6
TINJAUAN TEORI Komunikasi Pembangunan dan Pemberdayaan Dalam
konteks
komunikasi
pembangunan,
Melkote
(2002)
mengkategorikan pendekatan komunikasi pembangunan menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok paradigma dominan (modernisasi) dan kelompok paradigma
alternatif
(pemberdayaan).
Teori-teori
dan
Intervensi
dalam
paradigma dominan dari modernisasi dikembangkan oleh Lerner (1958) dan Schramm (1964) dan studi-studi lainnya yang berkembang pada tahun 1950-an dan 1960-an. Daniel Lerner dalam bukunya The Passing of Traditional Society menekankan peran media massa dalam modernisasi. Lerner menemukan bahwa media massa merupakan agen modernisasi yang ampuh untuk menyebarkan informasi dan pengaruhnya kepada individu-individu dalam menciptakan iklim modernisasi. Orang-orang yang terdedah oleh pesan-pesan media massa akan memiliki kemampuan berempati dengan kehidupan masyarakat yang dibaca atau ditontonnya. Kemampuan berempati ini penting agar orang bisa bersikap fleksibel dan efisien dalam menghadapi kehidupan yang berubah. Orang-orang yang mempunyai kemampuan berempati ini akan aktif sebagai warga negara yang menyalurkan aspirasinya melalui partisipasi politik. Oleh karena itu, kemampuan ini perlu dimiliki oleh orang yang ingin keluar dari situasi tradisional (Sarwititi 2005). Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya Teori Difusi dan Inovasi (Diffusion of Innovation Theory) yang mulai ditulis Rogers (1962) dan berkembang pada tahun 1970-an yang beranggapan bahwa pembangunan terjadi melalui penyebaran (difusi) inovasi dari agen pembangunan ke luar sistem sosial di tingkat lokal melalui berbagai saluran (Media massa, interpersonal dan lain-lain) kepada anggota-anggota sistem sosial dalam kurun waktu tertentu. Pendekatan ini mendapat kritik dari kalangan komunikasi pembangunan antara lain tidak memberikan umpan balik yang sangat mempengaruhi keberhasilan kampanye. Sejak akhir tahun 1970-an dan berkembang pada tahun 1990-an muncullah pendekatan pemasaran sosial yang melihat bahwa proses komunikasi pembangunan harus dilihat sebagai proses bertahap yang memerlukan pesanpesan dan pendekatan yang berbeda pada setiap tahap proses perubahan perilaku. Pengembangan lebih jauh dari pendekatan pemasaran sosial ini adalah strategi hiburan pendidikan yang berkembang pada akhir tahun 1990-an. Pendekatan ini dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa media massa sangat
7
efektif dalam meningkatkan tingkat kognisi khalayak mengenai kejadian-kejadian yang spektakuler dan media massa berfungsi sebagai sarana pemenuhan kebutuhan khalayak termasuk hiburan dan informasi sesuai dengan teori uses and gratification. Selain itu kecendrungan komersialisasi dan privatisasi media meningkatkan pertumbuhan dan kepopuleran program hiburan-pendidikan (entertainment-education program). Dalam pendekatan ini pendidikan melekat pada program-program hiburan. Teori-teori modelling, self efficacy dan parasocial interaction digunakan untuk menduga dan menjelaskan hierarki efek yang dihasilkan program media. Sedangkan paradigma alternatif dalam komunikasi pembangunan melihat perlunya memasukkan masalah kesamaan, pemeliharaan lingkungan dan perlindungan budaya asli dalam konsep pembangunan. Terdapat dua jalur dalam pendekatan alternatif-komunikasi partisipatori, yakni PAR (Participatory Action Research) dan pemberdayaan. Pendekatan pemberdayaan banyak digunakan dalam pengorganisasian komunitas, pendidikan dan psikologi komunitas. Oleh karena itu, pemberdayaan dapat diartikan dalam banyak hal dan dapat diamati pada berbagai level yakni individual, organisasi dan komunitas. Di tingkat komunitas, pemberdayaan berarti proses peningkatan kontrol kelompokkelompok terhadap konsekuensi-konsekuensi yang penting bagi anggota kelompok dan orang lain dalam komunitas yang lebih luas (Fawcett et al. 1984 diacu dalam Melkote 2002). Sedangkan di tingkat individu pemberdayaan didefinisikan sebagai “perasaan psikologis berkenaan dengan pengendalian atau pengaruh pribadi dan kepedulian terhadap pengaruh sosial yang aktual, kekuasaan politis dan hukum legal (Rappaport 1987 diacu dalam Melkote 2002) Pergeseran pada isu pemberdayaan memberikan implikasi kepada perubahan etika, metodologi dan filosofi konsep-konsep dalam teori-teori komunikasi pembangunan (Wilkins 2002 diacu dalam Sarwititi 2005). Dalam hal etika, peneliti komunikasi didorong untuk peduli terhadap kelompok yang tertindas : wanita, orang miskin, kelompok etnis dan bahasa minoritas, pengungsi dan lain-lain. Perhatian terhadap hal-hal praktis dan etis (aksiologi) menjadi lebih diutamakan daripada masalah epistimologis seperti obyektivitas dan pemisahan antara peneliti dan yang diteliti (detacmhment) Jan Servaes menghubungkan pemberdayaan dengan partisipasi dalam pengambilan keputusan secara kolektif pada semua tingkat sosial sehingga masyarakat dapat mengkontrol dampak dari keputusan tersebut. Pemberdayaan
8
adalah usaha untuk menjamin bahwa rakyat
mampu menolong diri mereka
sendiri (Servaes 1999). Lebih lanjut Servaes (1999) juga menyatakan bahwa inisiatif pembangunan harus diawali dari komunitas dan organisasi akar rumput. Bagi Servaes aktor utama dalam proses pembangunan adalah pergerakan sosial yang menyempal dari kondisi yang stabil dan membentuk struktur hirarki untuk menampilkan sistem bebas dari komunikasi dan organisasi. Untuk memperoleh energi pembangunan organisasi lokal harus diijinkan untuk memutuskan program-progam, isu-isu, bagaimana mengatasinya dan bagaimana hal tersebut dievaluasi. Kedua, dalam model pembangunan yang inisiatifnya berasal dari akar rumput partisipasi struktur komunikasi menjadi sangat penting. Secara tidak langsung dibutuhkan suatu media yang dikuasai oleh komunitas lokal, organisasi dan pergerakan. Hal ini akan mendorong mereka untuk memilih informasi yang benar-benar penting dan membentuk gambaran positif tentang diri mereka sendiri. Dengan begitu organisasi akan memiliki peluang untuk mempengaruhi media lainnya. Ketiga, langkah penting dalam pemberdayaan adalah bahwa tiap unit pembangunan harus bersifat mandiri. Hal ini berarti mengurangi ketergantungan pada mitra yang berkuasa, tiap unit harus berusaha mencari dan memenuhi kebutuhannya sendiri dengan sumberdaya yang ada. Intinya adalah tidak tergantung pada pihak luar, kalaupun tergantung pada sumberdaya yang berasal dari luar maka sifatnya hanya melengkapi dari apa yang sudah ada. Keempat, menyadari pentingnya kebijakan desentralisasi. Pembangunan di suatu negara tidak didominasi oleh satu pusat metropolitan melainkan terdiri atas beberapa pusat pemerintahan lokal dan regional yang tersebar. Kelima, pembangunan harus didefinisikan secara kultural daripada secara ekonomi
atau
politik,
menurut
Servaes
kebudayaan
merupakan
arena
perjuangan dari upaya pemberdayaan. Selanjutnya, Melkote dan Steves (2001) juga menyebutkan bahwa pemberdayaan adalah
konsep
inti dari
dari
pengorganisasian.
