabupaten di Pulau Madura. PDRB sektoral seluruh Kabupaten di Pulau Madura, Pendapatan Perkapita, Populasi.
PDRB sektoral seluruh Kabupaten di Pulau Madura dan kemiskinan di Madura PDRB sektoral seluruh Kabupaten di Pulau Madura dan indeks gini Madura
Transformasi Struktural Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan fenomena transformasi struktural Madura. Analisis deskriptif mencakup analisis persentase, rasio atau perbandingan terhadap beberapa data panel terkait perubahan struktur ekonomi di 4 Kabupaten selama kurun waktu 1998-2014. Transformasi struktural yang di analisis berupa perubahan struktur PDRB dan tenaga kerja yang dilihat berdasarkan kontribusi setiap sektor terhadap pembentukan PDRB dan serapan tenaga kerja. Untuk memudahkan melakukan analisis deskriptif, data yang telah diolah disajikan dalam bentuk tabel, gambar/grafik, dan/atau bagan alir untuk menghasilkan sebuah informasi penting sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan tentang perkembangan dan arah transformasi struktural Madura dari waktu ke waktu.
Faktor-Faktor Transformasi Struktur Ekonomi Tujuan kedua dari penelitian ini adalah mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya transformasi struktural di Madura, untuk itu digunakanlah Model Chenery-Syrquin. Berikut Model Chenery-Syrquin yang sudah dimodifikasi. LnXit = α + β1LnYKit + β2LnNit + ε
(1)
25
Keterangan: X : Nilai Tambah Sektoral (sektor pertanian, sektor industri dan sektor jasa) YK : Pendapatan perkapita N : Jumlah penduduk i : 1, 2,....,n (Data Cross-section Kabupaten-Kabupaten di Pulau Madura) t : 1, 2,.....,t (Data Time Series tahun 1998-2014) ε : Error term Pemilihan variabel didasarkan pada kajian empiris Chenery-Syrquin bahwa nilai tambah sektoral sangat dipengaruhi oleh pendapatan perkapita dan tingkat populasi masyarakat. Populasi masyarakat (N) mewakili tingkat kuantitas permintaan (market size) yang akan mempengaruhi struktur produksi, sementara tingkat pendapatan perkapita (YK) mewakili perubahan pola konsumsi masyarakat dari barang-barang pertanian menuju barang-barang manufaktur dan jasa. Kedua variabel tersebut akan mempengaruhi tingkat permintaan yang akan berimplikasi pada perubahan pola produksi, selanjutnya juga akan diikuti oleh pergeseran tenaga kerja.
Pertumbuhan Ekonomi Sektoral dan Kemiskinan Transformasi struktural berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi sektoral karena perbedaan tingkat pertumbuhan sektoral akan menyebabkan perbedaan peranan sektoral dalam struktur perekonomian yang dalam jangka panjang akan menyebabkan terjadinya perubahan struktur perekonomian. Tujuan ketiga dari penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi sektoral terhadap kemiskinan di Madura. Untuk kepentingan tersebut digunakanlah model regresi data panel. Berikut persamaan model regresi data panel pengaruh pertumbuhan ekonomi sektoral terhadap kemiskinan. Kit= α0 + β1VPit + β2VIit + β3VJit+ ε
(2)
Keterangan: K : Kemiskinan VP : PDRB sektor pertanian VI : PDRB sektor industri VJ : PDRB sektor jasa i : 1, 2,....,n (Data Cross-section Kabupaten-Kabupaten di Pulau Madura) t : 1, 2,.....,t (Data Time Series tahun 1998-2014) ε : Error term Pemilihan variabel didasarkan pada tujuan penelitian. PDRB sektor pertanian (VP), PDRB sektor industri (VI) dan PDRB sektor jasa (VJ) mewakili pertumbuhan ekonomi sektoral.
26
Pertumbuhan Ekonomi Sektoral dan Ketimpangan Pendapatan Tujuan ke empat dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi sektoral terhadap ketimpangan pendapatan di Madura. Demi menjawab tujuan penelitian tersebut digunakanlah Indeks gini sebagai variabel terikat dalam model regresi data panel. KPit= α0 + β1VPit + β2VIit + β3VJit+ ε
(3)
Keterangan: KP : Ketimpangan Distribusi Pendapatan VP : PDRB sektor pertanian VI : PDRB sektor industri VJ : PDRB sektor jasa i : 1, 2,....,n (Data Cross-section Kabupaten-Kabupaten di Pulau Madura) t : 1, 2,.....,t (Data Time Series tahun 1998-2014) ε : Error term Pemilihan variabel didasarkan pada tujuan penelitian. PDRB sektor pertanian (VP), PDRB sektor industri (VI) dan PDRB sektor jasa (VJ) mewakili pertumbuhan ekonomi sektoral.
Regresi Data Panel Regresi data panel (pooled data) merupakan metode atau teknik regresi yang menggabungkan antara data time series dengan data cross section. Penggunaan data panel yang merupakan data yang dikumpulkan secara cross section dan diikuti pada periode waktu tertentu akan memberikan hasil yang lebih menyeluruh dibandingkan hasil estimasi cross section maupun time series saja. Penggunaan data panel berarti juga menambah jumlah observasi sehingga akan memperbesar derajat kebebasan (degree of freedom) dan menurunkan kemungkinan terjadinya kolinieritas (hubungan linier yang signifikan) antar variabel bebas. Oleh karenanya, hasil estimasi dengan data panel akan lebih baik dibandingkan dengan penggunaan data cross section maupun time series saja. Metode estimasi regresi data panel harus melalui beberapa tahapan: (1) uji signifikansi model, (2) uji asumsi klasik, dan (3) uji statistik. 1. Uji Signifikansi Model Uji signifikansi ini bertujuan untuk menentukan model yang paling baik yang akan digunakan dalam mengestimasi model regresi data panel. Menurut Juanda dan Junaidi (2012), terdapat tiga metode estimasi model regresi data panel, yaitu (1) Common-Constant Model (Pooled Ordinary Least Square = PLS); (2) Fixed Effect Model (FEM); dan (3) Random Effect Model (REM). 1. Pooled Ordinary Least Square Model ini dikenal dengan estimasi Common effect yaitu teknik estimasi yang paling sederhana untuk mengestimasi data panel dengan cara hanya mengkombinasikan data time series dan cross section. Model ini hanya menggabungkan kedua data tanpa melihat perbedaan antar waktu dan individu
27
sehingga dapat dikatakan bahwa model ini sama dengan metode OLS karena menggunakan kuadrat kecil biasa. Pendekatan ini hanya mengansumsikan bahwa perilaku data antar ruang sama dalam berbagai kurun waktu. Pada beberapa penelitian data panel, metode ini jarang digunakan sebagai estimasi utama karena sifat model ini yang tidak membedakan perilaku data sehingga memungkinkan terjadinya bias, namun model ini digunakan sebagai pembanding dari kedua pemilihan model lainnya. 2. Fixed Effect Model Pendekatan ini menggunakan variabel boneka yang dikenal dengan sebutan model efek tetap (fixed effect) atau Least Square Dummy Variabel atau disebut juga Covariance Model. Pada metode fixed effect, estimasi dapat dilakukan dengan tanpa pembobotan (no weight) atau Least Square Dummy Variabel (LSDV) dan dengan pembobotan (Cross section weight) atau General Least Square (GLS). Tujuan dilakukan pembobotan adalah untuk mengurangi heterogenitas antar unit cross section (Gujarati 2003). Penggunaan model ini tepat untuk melihat perubahan perilaku data dari masing-masing variabel sehingga data lebih dinamis dalam mengintepretasikan data. Pemilihan model antara Common effect dan Fixed effect dapat dilakukan dengan pengujian F statistik. Adapun uji F-test yang dilakukan adalah sebagai berikut: F (n − 1, nT − n − k) =
(RSS1 − RSS2)/(n − 1) (RSS2/(nT − n − k))
Keterangan: RSS1 = Residual Sum Square metode common, RSS2 = Residual Sum Square model fixed effects, n = jumlah unit cross section, T = jumlah unit waktu dan K = jumlah parameter yang diestimasi. Jika ternyata hasil perhitungan uji F ≥ F (k-1,n-k) ini berarti Ho ditolak, artinya intersep untuk semua unit cross section tidak sama. Dalam hal ini akan digunakan fixed effect model untuk mengestimasi persamaan regresi. 3. Random Effects Model Model efek acak (Random Effect) memasukkan parameter-parameter yang berbeda antar daerah maupun antar waktu ke dalam error. Karena hal inilah, model effect acak juga disebut model komponen error (error component model). Keputusan pemakaian model fixed effect ataupun random effect ditentukan dengan Uji Hausman. Uji Hausman dilakukan untuk memilih model yang paling baik antara model fixed effect atau random effect. Uji Hausman menggunakan statistik uji H yang mengikuti distribusi chi-square dengan derajat bebas (db) sebesar jumlah variabel independen. Kesimpulan yang diambil adalah: jika H0 ditolak, maka model regresi fixed effect lebih baik daripada random effect, tetapi jika H0 diterima, berarti model regresi random effect lebih baik daripada fixed effect.
28
2. Uji Asumsi Klasik Model yang bagus adalah model yang fesibel dan konsisten, untuk menghasilkan model tersebut, diperlukan pendeteksian pelanggaran asumsi klasik pada model yaitu gangguan antar waktu (time-related disturbance), gangguan antar individu (cross sectional distubance), dan gangguan akibat keduanya. Jika terdapat pelanggaran tersebut, maka hasil pendugaan parameter akan tidak bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimator). Adapun pelanggaran-pelanggaran tersebut adalah multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas. 1. Multikolinearitas Multikolinearitas adalah suatu keadaan dimana satu atau lebih dua variabel bebas dapat dinyatakan sebagai kombinasi linier dari variabel bebas lainnya. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinearitas dapat dilihat dari nilai R 2, F hitung serta t hitung. Adapun indikasi-indikasi terjadinya multikolinearitas menurut Gujarati (2003) adalah sebagai berikut : 1. Nilai R2 yang tinggi dan nilai F statistik yang signifikan tetapi sebagian besar nilai t statistik tidak signifikan. 2. Korelasi sederhana yang relatif tinggi (0,8 atau lebih) antara satu atau lebih pasang variabel bebas. Jika koefisien korelasi kurang dari 0,8 berarti tidak terjadi multikolinearitas. 3. Regreasi bantuan (Auxilary Regression) dengan cara meregresi masingmasing variabel bebas pada variabel bebas lainnya. Apabila nilai R2 nya tinggi maka ada indikasi ketergantungan linier yang hampir pasti diantara variabel-variabel bebas. Aapabila di dalam model ditemukan masalah multikolinearitas, maka perlu dilakukan upaya untuk mengurangi atau menghilangkan efek buruknya dengan cara : (1) Mengurangi jumlah variabel bebas dalam model , (2) Mengubah bentuk model, (3) Menambah atau mengurai data sampel baru, (4) Mentransformasi variabel bebas. 2. Autokorelasi Autokorelasi adalah suatu keadaan dimana terdapat hubungan antar galat pada suatu periode tertentu dengan galat lainnya. Autokorelasi biasanya terjadi pada data time series, dan tidak muncul pada data cross section karena hanya menunjukkan satu titik waktu saja. Autokorelasi ini menjadi masalah karena akan menghasilkan koefisien dan varians yang bukan sebenarnya (Gujarati 2003). Keberadaan autokorelasi dapat dideteksi melalui nilai Durbin Watson Test yang membandingkan DW hitung dengan nilai batas bawah (dL) dan batas atas (du) dari tabel Durbin Watson berdasarkan jumlah observasi dan variabel bebas. Selang kepercayaan untuk menganalisis autokorelasi dibagi menjadi lima daerah, yaitu : a. Daerah A, yaitu untuk nilai uji DW < dL: terdapat masalah autokorelasi (korelasi positif) b. Daerah B, yaitu untuk dL< nilai uji DW
29
Masalah autokorelasi dapat diatasi dengan cara memasukkan variabel autoregressive. 3. Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas terjadi karena varians dari setiap galat tidak konstan, sehingga tidak dapat menghasilkan estimasi yang efisien meskipun hasil estimasi tetap konsisten dan tidak bias. Masalah heteroskedastisitas umumnya terjadi pada data cross section yang mengakibatkan hasil uji t dan uji F menjadi bias (Gujarati 2003). Keberadaan heteroskedastisitas dapat diuji dengan Park Test, GoldfeltQuandt Test, Breusch-Pagan-Godfrey Test dan White General Heteroscedasticity. Masalah heteroskedastisitas dapat diatasi dengan cara melakukan transformasi variabel model OLS menjadi GLS dengan cara membobot seluruh variabel pada model OLS dengan nilai Sum Square of Residual (SSR). 3. Uji Statistik 1. Koefisien Determinasi (R2) Pengamatan terhadap koefisien determinasi dilakukan untuk melihat seberapa besar kemampuan variabel independen secara bersama-sama memberi penjelasan terhadap variabel dependen. Nilai R2 berkisar antara 0 sampai 1 (0
30
1. Apabila t hitung ≥ t tabel, maka H0 ditolak dan H1 diterima, sehingga menerima hipotesis yang menyatakan bahwa suatu variabel independen secara individual mempengaruhi variabel dependen. 2. Apabila t hitung ≤ t tabel, maka H0 diterima dan H1 ditolak. Dalam hal ini variasi variabel independen tidak dapat menerangkan variabel dependen dan tidak terdapat pengaruh di antara kedua variabel yang diuji, dengan kata lain kita menerima hipotesis yang menyatakan bahwa suatu variabel independen bukan merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel dependen.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Transformasi Struktural Transformasi struktural merupakan fenomena ekonomi yang terjadi sebagai akibat pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan masyarakat. Secara teoritis peningkatan pendapatan masyarakat akan menggeser permintaan dari barang-barang pertanian (pangan) ke barang-barang industri dan jasa (non pangan). Perubahan pola permintaan masyarakat tersebut mendorong terjadinya transformasi struktural. Pendekatan yang digunakan untuk melihat terjadinya transformasi struktural adalah dengan cara melihat kontribusi setiap sektor-sektor ekonomi terhadap pembentukan PDRB dan penyerapan tenaga kerja. Transformasi struktural ditandai dengan menurunnya kontribusi sektor pertanian dan meningkatnya kontribusi sektor industri dan jasa baik dalam pembentukan PDRB maupun dalam penyerapan tenaga kerja. Madura sebagai sebuah objek analisis merupakan bagian administratif Provinsi Jawa Timur yang merupakan Provinsi dengan kontribusi terbesar kedua setelah DKI Jakarta dalam pembentukan PDB nasional. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Provinsi Jawa Timur meningkatkan pendapatan masyarakat yang selanjutnya menyebabkan terjadinya transformasi struktural sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Amir dan Nazara (2005). Hal yang sama juga terjadi pada perekonomian Madura, terjadinya transformasi struktural bisa dilihat berdasarkan kontribusi setiap sektor ekonomi pada masing-masing Kabupaten di Madura. Berdasarkan deskripsi dan anaslisa data pada 4 Kabupaten yang ada di Madura, secara umum perekonomian Madura telah mengalami transformasi struktur produksi hal ini terlihat dari kontribusi sektoral 4 Kabupaten pada akhir tahun analisis, meskipun periode dimulainya transformasi tidak sama antar Kabupaten di Pulau Madura. Pada Kabupaten Bangkalan, transformasi struktur produksi terjadi sejak awal tahun pengamatan 1998, dimana sektor jasa menjadi leading sector, hingga pada 2010 sektor industri mulai mengambil alih peran sebagai sektor utama. Transformasi struktur produksi di Kabupaten Sampang terjadi pada tahun 2009,
31
