Logika Jurnal Ilmiah Lemlit Unswagati Vol. XI No.2 Hal 56-67 Edisi Agustus 2014 ISSN: 216848995
TINGKATAN BERPIKIR GEOMETRI VAN HIELE Muchamad Subali Noto Universitas Swadaya Gunung Djati, Cirebon
ABSTRAK Peningkatan tingkat pemikiran geometri siswa sebagai salah satu tujuan utama dari pendidikan matematika sejak pemikiran geometri merupakan sesuatu yang sangat penting dibanyak bidang ilmiah, teknis. Bagaimanapun, geometri sering diabaikan di sekolah khususnya di tahapan dasar. Padahal, menurut Van Hiele, proses perkembangan dari tahap yang satu ke tahap berikutnya terutama tidak ditentukan oleh umur atau kematangan biologis, tetapi lebih bergantung pada pengajaran dari guru dan proses belajar yang dilalui siswa. Menurut van Hiele, dalam belajar geometri perkembangan berpikir siswa terjadi melalui 5 tingkat , yaitu: tingkat 0 (Visualisasi), tingkat 1 (Analisis), tingkat 2 (Abstraksi), tingkat 3 (Deduksi), dan tingkat 4 (Rigor). Karakteristik umum dari “level” Van Hieles adalah (1) level tersebut tersusun secara berurutan, (2) setiap level mempunyai bahasa, simbol-simbol, jaringan hubungannya sendiri, (3) sesuatu yang implisit pada satu level kemudian menjadi eksplisit pada level berikutnya, (4) materi yang diajarkan kepada siswa yang berada diatas level mereka adalah hal yang akan direduksi oleh pengadaan level tersebut, (5) progres dari satu level ke level berikutnya lebih bergantung pada pengalaman belajar daripada umur atau kedewasaan, dan (6) setiap orang melalui tahapan-tahapan yang berbeda dalam melewati dari satu level ke level berikutnya. Kata Kunci: Geometri, Tingkatan berpikir Van Hiele lapangan. Akibatnya, sampai saat ini kualitas pembelajaran matematika di Indonesia masih rendah (Soedjadi, 1999: 1). Selama ini berdasarkan pengalaman dan pengamatan, pembelajaran matematika di berbagai sekolah, masih menggunakan pendekatan tradisional atau konvensional. Pembelajaran di kelas hampir selalu dilaksanakan dengan urutan sajian: (1) diajarkan teori/definisi/teorema melalui pemberitahuan, (2) diberikan dan dibahas contoh-contoh, kemudian (3) diberikan latihan soal. Soedjadi (1999: 1), menyatakan mengingat bahwa perkembangan intelektual siswa umumnya bergerak dari konkrit ke abstrak, kiranya urutan penyajian tersebut di atas kurang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pembelajaran merupakan salah satu proses penting dalam pencapaian keberhasilan siswa. Berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika telah banyak dilakukan, baik oleh pemerintah maupun oleh berbagai pihak yang peduli terhadap pembelajaran matematika sekolah. Berbagai upaya tersebut antara lain dalam bentuk: (1) penataran guru, (2) kualifikasi pendidikan guru, (3) pembaharuan kurikulum, (4) penerapan model atau metode pembelajaran baru, (4) penelitian tentang kesulitan dan kesalahan siswa dalam belajar matematika. Namun berbagai upaya tersebut belum mencapai hasil yang optimal, karena berbagai kendala di
56
Logika Jurnal Ilmiah Lemlit Unswagati Vol. XI No.2 Hal 56-67 Edisi Agustus 2014 ISSN: 216848995
tepat. Sehingga perlu dipikirkan secara mendalam tentang urutan sajian dalam pembelajaran matematika yang sesuai dengan perkembangan kognitif siswa. Di samping itu, selama ini guru cenderung mengajarkan matematika secara simbolis/abstrak yang bertentangan dengan perkembangan kognitif siswa dan kurang memanfaatkan lingkungan siswa sebagai sumber belajar. Perhatian guru lebih terpusat kepada hasil belajar, sehingga kurang memperhatikan proses belajar siswa. Untuk mengejar target kurikulum, guru tidak memberikan waktu yang cukup kepada siswa untuk terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Akibatnya guru yang aktif dalam pembelajaran, sedangkan siswa menjadi pendengar dan penerima informasi dari guru secara pasif. Hal itu jelas bertentangan dengan psikologi kognitif yang saat ini banyak disarankan oleh para ahli untuk dilaksanakan dalam pembelajaran. Menurut teori ini bahwa ilmu pengetahuan itu tidak dapat dipindahkan dari guru kepada siswa, melainkan harus dibangun sendiri oleh siswa melalui kegiatan aktif dalam belajar. Pembelajaran yang berpusat pada kemampuan belajar siswa tentang daftar definisi dan sifat-sifat bentuk. Pemusatan ini dibimbing ke arah yang salah. Sebagai gantinya menghafalkan sifat-sifat dan definisi, siswa harus mengembangkan konsep geometri bermakna secara personal dan cara–cara penalaran yang memungkinkan mereka untuk menganalisis secara hati-hati soal-soal mengenai ruang dan situasi. Hal terpenting dalam mengajarkan geometri di sekolah dasar dan menengah mencakup pengembangan pengetahuan, pemahaman, dan penggunaan sifat-sifat geometrik dan teorema serta mendorong pengembangan dan penggunaan dugaan penalaran deduktif dan pembuktian (Brown et al. 2003). Petunjuk–petunjuknya harus mengarahkan pada peningkatan tingkat pemikiran siswa.
