4
TINJAUAN PUSTAKA Pangan Siap Santap Pangan siap santap atau ready to eat food (RTE) adalah pangan yang umumnya telah diproses melalui proses pemanasan (Dewanti & Haryadi 2005). Contoh RTE adalah buah-buahan dan sayuran segar yang telah mengalami perlakuan minimal, salad, sandwich, daging/ayam/ikan yang telah dimasak, roti, dan acar. Menurut Dewanti dan Haryadi (2005) terdapat perbedaan pendapat antara Food and Drug Administration (FDA) dan Food Safety and Inspection Service (FSIS) dalam mendefinisikan RTE. Food Safety and Inspection Service (FSIS) mendefinisikan RTE sebagai semua produk olahan yang mengandung daging atau produk unggas yang telah dimasak sempurna sebelum dikonsumsi. Sementara itu FDA tidak menganggap produk pangan yang telah dimasak atau mendapat perlakuan panas lainnya sebagai RTE. Pangan siap santap harus dihindarkan dari pertumbuhan mikroorganisme dengan cara mengontrol suhu penyimpanannya. Suhu yang aman untuk menyimpan RTE adalah di bawah 4 °C atau di atas 60 °C (Jay 1996). Menurut Dewanti dan Hariyadi (2005), germinasi spora dapat terjadi jika RTE lambat mencapai suhu di bawah 4 °C atau tidak mengalami pemanasan ulang yang cukup hingga 60 °C. Sementara itu, jika suhu RTE tidak dijaga pada batas suhu aman, maka dapat terjadi pertumbuhan bakteri yang berasal dari kontaminasi silang. Kontaminasi silang dapat terjadi jika RTE tidak dipisahkan dari makanan mentah. Kontaminasi RTE juga dapat terjadi melalui kontak langsung manusia atau wadah yang telah tercemar oleh mikroorganisme dari manusia (Eley 1992). Menurut SFC (2004) RTE tidak boleh ditangani menggunakan tangan secara langsung melainkan dengan menggunakan sarung tangan, sendok, garpu, spatula, atau penjepit yang diyakini bersih. Higiene Sanitasi Rumah Makan dan Jasa Boga Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 715/Menkes/SK/V/2003 tentang Persyaratan Higiene Sanitasi Jasa Boga, jasa boga adalah perusahaan atau perorangan yang melakukan kegiatan pengelolaan makanan yang disajikan di luar
5
tempat usaha atas dasar pesanan. Jasa boga dapat digolongkan menjadi beberapa golongan
berdasarkan
kapasitas
pengolahan,
jangkauan
pelayanan,
dan
kemungkinan besarnya risiko masyarakat yang dilayani (Kepmenkes RI 2003). Penggolongan tersebut adalah Golongan A, Golongan B, dan Golongan C. Penggolongan tersebut dianggap penting karena semakin tinggi kapasitas pengolahan dan jangkauan pelayanan maka semakin besar pula tuntutan akan adanya pengelolaan yang profesional. Pengelolaan yang profesional ini diharapkan dapat menekan terjadinya risiko pencemaran pada pangan yang diolah. Setiap usaha Jasa Boga/ usaha Katering di Indonesia menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 715/Menkes/SK/V/2003 diharuskan memiliki sertifikat Laik Higiene Sanitasi jasa boga yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan. Higiene adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan subjeknya seperti mencuci tangan dengan air bersih dan sabun (Depkes RI 2006). Higiene digunakan untuk menggambarkan penerapan prinsipprinsip sanitasi untuk melindungi kesehatan (Marriot 1999). Higiene merupakan suatu pencegahan penyakit yang menitikberatkan pada usaha kesehatan perorangan atau manusia beserta lingkungan tempat orang tersebut hidup. Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan lingkungan dari subjeknya (Depkes RI 2006). Sanitasi berasal dari kata latin”sanus”yang berarti bersih atau sehat. Sanitasi mengandung dua pengertian yaitu usaha pencegahan penyakit dan kesehatan lingkungan hidup. Sanitasi merupakan usaha pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor lingkungan yang berkaitan dengan rantai perpindahan penyakit. Sanitasi dalam pengolahan pangan adalah penciptaan atau pemeliharaan kondisi yang mampu mencegah terjadinya kontaminasi makanan atau terjadinya penyakit yang disebabkan oleh makanan (Marriot 1999). Persyaratan mengenai higiene fasilitas suatu kantin atau rumah makan yaitu tata letak kelengkapan ruang produksi diatur agar tidak terjadi kontaminasi silang, tersedianya air bersih yang cukup dan memadai selama proses produksi, terdapat fasilitas mencuci tangan dan toilet dalam keadaan bersih, mengurangi kemungkinan masuknya hama ke ruang produksi yang akan mencemari pangan, dan tersedia tempat penyimpanan yang baik agar dapat menjamin mutu dan
6
keamanan bahan dan produk pangan yang diolah (BPOM RI 2003). Penyimpanan bahan makanan yang baik yaitu menyimpan dalam wadah tertutup untuk mencegah kontaminasi dari hama (Cuprasitrut et al. 2011). Saluran pembuangan air, baik air sisa pencucian bahan makanan maupun pembuangan sisa makanan yang cair, serta air kotor dari pencucian alat dapur dan alat saji sedapat mungkin harus berjalan lancar. Apabila saluran tersebut terletak di bagian dapur maka sebaiknya sepanjang saluran tertutup dengan alat yang dibuka atau ditutup untuk memudahkan perbaikan apabila terjadi kemacetan aliran air. Saluran air ini berfungsi juga untuk pembuangan air sewaktu membersihkan lantai dapur. Menurut CAC (2003) ketersediaan air yang cukup dengan tempat penyimpanan yang memadai dan kontrol suhu yang tepat harus tersedia untuk menjamin keamanan makanan. Air untuk diminum harus terpisah dari air yang digunakan untuk tujuan lain, seperti mencuci, agar tidak terjadi kontaminasi silang. Persyaratan higiene fasilitas kantin lainnya yaitu peralatan harus mudah untuk dibersihkan (Aarnisalo et al. 2006). Peralatan yang berkontak dengan makanan harus dibersihkan sebelum dan setelah digunakan, khususnya untuk pisau dan talenan. Semua peralatan yang telah dicuci bersih sebaiknya tidak ditumpuk dalam keadaan basah. Hal ini dikarenakan air yang tertinggal dalam peralatan yang masih basah akan memungkinkan terdapat sisa mikroorganisme yang terus berkembang biak. Peralatan harus disimpan dalam keadaan kering (HITM 2006). Masalah lain dari higiene fasilitas yaitu lantai yang kotor dan berdebu (Cuprasitrut et al. 2011). Lantai dan meja harus dibersihkan dan didisinfeksi secara teratur untuk mengurangi potensi kontaminasi silang dan meminimalkan infestasi hama (TPH 2004). Kotoran dari bawah peralatan, di tiap sudut, dan pada daerah yang sulit dijangkau juga harus dibersihkan untuk mencegah dari kehadiran hama. Meja untuk menyimpan dan menyajikan makanan harus memiliki tinggi lebih dari 60 cm untuk mencegah kontaminasi dari hama atau serangga pengganggu (Cuprasitrut et al. 2011). Sampah merupakan salah satu penyebab tempat tercemarnya makanan. sehingga perlu disediakan tempat sampah yang tidak permanen agar mudah
7
