perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
TINJAUAN TENTANG PROBLEMATIK NORMATIF UNDANG UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SERTA URGENSI KEBERADAAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK ) DI DAERAH
Penulisan Hukum ( Skripsi ) Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh: Aditya Eka Dera P NIM.E0007063
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum ( Skripsi )
TINJAUAN TENTANG PROBLEMATIK NORMATIF UNDANG UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SERTA URGENSI KEBERADAAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK ) DI DAERAH
Oleh Aditya Eka Dera P NIM. E0007063
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum ( Skripsi ) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta,
Juli 2011
Dosen Pembimbing Pembimbing 1
Pembimbing II
KRISTIYADI, S.H.,M.Hum MUHAMMAD RUSTAMAJI, S.H.,M.H 19581225 198601 1 001 19821008 200501 1 001 commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum ( Skripsi ) TINJAUAN TENTANG PROBLEMATIK NORMATIF UNDANG UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SERTA URGENSI KEBERADAAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK ) DI DAERAH Oleh Aditya Eka Dera P NIM. E0007063 Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum ( skripsi ) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada: Hari
: Senin
Tanggal
:25 Juli 2011
DEWAN PENGUJI 1.Bambang Santoso,S.H., M.Hum Ketua
:
2.M. Rustamaji, S.H., M.H Sekretaris
:
3.Kristiyadi, S.H., M.Hum Anggota
:
Mengetahui Dekan,
Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H.,M.Hum commit to198503 user 2 001 NIP. 19570203
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama
: Aditya Eka Dera P
NIM
: E0007063
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum ( skripsi ) berjudul: TINJAUAN
TENTANG
PROBLEMATIK NORMATIF UNDANG -
UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGANSAKSI DAN
KORBAN
SERTA
URGENSI
KEBERADAAN
LEMBAGA
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK ) DI DAERAH adalah betul – betul karya sendiri. Hal – hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum ( skripsi ) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum ( skripsi ) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum ( skripsi ) ini.
Surakarta, Juli 2011 yang membuat pernyataan
Aditya Eka Dera P NIM. E0007063
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTTO
Kegagalan Dapat Dibagi Menjadi Dua Sebab, Yakni Orang Yang Berfikir Tapi Tindak Pernah Bertindak Dan Orang Yang Bertindak Tapi Tidak Pernah Berfikir ( Sebuah Perenungan ) Tak akan ada waktu dan tempat untuk merubah masa lalu Anda, tapi akan selalu ada waktu dan tempat dimana anda dapat mengubah masa depan anda ( Al Muhtaram )
Ketika ku Mohon Pada Allah Kekuatan, Allah Memberi ku Kesulitan Agar Aku Menjadi Kuat.
Ketika ku Mohon Pada Allah Kebijaksanaan, Allah Memberi Ku Masalah Untuk Ku Pecahkan.
Ketika ku Mohon Pada Allah Kesejahteraan, Allah Memberi Ku Akal Untuk Berpikir.
Ketika ku Mohon Pada Allah Keberanian, Allah Memberi Ku Kondisi Bahaya Untuk Ku Atasi.
Ketika ku Mohon Pada Allah Bantuan, Allah Memberi Ku Kesempatan. ……..Aku Tak Selalu Menerima Apa Yang Ku Pinta Tapi Aku Menerima Segala Yang Ku Butuhkan ...Doa Ku Terjawab Sudah… commit to user
v
( History Of A Prayer)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Dengan segala keikhlasan dan kerendahan hati…Sebuah karya yang sederhana ini penulis persembahkan kepada : ♥ Dzat yang Maha Agung, ﷲSWT, penguasa alam semesta & pemilik hidupku ♥ Keluargaku tercinta ( Ayahanda Bapak Marmono,S.Pd , Ibunda Larsi , S.E.,M.M dan adikku Andhika Della Permana Putra ) , Trimakasih atas cinta yang tak pernah padam, atas kepercayaan & harapan yang kalian ciptakan untukku ♥ Dik Pratiwi Damarjati, tengkyu dik..makasih atas doa dan dukungannya selama ini…. ♥ Sahabat-sahabatku ( Zuhri Saifudin, David, Tomy, Rian, Hadi, Hendy ) + sobat – sobat setia kos Rinjani ( Mas erik, Mas Jalu, dr.hery, dr.Zamroni ), seberapa lamapun aku hidup takkan pernah ada masa yang membosankan bersama kalian…Tengkyu buat semuanya… ♥Semua insan yang rindu dan terus mengusung tegaknya supremasi hukum di Indonesia serta selalu menjunjung tinggi nilai – nilai kebenaran dan keadilan…fiat jusiticia
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Aditya Eka Dera, E0007063. 2011. TINJAUAN TENTANG PROBLEMATIK NORMATIF UNDANG - UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGANSAKSI DAN KORBAN SERTA URGENSI KEBERADAAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK ) DI DAERAH. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui problematik normatif Undang Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta untuk mengetahui urgensi keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK ) di daerah kaitannya dalam mengatasi permasalahan perlindungan saksi dan korban di Indonesia. Penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif. Jenis bahan hukum mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan nonhukum. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan yaitu studi kepustakaan dan cyber media. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, Pertama, ada beberapa problematik normatif yang penulis cermati pada Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Kelemahan – kelemahan tersebut terdapat pada pasal demi pasal dalam undang – undang perlindungan saksi dan korban tersebut. Salah satu contoh kelemahan tersebut adalah definisi “saksi” pada Pasal 1 ayat (1) kurang memadai dan masih dibebani oleh konsep KUHAP sehingga menutup kemungkinan perlindungan terhadap whistleblower, selain itu adanya ketidakjelasan pemberian perlindungan kepada saksi, terkait dengan bentuk perlindungan yang diberikan oleh undang – undang perlindungan saksi tersebut. Kedua, Mengenai urgensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK ) di daerah dapat lihat dari politik hukum Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 maupun dari dokumentasi fakta empiris persebaran tindak pidana di seluruh wilayah NKRI. Tidak sedikitnya kasus yang kandas di tengah jalan oleh karena ketiadaan saksi, merupakan suatu realita kelemahan dari undang – undang perlindungan saksi dan korban yang hanya memprioritaskan kedudukan LPSK di daerah ibukota negara saja. Ketiadaan saksi tersebut disebabkan karena keengganan orang yang mengalami tindak pidana untuk menjadi saksi. Tidak adanya jaminan perlindungan hukum yang memadai, ditambah dengan munculnya intimidasi, kriminalitas atau tuntutan hukum atas kesaksian atau laporan yang diberikan merupakan alasan enggannya seseorang untuk menjadi saksi. Bertolak dari realita yang demikian, maka kehadiran LPSK di daerah sangat dibutuhkan. Kata kunci : Problematik normatif, saksi dan korban, LPSK commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Aditya Eka Dera. E0007063. 2011. A REVIEW ON NORMATIVE PROBLEMS OF ACT NUMBER 13 OF 2006 ABOUT WITNESS AND VICTIM PROTECTION AS WELL AS THE URGENCY OF WITNESS AND VICTIM PROTECTION AGENCY’S EXISTENCE IN LOCAL AREA. Faculty of Law of Sebelas Maret University. The objective of research is to find out the normative problems of Act Number 13 of 2006 about Witness and Victim Protection as well as the urgency of Witness and Victim Protection Agency’s (LPSK) existence in local area in the term of coping with the problem of witness and victim protection in Indonesia. This study belongs to an normative law research that is prescriptive in nature. The type of data used was secondary data. The secondary data source employed included primary, secondary and tertiary law materials. Technique of collecting data used was library study and cyber media. Considering the result of research and discussion, the following conclusion can be drawn. Firstly, there is normative problem the writer observes in the Act Number 13 of 2006 about Witness and Victim Protection. The weaknesses lie in article by article within the witness and victim protection act. One example of such the weaknesses is the inadequate definition of “witness” in the article 1 clause 1 that is still imposed by Law Procedure Code concept so that it is impossible to protect the whistleblower; in addition there is vagueness of protection conferring to the witness, relating to the protection given by the witness protection act. Secondly, the urgency of Witness and Victim Protection Agency’s existence in local area, it can be seen from the legal politics of Act Number 13 of 2006 and empirical fact documentation on the crime distribution throughout Indonesia. Many cases failing in the middle of road because of witness absence is one reality of weakness of witness and victim protection act that only prioritize the position of LPSK in the Capital only. The witness absence is because the reluctance of individual encountering crime to become the witness. The absence of adequate law protection guarantee, coupled with the intimidation emergence, criminality or lawsuits for the testimony or report given are the reasons for someone to be reluctant to become witness. Thus, the existence of LPSK in local area is very necessary.
Keywords: Normative Problem, witness and victim, LPSK
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh Segala puji dan syukur hanya milik Alloh SWT, Rabb semesta alam, Dzat Yang Maha Kuasa, Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat serta salam senantiasa terlantun kepada junjungan Baginda Rosullullah SAW, keluarga, dan sahabat – sahabatnya serta bagi mereka yang senantiasa istiqomah menjunjung risalahnya hingga yaumul qiyamah. Puji dan syukur Alhamdulillah atas segala cinta dan kasih, izin dan pertolongan Allah-lah akhirnya penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum ( Skripsi ) ini, dengan judul “ Tinjauan Tentang Problematik Normatif Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungansaksi dan Korban Serta Urgensi Keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK ) di Daerah”. Tentunya dalam penyelesaian Penulisan Hukum ini penulis banyak mendapatkan masukan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, pada kesempatan yang baik ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada : 1.
Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum UNS Surakarta.
2.
Bapak Tuhana, S.H.,M.Si selaku Pembimbing
Akademik penulis yang telah
memberikan bimbingan, motivasi dan arahan selama penulis belajar di kampus Fakultas Hukum UNS. 3.
Bapak Kristiyadi, S.H.,M.Hum dan Bapak Muhammad Rustamaji, S.H.,M.H selaku Pembimbing Skripsi I dan Pembimbing II yang telah memberikan segala ilmu dan dengan penuh kesabaran membimbing serta mengarahkan penulis dalam menyelesaikan Penulisan Hukum ( Skripsi ) ini dengan baik.
4. Seluruh Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah mencurahkan ilmunya pada penulis dengan penuh kesabaran. commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5. Ayah, Ibunda tercinta ( Bapak Marmono, S.Pd dan Ib. larsi ,S.E.,M.M) dan Adiku tersayang ( Andhika Della Permana Putra ). 6. Seluruh keluarga besar Mbah Surodikromo dan Mbah Sarno ( Mbah Kakung, Mbah Putri, Pakde, budhe Parni, budhe Tini, Om Joko) beserta segenap anggota keluarga masing yang telah memberikan dukungan moril dan spirituil kepada penulis dari sejak penulis dilahirkan sampai dengan sekarang. 7. Pratiwi Damarjati yang telah dengan sabar dan setia memberikan dukungan moril dan spirituil kepada penulis sejak peulisan hukum ini ditulis. 8. Sahabat – sahabat setiaku yang selalu setia menemani dan memberi dukungan ( Zuhri Saifudin, David, Tomy, Rian, Hadi, Hendy ) bersama kalian, keluh kesah dan resah menjadi semangat dan cita untuk meraih sukses. 9. Teman – teman seperjuang di Fakultas Hukum UNS angkatan 2007 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih banyak dukungan dan bantuannya selama ini kawan. 10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu penulis baik secar langsung maupun tidak langsung. Semoga Allah SWT membalasnya dengan sesuatu yang lebih baik. Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa masih banyak sekali kekurangan dari penulisan yang sederahana ini dan masih jauh dari sempurna. Saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan demi perbaikan dan kemajuan penulis di masa yang akan datang. Semoga Penulisan Hukum yang sederhana ini bermanfaat bagi penulis dan semua pembaca yang budiman. Wassalamu”alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh Surakarta, Juli 2011
Aditya Eka Dera P E 0007063
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL……………………………………………………………….......i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………………ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI………………………………….………….iii HALAMAN PERNYATAAN………………………………………………………...iv HALAMAN MOTTO………………………………………………………………… v HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………………………………vi ABSTRAK…………………………………………………………………………….vii KATA PENGANTAR………………………………………………………………....ix DAFTAR ISI…………………………………………………………………………..xi DAFTAR TABEL……………………………………………………………………..xiv DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………….xv DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………………xvi BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………....1 A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………......1 B. Perumusan Masalah…………………………………………………………4 C. Tujuan Penelitian……………………………………………………………5 D. Manfaat Penelitian…………………………………………………………..5 E. Metode Penelitian…………………………………………………………...6 F. Sistematika Penulisan Hukum……………………………………………...12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………...14 A. Kerangka Teori……………………………………………………………..14 1.Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Saksi dan Korban……………..14 to user a. Pengertian commit Perlindungan…………………………………….....14
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Pengertian Saksi………………………………………………..15 c. Keterangan Saksi ……………………………………………...17 d. Pengertian Korban……………………………………………...17 e. Hak-hak Saksi dan Korban…………………………….............18 f. Kompensasi dan Restitusi………………………………….......19 2.Tinjauan Umum Tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK )………………………………………………..19 a) Kelembagaan dan Kedudukan LPSK…………………………19 1) Kelembagaan LPSK……………………………………….19 2) Kedudukan LPSK……………………………………........20 b) Tanggung Jawab, Tugas dan Kewenangan LPSK…………….22 c) Syarat Pemberian Perlindungan dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban oleh LPSK………………23 d) Tata Cara Pemberian Perlindungan Saksi dan Korban oleh LPSK………………………………………..23 e) Tata Cara Pemberian Bantuan bagi Saksi dan Korban oleh LPSK………………………………………..25 f) Keputusan LPSK……………………………………………...26 g) Anggaran LPSK………………………………………….........27 B. Kerangka Pemikiran………………………………………………….........28 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………………………...30 A. Problema normatif pada Undang Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban………………………30 1. Peraturan Perundang – undangan yang terkait dengan perlindungan terhadap saksi dan korban di Indonesia…………………………………...32 a. Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika………..33 b. Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika………....36 c. Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup…………………………………….......37 commit5toTahun user 1999 Tentang d. Undang – Undang Nomor
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat………40 e. Undang – Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme……………………………………………………………….41 f. Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 ……………………………………………………………………..42 g. Undang
–
Undang
Nomor
36
Tahun
1999
Tentang
Telekomunikasi………………………………………………………….43 h. Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM…43 i. Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.45 j. Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme………………………………………………………………..46 k. Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Pengahapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga……………………………………….47 2. Ide Dasar Lahirnya Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Hal – Hal Pokok Dalam Perlindungan Saksi……………….……………………………………………………….62 3. Problema Normatif Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban……………………………………………66 B. Urgensi Keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK ) di Daerah……………………………………………………………76 BAB IV PENUTUP……………………………………………………………………81 A. Simpulan………………………………………………………………………..81 B. Saran……………………………………………………………………………82 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….84 LAMPIRAN
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kebijakan Perlindungan Saksi dan Korban………………………48 Tabel 2. Contoh kasus ancaman, intimidasi terhadap saksi ……………....77
commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skematik Kerangka Pemikiran……………………………………28 Gambar 2. Skematik Alur Pikir Penemuan Problema Normatif Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006………………………..32 Gambar 3. Skematik Alur urgensi keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK ) di daerah…………………………….76
commit to user
xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran : Undang –Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Saksi
commit to user
xvi
Perlindungan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam proses pemeriksaan perkara pidana, peranan saksi sangatlah penting. Peran penting saksi tersebut terdapat dalam seluruh tahapan proses penyelesaian perkara pidana, mulai tahap penyelidikan sampai pembuktian di muka sidang pengadilan. Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat tergantung
pada
alat bukti yang berhasil dimunculkan di pengadilan,
utamanya yang berkenaan dengan saksi (M .Rustamaji, 2004:1). Bahkan dalam praktek peranan saksi sering menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan suatu kasus (Muchamad Iksan,2009:107). Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) pada Pasal 184 ayat (1) menempatkan alat bukti keterangan saksi pada urutan pertama dari lima alat bukti yang sah. Ketentuan dalam pasal tersebut menyatakan, keterangan saksi di pengadilan menjadi salah satu alat bukti yang sah. Fakta bahwa seorang dapat menentukan kemana
saksi dianggap memiliki kemampuan arah putusan
yang
hakim, menyebabkan adanya
berbagai ancaman dan tekanan, baik sifatnya secara fisik maupun mental kepada seorang saksi, keluarga ataupun orang terdekat saksi. Ketakutan tersebut membuat para
saksi enggan untuk
memberikan kesaksiaannya di
muka sidang pengadilan, bahkan tidak jarang para saksi tersebut sama sekali tidak mengakui
bahwa ia mengetahui, melihat tentang tidak pidana yang
terjadi. Apalagi dalam kasus-kasus besar yang melibatkan para pejabat, anak pejabat, konglomerat, bos mafia dan lain-lain yang bukan tidak mungkin apabila tidak ada perlindungan terhadap saksi, maka keamanan saksi akan terancam dan aksi tutup mulut dari para saksi akan bermunculan (Muhadar, dkk,2010:7). Perlindungan terhadap saksi dalam kasus – kasus dalam perkara commit toserius user dikarenakan saksi dalam kasus pidana tetap menjadi suatu perhatian
1
2 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pidana adalah saksi yang sangat berguna mengingat keinginan pemerintah sekarang yang gencar – gencarnya memberantas tindak pidana. Suatu imbalan berupa ketenangan dalam memberikan kesaksian merupakan pilihan bagi seorang mendapat
saksi. Saksi dalam perkara pidana ini teror sehingga membuat
bukannya tidak mungkin
hatinya menjadi
ciut dan tidak mau
menjadi seorang saksi (Muhadar,dkk,2010:9). Perlindungan terhadap saksi pada saat ini memang sangat mendesak untuk dapat diwujudkan di setiap jenjang pemeriksaan pada kasus-kasus yang dianggap memerlukan perhatian khusus, penjagaan ekstra ketat. Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebenarnya telah mengatur mengenai perangkat dan dasar hukum perlindungan saksi, perangkat dan dasar hukum perlindungan saksi dalam KUHAP yaitu: 1.
