TINJAUAN PUSTAKA
Batuan sebagai Penyedia Hara
Batuan adalah material alam yang tersusun atas kumpulan (agregat) mineral baik yang terkonsolidasi maupun yang tidak terkonsolidasi yang merupakan penyusun utama kerak bumi serta terbentuk sebagai hasil proses alam. Batuan bisa mengandung satu atau beberapa mineral. Atas dasar cara terbentuknya, batuan dapat dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu batuan beku, sebagai hasil proses pembekuan atau kristalisasi magma; batuan sedimen, sebagai hasil proses sedimentasi; dan batuan metamorf, sebagai hasil proses metamorfisme (Warmada dan Titisari, 2004). Sekitar 98 persen kerak bumi tersusun dari delapan unsur kimia, dan unsur oksigen dan silikon menyusun 75 persen dari jumlah tersebut. Banyak unsur yang penting bagi pertumbuhan tanaman dan hewan terdapat dalam jumlah kecil. Sebagian besar unsur kerak bumi telah berkombinasi dengan satu atau lebih unsur lainnya untuk membentuk senyawa-senyawa yang disebut mineral. Mineralmineral tersebut pada umumnya terdapat dalam campuran untuk membentuk batuan bumi. Sebagai contoh, batu kapur merupakan batuan sedimen yang
penting dan terdiri atas sebagian besar kalsium dan magnesium karbonat serta jumlah mineral-mineral lain yang jumlahnya bervariasi sebagai selingan. Mineralmineral yang dominan dalam batuan-batuan ini adalah feldspar, amfibol, piroksen, kuarsa, mika mineral tanah liat, limonit (oksida besi), dan mineral-mineral karbonat (Foth,1994). Komposisi unsur kimia yang menyusun kerak bumi dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Kandungan unsur kimia dalam kerak bumi yang bobotnya >1 persen No. Unsur Kimia Jumlah (%) 46,6 Oksigen 1. 27,7 Silikon 2. 8,1 Aluminium 3. 5,0 Besi 4. 3,6 Kalsium 5. 2,8 Natrium 6. 2,6 Kalium 7. 2,1 Magnesium 8. Sumber: Foth (1994)
Agromineral
adalah
mineral-mineral
yang
bermanfaat
bagi
perkembangbiakan tumbuhan, seperti mineral-mineral yang mengandung nitrogen, karbon, fosfor, potassium, belerang, kalsium, magnesium, boron, zeolit, dan perlit (van Straaten, 1999). Tanaman memerlukan nutrien untuk tumbuh, di antaranya nitrogen, fosfat, potassium, kalsium, magnesium, sulfur, dan mikroelemen lain, yang tidak dipunyai oleh tanah yang kurang subur. Sumber fosfat umumnya diperoleh dari batuan fosfat. Batuan fosfat ini tidak dapat digunakan langsung sebagai pupuk disebabkan oleh sifat daya larutnya yang terlalu kecil dalam air sehingga diusahakan untuk merubahnya menjadi senyawa fosfat yang mudah larut dalam air, sehingga mudah diserap oleh akar tumbuh-tumbuhan (Basyuni, 2009). Salah satu bahan induk yang banyak mengandung unsur-unsur hara yang penting bagi tanaman adalah bahan induk yang berasal dari batuan beku. Proses pelepasan hara dari batuan beku berbeda-beda, ada yang mudah melepaskan elemen/hara ke dalam larutan tanah dan ada juga yang sangat lambat. Hal ini disebabkan karena setiap jenis batuan beku mengandung mineral yang berbedabeda dan memiliki ketahanan yang berbeda pula (Ibrahim dan Ahmad, 2012). Proses pelapukan menyebabkan terubahnya batuan asal menjadi material lain yang sifat fisiknya menjadi lebih lemah. Proses ini dapat mempermudah atau
mempercepat terurainya ikatan kimia mineral pada batuan. Proses pelapukan dapat dibagi menjadi dua, yaitu: a) Pelapukan fisik, yang mengakibatkan pengurangan ukuran partikel; dan b) Pelapukan kimia, yang menyebabkan mineral pada batuan mengalami dekomposisi (Warmada dan Titisari, 2004). Di alam, pelapukan fisik dan kimia dapat terjadi serempak. Keduanya biasanya mengawali proses pembentukan tanah dari batuan keras. Telah dilaporkan bukti bahwa bahan organik mempunyai pengaruh nyata terhadap pelapukan. Dalam beberapa kasus, tingkat pelapukan yang dirangsang oleh bahan organik tanah dapat lebih penting daripada yang dihasilkan oleh reaksi kimia saja. Melalui dekomposisi bahan