TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Anjing Anjing termasuk hewan mamalia pemakan daging atau karnivora. Anjing mengalami domestikasi dari serigala sejak 1500 tahun yang lalu. Taksonomi anjing menurut Linnaeus (1778) dalam Anonim (2009) : Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrata
Class
: Mamalia
Ordo
: Canidae
Genus
: Canis
Spesies
: Canis lupus
Subspesies
: Canis lupus familiaris
Kondisi Kesehatan Anjing Kondisi kesehatan anjing secara umum dapat dilihat
dari
pemeriksaan fisik hewan baik secara inspeksi, palpasi maupun auskultasi. Pemeriksaan penunjang yang lebih spesifik yaitu pemeriksaan darah, urin, feses, elektrokardiografi (Bove 2010), radiografi (Guglielmini et al 2009) maupun ultrasonografi (Cutwell et al 2011). Theresa (2002) menyatakan anjing yang sehat terlihat mata dan anus bersih, respirasi tenang dan teratur, bulu halus bercahaya dan bersih, kulit kering dan lembut, kelenjar getah bening tidak ada pembengkakan dan simetris, hidung sedikit basah dan kering, pulsus teratur, gigi putih tanpa plak dan gusi berwarna merah muda dan cerah. Menurut Tiley dan Smith (1997) suhu tubuh normal anjing 37,8– 39,50C, frekuensi pernafasan normal 20-30 per menit dan detak jantung normal 120-140 per menit. Meyer (1992) memberikan gambaran darah normal anjing dewasa adalah Red Blood Cell (5,5–8,5) x 106/Ul, Hemoglobin (12–18) g/dL, Packed Cell Volume (37–55) %, Mean Cell Volume (60–72) fL, Mean Cell Hemoglobin Cell (31–37) g/dL, Red Distribution Width (12–16)%, White
4
Blood Cell (5,5–16,9) x 103/uL, Band neutrophils (0,0–0,299)x 103/uL, Segmented neutrophils (3,0-12,0) x 103/uL, Lymphocytes (1,0–4,9) x 103/uL, Monocytes (0,1–1,4) x103/uL, Eosinophil (0,1–0,49) x 103/uL, Platelets (175–500) x 103/uL, Basofil jarang. American
Society of Anesthesiologist (ASA) mengklasifikasikan
status pasien pada prosedur anastesi (Tabel 1).
Tabel 1. Klasifikasi status pasien pada prosedur anestesi Kategori
Kondisi fisik
Contoh kondisi klinis
Klas I Resiko minimal
Hewan normal (sehat klinis) Tidak ada penyakit
Ovariohisterektomi, kastrasi, operasi declawing, radiografi hipdisplasia
Klas II Risiko ringan, ada penyakit ringan
Hewan dengan gangguan atau penyakit sistemik ringan, ada kemampuan kompensator, tidak ada gejala klinis penyakit.
Hewan neonatal atau geriatrik, obesitas, tumor kulit, hernia tanpa komplikasi, criptorchid, fraktura tanpa shock, diabetes ringan, penyakit jantung dengan kompensator, infeksi lokal, infeksi cacing jantung ringan.
Klas III Resiko sedang, ada penyakit yang pasti
Hewan dengan gangguan atau penyakit sistemik sedang terdapat gejala klinis ringan.
Anemia, anoreksia, dehidrasi sedang penyakit ginjal ringan, murmur ringan jantung atau penyakit jantung, demam, hipovolemia sedang.
Klas IV Resiko tinggi, sangat berbahaya karena penyakit
Hewan dengan penyakit sistemik berat tetapi dapat menjalani pengobatan atau gangguan alami yang berat
Dehidrasi berat, shock, uremia, toksemia, demam tinggi, anemia, penyakit jantung tidak terkompensasi, diabetes, gangguan ginjal dan pulmonum, serta kekurusan.
Klas V Resiko sangat berat atau parah
Pasien parah hampir mati, dengan atau tanpa operasi tidak ada harapan hidup dalam 24 jam.
Penyakit jantung, ginjal, hati, paru-paru, atau endokrin yang lanjut; shock berat dengan disertai dehidrasi berat, luka kepala yang parah, trauma berat, emboli pulmonum, dan tumor maligan stadium akhir. Suber: Lumb dan Jones,1996; Muir et al. 2000; McKelvey dan Hollingshead, 2003
Dari tabel 1, kriteria hewan yang digunakan pada penelitian ini termasuk pada kategori klas I.
5
Kondisi kesehatan anjing khususnya jantung harus ditunjang pula oleh pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG), Radiografi toraks dan Ekhokardiografi (USG jantung).
Elektrokardiografi berguna mengetahui
kelainan irama dan otot jantung, pengaruh obat jantung, deteksi ada gangguan elektrolit dan memperkirakan ada pembesaran jantung (Gravahan 2003),
selanjutnya radiografi toraks dilakukan bila ada keluhan seperti
kardiopulmonari, dispnoe, takhipnoe, batuk, dan abnormalitas suara paru atau jantung. Radiografi toraks juga digunakan untuk mengetahui ukuran jantung hewan (Gravahan 2003). Ekhokardiografi pada pencitraan M-mode digunakan untuk melihat empat ruang jantung, denyut dan ritme jantung, evaluasi gerakan dinding ventrikel dan interventricular septum, mengukur ketebalan dinding dari tiap ruang saat sistol dan diastol (Cutwell, Bonagura dan Schober 2011), struktur dan fungsi katup atrioventrikular (Carlsson et al 2009), chordae tendineae dan otot pappilari, juga ketebalan dari epikardium/perikardium dan melihat ada cairan atau massa di ruang perikardium (Barr 1990). Cairan tubuh adalah konduktor yang baik, maka aktivitas kelistrikan jantung dideteksi dari permukaan tubuh dan dimonitor dengan alat yang disebut elektrokadiograf. Elektrokardiograf membuat rekaman grafik yang disebut elektrokardiogram. Elektrokardiograf merupakan alat yang sangat umum digunakan untuk mendiagnosa disfungsi elektris jantung (Becker 2006). Elektrokardiografi dapat direkam dengan menempelkan elektroda pada tempat tertentu di kulit, dan voltase yang terekam oleh elektroda akan terlihat di dalam layar monitor atau tergambar di atas kertas.
