Tradisi Sang Ahli
yang Mengalir dalam Nadi
Satu-satu kayu terpaku merangkai dinding. Lalu kuatkan dengan kerangka penyangganya. Sang pencipta membiarkan tangannya bekerja tanpa pernah ragu akan hasilnya. Sebab setiap detil ukuran dan bentuk telah terpatri jelas dalam benaknya. Bahkan setiap tarikan nafas bisa dikata serupa jiwa yang menghidupkan wujud bahtera.
1
BAB
V
MENINGKATKAN KETAHANAN SEKTOR RIIL DALAM MENDUKUNG PEMULIHAN EKONOMI
Meningkatkan Ketahanan Sektor Riil dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi Di tengah kontraksi perekonomian dunia yang cukup dalam, ketahanan sektor riil masih cukup kuat dalam merespons tekanan ekonomi dunia sehingga mampu mendukung kinerja perekonomian Indonesia tahun 2009.99 Dampak krisis ekonomi dunia terhadap sektor riil terutama melalui jalur perdagangan sebagaimana tercermin pada penurunan kinerja ekspor yang cukup tajam. Selanjutnya penurunan ekspor tersebut menyebabkan dunia usaha mengurangi kegiatannya dan pada gilirannya menyebabkan penurunan investasi dan konsumsi. Meskipun terkena dampak krisis ekonomi global, ekonomi Indonesia dapat tumbuh mencapai 4,5% (yoy), lebih baik jika dibandingkan dengan perkiraan awal tahun sebesar 4,0% (yoy). Hal tersebut tidak terlepas dari masih kuatnya permintaan domestik, khususnya konsumsi rumah tangga. Masih tingginya konsumsi rumah tangga tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal, terutama masih cukup kuatnya daya beli masyarakat, cukup besarnya pengeluaran terkait dengan kegiatan Pemilu, dan kebijakan stimulus fiskal untuk menjaga daya beli masyarakat. Selain itu, masih tingginya pertumbuhan ekonomi domestik juga didukung oleh cukup dominannya peran UMKM dalam perekonomian Indonesia. Sampai saat ini, mengingat peran ekspor dan impor pada sektor UMKM masih terbatas, dampak krisis ekonomi global terhadap sektor tersebut menjadi relatif kecil.
Sementara itu, masih tingginya konsumsi rumah tangga juga didukung oleh inflasi yang rendah. Tingkat inflasi yang rendah tersebut menyebabkan daya beli masyarakat terjaga dan mendorong terpeliharanya tingkat kepercayaan dan ekspektasi konsumen. Selain itu, terjaganya daya beli masyarakat juga didukung oleh berbagai paket kebijakan Pemerintah seperti: penurunan pajak penghasilan orang pribadi dan peningkatan batas penghasilan tidak kena pajak. Keberhasilan dalam menjaga daya tahan perekonomian domestik masih menyisakan beberapa permasalahan yaitu pertumbuhan sektor industri pengolahan yang cenderung menurun dan terkendalanya beberapa proyek infrastruktur. Tantangan ini semakin berarti mengingat kesepakatan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) mengharuskan sektor industri pengolahan meningkatkan daya saing. Untuk itu, pembangunan sektor industri ke depan harus didukung ketersediaan infrastruktur yang memadai dan pembangunan industri tersebut perlu memperhatikan aspek daerah, yaitu membangun industri dengan memerhatikan sektor unggulan di daerah tersebut.
Bab ini mengulas dinamika sektor riil pada tahun 2009 ke dalam dua bagian. Bagian pertama menganalisis mengapa ketahanan permintaan domestik yang didukung oleh konsumsi rumah tangga cukup tinggi di tengah terpaan krisis global dan apakah sustainabilitas konsumsi rumah tangga ke depan dapat terjaga. Analisis dibagi menjadi dua subbab yang menganalisis faktor-faktor yang menjelaskan ketahanan konsumsi rumah tangga dan peran UMKM sebagai peredam dampak krisis keuangan global. Bagian kedua berisi berbagai tantangan yang dihadapi oleh sektor riil dalam menjaga agar momentum pemulihan ekonomi nasional dapat terus didorong. Dalam bagian ini, berbagai tantangan sektor industri pengolahan termasuk dalam rangka menghadapi ACFTA dibahas. Kemudian, permasalahan klasik di sektor riil yaitu kurangnya infrastruktur serta langkah-langkah yang perlu dilakukan ke depan akan didiskusikan.
99 Definisi sektor riil mengacu kepada segala sesuatu yang terkait dengan produksi barang dan jasa serta distribusinya. Kegiatan sektor riil tersebut juga termasuk produksi, konsumsi, dan investasi di seluruh kegiatan ekonomi.
144
Meningkatkan Ketahanan Sektor Riil dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi | BAB V
145
persen, yoy
persen, yoy
indeks
8
30 25 20 15
7
140
6
130
5
120
4
110 100
3
10
90
2 5
80
1
0
2004
2005
2006
2007
2008
Konsumsi Rumah Tangga (Skala Kanan)
2009
optimis
70
0
60
IHK
pesimis I
II III 2006
IV
Ekspektasi Konsumen
I
II III 2007
IV
I
Kondisi Ekonomi Saat Ini
II III 2008
IV
I
II III 2009
IV
Indeks Keyakinan konsumen
Sumber: BPS
Grafik 5.1 Inflasi dan Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga
Ketahanan Konsumsi Rumah Tangga
5.1
Di tengah tekanan pengaruh negatif krisis ekonomi global, konsumsi rumah tangga muncul sebagai penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Masih relatif tingginya pertumbuhan konsumsi rumah tangga – yang memiliki pangsa terbesar yaitu sekitar 58% dari PDB- mampu menopang pertumbuhan ekonomi untuk tidak turun lebih dalam. Pada tahun 2009, konsumsi rumah tangga dapat tumbuh cukup tinggi yaitu sebesar 4,85%, hanya sedikit menurun dibandingkan dengan pertumbuhan tahun sebelumnya (5,34%). Pada paro pertama tahun 2009 ketika dampak krisis sangat terasa pada perekonomian Indonesia, konsumsi rumah tangga masih dapat tumbuh positif dengan pertumbuhan yang cukup tinggi. Bahkan pada triwulan I 2009 pertumbuhan konsumsi rumah tangga masih dapat tumbuh sebesar 5,95%. Tingginya pertumbuhan konsumsi pada paro pertama tahun 2009 ini terutama terkait dengan besarnya pengeluaran sehubungan dengan kegiatan Pemilu, baik yang dilakukan oleh partai politik maupun calon anggota legislatif dalam pelaksanaan kampanye legislatif dan pemilihan presiden. Pengeluaran konsumsi rumah tangga terkait kegiatan Pemilu ini oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat pada pengeluaran lembaga swasta nonprofit. Dari data BPS, selama triwulan I 2009, pengeluaran konsumsi lembaga nonprofit tersebut tercatat sebesar Rp26,58 triliun.
Grafik 5.2 Survei Konsumen Bank Indonesia
tangga akibat tingginya tingkat inflasi di tahun tersebut. Kenaikan inflasi yang cukup tinggi – sebesar 17,11% akibat kenaikan harga BBM pada Maret dan Oktober 2005 menyebabkan daya beli dan ekspektasi masyarakat terhadap kondisi perekonomian memburuk, sehingga konsumsi rumah tangga pada tahun tersebut turun cukup signifikan (Grafik 5.1). Pada tahun 2009, inflasi yang cukup rendah mampu menjaga daya beli masyarakat sekaligus membawa terpeliharanya ekspektasi masyarakat, terutama terpeliharanya tingkat kepercayaan dan ekpektasi konsumen. Hal tersebut pada gilirannya mampu mempengaruhi indeks kepercayaan dan ekspektasi konsumen pada tahun 2009 yang pesimis sampai dengan triwulan I 2009 secara berangsur berubah menjadi optimis di periode sesudahnya sampai dengan akhir tahun 2009 (Grafik 5.2). Kondisi tersebut mengakibatkan konsumsi rumah tangga pada tahun 2009 tidak banyak terpengaruh dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Grafik 5.1).
indeks
120 110 100 90 80 70
Di samping itu, relatif tingginya pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada tahun 2009 juga didukung oleh tingkat inflasi yang rendah. Hal tersebut berbeda bila dibandingkan dengan gejolak eksternal yang terjadi pada tahun 2005, dampak gejolak eksternal tersebut sangat berpengaruh menurunkan pertumbuhan konsumsi rumah
146
BAB V | Meningkatkan Ketahanan Sektor Riil dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi
60 50 40
I
II III 2006
IV
I
Keyakinan Konsumen
II III 2007
IV
I
Kondisi Saat Ini
II III 2008
IV
I
II III 2009
IV
Secara fundamental kuatnya konsumsi rumah tangga ditopang oleh masih tingginya daya beli masyarakat.Secara umum tingginya daya beli masyarakat bersumber dari beberapa faktor utama. Pertama, peningkatan penghasilan masyarakat secara umum. Pada tahun 2009 pendapatan per kapita masyarakat yang dihitung berdasarkan PDB per kapita atas harga berlaku menunjukkan peningkatan dari Rp21,7 juta per tahun pada tahun 2008 menjadi Rp24,3 juta per tahun atau meningkat sekitar 12%. Hal tersebut didukung oleh data penghasilan di sektor formal dan informal yang semakin meningkat. Di sektor formal, survei yang dilakukan oleh BTI Consultants mengindikasikan bahwa rata-rata kenaikan gaji pada tahun 2009 sebesar 8,39% dengan peningkatan gaji terbesar pada tiga sektor yaitu sektor asuransi (9%-13%), sektor minyak dan gas (8%-12%) dan fast moving consumer goods (3%-11%).100 Di sektor informal, kenaikan penghasilan tersebut tercermin dari meningkatnya upah buruh tani riil dari Rp.29.063 per hari pada tahun 2008 menjadi Rp.30.473 per hari pada tahun 2009. Kenaikan penghasilan di sektor formal dan informal tersebut sangat membantu daya beli masyarakat, terutama di tengah tingkat inflasi yang rendah. Kedua, adanya indikasi pemanfaatan tabungan oleh sektor swasta untuk mendukung tingkat konsumsi yang ada. Hal tersebut terkait dengan keputusan antar waktu (intertemporal) konsumen untuk menjaga kesinambungan daya beli yaitu dengan mengalihkan sebagian potensi konsumsi yang akan datang ke konsumsi saat ini. Keputusan antar waktu seperti itu pada gilirannya mampu mendukung konsumsi domestik tetap stabil dalam jangka waktu yang panjang. Tingginya potensi tabungan masyarakat tersebut terkait dengan tingginya
Ekspektasi Konsumen
Sumber: Danareksa
Grafik 5.3 Survei Konsumen – Danareksa
100 Majalah SWA, edisi Mei 2009
Meningkatkan Ketahanan Sektor Riil dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi | BAB V
147
pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam empat tahun terakhir yaitu sekitar 6%.
persen
persen
83
16,5 16
Selain itu, untuk melindungi daya beli masyarakat bawah Pemerintah terus menyalurkan dana bantuan langsung tunai (BLT). Terkait dengan paket stimulus, Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan berupa penurunan tarif pajak penghasilan orang pribadi, peningkatan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) maupun melalui pemberian berbagai subsidi seperti subsidi minyak goreng. Kemudian, pada triwulan II 2009, Pemerintah juga memberikan gaji ke-13 bagi pegawai negeri sipil. Berbagai program tersebut sangat membantu terutama bagi masyarakat kelompok menengah bawah. Di samping itu, kebijakan moneter melalui penurunan suku bunga juga turut membantu daya beli masyarakat.
