HIKAYAT KINANTI Bunga Hening Maulidina
Dimanakah luka yang paling nyeri? Kinanti tak bisa menjawabnya. Mungkin
pertanyaan itulah yang malah menimbulkan nyeri, Kinanti mematung. Ada waktu-waktu ketika dia menjadi sedikit aneh. Mata Kinanti yang rapuh, semakin
tipis seperti .jarum daun cemara. Tapi, ah, kerapuhan itu mewujud
jadi
keperkasaan yang ganjil. Seolah ada hikayat panjang di butir hitam matanya. Tak ada yang tahu bagaimana nasib wanita di Tirta Ngamerta. Barangkali
terlalu tabu untuk membicarakan hal itu. Jika Tirta Ngamerta diibaratkan sebagal
hati perempuan, maka kepekaan hatinya terasah dan teramat tajam.
Toh
kepekaan itu bukan lagi membuah kelembutan. Kepekaan itu menjadi teramat
tajam. Ketajamannya berubah menjadi sayat. Belati. Mudah mendarahkan, m
udah dida
ra
hi.
Kinanti ialah Tirta Ngamerta. Pun, Tirta Ngamerta jua ialah Kinanti. Sebagai wanita yang menginjak bumi Tirta Ngamerta semen.iak dikandung
Biyungnya, Kinanti hampir-hampir mengenal tanah airnya seperti mengenal
dirinya sendiri. Satu. Menyatu. Monunggol, jika memakai istilah para bijak cendekia.
Hanya akhir-akhir ini, Kinanti merasa monunggol nan ketidakberjarakan
itu berbalik menjadi batas. Jauh. Jauh sekali. Ada bentangan yang tajam.
Satu
tapi tidak. Tidak, tapi satu. Ah. Jika Tirta Ngamerta benar-benar wanita, maka begitu pula Kinanti. Begitu pula muasal hawa. Telah tergaris dari rusuk bengkok. Bengkok yang tak lurus. Tak lurus berarti berkelok. Eerkelok berarti riuh.
Seperti jalan rimba yang naik turun. Tidak bisa dipaksa lurus layaknya jalanan kota. Sebab ada berbagai titik hayati yang sudah menumbuhkan sendiri kelokan
alami. lndah, sebenarnya. Tapi memahaminya seperti memahami nyeri Iuka. Memahami luka sama saja mencoba memahami hawa. Seperti pula memahami Kinanti. Memahami Tirta Ngamerta. Memahami bumi. Memahami ibu. lbu. lbu. Tuhan.
Lalu dimana letak manusia.iika sudah berhadapan dengan Gusti yang Maha? Nol. Kinanti semakin redup ketika sudah memikirkan hal-hal itu. Berat sekali. Padahal semua itu berawal dari satu sudut gelap tanah Tirta Ngamerta. Dan, dibanding luas semesta, Tirta Ngamerta barangkali tak lagi terlihat mata. Abstrak. Gan.jil. Samar. Kelabu. Mungkin...
Air ialah hidup. Setiap perempuan Tirta Ngamerta sangat tahu apa arti air. Lereng-lereng cadas di belakang rumah, menimbulkan kerinduan akan tetes air. Abu debu adalah bisik yang selalu mengikuti langkah mereka saat menapaki
jalanan keras tatkala pergi ke Sumber. Sumber membasahi muka mereka yang terasa panas. Mengambil air di Sumber pula yang menjadi rutinitas suci bagi perempuan Tirta Ngamerta. Pagi saat fajar masih buta, jalan sudah ramai oleh langkah para ibu dan
perempuan umumnya di Tirta Ngamerta, Klenting adalah sebutan untuk wadah
air dari tanah, yang selalu mereka panggul untuk ngongsu, mengambil
air.
Menciduk sebanyak-ba nyaknya air dari Sumber untuk dibawa ke rumah. Tangan Kinanti yang kurus memanggul klenting dalam sepi. Sudah hafal sekali Kinanti akan prosesi yang dijalaninya sejak masih kanak-kanak itu. Tatkala
para kakak lelakinya masih tidur, Kinanti sudah dibangunkan untuk turut bersama Biyungnya ke Sumber. Ber.jalan bolak-balik untuk memenuhi iambang airnya yang besar di rumah.
Air segera akan habis. Bapak sudah menggunakan air separuh jambang untuk mandi. Disusul kakak-kakak lelakinya yang selalu berebut air sisa
Bapak.
Kinanti dan Biyung akan mandi belakangan. Tentu, usai berjalan bolak-balik ke Sumber be ru la ngka li. Sesekali Kinanti akan bertanya pada Biyung. "Bolehkah sehari saja Kinanti
libur mengambil air? Bukankah tubuh kangmas-kangmas lebih kuat memikul
klenting daripada badan Kinanti?". Biyung selalu menjawabnya
dengan
pertanyaan terlebih dahulu, "Kinanti, ingin jadi hebat?". Kinanti kecil akan mengangguk. Biyung tersenyum sambil mengelus klenting Kinanti, "lnilah tirakat Kinanti dan Biyung, agar kelak Kinanti jadi orang yang hebat".