Mereka
menganggap ketidaksamaan kekuasaan merupakan masalah utama dari masalah pembangunan. Menurut mereka pemberdayaan adalah suatu proses dimana individu atau organisasi memperoleh kontrol dan menguasainya melalui suatu kondisi sosial ekonomi, melalui partisipasi demokrasi dalam komunitasnya dan melalui kisah mereka sendiri
9
Sementara
itu,
Payne
(1997)
diacu
dalam
Nasdian
(2003),
mengemukakan bahwa suatu proses pemberdayaan (empowerment), pada intinya, ditujukan untuk : “to help clients gain power of decision and action over their own lives by reducing the effect of social or personal blocks to exercising existising power, by increasing capacity and self confidence to use power and by transferring power from the environment to clients.” Pemberdayaan adalah kegiatan yang ditujukan untuk membantu klien memperoleh daya (kuasa) untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya). Shardlow (1998) diacu dalam Adi IR (2003) menyatakan bahwa pemberdayaan adalah membahas bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka “such a definition of empowerment is centrally about people taking control of their own lives and having the power to shape their own future”. Pemberdayaan (empowerment) juga dapat didefinisikan sebagai “proses “ maupun sebagai hasil (DuBois & Miley 2005 diacu dalam Suharto 2006). Sebagai “proses” pemberdayaan adalah serangkaian aktivitas yang terorganisir dan ditujukan untuk
meningkatkan
kekuasaan,
kapasitas
atau
kemampuan
personal,
interpersonal atau politik sehingga individu, keluarga atau masyarakat mampu melakukan tindakan guna memperbaiki situasi-situasi yang mempengaruhi kehidupannya.
Sebagai
sebuah
hasil,
pemberdayaan
menunjuk
pada
tercapainya sebuah keadaan, yakni keberdayaan atau keberkuasaan. Definisi lain tentang pemberdayaan dikemukakan oleh Suharto (2005) yang berpendapat sebagai sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta
lembaga-lembaga yang mempengaruhi
kehidupannya. Sementara itu Ife (1995), menyatakan bahwa pemberdayaan memuat dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan disini diartikan bukan hanya menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit tetapi penguasaan klien atas pilihan personal untuk membuat keputusan gaya hidup, mendefinisikan kebutuhan, kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan, kemampuan menjangkau
dan
menggunakan
lembaga masyarakat, kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal, informal dan
kemasyarakatan
dan
kemampuan
memanfaatkan
dan
mengelola
10
mekanisme produksi, distribusi dan pertukaran barang serta jasa. Dengan demikian pemberdayaan diterjemahkan sebagai serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu yang mengalami masalah kemiskinan. Penelitian terkini mengenai komunikasi pembangunan menekankan bahwa pemberdayaan merepresentaikan harga diri, dan nilai identitas seseorang dan bentuk re-evaluasi kebudayaan lokal. Hal tersebut juga dapat dinyatakan sebagai institusi kebudayaan sehingga orang yang memiliki modal kebudayaan dihargai dan diakui. Ini juga penting dalam hal pergantian kebudayaan seseorang tidak
harus
mengganti
identitas
dirinya.
Konsep
pemberdayaan
yang
berkembang saat ini akan berbahaya jika tidak diorientasikan secara jelas kepada pelayanan masyarakat, pemberdayaan harus secara eksplisit diletakkan dalam kerangka kerja yang sesuai dengan paramater kemanusiaan dan kesamaan sosial (White 2004). Berangkat dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan adalah sebuah “proses menjadi”, bukan sebuah “proses instan”. Sebagai proses , pemberdayaan mempunyai tiga tahapan, yaitu : penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan (Wrihatnolo 2007). Tahap pertama adalah penyadaran. Pada tahap ini target yang hendak diberdayakan diberi “pencerahan” dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mempunyai “sesuatu”. Prinsip dasarnya adalah membuat target mengerti bahwa mereka perlu (membangun “demand) diberdayakan, dan proses pemberdayaan itu dimulai dari dalam diri mereka. Tahap kedua adalah pengkapasitasan atau “capacity building” atau sederhananya adalah memampukan (enabling). Proses pengkapasitasan dilakukan pada tiga aspek, yaitu (1) memampukan manusia, baik dalam konteks individu maupun kelompok; (2) memampukan organisasi, dapat dilakukan dalam bentuk restrukturisasi organisasi yang hendak menerima daya atau kapasitas tersebut; dan (3) memampukan sistem nilai (aturan main). Dalam cakupan organisasi, sistem nilai berkenaan dengan AD/ART, sistem dan prosedur dan peraturan. Pada tingkat yang lebih maju, sistem nilai terdiri pula atas budaya organisasi dan etika organisasi. Pengkapasitasan sistem nilai dilakukan dengan membantu target dan membuatkan “aturan main” diantara mereka sendiri. Tahap ketiga adalah pemberian daya itu sendiri. Pada tahap ini, kepada target diberikan daya, kekuasaan, otoritas atau peluang.
11
Komunikasi Partisipatif dan Pemberdayaan Proses pemberdayaan (empowerment) sejatinya harus ditujukan untuk “membantu partisipan memperoleh daya (kuasa) untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.“ (Payne 1979 diacu dalam Nasdian 2003) Harus diakui bahwa selama ini, peran serta masyarakat hanya dilihat dalam konteks yang sempit, artinya manusia cukup di pandang sebagai tenaga kasar untuk mengurangi biaya pembangunan. Dengan kondisi ini, partisipasi masyarakat “terbatas” pada implementasi atau penerapan program; masyarakat tidak dikembangkan dayanya menjadi kreatif dari dalam dirinya dan harus menerima keputusan yang sudah diambil “pihak luar”. Akhirnya, partisipasi menjadi bentuk yang pasif dan tidak memiliki “kesadaran kritis” (Nasdian 2003). Terhadap pengertian partisipasi di atas, terjadi tindakan korektif yang disejajarkan dengan upaya mencari definisi masyarakat yang lebih genuine, aktif dan kritis. Konsep yang baru tersebut menumbuhkan daya kreatif dalam dirinya sendiri sehingga menghasilkan pengertian partisipasi yang aktif dan kreatif atau seperti yang dikemukakan oleh Paul (1987) diacu dalam Nasdian (2003) sebagai berikut : “……participation refers to an active process whereby beneficaries influence the direction and excution of development projects rather than merely receive a share of project benefits. “ Pengertian di atas melihat keterlibatan masyarakat mulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil dan evaluasi. Partisipasi mendukung masyarakat untuk mulai “sadar” akan situasi dan masalah yang dihadapinya serta berupaya mencari jalan keluar yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah mereka (memiliki kesadaran kritis). Partisipasi telah menjadi kata kunci untuk suatu perubahan dan menjadi koreksi total terhadap berbagai sistem interaksi (komunikasi) termasuk antara pemerintah dan rakyatnya. (Dwivedi 2003). Komunikasi partisipatif dengan demikian mesti dilandasi oleh suatu pandangan bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki pengalaman yang cukup kaya untuk bisa diolah menjadi bahan pembelajaran. Pendidikan masyarakat yang partisipatif, tentu bukan sekedar teknik melainkan suatu
12
pendekatan atau bahkan paradigma baru yang meninggalkan paradigma lama yang bersifat sistem bank. Kemampuan masyarakat untuk mewujudkan dan mempengaruhi arah serta pelaksanaan suatu program ditentukan dengan mengandalkan power yang dimilikinya sehingga pemberdayaan (empowerment) merupakan tema sentral atau jiwa partisipasi yang sifatnya aktif dan kreatif. “…..participation is concerned with the distribution of power in society, for it is power which enables groups to determine which needs, and whose needs will be met through the distribution of resources” (Curtis et al. 1978 diacu dalam Nasdian 2003). Selanjutnya Rahim (2007), mengajukan empat konsep terkait komunikasi partisipatif yang akan mendorong terbangunnya pemberdayaan (empowerment) yaitu heteroglasia, dialogis, poliponi dan karnaval. Pertama, Heteroglasia; Konsep ini menunjukan fakta bahwa sistem pembangunan selalu dilandasi oleh berbagai kelompok dan komunitas yang berbeda-beda dengan berbagai variasi ekonomi, sosial, dan faktor budaya yang saling mengisi satu sama lain. Perbedaan berikutnya adalah pada level aktivitas pembangunan baik di tingkat nasional-lokal, makro-mikro, publik-privat, teknisideologis dan informasional-emosional. Terkait dengan berbagai perbedaan tersebut terdapat berbagai macam perbedaan bahasa dan pesan atau komunikasi yang melibatkan berbagai peserta yang berbeda. Sebagai contoh, dalam level nasional pembangunan ekonomi dan politik akan
menggunakan
bahasa yang berbeda dalam mengkomunikasikannya kepada orang lain karena mereka melihat pembangunan dari perspektif yang berbeda. Sementara itu, petani subsisten di level pedesaan juga akan menggunakan kosakata yang berbeda dengan mereka yang bekerja di sektor industri meskipun mereka memiliki bahasa nasional yang sama. Mereka mungkin membicarakan permasalahan yang sama, tapi mereka bisa saja tidak mengerti satu dengan yang lainnya. Tantangan memanfaatkan
bagi
kekuatan
komunikasi heteroglasia,
pembangunan bagaimana
adalah
bagaimana
menempatkan
konsep
tersebut untuk kepentingan publik, bagaimana menghubungkan ideologi-ideologi dan
kelompok
yang
berbeda-beda
atau
variasi
pandangan
tentang
pembangunan tanpa menekan satu pandangan atas pandangan yang lain. Inilah yang menjadi problem dari partisipasi.
