TINJAUAN PUSTAKA Botani tanaman Hartus (2001) mengungkapkan bahwa kentang masih satu famili dengan cabai, tomat, terung, paprika, dan tembakau. Kentang masuk dalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, Ordo Tubiflorae, Famili Solanaceae, genus Solanum, dan spesies Solanum tuberosum L. Kentang adalah tanaman dikotil tahunan berumur pendek yang biasanya ditanam sebagai tanaman setahun untuk diambil umbi bawah tanahnya yang dapat dimakan. Tanaman kentang yang dihasilkan secara aseksual dari umbi, memiliki akar serabut dengan percabangan halus, agak dangkal dan akar adventif yang berserat yang menyebar. Sedangkan tanaman yang tumbuh dari biji membentuk akar tunggang ramping dengan akar lateral yang banyak (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998). Batang muncul pada permulaan tiap musim tumbuh dari umbi yang dihasilkan pada tahun sebelumnya, atau dikenal dengan umbi induk. Umbi kentang merupakan modifikasi batang yang berada di bawah tanah, bukan dari pembengkakan akar. Tiap “mata” pada umbi kentang adalah tunas batang, sama dengan tunas yang terdapat pada buku batang. Batang bisa berwarna hijau hingga keunguan atau campuran bintik dari warna-warna tersebut dan seolah memiliki
“sayap”
(mirip
benjolan
yang
tumbuh
keluar
dari
batang)
(Spooner dan Salas, 2006). Daun menyirip majemuk, dengan lembar daun bertangkai memiliki ukuran, bentuk, dan tekstur yang beragam (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998). Spooner dan Salas (2006) menambahkan daun majemuk muncul dalam pola spiral
dari batang di atas tanah. Diantara batang dan daun (daun aksilar), cabang atau bunga (inflorescencens) diproduksi. Bunga kentang berdiameter 3-4 cm dan memiliki lima sepal dan petal serta dua sel ovary dengan single style dan stigma bilobed. Ukuran corolla bervariasi sesuai cultivar. Warna corolla bervariasi dari keunguan hingga mendekati putih. Petal bersatu dengan tubular. Stamen tumbuh hingga ke tabung corolla dan membentuk anther. Anther berwarna kuning mencolok kecuali pada tanaman yang mengalami mandul jantan (male sterility), yang memiliki warna kuning cerah atau kuning kehijauan (Sleper dan Poehlman, 2006). Biji pipih kecil, sebanyak beberapa butir hingga beberapa ratus biji, berbentuk oval atau jantung, berwarna kuning atau coklat kekuningan, terbungkus di dalam pulp. Umbi adalah batang pendek, tebal, dan berdaging dengan daun yang berubah menjadi kerak atau belang, berdampingan dengan tunas samping (aksilar), yang dikenal dengna mata. Permukaan umbi dapat halus atau kasar. Warna daging umbi biasanya kuning muda atau putih. Bentuk umbi beragam, memanjang, kotak, bulat atau pipih (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998). Perbanyakan tanaman kentang sendiri dapat dilakukan melalui beberapa cara diantaranya dengan menggunakan tunas umbi, bagian batang, umbi utuh, umbi dibelah, biji botani dan penggunaan metode in vitro yakni kultur jaringan (mikropropagasi). Dalam perbanyakan in vitro umumnya menggunakan nodal cutting, apical cutting dan microtubers (Kusmana, 2012). Penggunaan umbi mikro sebagai salah satu propagul kentang memiliki beberapa keuntungan antara lain: (1) propagul umbi mikro berasal dari eksplan bebas penyakit yang akan menghasilkan umbi mikro yang bebas penyakit, (2) umbi mikro
akan menghasilkan tanaman yang seragam dan umur panen sama dengan umbi biasa, (3) kebutuhan umbi mikro hanya 4 – 5 kg /Ha dibandingkan dengan umbi biasa yang memerlukan 1 - 2 ton bibit/Ha, (4) mudah dalam penyimpanan, transportasi dan pengiriman, (5) mudah memenuhi persyaratan karantina untuk lalu lintas propagul baik dalam atau luar negeri (Wattimena, 2000). Teknik In Vitro Kultur jaringan merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman secara vegetatif. Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap. Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbanyakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat steril (Departemen Kehutanan, 2011). Prinsip-prinsip dasar mengenai kultur jaringan diantaranya: (1) Teori totipotensi sel yang dikemukakan oleh Schwan dan Schleiden (1838). Menurut teori ini, setiap sel tanaman yang hidup mempunyai informasi genetik dan perangkat fisiologis yang lengkap untuk dapat tumbuh dan berkembang menjadi tanaman utuh, jika kondisinya sesuai. (2) Konsep Skoog dan Miller (1957) yang mengemukakan bahwa regenerasi tunas dan akar in vitro dikontrol secara hormonal oleh ZPT sitokinin dan auksin.
