TINJAUAN PUSTAKA Virus Avian Influenza Virus influenza terdiri dari beberapa tipe yaitu tipe A, tipe B dan tipe C. Virus tipe A menyerang hewan, tetapi dapat menyebabkan epidemik pada manusia. Sementara virus tipe B dan C tidak menyerang hewan, hanya menyerang manusia (Soejoedono & Handharyani 2005). Pengelompokan virus Influenza menjadi A, B dan C berdasarkan perbedaan nukleoprotein (NP) dan matrix proteinnya (M) (Harder & Werner 2006). Nukleoprotein dan matrix protein berperan pada pembentukan kapsid dan amplop viral (Pelczar & Chan 1986). Avian Influenza (AI), disebut juga sebagai flu burung, fowl pest, fowl plaque atau avian flu adalah suatu penyakit infeksius yang menyerang unggas dan disebabkan oleh virus Influenza tipe A. Spesies burung sangat rentan terinfeksi virus Influenza A dan unggas air diduga sebagai reservoir utama dari virus ini. Virus ini termasuk famili Orthomyxoviridae yang berukuran 80-120 nm. Berdasarkan
hemaglutinin
(H)
dan
neuroaminidase
(N)
pada
amplop
(pembungkus luar virus) maka virus influenza ini dapat ditentukan subtipenya. Hingga saat ini sudah dikenal ada 16 macam H antigen, yaitu H1 hingga H16, dan sembilan N antigen, yaitu N1 hingga N9. Serotipe H16 diisolasi dari burung camar berkepala hitam (black headed gull) yang ditemukan di Swedia dan Belanda pada Tahun 1999, dipublikasikan pertama kali oleh Fouchier et al. (2005). AI dibagi menjadi dua bentuk yaitu Highly pathogenic avian influenza (HPAI) dan Low pathogenic avian influenza (LPAI). Infeksi virus AI yang sangat virulen dan mengakibatkan penyakit bersifat akut berasal dari subtipe H5 dan H7, tetapi banyak juga ditemukan isolat asal burung dari subtipe H5 dan H7 yang B
B
B
memiliki sifat virulensi rendah terhadap peternakan ayam (OIE 2000). Virus influenza adalah partikel berselubung berbentuk bundar atau bulat panjang, mengandung genom RNA rangkaian tunggal dengan jumlah lipatan tersegmentasi sampai mencapai 8 segmen dan berpolaritas negatif. Virus ini relatif tidak stabil dalam lingkungan. Virus cepat mengalami inaktivasi ketika terjadi
perubahan pH atau kondisi nonisotonik, suhu (panas), dan kekeringan (Perez et al. 2005). Telah dibuktikan bahwa suspensi virus dalam air mampu mempertahankan daya penularannya selama lebih dari 100 hari pada suhu 17°C. Di bawah minus 50°C virus dapat bertahan untuk waktu yang tidak terbatas. Virus ini menginfeksi berbagai spesies hewan, termasuk ayam, ayam mutiara, puyuh, burung merak, angsa dan itik, babi, kuda, singa laut serta pada berbagai unggas air seperti itik, bebek, angsa dan burung camar. Selain itu juga ditemukan pada burung peliharaan seperti burung beo, parkit, kakaktua, elang, nuri. Di Indonesia, pernah terdeteksi H4N2 pada burung nuri (Dybing et al. 2000; Tabbu 2001). Unggas air, burung camar dan burung-burung pantai diperkirakan sebagai reservoir original. Burung yang terinfeksi biasanya tidak menunjukkan gejala penyakit. Hampir semua virus AI lebih suka bereplikasi dalam saluran