78
15,5 15
73
14,5 14
68
13,5 13
63
12,5
Rasio Usia Awal Karier/Populasi, skala kiri
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
58
12
Rasio Usia Puncak karier/Populasi
Sumber: BPS (diolah)
Grafik 5.4 Rasio Usia Awal dan Puncak Karier dalam Populasi Indonesia
premis ini, adanya peningkatan ataupun penurunan pendapatan dari seorang individu yang dianggap bersifat temporer hanya akan memberi efek terbatas terhadap kegiatan konsumsi individu tersebut. Secara konseptual, teori LCH dan PIH berkebalikan dengan teori Keynes yang beranggapan bahwa konsumsi seorang individu pada suatu waktu akan sangat terkait dengan pendapatannya pada waktu tersebut.
Optimisme konsumen akan pendapatan yang akan datang juga mendorong aktivitas konsumsi. Hasil survei konsumen yang dilakukan oleh Bank Indonesia menunjukkan bahwa ekspektasi masyarakat akan pendapatan ke depan masih tetap tinggi meskipun menghadapi krisis ekonomi global (Grafik 5.2). Optimisme tersebut mendorong indeks keyakinan konsumen berada di level optimis pada triwulan II 2009. Optimisme konsumen pada kondisi yang akan datang juga terlihat pada survei Danareksa. Survei tersebut menunjukkan bahwa pada bulan Mei indeks ekspektasi konsumen sudah mulai optimis (Grafik 5.3). Tingkat konsumsi rumah tangga yang memperhitungkan tingkat ekspektasi pendapatannya di masa yang akan datang merupakan indikasi dari perilaku rumah tangga yang cenderung mengikuti teori Life Cycle Hypothesis (LCH) Permanent Income Hypothesis (PIH) yang mengatakan bahwa teori LCH dan PIH pada hakikatnya menyatakan bahwa keputusan seorang individu dalam melakukan konsumsi tidak hanya didasarkan pada pendapatannya saat ini, melainkan juga memperhitungkan ekspektasi pendapatannya di masa depan. Berdasarkan
pembiayaan konsumsi. Berdasarkan data Desember 2009, pertumbuhan kredit konsumsi mencapai 17,3% (yoy), jauh di atas pertumbuhan kredit investasi dan modal kerja. Sumber pembiayaan lainnya yang juga menunjukkan peningkatan yakni pertumbuhan pemberian pinjaman pegadaian. Pada posisi September 2009, pertumbuhan pinjaman yang diberikan pegadaian meningkat sekitar 47,5%. Peningkatan tersebut diduga sebagai tindakan rumah tangga yang cenderung memanfaatkan tabungan berbentuk barang seperti emas dan kendaraan untuk mempertahankan tingkat konsumsinya. Dalam jangka panjang, tingkat konsumsi masyarakat akan dipengaruhi oleh struktur demografi dalam masyarakat. Peningkatan rasio penduduk usia puncak karier terhadap penduduk usia awal karier meningkatkan penghasilan rumah tangga dengan kemampuan untuk melakukan konsumsi dan menabung yang lebih tinggi (Grafik 5.4). Di
samping itu, perubahan demografi berupa peningkatan urbanisasi juga mendorong konsumsi yang lebih tinggi. Data dari tahun 2000-2007, menunjukkan bahwa perpindahan penduduk dari desa ke kota tumbuh rata-rata sebesar 4,3% per tahun, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain seperti Brazil, China, dan India yang masing-masing rata-rata tumbuh sebesar 2,2%, 3,4%, dan 2,5% per tahun (Tabel 5.1). Pertumbuhan urbanisasi tersebut menjadi salah satu sumber pertumbuhan konsumsi mengingat rata-rata pengeluaran penduduk di perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pedesaan. Berdasarkan data BPS, rata-rata pengeluaran penduduk perkotaan pada tahun 2008 sebesar Rp.496.000 per bulan, lebih tinggi sekitar 75% dibandingkan dengan pengeluaran penduduk pedesaan.102 102 BNP Paribas, Indonesia Strategy, 2010: Road Map, 22 Desember 2010
Masih kuatnya neraca rumah tangga memudahkan akses pembiayaan untuk konsumsi. Berdasarkan penelitian BIS (2009)101, dibandingkan dengan negara lain, tingkat utang rumah tangga di Indonesia relatif kecil, yaitu masih berkisar 7%. Sementara itu, di Korea sebesar 82% dan di AS serta Inggris melebihi 100%. Rendahnya rasio tersebut, menyebabkan sektor rumah tangga masih memiliki kemudahan terhadap akses 101 Gounan Ma, Eli Remoluna, and Ilhyock Shim (2009), Bank for International Settlement paper 46, Household Debt : Implication for Monetary Policy and Financial Stability.
Tabel 5.1 Perkembangan Urbanisasi di Indonesia dan Beberapa Negara Berkembang Negara
Urbanisasi (juta)
% dari total populasi
Rata-rata pertumbuhan tahunan (%)
2000
2007
2000
2007
1990-2007
Indonesia
54,5
113,6
31
50
4,3
Brazil
111,8
163,1
75
85
2,2
China
311,0
556,3
27
42
3,4
India
216,6
329,1
26
29
2,5
Sumber: BNP Paribas, 2009
148
BAB V | Meningkatkan Ketahanan Sektor Riil dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi
Meningkatkan Ketahanan Sektor Riil dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi | BAB V
149
Tabel. 5.2. Peranan UMKM dalam Perekonomian Domestik Tahun 2008 PDB Harga Berlaku (Miliar Rp) No.
Peran UMKM sebagai Peredam Dampak Krisis Ekonomi Global
5.2
Ketahanan perekonomian domestik terhadap krisis ekonomi global tidak bisa dilepaskan dari peran penting UMKM. Hal tersebut utamanya disebabkan oleh peran kegiatan ekspor dan impor pada sektor ini relatif terbatas. Di samping itu, sumber bahan baku UMKM juga lebih banyak mengandalkan sumber domestik serta pangsa pasar utamanya adalah pasar domestik. Kegigihan para pengusaha UMKM dalam mempertahankan usahanya melalui efisiensi dan pasokan tenaga kerja yang berlimpah dan murah turut membantu meminimalkan dampak krisis tersebut ke sektor UMKM. Di samping itu, tenaga kerja UMKM yang pada umumnya berpendidikan rendah menyebabkan fleksibilitas perpindahan tenaga kerja antara sektor UMKM, terutama di sektor informal, karena sektor ini tidak memerlukan spesifikasi keahlian yang tinggi. Subbab ini menganalisis peran UMKM dalam struktur perekonomian Indonesia. g
Peran UMKM dalam Perekonomian
Peranan UMKM dalam perekonomian Indonesia cukup besar. Dilihat dari kontribusinya terhadap pembentukan PDB (atas harga berlaku) tahun 2008, UMKM menyumbang sekitar 55,56% dari total PDB. Secara sektoral, pada tahun 2008 peran UMKM di sektor pertanian, perdagangan, dan jasa-jasa cukup besar yaitu masing masing sebesar 95,26%, 96,34%, dan 95,66%. Kemudian diikuti oleh sektor keuangan dan jasa perusahaan; jasa-jasa; konstruksi; dan pengangkutan/ komunikasi. Sementara kontribusi UMKM terhadap sektor pertambangan, industri, dan listrik relatif kecil. Di samping itu, kontribusi UMKM juga terlihat dominan dari sisi
150
BAB V | Meningkatkan Ketahanan Sektor Riil dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi
Sektor
1
Pertanian
2
Pertambangan
3
Industri
4
Listrik, gas, dan air bersih
5
UMKM
PDB
Porsi UMKM (%)
Unit Usaha UMKM
Total
Tenaga Kerja Porsi UMKM (%)
UMKM
Total
Porsi UMKM (%)
679.452,9
713.291,4
95,26
26.400.869
26.401.111
100,00
42.460.064
42.689.635
99,46
69.155,8
543.363,8
12,73
261.341
261.421
99,97
641.463
720.310
89,05
435.324,5
1.380.731,5
31,53
3.238.111
3.239.420
99,96
10.463.416
12.302.150
85,05
3.092,0
40.846,7
7,57
11.622
11.747
98,94
102.536
156.769
65,41
Bangunan
156.071,2
419.321,6
37,22
174.359
174.604
99,86
766.095
797.111
96,11
6
Perdagangan, hotel, dan restoran
666.809,1
692.118,8
96,34
14.789.950
14.791.206
99,99
24.314.062
24.494.057
99,27
7
Pengangkutan dan Komunikasi
152.165,4
312.454,1
48,70
3.205.025
3.205.344
99,99
3.753.683
3.851.874
97,45
8
Keuangan, Persewaan, dan Jasa
230.890,5
368.129,7
62,72
997.511
998.110
99,94
2.657.545
2.813.609
94,45
9
Jasa-jasa
216.398,7
226.223,6
95,66
2.178.749
2.178.946
99,99
5.737.406
5.787.129
99,14
Total
2.609.360,1
4.696.481,2
55,56
51.257.537
51.261.909
99,99
90.896.270
93.612.644
97,10
Sumber: Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil & Menengah
banyaknya unit usaha yang terserap. Jumlah unit usaha dalam yang terserap dalam UMKM mencapai 99,99% dari total unit usaha, dengan sumbangan 3 sektor terbesar mencapai 85%. Tiga sektor terbesar tersebut - sektor pertanian, perdagangan, dan jasa-jasa - masing-masing menyumbang sebesar 26,40 juta, 14,79 juta, dan 2,18 juta unit usaha (Tabel 5.2)103. Selain itu, UMKM turut berperan besar dalam penyerapan tenaga kerja secara nasional. Jumlah tenaga kerja yang diserap UMKM mencapai 90,9 juta orang atau 97,10% dari total jumlah tenaga kerja nasional. Sebagian besar tenaga kerja tersebut terkonsentrasi pada UMKM kategori mikro yaitu sebesar 81,74% dari total tenaga kerja UMKM. Jika dilihat secara sektoral, tenaga kerja UMKM menyebar pada seluruh sektor dan sebagian besar memberikan 103 Berdasarkan UU No.20 tahun 2008 tentang UMKM, (1) kriteria usaha mikro yaitu memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300 juta, (2) kriteria usaha kecil yaitu memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50 juta sampai dengan paling banyak Rp500 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300 juta sampai dengan paling banyak Rp2,5 miliar, (3) kriteria usaha menengah yaitu memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500 juta sampai dengan paling banyak Rp10 miliar (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha), atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2,5 miliar sampai dengan paling banyak Rp50 miliar.
