TINJAUAN PUSTAKA Pemanasan Global Secara umum pemanasan global didefinisikan dengan meningkatnya suhu permukaan bumi oleh gas rumah kaca akibat aktivitas manusia. Meski suhu lokal berubah-ubah secara alami, dalam kurun waktu 50 tahun terakhir suhu global cenderung meningkat lebih cepat dibandingkan data yang terekam sebelumnya, serta situasi dan perkembangan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir khususnya dalam dekade di akhir abad 20 dan awal abad 21 (Winarso, 2009). Ketika cahaya matahari mengenai permukaan bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan bumi. Permukaan bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya sebagai radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun, sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan bumi. Hal tersebut terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan suhu rata-rata bumi terus meningkat (Sofiyah, 2009). Perubahan iklim sebagai implikasi pemanasan global, yang disebabkan oleh kenaikan gas-gas rumah kaca terutama karbondioksida (CO2) dan metana (CH4), mengakibatkan dua hal utama yang terjadi di lapisan atmosfer paling bawah, yaitu fluktuasi curah hujan yang tinggi dan kenaikan muka laut. Sebagai negara kepulauan, Indonesia paling rentan terhadap kenaikan muka laut. Telah dilakukan proyeksi kenaikan muka laut untuk wilayah Indonesia, hingga tahun 2100, diperkirakan adanya kenaikan muka laut hingga 1.1 m yang yang berdampak pada hilangnya daerah pantai dan pulaupulau kecil seluas 90.260 km2. Perubahan iklim global sebagai implikasi dari pemanasan global telah mengakibatkan ketidakstabilan atmosfer di lapisan bawah terutama yang
Universitas Sumatera Utara
dekat dengan permukaan bumi. Pemanasan global ini disebabkan oleh meningkatnya gasgas rumah kaca yang dominan ditimbulkan oleh industri-industri. Gas-gas rumah kaca yang meningkat ini menimbulkan efek pemantulan dan penyerapan terhadap gelombang panjang yang bersifat panas (inframerah) yang diemisikan oleh permukaan bumi kembali ke permukaan bumi (Susandi, et al., 2008).
Perubahan iklim akan member dampak terhadap pertanian, kehutanan, dan ekosistem alami. Beberapa kawasan pertanian dan hutan akan kehilangan produktivitasnya, pada sektor lainnya malah meningkat sehingga membuat pola produksi bahan makanan dan perkayuan bergeser. Pergeseran ini akan menyebabkan perubahan ekonomi wilayah yang cukup berarti pada intra dan antar negara. Ancaman sediaan bahan makanan beberapa negara akan mengubah pola perdagangan antar wilayah, sebaran keuntungan akan berbeda-beda. Kegiatan wisata juga akan banyak terpengaruh, keuntungan positif dan negatif akan terlihat antar wilayah geografis (Winarso, 2009). Karbondioksida sejauh ini adalah gas rumah kaca yang paling berlimpah yang dihasilkan dari aktifitas manusia. Namun, metana dan nitrous oksida lebih berpotensi dalam kontribusinya terhadap pemanasan global dan konsentrasinya pun meningkat. Molekul metana mempunyai kemampuan untuk menyerap panas 26 kali karbondioksida sedangkan nitrous oksida 216 kali (Sofiyah, 2009).
Kawasan Hutan Menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang dimaksud dengan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Sedangkan kawasan hutan menurut
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Hutan adalah suatu luasan lahan tertentu yang didalamnya terdapat asosiasi masyarakat tumbuh-tumbuhan (yang didominasi oleh pohon dan vegetasi berkayu) dan binatang, yang merupakan suatu kesatuan ekologis yang tidak dapat dipisahkan (ekosistem) sehingga dapat membentuk iklim mikro (micro climate) dan kondisi ekologi yang spesifik. Bila diuraikan unsur-unsur yang terdapat pengertian hutan tersebut, terdapat unsur-unsur sebagai berikut :
Luasan lahan tertentu
Asosiasi masyarakat tumbuh-tumbuhan (yang didominasi oleh pohon dan vegetasi berkayu)
Binatang
Suatu kesatuan ekologis yang tidak dapat dipisahkan (ekosistem)
Iklim mikro (micro climate)
Kondisi ekologi yang spesifik.
