i TINGKAT TUTUPAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PERAIRAN PULAU TERKULAI
Samsul Rizal Mahasiswa Program Studi Ilmu Kelutan FIKP-UMRAH
Arief Pratomo, ST., M.Si. Dosen Program Studi Ilmu Kelutan FIKP-UMRAH
Henky Irawan, S.Pi., MP., M.Sc. Dosen Program Budidaya Perairan FIKP-UMRAH
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan mulai bulan Agustus 2016 – Oktober 2016 yang berlokasi di perairan Pulau Terkulai Kota Tanjungpinang. Berdasarkan kondist tutupan terumbu karang di Pulau Terkulai, ditemukan 11 bentuk lifeform yakni Sargassum (SA), Sand (S), Coral Massive (CM), Coral Foliose (CF), Dead Coral (DC), Dead Coral Alga (DCA), Sponge (SP), Coral Submassive (CS), Others (OT), Rubble (R), dan Coral Mushroom (CMR). Komponen tutupan terumbu karang tertinggi adalah jenis Sargassum (SA) sedangkan terendah pada jenis Coral Mushroom (CMR). Bila dilihat dari tutupan karang hidupnya, maka kondisi kesehatan terumbu karang di Pulau Terkulai tergolong rusak dengan kerusakan sedang dengan nilai persentase antara 25- 49,9%. Kata kunci : Tutupan Terumbu Karang, Pulau Terkulai, Tanjungpinang
ii COVER LEVEL OF THE CORAL REEF ECOSYSTEM IN TERKULAI ISLAND DISTRICT OF THE TANJUNGPINANG CITY, RIAU ACHIPELAGO PROVINCE
Samsul Rizal Mahasiswa Program Studi Ilmu Kelutan FIKP-UMRAH
Arief Pratomo, ST., M.Si. Dosen Program Studi Ilmu Kelutan FIKP-UMRAH
Henky Irawan, S.Pi., MP., M.Sc. Dosen Program Budidaya Perairan FIKP-UMRAH
ABSTRACT
This research was conducted from August 2016 - October 2016, located in the Terkulai Island, Tanjungpinang City. Based of coral reef cover lifeform found that 11 forms lifeform are Sargassum (SA), Sand (S), Coral Massive (CM), Coral Foliose (CF), Dead Coral (DC), Dead Coral Alga (DCA), Sponge (SP), Coral Submassive (CS), Others (OT), Rubble (R), dan Coral Mushroom (CMR). Components of the highest coral cover is Sargassum (SA) while the lowest on the type of Mushroom Coral (CMR). When viewed from the coral cover of her life, the health condition of coral reefs in Terkulai Island classified as damaged by moderate damage by a percentage value between 25 to 49.9%. Keywords: Cover Coral Reef, Terkulai Island, Tanjungpinang
2 I. A.
PENDAHULUAN
Latar belakang Terumbu Karang adalah suatu ekositem yang bersimbiosis dengan kelompok hewan anggota filum Cnidaria yang dapat menghasilkan kerangka luar dari kalsium karbonat. Karang dapat berkoloni atau sendiri, tetapi hampir semua karang hermatipik merupakan koloni dengan berbagai individu hewan karang atau polip menempati mangkuk kecil atau kolarit dalam kerangka yang masif (Prasetya, 2003). Terumbu karang dikenal sebagai ekosistem yang sangat kompleks dan produktif dengan keanekaragaman biota tinggi seperti moluska, crustacea dan ikan karang. Biota yang hidup di terumbu karang merupakan suatu kesatuan komunitas yang meliputi kumpulan kelompok biota dari berbagai tingkat trofik, dimana masing-masing komponen dalam komunitas terumbu karang ini mempunyai ketergantungan yang erat satu sama lain. Terumbu karang dikenal sebagai suatu komponen yang memiliki fungsi penting dalam ekosistemnya. Terumbu karang tidak terlepas dari peranan ekologisnya sebagai daerah pemijahan (spawning ground), tempat pengasuhan (nursery ground), tempat mencari makan (feeding ground), dan daerah pembesaran (rearing ground) bagi biota ekonomis penting. Selain dari peranan tersebut, terumbu karang juga memiliki peran sebagai pemecah gelombang, pencegah abrasi pantai, dan ekosistem penghalang gelombang menuju ke pesisir pantai untuk menjaga stabilitas pantai. Terumbu karang hampir tersebar di sepanjang pantai di seluruh Indonesia karena sangat mendukung bagi kehidupan terumbu karang khusunya pada wilayah pulau – pulau kecilnya. Salah satu keindahan terumbu karang di Indonesia dapat dijumpai pada wilayah Kepulauan Riau yang secara morfologi terdiri dari pulau – pulau kecil dan telah dikenal dengan keindahan bawah lautnya. Salah satu dari ribuan gugusan pulau di Kepulauan Riau, terdapat suatu wilayah yang juga memiliki keindahan terumbu karangnya, yaitu Pulau Terkulai.
