TINJAUAN PUSTAKA Manure Ayam Petelur Deskripsi Manure Ayam Petelur Manure ayam adalah unsur-unsur yang tidak berfaedah yang keluar dari saluran pencemaan dan air seni yang bermuara di kloaka, terdiri atas sisa ransum yang tidak dapat dicerna, sisa sekresi pencemaan, bakteri yang mati maupun yang hidup, garamgaram organik, sel-sel epithel yang telah rusak dan asam-asam amino yang tidak terserap (North, 1978). Menurut Guntoro dan Wisnu (1984) manure ayam petelur ternyata masih banyak mengandung unsur-unsw kirnia dan zat-zat makanan yang cukup tinggi terutama kandungan protein, vitamin, dan mineral, sehingga mash dapat Qgunakan kembali sebagai bahan ransum ternak. Jull (1978) menyatakan bahwa produksi manure ayam petelur segar yang dihasilkan dari 100 ekor ayam petelur adalah sebesar 7 ton per tahun, Ewing (1963) 33-4 ton per tahun dan Muller (1980) 6,5 ton manure ayam petelur segar atau I ,6 ton manure kering per tahunnya. Sebagai bahan pakan dalam ransum, manure ayam petelur belum pemah memberikan efek negatif
baik pada ternak maupun pada
manusia yang mengkonsumsi daging yang mendapatkan ransum dengan manure ayam petelur (Syret(1977).
Nutrisi dalam Manure Ayam Petelur Komposisi dan nilai nutrisi manure ayam petelur sangat bervariasi tergantung pada sifat fisiologi ayam, ranswn yang dimakan, umw ayam, lingkungan kandang
termasuk suhu dan kelembaban, cara pemeliharaan, cara pengurnpulan, pengolahan kotoran dan lama dibiarkan sebelum diolah ( Biely et al., 1980). Selanjutnya Muller (1980) menambahkan faktor yang mempenganhnya antara lain adalah spesies dan kelas ternak, kapasitas produksi, tata laksana pemberian ransum, ransum yang terbuang, tingkat nutnsi dan komposisi ransum dan sistem penampungan. Kandungan manure ayam broiler dari sistem panggung, mengandung protein kasar 32,17% dengan protein sejati 13,52%, serat kasar 15,90% ( Babatunde, 1979). Chang et al. (1978) menyatakan bahwa protein kasar dari manure ayam petelur berkisar antara 21 sampai 33% dari bahan kering. Zindel(1972) menyatakan bahwa manure ayam petelur mengandung protein kasar 33,44%, protein sejati sebesar 10,25% dan sisanya menlpakan nitrogen bukan protein (NPN).
Bhattacharya dan
Taylor (1975) menemukan manure ayam pedaging mengandung total nitrogen yang cukup tinggi dengan rataan 31%, sedangkan manure ayam petelur mengandung protein kasar sedikit leblh rendah dengan rataan 28%. Manure ayam petelur juga merupakan sumber energi yang cukup potensial. Fontenot dan Webb (1975) melaporkan bahwa manure ayam pedaging mengandung 60% TDN (Total Digestible Nutrient) dan 2740 kkal DE (9,737 KJ) dan 2181 kkal (9,125 KJ) ME untuk setiap kilogram bahan kering. Kamal (1998) menyatakan bahwa kandungan protein kasar manure ayam petelw sekitar 30% dari bahan keringnya,
namun kandungan asam amino esensialnya rendah oleh karena itu
disarankan agar penggunaan manure ayam petelur sebanyak 5 sampai lo%, dengan 20%.
dalam ransum babi adalah
untuk broiler sampai 5%, untuk ayam petelur sampai
Cross dan Jenny (1976) menyatakan manure ayam petelur mengandung kalsiurn dan posfor yang cukup tinggi, sedangkan kandungan abu sebesar 36,6%. Kandungan zat-zat makanan dari manure ayam petelur oleh beberapa peneliti dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan kandungan asam amino manure ayam petelur dari beberapa peneliti dapat dillhat pada Tabel 2. Penggunaan manure petelur sebagai bahan baku ransum sudah pernah diteliti oleh beberapa akhli diantaranya Yoo et al. (1977) dimana 15% manure ayam petelur pada ransum unggas tidak memberi pengaruh pada rataan produksi telur, konsumsi harian dan keefisienan ransum.
