Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 18 – 24 )
ISLAM DAN TRADISI LOKAL Oleh : Emawati * Abstrak Artikel ini membahas pertemuan Islam dan tradisi lokal dengan fokus kajian pemikiran pembaruan yang telah digagas oleh Hasbi Ash Shiddieqy dalam membina masa depan umat Islam di Indonesia. Pokok permasalahan dalam artikel ini gagasan fiqh Indonesia yang telah ditawarkannya adalah fiqh konteksual, tidak anakronistik, dan sesuai dengan tuntutan zaman. Penulisan ini merupakan penelitian literatur dengan cara menganalisi muatan isi dari literatur yang relevan. Penulisan ini bersifat deskriptif analisis untuk menyusun dan menggambarkan tentang pertemuan Islam dan tradisi lokal yang dalam hal ini dicontohkan dengan gagasan pemikiran Hsabi Ash-Shiddiqi tentang fiqh Indonesia. Kesimpulan dari penulisan ini adalah kita bisa mendapatkan paradigma dalam proses pembentukan hukum Islam yang khas Indonesia, yaitu, pertama, kontekstual yakni Islam dipahami sebagai ajaran yang berkaitan dengan dimensi tempat dan waktu. Kedua, menghargai tradisi lokal. Karakter ini dibangun dari kenyataan bahwa Islam tidak dapat dilepaskan dari tradisi masyarakat pra Islam. Kata Kunci : Tradisi lokal, fiqh Indonesia
PENDAHULUAN Bagi umat Islam tradisi profetik menggantikan semua bentuk tradisi lisan. Sunnah selalu mendokumentasikan sejarah Nabi Muhammad melalui berbagai perilaku sosialnya yang berimplikasi pada normanorma hukum dan moral baik dalam bentuk peribadatan maupun kemasyarakatan, secara sengaja dibeberkan dengan maksud sebagai teladan bagi umat Islam (Munawar, 2004: 28). Ketika Islam menyebar ke Nusantara pada abad ke-13 M, wilayah ini memiliki peradaban yang berkembang. Di Indonesia sebagaimana di negeri muslim lainnya, proses memberika norma-norma Islam dengan makna kontekstual juga dibuka dengan cara mencerminkan keseimbangan sosial dan kompromi historis (Hefner, 2000: 8). Bahkan di kalangan orang-orang saleh, pemahaman mengenai apa Islam yang dikompromikan beragam dari waktu ke waktu, kadang-kadang sebagaimana dalam perang Paderi di Minagkabau, dengan cara mengadu pandangan Islam yang bersaing
satu sama lain. Ketika keseimbangan kekuatan kelompok yang bersainng dengan pemahaman Islam normatif yang berbeda mengalami pergeseran, begitu pula yang terjadi dengan bentuk dan makna kebudayaan Islam lokal. Di Jawa pada abad ke-17 M, misalnya, relokasi kekuasaan negara dari pesisir yang berorientasi perdagangan ke pedalaman yang berorientasi pertanian telah berpengaruh pada persepsi orang Jawa terhadap Islam (Ibid). Pada dasarnya agama Islam yang datang ke Indonesia adalah agama pendatang. Hal ini menarik untuk diulas bagaimana agama pendatang tersebut berkomunikasi dalam sebuah komunitas yang telah memiliki keyakinan dan kebudayaan sebelumnya. Dilihat dari sejarah perkembangan pemikiran hukum Islam telah banyak kalangan berupaya untuk menginkorporasikan serta mempertimbangkan suatu unsur struktur kebudayaan (adat) ke dalam rumusan hukum Islam (Ash-Shiddiqi, 2010: 1).