dimana sektor jasa memiliki kontribusi sektoral yang sedikit lebih besar daripada sektor pertanian yang menjadi leading sector sejak awal tahun pengamatan 1998. Sementara itu, transformasi struktur produksi di Kabupaten Pamekasan sangat fluktuatif, pada awal tahun analisis 1998 perekonomian Kabupaten Pamekasan menunjukkan sudah terjadinya transformasi struktural, namun dalam perkembangannya pada tahun 2001 sektor pertanian kembali menjadi sektor utama, hingga pada tahun 2010 transformasi kembali terjadi dengan sektor jasa mengambil alih peran sebagai sektor utama. Sempat terjadi transformasi struktur produksi pada perekonomian Sumenep pada tahun 1999, tahun-tahun berikutnya sektor pertanian kembali menjadi sektor utama. Transformasi struktur produksi baru terjadi kembali pada tahun 2012 dengan sektor industri menjadi sektor utama. Transformasi struktur produksi diharapkan diikuti oleh transformasi struktur tenaga kerja. Sektor industri dan jasa diharapkan mampu menyerap surplus tenaga kerja yang ada di sektor pertanian sebagaima Lewis menjelaskan bahwa tenaga kerja sektor tradisional (pertanian) memiliki produktivitas yang rendah oleh karenanya harus dialihkan ke sektor industri dan jasa. Dengan demikian, sektor industri dan jasa diharapkan tidak hanya membuka lapangan kerja bagi sektornya sendiri tetapi juga menyerap tenaga kerja dari sektor yang lain. Secara umum, sektor pertanian masih menjadi sektor dengan serapan tenaga kerja terbesar pada perekonomian Madura. Sektor pertanian di Kabupaten Bangkalan menyerap tenaga kerja sebesar 60.60 persen pada tahun 2014, mengalami penurunan dari yang sebelumnya 66.17 persen pada tahun 1998. Sementara di Kabupaten Sampang sektor pertanian mampu menyerap tenaga kerja 56.67 persen pada tahun 2014. Sementara di Kabupaten Pamekasan sektor pertanian menampung hingga 65.54 persen tenaga kerja pada 2014, mengalami penurunan dibandingkan dengan 72.73 persen pada tahun 1998. Anomali terjadi pada serapan tenaga kerja sektoral di Kabupaten Sumenep dimana sektor pertanian menyerap tenaga kerja sebesar 64.23 persen pada 1998 mengalami peningkatan menjadi 76.54 persen pada 2014. Berdasarkan data-data yang selanjutnya akan di rinci per Kabupaten, terjadi unbalanced transformation pada perekonomian Madura, dimana pada transformasi struktur produksi sektor pertanian sudah bukan menjadi sektor utama dalam pembentukan PDRB sementara pada transformasi tenaga kerja, sektor pertanian masih menjadi sektor dengan serapan tenaga kerja tertinggi dibandingkan dengan sektor industri dan jasa. Baik pada struktur tenaga kerja maupun struktur produksi sama-sama mengalami kecenderungan penurunan namun laju penurunan kontribusi sektor pertanian dalam PDRB jauh lebih cepat dibandingkan dengan penurunan serapan tenaga kerja. Tampaknya hal tersebut mengikuti keadaan transformasi struktural Indonesia secara umum, dimana berdasarkan data Asian Development Bank (2013) kecepatan penurunan pangsa sektor pertanian dari tahun 1960-2010 sebesar 2.35% sementara kecepatan penurunan jumlah tenaga kerja sektor pertanian hanya tercatat sebesar 1.36%. Kesimpulan lain yang dapat diambil adalah rendahnya produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian, terlihat dari jumlah tenaga kerja sektor pertanian lebih besar dari pada sektor industri dan jasa namun kontribusinya dalam pembentukan PDRB berada jauh dibawah kedua sektor tersebut. Fenomenan ini sesuai dengan hipotesis Lewis yang menganggap bahwa terjadi over supply tenaga kerja di
32
sektor pertanian yang menyebabkan rendahnya produktivitas sektoral. Kondisi tersebut perlu disikapi dengan mentransfer tenaga kerja sektor pertanian ke sektor industri dan jasa. Apabila dilihat secara mendalam, secara absolut kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan PDRB meningkat namun secara relatif kontribusinya semakin menurun. Penurunan kontribusi sektoral secara relatif tersebut semakin membuktikan rendahnya produktivitas sektor pertanian. Peningkatan produktivitas perlu diupayakan mengingat sektor pertanian merupakan mata pencaharian utama mayoritas masyarakat Madura. Sumber utama peningkatan produktivitas sektor pertanian adalah dengan peningkatan investasi pertanian untuk mempercepat transformasi pertanian dengan cara modernisasi teknologi, memperbanyak saluran irigasi, memperbaiki infrastruktur pedesaan, memperkuat kelembagaan pertanian serta meningkatkan kualitas human capital (Rosegrant dan Hazell 2000). Dalam makna yang lebih sempit, transformasi pertanian seringkali bergantian pemakaiannya dengan modernasasi pertanian. Menurut Todaro dan Smith (2006), modernisasi pertanian merupakan suatu proses transisi yang berlangsung secara bertahap dan berkesinambungan dari pola pertanian subsisten menjadi sistem pertanian yang terdiversifikasi dan terspesialisasi hingga akhirnya kegiatan pertanian menjadi market oriented. Transformasi pertanian harus diarahkan memiliki kererkaitan yang erat dengan sektor industri dengan menjadi sistem pertanian industrial . Sistem pertanian industrial menjadikan sektor pertanian saling memiliki keterkaitan dari sektor hulu hingga hilir; agronomi bergerak pada sektor produksi dan usaha tani, sementara agroniaga bergerak pada bidang pemasaran yang mengatur tata niaga produksi pertanian dan sektor agroindustri bergerak pada bidang produk-produk olahan seperti makanan siap saji yang berbahan dasar hasil-hasil produksi sektor pertanian. Peningkatan produktivitas sektor pertanian melalui transformasi pertanian akan berkontribusi dalam pengurangan kemiskinan secara langsung maupun tidak langsung. Kontribusi langsung terjadi melalui peningkatan pendapatan petani, sedangkan kontribusi tidak langsung terjadi melalui mekanisme kaitan ke depan maupun ke belakang dalam pembentukan output, nilai tambah, penciptaan lapangan kerja dan pendapatan, penciptaan devisa, dan pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan maupun sebagai pemasok bahan baku bagi perkembangan sektor-sektor ekonomi industri pengolahan (Sumaryanto 2014). Selain itu, pengembangan industri pedesaan yang berbasis pertanian (agroindustri) berfungsi untuk menyerap surplus tenaga kerja sektor pertanian. Berdasarkan penelitian Priyarsono (2011), agroindustri merupakan sektor yang akan mendorong peningkatan nilai tambah sektor pertanian, meningkatkan produktivitas pertanian serta meningkatkan permintaan tenaga kerja. Pengembangan agroindustri di pedesaan sangat sesuai dengan kondisi sosial ekonomi Madura. Dengan tingkat SDM yang tidak terlalu tinggi akan tidak relevan jika mengembangkan industri lain mengingat industri selain agroindustri seringkali mensyaratkan kualitas SDM yang mumpuni. Hal tersebut juga untuk menghindari kritikan terhadap model dua sektor Arthur Lewis yang mengasumsikan semua surplus tenaga kerja akan secara otomatis terserap oleh sektor industri padahal pada tataran aplikatif asumsi tersebut tidaklah benar karena sektor industri membutuhkan tenaga kerja dengan kualitas SDM yang
33
tinggi sementara pada banyak Negara berkembang kualitas SDMnya masih sangat rendah. 1. Kabupaten Bangkalan Pertumbuhan Ekonomi Bangkalan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, peningkatan tersebut bisa dilihat dari perkembangan PDRB Bangkalan sebagai tolok ukur pertumbuhan ekonomi. PDRB Kabupaten Bangkalan pada tahun 1998 hanya sebesar Rp. 2,255 Milliar meningkat menjadi 3,830 Milliar pada tahun 2014. Peningkatan angka PDRB tersebut diikuti oleh peningkatan pendapatan per kapita masyarakat Bangkalan. Pada 1998 Pendapatan per kapita masyarakat sebesar 2.9 Juta, meningkat menjadi 3.1 juta pada 2005 dan 4 juta pada tahun 2014 (lihat Tabel 3). Tabel 3. PDRB dan Pendapatan Per Kapita Kabupaten Bangkalan No 1 2 3 4 5
Tahun 1998 2000 2005 2010 2014
Per Kapita (juta) 2.9 2.9 3.1 3.9 4.0
PDRB (Milliar) 2,255 2,300 2,799 3,502 3,830
Sumber : BPS Bangkalan 2015 (diolah)
Pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan peningkatan pendapatan per kapita masyarakat akan menyebabkan terjadinya transformasi struktural. Transformasi struktural bisa dilihat dari kontribusi masing-masing sektor ekonomi dalam pembentukan PDRB dan serapan tenaga kerja. Kontribusi sektoral dapat digunakan untuk melihat leading sector sebuah perekonomian, sehingga dapat dilihat sebuah perekonomian telah mengalami transformasi struktural atau tidak. Tabel 4 menunjukkan bahwa selama tahun pengamatan 1998-2014, sektor pertanian (primer) bukan merupakan leading sector dalam pembentukan PDRB Kabupaten Bangkalan, bahkan kontribusi sektor pertanian terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada 1998 sektor pertanian menyumbang 44.12 persen sedangkan pada tahun 2009 sektor pertanian hanya menyumbang 31.78 persen, kontribusi sektor pertanian terus mengalami penurunan hingga pada tahun 2014 hanya menyumbang 19.59 persen terhadap pembentukan PDRB. Sementara itu, selama kurun waktu 1998-2009 sektor jasa menjadi sektor yang paling dominan dalam pembentukan PDRB Kabupaten Bangkalan, tercatat pada tahun 1998 sektor jasa menyumbang 50.73 persen dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 54.58 persen. Sektor industri menjadi sektor yang paling kecil kontribusinya dalam pembentukan PDRB selama kurun waktu 1998-2009. Pada tahun 1998 sektor industri hanya menyumbang 5.14 persen dan pada 2009 sektor industri hanya menyumbang 13.65 persen. Pada akhir tahun analisis, sektor indutri menjadi leading sector dengan kontribusi sebesar 51.19 persen. Arah transformasi struktural di Bangkalan menuju sektor industri sebagai sektor utama dalam pembentukan PDRB. Hal ini tidak lepas dari meningkatnya penerimaan dari sub sektor penggalian, pertambangan dan migas setelah explorasi migas di Bangkalan. Sementara itu, kontribusi sektor jasa masih relatif besar
34
walaupun perannya sebagai leading sector sudah digeser oleh sektor industri. Sub sektor perdagangan besar, hotel, keuangan dan jasa-jasa merupakan sub sektor jasa yang berperan dominan dalam besarnya kontribusi sektor jasa. Tahun 19982009 arah transformasi struktural Bangkalan adalah J-I-P (Jasa–Industripertanian), keadaaan tersebut berubah dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi sektor industri menjadi I-J-P (industri-jasa-pertanian). Tabel 4. Kontribusi Sektoral Kabupaten Bangkalan (Persen) No
Tahun
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Pertanian PDRB TK 44.12 66.17 45.21 60.68 44.69 67.62 41.07 62.72 39.80 65.06 38.17 67.19 37.00 60.80 34.66 60.25 33.78 60.38 31.28 77.09 31.77 56.15 31.78 57.11 18.82 63.56 18.76 56.51 19.51 64.35 20.43 68.88 19.59 60.60
Industri PDRB TK 5.14 9.43 5.20 11.45 5.11 9.41 10.16 8.98 10.25 7.82 10.70 6.76 11.01 8.61 11.68 10.15 12.07 11.53 14.47 8.72 13.90 12.39 13.65 22.13 56.63 8.60 55.78 23.43 52.76 9.73 49.88 9.19 51.19 9.97
Jasa PDRB TK 50.73 24.39 49.60 27.88 50.20 22.97 48.76 28.30 49.94 27.12 51.13 26.05 51.99 30.59 53.66 29.60 54.15 28.09 54.25 14.19 54.32 31.46 54.58 20.76 24.56 27.83 25.45 20.06 27.73 25.92 29.69 21.93 29.22 29.43
Sumber: BPS Bangkalan 2015 (diolah)
Tabel 4 juga menunjukkan bahwa selama tahun analisis 1998-2014 sektor pertanian masih menjadi sektor dengan serapan tenaga kerja terbesar di Kabupaten Bangkalan. Selama kurun waktu analisis kapasitas sektor pertanian dalam menampung tenaga kerja naik turun. Pada tahun 1998 sektor pertanian menampung 66.17 persen dari total tenaga kerja. Pada tahun 2007 bahkan sektor pertanian menampung hingga 77.09 persen dan pada 2014 sektor pertanian hanya menampung tenaga kerja 60.60 persen. Selama tahun analisis 1998-2014, sektor pertanian rata-rata menampung tenaga kerja sebesar 63.24 persen. Sektor industri menjadi sektor dengan serapan tenaga kerja paling kecil dibandingkan dengan sektor ekonomi yang lain. Pada tahun 1998 sektor industri hanya menyerap tenaga kerja sebesar 9.43 persen. Serapan terbesar sektor industri terjadi pada tahun 2011 sebesar 23.43 persen namun akhir tahun analisis turun kembali menjadi 9.97 persen. Selama periode analisis 1998-2014, sektor industri rata-rata menyerap tenaga kerja sebesar 11.08 persen. Sementara itu, sektor jasa menjadi sektor tertinggi kedua setelah sektor pertanian dalam kontribusinya menyerap tenaga kerja. Meskipun perkembangannya naik-turun namun secara kesluruhan, daya serap sektor jasa terhadap tenaga kerja semakin meningkat. Pada tahun 1998, sektor jasa hanya menyerap tenaga kerja sebesar 24.39 persen. Serapan terbesar sektor jasa terhadap
35
tenaga kerja terjadi pada tahun 2008 mencapai 31.46 persen. Pada akhir tahun analisis, sektor jasa hanya menyerap 29.43 persen. Rata-rata sektor jasa menyerap tenaga kerja sebesar 25.68 persen. Tabel 4 menunjukkan bahwa perekonomian Kabupaten Bangkalan telah mengalami transformasi struktur produksi dimana sektor pertanian sudah tergeser peranannya dalam pembentukan PDRB, bahkan pada akhir tahun analisis sektor pertanian menjadi sektor yang paling kecil kontribusinya dalam pembentukan PDRB. Terjadinya transformasi struktur produksi, terlihat dengan jelas pada Gambar 5. Dimana kontribusi sektor pertanian terus mengalami penurunan hingga pada tahun 2014 menjadi sektor dengan kontribusi terkecil dalam pembentukan PDRB Kabupaten Bangkalan. 60
Persentase
50 40
Pertanian Industri Jasa
30 20 10 0 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014
Gambar 5. PDRB Sektoral Kabupaten Bangkalan Sementara itu, kontribusi sektoral terhadap serapan tenaga kerja pada Tabel 4 menunjukkan bahwa sektor pertanian masih menjadi sektor utama serapan tenaga di Kabupaten Bangkalan. Selama periode analisis 1998-2014, rata-rata sektor pertanian menyerap tenaga kerja hingga 63.24 persen. Data-data tersebut menunjukkan bahwa belum terjadi transformasi struktur tenaga kerja di Kabupaten Bangkalan, dengan tenaga kerja lebih banyak terkonsentrasi pada sektor pertanian. Sektor industri dan jasa masih belum bisa menyerap surplus tenaga kaerja di sektor pertanian. Data pada Tabel 4, Gambar 5 dan Gambar 6 menunjukkan bahwa terjadi unbalanced transformastion pada perekonomian Bangkalan, dimana transformasi struktur produksi tidak diimbangi oleh transformasi struktur tenaga kerja. Sebagai contoh, pada tahun 2013 sektor pertanian menyerap tenaga kerja sebesar 68.88 persen, sektor industri sebesar 9.19 persen dan sektor jasa sebesar 21.93 persen, sedangkan pangsa relatif sektor pertanian, industri dan jasa terhadap pembentukan PDRB masing-masing 20.43 persen, 49.88 persen dan 29.69 persen. Temuan ini membuktikan hipotesis Arthur Lewis yang menyatakan bahwa pada perekonomian negara berkembang sektor pertanian mengalami surplus tenaga kerja dan memiliki produktivitas yang rendah (marginal produktivity tenaga kerja sama dengan 0). Produktivitas sektoral yang rendah dibuktikan dengan serapan tenaga kerja paling besar namun kontribusi sektoralnya terhadap pembentukan PDRB paling kecil.