Mulut Kinanti tak berhenti berucap, "Tirakat? Wah, seperti kanjengkanjeng guru yang sakti itu, Yung. Berarti kangmas dan Bapak nanti bisa kalah
hebat, ya Yung?". Biyung menjawab pertanyaan terakhir itu dengan ciuman di kening Kin anti.
Sumber akhirnya tetap jadi tempat keramat yang diyakini Kinanti sebagai
tempat tirakat. Tirakat bagi Kinanti adalah jalan orang-orang sakti dan suci, Toh demikian, tetap ada pedih yang mendera dadanya ketika melewati batu-batu tak
rata di jalanan Tirta Ngamerta. Saat menyaksikan air yang
dipanggulnya
bergelombang dan terciprat ke .lalan. Mengembuskan bau tanah dan air. 8au yang pedih. Nyeri di udara.
Berwaktu lewat. Sampai tiba saat luka nyeri dada Kinanti merayap ke seluruh tubuhnya. Ketika itu, cuma wejangan Biyung yang selalu didekapnya seraya mendekap klenting. Tirakat. Tirakat itu berat. Tirakat di Sumber, tirakat di
Tirta Ngamerta. ltu sangat berat. Berat... Sampai Kinanti menahan beban airnya bukan cuma di raga, tapi di sukma yang tak tampak mata.
sebagian
Seisi kampung hampir seluruhnya sepakat, bahwa Kinanti gila. Sungguh
wanita tanpa tata susila, begitu tanggap para sesepuh. Lir, suami Kinanti terkata
sudah diguna-guna oleh Kinanti. Tersebab Lir menggantikan Kinanti untuk mengambil air di Sumber. lhwal itu, bencanalah bagi Tirta Ngamerta. Tabu bagi lelaki mengambil air dengan klenting layaknya perempuan. Kenthir, gila. Ah. Lalu segera kata cerca para tetangga dan sesepuh desa menghambur berentetan kelu a r bersama-sama.
"Tidak adakah niat cerai untuk istrimu yang kurang ajar begitu, Lir?"
"lstrimu, gila, "Kina
Lir
!"
nti memang edan !"
Sama sekali tidak ada. Tak ada kata cerai yang terlintas dalam benak Lir.
Lir sangat-sangat mengerti dan mencintai Kinanti. Perempuan kurus bermata sayu itulah satu-satunya perempuan yang mampu menawan Lir. Bukan sebab dia anak Biyung Ratri yang teguh lagi priyayi. Tapi, tersebab Kinantilah yang menyita semesta Lir dalam hikayat mata sayunya nan misteri.
"Kangmas, kau tahu, beginilah Tirta Ngamerta yang kita pijak dan banggakan setiap saat," ucap Kinanti membuka bicara. Lir terdiam. Matanya telah dipenuhi buliran air mata. Lir tahu, hanya di
depan perempuan seperti Kinanti saja, Lir bisa jujur menangis. Menangis bukan semata untuk dirinya sendiri sebagai suami. Juga bukan untuk menangisi cercaan seisi mulut Tirta Ngamerta. Lir, cuma menangisi Kinanti.
"Maafkan aku, Yayi," Lir memeluk Kinanti sambil tak henti air matanya bercurahan.
"Kangmas," Kinanti melepaskan pelukan Lir dan menatap mata Llr lekat tajam.
"Jika aku adalah perempuan Tirta Ngamerta, maka akulah yang akan
bersimpuh menunduk memohon maaf padamu. Dan, memanglah
aku
perempuan yang lahir ditanah ini. Aku tahu tiap batu yang kau pijak saat pergi ke Sumber. Namun, engkau pun tahu Kangmas, perempuan Tirta Ngamerta ini juga
melihat batu yang tak kau lihat. Batu yang menembok dinding Tirta Ngamerta.
Batu yang membentengi aku dengan tanah lahirku sendiri..." Kinanti masih menatap mata Lir.
Lir tersenyum. Senyum yang pahit sekali. Sudah berkali-kali Lir mendengar keresahan Kinanti. Bukan hanya dari kata-kata yang diucapkannya senantiasa. Tapi, bahkan mata Kinanti sudah mendaraskan kisah yang lebih pa
niang daripada kata-kata.
"Yayi..." kata Lir terbata. Sebelum berlanjut, tangan Kinanti
sudah
menggenggam tanga n Lir.