Adanya kewajiban mengucapkan sumpah bagi saksi, kecuali untuk: a. anak yang umurnya belum cukup 15 tahun ( Pasal 171 butir (a)) b. orang sakit ingatan
atau sakit jiwa
meskipun kadang – kadang
ingatannya baik kembali ( Pasal 171 butir (b)) ; 2.
Dapat didengarkannya kesaksian saksi tanpa kehadiran terdakwa (Pasal 173);
3.
Dapat ditujukan juru bahasa bagi saksi yang tidak paham bahasa Indonesia (Pasal 177) dan;
4.
Dapat ditunjukan penterjemah bagi saksi bisu tuli serta tidak dapat menulis (Pasal 178). Mekanisme perlindungan saksi yang ada dalam KUHAP tersebut dalam
perkembangannya sangat tidak memadai dalam upaya mendukung proses penegakan hukum dan keadilan. Beberapa kasus yang mencuat masih menyisakan permasalahan di dalam masalah perlindungan terhadap saksi yang berkeinginan menjadi saksi namun belum jelas mengenai perlindungan terhadap dirinya. Salah satu kasus yang menjadi perhatian internasional adalah kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur, di mana para saksi tidak datang ke pengadilan untuk commit to berkenan user
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bersaksi dengan alasan keamanan. Setelah ada pendampingan dari Unit Kejahatan Khusus dan di bandara dipanggil dengan pengeras suara, akhirnya para saksi tersebut bersedia untuk dihadirkan di persidangan yang di gelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Contoh lain lagi adalah, dugaan kasus – kasus perkosaan terhadap etnik Cina di Jakarta pada Mei 1998 yang sampai kini tidak pernah terungkap, karena tiada satupun saksi korban yang mempunyai cukup keberanian dan ketegaran untuk melapor ( Muchamad Iksan,2009:115). Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merupakan undang undang yang pertama dilihat sebagai undang – undang hukum acara pokok yang dipakai sebagai panduan
dalam beracara pidana ternyata tidak
memberikan hasil yang memuaskan dalam mengatur masalah perlindungan saksi dan korban. Hal tersebut menyebabkan munculnya
gagasan untuk
membuat perangkat hukum khusus yang diharapkan mampu memberikan perlindungan saksi dan korban ketika memberikan kesaksian. Konsep perlindungan saksi dan korban di Indonesia sebenarnya telah tersebar diberbagai macam peraturan perundang – undangan. Peraturan perundang – undangan yang terkait dengan perlindungan saksi tersebut juga jelas dimuat tentang peran dari masing – masing instansi penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dalam hal perlindungan saksi, namun pelaksanaannya masih menjadi suatu tanda tanya, baik dalam hal kelembagaan maupun penerapannya. Setelah menjadi perdebatan selama bertahun-tahun, Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban akhirnya disahkan juga dalam rapat paripurna DPR pada tanggal 11 Agustus 2006, menjadi “Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban”. Di dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 terdapat ketentuan yang mengatur mengenai lembaga khusus yang menangani permasalahan perlindungan saksi dan korban. Lembaga tersebut dinamakan “Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)”. Munculnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang commit to user diharapkan akan mampu menjadi solusi terhadap permasalahan perlindungan
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
saksi dan korban di Indonesia dinilai masih menjadi tanda tanya dalam hal efektifitas peran dan fungsinya mengingat lembaga tersebut hanya berkedudukan di ibu kota negara dan memiliki perwakilan apabila diperlukan. Berdasarkan apa yang telah di uraikan di atas jelaslah bahwa seorang saksi membutuhkan perlindungan yang khusus demi menjaga keselamatan dirinya. Masalah – masalah yang muncul dalam Undang - Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta urgensi keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menjadi topik yang menarik untuk diteliti lebih mendalam untuk mendapatkan pembaharuan hukum dalam memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban. Melihat hal yang terurai di atas maka penulis tertarik untuk meneliti pemberian perlindungan hukum bagi saksi ini dalam penelitian dengan judul penelitian: “TINJAUAN TENTANG PROBLEMATIK NORMATIF UNDANG
UNDANG
NOMOR
13
TAHUN 2006
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN KEBERADAAN
LEMBAGA
TENTANG
SERTA URGENSI
PERLINDUNGAN
SAKSI
DAN
KORBAN ( LPSK ) DI DAERAH”
B. Perumusan Masalah Perumusan masalah dibuat dengan tujuan untuk memecahkan masalah pokok yang timbul secara jelas dan sistematis. Perumusan masalah dimaksudkan untuk lebih menegaskan masalah yang akan diteliti, sehingga dapat ditentukan suatu pemecahan masalah yang tepat dan mencapai tujuan atau sasaran yang dikehendaki. Perumusan
masalah juga dibuat untuk mempermudah langkah
penulis dalam menyusun bahan hukum. Adapun rumusan masalah dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut : commit to user
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1. Apakah yang
menjadi
problematik normatif pada Undang Undang
Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ? 2. Bagaimanakah urgensi keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di daerah ?
C. Tujuan Penelitian Setiap kegiatan penelitian apalagi penelitian ilmiah selalu memiliki tujuan-tujuan tertentu. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini penulis bagi dalam dua kelompok, yaitu sebagai berikut: 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui problematik normatif Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban. b. Untuk mengetahui urgensi keberadaan LPSK di daerah kaitannya dalam mengatasi permasalahan perlindungan saksi dan korban di Indonesia. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk memperluas dan memperdalam wawasan, pengetahuan dan kemampuan analitis penulis mengenai ilmu hukum khususnya hukum acara pidana dan terutama dalam masalah mengenai perlindungan saksi dan korban di Indonesia. b. Memberikan sumbangan dan masukan guna pengembangan ilmu hukum khususnya hukum acara pidana, terutama yang menyangkut mengenai perlindungan saksi dan korban di Indonesia. c. Untuk memenuhi tugas akhir sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian Nilai dari suatu penelitian dapat dilihat dari manfaat yang dapat diberikan. Adapun manfaat yang akan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
commit to user
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan pengetahuan ilmu hukum khususnya hukum acara pidana dan memberikan wacana dan konsep baru dalam kerangka upaya perlindungan hukum bagi saksi dan korban dalam perkara pidana. b. Hasil penelitian ini Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai teaching materials dalam mata kuliah hukum acara pidana ataupun mata kuliah yang lain yang membahas masalah perlindungan saksi dan korban. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan atau masukan bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai literatur bagi semua pihak yang tertarik dengan wacana tentang perlindungan saksi dan korban. E. Metode Penelitian Metodelogis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis berarti berdasarkan sistem, dan konsisten berarti tidak ada hal-hal yang bertentangan dengan kerangka tertentu. Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum, guna menjawab isu yang di hadapi (Peter Mahmud Marzuki,2006:35). Penelitian dapat dipercaya kebenarannya apabila disusun dengan menggunakan suatu metode yang tepat untuk memahami objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Oleh karena itu,
dalam suatu penelitian diperlukan suatu metode
tertentu. Adapun metode penelitian yang digunakan penulis adalah sebagai berikut :
commit to user
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1. Jenis Penelitian Penelitian hukum normatif atau doctrinal research dari pendapat Hutchinson yaitu “Reasearch wich provides a systematic exposition of rules governing a particular legal category, analyses the relathionship between rules,explain areas of difficulty and perhaps,predict future development” (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 32). Dalam bahasa Indonesia dapat diartikan penelitian yang mencakup paparan tentang aturan – aturan yang sistematis memuat peraturan resmi, menganalisis hubungan antar peraturan – peraturan, menjelaskan kesulitan – kesulitan, dan mungkin memprediksi perkembangan masa depan. Berdasarkan judul penelitian dan rumusan masalah, penelitian yang dilakukan termasuk dalam kategori penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian Hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian doktrinal yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder (Johny Ibrahim, 2006:44).
2. Sifat Penelitian Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai, keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar
prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu
dalam melaksanakan aturan hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2006:22). Penelitian ini
bersifat preskriptif,
yaitu dimaksudkan untuk
memberikan argumentasi atas hasil penelitian yang telah dilakukan. Argumentasi disini dilakukan untuk memberikan perspektif atau penelitian mengenai benar atau salah menurut
hukum terhadap fakta atau peristiwa
hukum dari hasil penelitian. commit to user
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3.
Pendekatan Penelitian Cara pendekatan (approach) yang digunakan dalam suatu penelitian
normatif akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan ilmu hukum empiris dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan dan analisis serta eksplanasi hukum tanpa mengubah karakter ilmu hukum sebagai ilmu normatif. Berbagai bahan hukum banyak yang memiliki sifat empiris seperti perbandingan hukum, sejarah hukum, dan kasus-kasus hukum yang telah diputus. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa ilmu hukum normatif dapat dan harus memanfaatkan berbagai temuan ilmu hukum lain, serta berinteraksi secara positif dengan ilmu-ilmu lain khususnya ilmu hukum empiris (Jhonny Ibrahim, 2006:300). Macam-macam pendekatan dalam penelitian hukum menurut Peter Mahmud Marzuki adalah pendekatan Undang-Undang ( statue approach ), pendekatan kasus ( case approach ), pendekatan historis ( historical approach ), pendekatan komparatif ( comparative approach ) dan pendekatan konseptual ( conceptual approach ) ( Peter Mahmud Marzuki, 2006:93 ). Pendekatan yang dipakai oleh penulis untuk melakukan penelitian hukum ini adalah dengan pendekatan perundang-undangan. Pendekatan perundang-undangan
dilakukan
guna
memperkaya
pertimbangan
–
pertimbangan hukum
yang tepat untuk menghadapi problem hukum yang
dihadapi (Jhonny Ibrahim, 2006:305).
4. Jenis dan Sumber Penelitian Hukum Sebagaimana dikemukakan oleh Peter Mahmud Marzuki dalam Bab II bukunya yang berjudul Penelitian Hukum, penelitian hukum tidak mengenal adanya data. Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya, diperlukan sumber – sumber penelitian. Sumber – sumber peneltian hukum dapat dibedakan menjadi sumber – sumber penelitian yang berupa bahan – bahan hukum primer dan bahan – bahan hukum sekunder ( Peter Mahmud Marzuki,2006:141). commit to user
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bahan – bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut : a. Bahan hukum primer Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang – undangan. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah: 1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana atau KUHP; 2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP; 3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; 4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika; 5) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; 6) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; 7) Undang – Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme; 8) Undang – Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi 9) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM; 10) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; 11) Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak; 12) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
10 digilib.uns.ac.id
13)Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM Berat; 14)Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; 15)Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Pengahapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga; 16)Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; dan 17)Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat. b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,rancangan undang – undang, hasil penelitian, atau pendapat para pakar hukum.sebagai bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku- buku hukum termasuk skripsi, tesis, disertasi hukum dan jurnal – jurnal hukum ( Peter Mahmud Marzuki,2006:155). Dalam peneltian ini, bahan hukum sekunder yang digunakan penulis adalah: 1) Hasil karya ilmiah yang relevan/terkait dalam penelitian ini ( Muhammad Rusatamaji. Studi Perbandingan Pengaturan Pemberian Perlindungan Hukum Bagi Saksi dalam Perlara Pidana antara Sistem Jaminan Hukum Acara Pidana di Indonesia dengan Sistem Hukum Anglo Saxon), ( Galuh Surya Rahutama, Analisis Yuridis Perlindungan Saksi dan Korban Melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK) Ditinjau Dari Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban ), ( Sapto Budoyo, S.H., Perlindungan Hukum Bagi Saksi dalam Proses Peradilan Pidana commit to user ) dan ( Eka Wahyu Keptiany, Studi Perbandingan Hukum
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Mengenai Perlindungan Saksi Berdasar Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dengan Undcp Model Witness Protection Bill 2000 ). c. Bahan Hukum Tersier atau penunjang, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, diantaranya : 1) Bahan dari internet yang relevan 2) Kamus Hukum.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumulan bahan hukum dalam suatu penelitian yang bersifat preskriptif adalah sesuatu yang penting karena digunakan untuk memperoleh bahan hukum, secara lengkap dan relevan. Dalam penelitian ini Penulis menggunakan teknik pengumpulan bahan hukum kepustakaan yaitu suatau teknik
pengumpulan bahan hukum
dengan cara
mengumpulkan, membaca, mempelajari dan mengutip dari bahan – bahan hukum yang meliputi peraturan perundang-undangan, dokumen, beberapa buku referensi, artikel-artikel dari beberapa jurnal, arsip, hasil penelitian ilmiah,
bahan-bahan
kepustakaan
lainnya
yang
relevan
dengan
permasalahan yang diteliti.
6. Teknik Analisa Bahan Hukum Menurut Philipus M.Hadjon sebagaimana dikutip oleh Peter Mahmud metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh aristoteles penggunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis mayor (pernyataan bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus). Dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Marzuki, 2006:47). Di dalam logika silogistik untuk penalaran hukum yang bersifat premis mayor adalah aturan hukum sedangkan premis minornya adalah fakta hukum. Sedangkan to user menurut Johnny Ibrahim,commit mengutip pendapat Bernand arief Shiharta,
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
logika deduktif merupakan suatu teknik untuk menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi khusus yang bersifat individual (Johnny Ibrahim, 2008:249). Teknik analisis yang digunakan oleh Penulis adalah secara deduktif, yaitu pengolahan bahan hukum dengan menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi (Jhonny Ibrahim, 2006:393). F. Sistematika Penulisan Hukum Untuk
memberi
gambaran
secara
menyeluruh
mengenai
sistematika penulisan hukum yang sesuai aturan yang baku dalam penulisan hukum, maka
penulis menggunakan sistematika penulisan
hukum ini terdiri atas empat bab yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untukmemudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian hukum. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini berisi tentang tinjauan umum tentang perlindungan saksi dan korban serta tinjauan umum tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban. BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini penulis akan membahas
dan menjawab
permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya yaitu Apa sajakah yang menjadi problematik normatif pada Undang Undang to userPerlindungan Saksi dan Korban Nomor 13 tahun commit 2006 tentang
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan urgensi keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di daerah. BAB IV : PENUTUP Dalam bab ini berisi tentang kesimpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi obyek penelitian dan saran-saran yang dapat penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait dengan bahasan penulisan hukum ini. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.Kerangka Teori
1.Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Saksi dan Korban a) Pengertian Perlindungan Pengertian perlindungan terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 1 butir 6 yang berbunyi “segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini”. Peraturan
perundang-undangan
yang
memberikan
pengertian
perlindungan terhadap saksi diantaranya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 23 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam perkara tindak pidana terorisme, yang memberikan pengertian perlindungan adalah “jaminan rasa aman yang diberikan oleh Negara kepada saksi, penyidik, penuntut umum, hakim dari kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam perkara tindak pidana terorisme”. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Pasal 1 butir 1 memberikan pengertian perlindungan khusus adalah “suatu bentuk perlindungan yang diberikan oleh Negara untuk memberikan jaminan rasa aman terhadap pelapor atau saksi dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya termasuk keluarganya”. Pengertian perlindungan juga terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban commit to user dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, menyatakan 14
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bahwa perlindungan adalah “suatu bentuk pelayaan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan”. b) Pengertian Saksi Dalam khasanah pengetahuan berbagai definisi atau
hukum
Indonesia, terdapat
pengertian dari saksi, baik itu dalam KUHAP,
peraturan perundang – undangan lainnya, maupun pendapat para pakar hukum. The Act defines a witness as someone who gives or agrees to give infor-mation or evidence or who participates or agrees to participate in a mat-ter relating to an investigation or the prosecution of an offence (Canada: Gregory Lacko: The Protection of witnesses, 2004:Volume 4 hlm:12) Kamus hukum memberikan pengertian saksi adalah orang yang mengetahui dengan jelas mengenai sesuatu karena melihat sendiri atau karena
pengetahuannya.