(Cipto, 2008). Berdasarkan kondisi iklim dan topografi yang kita ketahui, sekarang Indonesia masih akan tertutup hutan jika masyarakat tidak perlu membuka hutan untuk kebutuhan pertanian, infrastruktur dan pemukiman. Kita tidak bisa tahu secara pasti berapa banyak tutupan hutan di Indonesia zaman dulu. Namun berdasarkan estimasi potensi vegetasi (yaitu luas kawasan yang kemungkinan tertutup berbagai tipe hutan dan dengan mempertimbangkan kondisi iklim dan lingkungan serta intervensi manusia) dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh wilayah Indonesia dulu tertutup hutan. Tempattempat yang tidak dapat mendukung pertumbuhan pohon hanyalah lereng-lereng gunung yang sangat curam dan jalur-jalur pesisir yang sempit (MacKinnon, 1990). Hutan memiliki banyak manfaat untuk kita. Hutan merupakan paru-paru dunia (planet bumi) sehingga perlu kita jaga karena jika tidak maka hanya akan membawa
Universitas Sumatera Utara
dampak yang buruk bagi kita di masa kini dan masa yang akan datang. Penggunaan lahan tanpa memperhatikan kemampuan dan kesesuaian tanah, air dan unsur-unsur konservasi menjadi salah satu penyebab terjadinya degradasi sumberdaya dan lingkungan di Indonesia. Sebagai akibat dari tindakan ini sering terjadi bencana yang merugikan masyarakat (Kusumawardani, 2009).
Berkurangnya luasan hutan lebih banyak disebabkan oleh pengaruh faktor intervensi manusia. Ada beberapa faktor yang secara signifikan menyebabkan berkurangnya hutan, antara lain: penebangan kayu hutan baik legal maupun illegal, perambahan hutan untuk tanaman argoindustri dan perluasan pemukiman. Menurut FAO, angka deforestifikasi Indonesia tahun 2000-2005 mencapai 1,8 juta hektar pertahun. Angka ini lebih rendah bila dibandingkan dengan angka resmi yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan yaitu 2,8 juta hektar pertahun. Indonesia masih dibawah Brazil yang menempati tempat pertama dengan kerusakan 3,1 juta hektar pertahun, dengan gelar kawasan forestifikasi terbesar di dunia (Cipto, 2008). Semakin berkurangnya hutan memegang peranan dalam pemanasan global. Kawasan hutan merupakan areal yang mempunyai manfaat langsung bagi masyarakat, namun pada kenyataannya selama ini belum banyak dipahami kalangan awam sebagai sesuatu yang berarti. Mereka menilai kawasan hutan merupakan kawasan tutupan hutan yang hanya mempunyai makna ekonomi jika kayu yang ada di dalamnya bisa dijual atau dimanfaatkan untuk bangunan. Memang sangat berorientasi pada kepentingan manusia yang ada disekitar kawasan hutan, namun jika dihubungkan secara global, ekosistem hutan lebih dari itu. Hutan telah berjasa dalam keseimbangan iklim, mengurangi polusi, mereduksi, menyerap CO2 dan mengurangi pemanasan global (Winarso, 2009). Biomassa dan Karbon Hutan Pohon (dan organisme foto-ototrof lainnya) melalui proses fotosintesis menyerap CO2 dari atmosfer dan mengubahnya menjadi karbon organik (karbohidrat) dan
Universitas Sumatera Utara
menyimpannya dalam biomassa tubuhnya seperti dalam batang, daun, akar, umbi buah dan lain-lain. Keseluruhan hasil dari proses fotosintesis ini sering disebut juga dengan produktifitas primer. Dalam aktifitas respirasi, sebagian CO2 yang sudah terikat akan dilepaskan kembali dalam bentuk CO2 ke atmosfer. Selain melalui respirasi, sebagian dari produktifitas primer akan hilang melalui berbagai proses misalnya herbivora dan dekomposisi. Sebagian dari biomassa mungkin akan berpindah atau keluar dari ekosistem karena terbawa aliran air atau agen pemindah lainnya. Kuantitas biomassa dalam hutan merupakan selisih antara produksi melalui fotosintesis dan konsumsi. Perubahan kuantitas biomassa ini dapat terjadi karena suksesi alami dan oleh aktifitas manusia seperti silvikultur, pemanenan dan degradasi. Perubahan juga dapat terjadi karena adanya bencana alam (Sutaryo, 2009).