Persentase
36
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Pertanian Industri Jasa
1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014
Gambar 6 Tenaga Kerja Sektoral Bangkalan 2. Kabupaten Sampang Pertumbuhan Ekonomi Sampang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, peningkatan tersebut bisa dilihat dari perkembangan PDRB Sampang sebagai tolok ukur pertumbuhan ekonomi. PDRB Kabupaten Sampang pada tahun 1998 hanya sebesar Rp. 1,830 Milliar meningkat menjadi 3,359 Milliar pada tahun 2014. Peningkatan angka PDRB tersebut diikuti oleh peningkatan pendapatan per kapita masyarakat Sampang. Pada 1998 Pendapatan per kapita masyarakat sebesar 2.4 Juta, meningkat menjadi 2.6 juta pada 2005 dan 3.6 juta pada tahun 2014 (perhatikan Tabel 5). Pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan peningkatan pendapatan per kapita masyarakat akan menyebabkan terjadinya transformasi struktural. Transformasi struktural bisa dilihat dari kontribusi masing-masing sektor ekonomi dalam pembentukan PDRB dan serapan tenaga kerja. Kontribusi sektoral dapat digunakan untuk melihat leading sector sebuah perekonomian, sehingga dapat dilihat sebuah perekonomian telah mengalami transformasi struktural atau tidak. Tabel 5 PDRB dan Pendapatan Per Kapita Kabupaten Sampang No 1 2 3 4 5
Tahun 1998 2000 2005 2010 2014
Per Kapita (juta) 2.4 2.5 2.6 3.3 3.6
PDRB (Milliar) 1,830 1,888 2,211 2,907 3,359
Sumber : BPS Sampang 2015 (diolah)
Kondisi struktur Produksi Kabupaten Sampang sedikit berbeda dengan Kabupaten Bangkalan. Selama periode tahun 1998-2008 sektor pertanian menjadi sektor utama dalam pembentukan PDRB, tercatat pada tahun 1998 sektor pertanian menyumbang 53.68 persen sementara pada tahun 2008 pangsa sektor pertanian menurun menjadi 42.13 persen. Namun, meskipun demikian pada tahun tersebut sektor pertanian masih menjadi sektor dengan kontribusi terbesar dalam pembentukan PDRB Kabupaten Sampang. Itu artinya, pada tahun 2008 perekonomian Kabupaten Sampang belum mengalami transformasi struktur produksi.
37
Pada tahun 2009, perekonomian Kabupaten Sampang mengalami transformasi struktur produksi dengan bergesernya leading sector perekonomian ke sektor jasa. Sektor jasa berkontribusi sebesar 42.84 persen sementara sektor pertanian menyumbang 41.06 persen. Sementara itu pada akhir tahun analisis kontribusi sektor-sektor ekonomi cukup berimbang dengan sektor industri menjadi sektor utama dengan 38.76 persen diikuti sektor jasa sebesar 29.69 persen dan sektor pertanian dengan kontribusi paling kecil yakni sebesar 31.22 persen. Arah transformasi struktural di Sampang menuju sektor industri sebagai sektor utama dalam pembentukan PDRB. Hal ini tidak lepas dari meningkatnya penerimaan dari sub sektor industri seperti industri pengolahan, listrik, gas dan air minum. Sementara itu, kontribusi terbesar sektor jasa disumbangkan oleh sub sektor perdagangan besar, hotel, keuangan dan jasa-jasa. Arah transformasi struktural Sampang adalah I-J-P (industri – jasa - pertanian). Tabel 6 Kontribusi Sektoral Kabupaten Sampang No
Tahun
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Pertanian PDRB TK 53.68 77.88 54.65 77.50 54.16 81.93 53.60 83.80 53.26 77.93 52.69 83.95 52.88 82.04 49.55 74.34 49.35 67.68 43.35 78.64 42.13 76.27 41.06 72.45 31.22 71.61 31.55 61.10 31.18 64.34 29.61 62.18 30.60 56.67
Industri PDRB TK 3.82 6.47 3.54 4.73 3.54 3.19 15.32 1.68 15.05 6.32 14.49 2.39 13.88 3.00 14.36 3.76 14.18 12.54 16.08 12.32 16.24 8.82 16.10 15.75 40.63 8.50 38.76 24.85 38.50 18.64 39.35 16.28 36.21 20.38
PDRB 42.51 41.81 42.30 31.07 31.69 32.82 33.24 36.09 36.47 40.57 41.63 42.84 28.16 29.69 30.33 31.04 33.19
Jasa TK 15.66 17.77 14.88 14.53 15.75 13.66 14.96 21.90 19.78 9.04 14.91 11.80 19.89 14.05 17.02 21.53 22.96
Sumber: BPS Kabupaten Sampang 2015 (diolah)
Tabel 6 menunjukkan bahwa selama tahun analisis 1998-2014 sektor pertanian masih menjadi sektor dengan serapan tenaga kerja terbesar di Kabaupaten Sampang. Selama kurun waktu analisis kapasitas sektor pertanian dalam menampung tenaga kerja naik turun. Pada tahun 1998 sektor pertanian menampung 77.88 persen dari total tenaga kerja. Pada tahun 2003 bahkan sektor pertanian menampung hingga 83.95 persen dan pada 2014 sektor pertanian hanya menampung tenaga kerja 56.67 persen. Selama tahun analisis 1998-2014, sektor pertanian rata-rata menampung tenaga kerja sebesar 73.55 persen. Sektor industri menjadi sektor dengan serapan tenaga kerja paling kecil dibandingkan dengan sektor ekonomi yang lain selama periode 1998-2006. Pada tahun 1998 sektor industri hanya menyerap tenaga kerja sebesar 6.47 persen.
38
Serapan terbesar sektor industri terjadi pada tahun 2011 sebesar 24.85 persen namun pada akhir tahun analisis turun kembali menjadi 20.38 persen meskipun memiliki tren peningkatan dari 2 tahun sebelumnya. Selama periode analisis 1998-2014, sektor industri rata-rata menyerap tenaga kerja sebesar 9.98 persen. Sementara itu, sektor jasa menjadi sektor tertinggi kedua setelah sektor pertanian dalam kontribusinya menyerap tenaga kerja. Perkembangan kontribusi sektor jasa dalam menyerap tenaga kerja sangat fluktuatif. Pada tahun 1998, sektor jasa hanya menyerap tenaga kerja sebesar 15.66 persen. Pada akhir tahun analisis, sektor jasa menyerap tenaga kerja sebesar 22.96 persen, angka tersebut merupakan angka terbesar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Rata-rata sektor jasa menyerap tenaga kerja sebesar 16.48 persen. 60 50 Persentase
40
Pertanian Industri Jasa
30 20 10 0 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014
Gambar 7. PDRB Sektoral Kabupaten Sampang Keadaan kontribusi sektoral terhadap serapan tenaga kerja seperti yang tergambar pada Tabel 6 menunjukkan bahwa sektor pertanian masih menjadi sektor utama serapan tenaga di Kabupaten Sampang. Selama periode analisis 1998-2014, rata-rata sektor pertanian menyerap tenaga kerja hingga 73.55 persen. Data-data tersebut menunjukkan bahwa belum terjadi transformasi struktur tenaga kerja di Kabupaten Sampang, dengan tenaga kerja lebih banyak terkonsentrasi pada sektor pertanian. Sektor industri dan jasa masih belum bisa menyerap surplus tenaga kerja di sektor pertanian. Tabel 6 menunjukkan bahwa perekonomian Kabupaten Sampang telah mengalami transformasi struktur produksi dimana sektor pertanian sudah tergeser peranannya dalam pembentukan PDRB, bahkan pada akhir tahun analisis sektor pertanian menjadi sektor yang paling kecil kontribusinya dalam pembentukan PDRB. Terjadinya transformasi struktur produksi, terlihat dengan jelas pada Gambar 6. Dimana kontribusi sektor pertanian terus mengalami penurunan hingga pada tahun 2014 menjadi sektor dengan kontribusi terkecil dalam pembentukan PDRB Kabupaten Sampang. Kontribusi sektoral terhadap serapan tenaga kerja seperti yang terlihat pada Tabel 6 menunjukkan bahwa sektor pertanian masih menjadi sektor utama serapan tenaga di Kabupaten Sampang. Selama periode analisis 1998-2014, rata-rata sektor pertanian menyerap tenaga kerja hingga 73.55 persen. Data-data tersebut menunjukkan bahwa belum terjadi transformasi struktur tenaga kerja di Kabupaten Sampang, dengan tenaga kerja lebih banyak terkonsentrasi pada sektor pertanian. Sektor industri dan jasa masih belum bisa menyerap surplus tenaga kerja di sektor pertanian.
39
Data pada Tabel 6, Gambar 7 dan Gambar 8 menunjukkan bahwa terjadi unbalanced transformastion pada perekonomian Sampang, dimana transformasi struktur produksi tidak diikuti oleh transformasi struktur tenaga kerja. Sebagai contoh, pada tahun 2014 sektor pertanian menyerap tenaga kerja sebesar 56.67 persen, sektor industri sebesar 20.38 persen dan sektor jasa sebesar 22.96 persen, sedangkan pangsa relatif sektor pertanian, industri dan jasa terhadap pembentukan PDRB masing-masing 30.60 persen, 36.21 persen dan 33.19 persen. Temuan ini sesuai dengan hipotesis Arthur Lewis yang menyatakan bahwa sektor pertanian mengalami surplus tenaga kerja dan memiliki produktivitas yang rendah (marginal produktivity tenaga kerja sama dengan 0). Produktivitas sektoral yang rendah dibuktikan dengan serapan tenaga kerja paling besar namun kontribusi sektoralnya terhadap pembentukan PDRB paling kecil. 100
Persentase
80 60
Pertanian Industri Jasa
40 20 0 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014
Gambar 8 Tenaga Kerja Sektoral Kabupaten Sampang 3. Kabupaten Pamekasan Pertumbuhan Ekonomi Pamekasan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, peningkatan tersebut bisa dilihat dari perkembangan PDRB Pamekasan sebagai tolok ukur pertumbuhan ekonomi. PDRB Kabupaten Pamekasan pada tahun 1998 hanya sebesar Rp. 1,395 Milliar meningkat menjadi 2,644 Milliar pada tahun 2014. Peningkatan angka PDRB tersebut diikuti oleh peningkatan pendapatan per kapita masyarakat Pamekasan. Pada 1998 Pendapatan per kapita masyarakat sebesar 2 Juta, meningkat menjadi 2.1 juta pada 2005 dan 3.2 juta pada tahun 2014 (lihat Tabel 7). Tabel 7. PDRB dan Pendapatan Per Kapita Kabupaten Pamekasan No 1 2 3 4 5
Tahun 1998 2000 2005 2010 2014
Per Kapita (juta) 2.0 2.1 2.1 2.7 3.2
PDRB (Milliar) 1,395 1,429 1,686 2,172 2,644
Sumber : BPS Pamekasan 2015 (diolah)
Pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan peningkatan pendapatan per kapita masyarakat akan menyebabkan terjadinya transformasi struktural. Transformasi struktural bisa dilihat dari kontribusi masing-masing sektor ekonomi dalam pembentukan PDRB dan serapan tenaga kerja. Kontribusi
40
sektoral dapat digunakan untuk melihat leading sector sebuah perekonomian, sehingga dapat dilihat sebuah perekonomian telah mengalami transformasi struktural atau tidak. Struktur produksi Kabupaten Pamekasan sangat fluktuatif. Pada tahun 1998 sektor pertanian hanya menyumbang 33.03 persen naik menjadi 57.48 pada tahun 2001 dan kembali turun pada tahun 2014 menjadi 33.03 persen. Sektor jasa menjadi sektor dengan kontribusi terbesar dalam pembentukan PDRB pada tahun 1998-2000, namun tahun berikutnya kontribusi sektor jasa hanya sebesar 34.80 persen. Pada tahun 2014, sektor jasa kembali menjadi sektor utama dengan kontribusi sebesar 46.88 persen. Sementara itu, sektor industri menjadi sektor dengan perkembangan paling stabil, pada tahun 1998 sektor industri hanya menyumbang 5.34 persen, meningkat 10.89 persen pada tahun 2008 dan meningkat kembali menjadi 20.09 persen. Secara lengkap, perkembangan kontribusi sektoral Kabupaten Pamekasan dapat dilihat pada Tabel 8. Arah transformasi struktural Kabupaten Pamekasan menuju sektor jasa sebagai sektor utama dalam pembentukan PDRB. Hal ini tidak lepas dari meningkatnya penerimaan dari sub sektor jasa seperti perdagangan besar, perhotelan, keuangan dan jasa-jasa. Arah transformasi struktural Pamekasan adalah J-P-I (jasa – pertanian - industri). Tabel 8. Kontribusi Sektoral Kabupaten Pamekasan No
Tahun
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Pertanian PDRB TK 33.03 72.73 33.61 68.52 33.11 62.83 57.48 58.06 57.16 72.46 57.14 77.17 56.54 75.36 54.90 77.83 54.90 76.89 46.70 75.95 45.56 68.83 45.06 64.77 34.34 66.21 34.26 75.5 34.03 75.71 33.30 75.93 33.03 65.54
Industri PDRB TK 5.34 7.04 5.42 8.57 5.67 10.1 7.72 11.56 7.78 5.8 7.68 5.42 7.64 3.84 7.75 3.19 7.60 6.72 10.97 12.37 10.89 10.21 10.65 18.28 20.32 11.06 20.22 12.44 19.94 3.25 20.01 5.43 20.09 8.37
Jasa PDRB 61.62 60.97 61.21 34.80 35.06 35.18 35.82 37.35 37.50 42.33 43.55 44.29 45.34 45.53 46.03 46.70 46.88
TK 20.22 22.91 27.08 30.38 21.74 17.41 20.8 18.97 16.39 11.68 20.96 16.95 22.73 12.06 21.05 18.65 26.09
Sumber: BPS Pamekasan 2015 (diolah)
Berdasarkan Tabel 8, keadaan tenaga kerja di Kabupaten Pamekasan hampir sama dengan kondisi tenaga kerja di Bangkalan dan Sampang. Selama tahun analisis 1998-2014 sektor pertanian masih menjadi sektor dengan serapan tenaga kerja terbesar. Kemampuan sektor pertanian menampung tenaga kerja naik-turun.