* Dr.Emawati, M.Ag Dosen Jurusan Tarbiyah IAIN Palangka Raya
18
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 18 – 24 )
Mengenai Islam dan tradisi lokal semakin menarik untuk dikaji terutama dalam rangka memberi perhatian terhadap kekayaankekayaan yang menjadi ciri wilayah tertentu. Secara antropologis suatu hukum sulit diimplementasikan jika bertentangan dengan jiwa dan semangat lokal. Maka tulisan ini menyoroti bagaimana pola pertemuan Islam dan tradisi lokal, dengan fokus pada pemikiran yang berkaitan dengan hukum Islam dalam hal ini adalah pemikiran Hasbi Ash-Shiddiqi tentang fiqh Indonesia. ISLAM DAN TRADISI LOKAL Dalam kasus Indonesia setidaknya ada beberapa pemikiran yang menarik untuk mencari format format ideal, dalam penulisan ini difokuskan pada gagasan fiqh Indonesia oleh Hasbi Ash-Shiddiqi. Tujuannya ingin agar hukum yang dibuat bisa searah dengan ajaran Islam tanpa harus mengebiri tradisi atau budaya lokal yang ada. Ia mempunyai pandangan tentang hukum Islam, ingin meletakkan Islam dan budaya dalam posisi dialogis bukan saling menundukkan. Egalitarisme Islam menjadi suatu keniscayaan yang memberikan konsekuensi bahwa semua tradisi dan budaya adalah sama sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan demikian produk hukum akan bisa menghidupkan budaya itu sendiri beriringan dengan Islam sekaligus menafikan hegemonitas budaya Arab yang selama ini dipandang paling absah menjadi bagian tradisi Islam. Kita bisa mendapatkan paradigma dalam proses pembentukan hukum Islam yang khas Indonesia, yaitu, pertama, kontekstual yakni Islam dipahami sebagai ajaran yang berkaitan dengan dimensi tempat dan waktu (As’ad, 2010: 4). Secara empiris bisa dikatakan bahwa hukum Islam di Indonesia adalah hukum yang
hidup (living law). Kedua, menghargai tradisi lokal. Karakter ini dibangun dari kenyataan bahwa Islam tidak dapat dilepaskan dari tradisi masyarakat pra Islam. Dalam faktanya Islam telah mengadopsi tradisi-tradisi lokal yang berkembang yang berkembang dalam masyarakat Arab. Dengan demikian Islam tidak menempatkan tradisi lokal kedalam posisi obyek yang harus ditakklukkan, tapi Islam meletakkannya dalam posisi dialogis. Berbagai konsep yang ada dalam ushul fiqh juga bisa dikembangkan demi mendapatkan produk hukum ideal yang bukan hanya sesuai dengan prinsip ajaran Islam namun juga bisa sesuai dengan prinsip realitas yang ada. Lalu kenapa yang masih selalu muncul adalah pergesekan antara Islam dengan budaya? Untuk pertanyaan terakhir ini permasalahannya adalah berpulang pada diri kita sendiri selaku muslim Indonesia. Secara psikologis kita telah terlebih dahulu tertelan budaya konsumtif yang sebenarnya juga kita benci sendiri dengan hanya mengandalkan produk fiqh dari orang lain daripada bersusahpayah memakai mesin produksinya untuk disesuaikan dengan kebutuhan kita. Kita lebih suka menjadi konsumen produk instan daripada menjadi produsen yang harus berkutat berpikir dan mengkonsep suatu produk hukum yang berkepribadian Indonesia. Disinilah kelemahan kita yang sudah menjadi kewajiban untuk merubahnya mulai sekarang. Dan tentu saja kalau bukan para ulama dan pemikir kita, siapa lagi yang akan memulainya (As’ad, 2010: 6). Ide Hasbi Ash-Shiddiqi tidak dirilis dengan cara menyerang praktik-praktik hukum Islam yang telah establihed, tapi disampaikan dalam frame yang lebih bersifat dialogis. Disamping itu Hasbi termasuk salah seorang pembaharu yang
* Dr.Emawati, M.Ag Dosen Jurusan Tarbiyah IAIN Palangka Raya
19
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 18 – 24 )
