TOTAL PRODUKSI GAS DAN DEGRADASI BAHAN KERING HIJAUAN TROPIS PADA MEDIA CAIRAN RUMEN DOMBA YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG TANIN KAJIAN: IN VITRO DAN IN SACCO
SKRIPSI RENALDO ARNEL PUTRA YR
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
i
RINGKASAN RENALDO ARNEL PUTRA YR. D24050605. 2009. Total Produksi Gas dan Degradasi Bahan Kering Hijauan Tropis Pada Media Cairan Rumen Domba yang Diberi Pakan Mengandung Tanin Kajian: In Vitro dan In Sacco. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
: Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS : Ir. Lidy Herawaty, MS
Hijauan tropis merupakan salah satu bahan yang banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Kendala yang dimiliki hijauan tropis sebagai bahan pakan yaitu terkait dengan kadar serat dan anti nutrisi yang cukup tinggi. Salah satu anti nutrisi yang dapat mengikat protein dan mineral adalah tanin. Oleh sebab itu, perlu dilakukan evaluasi nilai degradasi bahan pakan asal hijauan tropis pada media cairan rumen yang hewannya diberi pakan mengandung tanin secara in vitro dan in sacco. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2008 sampai Mei 2009 di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi dan laboratorium lapang B Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Sembilan jenis hijauan tropis yang digunakan yaitu, P. purpureum (Pp), B. decumbens (Bd), C. kyllinga (Ck), L. leucocephala (Ll), A. heterophyllus (Ah), M. Sapientum (Musa sp), D. suffruticosa (Ds), M. malabathricum (Mm), S. baccatum (Sb). Cairan rumen yang dipergunakan diambil dari 2 ekor domba yang berfistula. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola Faktorial. Total produksi gas dan percobaan secara in vitro menggunakan RAK pola faktorial 9 x 3 x 2 dengan 3 faktor. Faktor A adalah 9 jenis hijauan tropis, faktor B adalah 3 media cairan rumen yang terdiri dari B1 (domba diberi pakan rumput dan konsentrat (pakan kontrol)); B2 (domba diberi pakan rumput + konsentrat + Calliandra callothyrsus (sumber tanin terkondensasi)) dan B3 (domba diberi pakan rumput + konsentrat + Melastoma candidum (tanin terhidrolisa)) dan faktor C dengan dan tanpa penggunaan Polyethilene Glycol (PEG). Percobaan secara in sacco menggunakan RAK pola faktorial 9 x 2 dengan 2 faktor. Faktor A yaitu 9 jenis hijauan tropis dan faktor B berupa 3 media cairan rumen. Peubah yang diamati adalah total produksi gas, dan persen degradasi bahan kering (DBK) hijauan tropis. Hasil data diolah dengan Analisis Ragam (ANOVA) dan jika memberikan hasil yang berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji jarak Duncan. Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa total produksi gas pada setiap perlakuan berbeda sangat nyata (P<0,01). Hijauan Artocarpus heterophyllus (Ah), media cairan rumen B3 dan penambahan PEG menghasilkan total produksi gas tertinggi. Interaksi antara media cairan rumen B3 dengan hijauan tropis Artocarpus heterophyllus (Ah) menghasilkan total prduksi gas tertinggi (P<0,01). Interaksi antara jenis hijauan Artocarpus heterophyllus (Ah) dengan penambahan PEG menghasilkan produksi gas tertinggi (P<0,01). Secara in vitro degradasi bahan kering (DBK) hijauan Artocarpus heterophyllus (Ah), media cairan rumen B1, dan penambahan PEG menghasilkan DBK tertinggi. Interaksi media cairan rumen B1 dengan hijauan tropis Artocarpus heterophyllus (Ah) menghasilkan DBK tertinggi (P<0.01). Interaksi antara penambahan PEG dengan hijauan Artocarpus heterophyllus (Ah) menghasilkan DBK tertinggi (P<0,05). Secara in sacco hijauan Artocarpus
ii
heterophyllus (Ah) dan media cairan rumen B3 menghasilkan DBK tertinggi dan terdapat interaksi yang sangat nyata (P<0,01) dari pengaruh sumber media cairan rumen B3 dengan hijauan Artocarpus heterophyllus (Ah) dan mempunyai DBK paling tinggi. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa hijauan Artocarpus heterophyllus (Ah) menghasilkan produksi gas tertinggi dan ada interaksi antara media cairan rumen B3 dengan hijauan Artocarpus heterophyllus (Ah) dan menghasilkan DBK tertinggi baik secara in vitro maupun in sacco. Penambahan PEG dapat meningkatkan total produksi gas dan DBK secara in vitro. Kata-kata kunci: in vitro, in sacco, hijauan tropis, tanin terkondensasi, tanin terhidrolisa
iii
ABSTRACT
In Vitro dan In Sacco of Total Gas Production and Dry Matter Degradation of Tropical Browse Plants In Rumen Fluid Sheep which Given Ration Containing Tannins R. A. Putra, D. A. Astuti , dan L. Herawaty This research was aimed to determine total gas production and dry matter degradation of fermented tropical browse plants in sheep rumen fluid containing tannins as in vitro and in sacco methods. There were nine types of tropical browse plants, such as Pennisetum purpureum, Brachiaria decumbens, Ciiperus kyllinga, Leucaena leucocephala, Artocarpus heterophyllus , Musa sapientum, Dilenia suffruticosa, Melastoma malabathricum, Sapium baccatum. This research was design using Randomized Completely Block Design Factorial. In vitro experiment and total gas production with 3 factors (9 x 3 x 2) treatment 9 type of tropical browse plants (A), three source of rumen fluids medium (B) such as B1 was control feed, B2 was condenseed tannin treatment and B3 was hydrolizable tannin treatment and with and without Polyethilene Glycol (PEG). In sacco experiment, the design was same with in vitro experiment. Data were analized by analysis of variance (ANOVA) and the differences among treatments were tested by Duncan multiple range test. The parameters observed were total gas production and dry matter degradation. Result showed that Artocarpus heterophyllus has the highest total gas production and dry matter degradation, rumen fluid with contained hydrolizable tannin has the highest total gas production and rumen fluid control has the highest dry matter degradation through in vitro technique and in sacco. There was interaction between rumen fluid with contained hydrolizable tannin with Artocarpus heterophyllus in total gas production and dry matter degradation through in vitro technique and in sacco. Polyethilene Glycol addition caused increasing of total gas production and dry matter degradation through in vitro technique. Keywords : dry matter degradation, in sacco, in vitro, total gas production, tropical browse plants
iv
TOTAL PRODUKSI GAS DAN DEGRADASI BAHAN KERING HIJAUAN TROPIS PADA MEDIA CAIRAN RUMEN DOMBA YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG TANIN KAJIAN: IN VITRO DAN IN SACCO
RENALDO ARNEL PUTRA YR D24050605
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 v
TOTAL PRODUKSI GAS DAN DEGRADASI BAHAN KERING HIJAUAN TROPIS PADA MEDIA CAIRAN RUMEN DOMBA YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG TANIN KAJIAN: IN VITRO DAN IN SACCO
Oleh RENALDO ARNEL PUTRA YR D24050605
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 25 Agustus 2009
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS NIP. 196110051985032001
Ir. Lidy Herawaty, MS NIP. 196209141987032009
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc.Agr NIP. 196701071991031003
Dr. Ir. Idat G. Permana, M.Sc.Agr NIP. 196705061991031001
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 7 Juni 1987 di Bayur Bukittinggi Sumatra Barat sebagai anak bungsu dari lima bersaudara dari pasangan (Alm) M. Yanis Chan dan Rosniati. Pada tahun 2001, penulis menempuh pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Maninjau Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam masuk program IPA dan lulus tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI. Pada tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan (Fapet), IPB. Pada tahun 2008, penulis melaksanakan kegiatan praktik kerja lapangan di PT. Japfa Comfeed Indonesia unit Tangerang selama 2 bulan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Teknik Formulasi Ransum dan Sistem Informasi Peternakan (2009). Pada tahun 2007 dan 2008 penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Nutrisi Ternak (Himasiter).
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, karunia dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana peternakan. Skripsi ini berjudul ” Total Produksi Gas Dan Degradasi Bahan Kering Hijauan Tropis Pada Media Cairan Rumen Domba Yang Diberi Pakan Mengandung Tanin Kajian: In Vitro dan In Sacco”. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi
dan laboratorium lapang B
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dari bulan Desember 2008 sampai Mei 2009. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui total produksi gas dan degradasi bahan pakan hijauan tropis dalam media cairan rumen domba yang diberi pakan mengandung tanin, baik secara in vitro dan in sacco. Penulis memahami bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, besar harapan penulis adanya sumbangan pemikiran dari berbagai kalangan untuk perbaikan skripsi ini. Penulis pun mengucapkan terima kasih kepada Bpk. Ahmad Baba Salihin yang telah mendanai penelitian ini serta seluruh pihak yang telah ikut berperan sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Semoga terdapat manfaat atas penulisan skripsi ini bagi para pembaca.
Bogor, September 2009
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ..................................................................................................
ii
ABSTRACT.....................................................................................................
iv
RIWAYAT HIDUP ......................................................................................... vii KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii DAFTAR ISI....................................................................................................
ix
DAFTAR TABEL............................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xiii PENDAHULUAN ...........................................................................................
1
Latar Belakang ............................................................................................ Perumusan Masalah ..................................................................................... Tujuan ..........................................................................................................
1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................
3
Hijauan Tropis ............................................................................................. Tanin ............................................................................................................ Polyethylene Glycol (PEG) ......................................................................... Teknik Pengukuran Kecernaan .................................................................... Domba Fistula Sebagai Hewan Model ........................................................
3 7 9 10 13
METODE .........................................................................................................
14
Lokasi dan Waktu ........................................................................................ 14 Materi ........................................................................................................... 14 Cairan Rumen .............................................................................................. 14 Rancangan Percobaan .................................................................................. 15 Perlakuan ................................................................................................. ...15 Model Percobaan In Vitro ........................................................................ ...15 Peubah yang diamati ................................................................................ ...16 Analisis Data ............................................................................................ ...16 Model Percobaan In Sacco ...................................................................... ...16 Peubah yang diamati ................................................................................ ...17 Analisis Data ............................................................................................ ...17 Prosedur ....................................................................................................... 17 Persiapan Bahan Hijauan Tropis............................................................. ...17 Persiapan Larutan .................................................................................... ...17 Persiapan Domba Fistula ......................................................................... ...17 In vitro dan Total produksi ..................................................................... ...17 In sacco ................................................................................................... ...19 HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................
20
ix
Jenis Hijauan Tropis .................................................................................... 20 Percobaan In Vitro ....................................................................................... 21 Produksi Gas Total................................................................................... ...21 Pengukuran Degradasi Bahan Kering (DBK) .......................................... ...25 Percobaan Pengukuran Degradasi Bahan Kering In Sacco ......................... 29 KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................
32
Kesimpulan .................................................................................................. Saran ............................................................................................................
32 32
UCAPAN TERIMAKASIH ............................................................................
33
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
34
LAMPIRAN.....................................................................................................
38
x
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Hasil Analisis Sumber Tanin……………………………………… .
14
2. Hasil Analisis Proksimat, Van Soest dan Tanin ................................
20
3. Total Produksi Gas………………………. .......................................
22
4. Degradasi Bahan Kering Pada Percobaan Secara In Vitro ................
26
5. Degradasi Bahan Kering Pada Percobaan Secara In Sacco ...............
30
xi
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Pennisetum purpureum …………………………………………. ....