Sheppard et al. (1971) menemukan 25% manure
ayam petelur sebagai carnpuran ransum untuk ayam petelur dapat meningkatkan produksi tel~u, konversi ransum lebih rendah dan tingkat kematian lebih rendah jika dibandingkan dengan ransum yang mengandung bekatul.
Nitis et al. (1983)
menemukan bahwa pengaruh manure ayam petelur terhadap penampilan babi Bali x Saddle Back pada sistem turnpang sari menunjukkan perturnbuhan 17% lebih baik daripada yang tidak diberi manure ayam petelur, ditemukan juga bahwa kandang demikian tidak menunjukkan perbedaan konsumsi ransum. Yeck dan Schleusener (1971) menemukan bahwa manure ayam petelur cukup bak digunakan untuk ternak ruminansia karena mempunyai kadar nitrogen bukan protein (NPN) yang tinggi dan dalam jurnlah besar dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisma rumen sebagai sumber pembentukan protein.
Tabel 1. Kandungan Zat Makanan dalam Manure Ayam Petelur dari Berbagai Sumber Zat Makanan
a
c
b . . . . . . ... ...%. .. ... ....
Air 4,5 Protein Kasar 24,3 Protein Sejati 14,7 NPN 9,5 Asam Urat Lemak Kasar 4,1 Serat Kasar 10,l Abu 35,8 Kalsium 10,6 Posphor 2,7 Sumber: a. Boushy dan Vink (1977) b. Flegal dan Zindel(1970)
7,3 24,2 10,s 13,4
9,6 27,O 10,6 16,4 5,7 1,s 14,9 26,5 7,4 2,1
2,1 13,7 26,9 7,8 2,6
c Blalr dan Kn~ght(1 973)
Tabel 2. Persentase Komposisi Asarn Amino Esensial Manure Ayam Petelur Asam Amino --
a
c
b -
--
Lisin 0,56 Histidine 0,19 Arginin 0,53 0,60 Treonin Valin 0,83 Metionin 0,29 Isoleusin 0,66 Leusin 0,94 Penilalanin 0,53 Surnber : a. Boushy dan Vink (1977) b. Flegal dan Zindel(1970) c. Blair dan Kmght (1977)
-
--
--
0,49 0,20 0,47 0,50 0,62 0,09 0,50 0,SO 0,45
-
---
0,39 0,19 0,4 1 0,40
0,12 0,37 0,60 0,36
Faktor Pembatas Manure Ayam Petelur
Faktor pembatas penggunaan manure ayam petelur dalam ransum adalah kandungan serat kasar tinggi dengan energi rendah ( Arndt et al., 1979) oleh sebab itu
Blair (1982) menyarankan penggunaan manure ayam petelur dalam ransum perlu dipertimbangkan batasannya dan disesuatkan dengan kebutuhannya karena manure ayam petelur mempunyai kandungan serat kasar yang cukup tinggy yaitu 14,9% dan energy metabolisme rendah. Kandungan serat kasar pada manure ayam petelur dapat mencapai 14,9% dengan rincian dinding sel 35,9%, hemiselulosa 18%, selulosa 13,2%, clan lignin 3,4% (Smith dan Calvert, 1976). Aritonang, (1993) menganjurkan pemberian serat kasar pada babi grower sebanyak 6%, oleh karena itu pemberian tepung manure ayam petelur hams dibatasi supaya ransum tidak amba (bulky) dan menurunkan kualitas ransum. Faktor pembatas lainnya adalah kandungan NPN dalam manure ayam petelur cukup tinggy sebesar 47 sampai 64% dari total nitrogen bahan kering, sedangkan 30 60% asam urat dari NPN tidak dapat dicerna oleh unggas (Blair, 1982). Menurut Bo Gohl (1981) bahwa manure ayam petelur mengandung protein kasar 30% dari bobot kering dan setengahnya mengandung asam urat. Asam urat merupakan bagian terbesar dari NPN. Menurut 07Dell et al. (1960) hasil analisis N dalam win ayam mengandung N urea sebesar 4,5%, NH3 10,5%, N asam amino 2,2%, N asam urat 80,7% dan N lainnya 2,1%. Selanjutnya dilaporkan bahwa 40 hingga 50% nitrogen yang terdapat dalam manure ayam petelur adalah dalam bentuk protein murni, asam urat merupakan bahan utama penyusun nitrogen bukan protein (NPN)dm jurnlah tersebut dapat mencapai 30% dari total nitrogen manure ayam petelur (Fontenot dan Webb, 1975). Bahaya yang mungkm timbul dengan adanya daur ulang manure ayam petelur adalah kandungan bakteri patogen, jamur, sisa pestisida, sisa obat-obatan dan logam
berat (Fontenot dan Webb, 1975). Menurut Arndt et al. (1979) manure ayam petelur mengandung banyak bakteri antara lain alcaligenes, echerichia, aerobacter, micrococus, streptococcus, lactobactilus, arthrohacter, bacillus, dan clostridium, akan tetapi dapat diatasi dengan cara penjemuran atau pengeringan.