kontribusi signifikan pada penyerapan tenaga kerja di sektor tersebut. Dari sisi jumlah tenaga kerja, UMKM menyumbang tenaga kerja terbanyak pada sektor pertanian dan perdagangan yaitu masing-masing 42,46 juta dan 24,31 juta tenaga kerja atau sekitar 73% dari total tenaga kerja di sektor UMKM. Dari sisi perbankan, jumlah kredit yang disalurkan ke UMKM juga cukup tinggi. Selama tahun 2009, jumlah kredit yang disalurkan kepada UMKM mencapai 51,28% dari total kredit perbankan. Berdasarkan pangsa kredit UMKM tersebut terlihat bahwa perbankan memandang UMKM sebagai unit usaha yang layak dibiayai dan menguntungkan secara komersial. Pada periode data yang sama, kredit usaha kecil memiliki pangsa paling besar mencapai 37%, diikuti oleh kredit mikro sebesar 32% dan kredit menengah sebesar 31% dari total kredit yang disalurkan perbankan kepada UMKM. g
Keunggulan UMKM dalam Menghadapi Krisis Ekonomi
Secara umum, hasil survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengetahui krisis dan merasakan dampak krisis ekonomi
Meningkatkan Ketahanan Sektor Riil dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi | BAB V
151
Tabel. 5.3 Rata-Rata Sumbangan UMKM Terhadap PDB (1999-2008)
tidak 8,2%
tidak merasakan dampak krisis 25,2%
Mengetahui adanya krisis 91,8%
merasakan dampak krisis 74,8%
Grafik 5.5. Survei Adanya Krisis Ekonomi
global terhadap usahanya104. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa sekitar 92% responden mengetahui adanya krisis ekonomi global, sementara sisanya tidak (Grafik 5.5). Selain itu, adanya krisis ekonomi global tersebut juga berpengaruh terhadap kegiatan usaha UMKM sebagaimana tercermin dari jawaban 74,8% responden yang merasakan dampak krisis, sementara hanya 25,2% responden yang tidak merasakan dampak krisis pada usahanya (Grafik 5.6). Meskipun merasakan dampak krisis, daya tahan sektor UMKM masih relatif cukup baik sehingga dampaknya ke kinerja UMKM relatif terbatas. Sebagaimana yang terjadi pada gejolak ekonomi yang pernah dialami terdahulu – pada tahun 1997 dan tahun 2005 -, keberadaan sektor UMKM merupakan salah satu faktor utama penyelamat ekonomi Indonesia. Beberapa faktor utama yang menyebabkan tingginya daya tahan sektor ini antara lain, orientasi pemasaran produk-produk UMKM pada pasar domestik dan relatif kecil yang diekspor. Selain itu, pelaku UMKM mempunyai motivasi yang kuat untuk mempertahankan usahanya dan kegiatan produksi yang mengandalkan bahan-bahan baku lokal. Keunggulan lainnya yakni karakteristik tenaga kerja di sektor ini yang tersedia cukup besar dan murah serta berpendidikan rendah sehingga mempunyai mobilitas yang tinggi untuk berpindah ke sektor lain. Produk UMKM yang lebih banyak dipasarkan di domestik menjadi nilai lebih dalam menghadapi penurunan kinerja ekspor sebagai dampak krisis. Dalam kurun waktu 10
No
Grafik 5.6. Survei Dampak Adanya Krisis Ekonomi
tahun terakhir (1999-2008), porsi ekspor UMKM terhadap ekspor total relatif kecil yaitu rata-rata sebesar 15.40 % (Grafik 5.7). Oleh karena itu, ketika terjadi penurunan ekspor seperti tahun 2009, UMKM relatif lebih dapat bertahan mengingat produknya lebih banyak memenuhi kebutuhan domestik dan hanya sedikit yang berorientasi ekspor. Secara sektoral, terdapat dua sektor utama UMKM yang memberikan sumbangan besar terhadap PDB yaitu sektor pertanian dan sektor perdagangan. Rata-rata sumbangan masing-masing sektor selama kurun waktu 10 tahun terakhir (1999-2008) sebesar 94,76% dan 96,43% (Tabel 5.3). Pada tahun 2009, kedua sektor tersebut masing-masing tumbuh sebesar 4,1% dan 1,1%. Selain itu, sektor lain dengan porsi cukup besar – di atas 50% terhadap UMKM - seperti sektor kontruksi, pengangkutan dan komunikasi; keuangan dan jasa perusahaan; dan jasajasa, pada tahun 2009 tumbuh cukup tinggi yaitu masingmasing sebesar 7,1%, 15,5%, 5,0%, dan 6,4%. Hal ini membuktikan bahwa UMKM dapat bertahan menghadapi krisis.
persen 20 18 16 14 12 10 8 6 4
104 Quick Survey dilakukan oleh Bank Indonesia pada pertengahan tahun 2009 dengan target sampel sebesar 1000 responden di hampir seluruh wilayah Indonesia dengan proporsional berdasarkan kontribusi masing-masing PDRB-nya. Definisi UMKM menggunakan kriteria omset berdasarkan UU UMKM No.20 tahun 2008.
2 -
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Porsi Ekspor UMKM
Sumber: Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil & Menengah
2007
Rata-rata Sumbangan UMKM terhadap PDB 1999-2008 (%)
Sektor
1
Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
94,76
2
Pertambangan dan Penggalian
12,77
3
Industri Pengolahan
32,02
4
Listrik, Gas dan Air Bersih
8,98
5
Konstruksi
54,93
6
Perdagangan, Hotel dan Restoran
96,43
7
Pengangkutan dan Komunikasi
54,66
8
Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan
63,21
9
Jasa-Jasa
59,17
Sumber: Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil & Menengah
Faktor tenaga kerja pada UMKM menjadi kunci dari daya tahan UMKM. Pada umumnya tenaga kerja UMKM memiliki karakteristik berupa upah dan pendidikan yang rendah (unskilled labor). Berdasarkan hasil penelitan Bank Indonesia, tingkat upah yang rendah sejalan dengan keahlian tenaga kerja UMKM yang rendah sehingga tingkat produktivitas tenaga kerja UMKM relatif rendah. Kondisi ini menyebabkan tenaga kerja UMKM relatif murah dan dapat menjadi pertimbangan terakhir bagi pengusaha UMKM untuk mengurangi tenaga kerjanya. Biaya tenaga kerja yang murah tersebut mendorong pengusaha UMKM tidak melakukan PHK secara cepat namun lebih cenderung mempertahankan sambil menunggu momentum pemulihan permintaan terjadi. Sementara bagi tenaga kerja UMKM yang terkena PHK, karakteristik tenaga kerja yang murah dan berpendidikan rendah tersebut mendorong pergerakan tenaga kerja atau labor shifting di antara UMKM cukup besar. Sehingga begitu salah satu UMKM turun atau jatuh usahanya, maka tenaga kerjanya relatif lebih mudah untuk “swing” atau berpindah. Dalam model migrasi Todaro ditunjukkan bahwa perpindahan tenaga kerja dalam usaha informal, yang mayoritas adalah UMKM, relatif sangat mudah mengingat lapangan kerja dalam sektor informal cukup luas dan tidak memerlukan tenaga kerja dengan keahlian yang tinggi.105 Indikasi perpindahan tenaga kerja ke sektor informal tersebut dikonfirmasi oleh data ketenagakerjaan BPS yang menunjukkan bahwa tenaga kerja di sektor informal mengalami peningkatan dari 71,35 juta tenaga kerja pada
2008
105 Todaro, Michael P., and Smith, Stephen C.,”Economic Development”, Tenth Edition, Addison Wesley, 2009
Agustus 2008 menjadi 72,61 juta pada Februari 2009 dan posisi terakhir adalah 72,72 juta pada Agustus 2009. Perilaku sektor UMKM dalam mempertahankan usahanya juga turut membantu kinerja di sektor ini. Dari hasil quick survey yang dilakukan Bank Indonesia, dampak krisis ekonomi global terlihat dari penurunan rata-rata omset per bulan. Namun demikian, penurunan omset tersebut tidak direspons langsung sepenuhnya dengan penurunan produksi dan tenaga kerja. Salah satu faktor penyebab penurunan terbatas pada produksi dan tenaga kerja tersebut diduga terkait dengan pelaku usaha UMKM yang berupaya melakukan efisiensi terlebih dahulu sebelum melakukan PHK atau menurunkan kapasitas produksi (Grafik. 5.8). Hal tersebut tercermin dari hasil survei tersebut yang menunjukkan mayoritas responden menggunakan strategi efisiensi dalam rangka meredam dampak krisis, sementara mengurangi tenaga kerja dan mengurangi produksi bukan pilihan prioritas bagi mereka. Selain langkah-langkah yang diambil oleh pengusaha UMKM, Pemerintah juga melakukan berbagai upaya dalam membantu pengembangan UMKM. Melalui Departemen Koperasi, Pemerintah membuat beberapa kebijakan yang dapat membantu pergerakan UMKM, tidak hanya dalam rangka upaya meredam krisis, namun juga untuk membantu pengusaha UMKM agar terus tumbuh dan berkembang. Kebijakan Pemerintah seperti pemberdayaan UMKM melalui pemberian penyuluhan atau pelatihan tetap terus dilakukan oleh Departemen Koperasi. Upaya pengembangan pasar bagi produkproduk UMKM juga terus dilakukan oleh Pemerintah.
Grafik 5.7. Porsi Ekspor UMKM
152
BAB V | Meningkatkan Ketahanan Sektor Riil dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi
Meningkatkan Ketahanan Sektor Riil dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi | BAB V
153
Pameran produk-produk UMKM di berbagai daerah terus dilakukan oleh Pemerintah untuk memperkenalkan produk UMKM sekaligus membuka dan memperluas pemasaran. Selain itu, perhatian Pemerintah untuk membantu pengembangan UMKM tertuang dalam program 100 hari dan rencana 5 tahun ke depan yang mencakup antara lain : perluasan program diklat dan pendidikan bagi pelaku UKM, perluasan One Village One Product (OVOP), percepatan pembangunan atau revitalisasi pasar tradisional sebanyak 90 pasar, di samping itu Pemerintah juga merencanakan penambahan anggaran Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri). Salah satu upaya untuk meningkatkan akses UMKM kepada perbankan, Pemerintah mengeluarkan skema Kredit Usaha Rakyat (KUR), dengan skema ini UMKM dapat memperoleh pembiayaan dengan persyaratan yang ringan dan didukung oleh fasilitas penjaminan oleh pemerintah. Dalam skema tersebut UMKM dan Koperasi yang memiliki usaha yang layak namun belum bankable karena keterbatasan agunan memperoleh kesempatan untuk mendapatkan kredit dari bank, karena 70% dari nilai kredit dijamin oleh Lembaga Penjamin Kredit milik Pemerintah. Dalam pelaksanaan KUR tersebut Bank Indonesia bertindak sebagai mitra kerja bagi Pemerintah, dalam hal ini menerbitkan ketentuan untuk mendukung pelaksaaan penjaminan, monitoring pelaksaan program KUR, dan melakukan koordinasi dengan perbankan dan instansi terkait. Pada posisi akhir 2009, plafon KUR mencapai Rp17,18 triliun dengan baki debit sebesar Rp8,15 triliun dengan total debitur sebesar 8.153.345. Sementara risiko dari penyaluran kredit tersebut cukup rendah sebagaimana tercermin dari tingkat NPL sebesar 4,92%. Dilihat dari sektornya, penyaluran KUR paling
Secara umum, penyaluran kredit UMKM pada tahun 2009 oleh perbankan masih meningkat. Jumlah kredit modal kerja di seluruh sektor - kecuali sektor industri pengolahan - masih menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan posisi akhir tahun 2008. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh perkembangan kredit investasi. Secara umum hampir seluruh sektor menunjukan posisi kredit investasi yang meningkat (Tabel 5.4). Hal tersebut menunjukkan dua
responden
Melakukan Efisiensi Mencari Pasar Baru Mencari Segmen Pasar Baru Mengurangi Tenaga Kerja Mengurangi Cadangan Bahan Baku Menurunkan Produksi
hal, pertama dari sisi perbankan, kepercayaan perbankan pada UMKM masih tinggi yang diperkirakan karena tingkat kelancaran UMKM melunasi kredit, baik kredit kelompok modal kerja maupun kelompok investasi yang lebih baik. Kedua, dari sisi UMKM sendiri, prospek pertumbuhan output UMKM masih terus meningkat. Kondisi ini mendorong, UMKM meningkatkan jumlah pinjamannya untuk mengembangkan usahanya.
Mengganti Bidang Usaha 0
200
400
600
Grafik. 5.8 Respons Pengusaha UMKM (Hasil Quick Survey)
banyak ditujukan pada sektor perdagangan, hotel dan restoran (PHR) dan pertanian. Peran Bank Indonesia melalui pelaksanaan kebijakan moneter juga berpengaruh terhadap perkembangan UMKM. Kebijakan moneter melalui penurunan suku bunga BI Rate dan upaya mengendalikan kestabilan nilai tukar memberikan peluang bagi pengusaha UMKM untuk meningkatkan akses kredit serta membentuk optimisme pelaku usaha UMKM. Selain itu, upaya Bank Indonesia untuk meningkatkan akses UMKM terhadap kredit perbankan juga dilakukan baik melalui himbauan kepada perbankan untuk membantu pengembangan UMKM melalui pemberian kredit, maupun melalui bentuk pelatihan bagi pengusaha UMKM seperti pelatihan pembuatan proposal kredit. Pelatihan tersebut sangat penting untuk menjadikan usaha UMKM lebih mudah mendapatkan kredit perbankan (bankable).
