II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Karakteristik Sapi Perah Fries Holland Sapi Fries Holland (FH) merupakan sapi yang berasal dari negeri Belanda
dan dikenal sebagai Holstein di Amerika dan di Eropa terkenal dengan namaFriesian.
Jenis sapi ini paling banyak dipelihara di Indonesia, baik pada
peternakan yang besar maupun pada peternakan rakyat.
Hal ini karena sapi FH
memiliki daya adaptasi yang baik serta produksi susu yang tinggi dibandingkan dengan bangsa sapi perah lainnya. Sapi ini berasal dari bangsa Bos Taurus yang menetap di dataran Eropa. Sapi ini mulai dikembangkan sejak tahun 1625 lalu didatangkan ke Indonesia pada kurun waktu 1891-1942 dengan impor sebanyak 105 ekor (Imelda dan Edward, 2007). Sapi FH memiliki karakteristik sebagai berikut : 1. Warna bulu hitam dengan bercak-bercak putih, di Negeri Belanda sendiri ada Fries Holland yang mempunyai warna coklat/merah dengan bercakbercak putih, bagian ujung ekor berwarna putih, bagian bawah dari carpus (bagian kaki) berwarna putih atau hitam dari atas terus ke bawah (Makin, 2011) 2. Badan besar, mempunyai kapasitas makan yang banyak berat betina umumnya 650 kg sedangkan jantan 700-900 kg, sapi betina mempunyai ambing yang besar. 3. Kepalanya panjang, sempit dan lurus, tanduk mengarah ke depan dan membengkok ke dalam, badan menyerupai baji (Zein. S, Sumoprastowo, 1984). 7
8 4. Sifat sapi FH betina jinak dan tenang, sedangkan pejantan agak galak dan ganas.
Tidak tahan panas, akan tetapi mudah menyasuaikan diri dengan
lingkungan (Makin, 2011). 5. Reproduksi menurut Ensiminger (1993) sapi FH memiliki sifat reproduksi yang baik. Berat pedet baru dilahirkan antara 24-45 kg atau 10% dari berat induk. Tetapi mempunyai sifat masak yang lambat (late maturity).
Dara
dikawinkan umur 18-21 bulan, beranak umur 28-30 bulan. 6. Produksi susu Produksi susu rata-rata pertahun di daerah asalnya (Belanda) bisa mencapai 4500-5500 liter dalam satu laktasi (305) hari. Di Indonesia, rata-rata produksi susu sapi FH berkisar antara 2500-3500 kg/laktasi (Hardjosubroto, 1994).
Jenis sapi Fries Holland ini telah terbukti dapat
menghasilkan susu yang cukup banyak terbukti produksi susu sapi FH di Amerika serikat rata-rata 7.425 per laktasi, akan tetapi rataan produksi di susu sapi FH di Indonesia lebih rendah di bandingkan dengan negara asalnya.
Produksi rataan sapi perah di Indonesia hanya mencapai 10,7
liter per ekor per hari (3.264 liter per laktasi) (Sudono, dkk., 2003; Talib, 2006).
2.2
Produksi Susu Sapi Perah FH Susu adalah hasil akhir dari rangkaian proses fisiologis yang kompleks dan
berulang sehingga terjadi berbagai macam interaksi yang berperan dalam menentukan produksi susu.
Air susu diproduksi oleh sel-sel sekretoris alveoli
dari berbagai macam zat-zat makanan dalam darah.
Pembentukan air susu
9 disebut juga sintesa air susu atau sekresi air susu. Protein darah diubah menjadi lemak ir susu, misalnya menjadi laktosa. Lemak darah diubah menjadi lemak air susu (Makin, 2011). Menurut Girisonta (1995), air susu sapi mengandung semua bahan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan anak sapi dan sebagai bahan minuman manusia yang sempurna, sebab susu sapi merupakan sumber protein, lemak, karbohidrat, mineral, dan vitamin.