(3) Sifat kompeten, dediferensiasi, dan determinasi sel atau jaringan eksplan. Suatu sel atau jaringan dikatakan kompeten jika sel atau jaringan tersebut mampu memberikan tanggapan terhadap signal lingkungan dan hormonal. Dediferensiasi sel-sel eksplan yang sebelumnya sudah terdiferensiasi berarti berubahnya sel-sel eksplan yang tadinya sudah terspesialisasi menjadi tidak terspesialisasi dan kembali ke kondisi meristematik. Determinasi terjadi jika sel-sel atau jaringan tersebut terus berkembang menjadi organ atau embrio, walaupun diletakkan di lingkungan baru yang bebas dari signal penyebab organogenesis dan morfogenesis (Yusnita, 2003). Kultur jaringan dimulai dari potongan tubuh tanaman. Organ yang berukuran kecil ataupun potongan jaringan yang digunakan dalam kultur jaringan disebut eksplan. Bagian eksplan (baik itu pada tanaman stok atau tanaman induk) dari tiap eksplan yang diperoleh, bergantung pada (1) jenis kultur inisiasi, (2) tujuan pengkulturan, (3) spesies tanaman yang digunakan. Eksplan dapat menghasilkan berbagai bentuk yang berbeda. Pemilihan bahan eksplan yang tepat merupakan hal yang penting untuk dapat mencapai kesuksesan dalam kultur jaringan (George, 2008). Kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan kultur in vitro yang optimal bervariasi antar spesies ataupun antar varietas. Bahkan, jaringan yang berasal dari bagian tanaman yang berbeda pun akan berbeda kebutuhan nutrisinya. Oleh karena itu, tidak ada satu pun medium dasar yang berlaku universal untuk semua jenis jaringan dan organ. Meskipun demikian, medium dasar MS yang direvisi adalah yang paling luas penggunaannya dibandingkan dengan media dasar lainnya (Zulkarnain, 2009).
Ada dua cara pembiakan kentang secara mikro yaitu melalui tunas mikro dan umbi mikro. Efisiensi pengumbian mikro kentang seperti sukrosa, sitokinin, growth retardant, growth inhibitors, nitrogen, CO2, pH dan komponen-komponen lainnya. Produksi umbi mikro juga tergantung dari metode pemindahan tunas mikro, yaitu dari media perbanyakan ke media pengumbian. Tunas mikro dapat dibiakkan di media perbanyakan padat ataupun cair dan kemudian dipindah ke media pengumbian. Media pengumbian ini juga dapat berbentuk padat atau cair, sehingga akan terbentuk suatu sistem pengumbian padat, padat-cair, cair-cair ataupun cair subtitusi cair (Wattimena et al, 1983). Sukrosa Gula digunakan sebagai sumber energi dalam media kultur, karena umumnya bagian tanaman atau eksplan yang dikulturkan tidak autrotof dan mempunyai laju fotosintesis sangat rendah. Gula yang paling sering digunakan adalah sukrosa. Untuk itu, gula pasir yang digunakan sehari-hari dapat dipakai karena mengandung 99,9% sukrosa. Glukosa dan fruktosa dapat digunakan, tetapi harganya lebih mahal dan hasilnya tidak selalu lebih baik daripada sukrosa. Konsentrasi sukrosa yang digunakan berkisar 1-5% (10-50 g/l), tetapi untuk kebanyakan pengkulturan, 2-3% sukrosa umumya merupakan konsentrasi yang optimum (Yusnita, 2003). Sukrosa memiliki beberapa peran penting dalam media, yaitu sebagai sumber karbon, sumber energi, pengatur tekanan osmotik, mengatur stabilisasi membran, dan berperan sebagai pelindung terhadap stres. Peran sukrosa dalam mengatur
tekanan
osmotik
mempengaruhi
kemampuan
jaringan
dalam
penyerapan air dari media ke dalam tanaman. Media dengan konsentrasi pekat
berarti banyak terdapat molekul-molekul, sehingga arah gerakan difusi ialah ke tempat yang kekurangan molekul atau yang berkonsentrasi rendah. Keadaan demikian menyebabkan sel-sel pada jaringan eksplan yang ditumbuhkan pada media dengan penambahan sukrosa tinggi dapat cepat menerima unsur-unsur hara yang diperlukan bagi perkembangannya (Ni’mah et al, 2012). Sukrosa
sebagai
sumber
karbohidrat
perlu
ditambahkan
selama
pembentukan bibit mikro kentang. Konsentasi sukrosa yang optimum untuk pengumbian in vitro berkisar antara 6–8% (Wang dan Hu, 1982). Sementara Smith (2000) menyatakan bahwa penggunaan sukrosa di dalam pembibitan in vitro ini adalah untuk menciptakan ketahanan dari bibit mikro kentang itu sendiri. Konsentrasi sukrosa yang optimum untuk pertumbuhan in vitro berkisar antara 2 –5 %. Lakitan (1996) mengungkapkan faktor internal yang mempengaruhi pertumbuhan umbi mikro adalah laju dan kuantitas fotosintat yang dipasok dari tajuk tanaman. Pada tanaman kentang, ukuran umbi rata-rata berbanding langsung dengan pertumbuhan tajuk dan berbanding terbalik dengan jumlah umbi yang terbentuk dimana pertumbuhan umbi akan terhenti jika tajuk tanaman mati karena pasokan
fotosintat
untuk
menopang
pertumbuhan
umbi
terhenti.
