BAB II DASAR TEORI 2.1 Pemanasan Global Temperatur bumi bergantung pada keseimbangan energi yang masuk ke bumi, dan keluar dari bumi. Saat energi panas matahari diserap bumi, suhu permukaan bumi meningkat. Saat energi panas matahari dipantulkan kembali keluar angkasa, suhu di permukaan bumi menurun. Salah satu faktor yang menyebabkan terganggunya keseimbangan energi di sistem bumi kita adalah efek rumah kaca (Environmental Protection Agency, 2007). Pada dasarnya gas-gas rumah kaca adalah gas-gas yang secara alami dibutuhkan oleh bumi untuk membantu mengatur suhu di permukaan bumi agar dapat mendukung kehidupan makhluk hidup. Tanpa adanya gas-gas rumah kaca maka suhu di bumi akan sangat dingin dan tidak memungkinkan adanya kehidupan (Environmental Protection Agency, 2007). Namun kondisi yang terjadi saat ini, emisi karbon yang dihasilkan oleh penggunaan bahan bakar fosil yang berlebihan, mengakibatkan konsentrasi gas rumah kaca dalam jumlah besar di atmosfer bumi. Untuk menunjang kelangsungan hidupnya, manusia sangat bergantung pada bahan bakar fossil. Kegiatan-kegiatan industri khusus-nya di negara-negara maju, tidak lepas dari kebutuhan akan bahan bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil ini meng-emisikan gas-gas rumah kaca yang bisa membahayakan bila terkumpul dalam jumlah besar. Akibatnya, radiasi yang seharusnya dipantulkan keluar angksa, terperangkap
oleh gas-gas rumah kaca. Fenomena ini dapat
mengakibatkan kenaikan suhu rata-rata bumi. Peningkatan suhu rata-rata di permukaan bumi disebut dengan pemanasan global (Environmental Protection Agency, 2007). 2.2 Gas-gas Rumah Kaca Gas rumah kaca adalah gas-gas yang berpotensi menjebak radiasi panas matahari tetap di atmosfer. Gas – gas rumah kaca dihasilkan dari emisi gas buang hasil sisa pembakaran bahan bakar fosil. Gas rumah kaca terdiri dari : 1.
Karbon Dioksida ( CO2 )
2.
Metana ( CH4 ) 8
3.
Nitrous Oksida ( N2O )
4.
Gas – gas Florin
Semakin banyak gas – gas rumah kaca di-emisikan, semakin banyak konsentrasi gas rumah kaca yang terperangkap di atmosfer mengakibatkan radiasi yang terjebak semakin banyak dan terus mengakibatkan peningkatan suhu di permukaan bumi di atas normal (Environmental Protection Agency, 2007). Fenomena ini dinamakan Efek rumah kaca. Gambar 2.1 menunjukan proses terjadinya efek rumah kaca.
Gambar 2.1 Ilustrasi efek rumah kaca (IPCC 2007)
2.2.1
Karbon Dioksida
Karbon dioksida merupakan gas yang paling banyak diemisikan oleh manusia. Pada tahun 1700, konsentrasi karbon dioksida yang terdapat pada lapisan atmosfer bumi diperkirakan sebesar 280 ppm (parts per million). Sekarang, konsentrasi gas Karbon dioksida yang terdapat pada lapisan atmosfer bumi diperkirakan sebesar 390 ppm (Pidwirny, 1994). Kenaikan konsentrasi gas karbon dioksida yang cukup drastis ini disebabkan karena adanya revolusi industri. Dari keseluruhan konsentrasi gas karbon dioksida yang terdapat pada lapisan atmosfer bumi, 65 % adalah hasil emisi bahan bakar fosil. 35 % sisanya, berasal dari penebangan hutan dan peralihan fungsi hutan 9
(Solomon, 2007). Salah satu upaya alami untuk mengurangi jumlah karbon dioksida di atmosfir adalah penyerapan gas tersebut oleh oleh vegetasi tumbuhan. 2.2.2
Stok Karbon
Pengamatan terhadap masalah-masalah yang ditimbulkan oleh peningkatan level CO2 di atmosfir menimbulkan perhatian serius terhadap peran tutupan lahan sebagai ‘penyimpan’ karbon atau dikenal sebagai stok karbon. Beberapa tutupan-lahan memegang peranan yang sangat penting dalam siklus karbon global karena dapat menyimpan sejumlah korbon pada biomassa vegetasi dan tanah (Pusat Infrastuktur data Spasial, 2008). Peningkatan penyerapan cadangan karbon dapat dilakukan dengan (a) meningkatkan pertumbuhan biomasa hutan secara alami, (b) menambah cadangan kayu pada hutan yang ada dengan penanaman pohon atau mengurangi pemanenan kayu, dan (c) mengembangkan hutan dengan jenis pohon yang cepat tumbuh (Sedjo and Salomon,1988). Karbon yang diserap oleh tanaman disimpan dalam bentuk biomasa kayu, sehingga cara yang paling mudah untuk meningkatkan cadangan karbon adalah dengan menanam dan memelihara pohon (Lasco et al., 2004).
