Teradisi Keilmuan dan Intelektual................Ismail Baharuddin
25
TRADISI KEILMUAN DAN INTELEKTUAL DALAM SEJARAH ISLAM Oleh: Ismail Baharuddin1 Abstract In Islam or Muslim society there is nothing special about the epistemology of science and the scientific tradition of its own. But science in Islam or Islamic countries is difficult to develop because there are many issues and problems plagued. Neither the problems come from within or from outside the Muslim community itself. All the problems and these problems have been no solution until now, and it must be solved in order to advance the science and knowledge in Islam. If we look at history, we will find that Islam never experienced the triumph of science and science and we will know the scientific and intellectual traditions in Islam. Keywords: Tradisi keilmuan, intelektual islam, dan sejarah
1
Penulis adalah Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Padangsidimpuan
Forum Paedagogik Vol. 07 No.02 Juli 2015
26
Pendahuluan Pendidikan merupakan model rekayasa sosial yang paling efektif untuk menyiapkan suatu bentuk masyrakat ‚masa depan‛. Demikian pula dengan masyarakat Islam sebagai sebuah sistem, masa depannya banyak ditentukan oleh konsep dan pelaksanaan pendidikan tersebut.2 Hampir menjadi semacam kesepakatan umum, bahwa peradaban masa depan adalah peradaban yang dalam banyak hal didominasi ilmu (khususnya sains), yang pada tingkat prakis dan penerapan menjadi teknologi. Tanpa harus menjadikan sains sebagai ‚pseudo-religion‛, jelas bahwa maju atau mundurnya suatu masyarakat di masa kini dan mendatang banyak ditentukan tingkat penguasaan dan kemajuan sains khususnya. Meski masa kini dan masa mendatang disebut sebagai zama globalisasi, tetapi sejauh menyangkut sains dan teknologi, globalisasi dalam kedua bidang ini tetap terbatas. Negara-negara paling terkemuka dalam sains dan teknologi tidak begitu saja memberikan informasi atau melakukan transper sains dan teknologi kepada Negara-negara berkembang. Universitasuniversitas terkemuka di Jepang, misalnya, sangat keberatan menerima orang non Jepang untuk mendalami elektronika Jepang ini hanya diperuntukkan bagi pribuminya. Dengan demikian, tantangan bagi masyarakat-masyarakat Muslim dibagian dunia manapun untuk mengembangkan sains dan teknologi sekarang dan masa datang tidak lebih ringan. Memang dasawarsa terakhir dikalangan Dunia Islam muncul dan berkembang kesadaran tentang urgensi rekonstruksi peradaban Islam melalui penguasaan sains dan teknologi, tetapi tantangan-tantangan yang lebih jelas dibawah luar biasa kompleks. Singkatnya masyarakat-masyarakat Muslim tidak hanya berhadapan dengan hambatan-hambatan internal, tetapi juga eksternal yang sering berkaitan satu sama lain. Islam adalah agama yang sangat mementingkan perkembangan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan menurut Islam adalah alat yang membawa orang menuju keselamatan, dan juga alat untuk meninggalkan kegelapan. Banyak sekali hadis Nabi yang mengatakan tentang pentingnya ilmu, bahkan sampai-sampai Alquran sendiri mengatakan bahwa ilmu itu sangat penting dan berguna bagi manusia untuk kesejahteraan hidupnya. Alquran jiga memerintahkan manusia untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan, 2
hlm.15
Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, (Yogyakarta: SIPRESS, 1993),
Teradisi Keilmuan dan Intelektual................Ismail Baharuddin
27
karena dengn berkembangnya ilmu pengetahuan seseorang maka akan semakin kokohlah imannya. Dalam Alquran juga diterangkan bahwa tidak ada yang namanya dikotomi ilmu sebagaimana keterangan dalam surah al-Alaq ayat 1-5. akan tetapi kenyataannya banyak orang muslim yang mendikotomikan ilmu tersebut, akibatnya ilmu orang Islam sulit berkembang. Dalam Islam atau masyarakat muslim terdapat epistemologi yang khusus tentang ilmu dan juga tradisi keilmuan tersendiri. Tetapi ilmu dalam Islam atau Negara-negara Islam sulit sekali berkembang karena terdapat berbagai permasalahan dan problematika yang melanda. Baik problematika tesbut datangnya dari dalam atau dari luar