Sekarang ini, deskripsi terbaik dari pemikiran siswa tentang bentuk dimensi dua adalah tingkatan pemikiran geometri Van Hiele (Brown et al. 2003). Tingkatan berpikir geometri Van Hiele yaitu visualisasi, analisis, abstraksi, deduktif formal, dan rigor. Tingkat keempat dan kelima dati teori Van hiele adalah deduksi formal dan rigor. Tahap – tahap ini tidak sering bisa dicapai pada sekolah dasar (Olkun et al. 2003). Menurut Van Hiele, semua anak mempelajari geometri dengan melalui tahap-tahap tersebut, dengan urutan yang sama, dan tidak dimungkinkan adanya tingkat yang diloncati. Akan tetapi, kapan seseorang siswa mulai memasuki suatu tingkat yang baru tidak selalu sama antara siswa yang satu dengan siswa yang lain. Peningkatan tingkat pemikiran geometri siswa adalah salah satu tujuan utama dari pendidikan matematika sejak pemikiran geometri adalah sesuatu yang sangat penting di banyak bidang ilmiah, teknis, dan jabatan sebaik dalam matematika. Bagaimanapun, geometri sering diabaikan di sekolah khususnya di tahapan dasar. Padahal, menurut Van Hiele, proses perkembangan dari tahap yang satu ke tahap berikutnya terutama tidak ditentukan oleh umur atau kematangan biologis, tetapi lebih bergantung pada pengajaran dari guru dan proses belajar yang dilalui siswa. Guru dalam pembelajaran juga sering melupakan kemampuankemampuan matematika yang seharusnya dimiliki siswa. Menurut Kwang (2002) dalam pendidikan matematika, yang kita perhatikan adalah bahwa siswa seharusnya memperoleh kemampuan atau teknik yang kita identifikasi sebagai doing mathematics atau berpikir matematis. Kemampuankemampuan matematika sesuai dengan yang disebutkan NCTM (2000) adalah problem solving (kemampuan pemecahan masalah), reasoning and proof (kemampuan penalaran), communication 57
Logika Jurnal Ilmiah Lemlit Unswagati Vol. XI No.2 Hal 56-67 Edisi Agustus 2014 ISSN: 216848995
(kemampuan komunikasi), connection (kemampuan koneksi), dan representasi (kemampuan representasi). Kemampuan representasi matematika siswa merupakan salah satu kemampuan penting yang dikembangkan dalam matematika. 1.2 Rumusan Masalah Masalah yang dirumuskan pada makalah ini adalah “Bagaimana tahaptahap dalam tingkatan berpikir Van Hiele?” 1.3 Tujuan Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tahap-tahap dalam tingkatan berpikir Van Hiele. II. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pembelajaran Matematika Dalam proses pengajaran, unsur proses belajar memegang peranan yang vital. Menurut Winkel (1986: 14), belajar pada manusia merupakan suatu proses psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif subyek dengan lingkungannya. Belajar menghasilkan perubahanperubahan dalam pengetahuanpemahaman, ketrampilan, nilai sikap yang bersifat konstan/menetap. Perubahanperubahan itu dapat berupa sesuatu yang baru, yang segera tampak dalam perilaku yang nyata, atau mungkin hanya berupa penyempurnaan terhadap apa yang dimiliki sebelumnya. Belajar menurut Slameto (2003: 2) adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Belajar bukanlah suatu tujuan tetapi merupakan suatu proses untuk mencapai tujuan. Burton (dalam Hamalik 2008: 31) menyatakan bahwa proses belajar adalah pengalaman, berbuat, mereaksi, dan melampaui (under going). Proses itu melalui bermacam-macam ragam pengalaman dan mata pelajaran-mata pelajaran yang terpusat pada suatu tujuan tertentu. Proses belajar berlangsung secara
efektif apabila pengalaman-pengalaman dan hasil-hasil yang diinginkan disesuaikan dengan kematangan siswa. Bukti seseorang telah belajar ialah terjadinya perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti. Tingkah laku manusia terdiri dari sejumlah aspek, antara lain pengetahuan, pengertian, kebiasaan, keterampilan, apresiasi, emosional, hubungan sosial, jasmani, etika, dan sikap. Hasil belajar akan tampak pada setiap perubahan pada aspek-aspek tersebut (Hamalik 2008: 30). Proses belajar dan mengajar matematika dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya faktor peserta didik dan pengajar (guru). Menurut Hudojo (1988: 6) belajar matematika akan berhasil bila proses belajarnya baik yaitu melibatkan intelektual peserta didik secara optimal. Peristiwa belajar akan bisa tercapai secara optimal bila faktor-faktor yang mempengaruhinya dikelola dengan sebaikbaiknya. Kegagalan atau keberhasilan belajar sangat tergantung kepada peserta didik, yaitu menyangkut kesiapan dan kemampuan peserta didik untuk mengikuti kegiatan belajar matematika. Lebih lanjut Hudojo (1988: 7) menyatakan bahwa kemampuan pengajar (guru) dalam menyampaikan matematika dan sekaligus menguasai materi yang diajarkan sanggat mempengaruhi terjadinya proses belajar. Seorang pengajar matematika yang tidak menguasai materi matematika, tidak mungkin dapat mengajar dengan baik. Demikian juga seorang pengajar yang tidak menguasai berbagai cara penyampaian, ia hanya akan mengejar terselesaikannya bahan yang diajarkan tanpa memperhatikan kesiapan dan kemampuan peserta didik. Ditegaskan oleh Mulyasa (2008: 78) bahwa mengadakan variasi mengajar juga merupakan keterampilan yang harus dimiliki guru dalam pembelajaran untuk 58
Logika Jurnal Ilmiah Lemlit Unswagati Vol. XI No.2 Hal 56-67 Edisi Agustus 2014 ISSN: 216848995