Laju
pertambahan berat umbi lebih ditekan oleh fotosintat yang dihasilkan selama periode perkembangan umbi yang bersangkutan. Laju pemanjangan batang berbeda antara spesies dan dipengaruhi oleh lingkungan di mana tanaman tersebut tumbuh. Faktor lingkungan yang besar pengaruhnya terhadap pemanjangan batang adalah suhu dan intensitas cahaya (Lakitan, 1996).
Zulkarnain (2009) menyatakan bahwa semua medium kultur in vitro dilengkapi sumber karbon dan energi. Sukrosa ataupun D-glukosa biasanya diberikan pada konsentrasi 20.000-30.000 mg L-1, namun konsentrasi yang lebih tinggi kadang diberikan untuk tujuan-tujuan tertentu. Hampir semua kultur memperlihatkan respons pertumbuhan yang optimum dengan pemberian disakarida dalam sukrosa. Sukrosa bersifat labil terhadap pemanasan, sterilisasi senyawa ini menggunakan otoklaf akan menghasilkan sukrosa, D-glukosa, dan Dfruktosa. Ia juga menambahkan bahwa konsentrasi yang tepat dari sukrosa dan garam-garam mineral merupakan faktor yang penting untuk diperhatikan supaya mendapatkan laju mikropropagasi yang optimum. Hasil penelitian dari Ratna (2010) menunjukkan bahwa perlakuan dengan pemberian 40 g/l sukrosa pada media dapat mempercepat munculnya umbi mikro 13-18 hst, sedangkan perlakuan dengan 70 g/l sukrosa pada media memberikan produksi umbi mikro terbanyak dengan rataan bobot basah sebesar 0,075 g. Sitokinin (2-ip) Jenis sitokinin yang sering dipakai adalah BA (benziladenin) karena efektivitasnya tinggi dan harganya relatif murah. Sitokinin jenis lain yang dapat digunakan adalah kinetin (furfuril-aminopurin) dan 2-ip. Namun, kedua jenis sitokinin ini harganya lebih mahal dan efektivitasnya lebih rendah daripada BA. Penggunaan sitokinin BA, kinetin, dan 2-ip sering berkisar pada konsentrasi 0,5-10 mg/l (Yusnita, 2003). Sitokinin yang berasal dari akar merangsang pertumbuhan daun. Hal ini dibuktikan dengan penelitian di mana semua akar atau sebagian akar pada tanaman buncis dipotong. Setelah pemotongan, petumbuhan daun segera menjadi
lebih lambat, tetapi pemberian sitokinin pada daun dapat mengembalikan kemampuan daun untuk tumbuh (Lakitan, 1996). Sitokinin mampu menggantikan sebagian faktor yang dibutuhkan akar untuk menunda penuaan, dan kandungan sitokinin dapat menggantikan efek cahaya dengan menunda penuaan helai daun yang meningkat berlipat ganda ketika akar liar terbentuk. Cara sitokinin memperlambat penuaan pada daun oat yang dipetik yaitu daun tersebut mulai menua, yang mula-mula dicirikan dengan terurainya protein menjadi asam amino kemudian hilangnya klorofil. Penuaan ini terjadi jauh lebih cepat di tempat gelap daripada di tempat terang dan sitokinin yang ditambahkan pada larutan tempat daun tadi diapungkan dapat menggantikan efek cahaya dengan menunda penuaan (Salisbury dan Ross, 1995). Sama halnya dengan penambahan sitokinin yang berlebihan akan menghambat pertumbuhan vegetatif tanaman (jumlah tunas dan jumlah nodus). Lakitan (2011) menambahkan, pertumbuhan batang tanaman tidak membutuhkan sitokinin dalam konsentrasi yang tinggi atau membutuhkan sitokinin eksogen dalam konsentrasi yang rendah, karena kandungan sitokinin endogen sudah mencukupi. Akibatnya penambahan sitokinin eksogen tidak lagi berpengaruh, bahkan dapat menghambat pertumbuhan karena konsentrasi sitokinin menjadi eksesif (supra optimal). Jumlah tunas akan mempengaruhi jumlah nodus dan umbi mikro yang akan terbentuk. Sitokinin akan merangsang pembelahan sel sehingga menghasilkan ruangan yang dapat digunakan sebagai tempat akumulasi zat tepung. Semakin banyak jumlah umbi mikro yang dihasilkan, maka berat basah umbi mikro juga akan semakin banyak, dimana jumlah umbi dan berat basah umbi mempunyai