Tabel.5.4 Perkembangan Kredit Modal Kerja dan Investasi UMKM jutaan rupiah
No
154
Sektor
1
Pertanian
2
Pertambangan
3
Industri pengolahan
4
Listrik,Gas dan Air
5
Konstruksi
6
Perdagangan
7
Pengangkutan
8
Jasa Dunia Usaha
9
Jasa Sosial Masyarakat
Kredit Modal Kerja
Kredit Investasi
2008
2009
2008
2009
13.548.786
15.860.458
5.875.700
6.731.565
3.023.641
3.624.215
702.703
636.684
39.099.768
37.334.323
6.959.461
6.748.235
384.833
416.919
175.089
288.218
14.223.747
15.990.977
2.893.445
3.300.093
138.331.809
163.558.675
18.818.021
24.421.565
4.691.147
4.785.247
3.949.499
4.520.721
28.633.538
30.195.279
12.218.683
13.932.720
5.034.939
5.666.125
2.551.786
3.080.270
BAB V | Meningkatkan Ketahanan Sektor Riil dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi
Meningkatkan Ketahanan Sektor Riil dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi | BAB V
155
Peran Industri Pengolahan sebagai Motor Pertumbuhan Ekonomi g
5.3
Potret Industri Pengolahan
Peran sektor industri pengolahan nonmigas sangat penting dalam perekonomian Indonesia.106 Dilihat dari kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi, sumbangan sektor ini masih yang paling besar dalam pembentukan PDB. Bila dilihat dari kontribusinya terhadap ekspor, peran sektor ini lebih besar dibandingkan dengan ekspor sektor pertanian dan sektor pertambangan. Jika dilihat kontribusinya terhadap tenaga kerja, sektor ini ratarata menyerap sekitar 12% dari total tenaga kerja. Sektor industri memiliki keterkaitan ke belakang dan ke depan (backward dan forward linkage) yang besar sehingga peningkatan kinerja industri pengolahan dapat berefek pada sektor industri lainnya.107 Di tengah perannya yang penting dalam perekonomian domestik, kinerja sektor industri pengolahan nonmigas terus mengalami tren penurunan dalam 5 tahun terakhir. Dilihat dari kontribusinya terhadap PDB, sejak tahun 2005 kinerja sektor industri tersebut terus mengalami penurunan meskipun relatif terbatas, yaitu dari 28,07% pada tahun 2005 menjadi sekitar 26% pada tahun 2009. 106 Definisi dan konsep yang digunakan mengacu pada definisi dari BPS mengenai industri pengolahan nonmigas yakni suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah suatu barang mekanis, kimia, atau dengan tangan sehingga menjadi barang jadi/setengah jadi, dan atau barang yang kurang nilainya menjadi yang lebih tinggi nilainya, dan sifatnya lebih dekat kepada pemakai akhir. 107 Forward linkage adalah suatu kegiatan ekonomi yang output-nya dapat dimanfaatkan sebagai input kegiatan ekonomi lainnya. Backward linkage adalah sebuah kegiatan ekonomi yang input-nya menyerap output dari kegiatan ekonomi lain.
156
BAB V | Meningkatkan Ketahanan Sektor Riil dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi
Tabel 5.5 Kinerja Industri Pengolahan Nonmigas Tahun 2009 Subsektor Industri Pengolahan
Pertumbuhan 2009 (yoy)
Pangsa Thp Industri nonmigas (%)
11,3
29,8
1
Makanan, minuman dan tembakau
2
Tekstil barang kulit dan alas kaki
0,5
9,8
3
Barang kayu dan hasil hutan lainnya
-1,5
3,8
4
Kertas dan barang cetakan
6,3
5,2
5
Kimia dan barang dari karet
1,5
13,3
6
Semen & barang galian bukan logam
-0,6
3,0
7
Logam dasar besi dan baja
-4,5
1,5
8
Alat angkutan, mesin & peralatannya
-2,9
32,9
9
Barang lainnya
3,1
0,7
Sumber: BPS
Dilihat dari pertumbuhannya, dalam 5 tahun terakhir industri pengolahan mencatat rata-rata 5% per tahun, jauh lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelum krisis tahun 1997 yang dapat tumbuh rata-rata 10% per tahun. Penurunan tersebut menyebabkan pertumbuhan sektor industri menjadi lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional, padahal sebelumnya pertumbuhan sektor ini selalu berada di atas pertumbuhan nasional.
pertumbuhan yang relatif rendah bahkan subsektor barang kayu mengalami kontraksi pada tahun 2009. Sementara itu, subsektor yang berorientasi domestik seperti industri makanan, minuman dan tembakau menunjukkan pertumbuhan yang tinggi pada tahun 2009 yaitu tumbuh sebesar 11,3%. Tingginya pertumbuhan di subsektor ini diduga akibat dari masih tingginya daya beli masyarakat dan juga meningkatnya permintaan terkait dengan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden (Tabel 5.5).
Untuk keseluruhan tahun 2009, sektor industri pengolahan nonmigas hanya tumbuh sebesar 2,5% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Menurunnya permintaan eksternal akibat krisis perekonomian global memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap sektor industri pengolahan terutama pada subsektor yang berorientasi ekspor. Subsektor yang memiliki pangsa tujuan ekspor yang cukup besar antara lain: barang kayu, tekstil, dan kimia menunjukkan
Dilihat subsektornya, secara umum terdapat beberapa industri yang mengalami kontraksi antara lain yaitu subsektor barang kayu dan hasil hutan, subsektor semen dan barang galian bukan logam, subsektor logam dasar besi dan baja, serta subsektor alat angkut, mesin, dan peralatannya. Sementara subsektor lainnya masih menunjukkan kinerja yang positif (Tabel 5.5). Jika dilihat dari strukturnya, subsektor alat angkutan, mesin dan peralatannya, subsektor makanan, minuman dan tembakau, serta subsektor kimia dan barang dari karet masih merupakan pangsa terbesar sektor industri pengolahan (Grafik 5.9). Sementara itu, subsektor makanan, minuman dan tembakau, subsektor kertas dan barang cetakan, merupakan penyumbang utama pertumbuhan sektor industri pengolahan (Grafik 5.10).
persen 100 80 60
g 40
Beberapa Karakteristik Industri Pengolahan
20 0
I
II
III
IV
I
2008 Makanan, minuman dan tembakau Barang kayu dan hasil hutan lainnya Kimia dan barang dari karet
II
III
IV
2009 Logam dasar besi dan baja Tekstil barang kulit dan alas kaki Kertas dan barang cetakan
Semen & barang galian bukan logam Alat angkutan, mesin & peralatannya
Sumber: BPS
Penurunan kinerja sektor industri pengolahan nonmigas terkait dengan beberapa karakteristik utama sektor industri. Pertama, penggunaan input impor dalam kegiatan sektor industri pengolahan cukup tinggi sehingga
Grafik 5.9 Distribusi Subsektor PDB Industri Pengolahan
Meningkatkan Ketahanan Sektor Riil dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi | BAB V
157
(kontribusi,yoy)
Advantage (RCA).108 Indikasi lemahnya daya saing industri Indonesia juga didasarkan pada hasil survei yang dilakukan oleh World Economic Forum dalam bukunya yang berjudul Global Competitiveness Report 2009-2010 menunjukkan bahwa posisi daya saing Indonesia masih berada pada urutan ke 54 dari 130 negara yang diteliti tidak berbeda dengan tahun sebelumnya. Posisi daya saing Indonesia masih jauh di bawah beberapa negara pesaing di kawasan ASEAN lainnya seperti Singapura (3), Malaysia (21), Thailand (36) (Tabel 5.7). Daya saing yang rendah tersebut terkait dengan karakteristik industri pengolahan yang cenderung terkonsentrasi pada beberapa perusahaan dan banyaknya penggunaan mesin yang sudah tua, yang umurnya di atas 10 tahun. Keempat, sebagian
(kontribusi,yoy)
1.4
2.4
1.2 1.0
1.9
0.8 0.6
1.4
0.4 0.2
0.9
0.0 (0.2)
0.4
(0.4) (0.6)
I
II
III 2008**
Makanan, minuman dan tembakau Kertas dan barang cetakan Logam dasar besi dan baja Industri Pengolahan (rhs)
IV
I
II
Tekstil barang kulit dan alas kaki Kimia dan barang dari karet Alat angkutan, mesin & peralatannya
III 2009***
IV
(0.1)
Barang kayu dan hasil hutan lainnya Semen & barang galian bukan logam Barang lainnya
Sumber: BPS
Grafik 5.10 Kontribusi Subsektor PDB Industri Pengolahan
108 RCA dapat dirumuskan sebagai berikut: RCA=(Xik/Xi/Wk/ Wt). Apabila nilai RCA suatu negara untuk komoditas tertentu lebih besar dari satu (1), maka negara bersangkutan memiliki keunggulan komparatif di atas rata-rata dunia untuk komoditas tersebut. Demikian sebaliknya apabila lebih kecil dari satu (1). Analisis menggunakan data yang bersumber dari UNCOMTRADE berdasarkan SITC 2 digit yang terdiri dari 69 kelompok barang. Keterangan: Xik = nilai ekspor komoditas k dari negara i Xi = nilai ekspor total dari negara i Wk = nilai ekspor komoditas k di dunia Wt = nilai ekspor total dunia
rentan terhadap gejolak nilai tukar. Kedua, orientasi ekspor sektor industri ke negara maju masih tinggi. Sekitar 44% ekspor sektor industri pengolahan masih ditujukan ke tiga negara utama yaitu Amerika Serikat, Eropa dan Jepang. Kondisi tersebut menyebabkan sektor industri sangat rentan terhadap gejolak eksternal yang terjadi pada negara utama tujuan ekspor tersebut. Ketiga, daya saing sebagian besar produk industri yang lemah, sebagaimana terindikasi dari rendahnya nilai Revealed Comparative
Tabel.5.6 Beberapa Karakteristik Utama Industri Pengolahan Nonmigas Karakteristik 1. Berdasarkan tabel IO 2005, ketergantungan terhadap bahan baku impor masih cukup tinggi. 2. Pangsa pasar ekspor ke negara maju masih cukup besar. (rata-rata 2005 - 2009)
Kondisi Terkini
Implikasi
- Terutama pd industri alat angkut, logam dasar besi dan baja, kimia, kertas, dan tekstil.
Relatif sensitif terhadap perubahan nilai tukar.
- Pangsa pasar ke negara maju (AS, Eropa, Jepang) sekitar 44,1%.
Kinerja ekspor industri sangat rentan terhadap perubahan ekonomi di negara maju .
- Pangsa pasar ke negara berkembang (Singapore, China, India) sekitar 22,8%. 3. Daya saing produk industri masih relatif rendah. Hanya produk TPT memiliki daya saing yang cukup tinggi. 4. Berdasarkan Survei Pemetaan Sektor Ekonomi (SPSE) BI, masih cukup banyak industri yang menggunakan mesin berusia tua.
- Nilai RCA komoditas TPT: 1,88, kimia : 0,47, mesin Peluang untuk meningkatkan dan peralatannya : 0,37, produk elektronik : 0,37 pertumbuhan ekspor akibat adanya (sumber : UNComtrade, diolah). pemulihan ekonomi global relatif terbatas. - Mesin yang perlu diganti (usia >15 thn) mencapai : 18%.
Peningkatan produksi yang lebih cepat relatif sulit dilakukan.
- Mesin yang lama (usia 13 thn) : 35%. 5. Berdasarkan Survei Produksi BI, rata-rata kapasitas utilisasi industri pada tahun 2009 mencapai 72,9%.