mengatasi kebosanan. Variasi dalam pembelajaran ditujukan untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar peserta didik. Variasi dalam kegiatan pembelajaran dapat berupa variasi gaya mengajar, variasi penggunaan media, variasi pola interaksi dan variasi dalam penggunaan metode/pendekatan. 2.2 Hasil Belajar dan Pembelajaran Menurut Degeng (dalam Wena 2009: 6), hasil pembelajaran adalah semua efek yang dapat dijadikan indikator tentang nilai dari penggunaan strategi pembelajaran di bawah kondisi yang berbeda. Hasil pembelajaran dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu (1) keefektifan (effectiveness), (2) efisiensi (efficiency), (3) daya tarik (appeal). Selanjutnya Wena (2009: 6) berpendapat bahwa keefektifan pembelajaran diukur dari tingkat pencapaian siswa, efisiensi pembelajaran diukur dengan perbandingan antara keefektifan dan jumlah waktu/biaya, dan daya tarik pembelajaran diukur dengan mengamati kecenderungan siswa untuk tetap dan terus belajar Sedangkan Gagne (dalam Hudojo 1988: 29) membagi hasil belajar menjadi lima kategori, yaitu : a. Informasi Verbal, yaitu kecapakan untuk mengkomunikasikan secara verbal pengetahuannya tentang faktafakta. Belajar informasi verbal berarti individu dapat menyatakan secara proporsional fakta-fakta yang telah dipelajarinya. b. Keterampilan intelektual, yaitu kapabilitas untuk membuat diskriminasi, menguasai konsep dan aturan serta memecahkan masalah. Belajar ketrampilan intelektual berarti belajar memahami bagaimana terjadinya sesuatu. c. Strategi kognitif, yaitu kecapakan untuk mengelola dan mengembangkan proses berpikir dengan cara merekam, membuat analisis dan sintesis. Belajar strategi kognitif berarti individu
berpikir tentang apa yang telah ia pelajari dan bagaimana memecahkan masalah. d. Sikap, yaitu kecenderungan untuk merespon secara ajeg terhadap stimulus, berdasarkan penilaian terhadap stimulus itu. e. Keterampilan motorik, yaitu kecakapan yang dicerminkan oleh adanya kecepatan, ketepatan dan kelancaran gerak otot-otot dan anggota badan. Keterampilan motorik paling banyak dicapai melalui latihan berulang-ulang. Kelima kategori di atas, menurut Hodojo (1988: 40) sebenarnya menggambarkan tiga aspek hasil belajar yaitu aspek kognitif (informasi verbal, ketrampilan intelektual, dan strategi kognitif), aspek afektif (sikap), dan aspek psikomotorik (keterampilan motorik). Ketiga aspek tersebut akan muncul sebagai hasil belajar manakala siswa telah mengalami proses belajar. Untuk bisa mengetahui sejauh mana hasil belajar telah dicapai siswa diperlukan penilaian hasil belajar. Penilaian hasil belajar adalah kegiatan yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana proses belajar dan pembelajaran telah berjalan secara efektif. Keefektifan pembelajaran tampak pada kemampuan siswa mencapai tujuan belajar yang telah ditetapkan. Dari segi guru, penilaian hasil belajar akan memberikan gambaran mengenai keefektifan mengajarnya, apakah pendekatan dan media yang digunakan mampu membantu siswa mencapai tujuan belajar yang ditetapkan. Dari segi siswa, tes hasil dapat memberikan informasi sampai dimana penguasaan dan kemampuan yang telah dicapai siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran tersebut. 2.3 Teori Belajar Pendukung Menurut Ausubel dalam Hudojo (1988) belajar dikatakan menjadi bermakna bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai 59
Logika Jurnal Ilmiah Lemlit Unswagati Vol. XI No.2 Hal 56-67 Edisi Agustus 2014 ISSN: 216848995
dengan struktur kognitif siswa sehingga siswa dapat mengaitkan pengetahuan barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Ausubel juga mengemukakan belajar dengan penemuan yang bermakna, yaitu informasi yang dipelajari, ditentukan bebas oleh siswa. siswa tersebut kemudian menghubungkan pengetahuan baru itu dengan struktur kognitif yang dimiliki. Misalnya siswa diminta menemukan sifatsifat suatu persegi. Dengan mengaitkan pengetahuan yang sudah dimiliki, seperti sifat-sifat persegi panjang, siswa dapat menemukan sendiri sifat-sifat persegi tersebut. Menurut Ausubel pembelajaran yang efektif menghasilkan kegiatan belajar yang bermakna apabila memenuhi dua syarat: 1. Siswa memiliki meaningfull learning set, yaitu sikap mental yang mendukung terjadinya kegiatan belajar bermakna. Contohnya siswa betul-betul mempunyai keinginan yang kuat untuk memahami hal-hal yang akan dipelajari. 2. Materi yang akan dipelajari atau tugas yang akan dikerjakan siswa (learning task) adalah materi atau tugas yang bermakna bagi siswa. Artinya, materi atau tugas tersebut terkait dengan struktur kognitif pada saat itu telah dimiliki siswa, sehingga siswa dapat mengasimilasikan pengetahuanpengetahuan baru yang dipelajari itu ke dalam struktur kognitif yang dimiliki siswa. Belajar bermakna akan terjadi apabila ada keinginan siswa untuk memahami hal-hal yang akan dipelajari serta keterkaitan materi dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Menurut Bruner dalam Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama (2004:7), belajar merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru di luar informasi yang diberikan kepada dirinya. Jadi, proses
