TINJAUAN PUSTAKA Pesantren dan Perkembangannya
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dan sosial keagamaan d~ Indonesia mempunyai sejarah yang panjang dan cukup lama. Menurut Manfred Ziemek (Wahjoetomo 1997), kata pondok berasal dari kata "funduq" (bahasa Arab) yang berarti ruang tidur atau wisma sederhana, sedangkan kata pesantren berasal dari kata santri yang diberi awalan pe- dan akhiran -an yang berarti tempat para santri.
Geertz (Wahjoetomo 1997) menyatakan bahwa pengertian pesantren
diturunkan dari bahasa India, yaitu "shastri" yang berarti tempat bagi orang-orang yang pandai membaca dan menulis. Berdirinya pondok pesantren di atas dimulai bersamaan dengan zaman Walisongo, dan pondok pesantren yang pertama didirikan adalah pondok pesantren yang didirikan oleh Syech Maulana Malik Ibrahim atau Syech Maulana Maghribi (Hasbullah 1999). Zarkasyi (1996) menyatakan bahwa pondok pesantren berasal dari dua kata yang membentuk satu pengertian yang sama. Pondok berarti tempat menurnpang sementara, pesantren berarti tempat santri, sedangkan santri berarti pelajar yang menuntut ilmu agama Islam. Di Jawa, tempat ini disebut sebagai pondok atau pesantren atau pondok pesantren.
Wahid (2001) inenyatakan bahwa pesantren
merupakan sebuah kompleks dengan lokasi yang umurnnya terpisah dari kehidupan sekitarnya dan dalam kompleks tersebut terdapat beberapa buah bangunan, yaitu
ruinah kediainan pengasuh (Kiyailajengan), sebuah surau atau mesjid ternpat pengajaran diberikan, dan asrarna tempat tinggal para siswalsantri pesantren dan ~neinpunyaisistern nilai tersendiri sebagai sebuah "subkultur". Artinya, siste~nnilai yang terdapat di pesantren sering berbeda dengan sistem nilai yang terdapat di lingkungan masyarakat sekitarnya. Sebagai contoh perbedaan sistein nilai di atas adalah dalam ha1 konsep terhadap kebersihan dan waktu dimana nilai kedua konsep tersebut di pesantren didasarkan atas ajaran fikih, sedangkan nilai-nilai dalam masyarakat didasarkan atas realitas sosial. Menurut sejarah berdirinya, suatu pondok atau pesantren didahului dengan adanya seorang Kiyai atau seorang yang alim, kemudian datang beberapa orang santri yang ingin menuntut ilmu pengetahuan dari Kiyai tadi dan para santri kemudian ditampung di rurnah Kiyai. Sejalan dengan pertumbuhan jumlah santn yang datang, maka rurnah Kiyai pada akhirnya tidak dapat lagi menainpung para santri, sehingga timbul inisiatif dari para santri untuk mendirikan pondok di sekitar inasjid dan di sekitar ruinah Kiyai tersebut. Dengan demikian, secara teknis yang membuat pondok itu sendiri adalah para santri. Tahap-tahap pendirian sebuah pesantren seperti di atas tampaknya sudah jarang ditemui dewasa ini. Hal ini karena pada saat ini justru pesantren sebagai wadah (organisasi) terlebih dahulu didinkan baru kemudian inencari calon santri yang ingin belajar di pesantren yang bersangkutan.
Proses pendirian pesantren
seperti di atas dapat dilihat rnisalnya pada Pesantren "Baiturrahim" dan Pesantren
"Al Qur'an wal Hadist" dl Bogor. Dengan demikian, keterikatan antara santri
dengan Kiyai yang pada zaman dahulu lebih dahulu terbentuk sebeium mendirikan pesantren, maka pada saat ini keterikatan santri dengan Kiyai baru terbentuk setelah santri mendaftar atau menjadi anggota pesantren tersebut. Sebagai lembaga pendidikan Islam yang tertua, sejarah perkembangan pondok pesantren memiliki model-model pengajaran yang bersifat non klasikai, yaitu model sistem pendidikan dengan metode pengajaran wetonan dan sorogan. Di Jawa Barat dikenal pula metode pengajaran dengan istilah "Bandungan" (mendengarkan) dan di Sumatra dikenal istilah "Halaqah" (diskusi). Di dalam metode wetonan, pada saat seorang Kiyai (guru)membaca suatu kitab dalam waktu tertentu, maka santrinya (anak didik) membawa kitab yang sama, kemudian santri tersebut mendengarkan d m menyimak bacaan Kiyai, sedangkan pada metode sorogan, maka seorang santri men "sorog" kan (menyodorkan) atau mengajukan sebuah kitab kepada Kiyai untuk dibaca dihadapannya, dan kesalahan &lam bacaan itu langsung dibenarkan oleh Kiyai (Mastuhu 1994). Tujuan umum pondok pesantren di atas adalah membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam, sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai adalah mempersiapkan anak didik menjadi orang alim dalam ilmu agama serta mengamalkannya dalam masyarakat (Hasbullah 1999). Secara lebih rinci, Feisal (1995) menyatakan bahwa tujuan pendidikan pesantren adalah: (I) mencetak ulama yang menbpasai ilmu-ilmu agama. (2) mendidik tnuslim yang dapat
melalisanakan syariat agama, dan (3) mendidik ii~uslirninemiliki ketera~npilanketerampilan dasar yang relevan atau sesuai dengan terbentuknya masyarakat beragama, sedangkan menurut Ditjen Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama, RI (2002), tujuan utama penyelenggaran pondok pesantren di atas adalah sebagai berikut: "
Menyiapkan para santri mendalami dan menguasai ilnu pengetahuan Islam (tafaqqultfiddm), yang diharapkan dapat mencetak kader-kader ulama dan turut mencerdaskan masyarakat Indonesia."
Zarkasyi (Sasono et al. 1998) menyatakan bahwa pesantren sebagai silatu lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang ditengah-tengah masyarakat memadukan unsur-unsur pendidikan yang sangat penting. Pertama, ibadah untuk menanarnkan iman dan takwa terhadap Allah SWT. Kedua, tablig untuk penyebaran ilmu, dan ketiga, yaitu amal untuk mewujudkan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari. Pondok pesantren sebagai lembaga keagamaan atau - tafaqqult fiddin (mengenalkan, mendalami, dan mengamalkan ajaran Agama Islam)- mempunyai fungsi pemeliharaan, pengembangan, penyiaran, dan pelestarian Islam. Selain itu, pesantren pada saat ini juga merupakan penggerak lembaga-leinbaga kemasyarakatan dan ekonomi umat seperti mendirikan lembaga Bazis, koperasi pesantren, pusat informasi keagamaan, dan klinik psikiater berdasarkan pandangan Islam. Pada masa silam, pondok pesantren di Indonesia dapat merespon tantangan zamannya dengan sukses (Mastuhu 1994). Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika masyarakat pada saat itu merasa bangga apabila dapat menitipkan putra-putrinya
untuk dididik di pesantren.
Namun demikian, pada era perkeinbangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat yang terjadi pada akhir-akhir ini tampaknya pesantren lnasih tertinggal dalarn merespon perkeinbangan dan perubahan-perubahan di atas sehingga rasa bangga dan minat masyarakat yang tinggi terhadap pesantren seperti pada zaman dahulu menjadi berkurang. Beberapa ha1 yang menyebabkan pesantren agak tertatih-tatih dalam merespon perkembangan yang ada antara lain karena pesantren sebagai sebuah organisasi masih sangat bergantung kepada figur pimpinannya. Selain itu, metodologi, wacana keilmuan, ketersediaan fasilitas, sumber dana, dan orientasi pesantren itu sendiri juga menyebabkan perkembangan pesantren menjadi terbatas. Pesantren di Indonesia turnbuh dan berkembang sangat pesat. Pada tahun 1978, Departemen Agama RI menyatakan bahwa di Jawa telah terdapat 3.745 buah pesantren dengan jumlah santri sebanyak 675.364 orang (Hasbullah 19991, sedangkan Wahid (1999) menyatakan bahwa pada tahun 1987 sudah terdapat 5.000 buah pondok pesantren yang tersebar di 68.000 desa di Indonesia, dan pada tahun 1997 jumlah pesantren tersebut di Indonesia telah mencapai 9.4 15 buah dengan jumlah siswa/santri yang mondok di asrama sebanyak 1.631.727 orang. Jumlah pesantren di atas tiap tahun menunjukkan peningkatan, bahkan pada tahun 2002 yang lalu jumlah pesantren tersebut telah inencapai 12.783 buah (Ditjen Kelembagaan Agama Islam, Depag, RI 2003). Dengan demikian, selama kumn waktu antara
tahun 1978 - 2002 teiah terjadi peningkatan jumlah pesantren sebesar 241 persen. Jumlah pesantren dan s2ntri di Indonesia pada tahun 2002 tampak pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah Pondok Pesantren dan Santn di Indonesia, 2002 J ulnlah Propinsi
Santi
Ponpes
-
D 1 Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sunatera Selatan Bangka Belitung Benglculu Lampung DKI.Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah Dl. Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo I Sulawesi Tengah 1 Sulawesi Selatan 1 Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara 30 lrian Jaya Jumlah
1
369 178 149 61 69 %
I
1
15 23 230 72 4.388 1.296 1.837 139 2.953 86 224 11 56 44 146 75 10 16 36 139 21 10 10 24 12.783
Suinber: Ditjen Kelembagaan Agarna Islam, Depag. Kl, 2002
I
i
96.769 50.807 32.995 15.355 25.276 32.849 2.898 6.526 48.763 29.673 886.197 207.847 412.816 29.098 844.589 9.817 97.084 1.171 1 1.355 9.067 54.955 11.981 1.028 3.157 9.464 32.460 4.224 2.159 1.326
Berdasarkan Tabel 1 tampak bahwa jumlah pesantren terbanyak dijumpai di Propinsi Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, sedangkan di Propinsi Bali yang sebagian besar masyarakatnya menganut Agama non Islam juga ditemui jumlah pesantren yang cukup besar. Selain itu, berdasarkan data perkembangan jumlah pesantren di atas tampak bahwa pesantren mempunyai eksistensi di tengahtengah masyarakat dan dapat dijadikan sebagai potensi yang signifikan untuk pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, agar pesantren dapat lebih berperan dalam pemberdayaan masyarakat, maka pesantren tersebut juga hams mempunyai keberdayaan untuk dapat menggerakan perubahan. pesantren sebsgai agen perubahan
Hal ini penting mengingat
- (dengan meminjam rincian yang dikemukakan
oleh Pyzdek (2002)-akan berhubungan dengan beberapa usaba untuk: (1) inengubah cara orang berpikir dalam organisasi, (2) mengubah norma organisasi, dan (3) mengubah sistem atau proses organisasi. Salah satu faktor penting dalam usaha meningkatkan keberdayaan pesantren di atas adalah melalui penerapan inovasi-inovasi dalam pesantren yang bersangkutan, baik inovasi yang berhubungan dengan ide-ide baru maupun inovasi dalam bentuk teknologi maupun administratif. Penerapan inovasi-inovasi baru dalam pesantren ini akan sangat banyak membantu dalam proses organisasi pesantren yang berlangsung sehingga pencapaian tujuan yang diharapkan juga dapat lebih dtingkatkan. Oleh karena itu, perkembangan pesantren di masa depan akan sangat ditentukan oleh kemampuannya dalam menerapkan inovasi yang ada (Ismail 2000).