- Kapasitas utilisasi tertinggi pada subsektor semen dan barang galian bukan logam, kimia, serta kertas.
Peningkatan produksi yang lebih cepat relatif sulit dilakukan
6. Struktur pasar pada sektor industri hanya terkonsentrasi pada beberapa perusahaan saja.
- Dengan pendekatan concentration ratio 4 (CR4), pangsa pasar dari 4 perusahaan sudah menguasai lebih dari 75% dari total pangsa pasar.
Kurang kompetitif.
Sumber: Tabel Input Output 2005, BPS, SPSE BI 2006, Survei Produksi BI, UNComtrade (diolah)
158
BAB V | Meningkatkan Ketahanan Sektor Riil dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi
Tabel. 5.7 Peringkat Daya Saing Indonesia Global Competitiveness Index Negara
2006-2007
2007-2008
2008-2009
2009-2010
Indonesia
50
54
55
54
Malaysia
26
21
21
21
Vietnam
77
68
69
69
Thailand
35
28
34
36
China
54
34
30
29
Filipina
71
71
70
87
Singapura
5
7
5
3
Sumber: World Economic Forum, 2009
besar industri mempunyai kapasitas utilisasi yang tinggi sehingga dikhawatirkan kurang responsif apabila terdapat peningkatan permintaan. Berdasarkan hasil Survei Produksi Bank Indonesia, kapasitas utilisasi sektor industri masih relatif tinggi yaitu berada di atas 70%, bahkan beberapa subsektor kapasitas utilisasinya mencapai di atas 90% yaitu subsektor kimia, subsektor semen, serta subsektor logam dasar (Tabel 5.6). g
Kesiapan Sektor Industri dalam Menghadapi ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA)
Selain karakteristik industri yang telah disebutkan di atas, tantangan sektor industri bertambah akibat mulai diterapkannya kesepakatan ACFTA. Kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China ini diawali dengan adanya kerangka persetujuan Comprehensive Economic Cooperation pada tahun 2002 di Pnom Penh. Negaranegara anggota ASEAN dan China menyepakati untuk membentuk perdagangan bebas pada tahun 2010 antara China dan negara ASEAN-6 yaitu Indonesia, Brunei, Thailand, Malaysia, Singapura dan Filipina, serta negara ASEAN-4 lainnya (Kamboja, Vietnam, Laos dan Myanmar) pada tahun 2015. Dalam tahap implementasi perjanjian perdagangan bebas tersebut, penghapusan tarif bea masuk disepakati untuk dilakukan secara bertahap. Penurunan atau penghapusan tarif bea masuk ACFTA terbagi ke dalam empat skema yaitu Early Harvest Program (EHP), Normal Track (NT) Sensitive Track (ST) dan Highly Sensitive Track (HST). Dalam skema EHP, disepakati penghapusan tarif bea masuk secara bertahap mulai 1 Januari 2004
hingga menjadi 0% pada 1 Januari 2006. Dalam skema NT, penurunan tarif bea masuk dimulai sejak tanggal 20 Juli 2005 dan terbagi lagi ke dalam NT I dan NT II. Untuk skema NT-I, penurunan tarif bea masuk menjadi 0% pada 1 Januari 2010, sementara untuk NT-II penurunan tarif bea masuk menjadi 0% pada tahun 2012. Pada skema ST, tarif bea masuk menjadi 20% pada tahun 2012 dan menjadi 0-5% pada tahun 2018. Pada skema terakhir yaitu HST, tarif bea masuk menjadi maksimal 50% pada tahun 2015. Jumlah komoditas yang masuk ke dalam ACFTA mencapai 8.738 barang dimana sebagian besar masuk ke dalam skema NT1 yaitu sebanyak 6.682 komoditas (Tabel 5.8). Hingga tahun 2009, jumlah pos tarif komoditas yang sudah turun ke nol persen mencapai 5.709 barang atau mencapai 65,3% dari total seluruh komoditas. Sementara pada tahun 2010, jumlah komoditas dengan tarif bea masuk nol persen bertambah sebanyak 1.597 komoditas sehingga jumlahnya mencapai 7.306 atau sebesar 83,61% dari total pos tarif ACFTA. Penerapan ACFTA memberikan peluang bagi peningkatan ekspor Indonesia berbasis SDA. Pemetaan peluang ekspor berdasarkan indikator RCA serta berdasarkan kinerja pertumbuhan ekspor nonmigas dalam lima tahun terakhir.109 Kombinasi antara indikator RCA dan kinerja ekspor tersebut membagi komoditas ke dalam empat kuadran. Berdasarkan hasil pemetaan, sebagian besar komoditas yang berpotensi dapat memanfaatkan pasar China dan ASEAN adalah komoditas berbasis sumber daya alam. Beberapa komoditas industri berbasis SDA seperti CPO, karet, dan kertas menjadi penyumbang utama 109 Analisis berdasarkan SITC 2 digit yang terdiri dari 69 kelompok barang. Batasan pertumbuhan berdasarkan rata-rata ekspor nomigas Indonesia dalam periode tahun 2004-2008 sebesar 17,2%.
Meningkatkan Ketahanan Sektor Riil dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi | BAB V
159
Tabel 5.8 Pembagian Komoditas berdasarkan Skema Penurunan Harga dan Sektoral Sektor Industri No. Kategori
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
O
P
Q
Pos Tarif
1
EHP 1
343
2
EHP 2
2
182
20
35
3
NT – I
185
9
4
NT – II
1
6
Usulan penundaan
5
6
ST
HST
545
1
1
9
19
2
1
20
4
15
4
16
14
117
66
14
107
7
2
114
10
58
85
4
Keterangan Early Harvest Programme) : bea masuknya telah diturunkan/dihapuskan menjadi 0% sejak tanggal 01 Januari 2004 s/d 01 Januari 2006
48
6,682
Normal Track1 : bea masuknya mulai diturunkan/dihapuskan sejak tanggal 20 Juli 2005 dan akan menjadi 0% pada 01 Januari 2010
16
474
Normal Track2 : bea masuknya akan diturunkan/ dihapuskan menjadi 0% pada tahun 2012
6
228
186 123 114 411 299 749 405 764 1,245 838 302 166 723 49 114
3
Jml Per Kategori
152 119
13
73
15
41
6 7
22
2
GEL
48
128
206
23
22
7
642
Sensitive Track : penurunan/penghapusan tarif bea masuknya hingga 0% - 20% akan dilakukan pada tahun 2012 s/d 2017, dan 0% - 5% tahun 2018
251
Highly Sensitive Track : penurunan/penghapusan tarif bea masuknya hingga menjadi 0% - 50% dilakukan mulai pada tahun 2015
96
General Exeption List (GEL) yaitu daftar produk yang dikecualikan dari skema CEPT oleh suatu negara karena dianggap penting untuk alasan perlindungan keamanan nasional, moral masyarakat, kehidupandan kesehatan dari manusia, binatang atau tumbuhan, nilai barang-barang seni, bersejarah atau arkeologis.
Sumber: Departemen Perdagangan (diolah)
Keterangan: A = Pertanian B = Kelautan & Perikanan C = Energi & Sumber Daya Mineral D = Pengawasan Obat & Makanan E = Kehutanan F = Makanan & Minuman
G = Hasil Hutan & Perkebunan H = Kimia Hulu I = Kimia Hilir J = Logam K = Mesin L = Tekstil & Produk Tekstil
M = Aneka N = Alat Angkut O = Elektronika P = Maritim Q = Kerajinan
kuadran I, yaitu kuadran dengan RCA lebih besar dari satu dan pertumbuhan di atas rata-rata komoditas lainnya. Meskipun dari sisi jumlah komoditas pada kuadran I relatif sedikit dibandingkan dengan kuadran lainnya, namun dari sisi nilai ekspor mempunyai pangsa paling besar yaitu 47,4% (Grafik 5.11 dan 5.12). Oleh karena dukungan komoditas berbasis SDA dalam kuadran I tersebut relatif besar, perlu dicermati sejak dini untuk pengembangan pada kelompok komoditas kuadran potensial yaitu pada
160
kuadran II dan IV. Hal itu disebabkan komoditas pada kuadran tersebut berbasis industri sehingga diversifikasi ekspor menjadi lebih baik. Distribusi sebaran komoditas ekspor Indonesia pada kuadran II dan IV berpotensi untuk dapat dikembangkan lebih lanjut. Dari gambaran kinerja selama lima tahun, komoditas dalam kelompok II telah menunjukkan kinerja yang menggembirakan dengan mencatat pertumbuhan di
BAB V | Meningkatkan Ketahanan Sektor Riil dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi
50
Kuadran II
Pertumbuhan Ekspor (%)
Kuadran I
40 Kwadran IV, 25.1%
30
Kwadran I, 47.4%
20 -0.5
0.5 10
1.5
2.5
3.5
Kwadran III, 19.4%
4.5
Kwadran II, 8.1%
RCA 0 -10
Kuadran III
-20
Kuadran IV
Sumber: UN Comtrade (diolah)
Grafik 5.11 Sebaran Komoditas RCA VS Pertumbuhan Ekspor
Grafik 5.12 Pangsa terhadap Nilai Ekspor
atas rata-rata. Beberapa komoditas utama dalam kuadran II tersebut antara lain komoditas besi dan baja, kendaraan, permesinan, dan peralatan transportasi. Sementara itu, kelompok komoditas kuadran IV mempunyai keunggulan comparative namun masih tumbuh terbatas antara lain terdiri dari komoditas TPT, produk kayu, kertas dan bubur kertas, serta perabotan rumah. Penerapan ACFTA juga berpotensi menurunkan tekanan inflasi. Peningkatan produk China sejak bergabung dengan WTO di satu sisi memberi ancaman pada persaingan komoditas di pasar global yang semakin tinggi, di sisi lain, banjirnya produk China ke berbagai negara dengan harga relatif murah telah memberikan sumbangan bagi penurunan tekanan inflasi. Demikian juga dengan Indonesia, beberapa produk dalam skema EHP dan NT yang telah menurunkan tarif secara bertahap sejak tahun 2004 memberikan pilihan barang yang lebih banyak bagi masyarakat dengan harga yang lebih terjangkau. Hasil konfirmasi dari pelaku bisnis juga menyatakan dampak positif dengan adanya berbagai pilihan alternatif mesin industri dari China yang selama ini mengandalkan mesin dari negara maju dengan harga relatif mahal. Di samping peluang, penerapan ACFTA tersebut memberi ancaman bagi perkembangan industri domestik. Dari sisi barang ekspor secara umum, tantangan yang berat akan dihadapi industri yang tidak berbasis SDA. Dengan dukungan skala ekonomi dan sumber daya manusia yang besar, China relatif mempunyai keunggulan pada produk industri dibandingkan dengan negara lainnya. Komoditas industri domestik khususnya yang bersifat padat karya cenderung mempunyai tantangan yang lebih besar dalam bersaing dengan produk serupa dari China.