13
Kedua, Dialog adalah komunikasi transaksional dimana pengirim (sender) dan penerima (receiver) pesan saling berinteraksi dalam suatu periode waktu tertentu hingga sampai pada makna-makna yang saling berbagi. Dalam dialog yang diperluas, masing-masing peserta juga melakukan dialog dengan dirinya sendiri sebelum berbicara atau merespon peserta yang lain. Peserta dalam dialog tidak memiliki kedaulatan ego, dia mesti membangun suatu kesadaran diri (sosial). Kesadaran dirinya tergantung pada seberapa aktif kesadaran sosial yang lain juga dimunculkan. Ketika peserta berbicara kepada yang lain pesan mereka secara umum terhubung dan tergantung pada pesan yang disampaikan oleh pembicara lain pada waktu dan tempat yang berbeda. Dialog internal merupakan aspek penting dalam proses dialog. Ini mirip seperti meditasi. Subjek meditasi menumbuhkan perhatian pada dunia sekitar dan subjek lain yang ada dalam dunia. Dia secara diam berbicara dengan mereka, berargumentasi dengan mereka, mencoba untuk mengerti posisi mereka, dan dalam proses tersebut menguji secara kritis ideologi mereka sendiri. Meskipun demikian hanya sedikit orang yang dapat melakukan meditasi seperti ini. Bagi sebagian orang lain, hal ini harus dipelajari dan itu dapat dipraktekkan apabila situasi komunikasi di desain untuk menstimulai proses tersebut. Salah satu jalan untuk mendorong meditasi tersebut dalam komunikasi pembangunan adalah dengan menstrukturkan situasi-situasi komunikasi untuk meditasi tertentu dan untuk mengkonstruksi suatu pesan yang dapat menstimulasi suatu dialogi internal. Esensi dari dialog adalah mengenal dan menghormati pembicara lain, atau suara lain, sebagai subjek yang otonom, tidak lagi hanya sebagai objek komunikasi. Dalam dialog setiap orang memiliki hak yang sama untuk bicara atau untuk didengar, dan mengharap bahwa suaranya tidak akan ditekan oleh orang lain atau disatukan dengan suara orang lain. Ketiga, Poliponi adalah bentuk tertinggi dari suatu dialog dimana suarasuara yang tidak menyatu atau terpisah dan meningkat menjadi terbuka, memperjelas satu sama lain, dan tidak menutupi satu sama lain. Itu adalah suatu bentuk ideal dari komunikasi partisipatif dimana keberbedaan suara-suara disadari secara kolektif dengan menghubungkan berbagai perlakuan konstruksi umum komunitas. Kesatuan poliponi bukan sesuatu yang diperkenalkan dari luar tetapi terbangun dari suatu proses dialog sehingga otonomi suatu suara selalu
14
diartikulasikan dengan yang lain, mendirikan ikatan saling ketergantungan yang saling menguatkan. Keempat, Karnaval ; Konsep ini bagi komunikasi pembangunan membawa semua varian dari semua ritual seperti
legenda, komik, festival,
permainan, parodi, dan hiburan secara bersama-sama. Proses ini dilakukan dengan tidak formal dan biasa juga diselingi oleh humor dan canda tawa. Anggota komunitas didorong berpartisipasi dalam karnaval secara bebas. Karnaval tidak memiliki sanksi resmi. Ini merupakan lawan dari sesuatu yang serius dan otoritatif dari Negara, agama, politik, dan doktrin-doktrin ekonomi. Karnaval dan pembangunan bermain secara berdampingan, masing-masing saling mengartikulasikan dan mengisi. Orang-orang hidup dengan karnaval sebelum dan selama mereka hidup dengan pembangunan. Bahasa dan gaya dari komunikasi karnaval selalu berdasarkan pengalaman khalayak yang tidak dimediasi,
menggunakan
kosakata
yang
umum,
fantastik
dan
berbau
pengalaman dari mereka. Habermas dan Ruang Publik Menurut Habermas, masyarakat memiliki tiga jenis kepentingan yang masing-masing memiliki pendekatan dan rasionya masing-masing. Kepentingan pertama adalah teknis, adalah kepentingan untuk menyediakan sumberdaya natural. Kepentingan yang kedua adalah interaksi. karena kerjasama sosial amat dibutuhkan untuk bertahan hidup, Habermas menamakannya kepentingan “praktis”.