Menurut Sudirman l'ebba (Ismail 2000), beberapa alasan yang mendasar yang menjadikan pesantren terasa urgen dan mendesak dalam pengembangan inasyarakat adalah karena: (1) pesantren sebagai lembaga atzu organisasi yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah dan sosial dirasakan oleh banyak pihak memiliki potensi yang besar untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam bidang pendidikan dan pengembangan masyarakat, (2) jumlah pesantren potensial t e r b u h telah melaksanakan usaha kreatif yang bersifat rintisan, dan (3) usaha ini perlu dikembangkan sambil terus melakukan upaya pembenahan terhadap masalah utama yang dihadapi pesantren, baik yang bersifat internal organisasi maupun yang bersifat ekstemal organisasi. Oleh karena itu, menilrut Mastuhu (1999), pesantren sebagai lembaga pendidikan hams mampu menumbuhkembangkan sikap para znak didiknya sebagai berikut: (1) kemampuan memahami gejala atau fenomena, inforrnasi d m makna dari setiap peristiwa yang dihadapi atau dialaminya, (2) kemampuan menerima pendapat dari luar yang benar dan melepaskan pendapat sendiri apabila ternyata keliru, (3)
kemampuan untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi
berdasarkan fakta, data, dan pengalaman empiris menurut kaidah-kaidah keilmuan, (4) kemauan dan kemampuan dalam mendefinisikan kembali atau memperbaiki
orientasi, sesuai dengan tantangan zaman dan berdasarkan bukti-bukti yang ada serta alasan-alasan yang rasional, (5)
kemampuan memilah-milah dan memilih yang
terbenar, terbaik, dan paling mungkin diwujudkan sesuai dengan kebutuhan d m keadaan, (6)
kemampuan mengelola dan mengendalikan, lengkap dengan
ketnampuan mengambil keputusan, (7) kemampuan mengembangkan pelajaran dan pengalaman yang telah diperolehnya sehingga menjadi cara baru yang menjadi milik atau penemuannya untvk inenghadapi suatu masalah; dan (8) untuk menjamin ketujuh ha1 di atas dan agar tetap berada di alur yang benar, maka diperlukan kemampuan berijtihad, memahami ajaran agalna secara benar, mendalam dan utuh sehingga perilakunya sebagai manusia modem tetap berada dalam panduan iman dan taqwa. Di dalam perkembangannya, dunia pesantren telah mengalami beberapa perubahan, baik sebagai akibat dari dinamika internal maupun sebagai penyeimbang dari "dunia llxr", sedangkan peranatmya &lam perkembangan masyarakat juga sangat diperlukan. Sebagai lembaga pendidikan Islam (dimana guru dan murid menciptakan suatu suasana kekeluargaan dalam usaha mencari, menggali, dan menyebarkan berbagai ilmu keagamaan), pesantren merupakan salah satu lembaga/organisasi yang diharapkan dapat mempertahankan nilai-nilai ahklak bagi generasi yang mendatang (Rasyid 1998), dan tidak terlepas dari masyarakat yang mengitarinya. Artinya, keberadaan dan keberlangsungan hidup dari pesantren juga ditentukan oleh komunitas sosial dimana pesantren tersebut berada. Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, pesantren mempunyai peranan yang cukup penting. Peranan yang paling sederhana dari pesantren tersebut ialah: (1) pelayanan keagamaan kepada masyarakat sekitar, sedangkan peranan yang lainnya adalah sebagai (2) pusat pemikiran keagamaan, (3) sebagai tempat "ritus peralihan"
(dari situasi remaja ke situasi dewasa), (4) wadah sosialisasi bagi anak-anak, (5) tempat mengaji dan mempelajari kitab-kitab (agama Islam), (6) tempat intensifikasi peribadatan, (7) "kancah latihan" pejuang, dan bahkan (8) ~nenjadisuinber dari pendukung dan pemimpin dari organisasi yang bernafaskan Islam. Selain itu, saat ini pesantren iuga cukup banyak berperan dalam mendirikan lembaga-lernbaga kemasyarakatan dan pemberdayaan ekonomi umat, seperti mendirikan lembaga Bazis, koperasi, pusat informasi keagamaan, klinik psikiater, dan lain-lain. Masuknya sistem sekolah ke Indonesia membawa pengaruh kepada pesantren yang ingin maju. Oleh karena itu, timbullah madrasah-madrasah di pesantren yang mengajarkan ilmu pengetahuan agama dilengkapi dengan ilmu pengetahuan umum dengan tidak meninggalkan dasar seinula, yaitu ibadah dan keikhlasan menjalankan perintah agarna (Zarkasyi 1996). Dalam mekanisme kerjanya, sistem yang ditampilkan oleh pondok pesantren mempunyai beberapa keunikan dibandingkan dengan sistem yang diterapkan dalam pendidikan pada umumnya
(Hasbullah 1999). Beberapa keunikan yang dapat
dijumpai di pesantren di atas, yaitu: (1) memakai sistem tradisional yang mempunyai kebebasan penuh dibandingkan dengan sekolah modem, sehingga terjadi hubungan dua arah antara santri dan kyai, (2) kehidupan di pesantren menampakkan semangat demokrasi karena mereka praktis bekerjasama mengatasi problema nonkurikuler mereka, (3) para santri tidak bertujuan memperoleh gelar atau ijazah, karena sebagian besar pesantren tidak mengeluarkan ijazah, sedangkan tujuan utama
~nereka hanya ingin ~nencari keridhoan Allah, (4) sistem pondok pesantren mengutamakan kesederhanaac, idealisme, persaudaraan, persamaan, rasa percaya diri dan keberanian hidup, dan (5) alumni pondok pesantren tidak ingin menduduki jabatan pemerintahan, sehingga mereka hampir tidak dapat dikuasai oleh pemerintah (Hasbullah 1999). Namun demikian, berdasarkan hasil penelitian Mastuhu (1994) tampak bahwa beberapa ha1 di atas tidak sepenuhnya dapat dijumpai, karena pada beberapa pesantren yang ditelitinya hubungan dua arah serta suasana demokratis seperti dikemukakan di atas memperlihatkan kenyataan yang berbeda. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mastuhu (1994) tampak pula bahwa cukup banyak dari para santri yang ditelitinya yang ingin menjadi pegawai negeri. Zarkasyi (1996) menyatakan bahwa kehidupan dalam pondok pesantren dijiwai oleh suasana-suasana yang disebut sebagai "Panca Jiwa", yaitu: (1) jiwa keikhlasan, (2) jiwa kesederhanaan, (3) jiwa kesanggupan menolong diri sendiri, (4) jiwa ukhuwah dinniyah yang demokratis, dan (5) jiwa bebas ( artinya bebas di dalam garis-garis disiplin yang positif dengan penuh tanggungjawab, baik di dalam kehidupan pondok pesantren itu sendiri maupun di dalam kehidupan masyarakat). Namun demikian, apabila panca jiwa di atas dihubungkan dengan keadaan pada sebuah pesantren seperti pesantren A1 Zaitun di Indramayu (Jawa Barat) misalnya, maka jiwa kesederhanaan dan jiwa kesanggupan menolong diri sendiri pun perlu dipertanyakan kembali.
Hal ini karena pada jenis pesantren seperti A1 Zaitun
(mungkin juga pesantren-pesantren lain yang belakangan ini banyak bermunculan),
semua kegiatan yang ditujukan untuk ke dua ha1 di atas (sederhana dan mandiri) sudah ditanggulangi oleh pihak pengelola pesantren yzng bersangkutan, sehingga kegiatan mencuci dan melnasak sendiri yang sebelumnya menjadi ciri khas santri yang belajar di pesantren dan ditujukan untuk menurnbuhkan jiwa sanggup menolong din sendiri praktis menjadi berubah. Ilmu yang dipelajari di pesantren pada umurnnya diberikan secara bertahap. Selain itu, kurikulum pesantren juga pada umumnya tidak mempunyai standarisasi. Dengan demikian, setiap pesantren hampir semuanya mengajarkan kombinasi kitab yang berbeda-beda (Bruinessen 1999). Pada tahap pertama, biasanya para santri memulai pelajarannya dengan rukun Islam dan rukun Iman serta pengajian A1 Qur'an, dan setelah itu baru dimulai dengan pengajian kitab-kitab yang terdiri dari beberapa tingkat. Tingkat pertama ialah pengajian nahu, sorof, dan fiqih dengan kitab-kitab A/-Ajrumiyyah, Matan Bina, Fathul Qorib dan lain-lain, sedangkan pada tingkat ke dua adalah pengajian nahu, sorof, dan fiqih dengan kitab yang berbeda seperti Al-Sanusi, A1 Kailani, dun Futhul Muin.
Selanjutnya, pada tingkat ke tiga
dilakukan pengajian Tauhid, nahu, sorof, fiqih, tafsir dan lain-lain dengan kitab-kitab Kijayatul Awwanz, Ummul Barahim, Ibnu Aqil, Al-Jalaluin, dan sebagainya. Pada
tingkat terakhir ini diajarkan pula ilmu mantiq, ilmu balagah, ilmu tasawuf dan sebagainya dengan kitab-kitab seperti As-Sullam, Bidayatul Hiduyuh; dan Ihyu Ulumuddin.
Dengan sistem pondok/asrarna, pesantren juga marnpu menanamkan
sikap, pandangan, dan filsafat hidup yang bermanfaat bagi kehidupan para santri di
kernudian hari. Selain itu, di pesantren pemberian pendidikan keirnanan, ketaqwaan, dan ahlak dapat dilakukan secara efektif. (Zarkasyi 1996). Dikaitkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi akhir-akhir ini, Suteja (Wahid 1999) mengemukakan beberapa ha1 yang perlu diperhatikan oleh pesantren, yaitu pesantren hendaknya
mengadakan perbaikan
kurikulum yang ada, pengadaan wacana keilmuan yang lebih variatif d m komprehensif, serta melakukan metodologi pengajaran yang lebih baik. Oleh karena itu, pesantren diharapkan dapat membuka diri dalam memahami kebutuhan dan tuntutan para santri sebagai generasi penerus yang akan terlibat langsung dalaln kancah sosial masyarakat bangsanya. Dalam realitasnya, penyelenggaraan sistem pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren dewasa ini dapat digolongkan kepada beberapa bentuk. Narnun demikian, dalam pengklasifikasian pesantren di atas masih dirasakan adanya kesulitan. Kesulitan yang dihadapi dalam mendeskripsikan pondok pesantren yang terjadi selama ini disebabkan oleh kemajemukan pesantren itu sendiri, baik yang ditunjukkan oleh kekhususan motif dan sejarah berdirinya, maupun ruh, isi serta cara penyelenggaraan masing-masing pesantren tersebut (Daulay, Hotmatua, dan Mulyanto 2001). Zuhairini (Hasbullah 1999) membedakan pesantren dalam dua jenis, yaitu: (1) pesantren tradisional, yaitu pesantren yang masih mempertahankan sistem
pengajaran tradisional, dan (2) pesantren modem, yaitu pesantren yang
lnengintegrasikan secara penuh sistem klasikal dan sekolah ke dalam pondok pesantren, sedangkan Rahim (2C01) mengklasifikasikan jenis pesantren berdasarkan enam ciri, yaitu (1) sistern pengajarannya (tradisional-modern), (2) jalur pendidikan formal, (3) jumlah santri yang ada, (4) afiliasi dengan organisasi tertentu (M, Muhamadiyah, NU: Persis, dan lain-lain), (5) jenis santri yang belajar (mukimkalong), dan 6) lokasi tempat pesantren berada (pedesaan-perkotaan). Di pihak lain, Ditjen Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama, RI (2002) mengelompokan jenis pesantren di atas ke dalam tiga jenis, yaitu: (1) pesantren Salaf, (2) pesantren Khalaf. dan (3) pesantren Kombinasi. Namun demikian, apabila dilihat berdasarkan kenyataan yang dijumpai di lapangan tampaknya klasifikasi pesantren atas dasar ada tidaknya pondokan di pesantren perlu pula dipertimbangkan.
Hal in: penting
mengingat pada saat ini tidak semua pesantren (bahkan cukup banyak dijumpai) mampu memiliki fasilitas pondokan. Pengklasifikasian pesantren seperti di atas terasa penting jika dikaitkan dengan usaha-usaha pembinaan yang hams dilakukan terhadap pesantren yang bersangkutan. Oleh karena itu, pengklasifikasian pesantren tidak cukup hanya berdasarkan sistem pengajaran yang dilakukan saja, tetapi juga perlu ditinjau atas dasar jalur pendidikan formal yang diadakan, induk organisasi yang diikuti, jenis santri yang belajar, letak lokasi pesantren berada, jumlah santri yang ada, kitab rujukan utama yang digunakan, dan tersedia tidaknya pondokan pada pesantren tersebut.
Dalam konteks pernbentukan manusia seutuhnya, pendidikan di pesantren dalam prakteknya lebih menitikberatkan pada aspek keagamaan, sementara aspek intelektualitas kurang mendapatkan tempat yang proporsional. Keadaan dernikian rnenuntut keterbukaan pendidikan pesantren untuk mengakomodasikan rnetodologi pengajaran yang dapat membawa para peserta didiknya untuk dapat dan mampu mengembangkan wawzsan dan pemikirannya secara bebas.
Materi pendidikan
pesantren dan berbagai pendekatan yang dilakukan hendaknya dikaji dari relevansi kemasyarakatan dengan kecenderungan perubahannya. Dengan demikian, menurut Rahardjo (Wahid 1999), mernbuat pesantren hidup tidaklah berarti mengubah pendidikan pesantren dari corak agama, melainkan membawa persoalan nyata rnasyarakat ke dalam pesantren, mencoba memahami persoalan itu, dan mencari kemungkinan-kemungkinan pernecahamya melalui pendasaran pada aspirasiaspirasi ajaran agama dengan pedoman-pedoman keil~nuandan kemasyarakatan. Oleh karena itu, menurut Zarkasyi (Sasono 1998), pendidikan pesantren hendaknya ditujukan kepada pembentukan manusia yang dapat memenuhi beberapa kriteria, yaitu: (1) bertaqwa kepada Allah dan taat menjalankan syariat Islam, (2) berperangai manusia Indonesia yang terpuji, (3) berbudi luhur, berbadan sehat, berpengetahuan luas, dan berpikiran bebas, (4) berguna bagi masyarakat, dan (5) berbahagia lahir dan bathin, baik di dunia maupun di akhirat. Selain ke lima ha1 di atas, tampaknya perlu pula dipertimbangkan aspek memiliki kemampuan dan keterampilan untuk bekal hidup ditengah-tengah masyarakat kelak.
Mastuhu (1999) inenyatakan bahwa agar kemampuan-kemampuan seperti telah diketengahkan di muka dapat tercapai atau dapat diwujudkan, maka perlu dilakukan pembahan dan pengembangan metode belajar dan mengajar pada proses pendidikan yang sedang berlangsung. Perubahan-perubahan yang dimaksud adalah antara lain: (1) mengubah cara belajar dari model warisan menjadi cara belajar pemecahan masalah, (2) dari hafalan ke dialog, (3) dari pasif ke heuristic, (4) dari memiliki ke menjadi, (5) dari mekanis ke kreatif, (6) dari strategi menguasai materi sebanyak-banyaknya menjadi menguasai metodologi yang kuat, (7) dari memandang dan menerima ilmu sebagai hasil final yang mapan menjadi memandang dan menerima ilmu dalam dimensi proses, dan (8) fungsi pendidikan bukan hanya mengasah dan mengembangkan akal, tetapi juga mengolah dan mengembangkan hati (moral) dan keterampilan. Untuk melengkapi ke delapan ha1 di atas, maka perlu diberikan dasar-dasar yang utuh dan kuat kepada anak didik sebelum yang bersangkutan memiliki dunia spesialisasi sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Dasardasar tersebut adalah menanarnkan penguasaan beberapa ilmu dasar antara lain Dirasah Islamiyah, Ilmu Alam Dasar, Ilmu Sosial-Budaya-Humanisme dan Seni Dasar, serta Matematika Dasar. Oleh karena itu, apabila pondok pesantren ingin bertahan dan mencapai kemajuan, maka beberapa pembahan hams segera dilakukan baik yang menyangkut sistem tradisionalnya (dianggap ketinggalan zaman dan hanya mementingkan ilmu agama semata) maupun yang berkaitan dengan organisasi pesantren secara
keseluruhan. Hal ini terasa penting karena perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang demikian cepat pada akhir-akhir ini memerlukan pula usaha-usaha penyesuaiannya, baik yang berhubungan dengan sumberdaya lnanusia yang ada di dalamnya maupun yang berhubungan dengan unsur-unsur organisasi yang lainnya seperti teknologi yang digunakan, fasilitas yang tersedia, proses organisasi yang berlangsung, kepemimpinan yang diterapkan, pemanfaatan inovasi yang ada serta adaptasi terhadap lingkungan yang berubah. Artinya, pesantren saat ini selayaknya tidak hanya berorientasi pada kehidupan akhirat saja, tetapi juga berorientasi pada penguasaan ilmu dan dan teknologi serta keterampilan yang dimiliki.
Dengan
demikian, ha1 ini berarti pula bahwa pesantren hams mengadakan perubahan yang relatif besar jika ingin tetap memenuhi keinginan pelanggannya (santri dan masyarakat luas), baik perubahan dalam ha1 yang berhubungan dengan internal organisasi pesantren itu sendiri maupun perubahan dalam ha1 yang berhubungan dengan eksternal organisasi pesantren yang bersangkutan.
