TRADISI PERNIKAHAN KAUM ALAWIYYIN: STUDI KOMPARATIF ANTARA HADHRAMAUT DAN INDONESIA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Oleh: NABILAH NIM: 1111022000029 KONSENTRASI TIMUR TENGAH PROGRAM STUDI SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UINVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437H / 2015
ABSTRAK Ada dua macam cara bagi sayyid untuk mencari jodoh. Pertama pilihan orang tua. Kedua pilihan sendiri dengan persetujuan orang tua. Tentu saja jodoh yang diutamakan adalah seorang syarifah. Perjodohan hingga kini masih terjadi di dalam komunitas ‘Alawiyyin, penjelasan tentang pentingnya menjaga nasab telah ditanamkan sejak kecil kepada anak-anaknya agar nanti sudah tumbuh dewasa kecintaan terhadap sesama ‘Alawiyyin tetap ada walaupun lingkungan sekitar kian modern. Di Hadhramaut dan Indonesia, strata Sayyid dan Syarifah merupakan prioritas utama bagi ‘Alawiyyin dalam memilih jodoh atau menikahkan putraputrinya dengan tujuan agar keturunan mereka tidak terputus (nasabnya). Faktor nasab berperan lebih dalam kehidupan perkawinan di masyarakat Arab. Walaupun kominutas ‘Alawiyyin yang ada di Indonesia telah menetap lama dan berasimilasi dengan penduduk setempat, identitas adat dan budaya yang mereka terima dari leluhur terutama dalam urusan pernikahan sebagian besar dari mereka masih berpegang teguh dengan adat dan budaya tersebut yaitu syarat mutlak dan wajib dipatuhi oleh setiap anak-anak mereka untuk menikah dengan sesama ‘Alawiyyin. Hal ini yang menyebabkan kurang mendapat simpati dari masyarakat dan kadang-kadang persaudaraan Islam terputus karena hal tersebut. Dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia, dahulu golongan sayyid pada umumnya menikah dengan wanita pribumi, disebabkan para sayyid yang datang dari Hadhramaut tidak membawa istri-istri mereka. Wanita pribumi merasa bangga apabila menikah dengan para sayyid, karena dalam bidang keagamaan dan materi mereka jauh lebih maju, dan juga wanita yang menikah dengan sayyid naik derajatnya, sebab para sayyid dihormati oleh masyarakat pribumi. Hingga kini banyak pendapat tentang hukum pernikahan antara sesama golongan ‘Alawiyyin. Ada pendapat yang mengatakan hal tersebut tidak sesuai dengan hukum agama Islam, merupakan adat dan budaya turun temurun tanpa tahu dalil hukumnya apa.
Keyword: Tradisi Pernikahan, Alawiyyin, Hadhramaut dan Indonesia
i
KATA PENGANTAR Alhamdulillah puji dan syukur kehadirat Allah SWT. Rabb Semesta Alam, yang karena taufiq dan inayahnya akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini meski harus melewati berbagai macam hambatan dan rintangan hingga berjuang pada penyeleaian masa studi yang cukup lama. Sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad saw. yang telah menerangi manusia dari masa kegelapan hingga terang benderang, dengan kecintaan yang tidak pernah berakhir kepada umatnya hingga akhir hayat. Semoga rasa cinta kita pun tidak akan pernah surut kepada Nabi Muhammad SAW. sampai kelak jasmani dan rohani memisahkan. Aamiin
ii
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis sadar betul bahwa skripsi yang berjudul “Tradisi Pernikahan Kaum Alawiyyin: Studi Komparatif antara Hadhramaut dan Indonesia”, ini tidak akan terlaksana dengan baik tanpa bantuan dari berbagai pihak, baik berupa moril maupun materil. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak yang telah membantu dalam menyusun skripsi tersebut. Dikarenakan skripsi ini pun merupaka bukti untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1), Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Untuk itu penulis persembahkan ucapan terimakasih tersebut kepada: Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A, selaku Dekan Fakultas Adab dab Humaniora. H. Nurhasan, M.A, selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan sekaligus Dosen Penasehat Akademik, yang selalu memberikan arahan dan motivasi dalam belajar. Sholikatus Sa’diyah, M.Pd, selaku Sekretaris Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, yang selalu memberikan pelayanan kepada mahasiswanya dengan baik. Dr. Halid, M.Ag, selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan arahan serta masukan-masukan yang baik kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi dengan baik. Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan bimbingan dan pelajaran selama beberapa tahun ini, untuk motivasi dan arahanarahannya terhadap penulis. Kepada keluarga besar terutama kedua orang tua saya umi Latifah Manggus dan abi saya Daud Abdul Qodir, terimakasih selama ini telah
iii
membimbing dan menyemangati putri kalian dengan semangat, arahan, doa yang selalu tercurahkan untuk anak tercintanya hingga sampai saat ini. Semoga umi dan abi selalu diberi kesehatan dan keberkahan. Aamiin Untuk SKI 2011 wabilkhusus grup SEKOTENG (Sejarah Konsentrasi Timur Tengah) Wira Kurnia, Silvia Ulhaq, Nur Mayasari, Indi Nisauf, Ulfa Azzahra, Yeni Marpurwaningsih, Ismawati, Wilda Eksanti, Sufyan, Mulki, Husen, Alan, Zikrul. Terimakasih selama ini atas canda tawanya, waktunya, kesusahannya, kegembiraannya, kebersamaannya, kekompakannya hingga bisa menjelajahi museum mengelilingi Jakarta. Buat sahabat-sahabatku tercinta Rasyifa Fauziah, Fariha, Fakhrani Ahliyah, Dini Rachmawati, Saskia Fitridini, dan Afifah. Terimakasih untuk semangat dan doa yang tak henti sampai saat ini, walaupun jarak memisahkan kita datas dasar menuntut ilmu itu tidak masalah yang terpenting doa selalu tercurahkan. Dan untuk sahabat-sahabatku tersayang Khoirunnisa, Wira Kurnia, Arifah Mahfudzoh, Nur Mayasari, S.Hum, Indi Nisauf Fikri Shakila, Hammatun Ahlazzikriyah, Siti Nur Azizah, Eva Khofifah, Silvia Ulhaq, Ulfa Azzahra, Ismawati, Yeni Marpurwaningsih,. Terimakasih untuk keluh kesahnya selama ini, kepeduliannya yang begitu besar, terimakasih kost-kostan kalian dijadikan tempatku untuk bersinggah, semangat dan doa yang tak pernah putus. Sukses untuk kalian semua ! Untuk Javar Shodiq Alaydrus yang jauh disana sedang menuntut ilmu di negeri Eropa, syukron yaa Habib buat pinjaman bukunya, buat waktu dan selalu
iv
mengingatkan untuk terus tetap semangat, kerjakan skrispi, dan doa yang selalu tercurahkan. Terimakasih juga buat Muhammad Chairul Anwar, Makhfiyyah Muthi’ah Yahya, Farwa Alaydrus, Sheyla Abdullah Al-Haddar yang cukup membantu sekali bilamana penulis sedang kesulitan serta doa yang tercurahkan. Dan tidak lupa juga penulis berterimakasih kepada Rizkiyah Abudan, Widad Attamimi, Marwah Abdul Aziz, Fatin Adilah, Zainah Balweel, Samia Abdul Aziz, Feny Anwar, Jihan Fairuz Alattas, Muhammad Fadhil Alattas, Faris Manggus, Syarifah Nisa Bahasyim, Mutmainnah, Malikah Nadia yang selama ini selalu memberikan hiburan, canda, senda gurau dan doa yang dipanjatkan terhadap penulis. Segenap keluarga organisasi PMII terimakasih atas pengalaman, kesempatan, kerjasamanya, kekompakannya, kepeduliannya terhadap penulis selama ini. Dan untuk UKM Paduan Suara Mahasiswa (PSM) UIN Syarif Hidayatullah dan Federasi Olahraga Mahasiswa (Forsa) divisi Basket, terimakasih atas waktu, tempat, pengalaman, kekompakan, kepedulian, kesusahan, kebahagiaan, kemandirian, kedisiplinan, arti sebuah kebersamaan, arti sebuah keluarga, serta doa yang selalu tercurahkan. Untuk KKN Bangsa 2014 Abu Rizal Hasan, Wira Kurnia, M. Irsyad Fadhilah, Helmi Suhaemi, Novita Rizkiah, Mahara, Hizqil, Andre, Nur Tri, Ai Inayah, Albi, Ardi, Rizka teteh, Faris Jamal, Anis. Terimakasih untuk waktu yang begitu singkat tapi kita tetap kompak, peduli terhadap yang lain, kerjasama dan kebersamaan yang begitu mendalam. Sukses untuk kalian semua !
v
Terimakasih untuk karyawan/karyawati Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan Adab dan Humaniora serta Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih kepada pegawai Rabithah Alawiyah yang telah membantu penulis mengumpulkan data dalam penulisan skripsi ini. Semoga semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini mendapatkan balasan dari Allah SWT. dan penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan, olh karena itu pnulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi lebih baiknya skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin
Jakarta, 20 Oktober 2015
Nabilah
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK …………………………………………………………
i
KATA PENGANTAR ……………………………………….........
ii
UCAPAN TERIMA KASIH ………………………………………
iii
DAFTAR ISI ……………………………………………………….
vii
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah …………………………………
1
B. Permasalahan ………………………………….…………
9
1. Identifikasi Masalah …………………………………
9
2. Pembatasan Masalah …………………………………
9
3. Rumusan Masalah …………………………………….
10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………….………..
10
D. Tinjauan Pustaka ……………………………….…………
11
E. Metode Penelitian ……………………………..………….
13
F. Teori dan Konsep …………………………………………
15
G. Sistematika Penulisan …………………………………….
19
BAB II. MENGENAL HADHRAMAUT A. Kondisi Geografis ………………………………………
21
B. Aspek Demografi ……………………………………….
28
C. Penggolongan Orang-Orang Hadhramaut ………………
37
vii
BAB
III.
KONTAK
INTELEKTUAL
DAN
BUDAYA
KAUM
ALAWIYYIN HADHRAMAUT DAN INDONESIA A. Silsilah Keturunan Kaum Alawiyyin ……………………
41
-
Tokoh-Tokoh di Hadhramaut ……………………….. 42
-
Sebab
Penamaan
Gelar
Penamaan
Alawiyyin
………………………………………………………… 50 B. Sekilas
BAB
Masuk
dan
Berkembangnya
Kaum
Alawiyyin
Hadhramaut di Indonesia ………………………..………
52
C. Pola-Pola Kontak Intelektual dan Budaya ………………
62
IV.
TRADISI
PERNIKAHAN
KAUM
ALAWIYYIN
DI
HADHRAMAUT DAN INDONESIA A. Asal-Usul Tradisi Pernikahan …………………………… 71 B. Prosesi dan Pernak-Pernik Pernikahan ………………….. 82 C. Tradisi dan Simbol Pernikahan ………..………………… 103 D. Dinamika dan Perbandingan: Hadhramaut dan Indonesia ……………………………………………………………
105
BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ……………………………………………….. 109 B. Saran-Saran …………………………………………….…. 111 DAFTAR PUSTAKA ..……………………………………………… LAMPIRAN ………………………………………………………….
viii
112
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Hadhramaut adalah sebuah negeri purba. Ia menyimpan sepenggal keajaiban yang unik: di balik bentangan buminya yang gersang dan keronta, ia menawarkan kesejukan ruhani yang tak tertuliskan. Hembusan manfaat auliyanya tersebar hingga ke seluruh penjuru dunia. Tak luput Nusantara terkasih ini.1 Salah satu provinsi di Republik Yaman ini terletak pada garis 14‟-19‟ Lintang Utara dan 47,21‟ Bujur Timur. Hadhramaut memilki wilayah lautan yang cukup strategis, iklim sedang, daratan berupa hamparan padang pasir, dan sinar matahari yang sangat panas saat musim kemarau. Di daerah utara, Hadhramaut berbatasan dengan wilayah lain yaitu Saudi Arabia. Di sebelah selatan berbatasan dengan laut Arab. Sedang di sebelah barat berbatasan dengan wilayah Yaman lainnya, yakni Provinsi Jauf, Ma‟rib, Syabwa, Ramlah dan Sab‟atain. Sedangkan di sebelah timur berbatasan dengan dataran tinggi Provinsi Mahra, Yaman.2 Luas Hadhramaut kurang lebih 161.749 km2. Wilayah ini merupakan provinsi terbesar di Yaman dengan padang pasirnya yang sangat luas. Sebagian ulama masa lampau memberikan definisi, Hadhramaut adalah daratan yang terbentang di Arab Selatan. Pantainya menjulur di antara desa-
1 2
Ahmad Imron, Syamsul Hary, Hadhramaut, Bumi Sejuta Wali, hlm. 13 Ibid
1
desa nelayan „Ain Bamakmad dan Syaihut. Di baliknya, teronggok gununggunung yang gersang dan tinggi menjelang ke langit.3 Berkenaan dengan nama Hadhramaut, muncul silang pendapat mengenai asal-muasalnya. Dari segi bahasa, Hadhramaut terdiri atas dua kata: “hadhar” (yang berarti datang) dan “maut” (yang berarti kematian). Asal nama ini diyakini sebagian ulama berpangkal dari kisah nabiyullah Sholeh as yang makamnya berada di Hadhramaut. Syahdan, ketika kaumnya yang bengal diluluhlantakkan oleh Allah SWT, nabi Sholeh as bersama beberapa pengikut setianya berhijrah ke suatu daerah di wilayah Yaman. Begitu sampai di tempat yang dituju, beliau menghembuskan nafas yang terakhir. Jadilah daerah itu dinamakan Hadhramaut. Penduduk asli Hadhramaut meyakini bahwa mereka adalah keturunan Yakrub bin Qahtan bin Hud. Mereka masih tergolong ras Arab Selatan yang merupakan Arab asli („Aribah) dan bukannya Arab keturunan (Musta‟ribah). Dua kota pelabuhan yang agak penting di Hadhramaut adalah AlMukalla dan Al-Syihr. Al-Mukalla terletak 620 km timur dari Aden, Al-Syihr 54 km ke timur Al Mukalla. Di pesisir, tebing pegunungan agak dekat ke pantai dan karenanya lereng-lereng di selatan sangat terjal. Sepertiga penduduk Hadhramaut terdapat di lembah antara Syibam dan Tarim dengan Sei‟un di antaranya. Kaum sayyid paling banyak tinggal, terutama di sekitar Tarim dan Sei‟un. 3
Terdapat sebuah versi lain. Dalam kitab Miftahussanah, Imam Abu Bakar bin Muhammad Syarahil menorehkan catatan: Hadhramaut adalah sebuah negeri yang masyhur yang terletak di dataran Yaman. Negeri ini mempunyai lembah-lembah yang jumlahnya banyak, salah satunya adalah lembah Ibnu Rasyid yang luasnya mencapai 2 sampai 3 marhalah. Lembah itu terentang dari al-„Aqad sampai makam nabiyullah Hud A.S.
2
Menurut Sayyid Muhammad Ahmad al-Syathri dalam bukunya Sirah alSalaf Min Bani Alawi al-Husainiyyin, para salaf kaum Alawi di Hadhramaut dibagi menjadi 4 tahap yang masing-masing mempunyai gelar tersendiri. Gelar yang diberikan oleh masyarakat Hadhramaut kepada tokoh-tokoh besar Alawiyyin ialah4: IMAM (dari abad III H sampai abad VII H). Tahap ini ditandai perjuangan keras Ahmad al-Muhajir dan keluarganya untuk menghadapi kaum khariji. Menjelang akhir abad 12 keturunan Ahmad al-Muhajir tinggal beberapa orang saja. Pada tahap ini tokoh-tokohnya adalah Imam Ahmad alMuhajir, Imam Ubaidillah, Imam Alwi bin Ubaidillah, Bashri, Jadid, Imam Salim bin Bashri. SYAIKH (dari abad VII H sampai abad XI H). Tahapan ini dimulai dengan munculnya Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang ditandai dengan berkembangnya tasawuf, bidang perekonomian dan mulai berkembangnya jumlah keturunan al-Muhajir. Pada masa ini terdapat beberapa tokoh besar seperti Muhammad al-Faqih al-Muqaddam sendiri. Ia lahir, dibesarkan dan wafat di Tarim. Di kota Tarim, ia belajar bahasa Arab, teologi dan fikih sampai meraih kemampuan sebagai ulama besar ahli fiqih. Ia juga secara resmi masuk ke dunia tasawuf dan mencetuskan tarekat 'Alawi. HABIB (dari pertengahan abad XI sampai abad XIV). Tahap ini ditandai dengan mulai membanjirnya hijrah kaum 'Alawi keluar Hadramaut. Dan di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang 4
Idrus Alwi al-Masyhur, Sejarah, Silsilah dan Gelar Keturunan Nabi Muhammad saw. di Indonesia, Singapura, Malaysia, Timur Tengah, India dan Afrika, h. 264
3
peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini, di antaranya kerajaan Alaydrus di Surrat (India), kesultanan Al-Qadri di di kepulauan Komoro dan Pontianak, Al-Syahab di Siak dan Bafaqih di Filipina. SAYYID (mulai dari awal abad XIV ). Tahap ini ditandai kemunduran kecermelangan kaum 'Alawi. Di antara para tokoh tahap ini ialah Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi, Imam Ahmad bin Hasan al-Attas, Allamah Abu Bakar bin Abdurahman Syahab, Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad, Habib Husain bin Hamid al-Muhdhar. Ahlul bait adalah para keturunan Nabi Muhammad Saw. yang dikenal sebagai kaum sayyid/syarifah. Sejak sekitar abad ke-12, orang Arab Hadhramaut terbagi dalam beberapa golongan menurut garis keturunan, yaitu sebagai berikut: 1. Kaum Sayyid: golongan tertinggi dan terpandang yang merupakan ningrat keagamaan. Mereka ini sangat dihormati penduduk. 2. Kaum Syekh: mereka terutama bergerak di bidang pendidikan dan pengajaran. 3. Kaum Qabili: golongan ningrat duniawi, penguasa. 4. Kaum Dha‟if: terdiri atas para petani dan pengrajin. 5. Kaum Budak: budak belian, terutama pengabdi golongan penguasa.5 Kaum sayyid di Hadhramaut adalah keturunan Ahmad bin Isa AlMuhajir melalui cucunya „Alawi bin „Ubaidillah. Karena itu, kaum sayyid
5
C. F. Pijper, Studien over de Geschiedenis van de Islam in Indonesia 1900-1950. Terjemahan Tudjimah dan Yessy Augusdin, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, hlm. 116-117.
4
Hadhramaut disebut juga kaum Alawi atau Ba‟alawi.6 Di namakan alMuhajir, karena beliau hijrah dari Basrah ke Hadhramaut karena sebab-sebab perbaikan yang diperlukan, adalah mencari ketenangan7 demi menyelamatkan agamanya dan agama para pengikutnya ke tempat yang aman. Di samping itu mereka juga mencaci maki khalifah Usman, Ali, Tolhah, Zubair, Aisyah dan Muawiyah, maka pada tahun 317 H, Imam al-Muhajir ke Hadhramaut beserta keluarganya yang berjumlah 70 orang8. Gelar syekh sebenarnya digunakan sebagai kehormatan bagi semua yang mengabdikan diri dalam ilmu pengetahuan. Kaum Qabili merupakan mayoritas penduduk kaum Hadhramaut. Kaum Dha‟if terdiri atas orang-orang merdeka yang tinggal di kota-kota dan desa, yang bukan anggota suatu suku dan tidak pula termasuk syekh atau sayyid. Mereka terdiri atas pedagang, pengrajin, tukang, buruh, dan pelayan. Kaum budak di Hadhramaut umumnya berasal dari Somalia dan Nubia, yang kebanyakan lahir di Hadhramaut, di rumah mereka mengabdi sampai turun-temurun. Orang Hadhramaut di Indonesia umumnya berasal dari penduduk lembah besar antara Syibam dan Tarim. Yang mendorong mereka datang ke Indonesia adalah usaha mencari kehidupan yang lebih baik. Di antara mereka,
6
Catatan seorang Imam Ahmad Al-Muhajir yang juga merupakan keturunan dari Ali bin Abu Thalib dan Fatimah az-Zahra. Nama lengkapnya adalah Imam Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Ja‟far ash-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib dilahirkan pada tahun 260 H di kota Basrah, Iraq. 7 Mencari ketenangan maksudnya melindungi diri dari timbulnya fitnah, bencana dan kedengkian yang telah mewabah pada masyarakat Iraq, berkuasanya ahli bid‟ah dan banyaknya penghinaan terhadap para syarif Alawiyyin. 8 Menurut al-Allamah Muhammad bin Salim al-Bijani dalam kitabnya al-Asy‟ah alAnwar jilid 2 halaman 82 mengatakan bahwa, “Sesungguhnya dari kalangan keluarga Ali yang pertama kali datang ke Hadhramaut adalah al-Muhajir Ahmad bin Isa. Beliau juga dari Basrah menuju Madinah bersama keluarganya yang berjumlah 70 orang”.
5
ada juga orang-orang yang bergairah menyiarkan agama Islam. Kecuali para pelopornya, biasanya mereka datang ke Indonesia setelah ada panggilan atau ajakan dari orang Hadhramaut di Indonesia, yang akan menampung pendatang baru itu sebelum siap berdiri sendiri.9 Kebudayaan spiritual dan ilmu, khususnya ilmu agama, fiqih, dan tata bahasa Arab sangat mereka hargai. Ulama mereka di Nusantara mendapat penghormatan besar orang asal Hadhramaut. Orang Hadhramaut, sekalipun sudah hidup jauh dari negerinya bahkan sudah bergenerasi-generasi hidup di negeri orang, umumnya masih tetap mempertahankan kebiasaannya terutama dalam pergaulan di lingkungan keluarga atau dengan sesamanya. Panggilan kepada anggota keluarga dan famili masih banyak yang tetap menggunakan bahasa Arab. Bapak atau ayah di panggil abah, aba, abi, abuya. Ibu dipanggil umi. Paman biasa di panggil khale, ami. Bibi biasa di panggil khalaty, amah atau ameh. Kakek dipanggil jiddi, nenek dipanggil jiddah.10 Adat kebiasaan lainnya yang cukup menonjol adalah kebiasaan membawa status sosial sewaktu di negerinya yang masih terasa sampai sekitar tahun 60-an khususnya dalam masalah pernikahan. Dalam masalah yang satu ini dapat dikatakan hampir mustahil non Baalwi dapat mempersunting seorang puteri Baalwi, alasannya karena tidak mau keturunannya terputus dari
9
Muhammad Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi: Studi Historis Kafa‟ah Syarifah, hlm. 122 10 Dr. H.A. Madjid Hasan Bahafdullah, MM, Dari Nuh AS Sampai Orang Hadhramaut di Indonesia, hlm. 195
6
Rasulullah saw. Orang tua sang puteri banyak yang memilih puterinya tidak menikah seumur hidup daripada harus menikah dengan Ghabili.11 Pernikahan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Oleh karena itu pernikahan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka pernikahan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan pernikahan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.12 Pernikahan adalah kejadian perjanjian antara dua manusia terjadi. Perjanjian suci menurut Islam sangatlah berat. Karena memerlukan tanggung jawab, komitmen, dan kasih sayang. Pernikahan adalah hal normal yang dibutuhkan manusia. Dalam Islam, hukum pernikahan adalah sunnah, tapi dapat menjadi wajib, makruh, atau bahkan haram. Pernikahan memiliki tata cara dan proses. Ijab dan qabul diucapkan untuk menandakan pernikahan yang sah dan pasangan siap untuk melangkah ke kehidupan baru. Pernikahan telah dituntunkan oleh Rasulullah saw sebagai ibadah apabila dilakukan berdasarkan niat yang tulus dan ikhlas. Islam memang agama yang lengkap dengan segalanya yang telah diatur dan memiliki ketentuan. Termasuk pernikahan yang sakral. Pasangan suami istri haruslah memahami satu sama lain. Hidup bersama berarti juga menghilangkan sifat individualis. Saling membutuhkan satu sama lain baik secara biologis maupun psikologis. Suami harus menafkahi istri dan istri
11
Ibid, hlm. 196 Muhammad Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi: Studi Historis Kafa‟ah Syarifah, hlm. 71. 12
7
harus berbakti kepada suami. Segalanya akan lebih indah jika berpedoman pada nilai-nilai Islam. Perbedaan antara Arab di Hadhramaut dan Indonesia, tidak ada perempuan asli Hadhramaut di Nusantara, para prianya menikah dengan wanita pribumi ini dan wanita peranakan Arab. Bagi kelompok Sayyid yang konservatif, adalah terlarang (adat kebudayaan Alawiyyin) hukumnya menikahkan puteri-puteri mereka (syarifah) dengan laki-laki non-sayyid. Hanya pihak laki-laki sajalah yang dapat meneruskan gelar ke-sayyidan, bukan syarifah. Kaum Alawi Hadhramaut yang amat bangga akan nasabnya terus bersiteguh pada kaidah itu. Ketika mereka masih dalam jumlah kecil dan saling berhubugan dalam lingkungan terbatas di bawah seorang pengayom, cara perkawinan semacam itu mudah dikontrol dan diatur. Perjodohan dan perkawinan antara sesama kaum Alawi antara sayyid dan syarifah, diatur oleh orang tua-orang tua, yang paling jamak adalah perkawinan antara dua orang sepupu. Maka dari itu, lelaki sayyid boleh menikah baik dengan wanita sayyid/syarifah atau non-syarifah. Sebaliknya, jika ada wanita sayyid/syarifah yang menikah dengan non-sayyid, akan dianggap sebagai onmere atau pelanggaran. Dan yang syarifah yang melakukan pelanggaran harus dihukum berat.13 Menikah dengan kalangan di luar Alawiyyin. Sebuah pilihan berdiam bagi kaum Alawiyyin yang kemudian harus diterimanya tatkala keluarganya 13
Muhammad Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi: Studi Historis Kafa‟ah Syarifah, hlm. 255-256.
