2
TINJAUAN PUSTAKA
Nenas Nenas merupakan tanaman buah berupa semak yang memiliki nama ilmiah Ananas comosus. Nenas pertama kali berasal dari kawasan Brasilia (Amerika Selatan) dan pada abad ke-16 orang Spanyol membawa nenas ini ke Filipina dan Semenanjung Malaysia, serta ke Indonesia. Di Indonesia pada mulanya nenas hanya dijadikan sebagai tanaman pekarangan rumah dan meluas menjadi tanaman kebun pada lahan kering di seluruh wilayah nusantara. Saat ini nenas telah banyak dibudidayakan baik di daerah tropik maupun sub tropik (Prihatman, 2000). Secara lengkap dapat dilihat dari segi taksonomi tumbuhan, tanaman nenas diklasifikasikan sebagai berikut. Kingdom Subkingdom Superdivisio Divisio Kelas Sub-kelas Ordo Familia Genus Spesies
: Plantae : Tracheobionta : Spermatophyta : Magnoliophyta : Liliopsida : Commelinida : Bromeliale : Bromeliaceae : Ananas : Ananas comosus L. Merr
(Barus, 2008). Indonesia
merupakan
salah
satu
negara
yang
telah
banyak
mengembangkan tanaman nenas karena memiliki potensi ekspor yang cukup tinggi. Tingginya minat masyarakat terhadap konsumsi buah nenas segar juga turut meningkatkan produksi buah nenas setiap tahunnya (Nasution, dkk., 2012). Sifatnya yang mudah rusak dan umur simpan buah nenas segar yang relatif singkat menjadikan produk olahan nenas menjadi komoditas ekspor yang penting 5 Universitas Sumatera Utara
62
untuk dikembangkan agar permintan pasar dapat terpenuhi karena peminatnya yang juga cukup tinggi (Harnanik, 2012). Adapun kandungan gizi buah nenas segar (per 100 g bahan) dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan gizi buah nenas segar (per 100 g bahan) Kandungan gizi Jumlah Vitamin A (SI) 130 Vitamin C (mg) 24 Vitamin B1 (mg) 0,08 Kalori (kal) 52 Protein (g) 0,4 Lemak (g) 0,2 Serat (g) 1,4 Karbohidrat (g) 16 Fosfor (mg) 11 Air (g) 85,3 Bagian yang dapat dimakan (%) 53 Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1998
Berdasarkan data produksi nenas tahun 2011, ada 5 (lima) provinsi yang merupakan sentra produksi nenas terbesar di Indonesia yaitu Lampung (yang berkontribusi sebesar 32,80% terhadap produksi nenas nasional), Jawa Barat (20,45%), Sumatera Utara (11,89%), Riau (7,10%) dan Jawa Tengah (6,03%). Secara kumulatif kelima provinsi tersebut memberikan kontribusi sebesar 78,27% dari total produksi nenas Indonesia. Di Provinsi Sumatera Utara sendiri, pada tahun 2011 daerah yang menghasilkan produksi nenas terbesar adalah Kabupaten Tapanuli Utara yaitu sebesar 144.210 ton (78,72%) dari produksi nenas di Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten penghasil nenas terbesar lainnya adalah Kabupaten Simalungun dengan produksi sebesar 33.560 ton (18,32%) dan Kabupaten Tapanuli Selatan dengan 1.962 ton (1,07%) (Pusdatin,2013). Kerusakan buah nenas dapat disebabkan oleh faktor biotik maupun abiotik. Faktor biotik berupa serangan mikroba dan serangga, sedangkan faktor
Universitas Sumatera Utara
72
abiotik disebabkan oleh pengaruh internal dan eksternal. Pengaruh internal adalah proses metabolisme seperti aktivitas enzim dan respirasi, sedangkan faktor eksternal mencakup suhu, mekanis, cahaya, kelembapan, dan kerusakan mekanis (Harnanik, 2012). Jagung Jagung merupakan salah satu tanaman yang banyak terdapat di Indonesia. Beberapa wilayah di Indonesia menjadikan jagung sebagai sumber karbohidrat utama karena produksinya yang berlimpah. Produksi jagung yang cukup tinggi didunia juga menjadikannya menempati urutan ketiga setelah padi dan gandum. Indonesia merupakan penghasil jagung terbesar di kawasan Asia Tenggara. Dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan, kedudukan tanaman jagung diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom Divisio Subdivisio Kelas Ordo Famili Genus Spesies
: Plantae : Spermatophyta : Angiospermae : Monocotyledoneae : Poales : Poaceae (Graminae) : Zea : Zea mays L.
