TINJAUAN HUKUM TENTANG KEDUDUKAN HARTA BERSAMA SETELAH PERCERAIAN MENURUT HUKUM ADAT (Studi Kasus Terhadap Orang Bali Beragama Hindu Di Kota Palu) N K. Ratini Program Studi Pendidikan Agama Hindu STAH Dharma Sentana Sulawesi Tengah Email:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini mengkaji Tinjauan Hukum Tentang Pembagian Harta Bersama Setelah Terjadinya Perceraian Menurut Hukum Adat. Dampak dari sebuah perceraian sebagai seorang pria dan wanita akan dapat menimbulkan gangguan psikologis seperti depresi, marah dan pada akhirnya dapat menerima peristiwa perceraian tersebut. Sedangkan dampak pada anak dapat mengakibatkan anak suka mengamuk, menjadi pendiam, tidak ceria dan tidak suka bergaul, sulit berkonsentrasi, tidak berminat pada tugas sekolah, dan suka melamun. Menurut ketentuan Hukum yang berlaku bahwa putusnya perkawinan karena perceraian mempunyai akibat hukum terhadap kedudukan harta bersama. Tata cara peralihan yang berkaitan dengan keberadaan suatu harta, baik harta berwujud maupun harta tidak berwujud hal ini dimaksudkan agar setelah terjadinya perceraian dapat diberikan kepada yang berhak menerima atas harta. Sistem pembagian harta bagi umat Hindu menganut sistem patrilineal atau sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak (laki-laki), wanita juga berhak atas harta kecuali statusnya dapat diubah menjadi status laki-laki (Putrika) dilingkungan keluarganya. Dalam penelitian ini mengangkat dua masalah pokok yaitu : 1) kedudukan harta bersama, 2) proses pembagian harta bersama. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kedudukan maupun proses pembagian dari harta bersama dalam perkawinan setelah terjadinya perceraian menurut Hukum Adat. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris, yaitu metode penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan data primer dan menemukan kebenaran dengan menggunakan metode berpikir induktif. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui : observasi, wawancara dan kepustakaan. Hasil penelitian yang dilakukan yakni : Kedudukan Hartabersama setelah terjadi perceraian tersebut berdasarkan hasil wawancara bahwa kedudukan harta bersama ada yang dibagi dan ada yang tidak, karena salah satu pasangan meninggalkan keluarga tanpa sebab dan usia perkawinannya masih muda dan singkat. Proses pembagian harta bersama ini dilaksanakan secara kekeluargaan dimana kedua belah pihak secara bersama-sama menentukan dan membagi harta bersama Kata kunci : Pembagian harta bersama menurut Hukum Adat Bali. 1. Pendahuluan Perceraian merupakan terputusnya hubungan keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan untuk saling meninggalkan baik dalam keadaan hidup maupun mati. Sehingga berhentinya melakukan kewajiban sebagai suami istri.Kadang-kadang perceraian merupakan jalan bagi pasangan suami atau isteri untuk dapat terus menjalani kehidupan sesuai dengan apa yang diinginkan. Tetapi, perceraian selalu WIDYA GENITRI Volume 7, Nomor 1, Desember 2015
menimbulkan akibat buruk pada anak-anak. Dalam keadaan tertentu pula, dianggap sebagai alternatif terbaik daripada membiarkan anak tinggal dalam keluarga dengan kehidupanpernikahan yang buruk serta menghindari dampak kekerasan dalam rumah tangga. Menurut ketentuan Hukum yang berlaku bahwa putusnya perkawinan karena perceraian mempunyai akibat hukum terhadap kedudukan harta bersama. Tata cara peralihan yang 27
berkaitan dengan keberadaan suatu harta, baik harta berwujud maupun harta tidak berwujud itulah diatur dalam sistem Hukum perkawinan dan kewarisan di Indonesia, hal ini dimaksudkan agar setelah terjadinyaperceraian dapat diberikan kepada yang berhak menerima atas harta tersebut dan diharapkan tidak menimbulkan persoalan hukum dikemudian hari. Namun pada kondisi yang ada dilapangan khususnya di Kota Palu dalam pembagian harta, kaum wanita khususnya wanita bali/hindu tidak mendapatkan hak yang sepantasnya, karena sistem pembagian harta bagi umat Hindu menganut sistem patrilineal atau sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak ( laki-laki). Berkaitan dengan uraian latar belakang tersebut di atas, maka penulis merumuskan pokok permasalahan sebagai berikut : Bagaimanakah kedudukan harta bersama dalam perkawinan setelah terjadi perceraian menurut Hukum Hindu (Studi Kasus Terhadap Orang Bali Beragama Hindu Di Kota Palu)? Bagaimanakah proses pembagian harta bersama dalam perkawinan setelah perceraian menurut Hukum Hindu (Studi Kasus Terhadap 2. Hasil danPembahasan a.Kewajiban Pasangan Suami Istri Dalam membina dan memelihara kehidupan keluarga yang harmonis, sejahtera lahir dan batin, maka suami istri memikul hak dan kewajiban yang patut dilakukan.Kewajiban timbal balik antara suami dan istri perlu dilakukan untuk dapat menjaga keharmonisan rumah tangga dan tetap saling menyayangi. Disamping itu, kewajiban timbal balik ini perlu dilakukan agar hubungan antara suami dan istri agar saling hormatmenghormati, saling setia dan saling bantu membantu. a) Kewajiban seorang suami menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Pasal 34 ayat (1) yang menyatakan bahwa : “ Suami wajib 28
melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”. Artinya bahwa seorang suami mempunyai kewajiban untuk melindungi dan menjaga istri serta wajib pula memberikan segala keperluan hidup untuk kelangsungan hidup rumah tangganya. Namun kewajiban ini disesuaikan dengan kemampuannya, maksudnya agar istri dapat menyadari keadaan suaminya dan tidak menuntut terlalu jauh dari kemampuan yang dimiliki suaminya tersebut. b) Kewajiban Suami Dalam Hukum Hindu, Hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang suami diatur dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 9,. Bab IX Kitab Manawa Dharmasastra. Pitaraksate, kaumare bharta raksateyauwaneraksanti sthawire putra na stri swatantriyam arhati (Manawa Dharmasastra, IX:3) Artinya : Ayahnya akan melindunginya selagi ia masih kecil dan setelah dewasa suaminyalah yang melindungi dan putraputranya melindungi setelah tua. Yadrcam bhajatehi stri sutam sute tathawidham tasmat praja wicuddhyartham striyam raksatprayatnatah (ManawaDharmasastra, IX;9) Artinya : Sebagaimana laki-laki tempat istri menggantungkan dirinya, demikian pula anak laki-laki ia lahirkan, demikianlah hendaknya ia harus menjaga istrinya agar supaya terpeliharalah kesucian keturunannya. Dari sloka tersebut diatas jelas menunjukkan bahwa, kewajiban seorang suami adalah : 1. Seorang suami wajib melindungi dan menjaga istrinya, walaupun suami dalam keadaan yang lemah (buta, lumpuh, miskin), maka harus tetap menjaga istrinya. Karena dengan menjaga dan melindungi WIDYA GENITRI Volume 7, Nomor 1, Desember 2015
2. 3.
4. c)
d)
istrinya maka akan memperoleh keturunan yang baik dan suci. Seorang suami wajib memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya Seorang suami wajib menggauli istrinya guna menjaga keutuhan perkawinan atau tidak terjadi perceraian. Seorang suami (ayah) wajib mengawinkan anak-anaknya pada waktunya. Kewajiban Istri Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam Pasal 34 ayat (2) yang menyatakan bahwa kewajiban seorang istri adalah “istri wajib mengatur” dimana wajib mengatur ini memiliki pengertian bahwa: wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Urusan rumah tangga yang dimaksudkan bukan dalam pengertian sempit seperti mengurus rumah akan tetapi lebih luas dari yakni mengatur keperluan dan kepentingan anak-anaknya, mengatur hubungan sanak saudaranya, baik dalam lingkungan keluarga kecil maupun lingkungan keluarga besar. Kewajiban Istri Dalam Hukum Hindu Kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang istri sebagaimana diatur dalam kitab Sruti dan Smrti adalah : seorang istri haruslah setia dan percaya kepada suaminya. Kesetiaan dan kepercayaan ini sangat penting dilakukan olehseorang istri dalam rangka membina kerukunan,kebahagiaan dan keutuhan rumah tangganya. Kesetiaan ini ditunjukkan dengan tidak meninggalkan suaminya sampai akhir hayatnya atau tidak berselingkuh, tidak ada niat untuk bercerai, percaya kepada suaminya, tidak menyakiti hati suaminya serta bentuk-bentuk kesetiaan yang lain. Disamping itu, seorang istri hendaknya selalu berusaha tidak bertindak sendiri-sendiri dengan meninggalkan suaminya, sebab bila sampai seorang istri meninggalkan suami dan anakanaknya maka hal ini akan mengakibatkan malu yang sangat besar bagi dirinya sendiri
WIDYA GENITRI Volume 7, Nomor 1, Desember 2015
dan keluarga kedua belah pihak, baik pihak keluarga suami maupun keluarganya sendiri. Disamping kesetiaan, kewajiban lain seorang istri menurut Hukum Hindu adalah : 1. Seorang istri harus pandai membawa diri dan pandai pula mengatur dan memelihara rumah tangga yang harmonis. 2. Pandai dalam mengatur keuangan rumah tangga atau harus bisa bersikap hemat dan ekonomis, tidak bergaya hidup mewah. 3. Pandai mengatur dan mengurus alat-alat rumah tangga. 4. Selalu bersikap dan berwajah cerah, berprilaku manis tidak cemberut, berhati suci, mulia dan cerdas. 5. Tidak menjelek-jelekkan suaminya, dalam keadaan apapun suaminya. 6. Selalu bersikap dan berpikiran jujur, serta mampu mengendalikan pikiran, perkataan dan perbuatannya. 7. Seorang istri wajib menjaga keutuhan rumah tangganya 8. Jika istri ditinggal suami karena tugas keluar daerah dengan tidak meninggalkan jaminan kebutuhan hidupnya maka istri wajib bekerja untuk menunjang hidupnya asal pekerjaannya tidak bertentangan dengan norma kesopanan sebagai seorang wanita. Dalam kitab Manawa Dharmasastra menyatakan sebagai berikut : Sada prahrstaya bhavyam grha karyesu daksaya susamskrto paskaraya vyaye camukta hastaya (Manawa Dharmasastra, V;150) Artinya : Ia hendaknya selalu berwajah cerah, pandai dalam mengatur urusan rumah tangga, cermat dalam membersihkan alat-alat rumah tangga serta hemat dalam mengeluarkan biaya.
29
Vidhaya prosite jiwenniyamamasthita twawidhayaiwa jiwecchalpairagarhitaih dharmasastra,IX;75) Artinya:
wrttim prosita (Manawa
Bila suami bepergian setelah menerima kebutuhannya, istri harus mengendalikan dirinya dalam kehidupan sehari-hari tetapi bila kepergiannya tanpa memberikan jaminan kebutuhan hidupnya, ia dapat melakukan pekerjaan kasar yang tidak bernoda. b. Sebab- sebab perceraian a) Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Alasan seseorang untuk bercerai menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yaitu : 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat dan lain sebagainya yang sulit untuk disembuhkan. 2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa ijin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. 3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara selama lima atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan dilangsungkan. 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang memebahayakan yang lain. 5. Salah satu mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami istri. 6. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan atau pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. b) Alasan perceraian menurut Hukum Hindu Alasan seseorang bercerai menurut Hukum Hindu, tidaklah jauh berbeda dari alasan perceraian yang diatur menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, 30
alasan atau sebab seorang bercerai menurut Hukum Hindu yaitu dijelaskan dalam pasal 78 sampai Pasal 80 Bab IX. Kitab Manawa Dharmasastra dinyatakan bahwa Prosito dharmakaryartha pratiksyo stau narah samah, widyartham sat yacorrtham wa kamarthm trimstu watsaran ( MD.IX.76). Artinya : Bila suami pergi keluar negeri untuk tugas rahasia ia harus menunggu untuk waktu delapan tahun, bila ia pergi untuk belajar atau untuk nama baik, enam tahun, tetapi bila pergi untuk bersenangsenang ia harus menunggu selama tiga tahun. Madhyapa sadhuwrtta ca pratikula ca ya bahwet, wyadhita wathiwettawya himsarthaghno ca sarwada (MD.IX.80). Artinya : Wanita yang meminum alkohol, bertabiat buruk, menentang, berpenyakit, penipu atau menyia-nyiakan, pada setiap saat ia dapat berganti dengan istri yang lain. Dari pernyataan sloka-sloka diatas dapat diketahui bahwa sebab terjadinya perceraian dalam Hukum Hindu adalah : 1. Suami impoten 2. Salah satu pasangan mandul 3. Istri tidak setia dan hormat kepada suami ataupun sebaliknya 4. Salah satu pasangan berpenyakit sehingga tidak dapat melakukan kewajiban sebagai suami istri 5. Salah satu pihak sering berbuat kejam, suka menyiksa, menipu atau tidak jujur terhadap pasangannya 6. Suami meninggalkan istrinya tanpa alasan lebih dari tiga tahun 7. Istri membenci suaminya tanpa alasan lebih dari satu tahun. c. Perceraian a) Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 WIDYA GENITRI Volume 7, Nomor 1, Desember 2015
Dalam ketentuan Pasal 39 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 mengatakan: “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, dan untuk melakukan perceraian harus ada cukup bukti bahwa antara suami istri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri”. Dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa perkawinan itu dapat putus karena : 1. Perceraian, 2. Kematian, dan 3. Putusan Pengadilan b) Menurut Agama Hindu Agama Hindu sangat melarang adanya perceraian antara suami dan istri, kecuali suami atau istri berkhianat dan tidak setia. Itupun tergantung pada konteksitas terhadap pelanggaran Satyeng Lhaki atau Satyeng Wadon. Agama Hindu dikenal dengan adanya catur asrama, dilihat dari asal katanya catur asrama terdiri dari kata catur yang berarti empat (4) dan asrama yang berarti jenjang kehidupan, tempat / lapangan. Jadi catur asrama artinya empat jenjang yang dilalui dalam kehidupan. Salah satunya adalah Grahasta, pengertianGrahasta adalah membentuk atau membangun suatu rumah tangga, dalam berumah tangga ini harus mampu seiring dan sejalan untuk membina hubungan atas dasar saling cinta mencintai dan ketulusan.Tujuan dari Grahasta yaitu melanjutkan keturunan dan melaksanakan panca yadnya.Grahasta merupakan salah satu bentuk yadnya (suatu bentuk pengorbanan yang tulus ikhlas). Bila terjadinya perceraian dalam suatu rumah tangga maka dikatakan gagal dalam beryadnya, karena pada saat pelaksanaan mebiakawonan (sahnya suatu perkawinan menurut adat Bali) dimana pada saat itu pasangan suami istri telah berjanji pada orang tua, leluhur, dewa dan pada guru sebagai saksi. WIDYA GENITRI Volume 7, Nomor 1, Desember 2015
d. Harta Kekayaan dalam Perkawinan Pada dasarnya dalam suatu masyarakat baik seorang pria atau seorang wanita sebelum melangsungkan perkawinan telah menguasai dan memiliki harta kekayaan sendiri, baik berupa barang tetap maupun barang bergerak, yang diperoleh sebagai harta peninggalan (warisan), hadiah, hibah dan wasiat. Harta perkawinan yang lazim dikenal di Indonesia antara lain : 1. Harta yang diperoleh sebelum perkawinan oleh para pihak karena usahanya masingmasing. Harta jenis ini adalah hak dan dikuasai oleh masing-masing pihak (suami dan istri). 2. Harta yang pada saat menikah diberikan pada kedua mempelai, mungkin berupa modal usaha, atau alat perabot rumah tangga ataupun rumah tempat tinggal. 3. Harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung tetapi karena hibah atau warisan dari orang tua. 4. Harta yang diperoleh sesudah berada dalam hubungan perkawinan berlangsung atas usaha berdua atau usaha salah satunya, harta ini disebut harta pencaharian. Didalam ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yakni pada Pasal 35 ayat (2) terdapat adanya pengaturan mengenai harta bawaan : 1. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. 2. Menguasai bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Harta warisan dalam hukum waris Hindu dikenal dengan nama “draviya/drvya”. Sedangkan dalam hukum waris Bali dikenal dengan nama “Druwe”. Dalam hukum waris Hindu drvya merupakan objek berbagi waris sebagaimana juga dikenal dalam hukum waris 31
Bali. Harta warisan dalam Hukum Hindu dapat digolongkan menjadi : 1) harta warisan yang dapat dibagi 2) harta warisan yang tidak dapat dibagi, 3) harta warisan yang berwujud, 4) harta warisan yang tidak berwujud. e. Kedudukan Harta Bersama Dalam Perkawinan Setelah Terjadi Perceraian Menurut Hukum Hindu Pada tanggal 20 februari 2015 peneliti mewawancarai beberapa informan yang tahu atau paham tentang permasalahan yang peneliti angkat. Maka dari hasil wawancara dengan tokoh masyarakat sebagai berikut : Dalam kitab suci veda tidak ada yang menyarankan untuk melakukan perceraian, bahkan agama manapun di Indonesia tidak menginginkan atau mengajarkan untuk bercerai. Dalam kitab suci veda tidak ada penjelasan tentang bagaimana besarnya harta bersama setelah perceraian di bagi, karena agama Hindu tidak menyarankan hal seperti itu. Namun apabila hal itu terjadi dan tidak dapat dihindari samakali , maka untuk mengetahui bagaimana besarnya harta bersama tersebut dibagi maka harus ditinjau dari hukum Adat Bali/ awig-awig yang berlaku. (Tn. Gd Mtn, 58 tahun. Seorang tokoh masyarakat. Tgl 20 Februari 2015 jam 16.00 Wita). Wawancara yang berikutnya dilakukan pada informan yang kedua menyatakan : Perceraian saya terjadi sekitar kurang lebih 8 tahun lalu, sebelum adanya putusan perceraian, dari masing-masing pihak keluarga maupun tokoh agama menyarankan untuk tidak melakukan perceraian namun karena rumah tangga saya sudah tidak bisa diselamatkan kembali akhirnya saya dan mantan istri saya memutuskan untuk bercerai. Untuk pembagian harta saya mendapatkan ¾ karena saya yang mendapatkan hak asuh dari anak-anak saya dan mantan istri saya mendapatkan ¼ dari harta bersama kami karena mantan istri saya yang meninggalkan saya dan keluarga (Pk Md. P, Umur 40 tahun tgl 28 februari 2015 jam 19.00 Wita).
32
Pada wawancara selanjutnya dilakukan dengan informan ketiga yang menyatakan sebagai berikut : Perceraian terjadi antara saya dangan mantan istri saya karena istri saya meninggalkan saya dan anak-anak. Untuk pembagian harta tidak kami laksanakan karena mantan istri saya pergi meninggalkan saya tanpa sepengetahuan saya dan menikah lagi dengan laki-laki lain ( Pk Md. Ar, umur 47 tahun tgl 29 februari 2015 jam 16.00 wita). Dari hasil wawancara dengan informan tersebut diatas menunjukan bahwa tidak ada suatu kesepakatan tentang pembagian harta bersama dalam perkawinan setelah terjadi perceraian, kerana adanya beberapa factor yang menjadi pemyebab sehingga tidak dilakukan pembagian harta bersama secara adil dengan kedua belah pihak. Dalam Kitab suci Veda tidak menjelaskan bagaimana kedudukan harta bersama dalam perkawinan setelah terjadi perceraian tersebut karena ajaran veda tidak menyarankan adanya perceraian, sehingga untuk memutuskan kedudukan dari harta bersama dilihat dari hukum Adat Bali yang berlaku. Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (milik suami dan istri). Dari pernyataan pasal tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa apabila terjadi perceraian maka harta bersama harus dibagi sama besar antara suami dan istri, sehingga umat Hindu dalam konsep pembagian harta bersama (Gunakaya) tetap berpedoman terhadap Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dan untuk memutuskan harta bersama tersebut tetap harus ada kesepakatan dari kedua belah pihak.
WIDYA GENITRI Volume 7, Nomor 1, Desember 2015
f. Proses Pembagian Harta Bersama Dalam Perkawinan Setelah terjadi Perceraian Menurut Hukum Hindu Proses perceraian sejalan dengan proses perkawinan, maka perceraian patut dilaksanakan dengan ketentuan pasangan suami istri yang akan melangsungkan perceraian harus menyampaikan kehendaknya kepada prajuru banjar (tokoh-tokoh umat). Prajuru wajib memberikan nasihat untuk mencegah terjadinya perceraian, terlebih dahulu harus diselesaikan melalui proses adat.Setelah proses perceraian itu berlangsung maka dalam proses pembagian harta bersama ini dilaksanakan secara kekeluargaan dimana kedua belah pihak secara bersama-sama menentukan dan membagi harta bersama baik yang memiliki nilai ekonomi maupun tidak memiliki nilai ekonomi. Dalam penelitian ini selain mewawancarai informan yang sudah menikah dan mengalami perceraian hidup, peneliti juga mewawancarai beberapa tokoh- tokoh masyarakat yang dianggap mampu memberikan informasi yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Tanggal 21 februari 2015 peneliti mengunjungi informan yang lainya yaitu Pinandita dan informan yang sudah mengalami perceraian guna memperoleh data yang lebih banyak dan valid. Wawancara dilakukan dengan salah satu pinanditha yang ada di Kota Palu, guna memperkuat hasil dari penelitian ini. Demikian hasil wawancaranya : Dalam pembagian harta bersama setelah terjadinya perceraian dimana harta bersama tersebut dibagi sama banyak antara suami dan istri karena harta tersebut merupakan hasil jerih payah bersama sewaktu membangun rumah tangga. Setelah terjadi perceraian hidup status istri kembali ke keluarga orang tua kandungnya dimana dilakukan penerimaan kembali kedalam leluhurnya dengan membuat banten atau sesajen yang menandakan bahwa telah kembalinya kedalam keluarga, namun WIDYA GENITRI Volume 7, Nomor 1, Desember 2015
bila perceraian yang terjadi akibat salah satu ada yang meninggal maka harta bersama tersebut dialihkan kepada pasangan yang masih hidup selagi pasangan tersebut masih berada dalam keluarga suami atau istri, (Panaditha atau pemangku, 64 tahun tgl 21 Februari 2015 jam 20.00 wita). Berikut hasil wawancara dengan informan yang sudah berkeluarga dan mengalami perceraian ; Pada saat proses pembagian harta bersama dimana saya dan mantan istri saya dilakukan secara kekeluargaan untuk mendapatkan kesepakatan secara adil. Dimana kami berdua memutuskan bahwa mantan istri saya mendapatkan hak atas tanah dan untuk saya sendiri mendapatkan rumah dan tanah karena saya yang mendapatkan hak asuh atas anak, oleh karena itu harta bersama tersebut lebih banyak jatuh kepada saya (Pk Md. P, Umur 40 tahun tgl 28 februari 2015 jam 19.00 Wita). Berikut wawancara dengan infoman yang lain,Setelah perceraian proses pembagian tidak ada kami lakukan karena pada saat perkawinan saya dan mantan suami saya masih tinggal bersama mertua saya, dan usia perkawinan saya bisa dibilang seumur jagung sehingga tidak ada harta yang bisa dibagi (Ibu, Ay. 24 tahun, tanggal 29 februari 2015 jam 19.00 wita). Proses pembagian harta bersama (gunakaya) sebagaimana yang diatur dalam hukum adat Bali bahwa semua harta yang diperoleh pada saat membangun rumah tangga pembagiannya dilakukan oleh kedua belah pihak, dimana keduanya yang menentukan proses pembagiannya yang telah ditetapkan dalam hukum adat Bali bahwa pembagiannya harus sama besar. Namun pada kenyataan yang terjadi bahwa ada beberapa dari hasil wawancara dilapangan, para wanita Hindu tidak mendapatkan hak dari harta tersebut. Secara garis besar peneliti menguraikan harta warisan menurut hukum waris Bali yang terdiri dari : 1. Harta pusaka adalah harta peninggalan leluhur yang tidak dapat dibagi-bagi baik penguasaan maupun pemakaiannya seperti 33
pemerajaan, kris bertuah, sanggah dan sebagainya. 2. Harta bawaan yaitu harta yang dibawa baik oleh mempelai wanita maupun pria kedalam perkawinan seperti : jiwadana, tatadan atau bekel, dan sekaya. 3. Harta perkawinan yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan seperti :Gunakayaatau Druwekaya. Kesimpulan 1. Kedudukan harta bersama setelah terjadinya perceraian menurut Hukum Hindu (Studi Kasus Terhadap Orang Bali Beragama Hindu Di Kota Palu). Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan adalah kedudukan harta bersama setelah terjadi perceraian tersebut yang terjadi di Kota Palu, bahwa harta bersama seharusnya dibagi rata atau sama banyak antara suami dan istri karena harta bersama tersebut diperoleh pada saat memulai suatu rumah tangga dan merupakan hasil jerih payah bersama, namun ada beberapa informan yang tidak mendapatkan harta bersama tersebut, dikarenakan usia rumah tangga yang masih muda sehingga tidak ada harta yang dapat dibagi dan salah satu pasangan melarikan diri atau meninggalkan keluarga tanpa sebab. 2. Proses pembagian harta bersama setelah perceraian menurut Hukum Hindu (Studi Kasus Terhadap Orang Bali Beragama Hindu Di Kota Palu) yaitu Proses pembagian harta bersama ini dilaksanakan secara kekeluargaan dimana kedua belah pihak secara bersama-sama menentukan dan membagi harta bersamadan setelah pembagian tersebut maka status harta sudah menjadi hak milik perseorangan.
DAFTAR PUSTAKA Artaji Ketut. Hukum Adat Bali, cetakan ke 3. PT Offset BP. Denpasar , 2003
34
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama, Ditinjau Dari Undang-Undang Perkawinan No.1/1974. Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986 Burhan Ashshofa. Metode Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta, 2002 Drs.Sumanto.M.A., Metodologi Penelitian Sosial Dan Pendidikan , Yogyakarta, 1995 Gelgel Putu. Hukum Hindu Ruang Lingkup dan Sumber-sumbernya. Widya Dharma Universitas Hindu Indonesia . Denpasar, 2006 Gelgel Putu.Makalah Transformasi KaedahKaedah Hukum Waris Hindu ke dalam Hukum Waris Bali. Denpasar GedeI Pudja. Hukum Kewarisan Yang Diresepir Kedalam Hukum Adat Di Bali dan Lombok, CV. Junasco. Jakarta, 1977 Gede Panetje. Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali. Kayumas Agung. Denpasar, 2004 Hilman Hadikusuma.Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum. Mandar Maju. Bandung, 1995 Ida Bagus Rai Wardhana. Hak dan Kewajiban Janda dalam Hukum Waris Hindu.Prasasti. Jakarta, 1992 Jelantik Oka Gde Nyoman.Sanatana Hindu Dharma. Widya Dharma. Jakarta, 2009. J, Supranto. Metode Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta, 2003 Korn, VE. 1972. Hukum Adat Waris di Bali, terjemahan serta diberi catatan-catatan oleh I Gde Wayan Pangkat, Fakultas Hukum & Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana. Pudja G. Manawa Dharmasastra ( weda smrti). Nitra Kencana Buana. Jakarta, 2003 Prodjohamidjodjo Martiman. Hukum Perkawinan Indonesia. Indonesia Legal Center Publishing. Jakarta, 2001 Sirtha I Nyoman dan I Ketut Sudantra. 1991. “Persepsi Masyarakat Adat Bali Mengenai Harta Bersama dalam
WIDYA GENITRI Volume 7, Nomor 1, Desember 2015
Perkawinan”.Laporan Penelitian.Denpasar:Universitas Udayana. Soerjono Soekanto & Sri Mamudji.Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers. Jakarta, 2001 Suastika Ekasana Made. Pengantar Hukum Hindu. Penerbit Dirjen Bimas Hindu Departemen Agama RI. Jakarta, 2004 Suma Made. Modul 1-6 Hukum Hindu. penerbit Dirjen Bimas Hindu Departemen Agama RI. Jakarta, 2009 Suprayoga Iman. Metode penelitian sosial agama.PT Remaja Rasdakarya. Bandung, 2001 Surpha I Wayan. Pengantar Hukum Hindu. Paramitha. Surabaya, 2005 Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Kitab Manawadarmasastra Kitab Veda http://partyhindu.multiply.com/journal/item/1/ wanita-dalampandangan-agamahindu?&show_interstitial=1&u=%2Fjou rnal%2Fitem. diakses pada tanggal 21 desember 2012 jam 20.00 wita. http://www.cybertokoh.com/index2.php?optio n=comcontent&dopdf=1&id=1647. Diakses pada tanggal 21 desember 2012 jam 19.00 wita. http://www. Akibat suatu perceraian=comcontent. Diakses pada tanggal 24 februari 2013 jam 15.30 wita.
WIDYA GENITRI Volume 7, Nomor 1, Desember 2015
35