41
Pada tahun 1998 sektor pertanian menampung 72.73 persen. Pada tahun 2005 bahkan sektor pertanian menampung hingga 77.83 persen dan pada 2014 sektor pertanian hanya menampung tenaga kerja 65.54 persen. Selama tahun analisis 1998-2014, sektor pertanian rata-rata menampung tenaga kerja sebesar 71.19 persen. Sektor industri menjadi sektor dengan serapan tenaga kerja paling kecil dibandingkan dengan sektor ekonomi yang lain. Pada tahun 1998 sektor industri hanya menyerap tenaga kerja sebesar 7.04 persen. Serapan terbesar sektor industri terjadi pada tahun 2009 mencapai hingga sebesar 12.44 persen, namun pada akhir tahun analisis turun menjadi 8.37 persen. Selama periode analisis 1998-2014, sektor industri rata-rata menyerap tenaga kerja sebesar 8.45 persen. Sementara itu, sektor jasa menjadi sektor tertinggi kedua setelah sektor pertanian dalam kontribusinya menyerap tenaga kerja. Perkembangan kontribusi sektor jasa dalam menyerap tenaga kerja sangat fluktuatif. Pada tahun 1998, sektor jasa hanya menyerap tenaga kerja sebesar 20.22 persen. Pada akhir tahun analisis, sektor jasa menyerap tenaga kerja sebesar 26.09 persen. Selama periode 1998-2014 Rata-rata sektor jasa menyerap tenaga kerja sebesar 20.36 persen. Meskipun perkembangan kontirbusi sektoral Kabupaten Pamekasan sangat fluktuatif, tetap terjadi transformasi struktur produksi, dimana pada tahun 2014, sektor pertanian hanya menyumbang 33.03 persen dalam pembentukan PDRB, dengan sektor jasa menjadi sektor utama dengan kontribusi sebesar 46.88 persen. Grafik pada Gambar 9 menunjukkan dengan sangat jelas terjadinya transformasi struktur produksi pada perekonomian Kabupeten Pamekasan. 70 60
Persentase
50 40
Pertanian
30
Industri
20
Jasa
10 0 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014
Gambar 9. PDRB Sektoral Kabupaten Pamekasan Keadaan kontribusi sektoral terhadap serapan tenaga kerja pada Tabel 8 menunjukkan bahwa sektor pertanian masih menjadi sektor utama serapan tenaga di Kabupaten Sampang. Selama periode analisis 1998-2014, rata-rata sektor pertanian menyerap tenaga kerja hingga 73.55 persen. Data-data tersebut menunjukkan bahwa belum terjadi transformasi struktur tenaga kerja di Kabupaten Sampang, dengan tenaga kerja lebih banyak terkonsentrasi pada sektor pertanian. Sektor industri dan jasa masih belum bisa menyerap surplus tenaga kerja di sektor pertanian.
42
100
Persentase
80 60
Pertanian Industri Jasa
40 20 0 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014
Gambar 10. Tenaga Kerja Sektoral Pamekasan Data pada Tabel 8, Gambar 9 dan Gambar 10 menunjukkan bahwa terjadi unbalanced transformastion pada perekonomian Pamekasan, dimana transformasi struktur produksi tidak diikuti oleh transformasi struktur tenaga kerja. Sebagai contoh, pada tahun 2014 sektor pertanian menyerap tenaga kerja sebesar 65.54 persen, sektor industri sebesar 8.37 persen dan sektor jasa sebesar 26.09 persen, sedangkan pangsa relatif sektor pertanian, industri dan jasa terhadap pembentukan PDRB masing-masing 33.03 persen, 20.09 persen dan 46.88 persen. Temuan ini sesuai dengan hipotesis Arthur Lewis yang menyatakan bahwa sektor pertanian mengalami surplus tenaga kerja dan memiliki produktivitas yang rendah (marginal produktivity tenaga kerja sama dengan 0). Produktivitas sektoral yang rendah dibuktikan dengan serapan tenaga kerja paling besar namun kontribusi sektoralnya terhadap pembentukan PDRB paling kecil. 4. Kabupaten Sumenep Pertumbuhan Ekonomi Sumenep terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, peningkatan tersebut bisa dilihat dari perkembangan PDRB Sumenep sebagai tolok ukur pertumbuhan ekonomi. PDRB Kabupaten Sumenep pada tahun 1998 hanya sebesar Rp. 3,983 Milliar meningkat menjadi 7,458 Milliar pada tahun 2014. Peningkatan angka PDRB tersebut diikuti oleh peningkatan pendapatan per kapita masyarakat Sumenep. Pada 1998 Pendapatan per kapita masyarakat sebesar 4.1 Juta, meningkat menjadi 4.3 juta pada 2005 dan 7 juta pada tahun 2014 (lihat Tabel 9). Tabel 9. PDRB dan Pendapatan Per Kapita Kabupaten Sumenep No 1 2 3 4 5
Tahun 1998 2000 2005 2010 2014
Per Kapita (juta) 4.1 4.4 4.3 5.0 7.0
PDRB (Milliar) 3,983 4,280 4,376 5,256 7,458
Sumber: BPS Sumenep 2015 (diolah)
Pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan peningkatan pendapatan per kapita masyarakat akan menyebabkan terjadinya transformasi struktural. Transformasi struktural bisa dilihat dari kontribusi masing-masing sektor ekonomi dalam pembentukan PDRB dan serapan tenaga kerja. Kontribusi
43
sektoral dapat digunakan untuk melihat leading sector sebuah perekonomian, sehingga dapat dilihat sebuah perekonomian telah mengalami transformasi struktural atau tidak. Selama tahun pengamatan 1998-2014, sektor pertanian di Kabupaten Sumenep menjadi leading sector selama periode 1998-2011, kontribusi sektor pertanian pada tahun 1998 sebesar 41.11 persen dan pada tahun 2009 sebesar 49.83 persen. Dari tahun 2009-2012 kontribusi sektor pertanian terus mengalami penurunan meskipun pada tahun-tahun tersebut sektor pertanian masih menjadi sektor utama dalam pembentukan PDRB Kabupaten Sumenep. Dominasi sektor pertanian mulai digeser oleh sektor industri sejak 2012, dimana sektor industri menyumbang sebesar 38.23 persen sementara sektor pertanian dan sektor jasa berturut-turut menyumbang 35.71 persen dan 26.05 persen. Kabupaten Sumenep menjadi Kabuaten dengan transformasi struktur produksi paling lambat, setelah pada tahun 1999 sektor jasa menjadi sektor utama, tahun berikutnya hingga 2011 sektor pertanian kembali menjadi penyumbang terbesar dalam PDRB, transformasi baru terjadi kembali pada tahun 2012 dengan sektor industri menjadi leading sector. Kenyataan ini berkaitan erat dengan kondisi geografis Kabupaten Sumenep yang terdiri dari pulau-pulau kecil sehingga penerimaan dari perikanan dan kelautan lumayan besar. Selain itu Kabupaten Sumenep memiliki tanah yang subur yang sangat mendukung untuk pengembangan sektor pertanian seperti tembakau. Dimana tembakau Sumenep dikenal memiliki kualitas yang sangat bagus. Tahun 2012 barulah sektor Industri mengambil alih peran sebagai leading sector. Peningkatan PDRB sektor industri terutama dipengaruhi oleh besarnya penerimaan baru dari sub sektor migas. 70 60
Persentase
50 Pertanian Industri Jasa
40 30 20 10 0 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014
Gambar 11 PDRB Sektoral Kabupaten Sumenep Arah transformasi struktural Kabupaten Sumenep menuju sektor industri sebagai sektor utama dalam pembentukan PDRB. Hal ini tidak lepas dari meningkatnya penerimaan dari migas setelah explorasi dilakukan. Arah transformasi struktural Sumenep adalah I-P-J (industri – pertanian - jasa). Berdasarkan Tabel 10, keadaan tenaga kerja di Kabupaten Sumenep hampir sama dengan kondisi tenaga kerja di Bangkalan, Sampang dan Pamekasan. Selama tahun analisis 1998-2014 sektor pertanian masih menjadi sektor dengan serapan tenaga kerja terbesar. Kemampuan sektor pertanian menampung tenaga kerja naik-turun. Pada tahun 1998 sektor pertanian menampung 64.23 persen. Pada tahun 2012 sektor pertanian menyerap tenaga kerja mencapai 79.17 persen, angka ini menjadi presentase terbesar serapan sektor pertanian selama periode
44
1998-2014. Sektor pertanian rata-rata menampung tenaga kerja sebesar 71.53 persen Tabel 10. Kontribusi Sektoral Kabupaten Sumenep No
Tahun
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Pertanian PDRB TK 41.11 64.23 39.66 71.03 38.31 70.07 58.25 73.09 58.26 71.98 58.01 72.17 58.08 69.90 56.39 65.79 56.67 66.38 51.64 77.73 50.46 69.93 49.83 64.72 38.71 67.76 37.60 77.37 35.71 79.17 32.86 78.17 32.06 76.54
Industri PDRB TK 18.22 11.08 19.64 9.11 20.96 12.66 10.71 13.48 10.74 8.16 11.09 6.53 11.03 10.60 9.35 16.00 8.78 17.35 11.14 12.97 11.22 10.95 10.98 23.09 36.16 10.64 36.28 12.92 38.23 4.62 42.19 4.79 42.65 5.14
PDRB 40.68 40.70 40.71 31.04 31.00 30.90 30.89 34.26 34.55 37.22 38.32 39.19 25.12 26.12 26.05 24.95 25.28
Jasa TK 24.69 19.86 17.27 13.43 19.86 21.30 19.50 18.21 16.27 9.30 19.10 12.19 21.61 9.71 16.21 17.04 18.33
Sumber: BPS Sumenep 2015 (diolah)
Sektor industri menjadi sektor dengan serapan tenaga kerja paling kecil dibandingkan dengan sektor ekonomi yang lain. Pada tahun 1998 sektor industri menyerap tenaga kerja sebesar 11.08 persen. Serapan terbesar sektor industri terjadi pada tahun 2009 mencapai hingga sebesar 23.09 persen, namun pada akhir tahun analisis turun drastis menjadi 5.14 persen. Selama periode analisis 19982014, sektor industri rata-rata menyerap tenaga kerja sebesar 11.18 persen. Sementara itu, sektor jasa menjadi sektor tertinggi kedua setelah sektor pertanian dalam kontribusinya menyerap tenaga kerja. Perkembangan kontribusi sektor jasa dalam menyerap tenaga kerja sangat fluktuatif. Pada tahun 1998, sektor jasa menyerap tenaga kerja sebesar 24.69 persen. Pada akhir tahun analisis, sektor jasa menyerap tenaga kerja sebesar 18.33 persen. Selama periode 1998-2014 Rata-rata sektor jasa menyerap tenaga kerja sebesar 17.29 persen. Angka-angka pada Tabel 10 menjelaskan bahwa sektor pertanian masih menjadi sektor utama dalam menyerap tenaga di Kabupaten Sumenep. Selama periode analisis 1998-2014, rata-rata sektor pertanian menyerap tenaga kerja hingga 71.53 persen. Itu artinya, struktur tenaga kerja di Kabupaten Pamekasan belum mengalami transformasi. Sektor industri dan jasa masih belum bisa menyerap surplus tenaga karja di sektor pertanian.
Persentase
45
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Pertanian Industri Jasa
1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014
Gambar 12. Tenaga kerja sektoral Sumenep Data pada Tabel 10, Gambar 11 dan Gambar 12 menunjukkan bahwa terjadi unbalanced transformastion pada perekonomian Sumenep, dimana transformasi struktur produksi tidak diikuti oleh transformasi struktur tenaga kerja. Sebagai contoh, pada tahun 2014 sektor pertanian menyerap tenaga kerja sebesar 76.54 persen, sektor industri sebesar 5.14 persen dan sektor jasa sebesar 18.33 persen, sedangkan pangsa relatif sektor pertanian, industri dan jasa terhadap pembentukan PDRB masing-masing 32.06 persen, 42.65 persen dan 25.28 persen. Temuan ini sesuai dengan hipotesis Arthur Lewis yang menyatakan bahwa sektor pertanian mengalami surplus tenaga kerja dan memiliki produktivitas yang rendah (marginal produktivity tenaga kerja sama dengan 0). Produktivitas sektoral yang rendah dibuktikan dengan serapan tenaga kerja paling besar namun kontribusi sektoralnya terhadap pembentukan PDRB paling kecil.