"Kangmas, kau sudah mengetahui cerita ini berulangkali. Tirakat yang
diajarkan Biyung. Klenting yang kupanSSul tiap hari. Kakak-kakak lelakiku yang
berebut air di jambangan. Sungguh, Kangmas, aku bersyukur bersuamikan engkau yang mau mendengarkan kesahku. Bahkan tanpa kuminta, kaulah yang memintaku untuk tinggal di rumah. Tidak lagi mengambil air di Sumber..." Kinanti semakin erat menggenggam jemari Lir.
"Hanya saja Kangmas, sungguh, bukan cemooh para tetanSSa dan tetua yang membuat hatiku terasa ianggal," Kinanti terus bersuara seraya pelan-pelan mengalihkan pandangnya dari mata Lir. Lir menghela napas. Tanyanya segera terlontar, "Biyungmu, Yayi?"
Kinanti mengangguk pelan. Masih tak berairmata. Namun, Lir tahu ada jutaan liter air mata yang pecah dan berdebur dalam hati istrinya. Selalu begitu, tiap Kinanti mengingat Biyung yang lama sudah tiada.
6
"Tirakat, Kangmas. ltu yang kupegang dari nasihat Biyung. ltu yang membuatku menahan air di klenting tanpa mempedulikan nyeri hatiku sendiri. Tanpa merasakan iri untuk kakak-kakak lelakiku. ltu, Kangmas. Tapi, itulah jua
yang membuatku merasa teramat berdosa..." Kinanti mengusaikan perkataan sampai terasa tangannya dingin di genggaman Lir.
Senyap membakar. Tangan Kinanti semakin dingin.
Lir tak
kuasa
menggengam tangan istrinya. Kembali direngkuhnya Kinanti. Kinanti tak menangis. Lir tak menangis. Keduanya berdiam. Takut jika kemarahan dan kesedihan akan tumbuh rimbun memecahkan sunyi. Sekilas sen.ja membias. Jingga. Ungu.
Perempuan itu duduk di samping pusara. Diam. Mata yang tajam. Sedikit
menakutkan. Perlahan tangannya menabur mawar. Nyekor. Mungkin seperti doa. Namun juga terdengar seperti mantra. Atau racau semata.
Tak juga terdengar tangis yang lazimnya mengiringi para peziarah. Perempuan
itu masih saja merapal. Gaung suaranya beku dan dingin.
Lamat-
lamat suara perempuan itu memelan. Pelan dan tidak terdengar. Tetap saja
ia
duduk di samping pusara. Diam layaknya nisan. Seorang lelaki ada di tepi pagar tanah permakaman. Bergetar kakinya menapak tak tegak. Bulan sudah memutih di sudut cakrawala. Seperti semesta
mendendang kidung. Masih tak ada suara dari perempuan yang duduk di samping pusara. Perempuan yang diantarkannya ke sini.
Lelaki
menempel
itu berdiri di tepi pagar bambu yang sudah lapuk.
di tiap ujung permukaan bambu. Matanya
Pasir terasa
terpejam.
Selama
beberapa saat seperti terbawa maya. Tiba-tiba ia terkesiap. Matanya terbuka. Mengawasi pusara. Sepi. Sepi? Sepi! Sungguh?
"Yayiii...! Yayii...! Kinantiii...l" lelaki itu berteriak tak terkendali. la berlari ke pusara yang semenjak tadi istrinya berdiam di sana. Cuma aroma mawar yang tersisa. Lalu istrinya ? Kinanti?
"Kinantiii... !" Sunyi. Napas lelaki itu terengah. Keningnya berkerut. Matanya nyalang. Kakinya serasa lumpuh. Tersimpuh di dekat pusara berbau mawar segar. la tidak
lagi berkata-kata. Seolah kata-katanya punah. Tak bisa keluar walau sekadar d
iuca
p ka
n. {, +
,1.
"Kangmas, letakkan klenting itu," ucap Kinanti dengan nada lembut.
"Tapi, Yayi, aku takkan membiarkanmu untuk membawanya. Apalah salahnya menggantikanmu mengambil air di Sumber? Apakah kau lupa pada
semua kegelisahanmu, kemarahanmu, termasuk pada kenyataan bahwa aku sendiri yang memintamu untuk tak mengambil air di Sumber?" sahutan Lir mulai mengeras.
"Kangmas, kumohon, letakkan klenting itu," Kinanti mengulang dengan nada pelan yang lebih memohon. TanSan Lir tak bergerak. Kinanti mengulurkan tangan dan menurunkan
klenting. "Kangmas, tolong," Kin a nti lirih. Lir mengangguk ragu. Menelan ludah yang terasa berat. Men8hela napas. Menahan degub emosi.
"Baiklah, Yayi. Aku mengerti. Aku akan mengerti semua yang akan kamu lakukan. Aku akan mengerti semua apa yang kauucapkan. Aku akan mengerti apa yang tidak dimenBerti orang-orang terhadapmu. Terhadap kita."