Fontenot dan
Webb (1975) menganjurkan sebelum manure ayam petelur dicampur dalarn ransurn perlu dilakukan pengolahan terlebih dahulu sehingga terhindar dari organisme yang membahayakan seperti bakteri, jamur dan sisa pestisida.
Pengolahan Manure Ayam Petelur
Pengolahan manure ayam petelur sebelum digunakan dalam ransum akan meningkatkan palatabilitas, melindungi zat-zat makanan, membunuh bibit penyakit, dan mengurang bau (Saaka, 1986). Usaha untuk mengurangi kendala tersebut diatas dapat dilakukan dengan cara pemanasan, pengglingan atau melalui proses fermentasi. Penggunaan manure ayam petelur sebagai bahan baku ransum tidak dapat langsung dicampur dengan bahan baku lain, sebab kandungan air manure ayam petelur sangat tinggi yaitu 75% (Biely et ~ 1 . ~ 1 9 8 oleh 0 ) sebab itu sebelurn manure digunakan, harus dikeringkan terlebih dahulu agar kadar airnya berkurang dan mudah dicampur dengan bahan baku lain. Pengeringan manure ayam petelur hams cepat dilakukan karena mudah mengalami fermentasi (Kamal, 1998). Arndt et al. (1979) mengemukakan beberapa cara pengolahan manure ayam petelur, yang terutama dilakukan adalah pengeringan dengan panas matahari (pengeringan alamiah) dan pengeringan dengan oven, masing-masing pengolahan
tersebut mempunyai keuntungan dan kerugian. Pengeringan alamiah merniliki keuntungan yaitu manure ayam petelur yang dkeringkan mudah bercampur dengan ransurn, penanganan mudah dan murah, kerugiannya adalah kehilangan nitrogen dan nilai gizi yang cukup tinggi, mudah menggumpal sehingga perlu dihancurkan untuk penggunaan berikutnya. Pada pengeringan oven biasanya lebih disukai oleh ternak karena baunya hilang, tetapi pengolahan ini memerlukan biaya yang cukup tinggi. Shannon dan Brown (1969) melaporkan bahwa pengeringan dengan sinar matahari merupakan alternatif yang terbaik, disamping biaya murah, energi dan nitrogen yang hilang lebih kecil yaitu 1,3% &banding dengan pengeringan dengan oven pada suhu 60-120°C sebesar 1,2 - 6,6%. Menurut Bo Gohl (1981) suhu pengeringan tidak boleh lebih dari 90°C agar proteinnya tidak rusak dan tidak boleh kurang dari 70°C agar manure ayam petelur tetap steril.
Yeck dm Schleusener
(1971) melaporkan bahwa manure ayam petelur dapat didaur ulang lebih dari sekali tanpa kehilangan zat-zat makanan dalam manure ayam tersebut.