umat Islam itu sendiri. Semua permasalahan dan problematika tersebut belum ada pemecahannya sampai sekarang, Padahal hal itu harus segera dipecahkan untuk dapat memajukan ilmu dan keilmuan dalam Islam. Jika kita melihat sejarah, maka kita akan menemukan bahwa Islam pernah mengalami kejayaan tentang ilmu dan keilmuan dan kita akan mengetahui tradisi keilmuan dan intelektual dalam Islam. Maka dalam karya ilmiah ini penulis mencoba menguraikan mengenai tradisi keilmuan dan intelektual dalam Islam. Ilmu dan Tradisi Keilmuan Ilmu adalah kumpulan temuan yang telah disusun dalam sebuah teori yang mengandung makna dan telah diuji kebenarannya, disusun secara sistematik dan dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai masalah kehidupan manusia, baik yang bersifat social, natural, intelektual, rohani, dan spiritual.3 Pembicaraan tentang rekonstruksi peradaban Islam melalui Ilmu dan teknologi dimasa kini dan mendatang, tak dapat tidak akan melibatkan pembahasan mengenai kedudukan dan tradisi keilmuan dalam Islam. Kita tidak akan bicara panjang lebar tentang masalah kedudukan Ilmu di dalam Islam, karena masalah ini sangat umum diketahui. Secara singkat dapat dikemukakan, bahwa Islam secara doktrinal sangat mendukung pengemabangan ilmu. Dalil naqli yang sering dikemukakan para ahli, misalnya adalah ayat-ayat pertama yang diturunkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw. sebagaimana terdapat dalam surah al‘Alaq (96) ayat 1-5: Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 211. 3
28
Forum Paedagogik Vol. 07 No.02 Juli 2015
‛1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. 3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, 4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam 5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.‛ Kemudian sering dikemukakan ayat-ayat yang mengandung pertanyaan retorik dari Allah semacam afala ta’qilun (‛apakah engkau tidak berakal‛) atau afala tatafakkarun (‛apakah engkau tidak berfikir‛), yang pada intinya mendorong Muslim untuk mengunkan dan mengembangkan akal fikirannya menuntut ilmu. Karena seperti dikemukakan oleh Allah lagi-lagi secara retorik dalam surah alZumar (39): 9:
Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orangorang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. Kemudian terdapat pula sejumlah hadis yang sangat relevan dengan tuntutan pencarian dan pengembangan ilmu. Salah satu yang paling popular adalah Riwayat al-Bukhari dan Muslim berikut ini:
‛Menuntut ilmu itu fardhu (wajib) bagi Muslim‛. Dengan demikian Alquran dan Hadis merupakan sumber bagi ilmu-ilmu Islam, dalam pengertian seluas-luasnya. Lebih khas lagi, kedua sumber pokok Islam ini memaonkan peran ganda dalam penciptaan dan pengembangan ilmuIlmu. Pertama, prinsip-prinsip seluruh ilmu dipandang kaum Muslim terdapat dalam Alquran, terdapat pula penafsiran yang bersifat esoteris (ma’nawi) terhadap kitab suci ini, yang memungkinkan tidak hanya pengungkapan misteri-misteri yang
Teradisi Keilmuan dan Intelektual................Ismail Baharuddin
29
dikandungnya tetapi juga pencarian makna secara lebih mendalam, yang berguna untuk pembangunan paradigma ilmu. Dengan watak pandangan dunia (worldview) inklusif seperti itu, maka tidak aneh kalau spectrum pengembangan ilmu dalam Islam menjadikan sangat luas. Sebagaimana dibuktikan dalam sejarah, ilmuwan Muslim meneriama warisan ilmu dari berbagai pihak: sejak dari Yunani, India, Cina dan sebagainya. Tetapi dalam proses transmissi ilmu itu, ilmuan Muslim tidak berlaku pasif. Seperti dikemukakan Nasr dalam iIslamic Sciens: An Illustrated Study (1976, h. 9): Ilmu Islam muncul dari pekawinan antara semangat yang terbit dari wahyu Qur’ani dengan ilmu-ilmu yang ada dari berbagai peradaban, yang diwarisi Islam yang telah diubah bentuk melalui kekuatan rohaniahnya menjadi suatu substansi baru; yang berbeda dan sekaligus melanjutkan apa yang telah ada sebelumnya. Sifat internasional dan kosmopolitan wahyu Islam yang bersumber dari karakter universal wahyu Islam dan tercermin dalam penyebaran geografis Islam (dar