Faktor-Faktor Transformasi Struktural Transformasi struktural sebagaimana dijelaskan sebelumnya telah terjadi pada perekonomian Madura meskipun transformasi struktur produksi tidak diikuti oleh transformasi struktur tenaga kerja. Hal tersebut dapat dilihat dari kontribusi sektoral yang ada pada 4 Kabupaten di Madura. Oleh karenanya, menjadi sebuah hal yang menarik untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya transformasi struktural. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya transformasi struktural merupakan tujuan kedua dari penelitian ini, sebagaimana informasi ini dibutuhkan untuk melengkapi pemahaman tentang transformasi struktural agar mendapat pemahaman yang menyeluruh. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya transformasi struktural di analisis menggunakan model ekonometrik berupa regresi data panel untuk masing-masing sektor dengan memasukkan variabel populasi dan pendapatan perkapita sebagai variabel kontrol.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tambah Sektor Pertanian Persamaan Chenery-Syrquin digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan nilai tambah sektor pertanian yang selanjutnya
46
akan berpengaruh terhadap pembentukan PDRB. Dengan menggunakan data panel dari 4 Kabupaten selama periode 1998-2014. Estimasi model dilakukan dengan Model Efek Tetap (Fixed Effect Model) dan model efek acak (Random Effect Model). Untuk memilih estimasi terbaik dari kedua model, dilakukan uji Hausman (Hausman Test). Berdasarkan Tabel 11 diketahui bahwa probabilitas hasil uji Hausman lebih kecil dari taraf nyata 1 persen sehingga H0 ditolak, artinya estimasi dilakukan mengikuti Model Efek Tetap (Fixed Effect Model). Pendugaan parameter yang baik adalah yang bersifat BLUE, pada persamaan perubahan nilai tambah sektor pertanian diatas dilakukan uji yang dapat mendeteksi adanya pelanggaran asumsi klasik pada model baik berupa gangguan antar waktu (time-related disturbance), gangguan antar individu (cross sectional disturbance) maupun gangguan akibat keduanya. Masalah heteroskedastisitas pada data panel bisa diatasi dengan cara memberi perlakuan cross section weight dan white heteroskedasticity consistent covariance (Gujarati 2003). Tabel 11. Hasil Estimasi Model Analisis Faktor yang Memengaruhi Nilai Tambah Sektor Pertanian dengan Model Efek Tetap (Fixed Effect Model) Variabel Dependen Variabel Koefisien Std. Error Prob C 4.517554 3.535479 0.2061 LN_N 0.725353 0.266312 0.0084 LN_YK -0.445082 0.146403 0.0035 R Square 0.883030 Prob (F-Stat) 0.000000 Number Of Observation 68 Hausman Test Probability 0.0012 Hasil estimasi model pada Tabel 11 menggunakan metode GLS (generalized least square) yang telah diberi perlakuan cross section weight dan white heteroskedasticity sebagai pembobot sehingga dapat dikatakan bahwa hasil estimasi model diatas telah terbebas dari masalah heteroskedastisitas, dengan estimasi GLS pada lampiran 1 terlihat bahwa ragam dan rataan sudah konstan. Uji autokorelasi dalam regresi data panel seringkali diabaikan kerena secara teoritis masalah auto korelasi terjadi hanya pada data time series, selain itu pendugaan dengan menggunakan metode GLS secara otomatis akan membuang autokorelasi urutan pertama (first order autocorelation) sehingga hasil estimasi pada persamaan perubahan kontribusi sektor pertanian diatas dapat dikatakan sudah tidak ada masalah autokorelasi. Pelanggaran asumsi multikolinieritas dalam data panel jarang terjadi karena data panel merupakan penggabungan time series dan cross section sehingga akan menghasilkan lebih banyak variasi data dan lebih sedikit korelasi antar variabel independen. Indikasi adanya masalah multikolinieritas adalah ketika uji secara simultan (uji-F) disimpulkan siginifikan dengan R-squared yang tinggi namun tidak diikuti oleh uji parsial (uji t) yang signifikan. Hasil estimasi pada Tabel 11 terlihat bahwa semua variabel signifikan, bisa dikatakan bahwa estimasi yang telah dilakukan terbebas dari masalah multikolinieritas.
47
Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat bahwa model faktor yang mempengaruhi perubahan nilai tambah sektor pertanian terhadap pembentukan PDRB memiliki koefisien determinasi (R2) sebesar 0.88. artinya variabel bebas dalam model mampu menjelaskan 88 persen variasi variabel terikat dan sisanya 12 persen dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Hasil estimasi menunjukkan bahwa uji F siginifkan pada taraf nyata 5 persen (0.05) dengan probabilitas F statistic sebesar 0.000 yang lebih kecil dari 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa variabelvariabel bebas dalam model secara bersama-sama memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB. Tabel 11 juga menunjukkan bahwa seluruh variabel bebas pada model secara parsial berpengaruh siginifikan terhadap perubahan nilai tambah sektor pertanian pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) dengan nilai probabilitas sebesar 0.0084 pada variabel populasi (LN_N) dan 0.0035 pada variabel pendapatan perkapita (LN_YK). Tabel 11 diatas juga menunjukkan bahwa seluruh variabel bebas pada model secara parsial berpengaruh siginifikan terhadap perubahan nilai tambah sektor pertanian pada taraf nyata 1 persen (α = 0,01) dengan nilai probabilitas sebesar 0.0084 pada variabel populasi (LN_N) dan 0.0035 pada variabel pendapatan perkapita (LN_YK). Variabel populasi memiliki parameter yang positif dan siginifikan terhadap nilai tambah sektor pertanian. Artinya, semakin tinggi populasi masyarakat semakin tinggi pula nilai tambah sektor pertanian. Hal ini tampaknya berhubungan dengan tingkat konsumsi produksi hasil-hasil pertanian terutama bahan pangan dimana tingkat populasi masyarakat menggambarkan market size dan tingkat skala ekonomi (Tarp et al. 2002). Sementara itu, variabel pendapatan perkapita memiliki parameter yang negatif dan signifikan terhadap perubahan nilai tambah sektor pertanian. Artinya peningkatan pendapatan perkapita akan menyebabkan penurunan nilai tambah sektor pertanian terhadap PDRB. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Clark (1951) yang menyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan perkapita suatu negara semakin kecil peranan sektor pertaniannya. Kesimpulan yang sama juga didapatkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Tarp et al. (2002) pada Negara Mozambique yang menyimpulkan bahwa peningkatan pendapatan perkapita berpengaruh negatif terhadap nilai tambah sektor pertanian. Demikian juga dengan penelitian Budiharsono (1996) yang menyimpulkan bahwa kontribusi sektor pertanian mengalami penurunan seiring dengan peningkatan pendapatan perkapita.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Nilai Tambah Sektor Industri Persamaan Chenery-Syrquin digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan nilai tambah sektor industri. Dengan menggunakan data panel dari 4 Kabupaten selama periode 1998-2014. Estimasi model dilakukan dengan model efek tetap (fixed effect model) dan model efek acak (random effect model). Untuk memilih estimasi terbaik dari kedua model, dilakukan uji Hausman (Hausman Test). Berdasarkan Tabel 12 diketahui bahwa
48
probabilitas hasil uji Hausman lebih kecil dari taraf nyata 5 persen sehingga H0 ditolak, artinya estimasi dilakukan mengikuti model efek tetap (fixed effect model). Pendugaan parameter yang baik adalah yang bersifat BLUE, pada persamaan perubahan nilai tambah sektor pertanian diatas dilakukan uji yang dapat mendeteksi adanya pelanggaran asumsi klasik pada model baik berupa gangguan antar waktu (time-related disturbance), gangguan antar individu (cross sectional disturbance) maupun gangguan akibat keduanya. Masalah heteroskedastisitas pada data panel bisa diatasi dengan cara memberi perlakuan cross section weight dan white heteroskedasticity consistent covariance (Gujarati 2003). Tabel 12. Hasil Estimasi Model Analisis Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tambah Sektor Industri dengan Model Efek Tetap (Fixed Effect Model) Variabel Dependen Variabel Koefisien Std. Error Prob C -23.39416 10.62019 0.0313 LN_N 2.292899 0.793849 0.0053 LN_YK 4.258186 0.410396 0.0000 R Square 0.911958 Prob (F-Stat) 0.000000 Number Of Observation 68 Hausman Test Probability 0.0000 Hasil estimasi model pada Tabel 12 menggunakan metode GLS (generalized least square) yang telah diberi perlakuan cross section weight dan white heteroskedasticity sebagai pembobot sehingga dapat dikatakan bahwa hasil estimasi model diatas telah terbebas dari masalah heteroskedastisitas, dengan estimasi GLS pada lampiran 4 terlihat bahwa ragam dan rataan sudah konstan. Uji autokorelasi dalam regresi data panel seringkali diabaikan kerena secara teoritis masalah auto korelasi terjadi hanya pada data time series, selain itu pendugaan dengan menggunakan metode GLS secara otomatis akan membuang autokorelasi urutan pertama (first order autocorelation) sehingga hasil estimasi pada persamaan perubahan kontribusi sektor industri diatas dapat dikatakan sudah tidak ada masalah autokorelasi. Pelanggaran asumsi multikolinieritas dalam data panel jarang terjadi karena data panel merupakan penggabungan time series dan cross section sehingga akan menghasilkan lebih banyak variasi data dan lebih sedikit korelasi antar variabel independen. Indikasi adanya masalah multikolinieritas adalah ketika uji secara simultan (uji-F) disimpulkan siginifikan dengan R-squared yang tinggi namun tidak diikuti oleh uji parsial (uji t) yang signifikan. Hasil estimasi pada Tabel 12 terlihat bahwa semua variabel signifikan, bisa dikatakan bahwa estimasi yang telah dilakukan terbebas dari masalah multikolinieritas. Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat bahwa model faktor yang mempengaruhi perubahan nilai tambah sektor industri memiliki koefisien determinasi (R2) sebesar 0.91. Artinya variabel bebas dalam model mampu menjelaskan 91 persen variasi variabel terikat dan sisanya 9 persen dijelaskan oleh variabel lain diluar
49
model. Hasil estimasi menunjukkan bahwa uji F siginifkan pada taraf nyata 5 persen (0.05) dengan probabilitas F statistic sebesar 0.000 yang lebih kecil dari 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas dalam model secara bersama-sama memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan kontribusi sektor industri terhadap PDRB. Tabel 12 juga menunjukkan bahwa seluruh variabel bebas pada model secara parsial berpengaruh siginifikan terhadap perubahan kontribusi sektor industri pada taraf nyata 1 persen (α = 0,01) dengan nilai probabilitas sebesar 0.0053 pada variabel populasi (LN_N) dan 0.0000 pada variabel pendapatan perkapita (LN_YK). Tabel 12 diatas juga menunjukkan bahwa seluruh variabel bebas pada model secara parsial berpengaruh siginifikan terhadap perubahan kontribusi sektor industri pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) dengan nilai probabilitas sebesar 0.0053 pada variabel populasi (LN_N) dan 0.0000 pada variabel pendapatan perkapita (LN_YK). Variabel populasi memiliki parameter yang positif dan siginifikan terhadap perubahan nilai tambah sektor industri. Artinya, semakin tinggi populasi masyarakat semakin tinggi pula nilai tambah sektor industri terhadap pembentukan PDRB. Secara tersirat populasi menggambarkan tingkat tenaga kerja pada sebuah sektor ekonomi dimana berdasarkan model dua sektor Arthur Lewis sektor industri merupakan sektor yang masih membutuhkan tenaga kerja sehingga tingkat populasi akan berpengaruh positif terhadap nilai tambah sektor industri, selain itu tingkat populasi juga menggambarkan market size dalam suatu perekonomian sehingga akan berpengaruh positif terhadap peningkatan nilai tambah sektoral termasuk sektor industri. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tarp et al. (2002) yang melakukan penelitian di Negara Mozambique bahwa populasi berpengaruh positif terhadap kontribusi sektor industri. Variabel pendapatan perkapita memiliki parameter yang positif dan signifikan terhadap perubahan nilai tambah sektor industri. Artinya peningkatan pendapatan perkapita akan meningkatkan nilai tambah sektor industri. Hasil penelitian ini sesuai dengan analisis pola pembangunan Chenery-Syrquin; peningkatan pendapatan perkapita akan meningkatkan nilai tambah sektor industri. Peningkatan tersebut disebabkan oleh adanya perubahan pola konsumsi masyarakat dimana ada pergeseran pola konsumsi dari barang-barang pangan ke barang-barang manufaktur bernilai tinggi sebagai akibat keterbatasan manusia dalam mengkonsumsi barang-barang pangan. Kenyataan tersebut juga didukung oleh hukum Engels yang menyatakan bahwa elastisitas permintaan sebagai akibat peningkatan pendapatan adalah inelastis untuk barang-barang pangan (pertanian) dan elastis untuk barang-barang manufaktur dan jasa. Identik dengan hasil penelitian diatas, penelitian Haraguchi dan Rezonja (2011), yang meneliti struktur ekonomi negara-negara di dunia mendapatkan kesimpulan bahwa pendapatan perkapita berkorelasi positif terhadap kontribusi sektor industri. Hasil yang sama juga didapat dari penelitian Tarp et al. (2002).