Pulau Terkulai adalah salah satu pulau yang terdapat di Kelurahan Senggarang yang keseluruhan pantainya berpasir putih, Pulau Terkulai merupakan bagian dari Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang Provinsi Kepri. Pulau Terkulai terletak di belakang Pulau Penyengat merupakan Pulau yang tidak berpenghuni, namun padat akan aktivitas seperti jalur transportasi, tempat persinggahan sementara para nelayan dan sebagai tempat mata pencarian masyarakat nelayan seperti mencari ikan, kepiting, gonggong, teripang serta biota ekonomis lainnya. Pulau Terkulai sebagian besar perairannya dikelilingi oleh ekosistem terumbu karang yang dimanfaatkan oleh masyarakat/nelayan sebagai area tangkapan (Fishing Ground) untuk menangkap ikan, krustasea, ecinodermata, serta moluska serta aktifitas transportasi kapal. Melihat dari kondisi tersebut, perlu adanya data yang pasti mengenai terumbu karang untuk menggambarkan kondisi terumbu karang di Pulau Terkulai. Dengan demikian, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui persentase tutupan terumbu karang yang menggambarkan kondisi terumbu karang di Pulau Terkulai. II.
TINJAUAN PUSTAKA
Terumbu karang (coral reefs) merupakan kumpulan binatang karang (reefcoral), yang hidup di dasar perairan dan menghasilkan bahan kapur CaCO3 (Supriharyono, 2007). Mereka mendapatkan makanannya melalui dua cara: pertama, dengan menggunakan tentakel mereka untuk menangkap plankton dan keduamelalui alga kecil (zooxanthellae) yang hidup di jaringan karang.Beberapa jenis zooxanthellae dapat hidup di satu jenis karang, biasanya mereka di temukan dalam jumlah besar dalam setiap polip, hidup bersimbiosis, memberikan warna pada polip, energi dari fotosintesa dan 90% kebutuhan karbon polip. Zooxanthellae menerima nutrisi-nutrisi penting dari karang dan memberikan sebanyak 95% dari hasil
3 fotosintesisnya (energi dan nutrisi) kepada karang (Supriharyono, 2007). Karang merupakan kumpulan dari berjutajuta hewan polip yang menghasilkan bahan kapur (CaCO3). Sebagian besarkarang adalah binatang-binatang kecil disebut Polip yang hidup berkoloni dan membentuk terumbu. Masing-masing polip memiliki kerangka luar yang disebut koralit. Sebuah koralit umumnya mempunyai septa yang menyerupai sekatsekat. Polip karang terdiri dari usus yang disebut filamen mesentri, tentakel yang memiliki sel nematosis (penyengat) yang berfungsi melumpuhkan musuhnya. Tubuh polip karang terdiri dari dua lapisan yaitu ectoderm dan endoderm. Diantara kedua lapisan tersebut terdapat jaringan yang berbentuk seperti jelly yangdisebut mesogela. Didalam lapisan endoderm tubuh polip hidup bersimbiosis dengan alga bersel satu zooxanthellae. Zooxanthellae adalah tumbuhan yang melakukan proses fotosintesis, hasil metabolisme dan O2 (oksigen) akan diberikan kepada polip karang. Sedangkan polip karang memberikan tempat hidup dan hasil respirasi CO2 kepada alga zooxanthellae (Coremap, 2010). Zooxanthella adalah alga dari kelompok Dinoflagellata yang bersimbiosis pada hewan, seperti karang, anemon, moluska dan lainnya. Sebagian besar zooxanthellae berasal dari genus Symbiodinium. Jumlah zooxanthellae pada karang