al-Islam) membuat Islam mampu menciptakan Ilmu pertama yang benar-benar bersifat internasional dalam sejarah manusia. Hasil dari karakter pengembangan ilmu seperti itu adalah bahwa dalam Islam selama periode di antara kemunduran intelektualisme Romawi dengan kebangkitan Eropa berbagai cabang ilmu murni (alam, fisika, social dan humaniora) dan ilmu terapan menyangkut teknik berkembang secara efektif, yang terus di revitalisasi dengan inovasi-inovasi yang signifikan dan berpengaruh. Masyaraka Muslim, berhasil mencapai kemajuan peradaban, dan mempunyai kebanggaan sebagai pusat riset intelektual dan tekhnik. Ilmuan-ilmuan muslim mendominasi cakrawala keilmuan dalam berbagai disiplin ilmu. Menjelang akhir abad pertengahan, ketika insinyur-insinyur yang sangat kompeten dibutuhkan, misalnya, untuk membangun jembatan-jembatan yang besar, ahli-ahli teknik Muslim dipanggil melaksanakan tugas luarbiasa tersebut. Hanya setelah kekalahan demi kekalahan dialami militer Muslim sejak abad 15, kaum Muslim mulai kehilangan supremasi keilmuan, dan menjadi konservasif untuk mempertahankan identitas dasarnya yang diyakini tengah terancam. Pada saat yang sama, ilmu-ilmu Islam yang telah ditransmisikan ke Eropa mulai mengantarkan masyrakat Barat ke ambang kebangkitan ilmu dan teknologi.4 Perbincangan tentang Islamisasi ilmu dan teknologi bukan suatu hal yang tidak bermanfaat. Ia dapat merupakan langkah awal untuk membangun paradigma Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2002), hlm. 14. 4
30
Forum Paedagogik Vol. 07 No.02 Juli 2015
lebih ‚Islami‛, bukan hanya pada tingkat masyarakat Muslim, tetapi juga pada tingkat global. Ini seharusnya tidak membuat kaum Muslim terutama kalangan ahli dan terpelajar mengabaikan masalah-masalah berat yang terdapat pada tingkat praktis yang tetap tidak atau belum terpecahkan. Di antara masalah-masalah pokok itu adalah: 1. Lemahnya Masyarakat Ilmiah Salah satu prasyarat pokok pengembangan riset ilmiah dalam masyarakat manapun adalah terdapatnya jumlah minimal ilmuan (scientists) dan tenaga ahli (experts) yang mampu melakukan penelitian ilmiah yang kontinyu dan terarah. Jika masyarakat ilmiah tidak mencapai jumlah minimal itu, maka riset dan pengembangan ilmu tidak akan berkembang dengan baik. Memang tidak seluruh lulusan universitas dapat diharapkan memainkan peran penting; hanya sebagian kecil yang mampu melakukan penelitian-penelitian dan pengembangan ilmu. Dinegara-negara maju sekalipun terdapat hanya sekitar 12 persen dari seluruh ilmuan yang mampu melakukan riset dan pengembangan. Mereka ini menjadi tulang punggung masyarakat ilmiah, dan mereka memerlukan lapisan kedua ilmuan yang mendukung mereka. Sering terjadi, lapisan kedua ini tidak tersedia, atau sangat lemah dan tidak memadai. 2. Kurang Integralnya kebijaksanaan Sain Nasional Hampir seluruh Negara Muslim tidak mempunyai kebijaksanaan (policy) dan perencanaan nasional yang jelas, menyeluruh, terpadu dan terarah untuk pengembangan sains. Bahkan sains, dalam banyak kasus, merupakan bidang yang paling terlantar dari kebijaksanaan nasional yang terlalu bertitik tekan pada pertumbuhan ekonomi. Hal ini kontras dengan Negara-negara maju, yang memberikan perhatian khusus kepada kebjaksanaan sains bahkan melebihikebijaksanaan luarnegeri atau militer; sebab kegagalan mengemambangkan riset nasional dalam berbagai bidang ilmu, baik eksakta maupun sosisal semacam fisika, matematika, kimia, biologi, sosiologi, sejarah, antropologi, dan lain-lain dapat menghambat perkembangan secara menyelutuh di masa depan. 3. Tidak Memadainya Anggaran Penelitian Ilmiah Hampir diseluruh Negara Muslim, anggaran untuk pengembangan ilmu dan penelitian ilmiah sangat kecil, dan tidak menduduki tempat signifikan dalam anggaran nasional. Dinegara-negara Muslim, pertumbuhan anggaran untuk riset dan pengembangan sains hanya berkisar antara 0.1 sampai 0.3 persen dari total
Teradisi Keilmuan dan Intelektual................Ismail Baharuddin
31