Asam Amino Lisin Deskripsi Asam Amino Lisin
Protein tersusun dari asam-asam amino (Crampton dan Harris, 1969). Kualitas dari protein ditentukan oleh adanya asarn amino esensial yakni asam amino yang tidak dapat dibentuk dalam tubuh (Morrison, 1959). Asam-asam amino esensial untuk babi adalah asam amino lisin, triptopan, histidin, leusin, isoleusin, penilalanin, treonin, metionin, valin dan arginin. Diantara asam amino esensial ini yang sering
h a n g dalam campuran bahan ransum babi dalam praktek sehari-hari adalah asam amino lisin, triptophan dan metionin (Sihombing, 1997). Lisin merupakan asam amino esensial yang paling rawan, karena lisin sering kekurangan dalam bahan makanan nabati (Sutardi, 1980). Selain itu asam amino lisin sangat peka terhadap panas dan mudah rusak karenanya. Lisin merupakan asam amino esensial sehingga perlu ditambahkan kedalam ransum (Krider dan Carrol, 1977), jika asam amino lisin berlebih maka kelebihan itu akan dimetabolis menghasilkan nitrogen dan dlkeluarkan melalui urin (Morrison, 1959). Anggorodi (1985) menyatakan bahwa asam amino lisin (C6H1402N2) adalah salah satu asam amino esensial yang mempunyai dua gugus amino (-NH2) clan satu gugus carbohydrogen atau karboksil (-COOH). Berdasarkan struktur kmianya, maka asam amino lisin digolongkan kedalam asam-asam amino aliphatic yaitu dalam subgolongan asam dlammo-monocarxyllc. Bangun kirnia asam amino lisin (asam a -
E
-
dlammokaproat) adalah sebagai berikut : CH2 - CH2 -CH2 - CH2 - CH - COOH
I
NH2
I
NH2
Faktor yang mempengaruhi kebutuhan ternak akan asam amino lisin antara lain adalah genetik, umur, temperatux-, keseimbangan asam-asam amino dan jenis kelamin (Austic, 1982). Defisiensi asam amino lisin akan menyebabkan berkurangnya nafsu makan, menurunnya bobot badan, rambut kering dan kondisi umum menjadi kurus (Cunha, 1977) Menurut Parakkasi (1985) bahwa penambahan asam amino esensial (lisin dan metionin) sekurang-kurangnya pada bahan ransum yang rendah kualitas proteinnya
mempunyai respon yang positif, penambahan sedilat asam amino pembatas (yang paling defisien) akan memperbaiki keseimbangan asam amino yang ada untuk hidup pokok atau produksi dan mengurangi jumlah asam amino yang terbuang. Asam amino lisin sintetis biasanya ditambahkan dalam ransurn berbentuk L-lrsm monohrdrokhlorat dengan kemurnian 98% dan mengandung total asam amino lisin
80%. Asam amino lisin umumnya merupakan asam amino pembatas utama dalam ransum dengan bahan dasar biji-bijian pada babi yang sedang bertwnbuh karena ransum dengan bahan dasar biji-bijian defisien akan asam amino lisin, kebanyakan konsentrat protein adalah marginal akan kandungan asam amino lisin dan babi mempunyai kebutuhan asam amino lisin yang tinggi untuk pembentukan daging (Siagian, 1999). Lunchick et al. (1978) menyatakan bahwa dengan penambahan asam amino lisin kedalam ransum babi dengan kadar protein kasar 16 dan 18% sama nilainya dengan ransum berkadar protein kasar 20%. Sedangkan Easter dan Baker (1980) menyatakan bahwa babi yang diberi ransum berkadar protein kasar rendah tanpa suplementasi asam amino lisin akan mengalami penurunan bobot badan.
Peranan Asam Amino Lisin terhadap Penampilan Produksi Babi Sheppard et al. (197 1) menyatakan bahan penyusunan ransum dengan tingkat protein tertentu bertujuan untuk mementh tingkat asarn amino esensial yang kritis yaitu asam amino lisin dan metionin. Sutardi (1980) menyatakan keseimbangan asam amino adalah penyimpangan pola komposisi atau imbangan asam-asam amino
berkadar protein rendah yang menyebabkan penurunan selera makan dan laju perturnbuhan, akan tetapi dapat dikoreksi dengan suplementasi asam amino pembatas pertama. Ketidak seimbangan asam amino mempunyai penyimpangan dua arah, yaitu protein tersebut mempunyai kekurangan satu atau beberapa asam amino esensial dan kelebihan asam amino yang lain. Asam amino lisin merupakan asam amino pembatas dalam ransum babi oleh karena itu babi yang diberi ransurn berkadar protein kasar rendah tanpa suplementasi asam amino lisin akan mengalami penurunan bobot badan (Siagian, 1999). Penambahan asam amino lisin kedalam ransum babi akan meningkatkan konsumsi ransum, daya cerna dan penyerapan bahan makanan sehingga sangat penting untuk dipenuh (Hamilton dan Veum, 1986), dan babi tidak dapat mengkonsumsi asam amino yang berlebih hari ini untuk mencukupi
kebutuhan
besok (Cunha, 1977). Yen et al. (1986) juga menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi asam amino lisin secara linier akan meningkatkan penampilan babi. National Research Council (1988) merekomendasikan kebutuhan asam amino lisin untuk babi priode starter ( 20-35 kg) sebesar 0,7%. Kemudian Yen et al. (1986)
menyatakan penggunaan L-lisin yang optmal untuk perturnbuhan babi muda telah ditetapkan sebesar 0,5 - 1,0% dalam ransum. Frekuensi pemberian ransum yang lebih sering, akan meningkatkan penyerapan asam amino bebas dan asam amino terikat. Peningkatan frekuensi pemberian asam amino lisin sintetik secara linier menurunkan tebal lemak punggung dan meningkatkan retensi nitrogen, tetapi tidak berpengaruh terhadap konversi ransum dan pertambahan bobot badan (William et al., 1984). Kemuhan Easter dan Baker
(1980) melaporkan laju penambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum meningkat sesuai dengan peningkatan kadar protein ransum 16 dan 18% dm penambahan 0,2% asam amino lisin sintetis atau babi yang diberi ransum berkadar protein rendah tanpa diberi suplemen asam amino lisin akan mengalami penunman bobot badan.