belajar merupakan proses aktif seseorang untuk menemukan suatu informasi. Hasil belajar merupakan penemuan suatu yang baru di luar informasi yang diberikan kepada dirinya. Menurut Vygotsky dalam Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama (2004:22), proses belajar akan terjadi secara efisien dan efektif apabila siswa belajar secara kooperatif dengan siswa lain, suasana lingkungan yang mendukung, dalam bimbingan seseorang yang lebih mampu atau lebih dewasa. Hasil belajar merupakan perkembangan kemampuan kognitif siswa dan interaksi sosial siswa dengan orang lain. 2.3 Tingkatan Berpikir Geometri Van Hiele Pengalaman dari para guru matematika di sekolah menengah (baik SMP maupun SMA) menunjukkan bahwa banyak siswa mengalami kesulitan dalam belajar geometri, khususnya dalam melakukan pembuktian formal. Apa sebenarnya penyebab dari kesulitan tersebut? Selama periode 1930 sampai 1950, beberapa pendidik matematika dan psikolog dari Soviet mengkaji pembelajaran geometri dan mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut. Wirszup (1976) misalnya, melaporkan bahwa: This very significant research has influenced the improvement in the teaching of geometry only slightly. The truly radical change and far-reaching innovations in the Soviet geometry curriculum have, in fact, been introduced thanks to Russian research inspired by two Western psychologists and educators. Orang pertama yang dimaksud adalah Jean Piaget dan kedua adalah P.M. van Hiele, seorang pendidik berkebangsaan Belanda, yang meneliti tentang peranan intuisi dalam belajar geometri menarik perhatian orang-orang Soviet setelah dia mengirim makalah berjudul “La pensee de l’enfant et la 60
Logika Jurnal Ilmiah Lemlit Unswagati Vol. XI No.2 Hal 56-67 Edisi Agustus 2014 ISSN: 216848995 geometrie” pada konferensi pendidikan matematika di Sevres, Prancis pada tahun 1957. Pendekatan yang digunakan dalam mengajarkan geometri biasanya cenderung berbeda dengan materi matematika lain, dimana siswa diperkenalkan tentang belajar dengan menggunakan sistem matematika (melalui penggunaan berbagai macam postulat atau aksioma, teorema, definisi dan mengerjakan dengan pembuktian) dan pada saat yang sama siswa juga belajar tentang materi geometri itu sendiri. Oleh karena itu, meskipun materi geometri tersebut masih sangat mendasar, materi tersebut tetap diajarkan secara abstrak. The Van Hiele level theory, yang dikembangkan oleh dua orang pendidik matematika asal Belanda pada tahun 1950an, telah digunakan untuk menjelaskan mengapa banyak siswa kesulitan dalam proses kognitif tingkat tinggi, khususnya pembuktian, yang merupakan hal yang sangat penting dalam mencapai keberhasilan dalam belajar geometri. Apa yang saat ini dikenal sebagai The Van Hiele level theory (Teori Level Van Hiele) dikembangkan oleh Dina Van Hiele-Geldof dan suaminya Pierre Marie Van Hiele di dalam disertasi mereka yang berbeda yang ditulis saat belajar di University of Utrecht (Universitas Utrecht) pada tahun 1957. Dina kemudian meninggal dunia tidak lama setelah menyelesaikan disertasinya, lalu Pierre yang kemudian menjelaskan dengan lengkap tentang teori tersebut. Pada tahun 1958–1959, Pierre menulis tiga buah makalah (dua ditulis dalam Bahasa Inggris, satu ditulis dalam Bahasa Belanda yang kemudian di terjemahkan ke dalam Bahasa Perancis) yang tidak terlalu terkenal di dunia barat, tetapi diaplikasikan dalam pengembangan kurikulum oleh akademisi dari Soviet, Pyshkalo pada tahun 1968. Freudenthal, pembimbing Van Hiele, kemudian mempublikasikan teori tersebut
di dalam bukunya yang terkenal Mathematics as an Educational Task pada tahun 1973. Melalui Freundenthal dan akademisi Soviet, teori van Hiele kemudian menarik perhatian Wirszup, yang merupakan orang pertama yang berbicara di depan publik tentang teori tersebut di kawasan Atlantik pada tahun 1974 dan kemudian mempublikasikannya pada tahun 1976. Makalah yang ditulis oleh Wirszup tentang teori tersebut kemudian melahirkan berbagai macam karya lain. Hoffer, orang yang pernah menulis buku teks sekolah tentang geometri pada tahun 1979 yang menghabiskan banyak waktu dalam menuliskan pembuktian, datang menemui Van Hiele di Belanda, menemukan kesamaan pemikiran, dan menulis tentang teori level Van Hiele tersebut pada tahun 1981. Dua proyek lain (dikerjakan oleh Burger dan Geddes pada tahun 1981) yang mengkaji tentang aspek-aspek dari teori tersebut mendapatkan pendanaan dan juga sebuah disertasi yang kemudian mengujicoba aspek tersebut dikerjakan oleh Mayberry juga pada tahun 1981. Dua tokoh pendidikan matematika dari Belanda, yaitu Pierre Van Hiele dan isterinya, Dian Van Hiele-Geldof, pada tahun-tahun 1957 sampai 1959 mengajukan suatu teori mengenai proses perkembangan yang dilalui siswa dalam mempelajari geometri. Dalam teori yang mereka kemukakan, mereka berpendapat bahwa dalam mempelajari geometri para siswa mengalami perkembangan kemampuan berpikir melalui tahap-tahap tertentu. Tingkatan berpikir atau tingkat kognitif yang dilalui siswa dalam pembelajaran geometri, menurut Van Hiele (dalam Genz, 2006) adalah sebagai berikut. Level 0. Tingkat Visualisasi Tingkat ini disebut juga tingkat pengenalan. Pada tingkat ini, siswa memandang sesuatu bangun geometri 61
Logika Jurnal Ilmiah Lemlit Unswagati Vol. XI No.2 Hal 56-67 Edisi Agustus 2014 ISSN: 216848995
sebagai suatu keseluruhan. Pada tingkat ini siswa belum memperhatikan komponenkomponen dari masing-masing bangun. Dengan demikian, meskipun pada tingkat ini siswa sudah mengenal nama sesuatu bangun, siswa belum mengamati ciri-ciri dari bangun itu. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa tahu suatu bangun bernama persegipanjang, tetapi ia belum menyadari ciri-ciri bangun persegipanjang tersebut.