Dalam
memberikan
keterangan
dimuka
pengadilan, seorang saksi harus disumpah menurut agamanya agar apa yang diterangkan itu mempunyai kekuatan sebagai alat bukti;orang yang mengetahui dan menjamin suatu peristiwa itu adalah terang ( Simorangkir dkk,2000:151-152) KUHAP sebagai ketentuan pokok yang mengatur hukum acara pidana yang bersifat umum (lex Generalis) telah memberikan definisi atau pengertian saksi dalam Pasal 1 butir 6, yaitu “orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”. Pengertian saksi yang lebih luas dapat ditemukan dalam Peraturan to userTata Cara Perlindungan Terhadap Pemerintah Nomor 2 tahuncommit 2002 tentang
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Korban dan Saksi Pelanggaran HAM yang Berat sebagai Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang memberikan definisi saksi sebagai “orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan tentang perkara pelanggran hak asasi manusia yang berat yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan alami sendiri yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun (Pasal 1 butir 3)”. Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003, dalam Pasal 1 butir 3 memberikan pengertian saksi sebagai “orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana pencucian uang yang di dengar sendiri, lihat sendiri, dan di alami sendiri”. Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai produk hukum terbaru yang secara khusus mengatur tentang perlindungan saksi dan korban, memberikan pengertian saksi adalah “orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri (Pasal 1 Ayat (1))”. Syarat menjadi saksi : 1) Syarat Objektif Saksi : (a) Dewasa telah berumur 15 tahun atau sudah kawin; (b) Posisi berubah akalnya;dan (c) Tidak ada hubungan keluarga baik pertalian darah atau commit to user perkawinan dengan terdakwa.
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Syarat Subjektif Saksi : Mengetahui secara langsung terjadinya tindak pidana dengan melihat, mendengar, merasakan sendiri. 3) Syarat Formil Saksi harus disumpah menurut agamanya c) Keterangan Saksi Dalam proses beracara, alat bukti merupakan bagian terpenting dalam mencari atau menemukan suatu kebenaran materiil. Mengenaialat bukti yang sah tercantum didalam ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu antara lain : (1) Keterangan saksi (2) Keterangan ahli (3) Surat (4) Petunjuk (5) Keterangan terdakwa Keterangan saksi adalah apa yang saksi kemukakan di dalam sidang pengadilan, keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti
dalam
perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu, saksi tidak boleh memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana yang ia dengar dari orang lain ( M.Yahya Harahap,1985:265). d) Pengertian Korban Menurut Arief Gosita, korban
adalah mereka
yang
menderita
jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari
pemenuhan
kepentingan diri sendiri atau orang
bertentangan dengan
lain
yang
kepentingan dan hak asasi yang menderita
( G.Widiartana,2009:19). Pengertian korban ( victims ) menurut Muladi adalah orang – orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, commit to user termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
substansial terhadap hak – haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing – masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan ( Dikdik M. Arif Mansur dan Elisatris Gultom, 2007 : 47 ). Undang Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban memberikan pengertian korban
sebagai “seseorang yang
mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana (Pasal 1 butir 2 )”. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang tata cara pemberian perlindungan kepada saksi dan korban pelanggaran HAM berat menyatakan bahwa korban adalah “orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan dari pihak manapun”. e) Hak-hak Saksi dan Korban Dalam Pasal 5 ayat (1) UU ini disebutkan bahwa seorang saksi dan korban berhak: (1)
memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan;
(2)
ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
(3)
memberikan keterangan tanpa tekanan;
(4)
mendapat penerjemah;
(5)
bebas dari pertanyaan yang menjerat;
(6)
mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
(7)
mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
(8)
mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
(9)
mendapat identitas baru;
(10)
mendapat tempat kediaman commit tobaru; user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(11)
memperoleh
penggantian
biaya
transportasi
sesuai
dengan
kebutuhan; (12)
mendapat nasihat hukum; dan
(13)
memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
f) Kompensasi dan Restitusi Kompensasi, restitusi dan bantuan rehabilitasi di atas merupakan bagian dari upaya pemulihan bagi korban pelanggaran HAM yang berat yang mempunyai tujuan untuk meringankan penderitaan dan memberikan keadilan kepada para korban dengan menghilangkan atau memperbaiki sejauh mungkin akibat-akibat dari tindakan salah dengan mencegah dan menangkal pelanggaran. Yang dimaksud dengan “kompensasi” adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Sedangkan yang dimaksud dengan “restitusi” adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Restitusi dapat berupa: a) Pengembalian harta milik; b) Pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan;dan c) Penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
2.Tinjauan Umum Tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK ) h) Kelembagaan dan Kedudukan LPSK 1) Kelembagaan LPSK Kelembagaan LPSK terdiri atas 7 (tujuh) orang anaggota
yang
berasal dari unsur profesional yang mempunyai pengalaman di bidang pemajuan, pemenuhan, perlindungan, penegakan hukum dan hak asasi manusia, akademisi, advokat, atau lembaga swadaya masyarakat. Susunan committerdiri to userdari beberapa unsur dan elemen keanggotaan LPSK yang bervariasi
perpustakaan.uns.ac.id
20 digilib.uns.ac.id
masyarakat ini dimaksudkan untuk menjamin independensi, kemandiriaan, dan obyektifitas lembaga, disamping tuntutan profesional. Banyaknya kasus dimana saksi justru terancam kepentingannya oleh oknum aparat penegak hukum,merupakan alasan susunan keanggotaan LPSK yang di buat bervariasi terdiri dari beberapa unsur dan elemen masyarakat. Anggota LPSK diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Kelembagaan LPSK terdiri atas pimpinan dan anggota. Pimpinan LPSK terdiri atas ketua dan wakil ketua yang merangkap wakil anggota, yang dipilih dari dan oleh anggota LPSK. LPSK merupakan lembaga baru, maka menurut pasal 16 Undang - Undang Perlindungan Saksi dan Korban, untuk pertama kali seleksi dan pemilihan anggota LPSK dilakukan oleh Presiden dengan sebelumnya membentuk panitia seleksi yang terdiri atas 5 (lima) orang yang tidak dapat di calonkan sebagai anggota LPSK, dengan susunan 2 (dua) orang berasal dari unsur pemerintah dan 3 (tiga) orang berasal dari unsur masyarakat. Dalam pelaksanaan tugasnya, LPSK di bantu oleh sebuah sekretariat yang bertugas memberikan pelayanan administrasi bagi kegiatan LPSK. Secretariat LPSK di pimpin oleh seorang sekretaris yang bersaal dari pegawai negeri sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Sekretasis Negara ( Muhammad Iksan,2009: 204-205 ).
2) Kedudukan LPSK Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 memprioritaskan kedudukan LPSK ini berada di ibukota negara Republik Indonesia. Hal ini merupakan kebiasaan yang dapat dimaklumi bagi kedudukan sebuah Lembaga Negara. Namun di samping berkedudukan di ibu kota negara, Undang – undang juga memberikan keleluasaan bagi LPSK untuk membentuk perwakilannya di daerah lainnya jika hal tersebut sesuai dengan kebutuhan dari LPSK. Pilihan Undang - Undang untuk memberikan akses bagi LPSK untuk mendirikan lembaga perwakilan adalah pilihan yang tepat karena dari segi geografis to userluas dan akses informasi maupun wilayah republik Indonesia commit yang cukup
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
komunikasi yang terbatas baik antar wilayah maupun antar ibukota dengan wilayah lainnya. Lagi pula, kasus-kasus intimidasi terhadap saksi yang terjadi selama ini justru paling banyak di luar wilayah ibu kota negara RI. Perwakilan di daerah lainnya ini bisa ditafsirkan secara luas, yakni bisa berada di tingkat region tertentu (antar propinsi) misalnya memilih di beberapa wilayah tertentu, Indonesia timur, Indonesia barat dan lain sebagainya. Perwakilan LPSK bisa juga didirikan di tiap propinsi atau bahkan di tingkat kabupaten-kabupaten tertentu. Atau dalam kondisi khusus (penting dan mendesak) LPSK perwakilan bisa juga didirikan di wilayah terpilih, misalnya karena tingginya kasus intimidasi dan ancaman saksi di daerah tertentu maka LPSK ini bisa juga didirikan secara permanen atau secara ad hoc tergantung situasi yang mendukungnya. Walaupun idealnya LPSK ini ada di tiap wilayah Propinsi, namun kebutuhan untuk mendirikan perwakilan tersebut juga akan memberikan implikasi atas sumberdaya yang besar pula, baik dari segi pembiayaan, maupun penyiapan infrastruktur
dan sumber daya manusianya. Jangan
sampai pendirian perwakilan tersebut justru malah kontraproduktif dengan tujuan dari LPSK misalnya makin membebani kerja-kerja yang justru menjadi prioritas LPSK karena masalah administrasi dan lain sebagainya. Dalam hal
pendirian perwakilan dibutuhkan pula rencana jangka
panjang yang strategis dalam hal kontinuitas lembaga, jangan sampai LPSK pusat hanya mampu membangun atau mendirikan perwakilan namun tidak begitu peduli atas sumberdaya yang harus disiapkan untuk berjalannya lembaga perwakilan tersebut. Masalah koordinasi antar perwakilan juga perlu diperhatikan dengan serius terutama berkaitan perwakilan. Demikian pula dukungan
dengan jurisdiksi antar
dari instansi terkait di wilayah
perwakilan. i) Tanggung Jawab, Tugas dan Kewenangan LPSK Undang – Undang Nomor 13 tahun 2006 dalam ketentuan umumnya telah menyatakan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang user yang bertugas dan berwenang selanjutnya disingkat LPSK,commit adalah to lembaga
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
untuk memberikan perlindungan dan hak – hak lain kepada saksi dan/atau korban sebagaimana diatur dalam undang – undang. Namun Undang – Undang Perlindungan
Saksi dan Korban tidak merinci tugas dan
kewenangan dari LPSK tersebut lebih lanjut, perumus Undang – Undang kelihatannya tidak menjabarkan tugas dan kewenangan LPSK dalam suatu bagian atau bab tersendiri dalam Undang Undang Nomor 13 tahun 2006 seperti peraturan lainnya, melainkan menyebarkannya diseluruh Undang – Undang. Tugas dan kewenangan LPSK yang tersebar
dalam Undang –
Undang Nomor 13 tahun 2006, yaitu : 1) Menerima permohonan saksi dan/atau korban untuk perlindungan ( Pasal 29 ); 2) Memberikan keputusan pemberian perlindungan saksi dan/atau korban ( Pasal 29); 3) Memberikan perlindungan kepada saksi dan/atau korban ( Pasal 1); 4) Menghentikan program perlindingan saksi dan/atau korban
(Pasal 32 );
5) Mengajukan ke Pengadilan ( berdasarkan keinginan korban ) berupa hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia
yang
berat dan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana ( Pasal 7 ); 6) Menerima permintaan tertulis dari korban ataupun orang yang mewakili korban untuk bantuan ( Pasal 33 dan 34 ); 7) Menentukan kelayakan, jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan diberikannya banatuan kepada saksi dan/atau korban ( Pasal 34);dan 8)
Bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan ( Pasal 39 ) ( Muhadar dkk, 2010:209-210).
c) Syarat Pemberian Perlindungan dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban oleh LPSK commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
23 digilib.uns.ac.id
Tidak semua saksi dan korban dapat menikmati perlindungan dan bantuan dari LPSK. Saksi atau korban yang dapat menerima perlindungan dan bantuan dari LPSK harus terlebih dahulu menandatangani perjanjian dari pihak LPSK. Menurut Pasal 28 Undang – Undang Perlindungan Saksi dan Korban, perjanjian perlindungan LPSK terhadap saksi dan/atau korban tindak pidana diberikan dengan mempertimbangkan syarat : (1) Sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban; (2) Tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban; (3) Hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap saksi dan/atau korban;dan (4) Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh saksi dan/atau korban. Keempat syarat tersebut akan dijadikan pertimbangan oleh LPSK apakah akan diberikan perlindungan atau bantuan terhadap saksi atau korban tersebut atau tidak. Artinya, walaupun ia merupakan saksi atau korban tindak pidana yang tergolong nerat dan nilai kesaksiannya sangat penting, akan tetapi kalau syarat lain tidak terpenuhi, misalnya saksi atau korban memiliki rekam jejak kejahatan yang serius, dapay saja kemudian dia tidak jadi diberi perlindungan dan bantuan dari LPSK Negara ( Muhammad Iksan,2009: 207208 ).
d) Tata Cara Pemberian Perlindungan Saksi dan Korban oleh LPSK Berkaitan dengan tata cara pemberian perlindungan terhadap saksi, Pasal 29 menentukan bahwa saksi dan/atau korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang mengajukan permohonban secara tertulis kepada LPSK. Selanjutnya LPSK segera melakukan pemerikasaan terhadap permohonan tersebut, dan keputusan LPSK terhadap di kabulkan atau tidaknya permohonan atau perlindungan bantuan itu harus diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan perlindungan diajukan. Dalam hal LPSK menerima permohonan saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, saksi dan/atau korban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
24 digilib.uns.ac.id
perlindungan saksi dan korban. Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi dan korban sebagaimana dimaksud memuat : 1) Kesediaan saksi dan/atau korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan; 2) Kesediaan saksi dan/atau korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya; 3) Kesediaan saksi dan/atau korban unutk tidak berhub ungan dengan cara apapun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada dalam perlindungan LPSK; 4) Kewajiban saksi dan/atau korban untuk tidak memberitahukan kepada siapapun mengenai keberadaannya dibawah perlindungan LPSK; 5) Hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK ( Pasal 30 UU PSK). Menurut Pasal 31 Undang – Undang Perlindungan Saksi dan Korban, LPSK wajib memberikan perlindungan sepenuhnya kepada saksi dan/atau korban, termasuk keluarganya, sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan sebagaimana dimaksud Pasal 30 Undang – Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Penghentian pemberian perlindungan atas keamanan saksi dan/atau korban tidak dapat dilakukan secara gegabah atau asal-asalan, akan tetapi harus atas dasar pertimbangan/alas an yang kuat dan matang. Untuk menjamin hal itu maka dalam Pasal 32 ayat (1) Undang – Undang Perlindungan Saksi dan Korban ditegaskan bahwa perlindungan atas keamanan Saksi dan/atau korban hanya dapat dihentikan berdasarkan alasan: 1) Saksi dan/atau korban meminta agar perlindungan terhadapnya dihentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri; 2) Atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaann perlindungan terhadap saksi dan/atau korban berdasarkan atas permintaan pejabat yang bersangkutan; 3) Saksi dan/atau korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam commit to user perjanjian; atau
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4) LPSK berpendapat bahwa saksi dan/atau korban tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan. Dalam
ayat (2) ditegaskan pula bahwa penghentian perlindungan
keamanan seorang saksi dan/atau korban harus dilakukan secara tertulis. Ketentuan seperti ini untuk memberikan jaminan kepastian hukum, baik bagi saksi dan/atau korban yang bersangkutan dan keluarganya, maupun bagi pejabat aparat penegak hukum, termasuk LPSK sendiri. Karena keterbatasan kelembagaan LPSK, maka untuk menjamin telaksananya pemberian perlindungan terhadap saksi dan/atau korban, LPSK dapat bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang, seperti polisi, kejaksaan, dan lain-lain yang dianggap kompeten. Instansi terlait yang diminta bantuan atau kerjasamanya oleh LPSK untuk memberikan perlindungan terhadap saksi dan/atau korban sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang – Undang Perlindungan Saksi dan Korban (Pasal 36). Ketentuan yang sama juga berlaku apabila LPSK memerlukan bantuan atau kerjasama dalam pemberian bantuan kepada saksi dan/atau korban ( Muchamad Iksan, 2009: 209).
e) Tata Cara Pemberian Bantuan bagi Saksi dan Korban oleh LPSK Berkaitan dengan pemberian bantuan berupa bantuan medis dan/atau bantuan rehabilitasi psiko-sosial bagi saksi dan/atau korban kasus pelanggaran HAM berat sebagaimana di maksud dalam Pasal 6, diberikan apabila ada permintaan tertulis dari yang bersangkutan ataupun orang yang mewakilinya kepada LPSK (Pasal 33 Undang – Undang Perlindungan Saksi dan Korban). Atas dasar permintaan tertulis itu selanjutnya LPSK menentukan kelayakan diberikannya bentuan kepada saksi dan/atau korban. Dalam hal saksi dan/atau korban layak diberikan bantuan, LPSK menentukan jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan. Tidak semua permohonan bantuan akan dikabulkan oleh LPSK, yang commit to user layak dibantu akan dibantu, sedangkan yang dianggap tidak layak akan ditolak
perpustakaan.uns.ac.id
26 digilib.uns.ac.id
permohonan bantuannya. Keputusan LPSK mengenai pemberian bantuan kepada saksi dan/atau korban harus diberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permintaan tersebut (Pasal 35 Undang - Undang Perlindungan Saksi dan Korban). f) Keputusan LPSK Undang Undang Nomor 13 tahun 2006 menyatakan bahwa keputusan LPSK diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat dan jika dalam hal keputusan ( musyawarah mufakat ) tidak dapat dicapai, maka keputusan akan diambil dengan suara terbanyak. Apa yang dimaksud dalam keputusan ini dalam Undang-Undang tidaklah begitu jelas. Dalam UndangUndang keputusan yang dimaksud terkait dengan kewenangan LPSK terutama dalam keputusan pemberian perlindungan dan bantuan bagi saksi dan korban. Keputusan dan kebijakan LPSK, yang di dasari oleh musyawarah dan tidak sesuai dengan format pekerjaan LPSK. Pilihan terhadap model pengambilan keputusan seperti ini tidaklah tepat karena model yang mkengisyaratkan setiap anggota perlindungan saksi punya hak dan mandat yang sama seperti layaknya komisi-komisi yang sudah ada dalam prakteknya kurang member kontribusi yang positif karena seluruh keputusan dari komisi harus melalui rapat pleno. Setiap anggota memiliki suara baik mendukung atau mem-veto sebuah kebijakan yang akan diambil oleh lembaga. Hal ini sebaiknya di hindari karena model ini tidak sesuai dengan kerja-kerja praktek perlindungan saksi yang dalam praktek di berbagai Negara diberikan dalam satu komando kerja yang berdasarkan protab atau bekerja dalam system yang baku ( Muhadar dkk,2010:218). g) Anggaran LPSK Agar dapat manjalankan tugasnya dengan baik maka setiap institusi maupun organisasi tentunya membutuhkan sumber daya yang memadai, antara lain dalam bentuk sumber daya financial ( anggaran ). Demikian pula bagi LPSK, Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 menyatakan bahwa commit to user biaya yang diperlukan untuk pelaksaan tugas LPSK dibebankan kepada
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan sumber lainnya yang tidak mengikat. Namun sumber utama tetaplah dari APBN. Hal ini hampir sama dengan pembiayaan-pembiayaan lembaga-lembaga negara lainnya yang telah ada di Indonesia. Sedangkan sumber lainnya yang tidak mengikat adalah berupa hibah dan bantuan baik dalam maupun luar negeri. Dalam konteks APBN, umumnya pembagian anggaran dalm sebuah lembaga negara pada dasarnya di bagi dalam 2 (dua) kategori yakni anggaran rutin dan anggran pembangunan. Anggran rutin dalam sebuah pengeluaran negara untuk membiayai tugas-tugas umum pemerintah baik pusat maupun daerah dan untuk membayar kewajiban hutang luar negeri ataupun hutang dalam negeri yang jatuh tempo dalam setiap tahun anggaran. Sedangkan anggaran pembangunan adalah semua pengeluaran negara yang diperuntukkan bagi pembiayaan proyek-proyek pembangunan yang terbagi dalam beberapa sektor, baik ditingakat pusat maupun ditingkat daerah. Mengenai proses anggaran terutama terkait dengan model yang selama ini diterapkan dalam proses anggran lembaga negara di Indonesia, LPSK harus mau tidak mau akan menghadapi tata cara dan proses anggaran yang sudah ada ( Muhadar dkk,2010:218-219).