4
2. Brachiaria decumbens……………………………………………. ..
4
3. Ciperus kyllinga…………………………………………………… .
4
4. Leucaena leucocephala…………………………………………... ..
4
5. Artocapus heterophyllus…………………………………………. ...
5
6. Musa sapientum………………………………………………….. ...
5
7. Dilenia suffruticosa……………………………………………….. .
6
8. Melastoma malabathricum………………………………………. ...
6
9. Sapium baccatum………………………………………………… ...
6
10. Calliandra calothyrsus……………………………………………. .
7
11. Melastoma candidum…………………………………………….. ...
7
12. Tanin Terhidrolisa: (a) Elagitanin dan (b) Galotanin .................... ..
9
13. Tanin Terkondensasi………………………………………………. .
9
14. Polyethilene Glycol………………………………………………....
10
15. Grafik Efek Media Cairan Rumen terhadap Total Produksi Gas …………………………………. ................................
23
16. Grafik Pengaruh Penambahan PEG terhadap Total Produksi Gas …………………………….. .......................................
24
17. Grafik Efek Media Cairan Rumen pada Percobaan secara In Vitro ……………………………… ..................................
25
18. Grafik Penambahan PEG pada Percobaan secara In Vitro ……………………………………………. .....................
27
19. Grafik Korelasi antara Total Produksi Gas dengan Degradasi Bahan Kering secara In Vitro………………………. .......................................
28
20. Grafik Efek Media Cairan Rumen pada Percobaan secara In Sacco............................................................ ......................................
29
xii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Pembuatan Larutan Media .................................................................
39
2. ANOVA Pengaruh Perlakuan terhadap Produksi Gas Total .............................................................................
40
3. ANOVA Degradasi Bahan Kering pada Percobaan secara In Vitro ....................................................................................
40
4. ANOVA Degradasi Bahan Kering pada Percobaan secara In Sacco ...................................................................................
41
5. Uji lanjut Duncan Percobaan Total Gas untuk Faktor 1 (Jenis Hijauan Tropis) .......................................................................
41
6. Uji lanjut Duncan Percobaan Total Gas untuk Faktor 2 (Media Cairan Rumen) ......................................................................
41
7. Uji lanjut Duncan Percobaan Total Gas untuk Faktor 3 (Penambahan PEG) ...........................................................................
41
8. Uji lanjut Duncan Percobaan Total Gas untuk Interaksi Faktor 1 (Jenis Hijauan Topis) dengan Faktor 2 (Media Cairan Rumen) ........
42
9. Uji lanjut Duncan Percobaan Total gas untuk Interaksi Faktor 1 (Jenis Hijauan Topis) dengan Faktor 3(Penambahan PEG) .............
43
10. Uji Lanjut Duncan Percobaan In Vitro untuk Faktor 1 (Jenis Hijauan Tropis) .......................................................................
44
11. Uji Lanjut Duncan Percobaan In Vitro untuk Faktor 2 (Media Cairan Rumen) .....................................................................
44
12. Uji Lanjut Duncan Percobaan In Vitro untuk Faktor 3 (Penambahan PEG) ...........................................................................
44
13. Uji lanjut Duncan Percobaan In Vitro untuk Interaksi Faktor 1 (Jenis Hijauan Topis) dengan Faktor 2 (Media Cairan Rumen) ........
45
14. Uji lanjut Duncan Percobaan In Vitro untuk Interaksi Faktor 1 (Jenis Hijauan Topis) dengan Faktor 3(Penambahan PEG) .............
46
15. Uji lanjut Duncan Percobaan In Sacco untuk Faktor 1 (Jenis Hijauan Tropis) .......................................................................
47
16. Uji lanjut Duncan Percobaan In Sacco untuk Faktor 2 (Media Cairan Rumen) .....................................................................
47
17. Uji lanjut Duncan Percobaan In Sacco untuk Interaksi Faktor 1 (Jenis Hijauan Topis) dengan Faktor 2 (Media Cairan Rumen) ........
48
xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang Faktor kuantitas dan kualitas pakan merupakan faktor utama penentu keberhasilan usaha peternakan karena hampir 2/3 biaya produksi berasal dari pakan. Ternak ruminansia misalnya, membutuhkan hijauan yang berkualitas untuk meningkatkan produktivitas ternak, akan tetapi kondisi hijauan di Indonesia sebagai negara tropis kualitasnya secara umum masih rendah. Kondisi tersebut ditandai dengan kadar serat dan antinutrisi yang cukup tinggi. Salah satu antinutrisi yang dapat mengikat protein dan mineral adalah tanin. Kadar tanin yang terdapat dalam pakan juga akan mempengaruhi perkembangan bakteri maupun protozoa dalam rumen serta proses pengikatan protein di dalam saluran pencernaan. Efek negatif adanya antinutrisi tanin pada hijauan dapat dikurangi dengan penambahan Polyethylene Glycol (PEG). Rusdi dan Kasim (2006) melaporkan bahwa PEG secara konsisten mengikat tanin bebas melalui peningkatan proporsi tanin yang terikat dalam bentuk ikatan serat tanin. Penambahan PEG ke dalam ransum yang mengandung tanin berpotensi untuk meningkatkan kualitas pakan (Rusdi, 2007). Secara umum terdapat 3 metode evaluasi pakan yaitu, metode in vivo, in sacco dan in vitro. Pengukuran dengan teknik in sacco mempunyai keunggulan antara lain menghemat waktu, tenaga dan biaya. Pengukuran menggunakan teknik in vitro memberikan hasil yang cepat dengan biaya yang murah dan jumlah sampel yang digunakan relatif sedikit dan diperlukan cairan rumen sebagai media fermentasi. Cairan rumen yang digunakan pada in vitro sebaiknya diambil dari ternak domba yang berfistula agar kondisi anaerob dapat dijaga, hal lain yang harus diperhatikan pada percobaan secara in vitro yaitu tingkat ketelitian untuk mengurangi kesalahan dalam proses pengerjaannya. Sedangkan untuk pengamatan laju degradasi bahan pakan secara in sacco diharapkan hasilnya sebanding dengan degrdasi pakan secara in vitro. Kelebihan data in sacco adalah masih terdapat proses fisiologis rumen yang optimal karena sampel berada pada media rumen langsung. Faktor utama yang menentukan karakteristik degradasi bahan pakan dalam rumen adalah sifat fisik dan kimia bahan pakan dan media cairan rumen. Indikator
1
pengukuran bahan pakan meliputi: kelarutan bahan pakan, laju pakan (outflow rate), tingkat konsumsi, tersedianya substrat fermentasi, populasi mikroba, ukuran partikel, bentuk fisik, dan pH rumen. Perumusan Masalah Tanin merupakan salah satu jenis antinutrisi yang banyak terdapat pada beberapa jenis tumbuhan tropis. Tanin dibagi ke dalam dua jenis, yaitu tanin terkondensasi dan tanin yang terhidrolisis. Tanin terkondensasi adalah tanin yang terjadi karena proses kondensasi flavanol. Tanin terkondensasi banyak terdapat di buah-buahan, biji-bijian, dan tanaman lain yang biasa dimanfaatkan sebagai bahan pangan, sementara tanin terhidrolisis banyak terdapat pada makanan yang bukan pangan (non edible food). Terdapatnya tanin pada hijauan tropis akan menganggu profil fermentasi dan pengikatan protein. Penambahan PEG (polyethilene glycol) berperan dalam mengikat tanin sehingga protein dapat dipecah secara lebih baik. Belum banyak penelitian yang mengevaluasi efek degradasi hijauan tropis yang difermentasi pada media cairan rumen yang telah terpapar tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisa. Oleh karena itu perlu evaluasi terhadap hasil fermentasi terhadap hijauan tropis yang mengandung tanin pada media cairan rumen domba yang telah terpapar tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi degradasi bahan kering beberapa hijauan tropis yang diinkubasi dalam media cairan rumen domba yang diberi pakan mengandung tanin berbeda, baik secara in vitro dan in in sacco.
2
TINJAUAN PUSTAKA Hijauan Tropis Negara-negara tropis yang mempunyai dua musim mengalami fluktuasi dalam penyediaan hijauan pakan. Musim penghujan merupakan musim yang banyak akan hijauan pakan dan bahkan sering berlebih, sedangkan pada musim kemarau merupakan musim paceklik sehingga seringkali hijauan yang ada mempunyai kualitas yang rendah (Nining, 2008). Marhaeniyanto (2009) menyatakan bahwa pengembangan hijauan pakan ternak di negara tropis jangan hanya mengandalkan rumput, perlu adanya perbaikan jenis hijauan lain, hal ini dikarenakan rata-rata produksi hijauan tropis rendah, kualitasnya rendah, serta kurang respon terhadap perbaikan hara tanah. Konsumsi hijauan, terutama di daerah tropis (Indonesia) dibatasi tingginya kandungan serat (Widyobroto, 2000). Syamsu (2009) melaporkan bahwa biasanya hijauan mengandung serat kasar sekitar 18% dari bahan keringnya, selain itu hijauan tropis mengandung antinutrisi yang cukup beragam salah satunya tanin. Suplementasi konsentrat bertujuan untuk mencukupi kebutuhan zat makanan (terutama
protein
dan
energi),
meningkatkan
pertambahan
bobot
badan,
meningkatkan konsumsi dan efisiensi penggunaan pakan. Beberapa contoh jenis hijauan tropis yang sering digunakan oleh peternak yaitu, Pennisetum purpureum, Brachiaria decumbens, Ciperus kyllinga, Leucaena leucocephala, Artocarpus heterophyllus , Musa sapientum, Dilenia suffruticosa, Melastoma malabathricum, Sapium baccatum. Pennisetum purpureum mempunyai nama umum yaitu, elephant atau elefante grass, napier grass, gigante (Kostarika), dengan habitat di daerah padang rumput lembab. Tanaman ini ditemukan pertama kali di daerah subtropik Africa (Zimbabwe) dan menyebar dibanyak negara tropis dan subtropis (Skerman dan Riveros.,1990). Brachiaria decumbens merupakan hijauan yang mempunyai sinonim B. eminii (Mez) Robins. Nama umumnya yaitu Signal grass (Australia), suriname grass (Jamaica), kenya sheep grass. Rumput tersebut pertama kali ditemukan di dataran tinggi Uganda dan beberapa negara di timur Afrika Tengah dan menyebar ke daerah Afrika dan berlanjut ke daerah tropis dan subtropis (Skerman dan Riveros, 1990).
3
Gambar 1. Pennisetum purpureum (Plantamord, 2009)
Gambar 2. Brachiaria decumbens (Plantamord, 2009)
Ciperus kyllinga atau rumput teki merupakan rumput semu menahun dengan tinggi 10-95 cm. Batang rumputnya berbentuk segitiga dan tajam. Daunnya berjumlah 4-10 helai yang terkumpul pada pangkal batang dengan pelepah daun tertutup tanah. Helaian daun berbentuk pita bersilang sejajar. Permukaan atas berwarna hijau mengkilat dengan panjang daun 10-30 cm dan lebar 3-6 cm. Rumput teki tumbuh liar di tempat terbuka atau sedikit terlindung dari sinar matahari seperti di tanah kosong, tegalan, lapangan rumput, pinggir jalan atau di lahan pertanian. Tumbuhan ini terdapat pada ketinggian 2-3000 meter di atas permukaan laut (Fibi, 2008). Leucaena leucocephala atau lamtoro berasal dari Amerika tropis. Tanaman ini biasa ditemukan di pekarangan sebagai tanaman pagar atau tanaman peneduh. Kadang tumbuh liar dan dapat ditemukan dari 1-1500 m di atas permukaan laut. Namanya juga bermacam-macam, di Sumatera dinamakan pete selong, pete china, di Jawa dinamakan lamtoro, metir, kemlandingan, selamtara, peuteuy china, peuteuy selong, kamalandingan, pelending (Sunda), dan di Madura dikenal sebagai kalandingan (Arif, 2008).
Gambar 3. Ciperus kyllinga (Plantamord, 2009)
Gambar 4. Leucaena leucocephala (Plantamord, 2009)
Artocarpus heterophyllus atau nangka merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari India dan menyebar ke daerah tropis termasuk Indonesia. Di Indonesia pohon ini memiliki beberapa nama daerah antara lain nongko (Jawa),
4
langge (Gorontalo), anane (Ambon), lumasa atau malasa (Lampung), nanal atau krour (Irian Jaya), nangka (Sunda). Beberapa nama asing yaitu: jacfruit, jack (Inggris), nangka (Malaysia), kapiak (Papua Nugini), liangka (Filipina), peignai (Myanmar), khnaor(Kamboja), mimiz, miiz hnang (laos), khanun (Thailand), dan mit menurut bahasa Vietnam (Prihatman, 2000). Musa sapientum atau pisang berasal dari bahasa arab maus dan menurut bahasa linneus termasuk keluarga musaceae. Nama musa digunakan untuk memberi nama buah pisang yang merah kecoklatan di lembah sungai Indus di India. Ahli sejarah dan botani mengambil kesimpulan, bahwa asal mula tanaman pisang dari Asia Tenggara, oleh para penyebar agama islam, pisang disebarkan ke sekitar laut tengah. Dari Afrika Barat menyebar ke Amerika Selatan dan Amerika Tengah (Satuhu dan Supriyadi,1992).