dibersihkan dan diangkat pada setiap pusat-pusat bekerja, misalnya meja kerja, bak cuci bahan makanan, tempat pengolahan, dan tempat penyajian. Bak sampah pada umumnya terbuat dari plastik ringan dan lengkap dengan penutupnya. Sebelum tempat sampah tersebut digunakan sebaiknya dilapisi dulu dengan kantong plastik sampah. Sampah yang terbungkus tersebut bertujuan agar tidak mengundang lalat dan tidak berbau. Tempat sampah harus tersedia dan dibersihkan setiap kali dilakukan pembuangan ke tempat pembuangan umum. Daerah sekitar tempat sampah juga harus dijaga kebersihannya untuk mengurangi bau dan penyebaran mikroorganisme berbahaya (TPH 2004). Higiene Personal Pekerja Kantin sebagai Pengolah Makanan Sumber utama kontaminasi makanan oleh S. aureus berasal dari manusia. Kebanyakan S. aureus terdapat pada tangan pekerja sebagai komponen mikroorganisme endogen dan juga terdapat pada saluran hidung serta tenggorokan (Eley 1992). Pekerja yang menangani makanan merupakan sumber kontaminasi yang penting karena kandungan mikroorganisme patogen pada manusia dapat menimbulkan penyakit yang ditularkan melalui makanan. Manusia merupakan sumber potensial bagi mikroorganisme seperti S. aureus, Salmonella, Clostridium perfrigens dan Streptococcus yang berasal dari kotoran (tinja). Staphylococcus umumnya terdapat pada kulit, hidung, mulut, dan tenggorokan serta dapat dengan mudah dipindahkan ke dalam makanan (Jenie 1988). Jalur masuknya S. aureus ke dalam bahan pangan biasanya melalui jaringan kulit atau selaput lendir yang terluka seperti terpotong benda tajam, luka bakar, gigitan serangga, pengelupasan kulit, atau penyakit kulit lain. Oleh sebab itu, pekerja dengan luka pada kulit tidak diperbolehkan mengolah makanan terlebih jika disertai dengan praktik sanitasi yang buruk dikarenakan dapat memperbanyak jumlah S. aureus (Schaechter et al. 1993). Menurut Buckle et al. (1987) kebiasaan pribadi para pekerja dalam mengolah makanan merupakan sumber yang penting dalam pencemaran sekunder. Menurut Jenie (1988) sumber kontaminasi potensial ini terdapat selama jam kerja dari para penjual yang menangani makanan. Setiap kali tangan penjual kontak dengan bagian-bagian tubuh yang mengandung S. aureus maka tangan tersebut
8
akan terkontaminasi dan segera akan mengontaminasi makanan yang tersentuh. Perpindahan langsung S. aureus dari alat pernafasan ke makanan terjadi ketika batuk dan bersin tanpa menutup hidung dan mulut. Tangan dengan luka atau memar yang terinfeksi merupakan sumber stafilococcus virulen, demikian pula pada bagian tubuh lain yang terinfeksi. Mikroorganisme yang berasal dari saluran pencernaan dapat mencemari tangan penjual yang mengunjungi kamar kecil dan tidak mencuci tangannya dengan baik sebelum kembali bekerja. Mikroorganisme patogen yang berasal dari alat pencernaan yang menimbulkan penyakit melalui makanan adalah Salmonella, Streptococcus faecalis, Clostridium perfringens, Escheria coli, dan Shigella (Jenie 1988). Keberadaan S. aureus dalam bahan pangan erat kaitannya dengan higiene personal pekerja serta kebersihan lingkungan dan peralatan pengolahan. Pangan yang dilaporkan dalam berbagai KLB umumnya diolah dengan proses pemotongan, pemarutan, dan penggilingan yang melibatkan pekerja yang terkontaminasi. Staphylococcus aureus terdapat luas di alam dan pada bahan baku pangan sehingga penanganan yang kurang tepat dapat meningkatkan risiko keracunan pangan (Robinson et al. 2000). Menurut CAC (2003), higiene personal dalam menangani makanan meliputi: a)
Status kesehatan Orang yang menderita suatu penyakit atau diduga menjadi pembawa penyakit yang mungkin ditularkan melalui makanan seharusnya tidak diperbolehkan untuk memasuki area penanganan makanan. Pemeriksaan medis terhadap pekerja yang menangani makanan harus dilakukan jika menunjukkan gejala secara klinis maupun epidemiologis.