8
tak peduli memandang soal kesalehan, kepintaran, atau bahkan harta benda. Asalkan mereka dari keturunan Alawiyyin pula tanpa memikirkan alasan yang lainnya. Bagaimanapun juga, sikap dan pendapat mengenai tradisi menjaga kemurnian identitas kaum Arab di Yaman akan selalu beraneka ragam. Dinamikanya akan selalu bersentuhan dengan dimensi sejarah yang berbeda dari masa ke masa.
B. Permasalahan 1.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas penulis menduga kuat bahwasannya Alawiyyin yakni seorang Syarifah tidak dapat menikah dengan non-sayyid, karena itu dianggap menyakitkan hati bangsa seorang sayyid dan menghina bangsanya serta memurkakan asal-usulnya, menghina kerabat Rasulullah saw serta putrinya, Sayyidatina Fathimah. Bila seorang Syarifah menikah dengan non-sayyid, maka ia dan keturunannya putus hubungan persaudaraan dengan kalangan para sayyid dan syarifah. Ini adalah adat kebiasaan terhadap kaum Ba‟alawi, dan semata-mata hanya ingin mengikuti dan tidak ingin mengecewakan datuk mereka yakni Rasulullah saw. beserta putri-Nya Sayyidatina Fathimah az-Zahra. 2.
Pembatasan Masalah
Terkait judul penulisan penelitian “TRADISI PERNIKAHAN KAUM ALAWIYYIN: STUDI KOMPARATIF ANTARA HADHRAMAUT DAN INDONESIA”. Dengan melihat latar belakang masalah di atas, maka penulis
9
perlu membatasi pembahasan dalam penelitiaan ini, agar pembahasan tidak melebar sehingga dapat diperoleh hasil penelitian yang maksimal. Pembahas dalam penelitian ini hanya terfokus pada nasab, keturunan dan tradisi pernikahan. Adapun batasan spasial, yaitu batasan ruang yang hanya meliputi wilayah yang terbatas pada kalangan Alawiyyin di Hadhramaut dan Indonesia. Dan waktu yang terjadi pada abad ke-19, melihat perkembangan yang begitu pesat orang Arab Hadhramaut di Indonesia. 3.
Perumusan Masalah
Masalah pokok dalam penulisan penelitian ini adalah: Apa perbedaan tradisi pernikahan Alawiyyin di Hadhramaut dan Indonesia?
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah: Ingin lebih mengetahui perbedaan tentang tradisi pernikahan Alawiyyin di Hadhramaut dan Indonesia khususnya menyangkut nasab dan keturunan. Adapun manfaat yang ingin penulis berikan melalui penulisan penelitian ini adalah : 1.
Mengetahui lebih jauh lagi tradisi pernikahan di Hadhramaut dan
Indonesia. 2.
Memberikan sumbangan hasil karya penelitian bagi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Fakultas Adab dan Humaniora, Prodi Sejarah dan Kebudayaan Islam terkait dengan sejarah di Timur Tengah dengan tema tradisi pernikahan Alawiyyin di Hadhramaut dan Indonesia.
10
3.
Selain itu juga dengan adanya penelitian ini diharapkan juga
dapat menjadi informasi ilmiah dan rujukan bagi orang yang ingin mengetahui tentang tradisi pernikahan Alawiyyin di Hadhramaut dan Indonesia.
D.
Tinjauan Pustaka
Banyak tulisan baik berbentuk buku, jurnal, majalah, dan karya akademis lainnya yang berkaitan dengan tema penulisan ini. Tetapi yang menjadi catatan, diantara karya-karya tersebut harus dicari mana yang benarbenar otentik dab otoriatif dalam menceritakan kembali kejadian atau peristiwa bersejarah tersebut, dengan membandingkan sumber-sumber tersebut. Buku rujukan pertama DR. H.A Madjid Hasan Bahafdullah, MM yang berjudul Dari Nabi Nuh AS. Sampai Orang Hadhramaut di Indonesia yang menelusuri asal-usul Hadharmi. Buku ini menjelaskan lebih lengkap penggolongan Hadhrami beserta kebiasaan-kebiasaan orang-orang Hadhrami, akan tetapi buku ini tidak menjelaskan bagaimana hubungan Islam sebagai agama yang berperan penting dalam kehidupan umat Muslim khususnya di Hadhramaut. Selain itu tulisan Marzuki Alie, Azyumardi Azra, Abdillah Thaha, Abdullah bin Nuh, Musa Kazhim, Yasmine Zaki Shahab, Habib Luthfi Yahya, Habib Zeyd bin Abdurrahman Yahya, Engseng Ho, Frode F. Jacobsen, Ali Muhammad Naqvi, et.al. Yang berjudul Peran Dakwah Damai
11
Habaib „Alawiyyin di Nusantara. Selain bku tersebut menjelaskan tentang peran dakwah alawiyyin di Nusantara buku ini juga membahas masuknya kaum Hadhrami ke Indonesia. Dan dijelaskan juga definisi dari Aal, Ahlul Bait, dan keturunan Rasulullah. Selanjutnya tulisan The graves of Tarim: genealogy and mobility across the Indian Ocean/Engseng Ho yang menjelaskan tentang pernikahan Syarifah dengan Non-Sayyid yang di klaim menentang fatwa. L.W.C Van den Berg dalam bukunya Hadhramaut dan Koloni Arab di Nusantara. Di dalam buku tersebut Berg menjelaskan tentang kehidupan kaum Hadhrami dari segi letak geografis, politik, ekonomi, social, serta perbedaan kaum Alawiyyin Hadhramaut dan Indonesia. Buku rujukan Muhammad Hasyim Assegaf berjudul Derita Pueri-Puteri Nabi memberi gambaran tentang Hadhramaut, pernikahan Alawiyyin serta menjelaskan asal-muasal keturunan Rasulullah SAW. Buku rujukan selanjutnya adalah karya Idrus Alwi al-Masyhur yang berjudul Sejarah, Silsilah dan Gelar Keturunan Nabi Muhammad SAW. di Indonesia, Singapura, Malaysia, Timur Tengah, India dan Afrika. Dan yang primer terdapat buku karya Sayyid Abdurrahman bin Abdullah Assegaf dan Assegaf bin Ali Alkaf yang berjudul Dirosah fi Nasab Sayyid bin Alawi dzuriyah Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa. Dan buku lainnya adalah Keutamaan Keluarga Rasulullah SAW, Sejarah, Silsilah dan Gelar Alawiyyin Keturunan Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir.
12
E.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode penelitian deskriptif analitis, dengan pendekatan budaya untuk merekontrusksi peristiwa masa lampau yang bersifat komperhensif14, mengetahui kronologi serta asalusul kaum Alawiyyin di Hadhramaut. Ahlul bait atau Alawiyyin adalah para keturunan Nabi Muhammad saw. yang dikenal sebagai kaum sayyid/syarifah. Peneliti berusaha menjelaskan variabel-variabel yang terjadi dan berlaku dalam bagian-bagian kecil tentang keturunan Alawiyyin di Hadhramaut, oleh karena itu diperlukan teori yang relevan bagi penelitian tersebut. Teori yang dianggap relevan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah teori tentang pelarangan Syarifah menikah dengan non-Sayyid. Menurut Sayyid Abdurrahman bin Husein Al-Masyhur:
“Syarifah tidak boleh dinikahi oleh yang selain dari kaum Syarif sekalipun si Syarifah dan walinya menyukainya, karena tiap-tiap Syarif mempunyai hak dalam hal nasab itu, baik si Sayyid itu kerabat dekat ataupun jauh dari Syarifah di Mekkah. Maka bangkitlah sekalian Sayyid serta segala ulama Mekkah menuntut difasakhkannya pernikahan itu, demikian pula halnya di negeri-negeri lain. Maka ditulislah oleh para ulama dari kalangan Sayyid banyak kitab yang menyatakan tidak bolehnya pernikahan Syarifah dengan non-Sayyid.”
15
Pada dasarnya orang-orang Hadhrami masih tetap mempertahankan status sosialnya, terutama dalam masalah pernikahan. Dalam masalah yang 14
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan llmu Sosial dalam Metodelogi Sejarah, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992, h .4-5, 144-156 . 15 Buku Bughyat Al-Musytarsyidin, hlm. 345
13
satu ini dapat dikatakan hampir mustahil seorang non Baalwi dapat mempersunting seorang puteri Baalwi, alasannya karena tidak mau keturunannya terputus dari Rasulullah SAW.16 Adapun dalam penelitian ini penulis mengunakan metode pengumpulan data yang meliputi 4 tahapan yaitu 17 : Heuristik, berupa kegiatan mengumpulkam sumber sejarah. Adapun sumber yang penulis gunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa sumber, yaitu: sumber primer yang bersifat tertulis, berupa sumber yang diterbitkan seperti biografi atau website dari salah satu kaum Alawiyyin yang langsung atau pernah datang ke Hadhramaut, dokumen, kemudian wawancara dengan kaum Alawiyyin yang menetap di Indonesia. Adapun sumber sekunder berupa buku-buku yang terkait, skripsi, disertasi, majalah, jurnal maupun sumber elektronik dari website milik instansi resmi. Dalam proses pengumpulan data, penulis melakukan penelitian terhadap sumber-sumber
kepustakaan,
seperti
Perpustakaan
Utama
UIN
Syarif
Hidayatullah, Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan UI, Rabithah Alawiyah. Sumber-sumber yang dikaji berupa buku, jurnal, majalah, dan sumber elektronik. Kemudian setelah mengumpulkan data-data, tahapan selanjutnya adalah kritik
sumber. Penulis
berusaha membandingkan, menganalisis
dan
mengkritisi beberapa sumber yang telah penulis dapat.
16
DR. H. A. Madjid Hasan Bahafdullah, MM, Dari Nabi Nuh AS Sampai Orang Hadhramaut di Indonesia, hlm. 196. 17 Muhamad Arif, Pengantar Kajain Sejarah, Bandung: Yrama Widya, 2011, h 32.
14
Tahapan selanjutnya interpretasi data, yakni penulis melakukan analisa sejarah untuk mengungkapkan masalah yang ada, dalam hal ini penulis berusaha melihat fakta yang penulis dapat dari pengumpulan data dan kritik sumber, sehingga memperoleh pemecahan atas masalah tersebut. Terakhir penulis menuliskan hasil pemikiran dari penelitian serta memaparkan hasil dari penelitian sejarah secara sistematika yang telah diatur dalam pedoman skripsi, sehingga penelitian ini bukan hanya baik dari segi isi tetapi juga dalam metode penulisannya. Tahapan terakhit ini disebut dengan historiografi.18
F.
Teori dan Konsep
Raymond Williams, pengamat dan kritikus kebudayaan terkemuka mendefiniskan kata “kebudayaan” (culture) merupakan salah satu dari dua atau tiga kata yang paling kompleks penggunaannya dalam bahasa Inggris. Sebab kata ini sekarang sering digunakan untuk mengacu sejumlah konsep penting dalam beberapa disiplin ilmu yang berbeda-beda pula. Dalam konteks ini, bisa memahami mengapa seseorang disebut “berbudaya” atau “tidak berbudaya”. Selama periode panjang ini pula istilah budaya diterapkan untuk entitas yang lebih besar yaitu masyarakat sebagai keseluruhan, dan dianggap merupakan padanan kata dari peradaban (civilization). Akan tetapi, seiring kebangkitan Romantitisme selama Revolusi Industri, budaya mulai dipakai
18
Hariyono, Mempelajari Sejarah Secara Efektif, Yogyakarta: Pustaka Jaya, 1995, hlm.
109
15
untuk menggambarkan perkembangan kerohanian yang dkontraskan dengan perubahan material dan infrastructural. Mengetahui itu semua, Williams berani berpendapat bahwa perubahanperubahan historis tersebut bisa direflesikan ke dalam tiga arus penggunaan istilah budaya, yaitu19: a. Yang mengacu pada perkembangan intelektual, spiritual, dan estetis dari seorang individu, sebuah kelompok, atau masyarakat. b. Yang mencoba memetakan khazanah kegiatan intelektual dan artistik sekaligus produk-produk yang dihasilkan (film, bendabenda seni dan teater. Dalam penggunaan ini budaya kerap diidentikan degan istilah “kesenian”. c. Yang menggambarkan keseluruhan cara hidup, berkegiatan, keyakinan-keyakinan, dan adat kebiasaan sejumlah orang, kelompok, atau masyarakat. Masih terkait dengan penggunaan istilah budaya, Kroeber dan Kluckhohn mendefinisikan kebudayaan dapat digolongkan menjadi & hal, yaitu20: Pertama, kebudayaan sebagai keseluruhan hidup manusia yang kompleks, meliputi hukum, seni, moral, adat-istiadat, dan segala kecakapan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kedua, menekankan sejarah kebudayaan, yang memndang kebudayaan sebagai warisan tradisi. 19
Mudji Sutrisno dan Hendra Putranto, Teori-Teori Kebudayaan, h. 8 Suwardi Endraswara, Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan Ideologi, Epistemologi, dan Aplikasi, h. 20 20
16
Ketiga,
menekankan kebudayaan
yang bersifat
normatif,
yaitu
kebudayaan dianggap sebagai cara dan aturan hidup manusia, seperti cita-cita, nilai, dan tingkah laku. Keempat, pendekatan kebudayaan dari aspek psikologis, kebudayaan sebagai langkah penyesuaian diri manusia kepada lingkungan sekitarnya. Kelima,
kebudayaan
dipandang
sebagai
hasil
struktur,
yang
membicarakan pola-pola dan organisasi kebudayaan serta fungsinya. Keenam,
kebudayaan
sebaga
hasil
perbuatan
atau
kecerdasan.
Kebudayaan adalah sesuatau yang membedakan manusia dengan hewan, misalkan manusia pintar menggunakan simbol dalam komunikasi sedangkan hewan tidak. Ketujuh, definisi kebudayaan yang tidak lengkap dan kurang bersistem. Pembatasan di atas sebenarnya hanya ingin menyatakan bahwa kebudayaan itu sangat lebar cakupannya. Kebudayaan adalah sesuatu yang tidak terbatas pada hal-hal yang kasat mata tentang manusia, melainkan juga menyangkut hal-hal yang abstrak. Karena itu, penelitian kebudayaan bisa melebar dan meluas serta mendalam ke seluruh penjuru hidup manusia. Kebudayaan akan mencakup segala kesadaran, sikap, dan perilaku hidup manusia. Dari lahir sampai mati, manusia akan menciptakan budaya. Hasil ciptaan tersebut dinamakan budaya produk atau sering disebut budaya material. Sedangkan budaya yang sifatnya abstrak, akan tampak pada proses budaya itu sendiri. Itulah sebabnya sering dinamakan budaya sebagai proses
17
atau immaterial. Budaya immaterial juga sering disebut budaya spiritual yang bersifat batiniah. Baik budaya sebagai produk maupun sebagai proses, amat menarik untuk diteliti lebih mendalam. Budaya sebagai produk dan proses, pada dasarnya akan mencakup nilai kultural, norma, dan hasil cipta manusia. Karena itu, pada tataran tertentu budaya dapat digolongkan menjadi tiga dimensi, yaitu21: 1. Dimensi kognitif (budaya cipta) yang bersifat abstrak, berupa gagasan-gagasan
manusia,
pengetahuan
tentang
hidup,
pandangan hidup, wawasan kosmos. 2. Dimensi evaluatif, artinya menyangkut nilai-nilai dan norma budaya, yang mengatur sikap dan perilaku manusia dalam berbudaya, lalu membuahkan etika budaya. 3. Dimensi simbolik berupa interaksi hidup manusia dan symbolsimbol yang digunakan dalam berbudaya. Dari dimensi-dimensi tersebut, cukup jelas bahwa meneliti kebudayaan tidak lain mempelajari manusia. Karena pemikiran manusia cenderung berubah-ubah,
kebudayaan
akan
berubah.
Ruang
dan
waktu
akan
mempengaruhi peneliti kebudayaan harus lebih tanggap dalam pemaknaan. Ruang dan waktu atau disebut juga lingkungan budaya akan besar pengaruhnya terhadap perubahan budaya itu sendiri.
21
Ibid, h. 22
18
Dari realita ini demikian menunjukkan bahwa kebudayaan adalah sebuah produk manusia yang dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Sebagai produk, kebudayaan sering ada tawar-menawar atau negosiasi budaya, agar masyarakat mau menerima dan atau menolak. pada Tingkat menerima atau menolak inilah terjadi proses budaya. Jadi, kebudayaan akan bergerak kea rah sirkel, dicipta, diterima, ditolak, dan seterusnya sampai terbentuk kemapanan ini juga sering berlangsung singkat, sehingga muncul lagi perubahan22. Dengan demikian sama halnya kaum Alawiyyin, tradisi serta adat kebiasaan yang dibawa dari Hadhramaut sampai ke Indonesia sama dan beberapa sedikit perbedaan di kalangan Ba‟alawi ini. Tradisi serta adat kebiasaan kaum Alawiyyin ini selalu turun-temurun dari masa ke masa dan sampai sekarang pun masih sangat melekat kepada mereka kaum Alawiyyin.
G.
Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini, penulis membagi pembahasan ke dalam lima bab dan didalamnya terdapat beberapa sub bab yang terdiri atas : Bab I, membahas pendahuluan yang antara lain latar belakang, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat, pendekatan dan metode penelitian, tinjauan pustaka serta sistematika penulisan. Bab II: Mengenal Hadhramaut: berupa kondisi geografis, aspek demografi, penggolongan orang-orang Hadhramaut.
22
Ibid, h.24
19
Bab III: Membahas mengenai kontak intelektual dan budaya kaum Alawiyyin Hadhramaut dan Indonesia: berupa silsilah keturunan kaum Alawiyyin, sekilas masuk dan berkembangnya kaum Alawiyyin Hadhramaut di Indonesia, dan pola-pola kontak intelektual dan budaya. Bab IV: Akan membahas tradisi pernikahan kaum Alawiyyin di Hadhramaut dan Indonesia, berupa asal-usul tradisi pernikahan, prosesi dan pernak-pernik pernikahan, analisis makna dan simbol pernikahan, dan dinamika dan analisis perbandingan: Hadhramaut dan Indonesia. Bab V: Berisi kesimpulan dan saran-saran.
20
BAB II MENGENAL HADHRAMAUT A. Kondisi Geografis Hadhramaut adalah sebuah negeri purba. Ia menyimpan sepenggal keajaiban yang unik, di balik bentangan buminya yang gersang dan keronta, ia menawarkan kesejukan ruhani yang tak tertuliskan. Hembusan manfaat auliyanya tersebar hingga ke seluruh penjuru dunia. Tak luput Nusantara terkasih ini.23 Salah satu provinsi di Republik Yaman ini terletak pada garis 14‟19‟ Lintang Utara dan 47,21‟ Bujur Timur. Hadhramaut memilki wilayah lautan yang cukup strategis, iklim sedang, daratan berupa hamparan padang pasir, dan sinar matahari yang sangat panas saat musim kemarau. Di daerah utara, Hadhramaut berbatasan dengan wilayah lain di Negara Yaman, kemudian Saudi Arabia. Di sebelah selatan berbatasan dengan laut Arab. Sedang di sebelah barat berbatasan dengan wilayah Yaman lainnya, yakni Provinsi Jauf, Ma‟rib, Syabwa, Ramlah dan Sab‟atain. Sedangkan di sebelah timur berbatasan dengan dataran tinggi Provinsi Mahra, Yaman.24 Luas Hadhramaut kurang lebih 161.749 km2. Wilayah ini merupakan provinsi terbesar di Yaman, padang pasirnya yang sangat luas. Dari sisi topografi, provinsi ini mempunyai beberapa karakteristik, antara lain, pantai landai, pegunungan dan dataran tinggi, lembah utama yang kemudian bercabang-cabang, padang pasir yang datar dan luas. Contoh lembah
23 24
Ahmad Imron, Syamsul Hary, Hadhramaut, Bumi Sejuta Wali, hlm. 13 Ibid
21
yang bercabang antara lain Wadi Dau‟an. Lembah berpenduduk ini bercabang dua. Cabang (“kiri”) disebut Wadi Leiser dan cabang (“kanan”) Wadi Aiman.25 Korma yang dihasilakan dari perkebunan lembah Dau‟an merupakan jenis yang berkualitas tinggi. Ada yang menyetarakannya dengan Korma Ajwa yang dihasilakan perkebunan Madinah al-Munawwarah. Selain itu, daerah ini juga menjadi penghasil madu dengan kualitas terbaik di dunia, dan sangat tersohor sejak dulu kala. Panjang pantai Hadhramaut adalah 330
km. kawasan pantai terluas
antara Mukalla dan Dis Timur. Ke arah timur, lebar pantai makin menyempit. Sedang di arah barat, pantai landai itu terputus oleh deretan gunung yang berdiri gagah. Pemandangan indah di tepi pantai patut dijadikan tempat rekreasi. Dari Kota Mukalla, terlihat Kour Mukalla yang menjadi tempat penampungan air hujan dari semua lembah di sebelah utara. Di daerah antara Borum dan Syihr terdapat sebelas saluran air dari lembah besar di Hadhramaut bagian pedalaman. Sebagian tanah Hadhramaut yang berkategori subur dimanfaatkan penduduk untuk bercocok tanam. Aktifitas pertanian itu banyak dilakukan di dataran tinggi. Di Hadhramaut, terdapat beberapa daerah yang datarannya berbatu. Area ini dinamakan al-Jeilani26. Sepanjang Hadhramaut terdapat cadangan pasir yang bisa dijadikan sebagai bahan bangunan.
25
Kata “kanan” dan “kiri” harus dimengerti dalam bahasa percakapan Hadhramaut, artinya dengan pengertian mendaki lembah dan bukan menuruninya seperti yang dilakukan para ahli geografi Eropa, ketika mereka berbicara mengenai sisi kanan atau kiri dari sebuah sungai misalnya. 26 Al-jeilani adalah area yang tertutup bebatuan hitam yang ukurannya bervariasi. Area seperti ini layak dijadikan sebagai area bangunan.
22
Gunung di tepi pantai Hadhramaut berderet memanjang di pesisir, dan kini sudah dibelah menjadi jalan pintas. Deretan gunung itu bertingkat dengan ketinggian mencapai 2000 m di atas permukaan air, terletak sekitar 45 km dari arah utara Mukalla dan melebar ke tengah sehingga tampak seperti punditpundit. Area gunung-gunung itu menempati empat persen dari luas provinsi. Pada umumnya berbentuk relief-relief dan dibawahnya terdapat lembah-lembah untuk aliran air dan aktifitas pertanian.27 Dataran tinggi di Hadhramaut hampir menutupi 59% dari luas seluruh provinsi. Hal ini menjadikan Provinsi Hadhramaut terbagi menjadi dua bagian: dataran tinggi bagian utara dan dataran tinggi bagian selatan. Di sebelah barat, ketinggiannya mencapai 1500 m, dan di sebelah timur utara 600 m. Puncak tertinggi di daerah Kur Saeban dengan ketinggian 2000 m di atas permukaan laut. Tempat ini berada 45 km sebelah utara barat kota Mukalla.28 Permukaan dataran ini sama dengan dataran tinggi pada umumnya, yakni berupa tanah lapang nan luas yang terdiri dari kerikil, batu besar, batu cadas, dan ada juga batu-batuanbekualitas untuk bahan bangunan. Aktifitas pertanian di daerah ini sangat terbatas. Hal itu disebabkan minimnya tanah yang layak untuk bercocok tanam dan kadar airnya kurang. Mata pencaharian penduduk di daerah ini umunya adalah beternak. Rongga tekstur yang memanjang membelah Hadhramaut bagian selatan dengan Hadhramaut bagian utara, dengan lebar 15 km di Khasyah Barat dan 1,2 km di Qasan Timur. Luas lembah Hadhramaut merupakan hal langka di dunia. 27 28
Ahmad Imron, Syamsul Hary, Hadhramaut, Bumi Sejuta Wali, hlm. 17 Ibid, hlm. 18
23
Sebab biasanya lembah itu tidak begitu luas. Namun Hadhramaut beda. Lembahnya terbentang begitu luas. Kedalamannya bisa mencapai 200 m dari permukaan daratan tinggi dan menurun ke bawah secara bertahap atau tidak curam. Tekstur seperti ini mengakibatkan air mengalir secara perlahan dan teserap. Jarak dari Khasyah ke laut sekitar 475 km. Lembah ini mempunyai cabang-cabang. Yang terkenal adalah lembah Adam, Bin Ali, al-Ain, Dau‟an, Amed, Rokhaiyah, dan Dahr yang merupakan satu-satunya cabang yang menghubungkan Hadhramaut ke Provinsi Syabwa. Dari arah utara terdapat beberapa lembah antara lain, Syai, Ju‟aimah, Sir dan Hit.29 Lembah Barhut atau sumur Barhut yang berada di sekitar makam Nabi Hud AS. Konon sumur Barhut adalah tempat ruh orang-orang kafir tinggal, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut “ Sesungguhnya ruh-ruh orangorang kafir berada dalam sumur Barhut di Hadhramaut, disiksa bersama jahad mereka sampai hari kiamat “. Dari dalam usmur tersebut keluar asap atau uap berbau busuk yang sampai sekarang dapat dilihat oleh setiap orang yang berlalu di situ. (Syarah Jauhar) Pada mulanya, makam Nabi Hud as terletak di bukit bebatuan (alAhqaf). Kemudian pada abad 9 H, di atas makam itu dibangun masyhad (tempat kubur) dan kubah dari batu dan dicat dengan kapur. Tanah di sekitarnya diratakan dan dbangun sebagai tempat penampung para ziarah.30
29 30
Ibid, hlm. 19 Ibid, hlm. 22
24
Qabr Hud menurut penduduk Hadhramaut adalah makam nenek moyang mereka, Nabi Hud as. Tempat suci itu adalah yang paling terkenal di daerah itu, dan bahkan mungkin di seluruh Arab Selatan. Tempat itu tidak merupakan kota atau desa, hanya ada sebuah masjid yang dibangun di dekat makam31 orang suci itu. Setiap tahun, ada tanggal 11 bulan Sya‟ban, orang datang berziarah. Pada hari itu juga ada pasar raya, dan pertentangan antar suku berubah menjadi persahabatan, seolah mereka berada di daerah netral, asalkan keputusan itu tidak disinggung di depan perantara. Beberapa waktu sebelum bulan Sya‟ban, berbagai suku yang menetap di sekitar Qabr Hud memperbaiki sekadarnya pasar dan bangunan yang ada di situ. Namun, begitu peziarah dan pedagang pergi, semuanya kembali tak terurus hingga tahun berikutnya. Di hulu Qabr Hud terdapat mulut lembah Borhut. Di dalamnya terdapat solfater besar besar yang disebut Bir Borhut dan telah dikenal sejak zaman antik. Menurut orang Arab, solfater itu kemungkinan terletak di dalam lembah Borhut, di dalam sebuah gua, di lereng gunung. Jalan masuk ke gua berukuran 10 m tinggi dan lebar, namun bagian dalamnya jauh lebih luas. Solfater itu sendiri terdiri dari sejumlah besar lubang berisi belerang mendidih. Uap belerang menghalangi orang untuk memasuki gua lebih dalam. Dinding dan lantai gua tertutup belerang seluruhnya dan di situ gelap gulita. Di antar Qabr Hud dan Saihut, lembah kembali berpenduduk jarang, tidak terdapat kota maupun desa besar. Wilayah itu disebut Ard al-Manahil,
31
Makam itu sendiri hanya dari setumpukan batu berukuran sekitar panjang 70 m dan lebar 7 m.