Gambar 5. Artocarpus heterophyllus (Plantamord, 2009)
Gambar 6. Musa sapientum (Plantamord, 2009)
Dilenia suffruticosa termasuk ke dalam tumbuhan dikotil family Dilleniaceae (suku simpur-simpuran). Tumbuhan berbentuk pohon, berumur menahun (perenial), tinggi 10 - 15 m, akar tunggang, batang aerial, berkayu, silindris, tegak, warna cokelat kehijauan, kulit tanpa alur, permukaan kasar, percabangan simpodial (batang utama tidak tampak jelas), arah cabang miring ke atas atau mendatar. Pada beberapa negara tanaman ini dikenal dengan nama yang berbeda, seperti di Indonesia dikenal sebagai
Simpur air atau dilenia, di Inggris Shrubby dillenia atau Shrubby
simpohlenia, Melayu dikenal sebagai Shrubby simpoh atau Simpoh air, di Thailand dikenal dengan nama San yawa dan di Jepang Kibana modoki (Plantamorc, 2009). Melastoma malabathricum sinonim dengan Melastoma affine D. Don dan Melastoma polyanthum Bl. Tanaman ini diklasifikasikan ke dalam kingdom Plantae
5
(tumbuhan),
subkingdom Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh), Superdivisi
Spermatophyta (menghasilkan biji), divisi Magnoliophyta (tumbuhan berbunga, kelas Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil), Subkelas Rosidae, ordo Myrtales dan famili Melastomataceae.
Melastoma malabathricum
yang di Indonesia dikenal
dengan nama harendong, senduduk, senggani dan dalam bahasa Inggris yaitu blue tongue atau native lassiandra (Plantamora, 2009). Sepium baccatum diklasifikasikan ke dalam genus Euphorbiaceae. Tanaman ini disebut juga dengan Carumbium baccatum (Roxb.) Kurz, Excoecaria affinis Griff, Excoecaria baccata (Roxb.) Müll. Arg, Sapium populufolium Wallich ex Wight, Stillingia baccata (Roxb.) Baill. Pada beberapa daerah Sapium baccatum di kenal dengan mousedeer's rubber tree, salee nok, pho bai, budi, banai, ludai, ludai pelandok, memaya (Plantamorb, 2009).
Gambar 7. Dilenia suffoticossa (Plantamorc, 2009)
Gambar 8. Melastoma malabathricum (Plantamora, 2009)
Gambar 9. Sapium baccatum (Plantamorb, 2009)
Calliandra calothyrsus (kaliandra) adalah jenis tanaman yang termasuk jenis subfamili mimosoidae serta merupakan tanaman yang termasuk famili leguminosa. 6
Tanaman ini didatangkan ke Indonesia pada tahun 1936 dari Guatemala, Amerika Serikat. Kaliandra memiliki daya adaptasi yang baik terhadap tempat tumbuh yang berbeda-beda keadaannya. Tanaman ini mudah tumbuh pada berbagai jenis tanah, juga pada tanah liat yang sedikit sekali aerasinya. Ketinggian tanaman ini dapat mencapai 10 m dengan diameter batas maksimum 20 cm. Tanaman kaliandra memiliki sifat-sifat hidup dan produksi yang baik untuk dikembangkan. Ditinjau dari segi manfaat, kaliandra dapat dipakai sebagai kayu bakar, makanan ternak, pohon pelindung, tumbuhan penutup tanah untuk penghijauan dan akarnya sebagai obat tradisional. Hijauan kaliandra mengandung protein kasar 24 %, serat kasar, 23% 34%, lemak 4,1% - 5% , abu 5% - 7,5%, ADF 26%, selulase 15%, dan lignin 10% 11,9 % serta produksinya 1- 10 ton BK/ha (Tangendjaja et al., 1992). Melastoma candidum tergolong dalam famili Melastomataceae. Biasanya berwujud semak belukar, kadang-kadang berwujud pohon kecil (liana) yang biasa mencapai tinggi sampai 4 m dan mempunyai cabang yang banyak. Tanaman ini berdaun tunggal, bentuk daun bundar telur dan memanjang sampai lonjong dan ujung daun lancip, panjang daun 4 - 14 cm dan lebar 1,3 - 4 cm, tulang daun menjari dan berjumlah 5-7 perdaun, daun ditumbuhi oleh bulu-bulu pendek dan kasar (Wagner et al., 1999).
Gambar 10. Calliandra calothyrsus (Forest dan Kim Starr, 2006)
Gambar 11. Melastoma candidum (Flickr, 2008) Tanin
Tanin merupakan salah satu senyawa sekunder yang berasal dari 135 species tanaman di Indonesia. Tanin dapat digunakan sebagai penyamak, bahan pengawet, bahan pewarna, obat tradisional dan bahan perekat (Susanti, 2000). Tanin diklasifikasikan sebagai tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Tanin
7
terkondensasi adalah tanin yang terjadi karena proses kondensasi flavanol. Tanin terkondensasi sering disebut proantosianidin yang merupakan polimer dari katekin dan epikatekin (Hedqvist, 2004). Struktur tanin terkondensasi dapat dilihat pada Gambar 13. Tanin terhidrolisis yaitu jenis tanin yang jika terhidrolisis menghasilkan suatu suatu asam polifenolat dan gula sederhana. Tanin terhidrolisis terdiri dari gallotanin dan ellagitanin (Gambar 12). Hedqvist (2004) melaporkan bahwa ada beberapa teori yang menjelaskan fungsi alami tanin pada tumbuhan yaitu, salah satunya untuk menjaga dari serangan serangga dan hewan herbivora. Menurut Makkar (1993) tanin terkondensasi banyak terdapat di buah-buahan, biji-bijian, dan tanaman lain yang biasa dimanfaatkan sebagai bahan pangan, sementara tanin terhidrolisis banyak terdapat pada makanan yang bukan pangan (non edible food). Tanin dikenal sebagai senyawa antinutrisi karena berperan menurunkan kualitas bahan melalui pembentukan ikatan kompleks dengan protein. Ikatan antara tanin dan protein sangat kuat sehingga protein tidak mampu dicerna oleh sel tubuh. Pembentukan kompleks ini terjadi karena adanya ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, dan ikatan kovalen antara kedua senyawa tersebut (Makkar, 1993). Ariningsih (2004) mengatakan ikatan kovalen terbentuk apabila tanin telah mengalami oksidasi dan membentuk polimer kuinon yang selanjutnya melalui reaksi adisi eliminasi atom N dari gugus amino protein menggantikan atom oksigen dari senyawa polikuinon. Ikatan hidrogen yang terbentuk merupakan ikatan antara atom H yang polar dengan atom O baik dari protein atau tanin. Menurut Makkar (1993) keberadaan sejumlah gugus fungsional pada tanin akan menyebabkan terjadinya pengendapan protein. Selain membentuk kompleks dengan protein bahan pangan, tanin juga akan berikatan dengan protein mukosa sehingga mempengaruhi daya penyerapannya terhadap protein. Dampak antinutrisi tanin pada ternak ruminansia berawal dari proses mastikasi, selanjutnya tanin akan berikatan dengan protein saliva sehingga pakan menurun palatabilitasnya, akibatnya konsumsi pakan menurun. Setelah tanin masuk ke dalam rumen (pH 6,3-7) senyawa tersebut akan membentuk ikatan kompleks dengan protein, karbohidrat (selulosa, hemiselulosa, dan pektin), mineral, vitamin, dan enzim mikroba rumen. Senyawa komplek tersebut tidak larut dalam rumen, namun terjadi pencernaan enzimatis di dalam abomasum (Sewet, 1997).
8
(a)
(b)
Gambar 12. Tanin Terhidrolisa: (a) Elagitanin dan (b) Galotanin (Hedqvist et al.,2000)
Gambar 13. Tanin terkondensasi (Hedqvist et al.,2000)
Polyethylene Glycol (PEG) PEG dikenal juga dengan sebutan macrogol, polyoxyethlene, aquaffin, nycoline, alpha-hydro-omega-hydroxypoly, polyethylene glycols, poly ethylene oxide dan polyglycol. Polyethylene glycol merupakan salah satu polimer kondensasi dari oksida ethylene dan air dengan rumus umum (OCH2CH2)nOH, n merupakan angka rata-rata dari pengulangan oxyethylene (Gambar 14). Bobot molekulnya rendah. Anggota dari n=2 ke n=4 adalah diethylene glycol, triethylene glycol dan tetraethylene glycol, yaitu dihasilkan sebagai senyawa murni. Salah satu sifat dari PEG adalah larut dalam air dan dapat larut juga pada beberapa bahan pelarut organik termasuk hidrokarbon aromatik (tidak alifatik). Sifat lain polyethylene glycol yaitu tidak beracun, tidak berbau, netral, melumasi, nonvolatile dan nonirritating dan 9
dipergunakan berbagai bidang farmasi dan di pengobatan sebagai solven, basis obat salp dan excipient tablet (Chemicalland, 2009). Bauman et al. (1971) melaporkan bahwa PEG tidak diabsorpsi oleh tubuh ternak. Villalba dan Provenza, (2002) menyatakan bahwa PEG mampu mengikat tanin dan mengurangi efek negatif yang ditimbulkan oleh antinutrisi tanin tersebut. Efek pemberian PEG mampu memperbaiki pemanfaatan kaliandra yang bertanin tinggi, namun penggunaannya baru sampai pada skala penelitian, hal ini disebabkan oleh pemanfaatan yang tidak praktis (Syahrir, 1998). Villalba dan Provenza, (2002) juga melaporkan bahwa PEG yang terdapat dalam ransum basal cukup memadai dalam menetralisir level tannin yang tercerna dalam ransum basal. Rasio dosis minimal penggunaan PEG dengan tanin terkondensasi yaitu 1: 4 atau 1: 8 untuk kambing (Silanikove et al., 1997), dan 1: 2 untuk domba (Silanikove et al., 1994) yang dimungkinkan untuk menetralkan efek negatif dari tanin terkondensasi yang banyak terdapat pada tanaman pakan ternak.