sama panjang. Di samping itu pada tingkat ini siswa sudah memahami perlunya definisi untuk tiap-tiap bangun. Pada tahap ini, siswa juga sudah bisa memahami hubungan antara bangun yang satu dengan bangun yang lain. Misalnya pada tingkat ini siswa sudah bisa memahami bahwa setiap persegi adalah juga persegipanjang, karena persegi juga memiliki ciri-ciri persegi panjang. Level 3. Tingkat Deduksi Formal Pada tingkat ini siswa sudah memahami peranan pengertian-pengertian pangkal, definisi-definisi, aksiomaaksioma, dan terorema-teorema dalam geometri. Pada tingkat ini siswa sudah mulai mampu menyusun bukti-bukti secara formal. Ini berarti bahwa pada tingkat ini siswa sudah memahami proses berpikir yang bersifat deduktif-aksiomatis dan mampu menggunakan proses berpikir tersebut.
Level 1. Tingkat Analisis Tingkat ini dikenal sebagai tingkat deskriptif. Pada tingkat ini siswa sudah mengenal bangun-bangun geometri berdasarkan ciri-ciri dari masing-masing bangun. Dengan kata lain, pada tingkat ini siswa sudah terbiasa menganalisis bagianbagian yang ada pada suatu bangun dan mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut. Sebagai contoh, mereka dapat dengan mudah memilih bangun geometri yang sesuai di antara yang lain jika sebuah bangun digambarkan dengan sepasang sisi-sisinya sejajar (Halat dan Sahin, 2008).
Level 4. Tingkat Rigor Tingkat ini disebut juga tingkat metamatematis. Pada tingkat ini, siswa mampu melakukan penalaran secara formal tentang sistem-sistem matematika termasuk sistem-sistem geometri didalamnya, tanpa membutuhkan modelmodel yang konkret sebagai acuan. Pada tingkat ini, siswa memahami bahwa dimungkinkan adanya lebih dari satu geometri. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa menyadari bahwa jika salah satu aksioma pada suatu sistem geometri diubah, maka seluruh geometri tersebut juga akan berubah. Sehingga, pada tahap ini siswa sudah memahami adanya
Level 2. Tingkat Abstraksi Tingkat ini disebut juga tingkat pengurutan atau tingkat relasional. Pada tingkat ini, siswa sudah bisa memahami hubungan antar ciri yang satu dengan ciri yang lain pada sesuatu bangun. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa jika pada suatu segiempat sisi-sisi yang berhadapan sejajar, maka sisi-sisi yang berhadapan itu 62
Logika Jurnal Ilmiah Lemlit Unswagati Vol. XI No.2 Hal 56-67 Edisi Agustus 2014 ISSN: 216848995 sudut 3600. Contoh yang lain seorang anak yang berada paling tinggi pada tahap kedua atau tahap analisis, tidak mengerti apa yang dijelaskan gurunya bahwa kubus itu adalah balok, belah ketupat itu laying-layang. Gurunya pun sering tidak mengerti mengapa anak yang diberi penjelasan tersebuttidak memahaminya. Menurut Van Hiele, seorang anak yang berada pada tingkat yang lebih rendah tidak akan mungkin dapat mengerti/memahami materi yang berada pada tingkat yang lebih tinggi darianak tersebut. Kalaupun dipaksakan maka anak tidak akan memahaminya tapi nanti bisa dengan melalui hafalan. 3. Untuk mendapatkan hasil yang diinginkan yaitu anak memahami geometri dengan pengertian, kegiatan belajar anak harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak itu sendiri, atau disesuaikan dengan tahap berpikirnya. Dengan demikiananak dapat memperkaya pengalaman dan cara berpikirnya, selain itu sebagai persiapan untuk meningkatkan tahap berpikirnya ke tahap yang lebih dari tahap sebelumnya. 2.4 Tahap-Tahap Belajar Geometri Menurut van Hiele Menurut pandangan van Hiele kecepatan seseorang melampaui tingkatan lebih banyak bergantung pada pembelajaran yang diperolehnya daripada umur atau kematangan biologis. Dengan demikian, metode dan pengorganisasian pembelajaran, isi dan materi yang digunakan merupakan daerah yang penting dalam pembelajaran. Secara khusus guru memainkan peran penting dalam mendorong kecepatan melampaui tingkatan. Van Hiele berkeyakinan bahwa tingkatan yang lebih tinggi diperoleh bukan lewat ceramah guru, tetapi melalui pemilihan latihan-latihan yang tepat. Namun demikian, tanpa guru tidak ada kemajuan yang dapat dibuat siswa.