B.Kerangka commit toPemikiran user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Konsep Perlindungan Saksi dan Korban dalam Proses Peradilan Pidana di Indonesia
KUHAP
Peraturan Perundang - undangan di Indonesia yang mengatur perlindungan saksi
Pasal 184 ayat (1) Alat Bukti Bebas ( Keterangan Saksi ) Dalam proses peradilan pidana
Perlindungan Saksi dan Korban
UU Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
1.Apa sajakah yang menjadi problematik normatif dalam UU NO 13 Tahun 2006 ? Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK )
2. Bagaimana urgensi kedudukan LPSK di daerah?
Gambar 1. Skematik Kerangka Pemikiran Penjelasan :
commit to user
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, dapat diketahui bahwa konsep pemikiran tentang perlindungan saksi dalam proses peradilan pidana sudah ada dan banyak tersebar pada peraturan perundang – undangan sebelum dilahirkannya Undang – Undang Nomor 13 tahun 2006 Tentang perlindungan saksi dan korban. Pengaturan konsep perlindungan saksi dan korban tidak diatur secara rinci dan jelas. Dalam KUHAP ( Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana ) telah diatur mengenai tata cara pelaksanaan proses beracara dalam peradilan pidana, alat bukti dalam proses peradilan pidana salah satunya adalah keterangan saksi dan/atau korban. Mengingat pentingnya keterangan saksi dan korban dalam proses peradilan pidana, maka perlu mendapatkan perlindungan. Undang – Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban melahirkan suatu lembaga yang berwenang untuk melindungi saksi dan korban dalam proses peradilan pidnan yaitu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Munculnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) diharapkan akan mampu menjadi solusi terhadap permasalahan perlindungan saksi dan korban di Indonesia. Namun fakta di lapangan memunculkan penilaian dalam hal efektifitas peran dan fungsinya mengingat lembaga tersebut hanya berkedudukan di ibu kota negara dan memiliki perwakilan apabila diperlukan. Banyaknya kasus – kasus didaerah yang terbengkalai karena kekurangan atau bahkan tidak ada yang mau menjadi saksi merupakan masalah yang timbul karena kurangnya perlindungan dan rasa aman bagi para saksi. Perlindungan dan rasa aman bagi para saksi seharusnya mampu diberikan oleh LPSK, namun lembaga tersebut hanya fokus pada kasus yang di muat secara besar – besaran di media dan berkedudukan di ibukota saja. Lalu bagaimana yang di daerah?
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Problematik Normatif Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Guna mengetahui problematik normatif dari sebuah perundang-undangan, tak terkecuali Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban maka harus dilihat keterkaitannya dengan produk perundangundangan sejenis. Sebelum munculnya Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, pengaturan mengenai perlindungan
saksi dan korban sudah tersebar ke dalam berbagai produk peraturan perundangundangan seperti: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP; 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; 3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika; 4. Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; 5. Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; 6. Undang – Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; 7. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; 8. Undang – Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi; 9. Undang - Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; 10. Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak; commit to user
30
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
11. Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme; dan 12. Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Pengahapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Peraturan perundang – undangan yang terkait dengan perlindungan saksi dan korban tersebut di atas, dalam pelaksanaannya masih menjadi suatu tanda tanya, baik dalam hal kelembagaan maupun penerapannya. Hal tersebut dapat di lihat pada ketentuan Pasal 1 butir 26 KUHAP tentang pengertian atau definisi saksi yang berbunyi “ saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”. Namun, KUHAP yang selama ini menjadi landasan beracara di dalam peradilan pidana Indonesia, justru tidak mengatur mengenai hak dan perlindungan terhadap saksi secara mendasar maupun secara spesifik. Walaupun terdapat beberapa ketentuan di dalam KUHAP yang mengatur mengenai hak – hak seorang saksi dan hal lain termasuk hak korban yang menjadi saksi, hak – hak tersebut tidaklah memadai, bahkan sebaliknya terhadap saksi, KUHAP justru memberikan banyak beban dan kewajiban. Contoh lain terdapat dalam Undang – Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika. Dalam
Undang – Undang tersebut tidak memberikan
gambaran jelas bagaimana cara perlindungan dan perlakuan terhadap korban penyalahgunaan psikotropika. Tidak efektifnya pengaturan perlindungan saksi dan korban tersebut maka memunculkan gagasan untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur mengenai perlindungan saksi dan korban. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan saksi dan korban tersebut, maka langkah selanjutnya adalah menemukan problematik normatif dari uraian pasal demi pasal yang terdapat dalam Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang telah dihubungkan dengan dokumentasi fakta empiris dan politik hukum dari Undang – Undang tersebut.
commit to user
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Untuk mempermudah alur pikir penemuan problematik normatif dalam Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan
Saksi dan
Korban tersebut, maka dapat digambarkan alur pikir sebagai berikut : Produk Peraturan Perundang – Undangan Terkait
Problematik Normatif
Ide dasar Lahirnya UU No.13 th 2006
Gambar 2. Skematik Alur Pikir Penemuan Problema Normatif Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 1.
Peraturan
Perundang - Undangan yang Terkait dengan Perlindungan
Terhadap Saksi dan Korban di Indonesia Peraturan di Indonesia
yang mengatur atau memasukkan saksi dan
korban dalam berbagai aspek tersebar dalam berbagai produk legislasi baik dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan – peraturan jenis lainnya. Tersebarnya peraturan – peraturan yang terkait dengan saksi dan korban terlihat baik dalam peraturan pidana materiil maupun formil. Pedoman utama legislasi di Indonesia yang mengatur mengenai saksi dan korban termasuk
hak dan perlindungannya sampai saat ini adalah Kitab
Undang – undang hukum Acara Pidana ( KUHAP ) dan peraturan lain dibawahnya. Aturan dalam KUHAP inilah yang
merupakan payung dari
seluruh hukum acara pidana di Indonesia yang pertama kali mengatur saksi dan hak-haknya. Dalam bidang hukum pidana formil, KUHAP merupakan kebijakan legislatif dalam penyelenggarakan hukum acara pidana yang bersifat pokok dan umum yang berlaku untuk semua tindak pidana, baik tindak pidana umum yang terdapat dalam KUHP, maupun tindak pidana khusus yang diatur dalam perundang – undangan khusus di luar KUHP, sepanjang ketentuan di luar KUHP tersebut tidak menyimpang dari KUHAP ( lex specialis derogate lex generalis ). Sehingga pasal – pasal yang mengatur perlindungan terhadap saksi dalam KUHAP juga ditujukan untuk melindungi semua saksi tindak commit to user
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pidana, kecuali yang telah mengatur secara khusus dan menyimpang di luar KUHAP ( Muchamad Iksan,2009:120). Adapun peraturan perundang – undangan di Indonesia
yang terkait
dengan perlindungan saksi dan korban adalah sebagai berikut: a.
Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika Apabila dipandang dari sudut viktimologi, Korban dalam undang –
undang ini merupakan self-victimizing victims, yaitu seseorang yang menjadi korban
karena
perbuatannya
sendiri.
Namun
ada
juga
yang
mengelompokkannya dalam victimeles crime atau kejahatan tanpa korban karena dalam kejahatan ini biasanya tidak ada sasaran korban. Semua pihak adalah terlibat ( Muhadar,dkk,2010:52). Kejahatan lain yang dapat dikelompokkan dalam victimless crime adalah perjudian, prostitusi, pornografi. Jenis kejahatan tersbut telah diorganisasi oleh sebuah jaringan kejahatan internasional ( Transnational Organized ) sehingga sukar untuk
diberantas. Undang – Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang
psikotropika tidak memberikan gambaran jelas bagaimana cara perlindungan dan
perlakuan
terhadap
korban
penyalahgunaan
psikotropika
( Muhadar,dkk,2010:53). Perlindungan hukum pada Undang - Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika ditujukan pada korban dan kepada pelapor, bukan saksi dalam pengertian biasa. Pada Pasal 54 yang berbunyi: 1) Masyarakat memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk ber-peran serta dalam
membantu
mewujudkan
upaya
pencegahan
penyalahgunaan
psikotropika sesuai dengan undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya. 2) Masyarakat wajib melaporkan kepada pihak yang berwenang bila mengetahui tentang psikotropika yang disalahgunakan dan/atau dimiliki secara tidak sah. 3) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) perlu mendapatkan jaminan keamanan dan perlindungan dari pihak yang berwenang. 4) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat seba-gaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. commit to user
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pasal 54 ayat (3) menegaskan bahwa Pelapor mendapat jaminan keamanan dan perlindungan dari pihak yang berwenang, walaupun tidak diperinci pengertian atau cakupan perlindungan yang dimaksud. Ketentuan ini dibuat untuk mengimbangi kewajiban masyarakat untuk melaporkan kepada pihak yang berwenang bila mengetahui tentang psikotropika yang disalahgunakan dan/atau dimiliki secara tidak sah ( Muchamad Iksan,2009:128). Undang – Undang Nomor 5 tahun 1997 Tentang Psikotropika juga dikenal istilah “pelapor“, selain saksi dan korban. Jadi hal tersebut memungkinkan seseorang yang melaporkan kepada petugas yang berwajib tentang terjadinya tindak pidana psikotropika, Pelapor tersebut tidak dijadikan saksi dalam proses hukum selanjutnya pada saat penyidikan
maupun pemeriksaan di sidang
pengadilan. Karakteristik kejahatan psikotropika juga narkotika
biasanya
digerakkan oleh jaringan atau sindikat atau bahkan mafia yang terorganisir rapid dan bersifat sangat rahasiaatau tertutup. Oleh karena itu pelapor harus diberi perlindungan atas jasanya membongkar tindak pidana dalam sindikat tersebut karena pelapor dalam posisi yang berbahaya ( Muchamad Iksan,2009:129). Perlindungan pada pelapor juga terdapat pada pasal 57 yang berbunyi: 1) Di depan pengadilan, saksi dan/atau orang lain dalam perkara psikotropika yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebut nama, alamat, atau halhal yang memberikan kemungkinan dapat terungkapnya identitas pelapor. 2) Pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan akan dimulai, hakim memberi peringatan terlebih dahulu
kepada saksi dan/atau orang lain yang
bersangkutan dengan perkara tindak pidana psikotro-pika, untuk
tidak
menyebut identitas pelapor, sebagaimana di-maksud pada ayat (1). Ketentuan Pasal 57 tersebut berisi larangan bagi saksi dan atau orang lain dalam perkara psikotropika untuk menyebut identitas pelapor di depan siding pengadilan. Demikian dijaganya kerahasiaan pelapor tersebut, sekali lagi bukan saksi pada umumnya, sehingga sebelum siding dimulai Hakim harus memperingatkan saksi dan atau orang lain untuk tidak menyebutkan identitas pelapor. Bahkan
apabila ketentuan Pasal 57 tersebut dilanggar, pelakunya commit to user
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diancam pidana penjara paling lama 1 ( satu ) tahun berdasar pasal 66 yang berbunyi: “Saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara psikotropika yang sedang dalam pemeriksaan di sidang pengadilan yang menyebut nama, alamat atau hal-hal yang dapat terungkapnya identitas pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun” . Kebijakan sebagaimana di atas jelas dimaksudkan untuk melindungi keselamatan pelapor, akan tetapi sekaligus merupakan kelemahan dari undang – undang psikotropika tersebut, karena tidak mengatur perlindungan saksi, justru diancamnya saksi dengan sanksi pidana. Hal tersebut dapat memperlemah peran serta masyarakat dalam pencegahan dan penanggulanagan penyalahgunaan psikotropika ( Muchamad Iksan,2009:130). Selain mengatur tentang pelapor, dalam undang – undang psikotropika tersebut juga mengatur ketentuan tentang rehabilitasi bagi pengguna psikotropika yang diatur dalam Pasal 39 yang berbunyi sebagai berikut: 1) Rehabilitasi bagi pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan
dilaksanakan
pada
fasilitas
rehabilitasi
yang
di-
selenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat. 2) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi rehabi-litasi medis dan rehabilitasi sosial. 3) Penyelenggaraan fasilitas rehabilitasi medis sebagaimana di-maksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dapat dilakukan atas dasar izin dari Menteri. 4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan rehabilitasi dan perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pelayanan kesehatan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan medis dan sosial agar pengguna psikotropika
yang
menderita
sindroma
ketergantungan
dapat
mencapai
kemampuan fungisonal semaksimal mungkin. Sementara itu, rehabilitasi sosial commit to user adalah proses kegiatan pemulihan dan pengembangan baik fisik, mental, maupun
perpustakaan.uns.ac.id
36 digilib.uns.ac.id
sosial agar pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan dapat melaksanakan fungsi sosial secara optimal dalam kehidupan masyarakat. Adapun kelemahan yang terjadi pada praktik rehabilitasi yang selama ini terjadi di Indonesia adalah banyak ditemukannya pusat – pusat rehabilitasi yang menawarkan beragam metode rehabilitasi, mulai dari rehabilitasi yang bersifat rasional seperti detokdifikasi, hingga program rehabilitasi yang sifatnya mistis, tanpa disertai dengan ijin. Hal yang dikhawatirkan dengan munculnya pusat – pusat rehabilitasi tanpa ijin dari instansi terkait adalah tidak adanya pengawasan terhadap kualitas pelayanan yang diberikan ( Muchamad Iksan,2009:131).
b. Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika Undang – undang narkotika ini tidak secara khusus merumuskan hak saksi, namun justru yang dilindungi adalah “ pelapor”. Substansi dari pelapor adalah saksi juga, akan tetapi karena dalam undang – undang ini pelapor dan saksi kedua – duanya disebut, berarti memang secara khusus ditujukan kepada pelapor yang secara formal tidak menjadi saksi. Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 57 yang berbunyi: (1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. (2) Masyarakat wajib melaporkan kepada pejabat yang berwenang apabila mengetahui adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. (3) Pemerintah wajib memberikan jaminan keamanan dan perlindungan kepada pelapor sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). Pada Pasal 57 ayat (2) diatas jelas bahwa yang dilindungi adalah pelapor. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, bisa jadi pelapor tidak menjadi saksi dalam proses hukum selanjutnya. Menindak lanjuti ketentuan Pasal 57, maka Pasal 76 melarang saksi dan orang lain yang terkait kasus narkotika untuk menyebut identitas pelapor. Ketentuan demikian dimaksudkan untuk melindungi keselamatan pelapor dari commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kemungkinan adanya ancaman atau intimidasi yang akan datang pada dirinya atau keluarganya. Adapun bunyi Pasal 76 ayat (1) adalah: “Di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana narkotika yang
sedang dalam pemeriksaan,
dilarang menyebut nama dan alamat pelapor atau hal-hal yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor “. Ketentuan sebagaimana diatas memang janggal, yang dilindungi justru hanya pelapor, yang sepertinya sangat diistimewakan dan saksi akan diancam dengan
sanksi
pidana
jika
membuka
identitas
pelapor
(
Muchamad
Iksan,2009:127).
c. Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Indonesia sebagai salah satu negara yang dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa
dengan
kekayaan
alam
yang
melimpah
seharusnya
mampu
mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki. Hal ini bertujuan untuk tercapainya percepatan pembangunan guna terwujudnya masyarakat adil dan makmur. Ironisna kekayaan alma ini justru sering menjadi pemicu munculnya berbagai konflik dan bencana. Alam sejak dulu hingga kini, memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Alam menyediakan berebagai kebutuhan penting bagi hidup
dan kehidupan manusia. Seiring dengan bertambahnya jumlah
penduduk, tekanan akan kebutuhan terhadapa alam pun semakin meningkat. Pentingnya pengelolaan sumber daya alam dengan tetap memperhatikan pelestarian fungsi lingkungan hidup, telah memperoleh dasar pijakan yang kuat yaitu lahirnya Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ketentuan tentang sasaran pengelolaan lingkungan hidup dalam Undang – Undang Nomor 23 tahun 1997 terdapat dalam Pasal 4 yang berbunyi: 1)
Tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia commit to user dan lingkungan hidup;
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2)
Terwujudnya manusia Indonesia sebagai insane lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup;
3)
Terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan;
4)
Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup;
5)
Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana;dan
6)
Terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan
di luar
wilayah
negara yang menyebabkan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Salah satu instrumen hukum
yang disediakan
guna menjaga agar
pengelolaan lingkungan hidup dapat terselenggara secara bertanggung jawab adalah instrumen sanksi, yang terdiri dari sanksi administrasi, sanksi perdata, dan sanksi pidana. Apabila lingkungan hidup tidak tidak dikelola secara baik dan benar tentu akan membawa dampak negatif, tidak saja pada lingkungan hidup itu sendiri, tetapi juga makhluk hidup yang ada disekitarnya, seperti binatang dan manusia ( Muhadar,dkk,2010:59). Undang – undang pengelolaan lingkungan hidup pada pokonya lebih mengutamakan upaya pencegahan timbulnya korban, baik korban mausia maupun lingkungan atau alam. Oleh karena itu, dalam undang – undang lingkungan hidup terdapat beberapa intrumen hukum sebagai pencegah dari kemungkinan terjadinya kerusakan lingkungan hidup seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan ( AMDAL ). Adapun ketentuan tentang ganti rugi dan tanggung jawab dalam undang – undang pengelolaan lingkungan hidup terdapat dalam Pasal 34 dan 35 yang berbunyi: Pasal 34 (1) Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
39 digilib.uns.ac.id
(2) Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut. Pasal 35 (1) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. (2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini: a. adanya bencana alam atau peperangan; atau b. adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau c. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. (3) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti rugi. Berdasarkan Pasal 34 tentang ganti rugi dan Pasal 35 tentang tanggung jawab pada Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1997, tercakup du segi perlindungan, yaitu perlindungan korban yang diderita oleh perorangan dan perlindungan terhadap negara yang menjadi korban pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Ganti rugi terhadap korban dapat dibedakan menjadi dua, yakni ganti rugi yang diberikan kepada korban yang dibayar oleh pihak yang menyelenggarakan usaha atau kegiatan lingkungan tersebut, serta ganti rugi kepada negaradalam wujud melakukan tindakan hukum tertentu commit tooleh userhakim. sesuai perintah hukum yang ditetapkan
perpustakaan.uns.ac.id
40 digilib.uns.ac.id
d. Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Undang – undang ini juga membedakan antara saksi dan pelapor, akan tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud pelapor. Pasal 38 yang berbunyi: (1)Setiap orang yang mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap Undang-undang ini dapat melaporkan secara tertulis kepada Komisi dengan keterangan yang jelas tentang telah terjadinya pelanggaran, dengan menyertakan identitas pelapor. (2)Pihak yang dirugikan sebagai akibat terjadinya pelanggaran terhadap Undang undang ini dapat melaporkan secara tertulis kepada Komisi dengan keterangan yang lengkap dan jelas tentang telah terjadinya pelanggaran serta kerugian yang ditimbulkan, dengan menyertakan identitas pelapor. (3)Identitas pelapor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dirahasiakan oleh Komisi. (4)Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Komisi. Pasal 38 di atas memuat ketentuan yang memberikan kepada pelapor ( bukan saksi secara umum ) yaitu berupa kewajiban Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk merahasiakan identitas pelapor. Sedangkan Pasal 39 yang berbunyi: (1) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2), Komisi wajib melakukan pemeriksaan pendahuluan, dan dalam waktu selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah menerima laporan, Komisi wajib menetapkan perlu atau tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan. (2) Dalam pemeriksaan lanjutan, Komisi wajib melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang dilaporkan. (3) Komisi wajib menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh dari pelaku usaha yang dikategorikan sebagai rahasia perusahaan. commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(4) Apabila dipandang perlu Komisi dapat mendengar keterangan saksi, saksi ahli, dan atau pihak lain. (5) Dalam melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (4), anggota Komisi dilengkapi dengan surat tugas. Pasal 39 di atas memuat ketentuan yang mempertegas kesimpulan bahwa yang dilindungi bukanlah saksi tapi pelapor, dengan ketentuan yang mengatakan bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat mendengar keterangan saksi, ahli, maupun pihak lain. Ketentuan yang yang memberikan perlindungan terhadap saksi ( di luar pelapor ) dalam undang – undang ini tidak ada. Hal tersebut berarti, yang berlaku adalah ketentuan
perlindungan saksi yang bersifat umum
dalam KUHP,
KUHAP, maupun Undang - Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Ketiadaan landasan terhadap saksi, akan menghambat pelaksanaan dan penegakkan undang – undang tentang larangan praktek Monopoli dan persaingan usaha tidak sehat ini ( Muchamad Iksan,2009:130).
e. Undang – Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Dalam Undang – Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme ditemukan terminology “saksi pelapor”, disamping saksi pada umumnya dan saksi ahli. Adanya penegasan istilah “ saksi pelapor “ ini berbeda dengan Undang – Undang Narkotika, Undang – Undang Psikotropika, Undang – Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang hanya menyebut “pelapor” saja, bukan “saksi pelapor”. Dari penemuan tersebut, dapat lihat inkonsistensi dalam peristilahan dan pengaturan dalam undang – undang yang tidak memberikan penjelasan tentang istilah – istilah secara gamblang ( Muchamad Iksan,2009:131). Pada Pasal 9 ayat (1) butir 2.d dinyatakan bahwa masyarakat berhak memperoleh perlindungan hukum dalam hal diminta hadir dalam proses commit pengadilan to user penyelidikan, penyidikan, dan disidang sebagai saksi pelapor, saksi,
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang – Undang anti KKN ini secara tegas menyatakan perlindungan hukum harus diberikan kepada saksi pelapor, sedangkan undang – undang lain menyatakan bahwa perlindungan hukum itu diberikan kepada pelapor.
f. Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Sama dengan kebijakan yang ditempuh dalam Undang – Undang narkotika dan Undang – Undang Psikotropika diatas, Undang – Undang Tindak Pidana Korupsi juga memberikan perhatian lebih kepada pelapor. Perhatian tersebut berkaitan dengan hak atas keselamatan Si Pelapor berkaitan dengan laporan yang telah diberikannya. Walaupun “pelapor” ini tidak sampai harus
hadir
di
pengadilan untuk memberikan kesaksian, akan tetapi karena sudah memberikan andil yang siginfikan dalam pengungkapan tindak pidana korupsi, maka pelapor harus dilindungi keselamatannya, misalnya dengan merahasiakan identitas dan alamatnya untuk menghindari hal – hal yang tidak diinginkan yang membahyakan kepentingan hukum saksi “pelapor” ini. Pasal 31 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa : “Dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor”. Perlindungan terhadap saksi pelapor ini penting, karena masyarakat yang mendengar, melihat dan rnenerima informasi tentang adanya dugaan korupsi juga dituntut untuk berperanserta memberikan inforrnasi dan melaporkan dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi sebagaimana diamanatkan dalam UndangUndang Nornor 31 Tahun 1999 jo Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( Adhi Wibowo,2006:251-260).
commit to user
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
g. Undang – Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi Telekomunikasi merupakan salah satu
sarana paling penting dalam
menunjang kemajuan pembangunan. Dengan alat komunikasi yang memadai, jarak yang jauh hingga berjuta – juta kilometer akan terasa dekat beberapa sentimeter saja. Sifatnya yang sangat penting menjadikan dunia komunikasi berkembang dengan sangat cepat dan luar biasa dalam waktu yang sangat singkat. Dalam Undang – Undang Nomor 36 Tahun 1999
Tentang Telekomunikasi,
perlindungan tentang korban terdapat dalam Pasal 15 ayat (1) yang berbunyi: “Atas kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara telekomunikasi yang menimbulkan kerugian, maka pihak – pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penyelenggara telekomunikasi” Tipe korban menurut ketetentuan Pasal 15 ayat (1) diatas adalah Tertiary Victimization, yaitu korban masyarakat luas. Sementara itu, asas perlindungan korban dalam ketetuan tersebut adalah asas manfaat yang ditujukan bagi tercapainya kemanfaatan ( baik material maupun spiritual ) bagi korban kejahatan dan masyarakat secara luas, khususnya dalam upaya mengurangi jumlah tindak pidana serta menciptakan ketertiban ( Muhadar,dkk,2010:62). h. Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM Undang – Undang Pengadilan HAM ini menjamin hak saksi dan korban pelanggaran HAM atas perlindungan fisik dan mentalnya sebagaimana diatur diatur dalam Pasal 34 yang berbunyi: (1) Setiap korban dan saksi dalam pelanggran hak asasi manusia yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun. (2) Perlindungan sebagaimana dimaksud di dalam ayat (1) wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma. (3) Ketentuan mengenai tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Sesuai dengan amanat Pasal 34 ayat (3) di atas, maka dibentuklah Peraturan commit to user Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap
perpustakaan.uns.ac.id
44 digilib.uns.ac.id
Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM yang Berat. Sesuai dengan namanya, Peraturan Pemerintah ini tidak hanya mengatur mengenai perlindungan terhadap saksi pelanggaran HAM yang berat, namun juga terhadap korbannya ( Muchamad Iksan,2009:135). Mengenai bentuk-bentuk perlindungan apa saja yang didapat oleh saksi dan korban, diatur dalam Pasal 4 PP No. 2 tahun 2002 yang berbunyi: Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi: a. Perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dari ancaman fisik dan mental; b. Perahasiaan identitas korban atau saksi; c. Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di siding pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka. Hak korban ( yang bisa saja menjadi saksi ) untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi juga menjadi kebijakan dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ini yang diatur pada Pasal 35 yang berbunyi: (1) Setiap korban pelanggaran HAM yang berat dan/atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. (2) Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan pengadilan HAM. Dalam penjelasan Pasal 35 dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “kompensasi” adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Sedangkan yang dimaksud dengan “restitusi” adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarga oleh pelaku atau pihak ketiga. Di mana restitusi dapat berupa: Restitusi dapat berupa: d) Pengembalian harta milik; e) Pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan;dan f) Penggantian biaya untuk tindakan tertentu. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
45 digilib.uns.ac.id
Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semua misalnya kehormatan, nama baik, atau hak-hak lain. Sebenarnya jika dilihat dari kepentingan korban dalam konsepganti rugi terkandung dua manfaat yaitu untuk memenuhi kerugian materiil dan segala biaya yang telah dikeluarkan dan merupakan pemuasan emosional korban. Sedangkan dilihat dari sisi kepentingan pelaku, kewajiban mengganti kerugian dipandang sebagai suatu yang konkrit dan langsung berkaitan dengan kesalahan yang diperbuat pelaku ( Farhan dan Mimin Mintarsih, 2008:43-59 ) Mengingat undang-undang ini adalah undang-undang pidana khusus, maka hak ini juga hanya berlaku untuk korban tindak pidana pelanggaran HAM berat, tidak untuk tindak pidana lainnya ( Muchamad Iksan,2009:155).
i. Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Banyaknya kasus kekerasan anak yang terjadi di Indonesia dianggap sebagai salah satu indikator buruknya kualitas perlindungan anak. Keberadaan anak yang belum mampu untuk hidup mandiri tentunya sangat membutuhkan orang-orang sebagai tempat berlindung. Rendahnya kualitas perlindungan anak di Indonesia banyak menuai kritik dari berbagai elemen masyarakat. Ketentuan perihal kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan lembaga negara lainnya, untuk memberikan perlindungan khusus diatur dalam Pasal 59 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, di mana perlindungan khusus diberikan kepada: 1) Anak dalam situasi darurat; 2) Anak yang berhadapan dengan hukum; 3) Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi; 4) Anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; 5) Anak yang diperdagangkan; 6) Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya ( Napza ); 7) Anak korban penculikan,commit penjualan, dan perdagangan; to user
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
8) Anak korban kekerasan, baik fisik dan/atau mental; 9) Anak yang menyandang cacat; dan 10) Anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Upaya perlindungan terhadap anak diupayakan demi
tetap terpeliharanya
perlu secara terus menerus
kesejahteraan anak,
mengingat anak
merupakan salah satu asset berharga bagi kemajuan suatu bangsa dikemudian hari. Kualitas perlindungan terhadap anak hendaknya memiliki derajat/tingkat yang sama dengan perlindungan terhadap orang – orang yang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum ( equality befor the law) ( Muhadar,dkk,2010:76).
j. Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme Pasca terjadinya peristiwa peledakan bom Bali 1 tahun 2001, muncul desakan pada pemerintah agar segera menyusun peraturan perundang – undangan yang secara khusus mengatur tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Hal tersebut disebabkan selama ini ketentuan yang digunakan untuk menjerat para pelaku peledakan bom adalah Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana. Sebagaimana diketahui, aksi – aksi terorisme yang selama ini terjadi telah mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa memandang korban, mulai anak – anak hingga orang dewasa, warga sipil hingga aparat keamanan, bahkan dalam beberapa peristiwa peledakan bom, korban harus mengalami cacat seumru hidup serta gangguan
psikis lainnya yang sifatnya menahun.Oleh karena itu, guna
mengurangi dan/atau
memulihkan keadaan
korban ( keluarganya), perlu
diupayakan bentuk – bentuk perlindungan yang sifatnya komprehensif. Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme memberikan pengaturan
tentang perlindungan korban
dan ahli
warisnya akibat tindak pidana terorisme. Bentuk perlindungan diberikan meliputi pemberian kompensasi atau restitusi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 26 ayat (1) bahwa setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme berhak mendapatkan kompensasi atau restitusi. commit to user
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
k. Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Pengahapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Menurut Pasal 1 angka 3 Undang – Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, yang dimaksud dengan korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Korban menurut undang – undang ini adalah socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lebih lemah yang menyebabkan ia menjadi korban. Korban
kekerasan
dalam
rumah
tangga
akan
mengalami
penderitaan/kerugian yang sangat beragam, seperti meteriil, fisik maupun psikis sehingga perlindungan yang diberikan kepada korban pun harus beragam pula. Tidak sedikit korban
kekerasan dalam rumah tangga
yang mengalami
penderitaan secara beruntun pada waktu yang bersamaan. Oleh karena itu, guna mengurangi beban penderitaan yang dialami oleh korban kekerasan dalam rumah tangga, undang – undang ini memberikan hak kepada korban kekerasan dalam rumah tangga, untuk mendapatkan: 1) Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; 2) Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; 3) Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; 4) Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan 5) Pelayanan bimbingan rohani. Undang – Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, juga mengatur tentang perlindungan sementara, yaitu perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisisan dan/atau lembaga sosial, atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara sangat penting utnuk segera diberikan pada commit to user korban karena jika korban harus menunggu turunnya penetapan pengadilan yang
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berisikan
perintah
perlindungan, dikhawatirkan
prosesnya lama sementara
korban membutuhkan perlindungan dalam waktu relatif cepat. Hal lain yang menunjukkan adanya perlindungan terhadap korban kejahatan, khusunya dalam kaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah adanya suatu kesepakatan antara pihak kepolisian dengan pihak rumah sakit untuk senantiasa memprioritaskan pemeriksaan dan perawatan pasien korban kejahatan KDRT pada saat korban dibawa ke rumah sakit. Dengan telah diberikannya berbagi bentuk perlindungan pada korban KDRT , diharapkan segala bentuk kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga secara perlahan dapat dihapuskan ( Muhadar,dkk,2010:87). Kebijakan perlindungan terhadap saksi dan korban yang tersebar diberbagai peraturan perundang – undangan dapat dilihat lebih lengkap dan rinci dalam bentuk tabel sebagai berikut: Tabel 1. Kebijakan Perlindungan Saksi dan Korban Kategori No.
HAK-HAK
UU
PASAL
SAKSI 1.