Stok karbon merupakan kuantitas carbon yang terkandung pada sebuah “pool” yaitu suatu reservoir atau sistem yang memiliki kapasitas untuk mengakumulasi atau melepaskan karbon (FAO Forestry Terms and definitions). Mengukur stok karbon meliputi stok karbon diatas tanah (Aboveground biomass ) dan karbon tanah. Pada dasarnya cadangan karbon diestimasi dari besarnya biomasa suatu pohon, yaitu sebesar 46% dari jumlah biomassa (Hairiah dan Rahayu, 2007). Menurut Baral, (2011) biomassa dapat diartikan sebagai berat kering dari tumbuhan, yang terdiri dari biomassa di atas tanah (above ground biomass biasa disingkat AGB) dan biomassa di bawah tanah (below ground biomass biasa disingkat BGB). AGB adalah biomassa dari semua bagian tumbuhan yang berada di atas tanah, sedangkan BGB adalah biomassa dari akar-akar hidup yang berdiameter lebih dari 2 mm. Karbon dioksida yang diserap oleh tumbuhan disimpan dalam AGB dan BGB, namun penyimpanan terbesar karbon dioksida dan memiliki hubungan langsung pada deforestasi dan degradasi hutan terdapat pada AGB (Gibbs, et al., 2007). 10
Biomassa pohon diestimasi dengan menggunakan perhitungan yang ditunjukan pada persamaan (1) sebagai berikut (Brown, 1997) :
BK
= 0,118 D 2,53………………………………………….(1)
Dimana BK = Berat kering (kg) D = keliling batang pada ketinggian 1,3 m/π π = 3.14155927 Konsentrasi karbon dalam bahan organik biasanya sekitar 46% (Hairiah dan Rahayu, 2007), oleh karena itu estimasi jumlah karbon tersimpan dapat dihitung dengan perhitungan yang tertera pada persamaan (2): Karbon tersimpan (C ton/ha) = Berat kering biomassa atau nekromassa (ton/ha) x 0,46………………………………………………………………(2) Dalam pendugaan cadangan karbon pada tegakan pohon, dibuat plot pengukuran yang dibagi berdasarkan besarnya diameter pohon. Untuk pohon dengan diameter > 30 cm pengukuran dilakukan pada plot berukuran 20 x 100 m2 (disebut sebagai plot besar), sementara untuk pohon dengan diameter 5 – 30 cm pengukuran dilakukan pada plot berukuran 5 x 40 m2 yang terletak di dalam plot besar (Gambar 2.2).
Gambar 2.2 Plot pengukuran data stok Karbon pengukuran lapangan (PIDS 2008)
Selanjutnya Dilakukan pengukuran keliling pohon dengan cara melilitkan pita ukur disekeliling pohon pada ketinggian 1,3 m dari atas permukaan tanah (Gambar 2.3).
11
Gambar 2.3 Pengukuran Sampel Pohon (PIDS 2008)
Hasil pengukuran keliling batang kemudian dikonversi menjadi diameter batang (diameter at breast height/dbh) (diameter = keliling batang/ π). Perhitungan stok karbon pada penelitian ini menggunakan metode penginderaan jauh dengan satelit Landsat-5 TM yang merupakan satelit Optis sehingga hanya dapat memantau stok karbon di atas tanah. Namun konsentrasi karbon dioksida yang disimpan biomassa atas tanah lebih dominan jika dibandingkan cadangan karbon dibawah tanah (PIDS, 2008). Menurut Hairiyah (2007), pengukuran jumlah karbon (C) yang disimpan dalam tanaman hidup (biomassa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya karbon
di atmosfer yang diserap oleh tanaman.
Sehingga informasi stok karbon, dapat dijadikan suatu indikator pertumbuhan, kondisi, dan potensi dari tumbuhan itu sendiri dalam menyerap karbon (Krisnawati & Imanudin, 2011).