Ia
mencakup
kebutuhan-kebutuhan
manusia
untuk
saling
berkomunikasi beserta praktek-prakteknya. Kepentingan yang ketiga adalah kekuasaan. Tatanan sosial, secara
alamiah cenderung pada
distribusi
kekuasaan, namun pada saat yang sama juga memiliki kepentingan untuk membebaskan diri dari dominasi. Kekuasaan mengarah pada distorsi terhadap komunikasi, namun dengan menjadi sadar akan adanya ideologi-ideologi yang dominan di masyarakat, suatu kelompok kemudian dapat memberdayakan dirinya untuk mengubah keadaan. Maka, kepentingan kekuasaan adalah kepentingan yang “emansipatoris”. Masyarakat Pertentangan
antar
selalu
mengandung
ketiga
kepentingan-kepentingan
jenis
yang
kepentingan
ada,
hanya
ini. dapat
diselesaikan tanpa dominasi salah satu kepentingan di atas yang lain, melalui perdebatan yang rasional. Di sinilah Habermas memperkenalkan konsep ruang publik. Baginya, ruang publik adalah wahana di mana setiap kepentingan
15
terungkap secara gamblang, setiap warga masyarakat memiliki akses yang sama untuk
berpartisipasi,
kemudian
mereka
terdorong
untuk
mendahulukan
kepentingan bersama dan mencapai konsensus mengenai arah masyarakat tersebut ke depan dan menemukan solusi bersama dalam memecahkan maasalah-masalah yang mereka hadapi. Ruang Publik hanya dapat mencapai fungsinya ketika telah tercipta situasi berbicara yang ideal. Situasi yang ideal ini, adalah keadaan di mana klaim-klaim yang diperdebatkan dapat dibicarakan dan diargumentasikan secara rasional. Dalam situasi ideal ini, kebenaran muncul lewat argumentasi. Ruang Publik ini juga merupakan jembatan interaksi antara penguasa dan masyarakat. Kekuasaan, mencapai legitimasi dan pengakuan masyarakat, serta memahami arah yang diinginkan masyarakat melalui dialog dalam ruang publik. Sementara masyarakat dapat menyuarakan kepentingannya agar dapat diakomodir oleh penguasa. Hanya melalui ruang publik inilah, dapat terwujud masyarakat yang dewasa dan bebas dari penindasan-penindasan dan menanggulangi krisis yang mereka hadapi (Hardiman 1993). Peran-Peran Fasilitator dalam Pemberdayaan Prinsip dasar
dari kegiatan pendampingan adalah egaliter
kesederajatan kedudukan.
atau
Dengan demikian hubungan yang terjalin antara
fasilitator dan komunitas (masyarakat) adalah berupa kemitraan (partnership). Artinya adalah duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Pendampingan komunitas adalah proses saling hubungan dalam bentuk ikatan pertemanan atau perkawanan antara fasilitator dengan komunitas, melalui dialog kritis dan pendidikan berkelanjutan, dalam rangka menggali dan mengelola sumber daya, memecahkan persoalan kehidupan secara bersamasama serta mendorong tumbuhnya keberanian komunitas untuk mengungkapkan realitas
yang
Pendampingan
meminggirkan dan melakukan komunitas
pedesaan
juga
aksi
untuk merombaknya.
diartikan
sebagai
proses
pembangunan organisasi dan peningkatan kemampuan dalam menangani berbagai persoalan dasar yang mereka hadapi untuk mengarah kepada perubahan kondisi hidup yang semakin baik. Ada
beberapa
peranan
yang
dilakukan
oleh
fasilitator
dalam
pemberdayaan masyarakat. Dalam suatu dimensi waktu tertentu, seorang fasilitator dapat berperan sebagai “enabler” atau “organizar” atau “educator”. Peranan ini bergerak dari satu ke lainya, sehingga ia memiliki peranan ganda.
16
Oleh karena itu, tampak jelas, peranan yang disandang oleh fasilitator lebih sebagai seorang yang “generalist”. (Nasdian 2003). Ife (1995), membagi menjadi empat kategori seorang fasilitator dalam pengembangan masyarakat sebagai berikut : 1. Peran Fasilitatif Dalam proses fasilitatif, peranan yang dapat dilakukan oleh fasilitator antara lain: (a) membantu anggota komunitas agar mereka berpartisipasi dalam program pengembangan masyarakat, dengan memberikan inspirasi, semangat, rangsangan, inisiatif, energi, dan motivasi sehingga mampu bertindak. Animator yang berhasil memiliki ciri-ciri : bersemangat, memiliki komitmen, memiliki integritas, mampu berkomunikasi dengan berbagai kalangan, mampu menganalisis dan mengambil langkah yang tepat, dan mudah bergaul dan terbuka; (b) mendengar dan memahami aspirasi anggota komunitas, bersikap netral, mampu mencari jalan keluar, dan mampu bernegosiasi (negosiator); (c) memberikan dukungan kepada orang-orang yang terlibat dalam struktur dan kegiatan komunitas ; (d) membantu anggota komunitas untuk mencari konsensus yang dapat diterima oleh semua pihak; (e) memberikan fasilitas kepada anggota komunitas; dan (f) memanfaatkan sumberdaya dan keahlian yang ada dalam komunitas. 2.
Peran Pendidik Tantangan untuk fasilitator adalah ‘mengajar’ dengan cara seterbuka mungkin sambil mananggapi agenda partisipan, daripada menguatkan struktur pengawasan dan dominasi dari agenda pemerintah, badan pembiayaan atau asosiasi profesional. Ini dapat menjadi suatu tantangan yang berarti, dan menekankan pentingnya diskusi analisa struktural yang lebih luas.
Banyak dari ketrampilan dasar yang berasosiasi dengan
pendidikan, seperti dengan kelompok dan interaksi interpersonal. Mereka memasukkan dan
memberikan suatu gagasan dengan menggunakan
bahasa rakyat yang jelas untuk dipahami, dapat mendengar dan menanggapi pertanyaan orang lain dan merasakannya. Peran pendidikan dari fasilitator adalah
menerbitkan
kesadaran,
menginformasikan,
menghadapkan
(mengkonfrontasi), dan memberikan pelatihan kepada partisipan. Dalam konteks ini seorang fasilitator
mesti mampu menjawab
bagaimana dia menumbuhkan kesadaran (conciousness), menyampaikan informasi, menciptakan dinamika internal dari suatu komunitas, dan
17
memberikan pelatihan berdasarkan topik yang sesuai dengan kebutuhan anggota komunitas. Fasilitator dituntut berperan aktif dalam proses pendidikan guna merangsang dan mendukung kegiatan-kegiatan komunitas. Kegiatan itu tidak saja membantu, namun lebih-lebih harus punya input dan arahan-arahan positif dari hasil pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai oleh fasilitator. Pendidikan dalam artian ini adalah upaya berbagi pengetahuan dalam membangun suatu kesadaran bersama dalam memahami kenyataan seharihari. 3.
Peneliti Fasilitator juga mempunyai kepentingan untuk melakukan penelitian , guna mengumpulkan dan menginterpretasikan data baru yang terkait, sehingga dapat memperkaya wawasan dan memberikan sumbangan bagi pengembangan model pemberdayaan sejenis di masa mendatang. Pekerja masyarakat (fasilitator) tidak terelakkan terlibat di dalam proses-proses riset, dengan menggunakan bermacam metodologi riset ilmu sosial untuk mengumpulkan data yang relevan, meneliti dan menyajikan data. Hal ini termasuk dalam hal merancang dan melaksanakan survai sosial, meneliti data
dari
survei-survei,
menggunakan
dan
meneliti
data
sensus,
mengumpulkan dan meneliti data tentang permintaan dan pemanfaatan berbagai jasa. Ini adalah satu bidang di mana pengetahuan teknis seperti sampling, membangun daftar pertanyaan/kuisioner dan analisis statistik diperlukan jika pekerjaan sosial ingin berjalan dengan baik. 4.
Peran Teknikal Dalam proses pemberdayaan masyarakat perlu melibatkan keahlian dan teknik-teknik yang khas, terutama untuk melakukan “need assesment”. Peran teknik
yang
akan dilakukan oleh seorang fasilitator dalam
pemberdayaan dapat terlaksana jika yang bersangkutan memiliki kualifikasi teknis untuk membantu masyarakat melakukan hal-hal teknis yang berkaitan dengan pembangunan prasarana desa. Untuk maksud tersebut,seorang fasilitator teknik harus memiliki tiga macam keterampilan, yaitu : a. Keterampilan untuk memberdayakan masyarakat, termasuk peningkatan kapasitas teknis dan manajerial. Hal ini termasuk keterampilan untuk menerapkan prosedur dan metode yang mendorong peningkatan tingkat pemberdayaan masyarakat maupun kegiatan pengalihan ilmu sesuai dengan uraian tugas.