Teori Organisasi Dalam proses kehidupannya, manusia tidak dapat hidup berdiri sendiri melainkan membutuhkan manusia lain dan alam sehtarnya. Dengan demikian dalam diri manusia pada dasarnya telah terdapat keinginan, yaitu keinginan untuk berhubungan dengan alam sekitamya. Atas dasar keinginan ini, terutama keinginan untuk berhubungan dengan manusia lainnya dan agar keinginan tersebut dapat
diwujudkan, maka manusia haruslah melakukan hubungan atau interaksi dengan manusia lannya. Dengan adanya hubungan atau interaksi di atas, maka akan tercipta suatu pergaulan hidup. Hidup dalam pergaulan ini, inenurut Raymond Firth (Taneko 1984) dapat diartikan sebagai organisasi-organisasi dari kepcntingan-kepentingan perorangan, pernyataan sikap orang yang satu dengan yang lainnnya, dan pelnusatan orang-orang dalam kelompok-kelompok tertentu untuk kepentingan bersama. Setiap bentuk kerjasama manusia untuk mencapai tujuan bersarna di atas dikenal dengan sebutan organisasi (Sanvoto 1983).
Blake dan Mouton
(Thoha 1983)
mengemukakan ciri-ciri sebuah organisasi sebagai berikut: (1) mempunyai tujuan, (2) mempunyai kerangkalstruktur; (3) mempunyai cara untuk mencapai tujuan, (4) di
dalamnya terdapat proses interaksi hubungan kerja antara orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, (5) mempunyai pola kebudayaan, dan (6) mempunyai hasil-hasil yang diinginkan.
Dalam teori organisasi dikenal bermacam-macam cara pandang terhadap organisasi tersebut. Beberapa cara pandang organisasi di atas antara lain cara pandang hubungan kerja kemanusiaadperilaku, cara pandang biologi, dan cara pandang sistem. Pada cara pandang hubungan kerja kemanusiaadperilaku, cara pandang ini menekankan pentingnya hubungan antar pribadi yang serasi dalam organisasi sehingga organisasi dapat diurus dengan mudah dan lancar menuju tujuan yang telah ditetapkan. Pada cara pandang biologi, organisasi dipandang sebagai
organisme hidup, yaitu mulai dari lahir, kemudian tumbuh, berkembang, mencapai pu~cak,dan akhimya mati. Di pihak lain, cara pandang sistem memandang organisasi sebagai suatu sistem yang terdiri dari subsistem-subsistem yang saling berhubungan dan saling terikat oleh asas-asas tertentu dalam rangka pencapaian tujuan. Pada cara pandang sistem, mzka cara kerja sebuah organisasi dilihat berdasarkan rangkaian input, pengolahan, output, dan umpan balik (Sarwoto 1998). Robbins (1994) membedakan sistem di atas ke dalam dua jenis sistem, yaitu sistem tertutup dan sistem terbuka. Pada pendekatan sistem tertutup, maka organisasi dipandang sebagai suatu sistem yang dapat berdiri sendiri dan mengabaikan efek yang timbul dari ljngkungannya, sedangkan pada pendekatan sistem terbuka, maka organisasi dipandang sebagai suatu sistem terbuka yang mengakui adanya interaksi yang dinamis dari sistem tersebut dengan lingkungannya. Pengaruh yang timbul dari organisasi terhadap lingkungan sama pentingnya dengan pengaruh yang timbul dari lingkungan terhadap organisasi. Besar kecilnya pengaruh yang ditimbulkan oleh lingkungan terhadap organisasi di atas ditentukan oleh faktor baik buruknya unsur lingkungan yang mempengaruhi dan ditentukan pula oleh kekuatan kepribadian organisasi yang dipengaruhi. Kaitan antara input (masukan), pengolahan, dan output (keluaran) dalam pendekatan organisasi sebagai suatu sistem terbuka tampak pada Gambar 1.
Lingkungan
Proses Pengolahan
Lingkungan
Gambar 1. Dasar Sistem Terbuka Sumber : Robbins (1994)
Dalam kaitannya dengan pesanten, maka pendekatan organisasi dari sudut pandang sistem terbuka dianggap tepat karena cara pandang ini memperhitungkan pengaruh yang ditimbulkan oleh lingkungan terhadap unsur-unsur organisasi, baik yang berhubungan dengan input organisasi, proses pengolahan input, maupun yang berhubungan dengan keluaran yang dihasilkan. Sehubungan dengan lingkungan organisasi, Pyzdex (2002) menyatakan bahwa perhatian terhadap pelanggan mempunyai peranan yang sangat penting dalam menentlhn kelangsungan hidup organisasi yang bersangkutan . Artinya, jika suatu organisasi ingin bertahan hidup, maka kepuasan pelanggan dan orientasi pada kualitas perlu mendapatkan perhatian yang tinggi.
Untuk inernenuhi kualitas dan kepuasan pelanggan seperti yang diharapkan, maka diperlukan strategi untuk mencapai kedua ha1 di atas. Hamel dan Prahalad (Rangkuti 2000) menyatakan bahwa strategi merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus menerus dan dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pelanggan di masa depan. Oleh karena itu, telaahan rinci untuk melihat pennasalahan lingkungan yang ada, baik yang berhubungan dengan faktor ekstemal seperti peluang dan ancaman, maupun semua faktor internal seperti kekuatan dan kelemahan yang ada perlu pula digunakan dalam menganalisis organisasi. Dengan demikian, analisis terhadap organisasi dengan memperhatikan kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang ada sangat berguna untuk dilakukan. Pengkajian terhadap kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam suatu organisasi seperti di atas akan dapat membantu dalam usaha memperbaiki dan meningkatkan kinej a organisasi yang bersangkutan. Selain itu, pengkajian terhadap kekuatan dan kelemahan yang terdapat dalam organisasi tersebut juga memungkinkan bagi organisasi yang bersangkutan untuk menentukan tindakan-tindakan yang akan dan harus diambil dalaln melnanfaatkan peluangpeluang yang ada serta menghadapi ancaman-ancaman yang dihadapi. Oleh karena itu, kajian terhadap hal-ha1 di atas sangat berguna bagi pengenalan organisasi secara keseluruhan, baik kaitannya dengan internal organisasi yang dimiliki maupun dalam hubungannya dengan ekstemal organisasi yang dihadapi.
Dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan, inaka efektivitas organisasi dalam mencapai tujuan yang diharapkan menjadi sangat penting. Etzioni (1 985) menyatakan bahwa efektivitas organisasi diukur berdasarkan tingkat sejauh mana organisasi tersebut berhasil mencapai tujuannya, sedangkan Duncan (Indrawijaya 1983) mengemukakan beberapa unsur penting dari efehqivitas organisasi, yaitu: (1) efisiensi (jumlah dan mutu dari hasil organisasi berbanding dengan masukan sumber), (2) keseimbangan dalam subsistem sosial dan antar personal, dan (3) antisipasi dalam
persiapan untuk menghadapi berbagai perubahan, sedangkan Slamet (Ginting 1999) mengungkapkan bahwa efektivitas organisasi dapat dilihat dari tiga segi, yaitu: (1) produktivitas organisasi, (2) moral organisasi, dan (3) kepuasan anggota organisasi. Tercapainya tujuan organisasi sangat penting karena berkumpulnya orangorang dalam organisasi tersebut tidak dapat terlepas dari sejauh maaa organisasi yang bersangkutan dapat memenuhi kebutuhan anggotanya.
Di pihak lain,
tercapai
tidaknya tujuan yang telah ditetapkan di atas ditentukan pula oleh dinamis tidaknya organisasi yang bersangkutan. Oleh karena itu, mengetahui dinarnika organisasi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya juga tidak dapat diabaikan. Seperti telah diketengahkan di muka, organisasi dapat ditinjau dari dua sudut, yaitu: (1) sebagai wadah kegiatan-kegiatan manajemen dilakukan, dan (2) sebagai proses dimana terjadi interaksi antara orang-orang yang menjadi anggota organisasi yang bersangkutan (Sanvoto 1984).
Slamet (1999) menyatakan bahwa dalam
mengkaji suatu organisasi, maka ha1 tersebut dapat ditelaah melalui beberapa aspek, yaitu: (1) taksonomi organisasi, (2) stmktur dan proses organisasi, dan (3) individu dalaln organisasi yang bersangkutan, sedangkan Robbins (1996) mengemukakan
bahwa selain faktor-faktor di atas, maka faktor teknologi, lingkungan, kepemimpinan, dan inovasi dalam suatu organisasi pcrlu pula diperhatikan. Tinjauan atas organisasi sebagai suatu proses ini inenirnbulkan pendapat adanya dua rnacarn hubungan dalarn organisasi, yaitu: (1) hubungan formal, dan (2) hubungan informal (Sanvoto 1984). Hubungan fonnal nampak pada tata hubungan yang berupa susunan tata kerja beserta segala tugas dan kewajiban dari organisasi, sedangkan hubungan informal nampak pada tingkah laku dan tindakan masing-masing peserta anggota dalam hubungan pribadi anggota di tingkat bawahan. Dalam kaitannya dengan variabel-variabel dari struktur organisasi, Slamet (1999) menyatakan bahwa variabel-variabel struktur organisasi di atas meliputi beberapa aspek, yaitu: ( I ) ukuran organisasi, (2) rentang kendali, (3) jumlah tingkatan l~irarkiljenjang,(4) struktur kewenangan, (5) struktur komunikasi, (6) struktur tugas, (7) struktur status dan prestis, dan (8) jarak psikologis. Adapun variabel-variabel dari
proses organisasi meliputi aspek-aspek sebagai berikut: ( I ) hubungan antara peranan,
(2) komunikasi, (3) pengendalian, (4) koordinasi, (5) sosialisasi, dan (6) supervisi. Pendekatan organisasi seperti telah terurai di atas sering digunakan oleh para ahli penyuluhan pembangunan dalam menganalisis organisasi.
Dengan menggunakan
pendekatan organisasi, diharapkan tinjauan detail dan strategis yang terkandung dalam suatu sistem sosial/organisasi akan lebih tajam dikenali, termasuk aspek-aspek individu dalam sistem sosialnya, sehingga pengenalan terhadap organisasi yang bersangkutan dapat lebih tepat (Ruwiyanto 1999). Individu yang terdapat dalam organisasi merupakan variabel organisasi yang terpenting. Hal ini karena merekalah yang menentukan dan melakukan kegiatan
dalain organisasi.
Variabel-variabel individu dalam organisasi yang perlu
diperhatikan adalah: ( I ) motivasi, (2) sikap mental, (3) aptitude (kemampuan, kapasitas), (4) temperainen, dan (5) persepsi terhadap peranan. Interaksi ke lima variabel di atas menghasilkan beberapa jenis-jenis individu, yaitu: (1) upward mobile.
( 2 ) umbivalenl, dan ( 3 ) indefkrent (Slainet 1999). Jenis individu zpwu~d~~zobife dicirikan oleh kerja keras dari individu yang bersangkutan untuk mencapai tujuan organisasi, sedangkan jenis individu indefirent dicirikan oleh tidakikurang pedulinya individu tersebut pada organisasi. Pada jenis individu indeferent, kegiatan yang dilakukan oleh individu tersebut dalam organisasi hanya bersifat sekedar melaksanakan tugas, sedangkan keterlibatan emosi yang bersangkutan terhadap organisasi juga tidak ada atau sangat kurang. Di pihak lain, pada jenis individu ambivalent, tingkat keterlibatan individu jenis ini dalam kegiatan organisasi
tergantung pada situasi yang dijumpai. Sehubungan dengan individu dalam organisasi di atas, kualitas individu pun sangat penting dan berarti bagi organisasi. Struktur organisasi yang ada taL akan banyak artinya apabila tidak ditunjang oleh kualitas individu-individu anggotanya. Selain itu, kualitas proses dalam organisasi juga sangat tergantung pada kualitas individu (kepribadian) tersebut. Oleh karena itu, kualitas individu sangat penting dalam organisasi. Tiga unsur kepribadian yang sangat penting bagi organisasi, yaitu: (1) unsur kognitif (kemampuan dan kematangan berpikir), (2) struktur nilai, dan (3) kemampuan berhubungan dengan orang lain (Slamet 1999). Selain kualitas individu dalam organisasi, maka faktor teknologi organisasi perlu pula diperhatikan. Hal ini karena teknologi organisasi merujuk pada informasi,
peralatan, teknik, dan proses yang dibutuhkan untuk menbwbah masukan ~nenjadi keluaran dalam organisasi. Artinya, teknologi melihat bagaimana masukan diubah inenjadi keluaran (Robbins 1994). Woodward (Robbins 1994) menemukan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara keefektifan organisasi dengan kesesuaian antara teknologi dengan struktur organisasi yang ada. Slamet (1999) menyatakan bahwa teknologi dalam suatu organisasi berhubungan dengan fungsi apa yang harus dilakukan, jasa atau produk yang dihasilkan, fasilitas yang tersedia serta kompleksitas dari teknologi itu sendiri. Thompson (Robbins
1994) mengusulkan tiga jenishentuk
teknologi yang
dideferensiasikan berdasarkan tugas yang dilaksanakan oleh suatu unit organisasi, yaitu : (1) long-linked technology, ( 2 ) mediating technology, dan ( 3 ) intensive technology. Long-linked teknology dicirikan oleh tugas atau operas: yang saling
tergantung secara sekuensial (langkah berulang yang tetap), sedangkan nlediatirzg technology berusaha menghubungkan klien, baik yang berada pada sisi masukan
maupun keluaran organisasi. Pada intensive tecltnololy, maka teknologi ini merupakan tanggapan yang disesuaikan dengan berbagai kontingensi, sedangkan tanggapan yang tepat itu sendiri bergantung pada sifat dari masalah dan keanekaragaman masalah yang ada. Klasifikasi jenishentuk teknologi seperti yang telah dikemukakan oleh Thompson di atas dipandang tepat dalam rangka menganalisis jenishentuk teknologi yang terdapat di lingkungan pondok pesantren. Gambaran ketiga jenishentuk teknologi di atas tampak pada Gambar 2.