menawarkan ide-idenya secara komprehensif mulai dari konsep fiqh Indonesia-nya sampai pembaharuan hukum yang meliputi prinsip dan sekaligus metodenya (Nasir, 2010: 10). Ide pembaharuan hukumnya sebagian mulai masuk dalam diskursus hukum Islam di Indonesia pada tahun 1940 dan kemudian diulangi lagi pada tahun 1961. Gagasan utamanya adalah pentingnya formulasi fiqh Indonesia. Menurut Hasbi fiqh Indonesia adalah fiqh yang sesuai dengan budaya dan karakter masyarakat Indonesia. Artinya fiqh yang berkepribadian Indonesia. Menurut pengamatannya jika fiqh diharapkan bisa dipakai dan memasyarakat di Indonesia, maka ia bukan saja harus mampu memecahkan persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat dengan adil dan mashlahah, tapi fiqh juga harus mudah dipahami dan tidak asing. Menurutnya fiqh yang berkepribadian Indonesia dapat diwujudkan. Jika ‘urf di Arab bisa menjadi sumber fiqh yang berlaku di Arab, maka ‘urf Indonesia tentunya juga bisa menjadi sumber hukum yang bisa ditetapkan di Indonesia (Ibid). Keyakinannya bahwa fiqh yang berkepribadian Indonesia adalah hal yang boleh dan mungkin dibentuk berangkat dari pemahamannya bahwa fiqh muamalat adalah organisme yang hidup. Selaku hukum in concentro, dia harus selalu mampu memenuhi kebutuhan hukum dan memecahkan permasalahan-permasalahan hukum yang timbul pada setiap masyarakat dan di setiap waktu. Padahal tidak ada kelompok yang sama persis antara satu dengan lainnya, juga setiap kelompok berada dalam proses perubahan dan perkembangan. Maka menurut Hasbi jika fiqh yang berkepribadian Indonesia terwujud, bukan saja akan menghilangkan sikap mendua hati dalam menerima fiqh
sebagai alat pemutus hukum di kalangan muslim Indonesia, tapi juga dapat menjadi tiang penyangga bagi pembinaan hukum nasional Indonesia (Ash-Shiddiqi, 1997: 239). TAWARAN PRINSIP HUKUM HASBI Sistem hukum yang dianut Hasbi berpijak pada prinsip mashlahah mursalah yang berdasarkan keadilan dan kemanfaatan serta sad al-dzariah. Ia berpendapat prinsip yang merupakan gabungan dari prinsipprinsip yang dipegang para imam mazhab ini, khususnya aliran Madinah dan Kuffah, mampu membawa ketertiban dan kesejahteraan dalam masyarakat serta akan memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi dilakukannya ijtiha-ijtihad baru. Dalam penggalian huku, Hasbi menggunakan metode analogi deduksi yang memberi kebebasan berijtihad seperti yang dipakai oleh Abu Hanifah dalam membahas masalah-masalah yang tidak diperintah dan tidak pula dilarang serta yang belum ada ketetapan hukumnya. Adapun terhadap masalah-masalah yang telah ada ketetapan hukumnya, maka Hasbi memakai metode komparasi, yakni membandingkan antara satu pendapat dengan pendapat yang lain dari seluruh aliran hukum yang ada dan memilih yang lebih baik serta lebih dekat kepada kebenaran dan didukung oleh dalil yang kuat (tarjih). Dengan demikian Hasbi menganut sistem berpikir eklektif. Inilah kelebihan Hasbi dibanding dengan pembaharu yang lain. Jika ulama tradisionalis dalam membahas hukum berpijak pada salah satu mazhab secara utuh karena menolak talfiq; Hasbi secara tegas menerima talfiq dan secara eklektif memilih mana yang lebih cocok dengan kondisi Indonesia. Pembahasan hukum versi Hasbi ternyata bergema cukup banyak dan telah membuka
* Dr.Emawati, M.Ag Dosen Jurusan Tarbiyah IAIN Palangka Raya
20
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 18 – 24 )