Zat-zat gizi yang terkandung di dalamnya dalam
perbandingan yang sempurna, mudah dicerna, dan tidak ada sisa yang terbuang. Menurut Soeharsono (2008) proses pembentukan air susu dalam ambing dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu : 1) Suplai prekursor susu oleh aliran darah Proses yang terjadi dimulai dengan mengalirnya darah memasuki kelenjar air susu melalui arteria mammaria yang cabang-cabang dan kapilernya memasuki setiap sel di seluruh kelenjar mammae dan mensuplai nutrien ke setiap sel kelenjar, misalnya ke dalam sel-sel alveoli.
Setelah mensuplai
nutrien yang diperlukan, darah kembali ke jantung melalui vena mammaria sehingga disini darah merupakan alat angkut bahan baku air susu dan alat angkut produk sampingan yang perlu dibuang. 2) Konversi bahan baku ke dalam konstituen air susu oleh sel-sel kelenjar susu Proses pembentukan susu dan sekresinya sangat bergantung kepada jumlah bahan baku yang tepat ke dalam kelenjar susu dan konversinya melalui proses metabolisme oleh sel-sel kelenjar, kecepatan proses pengeluaran produk sampingannya dari kelenjar. Produksi susu erat kaitannya dengan jumlah darah yang mengalir ke dalam kelenjar mammae.
Jumlah darah secara keseluruhan pada sapi perah tergantung
10 kepada umur dan status fisiologis, berat badan. Volume rata-rata darah/kg berat badan sekitar 54 ml tetapi volume tersebut berfluktuasi dari 42-66 ml/kg berat badan.
2.3
Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu Beberapa faktor yang mempengaruhi produksi dan susunan susu,
diantaranya : 1. Genetik (sifat keturunan) Variasi produksi susu seekor sapi 30% dipengaruhi oleh genetik, sehingga seekor sapi betina yang berasal dari bapak dan induk yang berdaya produksi susu tinggi akan menghasilkan produksi susu yang tinggi pula. 2. Lama bunting Sapi yang telah bunting akan menghasilkan susu yang lebih rendah dibandingkan sapi yang tidak bunting.
Tetapi sebenarnya masa
kebuntingan sampai 5 bulan tidak nampak mempengaruhi produksi susu bila sapi telah bunting 6-7 bulan sampai beranak. 3. Masa Laktasi Masa laktasi merupakan masa ketika sapi tersebut sedang menghasilkan susu dari waktu beranak sampai sapi dikeringkan. Pada masa laktasi produksi susu perhari seekor sapi mencapai puncaknya kirakira 3-6 minggu sesudah beranak, kemudian menurun sampai akhir laktasi 4. Masa kering Produksi susu pada laktasi kedua dan berikutnya sangat dipengaruhi oleh lamanya masa kering sebelumnya. Untuk setiap individu
11 sapi betina produksi susu akan naik dengan bertambahnya masa kering hingga 7-8 minggu, tetapi dengan masa kering yang lebih lama lagi produksi susunya tidak akan bertambah . 5. Ukuran tubuh dan umur Beberapa penelitian menunjukan bahwa sapi-sapi yang memiliki ukuran tubuh yang besar akan menghasilkan produksi susu yang lebih baik dari sapi-sapi yang berukuran tubuh kecil dalam bangsa dan umur yang sama.hal ini disebabkan karena sapi yang ukuran tubuhnya besar akan makan lebih banyak dan diikuti dengan metabolisme tubuhnya yang lebih tinggi daripada sapi ukuran tubuhnya kecil (Soedono, 1983). Ensminger (1993) menyatakan bahwa rata-rata produksi susu akan terus meningkat dari tahun pertama laktasi hingga akhirnya menurun di usia 5-8 tahun. Menurunnya produksi susu akan jelas terlihat setelah sapi mencapai laktasi ke 8-10 sebab sudah menjadi tua (Syarief dan Sumoprastowo, 1990) 6. Berahi Ketika sapi berahi terdapat perubahan-perubahan faali yang mempengaruhi kuantitas dan susunan air susu yang dihasilkan. Beberapa sapi menunjukan gejala gelisah dan mudah terkejut, sehingga nafsu makan menurun bahkan tidak mau makan, yang mengakibatkan produksi susu menurun. Namun ada juga sapi yang tidak banyak dipengaruhi oleh masa berahinya. Bila kadar produksi susu menurun banyak maka kadar lemak naik dan susunan air susu akan berubah. 7. Frekuensi pemerahan Waktu
pemerahan
yang
baik
memberi
kesempatan
bagi
pembentukan air susu di dalam ambing secara berkesinambungan, tidak
12 ada saat berhenti untuk mensintesa air susu sehingga produksi susunya maksimal.