diperkirakan > 1 juta sel/cm2 permukaan karang, ada yang mengatakan antara 1-5 juta sel/cm2. Meski dapat hidup tidak terikat induk, sebagian besar zooxanthellae melakukan simbiosis dalam asosiasi ini, karang mendapatkan sejumlah keuntungan berupa: 1) hasil fotosintesis, seperti gula, asam amino danoksigen, 2) mempercepat proses kalsifikasi melalui skema: fotosintesis akan menaikkan pH dan menyediakan ion karbonat lebih banyak kemudian dengan pengambilan ion P untuk fotosintesis, berarti zooxanthellae telah menyingkirkan inhibitor klasifikasi. Bagi zooxanthellae, karang adalah habitat yang baik karena merupakan pensuplai terbesar zat anorganik untuk fotosintesis. Sebagai contoh Bytell menemukan bahwa untuk zooxanthellae dalam Acropora palmata
suplai nitrogen anorganik 70% didapat dari karang (Nybakken,1992). Anorganik itu merupakan sisa metabolisme karang dan hanya sebagian kecil anorganik diambil dari perairan. Karang merupakan pembangunan utama dalam ekosistem terumbu karang. Terumbu karang adalah endapan-endapan masiff yang penting dari kalsium karbonat (CaCO3) yang terutama dihasilkan oleh karang (Filum Cnidaria, KelasAnthozoa, Ordo Madreporaria= Scleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organismeorganisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken,1992). Komunitas karang terbatas keberadaan pada perairan dangkal, karena ganggang simbiotik membutuhkan sinar matahari untuk fotosintesis. Kebutuhan dan adaptasi sinar dalam koral seperti untuk kepentingan memelihara laju maksimum dari pengkapuran dan fotosintesis dapat dipertahankan hingga di bawah kedalaman 20 meter dalam kondisi perairan bersih (Nybakken,1992). III. METODE A.
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan mulai bulan Agustus 2016 – Oktober 2016 yang berlokasi di perairan Pulau Terkulai Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau.Untuk lebih jelas lokasi penelitian dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini.
Gambar. Peta lokasi penelitian
4 C.
Metode Penelitian Penelitian menggunakan metode survey, yakni dengan memakai LineIntercept Transect (LIT) dari Saleh (2011). Sebelum LIT digunakan, terlebih dahulu dilakukan pemantauan dengan snorkeling. Pada penelitian ini, snorkeling digunakan untuk menentukan peletakan garis transek. Metode yang digunakan memonitor tutupan karang adalah metode transek garis yang dilakukan sejajar garis pantai, mengikuti kontur kedalaman. Dari kedalaman dimana masih ditemukan terumbu karang sampai di daerah pantai mengikuti pola sejajar garis kontur pantai (horizontal). Dari data tersebut akandiketahuipersentase tutupan terumbu karang. survei pada lokasi penelitian, kondisi hamparan terumbu karang di Pulau Terkulai hanya ada pada Berdasarkah kondisi terumbu karang di Pulau terkulai, panjang garis LIT yang digunakan untuk pengamatan terumbu karang dilakukan sepanjang 50 meter dengan jeda pengamatan anatara line transek 10-20 meter dan 30-40 meter, karena pada kondisi tersebut sesuai dengan kondisi hamparan karang pada perairan Pulau Terkulai. Berdasarkan kedalaman 5 – 7 meter sehinnga area sampling hanya dilakukan pada kedalaman tersebut. D. 1.