Menurut Lugo dan Snedaker (1974) dalam Balinda (2008) biomassa disusun terutama oleh senyawa karbohidrat yang terdiri dari unsur karbondioksida, hidrogen, dan oksigen. Biomassa tegakan dipengaruhi oleh umur tegakan hutan, komposisi dan struktur tegakan. Biomassa dapat dibedakan ke dalam dua kategori yaitu biomassa tumbuhan di atas permukaan tanah (above ground biomass) dan biomassa tumbuhan di bawah permukaan tanah (below ground biomass). Lebih jauh dikatakan biomassa di atas permukaan tanah adalah berat bahan unsur organik per unit luas pada waktu tertentu yang dihubungkan ke suatu fungsi sistem produksi, umur tegakan hutan dan distribusi organik (Kusmana, 1993). Hutan mengabsorpsi CO2 selama proses fotosintesis dan menyimpannya sebagai materi organik dalam biomassa tanaman. Banyaknya materi organik yang tersimpan dalam biomassa hutan per satuan luas dan per satuan waktu merupakan pokok dari produktivitas hutan. Tumbuhan memerlukan sinar matahari dan gas asam arang (karbondioksida) yang diserap dari udara serta air dan hara yang diserap dari dalam tanah untuk kelangsungan hidupnya. Melalui proses fotosintesis, CO2 di udara diserap oleh
Universitas Sumatera Utara
tanaman dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tubuh tanaman berupa daun, batang, ranting, bunga dan buah. Pada ekosistem di darat, C tersimpan dalam 3 komponen pokok), yaitu: (1) Biomassa merupakan massa bagian vegetasi dalam kondisi hidup yakni tajuk pohon, tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semusim. (2) Nekromassa merupakan massa bagian pohon yang telah mati baik yang masih dalam kondisi tegak di suatu lahan (batang atau tunggul pohon), atau telah tumbang atau tergeletak pada permukaan tanah, tonggak atau ranting dan daun-daun gugur (serasah) yang belum terurai. (3) Bahan organik tanah merupakan sisa makhluk hidup (tanaman, hewan dan manusia) yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan telah menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikelnya lebih kecil dari 2 mm (Hairiah et al., 2007). Biomassa hutan sangat relevan dengan isu perubahan iklim. Biomasa hutan berperan penting dalam siklus biogeokimia terutama dalam siklus karbon. Dari keseluruhan karbon hutan, sekitar 50% diantaranya tersimpan dalam vegetasi hutan. Sebagai konsekuensi, jika terjadi kerusakan hutan, kebakaran, pembalakan dan sebagainya akan menambah jumlah karbon di atmosfer. Dinamika karbon di alam dapat dijelaskan secara sederhana dengan siklus karbon. Siklus karbon adalah siklus biogeokimia yang mencakup pertukaran atau perpindahan karbon diantara biosfer, pedosfer, geosfer, hidrosfer dan atmosfer bumi. Siklus karbon sesungguhnya merupakan suatu proses yang rumit dan setiap proses saling mempengaruhi proses lainnya (Sutaryo, 2009). Biomassa dan karbon total tegakan (vegetasi) dalam suatu kawasan atau unit lahan menggambarkan berapa besar kemampuan kawasan tersebut dalam menyerap (menambat) CO2 dari udara dan sekaligus menggambarkan energi tersimpan (potensial) yang berada atau dimiliki oleh kawasan atau unit lahan tersebut. Semakin lebat vegetasi suatu kawasan, akan semakin tinggi kemampuan penambatan CO2 udara dan energi tersimpan dalam kawasan itu, demikian sebaliknya. Pemanfaatan energi potensial
Universitas Sumatera Utara