2.3 Landsat 5 TM Landsat pada awalnya disebut dengan nama ERTS-1 (Earth Resource Technology Satellite) yang diluncurkan pada tanggal 23 juli 1972 yang mengorbit hingga 6 Januari 1978 tepat sebelum peluncuran ERTS-B. Tanggal 22 Juli 1975, NASA secara resmi menangani program ERTS menjadi program Landsat sehingga ERTS-1 berubah menjadi Landsat 1 dan ERTS-B berubah menjadi Landsat 2. Landsat 2 berhenti beroperasi pada tahun 1981. Landsat 3 diuncurkan pada tanggal 5 Maret 1978 dan berhenti beroperasi pada tahun 1983. Landsat 4 diluncurkan pada Juli 1982 dan landsat 5 pada maret 1984. Landsat 4 berhenti beroperasi pada tahun 1993. 12
Landsat 6 gagal mencapai orbit karena terjadi kecelakaan yang dicoba diluncurkan pada tanggal 5 Oktober 1993. Landsat 7 diluncurkan pada tanggal 15 April 1999. Landsat 5 TM diluncurkan pada 1 Maret 1984. Landsat 5 dibuat dan didesain bersamaan dengan Landsat 4, membawa peralatan yang sama yaitu Multispectral Scanner System (MSS) dan Thematic Mapper (TM) instrumen. MSS instrumen tidak digunakan lagi sejak Agustus 1995. Sistem sensor TM pertama dioperasikan pada tanggal 16 Juli 1982 dan yang kedua pada tanggal 1 Maret 1984. Lebar sapuan (scanning) dari sistem Landsat TM sebesar 185 km, yang direkam pada tujuh saluran panjang gelombang dengan rincian; 3 saluran panjang gelombang tampak, 3 saluran panjang gelombang inframerah dekat, dan 1 saluran panjang gelombang termal (panas).
Sensor TM memiliki kemampuan untuk menghasilkan citra multispektral
dengan resolusi spasial, spektral dan radiometrik yang lebih tinggi daripada sensor MSS. Dalam penelitian ini, data penginderaan jauh yang digunakan adalah data citra satelit penginderaan jauh dari Satelit Landsat 5 TM band 1, 2, 3, 4, 5, dan band 7. Tabel 2-1 berupa penjabaran band citra Landsat-5 TM berdasarkan rentang spektrum gelombangnya :
Table 2-1 Band Citra Landsat-5 TM (Sumber NASA) No
Band
Spektrum
1
Band 1 – blue
2
Band 2 - green
3
Band 3 – red
4
Band 4 - Near Infrared
0.77-0.90
5
Band 5 – Short-wave Infrared
1.55-1.75
6
Band 6 – Thermal Infrared
10.40-12.50
7
Band 7 – Short-wave Infrared
2.09-2.35
0.45-0.52 0.52-0.60 0.63-0.69
2.4 Teknik Perhitungan Stok Karbon dengan Citra Landsat 5 TM Untuk menghitung daerah dengan cakupan yang luas, teknik penginderaan jauh efektif dilakukan. Salah satu metode penginderaan jauh dalam perhitungan stok karbon adalah dengan menggunakan data citra dari sensor optis. Menurut Gibbs, et al., (2007) konsep dasar dari penggunaan metode penginderaan jauh optis adalah 13
dengan memanfaatkan gelombang tampak dan inframerah untuk mengukur indeks spektral lalu dikorelasikan dengan data stok karbon hasil pengukuran lapangan. Keuntungan dari metode ini ialah data citra satelit optis yang tersedia secara rutin dan tidak dikenakan biaya serta konsisten secara global. Dalam penelitian ini, digunakan indeks spektral SR, NDVI, SAVI, MSAVI 2, GVI, WI, dan NDWI (sebagai variabel bebas) untuk dilakukan regresi (tunggal dan multiregresi) terhadap data stok karbon hasil pengukuran lapangan. Output dari proses regresi tersebut adalah model matematika untuk pendugaan stok karbon. Teknik-teknik pengolahan citra satelit yang digunakan dalam penelitian ini, akan dijelaskan pada sub-bab berikut: 2.4.1
Reduksi Outlier
Outlier adalah data pengamatan dengan nilai yang berada jauh dari pengamatanpengamatan yang lainnnya. Secara umum outliers dapat dikelompokan ke dalam 4 penyebab (Tukey, 1977) ,yaitu : 1.
Kesalahan prosedur
2.
Kejadian diluar kebiasaan dengan penjelasan
3.
Kejadian diluar kebiasaan tanpa penjelasan
4.