(Rukmana, 1997). Tanaman jagung (Zea Mays L) termasuk salah satu komoditas strategis dan bernilai ekonomis, serta mempunyai peluang untuk dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber utama karbohidrat dan protein setelah beras. Jagung juga berperan sebagai pakan ternak, bahan baku industri dan rumah tangga. Beberapa tahun terakhir kebutuhan jagung terus meningkat, hal ini sejalan dengan semakin meningkatnya laju pertumbuhan jumlah penduduk dan
Universitas Sumatera Utara
82
peningkatan kebutuhan untuk pakan (Alam dan Murhaeni, 2008). Komposisi kimia jagung (per 100 g) dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi kimia jagung per 100 g Komponen Air (%) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat Besi (mg) Kalsium (mg) Vitamin C (mg) Vitamin A (IU) Fosfor (mg) Niacin (mg) Riboflavin (mg) Thiamin (mg)
Kadar 72,20 1,92 1,00 22,80 0,70 3,00 12,00 400,00 111,00 1,70 0,12 0,25
Sumber : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2001
Pati juga merupakan salah satu komponen yang terdapat dalam jagung. Penggunaan pati sebagai bahan baku industri menjadi sangat penting untuk meningkatkan nilai komoditi jagung. Jagung dalam bentuk pati merupakan bahan setengah jadi yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan pengolahan lanjut. Pati mempunyai kadar air rendah, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama dan memudahkannya untuk di proses lebih lanjut (Darmajana, 2010). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2015) produksi jagung tahun 2014 sebanyak 19,03 juta ton pipilan kering yang menunjukkan terjadinya peningkatan sebanyak 0,52 juta ton (2,81%) jika dibandingkan dengan hasil produksi pada tahun 2013. Kenaikan produksi jagung tersebut terjadi di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa yang masing-masing sebanyak 0,06 juta ton dan 0,46 juta ton. Terjadinya kenaikan produksi jagung tersebut dikarenakan adanya peningkatan luas panen sebesar 16,51 ribu hektar (0,43%) dan peningkatan produktivitas sebesar 11,5 ton/hektar (2,37%).
Universitas Sumatera Utara
92
Pati Jagung Pati merupakan cadangan makanan utama yang terdapat di dalam tanaman. Pati terdiri dari dua polisakarida yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa terdiri dari 70-300 unit glukosa yang mempunyai ikatan rantai lurus, sedangkan amilopektin mempunyai 100.000 unit glukosa dengan ikatan rantai yang bercabang. Kandungan amilosa yang terdapat di dalam pati sekitar 20%. Beberapa ciri-ciri pati antara lain berwarna putih, berbentuk serbuk dan dapat dihidrolisis oleh asam atau enzim (Gaman dan Sherrington, 1992). Sifat fungsional yang terkandung di dalamnya pati menjadikannya suatu komponen yang penting dalam makanan. Pada proses pengolahan makanan umumnya memerlukan kestabilan pH, kekentalan, emulsi, dan penampakan yang baik. Sifat-sifat tersebut dapat diperoleh dengan pemilihan pati yang sesuai. Pati dapat memberikan satu atau lebih dari sifat-sifat tersebut terhadap makanan yang dihasilkan. Pati umumnya digunakan sebagai bahan tambahan salah satunya adalah sebagai pengental (Suarni, dkk., 2013). Pada umumnya terdapat berbagai jenis pati yang mengandung komponen hidrokoloid, salah satunya adalah pati jagung. Pati jagung dapat dimanfaatkan untuk membentuk matriks film. Kandungan amilosa yang terdapat pada pati jagung sekitar 25% sehingga berpotensi mengembangkan kapasitas pembentukan film dan menghasilkan film yang lebih kuat dibandingkan pati yang mengandung lebih sedikit amilosa (Kusumawati dan Putri, 2013). Rendemen pati yang dihasilkan dari masing-masing varietas jagung berbeda-beda. Hal tersebut dipengaruhi oleh sifat agronomis tiap varietas, termasuk bobot biji, mutu biji, umur panen, dan tipe biji. Varietas jagung lokal di
Universitas Sumatera Utara
102
Indonesia umumnya tergolong tipe biji mutiara. Rendahnya rendemen yang dihasilkan dapat disebabkan pemisahan serat menggunakan kain saring berlapis, sehingga masih ada pati yang terbawa bersama serat. Proses ekstraksi yang dilakukan dengan perlakuan perendaman juga menyebabkan larutnya pati bersama air rendaman dan ketika waktu pengendapan terpisah sehingga rendemen pati berkurang (Suarni, dkk., 2013). Struktur molekul amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 1.