Prosedur Penelitian Penentuan Lokasi Penelitian Penentuan lokasi penelitian atau titik sampling ini ditentukan dengan menggunakan metode purpossive sampling yaitu pengambilan sampling hanya dilakukan pada area yang terdapat hamparan karangnya yaitu pada bagian selatan Pulau Terkulai. Pada bagian utara Pulau Terkulai kondisi pantainya curam dan merupakan alur/tubir dan tidak ditemukan terumbu karang. Penentuan titik sampling terumbu karang di Pulau Terkulai dilakukan dengan melihat jarak hamparan terumbu karang pada bagian selatan Pulau Terkulai sehingga dapat diketahui gambaran awal mengenai banyaknya titik pengamatan. Untuk setiap titik pengamatan ditetapkan sebanyak 1 LIT yang diletakkan pada kedalaman antara> 5 – 7 meter. Berdasarkan hasil survei pendahuluan, jumlah titik pengamatan pada
terumbu karang di Pulau Terkulai sebanyak 10 titik sepanjang bagian selatan Pulau Terkulai. Jarak antara titik sampling ke titik sampling yang lain bedasarkan kondisi hamparan terumbu karang yg terpisah - pisah pada saat survei pendahuluan di Pulau Terkulai. 2.
Pembuatan Garis Transek Garis transek dibuat dengan menggunakan roll meter dengan panjang 50 meter serta diletakkan sejajar dengan garis pantai. Untuk masing-masing lokasi dilakukan pengamatan mulai dari kedalaman > 5 -7 meter ntuk mewakili biota karang yang hidup pada kedalaman tersebut. 3.
Pengukuran Data Oseanografi Semua parameter diukur secara in situ pada setiap titik sampling, pengukuran data oseanografi yang meliputi suhu, salinitas, kecerahan, kecepatan arus dan substart dilakukan pada 8 titik sepanjang area sampling terumbu karang. Pengukuran dilakukan dengan ulangan waktu sesuai dengan parameter yang diukur dan setiap pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali ulangan pada masing-masing titik pengamatan, kemudian dirata-ratakan. Pengukuran parameter oseanografi dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel. Data Oseanografi 1
No
Parameter Suhu (0C)
2
Salinitas (‰)
3
Kecerahan (m)
4
Kecepatan Arus (m/dtk)
5
Substrat
Waktu Pagi, siang, sore Pasang, surut Pasang, surut Pasang, surut -
Ulangan 3 kali
3 kali 3 kali 3 kali 8 titik
E. Pengolahan Data 1. Persentase Tutupan Terumbu Karang Analisis Persentase total tutupan karang dipakai menggunakan rumus berdasarkan (English et.al., 1994 dalam Coremap, 2010) : 𝑃𝑒𝑟𝑐𝑒𝑛𝑡 𝐶𝑜𝑣𝑒𝑟 (%) 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑘𝑎𝑡𝑒𝑔𝑜𝑟𝑖 𝑙𝑖𝑓𝑒 𝑓𝑜𝑟𝑚 (𝑐𝑚) = 𝑥 100 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑇𝑟𝑎𝑛𝑠𝑒𝑘 (𝑐𝑚)
5 No. 1.
2.
Kategori Acropora Baranching Acropora Encrusting Acropora Submassive Acropora Digitate Acropora Tabulate Non Acropoda Branching (Non AC) Encrusting Acropora (AC)
Kode ACB ACE ACS ACD ACT
Keterangan Bercabang minimal 2o Berupa Lempengan di dasar perairan Tegak dengan kepala atau baji Bercabang kurang dari 2o Lempengan dasar horiziontal
CB
Bercabang minimal 2o
CE
Bagian utama menempel pada sub lapisan sebagian sebagai lempengan yang berlapis Karang menempel pada suatu atau bebrapa titi, Nampak seperti daun Batu besar atau gundukan yang padat Cenderung berbentuk tiaang kecil, kepala atau baji Karang yang hidup menyendiri Karang api Karang biru Karang baru saja mati, berwarna putih atau putih kotor Sudah lama mati, masih tegak dan ditumbuhi alga Karang lunak Kima, Anemon, Akar Bahar, dan Acidian Biota Sponge Biota Zoanthida Rumput Laut lumut/seperti rambut Bentuk lembaran bulat pecah-pecah Kerangkam Rumput laut anggur Rumput laut lembaran hijau tipis dan licin Rumput laut Halimeda sp. Lumut kerak berwarna merah Pasir Pecahan karang
Foliose
CF
Massive
CM
Sub Massive
CS
Mushroom
CMR
Millepora Helliopora
CME CHL DC
3.