Tidak diluar kebiasaan tapi dengan kombinasi yang unik
Pada penelitian ini Outlier di evaluasi dengan cara Labeling Rule. Metode Labeling rule membatasi data dalam 2 rentang yaitu Upper boundary dan Lower boundary, yang dihitung pada persamaan (3) dan (4) sebagai berikut (Tukey, 1977) : Upper boundary = Q3+( Q3 – Q1 )*g……………….(3) Lower boundary = Q1-( Q3 – Q1 )*g……… ……….(4) Dimana Q1 merupakan Percentile 75 dari data pengamatan, Q3
merupakan
Percentile 25 dari data pengamatan, dan g merupakan multiplyer dengan nilai 2.2.
2.4.2 Penghilangan Daerah Laut Salah satu sumber error dari proses pengolahan citra satelit adalah adanya daerah lautan pada citra. Hal ini menyebabkan eror dikarenakan nilai digital number yang 14
ada pada daerah yang di tutupi oleh laut menjadi sangat rendah, dimana nilai digital number ini tidak dibutuhkan karena penelitian terfokus di daerah daratan. Karena itu perlu dilakukan proses penghilangan daerah laut dengan cara dijitasi daerah yang diliputi laut sehingga hanya menyisakan daerah daratan.
2.4.3 Koreksi Radiometrik Pada saat gelombang elegtromagnetik dari sebuah sensor melintasi atmosfer, dapat terjadi beberapa fenomena yang menyebabkan gangguan pada proses perekaman citra seperti hamburan dan serapan (dimana fenomena ini menyebabkan citra tampak lebih cerah karena efek hamburan, dan lebih gelap karena efek serapan). Kondisi ini menyebabkan nilai yang terekam oleh citra satelit, bukan merupakan nilai sebenarnya (Sri Hartanti. 1994). Oleh karena perbedaan informasi itu, harus dilakukan suatu koreksi yakni dengan mengubah nilai digital setiap piksel (DN) ke nilai reflektan untuk setiap piksel pada citra satelit agar dapat dibaca dengan jelas dan di-interpretasikan sesuai kegunaan citra yang dipakai (Gao, 2009). Koreksi radiometrik juga diperlukan karena pendekatan yang digunakan untuk mengestimasi stok karbon berdasarkan nilai spektral citra dimana diperlukan nilai reflektansi yang akurat dari suatu objek di permukaan bumi.
Untuk mengubah DN ke nilai reflektan, maka DN harus diubah ke nilai radiansi terlebih dahulu, setelah itu nilai radiansi dikonversi ke nilai reflektansi (Smith, 2005). Radiansi didapatkan dari DN dengan perhitungan yang ditunjukan pada persamaan (5) sebagai berikut: 𝐿𝐿
−𝐿𝐿
𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 𝐿𝐿𝜆𝜆 = 𝐷𝐷𝐷𝐷 𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 −𝐷𝐷𝐷𝐷 𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀
𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀
. (𝐷𝐷𝐷𝐷 − 𝐷𝐷𝐷𝐷𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 ) + 𝐿𝐿𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 …………………(5)
Dimana L adalah nilai radiansi setiap piksel dalam (W m-2sr-1m-1), λ adalah band spektral, DNMIN = 1, DNMAX = 255, LMIN dan LMAX adalah nilai radiansi untuk setiap band pada DNMIN dan DNMAX. Dan DN merupakan nilai digital untuk setiap piksel pada citra satelit. citra satelit. Nilai LMINλ dan LMAXλ dalam (W m-2 sr-1 m-1) untuk data citra Satelit Landsat TM 5 band 1, 2, 3, 4, 5, dan 7 yang didapat dari file metadata citra tersebut, ditampilkan pada tabel 2-2. 15
Nilai radiansi diubah menjadi nilai reflektansi dengan persamaan (6):
ρ𝜆𝜆 =
𝜋𝜋.𝐿𝐿𝜆𝜆 .𝑑𝑑 2
𝐸𝐸𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 .cos (𝜃𝜃 𝑠𝑠 )
……………………………… (6)
Dimana ρ adalah nilai reflektansi pada lapisan atas atmosfir untuk setiap piksel pada citra, Lλ adalah nilai radiansi diperoleh dari persamaan 2.7, Esunλ adalah konstanta radiansi exoatmosferik matahari, θs adalah sudut zenith matahari dalam derajat, π sebesar 3.14159 dan d adalah jarak bumi-matahari dalam unit astronomi (UA). Pada tabel 2-2, disajikan nilai-nilai konstanta dalam perhitungan nilai reflektansi untuk data citra satelit Landsat band 1, 2, 3, 4, 5, dan 7 yang didapatkan dari file metadata masing-masing citra tersebut:
Tabel 2-2 Nilai-nilai konstanta perhitungan nilai reflektansi (Sumber: file metadata masing-masing citra)
2.4.4
Band
Esun
d2(UA)
1
1957
1.3042
2
1829
1.3042
3
1557
1.3042
4
1047
1.3042
5
219.3
1.3042
7
74.52
1.3042
cos θs 0.72424 0.72424 0.72424 0.72424 0.72424 0.72424
Lmax
Lmin
193
-1.52
365
-2.84
264
-1.17
221
-1.51
30.2
-0.37
16.5
-0.15
Koreksi Geometrik
Koreksi Geometrik adalah koreksi pada proses transformasi koordinat citra ke sistem koordinat referensi baru yang dianggap benar secara geometris. Proses ini dilakukan karena masih adanya kesalahan pada geometri citra, yang belum merepresentasikan geometri sebenarnya dari sebuah lokasi pengamatan. Kesalahan geometrik terjadi karena adanya kondisi tidak ideal pada sebuah sensor ketika merekam objek dilapangan. Akibatnya ukuran, posisi dan bentuk citra menjadi tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Dibutuhkan bantuan titik control tanah ( Ground Control Point ) sebagai titk sekutu (titik yang diketaui koordinatnya pada sistem referensi yang juga teridentifikasi pada citra) untuk melakukan proses transformasi koordinat pada citra Landsat 5 TM. Proses transformasi ini akan 16
menggunakan model transformasi affine-2D. Transformasi Affline 2D digunakan sebagai persamaan matematika untuk mentransformasikan nilai-nilai koordinat dari suatu sistem koordinat dua dimensi ke sistem koordinat dua dimensi lainya. Pada penelitian ini digunakan datum WGS 1984 dan sistem proyeksi UTM zona 48 bumi bagian selatan sebagai sistem koordinat acuan.
Persamaan dari transformasi affine-2D ditunjukan pada persamaan (7) dan (8) (Soedomo & Sudarman, 2004): 𝑋𝑋 = 𝑎𝑎 𝑥𝑥 + 𝑏𝑏 𝑦𝑦 + 𝐶𝐶1 …………………………….(7) 𝑌𝑌 = 𝑐𝑐 𝑥𝑥 + 𝑑𝑑 𝑦𝑦 + 𝐶𝐶2 …………………………….(8)
Dimana (X,Y) adalah koordinat baru sebuah titik pada sistem koordinat setelah transformasi, (x,y) adalah koordinat titik pada sistem koordinat sebelum transformasi, serta a, b, c, d, C1, dan C2 adalah parameter transformasi. Untuk mendapatkan ke-enam parameter transformasi, dibutuhkan minimal 3 titik sekutu.
Setelah dilakukan proeses tranformasi koordinat pada citra, ke sistem referensi baru yang dianggap benar secara geometris, dilakukan perhitungan nilai standar deviasi, sebagai parameter tingkat ketelitian geometris dari data GCP yang kita gunakan (Ramadhani, 2010).
Persamaan untuk perhitungan nilai standar deviasi ditunjukan pad persamaan (9) – (11) berikut: ∑𝑛𝑛 (𝑋𝑋𝑖𝑖 − 𝑋𝑋�𝑖𝑖 )2 𝜎𝜎𝑋𝑋 = � 𝑖𝑖=1 … … … … … … … … … … … . (9) 𝑛𝑛 − 𝑢𝑢 𝜎𝜎𝑌𝑌 = �
∑𝑛𝑛𝑖𝑖=1 (𝑌𝑌𝑖𝑖 − 𝑌𝑌�𝑖𝑖 )2 … … … … … … … … … … . . (10) 𝑛𝑛 − 𝑢𝑢
𝜎𝜎𝑋𝑋,𝑌𝑌 = �𝜎𝜎𝑋𝑋 2 + 𝜎𝜎𝑌𝑌 2 … … … … … … … … … … … … (11)
17
Dimana (X,Y) adalah koordinat citra hasil koreksi geometrik, (𝑋𝑋�, 𝑌𝑌�) adalah koordinat titik kontrol tanah pada bidang referensi, n adalah jumlah pengamatan, u adalah jumlah parameter, σX adalah standar deviasi komponen X, σY adalah standar deviasi komponen Y, dan σX,Y adalah standar deviasi resultan. Untuk validasi ketelitian dari koreksi geometrik yang kita lakukan, dibutuhkan titik Independent Check Point (ICP) yang diletakan secara merata didalam kawasan cakupan GCP pada citra yang dikoresi. Tingkat ketelitian dari ICP dapat ditentukan oleh nilai dari akar kuadrat kesalahan rata-ratanya (Root Mean Square Error biasa disingkat RMSE). Perhitungan RMSE dari ICP tertera pada persamaan (12):
𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼 = �
∑𝑛𝑛𝑖𝑖=1(𝑋𝑋 𝑖𝑖 − 𝑋𝑋�𝑖𝑖 )2 + (𝑌𝑌𝑖𝑖 − 𝑌𝑌�𝑖𝑖 )2 𝑛𝑛
…………………….(12)
�, � Dimana (X,Y) adalah koordinat citra hasil koreksi geometrik, (X Y) adalah koordinat
titik kontrol tanah pada bidang referensi, dan n adalah jumlah pengamatan.