Amilosa Ikatan α 1,4-glikosida
Amilopekti
Ikatan α 1,6-glikosida
Gambar 1. Struktur molekul amilosa dan amilopektin (Eliasson, 2004) Stuktur linear amilosa dan struktur bercabang amilopektin dapat dilihat saat gelatinisasi dan kemampuannya membentuk film. Ketika pati dipanaskan butir-butir pati akan mengembang dan pecah mengakibatkan keluarnya amilosa dan amilopektin. Stuktur bercabang dari rantai amilopektin dalam larutan cenderung kecil untuk berinteraksi dengan ikatan hidrogen sehingga gel-gel dari amilopektin dan filmnya lemah. Rantai lurus dari amilosa dalam larutannya cenderung besar untuk berinteraksi dengan ikatan hidrogen sehingga gel-gel
Universitas Sumatera Utara
112
amilosa dan filmnya lebih keras dan kuat dibandingkan gel-gel amilopektin dan filmnya (Jaya dan Sulistyawati, 2010). Pada jaringan tanaman terdapat pati dalam bentuk granula (butir) yang berbeda-beda berdasarkan ukuran, bentuk dan sifat birefringent-nya. Suhu gelatinisasi berbeda-beda pada tiap jenis pati. Polarized microscope dan juga viscometer dapat digunakan untuk menentukan suhu gelatinisasi, misalnya jagung 62-70ᵒC, beras 68-78ᵒC dan tapioka 52-64ᵒC, kentang 58-66ᵒC (Winarno,2002). Beberapa jenis pati dapat dibedakan berdasarkan sifat pasta yang dihasilkan dari proses pemasakan. Pati serealia (jagung, gandum, beras, dan sorgum) apabila dipanaskan akan menghasilkan pasta kental yang mengandung bagian-bagian yang pendek dan setelah dingin menghasilkan gel yang berwarna buram. Berbeda dengan pati dari serealia, pati dari akar dan umbi (kentang dan tapioka) ketika dipanaskan akan menghasilkan pasta yang sangat kental dengan bagian-bagian yang panjang dan setelah dingin pasta akan berwarna putih juga melunak. Jagung mengandung amilosa yang tinggi, sehingga untuk proses gelatinisasinya diperlukan suhu yang tinggi sehingga dihasilkan pasta dengan bagian-bagian yang pendek dan membentuk gel berwarna buram ketika dingin (deMan, 1997).