Potensi ancaman secara lebih khusus dihadapi oleh komoditas ekspor yang terdapat pada kuadran III. Dari hasil identifikasi, sebagian besar komoditas pada kuadran III terdiri dari industri peralatan listrik dan elektronik, bahan kimia organik, serta mesin perkantoran. Dilihat dari kinerja impor barang industri pengolahan China, nilai impor hampir seluruh subsektor dalam industri menunjukkan peningkatan dari tahun 2006 sampai dengan 2008. Sementara pada tahun 2009 sektor industri China menurun, terkait dengan krisis ekonomi global (Grafik 5.13 dan Grafik 5.14). Di antara sembilan subsektor dalam industri pengolahan, terdapat empat subsektor industri yang peningkatan impornya cukup besar yaitu subsektor alat angkut, mesin, dan peralatannya; logam dasar besi dan baja; kimia dan barang dari karet; dan tekstil. Pelaku usaha, dengan orientasi pasar domestik, pada subsektor ini diperkirakan akan paling terpukul dari penerapan ACFTA tersebut. g
Tantangan Pengembangan Industri Ke Depan
Pembangunan sektor industri pengolahan sebagai motor pertumbuhan ekonomi sangat penting untuk menjamin pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Pengalaman dari beberapa negara maju seperti Amerika, Inggris, Perancis, Jepang, dan Korea Selatan menunjukkan peran sektor industri yang besar dalam memajukan perekonomian negara-negara tersebut. Dalam struktur ekonomi Indonesia, sektor ini merupakan sektor terbesar di dalam PDB Indonesia. Sekitar 26% dari keseluruhan produksi barang dan jasa berasal dari sektor ini. Selain itu, pentingnya sektor ini juga terlihat dari perannya terhadap ekspor, penyerapan tenaga kerja dan juga
Meningkatkan Ketahanan Sektor Riil dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi | BAB V
161
juta dolar AS
juta dolar AS
400
8.000
350
7.000
300
6.000
250
5.000
200
4.000
150
3.000
100
2.000
50
2.000
0
2006
2007
Makanan, minuman dan tembakau Kertas dan barang cetakan Barang lainnya
2008
2009
Barang kayu dan hasil hutan lainnya Semen dan barang galian bukan logam
Grafik 5.13 Perkembangan Impor Makanan, Kertas, Semen dan Barang Kayu dari China
keterkaitannya yang cukup luas dengan sektor-sektor lainnya di dalam perekonomian. Untuk itu, perkembangan sektor ini menjadi sangat menentukan gerak dinamika perekonomian Indonesia ke depan. Salah satu tantangan utama yang saat ini dihadapi oleh industri pengolahan yakni perlunya peningkatan nilai tambah dari produk-produk berbasis SDA. Pada saat ini beberapa subsektor yang menjadi andalan sektor industri pengolahan lebih banyak berbasis SDA seperti subsektor makanan minuman (terkait dengan CPO), subsektor barang dari karet (terkait karet alam), dan subsektor kertas dan barang cetakan (terkait dengan hasil hutan). Dilihat dari daya saingnya, komoditas tersebut memiliki indikator RCA yang tinggi serta mempunyai kinerja yang cukup positif. Selama tahun 2009, ketiga sektor ini masih tumbuh positif, bahkan sektor makanan minuman masih tumbuh di atas 10% terkait dengan ekspor CPO yang cukup tinggi. Namun demikian, nilai tambah dari produk tersebut relatif rendah karena proses pengolahan produk tersebut masih cenderung minimal. Ke depan, salah satu tantangan dari sektor ini ialah bagaimana mengupayakan agar produk-produk turunan yang menggunakan bahan dasar SDA lebih dikembangkan sehingga memiliki nilai tambah yang lebih besar. Selain itu, pembangunan industri ke depan harus juga memerhatikan subsektor yang tidak berbasis SDA, terutama untuk menghadapi persaingan ACFTA. Kondisi saat ini, secara umum produk sektor industri yang tidak berbasis SDA mempunyai daya saing yang relatif rendah. Kondisi tersebut cukup mengkhawatirkan mengingat penerapan perdagangan bebas kawasan yang saat ini
162
0
2006
2007
Tekstil barang kulit dan alas kaki Logam dasar besi dan baja
2008
2009
Kimia dan barang dari karet Alat angkutan, mesian dan peralatannya
Grafik 5.14 Perkembangan Impor Tekstil, Logam, Kimia, Alat Angkut dari China
diterapkan menunjukkan bahwa barang-barang impor yang masuk ke Indonesia umumnya produk-produk nonSDA dengan harga yang lebih kompetitif. Ke depan, kebijakan pemerintah harus memberikan insentif dan kondisi yang kondusif agar pelaku industri berbasis nonSDA dapat lebih berdaya saing tinggi. Dengan demikian diharapkan industri domestik yang berbasis nonSDA dapat tumbuh semakin kuat. Kapasitas produksi sektor industri pengolahan perlu ditingkatkan, sebagai antisipasi pemulihan ekonomi global dan pemberlakukan ACFTA. Perbaikan terhadap kapasitas industri menjadi suatu hal yang krusial. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia, kapasitas utilisasi mesin di sektor industri pengolahan rata-rata di atas 70% dan relatif sudah berumur tua. Apabila hal tersebut tidak diperhatikan maka peluang produk industri Indonesia menjadi terbatas dalam memanfaatkan peningkatan permintaan dunia. Selain itu, pembangunan sektor industri ke depan juga perlu memerhatikan aspek daerah yaitu lebih mengandalkan basis ekonomi lokal. Pembangunan industri berbasis ekonomi lokal merupakan suatu langkah penting untuk membangun ekonomi lokal. Ekonomi lokal diharapkan dapat mengembangkan industri pendukung yang menyediakan bahan baku dan penolong bagi industri lainnya. Dengan demikian, industri pengolahan dapat mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan baku dan penolong. Dengan semakin tersebarnya industri di berbagai wilayah, diharapkan akan meningkatkan aspek pemerataan antar wilayah. Untuk itu, daerah harus diberi kesempatan, dorongan, dan insentif agar dapat
BAB V | Meningkatkan Ketahanan Sektor Riil dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi
mengembangkan inisiatif untuk membangun sektor riil berbasis potensi lokal dan mengaitkannya pada kebutuhan pasar nasional dan global. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah daerah perlu mengupayakan peningkatan produktivitas sektoral di daerahnya dengan beberapa kebijakan yang dapat mendukung pencapaian produktivitas yang tinggi. Salah satu upaya penting yaitu peningkatan kemampuan pendidikan terutama di daerah-daerah. Dengan modal sumber daya manusia dengan tingkat pendidikan yang lebih baik, maka tingkat produktivitas dapat ditingkatkan (Mankiw, Romer, dan Weil, 1992). Dengan basis industri yang kuat di masingmasing daerah, pada akhirnya akan teragregasi menjadi industri pengolahan yang kokoh. Pembangunan industri perlu memerhatikan keunggulan ekonomi daerah terkait dengan struktur ekonomi masingmasing daerah. Wilayah Jawa memiliki keunggulan sektor industri pengolahan yang dikuatkan oleh tingkat
penguasaan teknologi lebih tinggi dibandingkan dengan daerah di luar Jawa (Tjahjono dan Anugrah, 2006). Sementara itu, daerah luar Jawa seperti Sumatera memiliki keunggulan pada sektor pertanian dengan produk utamanya karet dan kelapa sawit. Sedangkan daerah di wilayah Kalimantan memiliki kelebihan di sektor pertambangan yang produk utamanya berupa batubara. Faktor disparitas tersebut menjadi nilai lebih dalam meredam dampak krisis keuangan global. Penelitian Anugrah dan Prasmuko (2009) membuktikan bahwa dampak krisis pada penurunan kinerja ekspor daerah berbeda besarannya, mengingat komoditas unggulan masing-masing daerah bervariasi. Oleh karena itu, keragaman daerah perlu dipertahankan dan dikembangkan sesuai dengan teori comparative advantage (Ricardo, 1817) yang menyebutkan bahwa suatu daerah memiliki comparative advantage bila daerah tersebut mampu memproduksi barang dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan daerah lainnya.
Meningkatkan Ketahanan Sektor Riil dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi | BAB V
163
Tabel. 5.9 Elastisitas Pembangunan Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi (10% Pertumbuhan Stok) Lokasi
Jalan
Listrik
Telekomunikasi
Air
Pelabuhan
Irigasi
Nasional
0,884
0,839
0,610
0,220
0,259
1,264
Sumatera
0,143
0,119
0,092
0,043
0,087
0,374
Jawa Bali
0,590
0,641
0,437
0,149
0,104
0,541
Kalimantan
0,044
0,032
0,027
0,011
0,041
0,070
Sulawesi
0,039
0,036
0,023
0,013
0,014
0,155
Sumber: Studi LPEM-UI (Dampak Pembangunan Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi), 2005
Peningkatan Ketersediaan Infrastruktur yang Memadai g
5.4
Peranan Infrastruktur Dalam Perekonomian
Ketersediaan infrastruktur merupakan salah satu faktor penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkesinambungan. Berdasarkan penelitian Stéphane Straub, dkk (2008), investasi infrastruktur telah berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi di beberapa negara.110 Ketersediaan infrastruktur mempunyai peran yang erat dalam perekonomian dalam beberapa hal. Pertama, infrastruktur yang memadai akan mendorong investor untuk menanamkan modalnya pada suatu sektor mengingat ketersediaan infrastuktur menjadi salah satu pertimbangan utama dalam keputusan berinvestasi. Kedua, kepastian ketersediaan infrastruktur –khususnya infrastruktur energi dan logistikakan menjamin kelangsungan produksi, sementara ketersediaan infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, bandara akan memastikan distribusi dan mobilitas barang dan jasa secara baik. Hal tersebut pada akhirnya akan mendukung upaya perekonomian untuk menjadi lebih berdaya saing tinggi. Pentingnya peranan infrastruktur tersebut ditunjukkan oleh studi yang dilakukan LPEM UI yang menunjukkan bahwa elastisitas pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi cukup tinggi (Tabel 5.9). Ketersediaan infrastruktur yang memadai mempunyai pengaruh penting bagi kinerja sektor industri pengolahan.
Hasil penelitian yang dilakukan Bank Indonesia dengan menggunakan data input output tahun 2005 menunjukkan bahwa ketersediaan infrastruktur seperti listrik mempunyai keterkaitan yang cukup penting terhadap berbagai sektor industri. Sektor listrik mempunyai keterkaitan ke depan terbesar terhadap berbagai sub sektor industri, terutama industri semen, tekstil, logam dan kertas. Hal tersebut menunjukkan peran penting listrik sebagai sumber energi dalam proses produksi. Sementara itu, subsektor mesin dan subsektor produk kimia memiliki keterkaitan ke belakang yang paling tinggi dengan sektor listrik (Tabel 5.10).
g
Permasalahan Infrastruktur di Indonesia
Kondisi infrastruktur di Indonesia saat ini masih mengalami banyak keterbatasan. Dari hasil survei terbaru yang dilakukan oleh World Economic Forum dalam bukunya yang berjudul Global Competitiveness Report 2009-2010, kualitas infrastruktur di Indonesia menempati peringkat 96 dari 133 negara yang diteliti. Peringkat kondisi infrastruktur Indonesia tersebut masih jauh di bawah beberapa negara di kawasan ASEAN lainnya seperti Singapura (2), Malaysia (27), Thailand (41) dan China (66) (Grafik 5.15).
Tabel 5.10 Keterkaitan Ke belakang dan Ke depan Sektor Listrik Terhadap Industri Pengolahan Sektor
Keterkaitan ke Belakang
Keterkaitan ke Depan
Industri Pengolahan 1
Industri Rokok
0,000
0,007
2
Industri Makanan dan Minuman
0,002
0,009
3
Industri Pemintalan, Tekstil, Kulit dan Pakaian
0,001
0,048
4
Industri Produk Kayu
0,001
0,022
5
Kertas dan Produk Kertas
0,006
0,033
6
Industri Barang dari Karet
0,002
0,020
7
Industri Produk Kimia
0,020
0,013
8
Industri Semen dan Galian Bukan Logam
0,001
0,062
9
Industri Logam Dasar, Besi dan Baja
0,003
0,040
10
Alat Pengangkutan
0,001
0,016
11
Industri Lainnya
0,000
0,045
12
Industri Mesin, Mesin Listrik
0,027
0,019
Sumber : Tabel Input Output 2005, diolah
*
* Dilakukan agregasi dari 66 sektor menjadi 24 sektor Tabel Input Output 2005 (Atas Dasar Harga Produsen Domestik).
110 Infrastructure and Economic Growth in East Asia Stéphane Straub Charles Vellutini Michael Warlters “The World Bank, April 2008.
164
BAB V | Meningkatkan Ketahanan Sektor Riil dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi
Meningkatkan Ketahanan Sektor Riil dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi | BAB V
165
Peringkat
16.000
0
4
14.000
Singapura, 2
20
merupakan bagian dari rencana pembangunan proyek pembangkit listrik 10.000 MW tahap pertama. Pada tahun 2010, terdapat beberapa proyek pembangkit listrik yang akan beroperasi dan ditargetkan setengah dari rencana pembangunan 10.000 MW tahap pertama akan terselesaikan.
Peringkat Kualitas Logistik
Konsumsi Listrik (MW)
Malaysia, 27
12.000
Thailand, 41
40
China, 66
60 80
Indonesia, 96
100
China 3,49
3,5
Thailand 3,29
10.000
3
8.000
Filippina, 98 Vietnam, 111
Malaysia 3,44
Filipina 3,14 Vietnam 2,96
6.000
Indonesia 2,76
2,5
4.000
g
2.000
2
120 0
2
4
6
6
8
8
10
12
14
16
18
20
22
24
2
4
6
0
1
2
3
4
5
6
Waktu Rumah Tangga
Sumber: World Economic Forum, 2009
Grafik. 5.15 Peringkat Kualitas Infrastruktur Negara Regional
Salah satu masalah infrastruktur yang saat ini masih dirasakan menghambat perkembangan sektor riil yakni masalah pasokan listrik yang terbatas. Daya mampu pasokan listrik diperkirakan sudah kurang memadai untuk memenuhi permintaan konsumsi listrik terutama pada saat beban puncak pada pukul 16.30 – 21.00 (Grafik 5.16). Dalam kondisi yang ideal, daya mampu (realisasi daya yang dapat dihasilkan pembangkit) harus 30% lebih besar dibandingkan dengan kondisi beban puncak. Dilihat dari perkembangannya, sejak tahun 2004 daya mampu listrik sudah terlihat kurang dapat memenuhi kebutuhan beban puncak listrik (Grafik 5.17). Dalam kondisi seperti ini, adanya gangguan pasokan dan kerusakan jaringan listrik akan berdampak pada pemadaman listrik secara bergiliran, sehingga menggangu kelangsungan proses produksi dan aktifitas ekonomi secara umum. Permasalahan lain dalam infrastruktur yaitu kinerja logistik yang masih relatif rendah. Berdasarkan survei yang dilakukan World Bank tahun 2009, indeks kinerja logistik Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan negara tetangga. Berdasarkan perhitungan indeks kinerja logistik yang merupakan komposit dari 6 komponen yaitu : (1) Efisiensi, yang mencakup kecepatan dan kemudahan proses perijinan, (2) Kualitas transportasi yang berkaitan dengan infrastruktur, (3) Kemudahan pengaturan harga pengiriman internasional , (4) Kualitas pelayanan logistik, (5) Kemampuan untuk melacak dan menelusuri pengiriman dan (6) Ketepatan waktu pengiriman internasional, peringkat Indonesia masih jauh di bawah negara regional lainnya (Grafik 5.18).
166
Industri
Total
Sumber: World Bank, 2009
Sumber: PLN
Grafik 5.18 Indeks Kinerja Logistik
Grafik.5.16 Kurva Beban Harian Daya Listrik Jawa-Madura – Bali
logistik Indonesia masih kurang baik. Peringkat kualitas jalan, rel kereta api, pelabuhan, dan transportasi udara di Indonesia masih jauh di bawah beberapa negara di kawasan regional lainnya (Tabel 5.11). Di samping itu, hasil studi yang dilakukan LPEM UI menunjukkan juga bahwa biaya logistik di Indonesia cukup tinggi. Secara keseluruhan biaya operasional kendaraan untuk truk angkutan barang di Indonesia sebesar Rp.3.093 per kilometer, atau sekitar 34 sen dolar AS per kilometer. Angka ini lebih tinggi daripada biaya rata-rata di negara kawasan Asia sebesar 22 sen dolar AS per kilometer.111 Biaya angkutan barang domestik yang sangat tinggi merupakan salah satu hambatan besar bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia, khususnya sektor industri pengolahan. 111 Biaya Distribusi Barang Angkutan, Regulasi, dan Pungutan Jalan di Indonesia, The Asia Foundation dan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM-FEUI), April 2008
Keterbatasan infrastruktur di Indonesia terkait dengan masih rendahnya realisasi proyek-proyek infrastruktur yang ditawarkan oleh Pemerintah. Upaya Pemerintah untuk mendorong pembangunan infrastruktur tercatat dilakukan melalui 3 kegiatan dalam kurun 5 tahun terakhir. Pertama, penawaran melalui Indonesia Infrastructure Summit (IIS) 2005, yang kemudian dilanjutkan pada Indonesia Infrastructure Conference and Exhibition (IICE) 2006, dan Public Private Partnership (PPP) Book 2008. Dari berbagai proyek yang ditawarkan dalam kegiatan tersebut, realisasinya cukup rendah yaitu hanya 4% dari total proyek yang ditawarkan sudah beroperasi. Sementara yang masih dalam tahap konstruksi, realisasinya baru mencapai 9% (posisi per Mei 2009). Secara keseluruhan, proyek yang sudah beroperasi merupakan proyek pada sektor transportasi, air minum dan jalan tol (Tabel 5.12). Sementara, untuk pembangunan listrik, pada tahun 2009 terdapat 3 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang telah beroperasi yaitu PLTU Labuan, PLTU Rembang dan PLTU Indramayu. Ketiga proyek tersebut
Dalam rangka penyediaan infrastruktur yang memadai, tantangan terbesar yaitu menghilangkan hambatan yang dihadapi dalam pembangunan proyek infrastruktur (debottlenecking). Perbaikan infrastruktur diharapkan dapat membantu peningkatan aktivitas di sektor riil sehingga lebih produktif dan berdaya saing tinggi dan pada gilirannya dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Untuk itu, tantangan ke depan yakni mengupayakan terciptanya iklim investasi yang kondusif untuk pembangunan infrastruktur. Terkait dengan itu, upaya-upaya seperti pembenahan/penyederhanaan prosedur perijinan, kepastian hukum, hubungan ketenagakerjaan menjadi hal yang perlu mendapat perhatian ke depan. Selain itu, tantangan utama lainnya bagi pengembangan infrastruktur ke depan yaitu perlunya dukungan pembiayaan yang memadai. Berdasarkan perhitungan Bappenas terhadap rencana pembangunan infrastruktur 5 tahun ke depan (tahun 2010-2014), dukungan pembiayaan yang dibutuhkan sekitar Rp1.429 triliun. Dari total biaya yang dibutuhkan tersebut, hanya 31 % atau Rp451 triliun yang berasal dari Pemerintah. Sementara sisanya yaitu 69% atau Rp978 triliun berasal dari swasta. Mengingat besarnya dukungan pembiayaan dari sektor swasta
MW 26.000
Tabel 5.11 Peringkat Infrastruktur dan Komponennya
24.000 22.000
No
20.000 18.000 16.000 14.000 12.000 10.000
2000
2001
2002
Kapasitas Terpasang
Selain itu, survei yang dilakukan oleh World Economic Forum tahun 2009 juga menunjukkan bahwa kualitas
Komersial
Tantangan Pembangunan Infrastruktur Ke depan
2003
2004
Daya Mampu
2005
2006
2007
Beban Puncak
Sumber: PLN, 2008
Grafik 5.17 Perkembangan Kapasitas Terpasang, Daya Mampu dan Beban Puncak
BAB V | Meningkatkan Ketahanan Sektor Riil dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi
Negara
Kualitas Infrastruktur
Kualitas Jalan
Kualitas Jalan KA
Kualitas Pelabuhan
Kualitas TransKualitas portasi Udara Pasokan Listrik
1
Singapura
2
1
9
1
1
12
2
Malaysia
27
24
19
19
27
39
3
Thailand
41
35
52
47
26
41
4
China
66
50
27
61
80
61
5
Indonesia
96
94
60
95
68
96
6
Filippina
98
104
92
112
100
87
7
Vietnam
111
102
58
99
84
103
Sumber: World Economic Forum, 2009
Meningkatkan Ketahanan Sektor Riil dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi | BAB V
167
Tabel 5.12 Perkembangan Realisasi Proyek Infrastruktur (Mei 2009)
Tahun
2005 (Indonesian Infrastructure Summit)
2006 (Indonesian Infrastructure Conference Exhibition)
Total Proyek yang sudah beroperasi s/d Mei 2009
2008 (Public Private Partnership Book)
Sektor
Proyek yang ditawarkan
Tahap Kontruksi
Sudah Operasi
Proyek yang ditawarkan
Tahap Kontruksi
Sudah Operasi
Proyek yang ditawarkan
Tahap Kontruksi
Sudah Operasi
Proyek yang ditawarkan
Tahap Kontruksi
Sudah Operasi
Listrik/Pembangkit Listrik
12
0
0
2
0
0
1
0
0
15
0
0
Pipa Gas
6
0
0
0
0
0
0
0
0
6
0
0
Transportasi
10
3
1
2
0
0
1
1
0
13
4
1
Kereta Api
0
0
0
0
0
0
2
0
0
2
0
0
Air Minum
24
1
2
3
0
0
1
0
0
28
1
2
Jalan Tol
38
5
1
2
0
0
3
0
0
43
5
1
Telekomunikasi
1
0
0
1
0
0
0
0
0
2
0
0
Total
91
9
4
10
0
0
8
1
0
109
10
4
10%
4%
0%
0%
13%
0%
9%
4%
Rasio thd Jumlah yang Ditawarkan
Sumber: Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian (diolah), Mei 2009
maka tantangan ketersediaan infrastruktur ke depan ialah bagaimana menarik investor swasta untuk mau berpartisipasi dalam pembangunan proyek infrastruktur. Keseriusan Pemerintah untuk menghilangkan hambatan dalam upaya membangun infrastruktur terlihat jelas dalam program 100 hari Pemerintah. Beberapa program yang terkait dengan infrastruktur yang termasuk dalam program 100 hari tersebut antara lain pembentukan perusahaan pembiayaan infrastruktur untuk mendukung pembiayaan infrastruktur, jaminan pasokan energi terutama listrik melalui upaya penerbitan Perpres tentang
168
proyek percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik 10.000 MW tahap kedua, upaya peningkatan arus barang dan daya saing melalui penerapan sistem informasi dan perizinan investasi secara elektronik di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Batam, pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur strategis. Sementara terkait dengan upaya untuk menyederhanakan perijinan, dalam program tersebut juga terdapat upaya percepatan pelayanan publik yang intinya melakukan koordinasi dengan instansi terkait terhadap penyederhanaan persyaratan memulai usaha dan percepatan waktu penyelesaian perijinan.
