3
TINJAUAN PUSTAKA
Susu Segar Susu merupakan hasil sekresi kelenjar ambing dan bahan makanan pertama bagi bayi manusia dan hewan setelah dilahirkan (Misgiyarta et al. 2005). Susu mengandung 87.90% air yang berfungsi sebagai pelarut bahan kering dan berfungsi sebagai penentu nilai gizi susu. Susunan lemak susu terdiri dari lemak majemuk, yaitu lemak murni yang terdiri atas tiga molekul asam lemak yang terikat pada suatu molekul gliserin (Saleh 2004). Konsumen biasanya mengkonsumsi susu, baik dalam bentuk segar maupun dalam bentuk olahan. Konsumen yang mengkonsumsi susu atau produk olahan susu dilindungi oleh pemerintah dengan ditetapkannya standar mutu susu dan produk olahannya dalam bentuk Standar Nasional Indonesia (SNI). Menurut Rahardjo (1998) standar mutu merupakan rincian persyaratan produk yang mencakup kriteria 1) organoleptik, antara lain: bau, rasa, kenampakan, dan warna; 2) fisika, yaitu bentuk, ukuran, dan kotoran; 3) kimia, antara lain: pH, kadar nutrisi atau senyawa kimia; dan 4) mikrobial, antara lain: jumlah kapang/jamur, yeast, bakteri yang ditetapkan dengan tujuan untuk menjaga keamanan dan konsitensi mutu dari waktu ke waktu. Susu mengandung komponen yang sangat penting bagi tubuh yaitu lemak, protein susu, laktosa, mineral, dan vitamin. Susu merupakan sumber vitamin yang cukup baik bagi tubuh. Susu mengandung vitamin yang larut dalam air (vitamin B dan C) dan vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A, D, dan E). Kandungan vitamin susu disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Kandungan vitamin dalam susu segar (Buckle et al. 1987) No. Vitamin kandungan per 100g susu 1. vitamin A 160 IU (International Unit) 2. vitamin C 2.0 mg 3. vitamin D 0.5-4.4 IU 4. vitamin E 0.08 mg 5. vitamin B Riboflavin 0.17 mg Asam pantotenat 0.35 – 0.45 mg Asam folat 3-8 µg Biotin 0.5 µg Vitamin B 12 0.5 µg
4
Susu mengandung zat-zat mineral yang sangat esensial dan penting untuk dikonsumsi manusia. Mineral dalam susu dibedakan menjadi makromineral dan mikromineral. Makromineral yang penting dalam susu adalah kalsium (Ca), fosfor (P), natrium (Na), klor (Cl), dan magnesium (Mg). Ca dan P berperan penting dalam pembentukan tulang dan gigi. Mikromineral yang penting adalah zat besi (Fe), iodium (I), seng (Zn), selenium (Se), tembaga (Cu), kobalt (Co), dan flour (F). Zat besi merupakan mikromineral yang merupakan komponen hemoglobin sel darah merah (Buckle et al 1987). Kandungan beberapa mineral dalam susu dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Kandungan beberapa mineral dalam susu (Buckle et al. 1987) No. Unsur % 1. Potasium 0.140 2. Kalsium 0.125 3. Klorin 0.103 4. Fosfor 0.096 5. Sodium 0.056 6. Magnesium 0.012 7. Sulfur 0.025 Susu yang baik adalah susu yang mengandung sedikit bakteri, tidak mengandung spora mikroba patogen, bersih dari debu atau kotoran lainnya, mempunyai cita rasa (flavour) yang baik, tidak dipalsukan, dan tidak mengandung residu antibiotik. Susu segar harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar aman dikonsumsi dan dapat digunakan untuk proses pengolahan lanjutan. Persyaratan kualitas susu untuk menjadi suatu produk olahan mencakup persyaratan: fisikakimia (chemico-physical-requirement) dan keberadaan bakteri (bacteriological requirement). Pertumbuhan bakteri yang cepat pada susu segar menyebabkan bau yang tidak enak (Saleh 2004).