Edible Coating Salah satu teknologi potensial berupa edible coating dapat diterapkan pada buah dan sayur karena aman untuk dimakan. Di Indonesia pengaplikasian edible coating pada produk buah dan sayuran masih terbatas. Adanya penambahan antimikroba perlu dilakukan guna melindungi produk coating dari kerusakan
Universitas Sumatera Utara
122
mikroorganisme sehingga dapat memperpanjang masa simpan produk hortikultura (Widaningrum, dkk., 2015). Edible coating dapat didefinisikan sebagai lapisan tipis yang terbuat dari bahan-bahan yang layak untuk dimakan seperti protein, lipida dan polisakarida. Pelapisannya dapat dilakukan pada permukaan produk makanan dengan cara pencelupan, penyemprotan dan pengemasan. Edible coating adalah pengemas alternatif yang tidak menimbulkan masalah lingkungan. Kelebihan utamanya terletak pada sifat biodegradable, sehingga tidak menimbulkan pencemaran lingkungan seperti halnya bahan pengemas sintetik (Pangesti, dkk., 2014). Penggunaan edible coating akhir-akhir ini telah menjadi perhatian banyak kalangan baik peneliti dalam negeri maupun luar negeri. Edible coating juga mempunyai prospek yang aplikatif untuk industri pangan dan farmasi. Salah satu contohnya dapat digunakan sebagai bahan pengemas untuk produk buah-buahan terolah minimal. Keuntungan dari edible coating adalah memperbaiki warna, rasa, tekstur dan pengendalian mikroorganisme (Lastriyanto, dkk., 2007). Beberapa keuntungan edible coating yaitu dapat melindungi produk segar yang bersifat mudah rusak dengan menekan laju respirasi, dapat meningkatkan kualitas tekstur, membantu mempertahankan senyawa volatil dan mengurangi kontaminasi mikroba. Meningkatnya permintaan pasar pada buah dan sayur yang terolah minimal dengan kualitas yang tetap segar, menjadikan edible coating sebagai bahan pengemas yang lebih penting di masa depan (Lin dan Zhao, 2007). Sifat edible coating yang efisien juga turut meningkatkan kualitas pengemasan produk pangan. Aplikasi edible coating sebagai bahan pengemasan produk pangan dapat mempertahankan kualitas kimiawi produk dalam mencegah
Universitas Sumatera Utara
132
kehilangan nutrisi bahan pangan yang berlebihan, dan mencegah adanya reaksi terhadap udara, panas, cahaya. Edible coating menjadi salah satu alternatif pengganti pelapisan dari bahan polimer sintetik yang berpotensi menimbulkan resiko perubahan kualitas dan berdampak buruk terhadap kesehatan konsumen (Kokoszka dan Lenart, 2007). Edible
coating/film
berbasis
pati
mempunyai
kelemahan,
yaitu
resistensinya terhadap air rendah dan sifat penghalang terhadap uap air juga rendah karena sifat hidrofilik pati dapat memengaruhi stabilitas dan sifat mekanisnya. Rendahnya stabilitas film akan memperpendek daya simpan sehingga kurang optimal karena uap air dan mikroba yang masuk melalui film akan merusak bahan pangan (Garcia et al. 2011 dalam Winarti, 2012).
Bahan-Bahan dalam Pembuatan Edible Coating Pati merupakan salah satu polimer yang dapat digunakan dalam pembuatan edible coating. Pati sering digunakan dalam industri pangan sebagai biodegradable film untuk menggantikan polimer plastik karena sifatnya yang ekonomis, dapat diperbaharui, dan memberikan karakteristik fisik yang baik. Dari berbagai jenis pati, pati jagung merupakan salah satu jenis pati yang mengandung komponen hidrokoloid digunakan sebagai bahan baku edible coating yang dapat dimanfaatkan untuk membentuk matriks film. Tingginya kandungan amilosa pati jagung yaitu sebesar 25%, menjadikan pati jagung dapat mengembangkan potensi kapasitas pembentukan film dan menghasilkan film yang lebih kuat dibandingkan pati yang mengandung lebih sedikit amilosa (Kusumawati dan Putri, 2013). Pati sebagai bahan tunggal yang digunakan dalam pembuatan edible coating masih menyisakan beberapa kekurangan diantaranya adalah sifat rapuh
Universitas Sumatera Utara
142