25
sesuai dengan nama suku bangsa yang mendiaminya. Saihut, seperti yang kita lihat, adalah desa yang termasuk negeri Mahrah. Walaupun dari pantai menuju ke pedalaman Hadhramaut, ada jalan alami yang langsung mendaki lembah dari Saihut, pedagang dan juga musafir pada umumnya memilih rute yang melalui Mukalla atau Syihr. Ikan asin adalah satu-satunya komoditi yang diimpor ke Hadhramaut melalui rute Saihut. Iklim di Hadhramaut sangat kering. Di pedalaman, musim hujan berlangsung dari awal Oktober hingga akhir Februari, namun selama lima bulan itu hujan turun paling banyak empat kali. Bahkan tidak jarang terjadi selama satu tahun tak turun hujan setitik pun. Hujan hampir selalu disertai angin ributndan berlangsung selama lima sampai enam jam. Pantai, yang beriklim lebih kering, lebih banyak disiram hujan. Pada musim panas, Hadhramaut sangat panas jauh lebih panas daripada Batavia terutama di tempat-tempat yang tidak dibudidayakan. Di sana matahari memanggang tanah berbatu dan karang-karang telanjang. Di padang pasir, panasnya sedemikian rupa sehingga perjalanan tidak mungkin dilakukan pada siang hari. Sebaliknya pada musim dingin, iklim sangat dingin. Apabila angin utara bertiup, dingin begitu menggigit sehingga tangan dan muka pecah-pecah, sedangkan pada malam hari air yang tersisa di penampungan dilapisi es tipis. Suhu udara meningkat pada siang hari, namun tidak pernah cukup panas untuk memungkinkan kita menanggalkan pakaian pemanas. Pada musim dingin dedaunan mengering. Gunung-gunung yang tinggi diselimuti salju, baik pada musim panas maupun di musim dingin.
26
Pada umumnya, meskipun perbedaan antara panas dan dingin di Hadhramaut mencolok, iklimnya tidak mengganggu kesehatan dan udara sangat bersih. Hasil bumi Hadhramaut adalah kurma, jagung, serta gandum. Lahanlahannya hidup dengan ditopang air hujan yang curahannya sangat terbatas. Sebab itu, kehidupan perekonomian daerah ini tergolong sulit. Ternak yang banyak dijumpai adalah keledai, kuda himar, dan unta. Peranan unta di negeri ini sangat vital. Hanya binatang berpunuk inilah yang tahan dipakai sebagai kendaraan untuk menempuh medan yang sangat berat. Kambing juga bisa didapati di beberapa tempat, uniknya kambing di sana bukan seperti kambing di Negara kita, Indonesia ini yang rata-rata pakannya adalah rumput, namun di sana sebagiannya ada yang pakannya potongan-potongan kardus. Selain itu Hadhramaut adalah penghasil jenis madu terbaik di dunia, madu Hadhramaut. Madu-madu itu banyak dihasilkan di lembah Dou‟an.
27
B. Aspek Demografi Menurut catatan di dalam surat al-Jawaib yang disebutkan, penduduk Tarim sekitar 25.000 orang. Dan Sei‟un 80 .000 orang. Mengenai tempat yang lain, catatan yang sama menyebutkan Syibam berpenduduk 6.000 orang, Inat 5.000, dan al-Gorfah 3.000. Karena tidak pernah disensus, jumlah penduduk Hadhramaut tidak diketahui pasti. Menurut perkiraan Van den Berg, pada tahun 1885, jumlah penduduk Hadhramaut tidak lebih dari 150.000 orang. Namun, pada tahun 1984 jumlah penduduknya tercatat 651.000 orang. Sepertiga penduduk Hadhramaut terdapat di lembah antara Syibam dan Tarim dengan Sei‟un di antaranya. Penduduk Sei‟un tidak lebih dari 15.000 orang, sedangkan penduduk Tarim hanya 10.000, Syibam 2.000, al-Gorfah 1.500 dan Inat 1.000 orang. Agama mendapat perhatian besar penduduk Hadhramaut, terutama kaum Sayyid. Pusat-pusat pertemuan keagamaan adalah masjid dan sekolah-sekolah yang biasanya merupakan bagian dari lingkungan masjid. Secara lahiriah masjid mudah dikenali terutama karena bagian luar dindingnya yang berkapur. Di setiap kota terdapat masjid jami‟ untuk shalat jum‟at. Masjid Sei‟un yang berkapasitas 6.000 jamaah, di Tarim terdapat 300 masjid kecil. Selain masjid jami‟ terdapat 60 masjid kecil untuk keperluan ibadah sehari-hari. Kaum wanita tidak pernah beribadah di masjid, tetapi mereka tekun beribadah di rumah. Islam di Hadhramaut menganut Mazhab Syafi‟i, tidak ada yang bermazhab lain. Tidak ada agama Kristen maupun Yahudi, dan kemungkinan besar sampai saat ini pun orang kafir tidak
28
diperbolehkan tinggal, hanya
sementara pun di wilayah itu, kecuali dalam keadaan sangat khusus.32 Di lingkungan suku, banyak anggota yang tidak melakukan ibadah secara teratur. Meskipun mereka pemeluk agama Islam yang setia, mereka menganggap kerajinan beribadah sebagai tindakan yang tidak cocok untuk lelaki. Bahkan di kalangan kaum Badui, jarang sekali ada yang beribadah sesuai dengan kaidahnya. Mengenai ibadah Islam yang lain, seperti berpuasa, sama saja halnya dengan bersembahyang, artinya di kota dilaksanakan dengan taat, di kalangan suku-suku yang menetap mulai kurang taat, sedangkan suku Badui sangat jarang melakukannya. Sebaliknya zakat dan fitrah dibayarkan secara teratur oleh setiap orang, bahkan oleh orang Badui, yang katanya masih mengikuti adat istiadat yang bertentangan dengan hukum Islam. Ibadah Haji ke Makkah adalah yang paling tidak ditaati di Hadhramaut, bahkan oleh para Sayyid. Terdapat penjelasan panjang lebar mengenai pengecualian legal untuk tidak melaksanakan ibadah haji, bagi individu yang tidak memiliki sarana yang memadai untuk pergi ke sana dan untuk menghidupi keluarganya. Rute darat untuk pergi ke Makkah melalui Syabwah dan Yaman, namun sebagian besar memilih rute laut. Mereka naik kapal dari asy-Syihr atau al-Mukalla menuju Aden atau langsung ke Jedah. Sebaliknya orang sering berziarah ke makam-makam suci yang terdapat di Hadhramaut. Di samping makam Nabi Hud as, perlu disebutkan pula makam Nabi Shaleh as, di Lembah Sarr, makam nenek moyang kaum sayyid
32
L.W.G Van den Berg, Hadhramaut dan Kolonial Arab di Nusantara, Hlm. 56
29
Hadhramaut, yaitu Ahmad Isa yang dijuluki al-Muhajir, dan makam Sayyid Ahmad bin Muhammad al-Habsyi, keduanya terletak di Sya‟b Ahmad. Makam nenek moyang suku Amud, yaitu Ahmad bin Isa yang dijuluki Amud ad-din, terdapat di Qaidun. Makam orang suci Aidid di dekat kota yang memakai namanya, makam orang suci Bajalhaban di dekat Sibbi, makam orang suci alAydrus di asy-Syihr dan sebagainya. Meskipun demikian tidak ada diantara makam-makam itu yang sepenting Qabr Hud. Di kalangan suku Badui, relatif sedikit orang yang mampu membaca dan menulis. Di kalangan anggota suku sebagian besar penah belajar membaca atau menulis, sedangkan di kalangan sayyid dan golongan menengah kaya, hampir tidak terdapat buta aksara. Berhitung diperoleh sedikit demi sedikit dalam praktek sehari-hari, namun menulis dan membaca diajarkan di sekolah dasar („ulmah). Pelajaran membacanya sejak awal dimulai dengan surat-surat pendek Al-Qur‟an. Pendidikan hanya untuk kaum pria, sedangkan wanitanya dapat dikatakan sebagian besar buta aksara, bahkan para putrid sayyid. Mekipun ada sekolah khusus wanita, anak perempuan hanya belajar mengaji dan ibadah Islam yang lain. Namun kekecualian ada, sepeti di Sai‟un, misalnya kini pun ada seorang cendikiawan wanita. Setelah sekolah dasar, ada sekolah lanjutan (madrasah). Di sini anakanak diajarkan tata bahasa Arab, dasar-dasar ilmu fiqih, dan teologi. Untuk tata bahasa Arab digunakan buku-buku Al-Fiyyah Al-Jurumiyyah, kemudian
30
dilanjutkan dengan mengkaji penjelasan tentang isi buku itu melalui AlMutammimah, Al-Fawaqih Al-Janniyyah, dan Syarh Al-Kafrawi. Madrasah hanya memberikan pelajaran pengantar, namun sebagian besar siswa tidak melanjutkan studinya setelah lulus dari sii. Meskipun demikian, mereka yang meras bebakat dan berminat di bidang ilmu mengikuti para cendekiawan bereputasi di kota-kota besar. Pelajaran itu merupakan pendidikan tinggi di Hadhramaut. Para cendekiawan menjelaskan berbagai karya terbesar mengenai tata bahasa Arab, hukum, dan ilmu kalam. Pusat perguruan tinggi dahulunya terletak di Tarim, namun kini Sei‟un telah menyainginya. Akademik Sei‟un terletak di samping masjid jami‟, yang dinamakan Rubat. Di gedung itu terdapat balai untuk para ulama yang jumlahnya mencapai seratus orang, bagian terbesarnya adalah dari kaum sayyid. Di sana pun terdapat asrama bagi orangorang yang tidak mampu. Dari sekitar 400 mahasiswa di sana, sekitar 100 tinggal di asrama. Untuk pembiayaannya, ada dana waqaf yang cukup besar menurut ukuran Hadhramaut, ada pula sumbangan-sumbangan dari Nusantara. Seni plastis tidak dikembangkan sama sekali. Islam melarangnya, kecuali seni bangunan. Dan diantara kebudayaan orang-orang di Hadhramaut ini ialah instrument musik berupa seruling (mizmar) untuk keperluan militer, dan rebana (thar) mengiringi pujia-pujian pada peringatan hari lahir Nabi Muhammad atau dzikir maulud tidak hanya dinyanyikan pada hari lahir Muhammad saja, namun juga pada segala peristiwa besar. Musik yang dipakai mengiringi tari-tarian (zafin) di Indonesia terkenal di kalangan keturunan Arab dengan nama samar yang terdiri dari marawis dan gambus. Tarian ini dilakukan
31
oleh dua orang, keduanya laki-laki atau perempuan, tidak dilakukan bersama antara laki-laki dan perempuan. Orkes dibentuk dari sebuah gambus (qanbus),33 gendang (hajir) dari kayu dan empat buah gendang kecil (marwas). Keempat gendang kecil itu dipegang dengan tangan kiri dan ditabuh dengan tangan kanan, sedangkan hajir diletakkan tegak di tanah di depan penabuhnya yang memukul dengan kedua tangannya dari sisi yang berbeda. Tarian dilaksanakan oleh dua orang dan mirip dengan polka, bedanya penari tidak saling berpegangan dan berputar bersama, masing-masing menari sendiri. Sambil berputar kedua penari menjauhi orkes dengan tetap menjaga jarak di antara mereka. Apabila kedua penari lelah, yang lan datang menggantikan mereka, begitulah seterusnya. Lelaki dan wanita tidak pernah menari bersama. Di kalangan suku Badui masih terdapat sejenis tarian lagi yang disebut raqs, dilaksanakan oleh lelaki dan wanita yang mengambil tempat di tengah lingkaran, dan iramanya ditentukan oleh tepukan tangan. Meskipun tarian itu dianggap hiburan kafir, orang Badui tetap menyukainya. Suku-suku yang biasa disebut kaum Qabili, umumnya mempunyai pemimpinnya sendiri-sendiri yang disebut muqaddam. Ketua famili disebut abu. Mereka inilah sebenarnya para “penguasa” negeri. Mereka tinggal di perumahan yang dibentengi dengan garnisun kecil yang direkrut dari anggota keluarganya yang terdekat dan budak-budak. Dari situ, merka mendominasi kota dan daerah sekitarnya.
33
Gambus di Mesir dan Mekah disebut „ud. Di Hadhramaut lazim digunakan di kalangan suku. Di kalangan Sayyid dan golongan menengah, alat musik itu dianggap tidak sesuai dengan martabat mereka.
32
Muqaddam, yang merupakan atasan para abu, dipilih di antara para abu itu sendiri, umumnya yang paling tua dan paling kuat dari mereka. Apabila seorang muqaddam (kepala suku) atau abu (kepala famili) meninggal maka para pemuka suku atau famili itu, dan Sayyid di sekitarnya yang paling berpengaruh, mengadakan rapat untuk memilih penggantinya. Pemilihan itu harus mempertimbangkan hak sejarah dari kerabat terdekat dari almarhum, tetapi syarat utamanya adalah kemampuan. Muqaddam suku Yafi adalah kepala suku yang paling berkuasa di Hadhramaut. Ia bernama Awad bin Umar al-Qaiti yang tinggal di Al-Syihr dan juga Jama‟dar, pangkat setingkat kolonel pada battalion Arab dibawah pimpinan Pangeran Haider Abad di India. Selain Al-Syihr, ia juga menguasai al-Mukalla (1881), Gail Bawazir, al-Hajarain, Hawrah, al-Qathn dan Syibam. Sementara itu, ada pula para munshib, yakni kepala famili kaum sayyid, yang ikut berperan sebagai penguasa setempat, terutama dalam bidang spiritual. Semua munshib diakui sebagai pemimpin agama oleh suku-suku yang tinggal di sekitar kediaman mereka. Meskipun demikian, untuk memahami dengan baik posisi para munshib, penting untuk diketahui bahwa golongan Sayyid tidak menyandang senjata, akibatnya para munshibnya tidak memiliki kekuatan perlawanan jika ada yang menolak mematuhi perintah mereka. Golongan sayyid pada umumnya menerapkan pengaruhnya pada penduduk yang lain hanya berdasarkan rasa hormat, karena mereka keturunan Muhammad, demikian pula kekuasaan para munshib atas anggota keluarganya atau atas suku-suku yang menganggap mereka pemimpin agama, hanya bersifat moral. Hanya di al-Hazm
33
dan di Baur para munshib keluarga al-Aydrus tampak memiliki kekuasaan yang lebih nyata. Para munshib keluarga Syekh Abu Bakar memiliki kedudukan yang khusus, karena keluarga itu satu-satunya Sayyid yang menyandang senjata. Para munshib diangkat turun-temurun. Di Hadhramaut, yang disebut Badui adalah suku atau keluarga yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap, dan meskipun tetap di wilayah yang sama mereka sering berpindah tempat tinggal untuk mencari padang rumput bagi ternaknya. Mereka tidak memiliki kota sama sekali, paling-paling desadesa kecil yang terdiri dari gubug tanah liat.34 Beberapa diantaranya bahkan hanya tinggal di gua-gua dan hidup hampir seperti manusia primitif.35 Kepala suku Badui tidak memiliki puri, dan kekuasaannya didalam suku atau keluarga lebih tidak ada artinya dibandingkan dengan kekuasaan kepala suku yang menetap. Begitu pula halnya dengan kekuasaan kepala suku atas keluarga Badui yang menjadi anggota sukunya. Mereka hanya dapat diperhitungkan untuk berperang atau untuk menjarah suku lain. Golongan menengah adalah penduduk bebas baik di kota maupun di desa, mereka bukan anggota suku mana pun, bukan pula Sayyid dan tidak menyandang senjata. Di pundak merekalah kekuasaan para penguasa daerah diterapkan. Mereka terdiri dari: pedagang, pengrajin, petani, dan pembantu. Pedagang, pengrajin, dan petani membentuk korps profesi yang katanya masingmasing mempunyai status sejak zaman Raja Hadhramaut, Badr Abu Towairaq. Status yang sebagian tertulis merupakan undang-undang pelengkap, di samping 34
Desa pada umumnya disebut qaryah, namun desa suku Badui, yang terletak di gunung karang atau di gunung, mendapat sebutan khusus: raidah. 35 Op.Cit, hlm. 26
34
syari‟ah atau hukum Islam. Profesi itu diturunkan dari ayah ke anak lelaki, meskipun demikian undang-undang mengizinkan untuk memilih pekerjaan yang lain, dan bahkan dianggap tindakan terpuji jika seseorang tidak hanya membangun mentalnya sementara sarana untuk berkembang tersedia. Namun hal itu jarang sekali terjadi. Setiap korps memiliki pemimpin seumur hidup dan bergelar Abu. Ia mewakili korps profesi dan menyelesaikan pertikaian diantara anggota, apakah itu pertikaian mengenai status, atau yang ada kaitannya dengan adat istiadat setempat. Jika terjadi pertikaian mengenai hukum Islam, keputusan diambil oleh Qadi. Jadi pernyataan bangkrutnya seorang pedagang diucapkan oleh Qadi dan bukan oleh Abu. Pemilihan kepala korps profesi harus disahkan oleh penguasa kota atau penguasa desa. Para pembantu tidak mempunyai organisasi politik, mereka mengikuti kondisi majikannya dan dianggap bagian dari korps profesi majikan bersangkutan. Begitu pula halnya para budak. Golongan menengah di Hadhramaut, seperti juga yang di Eropa pada abad pertengahan, merupakan golongan yang dieksploitir oleh para penguasa daerah. Seorang penguasa sebuah kota atau sebuah desa yang membutuhkan uang, tinggal memintanya kepada golongan menengah tanpa rasa keadilan. Satusatunya yang dapat menahan keserakahan para penguasa adalah kepentingan mereka sendiri, artinya ketakutan mereka melihat golongan menengah pindah ke tempat lain. Di samping itu perlu diperhitungkan pula kepatuhan pada para Sayyid, yang pengaruh moralnya jga membebani orang-orang yang tidak begitu memperdulikan hukum agama. Para penguasa asy-Syihr dan Sai‟un adalah satu-
35
satunya yang berani menarik zakat dari para sayyid, di tempat lain mereka biasa terbebas dari kewajiban membayar zakat. Sebelum menyudahi pembahasan mengenai berbagai unsur dalam populasi Hadhramaut, disini Van den Berg menyebutkan semacam golongan ningrat yang khas, yang bergelar Syaikh36. Gelar itu disandang untuk dijadikan tanda kehormatan pribadi, oleh mereka yang mengabdi pada ilmu. Van den Berg menyebutkan bahwa pengaruh sayyid merupakan penahan ampuh tekanan para penguasa pada golongan menengah. Perlu ditambahkan bahwa berkat Pedagang Tidak ada di Hadhramaut yang patut disebut pemerintahan. Para syekh di kota-kota tidak memperdulikan apa yang disebut kewajiban pemerintah. Pendidikan, kepolisian, dan pekerjaan umum diserahkan kepada inisiatif swasta. Dari ketiga hal itu, hanya penddikan yang berkembang, terutama dikalangan sayyid dan syekh. Kecuali dalam bidang pendidikan dan penyiaran agama, kemajuan hampir tidak menyentuh Hadhramaut. Khalifah Baghdad tidak mempedulikannya selama penduduknya tidak mendurhaka. Demikian juga sikap pemerintah Turki. Hadhramaut mengakui pemerintahan Turki, tetapi tidak pernah membayar pajak dan upeti ke Istambul dan Istambul tidak pernah menunjukkan kekuasaannya di sana, karena memang hal itu akan menimbulakan perlawanan keras dari Hadhramaut.hanya Kesultanan Katsiri di Sei‟un dan Kesultanan Qaiti di Mukalla yang menandatangani perjanjian Protektorat Inggris (1839). Walaupun demikian, Inggris tidak mencampuri urusan dalam negeri Hadhramaut. 36
Penggunaan kata Syaikh „kepala‟ tidak dikenal di Hadhramaut. Sebaliknya, kata itu masih digunakan sebagai nama biasa. Demikian pula halnya dengan bentuk feminanya Syaikhah
36
C. Penggolongan Orang-Orang Hadhramaut 1. Penggolongan Berdasarkan Tempat Kelahiran
Dalam buku biografi ayahnya, Sayyid Hamid bin Hussein Al Muhdhor, seperti dikutip Clearns Smith, mengatakan bahwa orang Hadhramaut menyebut mereka yang lahir di daerah pedalaman (Wadi Hadhramaut, Wadi Du;‟an, Wadi Al-‟Ain, Wadi Al Amud dan sebagainya). Sementara itu yang lahir di daerah pantai termasuk peranakannya seperti di Mukalla, Asy-Syihr, Balhaf, Al Qarn Al Dish di sebut As-Sahel. Dalam lingkungan yang lebih besar orang Yaman Selatan menyebut dirinya Yamani. Sementara orang yang berasal dari Yaman Utara disebut Syimal. 2. Penggolongan Berdasarkan Profesi
Selain pembagian di atas dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Hadhramaut mengenal pembagian golongan berdasarkan profesi yang digeluti secara turun temurun, yang kemudian menetukan status social dan melahirkan suatu tata krama pergaulan lingkungannya. a. Golongan Ulama: mereka yang masuk dalam golongan ini hanya ulama dari golongan Ba‟alawi, yang disebut sayyid atau sayyidah untuk perempuan, Habib, Syarif atau Syarifah untuk perempuan, Wan. Mereka mengaku keturunan Rasulullah, melalui puterinya Sayyidah Fathimah Az-Zahra ra, yang menikah dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. Mereka dikenal sebagai ulama yang paham
37
tentang Islam sehingga banyak dari mereka yang menjadi guru, mubaligh, da‟i yang berpengaruh dan dihormati oleh masyarakat.37 b. Golongan Masyaekh: golongan cerdik pandai yang menekuni berbagai bidang ilmu termasuk agama. c. Golongan Ghabili, Qabili, atau Qabilah: golongan sultan, kepala Qabilah beserta pendukungnya yang bekerja sebagai tentara, polisi, pegawai kesultanan dan sebagainya yang kedudukannya setara atau satu derajat dengan masyaekh. d. Dhu‟afa wa Masakin: menurut Abdurrahman Assegaf, kepala Museum Saiwun, golongan ini yang berasal dari suku yang kalah perang ratusan tahun yang lalu di masa suku-suku masih sering saling menaklukan. Si penakluk bebas memperkerjakannya dengan kewajiban harus melindungi mereka secara hukum. Mereka umumnya bekerja sebagai:1. Qarwi, yang bekerja sebagai pedagang, industry kecil, pengrajin, pekerja rendahan, guru, tukang bangunan, dan sebagainya. 2. Ja‟il, yang bekerja sebagia pelayan, pesuruh, penjaga rumah, penggembala, penjaga kebun dan sebagainya. 3. Abid, budak belian yang melakukan pekerjaan berat, pekerjaan kotor seperti membersihkan WC, memandikan dan menguburkan jenazah dan sebagainya. 4. Sabi‟, penghibur seperti penyanyi, penari, pelawak dan sebagainya.38
37
Dr. H. A. Madjid Hasan Bahafdullah Dari Nabi Nuh AS sampai Orang Hadhramaut di Indonesia, hlm. 198 38 Ibid, hlm. 199
38
3. Penggolongan berdasarkan Asal Keturunan
Orang Hadhramaut yang patrinial39 membagi golongan mereka berdasarkan asal-usul keturunan atau genealogi. Keturunan ini berawal dari suku (bani) kemudian berkembang menjadi nasab, yang biasanya lahir dari nama tokoh kharismatik suku itu. Nama nasab bisa terjadi karena julukan, seperti Al Habsyi, karena dia pernah berdakwah di Ethiopia (Habsyi) selama 20 tahun. Bia juga terjadi karena keadaan fisik seperti tuna wicara, sering bolak-balik mengunjungi suatu negeri, pernah meninggalkan pasukan, memiliki suara keras macam petir, ada juga yang karena kelincihannya seperti kambing gunung dan sebagainya. Namun demikian bagus atau jelek nama nasab tersebut merupakan kebanggaan bagi hadharim yang biasanya melekat dibelakang namanya. Berdasarkan asal-usulnya orang Hadhramaut dimanapun berada termasuk di Indonesia, berasal dari dua golongan besar, yaitu: Arab Aribah dan Arab Musta‟ribah. a. Arab Aribah, Arab Asli, Pure Arab Arab Aribah mengaku dirinya sebagai orang Arab asli, karena menurutnya cikal bakal merekalah yang pertama kali menggunakan bahasa Arab. Mereka adalah anak keturunan Qahthan bin „Abir bin Syalekh bin Arfakhsyad bin Sham bin Nuh bin Lamak bin Matuslakh bin Akhnukh bin Alyarad bin Mahlanil bin Qinan bin Anusy bin Syits bin Adam. Mereka juga disebut Arab Qahthani atau Qahthaniyyah. Di
39
Menganut garis keturunan Ayah
39
Hadhramaut mereka hidup dalam ikatan atau suku-suku atau Qabilah, Qabail atau menurut lidah orang Arab disebut Ghabili. Dalam kehidupan bermasyarakat mereka mengangkat seorang pemimpin sebagai kepala suku yang disebut Al-Hakam, Muqaddam, Munsib, yang berkewajibannya tergantung oleh jumlah suku dan luas wilayah kekuasaannya.40 b. Arab Musta‟ribah Arab Musta‟ribah artinya yang diarabkan atau yang dianggap Arab. Mereka disebut juga Arab Adnaniyah atau Bani Adnan. Mereka adalah keturunan Nabi Ismail „Alaihissalam yang sudah berabad-abad bermukim di Hadhramaut. Mereka disebut demikian karena Nabi Ismail „Alaihissalam lahir dan hidup di Makkah empat generasi setelah Qahthan. Rsulullah Shollallahu „Alaihi wa Sallam sendiri termasuk golongan ini, karena beliau berasal dari suku Quraish keturunan Adnan yang berasal dari Nabi Ismail „Alaihissalam. Demikian juga dengan sahabat Abu Bakar Ash-Shidiq radhiyallahu „anhu yang berasal dari Bani Tamim keturunan Kulaib.41
40
Ibid, hlm. 201 Tidak ada perbedaan dari kedua golongan tersebut, mereka dibedakan karena yang satu lebih dulu berbahasa Arab dari yang lainnya. Tidak ada satu golongan yang lebih tinggi dari yang lain. 41
40
BAB III KONTAK INTELEKTUAL DAN BUDAYA KAUM ALAWIYYIN HADHRAMAUT DAN INDONESIA
A. Silsilah Keturunan Kaum Alawiyyin A.1 Asal Mula Silsilah Alawiyyin Alawiyyin yang ada hingga kini di seluruh penjuru dunia merupakan keturunan Rasulullah saw dari cucu beliau yaitu Sayyidina Husein yang merupakan anak dari pernikahan Sayyidina Ali dan Fatimah Az-Zahra. Seharusnya cucu beliau bernasab kepada Sayyidina Ali karena, menurut tradisi Arab, garis keturunan didasarkan atas garis keturunan orang tua lakilaki atau garis partrilineal. Perkara ini merupakan kekhususan bagi cucu Rasulullah saw baik Sayyidina Hasan dan Husein. Imam Thabrani meriwayatkan
hadits,
bahwasanya
Rasulullah
saw bersabda:
„Allah
menciptakan keturunan setiap nabi dari tulang belakangnya, namun Allah menciptakah keturunanku dari tulang belakang Ali bin Abi Thalib‟. Lebih lanjut imam Thabrani meriwayatkan hadits dari Siti Fatimah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: „Semua anak yang lahir oleh ibunya bernasab kepada ayah mereka, kecuali Fatimah, akulah wali mereka, akulah nasab mereka dan akulah ayah mereka‟.42
42
Nabi Muhammad SAW menikah dengan Khadijah dikaruniai 2 orang putra dan 4 orang putri mereka adalah Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqoyyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah Az-Zahra.