5
Syarat mutu dari susu segar dapat dilihat pada Tabel 3 Tabel 3 Syarat mutu susu segar berdasarkan SNI 3141.1:2011 (BSN 2011) No. Karakteristik Syarat Berat jenis (pada suhu 27.5 °C) Kadar lemak minimum Kadar bahan kering tampa lemak minimum Kadar protein minimum Warna, bau, rasa dan kekentalan Derajat asam Uji alkohol (70%) pH Cemaran mikroba maksimum:
10.270 3.0% 7.8% 2.8% tidak ada perubahan 6-7.5 °SH Negatif 6.3-6.75
a. Total kuman b. Salmonella c. E.coli (patogen)
1 x 106 CFU/ml Negatif negatif
d. Koliform
1 x 103 CFU/ml 4 x 105 sel/ml
13.
Jumlah sel somatis maksimum Cemaran logam berbahaya, maksimum a. Timbal (Pb) b. Merkuri (Hg) c. Arsen (As) Residu antibiotik (golongan β laktam, tetrasiklin, aminoglikosida, makrolida) uji pemalsuan
14. 15.
Titik beku Uji peroksidase
-0.520 °C s/d -0.560 °C positif
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
10. 11.
12.
0.02 ppm 0.03 ppm 0.1 ppm negatif negatif
Keju Keju merupakan nama umum yang digunakan untuk sekelompok produk makanan berbasis susu fermentasi yang diproduksi dalam berbagai rasa dan bentuk di seluruh dunia. Pembuatan keju dilakukan dengan menggunakan enzim untuk menggumpalkan dadih susu yang diikuti dengan pemisahan “whey” dari koagulan yang terbentuk untuk menghasilkan dadih yang lebih padat dan kompak. Keju merupakan satu-satunya bahan pangan asal susu yang mempunyai daya simpan yang baik dan kaya akan protein, lemak, kalsium, fosfor, riboflavin, dan vitamin-vitamin lainnya (Daulay 1991).
6
Tahapan dalam pembuatan keju diantaranya adalah persiapan susu segar, pasteurisasi, penambahan enzim untuk pembentukan curd (koagulan), pemotongan curd, pemasakan curd, dan pengurangan whey. Proses berikutnya bergantung pada jenis keju yang akan dihasilkan. Koagulasi susu dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah pH, suhu, ketersediaan ion kalsium, dan kualitas susu itu sendiri. Starter keju adalah kultur aktif dari mikroorganisme non-patogen yang ditumbuhkan dalam susu atau whey yang berperan dalam pembentukan karakteristik dan mutu tertentu pada berbagai jenis produk susu (Daulay 1991). Keju
dibuat
dengan
cara
menggumpalkan
protein
susu
dengan
menggunakan enzim renin (Winarno 1993). Enzim renin dapat diperoleh dalam bentuk rennet. Enzim ini bekerja dengan cara merusak dispersi koloidal kalsium fosfokaseinat sehingga terbentuk gel atau tahu susu. Jenis keju bergantung pada perlakuan tahu susu, misalnya lamanya tahu tersebut pada saat dikenakan dalam suasana asam, panas, dan kondisi-kondisi pematangan (Buckle et al. 2009). Suhu optimum yang diperlukan untuk penggumpalan yaitu 40°C (Winarno 1993). Susu yang akan digumpalkan tidak boleh dipanaskan tertalu lama karena akan menyebabkan perubahan disposisi ion kalsium dalam susu. Endapan atau gel akan terjadi saat ion kalsium bereaksi dengan protein. Meskipun sebagian besar keju dibuat dengan renin, ada juga beberapa keju yang dibuat dengan menambahkan asam pada susu. Faktor lain yang turut menentukan jenis keju adalah keterlibatan mikroba dan proses peraman keju (Winarno 1993). Saat ini umumnya keju dibuat dengan menggunakan susu yang telah dipasteurisasi karena pasteurisasi dapat mematikan bakteri patogen yang terdapat dalam susu, tetapi pateurisasi juga dapat mematikan organisme dan enzim yang ikut dalam membantu proses pematangan. Jenis-jenis keju bergantung pada proses keju tersebut dibuat, termasuk jenis susu yang dipakai, metode pembuatan, dan perlakuan yang digunakan dalam pematangan. Klasifikasi keju dapat dilihat dari sifat teksturnya atau cara pematangannya. Keju dianggap “lunak” jika kadar air lebih besar dari 40%, setengah lunak jika kadar air 36-40%, “keras” jika kadar air 25-36%, dan “sangat keras” jika kadar air kurang dari 25% (Buckle et al. 1987).