Hasil
perekaman elektrokardiografi berupa defleksi voltase yang disebabkan oleh depolarisasi atrial dan ventrikel, serta repolarisasi ventrikel (Colville & Bassert 2002).
6
SISTEM KARDIOVASKULAR
Gambar 1. Anatomi jantung anjing (O’Grady dan O′Sullivan 2010)
Jantung berada dalam rongga toraks dibagian mediastinum. Jantung karnivora berbentuk ovoid, dan pada anjing memanjang antara intercostal ketiga sampai keenam. Sumbu memanjang jantung membentuk sudut 45 derajat dengan sternum. Bagian basis jantung mengarah ke craniodorsal dan apeks berada pada garis tengah pertemuan diafragma dengan sternum (Colville & Bassert 2002). Otot jantung bergaris seperti pada otot lurik. Perbedaannya terdapat pada serabut yang bercabang dan mengadakan anastomose bersambung satu sama lain, tersusun memanjang seperti pada otot bergaris, dan tidak dapat dikendalikan kemauan (Pearce 2009). Aktvitas listrik jantung akibat dari perubahan permeabilitas membran sel yang memungkinkan pergerakan ion-ion melalui membran tersebut. Masuknya ion-ion, maka muatan listrik sepanjang membran ini mengalami perubahan yang relatif. Ada tiga macam ion yang mempunyai fungsi penting dalam elektrofisiologi sel, yaitu kalium (K+), natrium (Na+), dan kalsium (Ca2+). Kalium lebih banyak di dalam sel, sedangkan kalsium dan natrium terdapat di luar sel (Syaifuddin 2009).
7
Dalam keadaan istirahat, sel-sel otot jantung mempunyai muatan positif di bagian luar sel dan muatan negatif di dalam sel. muatan bagian luar dan bagian dalam sel disebut
Perbedaan
resting membrane
potensial. Bila sel dirangsang akan terjadi perubahan, muatan dalam sel berubah menjadi positif, sedangkan di luar sel menjadi negatif.
Proses
terjadinya perubahan muatan akibat rangsangan dinamakan depolarisasi. Kemudian setelah rangsangan sel berubah kembali pada keadaan muatan semula, proses ini dinamakan repolarisasi. dinamakan aksi potensial.
Seluruh proses tersebut
Aksi potensial yang terjadi disebabkan oleh
rangsangan listrik, kimia, mekanik, dan termis ( Syaifuddin 2009 ). Aksi potensial dibagi dalam lima fase yaitu ( Syaifuddin 2009 ) : 1. Fase istirahat Bagian luar sel jantung bermuatan positif dan bagian dalam sel bermuatan negatif. Membran sel lebih permeabel terhadap kalium dari pada natrium sehingga sebagian kecil kalium merembes keluar sel. 2. Fase depolarisasi Peningkatan permeabilitas membran terhadap natrium sehingga natrium masuk ke dalam sel. 3. Fase polarisasi parsial Segera setelah terjadi depolarisasi, terdapat sedikit perubahan masuknya kalsium ke dalam sel. 4. Fase plato ( keadaan stabil ) Fase depolarisasi diikuti keadaan stabil yang agak lama dimana keseimbangan ion positif masuk dan keluar. Aliran kalsium dan natrium masuk dan keluar dengan seimbang. 5. Fase repolarisasi ( cepat ) Muatan kalsium dan natrium secara berangsur-angsur meningkat sehingga kalium keluar dari sel dengan cepat.
8
Jantung tersusun atas otot yang bersifat khusus dan terbungkus oleh sebuah membran yang disebut perikardium. Membran ini terdiri dari dua lapis yaitu perikardium viseral dan perikardium parietal. Di sebelah dalam jantung dilapisi endotelium. Lapisan ini disebut endokardium.