18
b. Keterampilan teknis, termasuk keterampilan dalam bidang teknis sipil yang umum maupun keterampilan dalam pembangunan jenis prasarana yang dibutuhkan oleh masyarakat. c. Keterampilan untuk menilai dan meningkatkan kemandirian teknis. Kredibilitas Komunikator Dipandang dari komponen komunikan, komunikasi yang efektif akan terjadi jika komunikan mengalami internalisasi (internalization), identifikasi-diri (self identification) dan ketundukan (Kelman 1975 diacu dalam Hamidi 2007). Komunikan mengalami proses internalisasi, jika komunikan menerima pesan yang sesuai dengan sistem nilai yang di anut. Komunikan merasa memperoleh sesuatu
yang bermanfaat jika pesan yang disampaikan memiliki rasionalitas
yang dapat diterima. Internalisasi bisa terjadi jika komunikatornya memiliki credibility , karenanya komunikasi bisa efektif. Hamidi (2007) menyatakan, Identifikasi terjadi pada diri komunikan, jika komunikan merasa puas dengan meniru atau mengambil pikiran atau perilaku dari orang atau kelompok lain (komunikator) dan jika komunikatornya memiliki daya tarik (attractiveness). Ketaatan pada diri komunikan akan terjadi, jika komunikan
yakin
akan
mengalami
kepuasan,
mengalami
reaksi
yang
menyenangkan, memperoleh reward dan terhindar dari punishment dari komunikator jika menerima atau menggunakan isi pesannya. Ethos atau ethikos berasal dari Bahasa Yunani yang berarti adat, kebiasaan, praktek (Bagus L 1996). Sebagaimana digunakan Aristoteles istilah ini mencakup ide “Karakter” dan “Disposisi” (kecondongan). Kata ethos sering juga dipadankan dengan kata moralis (Cicero diacu dalam Bagus 1996). Baginya kata ini ekuivalen dengan kata ethikos sebagaimana diangkat oleh Aristoteles. Perilaku ethos menyangkut perbuatan dalam kerangka baik dan benar. Bila kebaikan dipandang sebagai kunci tingkah laku etis, teori etika yang dihasilkan ditandai kepenuhan nilai. Kebenaran menjadi satu aspek dari kepenuhan tersebut, yaitu seperangkat kewajiban kepada yang lain yang mesti dihormati dalam pencapain kebaikan. Teori yang demikian disebut Aksiologis (menekankan kiblatnya kepada tujuan akhir). Bila kebenaran dianggap sebagai kunci perilaku etis, etika menjadi berkiblat kepada ide kewajiban dan tugas, berkisar pada pernyataan tentang prinsip-prinsip perilaku, dan bukan pada penelusuran konsekuensi-konsekuensi.
Teori-teori
seperti
ini
disebut
(menekankan kewajiban) atau formalistis (menekankan prinsip).
deontologis
19
Kredibilitas diartikan sebagai suatu tingkat sampai sejauhmana sumber pesan dapat dipercaya oleh penerima. Tingkat kepercayaan ini penting karena pada kenyataannya orang terlebih dahulu akan memperhatikan siapa yang membawa pesan, sebelum ia mau menerima pesan yang dibawanya. Apabila kredibilitas
sumber
rendah,
maka
bagaimanapun
disampaikan, penerima tidak akan menerimanya. kredibilitas
baiknya
pesan
yang
Devito (1997) memahami
komunikator sebagai hal penting untuk menjadikan
orang lain
(komunikan) percaya atau tidak percaya terhadap apa yang disampaikan komunikator. Kredibilitas penting bagi politisi karena ini mempengaruhi suara pemilih. Kredibilitas penting dalam dunia pendidikan, karena ini mempengaruhi citra pendidik di depan kelas. Kredibilitas penting bagi fasilitator karena akan mempengaruhi
anggota
pemberdayaan.
Tidak
komunitas ada
untuk
menjalankan
situasi komunikasi
program-program
dimana kredibilitas
tidak
mempunyai pengaruh atau efek bagi komunikan. Lebih lanjut Devito (1997) mengidentifikasi tiga aspek kualitas utama dari kredibilitas. (1) Kompetensi, mengacu pada pengetahuan dan kepakaran yang menurut khalayak dimiliki oleh komunikator; (2) Karakter, mengacu pada i’tikad dan perhatian komunikator kepada khalayak dan (3) Karisma, mengacu pada kepribadian dan kedinamisan komunikator. Selanjutnya Aristoteles (1954) diacu dalam Hamidi (2007) menyatakan bahwa dimensi ethos seorang komunikator terdiri dari good sense, good moral character dan good will. Sementara itu, unsur-unsur kredibilitas dari seorang komunikator terdiri dari : trust, expertise, authority, performans, socio economics status, experiences dan style of influence (Verderber F. Rudolph 1990 diacu dalam Hamidi 2007). Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kredibilitas seorang fasilitator dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu : Kompetensi (meliputi keahlian, pengalaman, percaya diri dan penguasaan informasi); Karakter (meliputi objektifitas, minat dan trust); Status sosial dan ekonomi (meliputi kekuasaan, pendidikan dan ekonomi); dan Karismatik (meliputi keaktifan, tegas dan semangat). Tentang PNPM-Mandiri Perdesaan PNPM Mandiri pada hakekatnya adalah gerakan dan program nasional yang dituangkan dalam kerangka kebijakan yang menjadi acuan pelaksanaan berbagai
program
penanggulangan
kemiskinan
berbasis
pemberdayaan
20
masyarakat.
Pemberdayaan
masyarakat
bertujuan
menciptakan
atau
meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun berkelompok, untuk menyelesaikan berbagai persoalan pembangunan yang dihadapinya dengan baik dan benar. PNPM Mandiri membutuhkan harmonisasi kebijakan yang berbasis pemberdayaan masyarakat melalui perbaikan pemilihan sasaran (targetting) baik wilayah maupun masyarakat penerima manfaat, prinsip dasar, strategi, pendekatan, indikator, serta berbagai mekanisme dan prosedur yang diperlukan untuk mengefektifkan penanggulangan kemiskinan dan mempercepat tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat (Pedum PNPM Mandiri 2007/2008) Mulai tahun 2007 Pemerintah mencanangkan PNPM Mandiri yang terdiri dari PNPM Mandiri Perdesaan (PNPM MPd), PNPM Mandiri Perkotaan (PNPM MPk), serta PNPM Mandiri wilayah khusus dan desa tertinggal. PNPM MPd adalah program untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan secara terpadu dan
berkelanjutan. Pendekatan PNPM MPd merupakan pengembangan dari
pProgram Pengembangan Kecamatan (PPK), yang selama ini dinilai berhasil. Beberapa keberhasilan PPK adalah berupa penyediaan lapangan kerja dan pendapatan bagi kelompok rakyat miskin, efisiensi dan efektivitas kegiatan, serta berhasil menumbuhkan kebersamaan
dan partisipasi masyarakat (Pedum
PNPM Mandiri 2007/2008) Visi PNPM MPd adalah tercapainya kesejahteraan dan kemandirian masyarakat miskin perdesaan. Kesejahteraan berarti terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat. Kemandirian berarti mampu mengorganisir diri untuk memobilisasi sumber daya yang ada di lingkungannya, mampu mengakses sumber daya di luar lingkungannya, serta mengelola sumber daya tersebut untuk mengatasi masalah kemiskinan. Misi PNPM MPd adalah: (1) peningkatan kapasitas
masyarakat
dan
kelembagaannya;
(2)
pelembagaan
pembangunan partisipatif; (3) pengefektifan fungsi dan peran
sistem
pemerintahan
lokal; (4) peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi
masyarakat;
(5)
pengembangan
jaringan
kemitraan
dalam
pembangunan (Pedum PNPM Mandiri 2007/2008) Dalam rangka mencapai visi dan misi PNPM MPd, strategi yang dikembangkan PNPM MPd yaitu menjadikan rumah tangga miskin (RTM) sebagai kelompok sasaran, menguatkan sistem pembangunan partisipatif, serta mengembangkan kelembagaan kerja sama antar desa. Berdasarkan visi, misi,
21
dan strategi yang dikembangkan, maka PNPM MPd lebih menekankan pentingnya pemberdayaan sebagai pendekatan yang dipilih. Melalui PNPM MPd diharapkan masyarakat dapat menuntaskan tahapan pemberdayaan yaitu tercapainya kemandirian dan keberlanjutan, setelah tahapan pembelajaran dilakukan melalui PPK. Prinsip Dasar PNPM Md Sesuai dengan Pedoman Umum, PNPM MPd mempunyai prinsip atau nilai-nilai dasar yang selalu menjadi landasan atau acuan dalam setiap pengambilan keputusan maupun tindakan yang akan diambil dalam pelaksanaan rangkaian kegiatan PNPM MPd.