b)
Sakit dan Cidera Menurut Bas et al. (2006), pekerja yang menangani makanan dapat menjadi sumber mikroorganisme, baik selama menderita penyakit gangguan pencernaan atau selama dan setelah masa pemulihan, meskipun tidak terlihat lagi gejala klinisnya. Kondisi yang harus dilaporkan oleh pekerja untuk mendapatkan pemeriksaan medis sehingga tidak dapat menangani
9
makanan, yaitu sakit kuning, diare, muntah, demam, sakit tenggorokan dengan demam, lesio pada kulit (bisul, luka, dan lain-lain), discharge atau cairan yang keluar dari mata, telinga, atau hidung. c)
Kebersihan Personal Pekerja yang menangani makanan dapat menyebarkan mikroorganisme dari sumber yang terkontaminasi, misalnya dari bahan mentah ke makanan yang telah dimasak (Bas et al. 2006). Menurut Hall (1999), menjaga kebersihan pakaian setiap kali memasuki area produksi makanan merupakan standar utama yang perlu diperhatikan pada setiap orang yang menangani makanan. Idealnya, semua pakaian harus diganti setiap selesai bekerja dan lebih sering diganti jika dalam keadaan berminyak. Selain itu, beberapa
praktik
kebersihan
personal
lain
yaitu
memotong
dan
membersihkan kuku, serta mengobati dan menutup luka terbuka (NFSMI 2009). Tangan pekerja yang menangani makanan dapat menjadi vektor dalam penyebaran penyakit keracunan pangan karena kebersihan diri yang buruk atau kontaminasi silang (Bas et al. 2006). Hal ini menjadi penting bagi pekerja untuk selalu mencuci tangan. Selain mencuci tangan, pekerja yang menangani makanan juga disarankan untuk memakai sarung tangan. Sarung tangan tidak berarti menggantikan cuci tangan, tetapi untuk lebih memastikan keamanan pangan dan mencegah dari kontaminasi silang. Pemakaian sarung tangan plastik atau karet digunakan setelah mencuci tangan dengan bersih dan diganti setiap setelah menangani makanan (TPH 2004). d)
Perilaku Personal Pekerja yang menangani makanan harus menahan diri dari perilaku yang dapat mengakibatkan kontaminasi makanan, misalnya merokok, meludah, mengunyah atau makan, bersin atau batuk. Selain itu, pekerja juga harus menghindari pemakaian cat warna pada kuku dan tidak menggunakan perhiasan apapun di tangan saat memasak karena akan memungkinkan pencemaran pada makanan (Nel et al. 2004; NFSMI 2009).
10
Semua pekerja harus menyadari peran dan tanggung jawab dalam melindungi makanan dari kontaminasi atau kerusakan. Orang yang menangani makanan harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memungkinkan untuk menangani makanan secara higienis. Penanganan dengan bahan kimia pembersih yang kuat atau bahan kimia yang berpotensi berbahaya lainnya harus diinstruksikan dalam teknik penanganan yang aman (CAC 2003). Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus adalah bakteri non motil, Gram positif, berbentuk bulat, bersifat fakultatif anaerob, dan tidak membentuk spora (Gambar 1) (Eley 1992). Nama Staphylococcus berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata “staphyle” dan “kokkos”, yang berarti seperti kelompok anggur dan berbentuk kokus (bulat). Sedangkan nama aureus berasal dari bahasa latin yaitu “gold” yang berarti bahwa bakteri ini tumbuh dalam koloni besar dan berwarna kuning (Cook & Cook 2006). Ukuran bakteri ini sangat kecil dengan diameter 0.5-1.5 μm. Karakteristik penting dari S. aureus adalah pembentukan pigmen koloni yang umumnya berwarna kuning keemasan dan beta hemolisis positif pada media Blood Agar (Saksono 1986). Staphylococcus aureus dapat tumbuh dalam kondisi aerob dan anaerob, tetapi umumnya tumbuh lebih lambat pada kondisi anaerob. Sebaliknya, ketahanan sel dapat meningkat pada kondisi anaerob daripada aerob (ICMSF 1996). Secara umum suhu pertumbuhan S. aureus berkisar antara 7-48 °C, dengan suhu optimum untuk pertumbuhan 35-37 °C. Kisaran pH untuk pertumbuhan bakteri ini antara 4-9.8 dengan pH optimum antara 6.0-7.0 (Adams & Moss 2005). Berdasarkan aktivitas air (a w ), S. aureus mampu tumbuh pada kadar a w yang lebih rendah dibandingkan dengan bakteri nonhalofilik lainnya. Pertumbuhan S. aureus tetap terjadi pada a w 0.83 yang merupakan kondisi di bawah ideal untuk pertumbuhan kebanyakan bakteri (Le Loir et al. 2003).