Umumnya pemerahan dilakukan 2 kali sehari dengan selang
waktu yang sama antar pemerahan, maka sedikit sekali perubahan susunan air susu yang dihasilkan.
Makin sering sapi itu diperah, produksi susu
akan naik, bila sapi diperah 3 kali sehari produksi susu naik 10-20%, dan jika diperah 4 kali sehari akan naik lebih dari 25% daripada diperah 2 kali sehari. 8. Calving interval Selang beranak yang baik yaitu 12-13 bulan, jika lebih pendek akan menurunkan produksi susu 3,7-9,0% pada laktasi yang sedang berjalan atau yang akan mendatang, Sedangkan bila selang beranak diperpanjang sampai 450 hari, maka laktasi yang sedang berjalan prodoksi susunya akan meningkat 3,5% (Soedono, 1983). 9. Manajemen pakan Sapi perah yang mempunyai kemampuan berproduksi susu tinggi membutuhkan zat gizi yang relatif banyak dalam pakannya.
Pemberian
pakan dua kali dalam sehari menyebabkan ketidak mampuan sapi perah untuk mengkonsumsi pakan dalam jumlah yang relatif banyak. sebenarnya
dapat
ditanggulangi
dengan
meningkatkan
Hal ini frekuensi
pemberian pakan lebih dari dua kali dalam sehari. Pakan untuk sapi perah dapat dikelompokan menjadi 2 bagian, yaitu pakan hijauan dan pakan tambahan berupa konsentrat.
Pakan hijauan adalah pakan yang berasal
dari tumbuhan, baik berasal dari berbagai jenis rumput, maupun kacangkacangan atau d sebut juga leguminosa (Imelda, Edward, 2007). Sedangkan konsentrat
merupakan pakan tambahan yang dibuat dari
13 campuran beberapa bahan pakan seperti jagung, dedak padi, bungkil kedelai, bungkil kacang tanah, air mineral, dan lain-lain.
Konsentrat
merupakan bahan pakan sumber protein bagi ternak, kandungan protein kasarnya bervariasi miniml sebanyak 15% (Imelda dan Edward, 2007). Adapula pesyaratan teknis minimal pakan konsentrat sapi perah. Tabel 1. Persyaratan Teknis Minimal Pakan Konsentrat Sapi Perah Kandungan (%) Jenis dan Status Air TDN Protein Lemak NDF Abu Fisiologis maks …... min…… ……...maks…........ Laktasi 14 70 16 7 35 10 Prod. Tinggi 14 75 18 7 35 10 Kering 14 65 14 7 30 10 Milk Replacer 14 94 21 12 0 8 Calf Starter 14 78 16 7 10 10 Dara (heifer) 14 75 15 6 30 10 Sumber : Kuswandi, dkk., 2009.
Ca 0,8-1,0 1,0-1,2 0,6-0,8 0,7-0,9 0,4-0,6 0,6-0,8
P 0,6-0,8 0,6-0,8 0,6-0,8 0,4-0,6 0,6-0,8 0,5-0,7
10. Persistensi Menurut Soeharsono (2008), persistensi adalah tingkat kemampuan seekor sapi perah untuk mempertahankan produksi susu dalam setiap periode laktasi. Sapi yang memiliki persistensi yang tinggi tentunya lebih menguntungkan disbanding sapi yang memiliki persistensi yang rendah. Persistensi dapat dipengaruhi oleh faktor umur sapi, kondisi sapi waktu beranak, lama masa kering sebelumnya, dan banyaknya makanan yang diberikan pada sapi laktasi (Sudono, 1999).