Nilai-nilai dasar tersebut diyakini mampu
mendorong terwujudnya tujuan PNPM MPd. Prinsip-prinsip itu meliputi: a. Bertumpu pada pembangunan manusia. Artinya bahwa
masyarakat
hendaknya memilih kegiatan yang berdampak langsung terhadap upaya pembangunan manusia daripada pembangunan fisik semata b. Otonomi. Maksudnya adalah masyarakat
memiliki hak dan kewenangan
mengatur diri secara mandiri dan bertanggung jawab, tanpa intervensi negatif dari luar c. Desentralisasi. Pengertiannya adalah memberikan ruang yang lebih luas kepada masyarakat untuk mengelola kegiatan pembangunan sektoral dan kewilayahan yang bersumber dari pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kapasitas masyarakat d. Berorientasi pada masyarakat miskin. Artinya bahwa segala keputusan yang diambil harus berpihak kepada masyarakat miskin e. Partisipasi. Pengertian prinsip partisipasi adalah masyarakat berperan secara aktif dalam proses atau alur tahapan program dan pengawasannya, mulai dari tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian kegiatan dengan memberikan sumbangan tenaga, pikiran, atau dalam bentuk materill f.
Kesetaraan dan keadilan gender.
Pengertiannya adalah masyarakat baik
laki-laki dan perempuan mempunyai kesetaraan dalam perannya di setiap tahapan
program
dan
dalam
menikmati
manfaat
kegiatan
pembangunan,kesetaraan juga dalam pengertian kesejajaran kedudukan pada saat situasi konflik g. Demokratis. Maksud demokratis adalah masyarakat mengambil keputusan pembangunan secara musyarawah dan mufakat
22
h. Transparansi dan Akuntabel, dimana masyarakat memiliki akses terhadap segala informasi dan proses pengambilan keputusan sehingga pengelolaan kegiatan
dapat
dilaksanakan
secara
terbuka
dan
dapat
dipertanggungjawabkan baik secara moral, teknis, maupun administratif i.
Prioritas. Artinya bahwa masyarakat memilih kegiatan yang diutamakan dengan
mempertimbangkan
kemendesakan
dan
kemanfaatan
untuk
pengentasan kemiskinan. j.
Keberlanjutan. Maksudnya adalah dalam setiap pengambilan keputusan atau tindakan pembangunan, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pemeliharaan kegiatan harus telah mempertimbangkan sistem pelestariannya.
Pelaku PNPM Mandiri Perdesaan Pelaku PNPM MPd sebagaimana tertuang dalam Petunjuk Teknis Operasional (PTO) PNPM MPd tahun 2009 adalah sebagai berikut : 1. Pelaku di Perdesaan Pelaku di desa adalah pelaku-pelaku yang berkedudukan dan berperan dalam pelaksanaan PNPM MPd di desa. Pelaku di desa meliputi: a. Kepala Desa, berperan sebagai pembina dan pengendali kelancaran serta keberhasilan pelaksanaan PNPM MPd di desa. Bersama BPD, kepala desa menyusun peraturan desa yang relevan dan mendukung terjadinya proses pelembagaan prinsip dan prosedur PNPM MPd sebagai pola pembangunan partisipatif, serta pengembangan dan pelestarian aset PNPM MPd yang telah ada. Kepala desa juga berperan mewakili desanya dalam pembentukan forum musyawarah/badan kerja sama antar desa. b. Badan Permusyawarahan Desa (BPD), berperan sebagai lembaga yang mengawasi proses dari setiap tahapan PNPM MPd, termasuk sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian di desa. Selain itu juga berperan dalam melegalisasi atau mengesahkan
peraturan desa yang berkaitan
dengan pelembagaan dan pelestarian PNPM MPd desa. BPD juga bertugas mewakili masyarakat bersama Kepala Desa dalam membuat persetujuan pembentukan badan kerja sama antar desa. c. Tim Pengelola Kegiatan (TPK), terdiri dari anggota masyarakat yang dipilih melalui musyawarah desa yang mempunyai fungsi dan peran untuk mengkoordinasikan
pelaksanaan
kegiatan
administrasi, serta keuangan PNPM MPd.
di
desa
dan
mengelola
23
d. Tim Penulis Usulan (TPU), berasal dari anggota masyarakat yang dipilih melalui Musdes. Peran TPU adalah menyiapkan dan menyusun gagasangagasan kegiatan yang telah ditetapkan dalam musyawarah desa dan musyawarah khusus perempuan, serta dokumen-dokumen yang diperlukan untuk musrenbang reguler, termasuk RPJM Desa dan RKPDes. Anggota TPU dipilih oleh masyarakat berdasarkan keahlian dan ketrampilan yang sesuai dengan jenis kegiatan yang diajukan masyarakat. e. Tim
Pemantau,
berperan
menjalankan fungsi
pemantauan
terhadap
pelaksanaan kegiatan yang ada di desa. Keanggotaannya berasal dari anggota masyarakat yang dipilih melalui Musdes. Hasil pemantauan kegiatan disampaikan saat Musdes dan MAD. f.
Tim Pemelihara, berperan menjalankan fungsi pemeliharaan terhadap hasil kegiatan yang ada di desa, termasuk perencanaan kegiatan dan pelaporan.
g. Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa/Kelurahan (KPMD/K). adalah warga desa terpilih yang memfasilitasi atau memandu masyarakat dalam mengikuti atau melaksanakan tahapan PNPM MPd di desa dan kelompok masyarakat pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun pemeliharaan. h. Kelompok Masyarakat (Pokmas), adalah kelompok masyarakat yang terlibat dan mendukung kegiatan PNPM MPd, baik kelompok sosial, kelompok ekonomi maupun kelompok perempuan. Termasuk sebagai kelompok masyarakat misalnya kelompok arisan, pengajian, kelompok ibu-ibu PKK, kelompok SPP, kelompok usaha ekonomi, kelompok pengelola air, kelompok pengelola pasar desa dan sebagainya. 2.