Deskripsi Babi
Babi merupakan ternak monogastrik yang mempunyai kesanggupan dalam mengubah bahan makanan secara efisien. Babi lebih cepat tumbuh, cepat dewasa dan prolifik ditunjukkan dengan banyak anak perkelahiran berkisar 8
-
14
ekor, dengan rata-rata dua kali kelahiran per tahunnya. Menurut Parrakasi (1985), babi dara dapat dikawinkan pada umur delapan bulan, beranak pada umur satu tahun dan dapat mencapai bobot
* 100 kg pada umur 5 - 6 bulan bila dipelihara pada
keadaan sehat. Ransum Babi
Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam menyusun ransum babi adalah kebutuhan zat-zat makanan bagi babi harus terpenuhi, ekonomis dan efisien dalam mencerna bahan-bahan ransum yang diberikan. Kandungan protein (asam-asam amino) ransum yang optimal pada ransum babi harus pula memperhatikan kandungan energinya, hal ini disebabkan karena
dbutuhkan sejumlah energi untuk membuat tiap gram protein untuk pertumbuhan. Kebutuhan zat makanan babi berbagai periode dapat dilihat dalam Tabel 3. Tabel 3. Kebutuhan Zat Makanan untuk Babi Fase Grower - Finisher (NRC 1988)
I makanan
Satuan
Energi dt dicema Protein kasar Asam amino : Arginin Penilalanin Histidin Isoleusin Leusin Lisin Metionin Treonin Triptopan
Bobot badan 20-30
I
Bobot badan
I
Bobot badan
I
3.380
Mineral Posfor Kalium Kalsium Mangan Natrium
Batterham (1990) menyatakan bahwa sedlkitnya ada sembilan asam amino esensial yang sangat diperlukan babi. Untuk menjaga proporsi asam amino yang seimbang tersebut dilakukan perhitungan relatif terhadap asam amino lisin. Kekurangan salah satu asarn amino tersebut akan mengakibatkan asam amino lain kurang terpakai, yang pada akhimya akan dipecah menjadi energ dan nitrogen akhirnya dibuang melalui urin. Huges dan Varley (1980) menyatakan selain kebutuhan asam amino perlu juga diperhtungkan keseimbangan protein dan energi untuk menjaga pertumbuhan babi yang optimal. Batterham (1 990) menambahkan bahwa kelemahan penggunaan asam
amino lisin sintetis adalah kelarutannya cukup tinggi dan mudah hcerna, sehingga hanya dapat dimanfaatkan 50% oleh babi.