14 11. Temperatur Lingkungan Peningkatan temperatur akan meningkatkan pernafasan, hal ini terutama pada bangsa sapi Eropa yang tidak tahan panas.
Produksi air
susu dan konsumsi makanan secara otomatis direduksi dalam usaha mengurangi produksi panas tubuh bila temperatur meningkat.
Pada
kenyataannya terutama penurunan nafsu makan menyebabkan produksi air susu direduksi. Stress panas lebih mempengaruhi terhadap sapi produksi tinggi daripada sapi produksi rendah, terutama pada produksi puncak. Temperatur optimal untuk bangsa sapi perah Eropa sekitar 10ºc (50ºF) pada Holstein (Makin, 2011). Menurut Dasuki (1983), konsumsi pakan sapi Fries Holland laktasi akan menurun 20% pada suhu 32ºc dan akan berhenti makan pada suhu diatas 40ºc.
Persyaratan iklim yang sesuai
dengan ternak sapi perah FH adalah suhu udara yang berkisar antara 13230C dengan ketinggian antara 700-1000 m di atas permukaan laut dan kelembaban 70% . Suhu lingkungan yang tinggi mengakibatkan penurunan nafsu makan dan mengurangi konsumsi ransum serta meningkatkan konsumsi air minum.
Hal tersebut akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan
dan penurunan produksi susu.turunnya konsumsi ransum sebagai respon terhadap
peningkatan
suhu
lingkungan
untuk
mempertahankan
keseimbangan panas tubuh dengan jalan mengurangi panas tambahan dari ransum (Makin,2011).
Produksi susu pada tempat bermusim panas
biasanya akan menghasilkan produksi susu yang rendah, sementara pada sapi perah yang dipelihara di daerah yang bermusim dingin akan membuat
15 produksi susu yang dihasilkan baik.
Hal tersebut akan menurunkan
produksi susu sapi perah yang dihasilkan. 2.4
Pemuliaan dan Seleksi Sapi Perah Pelaksanaan tujuan pemuliaan dan seleksi ini dibutuhkan sapi-sapi perah
yang efisien dalam memproduksi air susu dengan perawatan minimal, menggunakan pakan berkualitas baik, kondisi sehat serta mempunyai masa produksi yang panjang selama masa hidupnya. keberhasilan dapat dicapai melalui program
pemuliaan
sapi
perah
dengan
memanfaatkan
sifat
genetis
menguntungkan yang terdapat pada sapi perah, sehingga dihasilkan sapi perah yang unggul dalam memproduksi susu (Makin, 2011). Pada pemuliaan sapi perah banyak dilakukan dengan sistem seleksi karena waktu yang dibutuhkan jadi lebih singkat, lebih mudah dan murah serta lebih efektif apabila dilakukan secara intensif dibandingkan dengan sistem perkawinan yang diperkirakan dapat memakan waktu lebih lama sekitar 25 tahun untuk setiap periode program pemuliaan sapi perah (Sukraeni, 2002). Seleksi adalah memilih ternak atau sekelompok ternak yang unggul secara genetik untuk menjadi tetua bagi generasi berikutnya dan mengeluarkan ternak yang kurang baik. ada 4 cara seleksi masing-masing berdasarkan : tipe atau eksterior ternak, kontes ternak, silsilah, dan tes produksi (Zein. S, Sumoprstowo, 1985). Menurut Hardjosubroto (1994), tepat atau tidaknya seleksi sangat bergantung pada kecermatan dalam melakukan pendugaan atau penaksiran. Seleksi yang kita tujukan terhadap sapi perah itu adalah memilih sapi perah yang berproduksi tinggi, tipe yang bagus, mudah saat diperah, persistensi dan longevity
16 yang baik, tahan terhadap penyakit, bebas dari pada kekurangan-kekurangan yang bersifat hereditas dan sebagainya ( Makin, 2011).