pencernaan bebek liar, kemudian diekskresikan tingkat tinggi di dalam feces, dan disebarkan melalui rute oral-fecal. Selanjutnya virus influenza A biasanya menyebar ke spesies unggas lain dan hospes mamalia, termasuk manusia. (SturmRamirez et al. 2004). Selain pada saluran pencernaan, virus juga bereplikasi pada saluran pernafasan (Tabbu 2001). Hulse-Post et al. (2005) berpendapat bahwa itik piara telah menjadi pembawa virus H5N1. Ini berarti itik piara yang hidup lepas diantara pemukiman penduduk dapat membawa virus H5N1 yang mematikan tersebut tanpa sakit atau muncul gejala klinis (Soeharsono 2006). Morfologi Virus Virion virus berbentuk spheric dengan diameter berukuran 80-120 nm. Permukaan virion diselubungi dengan duri-duri proyektil yang berdekatan dengan panjang duri 10 - 12 nm. Nukleokapsid berbentuk helix dan terdapat di dalam amplop virus. Bentuk duri HA adalah trimer bentuk tangkai dan bentuk duri NA adalah tetramer bentuk jamur (Easterday et al. 1997). Membran glikoprotein HA berfungsi sebagai binding receptor pada sialyloligosaccharide dan fusi membran glikoprotein pada pintu masuk sel, sedangkan membran glikoprotein NA berfungsi sebagai enzim penghancur reseptor pada pelepasan virus (Ha et al. 2002). Antibodi melawan HA sangat penting dalam proses netralisasi virus dan
perlindungan terhadap infeksi virus, aktivitas enzim Neuraminidase bertanggung jawab pada pelepasan virus baru dari sel melalui aktivitasnya pada reseptor asam neuraminik. Antibodi terhadap NA juga sangat penting dalam perlindungan, terutama dengan mencegah penyebaran virus dari sel yang terinfeksi (Easterday et al. 1997). Genom dari virus ini berbentuk untai tunggal, bersegmen, masing-masing segmennya ada dalam nucleocapsid yang terpisah. Segmen virus ada delapan buah segmen berupa negative-sense single-stranded RNA, yang memungkinkan untuk terjadinya genetic reassortment pada suatu sel yang mengalami infeksi campuran oleh lebih dari satu virus dan akan menghasilkan sejumlah strain baru yang berbeda dari strain asalnya. Negative-sense single-stranded RNA ini harus membawa sebuah RNA dependent RNA polymerase (RdRp) pada virionnya karena tidak disediakan oleh hospes. Berbeda dengan virus RNA positif sense, dimana genomnya dapat langsung diterjemahkan dan tidak membutuhkan enzim tranciptase dalam virionnya. Genom tersebut terdiri dari 10 gen pengkode protein yang berbeda, yaitu delapan protein struktural dan dua protein non-struktural. Kesepuluh genome pengkode tersebut terdiri dari tiga protein transkriptase yaitu PB1, PB2 dan PA, dua glycoprotein permukaan yaitu hemagglutinin (HA) dan neuraminidase (NA), dua protein matrix M1 dan M2, satu protein nucleocapsid (NP), dan dua protein non-struktural NS1 dan NS2. Amplop glikoprotein dari virus influenza A, HA dan NA tersebar di permukaan virion membentuk struktur khas “spike-shaped”. Variasi antigenik pada glycoprotein tersebut dipakai untuk menentukan subtipe virus influenza A (Gambar 2).