11
Gambar 1 Staphylococcus aureus di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000x (Ray & Bhunia 2008). Pada media Brain Heart Infusion (BHI) agar S. aureus berkilauan dengan warna bervariasi dari krem hingga oranye sebagai hasil dari pigmentasi karotenoid pada membran sel. Koloni akan menjadi gelap setelah inkubasi selama beberapa hari pada suhu 30 °C atau pada suhu ruang (Ash 2000). Koloni S. aureus pada media Baird Parker Agar (BPA) berbentuk bulat, licin, halus, cembung, lembab, berdiameter 2-3 mm, berwarna abu-abu hingga hitam pekat, dikelilingi batas berwarna terang, serta dikelilingi zona keruh dengan batas luar berupa zona jernih (Bennett & Amos 1982). Kebanyakan galur S. aureus mempunyai toleransi tinggi terhadap konsentrasi garam dan gula. Bakteri ini masih dapat bertahan hidup pada konsentrasi natrium klorida lebih dari 15% dan memiliki toleransi tinggi terhadap komponen-komponen seperti telurit, merkuri klorida, neomycin, polymixin dan sodium azida, yang semuanya dapat digunakan sebagai media selektif S. aureus. Bakteri ini tidak membentuk spora sehingga pertumbuhannya di dalam makanan dapat segera dihambat dengan perlakuan panas. Namun, kontaminasi S. aureus tetap menjadi salah satu penyebab utama foodborne disease karena S. aureus dapat mengontaminasi produk makanan selama persiapan dan pengolahan (Le Loir et al. 2003). Staphylococcus aureus hidup di kulit dan membran mukosa dari hewan berdarah panas, termasuk manusia. Sekitar 25-50% dari populasi manusia kemungkinan membawa S. aureus (Eley 1992). Membran hidung merupakan habitat S. aureus yang sangat baik karena hangat dan basah.
Diperkirakan
12
1040% dari manusia dewasa ditemukan S. aureus di hidungnya. Lebih dari 3050% populasi manusia adalah “carrier” S. aureus (Le Loir et al. 2003). Walaupun dapat hidup dengan baik pada manusia, S. aureus juga ditemukan pada habitat lainnya yaitu di dalam air, bahan yang busuk, dan di berbagai permukaaan (Cook & Cook 2006). Bakteri ini tahan pada lingkungan beku sampai beberapa tahun dan tahan pengeringan selama beberapa minggu. Sel vegetatif S. aureus dapat diinaktivasi pada suhu >46 °C namun toksinnya masih mampu bertahan pada pemanasan 100-120 °C. Menurut Deshpande (2002), S. aureus dapat berpindah melalui bersin, batuk, kontak jari, kontak bibir, gigitan, dan sapu tangan. Beberapa strain S. aureus dapat membentuk koloni pada peralatan dan lingkungan tempat pengolahan makanan (Blackburn & Mc Clure 2002). Staphylococcus aureus memiliki beberapa jenis faktor virulensi yang mendukung terjadinya penyakit pada tubuh manusia, salah satunya adalah protein permukaan yang membantu kolonisasi pada jaringan inang. Bakteri ini menghasilkan invasin, seperti leukosidin, kinase, dan hyaluronidase, untuk mendukung penyebarannya pada jaringan. Leukosidin adalah sitotoksin yang dapat membunuh leukosit, sedangkan hyaluronidase adalah enzim yang dapat mendegradasi asam hyaluronat sehingga meningkatkan permeabilitas jaringan (Cook & Cook 2006). Enterotoksin Staphylococcus aureus Enterotoksin adalah protein globuler dengan berat molekul 28 000-35 000 dalton. Ciri lain S. aureus adalah kemampuan tidak hanya menghasilkan enzim ekstraselular koagulase, tetapi juga enzim ekstraselular lain dan enterotoksin. Enterotoksin tersebut adalah A, B, C1, C2, D dan E (SEA, SEB, dan lain-lain) telah diidentifikasi dengan tipe A dan D yang sebagian besar terdapat di dalam makanan. Enterotoksin ini bersifat toksik bagi manusia dan hewan. Toksin yang dihasilkan sangat tahan terhadap pemanasan. Oleh karenanya, meskipun bakterinya telah mati karena pemanasan (pemanasan pada suhu 66 °C selama 10 menit), toksinnya masih dapat bertahan pada suhu 100 °C selama 30 menit (Pinchuk et al. 2010).