Gambar 14. Polyethylene Glycol (Hedqvist et al.,2000)
Teknik Pengukuran Kecernaan Ada beberapa metode untuk mengevaluasi bahan pakan baik secara fisik, kimia maupun biologis. Pengujian bahan pakan secara fisik merupakan analisis pakan dengan cara melihat keadaan fisiknya. Pegujian fisik bahan pakan dapat dilakukan baik secara langsung (makroskopis) maupun dengan alat bantu (mikroskopis). Pengujian secara fisik disamping dilakukan untuk mengenali bahan pakan secara fisik juga dapat untuk mengevaluasi bahan pakan secara kualitatif. Analisis secara kimia dapat digunakan untuk mengetahui potensi bahan pakan yang dicerminkan dari komposisi kimia bahan pakan itu. Komposisi kimia bahan pakan secara umum terdiri dari air, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, dan abu. Analisis secara kimia dapat dilakukan dengan analisis proksimat. Pada awalnya, analisis proksimat merupakan titik awal untuk evaluasi pakan namun karena terdapat 10
kelemahan terutama pada bahan berserat lalu dikembangkan metode yang lebih baik yaitu analisis serat atau Van Soest (Makkar, 2002). Metode lain yang tak kalah penting ialah evaluasi pakan secara biologis. Evaluasi tersebut dapat dilakukan baik dilapangan seperti evaluasi pakan secara in vivo, di laboratorium dapat dilakukan evaluasi pakan secara in vitro, in sacco ataupun kombinasi keduanya. Evaluasi pakan secara in vivo tidak akan terlepas dari pengukuran konsumsi pakan dan feses. Pengukuran tersebut dapat dilakukan baik secara langsung (direct method) maupun secara tidak langsung (in direct method) dengan menggunakan bahan perunut sebagai indikator (Suparjo, 2002). Metode in vitro penting untuk mengestimasi degradasi pakan ruminansia secara laboratorium. Keuntungan metode ini yaitu berkorelasi positif dengan evaluasi pakan secara in vivo. Metode in vitro tidak hanya lebih murah dan waktunya singkat namun pengukuran evaluasi pakan secara in vitro ini mampu menghasilkan kondisi percobaan yang lebih tepat dibanding secara in vivo (Makkar, 2002). Menurut Makkar (2002) ada 3 teknik utama pengukuran kecernaan dan evaluasi pakan untuk ternak ruminansia yaitu, kecernaan dengan menggunakan mikroorganisme rumen seperti yang dilakukan Tilley dan Terry pada tahun 1963 atau menggunakan metode gas tes oleh Menke pada tahun 1979, inkubasi in situ dengan menggunakan kantong nilon di dalam rumen oleh Mehrez dan Orskov pada tahun 1977 dan cell-free fungal cellulose oleh De Boever pada tahun 1986. Teknik evaluasi pakan dengan menggunakan kantong nilon, telah digunakan bertahun-tahun untuk mengevaluasi laju degradasi pakan. Kerugian metode ini yaitu hanya dapat mengevaluasi sampel pakan dengan jumlah terbatas. Metode in sacco akan menipiskan lapisan rumen setelah kantong nilon dikeluarkan dari rumen Teknik evaluasi pakan menurut metode Tilley dan Terry pada tahun 1963, banyak digunakan karena dapat digunakan untuk mengevaluasi bahan pakan dalam jumlah besar. Metode ini sulit diterapkan pada material seperti sampel jaringan atau fraksi dinding sel (Makkar, 2002). Metode perhitungan gas telah banyak dilakukan untuk mengevaluasi kualitas pakan. Metode ini lebih efisien dibandingkan metode in sacco dalam mengevaluasi efek tanin atau faktor antinutrisi lainnya. Metode in vitro gas tes dapat memonitor interaksi antara nutrisi dengan antinutrisi serta antinutrisi dengan antinutrisi. Teknik
11
ini mudah dan cepat untuk dilakukan serta dapat mengevaluasi sampel dalam jumlah yang banyak, tidak memerlukan peralatan canggih atau penggunaan sejumlah besar hewan namun sebaiknya satu atau dua hewan fistula yang diperlukan (Makkar, 2002). Pada metode in vitro gas tes oleh Menke pada tahun 1979 fermentasi menggunakan syringe gas tes kapasitas 100 ml yang berisi sampel pakan dan larutan buffer rumen. Produksi gas dari inkubasi bahan kering 200 mg sampel pakan selama 24 jam. Aiple pada tahun 1996 membandingkan tiga metode laboratorium (enzimatik, nutrien, dan teknik pengukuran gas) untuk menduga net energi sebagai pembanding kecernaan dengan metode in vivo. Metode Menke ini dimodifikasi oleh Blümmel and Ørskov pada tahun 1993 dengan inkubasi menggunakan waterbath yang dilengkapi dengan rotor pada inkubatornya. Makkar pada tahun 1995 dan Blümmel pada tahun 1997 memodifikasi lebih lanjut mengenai jumlah sampel yang digunakan dari 200 mg menjadi 500 mg dan peningkatan larutan buffer rumen dua kali lipat sebagai indikasi peningkatan volume inkubasi dari 30 ml menjadi 40 ml. Pada inkubasi bahan pakan dengan menggunakan buffer rumen secara in vitro, karbohidrat akan terfermentasi menghasilkan asam lemak rantai pendek, gas dan bakteri. Produksi gas secara mendasar dihasilkan dari fermentasi karbohidrat menjadi asetat, propionat dan butirat. Produksi gas dari fermentasi protein lebih kecil dibandingkan fermentasi karbohidrat. Kontribusi lemak pada produksi gas dapat ditiadakan (Makkar, 2002). Produksi gas yang dihasilkan menunjukkan terjadinya proses fermentasi bahan pakan oleh mikroba rumen, yaitu menghidrolisis karbohidrat menjadi monosakarida , disakarida dan polisakarida yang kemudian difermentasi lebih lanjut menjadi asam lemak terbang atau volatile fatty acid (VFA) terutama asam asetat, asam propionat dan asam butirat serta gas metan (CH4) dan karbondioksida (CO2) (McDonald et al., 2002).
12
Domba Fistula Sebagai Hewan Model Fistula adalah suatu metode pembuatan lubang ke dalam rongga abdomen dengan melakukan tindakan operasi. Sumbat ditutupkan pada lubang yang telah jadi untuk menghindari kebocoran isi organ. Fistula yang sering dilakukan adalah fistula rumen. Fistula rumen biasanya dipakai dalam studi kecernaan ternak ruminansia. Ada dua metode fistula yang biasanya dikerjakan oleh para ahli, yaitu metode satu tingkat yang dikembangkan oleh Schalk dan Amadon pada tahun 1928 dan metode dua tingkat yang dikembangkan oleh Jarret pada tahun 1948. Peralatan yang dibutuhkan dalam fistulasi diantaranya peralatan bedah, obat penenang, hewannya (Preston, 1986). Suparjo (2002) menyatakan bahwa untuk menunjang pelaksanaan evaluasi pakan secara in vitro dan in sacco diperlukan ternak berfistula rumen.
13
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2008 sampai Mei 2009 di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi
dan laboratorium lapang B
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Materi Materi yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain, 2 ekor domba berfistula, 9 jenis hijauan tropis dari Malaysia dalam bentuk tepung kering yang mewakili rumput (Pennisetum purpureum (Pp), Brachiaria decumbens (Bd), Ciperus kyllinga (Ck)), legum (Leucaena leucocephala (Ll)), hijauan pohon (Artocarpus heterophyllus (Ah) , Musa sapientum (Musa sp)), dan perdu (Dilenia suffruticosa (Ds), Melastoma malabathricum (Mm),
Sapium baccatum (Sb)), nylon bag,
seperangkat perlengkapan uji in vitro dengan menggunakan syringe gas test 100 ml, oven 105°C dan water bath. Bahan yang dibutuhkan antara lain larutan makro dan mikro mineral, larutan buffer rumen, larutan resazurin dan larutan pereduksi. Cairan Rumen Cairan rumen yang dipergunakan diambil dari 2 ekor domba yang berfistula, dengan pakan yang dikonsumsi bergantian sesuai perlakuan yang diberikan dengan selang waktu perpindahan jenis ransum setiap 2 minggu. Ransum yang diberi mengandung konsentrat, rumput lapang, Calliandra callothyrsus (sumber tanin terkondensasi) dan Melastoma candidum (sumber tanin terhidrolisa). Air minum diberikan secara ad libitum. Tabel 1. Hasil Analisis Sumber Tanin Terkondensasi dan Tanin Terhidrolisa (As fed) NDF2
ADF2
Tanin3
76,82
70,65
4,83
3276
Melastoma candidum 93,48 7,92 10,03 15,69 1,67 61,78 49,47 Keterangan: 1Hasil analisis Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati, 2009 2 Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan IPB, 2009 3 Hasil analisis Balai Penelitian Ternak Ciawi, 2009
11,51
3026
BK Hijauan tropis
%
Calliandra callothirsus
94,95
Abu
PK1
SK1
LK2
5,60
23,52
16,63
3,73
%
GE2 Kal/g
14
Rancangan Percobaan Perlakuan Perlakuan pada penelitian ini adalah sembilan jenis hijauan tropis, tiga jenis sumber media cairan rumen dan dengan atau tanpa penambahan PEG. Sumber media cairan rumen yang diberikan mengandung tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisisa dengan perincian sebagai berikut: B1 : Domba diberi pakan rumput dan konsentrat (kontrol) B2 : Domba diberi pakan rumput + konsentrat + Calliandra callothyrsus (sumber tanin terkondensasi) B3 : Domba diberi pakan rumput + konsentrat + Melastoma candidum (sumber tanin terhidrolisa). Rumput yang diberikan sejumlah 1,5 kg dan konsentrat 500 gram perekor per hari, sedangkan Calliandra callothyrsus dan Melastoma candidum yang diberikan sebanyak 150 gram per ekor per hari. Model Percobaan In Vitro Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini untuk percobaan in vitro dan total produksi gas adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial dengan 3 faktor (Sudjana, 1980). Faktor A adalah 9 jenis hijauan tropis, faktor B adalah 3 media cairan rumen, dan faktor C dengan dan tanpa penambahan Polyethilene Glycol (PEG). Model matematika yang digunakan dalam analisa adalah: Yijkl=µ + Ai + Bj + C𝑘 +ABij + AC𝑖𝑘 + BC𝑗𝑘 + ABC𝑖𝑗𝑘 + ε ijkl Keterangan: Yijkl
: Varibel respon
: Efek rata-rata yang sebenarnya
Ai
: Efek sebenarnya dari taraf ke i faktor A
Bj
: Efek sebenarnya dari taraf ke j faktor B
Ck
: Efek sebenarnya dari taraf ke k faktor C
ABij
: Efek sebenarnya dari interaksi antara taraf ke i faktor A dengan taraf ke j faktor B
15
ACik
: Efek sebenarnya dari interaksi antara taraf ke i faktor A dengan taraf ke k faktor C
BCjk
: Efek sebenarnya dari interaksi antara taraf ke j faktor B dengan taraf ke k faktor C
ABCijk : Efek sebenarnya dari interaksi antara taraf ke i faktor A dengan taraf ke j faktor B dan taraf ke k faktor C ε ijkl
: Efek sebenarnya dari unit eksperimen ke l dalam kombinasi perlakuan (ijk)
Peubah yang diamati Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah degradasi bahan kering (DBK). Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam (ANOVA), bila terdapat perbedaan nyata dilanjutkan dengan uji jarak Duncan. Model Percobaan In Sacco Untuk percobaan in sacco menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial dengan 2 faktor (Sudjana, 1980). Faktor A adalah 9 jenis hijauan tropis yang digunakan dan faktor B adalah 3 media cairan rumen. Model matematika yang digunakan dalam analisa adalah: 𝑌ijk = µ + Ai + Bj + ABij + ε k (ij) Keterangan: Yijkl
: Varibel respon
: Efek rata-rata yang sebenarnya
Ai
: Efek sebenarnya dari taraf ke i faktor A
Bj
: Efek sebenarnya dari taraf ke j faktor B
ABij
: Efek sebenarnya dari interaksi antara taraf ke i faktor A dengan taraf ke j faktor B
ε ijk
: Efek sebenarnya dari unit eksperimen ke k dalam kombinasi perlakuan (ij)
16
Peubah yang diamati Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah degradasi bahan kering (DBK). Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam (ANOVA), bila terdapat perbedaan nyata dilanjutkan dengan uji jarak Duncan. Prosedur Persiapan Bahan Hijauan Tropis Hijauan tropis yang digunakan pada penelitian berasal dari Malaysia, kemudian dikeringkan hingga kadar air ±10% selanjutnya digiling halus dengan menggunakan blender dan disaring dengan diameter ± 1 mm. Persiapan Larutan Sebanyak 0,1 ml larutan mikro dicampur dengan 200 ml larutan buffer rumen dan 200 ml larutan makro, kemudian ditambahkan 0,1 ml larutan resazurin 0,1% dan 40 ml larutan pereduksi. Larutan tersebut dicampur menjelang digunakan dan dijaga pada temperatur 39oC. Persiapan Domba Fistula Domba tipe lokal dengan bobot badan rata-rata 27 kg dipakai sebagai donor cairan rumen. Pembuatan domba fistula dilakukan oleh tim dari Rumah Sakit Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Setelah selesai dioperasi, domba dikondisikan hingga sembuh, dengan waktu tenggang selama ± 1 minggu bersamaan dengan masa adaptasi pakan. In vitro dan Total produksi Gas (Baba et al., 2002) Sebelum mengambil cairan rumen pada domba berfistula, termos yang berisi air panas sehingga mencapai suhu 39oC disediakan dan setelah cairan rumen diambil, air panas dikeluarkan dari termos, kemudian cairan rumen dimasukkan dan diisi gas CO2, hal ini bertujuan menjaga agar kondisi tetap anaerob.