biomassa ini dengan baik dan benar membawa manfaat bagi kelangsungan hidup manusia, sementara penggunaan dengan tanpa terkendali seperti pembakaran akan meningkatkan emisi karbon ke udara (penyebab efek rumah kaca dan pemanasan global), sedangkan pembuangan biomassa ke dalam badan-badan air, akan mencemarkan perairan itu sendiri dengan meningkatkan kadar BOD dan COD (Rauf, 2011). Hutan Tanaman Industri Huan Tanaman Industri (HTI) merupakan hutan tanaman yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan. Tujuan pengusahaan HTI adalah menunjang pengembangan industri hasil hutan dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah dan devisa, meningkatkan produktivitas lahan dan kualitas lingkungan hidup, serta memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha (Peraturan Pemerintah Nomor 7 1990, Pasal 2). Adanya pembangunan HTI maka diharapkan dapat menyelamatkan hutan alam dari kerusakan karena HTI merupakan potensi kekayaan alam yang dapat diperbaharui, dimanfaatkan secara maksimal dan lestari bagi pembangunan nasional secara berkelanjutan untuk kesejahteraan penduduk (Anjasari, 2009). Pembangunan HTI merupakan jawaban yang paling tepat dan rasional karena memiliki berbagai kelebihan. Di satu sisi dapat mengatasi persoalan kerusakan hutan dan di sisi lain mampu mempertahankan kelangsungan dan keberlanjutan peran sosial ekonomi hutan yang tercermin dari keberadaan industri kehutanan. Perbedaan mendasar penyelenggaraan pembangunan hutan berbasis hutan alam dengan pembangunan hutan berbasis budidaya hutan terletak pada perubahan bentuk pengusahaan dari pemungutan menjadi bentuk budidaya tanaman. Atas dasar tersebut pada awal dekade 1990-an, Pemerintah meluncurkan kebijakan pembangunan HTI yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI). Dalam kebijakan tersebut dinyatakan bahwa HPHTI adalah hak untuk
Universitas Sumatera Utara
mengusahakan hutan di dalam suatu kawasan hutan yang kegiatannya terdiri dari penanaman pemeliharaan, pemungutan, pengolahan hingga pemasaran. Hak itu diberikan selama jangka 35 tahun ditambah daur tanaman pokok yang diusahakan. Sesuai dengan konsepsi kebijakan pembangunan HTI, Pemerintah sesungguhnya telah memiliki sebuah rancangan dalam upaya mewujudkan kelestarian hutan dan keberlanjutan peran industri kehutanan. Intinya, pembangunan hutan tanaman merupakan jawaban bagi kelestarian sumber daya hutan (Yudhiwati, 2010). Pembangunan HTI mempunyai 3 sasaran utama yang dapat dicapai yakni sasaran ekonomi, ekologi dan sosial. Berdasarkan sasarannya, maka pembangunan HTI tentunya harus memberikan pengaruh positif terhadap kehidupan ekonomi, sosial, dan lingkungan masyarakat disekitar kawasan HTI. Dalam mewujudkan pembangunan HTI maka banyak pihak dan stakeholder yang terlibat, salah satunya adalah masyarakat tepatnya masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan. Adanya peran dan partisipatif dari masyarakat sekitar, baik dalam memberikan dukungan material maupun nonmaterial serta bekerjasama dengan pihak lainnya yang terlibat dapat memperlancar dan mempercepat pelaksanaan pembangunan HTI. Oleh karena itu, masyarakat disekitar kawasan hutan tentu akan terkena pengaruh dari pembangunan HTI baik dari segi sosial maupun ekonomi (Anjasari, 2009). Hutan Tanaman Industri (HTI) pada saat ini menghadapi tantangan yang cukup berat berkaitan dengan adanya ketimpangan kebutuhan bahan baku industri dengan kemampuan produksi kayu secara lestari. Permintaan kayu oleh industri hasil hutan yang semakin meningkat harus dapat dipenuhi oleh HTI. Permasalahan yang timbul adalah persediaan kayu HTI semakin lama semakin menurun sebagai akibat kurangnya pohon yang layak untuk ditebang. Keadaan tersebut mendorong HTI untuk melakukan penanaman tanaman cepat tumbuh (fast growing). Salah satu tanaman yang diajukan oleh Departemen Kehutanan sebagai tanaman pokok industri kehutanan adalah Eucalyptus spp.