7
Antibiotik Antibiotik adalah suatu zat yang dihasilkan oleh berbagai jasad renik seperti bakteri dan jamur yang dapat membasmi dan membunuh mikroba lain. Saat ini banyak antibiotik yang dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh (Ganiswarna et al. 1995). Antibiotik yang diperoleh secara alami dari mikroorganisme disebut antibiotik alami, sedangkan antibiotik yang disintesis di laboratorium disebut antibiotik sintesis, misalnya sulfonamid dan kuinolon. Menurut Ganiswarna
et al. (1995), antibiotik dapat diklasifikasikan
berdasarkan sifat toksisitas selektif, yaitu antibiotik yang bersifat menghambat pertumbuhan mikroba yang disebut sebagai aktivitas bakteriostatik dan antibiotik yang bersifat membunuh mikroba disebut sebagai aktivitas bakterisid. Berdasarkan mekanisme kerja, antibiotik dibagi dalam lima kelompok, yaitu : a. Antibiotik yang dapat menghambat metabolisme sel bakteri, contohnya sulfonamid, trimetropim, asam p-aminosalisilat (PAS), dan sulfon. b. Antibiotik yang menghambat sintesa dinding sel bakteri, contohnya penisilin, sefalosporin, basitrasin, vankomisin, dan sikloserin. c. Antibiotik yang mengganggu keutuhan membran sel bakteri, contohnya polimiksin. d. Antibiotik yang menghambat sintesa protein sel mikroba, contohnya golongan aminoglikosida, makrolida, linkomisin, tetrasiklin, dan kloramfenikol. e. Antibiotik yang menghambat sintesa asam nukleat sel bakteri, contohnya rifampisin dan golongan kuinolon.
Penggunaan Antibiotik Penggunaan antibiotik di industri peternakan bertujuan untuk pengobatan sehingga dapat mengembalikan kondisi ternak menjadi sehat kembali. Selain untuk pengobatan, antibiotik juga digunakan sebagai imbuhan pakan yang dapat mempercepat pertumbuhan ternak dan meningkatkan produksi hasil ternak serta mengurangi biaya pakan (Yuningsih 2005). Penggunaan antibiotik untuk keperluan pengobatan tidak dapat dihindari dari proses pra-produksi ternak. Penggunaan antibiotik tersebut bertujuan untuk mengobati penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, misalnya mastitis (Yamani 1999).
8
Lebih dari 90% kasus mastitis disebabkan oleh infeksi intramammary, terutama disebabkan oleh spesies Streptococcus dan Staphylococcus. Pengobatan dengan antibiotik selama laktasi dan pada inisiasi periode kering kandang adalah praktek manajemen yang umum dilakukan sehingga kemungkinan besar akan terdapat residu antibiotik pada saat pemerahan susu sapi. Susu yang memiliki residu antibiotik akan mengalami penyingkiran karena susu yang mengandung antibiotik dapat merugikan industri dan juga berbahaya bagi kesehatan konsumen (Brady & Katz 1988). Jenis-jenis residu antibiotik yang umum terdapat dalam susu antara lain:
1.
Penisilin Penisilin diperoleh dari jamur genus penisilin (Penicillium notatum) dan
diperoleh dari ektraksi kultur gabungan yang ditumbuhkan dalam media tertentu (Brooks et al. 2001). Penisilin efektif terutama terhadap mikroba Gram positif. Penisillin didistribusikan luas di dalam tubuh. Penisilin didistribusikan dengan cepat dari plasma darah ke dalam jaringan tubuh dengan persentase volume distribusi sebesar 50%. Sebagian besar penisilin akan diekskresikan melalui ginjal, yaitu sekitar 60-80% dari obat yang dimasukkan, sedangkan ekskresi melalui kelenjar susu hanya 16% dari yang ada di dalam plasma (Admin 2007). Ikatan protein penisilin ialah 65% (Ganiswarna
et al. 1995). Menurut
Brooks et al. (2001) penisilin sebagai obat antimikroba dikelompokkan menjadi empat kelompok utama: a.