GNP. Ini kontras dengan Negara-negara maju, yang terus meningkatkan angaran untuk penelitian dan pengembangan sains sebagai Negara-negara ini bahkan menganggarkan lebih 4 persen dari total GNP. 4. Kurangnya Kesadaran di Kalangan Sektor Ekonomi Tentang Pentingnya Penelitian Ilmiah Negara-negara Muslim dalam kebijaksanaan pembangunan sangat mengorientasikan diri pada pembangunan ekonomi dengan titik tekan pada pertumbuhan (growth). Karenanya, tidak heran kalau yang memegang kendali perumusan kebijakan pembangunan adalah ekonom, yang sering kurang mempunyai minat terhadap signifikasi pengembangan dan penelitian sains dan teknologi. Kaum ekonom untuk memacu tingkat pertumbuhan ekonomi ekonomi lebih senang menginfor teknologi yang ‚siap pakai‛ ketimbang mengembangkannya sendiri didalam negeri. Mereka lebih suka mendatangkan keahlian (expertise), ilmuan, peralatan, buku-buku sains dari luar negeri.5 5. Kurang Memadainya Fasilitas Perpustakaan, Dokumentasi dan Pusat Informasi Jumlah buku-buku sains (fisika dan alam) yang tersedia amat sedikit. Kebanyakan peneliti di dunia Muslim tidak mempunyai akses kepada jurnal-jurnal ilmiah, dan karenaya tidak mempunyai bahan-bahan unutk mengikuti perkembangan-perkembangan keilmuan dalam bidang mereka masing-masing. 6. Isolasi Ilmuwan Bahwa hampir tidak prnahnya atau jarang sekali berinteraksi dengan kaum ilmuan di Negara-negara maju. Padahal setiap ilmuan agar dapat mengembangkan ilmunya perlu berpartisipasi dalam diskusi-diskusi, seminar dan lain-lain.6 Macam-Macam Tradisi Intelektual Diantara tradisi intelektual yang berkembang di kalangan para ulama dan intelektual muslim pada zaman klasik, pertengahan dan modern antara lain sebagai berikut:
5 6
Ibid., hlm. 16-19. Ibid, hlm. 16-19.
Forum Paedagogik Vol. 07 No.02 Juli 2015
32
1. Tradisi Rihlah Ilmiah Mobilitas para ilmuan, penuntun ilmu, atau siapa pun saja yang terlibat dalam dunia ilmiah adalah aspek lain yang sangat menarik dari intelektualisme Muslim klasik. Rihlah ‘ilmiah (perjalanan ilmiah) adalah konsep intelektualisme Muslim klasik yang mewakili aspek mobilitas ini. Dengan demikian, dinamisme internal yang dimungkinkan oleh ijtihad dilengkapi oleh mobilitas para ilmuan yang cukup tinggi.7 Kata rihlah berasal dari bahasa arab, rahala yarhalu, rihlah yang berarti travel, journey (perjalanan). Kata rihlah selanjutnya dijumpai dalam Alquran surat al-quraisy (106) ayat 2 yang berbunyi: ilaafihim rihlata al-syitaa’I wa al-shai’f : (yaitu) kebiasaan mereka berpergian pada musim dingin dan musim panas. Selanjutnya kata ilmiah secara harfiah bersifat ilmu pengetahuan, atau berpergian menuju sebuah tempat tertentu guna mendapatkan ilmu pengetahuan faktor yang menyebabkan dilakujannya perjalanan ilmiah tersebut, antara lain karena perintah ayat Alquran antara lain: Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke Medan Perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang bebera orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali padanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (Q.S AtTaubah: 122) selanjutnya di dalam hadis Rasulullah saw. Dinyatakanan, bahwa barang siapa berpindah dari satu tempat lain, karena tujuan untuk mencari ilmu, maka orang tersebut diampuni sebelum melangkahkan kakinya. (HR Abu Hurairah). Hadis Nabi Muhammad saw selanjutnya menyatakan : Seseorang yang
pergi mencari ilmu adalah berada dijalan Tuhan (sabilillah), hingga ia kembali, ia memperoleh pahala sebagaimana orang yang berperang menegagkan agama. Para malaikat membentangkan sayap kepadanya dan semua makhluk berdo’a untuknya termasuk ikan dalam air. Selain rihlah ilmiah juga terjadi karena kehadiran ulama atau tempat-tempat menuntut ilmu pengetahuan tidak berada dalam satu tempat, melainkan tersebar pada berbagai kota, seperti Mekkah, Madinah, Baghdad, Kairo, Isfahan, Istambul, Granada, Delhi, Samarkand, Bukhara, dan sebagainya, sebagaimana diuraikan dalam bab selanjutnya dalam buku ini. Berbagai kota pusat ilmu pegetahuan, kebudayaan dan peradaban tersebut sangat berjauhan yang hanya dapat ditempuh dengan perjalanan darat dan laut yang memakan waktu 7
152.
Hasan Asari, Menguak Sejarah Mencari ‘Ibrah, (Bandung: Citapustaka Media, 2006), hlm.