Kinanti tersenyum sah aja.
"Aku berangkat, Kangmas," tangannya sigap memanggtl
klenting.
Langkah Kinanti keluar rumah bergesekan dengan alas kepong bambu. pelanpelan Kinanti tak terlihat dari pandangan Lir. Lir tak habis pikir mengapa Kinanti berubah demikian. Sejak Kinanti raib
dari matanya ketika di pusara Biyung, Kinanti tak lagi mempercakapkan apapun tentang air, Sumber, hinaan tetangga dan tetua. Tidak lagi. Kini tiba-tiba Kinanti berubah pikiran untuk kembali mengambil air ke Sumber. Lir tahu, bahwa semua itu wajar bila terjadi suatu waktu. Hanya saja Lir merasa tak wajar jika Kinanti akan sedemikian cepat menghapus luka nyerinya. Kinanti bukan perempuan yang demikian mudah tunduk pada luka. Lir termangu.
Keindohon itu bebengkok-bengkok. Arti indoh seringkoli mudoh bergonti.
Jiko perempuon itu keindohon, moko ioloh keindohon nuroni. Bengkok rusuk odoloh keindahon. Setiop bengkok itulah odo gerok. Gerok yong indoh. Biyung,
jika setiap perempuon Tirto Ngomerto memong horus bertirokot,
moko mengopo tirokot itu jugo tidok berloku untuk loki-loki? Biyung, jiko tanoh Tirto Ngomerto memong keros, mengopokoh semuo orong tidok berupoyo untuk membosahi jolononnya dengon keringot tirokot? Biyung. Biyungku...
Biyungku, tok odo debu di koki, kecuoli itu
jodi
suci dolom perjolonon
sunyi. Ritus yong sulit dipahomi, jiko tidok dilokukon sendiri. Biyung, kolou semua orong horus kemboli, bukonkoh setiop orong jugo horus berjolan. Mendoki. Noik. Tu ru
n. Berso mo
-so ma. Sem uo.
Biyung, Tirto Ngomerto sudoh menjodi diriku sendiri. Bukit yong codos.
lJdoro yong ponos. Topi toh odo Sumber
di sono. Ado tetes hidup yong
memoncor. Meski keros, getos, nomun ado hidup di sono. Biyungku, sungguh, Kinontimu tok bermoksud melowon kodrot. Kinonti benor-benor tohu bohwo odo lowoton don zioroh ponjong podo setiop woktu dolom usio monusio. Kinonti tohu, sungguh benor nosihotmu okon tirokot setiop
perempuon Tirto Ngomerto. Namun, Biyung, benorkoh sebeku
itu oir
hidup?
Bukonkoh oir itu honyut? Hidup itu bergelombang don berlout?
Bukonkoh Biyung jugo tohu odo tetes oir yong jotuh dori klenling don meresop ke debu tonoh Tirto Ngomerto. Bukankah oir Sumber iuga dikondung
oleh tonoh? Biyungloh yong mengajori Kinonti perihol mulo tonoh. Mulo manusio. Mulo oir. Mulo hidup. Mulo tirokot. Biyungku.
Sejujurnyo, Kinonti mencintoi tirokot. Honyo, Kinonti sungguh tokut, Biyung. Tokut jiko tirokot itu okon menyekot-nyekot. Tokut iiko periolonon suci
itu menjodi terkotori oleh tingkot-tingkot. Kinonti mencintoi Biyung, mencintoi oir, mencintoi hidup. Seperti holnyo Biyung menghidupi, jugo mencintoi moti.
"Gustill Lihat, Yu!Siapa itu, Yu?" Bawana berteriak memanggil Yu Legi. Awan berbaris tebal. Panas. Udara seakan berasap. Siang menaniak. Matahari te rus bera nja k. "Ada siapa?" Yu Legi menoleh.
"ltu Yuuuu ! Lihat, di dekat semak!" Bawana semakin keras dan bergetar. Perempuan terkapar. Klenting pecah di dekat kaki. Ada darah. Yu Legi
lantas berlari. Bawana mengikuti. Mereka menyusuri jalan yang panas dan berdebu. Perempuan itu tidak bergerak. Kaku. Yu Legi ragu untuk mengenali.
10
"Lihat wajahnya," bisik Yu Legi seakan tak tega. Bawana ragu-ragu melangkah. Mendekat. Tangan perempuan itu kurus.
Dilihatnya wa.lah perempuan itu. Wa.jah yang tersenyum. Bawana menutup matanya. Perlahan disebutkan oleh Bawana sebuah nama. Seketika senyap dan berieda. Yu Legi menjerit.
"Liiir !" "Liiir !"
"Liiir!" Tak ada suara sahut jawaban. Orang-orang panik. Lir harus ditemu. Lir harus menemui, Kinanti dan pula... si jabang bayi.