wacana baru fiqh di Indonesia. Perubahan sentral studi dari orientasi satu mazhab telah melebar pada studi hukum dengan pendekatan komparatif. Hal ini bisa dilihat dari beragamnya kitab-kitab ushul yang dianjurkan sebagai bahan rujukan di lingkungan perguruan tinggi (Ash-Shiddiqi, 1997: 10). PAHAM DAN PENDAPAT HASBI ASH-SHIDDIQI Hasbi menganut dan berpijak pada prinsip mashlahah mursalah (kemashlahatan umat) yang berasaskan keadilan dan kemanfaatan serta sad adzdzariyah (mencegah kerusakan). Tidak ada perselisihan di kalangan ulama, bahwa penetapan-penetapan hukum (tasyri) dimaksudkan untuk melahirkan kemashlahatan manusia, maka ada bagian dalam fiqh yang dinamakan siyasah syar’iyyah yakni kebijaksanaan untuk membuat masyarakat lebih dekat dan gemar kepada kebajikan serta menjauhi keburukan dan kerusakan (Ibid). Hasbi merasa eksistensi hukum Islam pada tataran praktis telah sampai pada tingkat dekadensi yang klinis, tampil bagai sosok yang terasing, tidak berarti dan tidak berdaya guna. Kehadirannya tidak dianggap ada oleh umat karena tidak sanggup lagi mengakomodie berbagai tuntutan perubahan zaman. Dari titik berangkat kenyataan sosial dan politik seperti itulah pemikiran fiqh Indonesia hadir, ia terus mengalir dan disosialisasikan oleh Hasbi. Menurutnya hukum Islam harus mampu menjawab persoalan-persoalan baru, khususnya dalam segala cabang bidang muamalah yang belum ada ketetapan hukumnya maka hukum Islam harus mampu hadir dan bisa berpartisipasi dalam memmbentuk gerak langkah kehidupan masyarakat. Para mujtahid (ulama lokal) dituntut untuk
mempunyai kepekaan terhadap kebaikan (sense of mashlahah) yang tinggi dan kreativitas yang dapat dipertanggungjawabkan dalam upaya merumuskan alternatif fiqh baru yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapinya. Untuk memecahkan masalah ini, Hasbi mengusulkan perlunya kerja kolektif melaui sebuah lembaga permanen dengan jumlah anggota ahli dari spesialisasi ilmu yang bermacam-macam. Menurutnya upaya ini akan menghasilkan produk hukum yang relatif lebih baik dibanding apabila hanya dilakukan oleh perorangan atau sekumpulan orang dengan keahlian yang sama (Sabar, 2010: 4). Nalar berpikir yang digunakan Hasbi dengan gagasan fiqh Indonesia adalah satu keyakinan bahwa prinsip-prinsip Islam sebenarnya memberiakn ruang gerak yang lebar bagi pengembangan dan ijtihad-ijtihad baru. Dasar-dasar hukum Islam yang selama ini telah mapan dan mantap seperti ijma, qiyas, mashlahah mursalah, ‘urf dan prinsip perubahan hukum karena perubahan waktu dan tempat, justru akan menuai ketidaksesuaian ketika tidak ada lagi ijtihad baru. Dengan berpegan pada paradigma itu dalam konteks pembangunan semseta sekarang ini, gerakan penutup pintu ijtihad (insidad bab al-ijtihad) merupakan isu usang yang harus segera ditinggalkan (Ibid). Berbicara mengenai hukum Islam akan kita temukan apa yang dinamakan syariah dan fiqh. Menurut Hasbi AshShiddiqi, istilah syariah dan fiqh adalah berbeda meski mempunyai hubungan yang erat sehingga terkadang sangat sulit untuk membedakan antara keduanya, apalagi melepaskannya satu sama lain. Syariah adalah kumpulan perintah dan larangan yang disampaikan Allah melalui Rasul-Nya. Sedangkan fiqh adalah kumpulan hukum praktis yang diambil dari dalil-dalil
* Dr.Emawati, M.Ag Dosen Jurusan Tarbiyah IAIN Palangka Raya
21
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 18 – 24 )