Teradisi Keilmuan dan Intelektual................Ismail Baharuddin
33
cukup lama, hingga mencapai berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulanbulan. Perjalanan ilmiah tersebut menuntut motivasi yang kuat, keberanian untuk menghadapi resikoyang mungkin terjadi di perjalanan, serta modal mental, fisik, dan biaya yang tidak sedikit.8 2. Tradisi Berijtihad Umumnya ijtihad dikaitkan orang dengan hukum. Dalam hubungan ini Maududi mengartikannya sebagai bentuk riset akademik khusus dan usaha intelektual, yang menghasilkan seluruh legislatif.9 Secara harfiah ijtihad berasal dari bahasa arab ijtihada, yajtahadu yang berarti effort (usaha yang sungguh-sungguh), exertion (berusaha mengerahkan kemampuan), endeavor (usaha keras), pains (berjuang), trouble (menghadapi masalah), application (mewujudkan), industry (menghasilkan sesuatu), diligence (kerja keras), independen judgment in a legal or theological question based on the interpretation and application (kebebasan dalam mengambil keputusan dalam menjawab pertanyaan dalam bidang hokum atau teologi yang didasarkan pada penafsiran dan pelaksanaan). Dengan demikian secara harfiah, ijtihad artinya mencurahkan tenaga, memeras pikiran, berusaha sungguh-sungguh, bekerja semaksimal mungki.10 Dalam pengertian lain ijtihad mempunyai arti ‚usaha keras‛. Dalam terminologi hokum Islam itu berate berusaha sekeras-kerasnya untuk membentuk penilaian yang bebas tentang sesuatu masalah hukum.11 Selanjutnya dalam pengertian istilah, ijtihad adalah suatu pekerjaan yang mempergunakan segala kesanggupan daya rohaniyah untuk mengeluarkan hokum syara’ menyusun suatu pendapat dari suatu masalah hokum berdasar Alquran dan al-Sunnah. Orang yang melakukan ijtihad dinamakan mujtahid dan persoalan yang dipertimbangkannya disebut mujtahid fih atau produk hukum.12 Tradisi ijtihad adalah merupakan penopang risalah Islam yang abadi. Ia menjadi bukti bagi manusia, bahwa islam selalu memberikan pintu terbuka bagi
Abuddin Nata, Op.Cit., hlm. 155-157. Sidi Gazalba, Islam Dan Perobahan Sosiobudaya Kajian Islam tentang Perobahan Masyarakat, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1983), hlm. 176. 10 Abuddin Nata, Op.Cit., hlm. 11 A. Mukti Ali, Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan, dan Muhammad Iqbal, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1990), hlm. 27. 12 Abuddin Nata, Op.Cit., hlm. 160. 8 9
34
Forum Paedagogik Vol. 07 No.02 Juli 2015
akal pikiran manusia yang selalu mencari-cari. Ijtihad ini bukan saja diperkenankan, melainkan diperintahkan. Hal ini antara lain didasarkan pada hadis yang berisi dialog Rasulullah saw. Dengan Mu’az bin Jabal ketika Nabi mengangkat dia menjadi Gubernur Yaman. Nabi bertanya, bagaimana kalau memutuskan perkara yang terjadi di Yaman tidak dijumpai dasar hukumnya di dalam Alquran dan al-Sunnah, Mu’az menjawab, bahwa ia akan memutuskan dengan berijtihad menggunakan akal pikiran. Jawaban disetujuai dan direstui oleh Rasulullah saw. Tradisi ijtihad ini erat kaitannya dengan lahirnya gerakan intelektual yang menopang kebudayaan dan peradaban. Hal yang demikian terjadi, karena dengan ijtihad, seseorang diberikan kebebasan untuk mengeksplorasi cita, rasa, dan karsanya, terutama intelektualnya dengan berdasarkan Alquran al-Sunnah dalam melahirkan produk hukum atau lainnya. Dengan adanya tradisi ijtihad ini, seseorang diberikan kebebasan untuk menyatakan pikiran dan pendapatnya tanpa ada sikap saling membatasi, melainkan saling mendorong dan menghormati. Tradisi ijtihad inilah yang menyebabkan lahirnya para fikaha dalam bidang hukum, para teolog dalam bidang kalam, para muhaddis dalam bidang hadis, para mufassir dalam bidang tafsir, dan seterusnya. Sikap ijtihad yang demikian itu misalnya ditujukan oleh Abu Hanifah (699-767M), Imam malik (714798M), Imam Syafi’I (767-854M), dan Ahmad bin Hambal (780-855M).13 3. Tradisi Menghapal Menghapal adalah suatu kegiatan merekam dan mengingat (memorising) bahan pelajaran sesuai dengan teks atau tulisan yang terdapat dalam buku atau manuskrip. Untuk kemudahan hal ini, dikalangan ulama ada upaya menyusun pelajaran sedemikian rupa, yakni disusun secara sistematis berdasarkan urutan alfabetis, seperti dengan urutan alfabetis, angka, istilah, tema, dan lain sebagainya. Selain itu, para ulama biasanya menyusun sebuah ringkasan atau matan dari sebuah kitab yang disusun yang selanjutnya menjadi landasan bagi pemahaman kitab-kitab yang lebih besar. Tradisi menghapal ini merupakan warisan dari tradisi Masyarakat sebelum Islam yang banyak menggunakan daya hapalan untuk menghapal sya’irsya’ir, pantun, dan sebagainya yang dilakukan didepan publik. Mereka yang menunjukkan kuat dan luas hapalan yang dimiliki akan mendapatkan penghormatan yang tinggi dari masyarakat. Hapalan digunakan boleh jadi, karena
13
Ibid., hlm. 161.