a Masukan
Long-linked Zeclznology
(mempunyai ciri saling ketergantungan sekuensial)
I
F
Proses Transformasi
Mediating Technology
(mempunyai ciri saling ketergantungan terkelompok) Masukan Sumberdaya
Umpan Balik Intensive Technology
(mempunyai ciri saling ketergantungan resiprokal)
Gambar 2. Klasifikasi Teknologi dari Thompson Sumber: Robbins, 1994
;
Dalain ha1 yang berhubungan dengan lingkungan organisasi, rnaka organisasi harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya agar dapat mempertahankan atau meningkatkan keefektifannya. Dalarn pengertian sistem terbuka, sebuah organisasi dibayangkan sebagai pengembang mekanisme pemantauan dan umpan balik untuk mengidentifikasi dan mengikuti lingkungamya, menginderai perubahan dalam lingkungan tersebut, dan membuat penyesuaian yang tepat jika dibutuhkan. Robbins (1994) menyatakan bahwa lingkungan sebuah organisasi dan lingkungan umum pada dasamya sama. Dalam ha1 lingkungan urnurn, maka ha1 tersebut termasuk segala sesuatu seperti faktor ekonomi, politik, lingkungan sosial, situasi ekologi dan kondisi budaya. Lingkungan umum mencakup kondisi yang rnungkin mempunyai dampak terhadap organisasi, namun relevansinya tidak demikian jelas, sedangkan lingkungan khusus adalah bagian dari lingkungan yang secara langsung relevan bagi organisasi dalam mencapai tujuannya. Secara khas, lingkungan khusus di atas adalah pelangganklien, para pesaing, lembaga pemerintah, dan kelompok-keloinpok yang berpenganih di masyarakat. Bums dan Stalker (Robbins 1994) menyatakan bahwa struktur organisasi yang paling efektif adalah yang menyesuaikan diri pada kebutuhan lingkungan. Pada keadaan lingkungan yang sederhana (homogen) dan stabil, maka struktur yang e f e h f adalah yang berbentuk mekanistik, sedangkan pada keadaan lingkungan yang dinamisherubah-ubah dan kompleks (heterogen), maka struktur organisasi yang efektif adalah struktur yang bersifat organik. Slamet (1999) membagi aspek lingkungan organisasi ke dalam dua golongan, yaitu: (1) lingkungan fisik, dan (2) lingkungan sosial dan budaya. Lingkungan fisik
berkaitan dengan tingkat isolasi sosial, keterbatasan komunikasi, mobilitas anggota dan stres yang diakibatkan dalam organisasi, sedangkan lingkungan sosial budaya berkai.tan antara lain dengan kesesuaian nilai-nilai yang ada di lingkungan dengan nilai-nilai organisasi. Kedua jenis lingkungan di atas perlu dipertimbangkan oleh sebuah organisasi karena keberlangsungan organisasi yang bersangkutan- termasuk pesantren - akan sangat ditentukan oleh kemampuan pesantren tersebut dalarn menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Brown dan Moberg (1980) yang menyatakan bahwa kemampuan sebuah organisasi untuk dapat bertahan hidup dalam lingkungan yang berubah dapat mencerminkan tingkat keefektivan dari organisasi yang bersangkutan. Di pihak lain, organisasi sebagai wadah berkumpulnya sejumlah orang untuk mencapai tujuan bersama pada urnumnya dijumpai seseorang yang memimpin dan mengatur kegiatan-kegiatan dalam organisasi yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan seseorang yang memimpin di atas, Kartono (1998) bahkan menyatakan bahwa keberhasilan organisasl dalam mencapai tujuannya tergantung dari kepemimpinannya yaitu apakah kepemimpinan tersebut mampu menggerakkan semua sumberdaya yang ada, baik sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sarana, dana, dan waktu secara efektif dan efisien dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, telaahan kepemimpinan dalam sebuah organisasi juga sangat diperlukan. Akhir-akhir ini, gagasan memandang organisasi sebagai budaya merupakan fenoinena yang relatif baru. Pada cara pandang organisasi seperti di atas, organisasi dipandang mempunyai kepribadian tersendiri persis seperti individu, yaitu bisa tegar atau fleksibel, tidak ramah atau mendukung, inovatif atau konservatif. Robbins
(1996) inenyatakan bahwa budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang
dianut oleh anggota-anggota organisasi yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi-organisasi lainnya. Beberapa karaketristik budaya organisasi di atas dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu; ( I ) inovasi dan pengembilan resiko (sejauh mana anggota organisasi didorong untuk inovatif dan mengainbil resiko), (2) perhatian ke rincian (sejauh mana anggota organisasi diharapkan memperlihatkan kecermatan, analisis, dan perhatian kepada rincian), (3) orientasi terhadap hasil (fokus pada hasil), (4) orientasi pada orang (sejauh mana pimpinan organisasi memperhitungkan efek
hasil pada orang-orang dalam organisasi), (5) orientasi tim (sejauh inana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim, bukannya individu-individu), ( 6 ) keagresifan (sejauh mana anggota organisasi tersebut agresif dan kompetitif), dan (7) kemantapan (sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo sebagai kontras dari pertumbuhan). Berdasarkan uraian-uraian di muka, maka kehidupan sebuah organisasi tidak hanya ditentukan oleh faktor individu dalam organisasi yang bersangkutan, tetapi juga banyak dipengamhi oleh faktor-faktor lain seperti taksonoini organisasi, struktur dan proses organisasi, teknologi, inovasi dalam organisasi, lingkungan dimana organisasi tersebut berada, serta budaya organisasi yang bersangkutan. Oleh karena itu, kajian terhadap organisasi seyogyanya dilakukan secara menyeluruh dan menyangkut subsistem-subsistem organisasi yang terkait di dalamnya. Kajian terhadap organisasi seperti di atas memungkinkan pengenalan terhadap organisasi yang bersangkutan dapat lebih sempurna dan menyeluruh sehingga dalam rangka usaha-usaha pengembangan organisasi dapat dilakukan tindakan-tindakan
yang perlu diambil dan lebih dahulu dilakukan. Gambaran keterkaitan antara unsurunsur organisasi di atas tampak pada Gambar 3.
Gambar 3. Keterkaitan Unsur-Unsur Organisasi
Kepemimpinan Pemimpin merupakan figur sentral dalam organisasi . Hal ini karena sesuai dengan posisi yang ditempatinya, maka ia memegang peranan penting dalam mengatur kelangsungan hidup organisasi seperti membina hubungan antara pribadi, menciptakan suasana yang hannonis, mengatasi ketegangan dan konflik serta mengarahkan kegiatan-kegiatan dalam organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.. Walaupun aktivitas yang dipimpin dan yang Inemimpin mempakan dua macam kegiatan yang berbeda, namun kedua ha1 tersebut perlu dipelajari bersama agar pemimpin dapat menjadi pemimpin dan panutan yang baik, dan para pengikutnya bisa menjadi pihak yang terpimpin yang baik pula (Syamsu 1992). Oleh karena itu, seorang pemimpin hams mempunyai kejelasan dalain visi, misi, dan orientasi yang akan dilakukan. Perkataan pernimpin mempunyai beberapa pengertian dan definisi. Kartono (1998) menyatakan bahwa pemimpin adalah seorang yang memiliki kelebihan sehingga dia memiliki kekuasaan dan kewibawaan untuk mengarahkan dan membimbing bawahan, juga dapat pengakuan serta dukungan dari bawahannya, memiliki kecakapan khusus dengan atau tanpa pengangkatan resmi sehingga menggerakkan bawahan untuk melakukan usaha bersama ke arah pencapaian tujuan tertentu, sedangkan Syamsu (1992) menyatakan pemimpin sebagai pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan khusus, khususnya kecakapan dan kelebihan dalam satu bidang sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-
sama melakukan ak-tivitas-aktivitas tertentu demi tercapainya satu atau beberapa tujuan. Pemimpin dan kepemimpinan mempakan suatu kesatuan kata yang tidak dapat dipisahkan secara stmktural maupun fungsional. Dalam hubungannya dengan konsep kepemimpinan ini telah dijumpai definisi yang berbeda-beda. I-lersey dan Blanchard (Trimo 1995) menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan suatu proses upaya mempengaruhi aktivitas-aktivitas seseorang atau sekelompok orang dalam usaha yang ditujukan pada pencapaian tujuan dalam situasi tertentu. Oleh karena itu, dalam proses ini kita lihat adanya interdependensi antara tiga unsur utama, yaitu pemimpin, para pengikut, dan sitiasinya.
Dengan demikian, kepemimpinan
merupakan fungsi dari ketiga unsur tersebut. Dalam kaitannya dengan kepemimpinan sebagai kemampuan seseorang untuk menggerakkan orang lain, Margono Slamet (Mardikanto 1993) mengemukakan bahwa sebagai suatu kemampuan, kepemimpinan bukanlah sekadar bakat atau sesuatu yang hanya dapat diperoleh sebagai faktor keturunan, tetapi dapat dimiliki oleh setiap orang melalui proses belajar. Oleh karena itu setiap orang memiliki peluang untuk dapat melaksanakan fungsi kepemimpinan yang baik. Fiedler (Wahyusumidjo 1992) menyatakan bahwa ada tiga macam elemen penting yang akan menentukan perilaku kepemimpinan, yaitu: (1) hubungan antara pemimpin dan bawahan, (2) struktur tugas, dan (3) kewibawaan kedudukan pemimpin, sedangkan Hersey dan Blanchard (Wahyusumidjo 1992) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang paling efektif adalah kepeinimpinan yang
disesuaikan dengan tingkat kedewasaan bawahan. Dalam kaitannya dengan tipe kepemimpinan ini ternyata tidak ada tipe kepemimpinan yang paling baik. Namun demikian, penting diperhatikan bahwa keberhasilan seorang pernilnpin adalah apabila ia dapat menyesuaikan tipe kepemimpinannya sesuai dengan situasi yang dihadapi. Siagian (1999) menyatakan bahwa kepemimpinan di atas berintikan pada kemampuan dalarn mengambil keputusan. Oleh karena itu seluruh fungsi-fungsi kepemimpinan akan bertitik tolak dari dan bermuara kepada satu titik sentral, yaitu pengambilan keputusan tersebut.
Pendekatan yang digunakan untuk menilai
kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan yang efektif ialah pendekatan yang memenuhi lima persyaratan, yaitu: (1) kualitatif (dalam arti mutu keputusan yang diarnbil), (2) ketepatan model pengambilan keputusan yang dipilih sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, (3) ketepatan teknik yang digunakan dalam pengambilan keputusan, (4) penerimaan para pelaksana keputusan, dan (5) terbukti mendekatkan organisasi kepada tujuan yang telah ditetapkan untuk dicapai. Apabila pendekatan di atas disertai oleh jumlah keputusan yang diambil secara tepat, maka ha1 tersebut akan lebih meningkatkan citra pemimpin yang bersangkutan sebagai seseorang yang efektif dalam menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinannya. Dalam ha1 fungsi-fungsi kepemimpinan tersebut, Siagian (1999) mengemukakan lima fungsi kepemimpinan, yaitu: ( I ) pemimpin sebagai penentu arah yang akan ditempuh dalam usaha pencapaian tujuan, (2) pemimpin sebagai wakil dan juru bicara dari organisasi tersebut dalam hubungannya dengan pihak-pihak di luar organisasi, (3) pemimpin selaku komunikator yang efektif, (4) pemimpin sebagai
mediator yang andal, dan (5) pemimpin sebagai integator yang effektif, rasional, obyektif dan netral. Dalam kaitannya dengan organisasi yang dipimpinnya, maka agar organisasi yang dipimpinnya dapat dinamis dan efektif, Johnson dan Johnson (Pyzdex, 2002) menyatakan bahwa partisipasi dan kepemimpinan dalam organisasi hams didistribusikan di antara anggota organisasi, sedangkan Slamet (1999) menyatakan bahwa seorang pemimpin tersebut harus melakukan fungsi-fungsi kepemimpinannya dengan baik, yaitu: (1) mengidentifikasi dan menganalisa organisasi serta tujuannya, (2) membangun struktur organisasi, (3) inisiatif, (4) mengusahakan pencapaian
tujuan, (5) mempermudah komunikasi &lam organisasi, (6) menciptakan suasana yang menyenangkan, (7) menciptakan keterpaduan &lam organisasi, dan (8) lnengimplementasikan philosofi.
Oleh karena itu, pemimpin yang baik adalah
pemimpin yang dapat menyesuaikan gaya kepemimpinannya dengan situasi yang ada. Menurut Tannenbaum dan Massarik (Trimo
1995), gaya kepemimpinan
yang terbaik sangat tergantung pada beberapa hal, yaitu: ( I ) kepribadian individual pemimpin itu sendiri dengan kemampuannya dalam mengkompromikan kebutuhankebutuhan pnbadinya dengan tujuan-tujuan organisasi, (2) para pengikut secara individual (macarn kepribadian yang mereka miliki, jenisIstruktur pekerjaan yang meraka hadapi, serta stimuli yang bersumber dari kebutuhan-kebutuhan pribadi inereka serta lingkungan pekerjaan yang dijalaninya), dan (3) situasi khusus yang ada ketika pemimpin dan pengikut saling berinteraksi, di samping peluang-peluang yang tiinbul pada setiap saat.
Dalam kaitannya dengan gaya kepemimprnan di atas, Fiedler (Wahyusumijo 1992) menyatakan bahwa terdapat tiga macam elemen penting yang akan menentukan gaya atau perilaku kepemimpinan yang efektif, yaitu: (1) hubungan antara pemimpin dengan bawahan (maksudnya bagaimana tingkat kualitas hubungan yang terjadi antara atasan dengan bawahan), (2) struktur tugas (maksudnya apakah di dalam situasi kerja yang ada tugas-tugas telah disusun ke dalam suatu pola-pola yang jelas atau sebaliknya), dan (3) kewibawaan kedudukan pemimpin. Berdasarkan ketiga variabel ini, Fiedler mengungkapkan beberapa gaya kepemimpinan yang efektif pada beberapa keadaan yang berhubungan dengan tiga ha1 di atas. Berdasarkan teori kepemimpinan menurut situasi, gaya kepemimpikn cenderung berbeda-beda dari satu situasi ke situasi Iainnya. Oleh karena itu dalam kepemimpinan situasional penting bagi setiap pemimpin untuk mengadakan diagnosa dengan baik tentang situasi, sehingga pemimpin yang baik, menurut teori ini, hams mampu untuk: (1) mengubah-ubah perilaku atau gaya kepemimpinannya sesuai dengan situasi yang ada, dan (2) mampu memperlakukan bawahan sesuai dengan kebutuhan dan motif yang berbeda-beda.
Dengan demikian berdasarkan teori
kepemimpinan situasional, semua variabel situasi (waktu, tuntutan tugas, iklim organisasi, harapan dan kemampuan atasan, teman sejawat clan bawahan) adalah sangat penting, sehingga gaya kepemimpinan cenderung berbeda-beda dari satu situasi ke situasi yang lain.