41
Hanya keturunan Sayyidina Ali bin Abi Thalib43 dari Fatimah Az-Zahra yang dianggap sebagai ahlul bait atau Alawiyyin yaitu Hasan dan Husein.44 A.2 Tokoh-Tokoh di Hadhramaut a. Ahmad Al-Muhajir Imam Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi Ja‟far ash-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidn bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Beliau seorang „alim, „amil (mengamalkan ilmunya), hidup bersih dan wara‟ (pantang bergelimang dalam soal keduniaan).45 Para ahli sepakat memberi gelar al-Muhajir hanya kepada Imam Ahmad bin Isa sejak hijrahnya dari negeri Iraq ke daerah Hadhramaut. Hanya Imam al-Muhajir yang khusus menerima gelar tersebut meskipun banyak pula orang-orang dari kalangan ahlul bait dan dari keluarga pamannya yang berhijrah menjauhi berbagai macam fitnah dan berbagai macam gerakan yang timbul. Di namakan al-Muhajir, karena beliau hijrah dari Basrah ke Hadhramaut karena sebab-sebab perbaikan yang diperlukan, diantaranya adalah mencari ketenangan demi menyelamatkan agamanya dan agama para pengikutnya ke tempat yang aman. Muhajir hijrah ke Hadhramaut beserta keluarganya yang 43
Sayyidina Ali mempunyai 10 istri, diantaranya: 1. Fatimah Az-Zahra ibu bagi Hasan, Husein, Muhsin, Zainab Al-Kubra, Ummu Kulsum Al-Kubro, dan Ruqoyyah yang meninggal ketika kecil 2. Khaulah binti Ja‟far Al-Hanafiyah ibu bagi Muhammad bin Al-Hanafiyah 3. Ummu Muhammad Al-Asgar ibu bagi Muhammad Al-Asgar 4. Asma binti Amis AlKhasmaiyah ibu bagi Yahya dan Aun 5. Laila binti Mas‟ud keturunan Bani Tamim ibu bagi Abu Bakar dan Adullah 44
Sayyidina Ali bin Abi Thalib mempunyai 15 orang anak laki-laki mereka adalah Hasan, Husein, Muhsin, Abbas Al-Akbar, Ubaidillah, Abu Bakar, Utsman, Abdullah, Muhammad AL-Akbar, Muhammad Al-Aswad, Muhammad Al-Asgar, Umar Al-Akbar, Ja‟far Al-Akbar, Yahya, dan Aun. 45 Idrus Alwi Al-Masyhur, Sejarah, Silsilah dan Gelar Alawiyyin keturunan Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir, hlm. 39
42
berjumlah 70 orang. Ikut serta dalam perjalanan beliau anakanya yang bernama Ubaidillah dan ketiga cucunya Alwi, Jadid, dan Basri. Kendali pimpinan dipegang oleh keturunan kedua orang yang pertama, yaitu Bashri dan Jadid. Namun keturunan mereka kemudian terhenti dan tidak berkelanjutan, yang pada abad ke-7 H tidak ada lagi seorang pun dari keturunan mereka. Sayang ahli-ahli sejarah tidak menghidangkan untuk kita jasa dan peran yang pernah dimainkan oleh keturunan Bashri dan Jadid, kecuali nama beberapa tokoh saja yang dicatat, yang di antaranya adalah Imam Ahli Hadits Imam Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Jadid (wafat 620 H.) dan Imam Salim bin Bashri (wafat 604 H.) Adapun tokoh-tokoh sesudah waktu tahap ini hanyalah dari turunan Alawi bin Ahmad bin Isa Ar Rumi (dari Alawi inilah datang sebutan Alawiyin bagi keturunaannya).
Meskipun
demikian,
silsilah
keturunan
Alawiyin
seluruhnya selalu melalui lima rangkaian nasab saja, yang menunjukkan bahwa Alawiyin baru berkembang dan bercabang setelah abad ke enam H. Rangkaian silsilah ke lima orang itu adalah: Muhammad bin Ali bin Alawi bin Munammad bin Alawi (bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir). b. Alwi bin Ubaidillah Imam Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir bin Isa ar-Rumi bin Muhammad al-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja‟far al-Shaddiqbin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein al-Syahid bin Ali bin Abi Thalib. Beliau seorang yang hafal al-Qur‟an dan sibuk dalam menuntut ilmu baik di Hadhramaut, Makkah dan Madinah.
43
Imam Alwi seorang yang alim dalam berbagai cabang ilmu, banyak mengerjakan shalat dan berpuasa, bersedekah, berbuat baik dan lemah lembut kepada kaum fakir dan miskin, teguh dalam menjalankan perintah agama, mempunyai kemuliaan yang sempurna, pemimpin kaum arifin, seorang faqih yang zuhud.46 c. Ja‟far Ash-Shadiq Al-Syarif Ahmad bin Muhammad Sholih al-Baradighi mengatakan bahwa nasab para Sayyid/Syarif di Hadhramaut berpangkal pada nasab Imam Ja‟far al-Shadiq melalui Muhammad bin Ali Uraidhi. Ja‟far dikenal sebagai seorang yang dermawan dan sangat murah hati. Sifat ini seakan warisan dan tradisi dari keluarga yang mulia ini. Sebagaimana Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam yang paling murah hati di antara keluarga ini. Beliau memiliki beberapa gelar terhormat, di antaranya Ash-Shabir (sang penyabar), Al-Fadhl (sang utama), dan At-Thahir (sang suci). Gelar beliau yang paling masyhur adalah Ash-Shadiq (sang jujur). Seluruh gelar tersebut menunjukkan kemuliaan dan keutamaan akhlak beliau.47 Ia juga diberi nama Amud alSyaraf‟ (tiang kemuliaan). Ia merupakan seorang guru dari Imam Abu Hanifah dan Malik bin Anas. Yang menempel pada Ja‟far adalah al-imam dan al-faqih, karena memang ia adalah seorang ulama dan tokoh panutan dari kalangan ahlul bait. Namun yang membedakan keyakinan umat Islam dengan
46
Idrus Alwi al-Masyhur, Membongkar Kebohongan Sejarah dan Silsilah Ketuunan Nabi saw. di Indonesia, h. 139 47 http://www.al-shia.org/html/id/etrat/biog/09.htm (di akses pada tanggal 15 September 2015 jam 10:28)
44
keyakinan Syiah, bahwa menurut umat Islam Ja‟far ash-Shadiq bukanlah imam yang ma‟shum, bebas dari kesalahan dan dosa.48 Mazhab ahlulbait as berkembang pada masa Imam Ja„far as, dan pengikutnya terus bertambah pesat, sehingga masyarakat lebih mengenal mazhab Syi„ah dengan mazhab Ja„fariyah, yaitu nama yang diambil dari Imam Ja„far AshShadiq as. Tentu saja tidak bisa dipungkiri, bahwa mazhab Ja„fariyah adalah Mazhab Imam Ali bin Abi Thalib as yang telah dikhianati dan dibunuh oleh kaum Khawarij, mazhab yang menyebabkan Imam Hasan as tewas diracun oleh Muawiyah, mazhab yang menyebabkan Imam Husain as mencapai syahadahnya pada Hari Asyura (di padang karbala pada 10 Muharram). Rasulullah saw telah mewasiatkan kepada kaum muslimin untuk berpegang teguh pada kitab Allah dan keluarga beliau (ahlulbait as). Sayang sekali, kaum muslimin telah melupakan wasiat tersebut. Ada sebagian yang telah menyimpang jauh sampai merampas hak kepemimpinan mereka dan menyebarkan kerusakan dan kezaliman. Ada pula penguasa-penguasa yang mengasingkan mereka dan para pengikutnya, bahkan tak segan-segan membunuh dan merencanakan kekejian terhadap mereka, seperti yang terjadi di Karbala. Kaum Muslimin mulai menyadari bahwa sikap menyia-nyiakan wasiat Rasulullah saw itu merupakan kerugian besar. Pada saat yang sama, mereka takut terhadap ancaman penguasa, bahkan ada di antara mereka yang
48
http://kisahmuslim.com/jafar-ash-shadiq-imam-ahlussunnah/ (di akses pada tanggal 15 September 2015 jam 10:30)
45
menyembunyikan kepercayaan dan kesetiaannya kepada ahlulbait as demi keselamatan hidupnya.49 d. Muhammad bin Ali (al-Faqih al-Muqaddam) Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali bin Alwi Khlai‟ Qasam bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin al-Imam Ahmad al-Muhajir bin Isa al-Naqib bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Ja‟far alShadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Imam Ali bin Abi Thalib. Gelar al-Faqih al-Muqaddam, karena Muhammad bin Ali seorang guru besar yang menguasai banyak sekali ilmu-ilmu agama diantaranya ilmu fiqih maka beliau diberi gelar al-Faqih. Salah seorang guru beliau Ali Bamarwan mengatakan, bahwa beliau menguasai ilmu fiqih sebagaimana yang dikuasai seorang ulama besar yaitu al-Allamah Muhammad bin Hasan bin Furak al-Syafi‟i, wafat tahun 406 H. sedangkan gelar al-Muqaddam berasal dari kata Qadam yang berarti lebih diutamakan, dalam hal ini waliyullah Muhammad bin Ali sewaktu hidupnya selalu diutamakan sampai setelah beliau wafat maqamnya yang berada di Zanbal Tarim sering diziarahi kaum muslimin sebelum menziarahi maqam waliyullah lainnya. Waliyullah Muhammad bin Ali dilahirkan di Tarim, beliau anak laki satusatunya dari Imam Ali bin Muhammad Shahib Marbad yang menurunkan sekitar 75 leluhur kaum Alawiyyin, sedangkan Imam Alwi bin Muhammad Shahib Marbad menurunkan kurang lebih 15 leluhur Alawiyyin. Imam 49
http://www.al-shia.org/html/id/etrat/biog/09.htm (di akses pada tanggal 15 September 2015 pada jam 10:28)
46
Muhammad bin Ali yang terkenal dengan nama al-Faqih al-Muqaddam ialah sesepuh kaum Alawiyyin. Beliau seorang yang hafal al-Qur‟an dan selalu sibuk menuntut berbagai macam cabang ilmu pengetahuan agama hingga mencapai tingkat sebagai mujtahid mutlak. Di antara keistimewaan madrasah al-Faqih al-Muqaddam adalah kompilasi antara ilmu dan amal, juga antara tawakal dan menjalani sebab rezeki50. Ada tiga orang guru yang banyak mempengaruhi al-Faqih al-Muqaddam, mereka adalah ayahnya Sayyid Ali bin Muhammad Shahib Mirbath, Syekh Ahmad Bamarwan, dan guru yang tidak pernah dijumpainya secara zahir tetapi merupakan guru yang membukanya kealam ghaib, yaitu Syekh Abu Madyan. Ketika ia masih menuntut ilmu, Syekh Abu Madyan seorang tokoh sufi dari Maghrib mengutus Syekh Abdurahman Al-Muq‟ad untuk menemuinya. Utusan ini meninggal di Makkah sebelum sampai di Tarim, tetapi sempat menyampaikan pesan gurunya agar Syekh Abdullah Al-Saleh melaksanakan tugas itu. Atas nama Syekh Abu Madyan, Abdullah membaiat dan mengenakan khiqah berupa sepotong baju sufi kepada Al-Faqih AlMuqaddam. Walaupun menjadi orang sufi, ia terus menekuni ilmu fiqih. Ia berhasil memadukan ilmu fiqih dan tasawuf serta ilmu-ilmu lain yang dikajinya. Sejak itu, tasawuf dan kehidupan sufi banyak dianut dan disenangi di Hadramaut, terutama di kalangan „Alawi.51 Pada awalnya sebutan Alawi diberikan kepada semua keturunan Ali bin Abi Thalib, baik dari anaknya al-Hasan maupun al-Husein. Selanjutnya, 50
Abu Bakar al-Adni bin Ali al-Masyhur, Biografi Ulama Hadhramaut, hlm. 120 Skripsi, Universitas Al-Azhar Indonesia Fakultas Sastra, Jakarta, 2015 dengan Judul “Historiografi Silsilah dan Penamaan Gelar Keturunan „Alawiyyin di Indonesia”). 51
47
sebutan Alawi hanya digunakan untuk keturunan Imam Alwi bin Ubaidillah dengan menggunakan gelar Bani Alawi atau Aal Alawi.52
Mazhab Fiqih:53 MAZHAB
PENDIRI
PEMIKIRAN
PENYEBARAN
HANAFI
Abu Hanifah anNu'man bin Sabit bin Zauta atTaimi alKufi. (Kufah, 80 H/699 M150 H/797 M)
Corak pemikiran hukum: rasional Dasar pemikiran hukum: 1.Al-Qur'an 2.Sunah 3.Pendapat sahabat 4.Kias 5.Istihsan 6.Ijmak 7.'Urf
-Afghanistan -Cina -India -Irak -Libanon -Mesir -Pakistan -Rusia -Suriah -Tunisia -Turkestan -Turki -Wilayah Balkan
MALIKI
Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir alAsbahi, terkenal dengan sebutan Imam Dar al-Hijrah. (Madinah, 93 H/712 M179 H/798 M)
Corak pemikiran hukum: dipengaruhi sunah yang cenderung tekstual Dasar pemikiran hukum: 1.Al-Qur'an 2.Sunah 3.Ijmak sahabat 4.Kias 5.Maslahah mursalah 6.'Amal ahl alMadinah
-Kuwait -Spanyol -Arab Saudi, khususnya Mekah -Wilayah Afrika, khususnya Mesir, Tunisia, Aljazair dan Maroko
52
Idrus Alwi al-Masyhur, Membongkar Kebohongan Sejarah dan Silsilah Ketuunan Nabi saw. di Indonesia, h. 140 53 http://muhammadmawhiburrahman.blogspot.com/2012/08/mazhab-fiqih-islamhanafi-maliki-syafii.html ( di akses pada tanggal 15 September 2015 jam 10:54).
48
7.Pendapat sahabat
Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin As bin Usman bin Syafi asySyafi'I al Muthalibi. (Gaza, Palestina, 150 H/767 M-Cairo, Mesir, 204 H/20 Januari 820 M)
Corak pemikiran hukum: antara tradisional dan rasional Dasar pemikiran hukum: 1.Al-Qur'an 2.Sunah 3.Ijmak 4.Kias
-Bahrein -India -Indonesia -Kazakhstan -Malaysia -Suriah -Turkmenistan -Yaman -Arab Saudi khususnya Madinah -Wilayah Arab Selatan -Wilayah Afrika Timur -Wilayah Asia Timur -Wilayah Asia Tengah
HAMBALI
Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Asad asySyaibani alMarwazi. (Baghdad, Rabiulakhir 164 H/780 MRabiulawal 241 H/855 M)
Corak pemikiran hukum: Tradisional (fundamental) Dasar pemikiran hukum: 1.Al-Qur'an secara zahir dan sunah 2.Fatwa sahabat 3.Jika ada perbedaan fatwa sahabat, digunakan yang lebih dekat dengan Al-Quran 4.Hadis mursal dan daif 5.Kias
-Arab (mayoritas)
JA'FARI
Muhammad Abu Ja'far
Corak pemikiran hukum:
-Irak -Iran
SYAFI'I
49
Saudi
ZAHRI
bin Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib asSadiq. (Madinah, 80 H/699 MMadinah, 25 Syawal 148/765 M)
Tradisional dan rasional Dasar pemikiran hukum: 1.Al-Qur'an 2.Sunah 3.Ijmak 4. Akal
Dawud bin Khalaf alIsfahani. (Kufah, 200 H/815 MBaghdad, 270 H/883 M)
Corak pemikiran hukum: Tradisional (fundamental) Dasar pemikiran hukum: 1.Al-Qur'an 2. Sunah
-India -Pakistan -Nigeria - Somalia
-Irak (mayoritas) - Andalusia
A.3 Sebab Penamaan Gelar ‘Alawiyyin Hasil wawancara kepada Habib Javar Shodiq Alaydrus arti dari penamaan gelar Alawiyyin: “Tergantung, penamaan tersebut terjadi karena penduduk yang menamai gelar tersebut. Ada yang diberi gelar karena tempat dia tinggal seperti Maula Addawilah al Adni. Ada yang diberi gelar karena sifatnya dan ada juga diberi gelar karena tabarukan dengan nama kakeknya seperti Al-Muchdor.”
50
Sebab-sebab penamaan gelar Alawiyyin, tujuan penamaan fam? Secara garis besar penamaan marga pada keluarga Bani Alawi ada 3 faktor: pertama, karena julukan (laqob), contoh: Al-Haddad (tukang besi, karena kuat), Alaydrus (singa, karena mereka tegas), Al-Jufry (anak kesayangan yang berbadan gemuk), Alattas (orang yang bersin) , Assegaf (pengayom para wali). Kedua, karena tempat, contoh Aidid, Maulachela, kedua itu nama kota di Hadhramaut. Ketiga dari nama besar keluarga moyangnya contoh Bin Yahya Bin Agil, dan Banahsan.54
54
Hasil wawancara penulis dengan Farwa Alaydrus.
51
B. Sekilas Masuk dan Berkembangnya Kaum Alawiyyin Hadhramaut di Indonesia Sebelum menelaah lebih mendalam sepak terjang kaum Sayyid, alangkah lebih baik jika terlebih dahulu, membaca rentangan profil komunitas Arab Hadrami di Batavia. Rute keberangkatan mereka ke Nusantara dimulai dari pelabuhan al-Mokalla atau asy-Syihir menuju Bombay. Dari sini mereka melanjutkan ke Ceylon (Srilanka) lalu ke Aceh diteruskan ke Singapura. Seluruh perjalanan ditempuh menggunakan kapal layar dalam waktu berbilang bulan. Agaknya, rute serupa tak berlaku bagi mereka yang beruang. Kelompok ini lebih memilih berangkat dari Aden langsung ke Singapura menggunakan kapal uap dari perusahaan pelayaran Eropa.55 Sejarah kedatangan masyarakat Arab ke Indonesia telah banyak ditulis beberapa orang. Ada yang berpendapat bahwa masyarakat Arab Hadaramaut sudah banyak bermigrasi ke Indonesia pada akhir abad ke-19. Menurut Berg bahwa orang Arab Hadhramaut mulai datang secara masal ke Nusantara pada akhir abad ke-18. Kapan kira-kira para Habaib masuk ke Indonesia? Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para pedagang dari Gujarat. Pernyataan ini dicetuskan oleh Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam pada zaman colonial Belanda. Sayangnya, pernyataan ini terlanjur diterima oleh masyarakat umum di Indonesia. Pernyataan ini disanggah oleh, antara lain, dua habib terkemuka, yaitu Sayyid Alwi bin Thahir Al-Haddad (1957) dan Sayyid Muhammad Naquib Al-Attas (1972 dan 2011), dan diamini oleh H. Aboebakar Atjeh, yang intinya 55
http://www.rabithah-alawiyah.org/id/tag/alawiyin/ (di akses pada tanggal 18 September 2015 jam 11:00)
52
mengemukakan bahwa para pembawa Islam pertama kali adalah para Habib pedagang dari Hadhramaut dan Aceh sebagai daerah pertama berlabuh para Habib tersebut. Tahap pertama proses Islamisasi Nusantara terjadi pada abad-abad pertama Hijriah. Mengingat jauhnya jarak dari tempat turunnya wahyu dan keterbatasan teknologi transportasi, keberhasilannya masih terbatas dan lagi mampu mencapai wilayah-wilayah lain di seluruh penjuru. Fakta menunjukkan bahwa pada sekitar 650 H telah ada kuburan-kuburan kaum Hadhrami di Aceh, Sumatera. Selain kuburan itu masih dapat ditemui sampai sekarang, muncul spekulasi bahwa apabila 650 M saja telah ada kuburan para Habib, maka dipastikan telah ada kehidupan para Habib pada tahun-tahun sebelumnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Muhammad Naquib AlAttas (1972). Beliau juga berpendapat bahwa terma kafur (jamak dari kafir) yang termaktub dalam Al-Qur‟an merujuk pada kekayaan alam yang berasal dari kota Barus, Tapanuli, Sumatera. Lebih lanjut lagi, Sayyid Alwi bin Thahir Al-Haddad (1957) menambhakan bahwa perdagangan antara para Habib dan penduduk setempat berupa parfum, cengkeh dan lada telah ada sejak abad kedua di Sulawesi56. Tahap kedua, yang berlangsung pada abad ke-14 M, ditandai dengan kedatangan tokoh-tokoh asyraf, keturunan Ali dan Fathimah binti Rasulullah SAW. yang lazim dikenal dengan sebtan „Alawiyyin. Pada periode ini, dakwah
56
Marzuki Alie, Azyumardi Azra, Abdillah Thaha, Abdullah bin Nuh, Musa Kazhim, Yasmine Zaki Shahab, Habib Luthfi Yahya, Habib Zeyd bin Abdurrahman Yahya, Engseng Ho, Frode F. Jacobsen, Ali Muhammad Naqvi, et.al, Peran Dakwah Damai Habaib/‟Alawiyyin di Nusantara, hlm. 14
53
Islam berkembang sedemikian rupa sehingga dapat tersebar di seluruh penjuru Nusantara, bahkan di Asia Tenggara. Perkembangan tersebut mencapai puncaknya pada abad ke-15 hingga abad ke-17. Diantara para pendakwah keturunan „Alawiyyin awal yang datang ke Indonesia pada tahap kedua ini adalah sembilan wali yang bergiat di Pulau Jawa, yang biasa disebut sebagai Wali Songo57. Perhentian mereka yang pertama adalah Aceh. Dari sana mereka lebih memilih pergi ke Palembang dan Pontianak. Orang Arab mulai menetap di Jawa setelah tahun 1820, dan koloni-koloni merka baru tiba di bagian timur Nusantara pada tahun 1870. Aceh sebagai perhentian pertama dan titik pusat imigrasi bangsa Arab. Menurut tabel statistik, saat ini di Pulau Jawa terdapat enam koloni besar Arab, yaitu di Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang dan Surabaya, di Madura hanya ada satu yaitu Sumenep. Koloni-koloni Arab yang lain yang telah menetap harus dianggap sebagai bersatu dengan ketujuh koloni tersebut di atas. Koloni Arab di Batavia, meskipun baru setengah abad umurnya, sudah merupakan koloni terbesar di Nusantara, jika kita masukkan pula para anggotanya yang lahir di Arab. Beberapa faktor yang menyebabkan mereka bermigrasi ke Indonesia adalah terbukanya kesempatan berdagang dengan kawasan-kawasan yang diperebutkan oleh negara-negara kolonial barat seperti Belanda dan Portugis, kemiskinan di Hadhramaut yang sering dilanda peperangan, kekacauan di negeri Yaman,
57
Ibid, hlm. 17
54
keberhasilan para imigran Hadramaut di Indonesia, dan usaha untuk penyebaran agama Islam. Berbeda dengan bangsa Eropa khususnya Belanda yang datang untuk menjajah dan juga menguasai perdagangan, kedatangan mereka selain membantu memperluas agama Islam, juga ditandai dengan pembangunan masjid, sekolah dan pemakaman. Seorang Arab yang datang dari Hadhramaut ke Nusantara, walau tanpa perlindungan dari orang kaya, dapat memperoleh kekayaan secara cukup cepat jika dibandingkan dengan kecilnya penghasilan mereka di tanah air, atau dengan penghasilan pribumi, dan ia menyesuaikan diri sepenuhnya dengan cara hidup mereka. Kedatangan seorang Arab dari Hadhramaut biasanya merupakan peristiwa yang sangat penting bagi sebuah koloni Arab, setiap orang ingin berbicara dengannya untuk menanyakan kabar mengenai kerabat, suku, dan desanya. Cara orang-orang Arab di Nusantara mematuhi prinsip-prinsip hukum Islam mengenai zakat merupakan bukti lagi bahwa semangat kemakmuran memang sudah melembaga dalam diri mereka. Tidak terdapat seorang Arab Hadhramaut pun yang ketagihan minuman keras atau candu bahkan jarang di antara keturunan berdarah campuran. Orang Arab, semiskin apapun, dapat menjaga anak perempuannya terhadap pelacuran. Di Nusantara jarang ditemui orang Arab yang sama sekali tidak meminati perdagangan. Mereka, bersama orang China, membentuk apa yang disebut dalam bahasa perdagangan “tangan kedua”, artinya mereka membeli barang dalam jumlah besar pada pedagang besar Eropa untuk kemudian menjualnya
55
secara eceran, baik secara langsung maupun melalui orang lain. Meskipun demikian, secara keseluruhan, usasha orang China jauh lebih besar daripada usaha orang Arab, dan bahkan tampaknya mereka memiliki jiwa dagang. Tampaknya orang Arab di Nusantara mengadakan hubungan dagang terutama dengan
tanah airnya, Laut Merah, dan Teluk Persia. Meskipun
demikian, perdagangan mereka dengan semua negeri itu sangat sedikit. Pada umumnya usaha orang Arab dlakukan dengan modal yang terlalu kecil. Seorang Arab yang telah memperoleh kekayaan jarang meneruskan usahanya dengan semua yang telah diperolehnya.58 Golongan
„Alawiyyin
sangat
memperhatikan
ikatan
kekeluargaan,
berdasarkan keturunan Nabi Muhammad SAW. Banyak di antara mereka yang bermigrasi ke Indonesia atas bantuan keluarganya yang lebih dahulu datang ke Indonesia. Mereka yang baru datang dari Hadramaut dianggap sebagai tamu penting, karena membawa berita tentang keluarga dan kampung halaman di Hadramaut. Pendatang baru biasanya tinggal dengan tuan rumah untuk sementara waktu. Kemudian tuan rumah mengusahakan pekerjaan bagi tamunya sampai ia mandiri. Pada umumnya golongan Sayyid di Hadramaut termasuk orang miskin. Oleh karena itu golongan Sayyid yang ada di Indonesia mengundang keluarganya untuk datang ke Indonesia, karena mereka umumnya mendapat tempat terhormat di Indonesia. Di Indonesia, keturunan Rasul sangat di hormati. Memang kaum Sayyid, selain berilmu dan bernasab mulia, juga berperangai lebih halus. Koloni-koloni 58
Dibandingkan kepada taraf hidup orang Arab yang rendah, jumlah uang yang relative minim sudah merupakan kekyaan bagi mereka.