Teradisi Keilmuan dan Intelektual................Ismail Baharuddin
35
di masa lalu belum tersedia alat-alat tulis, mesin cetak, alat perekam, foto copy, disket, dan lain sebagainya. Masyarakat Arab yang pada umumnya bersifat nomad, yakni berpindah-pindah (terutama Arabia tengah dan arab Utara) menyebabkan banyak mengandalkan hapalan. Itulah sebabnya mengapa pada bangsa Arab yang normad ini tidak dijumpai kemajuan dalam bidang kebudayaan dan peradaban. Kehidupan mereka sangat sederhana, tradisional, dan cenderung primitif. Tradisi menghapal ini selanjutnya banyak digunakan sebagai salah satu metode pembelajaran yang berlangsung pada berbagai lembaga pendidikan Islam tradisional, seperti pesantren, madrasah diniyah, dan sebagainya. Beberapa kitab berbahasa Arab dalam bidang bahasa Arab, seperti matan Alfiah karangan Ibn Malik, Imriti, dan Nadzam Maqsud dalam bidang Ilmu Nahwu, matn Zubad dalam bidang fikih, matan Fathul Qarib dalam bidang Fikih, dan sebagainya biasanya dihafal. Hal ini dilakukan, boleh jadi karena pada lembaga pendidikan Islam tradisional itu pun belum tersedia berbagai sarana dan prasana pembelajaran yang memadai, kurang memiliki kemampuan ekonomi, dan sebagainya. Ttadisi menghapal ini selanjutnya digunakan untuk menghapal Alquran sehingga muncullah istilah hafidz atau huffadz, yakni orang yang menghapal atau para penghapal Alquran, para muhaddits muhaddits yakni orang-orang yang menghapal hadis dalam jumlah tertentu, tsiqah, yakni orang yang memiliki kekuatan daya hapalannya, seperti imam Bukhari.14 4.
Tradisi Meneliti Secara epistemologi terdapat empat model penelitian, yaitu penelitian bayani, penelitian burhani, penenlitian ijbari, penelitian jadali, dan penelitian irfani. Penelitian bayani secara harfiah berarti penelitian yang bersifat menjelaskan teks ayat-ayat Alquran dan hadis untuk dijelaskan kandungan, isi, dan pesan ajarannya, baik yang berkenaan dibidang hukum, teologi, etika, pendidikan, ekonomi, tafsir, hadis, dan lain sebagainya. Penelitian bayani ini mengharuskan seorang peneliti menguasai berbagai ilmu yang berkaitan dengan Alquran (Ulum Alquran dan cabangnya), ilmu yang berkaitan dengan al-Hadis (Ulum al-Hadis dan cabangnya), ilmu bahasa Arab dengan berbagai cabangnya, ilmu ushul fikih (kaidah-kaidah penetapan hukum), dan berbagai ilmu lainnya yang terkait. Melalui penelitian bayani ini dapat dihasilkan para ulama dalam bidang ilmu agama, al-Fikr al-Islami atau studi Islam.
14
Ibid., hlm. 162-163.