Selain itu, tingkat
perhatian seorang pemimpin
memperhatikan situasi akan sangat tergantung pada tingkat kedewasaan yang
ditunjukkan oleh bawahan dalain tugas-tugas tertentu, fungsi dan tujuan pemimpin yang ingin dicapai. Dalam kaitannya dengan tingkat kedewasaan di muka, maka beberapa komponen yang dapat dipakai untuk menentukan tingkat kedewasaan bawahan adalah: (1) orang-orang tersebut mempunyai tujuan dan kemampuan untuk menyusun tujuan-tujuan tersebut, (2) orang yang mempunyai rasa tanggungjawab dalam arti orang yang mempunyai kemauan (motivasi) dan kemampuan (kompetensi), (3) orang-orang yang mempunyai pendidikan dan pengalaman, dan (4) apabila dikaitkan dengan relevansinya dengan tujuan, maka orang tersebut mempunyai kemampuan dan pengetahuan teknis dalam pelaksanaan tugas serta mempunyai rasa percaya pada diri sendiri dan harga diri terhadap dirinya sendiri.
Oleh karena itu bawahan
dikatakan mempunyai tingkat kedewasaan yang tinggi relevansinya dengan tugasnya apabila mereka mereka memiliki kemauan dan kemampuan serta memiliki rasa percaya pada diri sendiri dan harga diri. Dengan demikian, dalam kepemimpinan situasional, tenvujudnya kesesuaian dan efektivitas gaya kepemimpinan yang sejalan dengan tingkat perkembangan para bawahan sangat ditekankan. Untuk menjadi seorang pemimpin, maka orang yang bersangkutan hams mempunyai kemampuan dan syarat-syarat yang hams dimiliki. (Kartono
Ordway Tead
1998) mengemukakan sepuluh sifat yang harus dimiliki oleh seorang
pemimpin, yaitu: (1) memiliki energi jasmani dan mental yang prima, (2) kesadaran akan tujuan dan arah, (3) antusiasme, (4) keramahan dan kecintaan, (5) integritas, (6) penguasaan teknis, (7) ketegasan dalam mengambil keputusan, (8) kecerdasan, (9)
keterampilan mengajar, dan (10) kepercayaan. Slamet (1999) inembagi sifat-sifat yang hams dimiliki oleh pemimpin ke dalam dua bagian, yaitu: (1) sifat-sifat yang sangat perlu (empati, anggota kelompok, bijaksana, lincah, dan beremosi stabil), dan (2) sifat-sifat yang mendukung (kesediaan memimpin, kompeten, cerdas, konsisten, percaya diri, dan mampu berbagi kepemimpinan). Davis (Wahyusumidjo 1992) mengemukakan empat macam kelebihan sifat sifat yang perlu dimiliki oleh pemimpin, yaitu: (1) intelegensi, (2) kematangan dan keluasan pandangan sosial, (3) mempunyai motivasi dan keinginan berprestasi yang datang dari dalam, dan (4) mempunyai kemampuan mengadakan hubungan antar manusia, sedangkan Stogdill (1981) mengelompokkan sifat-sifat kepemimpinan dengan berbagai komponen dengan variabel yang lebih banyak, yaitu: (1) ciri-ciri fisik (aktivitas, energytkekuatan, usia, penampiian, kerapihan, tinggi badan, berat badan), (2) latar belakang sosial (pendidikan, status sosial, mobilitas), (3) kecerdasan dan kemampuan (kemampuan dalam ha1 menilai, mengambil suatu keputusan, berpengetahuan), (4) kepribadian (kestabilan emosi, pengendalian diri, kemandirian, kreatifitas, integritas pribadi, banyak aka1 budi, percaya diri, kuat pendirian, toleran),
(5) ciri-ciri yang berorientasi pada tugas (seperti dorongan untuk berprestasi, unggul, dorongan bertanggungjawab, kepeloporan, berinisiatif,
tangguh menghadapi
halangan, bertanggungjawab dalam mencapai tujuan, berorientasi pada tugas), dan
(6) latar belakang sosial (kemarnpuan bekerjasama, kemampuan administratif, daya tarik, kooperatif, bejiwa mengasuh, populer, prestise, kecakapan berhubungan, partisipasi sosial, diplomasi).
Sehubungan dengan kepemimpinan di atas, Covey (1997) mengemukakan bahwa kepemimpinan haruslah berprinsip. Kepemimpinan yang berprinsip tersebut dilaksanakan dari dalam ke luar pada empat jenjang, yaitu: ( i ) pribadi (hubungan dengan diri sendiri), (2) antar pribadi, (3) manajerial, dan (4) organisasional (berhubungan dengan mengorganisir orang lain). Adapun ciri-ciri pemi~npinyang berprinsip tersebut adalah sebagai berikut: (I) mereka terus belajar dari pengalamanpengalaman, (2) berorientasi pada pelayanan, (3) memancarkan energi positif (riang, menyenangkan, optimis, positif, bergairah, antusias, penuh harap), (4) mempercayai orang lain (tidak bereaksi berlebihan pada perilaku negatif, kritikan atau kelemahankelemahan manusiawi), (5) hidup seimbang (selalu mengikuti berita dan kejadian terkini), (6) melihat hidup sebagai suatu petualangan, (7)
sinergistik (katalis
perubahan), clan (8) berlatih untuk memperbarui diri (fisik, mental, emosi, dan spiritual). Berbeda dengan perilaku kepemimpinan yang lebih merupakan pada perilaku pemimpin dalam mengerjakan sesuatu, maka gaya kepemimpinan lebih menunjuk pada bagaimana ia memotivasi orang lain pada situasi yang berbeda-beda agar tujuan yang telah direncanakan dapat tercapai. Oleh karena itu seorang pemimpin dapat menerapkan gaya kepemimpinan yang berbeda-beda terhadap setiap orang atau kondisi yang berbeda. James Owen (1995) menggambarkan adanya lima gaya kepemimpinan, yaitu: (1) otokratis, (2) birokratis, (3) diplomatis, (4) partisipatif, dan (5) free rein leader, sedangkan Slamet (1999) mengemukakan beberapa jenis gaya
kepemimpinan ini, yaitu: (1) otokratis, (2) demokrasi, (3) situasional, (4) auforian,
( 5 ) tclsk orienled, ( 6 ) initialing, ( 7 ) supervisoy, (,8) eyur~litariun,( 9 ) permrsivness,
( 1 0) group oriented, (1 1 ) concrderute, dan (1 2 ) partisipatoris.
Sehubungan dengan kemajuan teknologi dan perubahan lingkungan yang terjadi, Pyzdex (2002) menyatakan bahwa kedua ha1 di atas juga berpengaruh terhadap suatu organisasi. Pengaruh yang ditiinbulkan oleh kemajuan teknologi dan lingkungan ini pada akhirnya juga menghendaki terjadnya perubahan-perubahan dalam organisasi, baik perubahan yang berhubungan dengan struktur organisasi maupun dalam ha1 yang berhubungan dengan kepemimpinan dalam organisasi yang bersangkutan. Dalam ha1 kepemimpinan misalnya, maka pemimpin hams belajar melaksanakan perubahan yang mereka anggap perlu. Artinya, setiap pemimpin hams dapat menjadi
seorang pemimpin perubahan. Selain itu, partisipasi dan
kepemimpinan dalam organisasi juga hams didistribusikan di antara anggota organisasi. Hal ini karena penyeimbangan antara partisipasi dan kepemimpinan akan memastikan bahwa semua anggota akan terlibat dalam kegiatan organisasi, berjanji untuk melaksanakan keputusan organisasi, dan merasa puas dengan keanggotaan mereka. Oleh karena itu, pemimpin hams mampu dalam ha1 pembuatan visi, ahli dalam komunikasi, mampu dalam mengatasi konflik yang terjadi, serta dapat menunjukkan ketaatan terhadap prinsipprinsip etika. Kemampuan dalarn pembuatan visi organisasi meliputi kemampuan dalam mengembangkan citra mental organisasi pada waktu mendatang. Hal ini menyangkut beberapa ha1 seperti apa yang akan dilakukan oleh anggota organisasi, bagaimana penampakan organisasi pada masa yang akan datang, siapa yang akan menjadi
pelanggannya, serta bagaimana organisasi akan berperilaku terhadap pelanggannya, anggotanya, dan pemasoknya. Dengan demikian, mengembangkan citra yang jelas dari organisasi akan membantu pemimpin dalam melihat tugas utama dalam mengubah organisasi yang ada sekarang. Dalam kaitannya dengan sebuah organisasi, maka seorang pemimpin yang memiliki kejelasan visi dipandang belum mencukupi. Hal ini karena visi yang dimiliki harus dikomunikasikan kepada anggota lain dalam organisasi. Di pihak lain, agar visi yang bersangkutan dapat dimengerti oleh anggota organisasi yang lain, maka keahlian dalam komunikasi dari seorang pemimpin sangat diperlukan. Hal ini penting karena visi organisasi yang mengandung nilai abstrak harus diubah oleh seorang pemimpin menjadi lebih konkret. Dalam ha1 kemampuan mengatasi konflik, maka seorang pemimpin hams mampu merancang organisasi agar tidak terjadi persaingan yang dapat menimbulkan konflik, sedangkan dalarn ha1 yang berkaitan dengan ketaatan terhadap prinsipprinsip etika, ha1 ini karena kepemimpinan itu sendiri menyangkut aspek kepercayaan sehingga kejujuran, integritas, dan kebajikan moral lainnya hams menjadi sifat yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Dalam kaitannya untuk mencapai efektivitas suatu organisasi, maka Pyzdex
(2002) memandang perlu adanya pemimpin teknis dalarn sebuah organisasi. Pemimpin teknis ini mempakan katalisator yang dapat secara efektif melatih d m memimpin orang-orang dalam organisasi.
Peranan yang penting dari pemimpin
teknis di atas adalah merangsang pemikiran manajemen (keuangan, organisasi,
pengaturan) dengan menyajikan cara baru dalam berpikir dan inelakukan sesuatu. Oleh karena ity pemimpin teknis dalam organisasi mempunyai tugas-tugas yang tidak terbatas hanya pada memberikan nasihat, tetapi juga dalam ha1 mengajar (memberikan pelatihan formal untuk anggota organ is as^), meneruskan strategi dan alat baru ,identifikasi organisasi, dan menemukan kesempatan aplikasi untuk strategi terobosan dan alat, baik secara internal maupun eksternal (misalnya yang berhubungan dengan pemasok dan pelanggan). Dalam kaitamya dengan kepemimpinan di pesantren, peranan pimpinan pesantren (KyaiAJstad) sangat penting. Selain peranannya sebagai guru dalam ilmu agamq KyaiKJstad juga hams dapat berperan sebagai contoh dan anutan baik bagi para murid (santri) maupun masyarakat sekitarnya, bahkan kadang-kadang (mungkin malah sering) KyaiAJstad berperan sebagai "sambatan" (yang dimintai pertolongan) (Bisri 1995). Hubungan antara Islam dan kepemimpinan sangat erat, bahkan dapat dikatakan bahwa Islam adalah agama yang memberikan perhatian sangat besar pada masalah kepemimpinan tersebut.
Dalam persoalan umat secara global, maka
keberadaan pemimpin adalah suatu keharusan syar'i ('Jarrdltak syar'lyah) dan merupakan tuntutan kehidupan yang primer (dhururat basyarryah). Ketaatan kepada pemimpin (selama masih berpegang pada A1 Qur'an dan A1 Hadist) bukan sesuatu yang terpisah dari masalah agama, tetapi merupakan bagian integral dari kepatuhan kepada Allah dan RasulNya (Rasyid 1998).
Nawawi (2001) mengemukakan bahwa kepemimpinan berkenaan dengan hubungan manusiawi (Izahlum minannus). Di pihak lain, mengingat manusia yang menjadi penghuni bumi dan bahkan yang memghimpun diri dala~nsuatu kelompok tidak semuanya memeluk agama Islam, maka diperlukan sikap dan keberanian setiap pemimpin yang beragama Islam untuk berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang diajarkan Allah SWT di dalam Al Qur'an.
Hal ini berarti pula bahwa setiap
pemimpin yang beragama Islam berkewajiban inencontoh kepemimpinan Rasullullah. Beberapa ha1 yang berhubungan dengan kepemimpinan di atas adalah bahwa seorang pemimpina hams memenuhi beberapa kriteria, yaitu sidiq (benar), fathonah (pandai), tablig (menyampaikan) dan amanah (dapat dipercaya). Untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan di lingkungan umat Islam sangat diperlukan pemimpin yang mampu berpikir kritis.