56
yang banyak Sayyidnya, seperti Palembang dan Pekalongan, umumnya lebih beradab daripada koloni yang bagian besar anggotanya bukan Sayyid. Jika seorang Sayyid tidak memiliki atribut lain pun, seperti berilmu, bijaksana atau kaya, orang Arab asal Hadhramaut tetap menghormatinya, misalnya dengan mencium tangannya, dan bilamana ia memasuki ruangan pertemuan, semua orang akan berdiri dan menawarkan tempat terhormat kepadanya. Menurut Van den Berg dan Hurgronje, kaum Sayyid asal Hadhramaut adalah orang-orang yang suka damai59. Van den Berg memuji mereka sebagai orang-orang yang setia kepada Pemerintahan Belanda. Ia memberikan contoh raja-raja di Indonesia yang Sayyid, yang semuanya taat pada pemerintahan kolonial. Ia juga memberikan beberapa contoh tokoh lainnya, seperti Sayyid Muhammad bin Abu Bakar Aidid yang menjadi kepala kolonial Arab di Jakarta hingga matinya. Wali songo mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di tanah Jawa. Mereka merupakan keturunan Rasulullah SAW yang berasal dari Alwi Amul Faqih Muqaddam. Habib Muhammad bin Ali Al-Habsy pelopor pendiri Islamic Center Indoneisa (ICI) di Kwitang habib Muhammad meneruskan dakwah ayah beliau yaitu Habib Ali seorang ulama terkemuka pada zamanya di Jakarta. Habib Muhammad mempunyai yang baik dan luas dengan pejabat pemerintahan dan swasta. Islamic Center Indoneisa diresmikan pada tanggal 17 Oktober 1971, bergerak dalam pendidikan seperti majlis ta‟lim yang
59
Para Habaib yang lebih dikenal dengan kaum Alawiyyin, mereka tidak suka bercampur tangan, mereka tidak suka untuk berperang, yang mereka sukai hanyalah mengamalkan ilmu agama mereka, berdagang, berdakwah dan melakukan hal-hal positif yang lainnya.
57
diadakan setiap hari Minggu, lembaga pendidikan Islam yang diadakan sore hari bagi anak-anak dan perpustakaan Islam merupakan perwakilan penerbit Toha Putra Semarang. Kini dakwah tersebut diteruskan oleh anaknya yang bernama Habib Abdurahman. Habib Muhammad bin Ahmad Al-Haddad wafat pada tanggal 20 Desember 1980 seorang pendiri yayasan Al-Hawi di kramat Jati Condet. Yayasan ini bergerak dalam bidang pendidikan, dan juga sebagai rumah yatim piatu. Raden Saleh seorang pelukis terkenal termasuk golongan sayid nama aslinya adalah Saleh bin Husein bin Yahya. kakeknya Awadh datang dari Hadramaut ke Jawa pada permulaan abad ke-19 dan menikah dengan putri Regen Lassem, Kiahi Bostam. Raden Saleh merupakan bapa seni rupa modern, seorang pelukis, ilmuwan, dan bangsawan. Ia menghabiskan 23 tahun hidupnya di Eropa. Ia meninggal pada hari Jumat 23 April 1880. Habib Husein bin Abu Bakar Alayderus pendiri masjid Luar Batang. Ia adalah seorang penentang penjajahan belanda. Ketika semasa hidup beliau berpesan agar dikubur didekat masjid tersebut namun, atas perintah Belanda agar ia dimakamkan di luar masjid. Jenazah beliau oleh pengikutnya dimasukan kedalam kurung batang dan akan dikuburkan sesuai dengan perintah Belanda. Namun ketika sampai di tempat pemakaman ternyata jenazah beliau tidak ada di dalam kurung batang. Sewaktu para pengikut habib kembali ke masjid ternyata jenazah beliau telah ada di depan masjid. Maka akhirnya beliau di makamkan di situ. Sejak itu nama tempat tersebut dinamakan Luar batang yang berarti keluar dari kurung batang. Masjid Luar Batang merupakan tempat berkumpulnya ahli agama baik dari kalangan
58
sayid maupun non sayid untuk memberikan petunjuk-petunjuk, nasehat dan pendidikan agama Islam yang memberikan kesadaran tentang pentingya umat Islam dewasa ini umtuk mengahayati ajaran Islam. Kegiatan yang biasanya ramai dikunjungi oleh masyarakat adalah pada saat maulid Nabi Muhammad SAW. Keturunan „Alawiyyin mendirikan organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan yang bernama Jamiat Khair yang didirikan di Batavia sekitar tahun 1901, dan mendapat pengakuan pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1905 yang tidak diragukan lagi merupakan organisasi Islam pertama di Indonesia mendahului Sarekat Dagang Islam (SDI, 1909), Sarekat Islam (SI, 1911) dan Muhamadiyah 1912. Pada mulanya penjajah Belanda tidak memberikan izin pada organisasi ini, karena pada waktu itu masih berlaku peraturan Vreemde Oostrelingen yang isinya memisahkan keturunan Arab dari pribumi. Salah satu pendorong berdirinya Jamiat Khair adalah tekanan penjajah Belanda terhadap kaum muslim terutama dalam bidang pendidikan, misalnya yang hanya dapat bersekolah hanya anak-anak orang yang berpangkat saja. Penjajah berusaha menjauhkan anak didik dari adat istiadat dan agama yang dianutnya. Belanda mendirikan sekolah Hollands Inladse School (HIS), dengat syarat peserta didik tidak boleh bersarung, berpeci, dan harus memakai celana pendek di atas lutut. Hal tersebut menyebabkan dualisme dalam lapangan pendidikan, yaitu pendidikan umum dan pendidikan agama yang seolah-olah saling bertentangan. Namun, kesatuan organisasi Jamiat Khair tidak bertahan lama konflik yang bersumber dari stratifikasi sosial, kultur, keagamaan, dan juga konspirasi politik oleh Belanda menimbulkan perpecahan di dalam Jamiat Khair. Surkati ketika
59
pergi ke Surakarta pada 1913 ia mengeluarkan fatwa memperbolehkan kalangan non Sayid untuk menikahi Syarifah. Oleh sebab itu hubungan Surkati dengan para „Alawi memburuk dengan berujung pengunduran diri Surkati (Azra, 2002: 210). Namun ada pendapat lain yang mengatakan keluarnya Ahmad Surkati dari Jamiat Kheir bukanlah disebabkan oleh isu-isu keagamaan yang saat itu beredar. Keluarnya Surkati lebih disebabkan oleh konspirasi kolonial Belanda yang telah diatur oleh Umar Manggus dan Rinkes, penasehat Belanda untuk masyarakat Arab dan pribumi. Hubungan ketiga orang ini telah terjalin sebelumnya untuk menciptakan konflik di kalangan masyarakat Islam dan memenuhi aspirasi pribadi. Dari jauh hari kaum ‘Alawi telah memberi nasehat kepada Surkati melalui Jamiat Kheir agar tidak berhubungan dengan Umar Manggus dan Rinkes, akan tetapi Surkati menolak permintaan mereka. Kedekatan hubungan antara Surkati, Umar Manggus dan pihak pemerintah kolonial Belanda, membuat para pejabat Belanda selalu campur tangan untuk menolong kesulitankesulitan kedua orang itu dan Al-Irsyad. Sebaliknya, saat itu Jamiat Kheir sedang berjuang terhadap pemerintah kolonial Belanda. Sebagai tanda perjuangannya, Jamiat Kheir menolak untuk mengajarkan bahasa Belanda di sekolahnya dan lebih memilih bahasa Inggris untuk diajarkan kepada muridmuridnya. Dalam buku Nasehat Snouck Hurgronje dalam masa kepegawaiannya kepada pemerintah Hindia Belanda bahwa menurut pendapat beberapa orang dari masyarakat Arab, Umar Manggus dikatakan sebagai penindas orang Arab, hal ini berdasarkan penuturan haji Rasim Bey seorang konsul Turki di Betawi yang pernah menyewa rumah Umar Manggus. Oleh masyarakat Arab, haji
60
Rasim Bey dianjurkan untuk keluar dari rumah Umar Manggus, masyarakat Arab akan mengadukan kepada Konstantinopel tentang persahabatannya dengan penindas orang Arab, yaitu sahabat pemerintah Hindia Belanda, jika beliau tidak keluar dari rumah tersebut. Berdasarkan data sensus yang dilakukan oleh Maktab Daimi lembaga yang dibentuk oleh Rabithah Alawiyah yang diketuai oleh Ali bin Ja‟far Assegaf, total keturunan „Alawiyyin yang tercatat sampai tahun 1937 di Indonesia sekitar 17.000 orang. Ketika lembaga tersebut melakukan sensus ulang dimulai pada tahun 1937 sampai 2002 dengan menggunakan program komputerisasi, tercatat sekitar 100.000 Sayyid di Indonesia yang namanya telah terdafar di buku besar nasab yang berjumlah 15 jilid. Dalam kurun waktu 65 tahun tercatat kaum Alawiyyin bertambah sekitar 83.000 jiwa.60 Data Alawiyyin yang tercatat terakhir ini di majalah Buletin BUSYRA (Berita Ukhuwah dan Syiar Rabithah Alawiyah) edisi No.011 se-Jabodetabek yang mulai dilakukan sejak Februari 2014 telah berhasil mengumpulkan data individu lebih dari 13.000. Untuk itu, setelah berakhirnya pendapatan tahap I pada bulan Mei 2014 lalu, maka dilaksanakan pendapatan tahap II lebih terkonsentrasi pada keluarga Alawiyyin yang tersebar tersebut. Data yang terkumpul pada tahap II berjumlah 13.717 individu yang berasal dari 3.969 keluarga.
60
Idrus Alwi al-Masyhur, Sejarah, Silislah dan Gelar Keturunan Nabi Muhammad SAW, hlm. 55
61
C. Pola-Pola Kontak Intelektual dan Budaya 1.
Dakwah
Menurut tulisan-tulisan lama, Ahmad Muhajir berhijrah ke Hadhramaut, karena motif keagamaan dan menghindari penindasan terhadap keturunan Ali bin Abi Thalib karena kecemburuan pengaruh. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan penulis sejarah tentang paham Ahmad Muhajir yang hijrah ke Hadhramaut. Allamah Abdurrahman bin Ubaidillah Al-Saqqaf dalam bukunya, Nasim Hajir dan Sayyid Hud bin Ali Al-Hamid dalam bukunya, Tarikh Hadhramaut berpendapat bahwa Imam AlMuhajir adalah pengikut Mazhab Syi‟ah Imamiah. Pendapat ini dibantah oleh Sayyid Ali bin Thahir Al-Haddad dan Sayyid Abdullah Bilfaqih. Perbedaan pendapat itu dikatakan oleh Sayyid Muhammad bin Ahmad Al-Syathiri dalam bukunya, Adwar Al-Tarikh Al-Hadhrami. Al-Syathiri sendiri berpendapat bahwa tokoh Alawi hingga permulaan abad ke-13 adalah imam-imam mujtahid yang tidak mengikuti atau terikat pada salah satu mazhab. Namun, dalam hasil ijtihad mereka sering terdapat kesesuaian dengan Mazhab Syafi‟i. dalam hal akidah, mereka sepaham dengan para leluhur mereka sampai pada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu‟anhu. Abu Ferik ibn Muththalib menegaskan bahwa kaum „Alawi semula bermazhab Ahlul bait, yakni menganut mazhab Syi‟ah Imamiah. M. Al-Baqir tampaknya berpendapat seperti itu menambahkan, menurutnya mazhab Imamimam Ahlulbait terdahulu, tidak selalu dan tidak harus sejalan dengan Mazhab Syi‟ah Imamiah yang dikenal sekarang.
62
Menurut Al-Syathiri, sejak masa Imam Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam (574-653 H/1178-1254 M), kaum „Alawi menganut Mazhab Syafi‟i. AlSyathiri selanjutnya mengatakan, dalam hal akidah, kaum „Alawi menganut paham Al-Asy‟ari (dalam hal tauhid), tetapi meninggalkan paham Al-Asy‟ari dalam beberapa hal, termasuk sahnya taklid dalam iman. Pada mulanya, kaum „Alawi di Hadhramaut menghadapi kenyataan bahwa rakyat di sana terikat pada hukum-hukum kesukuan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sekian itu, mereka juga menghadapi penganut Ibadhiah, cabang sekte Khariji, yang sangat membenci Ali bin Abi Thalib. Menurut Abu Ferik, “ini terlihat pula hingga kini dari istilah-istilah dalam dialek orang Hadhramaut.” Di Hadhramaut, para muhajir itu mula-mula tinggal di Hajarain di Lembah Du‟a, kemudian pindah ke Tarim. Mereka membangun mesjid-mesjid dan madrasah. Kaum Khariji yang ciri khasnya adalah fanatisme dan kebencian kepada Imam Ali bin Abi Thalib tentu tidak mudah menerima kegiatan dakwah kaum „Alawi. Paham mereka bertentangan keras dengan paham Syi‟ah yang mengakui Ali sebagai imam. Tidak terelakan, bentrokan fisik sering terjadi. Suasana demikian tentu tidak banyak memberikan peluang bagi kegiatan dakwah para „Alawi. Hingga menjelang akhir abad ke-12, kaum „Alawi hanya berjumlah beberapa orang. Suatu perubahan mendasar yang mengubah sejarah Hadhramaut terjadi pada masa Al-Faqih Al-Muqaddam (w. 1254) yang secara tegas menyatakan diri
63
penganut Mazhab Syafi‟i, diikuti oleh semua kalangan Sayyid Hadhramaut.61 Sementara itu, penyebaran Islam terus dilakukan secara intensif dengan perluasan pendidikan, yang akhirnya dalam bentuk madrasah yang berkembang dengan pesat. Sekolah-sekolah agama di Tarim dan Sei‟un kemudian menjadi terkenal hingga menggoda pelajar-pelajar dari luar Hadhramaut. Kaum Khariji, yang kekuatan politiknya telah terpukul, akhirnya terbawa arus dakwah kaum „Alawi yang ditopang oleh ulama-ulama yang tangguh. Akhirnya, penduduk Hadhramaut memeluk Islam menurut Mazhab Syafi‟i seperti yang diajarkan kaum „Alawi. Keunggulan mereka dalam bidang ilmu dan akhlak yang didukung oleh nasab mereka sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW, menyebabkan mereka sangat dhormati. 2.
Perdagangan
Kedudukan Arab Selatan sangat strategis bagi jalur perdagangan. Hanya dengan menyeberangi Selat Bab El-Mandeb, selebar 30 km, ia sudah berhubungan dengan Somali di Afrika. Ia juga merupakan stasiun pelayaran kapal dari Asia. Pelabuhan kapal wangi-wangian, dan kemudian juga emas, adalah Qana‟ (di Hadhramaut, di situs Bir „Ali). Wangi-wangian produksi Hadhramaut dibawa dengan perahu-perahu yang terbuat dari kulit dan kapal-kapal kecil ke Qana‟. Selain itu, ada pula lalu lintas darat kafilah dagang ke Arab Utara dan wilayah-wilayah kekuasaan Romawi dan Persia. Salah satu jalur kafilah darat
61
M. Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi, hlm. 95
64
itu melalui Makkah, yang membuat kaum Quraisy menjadi kaya dengan perdagangannya. Arab Selatan juga merupakan importer barang-barang eksotik dari India dan Somalia. Dengan demikian maka empirium perdagangan Arab Selatan terdiri dari dua bagianyang saling mengisi, di bagian selatannya berupa pelayaran yang menghubungkan Samudra Hindia dengan pelabuhannya di Qana‟, sedang bagian utaranya adalah Jazirah Arab dengan kafilah darat yang membawa produksi dan barang impornya ke kawasan Sabit Subur dan Mediterania di utara. Ini menjadikan Ma‟rib ibu kota niaga yang besar di dunia kuno pusat jaringan luas jalan perniagaan.62 Orang Hadhramaut menjadi kayak karena perdagangannya. Kemenyan merupakan industri raksasa. Seluruh dunia beradab menghasratkan wangiwangian itu untuk tempat-tempat pemujaannya, sementara Arab Selatan menguasai sumbernya, dan yang dibolehkan mengurusi perdagangannya dalam negeri hanayalah warga negerinya, sehingga rakyat benar-benar memperoleh keuntungan darinya. 3.
Asimilasi Budaya
Keagamaan
Agama mendapat perhatian besar penduduk Hadhramaut, terutama kaum Sayyid. Pusat-pusat pertemuan keagamaan adalah masjid dan sekolah-sekolah yang biasanya merupakan bagian dari lingkungan masjid. Secara lahiriah
62
Op.cit, hlm. 77
65
masjid mudah dikenali terutama karena bgian luar dindingnya yang berkapur.63 Upacara-upacara yang bersifat keagamaan seperti memperingati hari-hari besar Islam di kalangan Alawiyyin banyak yang menarik. Para Sayyid terutama orang tuanya mengenakan pakaian Arab. Baju kurung putih yang panjangnya sampai ke mata kaki yang di luarnya dilapisi dengan sehelai sadariah (yang dipakai dalam jubah). Baju ini disebut juga rompi, dan umumnya berwarna putih, tapi ada juga yang berwarna lain. Di pinggirnya dilengkapi dengan renda kuning.
Adat Kebiasaan Orang Hadhrami
Orang Hadhramaut, sekalipun sudah hidup jauh dari negerinya bahkan sudah bergenerasi-generasi hidup di negeri orang, umumnya masih tetap mempertahankan kebiasaannya terutama dalam pergaulan di lingkungan keluarga atau dengan sesamanya. Panggilan kepada angota keluarga dan famili masih banyak yang tetap menggunakan bahasa Arab. Bapak atau Ayah di panggil Abah, Aba, Abi, Abuya. Ibu di panggil Umi. Paman biasa di panggil Khale, Ami. Bibi biasa di panggil Khalaty, Amah atau Ameh. Kakek dipanggil Jiddi, nenek dipanggil Jiddah.64 Adat kebiasaan lainnya yang cukup menonjol adalah kebiasaan membawa status sosial sewaktu di negerinya yang masih terasa sampai sekitar tahun 60an khususnya dalam masalah pernikahan. Dalam masalah yang satu ini dapat dikatakan hampir mustahil non Ba‟alwi dapat mempersunting seorang puteri 63
M. Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi, hlm. 114 Dr. H.A. Madjid Hasan Bahafdullah, MM, Dari Nuh AS Sampai Orang Hadhramaut di Indonesia, hlm. 195 64
66
Ba‟alwi, alasannya karena tidak mau keturunannya terputus dari Rasulullah SAW. Orang tua sang puteri banyak yang memilih puterinya tidak menikah seumur hidup daripada harus menikah dengan Ghabili.65
Pakaian dan Makanan di Hadhramaut
Model pakaian orang Hadhramaut, baik yang miskin maupun yang kaya sama saja. Tidak ada perbedaan antara pemimpin dan rakyat. Hanya mutu dan harga pakaian serta perhiasannya yang berbeda. Dalam hal ini, di kalangan kaum Sayyid ada kekecualian.66 a.
Para lelaki kaum Sayyid dan Syekh memakai futhah67 yang panjang
sampai ke mata kaki dan diikat di pinggang dengan sabut kulit. Di luarnya dipakai jubah yang yang juga sampai ke tumit dan ditutup di depannya dengan tiga kancing. Kepala dicukur gundul dan bersorban yang terbuat dari sepotong kain yang di bungkuskan keliling kopiah yang keras. Di balik kopiah itu terdapat kopiah dalam yang lembut. b.
Kaum Qabili memakai futhah tetapi tanpa jubah. Futhah kaum Qabili
tidak sepanjang kaum Sayyid dan Syekh. Cara pemakaiannya pun berbeda. Sebagai pengganti jubah, mereka memakai jaket pendek. Di bahunya terdapat pedang dan perisai kecil. Lelaki Qabili tidak mencukur rambut. Mereka mereka memakai dismal, lingkaran kain sebagai pengganti sorban. Rambutnya terjumbai ke belakang. Mencukur kumis adalah adat Hadhramaut. Mereka memakai sandal.
65
Ibid, hlm. 196 Hanya family Bin Syekh Abu Bakar yang menyandang senjata dan pakaian seperti kaum Qabili. 67 Futhah adalah sejenis kain celana India. 66
67
c.
Orang Badui berpakaian seperti Qabili, tetapi lebih sederhana. Futhah
mereka yang selalu berwarna gelap hanya sampai ke lutut. Badan di atas pinggang biasanya telanjang. d.
Kaum wanita memakai gaun besar dengan lengan yang longgar di bahu
tetapi menyempit di pergelangan. Sabuk kain menahan gaun itu di pinggang. Apabila hendak keluar, mereka memakai sirwal.68 Wanita Badui tidak memakai sirwal. Wanita Hadhramaut memakai khuf.69 Wanita Badui bertelanjang kaki. Kaum wanita terhormat menutup kepala mereka apabila keluar rumah. Pada penutup kepala itu terkait cadar, dan seluruh badan tertutup oleh semacam qamish. Wanita kalangan bawah menutup kepala tetapi tanpa cadar. Hanya di kalangan Badui wanita memakai nuqbah yang menutup dahi dan mulut. Anak wanita di bawah umur tidak menutup wajah mereka. Di Hadhramaut orang makan tiga kali sehari: Sarapan segera setelah orang bangun, mengambil air wudhu dan bersembahyang subuh. Makan siang antara pukul 11 dan 12 siang, sebelum sembahyang lohor. Dan makan malam setelah selesai sembahyang isya, artinya pukul 19.30. Roti dari gandum, kurma kering, dan daging merupakan makanan pokok. Daging sering dibuat semacam sup dengan sayur (maraq). Beras yang tidak dibudidayakan di Hadhramaut merupakan makanan sekunder. Hanya penduduk pribumi yang makan daging ayam dan sapi jantan. Sapi betina dibudidayakan untuk diperah susunya, begitu pula ayamuntuk telurnya. Hanya di lingkungan suku Badui ayam merupakan makanan yang lazim, sedangkan penduduk daerah pantai 68 69
Sirwal adalah celana panjang yang sangat lebar tetapi sempit di pergelangan kaki. Khuf adalah sepatu setengah bot berwarna merah atau kuning, tanpa kaos kaki.
68
makan banyak ikan (samak).70 Di pedalaman tentu saja orang makan ikan asin kering. Sebagai penyedap, terdapat minyak samin,71 madu, minyak, garam, lada, bawang bombai, bawang putih, cabai, cengkeh, kayu manis, gula, jahe, jinten, dan sebagainya. Terdapat pula sayur mayur dan buah-buahan seperti anggur, buat tin, delima, buah teratai, sitrun, dan asam. Penduduk pantai juga makan kelapa dan sirih. Cara makan adalah dengan sendok, pisau, dan juga dengan tangan. Penggunaan garpu tidak dikenal. Minuman sewaktu makan adalah air atau susu sapi atau kambing. Orang Badui minum susu unta, namun lebih sebagai minuman penyehat daripada sebagai pemuas dahaga. Susu sisa mentega dan susu kental, banyak diminum juga. Minuman yang pantas disebut juga adalah kopi (qahwah).72 Di Hadhramaut tidak terdapat tempat umum (miqhayah) tempat orang duduk-duduk minum kopi. Kopi diminum dirumah, diantara dua waktu makan, khususnya bila ada tamu. Diadatkan pula bahwa siapa pun yang berkunjung kerumah seseorang membawa beberapa biji yang dibungkus didalam serban atau didalam radi.73 Apabila tamu sudah berkumpul, tuan rumah menyuruh mengumpulkan biji kopi itu dan menyuruh menyiapkan minuman. Sebelum mengangkat cangkir ke bibir, orang tidak pernah lupa mengingat nama Syekh „Ali bin Umar asySyazili, seorang ulama yang makamnya masih dapat dijumpai di Mokha.