Pelaku di Kecamatan Pelaku-pelaku PNPM MPd di tingkat Kecamatan terdiri atas :
a. Camat (atas nama Bupati) berperan sebagai pembina pelaksanaan PNPM MPd kepada desa-desa di wilayah kecamatan. b. Penanggung jawab Operasional Kegiatan (PjOK) adalah seorang Kasi pemberdayaan masyarakat atau pejabat lain yang mempunyai tugas pokok sejenis di kecamatan yang ditetapkan berdasarkan SK Bupati dan bertanggung jawab atas
penyelenggaraan operasional kegiatan dan
keberhasilan seluruh kegiatan PNPM MPd di kecamatan. c. Tim Verifikasi (TV) adalah tim yang dibentuk dari anggota masyarakat yang memiliki pengalaman dan keahlian khusus, di bidang teknik prasarana, SPP, pendidikan, kesehatan atau pelatihan ketrampilan masyarakat sesuai usulan
24
kegiatan yang diajukan masyarakat dalam Musdes perencanaan. Perannya adalah melakukan pemeriksaan serta penilaian usulan kegiatan semua desa peserta PNPM MPd dan selanjutnya membuat rekomendasi kepada MAD sebagai dasar pertimbangan pengambilan keputusan. d. Unit Pengelola Kegiatan (UPK), berperan sebagai unit pengelola dan operasional pelaksanaan kegiatan antar desa. Pengurus UPK sekurangkurangnya terdiri dari ketua, sekretaris, dan bendahara. Pengurus UPK berasal dari anggota masyarakat yang diajukan oleh desa berdasarkan hasil Musdes dan selanjutnya dipilih dalam MAD. UPK mendapatkan penugasan BKAD untuk menjalankan tugas pengelolaan dana program dan tugas pengelolaan dana perguliran. e. Badan Pengawas UPK (BP-UPK), berperan dalam mengawasi pengelolaan kegiatan, administrasi, dan keuangan yang dilakukan oleh UPK. BP-UPK dibentuk melalui MAD, sekurang-kurangnya tiga orang terdiri dari ketua dan anggota. f.
Fasilitator Kecamatan (F-Kec) dan Fasilitator Teknik Kecamatan (FT-Kec) adalah pendamping masyarakat dalam mengikuti atau melaksanakan PNPM MPd. Perannya adalah
memfasilitasi masyarakat dalam setiap tahapan
program pada tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian. FK dan FT juga berperan dalam membimbing kader-kader desa atau pelakupelaku PNPM MPd di desa dan kecamatan. g. Pendamping Lokal (PL) adalah tenaga pendamping dari masyarakat yang membantu FK/FT untuk memfasilitasi masyarakat dalam melaksanakan tahapan dan kegiatan PNPM MPd pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian. Di setiap kecamatan akan ditempatkan minimal satu orang pendamping lokal. h. Tim Pengamat adalah anggota masyarakat yang dipilih untuk memantau dan mengamati jalannya proses MAD serta memberikan masukan dan saran agar MAD dapat berlangsung secara partisipatif. i.
Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD) adalah lembaga lintas desa yang dibentuk secara sukarela atas dasar kesepakatan dua atau beberapa desa di satu wilayah dalam satu kecamatan dan atau antar kecamatan dengan suatu maksud dan tujuan tertentu. BKAD dibentuk untuk melindungi dan melestarikan hasil-hasil program yang terdiri dari kelembagaan UPK, sarana-
25
prasarana, hasil kegiatan bidang pendidikan, bidang kesehatan dan perguliran dana. j.
Setrawan Kecamatan. Setrawan Kecamatan diutamakan dari pegawai negeri sipil di lingkungan kecamatan yang dibekali kemampuan khusus untuk dapat melaksanakan tugas akselerasi perubahan sikap mental di lingkungan pemerintah kecamatan dan perubahan tata pemerintahan serta mendampingi masyarakat, khususnya dalam manajemen pembangunan partisipatif. Dalam hal tertentu pegawai negeri sipil di lingkungan pemerintah daerah dapat ditugaskan di kecamatan sebagai setrawan kecamatan. Dalam kaitan dengan PNPM Mandiri Perdesaan, setrawan melibatkan diri dalam proses kegiatan pada perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian kegiatan.
3.
Pelaku di Kabupaten Di tingkat kabupaten pelaku PNPM MPd terdiri atas :
a.
Bupati, merupakan pembina tim koordinasi PNPM MPd, penanggung jawab operasional kegiatan (PjOK) serta bertanggung jawab atas pelaksanaan PNPM MPd kabupaten. Bersama DPRD, Bupati bertanggung jawab untuk melakukan kaji ulang terhadap peraturan daerah yang berkaitan dengan pengaturan desa sesuai komitmen awal.
b.
Tim Koordinasi PNPM-Mandiri Kabupaten (TK PNPM Kab) dibentuk oleh bupati
untuk
masyarakat,
melakukan pembinaan
pembinaan administrasi,
pengembangan dan
fasilitasi
peran
serta
pemberdayaan
masyarakat pada seluruh tahapan program PNPM MPd dan memberikan dukungan
koordinasi program antar instansi, pelayanan dan proses
administrasi di tingkat kabupaten. c.
Penanggung jawab Operasional Kabupaten (PjOKab), adalah seorang pejabat di lingkungan Badan Pemberdayaan Masyarakat atau pejabat lain yang mempunyai tugas pokok sejenis di Kabupaten yang berperan sebagai pelaksana harian TK PNPM Mandiri kabupaten.
d.
Fasilitator
Kabupaten
(F-Kab),
adalah
tenaga
profesional
yang
berkedudukan di tingkat kabupaten. Peran fasilitator kabupaten adalah sebagai supervisor atas pelaksanaan tahapan PNPM MPd di lapangan yang difasilitasi oleh FK dan memfasilitasi perencanaan koordinatif di tingkat kabupaten. F-Kab harus memastikan setiap tahapan pelaksanaan PNPM MPd dapat selesai dengan baik, tepat waktu dengan tetap mengacu pada prinsip dan prosedur PNPM MPd.
F-Kab
berperan dalam memberikan
26
bimbingan atau dukungan teknis kepada pelaku PNPM MPd di kecamatan dan desa. Dia juga berperan dalam mendorong munculnya forum lintas pelaku atau sejenisnya, sebagai media pembelajaran pemberdayaan masyarakat. Dalam menjalankan perannya fasilitator kabupaten harus melakukan koordinasi dengan dinas/instansi yang ada di kabupaten dan TK PNPM Mandiri kabupaten yang ada di wilayah kerjanya. e.
Fasilitator teknik kabupaten (FT-Kab) adalah tenaga konsultan teknik dan manajerial profesional yang berkedudukan di tingkat kabupaten dan berperan
sebagai
supervisor
atas
hasil
kualitas
teknik
kegiatan
pembangunan prasarana perdesaan pada perencanaan desain dan RAB, survei dan pengukuran, pelaksanaan, serta operasi dan pemeliharaan. FTKab harus memastikan pelaksanaan kegiatan prasarana selesai dengan kualitas baik, selesai tepat waktu, dan tetap mengacu pada prinsip dan prosedur PNPM MPd serta sesuai kaidah atau standar teknik prasarana. Dia juga berperan dalam memberikan bimbingan atau dukungan tentang kaidah dan standar teknis prasarana Perdesaan kepada pelaku PNPM MPd di kecamatan dan desa. f.
Pendamping
UPK,
adalah
konsultan
yang
bertugas
melakukan
pendampingan kepada UPK dan lembaga pendukung agar menjadi suatu lembaga yang handal dan akuntabel. Pendampingan yang diberikan termasuk aspek pengelolaan keuangan dan pinjaman, aspek penguatan kelembagaan, serta aspek pengembangan jaringan kerja sama, termasuk lembaga pendukung. Pendamping UPK lebih berfokus pada penguatan dan pengembangan UPK yang potensial, tetapi juga memberikan bantuan teknis dan rekomendasi dalam rangka penyehatan UPK yang dinilai kurang atau tidak potensial. g.