Konsumsi Ransum Babi
Ransum adalah makanan yang disediakan bagi ternak untuk 24 jam (Anggorodi, 1994). Ransum sempurna adalah kombinasi beberapa bahan makanan yang bila dikonsumsi secara normal dapat mensuplai zat-zat makanan kepada ternak dalam perbandingan jumlah, bentuk, sedemikian rupa sehingga fungsi-fungsi fisiologis dalam tubuh berjalan secara normal (Parakkasi, 1983). Pada ransum dengan tingkat protein 14,
16 dan 18%, rataan konsumsi ransum harian masing-masing adalah
1,961, 1,984 dan 1,986 kg dengan bobot badan 20-90 kg (Close, 1983). Konsumsi ransum harian sangat dipengaruhi oleh bobot badan, umur ternak dan
temperatur, pada temperatur lingkungan yang tmggi, ternak akan mengurangi
konsumsi ransum (Devendra dan Fuller,1979). Sedangkan kandungan serat kasar dalam ransum akan
mempengaruhi daya cerna dan konsumsi ransum sekaligus
mempengaruhi efisiensi penggunaan makanan (Tillman el al., 1984). Tingkat konsumsi (voluntary feed intake) adalah jumlah ransum yang termakan oleh ternak bila bahan makan ternak diberikan ad lzb~tum. Church (1979) menyatakan faktor penting yang menentukan tingkat konsumsi ransum adalah palatabilitas dan palatabilitas tergantung kepada bau, rasa, tekstur, dan beberapa faktor lain seperti suhu lingkungan, kesehatan ternak, stres, dan bentuk ransum. Anggorodi (1985) menambahkan bahwa konsumsi ransum cenderung meningkat bila kandungan energi menurun, dan jumlah konsumsi ransum akan berkurang pada tingkat energi tinggi.
Menurut NRC (1988), pada masa pertumbuhan babi dengan bobot badan 20 50 kg akan mengkonsumsi ransum per hari 1900 gram bobot kering. Karena konsumsi yang semakm tinggi tidak selalu hikuti dengan kenaikan bobot badan, babi yang masih muda lebih efisien dalam menggunakan ransum dibanding dengan babi yang telah lewat pubertas.
Frekuensi pemberian ransum akan memberi pengaruh
terhadap jumlah ransum yang dikonsumsi. Pada umumnya konsumsi ransum per hari akan meningkat dengan meningkatnya fiekuensi pemberian ransum. Menurut Supnet (1980), bahwa babi dengan bobot 10-90 kg yang diberi ransum dua kali sehari akan mengkonsumsi ransum rata-rata sebesar 1,54 kg per ekor per hari. Pada pemberian tiga kali sehari konsumsi ransum sebesar 1,92 kg clan yang diberi ad lrbitum konsumsi ransum sebesar 2,61 kg/ekor/hari. Tillman et al. (1984) menyatakan bahwa konsumsi ransum berhubungan erat dengan daya cerna, semakin tinggi daya cerna bahan ransum maka konsumsi semakin tinggi. Supnet (1980) menyatakan bahwa suhu lingkungan juga turut mempengaruhi tingkat konsumsi ransurn, semakin tmggi suhu lingkungan maka konsumsi ransum akan menurun yang diikuti peningkatan temperatur rectal dan kecepatan respirasi. Williamson dan Payne (1978)
menyatakan bahwa temperatur lingkungan yang
optimal untuk babi dengan bobot badan 20-50 kg adalah 18-22" C.
Pertumbuhan Babi
Pertumbuhan meliputi perbanyakan jurnlah sel (hiperplasi) serta peningkatan ~ k u r a nsel (hipertropi), didefinisikan sebagai pertambahan besar dari otot, tulang, organ-organ dalam dan bagian tubuh lainnya (Anggorodi, 1979). Menurut Cunha
(1977) kurva pertumbuhan babi normal adalah seperti huruf S atau sigmozd dan kenaikan bobot yang tertinggi adalah pada saat menjelang dewasa kelaminlpubertas, pada keadaan ini kecepatan pertumbuhan maksimum. Lebih lanjut dinyatakan pula bahwa pertumbuhan merupakan fimgsi daripada konsumsi langsung yang dipengaruhi oleh nafsu makan dan diatur oleh pusat saraf hlpotalamus
(Goodwin, 1974).