70
Khususnya daging hiu (lakham). Mentega segar disebut zubdah, penggunannya terbatas. 72 Kopi yang masih berkulit disebut jafal, bijinya disebut bunn, kopi bubuk disebut haqib. 73 Semacam selendang. 71
69
Pernikahan
Dalam beberapa hal, kaum wanita Hadhramaut berkedudukan tinggi. Talak amat jarang terjadi. Tidak ada yang melakukannya tanpa alasan yang memang tidak terelakkan. Lelaki yang menceraikan istrinya, tanpa alasan yang kuat, akan menjadu buah ejekan orang, dan sulit mendapatkan istri lain yang sederajat. Poligami pun jarang terjadi. Apabila seorang lelaki membawa istri baru, istri lamanya akan segera meninggalkan rumah lalu kembali kepada orang tuanya. Dengan kemudian ia memaksa suami menceraikannya. Hanya di kalangan perntau Hadhramaut ia bisa terjadi pologami. Ini berkaitan dengan adat kebiasaan yang menghalangi wanita Hadhramaut meninggalkan kampung halamannya. Walaupun demikian, si suami tidak akan menceraikan istrinya hanya karena itu. Apabila ia yakin menetap di perantauan dan si istri belum beranak, si suami akan menceraikannya. Apabila si istri mempunyai anak, ia akan menceraikannya jika si istri menghendakinya.74 Perkawinan yang paling lumrah adalah perkawinan diantara sepasang saudara sepupu. Begitu lumrahnya kebiasaan itu, sehingga sering dianggap sebagai adat yang mengikat. Berkaitan dengan ini, seorang pemuda merasa berhak mendesak agar anak perempuan dari saudara ayahnya dikawinkan dengan dia, kecuali apabila ia sudah bersuami. Adat ini tampaknya cukup banyak.75
74 75
L.W.C. Van den Berg, hlm. 41-42 L.W.C. Van den Berg, op.cit., hlm. 19
70
BAB IV TRADISI PERNIKAHAN KAUM ALAWIYYIN DI HADHRAMAUT DAN INDONESIA A. Asal-usul Tradisi Pernikahan Di zaman Rasul terdapat 3 kelompok yang dapat dipilih segi penasaban/genetika secara struktural. Pertama Rasul SAW. sendiri sebagai sumber kemuliaan, yang kedua Ahlul Bait baik isteri-isteri Nabi maupun ahlul kissa dan yang ketiga para sahabat itu sendiri. Kita tempatkan sesuai pada tempatnya dan kadar kemuliaan masing-masing disisi Rasul SAW. Kemudian secara stuktural dilihat dari hadits-hadits maka Ahlul Bait secara bahasa terbagi tiga pertama keluarga karena hubungan pernikahan, keluarga karena hubungan kerabat yaitu hubungan genetika secara horizontal dan keluarga karena hubungan genetika secara vertikal. Bagi pengertian pertama yaitu ditujukan pada Isteri-isteri Nabi SAW., untuk pengertian yang kedua yaitu segi horizontal tertuju bagi para paman dan sepupu serta kemenakan Nabi SAW., sedang yang ketiga Imam Ali bin Abi Thalib, Fatimah ra, Al-Hasan ra dan Al-Husain ra secara vertikal. Bahkan berdasarkan beberapa hadits lain ahlul bait yang dimaksud yaitu kaum mukmin yang mengikuti petunjuk Nabi hingga akhir zaman, namun penafsiran dari ayat 33 itu secara spesifik ditujukan pada Ahlul Bait Ahlul Kissa dari Rasul SAW. berdasarkan haditshadits Shahih. Kemudian ada sebagian ulama membagi Ahlul bait Nabi segi maknawiyah yaitu Ahlul bait alzuwaid yaitu ahli rumah karena hubungan pernikahan yaitu isteri Rasulullah s.a.w biasa dalam Al-Qur'an menggunakan
71
kata ganti (dhamir) buyutikunna dan ahlul bait Alkisa (yang diselimuti) menggunakan kata ganti (dhamir) Buyutikum kedua ahlul bait itu terdapat dalam surah Al-Ahzab (golongan yang bersekutu) tentang ahklak dan etika bagi isteri Nabi saw dan penyucian bagi Sayidatunna Fatimah Al Batul ra, Imam Ali bin Abi Thalib dan Imam Hasan ra serta Imam Husain ra. Arti ayat tersebut: "Sesungguhnya Allah s.w.t bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya".
76
Selain itu terdapat ayat Al-Mubahalah77 berkaitan dengan Nabi, ketika seorang Kristen Najran menolak untuk menerima kesaksian Al-Qur‟an mengenai status Nabi Isa. Apa ang terjadi selanjutanya adalah debat mengenai status sebenarnya dari Isa anak Maria. Sebagai informasi, Muslim diajarkan bahwa Isa adalah Nabi dan Rasul sedangkan orang Kristen percaya bahwa ia adalah anak Tuhan. Hal ini menyebabkan penduduk Kristen Najran dan Rasulullah SAW., keduanya meminta Allah untuk menjadi wasit final. Maka turun ayat itu mengajak bermubahalah makna kata dalam surah tersebut sebagai berikut yaitu "anak-anak mereka" adalah Hasan ra dan Husain ra, "wanita-wanita mereka" dimaksudkan Fatimah ra dan "diri-diri mereka" berarti Rasulullah SAW. dan Imam Ali bin Abi Thalib78.
76
(Q.S.33:33). Almubahalah ialah masing-masing pihak di antara orang-orang yang berbeda pendapat mendoa kepada Allah dengan sungguh-sungguh, agar Allah menjatuhkan laknat kepada pihak yang berdusta. Nabi mengajak utusan Nasrani Najran bermubahalah tetapi mereka tidak berani dan ini menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW. 78 (Q.S.3:61) 77
72
Kemuliaan Imam Ali bin Abi Thalib itu cukup dari yang lain segi nasab dengan Rasulullah SAW. mengenai penyebutan diri-diri mereka. Mereka dalam ayat itu, terbatasnya Ahlul bait pada kelima orang itu yaitu ahlul baitul kissa (orang di bawah selimut)79, dan merekalah yang dinisabkan ke Rasul SAW. sedang yang lain termasuk anak-anak imam Imam Ali bin Abi Thalib (pernikahan antara Imam Ali dengan selain Fatimah ataupun anak-anak dari Fatimah selain Hasan dan Husain). lalu bagaimana dengan saudara lain Fatimah Azzahra yang menikahi sahabat lain? Ustman bin Affan ra sendiri menikahi putri nabi yang lain hingga dijuluki Dzun Nur (2 cahaya)? Mereka (Para Isteri Rasul SAW. dan puteri Rasul s.aw. selain Fatimah r.a.) berada dalam kebaikkan namun tidak masuk ahlul Kissa sebagaimana telah disampaikan Rasul SAW. melalui hadits yang diriwayatkan dari ummu salamah bahwa ahlul Kissa (Fatimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husein) adalah ahlul bait sedang ahlul bait sebagaian lain bukan Ahlul Kissa (Isteri dan kerabat lain Rasul saw). Allah SWT. berfirman dalam Alquran (kandungan) bahwa yg berada disisi nabi mengikuti islam secara sempurna merupakan umat terbaik yang dinyatakan Allah SWT., diantara mereka jika kita pilah ada 2 yaitu ahlul bait dan sahabat. Disurah Al-ahzab 33, Allah SWT. mensucikan Ahlul bait Nabi saw dari noda dan dosa sesuci-sucinya. Dilihat secara umum mereka disisi Rasul saw diberi kemuliaan dan kadar tertentu masing-masing oleh Allah SWT., ahlul bait dengan kemuliaannya dan
79
Marzuki Alie, Azyumardi Azra, Abdillah Thaha, Abdullah bin Nuh, Musa Kazhim, Yasmine Zaki Shahab, Habib Lutfi Yahya, Habib Zeyd bin Abdurrahman Yahya, Engseng Ho, Frode F. Jaobsen, Ali Muhammad Naqvi, et.al, Peran Dakwah Damai Habib/Alawiyyin di Nusantara, h. 78
73
sahabat dengan kemuliaannya sendiri. Diantara para sahabat ada menonjol kemuliaan segi ahli pencatatan Al-Qur'an, penghafal hadits, ada yang terpercaya, ada yang dermawan, ada yg tegas dan keras dan ada pula yang mulia segi nasab dekat dengan Rasul saw dan Imam Ali memiliki kemuliaan itu (segi nasab). Pertanyaan yang perlu direnungkan dengan akal fikiran dan hati yang bersih yaitu Mengapa Rasul SAW. menjadikan Imam Ali bin Abi Thalib pendamping Fatimah ra? Mengapa pernikahan putri bungsu Rasul saw berbeda dengan saudarinya yang lain. Pijakan pembahasan yang mendasari pernikahan kafa‟ah sekarang ini tak lain adalah diambil dari pernikahan Fatimah albatul ra dengan Imam Ali bin Abi Thalib. Peristiwa pernikahan Imam Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Azzahra adalah pernikahan SayyidSyarifah pertama, mengapa tidak, terdapat sejumlah hadits-hadits yang menunjukan bahwa mereka berdua ra merupakan Sayyidina dan Sayyidatuna pada zaman itu. Jika kita membaca sejarah Nabi saw. bersama Ahlul bait terutama masalah pernikahan Sayyidatuna Fatimah Al-batul ra, kita dapat melihat kehati-hatian Rasulullah saw. dalam memilih calon suaminya, karena beliau sendiri mengetahui anugerah Allah SWT. pada puterinya tercinta sebagai seorang wanita yang sedemikian tinggi martabat dan kedudukannya dilkalangan keluarga Nubuwah. Siapakah di antara para sahabat terkemuka atau kaum muslim yang terpandang, yang tidak ingin memperoleh kemuliaan menjadi teman hidup dan sekaligus menantu Rasul SAW. Setiap tokoh dan para sahabat yang mulia silih berganti menghadap Rasul SAW. untuk
74
mengemukakan keinginan mereka untuk mempersunting puteri beliau. Bahkan Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a, Umar bin Khattab r.a, yang paling dekat dengan Rasul saw. dan para sahabat lain segi ilmu agama, harta benda maupun kedudukan yang terpandang sangatlah tinggi ikut mengajukan lamaran untuk memperisterikan Siti Fatimah r.a. Akan tetapi beliau hanya berkata : "Belum tiba suratan takdirnya" itu dikarenakan setiap sahabat yang melamar tidak sepadan dengan Fatimah r.a. segi keutamaan nasab. Coba kita renungkan apakah penolakan Rasul s.a.w pada mereka, menyebabkan mereka mencerca dan mengkritik Rasul s.a.w? Apakah keluar dari mulut sahabat yang mulia ayat AlQur'an yang artinya: "Sesungguhnya yang termulia diantara kalian dalam pandangan Allah s.w.t ialah yang paling bertakwa80". Mengapa engkau menolak lamaran kami? Bukankah kami mengikutimu dan bertakwa pada Allah s.w.t? Apakah kita menemukan sejarah dimana para sahabat mengingatkan kembali kepada beliau s.a.w. tentang sabdanya menyatakan "Semua kaum Muslim adalah saudara, tak ada yang lebih afdhal dari yang lain kecuali karena takwa?" Tiada kelebihan bagi orang arab atas orang ajam (bukan arab), dan tiada kelebihan orang ajam atas orang arab kecuali karena takwanya. Para sahabat begitu memahami hikmah penolakan Rasul s.a.w dalam masalah Fatimah r.a hingga mereka tidak pernah mengkritik penolakan Nabi s.a.w bahkan berlapang dada.81
80
(Q.S.49:13) https://groups.yahoo.com/neo/groups/mahasiswa_alawiyin/conversations/topics/289 (di akses pada tgl 20 sept. 2015 pd jam 21:32) 81
75
Demikian pula Asalafuna-asholihun tidak ada yang berbuat demikian apalagi menganjurkan pernikahan Sayyid dengan bukan Syarifah ataupun sebaliknya. Merekapun mengetahui apa yang Rasul lakukan bukanlah atas dasar hawa nafsunya dan ashobiah (suku). Bahkan mereka mengetahui sepadanan Fatimah r.a adalah Ali bin Abi Thalib hingga mendorongnya untuk melamar puteri Rasul SAW. Para sahabat dan salafus sholihin adalah umat terbaik dan orang mulia, bertakwa dan mereka memuliakan orang mulia disisi Rasul. Ketika dalam majlis Rasul saw kedatangan Imam Ali bin Abi Thalib Abu Bakar berusaha memberikan tempat duduk yang berdekatan dengan Rasulullah SAW. sebagai penghormatan kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Dikala itu tidak ada yang bersedia memberikan peluang untuk duduk. Rasul pun bersabda: "Sesungguhnya orang yang mengenal kepada orang mulialah termasuk orang mulia (Al-Hadits) . Beliau saw menerima lamaran Imam Ali bin Abi Thalib karena Imam Ali bin Abi Thalib sepadan segi ilmu, nasab dan kedudukan dengan puteri beliau. Pernikahan Fatimah r.a dan Imam Ali bin Abi Thalib bukan atas dasar hawa nafsu dan ashobiyah dari Rasulullah s.a.w tetapi melainkan wahyu. Anas bin Malik berkata, "Aku pernah disamping Rasulullah ketika suatu wahyu turun kepadanya. Kemudian beliau berkata padaku, Wahai Anas, tahukah engkau apa yang disampaikan malaikat Jibril kepadaku?' Aku balik bertanya, 'Demi ayah dan ibuku, apa yang disampaikan Malaikat Jibril?' Rasulullah SAW. menjawab. 'Jibril berkata kepadaku, 'Sesungguhnya Allah SWT. memerintahkanmu untuk menikahkan Fatimah dengan Ali. Kemudian Rasulullah berkata lagi panggilah Abu Bakar, Umar,
76
Ustman, Talhah, Zubayir dan kaum Anshar.' Bukankah bagi pemuda, Rasul s.a.w bersabda nikahilah karena 4 hal yaitu agama, keturunan, kecantikan dan kekayaan dan menekankan keutamaan agama. Prioritas utama agama memang merupakan keharusan, namun kita lihat Rasulullah saw mencontohkan pernikahan puteri beliau s.a.w, walaupun banyak para sahabat sholeh dan utama dalam masalah agama namun beliau s.a.w menerima Imam Ali bin Abi Thalib. Hal itu karena kemuliaan nasab Imam Ali bin Abi Thalib sendiri yang dekat dengan Rasul s.a.w. dibanding sahabat lain. Bukan berarti hal tersebut merendahkan sahabat Nabi yang lain tapi sesungguhnya mereka dalam kemuliaan sesuai kadarnya disisi Allah s.w.t dan Nabi s.a.w dan Imam Ali bin Abi Thalib memiliki kemuliaan itu segi nasab selain keshalehan. Sesuai Hadits Nabi ada empat wanita yang mulia yaitu Asia isteri Firaun, Khadijah isteri Nabi, Maryam ibu Nabi Isa dan Fatimah putri beliau. Kemuliaan mereka sesuai kadar yang di berikan Allah s.w.t dan ada kesamaan Siti Maryam dengan Fatimah mengenai penasaban yaitu anak Maryam dinisabkan pada Maryam begitu pula Fatimah. Jika membaca sejarah dari yang lampau hingga saat ini maka kemuliaan Rasulullah saw lebih banyak pada cucu Rasul s.a.w khusus bani Alawiyyin mengapa demikian? karena nenek moyang kita Imam Ahmad bin Isa Almuhajir sangat hati-hati dalam hal kafa‟ah beliau mengadakan pernikahan anaknya dan anak cucu keturunan antara keluarga besar Rasul s.a.w tidak menikahkan anaknya terutama Syarifah dengan non Sayyid. Lihatlah Imam Muhammad Faqih Muqaddam rhm, Imam Abdurahman Assegaf Faqih
77
Asstani rhm, Imam Ahmad Asyahid rhm, Imam Umar al-Muhdar rhm, Imam Abu Bakar as-Sakran rhm, Imam Abu Bakar Alaydrus rhm, Imam Abdurahman Alattas rhm sesepuh dan imam kita semua itu merupakan ekspresi gen Rasul s.a.w yang terpatri dalam jiwa mereka. Hingga sekarang kaum Sayyid Bani Alawi masih tetap memiliki sifat rendah hati dan tidak menyukai popularitas. Sebagaimana kita saksikan, dan disaksikan juga oleh semua orang yang mengenal mereka dibelahan bumi barat dan timur, mereka masih tetap menegakkan dakwah sebagaimana yang dilakukan oleh para sesepuh mereka masih terdapat wilayah kubra (unsur kewalian besar) dan rahasia peninggalan (waratsah) Rasulullah saw. Hal ini dinyatakan oleh Imam Al-Haddad pada saat beliau berkata, "Zaman tidak akan kosong dari orangorang utama (afdhail) Al Ba‟Alawiy hingga saat keluarnya Al-Mahdi. Berbeda dengan keturunan Rasul s.a.w yang berada selain Alawiyyin (tidak semua juga demikian) mereka menikahkan anak-anak mereka dengan yang lain hingga ekspresi gen lambat laun hilang lihatlah kaum keturunan anak cucu Rasul s.a.w yang berada di Iran mereka mendapati imam-imam mereka sangat sedikit Imam Ali Ar Ridha, Muhammad Al Jawad, Imam Ali Hadi, dan Hasan Al-askari karena ekspresi gen Rasulullah s.a.w pun sedikit banyak tercampur kaum disana hingga kemulian yang seharusnya muncul dihati mereka hilang seiring terputusnya eskpresi gen Rasul s.a.w (karena menurut faham manhaj mereka sendiri manhaj Imamiyah Imam Muhammad Almahdi gaib kubra, hingga terputus nasab beliau). Begitulah yang terjadi dewasa ini dimana ada kaum yang membolehkan pernikahan antara kaum Syarifah dan
78
non Sayyid akan mendapati sedikitnya para alim Ulama sebaliknya. Itulah hikmah yang besar, jadi Syarifah menikah dengan Sayyid maka ia secara tidak langsung menolong kelestarian gen Rasul s.a.w yang jika ditempa dengan ilmu agama dan amalan sholehah sangat mungkin anak cucu para Syarifah menjadi waliullah yang besar. Memang banyak diluar cucu Rasul SAW. alim ulama tapi mereka sangat sedikit dan itupun karena mereka belajar pada nenek moyang kita para leluhur Ahlul Bait (pusat Ilmu masa sebelum keempat Imam Ahlu Sunnah yaitu Imam Ja'far Asshadiq). Hadits Rasul yang masyhur, Rasul bersabda: Aku kota Ilmu dan Ali pintunya barang siapa ingin memasuki kota ilmu maka ia harus melewati pintunya" (Al Hadits) . Semua pelarangan ada hikmah dan berita yang dahsyat jangan kaum Syarifah merasa dilarang ini itu karena mereka menyiksa dan membebani kaum Syarifah dengan larangan. Bahkan kecintaan dan rasa sayang yang mendalam pada Syarifah mendorong mereka melarang menikahi non Sayyid, apakah Syarifah tidak merasa bahwa lahirnya bayi yang membawa gen Rasul s.a.w dirahim Syarifah itu suatu kemuliaan dan rahmat Allah SWT.?, mereka yang melarang Syarifah karena sayang dan memuliakan Syarifah agar dapat mendapat kemuliaan dan kebahagiaan dari nabi saw dengan melahirkan anak cucu Rasul s.a.w dari rahim suci Syarifah. Adapun mereka yang mendorong dan memperbolehkan kaum Syarifah menikah tidak lain karena mereka tidak tahu manfaat dari kelestarian anak cucu Rasul s.a.w atau mereka iri dan ingin menghilangkan kemuliaan yang Allah s.w.t berikan padamu dengan memutuskan genetika kamu dengan anakmu dari genetika
79
cahaya Rasul s.a.w. Ibarat dokter yang ingin pasien sembuh diberikan obat pahit, pasien tidak tahu khasiat obat dia menghindari obat karena rasa pahit, dia tidak menyadari khasiatnya. Jadi walau Syarifah merasa dengan membatasi kaum Syarifah dalam pernikahan hanya dengan Sayyid adalah kepahitan, beban, menindas hak wanita dalam menikah maka lihat makna dan khasiatnya Insya Allah Syarifah faham dan tulus ikhlas menerima kemuliaan dari Allah s.w.t Adapun masa lampau mengenai banyak Syarifah yang nikah dengan non Sayyid, kita tidak boleh mengambil kesimpulan seketika terhadap hal-hal yang telah lampau ada baiknya kita berbaik sangka pada umat lampau mungkin mereka tidak tahu manfaat dari kelestarian gen Rasulullah saw, atau darurat karena tidak ada Sayyid disisi mereka. Masalah perawan tua itu yang sebagian orang ceritakan, jangan risaukan masalah pernikahan harus ada yang syarat, rukun dan kafa‟ah dan jika mereka menahan diri untuk tidak menikah dikarenakan mereka ingin mendapatkan kemuliaan dengan melahirkan dari rahim mereka anak cucu Rasul saw selain itu bukankah pernikahan wadah mencari keturunan yang sholeh? dan mereka berbuat demikian karena mereka menjaga kemuliaan nasab Rasul s.a.w, mereka tidak berdosa banyak, perawan tua solehah tidak menikah karena cintanya pada Allah SWT, ditakutkan mereka nikah dengan non Sayyid yang kemungkinan mudharatnya lebih banyak misal tidak tahu asal usul genetikanya dan di takutkan memutuskan ekspresi gen Rasul s.a.w ekspresi yang baik dapat menjadikan anak-anak itu lebih baik dalam memahami agama, menerima dengan mudah di banding
80
ekspresi gen lain. Berbaik sangkalah pada mereka (kaum Syarifah yang tidak menikah sampai akhir hayatnya) karena di situlah terletak sirr (rahasia).82 Kita berbaik sangka pada Imam-Imam mungkin saja bagi yang mengeluarkan fatwa melarang mereka sangat menghormati dan memelihara nasab nabi serta melestarikannya dan mereka Imam rahimullah itu mengetahui manfaat yg begitu besar dalam hal yaitu bukti otentik agama islam, Rasul saw yaitu Nabi Muhammad bin Abdullah saw adalah Al-Quran dan Sunnah serta bukti kuat yang hidup berbicara dan yang paling pantas meneladani Nabi keturunan ahlul bait itu sendiri. Karena selain al-Quran dan sunnah bukti yang cukup untuk membantah kaum ingkar tentang agama islam adalah adanya keturunan Rasul saw itu sendiri dimuka bumi. Selain itu mereka melihat Rasul saw berpesan mengenai ahlul bait dengan keturunannya pada kaum muslim dalam hadits tsaqalain, hadits safiqah nuh yg sahih bahwa kaum muslim menjaga Al-Qur‟an dan ahlul bait keduanya tidak terpisah hingga ditelaga Hud kelak. Al-Qur‟an berarti mengamalkan isinya dan ikuti sunnah Rasul saw sedang bagaimana dengan Ahlul bait? Al-Qur‟an sendiri terdapat surah asy-Syura (42:23) bahwa Allah s.w.t berfiman pada Nabi Muhammad agar berseru pada kaum muslimin bahwa beliau tidak meminta upah atas seruan dakwah kecuali kasih sayang dan kecintaan pada keluarga beliau.