50
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Nilai Tambah Sektor Jasa Persamaan Chenery-Syrquin digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi perubahan nilai tambah sektor jasa terhadap pembentukan PDRB. Dengan menggunakan data panel dari 4 Kabupaten selama periode 19982014. Estimasi model dilakukan dengan model efek tetap (fixed effect model) dan model efect acak (random effect model). Untuk memilih estimasi terbaik dari kedua model, dilakukan uji Hausman (Hausman Test). Berdasarkan Tabel 13 diketahui bahwa probabilitas hasil uji Hausman lebih besar dari taraf nyata 5 persen sehingga H0 diterima, artinya estimasi dilakukan mengikuti model efek acak (random effect model). Hasil estimasi model dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Hasil Estimasi Model Analisis Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tambah Sektor Jasa dengan Model Acak (Random Effect Model) Variabel Dependen Variabel Koefisien Std. Error Prob C -6.543272 6.561816 0.3224 LN_N 1.478234 0.483803 0.0033 LN_YK 0.170578 0.165349 0.3061 R Square 0.329162 Prob (F-Stat) 0.000002 Number Of Observation 68 Hausman Test Probability 0.6900 Pendugaan parameter yang baik adalah yang bersifat BLUE, pada persamaan perubahan nilai tambah sektor jasa diatas dilakukan uji yang dapat mendeteksi adanya pelanggaran asumsi klasik pada model baik berupa gangguan antar waktu (time-related disturbance), gangguan antar individu (cross sectional disturbance) maupun gangguan akibat keduanya. Masalah heteroskedastisitas pada data panel bisa diatasi dengan cara memberi perlakuan cross section weight dan white heteroskedasticity consistent covariance (Gudjarati 2003). Hasil estimasi model pada Tabel 13 menggunakan metode GLS (generalized least square) yang telah diberi perlakuan cross section weight dan white heteroskedasticity sebagai pembobot sehingga dapat dikatakan bahwa hasil estimasi model diatas telah terbebas dari masalah heteroskedastisitas, dengan estimasi GLS pada lampiran 6 terlihat bahwa ragam dan rataan sudah konstan. Uji autokorelasi dalam regresi data panel seringkali diabaikan kerena secara teoritis masalah auto korelasi terjadi hanya pada data time series, selain itu pendugaan dengan menggunakan metode GLS secara otomatis akan membuang autokorelasi urutan pertama (first order autocorelation) sehingga hasil estimasi pada persamaan share sektor industri diatas dapat dikatakan sudah tidak ada masalah autokorelasi. Pelanggaran asumsi multikolinieritas dalam data panel jarang terjadi karena data panel merupakan penggabungan time series dan cross section sehingga akan menghasilkan lebih banyak variasi data dan lebih sedikit korelasi antar variabel independen. Indikasi adanya masalah multikolinieritas adalah ketika uji secara simultan (uji-F) disimpulkan siginifikan dengan R-squared yang tinggi namun tidak diikuti oleh uji parsial (uji t) yang signifikan. Hasil estimasi pada Tabel 13
51
terlihat bahwa setidaknya terdapat 1 variabel signifikan, serta R-squared yang tidak terlalu tinggi sehingga bisa dikatakan bahwa estimasi yang telah dilakukan terbebas dari masalah multikolinieritas. Berdasarkan Tabel 13 dapat dilihat bahwa model faktor yang mempengaruhi perubahan nilai tambah sektor jasa terhadap pembentukan PDRB memiliki koefisien determinasi (R2) sebesar 0.32. Artinya variabel bebas dalam model menjelaskan 32 persen variasi variabel terikat dan sisanya 68 persen dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Hasil estimasi menunjukkan bahwa uji F siginifkan pada taraf nyata 5 persen (0.05) dengan probabilitas F statistic sebesar 0.0002 yang lebih kecil dari 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas dalam model secara bersama-sama memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan kontribusi sektor jasa terhadap PDRB. Tabel 13 juga menunjukkan hanya variabel populasi (N) yang berpengaruh siginifikan terhadap perubahan kontribusi sektor jasa pada taraf nyata 1 persen (α = 0,01) dengan nilai probabilitas sebesar 0.0033 pada variabel populasi (LN_POP), sementara itu variabel pendapatan perkapita (LN_YK) tidak siginifkan dengan probabilitas sebesar 0.3061. Variabel populasi memiliki parameter yang positif dan siginifikan terhadap perubahan nilai tambah sektor jasa. Artinya, semakin tinggi populasi masyarakat semakin tinggi pula nilai tambah sektor jasa terhadap pembentukan PDRB. Tingkat populasi menggambarkan market size; semakin tinggi tingkat populasi masyarakat semakin besar nilai tambah yang bisa dihasilkan oleh sektor jasa. Hasil estimasi ini sejalan dengan hasil penelitian Fransiskus et al. (2015) dimana popolasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kontribusi sektor jasa. Sementara itu, variabel pendapatan perkapita meiliki parameter yang positif meskipun tidak signifikan. Artinya peningkatan pendapatan perkapita akan meningkatkan nilai tambah sektor jasa secara tidak signifikan. Hal ini agak berbeda dengan pola pembangunan Chenery-Syrquin yang menyatakan peningkatan pendapatan perkapita akan meningkatkan nilai tambah sektor industri dan jasa secara signifikan. Hal ini tampaknya berhubungan erat dengan pola konsumsi masyarakat Madura yang masih mengalokasikan peningkatan pendapatannya ke barang-barang industri dan belum banyak dialokasikan untuk sektor jasa. Korelasi positif antara pendapatan perkapita dengan nilai tambah sektor jasa juga ditemukan pada penelitian Tarp et al. (2002). Hasil penelitian Fransiskus et al. (2015) juga mendapatkan hasil yang berbeda dimana pendapatan per kapita hanya berpengaruh secara siginifikan terhadap peningkatan kontribusi sub sektor perdagangan, perhotelan dan restoran. Hasil tersebut mempertegas kenapa anomali terjadi pada hasil estimasi penelitian ini, dimana peningkatan nilai tambah sub sektor jasa tidak semuanya dipengaruhi oleh peningkatan pendapatan perkapita, hanya sektor perdagangan, perhotelan dan restauran. Ketiga sub sektor jasa tersebut masih jarang di akses oleh mayoritas masyarakat Madura.
52
Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Sektoral terhadap Kemiskinan Pertumbuhan ekonomi sektoral memiliki keterkaitan yang erat dengan transformasi struktural karena transformasi struktural terjadi berdasarkan perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi sektoral yang bisa dilihat dari angka PDRB masing-masing sektor dalam perekonomian. Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan per kapita masyarakat akan mendorong terjadinya transformasi struktural dimana transformasi struktural yang tidak seimbang akan mengakibatkan eksploitasi pada tenaga kerja sektor pertanian yang akan menyebabkan tenaga kerja pertanian sulit keluar dari lingkaran kemiskinan. Tingkat pertumbuhan sektoral memiliki keterkaitan yang erat dengan tingkat upah yang diterima oleh tenaga kerja sektoral; semakin tinggi pertumbuhan dan produktivitas sektoral maka semakin tinggi pula tingkat upah yang akan diterima. Estimasi model dilakukan dengan model efek tetap (fixed effect model) dan model efek acak (random effect model). Untuk memilih estimasi terbaik dari kedua model, dilakukan uji Hausman (Hausman test). Berdasarkan Tabel 14 diketahui bahwa probabilitas hasil uji Hausman lebih kecil dari taraf nyata 5 persen sehingga H0 ditolak, artinya estimasi dilakukan mengikuti model efek tetap (fixed Effect Model). Pendugaan parameter yang baik adalah yang bersifat BLUE, pada persamaan pengaruh pertumbuhan ekonomi sektoral terhadap kemiskinan diatas dilakukan uji yang dapat mendeteksi adanya pelanggaran asumsi klasik pada model baik berupa gangguan antar waktu (time-related disturbance), gangguan antar individu (cross sectional disturbance) maupun gangguan akibat keduanya. Masalah heteroskedastisitas pada data panel bisa diatasi dengan cara memberi perlakuan cross section weight dan white heteroskedasticity consistent covariance (Gujarati 2003). Tabel 14 Hasil Estimasi Model Analisis Pengaruh pertumbuhan ekonomi sektoral terhadap Kemiskinan dengan Model Efect Tetap (fixed Effect Model) Variabel Variabel Dependen Koefisien Std. Error Prob C 628514.0 625265.4 0.3188 LN_VP -31459.73 45689.08 0.4937 VI -0.015476 0.007077 0.0326 VJ 0.069124 0.031465 0.0318 R Square 0.365990 Prob (F-Stat) 0.000070 Number Of Observation 68 Hausman Test Probability 0.0000 Hasil estimasi model pada Tabel 14 menggunakan metode GLS (generalized least square) yang telah diberi perlakuan cross section weight dan white heteroskedasticity sebagai pembobot sehingga dapat dikatakan bahwa hasil estimasi model diatas telah terbebas dari masalah heteroskedastisitas, dengan estimasi GLS pada lampiran 2 terlihat bahwa ragam dan rataan sudah konstan. Uji autokorelasi dalam regresi data panel seringkali diabaikan kerena secara teoritis masalah auto korelasi terjadi hanya pada data time series, selain itu
53
pendugaan dengan menggunakan metode GLS secara otomatis akan membuang autokorelasi urutan pertama (first order autocorelation) sehingga hasil estimasi pada persamaan share sektor industri diatas dapat dikatakan sudah tidak ada masalah autokorelasi. Pelanggaran asumsi multikolinieritas dalam data panel jarang terjadi karena data panel merupakan penggabungan time series dan cross section sehingga akan menghasilkan lebih banyak variasi data dan lebih sedikit korelasi antar variabel independen. Indikasi adanya masalah multikolinieritas adalah ketika uji secara simultan (uji-F) disimpulkan siginifikan dengan R-squared yang tinggi namun tidak diikuti oleh uji parsial (uji t) yang signifikan. Hasil estimasi pada Tabel 14 terlihat bahwa dua dari tiga variabel bebas signifikan pada taraf nyata 5 persen, serta R-squared yang tidak terlalu tinggi sehingga bisa dikatakan bahwa estimasi yang telah dilakukan terbebas dari masalah multikolinieritas. Berdasarkan Tabel 14, dapat dilihat bahwa model pengaruh pertumbuhan ekonomi sektoral terhadap kemiskinan memiliki koefisien determinasi (R2) sebesar 0.36. Artinya variabel bebas dalam model menjelaskan 36 persen variasi variabel terikat dan sisanya 64 persen dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Hasil estimasi menunjukkan bahwa uji F siginifkan pada taraf nyata 5 persen (0.05) dengan probabilitas F statistic sebesar 0.000070 yang lebih kecil dari 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas dalam model secara bersamasama memberikan pengaruh nyata terhadap tingkat kemiskinan. Tabel 14 juga menunjukkan variabel PDRB sektor industri dan jasa berpengaruh siginifikan terhadap kemiskinan pada taraf nyata 5 persen (α = 0,05) dengan nilai probabilitas sebesar 0.0326 pada variabel PDRB industri (VI) dan 0.0318 pada variabel PDRB sektor jasa (VJ), sementara itu PDRB sektor pertanian (VP) memiliki pengaruh yang tidak signifikan dengan nilai probabilitas 0.4937. Variabel PDRB sektor pertanian (VP) memiliki parameter negatif namun tidak signifikan terhadap kemiskinan. Artinya, semakin tinggi PDRB sektor pertanian maka tingkat kemiskinan akan semakin kecil. Konklusi tersebut bisa dengan mudah dipahami mengingat mayoritas penduduk di Madura berprofesi sebagai petani dan pada umumnya berada pada golongan ekonomi menengah kebawah. Tidak signifikannya sektor pertanian dalam mengurangi angka kemiskinan semakin memperjelas bahwa pembangunan sektor pertanian di Madura kurang berkualitas karena tidak secara efektif mengurangi angka kemiskinan. Ketidakefektifan tersebut bersumber dari kecilnya kontribusi sektoral, produktivitas yang rendah serta diperparah dengan over suply tenaga kerja di sektor tersebut. Kesimpulan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Alfarabi et al.(2014). Kondisi tersebut menyebabkan tingkat pendapatan tenaga kerja sektor pertanian di Madura sangat rendah sehingga gagal mengeluarkan mereka dari kemiskinan. Temuan tersebut juga sejalan dengan hasil penelitian Siregar dan Wahyuniarti (2007), yang menyatakan bahwa peningkatan kontribusi sektor pertanian berkorelasi negatif terhadap jumlah penduduk miskin. Peningkatan kontribusi sektor pertanian harus dipacu mengingat beberapa kajian sudah membuktikan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang paling efektif dalam mengurangi angka kemiskinan baik di pedesaan maupun di perkotaan seperti kajian Ravallion dan Datt (1996) dan Kakwani 2001. Selain itu, sektor pertanian merupakan sumber pendapatan bagi mayoritas masyarakat
54
berpendapatan rendah di Madura, dengan demikian upaya pengentasan kemiskinan dapat secara efektif dilakukan melalui pembangunan pertanian (Priyarsono 2011). Pembangunan pertanian perlu dilakukan dengan cara mempercepat transformasi pertanian serta mengupayakan peningkatan nilai tambah hasil-hasil pertanian melalui pembangunan agroindustri. Diversifikasi ekonomi pedesaan ini tentu akan menambah kesempatan kerja di pedesaan dan menambah pendapatan petani (Tambunan 2003). Variabel PDRB sektor industri (VI) memiliki parameter negatif dan siginifikan. Artinya, peningkatan kontribusi sektor industri secara efektif menurunkan angka kemiskinan. Penelitian Kakwani dan Pernia (2000) menyimpulkan bahwa pertumbuhan kontribusi sektor industri akan mengurangi angka kemiskinan. Berdasarkan kajian Priyrsono (2011), industri pengolahan berbasis pertanian (agroindustri) terutama yang berskala kecil dan menengah merupakan sub sektor industri yang akan menjadi leading sector dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, dengan beberapa pertimbangan, diantaranya: (1) agroindustri memiliki pangsa yang besar dalam perekonomian secara keseluruhan sehingga kemajuan yang dicapai dapat memengaruhi perekonomian secara keseluruhan, (2) agroindustri memiliki pertumbuhan dan nilai tambah yang relatif tinggi, (3) keterkaitan ke depan dan ke belakang cukup besar sehingga mampu menarik pertumbuhan sektor lainnya, dan (4) kegiatan agroindustri tidak memiliki unsur-unsur yang dapat menjadi kendala jika telah berkembang. Berbeda dengan temuan Kakwani dan Pernia (2000), hasil estimasi diatas menunjukkan parameter sektor jasa terhadap kemiskinan bernilai positif, dengan kata lain, peningkatan kontribusi sektor jasa justru meningkatkan kemiskinan. Temuan tersebut sejalan dengan hasil penelitian Dewanto dan Pendi (2014) yang menyimpulkan pertumbuhan sektor jasa justru meningkatkan kemiskinan. Apabila diamati lebih mendalam, sektor jasa pada perekonomian Madura didominasi oleh sektor perdagangan, perhotelan dan restoran, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dimana sektor-sektor tersebut tidak bisa diakses oleh masyarakat lokal. Peningkatan sektor-sektor tersebut ikut andil dalam menghambat perkembangan sektor-sektor tradisional dimana masyarakat lokal lebih banyak terkonsentrasi pada sektor tersebut.
Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Sektoral terhadap Ketimpangan Pendapatan Tujuan ke empat dari penelitian ini adalah melihat dampak pertumbuhan ekonomi sektoral terhadap ketimpangan distribusi pendapatan. Perbedaan pertumbuhan ekonomi dan produktivitas sektoral sebagaimana dijelaskan akan menyebabkan terjadinya transformasi struktural dimana transformasi yang terjadi di Madura merupakan unbalanced transformation. Kondisi ini akan berpengaruh pada tingkat upah yang diterima oleh tenaga kerja sektoral. Kondisi tersebut akan membagi masyarakat dalam dua kelompok pendapatan yang berbeda, (1) kelompok masyarakat dengan pendapatan tinggi, adalah masyarakat yang bekerja pada sektor industri dan jasa (2) kelompok masyarakat dengan pendapatan rendah, adalah masyarakat yang bekerja pada sektor pertanian. Dengan demikian menarik
55
melihat secara empiris dan statistik bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi sektoral terhadap ketimpangan distribusi pendapatan. Model dibangun menggunakan indeks gini sebagai variabel terikat dan PDRB setiap sektor ekonomi sebagai variabel bebas. Dengan adanya keterbatasan ketersediaan data indeks gini Madura, periode waktu hanya dari tahun 2008 hingga 2014. Estimasi model dilakukan dengan model efek tetap (fixed effect model) dan model efek acak (random effect model). Untuk memilih estimasi terbaik dari kedua model, dilakukan uji Hausman (Hausman test). Berdasarkan Tabel 15 diketahui bahwa probabilitas hasil uji Hausman lebih besar dari taraf nyata 5 persen sehingga H0 diterima, artinya estimasi dilakukan mengikuti model efek acak (random effect model). Hasil estimasi model dapat dilihat pada Tabel 15. Pendugaan parameter yang baik adalah yang bersifat BLUE, pada persamaan pengaruh pertumbuhan ekonomi sektoral terhadap ketimpangan distribusi pendapatan diatas dilakukan uji yang dapat mendeteksi adanya pelanggaran asumsi klasik pada model baik berupa gangguan antar waktu (timerelated disturbance), gangguan antar individu (cross sectional disturbance) maupun gangguan akibat keduanya. Masalah heteroskedastisitas pada data panel bisa diatasi dengan cara memberi perlakuan cross section weight dan white heteroskedasticity consistent covariance (Gujarati 2003). Tabel 15 Hasil Estimasi Model Analisis Pengaruh Transformasi Struktural Terhadap Ketimpangan Pendapatan Dengan Model Efect Acak (Random Effect Model) Variabel Variabel Dependen Koefisien Std. Error Prob C -0.370632 0.192633 0.0663 LN_VP -0.057529 0.015205 0.0009 LN_VI 0.014785 0.003619 0.0004 LN_VJ 0.088390 0.019380 0.0001 R Square 0.431208 Prob (F-Stat) 0.003182 Number Of Observation 28 Hausman Test Probability 1.0000 Hasil estimasi model pada Tabel 15 menggunakan metode GLS (generalized least square) yang telah diberi perlakuan cross section weight dan white heteroskedasticity sebagai pembobot sehingga dapat dikatakan bahwa hasil estimasi model diatas telah terbebas dari masalah heteroskedastisitas, dengan estimasi GLS pada lampiran 5 terlihat bahwa ragam dan rataan sudah konstan. Uji autokorelasi dalam regresi data panel seringkali diabaikan kerena secara teoritis masalah auto korelasi terjadi hanya pada data time series, selain itu pendugaan dengan menggunakan metode GLS secara otomatis akan membuang autokorelasi urutan pertama (first order autocorelation) sehingga hasil estimasi pada persamaan share sektor industri diatas dapat dikatakan sudah tidak ada masalah autokorelasi. Pelanggaran asumsi multikolinieritas dalam data panel jarang terjadi karena data panel merupakan penggabungan time series dan cross section sehingga akan
56
menghasilkan lebih banyak variasi data dan lebih sedikit korelasi antar variabel independen. Indikasi adanya masalah multikolinieritas adalah ketika uji secara simultan (uji-F) disimpulkan siginifikan dengan R-squared yang tinggi namun tidak diikuti oleh uji parsial (uji t) yang signifikan. Hasil estimasi pada Tabel 15 terlihat bahwa semua variabel bebas signifikan pada taraf nyata 5 persen, serta Rsquared yang tidak terlalu tinggi sehingga bisa dikatakan bahwa estimasi yang telah dilakukan terbebas dari masalah multikolinieritas. Berdasarkan Tabel 15 dapat dilihat bahwa model pengaruh pertumbuhan ekonomi sektoral terhadap ketimpangan distribusi pendapatan memiliki koefisien determinasi (R2) sebesar 0.43. Artinya variabel bebas dalam model menjelaskan 43 persen variasi variabel terikat dan sisanya 57 persen dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Hasil estimasi menunjukkan bahwa uji F siginifkan pada taraf nyata 5 persen (0.05) dengan probabilitas F statistic sebesar 0.003 yang lebih kecil dari 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas dalam model secara bersama-sama memberikan pengaruh nyata terhadap variabel terikat. Tabel 15 menunjukkan variabel PDRB sektor pertanian (LN_VP) berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan distribusi pendapatan pada taraf nyata 1 persen (α = 0,01) dengan nilai probabilitas sebesar 0.0009. Variabel PDRB sektor industri (LN_VI) dan PDRB sektor jasa (LN_VJ) juga berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan dengan probabilitas berturut-turut sebesar 0.0004 dan 0.0001. Variabel PDRB sektor pertanian (VP) memiliki parameter yang negatif dan signifikan terhadap ketimpangan distribusi pendapatan. Artinya, semakin tinggi PDRB sektor pertanian akan semakin rendah ketimpangan distribusi pendapatan. Sebagaimana diketahui bahwa mayoritas masyarakat Madura berprofesi sebagai petani dengan pendapatan rendah sehingga menjadi sangat logis ketika angka statistik menunjukkan bahwa peningkatan PDRB sektor pertanian akan menguragi ketimpangan distribusi pendapatan. Peningkatan kontribusi sektor pertanian berarti meningkatkan produktivitas sektoral yang selanjutnya akan berimplikasi pada tingkat pendapatan yang diterima oleh tenaga kerja yang ada di sektor tersebut. Peningkatan pendapatan tersebut akan mempersempit jurang pemisah antar sektor ekonomi sehingga ketimpangan distribusi pendapatan secara otomatis akan berukurang. Berdasarkan hasil penelitian Tarp et al. (2002) ekspansi pada sektor pertanian merupakan cara paling tepat dalam mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan di pedesaan dan perkotaan. Membaiknya tingkat upah atau gaji ratarata tenaga kerja di pedesaan (mayoritas tenaga kerja sektor pertanian) akan meningkatkan pemerataan distribusi pendapatan (Tambunan 2003). Cara yang paling efektif untuk meningkatkan pendapatan yang di terima oleh tenaga kerja sektor pertanian yaitu dengan cara transformasi pertanian dan pembangunan agroindustri pedesaan sebagaimana kajian Priyarsono (2011). Sebaliknya, variabel PDRB sektor industri (VI) dan jasa (VJ) memiliki parameter yang positif dan signifikan terhadap ketimpangan distribusi pendapatan. Artinya, peningkatan kontribusi sektor industri dan jasa akan meningkatkan ketimpangan distribusi pendapatan. Peningkatan kontribusi sektor industri dan jasa akan meningkatkan pendapatan tenaga kerja yang ada di kedua sektor tersebut dengan demikian akan semakin meningggalkan pendapatan sektor pertanian, sehingga akan berimplikasi pada melebarnya jurang pemisah antara
57
pendapatan pada sektor pertanian dengan sektor industri dan jasa. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Cheong dan WU (2014) dan Pinem (1990). Selain itu, ketimpangan juga diperparah dengan adanya perbedaan akses dan kesempatan antara skilled labor dengan unskilled labor (Ariyo & Olanrewaju 2014). Hasil penelitian ini semakin mempertegas bahwa pembangunan ekonomi Madura harus diarahkan pada pengembangan agroindustri sebagai leading sector, karena selain efektif dalam pengentasan kemiskinan juga akan efektif dalam meningkatkan pemerataan distribusi pendapatan mengingat agroindustri merupakan sektor yang paling sesuai dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat Madura. Kesimpulan tersebut di dukung oleh kajian Priyarsono (2011) yang menyatakan bahwa kebijakan ekonomi yang paling efektif dalam menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan adalah peningkatan investasi di sektor agroindustri.
5 SIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Perekonomian Madura telah mengalami transformasi struktural berupa transformasi struktur output namun tidak diikuti oleh transformasi struktur tenaga kerja (unbalanced transformation). 2. Populasi dan pendapatan perkapita menjadi faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya transformasi struktur output di Madura. Tingkat populasi dan pendapatan perkapita berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan nilai tambah sektor pertanian dan industri sementara pada sektor jasa hanya variabel populasi yang berpengaruh secara signifikan. 3. PDRB sektor Industri berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan dan memiliki parameter yangn negatif, artinya, PDRB sektor industri efektif dalam menurunkan angka kemiskinan. Sementara itu, variabel PDRB sektor pertanian juga memiliki parameter yang negatif namun tidak signifikan terhadap kemiskinan. 4. Pada pengujian pengaruh pertumbuhan ekonomi sektoral terhadap ketimpangan pendapatan didapatkan kesimpulan bahwa variabel PDRB sektor pertanian berpengaruh secara signifikan dan memiliki parameter yang negatif, artinya, peningkatan PDRB sektor pertanian akan efektif dalam mengurangi ketimpangan pendapatan. Sebaliknya, PDRB kontribusi sektor industri dan jasa berpengaruh secara signifikan dan memiliki parameter yang positif, artinya, peningkatan PDRB sektor industri dan jasa akan meningkatkan ketimpangan pendapatan.
58
2. Saran 1. Transformasi struktural membutuhkan kehadiran pemerintah sebagai perencana dan pembuat kebijakan (policy maker) yang tepat untuk menciptakan pembangunan ekonomi yang berkualitas. 2. Pemerintah Pusat dan Daerah perlu menyikapi unbalanced transformation dengan mempercepat industrialisasi pedesaan di Madura terutama dengan mempercepat pembangunan industri padat karya yang berbasis pertanian (agroindustri) serta memiliki keterkaitan sektoral yang kuat sehingga surplus tenaga kerja pada sektor pertanian dapat terserap. 3. Pemerintah Pusat maupun Daerah hendaknya melakukan upaya peningkatan produktivitas sektor pertanian dengan mempercepat terjadinya transformasi pertanian (agricultural transformation) karena secara statistik terbukti bahwa sektor pertanian menjadi sektor yang efektif dalam mengurangi kemiskinan dan disparitas income. Upaya tersebut bisa dilakukan dengan peningkatan investasi pertanian untuk modernisasi, memperkuat kelembagaan pertanian serta mengubah pola pertanian menjadi lebih market oriented. 4. Agroindustri pedesaan merupakan sub sektor industri yang paling cocok dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat Madura. Selain efektif dalam mengurangi angka kemiskinan juga efektif dalam mengendalikan melebarnya disparitas income melalui peningkatan pendapatan di sektor pertanian dan peluang menciptakan kesempatan kerja di luar sektor pertanian.
59
DAFTAR PUSTAKA Aizenman J, Minsoo Lee, Donghyun Park. 2012. The Relationship between Structural Change and Inequality: A Conceptual Overview with Special Reference to Developing Asia. Asian Development Bank Institute. Alfarabi M, Surya H, Slamet R.2014. Perubahan Struktur Ekonomi dan Dampaknya Terhadap Kemiskinan di Provinsi Jambi. Jurnal Perspektif Pembiayaan dan Pembangunan Daerah. 1(3): 171-178 Amir H, Nazara S. 2005. Analisis Perubahan Struktur Ekonomi (Economic Landscape) dan Kebijakan Strategi Pembangunan Jawa Timur Tahun 1994 dan 2000: Analisis Input-Output. Jurnal Pembangunan ekonomi Indonesia. 5 (2): 37-55 Ariyo A, Olanrewaju O. 2014. Inequalities in the Context of Structural Transformation: Evidence from Nigeria. Ibadan (NG) : University of Ibadan. Asian Development Bank (ADB). 2013. Kajian Tengah Waktu Strategi 2020 Menjawab Tantangan Transformasi Asia dan Pasifik: Asian Development Bank. Arsyad L. 1997. Pengantar Perencanaan dan Ekonomi Pembangunan Ekonomi Daerah. Yogyakarta (ID): BPFE Baltagi BH. 2008. Econometrics (4th).USA (US): Springer Bappenas. 2012. Rasio Gini di Indonesia dalam Lima Tahun Terakhir. Jakarta (ID): Kementerian PPN/BAPPENAS Bellinger WK. 2007. The Economics Analysis of Public Policy. Oxon (GB): Routledge [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Indonesia 2012. Jakarta (ID): BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik Jawa Timur. 2015a. Statistik Jawa Timur. Surabaya (ID): BPS Jatim [BPS] Badan Pusat Statistik Jawa Timur. 2015b. Laporan Eksekutif Keadaan Angkatan Kerja Di Jawa Timur. Surabaya (ID): BPS Jatim [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangkalan. 2015a. Kabupaten Bangkalan Dalam Angka. Bangkalan (ID): BPS Kabupaten Bangkalan [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangkalan. 2015b. Survey Angkatan Kerja Nasional (ID): BPS Kabupaten Bangkalan [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Sampang. 2015a. Kabupaten Sampang Dalam Angka. Sampang(ID): BPS Kabupaten Sampang [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Sampang. 2015b. Survey Angkatan Kerja Nasional (ID): BPS Kabupaten Sampang [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Pamekasan. 2015a. Kabupaten Pamekasan Dalam Angka. Pamekasan (ID): BPS Kabupaten Pamekasan [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Pamekasan. 2015b. Survey Angkatan Kerja Nasional (ID): BPS Kabupaten Pamekasan [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumenep. 2015a. Kabupaten Sumenep Dalam Angka. Sumenep (ID): BPS Kabupaten Sumenep [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumenep. 2015b. Survey Angkatan Kerja Nasional (ID): BPS Kabupaten Sumenep.