Katup-
katupnya hanya merupakan bagian yang lebih tebal dari membran ini (Reece 2006). Menurut Pearce (2009), tebal dinding jantung dilukiskan terdiri atas tiga lapis, yaitu: Pericardium atau pembungkus luar, Myocardium atau lapisan otot tengah, dan Endocardium sebagai batas dalam. Dinding otot jantung tidak sama tebalnya. Dinding ventrikel paling tebal dan dinding di sebelah kiri lebih tebal dari dinding sebelah kanan. Dinding atrium tersusun atas otot yang lebih tipis (Pearce 2009). Sebelah dalam dinding ventrikel ditandai berkas-berkas otot yang tebal yaitu otot-otot papilaris. Pada tepi bawah otot-otot ini terkait benang-benang tendon tipis, yaitu chordae tendineae. Benang-benang ini mempunyai kaitan kedua yaitu pada tepi bawah katup atrio-ventrikuler. Kaitan ini menghindarkan kelopak katup terdorong masuk ke dalam atrium, bila ventrikel berkontraksi (Lippold and Cogdel 1991). Jantung memiliki empat ruangan yaitu dua ruang yang berdinding tipis yang disebut atrium atau serambi dan dua ruang yang berdinding tebal yang disebut ventrikel atau bilik. Atrium kanan dan kiri dipisahkan oleh sekat yang dikenal sebagai septum interatrium sedangkan ventrikel kiri dan kanan dipisahkan oleh sekat yang disebut septum interventrikel. Jantung memiliki empat katup yang berfungsi untuk mengatur sirkulasi darah. Setiap katup berespon terhadap perubahan tekanan. Katup dikelompokkan dalam dua jenis yaitu katup atrioventrikular dan katup semilunar. Katup atrioventrikular terletak diantara atrium kanan dan ventrikel kanan mempunyai tiga buah daun katup, disebut katup trikuspidalis. Sedangkan katup yang letaknya diantara atrium kiri dan ventrikel kiri mempunyai dua daun katup disebut katup mitral atau bikuspidalis. Katup semilunar memisahkan ventrikel dengan arteri yang berhubungan. Katup semilunar pulmonal terletak pada arteri pulmonalis, memisahkan pembuluh darah ini 9
dari ventrikel kanan. Katup semilunar aorta terletak antara ventrikel kiri dan aorta. Kedua katup semilunar ini mempunyai bentuk yang sama, terdiri dari tiga daun katup yang simetris setengah bulan disertai penonjolan menyerupai corong yang dikaitkan dengan sebuah cincin serabut (Reece 2006). Anatomi jantung dapat dilihat pada gambar 1. Jantung memompa darah dalam dua sirkuit, yaitu sirkulasi sistemik atau peredaran darah besar yaitu dari jantung keseluruh tubuh kembali ke jantung dan sirkulasi pulmonari atau peredaran darah kecil, yaitu jantung ke paru kembali ke jantung. Setiap sistem sirkulasi dibagi menjadi sistem vena dan sistem arterial. Sistem sistemik vena bermula dari darah yang tidak mengandung oksigen masuk ke atrium kanan melalui vena jantung yaitu vena cava cranialis dan vena cava caudalis (Reece 2006). Dari sini darah mengalir menuju ke ventikel kanan, yang kemudian akan dipompa masuk ke sirkulasi pulmonari terutama arteri pulmonari.
Pembuluh darah yang
membawa darah ke jantung disebut vena sedangkan yang membawa darah keluar dari jantung disebut arteri. Arteri pulmonari adalah satu-satunya arteri yang membawa darah yang tidak mengandung oksigen.
Vena
pulmonari adalah satu-satunya vena
yang
yang
membawa darah
mengandung oksigen. Darah dalam arteri pulmonalis mengalir ke pembuluh kapiler paru disini karbon dioksida akan dibuang dan diganti oleh oksigen. Darah yang sudah mengandung oksigen kemudian mengalir melalui vena pulmonari menuju ke atrium kiri kemudian ke ventrikel
kiri
yang
selanjutnya akan diedarkan keseluruh tubuh melalui aorta (Conville and Bassert 2002).
Konduksi listrik jantung Sistem perangsangan dan konduksi listrik jantung yang mengatur konduksi listrik jantung, konduksi listrik jantung (pace maker) ini antara lain: SA node (nodus sinoatrial) impuls perangsangan ritmis yang normal dicetuskan, kemudian menuju ke jalur internodus yang menjalarkan impuls dari nodus sinus menuju ke nodus AV node (nodus atrioventrikular), impuls dari atrium mengalami perlambatan sebelum masuk ke ventrikel. 10
Selanjutnya, His Bundle (serabut His) yang akan membawa impuls yang berasal dari atrium ke ventrikel, dan berkas serabut purkinje kiri dan kanan yang membawa impuls-impuls jantung ke seluruh bagian ventrikel. Sistem konduksi jantung ini berfungsi untuk membangkitkan impuls-impuls yang menyebabkan timbulnya kontraksi ritmis otot jantung, dan untuk mengkonduksikan impuls ini dengan cepat ke seluruh jantung (Cunningham 2002).
Dinamika jantung Siklus jantung adalah peristiwa yang berawal dari permulaan sebuah debar jantung sampai debar jantung berikutnya. Siklus jantung terdiri dari dua bagian yaitu sistol dan diastol. Sistol adalah periode jantung berkontraksi dengan meningkatkan tekanan dalam jantung sehingga darah dikeluarkan menuju sirkulasi sistemik dan pulmonar. Sedangkan periode jantung berelaksasi dan terisi darah disebut diastol (Conville and Bassert 2002). Dalam satu siklus jantung terdapat 7 fase yang dimulai dari periode sistol sampai dengan diastol (Lampiran 12. dan Tabel 2). Fase yang pertama disebut kontraksi atrium (atrial contraction) dimana terjadi kontraksi atrium baik kanan maupun kiri, darah yang berasal dari atrium kanan masuk ke dalam ventrikel kanan dan darah yang berasal dari atrium kiri masuk ke dalam ventrikel kiri, pada kondisi ini katup atrioventrikular terbuka dan katup semilunar tertutup. Setelah darah masuk ke ventrikel, tekanan di dalam ventrikel akan meningkat. Tekanan yang tinggi di dalam ventrikel menyebabkan
tertutupnya
katup
atrioventrikular.