17
Tahap fermentasi dimulai dengan mempersiapkan sampel hijauan tropis sebanyak 500 mg, ada yang ditambahan PEG dan ada yang tanpa PEG. Sampel dimasukkan ke dalam syringe gas test 100 ml. Piston syringe yang akan dimasukkan ke syringe, sebelumnya diberi vaselin agar tabung fermentasi yang telah berisi sampel dan larutan media tidak terkontaminasi oleh udara dari luar. Larutan media yang telah diaduk dan dialiri gas CO2 ditempatkan dalam water bath yang telah dilengkapi pengontrol suhu. Suhu pada water bath dipertahankan pada angka 39oC. Cairan rumen sebagai sumber inokulum disaring dan dicampur dengan larutan media. Sebanyak 40 ml campuran rumen + larutan media dimasukkan ke dalam masing-masing syringe menggunakan dispenser. Perbandingan larutan media dan cairan rumen yaitu 2 : 1. Udara yang masih terdapat dalam syringe dikeluarkan dan klep syringe ditutup. Syringe gas test diinkubasi dalam water bath selama 24 jam. Untuk pengamatan total produksi gas dilakukan pencatatan posisi piston pada jam ke 1, 2, 4, 6, 8, 12 dan 24. Setiap sampel dilakukan 3 kali ulangan dengan atau tanpa PEG. Produksi gas dihitung berdasarkan rumus berikut:
Produksi gas total (ml/500 mg) = 0,5/BK sampel x (v24-v0)-v0/ rata-rata v0 blank x rata-rata produksi gas blank Keterangan: V24 : Volume gas setelah jam ke 24 V0 : Volume gas pada jam ke 0 BK : Berat kering Degradasi bahan kering secara in vitro dihitung setelah fermentasi 24 jam. Sampel disaring dengan kantong nilon yang telah diketahui beratnya dan dipisahkan dari filtratnya. Residu sampel yang dipindahkan ke kantong nilon, kemudian dicuci di air yang mengalir sampai jernih. Setelah itu, dikeringkan di oven 1050C. Hasil kering oven ditimbang untuk mendapatkan data degradasi bahan kering. Rumus perhitungan DBK secara in vitro dapat dilihat sebagai berikut: DBK = BK sampel – BK sampel setelah oven 105⁰C x 100% BK sampel Keterangan:
BK : Berat kering
18
In sacco (Ørskov et al., 1980) Laju degradasi bahan kering di dalam rumen, selain dilakukan analisis secara in vitro juga dilakukan analisis secara in sacco dengan menggunakan kantong nilon. Sampel sembilan jenis hijauan tropis ditimbang sebanyak 2500 mg kemudian dimasukkan ke kantong nilon. Sampel di kantong nilon dimasukkan pada domba fistula dan diinkubasi selama 24 jam, setelah proses inkubasi selesai sampel dikeluarkan dan dicuci dibawah air yang mengalir, kemudian sampel dikering dalam oven dengan suhu 105 oC dan ditimbang. Sembilan jenis sampel hijauan tropis yang telah diinkubasi di dalam rumen selama 24 jam agar terjadi degradasi pakan oleh bakteri rumen dihitung dengan rumus: DBK = BK sampel – BK sampel setelah oven 105⁰C x 100% BK sampel Keterangan: BK : Berat Kering
19
HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis Hijauan Tropis Hasil analisis proksimat, Van Soest, dan tanin hijauan tropis yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2. Calliandra callothyrsus dan Melastoma candidum merupakan hijauan tropis yang digunakan sebagai perlakuan pada media cairan rumen, dan jenis hijauan lainnya adalah bahan pakan hijauan yang digunakan pada percobaan in vitro dan in sacco. Kandungan tanin yang dimiliki pada berbagai hijauan tersebut bervariasi. Umiyasih (2007) melaporkan bahwa kualitas suatu bahan pakan ditentukan oleh kandungan zat nutrien atau komposisi kimianya, serta tinggi rendahnya zat antinutrisi yang terkandung di dalamnya.
Tabel 2. Hasil Analisis Proksimat, Van Soest, dan Tanin (% BK) Abu
PK1
SK1
LK2
NDF2
ADF2
Tanin3
GE2
18,66
7,72
11,66
26,40
%BK 3,08
73,76
59,29
0,40
Kal/g 3439
19,36
5,15
5,49
31,22
2,47
77,84
65,62
C. kyllinga
16,20
4,85
10,58
25,96
0,12
3392
3,74
77,99
64,28
L. leucocephala
33,42
6,58
23,69
0,39
3336
15,11
6,45
69,50
57,78
0,67
39,25
8,02
3387
15,08
19,64
3,54
70,17
58,02
0,40
3368
24,80
11,43
17,07
19,54
6,73
70,33
52,52
0,04
3205
D. suffruticosa
35,24
8,13
9,44
19,05
1,72
73,48
64,53
4,81
3353
M. malabathricum
36,52
7,59
9,06
22,87
1,80
77,11
63,33
2,17
3097
5,44
9,85
17,73
6,93
65,20
45,71
3,58
3206
Hijauan tropis
BK %
P. purpureum B. decumbens
A. heterophyllus M. sepientum
S. baccatum 38,04 1 Keterangan: Hasil analisis Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati, 2009 2 Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan IPB, 2009 3 Hasil analisis Balai Penelitian Ternak Ciawi, 2009
Hasil evaluasi 9 jenis hijauan bahan pakan secara kimiawi menunjukkan bahwa kandungan protein terendah pada hijauan Brachiaria decumbens dan tertinggi pada hijauan Leucaena leucocephala. Kandungan serat kasar terendah pada hijauan Leucaena leucocephala dan tertinggi pada hijauan Brachiaria
decumbens. Pakan yang
mengandung ADF/NDF tinggi akan mengalami kecernaan yang rendah dibandingkan yang mengandung ADF/NDF rendah. Sapium baccatum memiliki kandungan ADF/NDF yang rendah dan Ciperus kyllinga memiliki kandungan ADF/NDF tertinggi.
20
Dari sembilan jenis hijauan pakan yang diuji, kandungan tanin terendah terdapat pada hijauan Musa sapientum dan tertinggi pada hijauan Dilenia suffruticosa. Percobaan In Vitro Produksi Gas Total Gas test adalah sebuah metode uji alternatif yang dapat dipilih untuk mengukur kecernaan pada hewan ruminansia dengan hasil relatif lebih cepat serta tidak memerlukan hewan percobaan. Prinsip dasar dari metode gas test merupakan pengembangan dari in vitro. Metode ini mencoba menyempurnakan sistem kerja dari metode in vitro sebelumnya, dengan mengukur volume gas yang dihasilkan sebagai parameter untuk menilai kecernaan. Kelebihan metode ini selain dapat menghitung kecernaan bahan, juga dapat digunakan untuk menentukan besarnya energi termetabolis (EM) serta dapat pula untuk menghitung produksi asam lemak atsiri (volatile) atau VFA yang merupakan asam lemak penentu produksi dan kualitas susu dan daging (Sofyan dan Jayanegara, 2008). Kelebihan lain dari metode gas test ini adalah dapat mengetahui aktivitas zat antinutrisi yang merupakan zat yang dapat menghambat proses pencernaan bahan pakan, seperti halnya pengujian pakan hijauan dari legum (kacang-kacangan) yang memiliki kadar tanin yang relatif tinggi. Dalam proses pencernaan, tanin menghambat proses penguraian bahan-bahan yang mengandung protein tinggi. Penambahan PEG (polyethylene glycol) sebagai zat yang dapat mengikat tanin, diharapkan dapat meningkatkan pola degradasi bahan kering (DBK). Cone et al. (1997) melaporkan bahwa level tertinggi produksi gas terjadi pada 2 jam pertama proses inkubasi yang disebabkan oleh kecepatan fraksi fermentasi dari bahan pakan (protein larut dan glukosa). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa hijauan tropis, media cairan rumen, dan penambahan PEG berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap total produksi gas (Tabel 3). Produksi gas tertinggi diperoleh pada jenis hijauan Artocarpus heterophylus (Ah) dan yang terendah pada hijauan Musa sapientum. Media cairan rumen yang telah terpapar tanin tehidrolisa menghasilkan total produksi gas yang tertinggi. Penambahan PEG juga mampu meningkatkan total produksi gas untuk semua sampel hijauan tropis yang difermentasi selama 24 jam.
21
Tabel 3. Hasil Total Produksi Gas
Keterangan: B1 = Perlakuan Kontrol B2= Perlakuan Kontrol + Calliandra callothirsus B3= Perlakuan Kontrol + Melastoma candidum - superskrip huruf kapital XYZ pada baris yang sama menunjukkan hubungan antar perlakuan yang berbeda berbeda sangat nyata (P<0,01). - superskrip huruf kapital PQR pada kolom yang sama merupakan hubungan antar jenis hijauan tropis yang berbeda berbeda sangat nyata (P<0,01). - superskrip huruf kapital MN pada baris yang sama merupakan hubungan tanpa dan dengan PEG yang berbeda berbeda sangat nyata (P<0,01). - superskrip huruf kapital ABC pada baris/kolom yang sama merupakan hubungan interaksi antara Perlakuan dengan jenis hijauan tropis yang berbeda berbeda sangat nyata (P<0,01). - superskrip huruf kecil abc baris/kolom yang sama merupakan Penggunaan PEG dengan jenis hijauan tropis yang berbeda nyata (P<0,05).
22
Ada interaksi antara jenis hijauan dengan media rumen yang berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap total produksi gas (Gambar 15). Produksi gas tertinggi diperoleh pada jenis hijauan Artocarpus heterophylus (Ah) pada media cairan rumen yang terpapar tanin tehidolisa. Hal ini berarti media cairan rumen yang mengandung tanin terhidrolisa mampu meningkatkan persentase DBK Artocarpus heterophylus (Ah) yang tercermin dari tingginya produksi gas total. Media cairan rumen yang mengandung tanin terhidrolisa mampu menghasilkan produksi gas yang lebih tinggi karena sifat tanin ini mudah terhidrolisis dan mempunyai ikatan molekul yang tidak sekuat tanin terkondensasi. Ada 6 jenis hijauan dengan pola produksi gas yang lebih tinggi pada media B3 dibanding media kontrol dan B2 yaitu Dilenia suffruticosa, Melastoma malabathricum, Sapium baccatum, Ciperus kyllinga, Pennisetum purpureum dan Artocarpus heterophyllus. Sebaliknya pada media cairan rumen yang mengandung tanin terkondensasi tidak menghasilkan produksi gas yang lebih tinggi dibandingkan dengan media cairan rumen yang mengandung tanin terhidrolisis, ini diduga karena salah satu sifat tanin terkondensasi mempunyai ikatan yang cukup kuat dengan senyawa yang diikat dan tidak mudah larut.
80 70 Total Gas
60 50 40 30
B1
20
B2
10
B3
0
Jenis Hijauan Tropis Keterangan: B1 = Perlakuan Kontrol B2= Perlakuan Kontrol + Calliandra callothirsus B3= Perlakuan Kontrol + Melastoma candidum
Gambar 15. Grafik Efek Media Cairan Rumen terhadap Total Produksi Gas
23
Tiemann et al. (2007) melaporkan bahwa Brachiaria decumbens tanpa penambahan tannin terkondensasi yang diinkubasi selama 24 jam menghasilkan gas 21,8 ml, Calliandra calothyrsus dengan penambahan tanin 25 mg/g DM menghasilkan gas 27,7 ml, sedangkan Leucaena leucocephala dengan penambahan
Total Gas
tanin 25 mg/g DM menghasilkan gas 24,8 ml.