Dengan peningkatan
kemampuan berpikir kritis, seorang pemimpin menjadi kaya dengan gagasangagasan, inisiatif dan kreativitas, meskipun hams tetap memperhatikan keserasiannya dengan petunjuk dan tuntunan Allah SWT. Pemimpin seperti ini akan menjadi dinamis dalam upayanya menggerakkan dan memotivasi umat Islam yang dipimpinnya dan akan berdampak pada tenvujudnya perkembangan dan kemajuan bagi organisasi atau jemaah dan kaumnya. Beberapa indikatorltolok ukur dalam meningkatkan kualitas kepemimpinan di atas antara lain: (1) berpikir kritis dan efektif hams bersifat obyektif, (2) berpikir rasional, (3) berpikir secara apostrori (terbebas dari prasangka bumk sebelum mendalami sesuatu yang dipikirkannya), (4) tidak terlalu cepat membuat generalisasi
atau kesimpulan umum, ( 5 ) mampu menghargai dan menghormati orang lain dengan jati dirinya masing-masing, (6) jauh dari sikap sombong, tinggi hati, angkuh, dan sifat-sifat buruk lainnya, (7) mampu membimbing dan membina anggota organisasinya dengan menumbuhkan dan mengembangkan sikapJkemarnpuan kepemimpinannya, dan (8) mengetahui secara tepat kepemimpinan yang harus dijalankannya. Mengingat pentingnya kedudukan pemimpin dalam dunia umat Islam, maka seorang pemimpin urnat Islam tidak hanya dituntut dari segi penguasaan terhadap Ilmu Pengetahuan Islam saja, tetapi juga perlu dibekali dengan kemampuankemampuan lain seperti: (1) pengetahuan sejarah, (2) pengetahuan bahasa dan kesusasteraan, (3) pengetahuan tentang manusia, (4) pengetahuan ilmiah, dan (5) pengetahuan tentang kenyataan-kenyataan atau fenomenologi (Qordhowy 1983). Pemimpin-pemimpin seperti disebutkan di atas sangat dibutuhkan dalam abad modem sekarang dan di masa yang akan datang. Amsyari (1995) menyatakan bahwa kepemimpinan dalam masyarakat Islam hams tetap mengacu pada kepemiinpinan Rosulullah, serta jangan hanya dilihat dari kemampuan spiritual clan ritual Rosulullah saja, tetapi juga hams dilihat dari kemampuan kepemimpinan Rosulullah seperti kernantapan beliau sebagai kepala pemerintahan, kemampuan sebagai jendral
dalam perang, keadilan dalam
memutuskan suatu perkara, pandai berdiplomasi, mengembangkan budaya luhur, dan lain-lainnya. Acuan acuan kepemimpinan umat pada masa yang akan datang tidak cukup hanya memenuhi syarat minimum dan kemampuan sebagai konsultan ritual
saja, tetapi juga harus dilengkapi dengan kemampuan sebagai konsultan IPTEK dan sosial. Hal ini penting mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan-perubahan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat yang demikian pesat akhir-akhir ini menuntut kualitas pemimpin yang dapat memenuhi tuntutan jamannya. Apabila kualitas pemimpin seperti yang diharapkan di muka dapat dipenuhi, maka tidak menutup kemungkinan ketertinggalan umat Islam yang selama ini dirasakan dapat sedikit demi sedikit dikurangi. Oleh karena itu, perhatian terhadap kekurangan-kekurangan yang masih banyak dijumpai pada umat Islam yang ada pada saat ini serta usaha-usaha yang harus dilakukan untuk mengatasinya perlu menjadi perhatian utarna bagi para pemimpin-pemimpin umat Islam. Dengan demikian, peningkatan kualitas sumberdaya manusia umat Islam, baik dalain ha1 ilmu pengetahuan maupun teknologi serta kesejahteraamya tidak dapat dilepaskan dari kesungguhan para pemimpin umat Islam sendiri dalam melaksanakan fungsi-fungsi kepemimpinan yang hams dilakukan. Artinya, kemajuan umat Islam yang &an datang selain ditentukan oleh setiap individu-individu umat Islam itu sendiri juga akan sangat ditentukan oleh berperan tidaknya para pemimpin umat ini menjalankan hngsi kepemimpinannya. Oleh karena itu, telaahan terhadap keadaan kepemimpinan urnat Islam yang ada saat ini penting dilakukan mengingat peranan pemimpin umat Islam tersebut dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia umat Islam, baik dalam ha1 kualitas fisik, kualitas ekonomi, kualitas sosial, kualitas kekaryaan, kualitas emosi maupun kualitas ruhani tidak dapat diabaikan.
lnovasi dalam Organisasi
Adopsi dapat diartikan sebagai penerapan atau penggunaan sesuatu ide, alatalat atau teknologi "baru" yang disarnpaikan berupa pesan komunikasi. Manifestasi dari bentuk adopsi ini dapat dilihat atau diamati berupa tingkah laku, metoda, maupun peralatan dan teknologi yang digunakan dalam kegiatan komunikannya (Mardikanto dan Sutarni 1982), sedangkan inovasi adalah suatu gagasan, metode, atau obyek yang dianggap sebagai sesuatu yang baru, tetapi tidak selalu merupakan hasil dari penelitian mvtakhir (van den Ban dan Hawkins 1996). Karena adopsi merupakan hasil dari kegiatan penyampaian pesan penyuluhan yang berupa "inovasi", maka proses adopsi tersebut dapat digambarkan sebagai suatu proses komunikasi yang diawali dengan penyampaian inovasi sampai dengan tejadinya perubahan perilaku. Dalam rangka usaha pengembangan organisasi, keengganan organisasi terhadap perubahan pada umumnya disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: (1) kelembaman struktural organisasi, (2) ancaman terhadap alokasi sumberdaya yang mapan, (3) ancaman terhadap hubungan kekuasaan yang mapan, (4) ancaman terhadap
keahlian, (5) kelembamam kelompok dalam organisasi, dan ( 6 ) fokus terhadap perubahan (Robbins 1996). Terdapatnya keengganan organisasi terhadap perubahan ini pada akhimya akan berpengaruh terhadap kecenderungan organisasi dalam menerima inovasi-inovasi yang terdapat di luar atau di dalam organisasi yang bersangkutan.
Selain lieengganan organisasi terhadap perubahan, keengganan terhadap perubahan tersebut dapat pula timbul dari keengganan individual terhadap perubahan. Dalam kaitannya dengan keengganan individual terhadap perubahan ini, maka sumber keengganan individu terhadap perubahan terletak dalam karakteristik inanusia\vi yang mendasar seperti persepsi, kepribadian, dan kebutuhan. Robbins (1996) mengemukakan lima alasan mengapa individu enggan melakukan perubahan, yaitu: (1) kebiasaan, (2) keamanan, (3) faktor-faktor ekonomi, (4) rasa takut akan ha1 yang tidak diketahui, dan (5) pemrosesan informasi selektif Dalam ha1 kebiasaan, maka suatu perubahan yang dapat berpengaruh terhadap kebiasaan-kebiasaan yang telah dilakukan oleh seorang individu akan mengakibatkan kecenderungan individu yang bsrsangkutan enggan menerima perubahan, sedangkan dalam ha1 keamanan, maka seseorang yang memerlukan kebutuhan yang tinggi akan rasa aman (keamanan)
kemungkinan besar akan
menolak perubahan yang akan mengancam perasaan aman mereka. Faktor-faktor ekonomi juga menyebabkan individu enggan mengadakan perubahan karena perubahan yang dilakukan akan berhubungan dengan kemampuan ekonomi individu yang bersangkutan, sedangkan rasa takut akan ha1 yang tidak diketahui berhubungan dengan kekhawatiran individu yang bersangkutan tidak mampu melakukan perubahan yang dilaksanakan. Dalam ha1 yang berhubungan dengan adopsi inovasi, maka kecepatan adopsi ini dipengaruhi oleh beberapa sifat inovasinya sendiri. Sla~net(1996) menyatakan
bahwa kecepatan adopsi suatu inovasi di atas dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu : ( 1 ) ciri-ciri inovasi (keuntungan relatif; kompatibilitas, kornpleksitas, triabilitas, dan
observabilitas), (2) jenis keputusan yang diambil (optional, kolektif, otoritas), (3) saluran komunikasi yang digunakan (media massa, kelompok sosial, interpersonal),
(4) ciri-cin sistem sosial (norma, nilai, adat, kepercayaan, dan lain-lain), dan (5) intensitas penyuluhan. Dalam kaitannya dengan inovasi, Muhadjir (1983) membedakan ke dalarn tiga jenis, yaitu: ( I ) inovasi berupa wawasan, konsep, teori b a n (2) inovasi berupa produk teknologi baru, dan (3) inovasi berupa struktur serta fungsi baru, sedangkan Amin Aziz (Aida Vitayala, Prabowo Tjitropranoto, dan Wahyudi Ruwiyanto 1995) menyatakan bahwa paling tidak ada dua kelompok besar inovasi pernbangunan yang perlu didiseminasikan, yaitu: (1) inovasi rekayasa teknologi berbagai perangkat keras, dan (2) inovasi rekayasa teknologi perangkat lunak seperti: (a) rekayasa teknologi kelanbagaan (misalnya cara membentuk dan mengelola perkoperasian), (b) rekayasa nilai-nilai pendukung kualitas pembangunan (misalnya menghargai nilai prestasi, dan disiplin), dan (c) rekayasa pemikiran-pemikiran keagamaan yang mendukung proses dan pelaksanaan pembangunan. Aida Vitayala, Prabowo Tjitropranoto, dan Ruwiyanto (1995) menyatakan bahwa dalam menyongsong era tinggal landas pembangunan, maka penerapan strategi penyuluhan pembangunan yang tepat perlu dilakukan dalam bentuk berbagai gerakan dan tindakan. Dalarn ha1 ini, maka kriteria keberhasilan beragam strategi
inovasi pembangunan perlu dikaitkan dengan kekhasan tiap inovasi pembangunan. Keragaman strategi penyuluhan pembangunan di atas tidak mengharuskan te jadinya perbedaan hasil, sebab tujuan yang ingin dicapai oleh tiap kegiatan penyuluhan adalah sama. Pencapaian tujuan tersebut dicirikan oleh hal-ha1 sebagai berikut: ( I ) timbuln~akesadaran masyarakat untuk memahami manfaat inovasi pembangunan,
(2) perwujudan tindakan konkrit masyarakat dalam bentuk mengadopsi inovasi tersebut, dan (3) timbulnya sumberdaya manusia yang berkualitas sebagai akibat pemahaman dan penganutan inovasi pembangunan yang dibelajarkan kepada mereka melalui kegiatan penyuluhan pembangunan.
.
Sehubungan dengan inovasi, Havelock (Muhadjir 1983) mengemukakan empat kriteria yang meinperlamar adopsi suatu inovasi, yaitu validitas tinggi, kemanfaatan besar, tidak kompleks, dan kompatibel, sedangkan Ruwiyanto (1999) mengemukakan lima faktor utama yang mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi, yaitu: (1) sifat inovasi, (2) tipe keputusan inovasi, (3) alat dan cara yang dipakai untuk mengkomunikasikan inovasi, (4) sifat sistem sosial, dan ( 5 ) ketangguhan usaha mendifusikan suatu inovasi. Keberhasilan pendifusian inovasi ditentukan oleh besamya persentase anggota organisasi yang mengadopsi inovasi tersebut, kecepatan proses adopsi yang terjadi, biaya yang dikeluarkan selama proses adopsi berjalan, dan seberapa besar organisasi memperoleh manfaat setelah para anggotanya mendayagunakan inovasi yang didifusikan tersebut.
Di samping tejadi proses difusi inovasi pada individu, banyak juga inovasi yang diadopsi oleh organisasi-organisasi. Dalarn lingkungan organisasi, di samping me~nilikitiga tipe keputusan inovasi seperti telah terjadi pada individdkelompok, yaitu tipe opsionallpilihan, tipe kolektif, dan tipe kekuasaan, maka masih memiliki satu tipe keputusan inovasi tambahan, yaitu tipe kontingen (tipe yang mengandung unsur ketergantungan). Pada tipe keputusan inovasi seperti ini, maka diadopsinya suatu inovasi baru disebabkan oleh adanya saling keterkaitan dengan jenis inovasi yang telah diadopsi terlebih dahulu. Dikaitkan dengan organisasi, maka yang dimaksud dengan keinovatifan organisasi adalah tingkat kecepatan (laju) suatu organisasi dalarn mengadopsi suatu inovasi dibandingkan dengan organisasi lain. Beberapa hasil penelitian difusi inovasi atas organisasi yang dilakukan oleh Mohr (Ruwiyanto 1999) menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara ukuran organisasi dan keinovatifan suatu organisasi. Selain itu, secara sistematis dapat pula disimpulkan bahwa keinovatifan organisasi di atas dipengaruhi pula oleh sifat-sifat individu dan pemimpin dalam organisasi yang bersangkutan. Oleh karena itu, peranan pemimpin dalam suatu organisasi akan sangat menentukan terhadap sedikit banyaknya atau ada tidaknya suatu inovasi yang diadopsi dalam organisasi. Dalam kaitannya dengan inovasi, Robbins (1994) menyatakan bahwa inovasi biasanya mempunyai salah satu bentuk dari dua bentuk yang ada, yaitu: (1) teknologis, dan (2) administratif. Inovasi teknologis mencakup penggunaan alat,
teknik, perlengkapan, atau sistem baru untuk memproduksi perubahan dalaln produk atau jasa atau dalam cara produk dan jase tersebut dihasilkan; sedangkan inovasi administratif adalah implementasi dari perubahan-perubahan pada struktur organisasi atau proses administratifnya.
Sehubungan dengan inovasi ini, maka strategi
organisasi akan menentukan kerangka kerja keseluruhan mengenai pentingnya inovasi di atas. Organisasi yang prospektor akan cenderung untuk mendorong lebih banyak inovasi, sedangkan organisasi yang reaktor cenderung menjadi inovator yang rendah. Pada organisasi yang mempunyai struktur yang organik, inovasi cenderung mempunyai kemungkinan untuk berkembang, namun demikian kunci inovasi di dalam struktur organisasi yang organik bukan terletak pada strukturnya melainkan pada pimpinan organisasi yang bersangkutan. Pada dasarnya, pimpinan organisasi pada organisasi yang inovatif mempunyai gaya kepribadian yang memperlihatkan rasa percaya diri yang tinggi pada kemampuan mereka untuk mengontrol lingkungan, tekun, berenergi, kecenderungan berani dalam mengambil resiko serta mempunyai pengetahuan yang cukup luas mengenai perubahan yang sedang berjalan di lingkungan organisasi. Otonomi yang ada pada pimpinan organisasi ini membantu mereka memperkenalkan clan melaksanakan inovasi dalam organisasi. Pengaruh yang positif terhadap inovasi dari struktur organisasi yang organik karena struktur ini lebih rendah dalam ha1 deferensiasi vertikal, formalisasi, dan sentralisasi sehingga organisasi yang bersifat organik mempermudah fleksibelitas,
penyesuaian, dan pendukungan silang yang membuat pemakaian inovasi menjadi lebih mudah. Selain itu, inovasi dalam suatu organisasi akan dipupuk jika organisasi yang bersangkutan mempunyai sumberdaya yang melimpah. Hal ini karena keberadaan sumberdaya yang melimpah memungkinkan organisasi tersebut membeli inovasi, menanggung biaya pelembagaan inovasi, dan menyerap kegagalan yang dapat ditimbulkan oleh inovasi itu sendiri.
Sebuah organisasi yang inovatif akan
mempemudah interaksi dalam komunikasi antara unit-unit dalam organisasi serta cenderung mempunyai budaya yang serupa dan secara aktif menggalakan pelatihan dan pengembangan anggota-anggota organisasi sehingga mendorong individu untuk menjadi individu yang tanggap terhadap penibahan. Beberapa ha1 yang berkaitan dengan inovasi dalam organisasi di atas perlu juga diperhatikan oleh pesantren sebagai sebuah organisasi. Hal ini karena era globalisasi dan informasi yang terjadi saat ini menuntut pesantren meningkatkan peranannya.