Universitas Sumatera Utara
Tanaman Eucalyptus -
Sejarah Eucalyptus Sistematika atau taksonomi tanaman Eucalyptus hybrid adalah sebagai berikut:
Divisio : Spermatophyta Sub Divisio
: Angiospermae
Class
: Dycotyledone
Ordo
: Myrtiflorae
Famili
: Myrtaceae
Genus
: Eucalyptus
Species
: Eucalyptus grandis (x) Eucalyptus urophylla (Eucalyptus hybrid) Eucalyptus spp.
merupakan salah satu tanaman yang bersifat fast growing
(tanaman cepat tumbuh). Eucalyptus spp. juga dikenal sebagai tanaman yang dapat bertahan hidup pada musim kering. Tanaman ini mempunyai sistem perakaran yang dalam namun jika ditanam di daerah dengan curah hujan sedikit maka perakarannya cenderung membentuk jaringan rapat dekat permukaan tanah untuk memungkinkan menyerap setiap tetes air yang jatuh di cekaman tersebut. Eucalyptus spp. merupakan salah satu jenis tanaman yang dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman Industri. Kayu Eukaliptus digunakan antara lain untuk bangunan di bawah atap, kusen pintu dan jendela, kayu lapis, bahan pembungkus korek api, pulp dan kayu bakar. Beberapa jenis digunakan untuk kegiatan reboisasi (Poerwowidodo, 1991). Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan, Eucalyptus spp. memiliki banyak kelebihan dibanding penanaman tanaman lain baik dari segi manfaat kayu maupun dari segi pertumbuhannya. Dari segi manfaat kayunya Eucalyptus spp. dapat digunakan untuk bahan bangunan, kusen pintu dan jendela, kayu lapis, bahan pembungkus, korek api, dan sebagai bahan pulp dan kertas. Daun dan cabang Eucalyptus spp. dapat menghasilkan minyak yang digunakan untuk kepentingan farmasi, misalnya
Universitas Sumatera Utara
untuk obat gosok, obat batuk, parfum, deterjen, desinfektan dan pestisida (Sutisna dkk, 1998). -
Penyebaran dan habitat Daerah penyebaran Eucalyptus spp. meliputi Australia, New Britania, Papua, dan
Tazmania. Beberapa spesies Eucalyptus juga ditemukan di Irian Jaya, Sulawesi, NTT, dan Timor-Timur. Genus Eucalyptus spp. terdiri atas 500 spesies yang kebanyakan endemik di Australia. Hanya ada 2 spesies yang tersebar di wilayah Malesia (Maluku, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Filipina) yaitu Eucalyptus urophylla dan Eucalyptus deglupta. Beberapa spesies menyebar di Australia bagian utara menuju bagian timur. Spesies ini banyak tersebar di daerah-daerah pantai New South Wales dan Australia bagian barat daya. Pada saat ini, beberapa spesies ditanam di luar daerah penyebaran alami, misalnya di Benua Asia, Afrika bagian Tropika dan Subtropika, Eropa bagian Selatan, Amerika Tengah (Mardin, 2009). -
Persyaratan tempat tumbuh Jenis Eucalyptus spp. merupakan jenis yang tidak membutuhkan persyaratan
yang tinggi terhadap tanahdan tempat tumbuhnya, jenis Eucalyptus spp. termasuk jenis yang sepanjang tahun tetap hijau dan sangat membutuhkan cahaya. Kayunya mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi untuk dipakai sebagai kayu gergajian, konstruksi, vinir, bahan pulp dan kertas, oleh karena itu jenis tanaman ini cenderung untuk selalu dikembangkan. Dari segi pertumbuhannya Eucalyptus spp. merupakan salah satu tanaman yang bersifat fast growing (tanaman cepat tumbuh). Eucalyptus spp. juga dikenal sebagai tanaman yang dapat bertahan hidup pada musim kering. Tanaman Eucalyptus spp. mempunyai sistem perakaran yang dalam namun jika ditanam di daerah dengan curah hujan sedikit maka perakarannya cenderung membentuk jaringan rapat dekat permukaan
Universitas Sumatera Utara