Hak mengajukan
UU No. 8/1981
laporan/pengaduan tentang KUHAP
Pasal 108 ayat (1): “Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan
dan atau menjdi korban
peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis“. UU No. 22/1997
Pasal 57 ayat (1):
tentang
“Masyarakat
Narkotika
yang seluas-luasnya untuk berperan serta
mempunyai
kesempatan
dalam membantu upaya pencegahan dan pem-berantasan
penyalahgunaan
commit to user peredaran gelap narkotika”
dan
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
UU No. 5/1997
Pasal 54 auat (1):
tentang
“Masyarakat memiliki kesempatan yang
Psikotropika
seluas-luasnya
untuk
berperan
serta
dalam penang-gulangan penyalahgunaan psikotropika”. UU NO. 31/1999 Pasal 41: tentang Tindak
) 1)Masyarakat
dapat
Pidana Korupsi
membantu
UU No. 20/2001
pemberantasan tindak pidana korupsi.
upaya
berperan
serta
pencegahan
dan
) 2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk: a.Hak
mencari,
memperoleh,
dan
mem-berikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi; b.Hak untuk memperoleh pelayanan dalam
mencari,
memperoleh,
dan
memberikan informasi adanya duga-an telah
terjadi
tindak
pidana
korupsi
kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; c.Hak pendapat
menyampaikan secara
saran
dan
bertanggungjawab
kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; 2.
Hak memperoleh
UU No. 22/1997
Pasal 57 ayat (3):
perlindungan atas
tentang
“Pemerintah wajib memberikan jaminan
keamanan pribadi, Narkotika
keamanan
keluarga, dan
pelapor sebagaimana dimaksud dalam
harta bendanya,
ayat (2)”. commit to user
dan
perlindungan
kepada
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
serta bebas dari ancaman yang
Pasal 76 ayat (1) :
berkenaan dengan
Di sidang pengadilan, saksi dan orang
kesaksian yang
lain yang bersangkutan dengan perkata
akan, sedang atau
pidana narkotika yang sedang dalam
telah diberikannya
pemeriksaan, dilarang menyebut nama dan alamat pelapor atau hal-hal yang memberikan
kemungkinan
dapat
diketahui identitas pelapor. UU No. 5 / 1997
Pasal 54 ayat (1):
tentang
Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat
Psikotropika
(2)
perlu
mendapatkan
jaminan
keamanan dan perlindungan dari pihak yang berwenang. UU No. 28/1999
Pasal 9 ayat (1) huruf d:
tentang Ati KKN
Hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal: 1)..... 2)Diminta
hadir
dalam
proses
penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, dan saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan
perudang-undangan
yang
berlaku. UU No. 15/2002
Pasal 31 ayat (1)
tentang Tindak
“Dalam penyidikan dan pemeriksaan di
Pidana Pencucian sidang pengadilan, saksi dan orang lain Uang
yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang commit to user
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memberikan
kemungkinan
dapat
diketahui identitas Pelapor.
Pasal 39 1)PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim wajib merahasiakan identitas pelapor. 2)pelanggaran
terhadap
ketentuan
sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) mem-berikan hak kepada pelapor atau ahli
warisnya
untuk
menutut
ganti
kerugian melalui pengadilan. Pasal 40: ) 1)Setiap
orang
yang
melaporkan
terjadinya
dugaan
tindak
pidana
pencucian
uang,
wajib
diberi
perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan
ancaman
yang
membahayakan diri, jiwa dan/atau hartanya, termasuk keluarganya. ) 2)Ketentuan pemberian
mengenai
tata
perlindungan
cara khusus
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 41: ) 1)Di sidang pengadilan, saksi, penutut umum, hakim dan orang lain yang bersangkutan commit to user
dengan
tindak
pidana
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor. ) 2)Dalam setiap persidangan sebelum sidang pemeriksaan dimulai, hakim wajib mengingatkan saksi, penutut umum, dan orang lain yang terkait dengan pemeriksaan perkata tersebut, mengenai larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Pasal 42: 1)Setiap
orang
yang
memberikan
kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang, wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan
ancaman
membahayakan
diri,
yang
jiwa
dan/atau
hartanya, termasuk keluarganya. 2)Ketentuan
mengenai
tata
pemberian
perlindungan
cara khusus
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. UU No. 26/2000 tentang
Pasal 34: ) 1)Setiap
korban
dan
saksi
dalam
Pengadilan HAM pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, commit to user teror, dan kekerasan dari pihak
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
manapun. ) 2)Perlindungan sebagaiamna dimaksud di dalam ayat (1) wajib dilaksanakan oleh aparat
penegak
hukum
dan
aparat
keamanan secara cuma-cuma. ) 3)Ketentuan
mengenai
tata
cara
perlindungan terhadap korban dan saksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. PERPU No.
Pasal 33:
1/2002 tentang
Saksi, Penyidik, Penuntut Umum dan
Pemberantasan
Hakim
Tindak Pidana
keluarganya dalam perkara tindak pidana
Terorisme jo UU
terorisme wajib diberi perlindungan oleh
No. 15/2003
negara dari kemungkinan ancaman yang
yang
memeriksa
beserta
membahayakan diri, jiwa, dan/ atau hartanya, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.
Pasal 34 ayat (1) Perlindungan
sebagaimana
dimaksud
dalam pasal 33 dilakukan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan berupa: a)perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental; b)kerahasiaan identitas saksi; c)pemberian
keterangan
pada
saat
pemerik-saan di sidang pengadilan tanpa commit to user bertatap muka dengan terdakwa
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
UU No. 13/2006
Pasal 5 ayat (1) huruf a:
tentang PSK
Saksi dan Korban berhak: a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harga bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b....
3.
Hak ikut serta
UU No. 13/2006
Pasal 5 ayat (1) b:
dalam proses
tentang PSK
Seorang Saksi dan Korban berhak:
memilih dan
....;
menentukan
Ikut serta dalam proses memilih dan
bentuk
menentukan bentuk perlindungan dan
perlindungan dan
dukungan keamanan.
dukungan keamanan 4.
Hak memberikan
UU No. 8/1981
Pasal 116 yang berbunyi:
keterangan secara
tentang KUHAP
1)Saksi diperiksa dengan tidak disumpah
bebas tanpa
kecuali apabila ada cukup alasan untuk
tekanan
diduga bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan. 2)Saksi diperiksa secara tersendiri, tetapi boleh dipertemukan yang satu dengan yang lain dan mereka wajib memberikan keterangan yang sebenarnya.
commit to user
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pasal 117 ayat (1): Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun:
Pasal 118: ) 1)Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat
dalam
berita
acara
yang
ditandatangani oleh penyidik dan oleh yang memberi keterangan itu setelah mereka menyetujui isinya. ) 2)Dalam hal tersangka dan atau saksi tidak mau
membubuhkan
tanda
tangannya,
penyidik mencatat hal itu dalam berita acara dengan menyebut alasannya. PERPU No.
Pasal 32 ayat (1)
1/2002 tentang
Dalam pemeriksaan, saksi memberikan
Pemberantasan
keterangan terhadap apa yang dilihat dan
Tindak Pidana
dialami sendiri dengan bebas dan tanpa
Terorisme jo UU
tekanan.
No. 15/2003
UU No. 13/2006
Pasal 5 ayat (1) huruf c:
Tentang PSK
Saksi dan Korban berhak: c.memberikan tekanan
5. Hak mendapat
UU No. 8/1981 Pasal 177 ayat (1): commit to user
keternagan
tanpa
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penerjemah dan
tentang KUHAP
Jika terdakwa atau saksi tidak paham
juru bahasa
bahasa Indonesia, hakim ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah
atau
berjanji
akan
menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan.
Pasal 178: ) 1)Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tulis serta tidak dapat membaca dan menulis, hakim ketua sidang mengangkat sebagai penterjemah orang yang padai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu. ) 2)Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua sidang menyampaikan semua pertanyaan atau teguran kepadanya secara tertulis dan kepada terdakwa atau saksi tersebut diperintahkan untuk menulis jawabannya dan selanjutnya semua pertanyaan serta jawaban harus dibacakan. ) UU No. 13/2006
Pasal 5 ayat (1) huruf d:
tentang PSK
Saksi dan korban berhak: d.mendapat penerjemah
6. Hak bebas dari pertanyaan yang menjerat
UU No. 8/1981
Pasal 166:
tentang KUHAP
Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik kepada terdakwa
maupun kepada saksi. commit to user
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
UU No. 13/2006
Pasal 5 ayat (1) huruf e:
tentang PSK
Saksi dan korban berhak: e. bebas dari pertanyaan yang menjerat.
7. Hak mendapatkan UU No. 31/1999
Pasal 41 ayat (2) c dan e:
informasi
tentang Indak
mengenai
Pidana Korupsi jo dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan
perkembangan
UU No. 20/2011
kasus
Peran
serta
masyarakat
sebagaimana
dalam bentuk: .... Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;... Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan
tentang
laporannya
yang
diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari ...” UU No. 13/2006
Pasal 5 ayat (1) f:
tentang PSK
Saksi
dan
mendapatkan
korban
berhak:....”
informasi
f.
mengenai
perkembangan kasus” 8. Hak mendapatkan UU No. 13/2006 informasi
tentang PSK
Pasal 5 ayat (1) g: Saksi
dan
korban
berhak:...;
g.
mengenai putusan
mendapatkan informasi mengenai putusan
pengadilan
pengadilan.
9. Hak mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan
UU No. 13/2006
Pasal 5 ayat (1) h:
tentang PSK
Saksi dan korban berhak:...; h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;....
commit to user
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
10. Hak mendapat identitas baru
UU No. 13/2006
Pasal 5 ayat (1) huruf i:
tentang PSK
Saksi dan korban berhak:...; i. mendapat identitas beru;....
11. Hak mendapatkan UU No. 13/2006 tempat kediaman baru memperoleh 12. Hak penggantian
Pasal 5 ayat (1) huruf j:
tentang PSK
Saksi
UU No. 8/1981
mendapatkan Pasal 229: tempat kediaman baru;....
tentang KUHAP )
dan
korban
berhak:...;
j.
Saksi atau ahli yang telah hadir
biaya transportasi
memenuhi
sesuai dengan
memberikan keterangan disemua tingkat
kebutuhan
pemeriksaan, penggantian
panggilan
dalam
berhak biaya
rangka
mendapat
menurut
peraturan
perundang-undangan yang berlaku. )
Pejabat yang melakukan pemanggilan wajib memberitahukan kepada saksi atau ahli
tentang
haknya
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) UU No. 13/2006
Pasal 5 ayat (1) huruf k:
tentang PSK
Saksi
dan
korban
berhak:...;
k.
memperoleh penggatian biaya tranpsortasi sesuai dengan kebutuhan;....” 13. Hak mendapat nasihat hukum
UU No. 13/2006
Pasal 5 ayat (1) huruf l:
tentang PSK
Saksi dan korban berhak:...; l. mendapat nasihat hukum;....”. Penjelaskan ketentuan ini berbunyi ”Yang dimaksud dengan ”nasehat hukum” adalah nasihat hukum yang dibutuh-kan oleh Saksi dan Korban apabila diperlukan.
14. Hak memperoleh bantuan biaya hidup sementara
UU No. 13/2006
Pasal 5 ayat (1) huruf m:
tentang PSK
Saksi
dan
memperoleh commit to user
korban bantuan
berhak:...; biaya
m. hidup
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sampai batas
sementara
sampai
batas
waktu
perlindungan berakhir;....”
waktu
perlindungan berakhir 15. Hak memperoleh ganti rugi
UU No. 8/1981
Pasal 98 ayat (1):
tentang KUHAP
1)Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar
(kompensasi),
dakwaan di dalam suatu pemeriksaan
restitusi, dan
perkara pidana oleh pengadilan negeri
rehabilitasi
menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakum ketua sidang atas permintaan orang
itu
dapat
menetapkan
untuk
menggabungkan perkara gugatan gnati kerugian kepada perkara pidana itu.
Pasal 81: Permintaan
ganti
rehabilitasi
kerugian
akibat
dan
tidak
atau
sahnya
penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya
penghentian
penyidikan
atau
penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak
ketiga
yang
berkepentingan
kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya. UU No. 26/2000 tentang
Pasal 35 dan berbunyi: Setiap korban pelanggaran hak asasi
Pengadilan HAM
manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompetensi, restitusi, dan rehabulitasi. Kompetensi, restitusi, dan rehabilitasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) commit to user
60 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dicantumkan
dalam
amar
putusan
pengadilan HAM. PERPU
Pasal 36:
No.1/2002
1)Korban
tentang
diakibat-kan
Pemberantasan
berhak men-dapatkan kompensasi atau
Tindak Pidana
restitusi”
atau
tindak
Terorisme jo. UU 2)Kompensasi No. 15/2003
ahli
warisnya pidana
sebagaimana
yang
terorisme
dimaksud
dalam ayat (1), pembiayaannya dibebankan kepada negara yang dilaksanakan oleh pemerintah. 3)Restitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban atau ahli warisnya. 4)Kompensasi dan atau restitusi tersebut diberikan
dan
dicantumkan
sekaligus
dalam amar putusan pengadilan.
Pasal 41 1)Dalam
hal
pelaksanaan
pemberian
kompensasi dan atau restitusi kepada pihak korban melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 39, korban
atau
melaporkan
ahli hal
warisnya tersebut
dapat kepada
pengadilan. 2)Pengadilan
sebagaimana
dimaksud
dalam ayat (1) segera memerintahkan menteri keuangan, pelaku, atau pihak commit to user ketiga untuk melaksanakan putusan
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima.
Pasal 42: Dalam hal pemberian kompensasi dan atau restitusi dapat dilakukan secara bertahap,
maka
setiap
tahapan
pelaksanaan atau keterlambatan pelaksaan dilaporkan kepada pengadilan. UU No. 13/2006
Pasal 7 ayat (1) huruf a:
tentang PSK UU ) PSK
1)Korban
melalui
LPSK
berhak
mengajukan kepengadilan berupa: a.Hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat; b.Hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. )
2)Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan.
)
3)Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberi-an kompensasi dan restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
16. Hak memperoleh bantuan medis
UU No. 13/2006
Pasal 6 UU PSK:
tentang PSK
Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan:
a. bantuan medis; b ...” commit to user
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
17. Hak memperoleh bantuan
UU No. 13/206
Pasal 6 UU PSK:
tentang PSK
Korban dalam pelanggaran hak asasi
rehabilitasi
manusia yang berat, selain berhak atas hak
psikososial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan: ....; bantuan rehabilitasi psikososial”
18. Hak untuk memperoleh
UU No. 22/1997
Pasal 58:
tentang Narkotika Pemerintah memberi penghargaan kepada
penghargaan
anggota masyarakat atau badan yang telah berjasa
dalam
pencegahan
membantu dan
penyalahgunaan
dan
upaya
pemberantasan peredaran
gelap
narkotika dan atau pengungkapan tindak pidana narkotika. UU No. 31/1999
Pasal 42 ayat (1):
tentang Tindak
Pemerintah
memberikan
penghargaan
Pidana Korupsi jo kepada anggota masyarakat telah berjasa UU No. 20/2001
membantu
upaya
pencegahan,
pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi.