Penisilin G, yaitu penisilin yang memiliki aktivitas terkuat melawan organisme Gram positif, Spirochaeta tetapi rentan terhadap hidrolisa oleh βlactamase dan labil terhadap asam.
b.
Nafsilin, yaitu penisilin yang relatif tahan terhadap β-lactamase tetapi aktivitas lebih rendah melawan organisme Gram positif dan tidak aktif melawan organisme Gram negatif.
c.
Ampisilin dan Piperasilin, yaitu penisilin yang memiliki aktivitas yang tinggi melawan kedua organisme Gram positif dan Gram negatif tetapi dapat dirusak oleh β-lactamase.
9
d.
Penisilin V, Kloksasilin, dan Amoksisilin, yaitu penisilin yang relatif stabil pada asam lambung dan cocok untuk pemberian oral. Menurut Brooks et al. (2001) penisilin alami yang paling sering digunakan
adalah penisilin G. Penisilin ini merupakan obat pilihan untuk infeksi-infeksi yang disebabkan oleh Streptococcus, Pneumococcus, Meningococcus, Spirochaeta, Clostridia, bakteri Gram positif aerob, Staphylococcus, dan Aktinococcus yang bukan penghasil penisilinase.
2. Tetrasiklin Tetrasiklin bersifat bakteriostatik, yaitu menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif serta merupakan obat pilihan untuk infeksi yang disebabkan oleh riketsia, klamidia, dan mikoplasma. Menurut Mutschler (1991) tetrasiklin adalah obat yang sering digunakan untuk mengatasi bruselosis pada peternakan sapi perah. Tetrasiklin diabsorbsi dari saluran usus dan didistribusikan secara luas pada jaringan tubuh. Obat ini akan dieksresikan terutama lewat empedu dan tinja (Brooks et al. 2001). Menurut Karlina et al. (2009) golongan tetrasiklin akan diekresikan juga melalui susu karena obat ini dapat menembus membran barrier dan terdapat dalam susu dalam kadar yang relatif tinggi.
3. Sulfonamid Sulfonamid adalah salah satu antibiotik yang pemakaiannya sangat luas untuk pengobatan penyakit akibat bakteri. Sulfonamid banyak digunakan karena harganya murah, efisien, dan memiliki efek yang unggul dalam mencegah dan mengobati penyakit infeksius. Sulfonamid bekerja dengan cara menghambat sintesis asam folat oleh bakteri (Dalimunthe 2009). Kebanyakan sulfonamid diaplikasikan secara oral dan diabsorbsi di usus. Absorbsi yang lambat dialami oleh ruminansia dewasa atau ketika diberikan bersamaan dengan makanan pada hewan monogastrik. Sulfonamid didistribusikan ke seluruh tubuh, dapat melewati plasenta, menembus cairan serebrospinal, dan sebagian didistribusikan ke dalam susu (Brooks et al. 2001).
10
4. Aminoglikosida Aminoglikosida merupakan antibiotik yang bekerja secara langsung pada ribosom, membran sel, dan menghambat sintesis protein pada bakteri sehingga menyebabkan kematian pada bakteri. Penerapan antibiotik ini dilakukan secara injeksi, baik secara subkutan maupun intramuskular. Aminoglikosida bersifat bakterisida yang berspektrum luas (Wiraternak 2011). Aminoglikosida sering digunakan dalam penanggulangan infeksi berat oleh bakteri Gram negatif. Stabilitasnya cukup baik pada suhu kamar terutama dalam bentuk kering, misalnya streptomisin. Absorbsi aminoglikosida lebih baik melalui parenteral sehingga absorbsi terjadi dengan cepat dan tuntas. Rute ekskresi dari aminoglikosida adalah melalui susu dan ginjal (Adams 2001).