dan kaku. Oleh karena itu perlu ditambahkan bahan tambahan yaitu plastisizer. Plastisizer merupakan bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan edible coating yang berfungsi untuk menambah sifat elastisitas. Salah satu jenis plastisizer yang banyak digunakan selama ini adalah gliserol. Gliserol cukup efektif digunakan untuk meningkatkan sifat plastis karena memiliki berat molekul yang kecil (Huri dan Nisa, 2014). Penambahan gliserol ini sangat berpengaruh terhadap karakteristik edible coating yang akan dihasilkan. Gliserol bersifat hidrofilik mampu meningkatkan permeabilitas uap air (Mulyadi, dkk., 2012). Gliserol adalah senyawa golongan alkohol trivalent berbentuk cairan kental, biasanya dimanfaatkan sebagai food additive. Gliserol memiliki sifat mudah larut dalam air, meningkatkan viskositas larutan, mengikat air dan menurunkan aw bahan. Gliserol merupakan plastisizer yang hidrofilik sehingga cocok untuk ditambahkan pada bahan pembentuk film yang bersifat hidrofobik seperti pati, pektin, gel, dan protein. Peran gliserol sebagai plasticizer dan konsentrasinya dapat meningkatkan fleksibilitas film (Luthana, 2010 dalam Murni, dkk., 2013). Jenis dan konsentrasi dari plastisizer yang digunakan akan berpengaruh terhadap kelarutan pati. Semakin banyak penggunaan plastisizer maka akan meningkatkan kelarutan. Begitu pula dengan penggunaan plastisizer yang bersifat hidrofilik juga akan meningkatkan kelarutannya dalam air. Gliserol memberikan kelarutan yang lebih tinggi dibandingkan sorbitol pada edible coating berbasis pati (Bourtoom, 2008). Penambahan gliserol sebagai pemlastis akan mengurangi kerapatan dan gaya antar molekul substrat (pati) dengan gliserol, sehingga lapisan tipis yang
Universitas Sumatera Utara
152
terbentuk lebih fleksibel dan halus. Gliserol yang berlebih akan menyebabkan lapisan tipis menjadi lunak dan lengket karena gliserol lebih bersifat mengikat air dan melunakan permukaan. Sebaliknya kekurangan gliserol akan menyebabkan lapisan tipis menjadi kasar dan rapuh (Indriyati, dkk., 2006). Dalam pembuatan edible coating juga ditambahkan plastisizer untuk mengurangi kerapuhan, meningkatkan fleksibilitas dan ketahanan edible coating terutama jika disimpan pada suhu rendah. Bahan tambahan yang digunakan selain gliserol adalah CMC. Carboxy Methyl Cellulose (CMC) adalah turunan dari selulosa dan sering dipakai dalam industri makanan untuk mendapatkan tekstur yang baik (Pawignya, dkk., 2015). Struktur CMC dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur CMC (Bourtoom, 2008) CMC (Carboxymethycellulose) merupakan salah satu jenis hidrokoloid turunan polisakarida tumbuhan yang bersifat larut dalam air panas dan jika dipanaskan pada suhu 50-70ºC dapat membentuk gel yang reversibel, juga berfungsi sebagai agen pembentuk tekstur yang elastis. CMC memiliki sifat larut pada air hangat yang berpotensi meningkatkan kepekatan pada larutan dan (Lersch, 2010). Asam askorbat dan asam sitrat merupakan salah satu antioksidan yang umum digunakan dalam edible coating yang bersifat mudah larut dalam air,
Universitas Sumatera Utara
162
mudah dicerna, harganya yang relatif murah, dan aman dikonsumsi. Fungsi asam askorbat adalah sebagai penangkap radikal bebas dan dapat memutus reaksi radikal (Santoso, dkk., 2007). Adanya senyawa antioksidan juga dapat mencegah terjadinya oksidasi dari produk yang dilapisi dan mencegah masuknya radikal bebas ke dalam tubuh (Huri dan Nisa, 2014). Asam askorbat yang ditambahkan pada pembuatan edible coating diharapkan mampu menurunkan laju degradasi vitamin C yang terkandung dalam bahan yang dilapisi. Asam askorbat juga mampu melindungi produk yang dilapisi coating agar terhindar dari degradasi, dan penurunan mutu warna. Hal ini untuk meningkatkan stabilitas, menjaga nutrisi dan warna sayuran maupun buah yang dilapisi coating, karena memiliki kemampuan untuk menangkap O2 sehingga laju respirasi produk yang diberi pelapis berkurang (Miskiyah, dkk., 2011).