82
https://groups.yahoo.com/neo/groups/mahasiswa_alawiyin/conversations/topics/289 (di akses pada tgl 20 sept. 2015 pd jam 21:32)
81
B. Prosesi dan Pernak-Pernik Pernikahan Acara pernikahan di kota Tarim sudah di atur rapi dari sejak ratusan tahun lalu oleh para salaf dan para awliya dan ulama. Prosesnya kurang lebih sebagai berikut: Pertama-tama adalah keluarga mempelai lelaki datang untuk meminta dan apabila sudah ada persetujuan maka diadakan pertemuan resmi untuk melamar dengan membawa bawaan dan kemudian pembicaraan tentang waktu upacara pernikahan. Setelah ditentukan waktu pernikahan maka ketika telah dekat waktu pernikahan kedua belah pihak menyerahkan nama-nama yang akan diundang saat upacara pernikahan yang terdiri dari beberapa acara. Kemudian setelah disepakati semua maka undangan akan disebar kurang lebih satu minggu sebelum waktu pernikahan83. Proses acara pernikahan dimulai dari Ashar, rombongan tamu yang diundang berdatangan sebagaimana kelompok kesenian datang ke rumah mempelai lelaki rombongan demi rombongan yang di sambut oleh keluarga mempelai lelaki. Setiap kelompok kesenian menampilkan hiburan masingmasing secara bergantian hingga dekat waktu maghrib. Perlu diketahui bahwa semua kesenian tersebut berisi dengan syair-syair yang penuh dengan do‟a, tawasul kepada para Awliya dan doa kepada Allah. Pukulan-pukulan rebana dan marawis serta tarian zafin yang sangat menghibur. Dan acara tersebut hanya di hadiri oleh kaum laki-laki saja. Sebagaimana acara yang sama diadakan khusus hanya untuk kaum wanita saja. Sehingga tidak ada campur aduk antara laki-laki dan perempuan. Dan dalam acara tersebut disajikan air, 83
http://www.alhabibahmadnoveljindan.org/tarim-teladan-dalam-acara-pernikahanislami/ (di akses pada tanggal 20 September 2015 jam 21:18)
82
kopi, dan diputarkan dupa dan gahru. Ketika menjelang maghrib acara tersebut ditutup dengan mentartib Alfatihah oleh seorang yang dituakan di situ. Acara ini dinamakan al „iraadh. Acara sesi berikutnya dinamakan dengan Marjah dan waktunya lepas sholat isya. Kurang lebih 1 jam selepas adzan isya acara dimulai di rumah pengantin lelaki dengan berdatangannya para tamu. Dalam acara ini para undangan selain keluarga dan sahabat adalah para ulama dan awliya serta tokoh masyarakat. Dan hampir sebagian besar undangan akan menghadiri, sehingga siapapun yang ingin melihat pembesar-pembesar kota Tarim berkumpul bersama dalam satu waktu maka akan melihat mereka dalam acara Marjah semacam ini. Mereka memandang bahwa dalam acara pernikahan terdapat saat-saat diijabah doa oleh Allah dan khususnya ketika acara pernikahan itu adalah pernikahan anak cucu Rasulullah SAW. Dilantunkan qosidah-qosidah kaum solihin yang penuh dengan do‟a dan nasehat dengan suara merdu dan dengan pukulan marawis yang lembut dan santai serta suling yang ditiupkan dengan merdu sementara para tamu berdatangan. Kemudian setelah para tamu atau sebagian besarnya telah datang maka para pelayan masuk dengan cucian tangan mencuci tangan masing-masing tamu undangan. Setelah itu para pelayan masuk kembali dengan membawa jamuan makan malam di nampan. Dan para tamu dipersilahkan untuk menikmati makan malam. Usai makan malam para pelayan mengangkat nampan dan kemudian pelayan-pelayan lainnya masuk dengan membawa cucian tangan dan sabun untuk mencuci tangan para tamu. Sebagian tamu lebih memilih mencuci
83
tangan di wastafel yang disediakan sebagaimana sebagian lainnya dilayani oleh para pelayan. Setelah itu semua kembali duduk di tempat masing-masing untuk melanjutkan acara. Sebagaimana sebelumnya qosidah kaum solihin dilantunkan dengan pukulan marawis yang lembut dan tiupan suling yang merdu sementara para pelayan menyuguhkan teh kepada para tetamu. Setelah 2-3 qosidah dilantunkan, saat itu pengantin lelaki dipersilahkan masuk untuk mencium tangan para ulama, awliya, orang tua dan memohon perhatian dan doa dari mereka kemudian di dudukkan di tempat yang sudah disiapkan. Sholawat
kepada
Rasulullah
setiap
beberapa
menit
dihimbau
dan
dikumandangkan. Sebagaimana saat pengantin masuk para pelayan juga ikut masuk dengan membawa biji kopi yang harum untuk dibagikan kepada para tamu. Setelah itu qosidah dilantunkan kembali sebagaimana semula. Lalu datang para pelayan dengan membawa selimut dan bantal serta beberapa peralatan. Selimut digelar, bantal diletakkan di atas selimut, pengantin lelaki di perintahkan untuk duduk menghadap kiblat di atas selimut yang telah di bentangkan dan bersandar kepada bantal dengan kaki agak melonjor. Para pelantun qosidah berdiri dan berjalan mengelilingi pengantin dengan melantunkan syair-syair merdu dan indah yang berisi doa-doa dan tawasul kepada para awliya serta dzikir dan sholawat sebagaimana marawis dengan lembut dipukul dan suling ditiup. Di saat yang sama para pelayan memakaikan di telapak kaki pengantin lelaki heenna atau pacar. Proses ini memakan waktu kurang lebih 5-10 menit. Setelah selesai para pelayan dan pengantin berdiri dan masuk ke dalam kamar pengantin. Sementara para
84
pelayan lainnya segera menyuguhkan kopi kepada seluruh tamu dengan cepat dan dupa serta gahru diputarkan kepada mereka. Dan setelah itu di bacakan do‟a dan fatihah oleh seorang yang dituakan dan ditokohkan dari para Habaib sebagai penutup acara. Dan kemudian para tamu kembali ke rumah masingmasing. Setelah itu masih ada lagi sesi berikutnya. Yaitu acara para pemuda sahabat-sahabat sang pengantin lelaki. Di depan rumah telah disiapkan panggung hiburan. Anak-anak, remaja, dan orang tua telah duduk manis menghadap panggung. Tempat untuk pengantin telah disiapkan. Hiburan dimulai. Hiburan ini berisi marawis, zafin, dan mungkin beberapa lawak. Namun perlu diketahui bahwa seluruh hiburan tersebut jauh dari hal yang diharamkan oleh Allah. Marawis mereka dilantunkan syair kaum solihin yang berisi do‟a dan nasehat serta dzikir. Tarian zafin mereka penuh dengan adab dan etika. Lawak mereka penuh dengan nasehat dan bimbingan. Nasehat yang disajikan dalam bentuk lawak dan drama komedi. Acara ini berlangsung hingga hampir tengah malam, dan kemudian ditutup dengan do‟a dan fatihah oleh tokoh ulama yang ada84. Acara selanjutanya diadakan pada hari berikutnya. Lepas adzan dzuhur apabila di siang hari, dan lepas adzan asar apabila di sore hari. Keluarga pengantin lelaki dan para undangan telah berkumpul di rumah mereka dari sebelum adzan mendengarkan qosidah yang dilantunkan oleh beberapa orang dari kelompok Hadroh As-Seggaf. Qosidah yang penuh dengan do‟a, nasehat
84
Ibid
85
dan tawassul kepada para awliya serta dzikir dan sholawat. Hingga masuk waktu dan dikumandangkan adzan. Selepas adzan tanpa menunda waktu langsung dilaksanakan solat berjamaah di rumah. Selepas solat pengantin lelaki dan keluarganya serta tamu undangan keluar dari rumah dan berjalan kaki menuju ke rumah pengantin wanita. Rombongan pengantin laki-laki bersama keluarganya dan para undangan yang merupakan para ulama dan awliya berjalan kaki dengan diarak oleh rebana dan qosidah kaum solihin hingga sampai ke rumah pengantin wanita. Sebagaimana dari sejak ashar para tamu dan keluarga pengantin wanita sudah berkumpul menanti kedatangan rombongan pengantin lelaki dengan lantunan Qosidah kaum solihin dan dzikir serta sholawat kepada Rasulullah SAW. Dan ketika rombongan datang dan sampai di depan pintu rumah pengantin wanita, ayah, paman, keluarga besar pengantin wanita berbaris dan menyambut kedatangan rombongan dan mempersilahkan mereka untuk masuk. Setelah semua duduk di tempat masing-masing maka diputarkan dupa/gahru kepada seluruh hadirin sementara salah seorang Masyaikh membacakan satu qosidah kaum solihin. Setelah itu dupa/gahru diletakkan di hadapan pengantin lelaki, dan salah seorang tokoh Habaib membacakan do‟a dan fatihah. Kemudian mulailah dibacakan Khutbah Nikah oleh penghulu lalu proses akad nikah. Setelah selesai akad sementara pengantin mencium tangan ayah mertuanya dan para ulama dan orang tua yang hadir, salah seorang Masyaikh membacakan qoshidah kaum solihin. Setelah itu apabila ada jamuan makan siang maka akan langsung di sajikan dengan cara sebagaimana disebutkan dalam sesi
86
marjah, dan kalau memang tidak ada jamuan makan maka akan dibagikan kepada para tamu bungkusan kecil berisi wijen sebagai jamuan sederhana. Kemudian diputarkan dupa/gahru dan setelah itu dibacakan doa dan fatihah sebagai penutup acara. Sesi berikutnya di hari selanjutnya yaitu acara yang dinamakan Ghoda Subhah. Acara ini dilakukan di pagi hari sekitar jam 7 pagi atau 7.30 pagi dan dibeberapa tempat dilakukan pada waktu awal dzuhur. Prosesnya adalah dirumah pengantin lelaki. Dimulai dengan pembacaan doa dan fatihah kemudian lantunan qosidah-qosidah oleh Masyaikh Hadrah Seggaf dan Masyaikh Baharmy dan Ba ghorib Sementara tamu berdatangan. Disaat yang sama, keluarga pengantin wanita pun di rumah mereka berkumpul melantunkan doa dan qoshidah. Ketika sebagian besar tamu telah datang di rumah pengantin lelaki, maka diutuslah seseorang agar memberikan kabar kepada keluarga pengantin perempuan yang sedang berkumpul di rumah mereka untuk datang ke rumah pengantin lelaki. Maka saat itu juga acara di rumah pengantin wanita di tutup dengan pembacaan doa dan fatihah kemudian mereka langsung bergegas menuju ke rumah pengantin lelaki. Keluarga pengantin lelaki menyambut kedatangan keluarga pengantin wanita dan mempersilahkan mereka untuk masuk. Setelah duduk, dibacakan satu qosidah kaum solihin kemudian jamuan makan dihidangkan. Lepas makan, dilantunkan satu qosidah sementara dupa/gahru diputarkan, kemudian ditutup dengan doa dan fatihah. Dan selesailah proses upacara perkawinan dengan seluruh sesi sesinya.
87
Namun perlu ditegaskan berulang kali. Bahwa di setiap sesi tersebut hanyalah dihadiri oleh laki-laki. Tidak ada perempuan sama sekali. Tidak ada campur aduk antara laki-laki dan perempuan. Bahkan yang berjumpa dengan pengantin hanya mahramnya saja dan selain mahram tidak diperbolehkan untuk berjumpa dengan pengantin. Dan apa yang diceritakan diatas hanyalah acara untuk kaum laki-laki.85 Dalam menelusuri kota Tarim, Wanita Tarim sudah terbiasa sejak kecil dibesarkan dalam lingkungan beragama, majlis ilmu, maulid dan sebagainya sedari kecil, mereka dididik untuk membaca al-Qur‟an oleh ibu bapak mereka. Terdidik dengan akhlak yang mulia. Terjaga pergaulan mereka. Terpelihara aurat mereka. Bagi mereka setelah mencapai umur baligh, tempat mereka adalah di dalam rumah. Mereka tidak pernah melihat lelaki asing selain daripada saudara-saudara lelaki dan bapak saudara mereka saja. Mereka dibesarkan dengan tidak mengenal musik, tidak mengenal kebiadapan dan tidak kenal wajah orang fasiq. Perbualan mereka adalah perbualan tentang majlis-majlis ilmu, al-Qur‟an, adab, akhlak, tasawwuf dan seumpamanya. Begitulah keadaan mereka dibesarkan. Terlepas dari pembahasan wanita Tarim, proses perkawinan di Yaman pada umumnya masih tradisional. Apabila tiba saat yang sesuai untuk dinikah oleh walinya maka mereka dinikahkan pada pasangan yang sesuai pilihan keluarga, dan tanpa ada bantahan. Tanpa ada cinta atau kencan
85
http://www.alhabibahmadnoveljindan.org/tarim-teladan-dalam-acara-pernikahanislami/ (di akses pada tanggal 20 September 2015 jam 21:18)
88
sebelumnya. Kebiasaannya mereka menikah diusia yang masih muda, sekitar belasan tahun. Begitulah keadaan mereka, cukup terpelihara dan terjaga. Pernikahan diatur oleh keluarga kerabat mempelai wanita yang menyarankan pengantin potensi untuk dia dan ayahnya. Dalam kebanyakan kasus, ayah wanita tersebut mengajukan beberapa pertanyaan tentang keinginan calon pengantin sebelum kontrak pernikahan dipersiapkan. Ayah dari pengantin pria harus membayar mahar dan keluarga pengantin wanita diharapkan dapat membantu ketika dibutuhkan. Peraturan perkawinan di Yaman memungkinkan seorang laki-laki untuk menikahi hingga empat istri jika ia memperlakukan mereka secara adil. Dalam stereotip budaya, wanita dipandang lebih rendah daripada laki-laki. Hal ini dipengaruhi pula oleh salah satu tugas pokok laki-laki sebagai tulang punggung keluarga, penyedia keuangan keluarga, bertanggungjawab atas kesejahteraan dan prestise keluarga sedangkan wanita sebagian besar hanya sebagai ibu rumah tangga saja meskipun ada diantaranya beberapa wanita di perkotaan yang memiliki pekerjaan dalam pendidikan dan kesehatan, dan lain-lain. Laki-laki maupun wanita dapat meminta bercerai jika masing-masing pihak merasa tidak nyaman dalam kehidupan berumah tangga sesuai dengan aturan yang berlaku. Apabila perceraian itu diprakarsai oleh sang suami, maka mantan istri baru bisa kawin lagi setelah empat bulan sepuluh hari. Apabila keduanya sudah mempunyai anak maka sampai usia tujuh tahun anaknya tetap dengan ibu86.
86
http://muftiramdlani.blogspot.co.id/2011/05/budaya-dan-tradisi-yaman.html (di akses pada tanggal 26 September jam 10:00)
89
Wanita Tarim juga tidak pernah menyusahkan suami mereka. Begitu juga dengan para suaminya, tidak menyusahkan isteri mereka. Bila barang keperluan asas atau harian, seperti beras susu dan sebagainya kehabisan, mereka tidak langsung memberitahu suami karena bimbang pada ketika itu mungkin si suami tidak mempunyai uang atau sedang sibuk, maka apa yang mereka lakukan adalah dengan meletakkan bungkusan-bungkusan kosong itu pada tempat yang dikira mudah dilihat oleh suaminya. Begitu juga para suami, seluruh hajat dan keperluan dapur seperti sayur dan sebagainya suami yang belikan. Keadaan ini tidak pula menghalang para isteri untuk keluar membeli ke pasar seperti membeli baju atau barang keperluan wanita, namun urusan dapur seperti membeli sayur, beras dan lain-lainnya itu merupakan tugas suami atau pembantu. Si isteri selalu menghias dan menjadikan kamar tidur harum wangi. Bila suaminya pulang, maka pastilah kamar sudah dikemas rapi, indah dan harum. Pakaian suami sudah pasti wangi, bilik mandi juga wangi dan semuanya dikemas serapi mungkin. Karena wangi-wangian itu mampu membangkitkan suasana yang tenang dan romantik serta menambahkan kasih sayang. Si isteri juga tidak pernah mengangkat dan meninggikan suara pada suami. Mereka tidak pernah marah dan tidak pernah cemburu. Bila mereka merasa kesal, mereka akan menangis dan mengadu pada suaminya dengan nada yang lirih. Itulah marah mereka. Keadaannya sama juga dengan para suami. Mereka tidak pernah marah pada isteri, apalagi mencaci dan menghina. Bila suami merasa sangat kesal
90
atas sesuatu perkara, mereka akan menulis sepucuk surat kepada isteri dan kemudian mereka akan pergi atau tidur. Kemudian nanti isteri akan menjawab pula surat daripada suami tadi, seterusnya suami pula akan menjawab surat daripada isteri dan sehingga akhirnya mereka berdua akan tertawa bersama. Indahnya marah yang sebegini, marah yang mampu menjadi hiburan, marah yang diakhiri dengan gelak tawa tanpa seorang pun daripada mereka memendam rasa. Lebih daripada itu, kalau kita sorot secara mendalam tentang kehidupan ahli kota seribu ulama ini, kita akan dapati masih banyak lagi keunikan dan seni budi pekerti junjungan mulia Muhammad SAW. dalam rumah tangga nabawi yang payah untuk kita temukan di masa kini, namun dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat Tarim. Inilah keberkatan yang ada pada kota Tarim. Di Tarim amat-amat sukar sekali untuk kaum perempuannya yang mendedahkan wajahnya di khalayak ramai meskipun tatkala mereka bekerja di ladang atau mengembala kambing kawasan kering bukit-bukau sekalipun jauh
dari
pandangan
kaum
lelaki,
mereka
tetap
berabaya
dan
berniqab/berpurdah hitam. Mereka dapat bertahan walaupun di dalam keadaan panas teriknya matahari di negeri Tarim/Hadhramaut yang terkenal dengan panasnya. Begitulah perempuan di Tarim. Dan kaum perempuan di Tarim hanya keluar apabila ada keperluan saja. Kalau ke pasar atau ke kedai ada mahram
91
yang akan menemaninya atau mereka keluar secara bergerombolan. Maka terpeliharalah mereka dari sebarang fitnah.87
Bermacam tradisi atau prosesi yang masih ada di Indonesia, ada yang masih bertahan, ada juga sudah sedikit demi sedikit sudah mulai menghilang. Tradisi-tradisi tersebut, sebagai berikut: 1. Tradisi pingitan Tradisi pingitan adalah tradisi dimana seorang perempuan tidak boleh keluar rumah dengan dispensasi boleh keluar, apabila ada kepentingan yang betul-betul penting. Banyak diantara orang Arab sendiri berbedabeda dalam memaknai tradisi pengitan ini. Dari hasil penelitian sebelumnya yakni dalam penelitiannya Muhammad Bagir, banyak data yang cukup variatif. Di satu sisi mengatakan pingitan mutlak
87
http://ahlulbaitrasulullah.blogspot.co.id/2013/12/akhlaq-wanita-tarim.html (di akses pada tanggal 26 September 2015 jam 10:15)
92
dilakukan,
di
sisi
lain
nampaknya
cukup
moderat
dengan
mencukupkan hijab di dalam pergaulan.88 Menurut Muhammad Syihab tentang masalah pingitan ini beliau berpendapat bahwa pingitan memang seharusnya ada dan diterangkan karena itu adalah salah satu dari ajaran agama yang wajib diikuti, yaitu anjuran hijab, lalu beliau menambahkan tradisi pingitan ini adalah tradisi islamiyah, karena wanita saja adalah aurat. Beliau juga tidak sependapat bahwa pingitan merupakan tradisi atau budaya tetapi pingitan adalah ajaran agama.Peran orang Arab sendiri dalam tradisi pingitan ini sangat besar. Menurut Sheyla Abdullah Alhaddar bahwa sampai sekarang masih ada pingitan, karena tradisi Alawiyyin sangat kuat.89 2. Tradisi Hizb antara Maghrib dan Isya‟ Tradisi Hizb antara Maghrib dan Isya merupakan tradisi nenek moyang Alawiyyin yang memang telah mereka lakukan secara ketat dan sungguh-sungguh. Sehingga tradisi ini diturunkan terus-menerus kepada anak cucunya untuk dilakukan dan diterapkan di dalam
88
Hasil wawancara penulis dengan salah seorang Syarifah yang bernama Sheyla Abdullah Alhaddar “bahwa tradisi Alawiyyin sebelum acara pernikahan hampir sama dengan masyarakat Indonesia, yaitu di pingit. Ada yang di pingit 1 bulan, 2 minggu, atau 1 minggu. Bahkan untuk kaum Alawiyyin zaman sekarang, ada sebagian Alawiyyin tidak di perbolehkan berkomunikasi dengan calonnya lewat media sosial apapun karena tujuannya adalah di pingit. Dan setelah aqad, jika si Sayyid mengadakan acara unduh mantu di tempat tinggalnya, si Syarifah harus tetap di damping oleh salah satu anggota keluarganya meskipun sudah mempunyai suami, dengan artian bahwa si Syarifah adalah wanita terhormat dan akan dipandang hormat oleh keluarga besar si Sayyid. Jika dia diantarkan oleh salah satu anggota keluarganya.” Seperti itulah gambaran dan hasil penulis mewawancarai salah seorang Syarifah. 89 Hasil wawancara penulis dengan Sheyla Abdullah Alhaddar pada tanggal 02 Oktober 2015.
93
keluarganya. Tradisi Hizb ini dilakukan diantara waktu Maghrib dan Isya‟. Biasanya mereka mengisi dengan membaca ayat al-Qur‟an, berdzikir, dan sebagainya. Dasar semua itu adalah bahwasanya diantara Maghrib dan Isya‟ adalah waktu-waktu dimana Allah menurunkan Rahmat maghfirah serta kelebihan-kelebihan yang tak terhingga nilainya.90 Tradisi ini sangat dijaga dan dilestarikan oleh orang Arab. Mereka membiasakan kepada keluarga mereka dengan menanamkan kebiasaan tersebut secara rutin dan melarang-melarang kepada anak-anaknya untuk keluar rumah, serta tidak memberikan ijin untuk melakukan kegiatan lain selain melakukan Hizb antara Maghrib dan Isya. 3. Tradisi Shalat Qadla‟ Tradisi shalat Qadla‟ adalah tradisi Alawiyyin yang dilakukan setiap akhir Jum‟at dalam bulan Ramadhan. Ada beberapa pendapat di kalangan Alawiyyin tentang pelaksanaan tradisi Shalat Qadla‟ ini. Dari hasil penelitian sebelumnya, yakni hasil wawancara Muhammad Bagir, bahwa menurut ustad Hasan Baharun berpendapat bahwasanya shalah Qadla‟ adalah tradisi yang tidak mempunyai dasar dari nash. Menurut cerita shalat Qadla‟ ini hanyalah sebuah tradisi yang pernah dilakukan oleh Syekh Abu Bakar bin Salim. Menurut beliau shalat Qadla‟ hanya ada di Bondowoso, di tempat lain tidak ada. Hal ini disebabkan karena latar belakang keturunan, karena di Bondowoso 90
Muhammad Bagir, “Pengaruh Paham Orang Tua Terhadap Pendidikan Karakter Anak di Masyarakat Keturunan Arab Alawiyyin Bondowoso,” (Skripsi, IAIN Sunan Ampel Fakultas Tarbiyah, Jember, 1992), 175.
94
mayoritas keturunan Syekh Abu Bakar tersebut maka tradisi ini dihidupkan kembali. Bahkan lebih keras lagi pendapat yang disampaikan oleh Umar al-Habsyie bahwasanya shalat Qadla‟ ini tradisi yang menyimpang dan melebih-lebihkan agama. Sementara dipihak yang melakukan shalat Qadla‟ tersebut mengakui bahwa hal tersebut dilakukan hanya mengikuti tradisi-tradisi yang ada, dan shalat Qadla‟ itu dilakukan oleh Syekh Abu Bakar bin Salim. Karena dalam pandangannya, ilmu, kepribadian, tingkah laku, sikap, dan sifat yang beliau miliki lebih mulia dan pandai dibanding dengan dirinya sendiri. Dan beliau juga tidak akan mungkin melakukan halhal yang melanggar syari‟at agama.91 Meskipun diantara golongan Alawiyyin ada yang kontra terhadap pelaksanaa shalat tersebut, mereka yang pro terhadap pelaksanaan shalat Qadla‟ tersebut tetap melestarikan dan mempertahankan tradisi tersebut sampai sekarang. Mereka melakukan hal tersebut sematamata karena hanya ingin berhati-hati jangan-jangan ada sesuatu yang dilakukan kurang sempurna, hal itu dilakukan di bulan suci Ramadhan, karena di bulan Ramadhan, kita tahu bahwasanya Allah membuka selebar-lebarnya pintu rahmat, maghfirah, dan penuh keberkahan yang tiada ternilai harganya, sehingga kita akan selalu berusaha untuk menutupi kekurangan-kekurangan yang telah kita
91
Ibid, hlm. 178
95
lakukan yang disengaja maupun tidak disengaja di masa lalu pada bulan Ramadhan yang penuh berkah. 4. Tradisi Rohah Rohah adalah pengajian rutin yang biasa dilakukan oleh kaum Alawiyyin dengan cara membaca kitab yang dilaksanakan oleh seorang guru dimana dianggap mampu dan memiliki disiplin ilmu agama yang sangat mendalam. Dinamakan Rohah karena merupakan kajian kitab kuno yang dilaksanakan oleh orang-orang Arab Alawiyyin di Hadramaut, yang kemudian cara ini berkembang di Indonesia, dan kalau di Negara kita cara ini lebih dikenal dengan nama Majlis Ta‟lim. Rohah ini merupakan tradisi yang jarang atau dapat dikatakan tidak pernah ada pada kelompok lain. Rohah merupakan tradisi yang datang orang Arab Alawiyyin Hadramaut dengan cara mengadakan pengajian ilmiah terhadap suatu kitab dan bukan membaca al-Qur‟an yang dihadiri oleh orang-orang setempat dan seorang yang alim serta membacanya menurut disiplin ilmunya.92 5. Tradisi Iwadh Tradisi Iwadh merupakan tradisi orang-orang Arab yang biasanya dilaksanakan pada setiap hari raya Idul Fitri. Tradisi ini berkembang di daerah- daerah yang memiliki kampung Arab. Tradisi Iwadh ini dilaksanakan sehari setelah hari raya Idul Fitri. Tradisi ini
92
Ibid, hlm. 181
96
dilaksanakan dengan melakukan kunjungan-kunjungan dari rumah satu ke rumah yang lainnya untuk bersilaturrahmi. Acara ini dilakukan bersama-sama yang hanya diikuti oleh laki-laki saja. Semua laki-laki keturunan Arab wajib datang, apabila tidak datang, rumahnya tidak akan didatangi oleh laki-laki keturunan Arab yang melakukan tradisi Iwadh ini. 6. Kesenian Hajir Marawis Secara keseluruhan kesenian ini, musik ini menggunakan Hajir (gendang besar), marawis (gendang kecil), rumbuk (sejenis gendang yang berbentuk seperti dandang, memiliki diameter yang berbeda pada kedua sisinya), serta dua potong kayu bulat berdiameter sepuluh sentimeter serta suling dengan lubang peniupnya disa mping pangkal tiup. Kesenian Hajir Marawis digunakan oleh orang-orang Hadrami untuk melakukan dakwah kepada masyarakat Indonesia untuk memperkenalkan Islam melalui kesenian. Hajir marawis mirip dengan kesenian yang ada di Jakarta yaitu kesenian Hadrah. Bedanya dengan Hajir Marawis adalah bacaan syairnya. Sehingga kesenian ini mengalami perubahan sehingga terjadilah akulturasi budaya yaitu kesenian Hajir Marawis dengan kesenian musik Hadrah. Seni baca Dziba‟ atau Barzanji adalah seni sastra puisi yang bernafaskan Islam. Seni baca ini berisi bacaan Shalawat Nabi dan beberapa ayat al-Qur‟an. Kemudian kesenian ini dikenal dengan nama-nama Hadrah.