70 60 50 40 30 20 10 0
PEG TANPA PEG
Jenis Hijauan Tropis
Gambar 16. Grafik Pengaruh Penambahan PEG terhadap Total Produksi Gas
PEG merupakan suatu zat yang sengaja ditambahkan untuk menekan aktivitas tanin. Indikasi tanin dapat menghambat kecernaan dapat dilihat dari penurunan produksi gas jika bahan pakan tidak ditambahkan PEG. Ada interaksi antara jenis hijauan dengan pemberian dan tanpa PEG (Gambar 16). Total produksi gas tertinggi terdapat pada jenis hijauan Artocarpus heterophylus (Ah) yang diberikan penambahan PEG. Ini membuktikan bahwa penambahan PEG pada proses fermentasi pakan yang mengandung tanin dapat menekan aktivitas tanin sehingga meningkatkan produksi gas yang menjadi indikator terjadinya proses fermentasi pakan oleh mikroba dengan cukup baik. Ini sejalan dengan Tiemann et al. (2007) menyatakan bahwa penambahan level PEG meningkatkan produksi gas pada Calliandra calothyrsus dan F. macrophylla.
24
Pengukuran Degradasi Bahan Kering (DBK) Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa hijauan tropis, media cairan rumen dan penambahan PEG berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhdap persen DBK (Tabel 4). Artocarpus heterophylus (Ah) mempunyai DBK tertinggi, dan persentase DBK terendah yaitu jenis hijauan D. suffruticosa (Ds). Media cairan rumen kontrol (B1) memiliki persen DBK tertinggi yang diikuti oleh media cairan rumen yang terpapa tanin terhidolisa dan media caian rumen yang terpapar tanin tekondensasi. Penambahan PEG juga dapat meningkatkan DBK.
70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 P.p
Musa sp
B.d
C.k
B1
L.l
B2
S.b M.mal D.s
A.h
B3
Keterangan: B1 = Perlakuan Kontrol B2= Perlakuan Kontrol + Calliandra callothirsus B3= Perlakuan Kontrol + Melastoma candidum
Gambar 17. Grafik Efek Media Cairan Rumen pada Percobaan dengan DBK 9 Jenis Hijauan Tropis Secara In Vitro Interaksi antara media cairan rumen dengan sembilan jenis hijauan tropis (faktor A dan B) berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap persentase DBK (Gambar 17). Persentase DBK tertinggi terjadi pada hijauan Artocarpus heterophylus (Ah) di dalam media cairan rumen B3 dan persen DBK terendah terjadi pada hijauan Dillenia suffruticosa (Ds) pada media cairan rumen kontrol. Ini menggambarkan bahwa hijauan tropis yang mengandung sedikit tanin mampu menghasilkan persen DBK yang tinggi jika berada pada media cairan rumen yang telah terpapar tanin terhidrolisa (B3).
25
Tabel 4. Degradasi Bahan Kering pada Percobaan secara In Vitro
Keterangan: B1 = Perlakuan Kontrol B2= Perlakuan Kontrol + Calliandra callothirsus B3= Perlakuan Kontrol + Melastoma candidum - superskrip huruf kapital MN pada baris yang sama merupakan hubungan antar perlakuan yang berbeda sangat nyata (P<0,01). - superskrip huruf kapital PQR pada kolom yang sama merupakan hubungan antar jenis hijauan tropis yang berbeda sangat nyata (P<0,01). - superskrip huruf kapital XY pada baris yang sama merupakan hubungan tanpa dan dengan PEG (P<0,01) yang berbeda sangat nyata(P<0,01). - superskrip huruf kapital ABC pada baris/kolom yang sama merupakan hubungan interaksi antara Perlakuan dengan jenis hijauan tropis yang berbeda sangat nyata (P<0,01). - superskrip huruf kecil abc pada baris/kolom yang sama merupakan Penggunaan PEG dengan jenis hijauan tropis yang berbeda nyata (P<0,05).
26
Hal ini disebabkan oleh kandungan tanin yang dimiliki oleh setiap jenis hijauan berbeda serta pengaruh dari kandungan serat kasar masing-masing hijauan tropis.
70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 P.p
Musa sp
B.d
C.k
PEG
L.l
S.b
M.mal
D.s
A.h
tanpa PEG
Gambar 18. Grafik Pengaruh Penambahan PEG pada Percobaan secara In Vitro Interaksi antara penambahan PEG terhadap 9 jenis hijauan tropis berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap persen DBK (Gambar 18). Persen DBK tertinggi pada hijauan Artocarpus heterophylus (Ah) yang ditambah PEG dan persen DBK terendah pada hijauan Dillenia suffruticosa (Ds) yang diberi penambahan PEG yang diperlihatkan pada Gambar 4. Ini membuktikan bahwa penambahan PEG mampu meningkatkan persen DBK hijauan tropis. Tiemann et al. (2007) mengatakan bahwa suplementasi PEG cukup berpengaruh dalam pengikatan tanin terkondensasi. NunezHernandez et al. (1991) melaporkan bahwa efek tanin terkondensasi pada Mountain mahogany dapat ditekan dengan penggunaan PEG. Perbedaan kandungan tanin yang dimiliki oleh setiap jenis hijauan serta pengaruh dari kandungan serat kasar masing-masing hijauan tropis akan mempengaruhi persen DBK. Menurut Makkar et al. (1995), tanin yang rendah dapat berpotensi dalam peningkatan fermentasi rumen dan memaksimalkan sintesis protein mikroba. Pada penelitian ini A. heterophylus mengandung protein kasar 15,08% dan kadar tanin 0,40%. Pernyataan ini didukung oleh Wiryawan et al. (2000) yang melaporkan bahwa perbedaan sumber protein dan peningkatan kadar tanin sangat
27
nyata berpengaruh terhadap kecernaan bahan kering dan terlihat adanya interaksi antara tanin dengan sumber protein. Korelasi antara total produksi gas dengan degradasi bahan kering (DBK) secara in vitro dapat dilihat pada Gambar 19. Nilai koefisien korelasi antara total produksi gas dengan DBK in vitro yaitu 0,89. Ini berarti bahwa terdapat hubungan secara linear antara total produksi gas dengan degradasi bahan kering secara in vitro.
70 y = 0.895x - 0.647 R² = 0.713
DBK In Vitro
60 50 40 30 20 10 0 0
10
20
30
40
50
60
70
Total Produksi Gas
Gambar 19. Korelasi antara Total Produksi Gas dengan Degradasi Bahan Kering secara In Vitro
28
Percobaan Pengukuran Degradasi Bahan Kering In Sacco Pengukuran DBK selain dengan percobaan secara in vitro, juga dilakukan percobaan secara in sacco dengan menggunakan kantong nilon yang dimasukkan ke dalam rumen domba yang berfistula. Salah satu perbedaan proses in vitro dan in sacco yaitu pada percobaan secara in sacco masih terjadi proses fisiologis sedangkan secara in vitro proses fisiologis kurang sempurna. Pada pengukuran DBK secara in sacco terdapat perbedaan 9 jenis hijauan yang sangat nyata (P<0,01) terhadap persentase DBK (Gambar 20). Berdasarkan hasil sidik ragam, DBK hijauan Artocarpus heterophylus (Ah) paling tinggi dibanding DBK hijauan tropis lainnya. Sedangkan, Cyperus kyllinga (Ck) memiliki persentase DBK yang paling rendah. Media cairan rumen yang digunakan memberi pengaruh terhadap DBK, media cairan rumen yang terpapar tanin terhidolisa (B3) menghasilkan DBK paling tinggi, sedangkan media cairan rumen yang terpapar tanin terkondensasi (B2) mempunyai DBK terendah (P<0,01). 70 60 50 40 30 20 10 0 P.p
Musa sp
B.d
C.k
B1
L.l
B2
S.b
M.mal
D.s
A.h
B3
Keterangan: B1 = Perlakuan Kontrol B2= Perlakuan Kontrol + Calliandra callothirsus B3= Perlakuan Kontrol + Melastoma candidum
Gambar 20. Grafik Efek Media Cairan Rumen pada Percobaan DBK 9 Jenis Hijauan Tropis secara In Sacco
29
Tabel 5. Degradasi Bahan Kering pada Percobaan secara In Sacco
Keterangan: - superskrip huruf kapital PQR pada baris yang sama merupakan hubungan antar perlakuan yang berbeda sangat nyata (P<0,01) - superskrip huruf kapital KLM pada kolom yang sama merupakan hubungan antar jenis hijauan tropis yang berbeda sangat nyata (P<0,01) - superskrip huruf kapital ABC pada baris/kolom yang sama merupakan hubungan interaksi antara Perlakuan dengan jenis hijauan tropis yang berbeda sangat nyata (P<0,01)
30
Interaksi antara hijauan tropis dengan media cairan rumen berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap persentase DBK, yaitu hijauan Artocarpus heterophylus (Ah) pada media cairan rumen B3 menghasilkan persentase DBK tertinggi sedangkan persen DBK terendah yaitu hijauan Ciperus killynga pada media cairan rumen B2 yang ditampilkan pada Tabel 5. Hasil tersebut mengisyaratkan bahwa media cairan rumen yang telah dipapar tanin terhidrolisa memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan DBK sedangkan media cairan rumen yang dipapar tanin terkondensasi tidak memberikan efek yang baik terhadap persentase DBK. Ini disebabkan oleh pengaruh tanin terkondensasi yang mengikat protein sehingga menurunkan DBK. Tiemann et al. (2007) melaporkan bahwa penambahan level tannin terkondensasi 100 mg/g DM yang berasal dari Calliandra calothyrsus mampu menurunkan DBK dari 760 mg/g hingga 350 mg/g campuran rumput B. Humidicola dan legume Vigna unguiculata. Ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh McDonald et al., (1994) bahwa komposisi kimia bahan merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat degradasi dan kecernaan bahan makanan dalam rumen.
31
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pada heterophyllus
penelitian
ini
dapat
disimpulkan
bahwa
hijauan
Artocarpus
pada media cairan rumen yang mengandung tanin terhidrolisa
menghasilkan degradasi bahan kering tertinggi baik secara in vitro maupun in sacco. Media cairan rumen yang mengandung tanin terhidrolisa mampu mendegradasi bahan kering hijauan yang mengandung tanin lebih baik dibanding media cairan rumen yang mengandung tanin terkondensasi. Penambahan Polyethylene Glycol dapat meningkatkan degradasi bahan kering secara in vitro, dengan hijauan Artocarpus heterophyllus yang dilakukan penambahan Polyethylene Glycol menghasilkan total produksi gas dan degradasi bahan kering tertinggi. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan metode in vivo dengan sumber hijauan tropis yang sama dalam bentuk ransum.
UCAPAN TERIMAKASIH Alhamdulillahirabbil’aalamiin. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT dan atas rahmat dan kurniaNya tugas akhir ini dapat diselesaikan. Terima kasih yang tiada terkira penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS. sebagai dosen pembimbing utama dan Ir. Lidy Herawaty, MS. sebagai dosen pembimbing anggota sekaligus sebagai pembimbing akademik atas segala bimbingan, dorongan, nasihat, dan saran yang telah diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Ahmad Baba Salihin yang mendanai penelitian ini. Dr. Ir. Didid Diapari, MS selaku dosen pembahas seminar, Ir. Kukuh Budi Satoto, MS dan Dr. Ir, M. Yamin, Msc.Agr sebagai dosen penguji sidang atas saran dan kritik yang telah diberikan. Sujud syukur dan terima kasih sedalam-dalamnya penulis haturkan atas dukungan yang telah diberikan (Alm) Papa tercinta yang selalu ada dihati, Mama, kakak-kakak, dan Titis atas doa, kasih sayang, semangat, perhatian dan dukungannya hingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Dukungan yang telah mereka berikan baik secara moril maupun materil tidak akan pernah dapat penulis lupakan sepanjang hidup ini. Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada, Dr. Ir. Idat G. Permana, M.Sc.Agr. selaku Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Ibu Yani, Pak Rahmat, Mba Laela, Ibu Dian dan Pak Misbah yang telah meluangkan waktunya untuk membantu penelitian penulis, rekan penelitian penulis Riani Januarti atas kebersamaan, suka dan duka yang telah dijalani selama penelitian ini, Saudara penulis di “NEVADA” Babakan Lebak (Anda dan Dhani) atas kekeluargaan yang telah terbina, teman-teman seperjuangan penulis di INTP 42 Sondhy, Beni, Fiqi, Eno, Yati dan lainnya yang tidak mungkin penulis tuliskan satu persatu, serta keluarga besar Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan dan civitas Fakultas Peternakan IPB. Banyak sekali ilmu yang penulis peroleh selama menjalani penelitian ini dan semoga hal ini juga tertular dengan adanya skripsi sebagai tugas akhir ini. Amin.