Keberhasilan proses koreksi geometrik dapat dilihat dari hasil perhitungan nilai standar deviasi GCP dan RMSEICP -nya. Secara umum nilai-nilai tersebut kurang dari satu pada setiap pixel. Apabila nilainya lebih besar dari satu, maka terdapat kemungkinan bahwa citra tersebut masih mengalami distorsi (Purwadhi & Santojo, 2008).
2.5
Vegetation Index (VI)
Indeks Vegetasi merupakan kombinasi pengukuran dua atau lebih band spectral dari spektrum gelombang elegtromagnetik yang berbeda untuk menghasilkan informasi tentang tutupan lahan di permukaan bumi (Campbell, 1996). Indeks vegetasi yang diperoleh dari citra satelit, merupakan salah satu sumber informasi penting untuk memonitor kondisi sebuah
vegetasi. Suatu Vegtasi dikatakan subur, jika
mengandung clorophil (Zat hijau daun) dalam jumlah besar sehingga aktif berfotosintesis atau dengan kata lain, aktif menyerap karbon. Fenomena penyerapan cahaya merah oleh klorofil (0.4 μm – 0.7 μm) pada vegetasi dan pemantulan cahaya inframerah dekat oleh jaringan mesofil (0.7 μm – 1.1 μm) pada daun akan membuat 18
nilai kecerahan yang diterima sensor berbeda (Sudiana & Diasmara, 2008). Sebuah satelit remote sensing, bisa mendeteksi seberapa optimal suatu tumbuhan menyerap karbon, dikarenakan adanya karakteristik yang berbeda pada saat tumbuhan dalam menyerap dan memantulkan spectrum gelombang tertentu (NIR dan RED) pada gelombang yang dipancarkan oleh sensor satelit.
Pada penelitian ini digunakan beberapa indeks vegetasi dalam pendekatan perhitungan cadangan karbon yaitu : Simple Ratio (SR), Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Soil Adjusted Vegetation Index (SAVI), Modified Soil Adjusted Vegetation Index 2 (MSAVI 2), Green Vegetation Index (GVI). 2.5.1
Simple Ratio Vegetation Index (SR)
Simple Ratio Vegetation Index (SR) pertama kali dikembangkan oleh Jordan (1969). Simple Ratio memanfaatkan perbedaan karakteristik antara tumbuhan subur dan tidak subur, ketika bereaksi pada radiasi spektrum gelombang NIR dan RED. Dari fenomena tersebut, dibuat rasio dengan melakukan perbandingan NIR dan RED dari sebuah citra yang terekam. Kelebihan dari metode ini adalah mengurangi pengaruh efek atmosfer dan efek dari topografi. Kekurangan dari indeks vegetasi SR adalah mudah tersaturasi di daerah dengan densitas vegetasi yang padat. Range nilai dari SR mulai dari 0 sampai 30.
2.5.2 Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) Normalized Difference Vegetation Index diperkenalkan oleh Rouse et al. (1974) dengan tujuan memodifikasi indeks Simple Ratio (SR) dimana indeks Simple Ratio menunjukan nilai yang terlalu besar untuk daerah dengan densitas vegetasi tinggi. Indeks ini menggunakan rasio antara band NIR dan RED dengan persamaan yang dinormalisasi. NDVI merupakan indeks vegetasi yang paling banyak digunakan karena kemampuanya untuk meminimalisir kesalahan akibat buruknya kondisi topografi. NDVI juga disukai karena perhitunganya yang linear dan sederhana. Skala NDVI memiliki rentang -1 sampai 1, dimana nilai 1 menunjukan daerah yang kaya akan vegetasi, nilai 0 menunjukan keadaan sangat sedikit vegetasi, dan nilai -1 menunjukan daerah bukan vegetasi.