hubungan korelasi yang positif. Pada media umbi mikro, sitokinin mendorong terbentuknya umbi mikro pada tunas dan nodus dari eksplan tanaman kentang secara in vitro (Ni’mah et al, 2012). Pada penelitian pucuk tanaman anggur yang dikulturkan pada medium yang diformulasikan oleh Murashige pada tahun 1974 dan dilengkapi dengan 100 mgL-1 tiamin-HCl; 3-4 mgL-1 BAP; dan 30 gL-1 sukrosa diperoleh regenerasi pucuk adventif yang terjadi dua kali lipat lebih banyak pada medium dengan konsentrasi garam
3 4
dibandingkan medium dengan konsentrasi
1 2
atau konsentrasi
penuh. Perbedaan tersebut hilang bila medium ditambahkan 80 mgL-1 adenin sulfat (suatu sitokinin). Hal itu menunjukkan bahwa konsentrasi medium menjadi faktor penting bila sitokinin tidak diberikan pada tingkat konsentrasi yang optimum. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa untuk mendapatkan hasil yang maksimum dari perlakuan zat pengatur tumbuh maka komponen medium lainnya harus berada pada kadar yang optimum (Zulkarnain, 2009). Pembentukan Umbi Mikro Stolon adalah bagian yang keluar dari Collum (batang akar atau akar utama). Pada stadia awal tumbuhnya, stolon sepintas seperti akar biasa. Warnanya lebih putih dan biasanya lebih panjang daripada akar cabang. Ukurannya juga lebih besar. Stolon amat lunak dan berisi lebih banyak cairan dibandingkan akar. Setelah mencapai panjang maksimal, stolon akan menggembung pada ujungnya. Stolon ini akan terus membesar sejalan dengan bertambahnya umur sampai suatu saat dapat dipanen sebagai umbi kentang (Hartus, 2001). Pertumbuhan awal stolon dapat terjadi bahkan sebelum pucuk berdaun muncul, jadi tidak bergantung pada isyarat dari pucuk. Tahap ini dapat
berlangsung dalam rentang suhu dan panjang hari yang lebar, tapi perkembangan stolon menjadi umbi biasanya memerlukan kondisi yang lebih khusus. Tampaknya, untuk pertumbuhan awal stolon diperlukan kadar giberelin yang tinggi dan kadar sitokinin yang tidak terlalu tinggi (Salisbury dan Ross, 1995). Media MS yang diperkaya dengan konsentrasi sukrosa hingga 6% dapat menyebabkan pengumbian pada beberapa kultivar kentang. Dalam menginduksi pengumbian secara in vitro pada sebagian besar kultivar kentang, sukrosa mampu menginduksi hanya pada kondisi di bawah short-day (hari pendek). Penyinaran hari pendek diketahui meningkatkan level sitokinin endogen pada kultur kentang dan kebutuhan kondisi hari pendek untuk pengumbian secara in vitro dapat menghasilkan hubungan yang negatif, setidaknya sebagian diantaranya, akibat pengaplikasian sitokinin. Menariknya, hampir sebagian besar kultivar kentang yang diuji, kemampuan menginduksi umbi mikro akibat pemberian sukrosa dan sitokinin diekspresikan secara maksimal dalam kultur yang dipelihara pada kondisi gelap (Taji et al, 2001). Faktor penting yang mempengaruhi pembentukan umbi adalah suhu, fotoperiodisme, nitrogen, sitokinin, retardan dan inhibitor. Dalam pembentukan umbi mikro secara in vitro dibutuhkan keadaan tanpa cahaya dan suhu yang rendah (15-20oC) (Artati, 1989). Pembentukan umbi kentang biasanya terjadi dalam kultur berumur 3-4 minggu di bawah kondisi induktif. Pembentukan umbi sering terjadi senescence, dan
ini
dapat
diatasi
dengan
penambahan
sukrosa
benzylaminopurine (BAP) pada medium (Taji et al, 2001).