Penutupan
katup
atrioventrikular ini menghasilkan suara jantung ‘lup’ (S1) (Setiadi 2007). Fase
yang
kedua
disebut
kontraksi
isovolumetrik
(isovolumetrik
contraction), merupakan suatu fase dimana ventrikel telah berkontraksi tetapi belum terjadi perubahan volume darah di ventrikel baik ventrikel kanan maupun kiri. Pada kondisi ini katup atrioventrikular dan semilunar tertutup. Karena tekanan di kedua ventrikel semakin meningkat dan impuls listrik telah mencapai ventrikel, maka darah akan diejeksikan dari ventrikel kanan ke arteri pulmonalis dan ventrikel kiri ke pembuluh aorta. Fase ketiga 11
ini disebut juga sebagai rapid ejection, pada kondisi ini terjadi pembukaan katup semilunar aorta dan semilunar pulmonalis, sedangkan katup atrioventrikular masih tertutup. Kemudian memasuki fase keempat yang disebut reduced ejection, darah yang diejeksikan dari ventrikel semakin lama semakin berkurang, pada fase ini tidak ada perubahan kondisi katup masih sama dengan fase yang ketiga. Selanjutnya, fase yang kelima disebut isovolumetrik relaxation, merupakan suatu kondisi dimana terjadi relaksasi di ventrikel tetapi tidak terjadi perubahan volume (Udjianti 2010). Tekanan di kedua ventrikel menurun drastis, karena tekanan di ventrikel lebih rendah dari pada di atrium mengakibatkan penutupan katup semilunar baik aorta maupun pulmonalis yang akan menghasilkan suara jantung ‘dup’ (S2) (Setiadi 2007). Karena tekanan di kedua ventrikel menurun drastis mengakibatkan terbukanya katup atrioventrikular. Pembukaan katup atrioventrikular, menyebabkan terjadinya pengisian darah secara pasif dari atrium ke ventrikel. Fase keenam ini disebut dengan rapid filling. Kemudian fase yang ketujuh adalah reduced ejection, darah semakin sedikit yang berpindah ke ventrikel. Pengisian darah secara pasif dari atrium ke ventrikel sebesar 90% dari volume darah akibat pembukaan katup atrioventrikular. Setelah itu, fase ini akan kembali ke fase yang pertama yaitu atrial contraction, dimana terjadi pengisian darah secara aktif sebesar 10% dari volume darah akibat kontraksi atrium (Reece 2006). Jantung memompa darah melalui dua sirkuit, yaitu sirkulasi sistemik dan sirkulasi pulmonal dalam setiap denyut (Tortora 2005). Darah dari seluruh tubuh melewati dua vena besar yang disebut vena cava masuk ke atrium kanan. Saat ventrikel kanan berelaksasi, darah dari atrium kanan mengalir menuju ventrikel kanan melalui katup trikuspidalis. Saat ventrikel hampir dipenuhi darah, atrium kanan berkontraksi mendorong darah masuk ke dalam ventrikel kanan. Kemudian ventrikel kanan berkontraksi mendorong darah masuk ke dalam arteri menuju paru melalui katup pulmonal. Dalam paru-paru, darah menyerap oksigen yang ditukar dengan karbondioksida, kemudian darah mengalir melalui vena pulmonal menuju atrium kiri. Saat ventrikel kiri berelaksasi, darah dari atrium kiri mengalir
12
melalui katup berkontraksi untuk mendorong darah masuk ke ventrikel kiri. Kemudian ventrikel kiri berkontraksi untuk mendorong darah melalui katup semilunar aorta ke dalam mitral menuju ventrikel kiri. Saat ventrikel kiri hampir dipenuhi darah, atrium kiri akan pembuluh aorta menuju ke seluruh tubuh. Darah yang didistribusikan mengandung oksigen dan akan disuplai ke seluruh tubuh kecuali paru (Calvert 2007).
Gambar 2. Siklus Jantung (O′Grady & O′Sillivan 2010) Keterangan :A (aorta), RA (Right Atrial), RV (Right Ventricular), LA (Left Atrial), LV (Left Venticular), AV(atrioventricular), PA (Pulmonary Artery),⇒ Arah Siklus Jantung
Elektrokardiografi Cairan tubuh adalah konduktor yang baik, maka aktivitas kelistrikan jantung dapat dideteksi dari permukaan tubuh yang dimonitor dengan alat elektrokadiograf. Elektrokardiograf yang membuat rekaman grafik disebut elektrokardiogram.
Elektrokardiograf
digunakan
untuk
mendiagnosa
disfungsi elektris jantung dengan menempelkan elektroda pada tempat tertentu di kulit, dan voltase yang terekam oleh elektroda akan terlihat di layar atau tergambar di atas kertas.
Hasil perekaman elektrokardiograf
berupa defleksi voltase karena depolarisasi atrial dan ventrikel, serta repolarisasi ventrikel ( Colville and Bassert 2002 ).
13
Gambar 3. Elektrokardiogram ( O′Grady & O′Sillivan 2010) Keterangan : P=depolarisasi kedua atrium, Kompleks QRS=depolarisasi ventrikel, T=repolarisasi ventrikel, P amp = amplitudo gelombang P ; P dur = durasi gelombang P; PR int = interval PR; R amp = amplitudo gelombang R ; QRS dur = durasi gelombang komplek QRS ; QT int = interval QT; T amp = amplitudo gelombang T.