Menurut Tillman et al. (1984) perturnbuhan mempunyai tahap-tahap yang cepat dan larnbat. Tahap cepat terjadi pada saat lahir sampai pubertas, dan tahap lambat terjadi pada saat-saat kedewasaan tubuh tercapai. Pertumbuhan umumnya diukw dengan kenaikan bobot badan yang dengan mudah dilakukan dengan penimbangan berulang-ulang dan diketengahkan sebagai pertambahan bobot badan harian, minggu atau tiap waktu lainnya (Tillrnan et al., 1984) Harnmond (1971) menyatakan dua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan yaitu kandungan zat makanan dan daya cerna bahan makanan. Parakkasi (1985) menyatakan bahwa babi muda, pertumbuhan mengarah pada penyimpanan protein dan air sampai dengan bobot badan sekitar 40 kg, setelah itu mulailah energi tersebut dipakai untuk pembentukan jaringan lemak yang semakm meningkat dengan bertambahnya umur. Speedy (1980) mengemukakan bahwa kecepatan pertumbuhan suatu ternak dlpengaruhi berbagai faktor yaitu bangsa, jenis kelamin,
ww,ranqufX1
serta kondisi lingkungan lainnya. Maynard et al. (1979) menyatakan bahwa protein menempati urutan paling penting diantara zat-zat makqpqn laiw 1I
74
YMYdibqpfkatf FM I
/
y $ ~ k qan
iliy~
produksi, dsamping protein juga dibutuhkan sejumlah energi yang cukup untuk membantu proses pertumbuhan. Ensminger (1969) menyatakan bobot badan periode starter biasanya antara 1545 kg dan kebutuhan protein berkisar antara 14 - 16%, dan menurut Knder dan Carrol (1977) adalah 16% sedangkan menurut NRC (1988) kebutuhan protein kasar pada babi starter adalah 16%, dengan energi metabolisme sebesar 3175 kkalkg, sehmgga pertarnbahan bobot badan diharapkan 0,6 kg, sedangkan konsumsi ransurn sebanyak 1,7 kg maka konsumsi protein kasar 272 gram/hari dan energi dapat dicerna 5610 kkallhari. Menurut Sihombing (1997) periode pertumbuhan - pengakhiran
yaitu babi
memiliki bobot rata-rata 35 kg hmgga mencapai bobot badan 90 kg. Periode ini merupakan periode yang hams diperhatrkan akan kebutuhan zat makanannya, dan ransum yang bermutu tinggi adalah salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi performans babi grower. Menurut NRC (1988) babi mempunyai pertambahan bobot badan dan konversi ransum yang tinggi, pada babi periode pengakhlran pertambahan bobot badan mencapai 820 gr/hr dan konversi ransum 3,11.
Efisiensi Penggunaan Ransum Babi Efisiensi penggunaan ransum adalah kemampuan ternak mengubah ransum kedalam bentuk tambahan bobot badan (Bogart, 1977). Sedangkan konversi ransum yang dilaporkan oleh Campbell et al. (1985) tergantung kepada : (1) kemarnpuan ternak untuk mencerna zat makanan, (2) kebutuhan ternak akan energ dan protein untuk pertumbuhan, hidup pokok dan fungsi tubuh lainnya, (3) jumlah zat makanan
yang hilang melalui proses metabolisme dan kerja yang tidak produkbf dan (4) tipe ransum yang dkonsumsi. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi penggunaan ransum adalah keturunan, urnur dan bobot badan, tingkat konsumsi ransum, pertambahan bobot badan per hari, palatabilitas clan hormon. Hammond (1971) menyatakan bahwa efisiensi penggunaan ransum tergantung kepada aktivitas fisiologi ternak, sementara Williamson dan Payne (1978) menyatakan bahwa efisiensi penggunaan ransum akan menwun apabila suhu meningkat diatas suhu kritis. Nilai konversi ransum dipengaruhi oleh pertumbuhan babi itu sendiri (Dunlun,1978). Menurut Cole (1972), bahwa konversi ransum akan menurun dengan bertambah besarnya babi dan variasi akan terjadi diantara bangsa-bangsa babi. Faktor lain yang mempengaruhinya adalah keturunan, umur, bobot badan, tingkat konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, palatabilitas, dan hormon. Sedangkan Devendra dan Fuller (1979) menyatakan bahwa faktor yang mempenganh konversi ransum adalah
nutrisi,
bangsa
ternak,
lingkungan, kesehatan
ternak
dm
keseimbangan ransum yang diberikan. Menurut Arganosa et al. (1977) bahwa kandungan energi ransum berpengaruh terhadap konversi ransum, pada ransum berenergi 3000 dan 2400 kkal EMkg, konversi ransum masing-masing adalah 3,37 dan 4,26 sedangkan protein ransum 14, 16 dan 18%, konversi ransum yang diperoleh masing-masing 2,91, 2,82 dan 2,88 (Campell et al., 1985).