Aplikasi Edible Coating Konsumen yang mengkonsumsi buah potong, menginginkan tidak hanya dalam bentuk praktis tapi juga terjaga kesegarannya, dan tingkat kematangan yang seragam. Sifatnya yang mudah rusak menyebabkan umur simpan buah menjadi singkat dan terjadi penurunan kualitas akibat aktivitas metabolisme buah yang masih berlangsung. Oleh karena itu, perlu adanya suatu teknologi pengemasan yang dapat mempertahankan kualitas buah. Salah satunya adalah dengan teknologi kemasan edible yang merupakan suatu bahan pengemas yang dapat dimakan, dapat mencegah difusi oksigen, karbondioksida, uap air, sehingga produk menjadi lebih tahan lama (Alsuhendra, dkk., 2011). Pelapisan buah dengan edible coating merupakan salah satu cara yang efektif untuk mempertahankan masa simpan buah. Edible coating merupakan
Universitas Sumatera Utara
172
lapisan tipis berbahan dasar polisakarida yang melapisi bahan pangan dan aman untuk dikonsumsi. Beberapa keuntungan dari edible coating antara lain menurunkan aw permukaan bahan, mengurangi terjadinya dehidrasi, mengurangi kontak dengan oksigen sehingga tidak terjadi ketengikan, mempertahankan flavor serta memperbaiki penampilan produk (Santoso, dkk., 2004). Salah satu penanganan pascapanen buah dan sayur yang dapat memperpanjang tingkat kesegaran adalah dengan pengaplikasian edible coating. Edible coating merupakan lapisan tipis terbuat dari bahan yang dapat dikonsumsi dan dapat berfungsi sebagai barrier agar tidak terjadi kehilangan kelembaban. Edible coating bersifat permeabel terhadap gas-gas tertentu, serta mampu mengontrol migrasi komponen-komponen larut air yang dapat menyebabkan perubahan pigmen dan komposisi nutrisi buah dan sayur (Krochta, dkk., 2002). Beberapa metode untuk aplikasi coating pada buah dan sayuran antara lain metode pencelupan (dipping), pembusaan (foaming), penyemprotan (spraying), penuangan (casting), dan aplikasi penetesan terkontrol. Metode pencelupan (dipping) merupakan metode yang paling banyak digunakan terutama pada sayuran, buah, daging, dan ikan, dimana produk dicelupkan ke dalam larutan yang digunakan sebagai bahan coating (Winarti, dkk., 2012).
Pengolahan Minimal Buah-Buahan Buah yang terolah minimal adalah buah yang telah mengalami perlakuan pencucian, sortasi, pengupasan, dan pemotongan. Buah yang terolah minimal dapat disajikan secara praktis, sehingga konsumen dapat membeli buah sesuai kebutuhannya dengan kualitas yang tetap terjamin. Buah yang terolah minimal
Universitas Sumatera Utara
182
juga menawarkan jaminan mutu dibandingkan buah dalam kondisi utuh karena konsumen dapat langsung melihat kondisi buahnya (Garnida, 2007). Konsumen saat ini cenderung menginginkan buah dengan sensori buah yang segar, praktis, dan menyehatkan. Hal ini menjadikan para peneliti untuk mengembangkan teknologi alternatif dari pengolahan nenas dengan teknologi olah minimal. Aplikasi teknologi olah minimal dapat dilakukan oleh industri skala kecil menengah maupun industri besar. Hal tersebut harus didukung dengan pengetahuan teknis yang memadai serta ketersediaan peralatan yang mudah diterapkan dan harga yang terjangkau untuk memenuhi kebutuhan konsumen dalam negeri maupun mancanegara. Teknologi olah minimal yang telah