geometri-geometri yang lain di samping geometri Euclides. Menurut Van Hiele, semua anak mempelajari geometri dengan melalui tahap-tahap tersebut, dengan urutan yang sama, dan tidak dimungkinkan adanya tingkat yang diloncati. Akan tetapi, kapan seseorang siswa mulai memasuki suatu tingkat yang baru tidak selalu sama antara siswa yang satu dengan siswa yang lain. Selain itu, menurut Van Hiele, proses perkembangan dari tahap yang satu ke tahap berikutnya terutama tidak ditentukan oleh umur atau kematangan biologis, tetapi lebih bergantung pada pengajaran dari guru dan proses belajar yang dilalui siswa. Tingkat keempat dan kelima dati teori Van hiele adalah deduksi formal dan rigor. Tahap – tahap ini tidak sering bisa dicapai pada sekolah dasar (Olkun et al. 2003). Selain mengemukakan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif dalam memahami geometri, Van Hiele juga mengemukakan beberapa teori berkaitan dengan pengajaran geometri. Teori yang dikemukakan oleh Van Hiele antara lain adalah sebagai berikut; 1. Tiga unsur yang utama pengajaran geometri yaitu, waktumateri pengajaran dan metode penyusun. Apabila dikelola secara terpadu dapat mengakibatkan peningkatan kemampuan berfikir anak kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap yang sebelumnya. 2. Bila dua orang yang mempunyai tahap berpikir berlainan satu sama lain, kemudian saling bertukar pikiran, maka kedua orang tersebut tidak akan mengerti. Sebagai contoh, seorang anak tidak mengerti mengapa gurunya membuktikan bahwa jumlah sudutsudut dalm sebuah jajaran genjang adalah 3600, misalnya anak itu berada pada tahap pengurutanke bawah. Menurut anak pada tahap yang disebutkan, pembuktiannya tidak perlu sebab sudah jelas bahwa jumlah sudut63
Logika Jurnal Ilmiah Lemlit Unswagati Vol. XI No.2 Hal 56-67 Edisi Agustus 2014 ISSN: 216848995
Untuk memperoleh hasil belajar yang diharapkan, van Hiele mengusulkan lima tahap belajar yang berurutan, yang sekaligus merupakan tujuan belajar siswa dan peran guru dalam mengelola pembelajaran (van Hiele, 1999:315 -316; D’Augustine dan Smith, 1992:177, Clements dan Battista, 1992:431). Tahaptahap belajar tersebut dan contoh aktivitas siswa pada tingkat 2 yang bekerja pada belah ketupat digunakan sebagai illustrasi dan diuraikan sebagai berikut. Tahap 1: Inquiry/Information (Inkuiri/Informasi) Pada tahap ini, siswa mengenal domain yang dik erjakan (misalnya menguji contoh dan bukan contoh). Guru dan siswa mengupayakan pembicaraan dan aktivitas tentang objek-objek yang dipelajari pada tingkat 2. Pengamatan harus dibuat, pertanyaan harus dimunculkan dan perbendaharaan untuk tingkat ini harus dikenalkan. Guru meminta siswa untuk berbicara, mengarahkan siswa untuk meneliti bagaimana objek-objek itu sama dan mengapa objek -objek itu berbeda. Sebagai contoh guru bertanya kepada siswa, “apakah belah ketupat itu ?, apakah persegi itu?, apakah jajargenjang itu ?, mengapa bangun-bangun itu sama ?, mengapa bangun-bangun itu berbeda ?, bagaimana pendapatmu ?, apakah persegi juga disebut persegi panjang ?, apakah belah ketupat juga disebut jajargenjang ?, apakah jajargenjang juga disebut belah ketupat ?, mengapa kamu mengatakan demikian ?”. Tujuan aktivitas ini adalah guru mempelajari pengetahuan awal apa yang dimiliki siswa tentang topik yang dipelajari dan siswa mempelajari apa arah studi selanjutnya yang diambil. Tahap 2: Directed Orientation (Orientasi Terarah) Pada tahap ini, siswa mengerjakan tugas yang melibatkan hubungan berbeda dari jaringan yang dibentuk. Siswa meneliti topik pelajaran melalui materi yang telah disusun urut oleh guru. Guru mengarahkan
siswa untuk meneliti karakteristik khusus dari objek-objek yang dipelajari. Dengan demikian, berbagai material menjadi tugas singkat yang dirancang untuk memancing respon –respon khusus. Sebagai contoh, guru meminta siswa untuk menggunakan papan geometri untuk melukis belah ketupat dengan diagonal-diagonal sama panjang, melukis belahketupat lain yang lebih kecil. Tujuan pembelajaran selama tahap ini adalah siswa secara aktif dirangsang mengeksplorasi objek-objek (misalnya memutar, melipat, mengukur) untuk mendapatkan hubungan prinsip d ari hubungan yang sudah terbentuk. Peran guru adalah mengarahkan aktivitas siswa dengan membimbingnya dalam eksplorasi yang sesuai sehingga mendapatkan konsepkonsep khusus dan prosedur geometri yang dipelajari. Guru harus memilih material dan tugas dalam hal ini target dalam konsep dan prosedur adalah penting. Tahap 3: Explication (Uraian) Pada tahap ini, guru mengenalkan terminologi tentang geometri dan mewajibkan siswa untuk menggunakannya dalam percakapan dan dalam mengerjakan tugas. Siswa menjadi sadar tentang hubungan konsep-konsep geometri, mencoba mengekspresikan dengan bahasanya sendiri, dan belajar bahasa teknis yang sesuai dengan materi (misalnya menyatakan ide-ide tentang sifat-sifat bangun). Guru mendorong siswa untuk saling be rbagi persepsi tentang struktur yang diamati dengan menggunakan bahasanya sendiri. Berdasarkan pengalaman siswa, siswa mengkreasikan dan mengubah pandangan tentang struktur yang diamati. Jadi, guru tidak hanya sekedar membantu siswa menggunakan bahasa yang akurat. Peran guru adalah membawa objek -objek yang dipelajari (objek-objek geometri dan ideide geometri, pola-pola, hubunganhubungan) ke tingkat pemahaman melalui diskusi antar siswa 64
Logika Jurnal Ilmiah Lemlit Unswagati Vol. XI No.2 Hal 56-67 Edisi Agustus 2014 ISSN: 216848995
dengan menggunakan bahasanya. Pada saat siswa mendemonstrasikan tentang objek yang dipelajari dan mendiskusikan dalam bahasanya sendiri guru mengenalkan terminologi matematika yang relevan. Tahap 4: Free Orientation (Orientasi Bebas) Pada tahap ini, guru menyediakan tugas yang dapat dilengkapi siswa dalam cara yang berbeda dan membuat siswa menjadi lebih cakap dengan pengetahuan geometri yang sudah diketahui sebelumnya. Misalnya melalui eksplorasi membuat bangun-bangun berbeda dari berbagai potongan bangun. Siswa mendapatkan tugas-tugas yang lebih kompleks: tugas dengan banyak langkah, tugas yang dapat diselesaikan dalam banyak cara dan tugas tugas terbuka yang dapat diselesaikan. Misalnya mengetahui sifat-sifat satu jenis bangun, menginvestigasi sifat-sifat itu untuk bangun baru. Sambil mereka diarahkan dalam menggunakan material untuk menyelesaikan tugas, setiap siswa bekerja dengan caranya sendiri -sendiri. Dengan penjajagan oleh mereka sendiri dalam lapangan investigasi, beberapa hubungan antara objek yang dipelajari menjadi eksplisit bagi siswa. Peran guru adalah memilih material dan soal -soal geometri yang sesuai (dengan penyelesaian tidak tunggal) untuk mendapatkan pembelajaran yang memungkinkan berbagai performa dan untuk mendorong siswa-siswa merefleksikan dan bekerja pada soal -soal dan penyelesaian mereka, dan untuk mengenalkan istilah, konsep dan proses pemecahan masalah yang relevan jika diperlukan. Tahap 5: Integration (Integrasi) Pada tahap ini pembelajaran dirancang untuk membuat ringkasan. Siswa membuat ringkasan terhadap apa yang telah mereka pelajari. Maksud dari tahap ini bukan meneliti suatu ide baru, tetapi mencoba untuk mengintegrasikan apa yang telah
diteliti dan didiskusikan kedalam jaringan yang logis sedemikian sehingga mudah dideskripsikan dan diterapkan. Bahasa dan konseptualisasi matematika digunakan untuk mendeskripsikan jaringan tersebut. Misalnya meringkas sifat-sifat suatu bangun. Peran guru adalah mendorong siswa untuk merefleksikan dan mengkonsoli - dasikan pengetahuan geometri mereka, meningkatkan penekanan penggunaan struktur matematika. Akhirnya konsolidasi ide-ide diringkas dengan melekatkannya dalam organisasi struktur matematika formal. Pada akhir tahap ini, tingkat berpikir siswa yang baru telah dicapai untuk topik yang telah dipelajari. Van De Walle (1988) memberikan pandangan singkat mengenai tingkat berpikir geometri dan penerapannya pada pembelajaran geometri di sekolah. Seharusnya guru mempunyai dua tujuan dalam pengajaran geometri. Pertama, untuk mencapai tujuan yang lebih tradisional termasuk materi yang dicantumkan pada kurikulum. Tujuan kedua adalah untuk mencapai tujuan jangka panjang dan lebih luas yaitu untuk meningkat kan tingkat berpikir siswa dalam geometri. Tingkat suatu kegiatan dapat dibuat bervariasi, meskipun untuk materi yang sama. Hal ini merupakan tipe pemikiran yang harus dilakukan siswa, yang membuat suatu perbedaan dalam pembelajaran, bukan dalam materi khusus. Berikut ini adalah beberapa alternatif pengajaran untuk masing-masing tiga tingkat yang pertama. 1. Kegiatan Pembelajaran pada Tingkat 0 a. Menggunakan sejumlah model fisik yang dapat dimanipulasi oleh siswa. b. Memberikan contoh bangun yang berbeda dan bervariasi sehingga bagian-bagian yang tidak relevan tidak menjadi penting. Misalnya: beberapa siswa percaya bahwa segitiga samasisi memang benar-benar segitiga, atau 65
Logika Jurnal Ilmiah Lemlit Unswagati Vol. XI No.2 Hal 56-67 Edisi Agustus 2014 ISSN: 216848995
c.
d.
2. a.
b.
c.
d.
3. a.
b.