tanah untuk memungkinkan menyerap setiap tetes air yang jatuh di cekaman itu (Poerwowidodo, 1991) Syarat tumbuh tegakan Eucalyptus spp. Jenis-jenis Eucalyptus spp. terutama menghendaki iklim bermusim (daerah arid) dan daerah yang beriklim basah dari tipe hujan tropis. Jenis Eucalyptus spp. tidak menuntut persyaratan yang tinggi terhadap tempat tumbuhnya. Eucalyptus spp. dapat tumbuh pada tanah yang dangkal, berbatu-batu, lembab, berawa-rawa, secara periodik digenangi air, dengan variasi kesuburan tanah mulai dari tanah-tanah kurus, gersang, sampai tanah yang baik dan subur. Jenis Eucalyptus spp. dapat tumbuh di daerah beriklim A sampai C dan dapat dikembangkan mulai dari dataran rendah sampai daerah pegunungan yang tingginya per tahun yang sesuai bagi pertumbuhannya antara 0-1 bulan dan suhu rata-rata pertahun 20-32oC. Jenis tanah yang digunakan dalam pertanaman Eucalyptus spp. ini adalah jenis tanah litosol dan regosol podsolik (Darwo, 1997). Sistem Informasi Geografi Sistem
Informasi
Geografis atau Geographic Information
Sistem (GIS)
merupakan suatu sistem informasi yang berbasis komputer, dirancang untuk bekerja dengan menggunakan data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Teknologi GIS mengintegrasikan operasi-operasi umum database, seperti query dan analisis statistik, dengan kemampuan visualisasi dan analisis yang unik yang dimiliki oleh pemetaan. Kemampuan inilah yang membedakan GIS dengan sistem informasi lainya yang membuatnya menjadi berguna untuk berbagai kalangan untuk menjelaskan kejadian, merencanakan strategi, dan memprediksi apa yang terjadi. Sistem ini pertama
kali
diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1972 dengan nama Data Banks for Develompment (Aini, 2007). Munculnya istilah sistem informasi geografis seperti sekarang ini setelah dicetuskan oleh General Assembly dari International Geographical Union di Ottawa
Universitas Sumatera Utara
Kanada pada tahun 1967. Dikembangkan oleh Roger Tomlinson, yang kemudian disebut CGIS (Canadian GIS), digunakan untuk menyimpan, menganalisis dan mengolah data yang dikumpulkan untuk Inventarisasi Tanah Kanada (Canadian Land Inventory) sebuah inisiatif untuk mengetahui kemampuan lahan di wilayah pedesaan Kanada dengan memetakan berbagai informasi pada tanah, pertanian, pariwisata, alam bebas, unggas dan penggunaan tanah pada skala 1:250.000. Sejak saat itu sistem informasi geografis berkembang di beberapa benua. Seperti di negara-negara yang lain, di Indonesia pengembangan GIS dimulai di lingkungan pemerintahan dan militer. Perkembangan GIS menjadi pesat semenjak ditunjang oleh sumberdaya yang bergerak di lingkungan akademis (kampus) (Aini, 2007). Sistem informasi geografis dapat dimanfaatkan untuk mempermudah dalam mendapatkan data-data yang telah diolah dan tersimpan sebagai atribut suatu lokasi atau obyek. Data-data yang diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri atas data spasial dan data atribut dalam bentuk digital.
Sistem ini merelasikan data spasial (lokasi geografis)
dengan data non spasial, sehingga para penggunanya dapat membuat peta
dan
menganalisis informasinya dengan berbagai cara. SIG merupakan alat yang handal untuk menangani data spasial, dimana dalam SIG data dipelihara dalam bentuk digital sehingga data ini lebih padat dibanding dalam bentuk peta cetak, tabel, atau dalam
bentuk
konvensional lainya yang akhirnya akan mempercepat pekerjaan dan meringankan biaya yang diperlukan (Prahasta, 2009). Teknologi sistem informasi geografi (SIG) dirasa dapat memenuhi keperluan penyajian informasi yang cepat, mudah dan tepat sesuai dengan yang diperlukan oleh instansi yang terkait. Dengan menggunakan SIG maka selain disajikan dalam bentuk teks biasa juga akan disajikan dalam bentuk grafik khususnya dalam bentuk peta yang menggambarkan wilayah, sehingga informasi menjadi lebih cepat diperoleh dan lebih mudah untuk dipahami (Infrastruktur Sumber Daya Alam, 2002).