Bogor, Agustus 2009
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Arif,
S. 2008. Lamtoro gung petai cina dan sweet child. Http://saifularif.com/blog/home/personal/kisah/88-lamtoro-gung-petai-cinadan-sweet-child-omine.html. [25 Juli 2009].
Ariningsih, K. 2004. Penambahan sumber tanin yang berbeda dalam perebusan telur asin terhadap kualitas mikrobiologi selama penyimpanan. Skripsi. Fakultas Peternakan, IPB. Bogor. Baba, A. S. H., F. B. Castro, and E. R. Ørskov. 2002. Partioning of energy and degradabiity of browse plants in vitro and the implicantios of blocking the effects of tannin by the addition of polyethylene glycol Animal Feed Science and technology. 95 (1-2):93-94 Bauman, D. E., C. L. Davis., R. A. Frobish, and D. S. Sachan. 1971. Evaluation of polyethylene glycol method in determining rumen fluid volume in dairy cows fed different diets. Journal Dairy Science. 54:928–930. Chemicalland, 2009. Polyethylene Glycol (PEG). www.chemicalland21.com. [20 Januari 2009] Cone, J. W., A. H. van Gelder, and F. Driehuis. 1997. Description of gas production profiles with a three-phasic model. Animal Feed Science Technology. 66:31–45. Fibi, H. 2008. Obat mujarab olahan rumput teki. http://www.dispendikkabprob.org. [25 Juli 2009]. Forest and Kimstar. 2006. Calliandra houstoniana var. calothyrsus (leaves). Plants of Hawaii. http://www.hear.org/starr/plants/images/image/?q=061212-2315 [1 September 2009] Flikckr. 2008. Native Lasiandra (Melastoma affine - formerly called Melastoma malabathricum) in cultivation near Toowoomba, Queensland, Australia. http://www.flickr.com/. [1 September 2009] Hedqvist, H., I. Mueller-Harvey., J. D. Reed., C. G. Krueger, and M. Murphy. 2000 Animal Feed Science and Technology. 87: 41. Hedqvist, H. 2004. Metabolism of soluble proteins by rumen microorganisms and the influence of condensed tannins on nitrogen solubility and degradation. Thesis. Swedish University of Agricultural Sciences, Uppsala. Makkar, H.PS. 1993. Antinutritional factor in food for livestock in animal producting in developing country. British Society of Animal Production. 16: 69-85.
Makkar, H. P. S., M. Blummel, and K. Becker. 1995. In vitro effects and interactions of tannins and saponins and fate of tannins in rumen. J. Sci. Food Agric. 69 : 481-493 Makkar, H. P. S. 2002. Recent Advances in the In Vitro Gas Method for Evaluation of Nutritional Quality of Feed Resources. Animal Production and Health Section, International Atomic Energy Agency. Vienna, Austria. Marhaeniyanto, E. 2009. Solusi pengembangan hijauan di daerah tropis: integrasi rumput dan leguminosa. http://mrhaen03.blogspot.com/2009/01/solusipengembangan-hijauan-didaerah_25.html. [24 Juli 2009]. McDonald, P., Edwards, R.A. and Greenhalgh, J.F.D. 1994. Animal nutrition.4th edition. Longman Scientific and Technical. New York. McDonald, P., R. Edwards., J. Greenhalgh. 2002. Animal Nutrition. Sixth Edition. New York. Menke, K. H and W. H. Close. 1986. Selected Topics in Animal Nutrition. University of Hohenheim. Jerman. Nining.
2008. Pengolahan pakan hijauan. http://teknopakan.blogspot.com/ 2008/04/pengolahan-pakan-hijauan.html. [24 Juli 2009].
Nunez-Hernandez, G. , J. D. Wallace, J. L. Holechek, M. L. Galyean and M. Cardenas. 1991. Condensed tannins and nutrient utilization by lambs and goats fed low-quality diets. Jurnal Animal Science 69:1167-1177. Ørskov, E. R., F. Deb Hovell., and F. Mould. 1980. The use of the nylon bag technique for the evaluation of feedstuff. Tropical Animal Production 5: 195-213. Plantamor. 2009a. Harendong Melastoma affine D. Don. http://www.plantamor.com. [25 Juli 2009]. Plantamor. 2009b. Sapium baccatum. http://www.worldagroforestry.org/ sea/products/AFDbases/WD. [25 Juli 2009]. Plantamor. 2009c. Simpuh air Dilenia suffruticosa. http://www.plantamor.com. [25 Juli 2009]. Plantamor, 2009d. Informasi species. www. plantamor.com [20 Januari 2009] Preston, T.R. 1986. Better Utilization of Crop Residues and By-Product in Animal Feeding: Research Guidelines. 2. A practical manual for research workers. FAO. Rome.
35
Prihatman, K. 2000. Nangka (Artocarpus heterophyllus Lam). http://www. ristek.go.id. [25 juli 2009]. Rusdi and K. Kasim. 2006. Proportion of condensed tannin in digestive part of sheep given protein meals and polyethylene glycol (PEG) on Leucaena pallida leaves base diet. Journal Agroland. 13:3 Rusdi. 2007. Effect of polyethylene glycol (PEG) on blood parameters of sheep given leucaena pallida leaves base diet. Jurnal Produksi Ternak. 9:1. Rusdi. 2008. Pengaruh pengeringan daun turi (Sesbania grandiflora) terhadap degradasi bahan kering dan protein dalam rumen. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Tadulako, Palu. Satuhu, S., dan A. Supriyadi, 1992. Pisang: Budidaya, Pengelolaan dan Prospek Pasar. Penebar Swadaya. Bandung. Sewet, U. 1997. Dinamika populasi dan aktivitas fermentasi mikroba rumen kambing yang diberi pakan kaliandra (Calliandra calothyrsus). Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Silanikove, N., Z. Nitsan, and A. Perevolotsky. 1994. Effect of a daily supplementation of polyethylene glycol on intake and digestion of tannincontaining leaves (Ceratonia siliqua) by sheep. J. Agric. Food Chem. 42:2844–2847. Silanikove, N., N. Gilboa, and Z. Nitsan. 1997. Interactions among tannins, supplementation and polyethylene-glycol in goats given oak leaves: effects on digestion and food intake. Jurnal Animal Science 64:479–483. Skerman, P. J., F. and Riveros. 1990. Tropical Grasses. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome. Sofyan, A., dan A. Jayanegara. 2008. Gas test: lebih cepat ukur kecernaan pakan ruminan. Majalah Agribisnis Peternakan & Perikanan TROBOS Edisi 111, Desember 2008. Sudjana. 1980. Disain dan Analisis Eksperimen. Penerbit Tarsito. Bandung. Suparjo. 2002. Analisis dan evaluasi pakan. http://www.jajo66.wordpress.com. [24 Juli 2009]. Susanti, M. C. E. 2000. Autokondensat tanin dan penggunaan sebagai perekat kayu lamina. Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Syahrir, S. 1998. Uji bakteri toleran tanin dan pengaruh inokulasinya pada ternak kambing berpakan kaliandra (Calliandra callothirsus). Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
36
Syamsu, J. A. 2009. Sumberdaya pakan. http://jasmal.blogspot.com/2009/05/ sumberdaya-pakan.html. [24 Juli 2009]. Tangendjaja, B.,E. Wina.,T. Ibrahim.,dan B. Palmer. 1992. Kaliandra (Caliandra calothysrus) dan pemanfaatannya. Balai Penelitian Ternak dan Australlian Cantre for International Agriculture Research. Tiemann, T.T., P. Avila., G. Ram´ırez., C.E., Lascano., M. Kreuzer., and H. D. Hess. 2007. In vitro ruminal fermentation of tanniniferous tropical plants: plantspecific tannin effects and counteracting efficiency of PEG. Animal Feed Science and Technology 222–241. Umiyasih, U. 2007. Petunjuk teknis ransum seimbang strategi pakan pada sapi potong. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Jakarta. Villalba, J. J. dan F. D. Provenza. 2002. Quebracho tannin polyethylene glycol influences selection of foraging location by sheep consuming. Journal Animal Science . 80:1846-1851. Wagner, W. L., D. R., Herbst and S. H. Sohmer. 1999. Manual of the Flowering Plants of Hawaii. Revised edition. University of Hawaii Press, Honolulu. Pp. 910-911. Widyobroto, B. P. 2000. Penggunaan Protein Pakan Terproteksi (Undegraded Protein) Untuk Meningkatkan Produktivitas Sapi Perah Di Indonesia. Lembaga Penelitian UGM, Yogyakarta. Wiryawan, K.G., E. Wina., R. Ernawati. 2000. Pemanfaatan tanin kaliandra (Calliandra calothyrsus) sebagai agen pelindung beberapa sumber protein pakan (in vitro). Digital Library Pusat Penelitian Biologi LIPI.
37
LAMPIRAN
Lampiran 1. Pembuatan Larutan Media (Menke dan Close, 1986) Untuk pembuatan larutan media diperlukan :
0,1 ml larutan mineral mikro (13,2 gr CaCl22H2O + 10 gr MnCl24H2O + 1,0 gr CoCl26H2O + 8,0 gr FeCl36H2O + aquades hingga volumenya 100 ml).
200 ml larutan buffer rumen (4,0 gr NH4HCO3 + 35,0 gr NaHCO3 + aquades hingga volumenya 1000 ml).
200 ml larutan makro (5,7 gr Na2HPO4 anhydrous + 6,2 g KHPO4 anhydrous + 0,6 g MgSO4.7H2O, dan ditambah dengan aquadest hingga mencapai volume 1000 ml).
1,0 ml larutan resazurin 0,1% (w/v)
40 ml larutan pereduksi (4,0 ml NaOH 1 N + 625 mg Na2S.9H2) ditambah 95 ml aquades.