terperinci dan jelas (sumber hukum). Oleh karenanya fiqh lebih bersifat ijtihadi yang meniscayakan keberagaman pendapat. Adapun budaya sebagaimana dijelaskan oleh Koentjaraningrat seringkali disebut untuk menunjuk kepada hasul pikiran dan karya manusia. Senada dengan hal tersebut Peter L. Berger mendefinisikan budaya sebagai totalitas produk-produk manusia, baik materiil maupun immateriil. Kaitannya dengan hukum Islam produkproduk manusia ini dalam khazanah Islam lebih merujuk pada apa yang dinamakan dengan ‘urf dan ‘adah. Sampai sekarang mungkin masih banyak paradigma yang mengatakan bahwa Islam datang dengan risalah baru terutama dalam aspek syariahnya, yang konsekuensinya adalah menggantikan risalah sebelumnya. Dalam paradigma tersebut juga maka kebudayaan yang ada sebelumnya termasuk kebudayaan Arab pra Islam otomatis tergantikan. Kalaupun ada kesamaan dalam artian jika risalah tersebut memakai budaya tertentu, itu karena Allah melalui wahyuNya memang mensyariatkannya dan bukan karena adanya keterpengaruhan risalah dengan budaya tersebut. Paradigma ini tentunya sangat problematik karena akan menempatkan Islam beserta sumber hukumnya dan budaya secara berhadap-hadapan, disamping ketika Islam tersebut keluar dari geo kultural tempat ia berasal, tentu di satu sisi secara tidak langsung akan melegalkan budaya lokal tertentu (baca: Arab) sebagai bagian dari agama dan di sisi lain mengeliminasi budaya lokal lain karena tidak ada ketetapannya dalam wahyu. Memang harus diakui tidak semua budaya adalah baik dan cocok dengan prinsip-prinsip Islam. Namun tidak bisa dinafikan pula ketika kita mengkaji masalah budaya dan tradisi lokal, kita akan mendapatkan adanya pengaruh
budaya terhadap perkembangan hukum Islam itu sendiri. Dan ini merupakan fakta yang tak terbantahkan (As’ad, 2010: 6). PEMIKIRAN FIQH INDONESIA Reformasi hukum Islam di Indonesia juga diproyeksikan untuk lebih mengakrabkan fiqh dengan realitas keindonesiaan. Fiqh juga diproyeksikan sebagai sebuah sarana untuk menjembatani terciptanya dialog dan kerjasama yang baik antarumat beragama di Indonesia. Dengan demikian reformasi hukum Islam tidak saja beroientasi kedalam (umat Islam saja) tapi juga keluar yakni demi tercapainya masyarakat yang plural dan dinamis (Ibid). Pentingnya usaha dinamisasi pemikiran tentang ajaran ini karena pada kenyataannya ajara yang bersumber pada wahyu itu selalu berhadapan dengan kenyataan sosiologis yang juga dinamis. Jika proses aplikasi ajaran harus mengacu pada contoh-contoh Nabi, kenyataan itupun tidak pernah terjadi pada zaman Nabi. Karena itu dalam kerangka dinamisasi pemikiran ini sunnah Nabi dapat digunakan sebagai perangkat metodologis untuk merumuskan hukum-hukum baru berdasar kenyataan. Begitu banyak masalah baru yang muncul mengikuti kehidupan masyarakat dari waktu ke waktu maka usaha-usaha dinamis untuk merespon kenyataan tersebut tidak lagi bisa dihindari. Kenyataan bahwa modifikasi-modikfikasi seperti itu tetap ditoleransi oleh para ulama menunjukkan bahwa vigalitas Islam tetap terpelihara. Artinya ada kelenturan dalam praktik menjalankan syariat merupakan keniscayaan bagi syariat itu sendiri. Secara konsepsional cara-cara aplikasi seperti ini banyak dilakukan dalam fiqh yang dimaksudkan sebagai jembatan untuk mempertemukan dua sisi nilai yang
* Dr.Emawati, M.Ag Dosen Jurusan Tarbiyah IAIN Palangka Raya
22
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 18 – 24 )