Elektrokardiogram normal terdiri dari gelombang P, “kompleks” QRS, dan gelombang T. Gelombang P adalah arus listrik yang dibangkitkan sewaktu atrium mengalami depolarisasi sebelum berkontraksi, dan kompleks
QRS
ketika
ventrikel
mengalami
depolarisasi
sebelum
berkontraksi. Oleh karena itu P dan QRS adalah gelombang depolarisasi. Gelombang T
oleh repolarisasi ventrikel (Colville and Bassert 2002).
Gelombang tersebut di elektrokardiogram dapat dilihat pada gambar 3.
Ekhokardiografi Ekhokardiografi atau ultrasonografi jantung adalah teknik dalam citra jantung melalui gelombang ultrasound yang dipantulkan atau ekho. Ekhokardiografi merupakan metode yang aman, non-invasif untuk diagnosa anatomik dan hemodinamik. Pemahaman terhadap sifat fisik dari ultrasound sangat penting untuk pemeriksaan ekhokardiografi dengan interpretasi hasil yang didapat (Gravahan 2003 ). Metode ekhokardiografi berbeda dengan teknik abdominal karena penempatan transduser hanya pada window yang terbatas di antara tulang rusuk dan paru yang berisi udara. Keterbatasan ini membutuhkan transduser dengan permukaan kecil. Pemeriksaan ekhokardiografi untuk menampilkan gambar terbaik dengan transduser sector atau curvelinear. 14
Frekuensi
transduser yang disarankan yaitu 8-12 MHz untuk kucing dan anjing dengan ukuran kecil, 3-8 MHz untuk anjing dengan bobot berkisar 5-40 kg, dan 2-4 MHz untuk anjing dengan ukuran besar (>40 kg). Pada gambar 4 dapat dilihat axis sentral ventrikel kiri atau left ventricular axis dibayangkan sebagai garis imajiner yang memanjang antara apeks dan basis jantung pada bagian tengah lumen ventrikel kiri. Saat transduser diorientasikan pada scan plane atau sejajar dengan garis axis ini, didapatkan gambaran long-axis. Jika scane plane tegak lurus garis axis, didapatkan gambaran short-axis (Panninck and d′Anjou 2008).
Gambar 4. Ekhokardiografi orientasi dan anatomi ( Panninck and d′Anjou 2008 ).
Standart pencitraan ekhokardiografi yang ditetapkan oleh American Society of Echocardiography pada tahun 2004 (Penninck and d′Anjou 2008 ) adalah :
Right Parasternal View ( RPS ) Hewan berada dalam posisi berbaring ke kanan.
Transduser
diposisikan setelah terpalpasi detak jantung antara intercostae 4-6 dan antara sternum dan costo - condral junction. Posisi transduser bisa shortaxis view atau long-axis view. Pada short-axis view didapatkan pencitraan B-mode yang dapat dilihat pada gambar 6, dengan menekan tombol M-mode
15
maka didapatkan pencitraan M-mode untuk pengukuran dimensi ruang jantung dan ketebalan otot jantung yang meliputi left ventricular internal dimension at end-diastole (LVIDd) yaitu dimensi internal ruang ventrikel kiri saat akhir diastol, left ventricular internal dimension at end-systole (LVIDs) yaitu dimensi internal ruang ventrikel kiri saat akhir systole, left ventricular posterior wall thickness at end-diastole (LVWd) yaitu ketebalan dinding ventrikel kiri bagian posterior saat akhir diastole, left ventricular posterior wall thickness at end-systole (LVWs) yaitu ketebalan dinding ventrikel kiri bagian posterior saat akhir systole, interventricular septal thicknessat
end-diastole
(IVSd)
yaitu
ketebalan
dinding
septa
interventrikular saat akhir diastole, interventricular septal thickness at endsystole (IVSs) yaitu ketebalan dinding septa interventrikular saat akhir systole. Ejection Time (ET) adalah waktu yang dibutuhkan untuk ventrikel kanan dan kiri berkontraksi mengeluarkan darah ke sirkulasi pulmonum dan sirkulasi sistemik, dihitung dari end-diastole sampai end-systole (Panninck and d’Anjou 2008). Pengukuran pencitraan ekhokardiografi M-mode dapat dilihat pada gambar 8. Pengukuran LVID, LVW dan IVS dilakukan untuk mengetahui fungsi myocardial, kemudian didapatkan nilai Fractional Shortening (FS) dari perhitungan rumus : FS = (LVIDd – LVIDs) : LVIDd, Left ventricular volume at end diastole (EDV) = (LVIDd)2, Left ventricular volume at end systole (ESV) = (LVIDs)2, Stroke Volume (SV)= EDV – ESV, Cardiac output adalah volume darah yang dikeluarkan ventrikel baik itu dari ventrikel kiri maupun ventrikel kanan ke dalam sirkulasi pulmonal dan sistemik selama satu menit (Udjianti 2010). Cardiac Output (CO) = (SVxHR). Nilai-nilai ini digunakan untuk mengetahui daya kerja ventrikel (Penninck and d’Anjou 2008).
16
Gambar 5. Right parasternal long axis-view (O′Grady & O′Sillivan 2010) Keterangan : • Right parasternal long-axis four-chamber view (2a). • Right parasternal long-axis left ventricular outflow tract view (2b). • Right parasternal long-axis view of the left ventricular inflow and outflow tracts (2c).
Gambar 6. Right Parasternal short-axis view (O′Grady & O′Sillivan 2010) Keterangan: • Right parasternal short-axis view at the level of the papillary muscles (3.2) • Right parasternal short-axis view at the level of the chordae tendinae (3.3) • Right parasternal short-axis view at the level of the mitral valve (3.4) • Right parasternal short-axis view at the level of the aortic valve (3.5) • Right parasternal short-axis view at the level of the pulmonary arteries (3.6)
17
Gambar 7. Right Parasternal ( RPS ) short axis view ( Panninck & d′Anjou 2008 ).
ID
Gambar 8. M-mode pada Left Ventricel ( LV ) level ( Panninck & d′Anjou 2008)
Left apical view ( LAp ) Hewan berada dalam posisi berbaring ke kiri. Transduser diposisikan setelah terpalpasi detak jantung antara intercostae ke 5-7 dan antara sternum dan costo-condral junction (Panninck and d′Anjou 2008). Dari posisi LAp akan menampilkan empat ruang jantung dan membawa aorta masuk ke dalam scan plane sehingga memungkinkan visualisasi katup aortik. Scan plane ini memberikan citra apical five-chamber dan cocok untuk perhitungan kecepatan aliran darah aorta. Dari sudut apical four-chamber, transduser diputar 900 searah jarum jam menghasilkan apical two-chamber termasuk atrium dan ventrikel kiri (Panninck and d’Anjou 2008). Posisi Left Apical View dapat dilihat pada gambar 9.
18
Gambar 9. Left Apical View ( Panninck & d′Anjou 2008).
Left parasternal view ( LPS ) Hewan berada dalam posisi berbaring ke kiri. Setelah terpalpasi detak jantung diposisikan antara intercostae 3-4 dan antara sternum dan costo-condral junction (Gambar 10 dan 11) (Penninck & d’Anjou 2008).
19
Gambar 10. Left Parasternal Short Axis View ( Panninck & d′Anjou 2008).
20
Gambar 11. Left Parasternal Long Axis View ( Panninck & d′Anjou 2008).
Suprasternal dan Subcostal View Hewan
berada
dalam
posisi
berbaring
ke
kanan,
dengan
menempatkan transduser pada processus xiphoideus dan menekannya ke abdomen sekaligus mengarahkan transduser hampir secara langsung ke cranial ( Panninck and d′Anjou 2008 ).
21
Xylazine Farmakologi Alpha-2 adrenoreceptor memiliki potensi sedativa dan analgesika. Xylazine merupakan golongan obat ini yang pertama kali dipergunakan di kedokteran hewan. Xylazine bekerja pada reseptor alpha-1 dan 2 (Gambar 12). Efek agonist xylazine pada reseptor alpha terletak di jantung yaitu dengan mendepres sistem kardiovascular (Seymour and Novakovski 2007).
Gambar 12. Efek utama yang dimediasi oleh alfa dan beta adrenoceptor ( Mycek, Harvey & Champe 1997)
Norepinephrine merupakan neurotransmiter yang bekerja pada saraf adrenergik.
Menurut
Mycek,
et
al.,
1997,
norepinephrine ada lima tahap (Gambar 13), yaitu :
22
proses
pembentukkan
Gambar 13. Pembentukan dan pelepasan Norepinephrine dari saraf adrenergic
1. Sintesis dari norepinephrine Tyrosine masuk ke dalam axonplasma dari saraf adrenergik dengan batuan Na+, kemudian dihidroksilasi menjadi dihydroksyphenylalanine (DOPA) oleh tyrosine hydroksylase.
Ini merupakan awal mula terbentuknya
norepinephrine. DOPA kemudian dikarboksilasi membentuk dopamine.
2. Penyimpanan norepinephrine ke dalam kantong Dopamine kemudian masuk ke dalam kantong sinaptik (synaptic vesicles atau synaptic knob). norepinephrine dengan dalam
kantong
Dopamine
dihidroksilasi
membentuk
bantuan enzim Dopamine β-hydroxylase.
Di
sinaptik mengandung dopamine atau norepinephrine
ditambah adenosine triphosphate dan β-hydroxylase.
23
3. Pelepasan norepinephrine Ketika ada potensial aksi maka akan merangsang masuknya ion kalsium (Ca++) dari cairan ekstraseluler masuk ke sitoplasma saraf. Peningkatan kalsium pada membrana sel kantong sinaptik menyebabkan kantong sinaptik melepaskan norepinephrine menuju ke sinaps.
4. Pengikatan dengan reseptor Norepinephrine yang dilepaskan dari kantong sinaptik akan menyeberangi ruang sinaptik (synaptic space) dan berikatan dengan reseptor posinaptik pada organ efektor (alpha-1 reseptor) dengan menstimulasi pelepasan norepinephrine
atau pada presinaptik reseptor (alpha-2 reseptor) pada
ujung saraf dengan menghambat pelepasan norepinephrine.
5. Penghancuran norepinephrine Setelah norepinephrine dilepas dari presinaptik saraf, norepinephrine akan cepat kembali masuk ke dalam kantong sinaptik, dan kemudian dihancurkan dengan bantuan enzyme monoamine oxidase (MAO). Norepinephrine yang tidak diabsorbsi oleh kantong sinaptik akan dihancurkan oleh enzim lain yang disebut catechol-O-methyl transferase (COMT).
Farmakokinetik Pada pemberian dengan rute intra muscular absorbsi xylazine cukup cepat. Pada kucing dan anjing onset pemberian obat ini baik secara intra muscular maupun sub kutan sekitar 10 – 15 menit, dan 2 – 5 menit pada pemberian dengan rute intra vena. Efek analgesik yang ditimbulkan hanya sekitar 15-30 menit, akan tetapi efek sedativnya dapat bertahan sekitar 1-2 jam tergantung dari besarnya dosis yang diberikan. Dosis anaestesi pada anjing
1,1 mg/kg bb secara intra vena dan 1,1-2,2 mg/kg bb secara
intra muscular atau sub kutan (Plumb 2005).