5. Makrolida Makrolida merupakan antibiotik berspektrum sempit, namun cukup efektif untuk membunuh bakteri Gram positif dan mikoplasma. Makrolida bekerja dengan mengganggu proses sintesis protein pada bakteri yang kemudian akan menyebabkan kematian pada bakteri (Wiraternak 2011). Makrolida diabsorbsi di usus halus setelah pemberian melalui oral (Plumb & Pharm 1999). Makrolida diekskresikan terutama melalui empedu dan sekitar 50% dapat ditemukan di dalam susu. Penggunaan antibiotik di dunia peternakan sebagai pengobatan dan sebagai imbuhan pakan dapat menjadi masalah apabila pemakaiannya tidak sesuai ketentuan yang berlaku. Sesuai peraturan, antibiotik untuk pengobatan ternak hanya dapat diperoleh dengan resep dari dokter hewan. Pada kenyataannya banyak jenis antibiotik dapat diperoleh dengan mudah di toko obat hewan (poultry shop) atau dari koperasi peternak seperti Koperasi Unit Desa (KUD) atau Koperasi Pengumpul Susu (Murdiati & Bahri 1991). Hal ini dapat menyebabkan penggunaan antibiotik secara tidak tepat karena tanpa resep dari dokter hewan. Masalah yang akan terjadi adalah adanya residu antibiotik yang ditemukan dalam susu apabila pemberian antibiotik tidak sesuai aturan dan tidak mematuhi withdrawal time. Withdrawal time merupakan kurun waktu saat pemberian obat
11
terakhir hingga ternak boleh dipotong atau produknya dapat dikonsumsi (Bahri et al. 2005). Hewan ternak yang diobati menggunakan preparat antibiotik seharusnya dibiarkan selama waktu yang ditetapkan dan susu tersebut tidak boleh dikonsumsi sampai bebas dari bahan-bahan antibiotik (Scarya et al. 2009). Withdrawal time beberapa antibiotik di dalam susu disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Withdrawal time beberapa antibiotik di dalam susu Nama antibiotik Withdrawal time Sumber Penisilin 96 jam Bishop (2005) Eritromisin 36 jam Bishop (2005) Tetrasiklin 86 jam Scarya et al. (2009) Streptomisin 48 jam Bishop (2005) Tylosin 204 jam Litterio et al. (2007) Dampak Residu Antibiotik dalam Susu Segar sebagai Bahan Baku Pembuatan Keju Starter yang digunakan untuk pembuatan keju sangat sensitif terhadap keberadaan residu antibiotik yang terdapat dalam susu yang akan digunakan sebagai bahan dasar pembuatan keju. Keberadaan antibiotik atau agen kemoterapi lainnya
dalam
mikroorganisme
susu yang
akan
menghambat
diperlukan
untuk
pertumbuhan pembentuan
atau
membunuh
keasaman
dan
pengembangan cita rasa dan aroma pada keju (Tamime & Deeth 1980). Kehadiran residu antibiotik penisilin dalam susu yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan keju akan menghambat atau membunuh starter yang digunakan, misalnya Lactococcus lactis subspesies cremoris ketika kultur ditumbuhkan. Hal inilah yang menjadi alasan perusahaan untuk menggunakan susu bebas residu antibiotik sebagai bahan dasar pembuatan keju. Kualitas bahan pangan asal ternak yaitu keju yang berbahan dasar susu harus memperhatikan asas aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Bahan pangan seperti ini dapat memberi nilai gizi yang tinggi dan memberikan kepuasan bagi konsumen. Kelayakan pangan sebaiknya diperhatikan dari segi kuantitas dan kualitas bahan pangan serta bebas dari cemaran mikrobiologi, bahan kimia, logam berat, toksin, dan residu antibiotik.
12
Menurut Thahir et al. (2005) suatu konsep jaminan mutu yang diterapkan untuk pangan dikenal dengan hazard analysis critical control points (HACCP). Hazard analysis critical control points merupakan suatu sistem pengawasan mutu industri pangan yang menjamin keamanan pangan dan mengukur bahaya atau resiko yang mungkin timbul serta menetapkan pengawasan tertentu dalam usaha pengendalian mutu pada seluruh rantai produksi pangan. Keamanan pangan merupakan tanggung jawab bersama baik dari pihak pemerintah, produsen, dan konsumen. Sumber daya manusia sangat penting dalam meningkatkan keamanan pangan terutama di bidang industri. Usaha peningkatan sumber daya manusia dengan meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan (formal) dan pelatihan sangat penting dilaksanakan.