organik, sejumlah senyawa organik dilepaskan atau dibentuk. Kebanyakan dari senyawa-senyawa organik tersebut, seperti asam-asam fluvat dan humat, mempunyai kapasitas untuk mengkhelat atau mengkompleks ion-ion logam (Tan, 1998). Pemberian dua macam bahan yang berlainan dalam jumlah setara pada tanah tidak berarti bahwa hasil yang dicapai harus sama. Hal ini benar adanya apabila kedua bahan tersebut memiliki butir-butir berlainan, baik dalam besar maupun dalam kekerasan. Hal yang sudah jelas diketahui bahwa semakin halus suatu bahan, maka semakin cepat pula larut dan bereaksi dalam tanah (Buckman dan Brady, 1982). Tingkat kelarutan akan menentukan kualitas batuan yang digunakan secara langsung sebagai pupuk. Demikian pula kehalusan atau ukuran butir pupuk, makin halus ukuran butir maka kelarutannya makin tinggi. Namun beberapa batuan kelarutannya ditentukan oleh sifat reaktivitas kimianya (Hartatik, 2011). Literatur Priyono (2005) menyatakan hasil kajian menunjukkan bahwa batuan
yang digiling halus sangat potensial untuk dapat digunakan sebagai pupuk yang secara agronomis lebih efektif atau sama efektifnya dengan pupuk kimia (dalam bentuk senyawa garam mudah larut dalam air).
Aplikasi Pengekstrak
Beberapa cara praktis untuk mempercepat pelarutan hara dari batuan ke dalam larutan tanah telah dikaji, misalnya melalui pengasaman (acidulation) dengan asam kuat dan penggilingan intensif. Teknik tersebut telah digunakan untuk memproduksi pupuk dan ternyata dapat meningkatkan efektivitas dari berbagai jenis mineral silikat, fosfat alam, basalt, dan K-feldspar (Priyono, 2005). Asam-asam organik, merupakan bagian dari bahan organik, adalah hasil kegiatan jasad hidup baik yang terdapat di dalam maupun di permukaan batuan. Senyawa ini umumnya merupakan hasil buangan (sekresi, eksudat) atau pun rombakan. Asam-asam ini, seperti asam anorganik umumnya karena pada gugus fungsionalnya dapat mengalami disosiasi yang melepaskan proton (H+) dan proton ini dapat menyerang mineral batuan. Selain itu sisa asamnya (anion organik) dapat membentuk senyawa kompleks dengan kation-kation pada tepi mineral atau kation yang terlepas dari mineral. Dengan demikian asam-asam ini nyata berperan dalam pelapukan kimia (Ismagil dan Hanudin, 2005). Pelapukan kimia di alam ini hanya dapat berlangsung apabila ada air, namun adanya asam-asam pelapukan tersebut dipercepat. Peran asam anorganik ataukah asam organik yang mempercepat pelapukan mineral merupakan pertanyaan yang sulit dijawab. Namun, dari kenyataan tanah atau batuan yang paling atas merupakan lingkungan biologi (biosfer) yang sangat padat, maka
diperkirakan bahwa asam organik lebih besar peranannya dalam pelapukan daripada asam-asam anorganik (Sposito, 1994). Pengaruh asam-asam organik dalam degradasi mineral batuan berupa reaksi pelarutan. Proses pelarutan ini sebenarnya adalah reaksi terbaginya zat padat, mineral, ke dalam air atau larutan asam organik. Reaksi kimia yang utama pada pelarutan adalah hidrolisis, kemudian hidrolisis yang dipacu dengan adanya asam (Ismagil dan Hanudin, 2005). Beberapa bahan yang diaplikasikan sebagai pengekstrak merupakan bahan-bahan
yang
mengandung
asam-asam
organik
bertujuan
dalam
meningkatkan kelarutan agromineral antara lain urine sapi, air nenas, dan air gambut. Berdasarkan literatur Deptan (2012), pupuk organik merupakan pupuk dengan bahan dasar yang diambil dari alam dengan jumlah dan jenis unsur hara yang terkandung secara alami. Pupuk organik juga merupakan salah satu bahan yang berperan dalam upaya memperbaiki kesuburan tanah secara aman. Urine sapi merupakan cairan dari proses pembuangan sisa metabolisme oleh ginjal yang kemudian akan dikeluarkan dari dalam tubuh sapi melalui proses urinasi. Berbeda dengan pupuk buatan yang hanya mengandung satu nutrisi saja, pupuk organik yang dibuat dari urine sapi mengandung nutrisi yang beragam dan seimbang. Untuk mengolahnya menjadi pupuk organik cair, urine sapi harus difermentasi dalam kondisi anaerob (Affandi, 2011). Buah nenas merupakan salah satu buah yang dapat digunakan sebagai pupuk organik cair karena mampu menghasilkan mikroorganisme dari hasil fermentasinya. Kandungan kimia buah nenas dari bagian buah sangat bervariasi tergantung daerah pertumbuhannya, kondisi sebelum maupun sesuah panen. Buah