Gambar 2. Struktur genetik virus avian influenza (Burnham Institute)
Siklus Replikasi Virus Replikasi virus dimulai dengan adsorbsi virus ke reseptor glikoprotein yang mengandung asam sialik pada permukaan sel (Gambar 3). Virus kemudian memasuki sel dengan jalan endositosis melalui reseptor. Pembukaan terhadap pH rendah
dalam
endosome,
menghasilkan
perubahan
konformasi
dalam
hemaglutinin, yang memperantarai fusi membran. Nukleokapsid kemudian memasuki sitoplasma dan migrasi ke nukleus. Virus influenza menggunakan mekanisme yang unik untuk menginisiasi transkripsi menggunakan viral transkriptase. Enam mRNA monosistronik dihasilkan dan ditranslasi menjadi HA, NA, NP dan tiga polimerase (PB1, PB2, dan PA). Melalui pembelahan mRNA untuk gen NS dan M masing-masing menjadi dua mRNA, yang ditranslasi dalam reading frame berbeda dan menghasilkan protein NS1, NS2, M1 dan M2. Hemaglutinin dan neuraminiase diglikosilasi dalam retikulum endoplasma kasar, dilengkapi di golgi, ditransportasikan ke permukaan dan melekat pada membran sel (Easterday et al. 1997). Syarat penting HA adalah pembelahan oleh protease sel hospes menjadi HA1 dan HA2 yang dihubungkan dengan ikatan disulfida. Pembelahan dibutuhkan B
B
B
B
untuk dihasilkannya virus yang infeksius. Setelah produksi dan pemasangan protein viral dan RNA, virus keluar sel dengan jalan menguncup dari membran plasma (Easterday et al. 1997).
Gambar 3.
Replikasi virus Influenza tipe A (http://www. cbi.nlm nih.gov/ htbinpost/Entrez/query?uid=9927579&Form=6&db=m&Dopt=b) Variasi Antigenik Diversitas antigenik virus influenza tipe A tampak terutama pada glikoporitein permukaan (Perez et al. 2005). Determinan antigenik utama dari virus influenza A dan B adalah glikoprotein transmembran hemaglutinin (H atau HA) dan neuraminidase (N atau NA), yang mampu memicu terjadinya respon imun dan respon yang spesifik terhadap subtipe virus. Respon ini sepenuhnya bersifat protektil di dalam, tapi bersifat protektil parsial pada lintas subtipe yang berbeda. Berdasarkan sifat antigenisitas dari glikoprotein-glikoprotein tersebut, saat ini virus influenza dikelompokkan ke dalam 16 subtipe H (H1-H16) dan 9 N (N1-N9).
Kelompok-kelompok
tersebut
ditetapkan
berdasarkan
analisis
filogenetik terhadap nukleotida dan penetapan urutan (sequences) gen-gen HA dan NA melalui cara deduksi asam amino (Harder et al. 2006). Frekuensi variasi antigenik di antara virus influenza sangat tinggi dan muncul melalui dua jalan yaitu drift dan shift. Jika determinan antigenik dari glikoprotein HA dan NA membran dipengaruhi oleh mekanisme yang dipicu kekebalan, proses tersebut disebut sebagai antigenic drift. Sebaliknya, antigenic shift menunjukkan adanya perubahan mendadak dan mendalam dalam determinan antigenik, yaitu pertukaran subtipe H dan/atau N, di dalam satu siklus tunggal replikasi (Harder et al. 2006). Antigenik drift melibatkan perubahan minor antigenik pada HA dan/atau NA, sedangkan antigenik shift melibatkan perubahan antigenik mayor pada HA dan/atau NA (Easterday et al. 1997). Mutasi dan Perubahan Antigen Enzim RNA dependent RNA polymerase (RdRp) tidak mempunyai mekanisme enzimatik perbaikan kesalahan replikasi, sehingga perubahan nukleotida terjadi terus menerus. Berbeda dengan polimerase DNA yang hanya mempunyai kesalahan 1 dari 109 basa, kesalahan replikasi oleh RdRp adalah 1 P
P
dari 104 nukleotida per siklus replikasi (review oleh Webster et al. 1992). P
P
Substitusi titik/poin dapat dibedakan atas substitusi sinonim dan substitusi non sinonim.