Dampak Residu Antibiotik dalam Keju terhadap Kesehatan Konsumen Residu antibiotik dalam pangan menjadi ancaman potensial terhadap kesehatan, yaitu dari aspek toksikologi, aspek mikrobiologi, dan aspek imunopatologis (Murdiati & Bahri 1991). Dilihat dari aspek toksikologi, residu antibiotik bersifat toksik terhadap organ tubuh seperti hati, ginjal, dan pusat hemopoiesis (pembentukan darah). Reaksi toksik atau keracunan dapat disebabkan oleh antibiotik golongan tetrasiklin dan kloramfenikol. Golongan antibiotik ini dapat menyebabkan reaksi keracunan dan iritasi lambung sehingga dapat menyebabkan diare. Gejala lain yang sering terlihat adalah gangguan pembentukan darah, reaksi neurologik, kerusakan ginjal, dan hepatotoksisitas. Ditinjau dari aspek mikrobiologis, residu antibiotik dapat mengganggu mikroflora saluran pencernaan dan menyebabkan resisten mikroorganisme. Gangguan mikrobiologis ditandai dengan adanya bakteri yang resisten terhadap antibiotik karena penggunaan yang terlalu sering. Antibiotik yang terdapat dalam susu dapat membunuh mikroflora dalam usus. Mikroflora mempunyai kepentingan dalam membantu proses metabolisme (Kielwein 1981), sedangkan dari aspek imunopatologis, residu antibiotik dapat menimbulkan reaksi alergi (Lukman & Purnawarman 2009). Reaksi alergi merupakan efek samping yang disebabkan antibiotik penisilin G (Ganiswarna et al. 1995). Hal ini dikarenakan penisilin mempunyai aktivitas antigen yang sangat kuat. Penisilin merupakan
13
kelompok antibiotik β-laktam yang bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel. Diperkirakan 4-10% populasi manusia di dunia telah alergi terhadap penisilin dan turunannya, padahal obat golongan penisilin masih banyak digunakan baik pada manusia maupun ternak (Sudarwanto 1990). Ruegg dan Tabone (2005) melaporkan bahwa pemberian antibiotik secara oral tidak menimbulkan respon imun yang cepat dibandingkan pemberian antibiotik secara sistemik. Reaksi alergi (dermatitis, pruritis, dan urtikaria) dari pre-sensitivitas individu yang disebabkan oleh residu β-lactam dalam susu telah terjadi pada beberapa orang (Dewdney & Edwards 1984). Residu streptomisin adalah salah satu jenis residu antibiotik yang sangat umum di dalam susu. Residu antibiotik ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan reaksi alergi, hilangnya kemampuan pendengaran, keseimbangan tubuh, dan resisten terhadap bakteri. Streptomisin tahan terhadap pemanasan tinggi dan sering terdapat dalam susu pasteurisasi serta susu evaporasi (Roostita et al. 2005). Streptomisin memiliki titik didih yang sangat tinggi, maka sangat sulit untuk menurunkan konsentrasi residu jika menggunakan suhu pemanasan (Sundlof et al. 1995; Mitchell et al. 1998). Menurut Lukman & Sudarwanto (1992) penurunan konsentrasi residu streptomisin dapat dilakukan dengan suhu pemanasan 120 °C selama 5 menit. Menurut Roostita et al. (2005) cara terbaik untuk mengurangi konsentrasi residu antibiotik streptomisin adalah dengan proses high temperature short time (HTST) (90 °C selama 25 detik) karena dapat menurunkan residu streptomisin dari 100% menjadi 85.73%. Moats (1988) menyatakan inaktivasi 100% antibiotik golongan