diuji coba untuk mengawetkan dan mengolah buah nenas antara lain adalah penggunaan suhu rendah, proses pembekuan, MAP, penggunaan ozon, UV, membran, dehidroosmosis, dan teknologi hurdle (Harnanik, 2013). Produk terolah minimal mempunyai beberapa kelemahan, antara lain sangat mudah mengalami kerusakan dan masa simpannya yang relatif lebih singkat. Hal tersebut memungkinkan terjadinya kerusakan seperti penyimpangan flavor, penurunan tekstur, perubahan warna, dan kontaminasi pada buah yang dapat menurunkan daya penerimaan konsumen (Ahmad, dkk., 2010). Perubahan sifat fisik akibat perlakuan yang diberikan dapat menyebabkan kerusakan pada produk terolah minimal. Suatu upaya pencegahan perlu dilakukan untuk meminimalisir terjadinya kerusakan dan memperpanjang masa simpan produk. Salah satu cara yang telah banyak dilakukan adalah dengan pengemasan termodifikasi disertai penyimpanan pada suhu rendah (Corbo, dkk., 2006). Cara yang dapat dilakukan untuk meminimalisir kerusakan produk terolah minimal dan
Universitas Sumatera Utara
192
dapat memperpanjang masa simpan antara lain dengan penggunaan edible coating/film, penyimpanan pada suhu rendah, penggunaan zat aditif, dan modifikasi atmosfer (Nasution, dkk., 2012). Penggunaan edible coating yang sesuai karakteristik masing-masing buah terolah minimal dapat memperpanjang masa simpan buah segar dan menjaga kualitasnya sehingga dapat memenuhi permintaan terhadap buah terolah minimal. Pengaturan kondisi penyimpanan karbondioksida,
aroma
dan
yang baik terhadap kelembaban, oksigen,
rasa
dalam
sistem
pangan,
menunjukkan
kemampuannya edible coating dalam mempertahankan kualitas makanan dan memperpanjang masa simpan produk segar (Lin dan Zhao, 2007).
Pengemasan Penggunaan plastik di dunia diperkirakan mencapai 700.000 ton per tahun. Plastik yang telah digunakan kebanyakan dibuang begitu saja bahkan dibakar yang mengakibatkan kerusakan lingkungan. Proses daur ulang plastik yang cukup mahal, menyebabkan munculnya dorongan untuk mencari solusi mengenai bahan kemasan yang ramah lingkungan, aman terhadap bahan pangan dan memiliki nilai ekonomis. Edible coating merupakan salah satu solusi bahan pengemas ramah lingkungan sehingga dapat mengurangi pencemaran lingkungan di Indonesia (Pangesti, 2014). Pengemasan diperlukan untuk mempertahankan kualitas bahan pangan agar tetap baik. Umumnya jenis pengemas yang sering digunakan adalah plastik yang dapat mencemari lingkungan karena bersifat nonbiodegradable. Plastik juga dapat mencemari bahan pangan yang dikemas karena adanya zat karsinogen yang dapat berpindah ke dalam bahan pangan yang dikemas. Oleh sebab itu perlu dicari
Universitas Sumatera Utara
202
bahan pengemas yang memiliki karakter biodegradable kuat dan ramah lingkungan (Huri dan Nisa, 2014). Pengemasan produk pangan merupakan proses pembungkusan bahan pangan dengan bahan pengemas yang sesuai untuk mempertahankan dan melindungi makanan sampai ke konsumen. Pengemasan yang baik diharapkan kualitas dan keamanannya dapat dipertahankan. Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap masalah kesehatan memicu meningkatnya permintaan kemasan biodegradable yang mampu menjamin keamanan produk pangan (Kusumawati dan Putri, 2013).
