TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Kesegaran Jasmani
2.1.1.
Definisi Kesegaran jasmani adalah suatu keadaan energi dan kekuatan yang
dimiliki atau dicapai seseorang dalam kaitannya dengan kemampuan untuk melakukan aktivitas fisik tanpa mengalami kelelahan berlebihan. Kesegaran jasmani berkaitan dengan kesehatan ketika aktivitas fisik dapat dilakukan tanpa kelelahan berlebihan, terpelihara seumur hidup, dan sebagai konsekuensinya memiliki risiko lebih rendah untuk terjadinya penyakit kronik lebih awal (Nieman, 2001).Permaesihet al. (2001) mendefinisikan kesegaran jasmani sebagai kemampuan untuk melakukan kegiatan atau pekerjaan sehari-hari dan adaptasi terhadap pembebanan fisik tanpa menimbulkan kelelahan berlebihan dan masih mempunyai cadangan tenaga untuk menikmati waktu senggang maupun pekerjaan yang mendadak serta bebas dari penyakit.
2.1.2.
Komponen Kesegaran Jasmani Komponen kesegaran jasmani secara garis besar dibagi menjadi dua
yakni kesegaran jasmani yang berhubungan dengan ketrampilan (meliputi kecepatan, daya ledak otot, ketangkasan, keseimbangan, dan koordinasi) dan kesegaran jasmani yang berhubungan dengan kesehatan (meliputi kekuatan otot, daya tahan otot, kelenturan, daya tahan kardiorespirasi, dan komposisi tubuh) (Nieman, 2001)
2.1.3.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesegaran Jasmani Beberapa
faktor
yang
mempengaruhi
kesegaran
jasmani
yang
berhubungan dengan ketrampilan adalah umur, jenis kelamin, genetik, dan latihan. Sedangkan faktor yang mempengaruhi kesegaran jasmani yang berhubungan dengan kesehatan adalah umur, jenis kelamin, genetik, ras, aktivitas fisik, dan kadar hemoglobin (Johnson & Nelson, 1986). 2.1.4.
Pengukuran Tingkat Kesegaran Jasmani
Tes kesegaran jasmani ACSPFT(Asian Commitee on the Standardization of Physical Fitness Test)merupakan tes kesegaran jasmani di lapangan yang sudah diakui secara internasional dan dibakukan di Asia. Tes ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesegaran jasmani seseorang. Tes ini relatif murah dan mudah dikerjakan (Depdikbud, 1977). Tes ACSPFT merupakan rangkaian tes yang terdiri dari (1) Lari 50 meter untuk mengukur kecepatan, (2) Lompat jauh tanpa awalan untuk mengukur gerak eksplosif tubuh/ daya ledak otot, (3) Bergantung angkat badan (putra) atau bergantung siku tekuk (putri) untuk mengukur kekuatan statis dan daya tahan lengan serta bahu, (4) Lari hilir mudik 4 x 10 m untuk mengukur ketangkasan, (5) Baring duduk 30 detik untuk mengukur daya tahan otot-otot perut, (6) Lentuk togok ke muka (forward flexion of trunk) mengukur kelenturan, (7)Lari jauh 800 m (putri) dan 1000 m (putra) untuk mengukur daya tahan kardiorespirasi (Depdikbud, 1977).
2.1.5.
Muscular Endurance Muscular enduranceadalah kemampuan otot untuk berkontraksi
berulang-ulang selama waktu tertentu. Muscular endurancemenggambarkan seberapa lama seseorang dapat mempertahankan penggunaan otot tertentu. Salah satu cara seorang profesional untuk mengukur musclar endurance adalah dengan menentukan berat maksimal yang dapat diangkat seseorang sebanyak 20 kali berturut-turut(Hopson, Donatelle&Littrell, 2008). Kemampuan dan ketahanan otot dapat ditingkatkan dengan latihan ketahanan. Latihan ketahanan juga mengacu pada latihan beban dan latihan kekuatan yang dapat diselesaikan dengan mengukur berat, berat badan, atau alat ketahanan seperti pita latihan atau bola latihan. Latihan ketahanan menekan sistem muskuloskeletal tubuh dan mampu membesarkan serat-serat otot serta memperbaiki kontrol saraf terhadap fungsi otot yang pada akhirnya akan membesarkan dan meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot (Hopson, Donatelle&Littrell, 2008).