36
Forum Paedagogik Vol. 07 No.02 Juli 2015
Selanjutnya penelitian burhani secara harfiah berarti penelitian yang didasarkan pada data-data, fakta-fakta, dan bukti-bukti yang menyatakan tentang keberadaan sesuatu, yaitu berupa manuskrip, dokumen, undang-undang, peraturan, naskah perjanjian, surat-surat benda pusaka. Peralatan rumah tangga, pakaian, peralatan senjata, dan lain sebagainya. Melalui penelitian ini dapat dihasilkan ilmu-ilmu social dengan berbagai cabangnya, seperti sosiologi, antropologi, sejarah, politil, fenomenologi, filologi dan lain sebagainya. Tradisi penelitian burhani ini telah dimiliki dan dipraktikkan oleh ulama pada masa lalu, sebagaimana yang terlihat pada sejumlah ulama ilmu-ilmu social sebagaimana tersebut di atas.15 5. Tradisi Munazarah (berdebat) Salah satu ujud formal dari kebebasan akademis dikalangan Muslim klasik adalah seni munazarah. Munazarah (debat terbuka) tidak saja dipraktekka secara luas, malah menjadi semacam criteria kualitas keilmuan. Munazarah berfungsi sebagai arena penajaman pandangan dan pembuktian kekuatan dalil yang dimiliki seorang ilmuan dalam mendukung pandangannya. Melalui munazarah, kebebasan berpendapat memperoleh medium formal yang diikuti oleh kalangan ilmuan.16 Tradisi munazarah atau berdebat adalah merupakan salah satu kegemaran yang muncul dikalangan para ulama dan ilmuwan. Tradisi ini dilakukan dalam upaya saling menguji tingkat kedalaman, keluasan, ketajaman dan daya analisis, dan kecerdasan seorang ulama, serta dalam rangka saling tukar menukar informasi, dan memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. Tradisi munazarah ini terjadi sebagai akibat dari rasa saling ingin tahu, ingin memperluas wawasan menghargai perberdaan pendapat, serta perasaan bahwa ilmu pengetahuan yang dimilikinya masih merasa kurang. Kegiatan tradisi munazarah ini biasanya dilakukan pada sebuah majelis yang disediakan oleh pemerintah pusat dan daerah, dan dilaksanakan di suatu forum tertentu, dan terkadang diinisiasi oleh pemerintah pusat dan daerah, dan dilaksanakan di suatu forum yang disebut al-salon aladabiyah (sanggar sastra). Setiap peserta munazarah yang diundang dalam forum tersebut harus mematuhi etika dan tata tertib yang ditetapkan, mulai dari susunan tempat duduk, tata cara mengemukakan saran dan pendapat, pakaian yang harus 15 16
hlm. 151.
Ibid., hlm. 164. Hasan Asari, Menguak Sejarah Mencari ‘Ibrah, (Bandung: Citapustaka Media, 2006),
Teradisi Keilmuan dan Intelektual................Ismail Baharuddin
37
digunakan, pengaturan suara, sopan santun, dan lain sebagainya. Dalam munazarah tersebut, mereka saling memberikan keterangan, memberikan persfektif, penafsiran, dan bahkan kritik dengan cara yang santun dan bersahabat. Di masa sekarang, tradisi ini dapat disebut sebagai forum diskusi, konsorsium, dan sebagainya. 6. Tradisi wakaf dan Membangun Lembaga Pendidikan Seiring dengan semakin meningkatnya tingkat kemakmuran masyarakat dan berkembangnyan berbagai tradisi ilmiah sebagaimana tersebut di atas, bermunculan pula tradisi mewakafkan tanah, rumah, tanah, rumah, buku, dan sebagainya. Adanya orang-orang yang berkecukupan dan berlimpahan harta benda yang dijiwai semangat pengorbanan, kecintaan pada ilmu, dan ingin mendapatkan pahala dan ampunan Tuhan, serta tidak adanya keturunan yang dapat memelihara dan mengelola hartanya itu, maka membuka lahirnya tradisi mewakafkan harta benda. Karena demikian besar harta wakaf ini, hingga pemerintah di zaman klasiok, hingga sekarang, membentuk sebuah kementrian yang secara khusus mengelola wakaf tersebut, yang selanjutnya dikenal dengan Wizarat al-Auqaf (Kementrian Waqaf). Harta wakaf yang demikian besar itu selanjutnya di pergunakan untuk membangun lembaga-lembaga pendidikan, lembaga penelitian, gaji para guru, gaji para staf, beasiswa para pelajar, biaya penelitian, biaya operasional pendidikan, dan sebagainya. Dari tradisi ini lahirlah lembaga-lembaga pendidikan Islam yang amat beragam, seperti Darul Arqam, Suffah, Masjid, Madrasah, Kuttab, Badiah, Zawiyah, Ribath, al-Qushr (Istana), alSalon al-Adabiyah (Sanggar Sastra), al-Hanith al-Wariqin (Toko Buku), Baitul Hikmah, (Rumah Ilmu), Majelis al-Ilmu (Forum Ilmu Pengetahuan), Bait al-Ulama (Rumah Ulama), al-Bimaristan (Teaching Hospital) dan sebagainya. Adanya lembaga-lembaga ini selain menunjukkan efektivitas dari mobilitas pengguanaan dana wakaf, juga menunjukkan bahwa pendidikan menjadi tanggung jawab bersama, yakni bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan pedagang, sufi, pemilik toko buku, pemilik rumah sakit, para peneliti, perorangan, ulama, dan lain sebagainya. 