TINJAUAN PUSTAKA Biologi Penyebab Penyakit Bercak Daun Penyakit bercak daun disebabkan oleh jamur
Phyllosticta zingiberi
menurut Sawada (1959) jamur ini di klasifikasikan kedalam : Kingdom
: Fungi
Phylum
; Ascomycota
Devisio
: Eumycota
Subdivision
: Deuteromycotina (jamur yang tidak sempurna)
Kelas
: Ascomycetes
Ordo
: Dothideales
Family
: Botryosphaeriaceae
Genus
: Phyllosticta
Spesies
: Phyllosticta zingiberi
Jamur Phyllosticta dan anggota lain dari kelompok jamur Sphaeropsidales, piknidia mengandung spora aseksual pada permukaan jaringan yang terinfeksi. Spora aseksual atau konidia ini dilepaskan jika keadaan lembab, kelembaban juga diperlukan ketika spora bertunas (Gambar 1). Selain itu yang disebut perithecia akan terbentuk tidak lama setelah piknidia dihasilkan. Perithecia menghasilkan spora seksual atau ascospores. Ascospores diproduksi di kantung dan terdapat 8 spora bersel tunggal per kantung. Ketika menghasilkan ascospores, jamur ini diklasifikasikan sebagai Ascomycetes dan memiliki nama yang berbeda. Piknidia berwarna coklat gelap hingga hitam, lenticular sampai globuose, berdiameter 5 – 120 µm, konidia kecil, uniselular, hyaline, oval hingga eliptis, berukuran 5 – 10 x 2.5 - 4.5 µm (Rachmat, 1993).
8 Universitas Sumatera Utara
a
b
Gambar 1. a&b.Conidia and conidiophore Phyllosticta diakses dari Phyllosticta patogen image : http://pmo.unmext.maine .edu Berbagai penyakit daun telah dilaporkan pada tanaman jahe Z oficinale Rescoe dari Taiwan. Diantaranya, bercak daun adalah yang paling umum di Taiwan.
Agen penyebab penyakit bercak daun pada awalnya diidentifikasi
sebagai P. zingiberi . Dalam sebuah survei di Taiwan, telah dikumpulkan beberapa isolat fungi Coelomycetous dari daun-daun tanaman yang terlihat mengandung gejala bercak daun. Pengamatan mikroskop dan uji patogenisitas membuktikan bahwa semua isolat ini adalah fungi patogenik yang sama. Koloni fungi pada agar dekstrosa
kentang tampak berwarna abu-abu hingga coklat
kehitaman, sering pula dengan batas yang lebih kabur, setelah beberapa hari dikulturkan pada suhu 24o C miselium tersusun dari dua jenis hifa, yakni hialin sampai subhialin, berdinding tipis, halus, bercabang langka, agak lurus atau akan melentur, lebar 2-4 µm, dan berwarna pucat hingga coklat di bagian tengah, berdinding lebih tebal, halus, sering bercabang, lurus, dan melentur, lebar 4-8 µm. Jenis terakhir ini sering memiliki elemen selular dengan lebar 12 µm seperti klamidospora (Kuo, Lee, dan Zheng, 2000).
9 Universitas Sumatera Utara
Gejala Penyakit Bercak Daun Jahe Merah Gejalanya daun muda mengalami bercak-bercak kecil berupa busuk basah dengan ukuran 2-3 mm. Semakin lama bercak ini berubah menjadi abu-abu, tengahnya terdapat bintik hitam berupa piknidia jamur dan tepinya dikeliling busuk dengan ukuran 2-3 mm. Tanaman yang mati dapat menjadi sumber inokulum yang berbahaya bagi tanaman lain. Penyebab penyakit ini adalah Phyllosticta zingiberi, menyebar ketanaman lain melalui angin (DTSP, 2009). Bercak - bercak sering meluas ke lesi-lesi penyakit dan tidak beraturan yang terkadang menempati setengah daun. Pada sisi teratas dari lesi, ada titik titik coklat hingga
hitam yang
merupakan
piknidia, dan terbentuk secara
menyebar (Gambar 2 dan Gambar 3). Penyakit ini
sering dijumpai di areal
pertanaman jahe (Rachmat, 1993).
Gambar 2. Gejala penyakit bercak daun Jahe (26 Januari 2010) di lahan petani desa Tumpatan Nibung Batang Kuis.
10 Universitas Sumatera Utara
a.
b.
Gambar 3. a. Tanaman Jahe merah dengan gejala serangan penyakit bercak daun (Barus dan Hapsoh, 2009). b.Daun tanaman jahe yang terserang penyakit bercak daun (Barus dan Hapsoh, 2009)
a.
b
b.