bahwa bangun persegi yang berubah sudutnya menjadi bukan lagi persegi. Melibatkan sejumlah kegiatan penyortiran, pengindentik, pendeskripsian bangun-bangun yang bervariasi. Memberikan kesempatan untuk membentuk, membuat, menggambar, meletakkan, dan memisahkan bentuk bentuk bangun. Kegiatan Pembelajaran pada Tingkat 1 Melanjutkan untuk menggunakan model -model seperti pada level 0, tetapi meliputi model-model yang membiarkan penguraian sifat –sifat gambar yang bervariasi. Mulai lebih memfokuskan pada sifat sifat bangun daripada identifikasi sederhana. Definisikan, ukur, observasi dan rubah bagian -bagian dengan menggunakan model-model. Mengelompokkan gambar-gambar berdasarkan ciri-ciri bangun serta nama-nama bangun. Misalnya: carilah ciri-ciri bagian-bagian segitiga yang berbeda yang membuat beberapa segitiga sama dan yang lain berbeda. Menggunakan konteks problem solvin g yang mana bagian-bagian bangun merupakan komponen-komponen yang penting. Kegiatan Pembelajaran pada Tingkat 2 Melanjutkan menggunakan model dengan penekanan pada bagian-bagian yang menjelaskannya, membuat daftar bagian-bagian bangun dan mendiskusikan bagian mana yang perlu dan bagian mana yang menjadi syarat cukup untuk suatu konsep atau bangun yang khusus. Menggunakan istilah hakikat deduksi formal. Misalnya: semua, beberapa, tidak semua, jika ... maka ..., jika dan hanya jik a, dan sebagainya. Menyelidiki konversi hubungan tertentu untuk tujuan validitas, misalnya: konversi
dari pernyataan "jika ini adalah suatu persegi maka benda ini memiliki empat sudut siku", adalah pernyataan "jika benda ini memiliki empat sudut siku, maka benda ini pasti persegi". c. Menggunakan model dan gambar sebagai alat untuk berpikir, mulai mencari generalisasi dan contoh bandingan, mendorong pembuatan hipotesis dan pengujian hipotesis. 2.5 Manfaat Teori Van Hiele Dalam Pengajaran Geometri Teori-teori yang dikemukakan oleh Van Hiele memang lebih sempit dibandingkan teori-teori yang dikemukakan oleh Piafet dan Dienes karena ia hanya mengkhususkan pada pengajaran geometri saja. Meskipun sumbasinya tidak sedikit dalam geometri. Berikut hal-hal yang diambil manfaatnya dari teori yang dikemukakan; a. Guru dapat mengambil manfaat dari tahap-tahap perkembangan kognitif anak yang dikemukakan Van Hiele, dengan mengetahui mengapa seorang anak tidak memahami bahwa kubus itu merupaka balok, karena anak tersebut tahap berpikirnya masih berada pada tahap analisis ke bawah. b. Supaya anak dapat memahami geometri dengan pengertian, bahwa pengajaran geometri harus disesuaikan dengan tahap perkembangan berpikir anak itu sendiri. c. Agar topic-topik pada materi geometri dapat dipahami dengan baik dan anak dapat mempelajari topic-topik tersebut berdasarkan urutan tingkat kesukarannya yang dimulai dari tingkat yang paling mudah sampai dengan tingkat yang paling rumit dan kompleks. III. KESIMPULAN Menurut van Hiele, dalam belajar geometri perkembangan berpikir siswa terjadi melalui 5 tingkat, yaitu: tingkat 0 (Visualisasi), tingkat 1 (Analisis), tingkat 2 (Abstraksi), tingkat 3 (Deduksi), dan 66
Logika Jurnal Ilmiah Lemlit Unswagati Vol. XI No.2 Hal 56-67 Edisi Agustus 2014 ISSN: 216848995
tingkat 4 (Rigor). Karakteristik umum dari “level” Van Hieles adalah (1) level tersebut tersusun secara berurutan, (2) setiap level mempunyai bahasa, simbolsimbol, jaringan hubungannya sendiri, (3) sesuatu yang implisit pada satu level kemudian menjadi eksplisit pada level berikutnya, (4) materi yang diajarkan kepada siswa yang berada diatas level mereka adalah hal yang akan direduksi oleh pengadaan level tersebut, (5) progres dari satu level ke level berikutnya lebih bergantung pada pengalaman belajar daripada umur atau kedewasaan, dan (6) setiap orang melalui tahapan-tahapan yang berbeda dalam melewati dari satu level ke level berikutnya.
students?. Tesis: Brigham Young University. [5 Desember 2009] Hamalik, O. 2008. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Kwang, T.S. 2002. An Investigative Approach to Mathematics Teaching and Learning. The Mathematics Educator, Vol. 6, No.2, 32-46. Hudojo, H. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen Dikti. Proyek Pengembangan LPTK. Mulyasa, E. 2008. Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Olkun, et al. 2003. Geometric Explorations with Dynamic Geometry Applications based on van Hiele Levels. Ankara University, Faculty of Educational Sciences, Turkey. International Journal for Mathematics Teaching and Learning. Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT Rineka Cipta Soedjadi, R. 1999. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia (konstatasi keadaan masa kini menuju harapan masa depan). Depdiknas: Jakarta. Van Hiele, P. M. (1999). Developing Geometric Thinking Though Activities That Begin with Play. Journal Teaching Children Mathematic . Vol. 5(6): 310-316. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics. Van De Walle, John A. (1988). Elementary School Mathematics. New York: Longman Publishing Company. Wena, M. 2009. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer Suatu Tinjauan Konseptual Operasional. Jakarta: Bumi Aksara
DAFTAR PUSTAKA Brown, et al. 2003. Developing geometrical reasoning in the secondary school: outcomes of trialling teaching activities in classrooms. British Library of Cataloguing in Publication Data. Clements, D. H & Battista, M. T. (1992). Geometry and Spatial Reasoning. Dalam D. A. Grows, (ed.). Handbook of Research on Teaching and Learning Mathematics. (pp. 420464). New York: MacMillan Publisher Company. D’Augustine, C. and Smith, C.W. (1992). Teaching Elementary School Mathematics. Boston: Harpe Collins Publisher Inc. Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama. 2004. Materi Pelatihan Terintegrasi Matematika 3. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Genz, R. 2006. Determining high school geometry students’ Geometric understanding using van hiele Levels: is there a difference between Standards-based curriculum students And nonstandards-based Curriculum
67