Perkembangan kekuatan otot dan daya tahan ototpada dasarnya ditentukan oleh ukuran otot dan penampang melintang otot, kekuatan otot dan sudut tarikan, dan kecepatan kontraksi otot danproduksi tenaga. Terdapat hubungan yang bermakna antara ukuran otot dan penampang lintangnya,dengan kekuatan otot pada umumnya. Ukuran dan penampang lintang yang lebih besar akan memproduksi tenaga yang lebih besar (Battinelli, 2000). Musclar endurance membantu menyelesaikan aktivitas sehari-hari dan mengisi kegiatan hiburan tanpa mengalami kelelahan yang berarti. Selain itu, juga membantu melaksanakan aktivitas, baik aktivitas yang berhubungan dengan jantung-paru seperti naik gunung dan berlari maupun kegiatan yang berhubungan dengan kebugaran otot seperti latihan olahraga maupun sirkuit. Sebenarnya, hanya melakukan aktivitas seperti di atas akan meningkatkan muscular endurance. Latihan musclar endurance memacu adaptasi fisiologis yang meningkatkan kemampuan untuk memperbaharui ATP(Adenosine Triphosphate) lebih efisien dan pada akhirnya mempertahankan kontraksi otot sampai waktu yang lama. Hasil akhirnya akan dapat memainkan snowboard lima kali dibanding sebelumnya dua kali sebelum istirahat, berjalan 3 anak tangga dengan mudah , atau mengambil sampah dengan semangat selama satu jam tanpa mengalami kesulitan. Jadi, latihan ketahanan yang rutin akan meningkatkan musclar endurance (Hopson, Donatelle&Littrell, 2008). Latihan ketahanan yang rutin akan meningkatkan performa saat olahraga maupun aktivitas. Kebugaran jasmani yang dicapai lewat latihan ketahanan juga akan mendapat keuntungan yang lain seperti tubuh kuat yang lebih tahan terhadap kelelahan, bergerak lebih cepat, dan sembuh lebih cepat dari sakit atau cedera. Semua yang disebutkan di atas berkontribusi terhadap performa yang lebih baik di olahraga, kegiatan hiburan maupun kegiatan kebugaran lainnya. Latihan ketahanan juga biasa disebut diantara program latihan untuk olahraga dan aktivitas yang berbeda-beda. Oleh karena keuntungannya, orang dewasa yang aktif secara fisik sering menggabungkan beberapa bentuk latihan ketahanan yang membangun kekuatan dan ketahanan pada kelompok otot yang paling penting untuk olahraganya (Hopson, Donatelle&Littrell, 2008).
2.1.6.
Pengukuran Musclar Endurance Tes muscular endurancemenilai kemampuan otot untuk berkontraksi
selama periode waktu tertentu. Beberapa tes ini harus dilakukan di ruangan dengan alat berat, sedangkan yang lain hanya membutuhkan berat badan untuk ketahanan dan dapat dilakukan dimana saja. Tes muscular endurance secara umum terbagi menjadi dua yaitu: tes 20 RM(repetition maximum) dan tes gerak badan (calisthenic test) (Hopson, Donatelle&Littrell, 2008). Tes 20 RM dapat ditentukan dengan menggunakan beberapa latihan angkat beban. Tes ini menentukan jumlah beban maksimal yang dapat diangkat secara tepat sebanyak 20 kali berturut-turut sebelum otot menjadi lelah untuk mengangkat
lagi.
Tes
ini
juga
terutama
bermanfaat
untuk
mencapaimusclarendurance yang diinginkan dan mengikuti perkembangannya (Hopson, Donatelle&Littrell, 2008). Tes calisthenic adalah latihan yang menggunakan berat badan untuk ketahanan. Tes ini meliputi sit-ups, curl-ups, pull-ups, push-ups, dan flexed arm support atau hang exercises untuk meningkatkan muscular endurance. Masingmasing prosedur untuk latihan di atas berbeda-beda (Hopson, Donatelle&Littrell, 2008). Menurut Hopson, Donatelle&Littrell (2008), pengukuran dilakukan dengan menghitung jumlah push-up dan curl-up yang dapat dilakukan dengan cara yang benar. a. Push-up Tubuh ditopang dengan posisi push-up dari kedua telapak tangan dan ujung jari kaki. Kedua tangan berada di samping bahu, punggung dan kaki dalam posisi lurus. Mulai dari posisi bawah dengan siku 90 derajat, dada diatas lantai dan dagu hampir menyentuh lantai. Angkat badan sampai lengan lurus dan turunkan tubuh sampai ke posisi awal (dihitung 1 kali). Selesaikan push-up perlahan dan jaga tetap dalam posisi yang benar. Kemudian hitung jumlah pushup yang dilakukan dengan benar semaksimal mungkin tanpa berhenti.
Hasil pengukuran diinterpretasi menurut McArdle W.D. et al, Essentials of Exercise Physiology (2006) untuk laki-laki kelompok umur 18-29 tahun sebagai berikut:
Sangat baik bila dapat melakukan ≥54 kali
Baik bila dapat melakukan antara 45-53 kali
Cukup bila dapat melakukan antara 35-44 kali
Kurangbila dapat melakukan antara 21-34 kali
Sangat kurang bila dapat melakukan ≤20 kali
Hasil pengukuran untuk anak laki-laki kelompok umur 11-17 tahun diinterpretasi menurut Cooper Institute (2004) sebagai berikut:
Baik bila dapat melakukan ≥30 kali
Cukup bila dapat melakukan antara 15-29 kali
Kurangbila dapat melakukan antara ≤14 kali
b. Curl-up Dua buah striptapeditempatkansejajar antara satu sama lain dengan jarak 10 cm. Tubuh peserta berbaring di atas dengan lengan di samping badan, telapak tangan menghadap lantai, siku lurus, dan jari-jari tangan diluruskan,
dan
menyentuh strip pertama dari tape. Lutut diangkat membentuk sudut 90 derajat. Mulai irama metronom dengan 50 bpm(beat per minute)yang sama dengan 3 detik per curl-up, atau 25curl-up per menit. Jika sudah siap peserta secara perlahan meratakan punggung bawah mereka dan curl tulang belakang sampai ujung jari menyentuh strip kedua dari tape. Peserta kemudian kembali pada posisi semula dengan bagian belakang kepala menyentuh tangan dari pencatat. Satu curl-up di hitung setiap kali kepala peserta menyentuh tangan dari pencatat dan curl-up tidak dihitung jika tidak menyentuh strip tape yang kedua. Peserta sebaiknya menyelesaikan curl-up sebanyak mungkin tanpa berhenti, dengan maksimum 25. Hitung dan catat jumlah curl-up yang dilakukan peserta.