7. Tradisi Membaca Kitab Kuning Tradisi Membaca kitab kuning atau kitab gundul sudah cukup melembaga pada berbagai lembaga pendidikan Islam, baik di dalam maupun luar negeri, khususnya Timur. Dinamakan kitab kuning, karena kertas kitab itu
38
Forum Paedagogik Vol. 07 No.02 Juli 2015
berwarna kuning, dan dinamakan kitab gundul, karena teks dalam kitab ini tidak disertai dengan tanda baca. Cara membacanya mulai dari arah kanan kekiri, dimulai dengan membaca kata-kata dan kalimatnya berdasarkan susunan tata bahasa Arab (Nahwu dan Sharaf), kemudian memberikan arti kata demi kata dibawah baris teks kitab tersebut, dengan menggunakan pena yang lancip dan tinta Cina, kemudian memahami maksudnya dan menghapalnya. Kitab-kitab tersebut antara lain berbicara tentang tafsir, hadis, fikih, kalam, tasawuf, tajwid, qiraat, sejarah Nabi, sastra, mantiq, dan astronomi, (ilmu falaq).17 Penutup Keseluruhan ciri masyarakat Muslim klasik yang sudah diuraikan di atas jelas menunjukkan kesesuaian dengan karakter masyarakat modern. Masyarakat modern biasanya dicirikan sebagai masyrakat yang rasional, dinamis, kreatif, menghargai perbedaan dan menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusian. Dan inilah nilai sejati dari Islam sebagai ajaran yang sempurna, dia mengandung potensi sebagai landasan pembangunan sebuah peradaban yang menjungjung tinggi intelektualisme dan modernisme, tanpa harus melupkan religiusitasnya. Berikut ini dapat dikemukakan beberapa analisis dan catatan penutup sebagai berikut: 1. Bahwa secara historis umat Islam adalah pelopor kebangkitan ilmu pengetahuan, kebudayaa, dan peradaban. Umat Islamlah yang merintis dan bertindak sebagai pioneer yang mengembangkan ilmu pengetahuan agama dan umum secara komprehensif yang hingga sekarang masih dapat dijumapai diberbagai perpustakaan dibelahan dunia. Terjadinya keadaan yang demikian itu antara lain disebabkan karena umat Islamlah yang merintis lahirnya tradisi intelektual yang amat beragam, yakni rihlah ilmiah, meneliti, membaca, menulis, munazarah, membangun perpustakaan, membangun lembaga pendidikan, mewakafkan buku, dan memelihara kebiasaan membaca kitab kuning. 2. Bahwa secara sosio cultural, munculnya tradisi intelektual tersebut terkait dengan tradisi menghargai danmenghormati ulama, dan ilmu, dukungan pemerintah dan berbagai pihak lainnya, dukungan ekonomi, dan keamanan politik.
17
Abuddin Nata, Op.Cit., hlm. 168-170.
Teradisi Keilmuan dan Intelektual................Ismail Baharuddin
39
3. Bahwa munculnya tradisi intelektual juga terkait dengan posisi, peran, kedudukan, dan fungsi umat Islam yang pada saat ini bertindak sebagai adi kuasa dalam berbagai bidang kehidupan: ekonomi, politik, budaya, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya. 4. Bahwa tradisi intelektual yang ada di dunia Islam saat ini secara umum sudah tertinggal disbandingkan denga tradsi intelektual yang berkembang di Eropa dan Barat. Hal ini terjadi karena merek lebih memiliki kekuatan dalam bidang ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, tekhnologi, dan sebaainya yang memungkinkan mereka mengembangkan tradisi intelektual tersebut. Referensi Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, Yogyakarta: SIPRESS, 1993 Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya, Jakarta: Rajawali Pers, 2012. Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2002. Hasan Asari, Menguak Sejarah Mencari ‘Ibrah, Bandung: Citapustaka Media, 2006. Sidi Gazalba, Islam Dan Perobahan Sosiobudaya Kajian Islam Tentang Perobahan Masyarakat, Jakarta: Pustaka Alhusna, 1983. A. Mukti Ali, Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan, dan Muhammad Iqbal, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990. Hasan Asari, Menguak Sejarah Mencari ‘Ibrah, Bandung: Citapustaka Media, 2006.