Substitusi sinonim adalah perubahan nukleotida tidak diikuti perubahan ekspresi asam amino. Hal ini terjadi pada semua asam amino, kecuali metionin dan triptopan yang hanya disandi oleh 1 kodon. Substitusi sinonim ini menyebabkan kodon bias (ketidakseimbangan penggunaan kodon sinonim yang menyandi asam amino). Kodon bias ini terlihat pada semua spesies di semua bagian genom, baik daerah intron maupun ekson. Kodon bias tidak mengubah fenotip produk ekspresi, sehingga kodon bias selalu ada dalam genom. Penggunaan kodon pada gen berkorelasi dengan akurasi dan tingkat translasi. Kodon pilihan biasanya adalah kodon dengan tRNA melimpah sehingga dapat ditranslasi lebih cepat (Laver & Kotlar 2005; Wu & Freeland 2005). Substitusi sinonim pada virus AI juga berkaitan dengan limpahan tRNA (Plotkin & Dushoff 2003), tetapi karena translasi mRNA pada virus AI menggunakan mekanisme translasi sel hospes, substitusi sinonim tersebut lebih disebabkan oleh seleksi penyesuaian terhadap penggunaan kodon sel hospes. Hal ini terjadi karena perbedaan penggunaan kodon antara virus dengan sel hospes dapat mempercepat translasi protein (Garmory et al. 2003). Substitusi nonsinonim adalah perubahan nukleotida diikuti dengan perubahan ekspresi asam amino. Substitusi nonsinonim hanya terjadi pada bagian tertentu dari gen yang mengalami tekanan. Semakin sering mengalami tekanan, semakin tinggi substitusinya (Plotkin & Dushoff 2003). Adanya tekana seleksi akan menyebabkan munculnya varian dengan tingkat efektifitas replikasi yang tinggi (Jong et al. 2000). Tingkat perubahan asam amino virus di dalam tubuh hospes (in vivo) lebih tinggi dibandingkan virus yang ditumbuhkan secara in vitro. Ini menunjukkan bahwa tingginya tekanan imun berkorelasi dengan perubahan asam amino (Nakajima et al. 2003). Adaptasi selalu dilakukan oleh virus AI, baik adaptasi terhadap tekanan imun maupun adaptasi pada spesies hospes baru (Voeten et al. 2000; Taubenberger et al. 2005). Adaptasi merupakan kekuatan utama dari evolusi. Perbedaan spesies hospes dan perbedaan tekanan menyebabkan perbedaan kecepatan evolusi virus AI (Brown et al. 2001). Lama infeksi dan frekuensi reinfeksi virus influenza pada manusia, menyebabkan tingginya tekanan seleksi oleh sistem imun (Bush et al. 1999; Suzuki & Nei 2002). Kecepatan mutasi
glikoprotein HA kira-kira 2 x 10-3 nukleotida per posisi per replikasi (Webster et P
P
al. 1992). Kecepatan mutasi HA tersebut lebih tinggi dibanding NA karena NA bukan merupakan determinan antigenik utama dan jumlah NA pada permukaan virion hanya 1/5 jumlah HA (Plotkin & Dushoff 2003). Protein internal tidak berperan dalam pengikatan dengan reseptor sel hospes dan tersembunyi dari antibodi, sehingga protein ini lebih stabil dibanding dengan glikoprotein permukaan (Plotkin & Dushoff 2003; Berkhoff et al. 2005). Stuktur dan fungsi protein internal juga sangat mendasar sehingga tidak menguntungkan virus AI jika mutasi terjadi secara cepat. Hal ini menyebabkan virus AI menghadapi konflik intragenom tentang kecepatan mutasi. Gen atau bagian spesifik gen tertentu dalam genom tersebut mengalami seleksi positif untuk berubah, sementara gen lain mengalami seleksi pemurnian untuk tidak berubah (Plotkin & Dushoff 2003). Protein/regio protein yang fungsinya berkaitan erat dengan pertahanan terhadap respon imun hospes, daya adaptasi dan patogenisitas mempunyai tingkat substitusi nonsinonim lebih tinggi dibanding substitusi sinonim (Plotkin & Dushoff 2003). Kecepatan substitusi nonsinonim gen sub unit HA1 virus AI subtipe H3 sebesar 5.7 x 10-3 per posisi pertahun. Hal ini P
P