19
2.5.3 Soil-Adjusted Vegetation Indices (SAVI ) Area dengan kondisi vegetasi yang minim, menonjolkan warna tanah yang cukup dominan. Hal ini bisa menyebabkan kesalahan pada proses perhitungan yang melibatkan indeks vegetasi. Soil-Adjusted Vegetation Index (SAVI) diperkenalkan oleh Huete (1988). SAVI merupakan modifikasi dari NDVI. SAVI bertujuan untuk meminimalisir kesalahan dari variasi warna tanah dengan melibatkan faktor koreksi L pada persamaan umum NDVI. Faktor koreksi L bervariasi tergantung dari karakteristik reflektansi dari tutupan vegetasi. Untuk daerah dengan tingkat densitas vegetasi yang sangat rendah, dipilih nilai faktor koreksi L sebesar 1. Untuk daerah dengan tingkat densitas vegetasi yang sangat tinggi, dipilih nilai faktor koreksi L sebesar 0.25. Faktor koreksi L= 0.5 paling banyak digunakan karena dapat mengakomodasi daerah vegetasi rendah dan tinggi. Pada penelitian ini, dipilih faktor koreksi 0.5 (Champagne, 2001). 2.5.4 Modified Soil-Adjusted Vegetation Indices 2 (MSAVI- 2) Modified Soil-Adjusted Vegetation Indices (MSAVI-1 and
MSAVI-2)
doperkenalkan pertamakali oleh Qi et al. (1994) adalah indeks vegetasi yang berbasis dari modifikasi faktor koreksi L dari SAVI. Kedua Indeks Vegetasi ini, bertujuan untuk memperbaiki tingkat kecerahan warna tanah dari tutupan vegetasi yang berbeda. Faktor koreksi L mengalami penurunan nilai pada vegtasi dengan densitas rendah dan sedang (Qi, et al., 1994). MSAVI-2, memodifikasi faktor koreksi L untuk memperbaiki noise warna tanah yang tidak terkoreksi pada NDVI dan memperbaiki akurasi nilai pada vegetasi dengan densitas tinggi.
2.5.5 Green Vegetation Index (GVI) Green Vegetation Index ditemukan oleh Kauth and Thomas pada tahun 1976 terdiri dari persamaan linear yang memiliki koefisien positif pada spectrum gelombang tampak dan koefisien negatif pada gelombang infrared dekat yang diperkirakan dapat meminimalisir efek dari warna tanah dan lebih sensitif terhadap zat hijau daun. Pada tabel 2-3, disajikan formula perhitungan matematis indeks vegetasi yang digunakan:
20
Table 2-3 Persamaan Indeks Vegetasi (Sumber: Fazel Amiri, 2009) Vegetation Index SR
Equation
Reference
(NIR/RED)
Tucker, 1979
NDVI
(NIR-RED)/(NIR+RED)
Tucker, 1979
SAVI
1.5(NIR-RED)/(NIR+RED+0.5)
Qi et al., 1994
(2NIR+1-[(2NIR+1)2-8(NIR-RED)]0.5)/2
Qi et al., 1994
MSAVI 2
GVI
BG-G-R+NIR+MIR-SWIR
Kauth and Thomas (1976)
2.5.6 Water Band Index Water Band Index adalah Index yang menggambarkan kondisi kadar air pada suatu wilayah.Water Index digunakan dalam penelitian ini, untuk mengakomodasi pengaruh kadar air yang terdapat pada suatu vegetasi, terhadap citra yang terekam. Aspek ini menjadi penting karena semakin tinggi kadar air pada suatu vegetasi, mengindikasikan kondisi vegetasi yang lebih sehat (Penuelas, Serrano, & R.Save, 1995). Pada penelitian ini digunakan 2 pendekatan water band index dalam pendugaan cadangan karbon yaitu: Water Index (WI), dan Normalized Difference Water Index (NDWI).
2.5.7 Water Index (WI) Jumlah air yang meningkat, secara drastis menyerap gelombang NIR dan MID Infrared yang mengakibatkan citra tampak lebih gelap ( (Environmental Protection Agency , Queensland). Water Index menggunakan rasio reflektansi dari NIR dan Shortwave Infrared, untuk mengkalkulasi absorsi dan penetrasi cahaya pada permukaan air, sehingga dapat mengestimasi kadar air pada wilayah yang direkam (Gao, 1995).