2. Ide Dasar Lahirnya Perlindungan
Saksi
Undang - Undang dan Korban
Nomor 13 tahun 2006 tentang
dan Lembaga
Perlindungan
Saksi dan
Korban ( LPSK ) Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dibentuk berdasarkan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan
Korban. Lahirnya Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban yang memakan waktu cukup panjang ini ditujukan untuk memperjuangkan diakomodasinya hakhak saksi dan korban dalam proses peradilan commit to userpidana. Berbeda dengan beberapa
perpustakaan.uns.ac.id
63 digilib.uns.ac.id
negara lain, inisiatif untuk membentuk Undang-Undang perlindungan bagi saksi dan korban bukan datang dari aparat hukum, polisi, jaksa, atau pun pengadilan yang selalu berinteraksi dengan saksi dan korban tindak pidana, melainkan justru datang dari kelompok masyarakat yang memiliki pandangan bahwa saksi dan korban sudah saatnya diberikan perlindungan dalam sistem peradilan pidana. Di samping itu, minimnya
perhatian yang serius oleh aparat penegak hukum
terhadap saksi-korban membuat RUU ini harus selalu didesakkan hampir setiap tahun sejak 2001 hingga 2005 agar masuk dalam rencana prolegnas (http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/06/17/nrs,2004061706,id.html)[2 Mei 2011 pukul 20.15]. Gagasan untuk
menghadirkan undang-undang perlindungan saksi dan
korban dimulai pada tahun 1999, di mana beberapa elemen masyarakat mulai mempersiapkan perancangan undang-undang perlindungan saksi. Hal ini kemudian disusul dengan adanya naskah akademis tentang undang-undang perlindungan saksi dalam proses peradilan pidana. Naskah akademis ini kemudian menghasilkan RUU perlindungan saksi. Selanjutnya, tahun 2001 undang-undang perlindungan saksi diamanatkan untuk segera dibentuk berdasarkan Ketetapan MPR No. VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Juni 2002 Badan Legislasi DPR RI mengajukan RUU Perlindungan Saksi dan Korban yang ditandatangani oleh 40 anggota DPR dari berbagai fraksi sebagai RUU usul inisiatif DPR. Indonesia meratifikasi UN Convention Against Corruption pada tahun 2003. Dalam pasal 32 dan 33 konvensi ini disebutkan bahwa kepada setiap negara peratifikasi wajib menyediakan perlindungan yang efektif terhadap saksi atau ahli dari pembalasan atau intimidasi termasuk keluarganya atau orang lain yang dekat dengan mereka. Awal 2005 Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN PK) yang disusun oleh Bappenas menjadwalkan pembahasan RUU Perlindungan Saksi pada triwulan kedua 2005. Februari 2005 Rapat Paripurna ke 13 DPR RI Peridoe 20042009, telah menyetujui Program Legislasi Nasional. Salah satu RUU yang diprioritaskan untuk segera dibahas adalah RUU Perlindungan Saksi. Sepuluh commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
64 digilib.uns.ac.id
fraksi di DPR RI memandang bahwa RUU Perlindungan Saksi memiliki peran strategis dalam upaya penegakan hukum dan memciptakan pemerintahan yang bebas dari korupsi (http://indonesia.ahrchk.net/news/mainfile.php/stbahasa/91/)[2 Mei 2011pukul 20.20] . Akhirnya Juni 2005 RUU Perlindungan Saksi dan Korban disampaikan dalam surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden. Selanjutnya pada tanggal 30 Agustus 2005, Presiden mengeluarkan surat penunjukan wakil untuk membahas RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menugaskan Menteri Hukum dan HAM mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU tersebut. Januari 2006 pemerintah yang diwakili Departemen Hukum dan HAM menyerahkan daftar inventarisasi masalah tentang RUU Perlindungan Saksi dan Korban kepada DPR RI. Awal Februari 2006 komisi III DPR RI membentuk Panitia Kerja yang terdiri dari 22 orang untuk membahas RUU Perlindungan Saksi dan Korban. Pada bulan Juli 2006, rapat paripurna DPR RI akhirnya mengesahkan RUU Perlindungan Saksi dan Korban menjadi Undang - Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Sepuluh fraksi
di DPR RI mendukung
keberadaan Undang - Undang tersebut (Supriyadi Widodo Eddyono, 2007:9) Pada tanggal 11 Agustus 2006 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64). Salah satu amanat yang ada dalam Undang - Undang Perlindungan Saksi dan Korban ini adalah pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang dibentuk paling lambat setahun setelah Undang - Undang Perlindungan Saksi dan Korban disahkan. Dalam perkembangan selanjutnya, LPSK dibentuk pada tanggal 8 Agustus 2008. Di dalam Undang - Undang Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa LPSK adalah lembaga yang mandiri namun bertanggung jawab kepada Presiden. Disebutkan pula bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Ruang lingkup perlindungan ini adalah pada semua tahap proses peradilan pidana. commit user Tujuan Undang-undang ini adalah untukto memberikan rasa aman kepada saksi
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan/atau korban dalam memberikan keterangan dalam proses peradilan pidana (http://lpsk.go.id/) [2 Mei 2011pukul20.30]. Menurut Gatot Sugiharto dalam artikelnya yang berjudul “Lahirnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Korban Kejahatan“, lahirnya Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006
tersebut diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum kepada saksi dan korban kejahatan, karena secara singkat dalam undang-undang tersebut mulai memperluas hak-hak yang dimiliki oleh saksi dan korban baik di dalam maupun di luar pengadilan ( Artikel Lahirnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Korban Kejahatan,April 2010) .
3. Problema Normatif Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Sebuah Undang - Undang Perlindungan Saksi dan Korban yang berlaku efektif, yang dibentuk atas dasar upaya tulus untuk mengatasi permasalahan seperti pelanggaran HAM, adalah satu bagian yang pokok dalam rangka menjaga berfungsinya sistem peradilan pidana terpadu. Setelah melewati proses negosisasi bertahun-tahun, akhirnya Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban disahkan juga pada tanggal 11 Agustus 2006. Apakah undang-undang tersebut akan menolong negara ini keluar dari skandal korupsi yang berkepanjangan dan menyediakan penggantian yang diperlukan bagi para korban dapat kita lihat kenyataannya di masa mendatang. Bila dicermati lebih dalam, Undang – Undang Perlindungan Saksi dan Korban tersebut, menunjukkan beberapa permasalahan serius lebih dari sekedar niat baik di balik undang-undang tersebut (http://zpador.wordpress.com/2008/10/15/prospek-uu-perlindungan-saksi/)[2Mei 2011pukul 20.20]. Adapun beberapa problematik normatif yang penulis cermati pada Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah sebagai berikut: commit to user
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Pasal 1 ayat 1 Undang Nomor 13 Tahun 2006 ”Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri” Definisi “saksi” kurang
memadai dan masih dibebani oleh pengertian
saksi dalam KUHAP sehingga menutup kemungkinan perlindungan terhadap whistleblower. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) memberikan batasan pengertian saksi itu sendiri sebagai seseorang yang melihat , mendengar, atau mengalami” suatu tindak pidana. Pengertian yang sama dijumpai dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban pada Pasal 1 ayat (1). Dalam beberapa kasus, orang-orang masih banyak yang takut
untuk melapor
suatu tindak pidana. Seseorang yang mengetahui suatu tindak pidana dan bahkan memiliki bukti penting tetapi tidak masuk dalam kategori sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang, tidak akan mendapatkan perlindungan saksi, yang mana berarti bahwa mereka dapat saja mengalami bentuk-bentuk intimidasi dan ancaman. Keamanan seseorang yang tampil ke depan dan mempublikasikan informasi masih dibatasi, mengingat tidak semua orang dapat melaporkan sebuah kejahatan atau menyediakan bukti mendapatkan perlindungan seperti dalam kasus terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, hal pokok termasuk keperluan untuk menjaga aktifis Lembaga Swadaya Masyarakat dan kelompok masyarakat sipil lainnya ( Sapto Budoyo,2008:87). Pengertian
saksi
dalam
undang-undang
ini
berupaya
mencoba
memasukkan atau (memperluas) perlindungan terhadap orang-orang
yang
membantu dalam upaya penyelidikan pidana yang masih berstatus pelapor atau pengadu. Walaupun pun tidak secara tegas dinyatakan bahwa pelapor juga dilindungi, tapi
para
perumus berkeyakinan bahwa pelapor sudah tercakup
dalam wilayah penyelidikan. Namun perlindungan terhadap status saksi dalam konteks penyelidikan ini pun masih terbatas dan kurang memadai karena commitdalam to user terbentur pada doktrin yang terdapat KUHAP, dimana saksinya haruslah
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
orang yang keterangan perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan/atau ia alami sendiri ( Artikel Sebuah tinjauan kritis mengenai UndangUndang Perlindungan Saksi dan Korban,Juli 2007). Melihat lebih dalam lagi dengan keberadaan pendamping yang umumnya terdapat dalam kasus – kasus terhadap perempuan. Keberadaan pendamping ini juga tidak dilindungi oleh undang – undang perlindungan saksi dan korban tersebut, meski kenyataannya pendamping
juga ini juga
sering
mendapat
ancaman dan tekanan ketika mendampingi korban. Selain saksi dan korban, saksi juga punya peranan penting dalam penyelesaian kasus – kasus kejahatan. Keberadaan saksi ahli tersebut menjadi sangat krusial sehingga keberadaannya sangat perlu untuk dilindungi. Dengan definisi saksi yang masih terpola dari KUHAP, maka keberadaan saksi ahli menjadi tidak termasuk dalam usaha perlindungan saksi ( Anna Christina Sinaga, 2006:8 ) b.
Pasal 1 poin 5 Undang Nomor 13 Tahun 2006 “Keluarga saksi dan/atau korban adalah orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau kebawah dan garis menyamping sampai derajat ketiga atau yang mempunyai hubungan perkawinan, atau orang yang menjadi tanggungan saksi dan/atau korban”. Dalam rumusan pasal 1 poin 5 diatas, menjelaskan tentang siapa yang
dimaksud dengan keluarga saksi, yakni orang - orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus, atau mempunyai hubungan darah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga, atau mempunyai hubungan perkawinan dengan saksi dan atau orang-orang yang menjadi tanggungan saksi dan atau korban. Menurut penulis, rumusan ini terlalu sempit, seharusnya konsep orang terkait ini tidak hanya menjangkau keluarga, namun dapat menjangkau orang lain yang mempunyai potensi membuat saksi tidak mau bersaksi bila orang tersebut di intimidasi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
c.
68 digilib.uns.ac.id
Pasal 5 ayat (2) Undang Nomor 13 Tahun 2006 “Hak sebagaimana di maksud pada ayat (1) diberikan pula kepada keluarga saksi dan/atau korban dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan lembaga perlindungan saksi dan korban” Dalam pasal diatas secara jelas terlihat adanya pembatasan terhadap
saksi yang akan dilindungi, dan hal ini merupakan suatu kemunduran dari niat yang baik di balik undang – undang tersebut. Maksud dari kata - kata " kasuskasus tertentu " tersebut antara lain, tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika/psikotropika, tindak pidana terorisme, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi Saksi dan Korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya. Ketentuan pembatasan atau kategori saksi yang berhak mendapatkan perlindungan dalam program perlindungan saksi di LPSK dalam Pasal 5 ayat (2) tersebut merupakan sebuah kemunduran dari Undang - Undang Perlindungan Saksi. Argumentasi atas munculnya pasal ini sebagian besar dilatar belakangi untuk mengurangi beban pembiayaan pemerintah agar biaya yang akan diberikan untuk perlindungan tidak terlalu besar. Argumentasi kedua adalah: mekanisme ini merupakan “alat penyaring” atas kasus-kasus yang akan masuk ke LPSK sehingga beban LPSK akan diminimalisir. Menurut penulis, argumentasi – argumentasi yang muncul diatas merupakan sebuah kemunduran dari niat yang baik di balik undang – undang tersebut. d. Ketidakjelasan Pemberian Perlindungan Kepada Saksi 1) Pasal 5 seorang saksi dan korban berhak a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik maupun psikologis dari orang lain yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, tengah atau telah diberikannya b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan c. memberikan keterangan tanpa tekanan d. mendapatkan penerjemah e. bebas dari pertanyaan yangcommit menjerat to user
69 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan h. mengetahui dalam hal terpidana di bebaskan i. mendapatkan identitas baru j. mendapatkan tempat kediaman baru (relokasi) k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan l. mendapatkan nasihat hukum m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. (2) hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pula kepada keluarga saksi dan/atau korban dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK. Terkait dengan bentuk perlindungan yang diberikan oleh
undang –
undang perlindungan saksi tersebut, rumusan tersebut tidak menjelaskan secara memadai beberapa pertanyaan yang mendasar berkenaan dengan apakah hak-hak ini diberikan kepada seluruh saksi dalam perkara pidana ? apakah hanya saksi yang yang tertentu saja (dalam ancaman) ? Ataukah hak ini hanya
diberikan
kepada saksi yang dilindungi oleh lembaga perlindungan saksi? Pertanyaanpertanyaan ini menjadi relevan terkait dengan ruang lingkup kerja dari lembaga perlindungan saksi. Petanyaan ini
sebenarnya bisa dijawab jika rumusan ini
secara tegas memisahkan hak saksi yang melekat kepada seluruh saksi pidana dalam pemeriksaan peradilan pidana, dengan hak saksi yang hanya diberikan dalam kondisi terancam atau terintimidasi. Jika hak-hak dalam rumusan ini diberikan kepada seluruh saksi dalam “kondisi apapun” maka beban terberat tentunya ada di pundak lembaga perlindungan saksi dalam implementasinya, namun jika hak-hak tersebut hanya diberikan bagi saksi dalam (kategori) kondisi terintimidasi atau terancam. Pasal 5 membuat kategori saksi-berdasarkan tindak pidana tertentu- yang mendapatkan perlindungan), akibatnya, seluruh saksi yang berperan dalam proses perkara pidana tidak akan pernah mendapatkan hak yang lebih baik karena hakhaknya menjadi sangat terbatas Oleh karena itu untuk menyelesaikan problem ini commit to user
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
UU seharusnya membuat/membagi hak-hak saksi tersebut berdasarkan kategorikategori saksi yakni kategori pertama, adalah perlindungan atas hak saksi dalam prosedural pidana hak ini diberikan secara umum kepada seluruh saksi yang membutuhkan dan kedua, untuk kategori hak saksi yang terintimidasi. e. Pasal 10 Undang Nomor 13 Tahun 2006 (1) Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. (2) Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan
meyakinkan
bersalah,
tetapi
kesaksiannya
dapat
dijadikan
pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Saksi, Korban, dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik. Secara
substansial sesungguhnya masih ada pasal sandungan bagi saksi
dalam Undang - Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Sekalipun dalam pasal 10 ayat (1) ditegaskan bahwa saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik secara pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya. Namun ayat (2) pasal yang sama menegaskan bahwa seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat menjadi pertimbangan bagi hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Bila dicermati pasal tersebut masih akan menjadi penghalang bagi pengungkapan kasus-kasus sulit seperti korupsi. Apalagi sudah menjadi rahasia umum bahwa tindak pidana korupsi dilakukan dengan sangat rapi dan sistematis, melibatkan hampir seluruh elemen pemerintahan, aparat penegak hukum, dunia usaha dan masyarakat umum. Tanpa adanya keberanian dari salah satu unsur commit to user tersebut untuk tampil sebagai whistleblower maka kecil sekali kemungkinan
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
korupsi akan terbongkar. Semestinya
terhadap orang-orang yang terlibat tindak
pidana korupsi tetapi bersedia tampil menjadi pelapor dibebaskan dari tanggung jawab pidana. Apalagi bila kemudian laporan dan kesaksiannya menjadi langkah awal terbongkarnya seluruh besar. Lain halnya
terhadap
jaringan korupsi dengan kerugian negara relatif mereka yang secara hukum wajib menjadi saksi,
bila memang tidak ada insiatif pertama kali darinya untuk mengungkapkan tindak pidana bersangkutan tetapi terungkap belakangan mereka terlibat maka tetap orang seperti ini harus mempertangungjawabkan perbuatannya sekalipun dia menjadi saksi terhadap tersangka lainnya. Prinsipnya
pengecualian berupa
pembebasan dari tanggungjawab pidana hanya diberikan terhadap mereka yang memiliki inisiatif awal mengungkap sebuah tindak pidana sekalipun dia juga terlibat dalam kasus tersebut. Pembebasan tanggungjawab hukum baginya adalah sebuah bentuk penghargaan bagi upayanya mengungkap
sebuah kejahatan luar
biasa (Artikel Sang pelapor dan Perlindungan Saksi, Juli 2008 ). Pendapat yang sama dikemukakan oleh Anggara dalam artikelnya yang berjudul “ Pelapor dan Perlindungan Saksi ” bahwa sampai saat ini memang belum ada mekanisme khusus yang mengatur kedudukan peniup peluit (whistleblower)
ini dalam kerangka hukum acara pidana yang berlaku di
Indonesia. Yang ada adalah mekanisme yang sangat ringkas sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (2) Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa “…kesaksianya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”. Namun yang menjadi problema dengan siapa pelapor ini akan bernegosiasi? dan seberapa banyak keringanan hukuman yang akan dijatuhkan? dan bagaimana peran LPSK ataupun lembaga penegak hukum yang lain dapat memainkan perannya saat bernegosiasi dengan pelapor ini? Jika melihat dalam ketentuan Undang Nomor 13 Tahun 2006 maka peran hakim sangat menentukan kedudukan pelapor dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Ketua LPSK dalam tulisannya di kompas menuturkan dengan sangat baik apa yang menjadi kesulitan dalam mekanisme perlindungan saksi di Indonesia. Lebih lanjut beliau menyatakan: commit to user
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Meskipun
telah ada peraturan perundang-undangan yang melindungi
pelapor, ada perbedaan pengertian antara pelapor di Indonesia dan whistleblower.
Seseorang
menyampaikan laporan
hanya
dapat
disebut
pelapor
apabila
telah
kepada aparat penegak hukum atau komisi. Adapun
mereka yang mengungkapkan
informasi kepada publik—bukan kepada aparat
penegak hukum—tidak disebut pelapor, dan peraturan di atas tidak melindungi mereka. Perlindungan lengkap hanya diberikan kepada pelapor tindak pidana korupsi dan/atau pencucian uang, sedangkan untuk tindak pidana lainnya diatur di Pasal 10 UU Perlindungan Saksi dan Korban berupa perlindungan terbatas, yaitu proteksi hukum semata. Artinya
tidak dituntut secara pidana ataupun
perdata atas laporan yang disampaikan dengan iktikad baik. Bahkan, pelapor yang laporannya tidak masuk kategori pidana, tidak mendapat perlindungan. Ini berbeda dengan pelapor tindak pidana korupsi dan tindak pidana money laundering yang berhak mendapat jaminan keamanan, mengganti identitas, evakuasi, serta perlindungan hukum. Perlindungan hukum mencakup hak untuk tidak dituntut secara pidana atau perdata (imunitas) dan menuntut kerugian apabila ada pihak-pihak, dalam hal ini termasuk aparat penegak hukum, membocorkan identitas mereka sebagai pelapor.Untuk tindak pidana korupsi dan money laundring, menurut UU Tipikor dan UU KPK serta UU TPPU dan Peraturan Pelaksananya, perlindungan pelapor dilakukan oleh KPK, PPATK bersama dengan kepolisian serta aparat penegak hukum lainnya. Namun, sejak ada UU No 13 Tahun 2006, pelapor sekaligus saksi dan/atau korban dapat meminta perlindungan LPSK.Peraturan perlindungan pelapor yang tersebar dan dengan mekanisme yang berbeda-beda itu sangat membingungkan dan menyulitkan. Bahkan, dapat
berimplikasi tidak berjalannya perlindungan
terhadap pelapor. Karena itu, perlu dirumuskan mekanisme perlindungan yang lebih sederhana dan proaktif ” ( Artikel Pelapor dan Perlindungan Saksi,Juni 2010). Problema lain terdapat pada Pasal 10 ayat (3) yaitu “Ketentuan commit to user sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Saksi, Korban, dan
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik. Dengan menghindari klarifikasi pada siapa yang berhak memberikan penilaian Itikad tidak baik dan atas dasar apa seseorang dapat dimasukkan ke dalam kategori ini, teks tersebut meninggalkan celah interpretasi yang cukup besar bagi kepentingan para pelaku pelanggar ( Artikel Sebuah tinjauan kritis mengenai Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, Juli 2007). f.