penisilin memerlukan waktu 1.705 menit dengan suhu pasteurisasi 71 °C dan akan lebih cepat apabila suhu yang digunakan lebih tinggi. Aspek lain akibat residu antibiotik adalah aspek karsinogenik seperti residu antibiotik sulfonamid. Sulfonamid merupakan N-derivat dari 4-amino-benzen sulfonamid dan terdiri dari banyak kelas antibiotik sintesis. Sulfonamid biasa dipakai di dunia kedokteran hewan sebagai pengobatan yang disebabkan infeksi dan juga digunakan sebagai pemacu pertumbuhan. Samanidou et al. (2008) melaporkan bahwa residu antibiotik sulfonamid dalam makanan mendapat perhatian yang besar karena sulfonamid memiliki sifat karsinogen yang potensial
14
dan dapat menyebabkan resistensi antibiotik pada flora usus manusia. Golongan dari sulfonamid, yaitu sulfamethazin dan sulfadimin pernah dilaporkan dapat menyebabkan tumor pada uji bioassay hewan rodensia dan juga sangat toksik pada kelenjar tiroid. Kehadiran residu antibiotik dalam susu menjadi perhatian besar karena berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat dan dapat menyebabkan kerugian pada peternak. Semakin besar penggunaan antibiotik, baik untuk pengobatan (terapi) maupun sebagai imbuhan pakan, semakin besar pula manfaat yang diperoleh namun semakin besar resiko dalam keamanan pangan (Yuningsih 2005). Terjadinya resiko pada keamanan pangan yang disebabkan oleh residu antibiotik menjadi masalah yang harus benar-benar diperhatikan. Menurut Sridadi (1990) perlu dilakukan langkah-langkah pengamanan penggunaan antibiotik dalam peternakan untuk mendapat manfaat yang maksimal dari penggunaan antibiotik dan meminimalkan resiko. Langkah-langkah tersebut adalah: a.
Langkah pengamanan penggunaan antibiotik dalam terapi penyakit infeksi. Penggunaan antibiotik untuk terapi harus didasarkan pada diagnosa yang tepat dan penggunaannya yang lebih selektif, seperti: pembatasan dalam pemakaian, pergiliran antibiotik yang dipakai, diversifikasi dengan memanfaatkan penemuan antibiotik yang baru dan kombinasi antibiotik yang telah teruji.
b.
Langkah pengamananan penggunaan antibiotik dalam terapi profilaksis. Pengobatan dan pencegahan penyakit sebaiknya dilakukan pada saat sapi dalam masa kering kandang dengan dosis yang besar sehingga pada saat laktasi tidak terjadi residu antibiotik, misalnya pada saat pengobatan mastitis. Selain langkah pengamanan penggunaan antibiotik dalam terapi penyakit
infeksi dan profilaksis, ada juga pengamanan penggunaan antibiotik sebagai pemicu pertumbuhan (growth promotor) melalui langkah-langkah standarisasi pemakaian antibiotik sebagai imbuhan pakan, pemberian informasi yang jelas mengenai withdrawal time periode untuk masing-masing antibiotik yang digunakan, dan pemberian informasi tentang daya kerja antibiotik untuk mengurangi dampak residu.
15
Metode Pengujian Residu Antibiotik Banyak metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi residu antibiotik dalam susu segar sapi. Metode-metode tersebut diantaranya uji yoghurt test (Mohsenzadeh &
Bahrainipour 2008), bioassay (Eenennaam et al. 1993),
enzyme-liked immunosorbent assay (Wang et al. 2009), dan high performance liquid chromatography (Wehr & Frank 2004).