Setrawan Kabupaten adalah pegawai negeri sipil di lingkungan pemerintah daerah kabupaten
yang
dibekali
kemampuan
khusus
untuk
dapat
melaksanakan tugas akselerasi perubahan sikap mental di kalangan lingkungan
pemerintah
dan
perubahan
tata
kepemerintahan,
mengkoordinasi dan memfasilitasi setrawan kecamatan, serta mendampingi masyarakat, khususnya dalam manajemen pembangunan partisipatif.
27
4.
Pelaku Lainnya Selain pelaku PNPM MPd di desa, kecamatan dan kabupaten juga ada
pelaku PNPM MPd lainnya yang ada di tingkat provinsi dan nasional. Pelaku tersebut antara lain: a.
Gubernur sebagai pembina dan penanggung jawab pelaksanaan PNPM MPd di tingkat Provinsi
b.
TK PNPM Mandiri provinsi adalah tim yang dibentuk oleh gubernur yang berperan dalam melakukan pembinaan administrasi dan memberikan dukungan pelayanan dan proses administrasi di tingkat provinsi
c.
Penanggung jawab Operasional Provinsi (PjOProv), adalah seorang pejabat di lingkungan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa atau pejabat lain yang mempunyai tugas pokok sejenis di provinsi yang berperan sebagai Plh. TK PNPM Mandiri Provinsi. PjOProv ditetapkan dalam SK Gubernur
d.
Di tingkat provinsi disediakan beberapa tenaga ahli yang dipimpin oleh seorang Koordinator Manajemen Provinsi (KM-Prov),
e.
Di tingkat wilayah disediakan Konsultan Manajemen Wilayah yang dipimpin oleh Koordinator Wilayah (Korwil),
f.
Di tingkat nasional disediakan beberapa tenaga ahli yang dipimpin oleh seorang Ketua Tim Konsultan Manajemen Nasional (KT-KM Nas).
g.
Tim Pengendali PNPM Mandiri
berperan dalam
melakukan pembinaan
kepada Tim Koordinasi PNPM Mandiri di Provinsi dan Kabupaten yang meliputi pembinaan teknis dan administrasi. Dalam menjalankan tugasnya Tim Pengendali PNPM Mandiri Perdesaan didukung oleh Satuan Kerja PNPM Mandiri Perdesaan. Ruang lingkup program meliputi pembangunan infrastruktur transportasi perdesaan untuk mendukung peningkatan aksesibilitas masyarakat desa, yaitu: jalan, jembatan perdesaan, titian dan tambatan perahu; pembangunan infrastruktur yang mendukung produksi pertanian, yaitu: irigasi perdesaan; pembangunan infrastruktur yang
mendukung pemenuhan kebutuhan dasar
masyarakat, meliputi: penyediaan air minum, dan sanitasi perdesaan. Program ini dilaksanakan oleh masyarakat desa sasaran secara swakelola melalui organisasi masyarakat setempat sebagai pengelola kegiatan. Penetapan jenis infrastruktur,
perencanaan
dan
operasi
pemeliharaanya
dilaksanakan
berdasarkan keputusan dalam Musdes. Selama pelaksanaan di tingkat desa dilakukan pendampingan oleh fasilitator (konsultan).
28
PNPM
MPd
bertujuan
mempercepat
penanggulangan
kemiskinan
berdasarkan pengembangan kemandirian masyarakat melalui peningkatan kapasitas masyarakat, pemerintahan lokal, serta penyediaan prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi. Sedangkan tujuan khususnya meliputi: 1. Meningkatkan peran serta masyarakat terutama kelompok miskin dan perempuan dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pelestarian pembangunan; 2. Melembagakan
pengelolaan
pembangunan
partisipatif
dengan
mendayagunakan sumberdaya lokal; 3. Mengembangkan
kapasitas
pemerintahan
lokal
dalam
memfasilitasi
pengelolaan pembangunan perdesaan yang berkelanjutan; 4. Menyediakan prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi yang diprioritaskan oleh masyarakat; 5. Melembagakan pengelolaan keuangan mikro dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin. Kerangka Pemikiran Sebagaimana
tradisi
pada
penelitian
kualitatif,
peneliti
akan
mengembangkan kerangka pemikiran bersamaan dengan pengumpulan dan analisis data di lapangan. Peneliti juga akan membekali diri dengan literatur yang relevan, baik dari buku, jurnal dan hasil-hasil penelitian di bidang ilmu komunikasi pembangunan maupun dari disiplin ilmu lain yang terkait dengan topik penelitian ini. Peneliti menilai keberhasilan sebuah program pemberdayaan sangat ditentukan oleh proses komunikasi yang berlangsung secara partisipatif. Komunikasi yang partisipatif memungkinkan masyarakat memiliki rasa tanggung jawab untuk keberlanjutan memberdayakan diri dan masyarakatnya serta dapat menggali potensi dan kreativitas masyarakat (Suparjan et al 2003). Servaes (1999) juga menyatakan bahwa inisiatif pembangunan untuk pemberdayaan masyarakat harus diawali dari komunitas dan organisasi pada level akar rumput. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya (Payne 1979 diacu dalam Nasdian 2003). Di tahap awal kajian ini, peneliti akan menggunakan konsepnya Rahim (2007) untuk menganalisis fenomena komunikasi dengan fokus komunikasi
29
partisipatif yaitu konsep tentang heteroglasia, dialogis, poliponi dan karnaval. Akan tetapi setelah proses pengumpulan data di lapangan berjalan dan proses analisis mulai dilakukan, berkembang juga isu tentang akses yang muncul di tengah fenomena aktivitas komunikasi pada Impelementasi PNPM MPd di lokasi penelitian. Peneliti menilai konsep tentang ”akses” ini sangat relevan dan penting untuk dijadikan sebagai alat analisis komunikasi partisipatif ”berikutnya” untuk mempertajam kajian. Sementara itu isu tentang poliponi dan karnaval, di lokasi penelitian justru kurang begitu muncul. Oleh karenanya sebagai alat analisis untuk mengkaji topik ini peneliti menggunakan konsep heteroglasia, dialog dan akses. Konsep tentang dialog selain merujuk pada pendapatnya Rahim (2007), peneliti juga menggunakan gagasannya Paulo Freire untuk mempertajam analisis kajian ini. Sementara analisis tentang akses, peneliti menggunakan pendapatnya Habermas tentang ruang publik. Berbagai event komunikasi yang berlangsung sebagaimana teramati oleh peneliti ternyata berkaitan dengan peran fasilitator dan kredibilitasnya dalam menjalankan kegiatan pendampingan di lapangan. Sehingga pencarían dan pembahasan tentang peran serta kredibilitas fasilitator menjadi relevan dan penting untuk memperkaya kajian ini. Secara detail kerangka pemikiran ini dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Penelitian : Analisis Komunikasi Partisipatif dalam Program Pemberdayaan Masyarakat (Kasus pada Implementasi PNPM Mandiri Perdesaan) Kebijakan dari Stake Holder PNPM MPd
Harapan dan Nilai Sosial dari Partisipan
Peran Fasilitator : 1. Teknik 2. Fasilitasi 3. Pendidik
Kredibilitas Fasilitator : 1. Kompetensi 2. Karakter 3. Karismatik 4. Adaftif
Komunikasi Partisipatif : 1. Heteroglasia 2. Dialog 3. Akses
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT