TINJAUAN PUSTAKA Potensi Sabut Sawit sebagai Pakan Ruminansia -
Kelapa sawit (Orbinya cuhune) merupakan tanaman yang tergolong dalarn
kelompok Palmae yang tumbuh baik didaerah tropis. Tanaman kelapa sawit mulai dipanen pada umur 3.5 - 4 tahun. Tiap pohon mengandung sampai enam tandan buah
dan setiap tandan buah beratnya berkisar 5 - 30, kg, mengandung 250 -600 brondolan (bush) yang tergantung umur dan baik tidaknya penyerbukan
produksi, panen berkisar 10-15 ton tan-
.
Pada tahun pertama
Produksi meningkat setiap tahun dan
mencapai puncak produksi pada urnur 8-9 tahun dengan produksi sekitar 25 -30 ton (Aritonang, 1986). Laju pengembangan tanaman kelapa sawit di Indonesia berjalan dengan pesat beberapa tahun terakhir ini. Pada tahun 1986 di Indonesia terdajmt 0.6 juta ha perkcbunan kelapa sawit dengan produksi minyak sawit 1.35juta ton. Pada tahun 1999 luas meal tansman kelapa sawit diperkhkan mencapai 2,96 juta ha dengan jumlah produksi 5.7 juta ton @irebrat J
a Perkebutllm, 1998). Luas areal dm jumlah
produksi pericebunan kelap sawit dari tahun 1986- 1996 dipcrlihatkm jwub Gambar 1. PcngoIab kelapa sawit terdiri atas dua taw.Tahap pertama yaitu pengolahan bush kelapa sawit yang aksrn m c n g h i l h minyak kelapa sawit (palm oil), biji kelapa
sawit, serabut kelap sawit (palm press fibre) dan lumpur kelapa sawit (palm oil sludge). Tahap kedua d a h p e n g o l h biji kelapa sawit yang akan menghasilkan minyak inti sawit dm limbahnya bunglul kelapa sawit (Davendra, 1977). Peakebunan
kelapa sawit menghasillcan limbah yang cukup berlimpah sepanjang tahun, dan pemanfaatan limbah ini masih terbatas.
Penelitian tentang pemanfbtan limbah
perkebunan sawit ini akan menjadi perhatian dengan semakin meningkatnya pelestarian lingkungan hidup. Bagan pengolahan kelapa sawit &pat dilihat pada Gambar 2.
5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5
Luas Anal (j~lt. Ha)
1 Mimk-Wihb)
0.5 0
Gambar 1. Luas Areal dan Produksi Perkebuan Kelapa Sawit (1986 - 1996) Umumnya hasil ikutan kelapa sawit digunakan secara tradisional
. hpas
tandan digpxhn sebagai balm bakar dan abunya digunakan sebagai
pupuk.
Caqkmg string digunsksto. sehqpu b d m bttkar untuk memanaskan ketel perebusan
trndan buah scbclum diprms. Namun limb& tersebut t serabut k e h p sawit da@ Produksi, 1985). Pen-
. bungkil inti s w i t dan
chmfh&m sebqp palm tcrnak (Direktorat Bina
bmglc11 k e l a p a w i t dalam konsentrat sudah banyak
digunakan dan menghasilkan produksi ternak yang cukup baik, tetapi penggunaan sabut sawit belum memberikan hasil yang memuaskan.
Sabut sawit adalah limbah ampas yang dipisahkan dari brondolan setelah pengutipan minyak dan biji. Pada pabrik pengolahan kelapa sawit, sabut tersebut digunakan sebagai pupuk yang kaya kalium (Aritonang , 1986). Sabut sawit yang mempunyai potensi sangat besar untuk dijadikan pakan ternak ruminansia tergolong
pada pakan serat yang bermutu rendah, karena tingginya kandungan lignoselulosa dm kecernaan yang rendah. Pakan golongan ini sering defisien akan nutrien yang penting seperti protein, NPN, dan mineral (Leng, 1991). Pakan ini tidak dapat dihidrolisis oleh enzim saluran pencernaan induk sernang (Ranjhan, 1977), tetapi dihidrolisis oleh enzim yang dihasilkan oleh milmoba dalam rumen menjadi monosakarida yang selanjutnya akan mengalami fermentasi menjadi VFA, CO2 dan C&
(Sutardi,
1980). Jalaludin et al., (1991) menyatakan bahwa sabut sawit mempunyai kandungan protein yang rendah (6%) dan fraksi yang tidak dapat dicerna cukup tin& yang terlihat
dari kandungan lignin (21%), sedangkan kehilangan bahan kering Mam kantong nilon
pada 48 jam adalah lebih kurang 40%, sedmgkan rumput 47%. Kandungan gizi serat sawit dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan uji biologis sabut sawit lebih cocok untuk nrminatlaria karma scrat b a m y a tinggi menyamai komposisi zat makanan rumput~mpubn (Ari-
1986).
Pananf~sabutsawitscbagapakanternak~tbe~gsi~~ substitusi rumput Agustin et d.,(1991); Aritonang(l986) ;Jelan, (1984) meny6~takan bahwa sabut sawit mempunyai palatabilitas yang rendah dan
hanya mampu
menggantikan 20-30% nunput ddam ransum ternak minansia Lebih dari itu selera
makan, kccemaan cnergi, retensi nitrogen 8an pertumbuhan akan tergmggu. Hal ini
Tandan buah segar (fress fiuit bunches)
Ampas tandan ( bunches trash 47%)
Buah ( h i t 49%)
Minyak sawit kasar Sabut sawit (crude palm oil) (palm Press Fibber)
Inti sawit Cakang sawit (palm Kernel) (palm Nut shell)
1 .Minyak sawit murni (palmoil) 18 - 20 %
2.Lumpur minyak sawit @dmoil sludge ) 2 % dry
Bungla1 kelapa sawit 45946%
Minyak inti sawit 4546%
Gamlxu 2. Komponen Hasil Pengelolaan Tandan Buah Kelapa Sawit (Aritonang, 1984 ; Davendra, 1977)
juga terlihat dari penelitian yang dilakukan oleh Suryahadi dan Piliang (1997) dimana penggantian rumput raja dengan d u t sawit dalam m u m domha menyebabkan
terjadinya penunman retensi nitrogen. Umumnya kecernaan pakan serat ini hanya berkisar 40
- 45 %. Karena itu
upaya peningkatan k e c e m pakan serat ini sangat diperlukan.
Usaha untuk
meningkatkan kecernaan atau fermentabilitas pakan serat ini dapat dilakukan dengan
memberi perlakuan pada pakan ini sebelum diberikan pada ternak , bolik secara fisik ( pelleting, chopping), kimia ( NaOH, amoniisasi) dan biologi (fermentasi den=
Tabel 1. Komposisi Zat Gizi Sabut Sawit Zat Gizi (%BK) Abu
Protein Kasar Lemak Serat Kasar BETN
Permana, 1995
6.1 6.5 4,7
7.9 6.9 5.19 49 32
-
Ca
P ADF NDF Selulosa Lignin
Jalaludin et al.,1991
66.3 84.6
-
-
21.3
-
62.55 90.18 34.19 19.91
Analisa Lab.(1998) 5.7 5.9 4.0 39.96 44.44 0.43 0.16 59.57 77.65 32.75 21.25
: BETN B a b Ekstrak Tanpa Nitrogen ADF = Acid Detergent Fiber
-rangan
NDF
-
N e d Detergent Fiber
Pengolahan sabut sawit dengan P. ostreatw meningkatkan konsumsi energi tercema, retensi N dm jumlah i m i d s , tetapi tidak mempengmh pertambahm berat
badan (PC-
1995), dan keswlitan d a h bentuk pengolahan dalarn skala besar.
Emawati (1995) menyatakan bahwa perlakuan amonisasi pada sabut sawit
memngkatkan kecernaan bahan organik tetapi tidak menin-
kecernaan bahan
kering in vitro. Perlakuan NaOH pada sabut sawit &pat memngkahn kecernaan bahan kering
d&i 43% menjadi 58% ( Jalaludin et al , 1991). Sedangkan Davendra (1977) menyatakan bahwa perlakuan NaOH tidak menmgkatkan kecemaan bahan kering, bahan organik, serat kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN). Tapi ferlihat meningkatkan kecernaan protein kasar, lemak, abu dan energi. Pada perlakuan sabut sawit dengan Ca(OH)2 yang diberikan pada domba terjadi penhgkatan kecemaan
bahan kering, bahan organik, abu, energi dan retensi nitrogen namun tidak terjadi peningkatan kecernaan serat kasar. Semakin tin& level sabut sawit yang diberikan komponen kecernaan semakin rendah (Davendra, 1977 ; Aritonang, 1986). Dari uraian di atas terlihat bahwa upaya pengolahan baik seam fisik, kimia
clan biologi belum mampu meningkatkan pengguwm d u t sawit sebaga~paltan
term&. Hal ini mungIan disebabkrrn teknik pengolahan ini belum komplit memecah komponen yang tidak tercerna seperti lignin dan polisakarida lain (Jalaludin et al., 1991). Untuk itu strategi kcdeprPn ymg menjadi perhat~ansrfalah m
p e n g o b & n g ~ nupaya meni
d
w teknik
populasi m i k r o b a m temtamabdttai
Amonhi P a b n Strat dengan Urea Limbah perkebunan seperti sabut sawit tidak berbeda dengan jerami pad^ atau limbah pertatllan lainnya yaitu ma-sama berkualitas rendah karena sama-sama produk tanaman tua. Kelemahan p t h n serat yang berupa limbah ini adalah : (1)
mengandung kristal silikat yang sulit ditembus oleh enzim pencernaan, (2) proses lignifikasi telah lanjut sehingga sebagian selulosa dan hemiselulosanya membentuk
senyawa komplek lignoseldosa dan lignohemiselulosa yang sulit dicerna, (3) sebahagian selulosanya telah berubah dari bentuk amorf ke kristal sehingga antar molekul
glukosa dan kristal seluiosa yang terletak berdekatan terdapat ikatan
hidrogen 2,6 yang mempersulit pencemaan dan (4) k a n d w nitrogennya rendah ( Kristensen, 1982)
Perlakuan alkali sering dipakai sebagai,teknologi peningkatan manfht pakan serat bennutu rendah. Hal ini disebabkan gugus hidroksil (OH-) larutan alkali dapat memutus ikatan hidrogen atom karbon nomor 2 dengan karbon nomor 4 glukosa
berikutnya yang terdapat dalam utasan selulosa sehingga pakan rnemuai. Dalam
pemuaian itu deposit silika pada dinding sel sebagian rontok, s e u pakan lebih
terbuka bagi pencemaan oleh W r i m e n (Sutardi, 1997). Amoniasi dengan urea juga merupakan perlakuan alkali, karena urea yang
ditambahkan pads pakan mengalami ureolitik menjadi NH3 dm C a oleh urease bakteri pkan. B e r n air palcan NH3 membenhrk basa W O H . Suhu lingkungan yang tinggi mtmbmtu proses ureolitik tmebut (Sutardi, 1997). Kclcbihan amoniasi
dmgan
U~WLdtui
perkdam alkali lain icilah mampu m n e a k s n nitrogen untuk
m b u b mikroba men bila pakan -but
Amoniasi den*
dilronsumsi Wng, 1991)
urea merupakan perldkwm kimb yang tergolong murah dan
mudah dilakukan. Dari beberapa pemlitian terbukti bahwa amoniasi dengan urea terhadap pakan *rat mampu meningkatkan nilai m a h t dari pakan tersebut. Promma et al., (1985) menyatakorn b a h w pemberian jerami pub yang diamoniasi dalam
ransum sapi dapat meningkatkan pertambahan berat badan dan produksi susu. Ibrahim (1985) melaporkan bahwa terjadi peningkatan konsumsi dan kecernaan bahan kering
ransum jerami pad^ amoniasi dibanding yang tidak pada ternak sapi. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Sundstol (1991) dimana terjadi peningkatan kecernaan bahan organ& jerami padi amoniasi sebesar 13- 18% pada krnak domba dan konsumsi baha~~ kering sebesar 45 % pada ternak sapi dibanding yang tidak diamoniasi.
Sistem Pencernaan pada Ruminansia Pencernaan adalah serangkaian proses lyang terjadi di dalam alat pencernaan sampai
memmgkinkan terjadinya penyerapan. Proses tersebut merupakan suatu
perubahan fisik dan kimia yang dialami oleh bahan makanan dalam dat pencemaan Pencemaan pada t e d minansia merupakan proses yang sangat komplek yang melibatkan interaksi dinamis antarpakm, populasi mikroba dan tem& itu sendiri (Mertem, 1993).
Berdasarkan perubahan yang terjadi pada bahan makanan dalam alrtt pcmcmm, proses pencemum &pat dibagi menjadi tiga jenis yajtu pencemaan
mekanis, penceman fancutstif dern ptncemm hidrolitk hbluman ymg tnasuk
dalam mdut tun& nmimmisr akan mengalami proses pengunyahan/pemotun&an
secan. tndranis shhgp m a a b e n k bolus. D a b proses ini tnakanan akan bercampur h g m saliva, lalu msuk ke dalm m e n melalui c m o f ~untuk selanjutnya m e m i proses pencemaan fermentatif Di dalam nunen bolus-bolus tadi akan dicema oleh enzim yang dihasilkan olch mikroorganisme. Selama dalam
nunen m&mn yang kasar EJrcuz dipccah lag^ dimulut ( m i m i ) , kemudian melalui
reticulum, omasum dan rbomasum. Hasil fermentasi tadi disemp oleh usus halus
(proses pencernaan hidrolitik) dan selanjutnya masuk dalam sistem peredaran darah (Sutardi, 1979). Saluran pencernaan ternak ruminansia d i m atas 4 bagian yaitu mulut, perut,
usus halus, dan organ pence-
bahagian belakang. Perut d i m lagi jadi 4 bagian
yaitu reticulum, nunen, omasum dan abomasum. Reticulum dan rumen tidak terpisah
sempuma sehingga dipandang sebagai satu kesatuan yang disebut reticulorumen. Dalam reticulorumen terdapat jumlah mikroba yang cukup besar. Omasum m i n y a belum jelas, tetapi pada organ tersebut terjadifpenyerapan air, amonia dan VFA dan diduga juga memproduksi VFA dan arnonia. Abomasum m i n y a sama dengan
perut ternak monogastnk (Church, 1979; Church dan Pond, 1988; Forbes dan France, 1993). Van Soest (1982) membagi tahapan pencemaan menjadi dua w a n yaitu 1)
proses pencemaan terjadi dalam rumen dan reticulum dan 2) dm proses berikutnya terjadi di saluran pencernaan pasca rumen.
Didalam reticulorumen dan organ
penamam bagian belakang pencemaan dibantu oleh mikroba, sedangkan di usus
halus pencemaan dibantu oleh cnzim yang dihasillcan oleh ternak induk semang
(M-,
1993).
Rumen clan reticulum me-
organ pence-
yang terbesar, volumenya
-
10 20% dari bobot tam& (Chmh,1979). Jumlah brsebut mcliputi lebih h a n g 75%
dari volume organ ptlcem ternak ruminaasih (Vim Socst, 1982). Proses penamaan didalam reticulonnnen d a h pencernaan fermentatif yang dibantu oleh mikroba yang jumlahnya cukup besar.
Pencemaan fermentatif ini
bejalan sangat intensif,
kapasitasnya besar dan terjadi sebelum usus halus (organ penyerapan utama). Hal ini
memberi be-
keuntunp (1) produk fermentasi dapat disajikan ke usus daiam
bentuk yang mudah diserap, (2) dapat menampung pakan dalam jumlah yang lebih banyak, (3) dapat mencerna pakan yang berkadar serat kasar tinggi, (4) dapat mengguraakan NPN (Sutardi, 1979).
Didalam m e n terdapat populasi mikroba yang cukup besar jumlahnya. Mikroba rumen dapat dibagt dalam tiga grup utama yaitu bakteri, protozoa dan f h g ~ (Czerkawski, 1986). Kehadiran fungi dalam m e n diakui sangat bemanfitat bagi pencemaan pakan serat, karena dia membentuk koloni pada jaringan selulosa pakan. Rizoid h g i tumbuh jauh menembus dinding sei tanaman sehingga pakin lebih terbuka untuk dicerna oleh enzirn bakteri nunen. Bakteri merupakan rnikroba rumen yang
jmling banyak jenis dan lebih beragam macam substratnya. Menurut Ogimoto dan Imai (1981) populasi bakteri dalam m e n berkisar 10
-
10 l2 bakteri per gram isi
rumen, sedangkan protozoa populasinya lebih sedikit yaitu lo5- lo6 per ml cairan rumen Populasi mikroba yang besar jumlahnya tersebut sangat esensial dalam proses
pencemaan palcan serat (Church, 1979). Bakteri rumen diklasifikasikan b e r h k a n substrat yang didiaminya karena sulit
mengklasifiksgikan b a d a p h n
morfologinya.
Kebalikannya
protozoa
diklasi£hshn betdasarknn morfologinya sebab mudah dilihat bedasarkan penyeban silianya. Bebempa jenis W r i yang dilaporkan oleh Hungate (1966)
adalah,
(a) bdcteri pencema selulosa (Bacteroides succinogenes, Ruminococcus
jlavajiaciens, Ruminococcus albus, Butyrivibrio fibmsolvens), (b) baldmi pencerna
hemiselulosa (l3utyrivibriofibmsolvens,Bacteroides ruminocola, rumirwcoccw sp), (c) bakteri penoerna pati (Bactemides amylophilus, streptococcus bovis, Succinimonas
amylolytica), (d) bakteri pencerna gula (Triponema bryantii, Lactobasilus ruminw), (e)
bakteri pencerna protein (Clostridiwn sporogenes, Bacillus lichenijomis). Protozoa rumen diklasifikasikan menurut morologinya yaitu : holotrichs yang mempunyai silia hampir diseluruh tubuhnya
dan mencerna W h i d r a t yang
fermentabel, sedangkan oligotrichs yang mempunyai silia sekitar mulut umumnya merombak -hidrat
yang lebih sulit dicerna.
Pencernaan dan Metabolisme Karbohidrat dalam Rumen Karbohidrat merupakan komponen utama dalam ransum ternak ruminansia Jumlahnya mencapai 60 -75% dari total bahan kering ransum. Dalam makanan kasar sebagian besar terdapat dalarn bentuk selulosa dan hemiselulosa, sedangkan &lam konsentrat umumnya terdapat dalam bentuk pati
(Sutardi, 1979).
Kahhidrat
merupakan sumber energi utarna untuk pertumbuhan mikroba rumen dan ternak induk -g.
kubohidrat &lam pakan dapat dikelompokkan menjadi karbohidrat struktural (fiaksi serat) dan karbohidrat non struktural (fiaksi yang mudah t e d a ) . Seluiosa dan hemiselulosa termasuk dalam fraksi karbohidrat struktural (fraksi serat) (Czerkawski, 1986) yang rnerqakan komponen utama dari dinding sel tamman. Sering terdapat
kikatan
d e w lipin sehingga menjadi sulit dicema oleh mikroba nunen.
Lignifikasi meningkat seiring dengan meningkatnya umur tamman (Church dan Pond, 1988). Untuk itu penggunaannya dalam &m
tefnak rumimia memerlulrsn
pengolahan terlebih dulu untuk merenggangkan ikatan lignoselulosa sehingga lebih fernentabel dalam rumen.
Selulosa adalah kelompok polisakarida yang mempunyai berat molekul tinggi, berantai lurus dimana banyak terdapat unit 1- 4 P unit glukosa dan biasanya terdapat dalam bentuk kristd (Baldwin dm Allison, 1983) sedangkan hemiselulosa terdiri dari rantai lurus silosa dan sejumlah arabinosa, asam won& dan galaidosa (Print dan Clarke7 1980).
T e d ruminansia mampu memanfhatkan selulosa dan hemiselulosa
( karbohidrat struktural = fraksi serat) disebabkan ada mikroorganisme dalam nunen yang membmtu proses fmentasi sehingga karbohidrat struktural tersebut dirambak
menjadi produk yang dapat dicerna dan diserap oleh usus halus. Kecernaan selulosa dan hemiselulosa (karbohidrat stmktud ) dalam rumen biasanya lebih rendah dibanding karbohidrat non struktural. Tapi ini tergantung pada bebentpa fhktor seperti sifht fisik, pengolahan dan fiekuensi pemberian morkanan. Kecernaan selulosa dan hemiselulosa ini juga bisa dipengaruhl oleh suplai nutrien lain seperti nitrogen dan asam lemak berantai cabang yang penting untuk pertumbuhan bakteri
selulolitik
(Czerkawski, 1986).
Proses peacemaan karbohidrat daiam m e n meruparkan proses yang komplek. Karbohidrat yang komplek (selulosa, hemiselulosa, pati dan pectin) magalami dua
tahap pmcertman yaitu penceman oleh enzim ekstmseluler dan enzim intmselvler
m k o h Tahap I luwbohidrat yang masuk akan dif-i
oleh cnzim &mseIuler
Tahap II monomer itu difmentasi lebih lanjk oleh cnzim intmseluler membentulc piruvat melalui lintasan Embden- Meyerhoft dan pentosa fosfat (Baldwin dan Allison, 1983: France clan Siddon, 1993). Piruvat adalah produk intermedier yang segera
dimetabolisasi menjadi produk akhir berup asam lemak berantai pendek yang sering
disebut dengan VFA yaitu asam Wt, asam propionat dan asam butirat dan sejumlah kecil asam valerat, serta asam lemak berantsi cabang yaitu isobutirat, isovalerat, dan 2metilbutirat. Tapi tiga asam lemak tedchir ini merupahm hasil katabolisme protein. Perubahan asam piruvat menjadi VFA
melalui bebempa lintasan
piruvat menjadi asam asetat dan asam butirat terjadi melalui acetil
.
-
Oksidasi asam CoA. Untuk
pembentukan asam propionat ada dua lintasan yaitu lintasan suksinat dan lintasan laktat atau alcrilat (Garnbar 3) (Baldwin dan Allison, 1983) ;France dan Siddons, 1993).
I
Selulosa
Pektin
Hemi-sa
Gambrr 3. Skgna Lintasan U m a F-Ui brbohidratMenjadi VFA dalam Rumen (France dan Siddons, 1993) Fennentasi kahohidcat dalam nrmen bntulr membentuk VFA menghasilkan kerangka karbon untuk sintesis sel mikroba dan membehskan sejumlah energi dalam bentuk ATP, COz dan C&.
Energi dalam bentuk ATP digunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan m i h b a m e n (France dm Siddons, 1993 ;
Beever, 1993). Perhunbuhan mikroba rumen proporsional terhadap jumlah ATP yang yang dihasilkan dari katabolisme energi.
Maksirnum sintesis sel mikroba yang
dihasilkan dalam rumen mendekati 25 gram per mol ATP (Russel dan Wallace, 1988). Proses fermentasi karbohidrat daiam rumen menghasilkan energi d a b bentuk +A mencapai 80 % dan 20% merupakan energi yang terbuang dalam bentuk produksi
gas C a , C& dan energi dalam bentuk ATP (France dan Siddons, 1993). Energi
dalam bentuk KIP hanya 6.2% dari total energi yang hilang . Hanya energi dalam bentuk ATP ini yang
digunakan oleh miboba rumen untuk pertumbuhannya,
sedangkan VFA merupakan by produk dari aktivitas mikroba rumen (Hvelpund, 1991). Dari uraian ini jelas terlihat bahwa mikroba rumen memproduksi VFA bukan untuk kepentingannya saja tetapi juga sebagai "elektron sink" dalam menjaga potensial
redoks dalam rumen agar tetap layak bagi pertumbuhan mikroba nunen (Sutardi, 1995).
Gas hasil fermentasi berupa COz, hidrogen dan metan dikeluarkan dari nunen melalui proses cruktasi (Sutardi, 1979; Orskov clan Ryle, 1990). Pada tam& kambing
produksi gas C& skitar 90 litcr clan gas C& sekitar 30 liter perhari (Czerkawski, 1986). Stoikiometri reaksi fmenQlsi Larbohidmt jxhn
dorlsm nunen menghasilkan
t i p pmddc &ama tnaurut ~ k o and v Ryle (1990) clapat disede-
C&7I + l22H20 a -1206
+
--------2CH3COOH + 2C02 + 4H2
4H2
------------4H2 + C @ ------,
~0~~1 - d . c
-~ C H ~ C H ~ +C 4H20 ~OH CH3(CH2)2COOH + 2C02 + 2H2 C& + 2H20
menjadi:
Dari Stoikiometri reaksi tersebut diatas dapat dilihat proses sintesis asam asetat dan asam butirat menghasilkan gas hidrogen. Sebaliknya untuk sintesis asam propionat gas bidrogen digunslan. Gas hidrogen dan CO2 merupakan p r e b r utama sintesis gas metan yang sesungguhnya tidak bermanfaat untuk ternak. Maka dari itu proses
fermentasi dalam m e n yang mengarah pada sintesis asam propionat akan lebih menguntungkan karena produksi C& bisa d i t e h dan akan meningkatkan ehiensi pen-
energi
*-
Jumlah komponen utama VFA (metah propionat, dan butirat) yang terbentuk
dalarn m e n serta proporsi relatifnya sangat bewariasi dan dipengaruhi oleh faktor
rnakanan seperti komposisi ransum, terutama rasio antara hijauan dan konsentrat, bentuk fisik makanan, tingkat konsumsi, fiekuensi pemberian maltanan dan tipe fermentasi sebagai akibat perbedaan populasi mikroba yang berkembang sepengaruh langsung dari zat makanan yang diberikan. Menunit Forbes dan France (1993) ko~l~entrasi VFA total dalam cairan m e n umumnya berlcisar mtara 70 - 130
mM. Nisbah asam aselat, asam propionat dan asam butirat pads pakan basal d e w k a n d m hijauan Iserat yang tinggi adalah 70 : 20 :lo. Tingginya konsmtrasi asetat
dalam caintn ~ a a e nbcrhdmgm dengan tingginya proporsi hijausrn atau pakan serat yang d i k . . Mmlihnyajika proporsi konsentmt dalam ransum meningkat mab
konsmtrasi asam aselat asctat dPn anUn komentmi asam propionat meningkat aamun proporsi asam ucgt hampir Delalu Lcbih b y &(Mc-d
et al., 1988). Dengan L.ta
lain ciapat dinyatakan bahwa m u m dengan hijadpakan serat tinggi akan menghasilkan nisbah asctat propionat lebih tinggi dibanding ransum yang proporsi konsentratnya tinggi.
VFA ( asetat, propionat, dan butirat) merupakan sumber energi u&ma bagi
ternak dan punya fkgsi penting dalam metabolisme zat rnakanan Ensminger et al., (1990) menyatabn bahwa shbangan energi yang berasal dari VFA ini dapat mencapai 60 - 80% dari kebutuhan energi ternak rumiansia. Sebahagian besar VFA diserap langsung dari reticulorumen dan masuk kedalam aliran darah, hanya 20% masuk ke omasurn dm abomasum dan diserap disini (France dan Siddons, 1993). Asam butirat dalam rumen sebelum diserap terlebih dulu dirubah menjadi beta hidroksi
butirat dan bersama dengan asam asetat masuk kedalam petedaran darah dalam bentuk badan-badan keton yang nantinya dalam jaringan tubuh digumkan sebagai sumber
energi dan untuk sintesis lemak tubuh. Asam propionat setelah masuk dalam peredaran
d a d dibawa ke hati. Di hati asam ini diubah menjadi glukosa. SebaIpan glukosa disimpan di hati sebagai glikogen hati dan sebagian lagi menjadi alfh gliserolfosfat
untuk digunakan sebagai koenzim pereduksi dalam sin-
lemak tubuh, &gai
sumber energi clan dalain tubuh disimpn sebagai glikogen otot. (France dan Siddons, 1993 ;
McDonald
et al., 1988).
Oleh sebab itu asam propionat discbut juga asam
yang btrsifa glukogenik karma dapat dikatabolisme menjadi glukosa atau sebagai
sumber glukosa
(sast;t.adipadja, 1998). Menurut Ckskov (1977) asam
~u)ra@dapatBi~
lemak
komtanta yang d h u m b n sebap non glukogenik
ratio (NOR) yang secara sederhana d i m *
s d m p berikut
NGR = (Asetat + Butirat + Valerat) t (Pmpionat + Vdemt) Nilai NGR ini berhubungan erat d e n p produksi gas metan dalam men. NGR tinggi akan rnenyebabkan produksi gas metan dalm nunen juga ti@.
Pencernaan dan Metsbolisme Protein dalam Rumen. Dalam rumen protein pakan akan mengalami hidrolisa meyadi oligopeptida oleh enzim proteolitik yang dihasilkan oleh mikroba m e n . Oligopeptida selanjutnya
akan diubah menjadi peptida dan asam amino yang kemudian mengalami katabolisame (dearninasi) menjadi NH3, VFA, BCAA, dan COz (Sutardi, 1979 ; Baldwin and Allison, 1983 ;McDonald et al., 1988).
Tidak seluruh protein yang masuk dalam m e n didegradasi oleh mikroba. Protein yang 1010s dari degradasi dalam rumen brsama dengan protein mikroba akan mengalif ke abomasum term ke usus halus dicerna oleh enzim p g dihasillcan oleh ternak dan diserap disini (Nolan, 1993). Proses pencernaan dan metabolisme protein dalam m e n &pat dilihat pada Gambar 4. 4
I
DALAM
DALAM
RUMEN
USUS
OLIGOPEPTIDA
Gambar 4. Proses D e g d m i Protein Pakan dalam Rmen (Sutardi, 1979)
. 1
Dari ilustrasi diatas terlihat bahwa sumber protein bag^ temak ruminansia
berasal dari proteiv pakan yang 1010s dari degradasi dalam rumen dan dari protein
mihba. Untuk itu usaha memacu produksi ternak melalui perbailcan nutsisi protein dapat dilakukan dengan cara meningkatkan pemberian protein pakan yang tahan degradasi d a l m rumen dan memaksimalkan sintesis protein mikroba, sehingga pasokan asam-asamamino untuk diserap di usus halus menjadi lebih banyak (Sutardi, 1979).
Proses proteolisis oleh mikroba nunen fnen;ghasilkan peptida clan asam amino (Nolan, 1993) yang bisa digunakan oleh sebagian rnikroba rumen untuk pertumbuhannya (Wallace and Cot@ 1988), terutama oleh Bacteroides minocola dimana bdcteri ini mempunyai sistem transpor untuk mengangkut asam amino ke
dalam tubuhnya (Nolan, 1993). Russel et al., (1992) menyatakan bahwa Bactemides ruminocola bisa menggunakan 40% peptida d a l m m e n sedmgkan Butyrivibrio #bmsolwnt menggunah kurang dari 10% untuk perhunbuhannya Karena tidak
semua peptida dan asam amino yang tabentuk dalam nunen digunahn oleh mikroba, s t b q m a h mngalir ke usus halus. Hal ini terbukti dari penelitian yang dilakukan
oleh Ruse1 et al., (1992) bahwa pcmbefian ransum yang berkualitas tin& pen&,
pada =pi
W! dari NAN (miunmia ni@wn)yang msuk kc usus halus ddam bentuk
e d a dan asam cunino. Nmm Sdmgim besar dari @da
darn clsam amino akan
mengalami deaminasi dalam rumen menjadi h H 3 yang juga rnerupdtm s u m b N untuk perhunbuhan mikroba. Pool monia d a l m rumcn tidak hanya disuplai oleh proses degradasi protein
pakm saja. Hampir 30% nitrogen dalam pakan t e d r u m k i a juga terdapt dalarn
bentuk senyawa organik sederhana seperti asam amino, amida, dan amina atau senyawa anorganik seperti nitrat (McDonald et al., 1988; Preston dan Leng, 1987) dan
pada penggunaan pakan yang bermutu rendah urea sering ditambahkan.
Semua
senyawa tersebut di atas disebut juga dengan NPN yang dalam m e n akan mengalami degradasi dengan cepat menghasilkan amonia. Arnonia yang terbentuk bersama dengan asam organik a l h keto akan membentuk asarn amino baru untuk sintesis protein rnilrroba.
Bila kecepatan degradasi
melebihi kecepatan sintesis protein
mikroba akan terjadi akumulasi NH3 dalam w e n . Amonia yang berlebih itu akan diserap oleh dinding m e n mas& ke dalam aliran darah dibawa ke hati untuk diubah menjadi urea. Urea yang terbentuk akan masuk ke aliran darah, setmg~anakan difiltmi olch ginjal dan dikeluarkan melalui urine dan sebagian lagi masuk kembali ke rurnen melalui dinding rumen dan saliva yang kemudian akan menjadi sunber N lagi bagi sintesis protein mikroba (Tillman et al., 1986; Nolan, 1993; Preston dan Leng, 1987).
Kadar amonia dalam m e n mew*
petujuk antara proses de-i
dan
proses sintesis protein oleh mikroba m e n . Jika pakan defisien aksrn protein atau proteinnya t
h
&gradmi, koasentrasi amonia dadam rume~~ akan rendah dan
pmtmhdm mikdw ~ n e akan n h b a t yang menydmblcm turunnya kccaman
polkan (McDodd et al., 1988). Amonia adalah sumber nitrogen utama untuk sintesis
protein mikroba. Sekitar 82% jGnis mikrotia rumen rnampu menggunakan monia sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein tubuhnya, walau ada sebagian kecil yang mernbrrtuhkan peptida clan asam amino. Maka dari itu konsentrasinya daiam rumen merupakan suatu ha1 yang perlu diperhatikan. Menurut Satter and Slyter (1974)
produksi protein mikroba akan mencapai laju maksimum pada konsentmi 5 m g ? atau
setara dengan 3.74 m M Leng (1991) mendapatkan nilai yang lebih tinggi yaitu 20 mg% atau setara dengan 14.29 m M untuk mengopbmumkan konsurnsi pakan serat yang rendah kecernaan dan proteinnya pada ternak sapi. Penggunaan NPN dalam ransum ternak ruminansia akan lebih bermanht pada ransum yang rendah kandungan protein dan cukup tersedia energi (Satter dan Roffler, 1976). Hal ini dikarenakan incoporasi N amonia menjadi protein m i h b a sangat tergantung pada ketersediaan karbohidrat yang siap paka sebagai sumber energi dan I
kerangka b
n (Churh dan Pond, 1988).
Mikroba m e n memberikan sumbangan protein yang cukup banyak untuk
kebutuhan ternak ruminansia. Menurut Sniffen dan Robinson (1987) mikroba rumen mensuplai 40
- 80% protein untuk mencukupi kebutuhan asam amino bagi temak
ruminansia Hasil review Clark et al., (1992) menunjukkan bahwa sekitar 59?! dari nitrogen bukan amonia yang masuk ke duodenum sapi perah berasal dari protein mikroba rumen. Oleh karena itu usaha untuk mengoptimalkan sintesis protein mikroba perlu menjadi m a n
dalam memenuhi
kebutuhan asam m i n o
ternak
ruminansia. Knceprrtan produksi m o n k d&un penggrtnaannya
rumen sering melebihi kece-
mtuk sintesis protein mikroba, sehingga wadi akumulasi amonia
dalam rumen. Kelcbhn amonia alran d i s e y oleh d h b g m e n dan dikonversi menjadi urea. Urea yang terbemtuk akan dikembalikan ke rumen melalui saliva dan sebagian lag akan d i k e l e melalui urine. Lebih dari 25% nitrogen protein palcan
akan hilang melalui jalur ini.
Karena protein merupakan
bahan pakan ternak
ruminansia yang cukup mahal harganya, maka perhatian untuk meminimalkan degradasi protein pakan dalam rumen perlu dipertimbangkan (Russel et al., 1992). Degradasi protein dalam rumen mempakan multi proses yang meliputi tingkat kelarutan, hidrolisis enzim ekstra selluler, deaminasi, dan lamanya pakan dalam
en (Russel at al., 1992 ; Nolan, 1993).
Jenis pakan juga mempenganb degradasi
protein dalam rumen. Pakan yang terdiri dari rumput segar yang tinggi akan protein
dan karbohidrat mudah larut meningkatkan pertumbuhan mikroba proteolitik sehingga aktivitas degradasi dalam m e n 9 kali lebih besar dibanding pakan yang rendah protein seperti hay (Nolan, 1993). Proses degradasi protein dan deaminasi asam amino amino &lam rumen akan terus berlangsung walaupun telah terjadi akumulasi amonia yang cukup tinggi (Sutaadi,
1976). Proses degradasi ini tidak dapat dipandang sebagai suatu proses yang menguntungkan ataupun merugikan, karena disatu sisi proses degradasi diharapkan
untuk memenuhi kebutuhan a m o k dan peptida untuk pertumbuhan mikroba rumen, scdang dilain sisi protein yang bermutu tinggi diharapkan tidak banyak mengalami d e m i dalam rumen sehingga bisa menyumbangkan asam amino bagi hewan induk
semang. Untuk mtmperkecil degradasi protein pakan dalm nunen dqmt dilakukan
denpn cars: 1) penambsrhan bahcrn kimia (formaMehyd, asam tannin), 2) p e m s a b (protein rnen~gumplsehingga kelamtannya tunm, 3) pembuatm pellet (menounbah rate of pas-)
(Sutmdi, 1979 ; Preston dan Len& 1987).
Defaunasi pada Ternak Ruminansia Keistimcwaan tenrak nuninansia terletak pada kempuannya mengubah pakan kaya serat kasar menjadi a t - zat nutrisi yang berguna bag^ kelmgsungan hidupnya.
Hal ini disebabkan oleh populasi mikroba yang besar yang terdapat dalm m e n . Populasi ini dapat dibagr menjadi tiga jenis yaitu bakteri, protozoa clan fungi. Sejak b e h p a tahun yang lalq timbul suatu argumentasi bahwa protozoa sebaiknya disingkirkan dalam rumen karena ia hanya akan merugikan efisiensi penggunaan zat makanan pada tern&, sebagian peneliti berpendapat sebaliknya. Populasi
protozoa dalam rumen berkisar lo5
-
lo6 seYml cairn rumen
(Hungate, 1966 ; Ogimoto dan Imai, 1981), dan sangat tergantung pada jenis mmum yang dikonsumsi dan biasanya meliputi sekitar 40% dari total nitrogen mikroba rumen (Hungate, 1966). Walau total populasinya hanya setengah dari populasi bakteri yang ada dalam m e n , tetapi biornassanya jauh lebih besar, mencapai 50% dari total
biomassa seluruh mikroba rumen (Jouany, 1991). Bird (1991) ; Ogimoto dan Imai (1981) menyatakan bahwa se-an
besar
protozoa d a l m rumen adalah spesies siliata, walau ada spesies fhgelata, namun jmlahnya sangat sedikit. Spesies siliata dibag~menjadi 2 kelompok yaitu Oligotrica
(silia hanya disekitar mulut) dan Holotrica (silia ada diseluruh tubuhnya). Kelompok Holotrica memiliki morfologi
yang &erhana, terdiri dari Isottiaz drrn Lkzsytrica,
yang i m q p d a n pati dan gula s e w sumber energi utama Sedan&n kelompok Oiigabiea lllesniiiki bentuk yang kompitk, dm diduga m~mpunyaiaktivitas selulolitik.
Kelompok ini terdiri
Entdinim, DipZodinim, dan O ~ c o Z a .
Penting atau tidaknya protom dalmesistem nrmcn masih ciiperwtkan. Beberapa ahli nutrisi ruminansia mengatakan bahwa protozoa tidak esensial dalam sistem rumen. Hal ini disebaMcan usaha mengkultur bdcteri m e n dalam medium tarpa protozoa temyata bcrhasil dengan baik. N w a dan T o m (1990) menyatakan
bahwa pada pemberian ransum pakan serat yang rendah kadar proteimya, kehadiran protozoa memberikan efek yang negatif terhadap pertumbuhan ternak. Hal ini disebabkan protozoa cendenmg memangsa bakteri untuk kelangsungan hidupnya sebab tidak memperoleh makanan yang layak yaitu berupa karbohidrat yang fennentabel. Bird et al., (1990) ;Nagaraja dan Towne (1990) menyatakan bahwa biomassa protozoa tidak tersedia untuk pencemaan diusus halus, dikarenakan protozoa cenderung tertahan didalam rumen . Hal ini terbukti dengan rendahnya konsentrasi sel protozoa di I
omasal dibandingkan dalam rumen. Walaupun komposisi asam amino dm kecernaan sel protozoa lebih baik dan lebih tinggi dibanding sel bakteri raamun kelebihan ini hanya sedikit kontribusinya untuk temak induk sernang dikarenalcan aliran sel protozoa
dari rumen sangat kecil. Tidak terlihat perbedaan komposisi asam amino digesta di duodenum ternak yang bebas protozoa dengan ternak yang masih memililci protozoa
dalm rumennya. De&unasi memiliki efek positif terbadap penggunaan energi untuk sintesis protein mikroba (Ushida et al., 1991). Lebih lanjut dijelaskan lagi defaunasi bisa
m e n q k a h n suplru protein aikroba dan protein palm ke duoeknum, htozoa tidak
mcmpmyti cnz,im urcase sehkgga ti& bisa menggudm NH3 sebaga~sumber nitrogen. Me&
&an rnemxna bdcteri dan protein p a h dan mengekskresikan lebih
kurang 50% dari nitrogen yang dicema dalam bent& asam amino dan monia (Jouany, 1991). Wallace et al., (1987) menyatakan bahwa eliminasi protozoa menurunkan 10 point jumlah bakteri yang didegradasi menjadi
m.
Karena itu defiunasi
menyebabkan aliran protein atau asam amino ke duodenum meningkat. Hal ini sejalan
dengan tinjauan Merchen dan Titgemeyer (1992) yang melaporkan bahwa defkunasi dapat meningkatkan aliran protein kasar ke organ pencernaan pasca rumen sebesar 18%. Rinciannya adalab peningkatan protein asal bakteri rumen sebesar 14% dan
protein bukan bakteri sebesar 25%. Pendapat kedua mengatakan bahwa peranan protozoa dalam m e n cukup penting. Hal ini bisa dilihat dari kemarnpuannya mempertahankan pH rumen supaya tetap stabil. Hal ini dikarenakan protozoa dengan cepat mem8nfaatkan karbohidrat
yang fezmentabel untuk kebutuban hiduppya yang memberikan keuntungan memperlambat proses konversi karbohidrat fermentabel menjadi asam laktat oleh bakteri m e n , sehingga penurunan pH dapat dikontrol @ore dan Gouet, 1991). PH rumen merupakan salah satu &r
yang sangat berpengaruh terhadap populasi
mikroba. Kisaran pH rumen yang optimal adalah 6.3 -7. PH rumen dibawah 6.2 akan mengganggu aktivitas bakteri selulolitik (Orskov, 1982).
Tejadinya penurunan pH yang drastis ini hanya berlaku pada saat ternak
menclapst ransum yang fmentabilitasnya tinggi, yang banyak mengandung guia dan pati. Pada penggunaan ransum pakan serat bermutu rendah keadaan ini tidak teMu
serius dim peranan protoz.ua tiW berialu menonjol, md& hhadim protozoa disini
hrnag
~~ kern dia
kebutub hidupnya dikarenalczinti&
akm memmgsa W e r i untuk memenuhi
tmedianya karbohidrat yang fmentabel.
Kecenderungan protozoa m e m g s a baKteri juga ada kebaikgnnya. Antara lain mencegah penurunan NH3 melalui pemeliharaan daur ulang N internal (amonia --+ bakteri --+protozoa---+ arnonia ---+ dst) sehingga NH3 senantiasa berada dalam kadar
yang cukup tinggi untuk dipergunakan kembali oleh bakteri. Untuk itu pada proses dehunasi k e c u k u p NH3 harus menjadi perhatian (Sutardi, 1995). B e r k k a n pemikiran di atas terlihat bahwa dehunasi itu bisa diterapkan tergantung pada jenis pakan yang diberikan. Bila palran yang diberikan mengandung bah& yang fermentabilitasnya cukup tinggi, atau pemberim konsentrat yang proporsinya lebih banyak dibanding rumput dan kualitasnya bagus maka defsunasi tidak perlu dilakukan. Tetapi bila pakan yang diberikan merupkm pakan bermutu rendah seperti sabut sawit yang akan d*i
pada penelitian ini, dan protein
mikroba merupakan andalan utama sebagai surnber protein untuk ternak induk semang,
maka defaunasi layak untuk dilakukan Defaunasi total harus dilakukan secara kontinyu karena m e n dapat berisi protozoa l a g &lam walctu lebih kurang 2 minggu. Selain itu de6unasi total dapat menghasilkan ternak ruminansia berpemt buncit k a n a rumennya tumbuh lebih cepat
dari badannya. Bahan untuk defaunasi telah banyak be&
seperti Teric GN9 dan
Aikanat 3SL3. Produk ini &pat menghilangkan semua protozoa d a r n sistem m e n ,
namun cukup berbahaya apabila pemakaian tidak sesuai dengan takaran Mengingat scgi bQLjk dari pmbn#t dm kemdhan aplikasi di lapangan serta efek bun& dari
Mkwmsi tat& twhktya defbmai yang dilakukan ad&
dehmasi parsial dengan
m~~lggunakm bahm-tmhanyang tidak bemkibrat bunrk bags W r i rumen. Bahsn agensia ddaunasi yang lebih meanbisa & & p a t h dari bahan-bahan alami seperti lemak Pada pemberian lernak yang tinggi dalam ransum ternak nuninansia jumlah protozoa rumen cenderung berkurang (Taming dan Doreu, 1991). Hal ini disebbkan lemak cenderung berasosiasi dengan partikel palcan clan mikroba
30
m e n berupa p e n u t u p permukaan secara fisik (Pantoja et al., 1994). Bakteri rumen memiliki kemampuan lipolisis yang kuat sehingga dengan cepat dapat menguraikan lemak yang menyelimutinya. Sebdiknya protozoa tidak mempunyai aktivitas lipolitik sebaik bakteri, akibatnya pada kondisi rumen banyak lemak, aktivitas metabolik protozoa menjadi terganggy sehingga protozoa kurang mampu bertahan hidup. Sutardi (1995) menyatakan bahwa pemberian minyak ikan, minyak kedelai dan minyak kelapa
dalam ransurn ternak sapi sebagai agensia dehunasi mampu
mengurangi populasi protozoa rumen bertuwt-turut 37, 36, dan 28% serta dapat meningkatkan populasi bakteri rumen dan sintesis protein mikroba, dan ditambahkan oleh Oematan (1997) bahwa pemberian 1.5 % minyak jagung mampu menurunkan 38% populasi protozoa rumen. Beberapa manfaat defaunasi terhadap produksi ternak dan parameter metabolisme rumen dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh Defaunasi terhadap Pertumbuhan Ternak dan Parameter Rumen
Peubah
Ternak
Faunasi
Defaunasi
Sumber Pustaka
Pertumbuhan (g/han)
Domba sa~i
122 1.125
132 1.253
Bird & Leng, 1984 E m t o , 1995
Amonia rumen (mM) (mfln)
Sapi Domba Domba
12.9 348 255
8.77 272 163
E m t o , 1995 McNabb et a1.,1988 Ushida et aZ., 1988
Baktcri 10~'lrnl
%pi Sapi
1.27 3.69
1.44 3.72
Erwanto, 1995 Oematan, 1997
Protozoa 10~/rnl
Sapi Sapi
4.19 2.19
3.22 1.35
Erwanto, 1995 Oematan, 1977
VFA rumen (mM)
Sapi Sapi
157 117
149 114
Jalaiudin, 1994 Erwanto, 1995
(-1
Holster dan Young (1992) menyatakan bahwa di samping memberikan efek defaunasi, suplementasi lemak dalam ransum ternak ruminansia juga dapat m e n d a n produksi gas m e t . . Penunman produksi gas metan ini terjadi karena pengalihan penggunaan gas hidrogen yang diproduksi dalam nunen untuk hidrogenasi asa&-asam lemak. Proses hidrogenasi asam lemak dalam rumen terjadi secara alami.
Suplementasi AHM dalam Ransum Ternak Ruminansia Bahan makanan nabati sering defisien akan asam amino metionin Sebagian I
besar sumber pakan temak ruminansia berasal dari tanaman. Untuk itu bisa dijmstikan protein palcan tersebut a h kekurangan asarn amino metionin Asam amino metionin menrpakan asam amino yang penting bagi ternak ruminansia, sehingga metionin menjadi asam amino pembatas bagi pertumbuhan ternak dan mikroba nunen Richardson clan Hatiield (1978) memperlihatkan bahwa metionin m e r u p h n asam amino pembatas pertama pada pertumbuhan ternak sapi, bila sumber protein yang
tersedia hanya berasal dari protein mikroba Hal yang sama juga didapeztkmrn oleh Fendersen dan Bergen (1975) dimana pada pemberian 80% barley yang mengalami d e p d a s i scam ekstensif dalm rumen, metionin merujmkan asam amino pembatas
yang pertma.
bi disebabkan masum yang mengandung protein yang mudah
ttrdtgradagi &am m e n maka k o m p i s i asam amino yang mas& ke usus halus mendekati komposisi protein mikroba
.
Menurut McCraken et al., (1 993) suplementasi metionin pada @an rendah
bermutu
meningkatkan sintesis protein mikroba, kecernaan NDF, tetapi tidak
meningkatkan laju digesta padti ternak sapi, dan suplementasi metionin pada pagi maupun siang hari tidak b e r p e m h pada konsumsi pakan dan laju digesta
Metionin sangat penting bagi sintesis protein dalam sel mengingat formyl metionin RNA diperlukan pada tahap awal (inisiasi) sintesis protein dalam sel (Kahion et a!., 1975). Hal ini menunjukkan bahwa sintesis protein mikroba akan proporsional terhadapjumlah metionin yang tersedia bag^ mikroba nunen
Didalam tubuh terdapat sistem transaminasi, sehingga asam amino dapat diganti dengan analognya yaitu asam alfa keto atau hidroksi alfa (Sutardi, 1980). Mitchell dan Benevenga (1978) mengemukakan bahwa transaminasi merupakan langkah awal
perubahan sejumlah asam amino. Reaksi tran$aminasi merupakan pertukaran gugus amino dari suatu asarn amino kesuatu asam keto alfa sehingga tehntuk asam amino lain clan asam keto alfa lain. Reaksi ini dibantu oleh enzim transarninase. B e r w
adanya sistem tersebut asam amino metionin bisa diganti dengan analognya, yang dipasaran dijual dalam bentuk ganun kalsium dengan nama Analog Hidroksi Metionin (AHM). Konversi analog hidroksi metionin menjadi asam amino L- metionin dalam
tubuh dapat dilihat pada Gambar 5.
CH3
CH3
R
R
S
S
C-NH2
0
a NAD NADH 1 u 1
cH2
COOH
COOH
I
I
l
, = COH
I
I I
f" T'
I
I
Analog Alfa Hidroksi Mdonin
I
w
COOH
COOH
I
CH3
I I cH2 S
I
cH2
I
cN'H.2
I
COOH
Analog Alfa Keto Metionin
Garnbat 5. Skema Konversi AHM Menjadi L-Metionin (Crampton et a1.,1978)
Dilihat dari nunusnya AHM mempunyai gugus metil dan sulfur sehingga suplernentasinya dalam ransum ternak ruminansia diharapkan dapat berguna bagi pertumbuhan mikroba m e n . Mineral s u l h telah diketahui sangat iliperlukan untuk pertumbuhan mikroba m e n dan nutrisi ternak induk semang. Kadar sulfur dalam biomassa mikroba m e n dapat mencapai 8 glkg bahan kering mikroba m e n dan sebagian besar terdapat &lam protein (Bird, 1973 ;Orskov, 1980). Tiga jenis asam amino penting yang mengandung mineral s u l k adalah metionin, sistin dan sistein. Menurut Gill
et al., (1973) suplqmentasi AHM dalam ransum dapat
meningkatkan kecernaan selulosa dan sintesis protein mikroba secara in vitro. Sejalan dengan ini hasil review Shirley (1986) melaporkan bahwa suplementasi AHM dalam m s u m meningkatkan pertambahan berat badan dan efisiensi penggunaan pakan
sebesar 13 dan 10% pada ternak sapi, sedangkan Dilaga (1992) melaporkan bahwa pemberian AHM sebanyak 2 g lekor/hari pada anak sapi preruminansia memberikan ha1 yang paling menguntungkan terhadap pertumbuhan harian dan kualitas karkas.
P h sapi perah suplementasi AHM dapat meningkatkan produksi susu dan kadar lemak susu (Sutardi, 1980; Bhargrave et al., 1977) dan pada sapi pedaging bisa
meningkdm pcrfman reproduksi ( Clanton dan England, 1980). Dimping itu supkmca?asiAWM juga meningkatkan sirkulasi d o n i n ddam damh ( hlasco, 1980)
dan dapt mcnstimulir sintesis lipoprotein dalgm hati dan inkopomi asam lemak plasma kedalarn trigliscrida plasma darah (Pulltn et al., 1989). Sutardi (1980) menyatakan bahwa keto alfa dan keto hidroksi analog asam amino kunrng efisien penggunaannya, sebab selain dapat diubah menjadi asam amino semula juga dapat dimetabolisme menjadi metabolit lain atau dioksidasi menjadi COz,
air dan energi. Akan tetapi analog metionin merupakan pengecualian. Penggunaannya hampir sama dengan metionin. Hal ini memberikan banyak keuntungan karena analog hidroksi metionin harganya lebih murah, dan lebih tahan terhadap degradasi dalam rumen Hal ini dikarenakan enzim detiometilase mikroba yang bertugas mencopot gugus metil tio (-S-CH3) sedikit banyaknya tertipu oleh tidak adanya gugus amino
pada karbon alfanya, sehingga banyak yang 1010s dari perombakan dalam men. Bahagian yang 1010s ini akan mpai di usus dan diserap disana menjadi tambahan nutrisi protein selain protein mikroba.
f
Penggunaan sumber nitrogen bukan protein (NPN) dalam jumlah tinggi untuk mengganti sumber protein &lam ransum ternak dapat mengakibatkan keterbatasan mineral s u l k dalam ransum. Oleh karena itu pada penggmaan pakan serat bemutu rendah seperti sabut sawit suplementasi AHM yang b e h g s i sebagai sumber sulfur
dan gugus metil untuk pertumbuhan mikroba nunen sangat diperlukan dalam upaya rnemqgkahn kecernaan palan dan pertumbuhan temak.
Peranan BCAA dalam Pertumbuhan Mikroba Rumen Mikmba m e n smg& bcrpem dalam mencema perkan pada ternak ruminansia, seiain itu m i h b ruinen juga rnerupkm sumber protein utma bag^ hewan induk semang
-
( Cotta dan Russel, 1982 ) ,dimana 40 80 % dari kebutuhan asam amino
bagi t e d tersebut b e d dari protein miktoba ( Snifen dan Robinson, 1987 )
.
Protein bakteri mempunyai nilai biologis yang cukup tinggi . Ini terlihat dari hasil review Clark et al,,(1992) tentang komposisi asam amino bakteri (Tabel 3). Untuk itu upaya meningkatkan populasinya perlu dilakukan
Peningkatan kecernaan pakan serat juga hams didekati dari segi kecukupan nutrien untuk pertumbuhan mikroba rumen (Leng, 1991).
Hal ini disebabkan
kecemaan pakan serat ini sangat-tergantungpada enzim yang dihasilkm oleh mikroba tersebut. Semakin banyak populasi mikroba (terutama selulolitik), rnaka enzim yang dihasilkan akan semakin banyak dan dengan sendirinya kecemaan pakan juga semakin
Tabel 3 . Komposisi Asam - asarn Amino Baktexi Rumen ( g1100 g Asrrm Amino) Asam Amino
Arginin Alanin Asam Aspartat Asam Glutamat Fenilalanin Glisin Histidin Isoleusin Leusin Lisin Metionin Prolin Sexin Tirosin Treonin Valin
Minimum 3.8 5.0 10.9 11.6 4.4 5.0 1.2 4.6 5.3 4.9 1.1 2.4 3.9 3.9 5.0 4.7
f
Maksimum
Rataan
6.8 8.6 13.5 14.4 6.3 7.0 3.6 6.7 9.7 9.5 4.9 5.3 7.7 7.7 7.8 7.6
5.1 7.5 12.2 13.1 5.1 5.8 2.0 5.7 8.1 7.9 2.6 3.7 4.9
4.9 5.8 6.2
Pcrhunbuhan mikroba yang optimal rnembutuhlm nutria yang cukup dalam
suatu nutrien hsuus disesuaih d c n p k m s l a n nutria l a h y a (Nolan, 1993).
Preston and Lcng (1987) mcnyataLrn bahm 6efisiensi llran nutrim yang dibuhihlrao oleh mikroba rumen akan mengurangi biomassanya clan akan berakibat menurunnya daya cerna pakan terutama pakan serat. Ditambahkan lag^ kriteria utama dalam
memanipulasi ekosistem m e n harus memperhatikan substrat yang esensial untuk pertumbuhan mikroba m e n . Amonia, peptida, dan asam-asam amino adalah sumber N yang utama untuk mikroba rumen dan sebagmn besar bakteri menggunakan amonia untuk sintesis protein tubtubuhnya, walau ada sebagian kecil yang membutuhkan peptjda dan asam amino ( Leng
dan Nolan, 1982). Meskipun mikroba selulolitik dikenal dapat menggunakan arnonia sebaga~ sumber nitrogen utama, protein dalam r a n s y selalu lebih unggul dibanding urea
dalam memacu kecernaan serat (Mc Allan dan Smith, 1983). Hal juga sejalan dengan hasil review Clark et al., (1992)
dimana terjadi peningkatan sintesis protein
mikroba rumen pada ransum yang ditambahkan asam amino dibanding wea sebagi
sumber Nitrogen. Asam amino ini tidak hanya d i m oleh bakteri nunen saja tapi juga dibutuhkan untuk memaksimalkan pertumbuhan bakteri dan efisiensi fermentasi dalam m e n . Hasil penelitian CNZ Soto et al., (1994); Griswold et al., (1996)
memperlihatkan bahwa
penambalm asam amino atau peptida cenderung
meningkatkan jumlah dari balcteri selulolitik
dan pertumbuhan mikroba nnnen.
Scjalan dengan ini Junes et al., (1998) melaporkan bahwa penambahan peptida sebesar 10% dalam ransum metlingkakan sintesis protein rnikroba, keeernaan bahan kering
dan protein cansum. Baldwin and Allison (1983) menyatakan babwa bakteri se1uloliti.k seperti B. succinogenes, Rurni~u)coccus albw dan R.. fla~ajiaczentmembutuhkan asam lemak
bercabang untuk pertumbuhannya. Asam lemak ini diperoleh dari dekarboksilasi dan deaminasi asam amino bcrantai cabang (BCAA) dalam rurnen. Asam iso butirat, 2
metil butirat dan isoderat berturut - turut b e d dari asam amino d i n , isoleusin,
dan leusin Proses deaminasi dan dekarboksilasi asam-asam amino berantai cabang dapat digambarkan sebagai berikut (Andries et aL, (1987): R-CH(NH2)COOH + H20 ----------- RCOCOOH + NH3 +2H+ RCOCOOH + H20 ------------------ RCOOH + Co2+ 2H)' R
=
(C&)2CH ( d i n )
=
(CH3)2CHCH2(leusin)
=
CH3CH2CH(CH3)(isoleusin)
,
Dari hasil penelitian Sutardi (1976) yang menggunakan cL4 sebagai perunut memperlihatkan inkoporasi kerangka karbon dari valin, leusin, dan isoleusin ke dalam protein mikroba rumen berturut - turut 31, 25, dan 29%. Hal ini membuktikan bahwa
kerangka karbon bercabang sangat diperlukan untuk pertumbuhan mikroba dalam m e n
Asam lernak bercabang (BCFA) didapatkan hanya dari proteitt Bila pakan mengandung protein yang rendah
(penggunaan pakan serat) dm adanya perlakuan
defhunasi asam lemak ini bisa jadi pembatas pertumbuhan mikroba runnen terutama bakteri scldolitik. Untuk itu jmb
ptnggunaan
pakan serat dalam rrtnsum ternak
pcarunbahan asam amino rantai atbang am asam lemak bercrtbang
&-in diplukan.
Pembahan asam isovalerat, asarn ibbutirat dan asarn
2 metil butirat
meningkatkan kecernaan dinding sel clan penggunaan nitrogen (Gorosito et al., 1985) serta meningkatkan sintesis protein mikroba (Russel clan Sniffen, 1984) (Tabel 4). Peningkatan kecernaan frrrksi serat (dinding sel) pakan membuktikan bahwa
penambahan kerangka karbon bercabang ini menguntungkan pada bakteri selulolitik, demikian juga dengan meningkatnya penggunaan nitrogen yang menunjukkan
terjadinya peningkatan sintesis protein mikroba Tabel 4. Suplementasi Asam Lemak Bercabang terhadap Kecernaan Dinding Sel, Konsentrasi Amonia clan Protein Sel Mikroba
BCFA non suplementasi n-valerat Isovalerat Isobutirat 2-metil butirat Campuran isoacid
Kecernaan dinding sel ( YO) 17.1 15.5 25 - 4 25.4 26.6 26.4
Konsentrasi Amonia (mg I liter ) 177.8 185.0 162. 1 153.4 149.5 153.2
Protein sel mikroba ( mg I liter ) 148.0 146.4 169.9 138.1 177.1 180.9
Mir et al., (1986) melaporkan bahwa terjadinya peningkatan kecernaan bahan kering in vitro dari jerarni barley akan alfalfa pada penambahan BCAA mawun
BCFA.. Selanjutnya Mir dan Mir (1988) juga menyatakan bahwa suplementasi asam isobutirat meningkatkan kecernaan bahan kering, NDF dan ADF dari jerami barley dm crested Wheat grass hay. Pada penelitian lain Mir et al., (1991) mencatat terjadinya peningkatan kecemaan bahan kering dan ADF dari silase jagung, jerami barley dengan
penam-
isoleusin, clan pertinghtm itu lebih eftktif tenrtama pada keadaan
meningkatnya pertumbuhan bakteri s e w proses fcrmentasi pkan dalam nunen ber~alan lebih baik.
Hal ini sejalan d e n p hasil pmelitian Enamto
(1995)
memperlihatkan penambahan asam amino bercabang M a m ransum temak ruminansia memacu pertumbuhan bakteri m e n . Diseunping dibutuhkan oleh bakteri selulolitik,
isoacids mmpunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan mikroba dan sintesis protein mikroba (Curnmins dan Papas, 1985). Penelitian in vivo pada ternak sapi penambahan isoacids tidak mempenpH rumen, tetapi meningkatkan praduksi asam asetat, asam propionat dan asam isob*rat (Hefher et al., 1985 ; Felix et al., 1980). Disarnping
itu
suplementasi
isoacids juga meningkatkan produksi susu dan pertambahan bobot badan pada sapi
perah yang mendapat ransum silase jagung dengan sumber nitrogen dari urea. (Felix et al., 1980). I
Disini terlihat bahwa isoacids yang dihasilkan terutama dari asam amino bercabang akan menjadi faktor pembatas untuk pertumbuhan balcteri yang maksirnal bila pakan rendah kandungan proteinnya. Isoacids menmglmtkan penggunaan nitrogen yang berasal dari urea. Ini sejalan dengan penelitian Felix et al., (1980) menyatakan bahwa penampilan produksi ternak sapi yang mendapat ransum mengandung urea tinggi masih dapat ditingkatkan dengan suplementasi isoacids. Suplai isoacids untuk sintesis protein Wri m e n melalui lisis dari bakteri saja tidak cukup tern-
untuk
tenak yang stdang hproduksi tinggi maupun sedang tumbuh. Hal ini juga dijebkm
dari pcnditian H d b x et d.,(1985) bahw s u p l e m d isoacids pada sapi yang
M i n t o b diaEas brlihat bahwa asam amino b e d cdmg sangat periu dim-
(BCAA) ini
dalam ransum pada beberapa bndisi stperti: (1) T
d
mendapat ptrlakuan dehunasi, dimana bakteri m e n lebih banyak yang sampai ke
organ pasammen sehingga bgkteri yang lisis oleh protozoa menjadi berkurang. (2) Bila ransum yang digunakan rendah kandungan proteinnya (seperti penggunaan palcan
serat bermutu rendah), karena protein p a h merupakan sumber utama BCAA. (3) Apabila protein ransum tahan terhadap degrshssi dalam m e n . Pengguaaan sabut sawit yang merupakan pakan serat yang pteinnya rendah dalam ransurn memerlukan
suplementasi BCAA tersebut.