BAB V | Meningkatkan Ketahanan Sektor Riil dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi
Penutup
5.5
Meskipun krisis ekonomi global memberikan dampak yang cukup signifikan bagi perekonomian Indonesia, ekonomi Indonesia masih dapat tumbuh dengan cukup baik mengingat daya tahan sektor riil yang cukup tinggi. Penopang utama dari daya tahan sektor riil yang cukup tinggi tersebut ialah struktur ekonomi yang lebih berorientasi domestik, yaitu peran konsumsi rumah tangga yang masih dominan. Selain faktor struktur ekonomi, daya tahan perekonomian Indonesia juga di dukung oleh berbagai kebijakan fiskal dan moneter yang telah ditempuh dalam upaya memitigasi dampak krisis ekonomi global serta menciptakan kondisi makroekonomi yang kondusif, terutama upaya menjaga inflasi yang rendah. Hal tersebut menciptakan ekspektasi masyarakat yang tetap optimis akan prospek ekonomi yang akan datang. Ke depan, berbagai tantangan masih dihadapi perekonomian Indonesia untuk dapat tumbuh lebih tinggi dan berkualitas. Salah satu tantangan utama bagi perekonomian Indonesia ke depan yaitu bagaimana mengembangkan sektor industri yang berdaya saing tinggi. Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa pengembangan industri merupakan salah satu faktor utama bagi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas suatu negara. Di tengah kondisi ekonomi global dan maraknya kerjasama ekonomi regional, pengembangan sektor industri yang berdaya saing yang tinggi menjadi suatu keharusan. Tantangan untuk mengembangkan industri pengolahan harus diikuti dengan upaya untuk menyediakan infrastruktur yang memadai. Selain itu, tantangan lainnya ialah bagaimana pembangunan sektor
Meningkatkan Ketahanan Sektor Riil dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi | BAB V
169
industri tersebut dapat dilakukan dengan memerhatikan keunggulan ekonomi suatu daerah. Upaya mendorong sektor industri sebagai motor utama pendorong ekonomi Indonesia memerlukan beberapa hal utama. Pertama, kebijakan Pemerintah harus difokuskan untuk menghilangkan berbagai hambatan yang selama ini menggangu pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur penting (debottlenecking) seperti menyederhanakan perijinan, iklim investasi dan kepastian hukum. Hal tersebut sangat berpengaruh bagi pihak swasta yang ingin berpartisipasi dalam membiayai proyek infrastruktur. Hal ini penting mengingat harapan pembiayaan dari sektor swasta cukup besar. Dengan menghilangkan hambatan-hambatan tersebut diharapkan infrastruktur
170
dapat tersedia dengan memadai sehingga pada gilirannya akan mendorong tingginya investasi dan daya saing di sektor industri pengolahan. Kedua, perlunya kebijakan pengembangan industri yang berbasiskan di luar sumber daya alam disertai dengan upaya peningkatan kinerja industri SDA untuk menghasilkan produk-produk turunan yang bernilai tambah tinggi. Ketiga, pembangunan kebijakan industri ke depan juga memerhatikan unsur aspek regional yaitu pembangunan industri yang memerhatikan keunggulan ekonomi daerah. Untuk itu, Pemerintah Pusat dan Daerah harus dapat menyusun strategi pengembangan industri yang terintegrasi. Dengan industri daerah yang kuat maka industri nasional diharapkan menjadi kuat pula, mengingat industri nasional merupakan agregasi dari berbagai industri daerah.
BAB V | Meningkatkan Ketahanan Sektor Riil dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi
Boks 5.1: Peran Penting Sektor Informal di Tengah Krisis Ekonomi Global
Sektor informal memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia terutama dalam upaya memitigasi dampak negatif krisis ekonomi global yang terjadi. Dalam kondisi krisis dan terdapat banyak tenaga kerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), sektor informal dapat berperan sebagai penopang ekonomi domestik karena dapat menjadi penampung bagi tenaga kerja formal yang terkena PHK tersebut. Selain itu, sektor ini juga memberikan alternatif peluang kerja bagi pencari kerja baru yang tidak tertampung di sektor formal. Hal tersebut menyebabkan sektor informal tidak saja mampu bertahan di tengah krisis bahkan lebih dari itu sektor ini dapat berkembang pesat. Lebih lanjut, peran positif sektor informal di bidang tenaga kerja tersebut juga menjadi salah satu faktor penting penopang konsumsi masyarakat sehingga konsumsi masyarakat di tahun 2009 masih relatif cukup tinggi. Karakteristik sektor informal seringkali dikaitkan dengan beberapa ciri utama antara lain sektor ini mudah untuk dimasuki, modal yang diperlukan relatif kecil, lebih mengandalkan sumber daya lokal, jumlah unit usaha umumnya banyak namun operasinya dalam skala kecil, teknologi yang digunakan umumnya sederhana dan bersifat adaptif serta padat karya, tingkat pendidikan dan keterampilan yang diperlukan umumnya rendah, produktivitas tenaga kerja biasanya rendah, dan tingkat upah relatif lebih rendah dibandingkan dengan sektor formal. Beberapa bidang usaha dalam sektor informal antara lain pedagang kaki lima, seperti warung nasi, penjual rokok, penjual koran dan majalah, serta penjual makanan kecil dan minuman. Peran sektor informal terhadap perekonomian utamanya melalui kemampuannya menyerap tenaga kerja (terutama masyarakat kelas bawah) yang cukup signifikan. Hal tersebut seringkali membantu mengurangi permasalahan pengangguran di kota dan meningkatkan penghasilan kaum miskin di kota. Selain itu, sektor informal juga turut memberikan kontribusi bagi pendapatan pemerintahan kota. Dalam perkembangannya, sektor informal juga berperan mendukung sektor formal terutama yang berskala besar melalui penyediaan input yang murah dan penyediaan barang-barang bagi pekerja di sektor formal.
Terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan tetap tingginya peran sektor informal dalam perekonomian Indonesia. Pertama, pertumbuhan tenaga kerja baru yang lebih tinggi dari ketersediaan lapangan kerja formal sehingga kelebihan tenaga kerja tersebut harus ditampung oleh sektor informal. Kedua, pertumbuhan urbanisasi dari desa ke kota yang cukup tinggi dan melebihi tingkat industrialisasi di kota. Arus migrasi desa-kota yang cukup besar tidak semuanya terserap di sektor industri modern di kota, karena keterbatasan sektor industri modern dan tidak semua migran memiliki kemampuan untuk masuk ke sektor industri modern tersebut. Hal ini mengakibatkan para migran yang tidak dapat masuk ke sektor industri modern lebih memilih sektor informal yang relatif mudah untuk dimasuki agar tetap dapat bertahan hidup. Ketiga, bekerja di sektor informal relatif lebih mudah dibandingkan dengan sektor formal. Syarat bekerja di sektor informal tidak memerlukan tingkat keahlian atau spesifikasi pendidikan yang tinggi, sehingga sektor informal mudah dimasuki oleh banyak orang. Selain itu, pendirian usaha di sektor informal juga relatif mudah karena tidak memerlukan banyak persyaratan administrasi dan modal yang diperlukan relatif kecil. Peran penting perkembangan sektor informal dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2004-2009) tercermin dari besarnya porsi tenaga kerja informal terhadap total tenaga kerja serta perkembangan jumlah tenaga kerja informal yang terus menunjukkan peningkatan. Porsi jumlah tenaga kerja informal dalam kurun waktu lima tahun terakhir terlihat lebih dominan dibandingkan dengan tenaga kerja formal. Porsi tenaga kerja informal tersebut mencapai sekitar 70% dari total tenaga kerja. Selain itu, jumlah tenaga kerja di sektor informal juga terus menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2004, posisi tenaga kerja informal baru mencapai 65,30 juta orang namun pada bulan Agustus 2009 sudah mencapai 72,72 juta orang (Tabel 1). Khusus pada tahun 2009, sebagai dampak krisis ekonomi global 2008, jumlah tenaga informal menunjukkan peningkatan. Jumlah tenaga kerja informal di bulan Februari dan Agustus 2009 – pada saat pengaruh krisis ekonomi global terjadi – masih lebih tinggi dibandingkan dengan posisi tenaga kerja informal pada bulan Februari
Meningkatkan Ketahanan Sektor Riil dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi | BAB V
171
2008 ketika perekonomian dalam pertumbuhan yang cukup baik (Tabel 1). Dari sisi penawaran tenaga kerja, peningkatan tenaga kerja tersebut diperkirakan bersumber dari perpindahan tenaga kerja dari sektor formal ke informal akibat terkena dampak krisis ekonomi global yang menyebabkan sejumlah perusahaan mengurangi jumlah tenaga kerjanya (PHK) dan tenaga kerja baru tidak tertampung di sektor formal. Dari sisi permintaan tenaga kerja, peningkatan pekerja sektor informal terkait adanya peningkatan permintaan terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor informal, terutama terhadap barang dan jasa yang harganya lebih murah dibandingkan dengan sektor formal. Salah satu upaya yang dilakukan oleh rumah tangga maupun perusahaan di tengah krisis ekonomi global ialah melakukan efisiensi termasuk melakukan substitusi pembelian barang konsumsi dan barang input yang dihasilkan sektor informal karena harganya yang relatif lebih murah.
formal pada umumnya lebih tinggi dan dilindungi oleh jaminan sosial seperti asuransi kesehatan. Bagi Pemerintah, peningkatan peran sektor formal tersebut juga bermanfaat bagi peningkatan penerimaan pajak. Terkait dengan hal tersebut, upaya peningkatan kapasitas produksi di sektor formal seperti di sektor industri pengolahan menjadi suatu keharusan. Untuk itu, Pemerintah perlu menghilangkan berbagai hambatan (debottlenecking) yang dapat mengganggu upaya peningkatan kapasitas produksi di sektor formal dan bahkan memberikan insentif agar kapasitas produksi tersebut dapat meningkat pesat. Peningkatan kapasitas produksi di sektor formal ini nantinya diharapkan dapat menjadikan sarana bagi berpindahnya tenaga kerja sektor informal ke sektor formal. Selain itu, bagi pelaku usaha yang tetap di sektor informal, Pemerintah harus tetap memerhatikan perkembangannya melalui berbagai upaya yang mendorong perkembangan sektor informal. Terkait dengan itu, Pemerintah perlu memberikan insentif atau bantuan pada pekerja sektor informal, terutama mengenai akses ke permodalan, pemasaran, bimbingan manajerial, dan peningkatan keterampilan, sehingga pekerjaan di sektor informal bisa menjanjikan bagi golongan masyarakat yang tidak terserap di sektor formal. Selain itu, khusus ketika terjadi krisis ekonomi, Pemerintah perlu mengeluarkan skim bantuan kepada sektor informal agar dapat lebih kuat dalam menghadapi krisis.
Meskipun peran sektor informal terbukti menjadi penyelamat di tengah krisis ekonomi global namun tantangan ke depan memerlukan upaya yang lebih serius agar sebagian tenaga kerja informal tersebut dapat kembali atau pindah ke sektor formal. Upaya tersebut diharapkan dapat menciptakan kondisi ekonomi Indonesia yang lebih ideal, yaitu jumlah tenaga kerja di sektor formal menjadi lebih besar dibandingkan dengan sektor informal. Meningkatkan peran sektor formal dalam perekonomian akan memberikan banyak manfaat karena upah tenaga kerja di sektor
Tabel 1 Perkembangan Tenaga Kerja Informal Tahun 2004-2009 juta orang
2004
2005
2006
2007
2009
No
Status Pekerjaan Utama
Ket.
Feb
Nov
Feb
Agu
Feb
Agu
Feb
Agu
Feb
Agu
1
Berusaha Sendiri
Informal
18,31
17,48
17,30
18,30
19,50
18,67
20,32
20,08
20,92
20,81
21,05
2
Berusaha dibantu Informal buruh tidak tetap
21,51
21,24
20,99
20,63
19,95
20,85
21,02
21,60
21,77
21,64
21,93
3
Pekerja Bebas di Pertanian
Informal
4,45
4,95
5,53
5,89
5,54
6,28
5,92
6,13
5,99
6,35
5,88
4
Pekerja Bebas di Non Pertanian
Informal
3,73
4,09
4,33
4,24
4,62
4,27
4,46
4,80
5,29
5,15
5,67
5
Pekerja Keluarga/ Informal Tak dibayar
17,29
18,54
16,94
17,33
16,17
17,80
17,28
17,94
17,38
18,66
18,19
Jumlah Informal
65,30
66,30
65,08
66,39
65,78
67,87
69,00
70,56
71,35
72,61
72,72
Total
93,72
94,95
93,96
95,18
95,46
97,58
99,93
102,05
102,55
104,49
104,86
Sumber: BPS
172
2008
BAB V | Meningkatkan Ketahanan Sektor Riil dalam Mendukung Pemulihan Ekonomi