Saksi yang Harus Dilindungi Undang - undang Perlindungan Saksi dan Korban juga tidak jelas
mengatur “status saksi” berkaitan dengan saksi dari pihak manakah yang bisa dilindungi? Apakah saksi yang membantu pihak tersangka/ terdakwa ataukah saksi dari pihak yang membantu pihak aparat penegak hukum? Tidak dicantumkannya secara tegas hal ini nantinya akan menimbulkan problem dan membebani lembaga perlindungan dalam pelaksanaannya. Sebaiknya ditegaskan bahwa saksi yang dilindungi dalam undang-undang ini adalah saksi dalam kasus pidana yang membantu aparat penegak hukum (saksi pihak penuntut) (Eka Wahyu Keptiany, 2010:41). g. Tidak Konsisten Pengaturan Jangka Waktu Perlindungan Dalam Pasal 1 No 5 Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006, Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. Namun menurut penulis, undang-undang ini memberikan
perlindungan pada
saksi dan korban terbatas hanya dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan. Pasal ini akan membatasi jangka waktu perlindungan karena pengertian tahap proses peradilan pidana ini hanya mencakup, tahap penyelidikan sampai dengan pemberian putusan yang final, padahal dalam kondisi tertentu dimana kejahatan yang ada sifatnya serius, proteksi maupun perlindungan saksi harus diberikan pula pada tahapan setelah proses peradilan pidana. Pasalpasal tersebut tidak konsisten bila dikaitkan commit to userdengan Pasal 5 huruf f, huruf h,
74 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
huruf i yang memberikan kepada saksi hak untuk untuk mendapat informasi mengenai perkembangan kasus, hak mengetahui dalam hal terpidana di bebaskan dan hak identitas baru. Hak-hak ini diberbagai negara dalam prakteknya justru diberikan setelah kasus selesai di proses dalam peradilan pidana, bahkan untuk perlindungan dengan cara penggantian identitas maupun relokasi yang permanen bagi saksi, tahapan pemberiannya seharusnya menjangkau waktu yang sangat lama atau diberikan secara permanen (seumur hidup) (Eka Wahyu Keptiany, 2010:42). h. Lahirnya Beban Ganda dalam Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 Problema – problema dalam pemaparan diatas adalah tinjauan dari pasal demi pasal dalam Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006. Namun apabila dicermati secara keseluruhan, muncul beban ganda yang harus diemban oleh cita – cita dan semangat luhur dari Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006. Perlu dijelaskan bahwa akibat kondisi hukum memadai
acara pidana yang tidak
terkait dengan hak perlindungan saksi dan korban maka dilahirlah
undang – undang perlindungan saksi dan korban yang ditugaskan untuk mengakomodasi seluruh hak – hak saksi, bahkan mencakup pula perlindungan dan bantuan
bagi korban kejahatan. Akibatnya kemudian bisa diduga,
substansinya ( hak – hak yang di akomodir ) dalam undang – undang tersebut menjadi sangat luas. Hal tersebut sebenarnya sudah harus menjadi konsekuensi karena sistem atau model hak – hak saksi yang selama ini berkaitan dengan prosedur peradilan pidana yang seharusnya diatur oleh sebuah prosedur peradilan pidana ( KUHAP ) tidak pernah terealisasi di Indonesia karena reformasi hukum acara pidana di Indonesia tidak pernah terjadi. Oleh sebab itu, undang – undang ini mau tidak mau
memasukkan hamper seluruh
hak – hak saksi secara
prosedural yang seharusnya masuk ke dalam hukum acara pidana. Beban ganda yang terkandung dalam undang – undang perlindungan saski dan korban menjadi tidak terelakkan dan dalam kondisi tertentu mingkin bisa dibenarkan karena kondisi peraturan lainnya ( terutama hukum acara ) yang tidak
mendukung
sedangkan secara faktual peraturan yangto mendukung kondisi saksi dalam proses commit user
75 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
peradilan ( baik dalam kondisi biasa maupun kondisi terintimidasi ) tidak pernah ada
dan
justru
sangat
dibutuhkan
pada
saat
sekarang
ini
( Muhadar,dkk, 2010:97).
i. Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban,
belum
penghargaan
mengatur
terhadap
tentang
orang
yang
peran
serta
memberikan
masyarakat
dan
kesaksian
atau
melaporkan tindak pidana Untuk mengungkap kasus tindak pidana, terutama pelanggaran HAM dan korupsi, peran serta masyarakat sangat menentukan. Beberapa kasus pelanggaran HAM dapat terungkap karena adanya kesaksian dari korban, tapi masih lebih banyak yang tidak terungkap karena
korban tidak mau bersaksi mengingat
besarnya risiko yang harus dihadapi. Sedangkan dalam kasus korupsi, peran whistleblower
sangat menentukan. Mengingat besarnya risiko yang harus
dihadapi oleh masyarakat dalam berperan melaporkan atau menjadi saksi tindak pidana, sudah sewajarnya apabila mereka diberi penghargaan sesuai dengan perannya. Selain itu, memasukkan
unsur penghargaan bagi peran serta
masyarakat penting dilakukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melaporkan tindak pidana.
B.Urgensi Keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Daerah Mengenai urgensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK ) di daerah dapat lihat dari politik hukum Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 maupun dari dokumentasi
fakta empiris persebaran tindak pidana di seluruh
wilayah NKRI. Untuk mempermudah alur pikir mengenai urgensi keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK ) di daerah, maka dapat digambarkan alur pikir sebagai berikut :
commit to user
76 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Urgensi LPSK di daerah
Politik Hukum Lahirnya UU NO.13 Tahun 2006
Dokumnetasi Fakta Empris
Amanat UU No.13 th 2006
Kasus – Kasus tindak pidana yang terbengkalai karena ketiadaan saksi ( hal tersebut disebabkan tidak adanya jaminan perlindungan hukum terhadap saksi
Gambar 3. Skematik Alur urgensi keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK ) di daerah Adapun politik hukum lahirnya Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 adalah sebagai berikut: 1. bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan Saksi dan/atau Korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana; 2. bahwa penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelakutindak pidana Bering mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan Saksi dan/atau Korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu;
commit to user
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas, perlu dilakukan perlindungan
bagi
Saksi
dan/atau
Korban
yang sangat
penting
keberadaannya dalam proses peradilan pidana; Selain politik hukum dari undang – undang tersebut di atas, urgensi mengenai keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK ) di daerah dapat lihat dari adanya dokumentasi fakta empiris persebaran tindak pidana yang terjadi diseluruh wilayah NKRI. Tidak sedikitnya kasus yang kandas di tengah jalan oleh karena ketiadaan saksi, merupakan suatu realita kelemahan dari undang – undang perlindungan saksi dan korban yang hanya memprioritaskan kedudukan LPSK di daerah ibukota negara saja. Ketiadaan saksi tersebut disebabkan karena keengganan korban tindak pidana untuk menjadi saksi. Tidak adanya jaminan perlindungan
hukum yang memadai, ditambah dengan
munculnya intimidasi, kriminalitas atau tuntutan hukum atas kesaksian atau laporan yang diberikan merupakan alasan enggannya seseorang untuk menjadi saksi. Berdasarkan dokumentasi yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch ( ICW ) ada beberapa daftar kasus ancaman, intimidasi terhadap saksi bahkan diantaranya digugat juga secara perdata.
Tabel 2. Contoh kasus ancaman, intimidasi terhadap saksi No 1
Nama
Perkara
Arif Rahman Sejumlah
Tahun
Keterangan
2003
Arif Rahman yang seorang
dugaan kasus
anggota DPRD NTT asal
korupsi di
Flores
Kabupaten
pencemaran nama baik oleh
Flores Timur
Bupati Felix Fernandez,dan
yang
oleh PN Larantuka divonis
melibatkan
3 tahun penjara.
Timur,
diadukan
Bupati Felix Fernandez 2
Alif Basuki,
Dugaan
2005 commit to user
Ketiga
Anggota
DPRD
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Koordinator
korupsi APBD
kota
Pusat Telaah
kota Solo
terhukum 2,5 tahun penjara
Informasi
2003 yang
kasus
Regional (
melibatkan
dilaporkan
Pattiro ) dan
Darsono,
Basuki.Ketiga
Koordinator
Bandung Joko
DPRD tersebut menggugat
Forum
Suryanto, dan
ganti
Peduli
Ipmawan M.
secara
Iqbal
Surakarta sebesar 3 miliar,
Anggaran Solo
Solo
1999-2004
korupsi
Alif
rugi
Alif
yang
Anggota
Alif
perdata
Basuki ke
dituduh
PN
telah
mencemarkan nama baik ketiganya. 3
Simon ( Ketua
Dugaan
2006
Bupati Mamasa
pada
korupsi APBD
Februari 2006 melaporkan
Lembaga
oleh Pemkab
Simon ke Polres Mamasa
Pengawasan
Mamasa dan
karena dugaan pencemaran
Pembagunan
DPRD
nama baik. Hingga saat ini
Kab.Mamasa
kasus
Tahun
dilaporkan
Anggaran
jelas perkembangannya.
Mamasa)
korupsi Simon
yang tidak
2003 ( dilaprkan Des 2004,Feb 2005, dan Jan 2006 ke Kejakgung dan KPK ) 4
Kamzul
Dugaan
2006
Abar sempat diculik selama
Abrar(
korupsi yang
5 hari ( 2-7 Juni 2006) oleh
Aktivis
dilakukan oleh commit to user
sejumlah
orang
tidak
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Forum
Firdaus Kahar,
dikenal.
Peduli
Wali Nagari
dikaitkan
Nurani
Sulit iar,
Abrar dalam mengungkap
Rakyat (
Kab.Solok
kasus
FPNR ) sulit
Sumbar
dilakukan
air
Penculikan denganaktivitas
korupsi
yang
oleh
Wali
Nagari Sulit iar, Kab.Solok Sumbar. Pihak
Kepolisian
melakukan atas
kasus
belum
penyelidikan penculikan
tersebut.
Bertolak dari realita yang demikian, maka kehadiran LPSK di daerah sangat dibutuhkan. Walaupun Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, memprioritaskan kedudukan LPSK ini berada di ibukota Negara Republik Indonesia, namun disamping berkedudukan di ibukota Negara, Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, juga memberi keleluasan bagi LPSK untuk membentuk perwakilannya di daerah lainnya jika hal tersebut sesuai dengan kebutuhan dari LPSK. Pilihan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, untuk memberikan akses bagi LPSK untuk mendirikan lembaga perwakilan di daerah adalah pilihan yang tepat karena secara geografis wilayah Republik Indonesia yang akses informasi dan komunikasi yang terbatas baik antar wilayah maupun antar ibukota Negara dengan wilayah lainnya. Apalagi, kasus-kasus intimidasi terhadap saksi maupun korban yang terjadi selama ini justru paling banyak terjadi diluar wilayah Ibukota Negara Republik Indonesia. Perwakilan LPSK di daerah ini bisa ditafsirkan secara luas, yakni bisa berada di tingkat region tertentu ataupun di tiap provinsi. Bahkan bisa juga didirikan di level Kabupaten. Bahkan dalam kondisi
khusus (Penting dan
Mendesak) LPSK bisa didirikan di wilayah terpilih. Disamping itu Perwakilan commit to user
80 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
LPSK di daerah juga bisa didirikan secara permanen atau secara ad hoc, sangat tergantung dari dari situasi yang mendukungnya. Satu hal yang tidak boleh diabaikan atau dilupakan adalah kebutuhan untuk mendirikan perwakilan LPSK di daerah, juga akan memberikan implikasi atas sumber daya yang besar pula dari segi pembiayaan maupun penyiapan infrastruktur dan sumberdaya manusia. Berkaitan dengan sumber daya manusia sebagai pejabat di dalamnya, harus benar – benar profesional dan jauh dari intervensi kepentingan kelompok. Hal ini menjadi penting karena jangan sampai pendirian perwakilan LPSK di daerah yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pendamba keadilan ini, justru akan menjadi sesuatu yang kontra produktif, jika ketiga aspek ini tidak dikaji dengan benar.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP
A.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Adapun beberapa probematik normatif yang penulis cermati pada Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah sebagai berikut: a.
Pasal 1 ayat 1 Undang Nomor 13 Tahun 2006, definisi “saksi” kurang memadai dan masih dibebani oleh pngertian saksi menurut KUHAP sehingga
menutup
kemungkinan
perlindungan
terhadap
whistleblower. b. Pasal 1 poin 5 Undang Nomor 13 Tahun 2006, rumusan dalam pasal tersebut terlalu sempit, seharusnya konsep orang terkait ini tidak hanya menjangkau keluarga, namun dapat menjangkau orang lain yang mempunyai potensi membuat saksi tidak mau bersaksi bila orang tersebut di intimidasi. c. Pasal 5 ayat (2) Undang Nomor 13 Tahun 2006, terlihat adanya pembatasan terhadap saksi yang akan dilindungi, dan hal ini merupakan suatu kemunduran dari niat yang baik di balik undang – undang tersebut d. Ketidakjelasan
Pemberian
Perlindungan Kepada Saksi, Terkait
dengan bentuk perlindungan yang diberikan oleh undang – undang perlindungan saksi tersebut, rumusan tersebut tidak menjelaskan secara memadai beberapa pertanyaan yang mendasar berkenaan dengan apakah hak-hak ini diberikan kepada seluruh saksi dalam commit to user
81
82 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perkara pidana ? apakah hanya saksi yang yang tertentu saja (dalam ancaman)? e. Pasal 10 Undang Nomor 13 Tahun 2006, bila dicermati pasal tersebut masih akan menjadi penghalang bagi pengungkapan kasus-kasus sulit seperti korupsi. Tanpa adanya keberanian dari salah satu unsur tersebut untuk tampil sebagai whistleblower maka kecil sekali kemungkinan korupsi akan terbongkar. f. Saksi yang harus dilindungi, tidak jelas mengatur “status saksi” berkaitan dengan saksi dari pihak manakah yang bisa dilindungi. Apakah saksi
yang membantu pihak tersangka/ terdakwa ataukah
saksi dari pihak yang membantu pihak aparat penegak hukum. g. Undang - undang Perlindungan Saksi dan Korban juga Tidak Konsisten Pengaturan Jangka Waktu Perlindungan h. Lahirnya Beban Ganda dalam Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 akibat kondisi hukum acara pidana yang tidak memadai terkait dengan hak perlindungan saksi dan korban. i. Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, belum mengatur tentang peran serta masyarakat dan penghargaan terhadap orang yang memberikan kesaksian atau melaporkan tindak pidana
2.
Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat tergantung pada alat bukti yang berhasil dimunculkan di tingkat pengadilan, terutama yang berkenaan dengan saksi. Tidak sedikit kasus yang kandas di tengah jalan oleh karena ketiadaan saksi. Bertolak dari realita yang demikian, maka terlepas dari tidak sempurnanya Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, namun kehadiran LPSK di daerah sangat dibutuhkan. Pilihan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, untuk memberikan akses bagi LPSK untuk mendirikan lembaga perwakilan di daerah adalah pilihan yang tepat karena commit toIndonesia user secara geografis wilayah Republik yang akses informasi dan
83 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
komunikasi yang terbatas baik antar wilayah maupun antar ibukota Negara dengan wilayah lainnya. Apalagi, kasus-kasus intimidasi terhadap saksi maupun korban yang terjadi selama ini justru paling banyak terjadi diluar wilayah Ibukota Negara Republik Indonesia.
B. Saran
1. Ketidak jelasan
pengaturan – pengaturan, adanya unsur intervensi
kepentingan politik dalam penyusunan peraturan perundang - undangan dan munculnya beberapa kemunduran – kemunduran dari niat baik dibalik cita – cita undang – undang tersebut, tidak menghadirkan sebuah kerangka untuk institusi yang independen dan stabil yang mampu untuk mengatasi permasalahan yang kini dihadapi. Maka untuk memperbaiki hal tersebut seyogyanya diperlukan suatu revisi dari Undang - Undang Perlindungan Saksi dan Korban.
2. Dalam Undang – Undang Perlindungan Saksi dan Korban tersebut juga dipandang masih ada keterbatasan peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Untuk mengatasi hal tersebut, perlu adanya dukungan dan fasilitasi Presiden dengan membuat kesepakatan – kesepakatan kerjasama antar lembaga negara/instansi pemerintah lainnya untuk memperkuat kewenangan LPSK.
commit to user