Penyimpanan dengan Suhu Rendah Suhu memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap umur simpan buah-buahan dan sayuran segar yang disimpan. Hal tersebut dapat terjadi karena buah-buahan dan sayur-sayuran segar adalah komoditi yang hidup sehingga masih melakukan proses metabolisme terutama respirasi dan reaksi kimia lainnya (Panggabean, 2010). Penyimpanan pada suhu rendah dapat menekan aktivitas respirasi dan metabolisme, menunda proses penuaan, pematangan, dan pelunakan, mencegah perubahan warna dan tekstur, kehilangan air dan pelayuan, serta menurunkan aktivitas mikroorganisme penyebab kerusakan. Namun perlu diperhatikan buah yang disimpan pada suhu rendah bisa mengalami chilling injury (Harnanik, 2012). Beberapa cara untuk mempertahankan kualitas dan kesegaran buah serta memperpanjang umur simpan buah, yaitu dengan menyimpan buah pada ruang pendingin (suhu rendah). Penyimpanan pada ruang bertekanan dan modifikasi atmosfer ruangan juga dapat dilakukan untuk memperpanjang masa simpan
Universitas Sumatera Utara
21 2
produk hortikultura. Pelapisan buah dengan edible coating yang dikombinasikan pada penyimpanan suhu rendah juga dapat memperpanjang masa simpan buah-buahan (Marpaung, dkk., 2015). Tujuan dari penyimpanan pada suhu rendah adalah untuk memperpanjang masa simpan buah. Suhu penyimpanan dingin harus disesuaikan, apabila suhu yang diberikan terlalu rendah akan mengakibatkan terjadinya kerusakan dingin. Buah yang disimpan pada suhu rendah dapat membantu proses pendistribusian produk ke konsumen agar tetap dalam keadaan segar meskipun dengan jarak jauh, dengan pengaturan distribusi yang baik maka pemasaran dapat terkendali terutama pada saat produk berlimpah, dan diharapkan dapat menghindari terjadinya harga yang fluktuatif (Napitupulu, 2010). Buah-buahan dan sayuran yang tidak disimpan pada suhu rendah umumnya cepat rusak dan akan mengalami penurunan nilai ekonomisnya. Buah-buahan dan sayuran yang disimpan dalam ruang pendingin maka proses-proses hidup dapat dihambat. Bahan makanan yang disimpan pada suhu rendah dapat bersifat akseptabel untuk dimakan manusia untuk waktu yang lebih lama (Desrosier, 1988). Produk hortikultura yang disimpan pada suhu rendah dapat mengalami kehilangan air atau menyerap air sehingga terjadi perubahan tekstur dan penampakan. Penyimpanan dingin dapat mengurangi laju reaksi kimia namun perubahan tersebut tetap akan terjadi dan mengakibatkan perubahan aroma dan cita rasa. Mutu produk pangan yang diawetkan dengan teknik pendinginan dapat ditentukan dari segi warna, aroma, citarasa, tesktur serta penampakan yang baik dari produk pangan tersebut (Estiasih dan Ahmadi, 2009).
Universitas Sumatera Utara
222
Pengaruh Lama Pencelupan Terhadap Edible Coating Metode pencelupan telah umum diterapkan untuk melapisi buah-buahan dan sayuran. Lapisan tersebut dibuat dengan mencelupkan bahan ke dalam larutan coating yang memiliki karakteristik densitas, viskositas, dan permukaan yang baik, serta kecepatan penarikan makanan dari proses pencelupan dalam larutan coating (Vargas, dkk., 2008 dan Cisneros-Zevallos, dkk., 2003 dalam Dhanapal, dkk., 2012). Lama pencelupan dapat mempengaruhi kadar CO2, O2 dan air dalam produk. Semakin lama pencelupan maka coating atau film yang terbentuk akan semakin tebal. Tebalnya film akan menghambat keluar masuknya CO2 dan O2 sehingga dapat memperlambat respirasi dan kehilangan air dapat ditekan serta kehilangan berat dapat berkurang (Mardiana, 2008). Metode pencelupan efektif untuk melapisi permukaan bahan yang tidak rata, selain itu juga dapat dilakukan oleh para petani karena aplikasinya yang lebih mudah dan sederhana dibanding metode lainnya (Ghasemzadeh, dkk., 2008). Penggunaan metode coating dapat mengakibatkan terjadinya penghambatan susut berat lebih besar pada buah, karena permukaan buah langsung tertutupi oleh lapisan film sehingga proses transpirasi buah lebih rendah (Siswanti, 2008)
Universitas Sumatera Utara