Kemudian hasil pengukuran diinterpretasi menurut American College of Sports Medicine Guidelines for Exercise Testing and Prescription (2002) untuk laki-laki kelompok umur 18-29 tahun sebagai berikut:
Sangat baik bila dapat melakukan ≥56 kali
Baik bila dapat melakukan antara 41-55 kali
Cukup bila dapat melakukan antara 32-40 kali
Kurangbila dapat melakukan antara 25-31 kali
Sangat kurang bila dapat melakukan ≤24 kali
Hasil pengukuran untuk anak laki-laki kelompok umur 11-17 tahun diinterpretasi menurut Cooper Institute (2004) sebagai berikut:
Baik bila dapat melakukan ≥45 kali
Cukup bila dapat melakukan antara 25-44 kali
Kurangbila dapat melakukan antara ≤24 kali
2.2.
Fisiologi Otot Otot membentuk kelompok jaringan terbesar di tubuh, menghasilkan
sekitar separuh dari berat tubuh. Otot rangka saja membentuk sekitar 40% berat tubuh pada pria dan 32% pada wanita, dengan otot polos dan otot jantung membentuk 10% lainnya dari berat total. Meskipun ketiga jenis otot secara struktural dan fungsional berbeda namun mereka dapat diklasifikasikan dalam dua cara
berlainan
berdasarkan
karakteristik
umumnya.
Pertama,
otot
dikategorisasikan sebagai lurik atau serat-lintang (otot rangka dan otot jantung) atau polos (otot polos), bergantung pada ada tidaknya pita terang gelap bergantian, atau garis-garis, jika otot dilihat di bawah mikroskop cahaya. Kedua, otot dapat dikelompokkan sebagai volunter (otot rangka) atau involunter (otot jantung dan otot polos), masing-masing bergantung pada apakah otot tersebut disarafi oleh sistem saraf somatik dan berada di bawah kontrol kesadaran, atau disarafi oleh sistem saraf otonom dan tidak berada di bawah kontrol kesadaran (Sherwood, 2012).
2.2.1. Struktur Otot Rangka Satu sel otot rangka, yang dikenal sebagai serat otot, adalah relatif besar, memanjang, dan berbentuk silindris, dengan ukuran garis tengah berkisar dari 10 hingga 100 mikrometer dan panjang hingga 750.000 mikrometer, atau 75 centimeter. Otot rangka terdiri dari sejumlah serat otot yang terletak sejajar satu sama lain dan disatukan oleh jaringan ikat. Salah satu gambaran yang mencolok adalah adanya banyak nukleus di sebuah sel otot. Selain itu, juga memiliki banyak mitokondria, organel penghasil energi, seperti yang diharapkan pada jaringan seaktif otot rangka dengan kebutuhan energi yang tinggi (Sherwood, 2012). Serat otot rangka tampak lurik karena susunan internal yang sangat tertata. Gambaran struktural utama pada sebuah serat otot rangka adalah banyaknya miofibril. Elemen kontraktil khusus ini, yang membentuk 80% volume serat otot, adalah struktur silindris intrasel dengan garis tengah 1 mikrometer dan terbentang di seluruh panjang serat otot. Setiap miofibril terdiri dari susunan teratur elemenelemen sitoskeleton (filamen tipis dan tebal)yang tertata rapi. Filamen tebal, yang bergaris tengah 12-18 nanometer dan panjang 1,6 mikrometer, terdiri dari protein miosin. Sementara filamen tipis, yang bergaris tengah 5-8 nanometer dan panjang 1 mikrometer, terutama dibentuk oleh protein aktin (Sherwood, 2012).
2.2.1.1. Pita A Dan I Dilihat dengan mikroskop elektron, sebuah miofibril memperlihatkan pita gelap (pita A) dan pita terang (pita I) bergantian. Pita pada semua miofibril tersusun sejajar satu sama lain yang secara kolektif menghasilkan gambaran lurik serat otot rangka seperti terlihat di bawah mikroskop cahaya. Tumpukan filamen tebal dan tipis bergantian yang sedikit tumpang tindih satu sama lain berperan menghasilkan gambaran pita A dan I (Sherwood, 2012). Pita A dibentuk oleh tumpukan filamen tebal bersama dengan sebagian filamen tipis yang tumpang tindih di kedua ujung filamen tebal. Filamen tebal hanya terletak di dalam pita A dan terbentang di seluruh lebarnya, yaitu kedua ujung filamen tebal di dalam suatu tumpukan mendefinisikan batas luar suatu pita A. Daerah yang lebih terang di tengah pita A, tempat yang tidak dicapai filamen
tipis, adalah zona H. Hanya bagian tengah filamen tebal yang ditemukan di bagian ini. Suatu sistem protein penunjang menahan filamen-filamen tebal vertikal di dalam setiap tumpukan. Protein-protein ini dapat dilihat sebagai garis M, yang berjalan vertikal di bagian tengah pita A di dalam bagian tengah zona H (Sherwood, 2012). Pita I terdiri dari bagian filamen tipis sisanya yang tidak menjulur ke dalam pita A. Di bagian tengah setiap pita I terlihat suatu garis vertikal padat garis Z. Daerah antara dua garis Z disebut sarkomer, yaitu unit fungsional otot rangka. Unit fungsional setiap organ adalah komponen terkecil yang dapat melakukan semua fungsi organ tersebut. Oleh karena itu, sarkomer adalah komponen terkecil serat otot yang dapat berkontraksi. Garis Z adalah lempeng sitoskeleton gepeng yang menghubungkan filamen tipis dua sarkomer yang berdekatan. Setiap sarkomer dalam keadaan lemas memiliki lebar sekitar 2,5 mikrometer dan terdiri dari satu pita A utuh dan separuh dari masing-masing dua pita I yang terletak di kedua sisi. Pita I mengandung hanya filamen tipis dari dua sarkomer yang berdekatan tetapi bukan panjang keseluruhan filamen-filamen ini (Sherwood, 2012).
Gambar 2.1. Tingkat organisasi di sebuah otot rangka. (a) Pembesaran potongan melintang sebuah otot utuh. (b) Pembesaran sebuah miofibril di dalam suatu serat otot. (c) Komponen sitoskeleton sebuah miofibril. (d) Komponen protein filamen tebal dan tipis.
Sumber: Sherwood, 2012 2.2.1.2. Jembatan Silang Dengan mikroskop elektron, dapat dilihat adanya jembatan silang halus terbentang dari masing-masing filamen tebal menuju filamen tipis sekitar di tempat di mana filamen tebal dan tipis bertumpang tindih. Secara tiga dimensi, filamen tipis tersusun secara heksagonal di sekitar filamen tebal. Jembatan silang
menonjol dari masing-masing filamen tebal di keenam arah menuju filamen tipis di sekitarnya. Setiap filamen tipis, sebaliknya, dikelilingi oleh tiga filamen tebal (Sherwood, 2012).
2.2.1.3. Filamen Tebal Setiap filamen tebal memiliki beberapa ratus molekul miosin yang dikemas dalam susunan spesifik. Molekul miosin adalah suatu protein yang terdiri dari dua subunit identik, masing-masing berbentuk seperti stik golf. Bagian ekor protein saling menjalin seperti batang-batang stik golf yang dipilin satu sama lain, dengan dua bagian globular menonjol di satu ujung. Kedua paruh masing-masing filamen tebal adalah bayangan cermin yang dibentuk oleh molekul-molekul miosin yang terletak memanjang dalam susunan bertumpuk teratur dengan ekor mengarah ke bagian tengah filamen dan kepala globular menonjol keluar pada interval teratur. Kepala-kepala ini membentuk jembatan silang antara filamen tebal dan tipis. Setiap jembatan silang memiliki dua tempat penting yang penting bagi proses kontraksi yaitu suatu tempat untuk mengikat aktin dan suatu tempat miosin ATPase (pengurai ATP) (Sherwood, 2012).
2.2.1.4. Filamen Tipis Aktin adalah komponen struktural utama filamen tipis yang berbentuk bulat. Filamen tipis terdiri dari tiga protein: aktin, tropomiosin, troponin. Tulang punggung filamen tipis dibentuk oleh molekul-molekul aktin yang disatukan menjadi dua untai dan saling berpuntir, seperti dua untai kalung mutiara yang dipilin satu sama lain. Setiap molekul aktin memiliki suatu tempat pengikatan khusus untuk melekatnya jembatan silang miosin. Pengikatan molekul miosin dan aktin di jembatan silang menyebabkan kontraksi serat otot yang memerlukan energi. Karena itu, miosin dan aktin sering disebut protein kontraktil, meskipun, baik miosin maupun aktin, sebenarnya tidak berkontraksi (memendek). Miosin dan aktin tidak khas untuk sel otot tetapi kedua protein ini lebih banyak dan lebih teratur di sel otot (Sherwood, 2012)
Gambar 2.2. Langkah-langkah yang terlibat dalam kontraksi dan relaksasiotot rangka.
Sumber: Martini, 2012
Proses yang mengakhiri kontraksi dimulai dengan pemecahan asetilkolin oleh enzim asetilkolinesterase yang juga mengakhiri potensial aksi yang terbentuk di sarkolema. Retikulum sarkoplasma mereabsorpsi ion kalsium dan konsentrasi ion kalsium di sarkoplasma menurun. Ketika konsentrasi ion kalsium mencapai level istirahat normal, kompleks troponin-tropomiosin kembali ke posisi semula. Perubahan ini melindungi kembali tempat aktif dan mencegah interaksi jembatan silang lebih jauh. Tanpa interaksi jembatan silang, tarikan yang lebih jauh tidak akan mencapai sasarannya dan kontraksi berakhir. Relaksasi otot terjadi dan otot kembali secara pasif ke posisi awal (Martini, 2012).
2.2.2. Kontraksi Otot Rangka Berdasarkan Martini (2012) dalam gambar 2.2 dijelaskan langkah-langkah dalam proses kontraksi dan relaksasi otot rangka. Proses kontraksi dimulai di NMJ (neuromuscular junction). Asetilkolin dilepas oleh ujung sinaps yang berikatan dengan reseptor di sarcolemma. Perubahan pada potensial antar membran serat otot menghasilkan potensial aksi yang menyebar melewati permukaan serat otot dan sampai ke tubulus T. Retikulum sarkoplasma mengeluarkan ion kalsium yang meningkatkan konsentrasi kalsium sarkoplasma baik di dalam maupun sekitar sarkomer. Ion kalsium berikatan dengan troponin menyebabkan perubahan orientasi dari kompleks troponin-tropomiosin yang membuka tempat aktif aktin. Jembatan silang terjadi saat kepala miosin berikatan dengan tempat aktif pada aktin. Kontraksi dimulai sebagai perulangan siklus dari ikatan, putaran, maupun terjadi perlekatan jembatan silang yang dibantu oleh hidrolisis dari ATP. Proses ini mengakibatkan filamen tertarik dan serat otot memendek.
2.2.3. Jenis Kontraksi Otot Rangka Dua jenis utama kontraksi yang bergantung pada apakah panjang otot berubah selama berkontraksi adalah isotonik dan isometrik. Pada kontraksi isotonik, tegangan otot tidak berubah sementara panjang otot berubah. Pada kontraksi isometrik, otot tidak dapat memendek sehingga terbentuk tegangan dengan panjang otot tetap. Proses-proses internal yang sama terjadi baik pada kontraksi isotonik maupun isometrik: eksitasi otot mengaktifkan proses kontraktil pembentuk tegangan, jembatan silang mulai bersiklus, dan pergeseran filamen memperpendek sarkomer, yang meregangkan komponen seri elastik untuk menghasilkan gaya di tulang tempat insersi otot (Sherwood, 2012). Terdapat dua jenis kontraksi isotonik yaitu konsentrik dan eksentrik. Pada keduanya, panjang otot berubah pada tegangan konstan. Namun, pada kontraksi konsentrik, otot memendek sementara pada kontraksi eksentrik otot memanjang, karena diregangkan oleh suatu gaya eksternal selagi berkontraksi. Pada kontraksi eksentrik, aktivitas kontraktil menahan peregangan. Salah satu contoh adalah
menurunkan suatu beban ke lantai. Selama tindakan ini, serat-serat otot biseps memanjang tetapi tetap berkontraksi untuk melawan peregangan. Tegangan ini menopang berat badan (Sherwood, 2012).
2.2.4. Sumber Energi Dan Metabolisme Kontraksi otot membutuhkan energi dan otot disebut sebagai mesin yang mengubah energi kimia menjadi kerja mekanik. Sumber energi yang cepat berasal dari ATP dan dibentuk dari metabolisme karbohidrat dan lemak. ATP dibentuk kembali dari ADP dengan menambahkan gugus fosfat. Sebagian energi untuk reaksi endoterm ini berasal dari pemecahan dari glukosa menjadi CO 2 dan H2O, tetapi ada juga dalam otot lain senyawa fosfat berenergi tinggi yang memberi energi untuk waktu yang singkat. Senyawa ini adalah phosphorylcreatine, yang dihidrolisis menjadi kreatin dan gugus fosfatyang menghasilkan banyak energi. Saat istirahat, sebagian ATP di mitokondria mengubah fosfat menjadi kreatin sehingga
cadangan
phosphorylcreatinemeningkat.
Selama
aktivitas,
phosphorylcreatinedihidrolisis antara penghubung kepala miosin dan aktin, yang membentuk ATP dari ADP dan akhirnya kontraksi dapat berlanjut (Barrett et al., 2012). Saat istirahat dan selama latihan ringan, otot menggunakan lemak dalam bentuk asam lemak bebas (free fatty acid) sebagai sumber energi. Semakin meningkat intensitas latihan, energi yang hanya dari lemak tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dan akhirnya menggunakan karbohidrat sebagai komponen utama dalam campuran energi otot. Jadi, selama latihan, banyak energi dari phosphorylcreatinedan resintesis ATP berasal dari pemecahan glukosa menjadi CO2 dan H2O (Barrett et al., 2012). Glukosa dalam darah masuk ke dalam sel, dimana glukosa didegradasikan melewati rangkaian reaksi kimia membentuk piruvate. Sumber lain dari glukosa intrasel adalah glikogen yang merupakan polimer karbohidrat yang terutama melimpah di hati mupun otot skeletal. Ketika O2 terpenuhi, piruvate masuk siklus asam sitrat dan dimetabolisme melewati siklus yang disebut jalur enzim pernafasan membentuk CO2 dan H2O. Proses ini disebut glikolisis
aerobik. Metabolisme dari glukosa dan glikogen menjadi CO 2 dan H2O membentuk sejumlah besar ATP dari ADP (Adenosine Difosfat). Jika persediaan O2 tidak mencukupi, piruvat yang dibentuk dari glukosa tidak dapat masuk ke siklus asam trikarboksilat tapi direduksi membentuk laktat. Proses ini disebut glikolisis anaerob yang berhubungan dengan produksi dari sejumlah besar ikatan fosfat berenergi tinggi dengan kuantitas yang lebih kecil tentunya, tetapi tidak membutuhkan adanya O2(Barrett et al., 2012).
2.2.5. Jenis Serat Otot Rangka Menurut Sherwood (2012), serat otot rangka dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan perbedaan dalam hidrolisis dan sintesis ATP yaitu: 1. Serat oksidatif lambat (tipe I) 2. Serat oksidatif cepat (tipe IIa) 3. Serat glikolitik cepat (tipe IIx) Seperti yang diisyaratkan oleh namanya, dua perbedaan utama diantara ketiga jenis serat adalah kecepatan kontraksi (lambat atau cepat) dan jenis perangkat enzimatik utama yang digunakan untuk membentuk ATP (oksidatif atau glikolitik).
2.2.5.1 Serat Cepat Versus Lambat Serat cepat memiliki aktivitas ATPase miosin (pengurai ATP) yang lebih cepat daripada yang dimiliki serat lambat. Semakin tinggi aktivitas ATPase, semakin cepat ATP terurai dan semakin cepat penyediaan energi untuk siklus jembatan silang. Hasilnya adalah kedutan cepat, dibandingkan dengan kedutan lambat dari serat yang lebih lambat menguraikan ATP. Pada kecepatan maksimal, serat glikolitik cepat berkontraksi sekitar 10 kali lebih cepat daripada serat oksidatif lambat. Oleh karena itu, dua faktor yang menentukan kecepatan berkontraksi: beban (hubungan beban-kecepatan) dan aktivitas ATPase miosin serat yang berkontraksi (kedut cepat atau lambat) (Sherwood, 2012).
2.2.5.2 Serat Oksidatif Versus Glikolitik Tipe serat juga berbeda dalam kemampuan membentuk ATP. Serat yang memiliki kapasitas besar untuk membentuk ATP lebih resisten terhadap kelelahan. Sebagian serat lebih mampu melakukan fosforilasi oksidatif, sementara yang lain terutama mengandalkan glikolisis anaerob untuk membentuk ATP. Karena fosforilasi oksidatif menghasilkan jauh lebih banyak ATP dari setiap molekul nutrien yang diproses, maka otot ini tidak mudah kehabisan simpanan energi. Selain itu, otot ini tidak mengalami penimbunan asam laktat. Oleh karena itu, serat otot tipe oksidatif lebih resisten terhadap kelelahan dibandingkan dengan serat glikolitik (Sherwood, 2012). Karakteristik-karakteristik terkait lain yang membedakan ketiga jenis serat ini diringkaskan di Tabel 2.1. Serat oksidatif, baik yang lambat maupun yang cepat, mengandung banyak mitokondria, organel yang mengandung enzim-enzim yang berperan dalam fosforilasi oksidatif. Karena oksigenasi yang adekuat adalah hal penting untuk menunjang jalur ini, maka serat ini juga kaya akan kapiler. Serat oksidatif juga memiliki kandungan mioglobin yang tinggi. Mioglobin tidak saja membantu menunjang ketergantungan serat terhadap O 2 tetapi juga menimbulkan warna merah, seperti hemoglobin teroksigenasi yang menimbulkan warna merah pada darah arteri. Karena itu, serat otot ini disebut serat merah (Sherwood, 2012). Sebaliknya, serat cepat yang khusus melakukan glikolisis mengandung sedikit mitokondria tetapi banyak mengandung enzim glikolitik. Juga, untuk memasok glukosa dalam jumlah besar yang dibutuhkan untuk glikolisis, serat jenis ini mengandung banyak simpanan glikogen. Karena memerlukan O2 yang relatif sedikit untuk berfungsi maka serat glikolitik tidak banyak mendapat kapiler dibandingkan dengan serat oksidatif. Serat glikolitik mengandung hanya sedikit mioglobin sehingga berwarna pucat dan diberi nama serat putih (Sherwood, 2012).
Tabel 2.1 Karakteristik Serat Otot Rangka JENIS SERAT
KARATERISTIK
Oksidatif Lambat
Oksidatif Cepat
Glikolitik Cepat
(Tipe I)
(Tipe IIa)
(Tipe IIx)
Tinggi Cepat Sedang
Tinggi Cepat Rendah
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
Banyak Banyak Tinggi Merah Sedang
Sedikit Sedikit Rendah Putih Tinggi
Aktivitas ATPase Miosin Rendah Kecepatan Kontraksi Lambat Resistensi terhadap Tinggi Kelelahan Kapasitas Fosforilasi Tinggi Oksidatif Enzim untuk Glikolisis Rendah Anaerob Mitokondria Banyak Kapiler Banyak Kandungan Mioglobin Tinggi Warna Serat Merah Kandungan Glikogen Rendah Sumber : Sherwood, 2012 2.2.5.3 Faktor Genetik Pada Tipe Serat Otot
Pada manusia, sebagian besar otot mengandung campuran dari ketiga jenis serat; persentase masing-masing tipe terutama ditentukan oleh jenis aktivitas yang khusus dilakukan oleh otot yang bersangkutan. Karena itu, di otot-otot yang khusus untuk melakukan kontraksi intensitas rendah jangka panjang tanpa mengalami kelelahan, misalnya otot di punggung dan tungkai yang menopang berat tubuh terhadap gravitasi, ditemukan banyak serat oksidatif lambat. Serat glikolitik cepat banyak ditemukan di otot lengan, yang beradaptasi untuk melakukan gerak cepat kuat misalnya mengangkat benda berat (Sherwood, 2012). Persentase berbagai tipe serat ini tidak saja berbeda di antara otot-otot pada satu orang tetapi juga sangat bervariasi di antara individu. Atlet yang secara genetis dianugerahi lebih banyak serat otot glikolitik cepat adalah kandidat yang baik untuk jenis olahraga yang mengandalkan kekuatan dan kecepatan, sementara yang memiliki proporsi serat oksidatif lambat lebih banyak lebih besar
kemungkinannya berhasil dalam aktivitas yang memerlukan daya tahan misalnya lari maraton (Sherwood, 2012)
2.2.6. Adaptasi Serat Otot Serat otot banyak beradaptasi sebagai respons terhadap kebutuhan yang dibebankan kepadanya. Berbagai jenis olahraga menimbulkan pola lepas muatan neuron yang berbeda ke otot yang bersangkutan. Di serat otot terjadi perubahan adaptif jangka panjang, bergantung pada pola aktivitas neuron, yang memungkinkan serat berespon lebih efisien terhadap kebutuhan yang dibebankan kepadanya. Karena itu, otot rangka memiliki derajat plastisitas yang tinggi. Dua jenis perubahan yang dapat ditimbulkan pada serat otot: perubahan dalam kemampuan menghasilkan ATP dan perubahan garis tengah (Sherwood, 2012)
2.2.6.1 Perbaikan Kapasitas Oksidatif Latihan daya tahan aerobik yang teratur, misalnya jogging jarak jauh atau berenang, memicu perubahan-perubahan metabolik di dalam serat oksidatif, yaitu serat yang terutama direkrut selama olahraga aerobik. Sebagai contoh, jumlah mitokondria dan jumlah kapiler yang menyalurkan darah ke serat-serat tersebut meningkat. Otot-otot yang telah beradaptasi dapat menggunakan O2 secara lebih efisien dan karenanya lebih tahan melakukan aktivitas berkepanjangan tanpa kelelahan. Namun, ukuran otot tidak berubah (Sherwood, 2012).
2.2.6.2 Hipertrofi Otot Ukuran sebenarnya otot dapat ditingkatkan dengan latihan-latihan resistensi anaerob berintensitas tinggi dan berdurasi singkat, misalnya angkat beban. Pembesaran otot yang terjadi terutama disebabkan oleh meningkatnya garis tengah (hipertrofi) serat-serat glikolitik cepat yang diaktifkan selama kontraksi-kontraksi kuat tersebut. Sebagian besar penebalan serat disebabkan oleh meningkatnya sintesis filamen aktin dan miosin, yang memungkinkan peningkatan kesempatan interaksi jembatan silang dan selanjutnya terjadi peningkatan kekuatan kontraktil otot. Stres mekanis yang ditimbulkan latihan
resistensi pada serat-serat otot memicu protein-protein penyalur sinyal, yang mengaktifkan gen-gen yang mengarahkan sintesis lebih kontraktil ini banyak protein. Latihan beban yang intensif dapat meningkatkan ukuran otot dua atau tiga kali lipat. Otot-otot yang menonjol beradaptasi baik untuk aktivitas yang memerlukan kekuatan intens untuk waktu singkat, tetapi daya tahan tidak berubah (Sherwood, 2012).
2.2.6.3 Pengaruh Testosteron Serat otot pria lebih tebal, dan karenanya, otot-otot mereka lebih besar dan kuat daripada otot wanita, bahkan tanpa latihan beban, karena efek testosteron, suatu hormon steroid yang terutama dikeluarkan oleh pria. Testosteron mendorong sintesis dan penyusunan miosin dan aktin. Kenyataan ini mendorong sebagian atlet, baik pria maupun wanita, menggunakan secara berbahaya bahan ini atau steroid terkait untuk meningkatkan prestasi atletik mereka (Sherwood, 2012).
2.3.
Indeks Massa Tubuh
2.3.1. Definisi Indeks Massa Tubuh Indeks massa tubuh (IMT) adalah berat badan dalam kilogram (kg) dibagi tinggi badan dalam meter kuadrat (m2). IMT merupakan indikator yang paling sering digunakan dan praktis untuk mengukur tingkat populasi berat badan lebih dan obese pada orang dewasa. IMT dapat memperkirakan jumlah lemak tubuh yang dapat dinilai dengan menimbang di bawah air (r2=79%) dengan kemudian melakukan koreksi terhadap umur dan jenis kelamin (Sugondo, 2006). IMT juga dapat diterapkan untuk anak dan remaja, dengan cara yang sama menghitung nilai IMT seperti pada orang dewasa, kemudian nilai tersebut diplotkan ke grafik CDC IMT-berdasarkan umur (CDC, 2011). Dalam grafik tersebut akan terlihat persentil IMT-berdasarkan umur si anak, dari nilai persentil inilah dapat ditentukan apakah anak kurus, normal atau obese (CDC, 2011).
2.3.2. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh IMT (Indeks massa tubuh) adalah indeks yang mudah digunakan antara berat badan dan tinggi badan yang sering dipakai untuk menggelompokkan underweight, overweight dan obese pada dewasa. IMT didefinisikan sebagai hasil dari berat badan dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam meter (kg/m2). Sebagai contoh, dewasa yang memiliki berat badan 70 kilogram dan tinggi badan 1,75 meter akan mempunyai IMT 22,9 (WHO, 2004). IMT = 70 kg / (1.75 m)2 = 70 / 3.06 = 22.9 Nilai IMT tidak bergantung pada umur dan juga jenis kelamin. Akan tetapi, IMT mungkin tidak cocok untuk tingkat kegemukan yang sama pada populasi yang berbeda dan sebagian lagi pada perbedaan proporsi tubuh. Risiko kesehatan berhubungan dengan peningkatan IMT masih berlanjut dan interpretasi dari kelas IMT berisiko berbeda untuk populasi yang berbeda (WHO,2004). Meta-analisis beberapa kelompok etnik yang berbeda, dengan konsentrasilemak tubuh, usia, dan gender yang sama, menunjukkan etnik Amerika kulit hitam memiliki nilai IMT lebih tinggi dari etnik Polinesia dan etnik Polinesia memiliki nilai IMT lebih tinggi daripada etnik Kaukasia, sedangkan untuk Indonesia memiliki nilai IMT berbeda 3.2 kg/m2 dibandingkan etnik Kaukasia (Sugondo, 2006). Tabel 2.2. Klasifikasi IMT menurut Kriteria Asia Pasifik Klasifikasi Berat badan kurang Kisaran normal Berat badan lebih Berisiko Obes I Obes II
IMT < 18.5 18.5-22.9 ≥ 23 23-24.9 25-29.9 ≥ 30
Sumber: Sugondo, 2006. Ilmu Penyakit Dalam Ed. IV Jilid III.
2.3.3. Cara Mengukur Indeks Massa Tubuh Berdasarkan metode pengukuran IMT menurut WHO (2011), untuk menentukan indeks massa tubuh subjek/sampel maka dilakukan dengan cara: sampel/subjek diukur terlebih dahulu berat badannya dengan timbangan yang telah distandarisasi, kemudian diukur tinggi badannya dengan alat yang juga telah distandarisasi dan dimasukkan ke dalam rumus di bawah ini:
IMT =
BeratBadan (kg ) TinggiBadan ( m 2 )
Kemudian interpretasikan hasil IMT yang didapat ke dalam tabel klasifikasi IMT menurut Asia Pasifik di atas. Berat Badan diukur dengan timbangan SEBA digital yang sudah distandarisasi.Penimbangan dilakukan dengan melepas sepatu namun masih menggunakan baju olahraga. Pembacaan berat badan dalam kilogram dengan kepekaan 0,1 kg. Tinggi Badan diukur dengan microtoiseyang sudah distandarisasi. Pengukuran dilakukan dengan posisi tegak, muka menghadap lurus ke depantanpa memakai alas kaki. Pembacaan tinggi badan dalam meter dengan kepekaan 0,1 cm.
2.3.4. Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Muscular Endurance Berbagai penelitian menunjukkan efek positif dan negatif dari lemak pada kesegaran jasmani. Otot atau jaringan bebas lemak secara umum memiliki efek yang menguntungkan karena hal ini berkaitan dengan produksi dan konduksi tenaga (force), sedangkan lemak yang berlebihan dilaporkan akan meningkatkan nilai metabolik latihan. Peningkatan sejumlah massa tubuh tanpa lemak dikaitkan dengan tingkat konsumsi oksigen maksimal. Namun lemak tubuh yang terlalu sedikit juga bisa mengakibatkan turunnya efektivitas kesegaran jasmani (Battinelli, 2000).
Penelitian yang dilakukan oleh Utari (2007), didapatkan hubungan negatif antara IMT dengan daya tahan otot perut yang dinilai dengan tes baring duduk 30 detik. Hal ini berarti semakin tinggi IMT semakin rendah daya tahan otot perutnya. Pada anak laki-laki didapatkan nilai korelasi sedang (r = -0,751; p= 0,000), tetapi pada anak perempuan korelasinya lemah ( r = -0,469 ; p= 0,005). Penimbunan lemak di daerah perut memungkinkan subyek yang lebih tinggi lemak tubuhnya memiliki daya tahan otot-otot perut yang rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Pralhadrao et al. (2013) terhadap 180 subjek yang terdiri dari 90 laki-laki dan 90 perempuan yang berusia 18-21 tahun menunjukkan bahwa ada korelasi negatif antara IMT, persentase lemak tubuh dengan ketahanan handgrip, tetapi tidak signifikan pada populasi yang overweight. Pada populasi overweight, kekuatan absolut handgrip mungkin tidak terganggu, tetapi ketahanan handgrip akan mulai berkurang dengan meningkatnya persentase lemak tubuh bukan peningkatan massa tubuh. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Penggalin & Huriyati (2007), memperlihatkan hasil uji regresilinier dari beberapa variabel terhadap stamina atlet yaitu variabel umur, IMT, dan massa lemak tubuhsecara independen tidak memberikan
pengaruh
yangsignifikan
terhadap
stamina
atlet
(P>0,05).
Namundemikian, status gizi yang mencakup indikator IMTdan massa lemak tubuh secara bersama-samamemberikan pengaruh yang positif dan signifikanterhadap stamina
atlet
(P<0,05).
Asupan
kaloriharian,
sebelum
dan
sesudah
bertandingmemberikan pengaruh positif dan signifikan terhadapstamina atlet (P<0,05). Demikian halnya kebiasaanhidup dan aktivitas fisik memberikan pengaruh yangpositif dan signifikan terhadap stamina atlet (P<0,05).