24
Ketamine HCL Farmakologi Ketamine adalah derivat sikloheksil dengan rumus mirip fensiklidin (Thay 2007). Ketamine merupakan larutan tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan relatif aman. Ketamine memiliki sifat analgesik, anastetik, dan kataleptik dengan kerja singkat (Gunawan 2009). Neurofarmakologi ketamine cukup kompleks, berikatan dengan beberapa neurotransmiter yaitu reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) dan reseptor non NMDA glutamate, reseptor nicotinic dan muscarinic cholinergic, reseptor monoaminergik dan opoid (Seymour and Novakovski 2007).
Ketamine berefek meningkatkan kontraksi dan spasmus otot
kombinasi dengan alpha-2 agonis, acepromazine dan benzodiazepine akan menurunkan efek tersebut (Seymour and Novakovski 2007). Efek ketamine pada sistem kardiovaskular meningkatkan frekuensi jantung (heart rate), tekanan darah, dan cardiac output (CO). Peningkatan hemodinamika ini bervariasi tergantung pada peningkatan kerja otot jantung dan kebutuhan oksigen. Pada jantung sehat peningkatan suplai oksigen terjadi karena ada vasodilatasi dari pembuluh darah koroner dan peningkatan cardiac output (Seymour and Novakovski 2007). Glutamate dan aspartate termasuk kelas excitatory amono acid (eksitatori asam amino) yang menghasilkan eksitasi pada semua level interneuron karena depolarisasi yang dihasilkan dari peningkatan sodium dan kation lainnya (Brander 1991). Glutamate dan aspartate adalah transmiter eksitatori asam amino dengan distribusi yang luas di spinal cord dan otak. Agen anastesi disosiasi seperti ketamine, phencyclidine dan tiletamine menurunkan efek eksitatori yang dihasilkan oleh glutamate dan aspartate. Ada tiga subtipe reseptor yang dikeluarkan saraf melalui glutamate dan aspartate. Salah satu dari ketiga subtipe reseptor ini adalah reseptor N-methylaspartate (NMA), dan agen disosiasi bekerja sebagai selektif antagonis, dan efek anastesinya dihasilkan dari blokade reseptor (Brander 1991).
25
Ketamine dapat
menghambat reseptor NMDA di susunan saraf pusat dan dapat menurunkan efek “ wind-up “ (Plumb 2005). Efek anastesinya disebabkan oleh penghambatan efek membran dan neurotransmiter eksitasi asam glutamat pada reseptor N-metil-D-aspartat. Efek analgesiknya sangat kuat untuk sistem somatik, tetapi lemah untuk sistem viseral. Ketamine tidak menyebabkan relaksasi otot lurik, bahkan kadang-kadang tonusnya meningkat (Gunawan 2009). Anastesi dengan ketamine diawali dengan terjadinya disosiasi mental pada 15 detik pertama, kadang sampai halusinasi, keadaan ini dikenal sebagai anastesi disosiasi. Disosiasi ini sering disertai keadaan kataleptik berupa dilatasi pupil, salivasi, gerakan tungkai spontan, dan peningkatan tonus otot. Kesadaran segera pulih setelah 10 – 15 menit, analgesi bertahan sampai 40 menit, sedangkan amnesia berlangsung sampai 1 – 2 jam. Pada masa pemulihan dapat terjadi emergence phenomenon yang merupakan kelainan psikis berupa disorientasi, ilusi, dan mimpi buruk.
Kejadian
fenomena ini dapat dikurangi dengan pemberian diazepam sebelum pemberian ketamine (Gunawan 2009). Ketamine
adalah
satu-satunya
anastetik
yang
merangsang
kardiovaskular karena efek perangsangannya pada pusat saraf simpatis. Tekanan darah, frekuensi nadi, dan curah jantung naik sampai 25%, sehingga ketamine bermanfaat untuk pasien dengan resiko hipotensi dan asma (Gunawan 2009). Efek ketamine pada sistem kardiovaskular meliputi peningkatan cardiac output, denyut nadi, dan tekanan darah. Kenaikkan hemodinamik berhubungan dengan peningkatan kerja myocardial (otot jantung) dan konsumsi oksigen. Pada jantung yang sehat suplai oksigen dapat meningkat melalui dilatasi pembuluh darah koroner dan peningkatan cardiac output. Rangsangan dari pusat sistem simpatis bertanggung jawab pada rangsangan sistem kardiovaskular. Penggunaan secara bersama-sama dengan sedativa akan mengurangi efek stimulasi dari ketamine (Seymour and Novakovski 2007).
26
Ketamine menghambat GABA, dan juga memblok serotonin, norepinefrin, dan dopamin di sistem saraf pusat (Plumb 2005).