Umur Mencapai Bobot Potong Babi
Secara ekonomis bobot hidup 90 kg merupakan bobot potong optimum karena akan mampu meningkatkan kualitas daging yang lebih balk dan memudahkan penanganan pada saat pemotongan. Bobot potong umumnya akan dicapai pada urnur 10 bulan, namum dengan pemberian ransurn yang lebih baik akan mampu mempercepat pencapaian bobot potong.
Untuk menghasilkan bobot karkas yang
berkisar 78 - 86 kg maka babi sebaiknya dipotong pada bobot hdup dengan lusaran 90 - I00 kg (Sihombing, 1997). Secara umum pencapaian bobot potong dipengaruhi oleh faktor bangsa ternak, jenis kelamin, kematangan seksual, cara dan jenis ransmn yang diberikan serta interaksi antara keempat faktor tersebut (Sihombing, 1997).
Karkas Babi Tujuan utarna dalam produksi babi adalah memaksimalkan daging dengan tebal lemak yang dapat diterima. bobot hidup,
Karkas babi yang dihasilkan berkisar 60 - 90% dari
tergantung pada kondisi ternak, kekenyangan, kualitas dan cara
pemotongan. Faktor kekenyangan pada babi kurang begitu pentmg pengaruhnya terhadap bobot karkas dibandingkan pada sapi karena babi mempunyai kapasitas lambung yang lebih kecil (Ensminger, 1969). Devendra dan Fuller (1979) menyatakan persentase karkas adalah perbandingan bobot karkas terhadap bobot hdup dalam persen, persentase karkas ini dapat menggambarkan bagian daging yang dapat dimakan dari bobot hidup ternak. Persentase karkas normal berkisar antara 60-70% dari bobot hidup. Persentase karkas
lebih tinggi pada babi dibandingkan pada sapi atau domba, karena babi tidak mempunyai rongga badan yang terlalu besar (Blakely dan Bade, 1985). Campbell et al. (1985) menyatakan besarnya persentase karkas dipengaruhi oleh faktor tipe
ternak,
penanganan ternak, lamanya pemuasaan serta banyaknya kotoran yang
dikeluarkan. Pemberian makanan yang bersifat bulky dan lama pemuasaan sebeliun ternak dipotong dapat berpengaruh pada persentase karkas yang dihasilkan (Devendra dan Fuller, 1979).
Tebal Lemak Punggung (TLP)
Tebai lemak punggung merupakan indikator yang baik dalarn menentukan kualitas karkas karena dua perbga dari seluruh lemak pada karkas babi adalah subcutan. Menurut Krider dan Carrol (1971) tebal lemak punggung memiliki hubungan terhadap komposisi daging yang dihasilkan seperti terlihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hubungan antara Tebal Lemak Punggung dan Persentase Daging yang Dihasilkan terhadap Golongan Ternak Menurut Mutunya Kelas
Tebal Lemak Punggung (cm)
US No 1 < 3,56 3,56 - 4,32 US NO 2 US No 3 4,32 - 5,08 US No 4 >5,08 Sumber : Meat Evaluation Handbook, 1988.
Persentase Daging (%)
> 53 50 - 42,9 47 - 49,9 < 47
Campbell et al. (1985) menyatakan lemak punggung semakin tebal pada babi dapat disebabkan oleh panas yang dihasilkan akibat metabolisme lebih banyak, akibatnya ternak memungkinkan menylmpan kelebihan energi dalam bentuk lemak yang ddam ha1 ini adalah lemak punggung, juga terdapat hubungan negatif antara
tebal lemak punggung dengan panjang karkas, babi dengan badan yang pendek akan menghasilkan ketebalan lemak yang lebih dalarn daripada babi dengan badan yang lebih panjang akan menghasilkan ketebalan lemak yang lebih tipis.
Loin Eye Area
I,om eye area (LEA) merupakan luas penampang otot Longrsrmus dors~yang
diukur diantara tulang n~sukke-10 dan 11. Lozn eye area berhubungan erat dengan jumlah perototan karkas. Luas penampang tersebut mengandung lemak intramuskuler (marbling) yang berpengaruh terhadap keempukan daging.
L o ~ n eye area
dipengaruhi oleh faktor genetik. Hal tersebut diperlihatkan oleh Krider dan Carroll (1971) yang menyatakan bahwa nilai heritabilitas LEA adalah antara sedangkan menurut Whlttemore (1980) sekitar 30-50%.
16-79%,