Untuk meningkatkan peranan pesantren di atas, maka penerapan
inovasi-inovasi dalam organisasi pesantren mutlak diperlukan, baik inovasi yang berupa wawasan, ide-ide, maupun inovasi dalam bentuk teknologi, administratif, struktur dan fungsi baru. Oleh karena itu, ketertinggalan pesantren dalam mengikuti perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang selama ini terjadi harus segera di atasi agar keluaran/output organisasi ini dapat memenuhi harapan pelanggannya.
Dengan demikian, pesantren diharapkan tidak hanya menjadi transfonnator dan motivator saja, tetapi juga diharapkan dapat bertindak sebagai inovator. Dalam kaitannya dengan inovasi, Pyzdex (2002) mengemukakan bahwa organisasi yang ingin tents diminati oleh pelanggan hams berinovasi secara terus menerus. Hal ini karena inovasi yang terus menerus dalam organisasi yang disertai dengan memperhatikan pengharapan dari pelanggannya akan dapat memberikan kepuasan kepada para pelanggan tersebut. Selain itu, penerapan inovasi-inovasi dalam organisasi di atas juga akan meningkatkan kualitas organisasi itu sendiri. Oleh karena itu, kesuksesan jangka panjang dari sebuah organisasi-tidak terkecuali pesantren- menuntut organisasi tersebut untuk berinovasi. Berdasarkan penelitian baru-baru ini tampak bahwa kualitas adalah penggerak utama dalam upaya mendapatkan pelanggan baru dan mempertahankan pelanggan yang ada.
Dengan demikian, pentingnya aktivitas kualitas dalam
organisasi telah berkembang bersamaan dengan pentingnya pelanggan. Edosomwan (Pyzdex, 2002) mendefinisikan organisasi yang digerakan pelanggan sebagai sesuatu yang bejanji menyediakan kualitas yang sangat baik serta produk dan jasa yang kompetitif untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan pelanggan. Oleh karena itu, apabila informasi tentang pengharapan pelanggan telah diperoleh, teknik seperti penyebaran fungsi kualitas dapat digunakan untuk menghubungkan pengharapan pelanggan dengan proses internal dalam organisasi yang bersangkutan.
Sehubungan dengan kualitas dan pengharapan pelanggan, maka organisasi yang digerakan oleh pelanggan mempunyai beberapa ciri tertentu, yaitu antara lain: (1) perataan hierarki, yaitu mendekatkan setiap orang dalam organisasi pada
pelanggan (meliputi pengurangan jumlah lapisan dalam s t ~ k t u rorganisasi), (2) pengambilan resiko, yaitu mendorong anggota organisasi berani dalam pengambilan resiko dalam berbagai cara (tidak bergantung pada mekanisme persetujuan formal), (3) komunikasi, yaitu pemindahan visi yang jelas, konsisten, dan tidak mendua
kepada orang lainnya dalam organisasi yang dilakukan oleh tim kepemimpinan dalam organisasi, (4) mengukur hasil, yaitu pengukuran yang menentukan bahwa organisasi memenuhi janjinya pada pelanggan dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya (pengukuran harus meliputi proses dan juga hasilloutput yang dihasilkan), dan (5) pemberian imbalan pada anggota organisasi (karyawan harus diperlakukan secara dewasa dan diberikan kompensasi yang cukup dan adil untuk melakukan pekejaan mereka). Memperhatikan ciri-ciri organisasi yang digerakan oleh pelanggan di atas, maka sebuah organisasi yang berkualitas hams selalu berinovasi dan mendudukan pelanggan pada prioritas utarna. Dengan demikian, kualitas produk dan jasa yang pada organisasi tradisional disediakan sesuai dengan persyaratan organisasi, maka pada organisasi yang digerakan oleh pelanggan, kualitas produk dan jasa tersebut disediakan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pelanggan. Hal seperti yang terakhir ini tampaknya juga hams dilakukan oleh organisasi pesantren.
67 Kualitas Sumberdaya Manusia Kesalahpahalnan tentang manusia senantiasa melingkupi manusia sejak manusia menempati bumi ini. Kesalahpahaman ini cenderung pada hal-ha1 yang berlebihan, misalnya manusia menganggap dirinya sebagai wujud terhebat dan terbesar di alam semesta ini. Islam menampilkan manusia sesuai dengan hakikatnya, menjelaskan asal-usulnya, keistimewaannya, tugasnya, hubungannya dengan alam semesta, atau kesiapannya untuk menerima kebaikan dan keburukan. Hakikat manusia bersumber pada dua hal, yaitu: (1 ) aslzul al- hu 'id (asal yang jauh), yaitu penciptaan pertama dari tanah yang kemudian Allah menyempurnakan nya dan meniupkan kepadanya sebagian ruhNya, dan (2) askal ul- qarib (asal yang dekat), yaitu penciptaan manusia dari nuftah (An Nahlawi, 1996). Kedua asal manusia tersebut di atas terdapat dalam A1 Qur'an Surat As Sajdah ayat 7- 9 sebagai berikut: "Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani).
Kemudian Dia menyempurnakan dan
meniupkan ke dalam (tubuhnya) roh (ciptaan)Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur." Selain itu, Al Qur'an pun mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang dimuliakan (Q.S: Al Isra. ayat 70 dan Al Hajj ayat 65), makhluk istimewa dan terpilih (Q.S: Asy Syams ayat 7-10), makhluk yang dapat dididik (Q.S: A1 Alaq ayat 3 dan 5; A1 Baqarah ayat 31-32 dan 129; An Nahl ayat 78), sedangkan tanggungjawab manusia itu sendiri adalah menerapkan syariat Allah dan mewujudkan penghambaan
68
kepadaNya (Q.S: A1 Ahzab ayat 72-73). Adapun tugas tertinggi inanusia adalah berakumulasi pada tanggungjawabnya untuk beribadah dan mengesakan Allah sebagairnana dijelaskan Allah dalam firmanNya dalam Surat Adz Dzariyat ayat 56 yang berisi sebagai berikut:
"
Dan Aku tidak menciptakan Jin dan Manusia
melainkan supaya mereka menyembahKu." Menumt Amsyari (1995), kualitas manusia yang dianggap Allah sebagai kualitas terpuji adalah manusia yang sudah menjalankan rukun Islam secara tertib, memiliki ilmu yang tinggi dan melakukan jihad di jalan Allah. Banyaknya ilmu yang dimiliki oleh seorang muslim tidak hanya dibatasi dalam ha1 ilmu yang terkait dengan masalah spiritual-ritual belaka, tetapi juga ilmu yang merupakan pembuka tabir dari sunatullah. Keberadaan ilmu ini sangzt diperlukan oleh manusia itu sendiri dalam menghadapi berbagai ha1 dalam kehidupamya. Oleh karena itu, manusia tersebut hendaklah selalu meningkatkan kualitas dirinya. Sehubungan dengan kualitas manusia di atas, Syarief (Ismail 2000) mendefinisikan kualitas sebagai gabungan karakteristik yang menentukan derajat kehandalan. Dengan demikian, kualitas sumberdaya manusia adalah gabungan dari karakteristik segenap surnberdaya yang ada dalam diri manusia, mencakup karakteristik fisik, akal, kalbu, dan nafsu yang menentukan derajat kehandalan manusia baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial. Kualitas fisik dicerminkan oleh kesehatan dan ketahanan jasmani yang memungkinkan seseorang dapat hidup sehat, aktif, produktif, dan berumur panjang, sedangkan kualitas akal dicerminkan oleh daya pikir, atau kecerdasan intelektual. Selanjutnya, kualitas kalbu dicerminkan oleh keluhuran budi pekerti, moral dan akhlak, sedangkan kualitas nafsu
69
dicenninkan oleh kemampuan inengendalikan keinginan, ambisi, emosi, semangat, dan gairah. Kekuatan nafsu yang dikendalikan akal dan kalbu akan melahirkan derajat kecerdasan emosional atau emogensi (emotional in~ellegence)yang tinggi. Berdasarkan konsepkonsep di atas, maka karakteristik kualitas sumberdaya manusia (SDM) digolongkan dalam dua kategori, yaitu: (1) karakteristik kualitas dasar (KKD), dan (2) karakteristik kualitas instrumental (KKL). Karakteristik kualitas dasar bersifat universal tidak tergantung pada situasi, ruang dan waktu, berlaku sepanjang zaman, dan merupakan persyaratan dasar yang hams dimiliki oleh setiap manusia. Apabila ha1 di atas disandingkan dalam kerangka diinensi fisik dan non fisik manusia, maka karakteristik kualitas yang termasuk KKD adalah kesehatan jasmani (dimensi fisik), keimanan dan ketaqwaan sosial, etos kerja, gairah daya juang
clan semangat hidup (dimensi kalbu dan nafsu). Sementara itu, karakteristik kualitas instrumental (KKI) dapat berubah atau berbeda menurut situasi, ruang, dan waktu serta merupakan syarat kecukupan.
Karakteristik kualitas yang tergolong
instrumental terutama berkenaan dengan dimensi akal, yaitu misalnya dalam ha1 kemampuan manajerial dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dari mulai tingkat yang paling dasar sampai tingkat yang tinggi. Menumt Widhyatomo (1999) clan Agustian (2001), paling tidak terdapat tiga ketangguhan yang berkaitan dengan kualitas sumberdaya manusia di atas, yaitu: (1) ketangguhan spiritual, (2) ketangguhan intelektual, dan (3) ketangguhan emosional. Dalam kaitannya dengan dua jenis ketangguhan yang disebutkan terakhir, menurut Cooper dan Sawaf (1999), jenis ketangguhan ernosional lebih banyak menentukan terhadap keberhasilan seseorang dibandingkan dengan ketangguhan intelektual. Di
pihak lain, Tasmara (2001) berpendapat bahwa beberapa jenis kecerdasan yang telah dikenal selama ini seperti kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan fisik, dan kecerdasan
sosial hams tunduk kepada kecerdasan ruhaniah, yaitu
kecerdasan yang berpusatkan pada rasa cinta yang mendalam kepada Allah dan seluruh ciptaannya. Gambar 4 memperlihatkan pentingnya kecerdasan ruhaniah dalam kaitannya dengan jenis-jenis kecerdasan lainnya.
Kecerdasan Intelektual
Kecerdasan ruhani
Kecerdasan Sosial
Gambar 4. Kaitan antara kecerdasan ruhani, kecerdasan fisik, kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan sosial. (Tasmara 200 1). Apabila karakteristik-karakteristik kualitas manusia di atas dihubungkan dengan pelaksanaan pendidikan (tidak terkecuali pesantren), maka ha1 ini berarti bahwa untuk meningkatkan kualitas manusia melalui penddikan tidak cukup hanya
71 dititikberatkan kepada peningkatan pengetahuan (akalllogika) saja, tetapi juga harus disertai dengan peningkatan &lam ha1 kemampuan mengendalikan emosi, spiritual, dan kualitas ruhani. Dengan demikian, untuk mendapatkan kualitas manusia seperti yang diharapkan, maka kurikulum yang dibuat dalam program pendidikan juga harus lnenyediakan ruang-ruang untuk meningkatkan kemampuan-kemampuan seperti di atas.
Oleh karena itu, kurikulum pendidikan yang hanya berorientasi kepada
peningkatan kemampuan akalllogika saja dipandang belum mencukupi untuk mencapai manusia yang berkualitas. Pengembangan sumberdaya manusia dirasakan sangat penting bagi proses pembangunan bangsa. Hal ini karena sumberdaya manusia mempakan salah satu kunci bagi keberhasilan dari pembangunan yang dilak~lkan.Menurut Gilley dan England (1989), pengembangan sumberdaya manusia merupakan kegiatan proses belajar yang terorganisir dan terencana di dalam satu kelompok, kelembagaan atau organisasi guna meningkatkan kinerja dan perturnbuhan pribadi atau kepribadian yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pekerjaan dari individu, kelompok, kelembagaan atau organisasi yang bersangkutan. Oleh karena itu, pengembangan sumberdaya manusia sangat penting untuk dikembangkan secara optimal dalam mempersiapkan Indonesia memasuki era globalisasi dan liberalisasi investasi serta perdagangan dunia mendatang. Beberapa alasan perlu dikembangkannya SDM di atas adalah: (1) agar subyek (individu, kelompok, organisasi, masyarakat) inampu memenuhi kebutuhan dasar manusia, (2) agar harkatlmartabat manusia subyek dapat ditingkatkan, ( 3 ) agar eksistensi subyek ~nendapatpengakuan, (4) agar subyek mampu mandiri, dan ( 5 ) agar
72
subyek lnampu bertanding (berkompetisi)/bersaing dan disandingkan. Perlunya peningkatan kualitas SDM di Indonesia di muka selain merupakan perwujudan pelaksanaan amanat W D 1945 dan pengamalan Pancasila, juga ditunjukan oleh kenyataan bahwa kualitas SDM Indonesia masih belum menggembirakan, baik dalam ha1 penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun dalam ha1 keterampilan, kemandirian, dan lain-lain. Dalam pengembangan sumberdaya manusia di atas, pengembangan SDM bersifat multidimensional dan memerlukan pendekatan holistik. Oleh karena itu, dalam pengembangan SDM ini tidak hanya merupakan tanggungawab pemerintah saja, tetapi juga merupakan tanggungjawab bersarna baik secara individu, keluarga, dan masyarakat. Keterkaitan antara individu dan keluarga serta masyarakat dan lingkungar, global dalam pengembangan sumberdaya manusia ini secara skeniatis dapat digambarkan dalam Gambar 5.
I
I
t
t
T I
PEMBANGUNAN SDM
1
Gambar 5. Keterkaitan antara invidu, masyarakat, dan lingkungan global dalam Pembangunan Sumberdaya Manusia (Ismail et of. 2000).