Yoghurt Test Menurut Mohsenzadeh dan Bahrainipour (2008) proses dari yoghurt test ini yaitu susu dengan pH 6.0, dipanaskan dengan penangas air untuk beberapa saat pada 45 °C dan diinokulasikan dengan yoghurt culture yang terdiri dari campuran Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus delbrueckii subspesies bulgaricus. Yoghurt test disiapkan dengan campuran 1 g biakan yoghurt culture segar dengan 99 ml susu skim yang telah dipanaskan pada suhu 95 °C selama 5 menit. Setelah semua tercampur secara homogen, yoghurt culture ditempatkan dalam penangas air pada suhu 42 °C selama 2.5 jam untuk memroduksi asam dalam susu. Kemudian diamati konsistensi susu antara kental atau encer. Hasil kultur disimpan pada suhu 5 °C. Penelitian yang dilakukan Mohsenzadeh dan Bahrainipour (2008) menyatakan bahwa yoghurt test memiliki kemampuan mendeteksi residu antibiotik di dalam susu. Yoghurt test memiliki sensitivitas terhadap 15 jenis antibiotik, yaitu penisilin-G, ampisilin, amoksisilin, sefaleksin, sefazolin, oxytetrasiklin, klortetrasiklin, tetrasiklin, doksisiklin, sulfadimidin, gentamisin, spektinomisin, eritromisin, tylosin, dan kloramfenikol. Uji ini merupakan salah satu uji untuk menentukan keberadaan residu antibiotik secara umum. Yoghurt
test
memiliki
kepekaan
yang
baik
terhadap
antibiotik
kloramfenikol, oksitetrasiklin, dan eritromisin dibandingkan terhadap antibiotik lainnya sedangkan kepekaan terhadap antibiotik penisilin dan ampisilin sangat rendah (Yamani et al. 1999). Keuntungan dari yoghurt test yaitu, sederhana, murah, dan mudah untuk dilakukan (Yamani et al. 1999). Yoghurt test juga memiliki kelemahan yaitu tidak sensitif terhadap golongan antibiotik β-laktam (Mohsenzadeh & Bahrainipour 2008)
16
Bioassay Bioassay merupakan salah satu metode pengujian yang menggunakan mikroorganisme untuk mendeteksi senyawa antibiotik yang masih aktif (BSN 2008). Menurut Zulfianti (2005) prinsip uji bioassay adalah adanya daya hambat terhadap pertumbuhan bakteri oleh antibiotik yang terkandung dalam produk peternakan yang menunjukkan positif adanya residu. Besarnya diameter daerah hambat dapat dilihat dan diukur di sekitar kertas cakram. Besarnya diameter ini menunjukkan konsentrasi residu antibiotik (Pikkemaat et al. 2009). Sebaliknya, jika tidak ada daya hambat pertumbuhan bakteri oleh antibiotik, maka produk peternakan dinyatakan tidak mengandung residu antibiotik atau negatif terhadap residu antibiotik.
Enzyme-liked immunosorbent assay Enzyme-liked immunosorbent assay (ELISA) merupakan salah satu uji untuk diagnosis dalam pengendalian penyakit hewan, deteksi residu antibiotik, hormon, dan residu pestisida yang terdapat dalam susu sebagai akibat dari pengobatan atau pemacu pertumbuhan pada hewan. Metode ELISA merupakan metode yang sederhana, cepat, spesifik, dan memiliki sensitivitas yang tinggi untuk menganalisa beberapa sampel dalam waktu yang sama (Cliquet et al. 2001). Prinsip ELISA adalah menggunakan antigen atau antibodi yang akan diikatkan pada matriks padat (mikrowell plate) untuk menangkap antigen atau antibodi yang ada di dalam larutan sampel. Kompleks antigen-antibodi atau antibodi-antigen yang terbentuk akan dideteksi dengan menggunakan antibodi atau antigen yang sudah dilabel dengan enzim. Konsentrasi ikatan komplek antigen-antibodi atau sebaliknya akan dibantu oleh substrat enzim yang dibaca dalam ELISA plate reader (Latif 2004).
High Performance liquid Chromatography High performance liquid chromatography (HPLC) atau kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) merupakan metode yang dapat menganalisis hampir semua golongan antibiotik, misalnya golongan makrolida, β-laktam, kloramfenikol, dan antibiotik lainnya (Yuningsih 2005). Metode HPLC ini memiliki tiga tahapan
17
selama proses uji, yaitu tahap ekstraksi, pemurnian, dan deteksi. Tahap ekstraksi merupakan tahap pemisahan antibiotik dari matriks lain (lemak, protein, dan lainlain) dengan bahan larutan buffer atau bahan organik lain (pelarut antibiotik) melalui pengocokan, biasanya menggunakan alat shaker atau vortex. Tahap pemurnian dilakukan dengan teknik yang cepat dan efisien dalam pemakaian bahan kimia, yaitu teknik solid phase extraction (SPE) dengan menggunakan catridge C18. Tahap deteksi dilakukan dengan menginjeksikan hasil pemurnian pada alat KCKT dan diikuti dengan injeksi larutan standar antibiotik sebagai pembanding serta larutan fase gerak yang spesifik pada tiap jenis antibiotik.