39
Lampiran 2. ANOVA Pengaruh Perlakuan terhadap Produksi Gas Total Sumber Keragaman Model
db
JK
KT
F0,05
F0,01
1,4591
1,7056
3,0846
4,8173
2,0295
2,6888
1,7426
2,1796
3,9333
6,8875
3,0846
4,8173
2,0295
2,6888
1,7426
2,1796
3,0846
4,8173
)
55
31782,9893
F1
2
9687,9168
4843,9584
168,70*)
F2
8
16382,7493
2047,8437
71,32*)
F1*F2
16
3063,5827
191,4739
6,67*)
F3
1
1047,8240
1047,8240
36,49*)
F1*F3
2
142,8499
71,4249
2,49
F2*F3
8
524,3799
65,5475
2,28**)
F1*F2*F3
16
424,8278
26,5517
0,92
Blok
2
226,7080
113,3540
3,95
Galat
103
2957,4782
JK TOTAL
158
34740,4674
Keterangan:
577,8725
F hit 20,13*
28,7134
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) Tanda*) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) Tanda**) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Lampiran 3. ANOVA Degradasi Bahan Kering pada Percobaan secara In Vitro Sumber Keragaman Model
db
JK
KT
F0,05
F0,01
1,4591
1,7056
3,0846
4,8173
2,0295
2,6888
1,7426
2,1796
3,9333
6,8875
3,0846
4,8173
2,0295
2,6888
1,7426
2,1796
3,0846
1,7056
)
55
21872,9138
F1
2
249,2037
124,6018
6,20*)
F2
8
18421,7475
2302,7184
114,53*)
F1*F2
16
2053,0475
128,3155
6,38*)
F3
1
148,9051
148,9051
7,41*)
F1*F3
2
2,5886
1,2943
0,06
F2*F3
8
340,9552
42,6194
2,12**)
F1*F2*F3
16
514,2728
32,1421
1,60
Blok
2
11,3078
5,6539
0,28
Galat
103
2070,8232
JK TOTAL
158
23943,7370
Keterangan:
397,6893
F hit 19,78*
20,1051
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) Tanda*) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) Tanda**) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
40
Lampiran 4. ANOVA Degradasi Bahan Kering pada Percobaan secara In Sacco Sumber Keragaman
JK
KT
F hit
27
6925,2338
256,4901
16,01*)
F1
2
557,4984
278,7492
17,39 *)
F2
8
5540,4579
680,0572
42,44*)
F1*F2
16
725,4830
45,3427
2,83*)
Blok
1
24,6882
24,6882
1,54
Galat
25
400,6312
16,0252
JK TOTAL
52
Model
Keterangan:
db
F0,05
F0,01
2,0312
2,7147
3,2257
5,1634
2,1740
2,9802
1,8972
2,4717
4,0785
7,2964
7325,8650
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05) F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01) Tanda*) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) Tanda**) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Lampiran 5. Uji lanjut Duncan Percobaan Total Gas untuk Faktor 1 (Jenis Hijauan Tropis) SUPERSKRIP Perlakuan
N
Musa sapientum Dilenia suffruticosa Ciperus kyllinga Melastoma malabathricum Brachiaria decumbens Leucaena leucocephala Sapium baccatum Pennisetum purpureum Artocarpus heterophillus
18 18 18 17 17 18 18 18 17
F
E
29,053 31,182
D
31,182 34,428
C
B
A
34,428 36,273 43,084 43,413 43,862 55,063 61,806
Lampiran 6. Uji lanjut Duncan Percobaan Total Gas untuk Faktor 2 (Media Cairan Rumen) Perlakuan
N
B2 B1 B3
53 52 54
SUPERSKRIP B
C
A
32,693 41,174 51,704
Lampiran 7. Uji lanjut Duncan Percobaan Total Gas untuk Faktor 3 (Penambahan PEG) SUPERSKRIP Perlakuan Non_PEG PEG
N 80 79
B
A
39,0665 44,8159
41
Lampiran 8. Uji lanjut Duncan Percobaan Total Gas untuk Interaksi Faktor 1 (Jenis Hijauan Tropis) dengan Faktor 2 (Media Cairan Rumen) Perlakuan
N
Musa sapientum _B2 Dilenia suffruticosa_B2 Dilenia suffruticosa_ B1 Ciperus kyllinga_B1 Ciperus kyllinga_B2 Melastoma malabathricum_B1 Brachiaria decumbens_B2 Melastoma malabathricum_B2 Musa sapientum_B3 Musa sapientum_B1 Sapium baccatum_B2 Leucaena leucocephala_B2 Pennisetum purpureum_B2 Dilenia suffruticosa_B3 Sapium baccatum_B1 Leucaena leucocephala_B1 Leucaena leucocephala_B3 Brachiaria decumbens_B3 Ciperus kyllinga_B3 Melastoma malabathricum_B3 Artocarpus heterophillus_B2 Brachiaria decumbens_B1 Sapium baccatum_B3 Pennisetum purpureum_B1 Artocarpus heterophillus_B1 Pennisetum purpureum_B3 Artocarpus heterophillus_B3
6 6 6 6 6 5 5 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6
42
I 25,175 25,958 26,172 27,160 27,375 28,478 28,780 30,292 30,917 31,067 31,375
H
30,292 30,917 31,067 31,375 37,192
G
37,192 38,400 41,417 43,462
SUPERSKRIP F E
38,400 41,417 43,462 45,380
41,417 43,462 45,380 47,667 48,583 48,750 48,750
D
C
B
A
43,462 45,380 47,667 48,583 48,750 48,750 49,042 49,503 56,750 58,705 61,990
61,990 68,083
68,083 74,417
Lampiran 9. Uji lanjut Duncan Percobaan Total Gas untuk Interaksi Faktor 1 (Jenis Hijauan Tropis) dengan Faktor 3 (Penambahan PEG) Perlakuan Dilenia suffruticosa_nonPEG
Musa sapientum_PEG Musa sapientum _nonPEG Ciperus kyllinga_nonPEG Melastoma malabathricum_nonPEG Ciperus kyllinga _PEG Dilenia suffruticosa _PEG Sapium baccatum_nonPEG Melastoma malabathricum_PEG Leucaena leucocephala_nonPEG Brachiaria decumbens_nonPEG Brachiaria decumbens_PEG Leucaena leucocephala_PEG Sapium baccatum _PEG Pennisetum purpureum_nonPEG Pennisetum purpureum_PEG Artocarpus heterophillus_nonPEG Artocarpus heterophillus _PEG
43
N 9 9 9 9 9 9 9 9 8 9 9 8 9 9 9 9 8 9
SUPERSKRIP J
I
24,750 28,733 28,733 29,372 29,372 32,134 32,134 33,023
H
29,372 32,134 33,023 36,722
G
32,134 33,023 36,722 37,614 39,777 39,929
F
36,722 37,614 39,777 39,929 41,366 41,613
E
37,614 39,777 39,929 41,366 41,613 44,738 45,460
D
41,366 41,613 44,738 45,460 47,948
C
45,460 47,948 52,566
B
A
52,566 57,560 57,560 59,239 59,239 64,088
Lampiran 10. Uji lanjut Duncan Percobaan In Vitro untuk Faktor 1 (Jenis Hijauan Tropis) SUPERSKRIP Perlakuan
N
Dilenia suffruticosa Ciperus kyllinga Melastoma malabathricum Musa sapientum Brachiaria decumbens Pennisetum purpureum Sapium baccatum Leucaena leucocephala
18 18 16 18 18 18 18 18 17
Artocarpus heterophillus
F
E
23,749 25,349
D
C
B
A
25,349 26,931 31,888 33,569 41,360 46,130 46,293 57,552
Lampiran 11. Uji lanjut Duncan Percobaan In Vitro untuk Faktor 2 (Media Cairan Rumen) SUPERSKRIP Perlakuan B2 B3 B1
N 53 54 52
B
A
35,6358 36,8533
35,6358 36,8533 38,4731
Lampiran 12. Uji lanjut Duncan Percobaan In Vitro untuk Faktor 3 (Penambahan PEG) SUPERSKRIP Perlakuan
N
Non_PEG
80
PEG
79
B
A
35.6905 38.2803
44
Lampiran 13. Uji lanjut Duncan Percobaan In Vitro untuk Interaksi Faktor 1 (Jenis Hijauan Tropis) dengan Faktor 2 (Media Cairan Rumen) Perlakuan Dilenia suffruticosa_B1 Melastoma malabathricum_B2 Ciperus kyllinga_B2 Melastoma malabathricum_B1 Musa sapientum_B3 Dilenia suffruticosa_B3 Ciperus kyllinga_B1 Dilenia suffruticosa_B2 Ciperus kyllinga_B3 Brachiaria decumbens_B3 Brachiaria decumbens_B2 Melastoma malabathricum_B3 Musa sapientum_B2 Pennisetum purpureum_B2 Musa sapientum_B1 Brachiaria decumbens_B1 Sapium baccatum_B2 Pennisetum purpureum_B3 Leucaena leucocephala_B3 Leucaena leucocephala_B1 Leucaena leucocephala_B2 Pennisetum purpureum_B1 Sapium baccatum_B1 Sapium baccatum_B3 Artocarpus heterophillus_B2 Artocarpus heterophillus_B1 Artocarpus heterophillus_B3
45
N 6 5 6 5 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 5 6
J 20,977 22,896 24,007 24,128 24,200 24,455 24,467 25,815
I 22,896 24,007 24,128 24,200 24,455 24,467 25,815 27,575
H
25,815 27,575 31,647
G
27,575 31,647 31,893 32,628
SUPERSKRIP F E
31,647 31,893 32,628 34,417 36,422 37,048 37,167 37,717
32,628 34,417 36,422 37,048 37,167 37,717 38,975
D
37,717 38,975 43,358
C
43,358 47,395 48,127 48,683
B
A
47,395 48,127 48,683 49,587 51,087 57,307 57,604 57,755
Lampiran 14. Uji lanjut Duncan Percobaan In Vitro untuk Interaksi Faktor 1 (Jenis Hijauan tropis) dengan Faktor 3 (Penambahan PEG) SUPERSKRIP Perlakuan Dilenia suffruticosa _PEG Ciperus kyllinga _nonPEG Melastoma malabathricum_nonPEG Dilenia suffruticosa _nonPEG Ciperus kyllinga _PEG Melastoma malabathricum _PEG Musa sapientum _nonPEG Musa sapientum _PEG Brachiaria decumbens _nonPEG Brachiaria decumbens _PEG Pennisetum purpureum _nonPEG Pennisetum purpureum _PEG Sapium baccatum _nonPEG Leucaena leucocephala _PEG Leucaena leucocephala _nonPEG Sapium baccatum _PEG Artocarpus heterophillus _nonPEG Artocarpus heterophillus _PEG
46
N 9 9 9 9 9 7 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 8 9
G 21,831 24,19 24,302 25,667 26,509
F
25,667 26,509 30,310
E
26,509 30,310 31,777 32,000
D
C
B
A
30,310 31,777 32,000 32,737 34,401 40,488 42,232 42,724 46,176 46,411
46,176 46,411 49,536 55,073 59,757
Lampiran 15. Uji lanjut Duncan Percobaan In Sacco untuk Faktor1 (Jenis Hijauan Tropis) Perlakuan Ciperus kyllinga Dilenia suffruticosa Musa sapientum Brachiaria decumbens Melastoma malabathricum Pennisetum purpureum Leucaena leucocephala Sapium baccatum Artocarpus heterophillus
N 5 6 6 6 6 6 6 6 6
F
SUPERSKRIP D C
E
B
A
24,7400 25,2880 25,2880 28,5550 28,5550 29,1450 29,1450 30,2030 35,7670 42,8320 47,9880 55,7500
Lampiran 16. Uji lanjut Duncan Percobaan In Sacco untuk Faktor 2 (Media Cairan Rumen) SUPERSKRIP Perlakuan
N
B2
18
B1
18
B3
17
C
B
A
31.6050 35.8620 40.1450
47
Lampiran 17. Uji lanjut Duncan Percobaan In Sacco untuk Interaksi Faktor 1 (Jenis Hijauan Tropis) dengan Faktor 2 (Media Cairan Rumen) Perlakuan Ciperus kyllinga_B2 Dilenia suffruticosa_B2 Melastoma malabathricum_B2 Dilenia suffruticosa_B1 Ciperus kyllinga_B1 Brachiaria decumbens_B2 Musa sapientum_B2 Musa sapientum_B3 Melastoma malabathricum_B1 Brachiaria decumbens_B3 Dilenia suffruticosa_B3 Pennisetum purpureum_B2 Ciperus kyllinga_B3 Musa sapientum_B1 Brachiaria decumbens_B1 Pennisetum purpureum_B3 Pennisetum purpureum_B1 Melastoma malabathricum_B3 Sapium baccatum_B1 Leucaena leucocephala_B2 Leucaena leucocephala_B3 Leucaena leucocephala_B1 Artocarpus heterophillus_B2 Sapium baccatum_B2 Artocarpus heterophillus_B1 Sapium baccatum_B3 Artocarpus heterophillus_B3
48
N 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
J 20.7500 21.6800 23.8550 24.4100 24.5000 24.8350 25.2750 26.9200 27.5150 27.8750 29.7750 30.3300
I
23.8550 24.4100 24.5000 24.8350 25.2750 26.9200 27.5150 27.8750 29.7750 30.3300 33.2000 33.4700
H
25.2750 26.9200 27.5150 27.8750 29.7750 30.3300 33.2000 33.4700 34.7250
G
29.7750 30.3300 33.2000 33.4700 34.7250 37.7500 39.2200 39.2400 39.2550
SUPERSKRIP F E
33.2000 33.4700 34.7250 37.7500 39.2200 39.2400 39.2550 42.3600 42.6050
34.7250 37.7500 39.2200 39.2400 39.2550 42.3600 42.6050 43.5300
D
37.7500 39.2200 39.2400 39.2550 42.3600 42.6050 43.5300 47.1350
C
39.2200 39.2400 39.2550 42.3600 42.6050 43.5300 47.1350 48.2250
B
48.2250 56.1300 56.4850
A
56.1300 56.4850 63.9850