21
2.5.8 Normalized Difference Water Index (NDWI) Normalised difference water index (NDWI) diperoleh dengan menggunakan prinsip yang sama dengan perhitungan NDVI. Pada NDVI, daerah vegetasi dan tutupan lahan ditampilkan, dimana daerah perairan tampak lebih gelap dikarenakan perbedaan karakteristik dalam memantulkan radiasi gelombang (McFeeters 1996). Sebaliknya pada NDWI menunjukan dominasi dari daerah perairan karena penggunaan spectrum gelombang Green pada rentang (1.55 – 1.75 µm), memaksimalkan reflektansi air oleh objek yang terekam. Pada tabel 2-4, disajikan formula perhitungan matematis tiap-tiap Water band indeks:
Table 2-4 Water Band Index (Sumber: Fazel Amiri, 2009) Water Index
2.6
WI
Equation (NIR/RED)
Reference Serrano et all, 2000
NDWI
(Green-NIR)/(Green+NIR)
Serrano et all, 2000
Perhitungan Stok Karbon dengan pendekatan Regresi
Analisis regresi merupakan analisis yang mempelajari bagaimana membangun sebuah model fungsional dari data untuk dapat menjelaskan ataupun meramalkan suatu fenomena alami atas dasar fenomena yang lain (Soemartini, 2007). Tujuan utama dari analisis regresi adalah Gujarati (2006): 1.
Membuat estimasi rata-rata dan nilai variabel tergantung dengan didasarkan pada nilai variabel bebas.
2.
Untuk meramalkan nilai rata-rata variabel bebas dengan didasarkan pada nilai variabel bebas diluar jangkaun sample
Regresi digunakan untuk memodelkan hubungan antara variable terikat (Dependent Variabel) dengan variabel bebas (Independent Variabel). Variabel bebas (atau variabel tidak bergantung atau independent atau predictor atau X) merupakan variabel yang berubah-ubah tanpa adanya pengaruh variabel atau variabel-variabel 22
yang lain. Perubahan yang terjadi pada variabel bebas akan mengakibatkan perubahan pada variabel terikat. Variabel tidak bebas (atau variabel terikat atau dependent atau Y) merupakan variabel yang hanya akan berubah jika terjadi perubahan pada variabel bebas. Kedua jenis variabel tersebut dapat saling berhubungan satu sama lainya atau tidak. Bentuk hubungan antara variabel bebas (X) dan variabel terikat (Y) dapat berupa hubungan negatif atau positif dan hubungan linear atau nonlinear (Soemartini, 2007).
Hubungan linear dari dua variabel bila dinyatakan dalam bentuk persamaan linear ditunjukan pada persamaan (13) (Mason, 1996.) : Y = a + b1x1………………………….………………………………,,…………… (13) Hubungan linear lebih dari dua variabel bila dinyatakan dalam bentuk persamaan linear ditunjukan pada persamaan (14): Y = a + b1x1 + b2x2 ……bnxn +………………….………………….….….. (14)
Hubungan non-linear dari dua variabel bila dinyatakan dalam bentuk persamaan eksponensial ditunjukan pada persamaan (15): Y = exp (b0 + b1*X1)……………………………..…………….(15) Hubungan non-linear lebih dari dua variabel bila dinyatakan dalam bentuk persamaan exponential ditunjukan pada persamaan (16): Y = exp (b0 + b1*X1+ b2*X2+... + bn*Xn)…………….……………(16) Dimana : x, x1, x2……..xk = variabel-variabel a, b1, b2……..bk = bilangan konstanta koefisien variabel
Untuk keperluan evaluasi seberapa baik korelasi antara variabel-variabel yang digunakan, dihitung koefisien determinasi (R-square atau R2). Nilai R2 memiliki rentang dari 0 sampai 1. Semakin mendekati 1 nilai sebuah R2 dari model matematika hasil perhitungan regresi, semakin baik kualitas model tersebut. R2 23
bernilai 0 artinya variabel bebas dan variabel terikat yang digunakan untuk persamaan regresi tidak saling berkorelasi. Pada persamaan (17) ditunjukan persamaan umum perhitungan nilai R2 adalah (Anto dan Dajan, 1991):
R2 =
b1 ∑ x1 y + b 2 ∑ x 2 y
∑y
2
………………………………………….. (17)
Dimana : x, x1, x2……..xk = variabel-variabel a, b1, b2……..bk = bilangan konstanta koefisien variabel
Pada penelitian ini dilakukan proses regresi linear tunggal, regresi exponential tunggal, multiregresi linear, dan multiregresi exponential untuk dibuat model matematika pendugaan stok karbon.
24