nenas mengandung protein 0,4%, gula 12-15%, asam 0,6% (terbanyak 85% asam sitrat), air 80-85%, dan vitamin. Asam organik utama yang terdapat dalam buah nenas adalah asam sitrat, yang merupakan asam tidak menguap yang terbanyak dalam buah nenas. Selain asam sitrat, dalam buah nenas juga terdapat asam malat dan asam oksalat. Dalam ekstrak buah nenas terdapat enzim bromelin yang dapat langsung digunakan (Wirakusumah, 2000). Pada gambut, dekomposisi bahan organik dalam suasana anaerob menghasilkan senyawa-senyawa organik seperti protein, asam-asam organik, dan senyawa pembentuk humus. Asam-asam organik tersebut berwarna hitam dan membuat suasana tanah menjadi masam dan beracun bagi tanaman. Kisaran pH tanah gambut antara 3 hingga 5. Rendahnya pH ini menyebabkan sejumlah unsur hara seperti N, Ca, Mg, K, Bo, Cu, dan Mo tidak tersedia bagi tanaman. Unsur hara makro fosfat juga berada dalam jumlah yang rendah karena gambut sulit mengikat unsur ini sehingga mudah tercuci. Kemasaman yang tinggi (pH rendah) juga menyebabkan tidak aktifnya mikroorganisme, terutama bakteri tanah sehingga pertumbuhan cendawan merajalela dan reaksi tanah yang didukung oleh bakteri seperti fiksasi nitrogen dan mineralisasi gambut menjadi terhambat (Najiyati, dkk, 2005).
Sifat Kimia Ultisol
Ultisol adalah tanah mineral yang berada pada daerah temperate sampai tropis. Di Indonesia, ultisol merupakan daerah terluas dari lahan kering yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya, serta sebagian kecil di Jawa terutama di wilayah Jawa Barat (Munir, 1996).
Ultisol dapat berkembang dari berbagai bahan induk, dari yang bersifat masam hingga basa. Namun sebagian besar bahan induk ini adalah batuan sedimen masam. Ultisol dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah permukaan sehingga mengurangi daya resap air dan meningkatkan aliran permukaan dan erosi tanah. Umumnya tanah ini mempunyai potensi keracunan Al dan miskin kandungan bahan organik. Tanah ini juga miskin kandungan hara terutama P dan kation-kation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan K, dan peka terhadap erosi (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Ultisol memiliki KTK sebesar kurang dari 24 cmol(+)/kg liat (dengan NH4OAc 1 N pH 7), pada 50 persen atau lebih dari (berdasarkan volume) horison argilik apabila ketebalannya kurang dari 100 cm atau pada 100 cm bagian atas horison tersebut. Kejenuhan basa (berdasarkan jumlah kation) sebesar kurang dari 35% pada kedalaman 125 cm di bawah atas horison argilik (tetapi tidak lebih dari 200 cm di bawah permukaan tanah mineral), atau 180 cm di bawah permukaan tanah mineral (Soil Survey Staff, 1998). Kejenuhan basa menurun sesuai kedalaman, mencerminkan terjadinya daur basa-basa oleh tanaman atau adanya penambahan dari pupuk. Pada tanah yang tidak diolah, kejenuhan basa tertinggi normalnya pada beberapa cm langsung di bawah permukaan. Tanah ini dapat diubah menjadi produktif tinggi jika diberikan pemupukan (Rachim dan Arifin, 2011). Reaksi tanah pada umumnya masam hingga sangat masam (pH 5-3,10), kecuali yang berasal dari batu gamping yang mempunyai reaksi netral hingga agak masam (pH 6,80-6,50). Kandungan hara umumnya rendah karena pencucian basa berlangsung intensif, sedangkan kandungan bahan organik
rendah karena proses dekomposisi berjalan cepat dan sebagian terbawa erosi (Prasetyo, dkk, 2000).
Reaksi Tanah (pH)
Nilai pH tanah tidak sekedar menunjukkan suatu tanah asam atau alkali, tetapi juga memberikan informasi tentang sifat-sifat tanah yang lain seperti ketersediaan fosfor, status kation-kation basa dan unsur racun (Mukhlis, 2007). Literatur Hakim, dkk (1986) menyatakan bahwa dalam keadaan yang sangat masam, Al menjadi sangat larut yang dijumpai dalam bentuk kation Al3+ dan hidroksida Al. Kedua ion Al itu lebih mudah terjerap pada koloid liat daripada ion H. Oleh karena Al berada dalam larutan tanah mudah terhidrolisis, maka Al merupakan penyebab kemasaman atau penyumbang ion H. Ion H yang dibebaskan secara demikian akan memberikan nilai pH rendah bagi larutan tanah dan mungkin merupakan sumber utama ion H dalam sebagian besar tanah masam. Nilai pH tanah dapat digunakan sebagai indikator kesuburan kimiawi tanah, karena dapat mencerminkan ketersediaan hara dalam tanah tersebut. pH optimum untuk ketersediaan unsur hara tanah sekitar 7,0 karena pada pH ini semua unsur makro tersedia secara maksimum sedangkan unsur hara mikro tidak maksimum kecuali Mo, sehingga kemungkinan terjadinya toksisitas unsur mikro tertekan. Pada pH di bawah 6,5 dapat terjadi defisiensi P, Ca, dan Mg serta toksisitas B, Mn, Cu, dan Fe, sedangkan pada pH di atas 7,5 dapat terjadi defisiensi P, B, Fe, Mn, Cu, Zn, Ca, dan Mg, juga keracunan B dan Mo (Hanafiah, 2005). Masalah kemasaman tanah pada umumnya ditangani dengan cara pengapuran atau pemberian bahan pembenah tanah. Semua material yang
mengandung senyawa Ca dan Mg dapat digunakan sebagai bahan pengapuran untuk menetralisir kemasaman tanah, yaitu meningkatkan pH tanah yang pada dasarnya meningkatkan kandungan Ca dan menurunkan kadar Al (Kusdarto, 2005).
C-organik
Kandungan bahan organik dalam tanah merupakan salah satu faktor yang berperan dalam menentukan keberhasilan suatu budidaya pertanian. Hal ini dikarenakan bahan organik dapat meningkatkan kesuburan kimia, fisika maupun biologi tanah. Penetapan kandungan bahan organik tanah dilakukan berdasarkan jumlah C-organik (Andre, 2009). Bahan organik di dalam tanah dapat mempengaruhi ketersediaan P melalui dekomposisinya yang menghasilkan asam organik dan CO2. Asam-asam organik akan menghasilkan anion organik yang bersifat mengikat ion-ion seperti Al, Fe, dan Ca dalam larutan tanah. Dengan demikian konsentrasi ion Al, Fe, dan Ca yang bebas dalam larutan tanah akan berkurang sehingga diharapkan P tersedia akan lebih meningkat. Dengan kata lain, kecepatan pelepasan P dari bentuk tidak tersedia menjadi bentuk tersedia adalah sangat bergantung pada pH tanah dan bahan organik (Santoso, 1998). Berdasarkan literatur Hanafiah (2005) menyatakan bahwa dari pelapukan bahan organik akan dihasilkan asam humat, asam fulvat, dan asam-asam organik lainnya. Asam-asam tersebut dapat mengikat logam seperti Al dan Fe, sehingga mampu mengurangi kemasaman tanah dan P akan lebih tersedia. Anion-anion organik seperti sitrat, asetat, tartarat, dan oksalat yang dibentuk selama pelapukan bahan organik dapat membantu pula pada pelepasan P yang diikat oleh
hidroksida-hidroksida Al, Fe, dan Ca dengan bereaksi membentuk senyawa kompleks.
P-tersedia
Ketersediaan fosfor tanah untuk tanaman sangat dipengaruhi oleh sifat dan ciri tanah itu sendiri. Pada ultisol, tidak tersedia dan tidak terlarutnya P disebabkan fiksasi oleh mineral-mineral liat dan ion-ion Al dan Fe yang membentuk senyawa kompleks yang tidak larut. Ada beberapa faktor yang turut mempengaruhi ketersediaan P tanah, yaitu tipe liat, pH tanah, waktu reaksi, temperatur, dan bahan organik tanah (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Fosfor diserap tanaman dalam bentuk H2PO4-, HPO42-, dan PO43-, atau tergantung dari nilai pH tanah. Fosfor sebagian besar berasal dari pelapukan batuan mineral alami, sisanya berasal dari pelapukan bahan organik. Walaupun sumber fosfor di dalam tanah mineral cukup banyak, tanaman masih bisa mengalami kekurangan fosfor (Novizan, 2002). Fosfor lebih mudah larut pada tanah yang memiliki pH rendah (masam), sebaliknya pada tanah dengan pH tinggi, kelarutannya menurun. Oleh karena itu, fosfor tidak sesuai diaplikasikan pada tanah yang bereaksi netral hingga alkalis. Kadar Ca yang tinggi dalam tanah akan menghambat kelarutan fosfor (Hartatik, 2011). Umumnya, P sukar tercuci oleh air hujan maupun air irigasi disebabkan karena P bereaksi dengan ion dan membentuk senyawa yang tingkat kelarutannya berkurang. Bahkan sebagian menjadi ion yang tidak tersedia untuk tanaman atau terfiksasi oleh senyawa lain (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).
Basa-basa Tukar
Secara teknis, basa adalah proton akseptor seperti ion OH sedangkan asam adalah proton donor seperti ion H. Walaupun demikian, kation-kation seperti K, Na, Ca, dan Mg yang dapat dipertukarkan semuanya berkaitan dengan senyawasenyawa dalam tanah seperti K2CO3, Na2CO3, CaCO3, dan, MgCO3 yang reaksinya lebih basa dari asam. Untuk alasan ini, maka K, Na, Ca, dan Mg umumnya diacu sebagai basa-basa yang dapat dipertukarkan, sedangkan H pada umumnya disebut asam yang dapat dipertukarkan (Foth, 1994). Kalium
Kalium diserap tanaman dalam bentuk ion K+. Di dalam tanah, ion tersebut bersifat sangat dinamis. Tak mengherankan jika mudah tercuci pada tanah berpasir dan tanah dengan pH rendah. Bagi tanaman, ketersediaan kalium pada posisi ini agak lambat. Kandungan kalium sangat tergantung dari jenis mineral pembentuk tanah dan kondisi cuaca setempat (Novizan, 2002). Kalium adalah unsur hara makro ketiga yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang relatif banyak setelah nitrogen dan fosfor, bahkan terkadang melebihi jumlah nitrogen sepeti halnya pada tanaman yang menghasilkan umbi. Kadar kalium total di dalam tanah umumnya cukup tinggi dan diperkirakan mencapai 2,6% dari total bobot tanah, tetapi kalium yang tersedia di dalam tanah cukup rendah (Damanik, dkk, 2011). Kalium merupakan unsur yang paling mudah mengadakan persenyawaan dengan unsur atau zat lainnya, misalnya khlor dan magnesium. Pada tanaman kalium berfungsi untuk mempercepat pembentukan karbohidrat, memperkokoh tubuh tanaman, meningkatkan resistensi terhadap serangan hama dan penyakit
serta kekeringan, dan meningkatkan kualitas biji. Kalium memiliki sifat yang mudah larut, mudah terbawa (tercuci), dan mudah terfiksasi pada tanah. Sumber kalium antara lain beberapa jenis mineral, sisa-sisa tanaman dan jasad renik, air irigasi, abu pembakaran tanaman, maupun pupuk anorganik (Sutedjo dan Kartasapoetra, 1988). Pada dasarnya, kalium dalam tanah berada dalam mineral yang melapuk dan melepaskan ion-ion kalium. Ion-ion tersebut diserap pada pertukaran kation dan siap tersedia untuk diambil oleh tanaman. Kalium yang tersedia menumpuk pada tanah dengan kelembaban lebih kering tanpa adanya pencucian. Pada umumnya tanah-tanah seperti ini bereaksi netral maupun basa sehingga tidak membutuhkan pengapuran dan pemupukan, bahkan memiliki produktivitas yang tinggi. Tanah organik biasanya miskin kalium dikarenakan tanah tersebut mengandung sedikit mineral kalium (Foth, 1994). Natrium
Natrium merupakan penyusun lithosfer keenam setelah kalsium, yaitu 2,75% yang berperan penting dalam menentukan karakteristik tanah dan pertumbuhan tanaman terutama di daerah kering dan agak kering yang berdekatan dengan pantai. Karena tingginya kadar natrium di laut, suatu tanah disebut alkali jika KTK atau muatan negatif koloid-koloidnya dijenuhi oleh ≥15% Na, yang mencerminkan unsur ini merupakan komponen dominan dari garam-garam laut yang ada. Pada tanah-tanah ini, mineral sumber utamanya adalah halit (NaCl). Sebagaimana unsur mikro, natrium juga bersifat toksik bagi tanaman jika terdapat dalam tanah dalam jumlah yang sedikit berlebihan (Hanafiah, 2005).
Natrium dilepaskan dari hasil pengikisan mineral. Di daerah basah, pencucian dengan mudah melenyapkan natrium karena daya ikatannya pada kompleks pertukaran tidak kuat, tetapi di daerah-daerah kering dapat terjadi penimbunan natrium dalam bentuk natrium karbonat dan cenderung menempati kompleks pertukaran. Hidrolisis natrium karbonat dan natrium yang dapat dipertukarkan menghasilkan suatu basa yang sangat kuat, yaitu NaOH. Apabila tanah 15% jenuh natrium atau natrium karbonat, maka nilai pH mungkin berada pada kisaran antara 8,5 dan 10 (Foth, 1994). Kalsium
Kalsium diserap oleh akar tanaman dari kompleks jerapan tanah atau dari larutan tanah dalam bentuk ion Ca2+. Kemampuan pertukaran kalsium dalam tanah sangat tergantung kepada kandungan liat pada tanah. Semakin tinggi kapasitas pertukaran kation, semakin tinggi kandungan liat, dan semakin tinggi kadar kalsiumnya (Warmada dan Titisari, 2004). Kalsium merupakan kation yang sering dihubungkan dengan kemasaman tanah dikarenakan kation tersebut dapat mengurangi efek kemasaman. Selain itu juga dapat memberikan efek yang menguntungkan terhadap sifat dari tanah seperti ketersediaan hara dan aktivitas biologi pada tanah. Pada tanah yang berada di daerah basah, kalsium bersama dengan ion hidrogen merupakan kation yang dominan pada kompleks jerapan sedangkan di daerah humid, kehilangan kalsium sangat nyata sehingga pengapuran sangat disarankan (Hanafiah, 2005). Banyak persamaan antara aktivitas kalsium, magnesium, dan kalium di dalam tanah. Unsur-unsur ini semua tersedia sebagai kation yang dapat dipertukarkan dan jumlah yang tersedia penting hubungannya dengan pengikisan
dan tingkat pencucian. Kation-kation yang dapat dibebaskan saat pengikisan diserap di tempat-tempat pertukaran kation. Terjadi keseimbangan antara bentukbentuk yang dapat dipertukarkan dan yang terlarut. Difusi ke permukaan akar merupakan proses yang paling penting dalam penyerapan dari tanah (Foth, 1994). Magnesium
Magnesium diambil tanaman dalam bentuk ion Mg2+ berperan sebagai penyusun klorofil. Bentuk magnesium di dalam tanah yang dapat diadsorpsi tanaman adalah bentuk yang dapat dipertukarkan atau bentuk yang larut dalam air. Keadaaan ion Mg ini dalam tanah hampir sama dengan kalium. Penyerapannya oleh tanaman sangat tergantung kepada jumlah yang tersedia dan jumlah yang dapat dipertukarkan (Hanafiah, 2005). Sumber utama Mg untuk tanaman dari larutan tanah dan dari kompleks jerapan. Magnesium dapat ditukar umumnya berjumlah sekitar 4-20% dari total kation di dalam tanah, akan tetapi untuk tanah-tanah yang berasal dari batuan serpentin, magnesium dapat ditukar dapat melebihi kalsium. Persen kejenuhan aktual Mg tergantung pada sifat-sifat tanah, tanaman, dan faktor lain. Pada tanah ber-pH rendah, ketersediaan magnesium juga rendah (Winarso, 2005).
Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Salah satu sifat tanah yang berkaitan erat dengan ketersediaan hara bagi tanaman dan menjadi indikator kesuburan tanah adalah kapasitas tukar kation (KTK) atau Cation Exchangeable Capacity (CEC). KTK dapat didefenisikan sebagai suatu kemampuan koloid tanah dalam menjerap dan mempertukarkan kation yang bersumber dari permukaan koloid liat (anorganik) maupun koloid
humus (organik) dan dinyatakan dalam miliekuivalen per 100 gram tanah (me 100 g-1) (Hanafiah, 2005). KTK sangat beragam pada setiap jenis tanah bahkan pada tanah sejenis sekalipun. Besarnya KTK tanah dipengaruhi oleh sifat dan ciri tanah itu sendiri antara lain (pH), tekstur tanah atau jumlah liat, jenis mineral liat, bahan organik tanah, pengapuran, dan pemupukan (Foth, 1994). Antara pH dan KTK sangat erat hubungannya, terutama pada tanah yang memiliki pH rendah. Hal ini disebabkan hanya muatan permanen liat dan sebagian muatan koloid organik memegang ion yang dapat digantikan melalui pertukaran kation, sehingga KTK relatif rendah (Hanafiah, 2005). Suatu tanah yang memiliki KTK tinggi memerlukan amelioran berupa kation tertentu dalam jumlah yang relatif lebih banyak agar tersedia bagi tanaman. Apabila diberikan dalam jumlah sedikit, maka menjadi kurang tersedia bagi tanaman karena terjerap pada koloid tanah. Sebaliknya pada tanah-tanah yang memiliki KTK rendah, pemberian amelioran tidak boleh banyak dikarenakan kation-kation yang dikandung amelioran tersebut akan mudah tercuci sehingga menjadi tidak efisien (Hardjowigeno, 2003).
Kejenuhan Basa
Menurut literatur Damanik, dkk (2011), kejenuhan basa merupakan salah satu ciri tanah yang cukup penting. Kejenuhan basa adalah perbandingan antara kation basa (Ca, Mg, K, dan Na) dengan nilai tukar total (KTK) dan dinyatakan dalam persen, dan dituliskan dengan rumus sebagai berikut: Kejenuhan basa
me (Ca Mg K Na)/100 g 100% me KTK total/100 g
Terdapat korelasi positif antara persen kejenuhan basa dengan pH tanah. Umumnya, terlihat bahwa kejenuhan basa tinggi jika pH tanah tinggi. Oleh karena itu, tanah-tanah di daerah iklim kering (arid) biasanya mempunyai kejenuhan basa yang lebih tinggi daripada tanah-tanah di daerah iklim basah (tropis). Kejenuhan basa yang rendah berarti terdapat banyak ion H+. Kejenuhan basa sering dianggap sebagai penunjuk tingkat kesuburan tanah. Kemudahan pelepasan kation terjerap untuk tanaman tergantung pada tingkat kejenuhan basa. Suatu tanah dianggap sangat subur jika kejenuhan basa ≥80%, sedang antara 80 dan 50%, dan tidak subur ≤50%. Suatu tanah dengan kejenuhan basa sebesar 80% akan melepaskan basa-basa yang dapat dipertukarkan lebih mudah daripada tanah yang sama dengan kejenuhan basa 50%. Pengapuran atau pemberian amelioran merupakan cara yang umum untuk meningkatkan persen kejenuhan basa tanah (Tan, 1998).