Farmakokinetik Setelah pemberian ketamine secara intra muscular pada kucing dan anjing, level puncak akan terjadi 10-15 menit setelah pemberian (Seymour and Novakovski 2007). Ketamine didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh dengan cepat, dengan level paling tinggi dapat ditemukan di otak, hati, paru dan lemak. Ketamine dimetabolisme di hati dan menghasilkan metabolit berupa demethylation dan hydroxylation dan sebagian dalam bentuk utuh akan dieleminasi melalui urin. Waktu paruh eliminasi ketamine pada kucing, anjing, sapi, dan kuda sekitar 1 jam dan pada manusia 2-3 jam. Dosis anaestesi pada anjing 11mg/kg bb (Plumb 2005). Zolazepam - Tiletamine Farmakologi Zoletil merupakan sediaan kombinasi dari Zolazepam dan Tiletamine dengan perbandingan 1:1 (250 mg zolazepam, 250 mg tiletamine). Bentuk sediaan Zoletil adalah serbuk yang kemudian dilarutkan dengan 5 ml saline, 5% dextrose atau aquadestilata steril sehingga tiap mililiter larutan mengandung 50 mg zoletil, 50 mg tiletamine. Larutan ini dapat disimpan selama 4 hari pada temperatur ruang dan 14 hari dalam lemari pendingin. Efek farmakologi kombinasi zolazepam dan tiletamine serupa dengan kombinasi diazepam dan ketamine (Seymour and Novakovski 2007). Zolazepam adalah senyawa turunan pyraolodiazepinon yang secara struktural terkait dengan obat-obatan benzodiazepine, yang mempunyai efek sebagai muscle relaxant dan anticonvulsant.
Zolazepam sendiri dapat
menekan susunan saraf pusat secara ringan dan mempunyai efek yang minimal terhadap cardiorespiratory (Seymour and Novakovski 2007).
27
Diazepam termasuk pada golongan benzodiazepine (Mycek, Harvey and Champe 1997). Reseptor benzodiazepine hanya ditemukan di sistem saraf pusat dan lokasinya pararel dengan saraf GABA (Mycek, Harvey and Champe 1997). Benzodiazepine menyebabkan sedasi, hipnotik dan sedikit memiliki kemampuan analgesik (Mycek, Harvey and Champe 1997). Efek benzodiazepine pada sistem kadiovaskular umumnya ringan, kecuali pada intoksikasi berat.
Pada dosis praanaestesi semua benzodiazepine dapat
menurunkan tekanan darah dan menaikkan frekuensi jantung (Gunawan 2009). Benzodiazepine tidak mampu menghasilkan tingkat depresi saraf sekuat golongan barbiturat atau anaestesi umum.
Peningkatan dosis
benzodiazepine menyebabkan depresi susunan saraf pusat, tapi obat golongan ini tidak benar-benar memperlihatkan efek anaestesi umum yang spesifik, karena kesadaran pasien tetap bertahan dan relaksasi otot yang diperlukan
untuk
pembedahan
tidak
tercapai.
Mekanisme
kerja
benzodiazepine pada susunan saraf pusat terutama merupakan interaksinya dengan reseptor penghambat neurotransmiter yang diaktifkan oleh asam gama amino butirat (GABA). Reseptor GABA merupakan protein yang terikat pada membran dan dibedakan dalam 2 bagian besar sub-tipe, yaitu reseptor GABAA dan reseptor GABAB. Reseptor GABAA berperan pada sebagian besar neurotransmiter di susunan saraf pusat. bekerja
pada
reseptor
GABAA,
tidak
pada
Benzodiazepine
reseptor
GABAB.
Benzodiazepine berikatan langsung pada sisi spesifik (subunit γ) reseptor GABAA (reseptor kanal ion klorida kompleks), sedangkan GABA berikatan pada subunit α atau β. Pengikatan ini akan menyebabkan pembukaan kanal klorida, memungkinkan masuknya ion klorida ke dalam sel (Gambar 14), menyebabkan peningkatan potensial elektrik sepanjang membransel dan menyebabkan sel sukar tereksitasi (Gunawan 2009). Tiletamine sering kali dihubungkan dengan ketamine karena memiliki kesamaan sifat. Umumnya penggunaan tiletamine dikombinasikan dengan zolazepam (Seymour and Novakovski 2007). Aplikasi tiletamine pada kucing secara intra muscular dapat menurunkan frekuensi jantung,
28
tekanan
darah,
dan
hipersalivasi.
Sedangkan
pada
anjing
dapat
menyebabkan salivasi dan meningkatkan frekuensi jantung (Plumb, 2005 ). Efek ketamine pada sistem kardiovaskular meliputi peningkatan cardiac output, denyut nadi, dan tekanan darah. Kenaikkan hemodinamik berhubungan dengan peningkatan kerja myocardial (otot jantung) dan konsumsi oksigen (Seymour and Novakovski 2007). Karena efek farmakologi ketamine sama dengan tiletamine maka pemberian tiletamine akan meningkatkan frekuensi jantung (heart rate) dan cardiac output (CO).
Gambar 14. Skema Diagram dari Benzodiazepin-GABA-Kompleks Kanal Klorida GABA = γ - amino butyric acid ( Mycek, Harvey & Champe 1997)
Farmakokinetik Pemberian kombinasi zolazepam dan tiletamine pada kucing dapat menghasilkan sedasi dan anaestesi umum. Setelah penyuntikan intra vena induksi anaestesi berjalan cepat sekitar 60-90 detik. Onset setelah penyuntikan intra muscular bervariasi antara 1-7 menit pada kucing dan 5-12 menit pada anjing. Penyuntikan intra muscular dapat menimbulkan
29
rasa sakit karena pH larutan ini yang asam yaitu antara 2,0-3,5. Durasi anaestesi dari larutan ini tergantung pada dosis yang digunakan yaitu antara 30-60 menit. Waktu pemulihannya antara 4-5 jam. Dosis pada anjing 7- 25 mg/kgbb disuntikkan secara intra muscular atau 5-10 mg/kg bb disuntikkan secara intra vena (Seymour and Novakovski 2007).
30