Gambar 4. a.Tanaman Jahe merah dengan gejala serangan penyakit bercak daun umur 1 bulan setelah pindah tanam (BSPT) ( Mei 2010) b.Tanaman Jahe merah dengan serangan penyakit bercak daun umur 6 BSPT (Oktober 2010) Tanaman jahe merah Penelitian di lapangan pada Gambar 4 a dan 4 b, yang diambil dari lahan percobaan Fakultas Pertanian Universitas Amir Hamzah Medan juga menunjukkan gejala yang sama dengan gambar-gambar sebelumnya.
11
Universitas Sumatera Utara
Faktor-faktor yang mempengaruhi Penyakit Keragaman jenis dan populasi organisme pengganggu tanaman
jahe
sangat berkaitan dengan agroekologi dan agroekosistem tempat budidaya tanaman jahe. Seringkali beberapa OPT banyak ditemukan di suatu daerah tetapi tidak ditemukan di daerah lain,
hal ini karena faktor lingkungan yang
mempengaruhinya baik lingkungan fisika (abiotik) maupun biotiknya. Tiga faktor utama yang mempengaruhi perkembangan populasi OPT jahe adalah; tanaman inang, sumber makanan suatu OPT serta adanya pengaruh faktor lingkungan yang menunjang baik berupa faktor biotik maupun abiotik yang akan menyebabkan peningkatan populasi OPT tersebut, sehingga dapat mengakibatkan kerusakan tanaman inang yang dibudidayakan (Siswanto dan Wahyuno, 2008). Jamur ini kurang terdapat di musim kemarau. Penyakit menyebar melalui percikan hujan dan dibawa angin, serangan berat biasanya terjadi pada lahan terbuka. Cendawan terutama bertahan pada sisa-sisa tanaman yang terdapat di tanah. Perkembangan penyakit dibantu oleh cuaca yang panas dan lembab (Ramakrishnan, 1941).
Penanggulangan Penyakit Bercak Daun Jahe Bibit yang akan ditanam hendaknya bibit yang sehat, selain itu untuk mencegah penyakit ini bibit dibasahi atau direndam terlebih dahulu dengan larutan karbendazim 0,25% atau larutan Klorantraniliprol 0,25%. Tanaman dan tanah bekas tanaman yang telah terserang disemprot dengan fungisida di atas. Sedang bila telah terserang berat maka tanaman dicabut, dibakar dan tanah bekas tanaman disiram dengan fungisida tersebut di atas (DTSP, 2009). 12 Universitas Sumatera Utara
Pengendalian yang dianjurkan oleh Rukmana (2000 ), dilakukan dengan cara: a) menggunakan bibit jahe yang sehat, b) memperbaiki drainase tanah, c) melakukan pergiliran atau rotasi tanaman, d) mencabut atau membongkar dan memusnahkan rumpun jahe yang sakit berat, e) menyemprotkan fungisida 1 kali dalam seminggu. Dosis atau konsentrasi disesuaikan dengan anjuran, dan menyemprotkan larutan cendawan Trichoderma (Harmono dan Andoko,2005). Pemberian T. harzianum pada tanaman kencur mampu memperlambat masa inkubasi, menurunkan tingkat kevirulenan, menurunkan jumlah konidium akhir, dan meningkatkan hasil rimpang, dan penambahan T. harzianum mempunyai potensi agensia hayati pada F oxysporum F,sp.zingiberi (Prabowo et al., 2006).
Agensia Hayati Trichoderma harzianum Menurut Agrios (1996), jamur ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Sub divisio
: Deuteromycotina
Kelas
: Hyphomycetes
Ordo
: Moniliales
Famili
: Moniliaceae
Genus
: Trichoderma
Spesies
: Trichoderma harzianum Rifai
Trichoderma termasuk kelas Hypomycetes dan ordo Moniliales (Agrios, 1996) dan telah dikenal sejak tahun 1794 oleh Persoon dengan empat species koleksinya yang sulit untuk diidentifikasi, salah satunya adalah T.viridae (Samuels, 2006). Tahun 1969 Rifai mengadakan revisi terhadap species yang ada dan menggolongkan Trichoderma ke dalam 9 Species. Diantara species tersebut 13 Universitas Sumatera Utara
ada 5 species yang paling banyak digunakan sebagai agen pengendalian hayati dalam pengendalian penyakit tanaman yaitu ; T. hamatum, T. harzianum, T. koningii, T. viridae dan T. pseudokoningii (Papavizas, 1985). Koloni dari genus Trichoderma kompak, kekompakan ini berhubungan dengan struktur konidiofornya, sebagian besar koloni membentuk zona mirip cincin yang khas dan jelas. Warna koloni ada yang kekuningan, kuning dan hijau. Pada ujung konidiofor berbentuk
seperti botol. Konidia berwarna hijau dan
jernih, bentuk konidia sebagian besar bulat (Rifai, 1969). Konidiofor dapat bercabang menyerupai piramida, yaitu pada bagian bawah cabang lateral yang berulang-ulang, sedangkan ke arah ujung percabangan menjadi bertambah pendek. Fialid tampak langsing dan panjang terutama pada aspek dari cabang, dan berukuran (18 x 2,5) µm. Konidia berbentuk semi bulat hingga oval pendek, berukuran (2,8-3,2) x (2,5-2,8) µm, dan berdinding halus (Gambar 5 b). Klamidospora umumnya ditemukan dalam miselia dari koloni yang sudah tua, terletak interkalar dan kadang-kadang terminal, umumnya berbentuk bulat, berwarna hialin, dan berdinding halus (Gandjar, et al., 1999). Konidium (fialospora) jorong, bersel 1, dalam kelompok-kelompok kecil terminal, kelompok konidium berwarna hijau biru. Koloni jamur pada media agar menyebar, mula-mula berwarna putih kemudian berubah menjadi hijau. Hifa vegetatif hialin (Gilman, 1971). Isolat Trichoderma yang digunakan dalam penelitian ini adalah T. harzianum. Manurut Rifai (1969), ciri khas dari T. harzianum adalah konidia lebih pendek, dengan rasio panjang dengan lebar kurang dari 1.5, konidia bulat atau obovoid pendek, dengan rasio (1.25, 2.8 - 3.2) x (2.5 - 2.8) µm, koloni tidak
14 Universitas Sumatera Utara
berwarna, dapat mencapai lebih 9 cm dalam 5 hari pada medium Oat meal agar (OA) (Gambar 5).
b.
a.
Gambar 5. (a) Konidiofor jamur T. harzianum (b) Konidia T. Harzianum. Trichoderma
merupakan salah satu mikroorganisme fungsional yang
dikenal luas sebagai pupuk biologis tanah. Mikroorganisme ini adalah jamur penghuni tanah yang dapat diisolasi dari perakaran tanaman di lapangan. Trichoderma
disamping sebagai organisme pengurai, dapat pula berfungsi
sebagai agen hayati dan stimulator pertumbuhan tanaman. Beberapa spesies Trichoderma telah dilaporkan sebagai agensia hayati seperti T. harzianum, T. viridae, dan T. koningii yang berspektrum luas pada berbagai tanaman pertanian. (Samuel, 2006). Penelitian Prabowo et al., 2006 pada tanaman kencur perlakuan penambahan T. Harzianum mampu memperlambat masa inkubasi 4-30,6 hsi(hari setelah inokulasi) pada enam isolat patogen jamur Fusarium oxysporum f.sp. zingiberi, tetapi mempercepat masa inkubasi 4,5 hsi pada tiga isolat lainnya Penundaan masa inkubasi ini
disebabkan persaingan antara patogen dengan
antagonis, sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk menginfeksi tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Widodo (1993), yang menyatakan bahwa patogen 15 Universitas Sumatera Utara
sukar melakukan penetrasi ke tanaman dan menimbulkan penyakit apabila sistem perakaran terkuasai antagonis. Sebaliknya percepatan
masa inkubasi diduga
disebabkan oleh perbedaan sifat kepatogenan. Kepatogenan menyebabkan isolat lebih cepat menginfeksi tanaman dibandingkan dengan penghambatan oleh antagonis, sehingga antagonis tidak mampu menghambat serangan patogen. Salah satu yang menarik dalam penelitian pengendalian hayati adalah pengkajian mekanisme dari agens hayati dalam mengendalikan patogen penyebab penyakit. Pengendalian penyakit dengan menggunakan agens hayati
harus
diketahui bagaimana agen hayati itu bekerja dan mengeliminir patogen (Howell, 2003).
Mekanisme dari Trichoderma dalam mengendalikan penyakit tanaman
dapat terjadi dengan beberapa cara yaitu : 1.
Mikoparasitisme dan Antibiotik (Toksin) Mekanisme
antagonis dari Trichoderma yang paling dikenal adalah
kemampuannya dalam memarasit jamur lain (Gambar 6) sebagaimana yang telah dilaporkan oleh Weindling (1934) dalam Howell (2003) bahwa T. lignorum yang telah digunakan sebagai biokontrol dalam pengendalian penyakit benih pada jeruk yang
disebabkan
oleh
Rhizoctonia
solani
dengan
mikoparasitisme.
Mikoparasitisme berlangsung dengan cara membelit hifa patogen, penetrasi dan kemudian kehancuran dari sitoplasma patogen.
16
Universitas Sumatera Utara
Gambar 6. Penetrasi dan formasi dari haustoria dalam hifa yang lebih besar dari R. solani oleh hifa yang lebih kecil dari T. virens (Howell, 2003). Dua tahun kemudian Weindling melaporkan strain dari T. lignorum juga menghasilkan toksin yang dapat dipisahkan dari medium dan dilaporkan telah mampu bersifat toksit terhadap R. solani dan Sclerotinia americana (Gambar 7).
Gambar 7. Penghambatan pertumbuhan R. solani oleh antibiotik gliotoxin dari T. virens : A. Médium dengan gliotoxin, B. Médium tanpa gliotoxin (Howell, 2003)
17 Universitas Sumatera Utara
Agensia Hayati Gliocladium
Menurut
Alexopoulus
and
Mims
(1979),
Gliocladium spp.
diklasifikasikan: Kingdom
: Mycetaceae
Divisio
: Amastigomycota
Sub Divisi
: Deuteromycotina
Class
: Deuteromycetes
Ordo
: Hypocreales
Famili
: Hypocreaceae
Genus
: Gliocladium
Species
: Gliocladium spp.
Dalam penelitian ini yang digunakan adalah isolat Gliocladium spp. dan G virens. Koloni tumbuh sangat cepat dan mencapai diameter 5-8 cm dalam waktu lima hari pada suhu 20° C di medium Oat meal Agar (OA). Perbedaannya dengan T. viride adalah fialidanya seperti tertekan dan memunculkan satu tetes besar konidium berwarna hijau, yang membentuk massa lendir, pada setiap gulungan. Konidiumnya berbentuk bulat telur pendek, berdinding halus, agak besar, dan kebanyakan berukuran (4,5-6 x 3,5-4) µm (Gambar 8) (Soesanto, 2008).
18 Universitas Sumatera Utara
a.
b.
Gambar 8.a.Conidia and Phialid, b. Conidia and Conidiophore G. virens image:http://www.mycology.adelaide.edu.au/gallery/hyaline_m oulds/ G virens merupakan jamur tanah yang umum dan tersebar di berbagai jenis tanah, misalnya tanah hutan, dan pada beragam rizosfer tanaman. Pertumbuhan optimum jamur antagonis terjadi pada suhu 25-32° C. Jamur parasit nekrotof ini mampu tumbuh baik sebagai pesaing saprotrof dari jamur lainnya (Soesanto, 2008). Jamur sangat toleran terhadap CO 2. Pada medium yang mengandung NaCl 5%, jamur tampak mengalami penurunan pertumbuhan dan pensporaan. Kebutuhan nutrisi dari jamur antagonis nekrotrof tidak berbeda dengan jamur saprotrof. Pada stadium awal infeksi mikoparasit, tampak terjadi perubahan kelenturan plasmalema haustorium inang, yang memampukan glukosa dan nutrisi lain diserap dari sitoplasma inang. Jamur antagonis Gliocladium virens tidak berpengaruh antagonisme terhadap jamur mikoriza asbuskular (Soesanto, 2008).
Manfaat Gliocladium virens Miller Pada pengendalian hayati, perkecambahan konidia atau klamidospora akan memudahkan agensia hayati seperti G virens untuk menyerang miselium F. 19 Universitas Sumatera Utara
oxysporum. G. virens juga dapat menghambat penyebab penyakit lainnya seperti Rhizoctonia spp., Phytium spp., Sclerotium rolsfii penyebab damping-off dan penyebab penyakit akar, diduga enzimnya beta glucanase. G. virens mampu menekan Sclerotium rolsfii sampai 85% secara in-vitro. G.
virens dapat
mengeluarkan antibiotik gliotoksin, glioviridin, dan viridin yang bersifat fungistatik. Gliotoksin dapat menghambat cendawan dan bakteri, sedangkan viridin dapat menghambat cendawan. G. Virens dapat tumbuh baik pada substrat organik, media kering, dan kondisi asam sampai sedikit basa (Winarsih, 2007). Untuk menjamin adanya antagonis yang efektif dalam tanah, sejak beberapa tahun yang lalu tersedia campuran ‘Sako-P’ yang mengandung T.koningii untuk menginokulasi tanah (jamur diproduksi oleh Pusat Penelitian Karet Sungei Putih). Dewasa ini banyak negara telah mengetahui bahwa Trichoderma spp. dan Gliocladium spp. dapat dipakai untuk mengendalikan macam-macam penyakit jamur bawaan tanah (Semangun, 1996). Kemasan Gliocladium dengan merek GL-21 pertama kali terdaftar sebagai fungisida pada tahun 1990 oleh WR Grace & Co (Columbia, MD) untuk mengendalikan penyakit damping-off, terutama yang disebabkan oleh Pythium dan Rhizoctonia sp. G. virens memiliki potensi besar sebagai agen pengendalian biologi untuk patogen tanah (Mahar, 2009).
20 Universitas Sumatera Utara