disebabkan karena pada HA1 terdapat daerah antigenik, kantong pengikat reseptor dan posisi glikosilasi (Bush et al. 1999). Hanyutan Antigenik Adaptasi terhadap tekanan imun hospes dilakukan oleh virus AI untuk menghindar dari pengenalan dan netralisasi antibodi dan sel T sititoksik. Antibodi netralisasi terhadap protein HA bersifat protektif melawan infeksi, sehingga protein ini paling tinggi mengalami tekanan imun dibandingkan protein internal (Berkhoff et al. 2005). Mekanisme virus AI untuk menghindar dari sistem imun hospes merupakan tekanan untuk mutasi secara gradual sehingga muncul strainstrain virus baru yang secara imunologik berbeda (hanyutan antigenik) (Horimoto & Kawaoka 2001; Munch et al. 2001; Smith et al. 2004). Hanyutan antigenik adalah perubahan secara periodik akibat mutasi genetik sturktur glikoprotein permukaan virus AI sehingga antibodi yang telah terbentuk oleh tubuh akibat infeksi atau vaksinasi sebelumnya tidak dapat mengenali
keberadaan virus tersebut (Munch et al. 2001). Hanyutan antigenik berjalan lambat namun progresif dan cenderung menimbulkan penyakit yang terbatas pada kawasan tertentu (Tumpey et al. 2002; Swayne & Suarez 2003). Hanyutan antigenik menuntut pembuatan vaksin selalu diperbarui mengikuti munculnya strain baru (Plotkin et al. 2002; Smith et al 2004). Cara Penularan Virus dapat ditularkan antara lain melalui unggas yang tertular, unggas carrier, peralatan kandang termasuk sepatu pekerja, alat angkut, rak telur (egg trays), kontak dengan fomites, feces atau leleran yang mengandung virus, karkas unggas yang mati akibat virus ini, air yang tercemar, rodensia atau hewan liar lainnya, dan makanan yang tercemar, serta telur yang tercemar (Jeffrey 1997). Menurut Harder et al. (2006), siklus infeksi antar unggas terjadi melalui rantai oral-fecal, selain melalui kontak langsung dari unggas terinfeksi, air dan benda lain yang tercemar.
Gambar 1.
Bagan patogenesis dan epidemiologi influenza unggas (Harder et al. 2006).
Menurut Newman et al. (2006), virus AI dapat ditemukan dalam air liur, leleran hidung dan feces, unggas lain dapat tertular jika kontak dengan bahanbahan tersebut. Karakteristik virus AI antara lain : 1) Virus ini dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama di lingkungan dengan temperatur yang cocok; 2). Virus dapat bertahan hidup untuk waktu yang tidak terbatas pada material yang dibekukan; 3). Virus dapat menyebabkan infeksi melalui aerosol yang berada di udara, yang menempel pada mulut, hidung, wajah, atau terhisap masuk ke paruparu; 4). Satu gram bahan kontaminan yang mengandung virus cukup untuk menginfeksi satu juta unggas. Gejala Klinis dan Lesi Gejala klinis yang paling sering terlihat adalah gangguan pernafasan, namun gejala lain sangat bervariasi mulai dari tidak terlihat hingga penurunan produksi telur atau fertilitas hingga gejala syaraf. Gejala klinis unggas yang terinfeksi bentuk HPAI adalah diare berwarna hijau, sianosis dan edema pada kepala, pial dan jengger, lakrimasi berlebihan, sinusitis, perdarahan jaringan subkutan yang diikuti sianosis pada kulit terutama kaki. Sinusitis tidak biasa ditemukan pada bebek, puyuh dan kalkun. Lokasi dan tingkat keparahan pada pemeriksaan makroskopik sangat bervariasi dan dapat ditemukan hemoragi, transudasi, dan nekrosis pada saluran respiratorium, gastrointestinal, integumentum dan urogenital (Fraser et al. 1991; Tabbu 2001; Darminto 2006). Virus avian influenza (AI) subtype H5N1, highly pathogenic pada ayam, puyuh dan kalkun serta menyebabkan mortalitas 75-100 % dalam waktu 10 hari setelah infeksi (Perkins & Swayne 2001). Pada sebuah peternakan ayam petelur dengan populasi 34.640 ekor, AI dapat mengakibatkan kematian sebesar 43.3 % (Nakatani et al. 2005). Sebuah peternakan itik lokal komersial di Korea Selatan telah mengalami kematian sampai dengan 12 % akibat infeksi virus AI. Pengujian pada mencit yang diinokulasi dengan menggunakan isolat virus AI H5 telah menyebabkan kematian sebesar 75-100 % pada hari ke 6-8 setelah infeksi (Dybing et al. 2000).
Highly Pathogenic Avian Influenza adalah penyakit infeksi yang sangat luar biasa, penyakit yang disebabkan oleh virus dan bersifat sistemik pada burung yang menyebabkan tingginya angka kematian dan kesakitan. Perubahan pada saat nekropsi ditemukan perubahan yang utama berupa multifokal nekrosis pada pankreas serta pembesaran hati dan limpa (Kwon et al. 2005). Gejala klinis yang timbul dari penyakit ini sangat bervariasi, tergantung pada umur, jenis unggas dan faktor lingkungan. Gejala ini antara lain, mati mendadak dengan atau sedikit gejala klinis, karakteristik infeksi saluran nafas, lakrimasi yang berlebihan, sinusitis, odema pada kepala, kulit pada bagian yang tidak berbulu menjadi kebiru-biruan, dan diare. Diagnosis penyakit ini tergantung hasil isolasi virus dan uji sifat virulensi pada hospes. Diagnosis untuk tujuan pengendalian penyakit berdasarkan sifat patogenitas secara in-vivo atau determinasi molekulernya, adanya asam amino dasar pada lokasi cleavage site dari hemaglutinin. Patogenesis Virus Avian Influenza Virus avian influenza sebagai patogen intraseluler memiliki mekanisme untuk menghindari respon imun hospes sehingga virus dapat bertahan hidup dan bereplikasi dalam tubuh hospes. Peningkatan kemampuan virus untuk menghindari sistem imun hospes secara langsung berkorelasi dengan peningkatan patogenisitas virus. Virus AI ini mempunyai berbagai mekanisme untuk menghindar dari sistem imun bawaan dan respon imun perolehan hospes (Coleman 2007). Penanggulangan AI Penyebaran virus AI secara global disebabkan oleh perdagangan unggas dan/atau produk unggas serta pergerakan migratori unggas (Capua & Maragon 2006; Chen et al. 2006). Analisis penyebaran global virus AI di Asia menunjukkan 9 dari 21 introduksi virus ke negara-negara Asia melalui perdagangan unggas dan produk unggas. Burung migratori juga berperan pada penyebaran dan introduksi virus AI subtipe H5N1 ke 3 dari 21 negara-negara di Asia. Sementara introduksi virus AI subtipe H5N1 pada 20 dari 23 negara di
Eropa terjadi melalui migratori unggas. Di Afrika, 2 dari 8 negara mengalami introduksi virus AI subtipe H5N1 melalui pedagangan unggas dan 3 dari 8 negara melalui migratori unggas (Kilpatrick et al. 2006). Tindakan penanggulangan penyakit AI dilakukan sesuai dengan status penyakit AI yang terdapat di suatu daerah tertentu, teknologi yang diperlukan untuk penanggulangan disesuaikan dengan tingkat penyakitnya. Jika penyakit AI belum masuk ke dalam daerah tertentu, tindakan yang dilakukan adalah pencegahan dan penolakan, namun jika sudah masuk dan mewabah status penyakit dinyatakan sebagai epidemik maka tindakan penanggulangan dilakukan adalah pengendalian wabah untuk menghentikan bertambahnya kasus AI dan mencegah perluasan penyakit (Darminto 2006).