dan
sitokinin
Ada tiga fase pembentukan umbi, yaitu (1) inisiasi, yaitu terjadinya diferensiasi tunas pada stolon menjadi primordia umbi, (2) pembesaran umbi, ditandai dengan pembelahan sel yang cepat dibarengi dengan penumpukan pati, dan (3) pematangan umbi, yang terjadi ketika umbi memasuki fase dorman. Pembesaran umbi dapat mengalahkan pertumbuhan vegetatif dan inisiasi umbi baru. Bersamaan dengan pematangan umbi, terjadi senescence daun (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998). Pada organ penyimpanan, pati ditimbun pada amiloplas. Sintesis pati pada amiloplas menggunakan bahan baku sukrosa atau bentuk karbohidrat sederhana lainnya yang dikirim dari daun. Pembentukan pati umumnya berlangsung melalui proses yang sama secara berulang-ulang dengan menggunakan glukosa dari glukosa yang mirip dengan UDPG yang disebut ADPG. Pembentukan ADPG berlangsung dalam kloroplas atau plastida lainnya menggunakan ATP dan glukosa-1-P. Reaksi tersebut dipacu oleh enzim pati sintetase (Lakitan, 2011). Pada sel-sel yang berklorofil, sukrosa tersusun pada waktu fotosintesis atau segera setelah fotosintesis. Akan tetapi di dalam daun itu juga terjadi penyusunan sukosa dalam gelap, asal saja ke alam daun itu diberikan glukosa dan fruktosa (Dwidjoseputro, 1980). Lakitan (2011) menambahkan, pada siang hari, pati akan terakumulasi dalam daun jika laju fotosintesis melampaui laju respirasi dan translokasi fotosintat keluar dari daun. Pada malam hari, pati yang terakumulasi ini akan diurai kembali melalui proses respirasi dan diangkut keluar dari daun. Salisbury dan Ross (1955) juga menambahkan bahwa saat itulah daun harus mendeteksi fotoperiodisme maupun suhu, dan harus mengirim senyawa penginduksian umbi ke stolon.
Hari pendek mengakibatkan menurunnya kadar giberellinn dalam tumbuhan, dan hal ini mungkin menyebabkan stolon berhenti memanjang. Penghambatan pemanjangan stolon dapat dilakukan tanpa menghambat pembesarannya (yang membentuk umbi). Terdapat juga bukti yang kuat tentang adanya seyawa penginduksi umbi yang terbentuk di daun beberapa kultivar sebagai respon hari pendek. Pembentukan umbi paling baik pada suhu malam sekitar 12oC (Salisbury dan Ross, 1995). Eksplan yang mempunyai jumlah umbi yang banyak terjadi proses distribusi asimilat yang menyebar ke setiap umbi, tetapi pada eksplan yang mempunyai umbi sedikit distribusi asimilat lebih terfokus pada pertumbuhan umbinya sehingga umbi yang terbentuk berukuran besar (Warnita, 2008). Serangkaian hasil penelitian mengenai pembentukan umbi mikro kentang akibat interaksi diantara sukrosa dan sitokinin (baik BAP dan kinetin) telah banyak dilakukan. Imani et al (2010) menyebutkan bahwa media yang mengandung 60 g/l sukrosa dan 15 g/l BAP memberikan hasil maksimum pada jumlah umbi mikro yang terbentuk, akan tetapi interaksi 60 g/l sukrosa dengan 12 g/l BAP memberikan hasil maksimum pada ukuran umbi mikro yang dihasilkan. Aslam dan Iqbal (2010), media dengan 5 mg BA dan 8% sukrosa memberikan hasil terbaik terkait induksi dan rataan dari jumlah umbi mikro per eksplan buku tunggal, media dengan 6 mg BA dan 7% sukrosa tertinggi dalam rataan bobot basah umbi per eksplan untuk kultivar Diamant dan media dengan 2 mg kinetin dan 6% sukrosa terbaik untuk induksi, rataan jumlah dan bobot basah umbi mikro per buku ganda pada kultivar Red Norland.