sesungguhnya saling melengkapi (Muhtadi, 2005: 1). Para pembina hukum Islam dalam menghadapi hal-hal yang belum diatur oleh nash harus menggunakan ijtihad dalam artian yang lebih luas dari qiyas agar kebutuhan masyarakat kepada hukum dapat terpenuhi. Fiqh yang benar tidak berlawanana dengan akal. Sebab fiqh sendiri adalah hasil perenungan yang mendalam dengan menggunakan pengetahuan indrawi dan mata hati. Tujuan fiqh adalah untuk mewujudkan kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat bagi umat manusia. Pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan manusia bukan sesuatu yang tetap. Ia selalu berubah sejalan dengan tuntutan kebutuhan. Karena itu dalam mengkaji fiqh harus digunakan pendekatan sosio kultural historis dengan tetaop berpijak pada nash seperti yang telah dilakukan oleh para fuqaha terdahulu (Shiddiqi, 2005: 83). Hasil jerih payah para fuqaha terdahulu tetap ada gunanya. Apa yang harus dikerjakan adalah melakukan kajian banding yang dengannya dapat dipilih mana yang lebih baik dan didukung oleh dalil yang kuat serta lebih cocok dengan masa kini dan di suatu tempat. ‘Urf suatu masyarakat memang cocok untuk masyarakat itu, tapi belum tentu sesuai dengan masyarakat lain. Islam juga memperhatikan kehendak manusia sejalan dengan kewajiban yang dilakukannya. Karena itu perbedaan fiqh antara satu masyarakat dengan masyarakat lain adalah satu konsekuensi logis yang bisa terjadi. Ini
semua adalah urgen bagi kemungkinan lahirnya fiqh yang berkepribadian Indonesia yang berlaku bagi masyarakat muslim Indonesia (Ibid). PENUTUP Dalam mengkaji studi Islam ada dua aliran besar yang berkembang dalam tradisi studi Islam dalam perspektif sejarah, yakni pendekatan tradisionalis dan revisionis (Minhaji, 2010: 5). Dua pendekatan ini termasuk sentral dalam studi Islam terutama menyangkut asal-usul (origin), pengaruh (foreign influence), otentisitas (authenticity) dan yang semacamnya terkait dengan AlQuran, Hadits, teologi, hukum, dakwah dan juga kitab-kitab yang membahas persoalan seputar sejarah umat Islam. Tak dapat dipungkiri juga perlu dilihat studi sosiologis terhadap aplikasi syariah di masyarakat-masyarakat muslim kontemporer akan mengungkap tiga hal: 1. Tingkat yang mendalam, tumpukan budaya dan kebiasaan masyarakat muncul dari penelitian etnografi dan penjelasan antropologi; 2. Tingkat apa yang secara eksplisit diketahui dalam bahasa spesial tetntang apa yang disebut hukum muslim tetapi menunjukkan pada apa yang secara implisit hidup yang karenanya kompleksitas besar bagi hubungan-hubungan fundamentalnya dengan tingkat etnografi; 3. Tingkat undang-undang modern yang hidup berdampingan dengan dua hal sebelumnya dalam berbagai situasi dan membentang dari kasus berbagai negara (Arkoun, 1996: 80).
DAFTAR PUSTAKA Akh., Minhaji. 2010. Sejarah Sosial dala Studi Islam: Teori, Metodologi dan Implementasi. Yogyakarta: SUKA Press. Arkoun, Mohammed. 1996. Rethinking Islam. Terj. Yudian W. Asmin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
* Dr.Emawati, M.Ag Dosen Jurusan Tarbiyah IAIN Palangka Raya
23
Pedagogik Jurnal Pendidikan, Oktober 2014, Volume 9 Nomor 2, ( 18 – 24 )
As’ad, Ahmad. “Islam dan Budaya: Realitas Indonesia” dalam www.lastislam.com. Akses 01-02-2010. Abdfun Nasir, Mohammad. “Membedah Anatomi Pembaharuan HukumIslam di Indonesia” dalam www.pembaruanislam.com. Akses 31-01-2010. Ahmad, Sabar. “Fiqh Mazhab Indonesia” dalam www.fiqhindonesia.com. Akses 01-022010. Hefner, Robert W. 2000. Islam Pasar Keadilan: Artikulasi Lokal Kapitalisme dan Demokrasi. Yogyakarta: LKIS. Munawar, Said Agil. 2004. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial. Jakarta: Penamadani. Muhtadi, Saepul. 2005. Pluralisme Islam: Menggagas Fiqh Kontekstual. Jakarta: Pustaka Setia. Shidddiqi, Noruzzaman. 1997. Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
* Dr.Emawati, M.Ag Dosen Jurusan Tarbiyah IAIN Palangka Raya
24