13
Enterotoksin dihasilkan pada suhu 10 °C dan 46 °C, dengan suhu optimum 35-45 °C. Produksi enterotoksin dapat berkurang pada suhu 20-25 °C dan tidak akan terbentuk toksin pada suhu di bawah 10 °C. Produksi enterotoksin terjadi pada pH 6-7 dan dipengaruhi oleh kondisi atmosfer, sumber karbon, sumber nitrogen dan kadar garam. Nilai pH optimum untuk produksi enterotoksin berada pada kisaran 7-8. Pertumbuhan optimum S. aureus dan pembentukan enterotoksin terjadi pada aktifitas air (a w )>0.99. Produksi toksin dilaporkan terjadi pada a w terendah yaitu sebesar 0.86 (Breemer et al. 2004). Toksin ini bersifat neutral-base protein dengan titik isoelektrik 7.0-8.6. Toksin ini sangat resisten terhadap enzim proteolitik seperti tripsin dan pepsin, sehingga memungkinkan untuk menyebar melalui perut mencapai akseptornya (site of action). Selain itu enterotoksin S. aureus juga tahan panas sehingga berpotensial menimbulkan bahaya bagi kesehatan jika terdapat dalam makanan (Cook & Cook 2006). Enterotoksin S. aureus sangat resisten terhadap pembekuan dan pemanasan. Enterotoksin dapat bertahan pada semua jenis proses pasteurisasi komersial dan kadang dapat bertahan pula dalam proses sterilisasi pada makanan kaleng (Lund et al. 2000). Staphylococcus aureus menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan gastroenteritis. Jumlah sel yang diperlukan oleh S. aureus untuk menghasilkan toksin yang cukup sehingga bersifat meracuni adalah 106 CFU/g (Buckle et al. 1987; Jay 2000). Shapton dan Shapton (1993) menyatakan bahwa populasi S. aureus
yang
diperlukan
untuk
menghasilkan
toksin
beracun
adalah
5x106 CFU/g dan toksin yang dihasilkan bersifat tahan panas. Oleh karena itu, walaupun bakterinya sudah mati karena pemanasan kemungkinan toksinnya masih tetap dapat bertahan. Menurut Ray dan Bhunia (2008) keracunan S. aureus disebabkan karena terkonsumsinya toksin dalam jumlah 100-200 ng yang dihasilkan oleh 106 -107 CFU/ml atau CFU/g dalam 30 g makanan. Menurut USFDA (2001), jumlah toksin S. aureus yang diperlukan untuk menyebabkan keracunan pangan sebesar 1.0 µg. Pada level ini dicapai jumlah bakteri sebanyak 1.0x105 CFU/g atau CFU/ml.
14
Produksi enterotoksin dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti pH, oksigen, aktifitas air, dan suhu. Konsentrasi HNO 2 yang tinggi dapat menurunkan produksi enterotoksin. Produksi enterotoksin dapat dihambat dengan etil-4hidroksibenzoat (Jay 1996). Inaktivasi enterotoksin dapat dilakukan dengan beberapa cara. Sebanyak 90% enterotoksin dapat hancur dengan pemanasan pada temperatur 131 °C selama 30 menit. Enterotoksin dapat diinaktivasi dengan irradiasi namun dosis yang dibutuhkan tinggi sehingga dianggap tidak efektif untuk eliminasi enterotoksin dari makanan yang terkontaminasi. Secara kimiawi, enterotoksin dapat diinaktivasi dengan aplikasi sabun atau juga dapat dilakukan secara biologis yaitu dengan aktivitas enzim (Bhatia & Zahoor 2007). Metode RODAC The Replicate Organism Direct Agar Contact method (RODAC) merupakan metode menghitung jumlah mikroorganisme, terutama dari suatu permukaan (peralatan, lantai, meja, dll), dalam rangka pemantauan mikrobiologik (microbiological monitoring) di lingkungan industri pangan. Pemantauan tersebut bertujuan untuk menilai kualitas higiene atau sanitasi lingkungan industri (Lukman & Soejoedono 2009). RODAC menggunakan cawan Petri khusus yang telah diiisi oleh 15.5-16.5 ml agar tertentu (kemudian cawan Petri ditutup dan agar dibiarkan memadat, lalu dibungkus dalam kantong plastik steril dan disimpan pada refrigerator. Agar RODAC sebaiknya digunakan ≤12 jam setelah persiapan, walaupun disimpan dalam suhu dingin. Pengujian RODAC dilakukan dengan membuka tutup cawan Petri, menempelkan dan menekan permukaan agar di atas permukaan yang rata, dan tidak dianjurkan pada permukaan yang bergelombang atau berpori. RODAC dapat digunakan pada alat-alat pengolahan yang mempunyai permukaan datar seperti piring, talenan, loyang, panci, dan wajan (Rahmawan 2001). Idealnya metode ini diterapkan untuk mengetahui kualitas higiene atau sanitasi setelah permukaan tersebut dicuci atau didisinfeksi. Apabila permukaan terkontaminasi cukup tinggi, maka pertumbuhan koloni akan menyebar sehingga hasilnya sulit untuk dinilai (Lukman & Soejoedono 2009).