2.5
Pencatatan (recording) Pada usaha sapi perah ini, pencatatan bertujuan untuk menunjang
pelaksanaan program tatalaksana yang lebih baik, seleksi yang lebih ketat, dan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar (Girisonta, 1974).
Dengan
adanya catatan untuk tiap-tiap ekor sapi, maka dapat diketahui mengenai silsilah, daya produksi, reproduksi, dan kesehatannya (Soedono, 1983). Catatan laktasi lengkap dari seekor sapi dapat dipakai oleh peternak untuk menevaluasi mutu sapinya dalam rangka culling, breeding, dan Replacement. Informasi produksi susu per laktasi diperoleh paling akurat dengan pencatatan kumulatif setiap hari selama periode laktasi.
Cara ini paling akurat tetapi
membutuhkan banyak waktu, tenaga dan biaya. Sistem pencatatan produksi sapi perah sekarang telah beralih ke Test Day Performance yaitu produksi dicatat satu hari pada hari-hari tertentu, biasanya setiap bulan mulai dari awal laktasi sampai masa kering, dari sistem pencatatan tersebut didapatkan beberapa catatan produksi harian yang bisa digunakan untuk mengevaluasi mutu genetik ternak (Indrijani dan Anang, 2007).
2.6
Ripitabilitas Ripitabilitas adalah sebuah ukuran kekuatan hubungan antara ukuran yang
berulang-ulang (nilai fenotipik yang berulang) suatu sifat dalam populasi (Pallawaruka, 1999).
Ripitabilitas menggambarkan derajat kesamaan antar
pengamatan (pengukuran) yang dilakukan berulang selama hidup produktif seekor
17 ternak (Lasley, 1972).
Menurut Johansen dan Rendel, (1968), nilai ripitabilitas
tidak tetap dan dapat bervariasi dari waktu ke waktu atau dari populasi ke populasi.
Nilai ripitabilitas dibagi ke dalam 3 kategori, yaitu: 0,0-0,2 (rendah);
0,2-0,4 (sedang); dan < 0,4 (tinggi) (Noor, 2010). Setiap hasil pengamatan produksi menggambarkan pengaruh antara faktor genetik dan faktor lingkungan permanen. Berikut ini merupakan beberapa contoh lain dari hasil penelitian nilai ripitabilitas di Indonesia. Tabel 2.
Nilai Ripitabilitas Produksi Susu Sapi Perah Fries Holland Dari Beberapa Hasil Penelitian Di Indonesia Tempat Ripitabilitas Catatan sumber
PT. Baru Adjak
0,64
305 Hari
Gushairiyanto
1994
BBPTU-SP Baturraden
0,4-0,6
305 Hari
Hardjosubroto
1994
PT. Karunia – Kediri
0,1865
305 Hari
Anitasari
2011
PT. Susu Sehat Alami Jember
0,3
305 Hari
Alfiyani
2011
2.7.
Dugaan Daya Produksi Susu Most probable producing ability (MPPA) adalah suatu pendugaan secara
maksimum dari kemampuan berproduksinya seekor hewan betina, yang dapat dihitung atau diduga atas dasar performans yang telah ada.
MPPA sangat erat
kaitannya dengan nilai ripitabilitas, rataan produksi susu, banyaknya catatan produksi dan rataan produksi populasi (Lasley, 1972).
Perhitungan untuk
menduga daya produksi susu sapi perah dengan menggunakan rumus MPPA dapat ihitung dengan rumus :
18 Keterangan : MPPA n r ́p ́p
= Most Probable Producing Ability = Jumlah catatan = Nilai ripitabilitas = Rata-rata produksi individu sapi yang diamati = Rata-rata produksi populasi
Berdasarkan hasil penelitian Mulyadi (1994) nilai MPPA produksi susu di BPT-HMT Baturraden diperoleh kisaran nilai antara -981,97 sampai 1.160,21 liter, dengan rata-rata produksi susu 3.103,04.