60
Budiharsono S. 1996. Transformasi Struktural dan Pertumbuhan Ekonomi antar Daerah di Indonesia, 1969-1987. [Disertasi].Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Bennet PD, Kassarjian HH.1983. Consumer Behavior. New Delhi (IN) : Prentice Hall of India. Cheong TS, Yanrui WU. 2014. The impacts of structural transformation and industrial upgrading on regional inequality in China. China Economic Review. 31 (1) 339–350 Chenery HB. 1960. Pattern of Industrial Growth. American Economic Review. 50(9): 624-654. Chenery HB. 1982. Industrialization and Growth: The Experience of Large Countries. Washington (US): World Bank Chenery HB, Syrquin M. 1975. Patterns of development, 1950–1970. New York (US): Oxford University Clark C. 1951. The Condition of Economic Progress. London (GB): Macmillan & Co Ltd Dewanto, Pendi. 2014. Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Dan Ketimpangan Pendapatan Terhadap Pengentasan Kemiskinan di Kawasan Mebidangro. Jurnal Ekonom. 17 (3): 138-150 Dumairy, 1999. Perekonomian Indonesia. Jakarta (ID): Erlangga, Ediana IW. 2006. Struktur Ekonomi Dan Kesempatan Kerja Sektor Pertanian Dan Non Pertanian Serta Kualitas Sumberdaya Manusia Di Indonesia. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Erikasari SE. 2005. Kesempatan Kerja, Migrasi Dan Transformasi Tenaga Kerja Dari Sektor Pertanian Ke Sektor Non Pertanian Di Daerah Istimewa Yogyakarta. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Fields GS. 1979. A Welfare Economoc Approach to Growth and Distribution in the Dual Economy. Quarterly Journal of Economics. 43(3): 325-353. Fransiskus X, Aba L, Osman Y, Saidatul A. 2015. Analysis Of Economic Structure In Poverty Eradication In The Province Of East Nusa Tenggara Indonesia. Procedia - Social and Behavioral Sciences: 211(2) : 81 – 88 George KD, Joll C ,Lynk EL. 2005. Industrial organisation: competition, growth and structural change. New York (US): Routledge. Gujarati D. 2003. Basic econometrics. New York (US): McGraw Hill companies Goh CC, Xubei LUO, Nong ZHU. 2008. Income growth, inequality and poverty reduction: A case study of eight provinces in China. China Economic Review. 20 (3): 485–496 Haraguchi N dan Rezonja, Gorazd. 2011. Emerging Patterns of Manufacturing Structural Change. Vienna (AT): United Nations Industrial Development Organization Herick B, Kindleberger CP. (1983). Economic Development. New York (US) : McGraw-Hill International Book Company Kagami H. 2000. Perubahan Struktur Ekonomi dan Kesempatan Kerja serta Transformasi Tenaga Kerja dari Sektor Pertanian ke Sektor non Pertanian di Propinsi Sumatera Selatan. [Tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Kakwani N. (2001). Pro Poor Growth and Policies: Asian Development Bank Kakwani N, Pernia EM. 2000. What is pro poor growth?. Asian Development Review. 18 (1): 1-16.
61
Kuznets S. 1955. Economic Growth and Income Inequality. The American Economic Review. 45(1): 1-28. Muslianti D. 2011. Dampak Kebijakan Fiskal Daerah terhadap Kemiskinan di Indonesia pada Masa Desentralisasi Fiskal. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Pinem B. 1990. Dampak Industri Kerajinan Rumah Tangga Terhadap Tingkat Pendapatan Dan Penyerapan Tenaga Kerla Wilayah Serta Upaya Untuk Meningkatkan Produktivitasmya Dl Kabupaten Deli Serdang. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Priyarsono DS. 2011. Dari Pertanian Ke Industri; Analisis Pembangunan dari Perspeltif Regional. Bogor (ID): IPB Press Ravallion M, Datt G. (1996). How Important to India’s Poor is the Sectoral Composition Growth?. World Bank Economic Review Rosegrant MW, Hazell PBR. 2000. Transforming the rural asian economy: The Unfinished revolution. Oxford (US): Oxford University Press Siregar H, Wahyuniarti D. 2007. Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor dan Brighten Institute. Suhartini SH. 2001. Transformasi Struktur Kesempatan Kerja Sektor Pertanian ke Non Pertanian di Indonesia. Jumal Agro Ekonomi. 2(4) : 17-19. Sulistiyaningsih E. 1997. Dampak Pembahan Struktur Ekonomi terhadap Struktur Penyerapan Tenaga Kerja di Indonesia 1980-2019: Suatu Pendekatan Input Output. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sumaryanto. 2014. Peran Sektor Pertanian dalam MDGS dan Kesiapan Menyongsong SDGS. Pendekatan Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Daya Pertanian Schiller BR. 2007. The economics of poverty and discrimination. New Jersey (US): Prentice Hall. Szirmai A, Wim N , Nobuya H 2012. Structural Change, Poverty Reduction And Industrial policy In The Brics. Viena (AT) : United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) Tambunan T. 2003. Perekonomian Indonesia: Beberapa Permasalahan Penting. Jakarta (ID): Ghalia Indonesia Tarp F, Channing A, Henning T, Sherman R, Rasmus H. 2002. Facing the Development Challenge in Mozambique; An Economywide Perspective. Washington (US): international food policy research institute. Timmer P, Selvin Akkus.2008. The Structural Transformation as a Pathway out of Poverty: Analytics, Empirics and Politics. Center for Global Development. Todaro MP dan Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi. Edisi Kesembilan. Jakarta (ID): Erlangga. Wie TK. (1983). Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan. Beberapa Pendekatan Altenatif. Jakarta (ID): LP3ES World Bank. 2015. Indonesia’s rising divide. Jakarta (ID): World Bank
62
LAMPIRAN
63
Lampiran 1 Hasil Uji Hausman Test Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tambah Sektor Pertanian. Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: PDRBP_REM_HAUSMANTEST Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
13.381432
2
0.0012
Random
Var(Diff.)
Prob.
1.279662 -0.329746
0.001357 0.000900
0.0009 0.0004
Cross-section random effects test comparisons: Variable LN_N LN_YK
Fixed 1.157668 -0.435054
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: LN_PDRBP Method: Panel Least Squares Date: 06/04/16 Time: 22:14 Sample: 1998 2014 Periods included: 17 Cross-sections included: 4 Total panel (balanced) observations: 68 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LN_N LN_YK
-1.408437 1.157668 -0.435054
5.089670 0.381333 0.171860
-0.276725 3.035845 -2.531440
0.7829 0.0035 0.0139
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.876884 0.866955 0.158822 1.563905 31.77112 88.31775 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
13.92574 0.435422 -0.757974 -0.562135 -0.680377 0.448844
64
Lampiran 2 Hasil Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tambah Sektor Pertanian Menggunakan Metode Estimasi Model Efek Tetap (Fixed Effect Model) dengan Cross-section weight dan white heteroskedasticity Dependent Variable: LN_PDRBP Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 06/05/16 Time: 05:24 Sample: 1998 2014 Periods included: 17 Cross-sections included: 4 Total panel (balanced) observations: 68 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LN_N LN_YK C
0.725353 -0.445082 4.517554
0.266312 0.146403 3.535479
2.723699 -3.040107 1.277777
0.0084 0.0035 0.2061
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.883030 0.873597 0.151567 93.60982 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
17.60081 8.450441 1.424295 0.529446
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.872145 1.624104
Mean dependent var Durbin-Watson stat
13.92574 0.441629
65
Lampiran 3 Hasil Uji Hausman Test Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tambah Sektor Industri Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: PDRBI_REM Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
101.800119
2
0.0000
Random
Var(Diff.)
Prob.
0.530075 2.773896
0.048783 0.031731
0.0000 0.0000
Cross-section random effects test comparisons: Variable LN_N LN_YK
Fixed 2.557509 4.552305
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: LN_PDRBI Method: Panel Least Squares Date: 06/04/16 Time: 22:17 Sample: 1998 2014 Periods included: 17 Cross-sections included: 4 Total panel (balanced) observations: 68 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LN_N LN_YK
-27.35466 2.557509 4.552305
11.43949 0.857081 0.386272
-2.391247 2.983977 11.78523
0.0198 0.0041 0.0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.887331 0.878245 0.356966 7.900322 -23.29928 97.65710 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
12.90324 1.023018 0.861744 1.057582 0.939341 0.758910
66
Lampiran 4 Hasil Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tambah Sektor Industri Menggunakan Metode Estimasi Model Efek Tetap (Fixed Effect Model) dengan Cross-section weight dan white heteroskedasticity Dependent Variable: LN_PDRBI Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 06/05/16 Time: 08:31 Sample: 1998 2014 Periods included: 17 Cross-sections included: 4 Total panel (balanced) observations: 68 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LN_N LN_YK C
2.292899 4.258186 -23.39416
0.793849 0.410396 10.62019
2.888333 10.37579 -2.202802
0.0053 0.0000 0.0313
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.911958 0.904858 0.350296 128.4421 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
14.01816 3.701231 7.607853 0.767213
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.884236 8.117363
Mean dependent var Durbin-Watson stat
12.90324 0.740489
67
Lampiran 5 Hasil Uji Hausman Test Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tambah Sektor Jasa Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: PDRBJ_REM Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
0.742107
2
0.6900
Random
Var(Diff.)
Prob.
1.478234 0.170578
0.003227 0.002138
0.3937 0.4108
Cross-section random effects test comparisons: Variable LN_N LN_YK
Fixed 1.429786 0.132545
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: LN_PDRBJ Method: Panel Least Squares Date: 06/04/16 Time: 22:20 Sample: 1998 2014 Periods included: 17 Cross-sections included: 4 Total panel (balanced) observations: 68 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LN_N LN_YK
-5.836444 1.429786 0.132545
5.996655 0.449287 0.202486
-0.973283 3.182344 0.654590
0.3342 0.0023 0.5152
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.727017 0.705002 0.187124 2.170947 20.61988 33.02403 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
13.87750 0.344524 -0.429996 -0.234158 -0.352399 0.652617
68
Lampiran 6 Hasil Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tambah Sektor Jasa Menggunakan Metode Estimasi Model Efek Acak (Random Effect Model) dengan Cross-section weight dan white heteroskedasticity Dependent Variable: LN_PDRBJ Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 06/05/16 Time: 10:14 Sample: 1998 2014 Periods included: 17 Cross-sections included: 4 Total panel (balanced) observations: 68 Swamy and Arora estimator of component variances White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LN_N LN_YK C
1.478234 0.170578 -6.543272
0.483803 0.165349 6.561816
3.055443 1.031620 -0.997174
0.0033 0.3061 0.3224
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
0.165069 0.187124
Rho 0.4376 0.5624
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.329162 0.308521 0.185304 15.94687 0.000002
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
3.678964 0.222841 2.231948 0.634717
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.625285 2.979990
Mean dependent var Durbin-Watson stat
13.87750 0.475389
69
Lampiran 7 Hasil Uji Hausman Test Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Sektoral terhadap Kemiskinan Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
38.712855
3
0.0000
Var(Diff.)
Prob.
47534.729237 2342370164.142967 -0.035089 0.000632 -0.012431 0.000030
0.2851 0.0077 0.1087
** WARNING: estimated cross-section random effects variance is zero. Cross-section random effects test comparisons: Variable LN_VP VJ VI
Fixed -4195.416439 0.031946 -0.021154
Random
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: POV Method: Panel Least Squares Date: 06/05/16 Time: 15:07 Sample: 1998 2014 Periods included: 17 Cross-sections included: 4 Total panel (balanced) observations: 68 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LN_VP VJ VI
294491.6 -4195.416 0.031946 -0.021154
757673.0 54389.11 0.039258 0.013710
0.388679 -0.077137 0.813736 -1.542943
0.6989 0.9388 0.4190 0.1280
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.415461 0.357965 69702.32 2.96E+11 -851.1295 7.225957 0.000007
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
257946.4 86989.73 25.23910 25.46758 25.32963 0.817906
70
Lampiran 8 Hasil Regresi Pengaruh Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Sektoral terhadap Kemiskinan Menggunakan Metode Estimasi Model Efek Tetap (Fixed Effect Model) dengan Cross-section weight dan white heteroskedasticity Dependent Variable: POV Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 06/05/16 Time: 15:06 Sample: 1998 2014 Periods included: 17 Cross-sections included: 4 Total panel (balanced) observations: 68 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LN_VP VI VJ C
-31459.73 -0.015476 0.069124 628514.0
45689.08 0.007077 0.031465 625265.4
-0.688561 -2.186920 2.196872 1.005196
0.4937 0.0326 0.0318 0.3188
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.365990 0.303629 68113.80 5.868843 0.000070
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
298492.5 114920.8 2.83E+11 0.800228
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.401458 3.03E+11
Mean dependent var Durbin-Watson stat
257946.4 0.777527
71
Lampiran 9 Hasil Uji Hausman Test Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Sektoral terhadap Ketimpangan Pendapatan Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: REM_GINI Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
0.000000
3
1.0000
Random
Var(Diff.)
Prob.
-0.057529 0.014785 0.088390
0.005713 0.000052 0.000042
0.1574 0.5550 0.0000
* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero. ** WARNING: robust standard errors may not be consistent with assumptions of Hausman test variance calculation. Cross-section random effects test comparisons: Variable LN_VP LN_VI LN_VJ
Fixed 0.049344 0.010539 0.009814
Cross-section random effects test equation: Dependent Variable: GINI Method: Panel Least Squares Date: 06/06/16 Time: 04:29 Sample: 2008 2014 Periods included: 7 Cross-sections included: 4 Total panel (balanced) observations: 28 White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LN_VP LN_VI LN_VJ
-0.700093 0.049344 0.010539 0.009814
1.021387 0.077097 0.008054 0.020446
-0.685434 0.640025 1.308459 0.479970
0.5006 0.5291 0.2049 0.6362
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.598279 0.483502 0.019789 0.008224 74.13070 5.212514 0.002004
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.267857 0.027535 -4.795050 -4.461999 -4.693233 1.913999
72
Lampiran 10 Hasil Regresi Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Sektoral terhadap Ketimpangan Pendapatan Menggunakan Metode Estimasi Model Efek Acak (Random Effect Model) dengan Cross-section weight dan white heteroskedasticity. Dependent Variable: GINI Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 06/06/16 Time: 04:28 Sample: 2008 2014 Periods included: 7 Cross-sections included: 4 Total panel (balanced) observations: 28 Swamy and Arora estimator of component variances White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LN_VP LN_VI LN_VJ C
-0.057529 0.014785 0.088390 -0.370632
0.015205 0.003619 0.019380 0.192633
-3.783450 4.085045 4.560956 -1.924036
0.0009 0.0004 0.0001 0.0663
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
4.88E-08 0.019789
Rho 0.0000 1.0000
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.431208 0.360109 0.022026 6.064889 0.003182
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0.267857 0.027535 0.011644 1.366151
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.431208 0.011644
Mean dependent var Durbin-Watson stat
0.267857 1.366151
73
RIWAYAT HIDUP Mohammad Saedy Romli. Lahir di Kabupaten Pamekasan Madura, Jawa Timur pada tanggal 05 September 1988, dari pasangan Mohammad Sahrah dan Suparma, merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas di Kabupaten Pamekasan. Lulus dari Madrasah Aliyah Mambaul Ulum Bata-Bata, kemudian melanjutkan pendidikan tingkat sarjana pada Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura (UTM), jurusan Agribisnis dan lulus pada tahun 2012. Pada tahun 2014 penulis melanjutkan pendidikan tingkat magister pada program studi Ilmu Ekonomi Pertanian Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB).