TINJAUAN HUKUM MENGENAI PEMBIAYAAN MURABAHAH PADA BANK BPD KALTIM SYARIAH PUSAT DI SAMARINDA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM Abstrak Nurmaladewi, Tinjauan Hukum Mengenai Pembiayaan akad Murabahah Pada Bank BPD Kaltim Syariah Pusat di Samarinda Ditinjau Dari Hukum Islam di bawah bimbingan Bapak Deny Slamet Pribadi, S.H.,M.H selaku pembimbing Utama dan Ibu Rini Apriyani, SH.,M.H selaku pembimbing pendamping. Lembaga perbankan syariah merupakan lembaga yang mengandalkan kepercayaan masyarakat dituntut untuk terus meningkatkan perlindungan nasabah. Seperti pembiayaan murabahah di dalam Bank BPD Kaltim Syariah Pusat di Samarinda . Murabahah terlaksana antara penjual dan pembeli berdasarkan harga barang, harga asli pembelian penjual yang diketahui oleh pembeli dan keuntungan yang diambil oleh penjual pun diberitahukan kepada pembeli. sebagai lembaga keuangan syariah tidak menutup kemungkinan terdapat ketidaksesuaian dalam melakukan praktek pembiayaan murabahah, sehingga perlu diteliti bagaimana pelaksanaan akad Murabahah di Bank BPD Kaltim Syariah Pusat di Samarinda Dan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pelaksanaan pembiayaan murabahah. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan. Adapun tehnik pengumpulan data meliputi dokumentasi, dan wawancara. Sedangkan teknik analisisnya adalah analisis deskriptif. Yaitu metode yang dipakai untuk membantu dalam menggambarkan keadaankeadaan yang mungkin terdapat dalam situasi tertentu serta mengetahui bagaimana mencapai tujuan yang diinginkan. Data yang diperoleh akan dianalisis dan digambarkan secara menyeluruh dari fenomena yang terjadi pada pada pembiayaan murabahah di Bank BPD Kaltim Syariah Pusat di Samarinda. Dalam hal pengadaan barang dalam praktek pembiayaan murabahah yang menyerahkan sepenuhnya kepada nasabah untuk membeli barang sendiri setelah proses akad terjadi, belumlah sesuai dengan aturan hukum Islam, karena seolah Bank BPD Kaltim Syariah Pusat di Samarinda menjual barang yang bukan dalam tanggungannya. Begitu pula dalam hal penentuan margin yang masih terlihat menyandarkan proses yang dilaluinya telah menggunakan informasi tingkat suku bunga secara langsung. Kata Kunci
: Alternatif Penyelesaian dan Perlindungan Akad Murabahah
1
Pendahuluan Secara nasional, Perbankan Syariah di indonesia saat ini menggunakan akad murabahah sebagai salah satu produk utama pembiayaannya. Hal ini dikarenakan oleh sistem dan teknik penghitungannya yang lebih mudah dicerna baik oleh nasabah maupun oleh pihak bank, sehingga aspek kejelasan lebih mengedepan. Murabahah merupakan pembiayaan yang memposisikan nasabah sebagai pembeli dan bank sebagai penjual, dan operasional Murabahah ini murni menggunakan rukun dan syarat jual beli, dimana terdapat beberapa hal yang harus ada dalam transaksi jual beli tersebut. Harus ada penjual, pembeli, objek yang diperjual belikan, ada ijab dan qabul serta ada akad yang menyertai perjanjian jual beli ini. Seperti contoh, jika nasabah membutuhkan pembiayaan untuk membeli bahan bangunan guna merenovasi rumahnya, nasabah akan mengajukan daftar pembelian barang yang berisikan kebutuhan-kebutuhan material bangunan yang akan dimanfaatkan oleh nasabah. Secara konsep, Bank Syariah akan membelikan barangbarang yang dimintakan oleh nasabah tersebut, yang kemudian akan di jual kembali kepada nasabah dengan menambahkan keuntungan/margin bank. Sehingga dalam transaksinya akan ada harga beli (harga pokok pembelian barang), ada margin (keuntungan yang diambil oleh bank), serta ada harga jual (harga pokok ditambah dengan margin keuntungan).1 Banyak produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah dalam melayani masyarakat, seperti mudharabah (Kerja sama antara dua pihak dalam suatu jenis usaha tertentu, di mana pihak pertama sebagai penyandang dana dan pihak kedua sebagai pengelola usaha, segala keuntungan dan kerugian yang terjadi ditanggung bersama oleh kedua belah pihak sesuai dengan kesepakatan), murabahah, musyarakah (kerjasama antara dua pihak atau lebih dalam suatu proyek di mana masing-masing pihak berhak atas keuntungan dan bertanggung jawab atas segala kerugian yang terjadi sesuai dengan penyertaannya masing-masing), wadiah (titipan, dalam perbankan konvensional lebih dikenal dengan nama giro), salam (Pembelian barang yang penyerahannya dikemudian hari dan pembayarannya dilakukan di awal atau ketika transaksi), istishna (jual beli dengan pemesanan, mirip salam, akan tetapi pembayarannya bisa dilakukan di muka, dicicil, atau di belakang).2 Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam jual beli jenis ini, penjual harus memberitahu harga barang yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya Dengan kata lain, transaksi murabahah adalah jual beli dengan harga awal ditambah dengan keuntungan tertentu. Secara sederhana, murabahah dapat diartikan dengan jual beli yang dilakukan dengan cara memberitahukan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga lebih sebagai keuntungan. 3
1 Adiwarman A. Karim, 2006, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Raja Grafindo Persada, Jakarta,halaman. 14 – 15. 2 http : // www. Seputar Hukum Peradilan (murabahah dalam hukum islam). Html. Di askes pada hari Rabu 12 Desember 2012 jam 17.00 WITA. 3 Hasil laporan Bank BPD Kaltim Syariah Pusat di Samarinda Tahun 2007.
2
Pada praktek perbankan syariah, dalam produk murabahah, Bank syariah membeli barang yang diperlukan nasabah kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan nasabah. Yang harus diberikan penekanan dalam murabahah adalah penjual harus memberitahu kepada pembeli harga asli barang tersebut dan berapa besar keuntungan yang akan ia dapatkan. Karena apabila seorang penjual tidak memberi tahu kepada pembeli nilai asli barang tersebut, dan pembayaran dilakukan dengan cara cicilan (lump sum) bukanlah murabahah, akan tetapi disebut musawamah (jual beli mirip murabahah, akan tetapi penjual tidak memberi tahu pembeli berapa jumlah keuntungan yang diambil).4 Padahal perbankan syariah bukan hanya berperan sebagai lembaga intermediasi, akan tetapi juga berperan untuk memberikan pengetahuan mengenai seluk beluk perbankan syariah baik dari sisi prinsip maupun aplikasinya. Kalau kondisi diatas tetap dipertahankan tanpa ada perubahan yang mendasar, maka pencerdasan syariah kepada nasabah bisa dikatakan tidak akan pernah berhasil. Apakah hal ini tidak menjadi perhatian dari para pengambil kebijakan seperti Dewan Pengawasan Syariah (DPS), Dewan Syariah Nasional (DSN), dan Bank Indonesia (BI) yang menjadi regulator dan juga penjaga kestabilan syariah pada Perbankan Syariah di Indonesia. Kalau kondisi ini tetap dibiarkan tanpa ada perbaikan konkrit dari para pengambil kebijakan, maka bisa dipastikan bahwa kesyariahan dari produk serta aplikasi Perbankan Syariah akan tergerus oleh kondisi bisnis yang semakin ketat. Apakah Bisnis yang harus dikedepankan ataukan kesyariahaannya, sebuah pertanyaan yang akan sulit untuk dijawab. Perbankan syariah jangan hanya dijadikan sebagai sebuah peluang bisnis baru, sehingga substansi syariah itu sendiri akan sangat gampang terabaikan demi mencapai tujuan dari perusahaan. Sudah saatnya bicara konkrit mengenai syariah compliance (prinsip syariah), sudah saatnya syariah dibawa ke ranah bisnis islami jangan ke ranah bisnis konvensional. Dalam kehidupan sehari hari, masyarakat memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi baik kebutuhan primer, sekunder maupun tersier. Ada kalanya masyarakat tidak memiliki cukup dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karenanya, dalam perkembangan perekonomian masyarakat yang semakin meningkat muncullah jasa pembiayaan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bank. Pembiayaan Murabahah Pembiayaan dengan skema jual beli Pembiayaan murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati (Undang-Undang No. 21 Tahun 2008) Adapun ketentuan pembiayaan murabahah adalah sebagai berikut (Fatwa Dewan Syari'ah Nasional No: 04/DSN-MUI/IV/2000): 4
Muhammad Syafi’I Antonio, 2001, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Gema Insani Press dan Tazakia Cendikia, Jakarta, Halaman 101.
3
a) Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syari’ah: 1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba. 2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam. 3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya. 4.Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sahdan bebas riba. 5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang. 6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan. 7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati 8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah. 9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.5 Dasar Hukum Murabahah a) Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 4/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 1 April 2000 tentang Murabahah b) Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 13/DSN-MUI/IX/2000 tanggal 16 September 2000 tentang Uang Muka dalam Murabahah c) Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 16/DSN-MUI/IX/2000 tanggal 16 September 2000 tentang Diskon dalam Murabahah d) Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 17/DSN-MUI/IX/2000 tanggal 16 September 2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran e) Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 23/DSN-MUI/III/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Potongan Pelunasan dalam Murabahah Pengertian Jual Beli Jual Beli bisa didefinisikan sebagai: Suatu transaksi pemindahan pemilikan suatu barang dari satu pihak (penjual) ke pihak lain (pembeli) dengan imbalan suatu barang lain atau uang. Atau dengan kata lain, jual beli itu adalah ijab dan qabul,yaitu suatu proses penyerahan dan penerimaan dalam transaksi barang atau jasa. Islam mensyaratkan adanya saling rela antara kedua belah pihak yang bertransaksi tersebut:
5
Abdullah Saeed, 1996, Menyoal Bank Syari’ah, Paramadina, Jakarta, halaman 15.
4
ما َ ن ا ْلبَ ْي ُع إِن ﱠ ْ َراضٍتَ َع “Sesungguhnya Jual Beli itu haruslah dengan saling suka sama suka.” Oleh karena kerelaan adalah perkara yang tersembunyi, maka ketergantungan hukum sah tidaknya jual beli itu dilihat dari cara-cara yang nampak (dhahir) yang menunjukkan suka sama suka, seperti adanya ucapan penyerahan dan penerimaan.6 Pengertian Murabahah Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tembahan keuntungan yang disepakati. Dalam istilah teknis perbankan syari’ah, murabahah ini diartikan sebagai suatu perjanjian yang disepakati antara Bank Syariah dengan nasabah, dimana Bank menyediakan pembiayaan untuk pembelian bahan baku atau modal kerja lainnya yang dibutuhkan nasabah, yang akan dibayar kembali oleh nasabah sebesar harga jual bank (harga beli bank + margin keuntungan) pada waktu yang ditetapkan. Dalam murabahah, penjual harus memberitahu harga produk yang dia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Murabahah dapat dilakukan untuk pembelian dengan sistem pemesanan.7 Dalam hal ini calon pembeli atau pemesan dapat memesan kepada sesorang (sebut saja pembeli) untuk membelikan suatu barang tertentu yang diinginkannya. Kedua belah pihak membuat kesepakatan mengenai barang tersebut serta kemungkinan harga asal pembelian yang masih sanggup ditanggung pemesan. Setelah itu, kedua belah pihak juga harus menyepakati beberapa keuntungan atau tambahan yang harus dibayar pemesan. Jual beli kedua belah pihak dilakukan setelah barang tersebut beada di tangan pemesan.8 Pengertian Bank Syariah Bank syariah atau bank islam adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsipprinsip syariah islam. Bank ini tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuanketentuan Alquran dan Hadis. Banyak yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam maksudnya adalah bank yang dalam beroperasinya itu mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah secara Islam. Dalam tata cara bermualat itu dijauhi praktik-praktik yang dikhawatirkan mengandung unsur-unsur riba, untuk diisi dengan kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan atau pratik-praktik usaha yang dilakukan di zaman Rasulullah atau bentuk-bentuk usaha yang telah ada sebelumnya, tetapi tidak dilarang oleh beliau.9
6 Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Ibnu Majah menjelaskan dan Majalah Pengusaha Muslim Edisi 6 Volume 1 Tanggal 15 Juni 2010 . 7 Wiroso, 2005, Jual beli Murabahah dan Akuntasi Syariah Indonesia, UII Press, yogjakarta, halaman 1-2. 8 Ibid , halaman 3 . 9 Ibid, halaman 9.
5
Pembahasan 1. Tinjauan Hukum Mengenai Pembiayaan Murabahah Pada Bank BPD Kaltim Syariah Pusat Di Samarinda Di Tinjau Dari Hukum Islam Pada hakekatnya, Mediasi Perbankan syariah merupakan bentuk upaya perlindungan hukum bagi nasabah yang selama ini merasa tidak memiliki jalur penanganan permasalahan antara nasabah dengan bank syariah, khususnya bagi nasabah kecil yang sering kali mendapat pelayanan yang kurang baik dari pihak bank. Menurut Munir Fuady, ada beberapa mekanisme dalam upaya perlindungan hukum bagi nasabah sebagai berikut :10 a. Pembuatan peraturan baru b. Pelaksanaan peraturan yang ada secara baik c. Perlindungan nasabah deposan lewat lembaga asuransi deposito d. Memperketat perizinan bank e. Memperketat pengaturan di bidang kegiatan bank f. Memperketat pengawasan bank Hasil observasi di lapangan, pada Bank BPD Kaltim Syariah Pusat di Samarinda publikasi dilakukan hanya melalui website bank kantor pusat yang mana tidak semua nasabah mengerti sistem tersebut, bahkan pada salah satu kasus mediasi perbankan syariah, nasabah memperoleh informasinya melalui media cetak dan hanya ada beberapa pamflet yang letaknya jauh dari ruang terbuka yang tidak mudah untuk di akses oleh nasabah. 11 Bank Indonesia telah menerbitkan regulasi untuk mengatasi permasalahan yang terjadi antara bank dan nasabahnya melalui pengaturan mekanisme pengaduan nasabah dan fungsi mediasi perbankan. Dalam pengaturan ini telah ditetapkan standarisasi penanganan permasalahan perbankan bagi seluruh lembaga perbankan baik Bank Umum maupun Bank Pengkreditan Rakyat. Setiap Kantor Bank diwajibkan untuk memenuhi standarisasi tersebut salah satunya kewajiban bank untuk membentuk unit penanganan khusus permasalahan nasabah serta mempublikasikannya di setiap kantor bank.12 Tetapi dalam prakteknya bank BPD Kaltim Syariah Pusat di Samarinda menangani permasalahan nasabah menjadi tugas unit pelayanan umum Customer Service Office (CSO) yang juga melaksanakan fungsi-fungsi lainnya.13 Perhitungan margin murabahah yang terdapat di Bank BPD Kaltim Syariah Pusat di Samarinda. Dalam perhitungan menentukan keuntungan/margin murabahah ada beberapa cara sebagai berikut :
10
Lukman Santoso AZ, 2011, Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah dan Bank, Pustaka Yustisia, Yogyakarta. Halaman 116-122. 11 Hasil wawancara dengan Ibu Irene Monika anggota asisten umum Bank BPD Kaltim Syariah Pusat di Samarinda, Jum’at 7 Desember 2012 jam 15.00 WITA. 12 Lihat Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/14/DPNP tanggal 1 juni 2006 13 Hasil wawancara dengan bapak H.Hasnadi PGS. PBPD Bank BPD Kaltim Syariah Pusat di Samarinda, Senin 17 Desember 2012 jam 12.20 WITA.
6
a. Bank menentukan keuntungan dari jumlah dana yang dipinjam oleh nasabah untuk membeli barang ke Bank BPD Kaltim Syariah Pusat di Samarinda tersebut sebesar yang di sepakati oleh ke dua belah pihak. Rumus harga jual (cara pertama) Harga jual = harga pokok aktiva murabahah/jumlah Pembiayaan + (markup /laba x n tahun) b. Atas dasar dana yang di pinjam oleh nasabah bank BPD Kaltim Syariah Pusat menerapkan keuntungan transaksi misalnya 20%, kemudian jika dibayar satu atau dua tahun maka untuk menstabilkan daya beli uang tersebut Bank BPD Katim Syariah Pusat dapat menambahkan sejumlah dua kali inflsai yang akan datang. Misalnya di perkirakan inflasi 5% pertahun maka faktor stabilizer daya beli untuk 2 tahun sama dengan 2 x 5% = 10%. Jadi, selama 2 tahun nasabah mengangsur pokok pinjaman ditambah dengan keuntungan dan inflasi.14 Rumus harga jual (cara kedua) Harga jual = harga pokok aktiva murabahah /jumlah Pembiayaan + (inflasi x n)tahun + markup/laba sekali. c. Dalam menentukan harga jual, bank BPD Kaltim Syariah Pusat menerapkan metode penetapan harga jual berdasarkan cost plus markup. Dengan metode cost plus, harga jual dapat dihitung dengan rumusan sebagai berikut : Rumusan harga jual (cara ketiga) Harga jual = harga pokok aktiva murabahah/jumlah Pembiayaan + cost recovery + markup /laba sekali.
Cost recovery adalah bagian dari estimasi biaya operasi Bank BPD Kaltim Syariah Pusat yang dibebankan kepada harga pokok aktiva murabahah/pembiayaan. Rumusan perhitungan cost recovery
Cost recovery = (harga pokok aktiva murabahah atau pembiayaan/estimasi total pembiayaan) x estimasi biaya operasi 1 tahun
Markup/laba ditentukan sekian persen dari harga pokok aktiva murabahah/pembiayaan, misalnya 10 %. Untuk menghitung margin murabahah maka kita dapat menghitung rumus:
14
Hasil wawancara dengan bapak Agung anggota asisten dan logistik umum Bank BPD Kaltim Syariah Samarinda, Kamis 13 Desember 2012 jam 15.00 WITA.
7
Margin murabahah = (cost recovery + markup )/harga pokok Aktiva murabahah (pembiayaan). Kasus transaksi jual beli murabahah yg pernah ada di Bank BPD Kaltim Syariah Pusat : Pada tanggal 5 januari 2010, PT. X melakukan negosiasi dengan Bank BPD Katim Syariah Pusat untuk memperoleh fasilitas murabahah dengan pesanan untuk pembelian sebuah mobil dengan rencana sebagai berikut : Harga barang : Rp. 100.000.000 Uang muka
: Rp. 10.000.000(10% dari harga barang)
Pembiayaan oleh bank
:Rp. 90.000.000
Margin
:Rp.18.000.000 (20% dari pembiayaan bank )
Harga jual
:Rp.118.000.000(harga + margin)
Jangka waktu
:24 bulan
Biaya administrasi
:1 % dari pembiayaan oleh bank
oleh
Angsuran per bulan bersifat tetap dan merata sepanjang masa pelunasan perhitungan angsuran dapat dilakukan dengan rumus sebagai berikut : Angsuran per bulan = total piutang – uang muka Jumlah bulan pelunas Dengan data transaksi PT. X tersebut diatas maka dapat dihitung besar angsurang per bulan = (Rp.118.000.000 – Rp. 10.000.000)24 bulan =Rp.108.000.000/24 bulan =Rp.4.500.000 per bulan.15
Penyelesaian sengketa melaui jalur non litigasi di atur dalam satu pasal, yakni Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
15
Samarinda.
Laporan pengaduan nasabah pembiayaan murabahah di Bank BPD Kaltim Syariah Pusat di
8
1. Abitrase Dalam perspektif Islam arbitrase dapat disepadankan dengan istilah tahkim. Tahkim berasal dari kata hakkama, secara etimologis berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa. Pengertian tersebut erat kaitannya dengan pengertian menurut terminologisnya. Lembaga ini telah dikenal sejak zaman pra Islam. Pada masa itu, meskipun belum terdapat sistem peradilan yang terorganisir, setiap ada perselisihan mengenai hak milik, waris dan hak-hak lainnya seringkali diselesaikan melalui bantuan juru damai atau wasit yang ditunjuk oleh masing-masing pihak yang berselisih.16 Gagasan berdirinya lembaga arbitrase Islam di Indonesia, diawali dengan bertemunya para pakar, cendekiawan muslim, praktisi hukum, para kyai dan ulama untuk bertukar pikiran tentang perlunya lembaga arbitrase Islam di Indonesia. Pertemuan ini dimotori Dewan Pimpinan MUI pada tanggal 22 April 1992. Setelah mengadakan beberapa kali rapat dan setelah diadakan beberapa kali penyempurnaan terhadap rancangan struktur organisasi dan prosedur beracara akhirnya pada tanggal 23 Oktober 1993 telah diresmikan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI),17 sekarang telah berganti nama menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang diputuskan dalam Rakernas MUI tahun 2002. Perubahan bentuk dan pengurus BAMUI dituangkan dalam SK MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 sebagai lembaga arbiter yang menangani penyelesaian perselisihan sengketa di bidang ekonomi syariah.18 Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa bahwasanya arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Lembaga arbitrase (hakam) telah dikenal sejak zaman pra Islam. Pada masa itu, meskipun belum terdapat sistem peradilan yang terorganisir, setiap ada perselisihan mengenai hak waris, hak milik seringkali diselesaikan melalui bantuan juru damai yang ditunjuk oleh masing-masing pihak yang berselisih. Gagasan berdirinya lembaga arbitrase Islam di Indonesia, diawali dengan bertemunya para pakar cendikiawan muslim, praktisi hukum, para ulama untuk bertukar pikiran tentang perlunya lembaga arbitrase Islam di Indonesia. Pertemuan ini dimotori oleh Dewan Pimpinan MUI pada tanggal 22 April 1992. setelah mengadakan rapat beberapa kali penyempurnaan terhadap rancangan struktur organisasi dan prosedur beracara akhirnya pada tanggal 23 Oktober 1993 telah diresmikan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), sekarang telah berganti nama menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).
16
NJ. Coulson, a History of Islamic Law, 1991, (Edinburg: University Press), jakarta halaman 10. Warkum Sumitro, 1997, Asas-Asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait, Raja Grafindo Persada, Jakarta halaman. 167. 18 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000 , Hukum Arbitrase, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta, halaman 5/6. 17
9
Kewenangan BASYARNAS a. Menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalah yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain-lain yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa dan para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaiannya kepada BASYARNAS sesuai dengan peraturan prosedur yang berlaku. b. Memberikan pendapat yang mengikat atas permintaan para pihak tanpa adanya suatu sengketa mengenai suatu persoalan berkenaan dengan suatu perjanjian. Keunggulan dan kekurangan BASYARNAS BASYARNAS memiliki keunggulan-keunggulan, diantaranya: a. Memberikan kepercayaan kepada para pihak, karena penyelesaiannya sevara terhormat dan bertanggung jawab b. Para pihak menaruh kepercayaan yang besar pada arbiter, karena ditangani oleh orang-orang yang ahli dibidangnya c. Proses pengambilan keputusan cepat d. Para pihak menyerahkan persengketaannya secara sukarela kepada orangorang (badan) yang dipercaya e. Didalam proses arbitrase pada hakekatnya terkandung perdamaian dan musyawarah f. BASYARNAS akan memberikan peluang bagi berlakunya hukum Islam sebagai pedoman penyelesaian perkara. BASYARNAS memiliki kekurangan-kekurangan, diantaranya: a) Kurangnya manajemen SDM yang ada sehingga masih harus berbenah diri agar dapat mengimbangi pesetnya perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia b) Belum sepenuhnya menjadi lembaga yang dipercaya masyarakat c) Keterbatasan jaringan kantor BASYARNAS di daerah d)Kurangnya sosialisasi kepada masyarakat dalam rangka penyebarluasan informasi dan meningkatkan pemahaman mengenai arbitrase syariah. 19 Perlindungan bagi nasabah sebagai konsumen tidak hanya melalui satusatunya hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen di Indonesia. Sebelum disahkannya Undang – Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pada dasarnya telah ada beberapa peraturan perundang-undangan yang materinya melindungi kepentingan konsumen antara lain: Pasal 202-205 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Ordonansi Bahanbahan Berbahaya (1949), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan. Lahirnya Undang – Undang Perlindungan Konsumen diharapkan menjadi payung 19
Effendi, Satria, 1994, Arbitrase Islam di Indonesia, Panembrana Batanghari, Jakarta. Halaman 11.
10
hukum di bidang konsumen dengan tidak menutup kemungkinan terbentuknya peraturan perundang-undangan lain yang materinya memberikan payung hukumnya. Adanya perlindungan hukum bagi nasabah sebagai konsumen dalam perjanjian kredit menjadi sangat penting karena secara faktual kedudukan antara para pihak (nasabah dengan bank) seringkali tidak seimbang. Perjanjian yang terjadi yaitu perjanjian kredit,dan yang seharusnya dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak, karena alasan efisiensi diubah menjadi perjanjian yang sudah dibuat oleh pihak yang mempunyai posisi tawar (bargaining position), yaitu dalam hal ini adalah pihak bank. Sehingga nasabah tidak mempunyai pilihan lain kecuali menerima atau menolak perjanjian yang dibuat oleh bank.20 Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah disebutkan Akad dilakukan berdasarkan asas: a. Ikhtiyari/sukarela: setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain. b. Amanah/menepati janji: setiap akad wajib dilakssanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar dari cidera-janji. c. Ikhtiyati/kehati-hatian: setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan dilaksanakan secara tepat dan cermat. d. Luzum/tidak berubah: setiap akad dilakukan dengan tujuan yang jelas dan perhitungan yang cermat, sehingga terhindar dari praktik spekulasi atau maisir. e. Saling menguntungkan: setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan para pihak sehingga tercegah dari praktik manipulasi dan merugikan salah satu pihak. f. Taswiyah/kesetaraan: para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang setara, dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang. g. Transparansi: setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak secara terbuka. h. Kemampuan: setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para pihak, sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan. i. Taisir/kemudahan: setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan. j. Itikad baik: akad dilakukan dalam rangka menegakkan kemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya. k. Sebab yang halal: tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum dan tidak haram.21
20
Sujianto. 2002, Hukum Perbankan dan Jaminan Syariah “Perlindungan Hukum bagi Nasabah Perbankan Syariah” , PT. Grafindo Persada, Jakarta. halaman 15. 21
Syamsul Anwar, 2007, Hukum Perjanjian Syariah Studi Tentang Teori Akad Dalam Fiqh Muamalah, Rajagrafindo Persada, Jakarta, halaman 98.
11
Setiap akad menimbulkan “hukum” dan hak-hak. Akibat hukum dari akad adalah tujuan akhir yang dimaksud oleh akad dan akibat dari pembuatan akad tersebut seperti peralihan milik dari penjual kepada pembeli. Hukum akad berlaku bagi pembuat akad, apabila ia berwenang untuk itu dan melakukan untuk dirinya sendiri, apabila melakukannya untuk orang lain menurut syariah, hukum akad berlaku bagi orang yang digantikannya sepanjang tidak ada halangan syariah. Berlakunya hukum akad tersebut sesudah terjadinya akad secara langsung, sepanjang tidak ada khiyar, apabila ada syarat khiyar, berlakunya diperpanjang sampai ada izin dari orang yang memiliki hak khiyar atau sampai gugurnya hak khiyar. Sedangkan hak-hak akad adalah akibat-akibat hukum yang tidak termasuk hukum akad, seperti hak penjual untuk menahan barang yang dijualnya selama belum dibayar harganya, hak pembeli untuk mengembalikan barang yang dibelinya apabila terdapat cacat, haknya untuk menuntut diserahkannya barangnya kepada penjual, kalau harganya telah diserahkannya apabila jual beli tersebut tunaI, dan haknya untuk menuntut balik harga yang diserahkan kepada penjual, apabila barang tersebut terbukti milik orang lain.22 Dengan adanya transaksi jual beli murabahah ini maka akad yang dilakukan antara bank dan nasabah berimplikasi kepada hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pihak Bank dan Nasabah, yaitu: 1) Bank berkewajiban menyediakan barang yang dibeli oleh nasabah baik dengan cara membelikan langsung atau meminta nasabah untuk membantu membelikan (wakalah) barang yang dibutuhkannya. 2) Bank berkewajiban menyerahkan barang tersebut pada saat akad sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan oleh nasabah. 3) Bank harus transparan mengenai harga beli sebenarnya barang tersebut. 4) Nasabah berkewajiban membayar kepada nasabah sebesar harga jual yang telah disepakati baik dengan cara tunai atau angsuran. 5) Nasabah dapat menolak/membatalkan jual beli sebelum ditandatanganinya akad pembiayaan. 6) Nasabah dapat memberikan uang muka kepada bank yang diperhitungkan sebagai pengurang harga beli dari bank. 7) Bank dapat meminta jaminan kepada nasabah untuk menjamin kelancaran pembayaran angsurannya.23 Murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati (lihat Pasal 1 angka 7 Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah).
22 23
Ibid . halaman . 98-99. Ibid . halaman. 111
12
Murabahah adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal (pemilik modal) dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur.24 Mengenai utang dalam Murabahah, ketentuan Bagian Keempat Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah mengatur sebagai berikut: 1.
2. 3.
Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada bank. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya. Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.25
Mengenai penyelesaian sengketa antara bank syariah, ketentuan Pasal 55 mengatur bahwa : 1. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. 2. Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad. 3. Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.26 Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU 21/2008 menguraikan sebagai berikut: Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut a) musyawarah b) mediasi perbankan c) melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d) melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. 24
lihat Pasal 20 angka 6 Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. 25 Sumber : www.mui.or.id. 26 Lihat UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
13
Berdasarkan Pasal 55 UU 21/2008, penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan di Pengadilan Agama. Pada prinsipnya, penyelesaian sengketa perbankan syariah tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.27 Di sisi lain, Pasal 55 ayat (2) UU 21/2008 memungkinkan dilakukannya penyelesaian sengketa tanpa berpedoman pada prinsip-prinsip syariah. Karena penyelesaian sengketa melalui peradilan umum dilakukan berdasarkan Hukum Acara Perdata, bukan prinsip-prinsip syariah. Begitu juga penyelesaian sengketa melalui mediasi perbankan yang berpedoman pada Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 Tahun 2006 tentang Mediasi Perbankan sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008.28 Hukum yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah akan tergantung pada lembaga yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Hal ini menimbulkan perdebatan, karena di satu sisi disebutkan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah, namun di sisi lainya dimungkinkan dilaksanakan penyelesaian sengketa tanpa berpedoman pada prinsip-prinsip syariah melalui peradilan umum, lembaga arbitrase, dan mediasi perbankan.29 Secara aplikatif Dewan Syari’ah Nasional telah mengeluarkan fatwa Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang transaksi murabahah untuk bank syari’ah di Indonesia sebagai berikut : a. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba. b. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariat Islam. c. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya. d. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus dan bebas riba. e. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang. f. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga plus keuntungannya. g. Dalam kaitan ini bank harus memberi tahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan. h. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati. i. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah. j. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank. 27
lihat Pasal 55 ayat (3) Undang-Undang 21 Tahun 2008. Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. 29 Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 Tahun 2006 tentang Mediasi Perbankan. 28
14
sumber dana yang digunakan, pembiayaan murabahah secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga kelompok : 1) Pembiayaan murabahah yang didanai dengan URIA (Unristrected Investment Account) = investasi tidak terikat). 2) Pembiayaan murabahah yang didanai dengan RIA (Ristrected Investment Account) = investasi terikat). 3) Pembiayaan murabahah yang didanai dengan Modal Bank.30 Lima transaksi yang lazim dipraktekan oleh perbankan syariah : 1. Transaksi yang tidak mengandung riba. 2. Transaksi yang ditujukan untuk memiliki barang dengan cara jual beli (murabahah). 3. Transaksi yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dengan cara sewa (ijarah). 4. Transaksi yang ditujukan untuk mendapatkan modal kerja dengan cara bagi hasil (mudharabah). 5. Transaksi deposito, tabungan, giro yang imbalannya adalah bagi hasil (mudharabah) dan transaksi titipan (wadiah).31 Murabahah berdasarkan pesanan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat nasabah untuk membeli barang yang dipesannya. Dalam murabahah pesanan mengikat pembeli tidak dapat membatalkan pesanannya. Apabila aktiva murabahah yang telah dibeli bank (sebagai penjual) dalam murabahah pesanan mengikat mengalami penurunan nilai sebelum diserahkan kepada pembeli maka penurunan nilai tersebut menjadi beban penjual (bank) dan penjual (bank) akan mengurangi nilai akad. Pembayaran murabahah dapat dilakukan secara tunai atau cicilan. Selain Itu, dalam murabahah juga diperkenankan adanya perbedaan dalam harga barang untuk cara pembayaran berbeda. Bank dapat memberikan potongan apabila nasabah : a. Mempercepat pembayaran cicilan; atau b. Melunasi piutang murabah sebelum jatuh tempo Harga yang disepakati dalam murabahah adalah harga jual sedangkan harga beli harus diberitahukan. Jika bank mendapatkan potongan dari pemasok, maka potongan itu merupakan hak nasabah. Apabila potongan tersebut terjadi setelah akad maka pembagian potongan harus dilakukan berdasarkan perjanjian yang dimuat dalam akad. Bank dapat meminta nasabah menyediakan agunan atas piutang murabahah, antara lain dalam bentuk barang yang telah dibeli dari bank.
30 31
Ibid . halaman. 123
Adji waluyo pariyatno. 2007,Perbankan Syariah, Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah, Halaman 12.
15
Jakarta,
2. Perlindungan hukum terhadap nasabah pembiayaan akad murabahah di bank BPD kaltim syariah Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 10 Februari 1999 membentuk sebuah dewan yang disebut Dewan Syari’ah Nasional (DSN) yang telah mengeluarkan lebih dari 40 fatwa yang menyangkut berbagai jenis kegiatan keuangan, produk, dan jasa keuangan syari’ah. Fatwa DSN pertama yang dikeluarkan adalah No. 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro tanggal 26 Dzulhijjah 1420 H atau 1 April 2000 M, yang memutuskan bahwa giro yang tidak dibenarkan secara syari’ah yaitu giro yang berdasarkan perhitungan bunga, kemudian No 02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan tanggal 26 Dzulhijjah 1420 H atau 1 April 2000 M, yang memutuskan bahwa tabungan yang tidak dibenarkan secara syari’ah yaitu tabungan yang berdasarkan perhitungan bunga, dan No. 03/DSNMUI/IV/2000 tentang Deposito tanggal 26 Dzulhijjah 1420 H atau 1 April 2000M, yang memutuskan bahwa deposito yang tidak dibenarkan secara syari’ah yaitu deposito yang berdasarkan perhitungan bunga, namun ketiga fatwa tersebut belum mengundang reaksi dari masyarakat.32 Murabahah bersifat amanah (kepercayaan) dimana pembeli mempercayai perkataan penjual tentang harga pertama tanpa ada bukti dan sumpah. Dalam hal ini penjual dalam memberikan informasi kepada pembeli tentang biaya-biaya yang dikeluarkan yang merupakan harga pokok pembelian, dan tambahan keuntungan, tidak disertai dengan bukti pembelian. 33 Dalam jual beli murabahah ini kejujuran penjual sangat penting sebagaimana tersebut dalam QS. Al-Anfal (8) ayat 27 yang berbunyi sebagai berikut: تعلمــــون وأنتــــم أمنتكـــــم وتخونــــوا آ< التخونـــــوا ءامنــوا نیالــذ ھایأی Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanatamanat yang sedang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”34 Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah s.a.w. bersaba : قــال ھیاب عن بیصـــھ بــن صـــالح عن٫ ھیعل ﷲ صــل ﷲ رسول قــال بــا الــــبر واخالط والمقارضـــــة اجل ا لى عیالــب البركــــة ھنیف ث ثــــال وســـلم عیللـــب ال تیللـــب ریعیلــش Artinya : Dari Suhaib r.a. bahwa rasulullah s.a.w. bersabda : “Tiga hal yang di dalamnya terapat keberkahan, jual beli secara tangguh (murabahah), muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk kepentingan rumah bukan untuk diperjual belikan.35
32
Wiroso, 2005, Jual Beli Murabahah, Ctk.Pedrtama, UII Press, Yogyakarta, halaman 64. Wiroso, op.cit., halaman 13. 34 Departeman Agama RI, 1999, Al-Qur’an dan Terjemahannya, CV.Asy-Syifa’, Semarang, halaman.264. 35 Ibnu Majah, 2007, Sunan Ibnu Majah dalam Kitab At-Tijarah, juz 2, ttp., halaman. 768 33
16
Dalam perkembangan tentang perbankan syariah yang terjadi di Indonesia, khususnya dalam hal perlindungan hukum bagi nasabah–nasabah Bank Syariah, keberadaan Undang – undang syariah tidak secara tegas mengatur perlindungan hukum bagi nasabahnya. Sebagaimana disebut di atas bahwa peraturan hukum yang memberikan perlindungan bagi nasabah sebagai konsumen tidak hanya melalui bukan satu-satunya hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen di Indonesia. Sebelum disahkannya Undang – Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pada dasarnya telah ada beberapa peraturan perundangundangan yang materinya melindungi kepentingan konsumen antara lain: Pasal 202205 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Ordonansi Bahan-bahan Berbahaya (1949), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan. Lahirnya Undang – Undang Perlindungan Konsumen diharapkan menjadi payung hukum di bidang konsumen dengan tidak menutup kemungkinan terbentuknya peraturan perundang-undangan lain yang materinya memberikan payung hukumnya. Adanya perlindungan hukum bagi nasabah sebagai konsumen dalam perjanjian kredit menjadi sangat penting karena secara faktual kedudukan antara para pihak (nasabah dengan bank) seringkali tidak seimbang. Perjanjian yang terjadi yaitu perjanjian kredit,dan yang seharusnya dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak, karena alasan efisiensi diubah menjadi perjanjian yang sudah dibuat oleh pihak yang mempunyai posisi tawar (bargaining position), yaitu dalam hal ini adalah pihak bank. Sehingga nasabah tidak mempunyai pilihan lain kecuali menerima atau menolak perjanjian yang dibuat oleh bank.36 Adanya klausula-klausula dalam perjanjian kredit pada bank sepatutnya merupakan upaya kemitraan, karena baik bank selaku kreditur maupun nasabah debitur kedua-duanya saling membutuhkan dalam upaya mengembangkan usahanya masing-masing. Klausula yang demikian ketatnya didasari oleh sikap bank untuk melaksanakan prinsip kehati–hatian dalam pemberian kredit bagi nasabahnya. Dalam memberikan perlindungan terhadap nasabah debitur perlu kiranya peraturan tentang perkreditan direalisasikan sehingga dapat dijadikan panduan dalam pemberian kredit.37 Dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi nasabah Bank Syariah dalam perjanjian kredit, Undang–Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, mencantumkan berbagai klausula baku yang antara lain, pasal 18 Undang – Undang Perlindungan Konsumen, ketentuan pada ayat (1) huruf g, yakni “ bahwa bank menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya”. Klausula baku dalam pasal 18 ayat (1) huruf g ini sesuai dengan perjanjian kredit antara pihak nasabah dengan bank. Selain ketentuan dalam klausula baku dalam Undang – Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dalam memberikan perlindungan hukum bagi nasabah dalam perjanjian kredit ini, perlu juga adanya perjanjian standart yang isinya antara lain :
36 37
http : // www.bankaltim. co.id /.html. di akses pada Sabtu 8 Desember 2012 jam 16.13 WITA. Subekti, R. 1995. Aneka perjanjian . PT. Citra Aditya Bakti : Bandung , halaman 132-133.
17
1).Memberikan peringatan secukupnya kepada para nasabahnya akan adanya dan berlakunya klausula – klausula yang penting dalam suatu perjanjian; 2).Pemberitahuan klausula dilakukan sebelum atau pada saat penandatanganan perjanjian kredit; 3).Klausula perjanjian dirumuskan dalam kata-kata dan kalimat yang jelas 4).Memberikan kesempatan yang cukup bagi debitur untuk mengetahui isi perjanjian. Dengan kerjasama yang baik antara pihak bank dengan nasabah, khususnya dalam hal adanya perjanjian standar mengenai kredit, maka diharapkan akan lebih mengoptimalkan perlindungan hukum bagi nasabah, sehingga dapat meminimalisasi masalah yang berkepanjangan di kemudian hari.38 Penutup Dilihat dari penjelasan diatas bahwa dengan adanya Lembaga Keuangan Syariah, khususnya Bank Syariah yang mendasari prinsip operasionalnya berdasarkan syariah Islam, maka pemberlakuan hukum Syariah melekat pada lembaga tersebut. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa dalam Perbankan Syariah juga berbeda dengan penyelesaian sengketa dalam Perbankan Konvensional. Sehingga pemerintah mengeluarkan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang menetapkan kewenangan lembaga Peradilan Agama untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara di bidang ekonomi Syariah. Namun demikian, penyelesaian sengketa ekonomi syariah di luar pengadilan tetap dan masih dibutuhkan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini melalui lembaga arbitrase syariah, Basyarnas (Badan Arbitrase Syariah Nasional). Adapun saran untuk Perlindungan nasabah agar diberikan sejak dini yakni adanya informasi keberadaan bank syariah secara informative, sehingga dalam berkompetensi dengan bank lainnya akan mendapatkan posisi yang lebih baik. Perlindungan sejak dini dapat berjalan dengan baik dengan memberikan informasi yang kredibilitasnya dapat dipertanggung jawabkan dari segala aspek mendorong dan memotivasi pemerintah untuk mengembangkan dunia perbankan syariah dengan memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat.
38
Sujianto. 2006, Hukum perbankan dan jaminan syariah “Perlindungan Hukum bagi
perbankan syariah , intermas, Jakarta , halaman 15.
18
nasabah
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Antonio Syafi’i Muhammad, 2006, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani Press dan Tazakia Cendikia, Jakarta. Anwar Syamsul, 2007, Hukum Perjanjian Syariah Studi Tentang Teori Akad Dalam Fiqh Muamalah, Rajagrafindo Persada, Jakarta. Karim A. Adiwarman A, 2006, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Saeed Abdullah, 1996, Menyoal Bank Syari’ah, Paramadina, Jakarta. Santoso AZ Lukman, 2011, Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah dan Bank, Pustaka Yustisia, Yogyakarta. Subekti, R. 1995, Aneka perjanjian . PT. Citra Aditya Bakti : Bandung. Sumitro Warkum, 2004, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembanga-lembaga Terkait. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Ulama Ushul Fiqh, 2006 Rukun Dan Syarat Aqad Murabahah dan Ijarah Mutahiya Bi AlTamlik , Jakarta. Widjaja Gunawan dan Yani Ahmad, 2000, Hukum Arbitrase, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada), Jakarta. Wiroso, 2005, Jual beli Murabahah dan Akuntasi Syariah Indonesia, UII Press, yogjakarta. B. Peraturan Perundang-undangan Al-Quran dan terjemahannya. Hadist dan terjemahannya. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun tentang Perbankan. Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Sentral. Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Bank Perbankan Syariah. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah. Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 Tahun 2006 tentang Mediasi Perbankan.
19
C. Dokumen Hukum, Hasil Penelitian, dan tesis Yuliarty Mary (2000) Tinjauan menurut UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 . skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Samarinda . Rudi Hermawan (2011) Pembiayaan murabahah di bank syariah dan Langkah-langkah
pembelian barang dengan media “akad wakalah” dengan memberikan kuasa kepada nasabah. Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Islam Negeri, Sunan
Kalijaga, Yogjakarta.
D. Artikel Jurnal Ilmiah, Artikel Koran, Artikel Internet, dan Makalah Seminar Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Ibnu Majah menjelaskan dan Majalah Pengusaha Muslim Edisi 6 Volume 1 Tanggal 15 Juni 2010. Veithzal Rivai, Seputar Hukum Peradilan (murabahah dalam hukum islam). Html. Di askes pada hari rabu 12 desember 2012 jam 17.00 WITA. Sujianto. Hukum perbankan dan jaminan syariah “Perlindungan Hukum bagi nasabah perbankan syariah “ di akses pada hari rabu 5 desember 2012 jam 20.30 WITA. Lihat Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/14/DPNP tanggal 1 juni 2006 www.mui.or.id. NJ. Coulson, 1991, a History of Islamic Law, (Edinburg: University Press). Jakarta
20