Universitas Sumatera Utara
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN PT. Toba Pulp Lestari (TPL), Tbk. merupakan jenis perusahaan kayu serat dengan produk berupa pulp yang terletak pada 01°-03° LU dan 98°15’00” 100°00’00” BT. Secara geografis terletak di Desa Sosor Ladang, Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) yang dimiliki oleh PT. TPL, Tbk. terletak pada beberapa kabupaten di Sumatera Utara dengan luas izin HPHTI berdasarkan SK. Menhut No. 493/Kpts-II/1992 seluas 269.060 ha dengan jangka pengelolaan 43 tahun. Selain HPHTI, PT. TPL, Tbk. juga memiliki izin pemanfaatan pinus berdasarkan SK. Menhut No. 236/Kpts-IV/1984 seluas 15.763 ha. Luas total areal pengelolaan PT. TPL, Tbk. adalah 284.816 ha. Areal konsesi PT. TPL, Tbk. terdiri dari enam sektor yang terletak pada kabupaten yang berbeda, yakni: 1. Sektor Tele, terletak pada 02°15’00” – 02°50’00” LU dan 98°20’00” – 98°50’00” BT, meliputi Kabupaten Samosir (Kecamatan Harian Boho), Kabupaten Pak-pak Bharat (Kecamatan Salak dan Kerajaan) dan Kabupaten Dairi (Kecamatan Sumbul, Parbuluan, dan Sidikalang). 2. Sektor Aek Nauli, terletak pada 02°40’00” – 02°50’00” LU dan 98°50’00” – 99°10’00” BT, meliputi Kabupaten Simalungun (Kecamatan Dolok Panribuan, Tanah Jawa, Sidamanik, Jorlang Hataran, dan Girsang Sipangan Bolon). 3. Sektor Habinsaran, terletak pada 02°07’00” – 02°21’00” LU dan 99°05’00” – 99°18’00” BT, meliputi Kabupaten Toba Samosir (Kecamatan Habinsaran, Silaen, dan Laguboti).
4. Sektor Aek Raja/Tarutung, terletak pada 01°54’00” – 02°15’00” 98°42’00” – 98°58’00” BT, meliputi Kabupaten Tapanuli Utara (Kecamatan Siborong-borong, Sipahutar, Gaya Baru Tarutung, Adian Koting, dan Parmonangan) Kabupaten
Universitas Sumatera Utara
Humbang Hasundutan (Kecamatan Dolok Sanggul, Lintong Ni Huta, Onan Ganjang, dan Parlilitan). 5. Sektor Padang Sidempuan, terletak pada 01°15’00” – 02°15’00” LU dan 99°13’00” – 99°33’00” BT, meliputi Kabupaten Tapanuli Selatan (Kecamatan Padang Bolak, Sosopan, Padang Sidimpuan, Sipirok) dan Kabupaten Tapanuli Tengah (Kecamatan Sorkam dan Batang Toru). Kondisi Umum Sektor Aek Nauli Penelitian dilakukan di Sektor Aek Nauli, terletak pada 02°40’00” – 02°50’00” LU dan 98°50’00” – 99°10’00” BT. Keadaan lahan Sektor Aek Nauli seluruhnya adalah kering dengan ketingian 250-1.700 m dpl. Jenis tanah di daerah penelitian adalah Dystropepts, Hydrandepts, Dystrandepts, Humitropepts dan jenis batuan Tapanuli, Peusangan, Sihapas, Vulkan Tersier, dan Toba. Sektor Aek Nauli beriklim A (sangat basah) menurut klasifikasi Schmidt Fergusson; 1951, dengan curah hujan rata-rata 238 mm bulan tertinggi Oktober dan bulan terendah Agustus. Sungai /anak sungai yang terdapat di areal kerja adalah Bah Parlianan, Bah Mabar, Bah Boluk, Bah Haposuk.
Universitas Sumatera Utara