Dalam hubungannya dengan kualitas surnberdaya manusia (SDM) di muka, kualitas sumberdaya manusia sering dibedakan dalam kualitas fisik dan nonfisik. Wujud kualitas fisik dicirikan oleh postur tubuh, ketahanan tubuh, kesehatan jasmani, dan kesegaran jasmani, sedangkan kualitas nonfisik (dari sudut pandang pendidikan) mencakup beberapa ranah, yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kualitas ranah kognitif digambarkan oleh tingkat kecerdasan individu, sedangkan kualilas ranah afektif digambarkan oleh kadar keimanan, budi pekerti, integritas kepribadian, dan kemandirian. Adapun kualitas ranah psikomotorik dicerminkan oleh tingkat keterampilan, produktivitas dan kecakapan dalam mendayagunakan peluang untuk berinovasi ( Tjiptoherijanto dan Soemitro 1998). Sehubungan dengan kualitas non fisik, Dahlan (1996) menyatakan bahwa kualitas tersebut mencakup ha1 ha1 sebagai berikut, yaitu: (1) kualitas kepribadian (kecerdasan, kemandirian, kreativitas, ketahanan mental, keseimbangan antara emosi dan rasio), (2) kualitas bermasyarakat (dalam ha1 ini keselarasan hubungan dengan sesama manusia seperti kesetiakawanan dan keterbukaan), (3) kualitas berbangsa (kesadaran berbangsa dan bemegara), (4) kualitas spiritual (religiusitas dan moralitas), (5) wawasan lingkungan, dan (6) kualitas kekaryaan (kualitas yang diperlukan untuk mewujudkan aspirasi clan potensi diri dalam bentuk kerja nyata untuk menghasilkan sesuatu dengan mutu yang sebaik-baiknya). Perbedaan kualitas antara manusia terletak pada keadaan dan tingkatan masing-masing orang pada kisaran sesuatu kualitas.
Oleh karena itu, perlu diperhatikan bahwa dalam
pengembangan kualitas manusia tersebut yang penting adalah pengembangan potensi
74
dari setiap manusia sedemikian rupa sehingga ~nemungkinkannyadapat berkembang sebagai manusia yang utuh dalarn batas-batas kemampuannya sendiri. Dalam rangka usaha peningkatan kualitas sulnberdaya manusia, maka peranan pendidikan sangat penting.
Hal ini karena hakikat pendidikan itu sendiri pada
hakikatnya adalah suatu proses menumbuhkembangkan eksistensi peserta didik yang memasyarakat, membudaya, dalam tata kehidupan yang berdimensi lokal, nasional dan global. Dengan demikian, tujuan pendidikan tidak dapat terlepas dari pendidikan yang berada di dalam konteks kehidupan masyarakat. Tilaar (1997) menyatakan bahwa manusia Indonesia yang akan dikembangkan me1Jui pendidikan bukan hania manusia yang cerdas dan terampil saja, tetapi juga manusia yang bermoral, yang sadar akan persatuan bangsa Indonesia, yang mau bekerja keras, mempunyai etos kej a , dan disiplin diri yang tinggi. Menurut Susanto (1999), pencapaian sumberdaya manusia yang berkualitas inemerlukan pemenuhan beberapa aspek, yaitu: (1) pemenuhan akan kebutuhan dasar manusia, (2) pemenuhan akan kebutuhan bekerja, (3) pemenuhan akan kebutuhan pengakuan (recognition),(4) pemenuhan akan kebutuhan pendidikan dan proses belajar, (5) pemenuhan akan kebutuhan harga diri (selfesteem), (6) pemenuhan akan kebutuhan pelayanan umurn yang manusiawi, dan (7) adanya baku kinerja yang jelas, sedangkan sumberdaya manusia yang berkualitas tinggi itu sendiri, yaitu sumberdaya manusia yang memiliki ciri sebagai berikut: (I) produktif (daya pikir, daya kerja), (2) energik (daya tahan, daya kreativitas), (3) berani beresiko (daya juang, daya saing), (4) berani menegakkan kebenaran (daya saring, daya penalaran, daya pengendalian diri), (5) berani jujur dan
75 transparan, (6) berani konsekuen, (7) broadmindedncss (wawasan yang luas), (8) berani memberi pengakuan kepada orang lain, dan (9) berani mengeluarkan pendapat. Rasyid (1998) menyatakan bahwa manusia (muslim) yang berkualitas tidak hanya mempunyai kualitas keahlian dalam berbagai bidang, tetapi juga berkualitas dalam ha1 iman dan akhlak.
Harahap (1997) menyatakan bahwa manusia yang
berkualitas adalah manusia yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut, yaitu: ( 1 ) memiliki iman dan taqwa, serta moraliw, (2) memiliki tanggungjawab pribadi dan sikap jujur, (3) memiliki fisik atau jasmaniah yang sehat, (4) menghargai ketepatan waktu, (5) memiliki etos k e j a yang tinggi, (6) rnemiliki visi yang jelas mengenai masa depannya, dan (7) menghargai dan memiliki ilmu pengetahuan. Dalam rangka pengembangan sumberdaya manusia, faktor pendidikan memegang perar.an sangat penting. Hal ini karena manusia yang terdidik mampu berpikir kritis, inovatif, dan kreatif. Selain itu, mereka juga akan mampu bekeja produktif, efisien dan efektif serta sadar akan kemampuan dirinya, matang dalam ha1 emosi, dan mempunyai motivasl berprestasi tinggi serta menjadi pribadi yang tinggi (Prijono dan Babari 1996). Menurut Sudarsono (1999), pendidikan sebagai suatu proses untuk mengubah perilaku manusia akan sangat dipengaruhi oleh derasnya arus informasi. Dalam era semacam ini, pencapaian kualitas pendidikan dan kesesuaian pendidikan tidak lagi hanya ditentukan oleh pendidikan melalui jalur sekolah, tetapi juga oleh pendidikan di dalam keluarga dan pendidikan masyarakat. Sehubungan dengan pendidikan di atas, Karim (Maarif et al. 1991) menyatakan bahwa dilema yang dihadapi oleh pendidikan Islam jauh lebih besar dibandingkan dengan pendidikan pada umumnya.
Hal ini karena beban yang
76
diemban oleh pendidikan Islam sangat kompleks, yaitu mencakup aspek: (1) dimensi intelektual, (2) dimensi kultural, ( 3 ) dimensi nilai-nilai transendental, (4) dimensi keterampilan fisik, dan (5) dimensi pembinaan kepribadian manusia itu sendiri. Oleh karena itu, menurut Azizy (2000), dalam pendidikan Islam (khususnya pesantren) perlu diadakan perubahan dalam sistem belajar-mengajar, baik yang berkaitan dengan materi maupun metodologinya. Dalam kaitannya dengan kualitas sumberdaya manusia Indonesia pa& masa yang akan datang (dalam menyongsong abad ke 21), Fadjar (1998) menyatakan bahwa segenap manusia Indonesia harus: (1) "melek ilmu pengetahuan dan teknologi, (2) perlu memiliki kemarnpuan belajar yang terns terpelihara, dan ( 3 ) menguasai "the Basics," yaitu mempunyai pengetahuan yang bersifat mendasar baik dalam bidang bahasa, matematika, pengetahuan alam, dan pengetahuan sosial. Untuk mencapai manusia seperti di atas, maka beberapa usaha yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut, yaitu: (1) pengembangan kualitas sumberdaya manusia Indonesia tetap terkait pada p r o s utama pembangunan manusia yaitu "pengembangan manusia seutuhnya," (2) pengembangan kualitas sumberdaya manusia Indonesia tersebut diusahakan agar tidak terlepas dari keadaan lingkungan sosio kultural dan ekologi, (3) pengembangan kualitas sumberdaya manusia Indonesia hendaknya diarahkan untuk membangkitkan keikutsertaan bersama dari segenap lapisan masyarakat Indonesia,
(4) memperluas kesempatan belajar atau pendidikan bagi segenap bangsa, dan (5) pengembangan sumberdaya manusia diarahkan pada pembentukan manusia-manusia yang mandiri. Dengan demikian, usaha pengembangan sumberdaya manusia tidak
77
dapat dicapai dalam waktu yang relatif singkat, inelainkan memerlukan waktu yang cukup lama dan kesungguhan yang kuat untuk mencapainya. Mempersiapkan diri untuk memasuki masa depan sesungguhnya merupakan etos yang dominan di kalangan umat Islam. Dalam A1 Qur'an, ha1 yang menyangkut pengembangan diri ini paling tidak terdapat dalam Surat A1 Hasyr ayat 18: " Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan
apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertaqwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu lakukan." dan Surat Alam Nasrah ayat 7-8 sebagai berikut : "Apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kejakanlah dengan sungguh sungguh urusan yang lain. Dan hanya kepada Allahlah hendaknya kamu berharap." Memperhatikan ayat-ayat Al Qur'an di atas tampak bahwa manusia harus selalu berpandangan jauh ke depan dan dinamis sehubungan dengan kehidupan yang dijalaninya. Hal ini berarti pula bahwa dalam kehidupan tersebut, manusia harus selalu dapat meningkatkan mutu atau kualitas dirinya. Dikaitkan dengan kualitas manusia tersebut, pesantren di Indonesia pada masa-masa yang lalu telah mampu menghasilkan kualitas manusia sesuai dengan jamannya. Tokoh-tokoh nasional Indonesia seperti Mohamad Natsir dan lain-lain adalah sebagai salah satu bukti bahwa peranan pesantren dalam mencetak manusia yang berkualitas tidak dapat diabaikan. Namun demikian, te rjadinya perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang demikian pesat dan arus globalisasi pada akhir-akhir ini yang kadang-kadang disertai dengan perubahan nilai-nilai yang ada tampaknya telah membuat pesantren agak tertatih-tatih dalam mengikutinya. Akibat
78
dari ketertinggalan pesantren dalam mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di atas adalah hasil keluarannya pun menjadi kurang dapat bersaing dalam kehidupan nyata ditengah-tengah masyarakat.
Oleh karena itu, tuntutan kualitas
manusia yang harus dihasilkan oleh pesantren juga hams dapat mengacu pada perubahan-perubahan yang terjadi tanpa hams inengorbankan watak aslinya, yaitu sebagai sebuah lembaga pendidikan untuk mengenal, mendalami, menghayati, dan mengamalkan serta mengembangkan Agama Islam.. Secara urnum, kualitas sumberdaya manusia yang dihasilkan oleh pesantren yang ada saat ini belum dapat memenuhi seperti yang diharapkan. Hal ini antara lain dicirikan oleh belum mampunya sumberdaya manusia clan pesantren yang ada berpartisipasi
secara maksimal dalarn program-program pembangunan yang
dilaksanakan (Mujahiddin
1997).
Selain itu, masih banyaknya para keluaran
pesantren yang belum dapat inandiri dan berkiprah secara luas dalam kehidupan masyarakat juga merupakan cerminan lain belum memadainya keluaran pesantren di atas (Muslich Usa 1991). Oleh karena itu, pesantren dengan berbagai peran yang disandangnya harus dapat mengadakan reaktualisasi din dengan mengadakan perbaikan-perbaikan kualitas, baik yang menyangkut kualitas pribadi sumberdaya manusianya maupun pesantren itu sendiri sebagai sebuah organisasi. Sebagai sebuah organisasi yang menyelenggarakan proses pendidikan pada manusia, maka hasil keluaran yang dihasilkan oleh organisasi pesantren saat ini dipandang belum memadai.
Hal ini karena keluaran atau output (santri) yang
dihasilkan oleh pesantren belum dapat memenuhi kualitas seperti yang diharapkan oleh masyarakat atau pelanggan. Artinya, orientasi pesantren pada kualitas keluaran
79
yang dihasilkan belum sepenuhnya (bahkan pada wnurnnya) menjadi pusat perhatian pesantren itu sendiri. Belum tercapainya kualitas keluaran yang dihasilkan oleh pesantren di atas karena perhatian pesantren dalam proses pendidikan yang dilaksanakannya selarna ini pada umumnya masih cenderung kepada menghasilkan individu-individu yang mempunyai pengetahuan yang mendalam dalam ilmu agama, sedangkan perhatian pesantren terhadap pembekalan untuk kehidupan di dunia (ilmu pengetahuan, teknologi, dan keterampilan) masih sangat terbatas.
Mengingat ha1 ini, maka
perhatian pada pelanggan tampaknya perlu dilakukan oleh wsantren Dalam rangka pengembangan mutu SDM di atas, maka penerapan konsep manajemen mutu terpadu (MMT) yang pada akhir-akhir ini banyak dikenalkan mungkin perlu dipertimbangkan untuk diterapkan di lingkungan pesantren. Hal ini penting karena tujuan utama dari penerapan MMT ini adalah terjadinya peningkatan mutu pekerjaan, memperbaiki produktivitas, dan efisiensi.
Dengan menerapkan
MMT di pesantren, pesantren sebagai lembaga pendidikan dipersepsikan sebagai industri jasa atau industri pelayanan dan bukan sebagai proses produksi. Dalam penerapan MMT di atas, Slamet (1996) mengemukakan lima unsur utama MMT, yaitu: (1) fokus pada pelanggan, (2) perbaikan pada proses secara sistematis, (3) pemikiran jangka panjang, (4) pengembangan SDM, dan (5) komitmen pada mutu. Dengan menerapkan MMT di dunia pesantren, maka pesantren harus memperhatikan kebutuhan pelanggannya dan memperbailu proses belajar mengajar yang berlangsung sehingga produk yang dihasilkan pesantren diharapkan dapat menyamai atau bahkan melebihi kebutuhan atau harapan pelanggannya tersebut.
80
Selain itu, penerapan MMT di lingkungan pesantren juga rneinungkinkan pesantren yang bersangkutan menjadi lebih berdaya sehingga memungkinkan pesantren yang bersangkutan dapat lebih berperan dan berkiprah dalaln program-program pembangunan serta melakukan peran-peran yang lainnya seperti sebagai agen perubahan, dan lain-lain. Hal ini penting karena pengembangan sumberdaya manusia sebenamya memiliki akar teologis yang cukup jelas dalam Islam, sebab dalaln terminologi agama ini, orang mukmin yang kuat akan lebih baik dan lebih disayangi Allah SWT dibandingkan dengan mukmin yang lemah. Selain itu, Allah tidak akan mengubah nasib seseocang atau suatu kelompok manusia mana pun sebelum mereka mengubah pola hidupnya. Kedua ha1 di atas terdapat dalam A1 Qur'an Surat Ar'ad ayat 11: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelurn mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." dan Hadist Nabi (HR.Muslim) sebagai berikut: "Orang mukmin yang kuat lebih baik dan disukai Allah ketimbang orang mukmin yang lemah,meskipun pada kedua-duanya terdapat kebaikan. Perhatikanlah hal-ha1 yang bermanfaat bagimu, serta mohonlah pertolongan dari Allah, dan janganlah menjadi lemah." Dengan demikian, dalam pandangan Agama Islam, manusia yang memiliki kualitas yang tinggi dipandang sebagai sumberdaya manusia yang dapat merencanakan masa depannya yang lebih baik, dan sebaliknya manusia yang tidak memiliki ha1 di atas dipandang sebagai manusia yang kurang berkualitas.