97
Kesenian Hadrah atau Hajir Marawis ini biasanya dilaksanakan pada waktu atau hari-hari, bulan-bulan tertentu. Seperti Maulid Nabi, perayaan Milad Siti Fatimah yang diadakan setiap tahun, hari pernikahan, dan lainnya. Usia yang ideal bagi seorang putri Sayyid yang disebut Syarifah untuk menikah adalah 18-20 tahun, sedang bagi seorang Sayyid untuk menikah adalah 25-30 tahun. Jika usia Syarifah telah mencapai 20 tahun, tapi belum juga menemukan jodoh maka keluarga sibuk mencarikan pasangan yang cocok bagi Syarifah tersebut. Ada dua macam cara bagi seorang Sayyid untuk mencari jodoh. Pertama, pilihan orang tua. Kedua, pilihan sendiri dengan persetujuan orang tua. Tentu jodoh yang lebih diutamakan dari lingkungan mereka sendiri, jadi sebaiknya seorang Sayyid menikah dengan seorang Syaifah. Seorang Syarifah tidak dibenarkan menikah dengan laki-laki di luar golongan mereka. Jadi pernikahan itu dipandang dari sudut keturunan. Pernikahan yang memandang keturunan juga memandang segi harta dan rupa disebut Kafa‟ah, berasal dari kata akfa, ukfu artinya: setingkat, sederajat. Para Sayyid menentang pernikahan Syarifah dengan laki-laki di luar golongan mereka dengan alasan untuk kemurnian keturunan mereka, karena mereka menganut garis keturunan dari pihak bapak (Patrilinial). Kalau terjadi pernikahan seperti itu, maka putra-putri Syarifah tadi tidak bisa dimasukkan ke dalam golongan mereka. Larangan ini sesuai dengan buku fikih AlQawaniyun Al-Syar‟iah, yang disusun oleh golongan Sayyid.
98
Dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia, golongan Sayyid umumnya menikah dengan wanita pribumi, disebabkan para Sayyid yang datang dari Hadhramaut tidak membawa isteri-isteri mereka. Wanita pribumi merasa bangga apabila menikah dengan para Sayyid, karena dalam bidang kerohanian dan bidang materi mereka jauh lebih maju dan juga wanita yang menikah dengan para Sayyid naik derajatnya, sebab para Sayyid dihormati oleh masyarakat pribumi. Karena Sayyid boleh menikah dengan wanita pribumi, sedangkan Syarifah tidak dibenarkan menikah dengan laki-laki di luar golongan mereka, maka Syarifah agak susah untuk mendapatkan jodoh karena ruang lingkup untuk menemukan jodoh sempit. Untuk menjaga hal ini, maka Sayyid diutamakan menikah dengan Syarifah.93 Sebagian orang kurang simpati terhadap mereka, karena hal-hal yang diatas. Kadang-kadang persaudaraan Islam terputus, karena hal-hal tersebut. Misalnya: seorang ulama keturunan Arab berasal dari Sudan, yaitu Syekh Ahmad Surkati memisahkan diri dari golongan ini, karena kurang setuju terhadap kebiasaan mereka. Beliau mendirikan “Perhimpunan Pendidikan AlIrsyad” tahun 1915 di Jakarta. Selain menentang sistem pernikahan tadi juga menginginkan gelar Sayyid dapat dipakai oleh semua keturunan Arab, karena selama ini gelar Sayyid dikhususkan bagi golongan Alawiyyin saja. Sesudah berdirinya Al-Irsyad tahun 1915, hbungan keturunan Arab golongan Sayyid dengan bukan Sayyid menjadi kurang baik. Pada kedua 93
Syamsulritzal Lubis, Kehidupan Keagamaan Alawiyyin di Jakarta dan Sekitarnya,
hlm. 42
99
golongan ini sudah tertanam perbedaan pendapat mengenai gelar Sayyid dan sistem pernikahan. Apabila terjadi kasus pelanggaran terhadap sistem pernikahan tadi, sanksi-sanksi apa yang dikenakan terhadap pelakunya. Misalnya: seorang Syarifah dengan seorang laki-laki pribumi saling jatuh hati di luar pengetahuan orang tua. Biasanya maksud mereka untuk menikah tidak disetujui oleh orang tua. Jalan keluarnya ialah mereka kawin lari. Sangsi yang dikenakan orang tua Syarifah tadi ialah, Syarifah tidak dianggap keluarga mereka lagi. Jadi dikucilkan dari golongan mereka. Apabila seorang pemuda Sayyid telah menemukan jodoh, maka orang tuanya sibuk menyelidiki apakah si calon mantu memenuhi persyaratan atau tidak. Apabila orang tua telah setuju maka calon menantu tadi dipinang. Orang tua Sayyid mengirim utusan pada orang tua calon tadi untuk membicarakan persiapan yang akan dilakukan dalam melaksanakan pernikahan. Upacara pernikahan biasanya dilaksanakan dua kali. Pertama, pernikahan resmi yang dilaksanakan di rumah orang tua perempuan. Dalam upacar pernikahan ini, umumnya yang memimpin upacara ialah ulama golongan Sayyid. Sesudah upacara pernikahan ini barulah pengantin diizinkan hidup bersama. Kedua, pernikahan yang dilakukan di depan penghulu. Upacara ini dianggap sebagai suatu pemberitahuan pada masyarakat sekitarnya. Dalam upacara ini tamu-tamu diundang umumnya adalah orangorang tua dari golongan Sayyid dan para ulama. Bapak penghulu datang
100
hanya sebagai saksi. Ulama Sayyidlah yang memegang peranan yang penting dalam upacara ini. Dalam upacara pernikahan, umumnya pengantin laki-laki memakai jubbah yang khusus dipakai dalam acara resmi. Mereka beranggapan memakai jubbah sunnah Nabi, karena jubah merupakan pakaian Nabi seharisehari. Sedang seorang Syarifah menggunakan celak Arab, yang berupa serbuk hitam berkilat-kilat berada didalam sebuah tempat yang dibuat dari tembaga berukir. Pakaian mereka biasanya baju kurung panjang dilengkapi dengan tutup kepala dan ada juga yang memakai kebaya. Pembacaan lafal akad nikah, yaitu: ijab dan qabul, diucapkan dalam bahasa Arab. Ijab artinya penawaran dari pihak wali pengantin perempuan, sedang qabul berarti penerimaan pengantin laki-laki. Sebelum upacara akad nikah, pengantin laki-laki menghafal ucapan qabul tadi. Biaya pesta pernikahan (walimah) biasanya menjadi tanggungan kedua belah pihak, baik pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Sesudah selesai upacara pernikahan, maka pengantin laki-laki pulang ke rumah orang tuanya, sedang pengantin perempuan tinggal di rumahnya untuk beberapa hari. Kira-kira tiga hari sesudah itu maka pengantin laki-laki menjemput pengantin perempuan. Dalam perjalanan banyak teman pengantin laki-laki memperolok-olokannya. Ada kalanya pengantin dibawa berkeliling dengan kendaraan sebelum sampai ke rumah pengantin perempuan. Upacara
101
seperti ini disebut Gandaran yang berasal dari kata kendaraan, sebab pengantin laki-laki diantar dengan kendaraan.94
94
Ibid, hlm. 45
102
C. Tradisi dan Simbol Pernikahan 1. Teh Arab yang kental dan qohwa. Menururt sebagian kaum Alawiyyin bahwa teh arab kental dan qohwa adalah minuman yang sudah dan harus ada dalam hajatan apapun. Karena mempunyai nilai yang tinggi bagi penduduk di Hadhramaut bahkan di Indonesia sendiri. 2. Pengantin laki-laki memakai sorban, jubbah, qamis dan imamah yang khusus dipakai dalam acara resmi. Mereka beranggapan memakai jubbah sunnah Nabi, karena jubbah merupakan pakaian Nabi sehari-sehari. Sedang seorang Syarifah menggunakan celak Arab, yang berupa serbuk hitam berkilat-kilat berada didalam sebuah tempat yang dibuat dari tembaga berukir. Pakaian mereka biasanya baju kurung panjang dilengkapi dengan tutup kepala dan ada juga yang memakai kebaya95. 3. Mempelai wanita telah bersolek dengan pernik-pernik khas Arab. Kamar pengantin telah dihias dan diberi aroma wangi-wangian kayu gaharu (bukhur). Mereka melukis kedua ujung tangan dan kakinya dengan hinna (daun inai atau pacar). 4. Syal (semacam selendang) di atas pundak pria. Mempelai pria bersama rombongannya lalu masuk kedalam rumah mempelai wanita dengan disambut zagharid (siulan khas Arab)96.
95
Van den Berg Ibid, http://indo.hadhramaut.info/archive/7.aspx (di akses pada tanggal 28 September 2015 jam 14:55 WIB) 96
103
5. Rebana, marawis, hadhroh dan lawak serta tarian zafin yang sangat menghibur. Dilantunkan qosidah-qosidah kaum solihin yang penuh dengan doa dan nasehat dengan suara merdu dan dengan pukulan marawis yang lembut dan santai serta suling yang ditiupkan dengan merdu. Namun perlu diketahui bahwa seluruh hiburan tersebut jauh dari hal yang diharamkan oleh Allah. Marawis mereka dilantunkan syair kaum solihin yang berisi doa dan nasehat serta dzikir. Tarian zafin mereka penuh dengan adab dan etika. Lawak mereka penuh dengan nasehat dan bimbingan. Nasehat yang disajikan dalam bentuk lawak dan drama komedi97. 6. Kitab/buku yang dibaca saat pernikahan yaitu khutbah nikah, kitab Assyifa, maulid, tahlil. Biasanya acaranya di pisah antara laki-laki dan perempuan. Ada acara aqad nikah da nada acara gedung. Kalau acara aqad itu khusus tamu laki-laki dan keluarga. 7. Kebuli, nasi mandhi, marak. Makanan tersebut harus wajib dihidangkan bagi kalangan Alawiyyin.
97
http://www.alhabibahmadnoveljindan.org/tarim-teladan-dalam-acara-pernikahanislami/ (di akses pada tanggal 28 September 2015 jam 15:50 WIB)
104
D. Dinamika dan Perbandingan: Hadhramaut dan Indonesia Ada beberapa perbandingan tradisi pernikahan kaum Alawiyyin antara Hadhramaut dan Indonesia. Di Hadhramaut ada proses lamaran, tetapi pihak pria belum mengetahui wajah dari si wanita tersebut dan si pria langsung dihadapkan dengan calon mertua98. Di Hadhramaut itu sangat terjaga sekali para wanitanya. Sedangkan di Indonesia si pria masih dapat melihat wajah si wanita sebagai calonnya. Di Indonesia berbeda sekali dengan yang di Hadhramaut para wanitanya masih bisa dan dengan bebas belajar dan pergi kemanapun yang mereka inginkan. Sedangkan di Hadhramaut wanita jarang yang menuntut ilmu dan jarang bepergian kemanapun yang mereka suka. Karena kewajiban mereka hanya tinggal dirumah dan membantu orangtua dirumah. Mereka wanita Hadhramaut jika ingin pergi keluar rumah apabila itu hanya suatu kepentingan saja. Mengenai pakaian untuk acara pernikahan di Hadhramaut laki-laki memakai jubbah, qamis dan imamah. Dan wanita memakai qamis atau abaya yang benar-benar menutupi mereka dari kepala sampai mata kaki serta menggunakan niqab99. Karena di Hadhramaut sangat tertutup sekali bagi wanitanya. Sedangkan di Indonesia pakaian pernikahan untuk laki-laki memakai qamis dan imamah serta bunga melati sebagai penghias, tetapi untuk wanitanya sudah beranekaragam, sudah bercampur dengan kebudayaan lain seperti India, dan Pakistan.
98
Wawancara penulis dengan salah seorang Indonesia keturunan Arab yaitu al Habib Muhammad Al-Mahdaly 99 Ibid
105
Ada beberapa perbedaan tradisi pernikahan antara Hadhramaut dan Indonesia. Hal yang paling membedakan orang Arab di Indonesia dan Hadhramaut adalah keadaan yang tampak erat kaitannya dengan tingkat kebudayaan suatu negeri ialah posisi yang diduduki oleh wanita (harim), yaitu tidak hanya karena disini tidak ada wanita Arab yang lahir di Arab, namun juga tidak ada wanita Arab berdarah campuran yang mendapat pedidikan di Hadhramaut. Orang Arab di Nusantara kawin dengan wanita pribumi atau dengan putri rekan sebangsanya, yang tidak pernah meninggalkan negeri itu sehingga serupa dengan wanita pribumi, baik dari bahasa, budaya, maupun adatnya. Perbedaan yang lain antara orang Arab di Hadhramaut dan di Indonesia adalah bahwa tak seorang pun di Indonesia menolak mata pencaharian saudagar atau industri, asalkan mereka tidak menjadi pekerja kasar di dalam usaha yang disebutkan terakhir. Jadi hampir semua Arab yang melakukan krja tangan berdarah campuran. Kecuali kerja tangan, semua mata pencaharian sesuai bagi mereka, kaum Sayyid dan para anggota tidak keberatan menjadi pedagang eceran. Perbedaan yang ketiga adalah pakaian. Sejumlah orang Arab yang terhormat lebih suka mengenakan pantalon dengan sepatu dan kaos kaki seperti orang Eropa daripada futhah. Van den Berg mengamati akhir-akhir ini bahwa beberapa diantaranya, di Jakarta, sudah megenakan pakaian Turki modern, artinya kopiah merah, mantel lebar, dan pantalon hitam. Namun itu hanya kekecualian, sedangkan perubahan yang lain yang lebih umum ada
106
juga, yaitu perbedaan pakaian antara golongan Sayyid dan menengah di satu pihak dan para anggota suku di lain pihak, hilang sama sekali di Indonesia. Di Jakarta, tak seorang pun mengenakan pakaian nasional, karena kalau mengenakan pakaian yang tidak lazim itu, selalu diolok-olok anak-anak. Pakaian Sayyid dan golongsn menengah juga mengalami penyesuaian, biasanya di bawah jubbah mereka mengenakan kemeja panjang warna putih (qamis) sampai mata kaki. Di bawah kemeja itu banyak yang tidak mengenakan futhah, namun sirwal atau cealan dalam. Jubbah sama sekali tidak berkancing, sering kali khususnya, pada kesempatan khusus, mereka masih mengenakan badan atau rompi di bawah jubbah. Terakhir, semua orang Arab di Indonesia megenakan sorban, dan pada kesempatan santai kopiah. Kepala selalu dicukur. Manakala seorang anggota suku akan kembali ke Hadhramaut, barulah ia membiarkan rambutnya tumbuh. Poligami dan perceraian yang begitu mudah diizinkan oleh undangundang, namun dikutuk oleh Adat Hadhramaut, sangat banyak terjadi di kalangan Arab di Nusantara, mungkin lebih banyak daripada di kalangan pribumi. Beberapa orang Arab bahkan mengaku bahwa kemudahan itu merupakan daya tarik tersendiri bagi rekan-rekan mereka untuk datang ke wilayah ini. Orang-orang Arab yang memiliki istri lebih dari satu sekaligus, jarang yang mempersatukan mereka dibawah satu atap. Perbedaan berikutnya adalah karena situasi, di Indonesia terdapat hubungan-hubungan yang sangat berbeda di antara berbagai unsur masyarakat Arab yang datang dari Hadhramaut. Para anggota suku pada umumnya
107
menjadi lebih halus dan lebih sholeh, sedangkan prestise Sayyid sangat berkurang. Sayyid selalu menambah rasa hormat orang kepada seseorang yang telah dikenal sebagai orang bijaksana, cendekiawan atau kaya. Pada umumnya Sayyid di Indonesia tidak mendapat dukungan dari keluarganya di Hadhramaut. Mereka adalah saudagar, lintah darat, dan sering kali lupa diri dengan turut menari seperti orang kebanyakan.100 Menurut Habib Muhammad Al-Mahdaly dinamika di Hadhramaut dan Indonesia masih sama. Dari segi tradisi serta adat kebiasaan pun masih sama, karena apa yang ada di Hadhramaut dibawa kembali oleh kaum Alawiyyin ke Indonesia.
100
Van den Berg, Hadhramaut dan Koloni Arab di Nusantara, hlm. 121-125
108
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil
studi
penulis
yang tercantum
diatas, penulis
menyimpulkan bahwa hampir sedikit perbedaan tradisi pernikahan Alawiyyin yang ada di Hadhramaut dan Indonesia. Secara garis besar, tradisi pernikahan di Hadhramaut dan Indonesia memiliki persamaan yang sampai sekarang pun masih berjalan adat tradisi tersebut. Pada penghujung dua abad terakhir, yaitu abad ke-19 dan awal abad ke-20, meskipun mempunyai pola integrasi sosial yang sama dengan sebelumnya, yaitu menikahi wanita-wanita pribumi, orangorang Arab Hadhramaut kebanyakan cenderung lebih memilih untuk menjaga keutuhan identitas mereka sebagai orang Arab Hadhramaut. Hal ini terutama dilakukan oleh mereka yang berstatus sebagai golongan sayyid.
Di tempat asalnya, Hadhramaut, golongan
Alawiyyin ini menempati kedudukan sosial yang tertinggi karena mempunyai darah keturunan Nabi Muhammad saw. melalui Ahmad bin Isa Al-Muhajir, salah satu tradisinya adalah mereka melarang menikahi wanita-wanita mereka dengan non-sayyid, karena nasab mereka (kafa‟ah) jauh lebih tinggi dibandingkan nasab manapun juga. Dan tradisi ini terus mereka bawa ke Indonesia dan masih terus di praktekkan sampai sekarang. Tradisi pernikahan Alawiyyin di Hadhramaut lebih rumit dibandingkan Indonesia. Di Hadhramaut
109
tradisi pernikahan lebih sakral dan terpisah antara laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun juga, dinamika antara Hadhramaut dan Indonesia masih tetap sama dari masa ke masa. Sikap dan pendapat mengenai tradisi menjaga kemurnian identitas kaum Arab di Indonesia akan selalu beranekaragam karena tradisi kaum Alawiyyin di Hadhramaut sendiri pun akan terus terbawa sampai ke Indonesia.
110
B. Saran Adat dan kebudayaan „Alawiyyin dalam urusan nasab dan pernikahan yang masih terjaga hingga kini kita hormati walupun kita tidak menyukainya. Karena hal tersebut mereka lakukan atas dasar agama Islam bukan atas dasar tradisi semata. Layaknya para Imam mazhab yang saling menghormati satu sama lain. Kepada keturunan „Alawiyyn kita saling meghormati karena banyak jasa para „Alawiyyn bagi Indonesia khusunya dalam bidang agama dan pendidikan. Kesempurnaan tulisan tidak lepas dari kritik dan saran dari pembaca. Banyak kekurangan yang penulis alami dalam tulisan ini. Maka dari itu, diharapkan untuk kedepannya muncul kembali ide-ide untuk terus menggali dan memahami sejarah khususnya fokus pada kawasan Timur Tengah. Saran dari penulis, ada penulis yang meneruskan penelitian terkait sejarah orang Arab di Hadhramaut, karena masih banyak sekali kajian Timur Tengah (Hadhramaut) yang belum terluaskan dengan menyeluruh.
111
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar al-Adni bin Ali Al-Masyhur, Biografi Ulama Hadhramaut, Ma‟ruf, Jakarta: 2011
Al-Qur‟annulkarim
Ali Alkaf, Assegaf yang berjudul Dirosah fi Nasab Sayyid bin Alawi Dzuriyah Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa. (tidak terdapat tahun)
Al-Hafni, Prof. Dr. Abdul Mun‟im, Ensiklopedia : Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai dan Gerakan Islam Seluruh Indonesia
Al-Masyhur, Idrus Alwi, Sejarah, Silsilah dan Gelar Keturunan Nabi Muhammad SAW di Indonesia, Singapura, Malaysia, Timur Tengah, India dan Afrika, Saraz Publishing, Jakarta: 2013
Al-Masyhur, Idrus Alwi, Membongkar Kebohongan Sejarah dan Silsilah Keturunan Nabi SAW., Saraz Publishing, Jakarta: 2012
Al-Masyhur, Idrus Alwi, Sekilas tentang Kaum Alawiyyin (Habaib), dicopy oleh Sayyid Muchsin Bin Syekh Abubakar
Assayyid Abdir Rahman bin Ubaidillah Assegaf, Idaamul Quut, cetakan pertama 2005.
Assegaf, Muhammad Hasyim. Derita Putri-Putri Nabi: Studi Historis Kafa‟ah Syarifa, PT Remaja Rosdakarya, Bandung : 2000
112
Bahafdullah, DR. H. A. Madjid Hasan, Dari Nabi Nuh AS Sampai Orang Hadhramaut di Indonesia, Bania Publishing. Jakarta : 2010
Berg, Van den, Hadhramaut dan Koloni Arab di Nusantara, Jilid III Penerjemah Rahayu Hidayat, Jakarta: INIS, 1989
Bin Nuh, Abdullah, Keutamaan Keluarga Rasulullah SAW, CV. Toha Putra Semarang, Bogor
C. F. Pijper, Studien over de Geschiedenis van de Islam in Indonesia 1900-1950. Terjemahan Tudjimah dan Yessy Augusdin, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950,
Hamid al-Gadri, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda, Bandung: Penerbit Mizan, 1996, Cetakan I (Edisi III)
Hariyono, Mempelajari Sejarah Secara Efektif, PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta: 1995
Imron, Ahmad dan Hary, Syamsul, Hadhramaut, Bumi Sejuta Wali, Jakarta: Cahaya Ilmu dan Duta Mustafa
Jacobsen, Frode F, Hadrami Arabs in Present-day Indonesia An Indonesia-oriented group with an Arab signature, First published 2009, by Routledge 2 Park Square, Milton Park, Abingdon, Oxon OX14 4RN
Kartodirdjo, Sartono, Pendekatan llmu Sosial dalam Metodelogi Sejarah, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992
113
Mashoor, Aidarus Alwee, Sejarah, Silsilah dan Gelar Alawiyyin Keturunan Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir, Jakarta: Maktab Daimi-Rabithah Alawiyah dan PT Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 2010
Marzuki Alie, Azyumardi Azra, Abdillah Thaha, Abdullah bin Nuh, Musa Kazhim, Yasmine Zaki Shahab, Habib Luthfi Yahya, Habib Zeyd bin Abdurrahman Yahya, Engseng Ho, Frode F. Jacobsen, Ali Muhammad Naqvi, et.al, Peran Dakwah Damai Habaib/‟Alawiyyin di Nusantara, RausyanFikr Institute, Yogyakarta: 2013
Muhamad Arif, Pengantar Kajian Sejarah, Bandung: Yrama Widya, 2011
Rodionov, Mikhail, Social Restratification in Modern Ḥadramawt, Quaderni di Studi Arabi, Nuova Serie, Vol. 1 (2006), Istituto per l'Oriente C. A. Nallino
The graves of Tarim : genealogy and mobility across the Indian Ocean / Engseng Ho
Majalah
Buletin BUSYRA (Berita Ukhuwah dan Syiar Rabithah Alawiyah), edisi No.011/Desember 2014-012/April 2015
114
Website
http://www.al-shia.org/html/id/etrat/biog/09.htm
http://kisahmuslim.com/jafar-ash-shadiq-imam-ahlussunnah/
http://www.al-shia.org/html/id/etrat/biog/09.htm
http://muhammadmawhiburrahman.blogspot.com/2012/08/mazhab-fiqihislam-hanafi-maliki-syafii.html
http://www.rabithah-alawiyah.org/id/tag/alawiyin/
https://groups.yahoo.com/neo/groups/mahasiswa_alawiyin/conversations /topics/289
http://www.alhabibahmadnoveljindan.org/tarim-teladan-dalam-acarapernikahan-islami/
http://muftiramdlani.blogspot.co.id/2011/05/budaya-dan-tradisiyaman.html
http://ahlulbaitrasulullah.blogspot.co.id/2013/12/akhlaq-wanitatarim.html
http://indo.hadhramaut.info/archive/7.aspx
115
LAMPIRAN Sekilas peta Yaman1
Sekilas peta kota di Yaman
1
http://www.nationsonline.org/oneworld/map/yemen-map.htm (di akses pada tanggal 21 Oktober 2015 jam 10:11)
Marga Arab Hadhramaut dan Arab lainnya di Indonesia
Nasab Alawiyyin2
2
http://ahlulbaitrasulullah.blogspot.co.id/2012/09/nasab-ahlu-bait-nabi-darikeluarga.html (di akses pada tanggal 21 Oktober 2015 jam 10:24)
Makam Nabi Hud3. Masyarakat Hadhramaut mempunyai tradisi ziarah ke makam Nabi Hud alaihissalam secara bersama-sama setiap tahunnya, yaitu di bulan sya’ban tepatnya pada tanggal tujuh sampai tanggal sepuluh sya’ban,lokasi makam berada di daerah bernama Syi’ib Hud yang berjarak sekitar kurang lebih 80 km dari kota Tarim.
3
https://maulakhela.wordpress.com/2011/07/09/ziarah-nabi-hud-di-hadhramaut/ diakses pada tanggal 21 Oktober 2015 jam 10:18)
Masjid Maula Aidid di Hadhramaut4
4
http://himpunan-aidid.org/?load=biografi.htm (di akses pada tanggal 21 Oktober 2015 jam 12:08)
Sekilas kota Hadhramaut menjelang malam hari5
5
http://mosleminfo.com/khazanah/nishfu-syaban-di-kota-tarim/ (di akses pada tanggal 21 Oktober 2015 jam 14:10)
Pasar atau kedai di Hadhramaut6
6
https://pondokhabib.wordpress.com/page/181/ (di akses pada tanggal 22 Oktober 2015 jam 10:15)
Pemakaman Zanbal7
7
http://liputanislam.com/traveling/jejak-sang-syuhada-di-bumi-tarim-hadhramaut/ (di akses pada tanggal 22 Oktober 2015 jam 10:26)
Pakaian wanita khas Yaman adalah abaya yang disebut juga dengan shaili, yaitu pakaian lengan panjang hitam yang menutupi seluruh badan8
8
https://semestafakta.wordpress.com/2015/04/04/41-fakta-menarik-tentangyaman/ (di akses pada tanggal 21 Oktober 2015 jam 15:00)
Majlas (berkumpul) wanita-wanita Yaman, Hadhramaut
Beranekaragam makanan khas Hadhramaut9
9
20:03)
http://www.jenzcorner.net/hadramout (di akses pada tanggal 21 Oktober 2015 jam
Henna night (malam pacar) di Indonesia
Ijab qobul Ahmad Al-Hasni dan Farhana Al-Jufri
Resepsi pernikahan Farhana Al-Jufri dan Ahmad Al-Hasni pada tanggal 11 Oktober 2015 di gedung MPR/DPR