Dead Coral
4.
Dead Coral with Algae
DCA
5. 6.
Soft Coral Others
SC OT
7. 8. 9.
Sponge Zoanthida Nutrien Indicator Alga (NIA): Rumput laut indicator limbah organik domestik. Calcareous Algae (CLA) Rumput laut berkapur Abiotik
SP ZO
10.
11.
Turf Alga Padina Sargassum Caulerpa Fleshy Alga
PA SA CA FA
Halimeda
HA
Coralline algae
CRA
Sand Rubble
S R
Sumber : English et.a; 1994 dalam Coremap, 2010. Kriteria penilaian kondisi terumbu karang adalah berdasarkan persentase tutupan karang hidup (KEPMEN LH Nomor 4 tahun 2001) dengan kategori sebagai berikut: Tabel . Status Terumbu Karang Berdasarkan Nilai Tutupan Karang hidup Rusak Baik
Kategori Buruk Sedang Baik Baik Sekali
PersenTutupan (%) 0 – 24,9 25 – 49,9 50 – 74,9 75 – 100
Sumber : Keputusan Menteri LH No. 4 Tahun 2001
2.
Parameter Oseanografi Semua parameter diukur secara in situ pada setiap stasiun, pengukuran data oseanografi yang meliputi suhu, salinitas, kecerahan, kecepatan arus dan substart dilakukan pada 8 titik sepanjang area sampling terumbu karang. Pengukuran dilakukan dengan ulangan waktu sesuai dengan parameter yang diukur dan setiap pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali ulangan pada masing-masing titik pengamatan, kemudian dirata-ratakan dan disajikan dalam bentuk table dan grafik. F.
Analisis Data Data yang diperoleh di tabulasi secara keseluruhan. Untuk kualitas perairan akan mengacu kepada Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut (KEPMEN LH no 51 tahun 2004). Untuk melihat kondisi Tutupan Terumbu Karang mengacu pada (KEPMEN LH No 4 tahun 2001), Selanjutnya di analisis secara deskriftif untuk mengetahui Tingkat Persentase Tutupan Terumbu Karang di Perairan Pulau Terkulai. III.
HASIL DAN PEMBAHASAN IV. A. Tingkat Tutupan Terumbu Karang di Pulau Terkulai Kondisi terumbu karang di Pulau Terkulai secara keseluruhan disajikan secara lengkap dilihat pada Tabel 30. Tabel. Kondisi terumbu karang di Pulau Terkulai secara keseluruhan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Life Form Sargassum Sand Coral Massive Coral Foliose Dead Coral Dead Coral Alga Sponge Coral Submassive Others Rubble Coral Mushroom Total
Kode SA S CM CF DC DCA SP CS OT R CMR
Sumber: Data Penelitian (2016)
Persentase Tutupan (%) 34.64 25.37 17.65 8.76 2.16 0.78 1.94 3.70 0.90 3.77 0.32 100.00
6
PersentaseTutupan 40.00 35.00 30.00 34.64 25.00 25.37 20.00 15.00 17.65 10.00 5.00 8.762.160.781.943.700.903.770.32 0.00
Gambar. Kondisi terumbu karang di Pulau Terkulai secara keseluruhan Sumber: Data Penelitian (2016) Berdasarkan kondist tutupanterumbu karang di Pulau Terkulai, ditemukan 11 bentuk lifeform yakni Sargassum (SA), Sand (S), Coral Massive (CM), Coral Foliose (CF), Dead Coral (DC), Dead Coral Alga (DCA), Sponge (SP), Coral Submassive (CS), Others (OT), Rubble (R), dan Coral Mushroom (CMR). Namun dapat dilihat secara keseluruhan bahwa komponen tutupan terumbu karang tertinggi adalah jenis Sargassum (SA) dengan tutupan sebesar 34,64%, sedangkan terendah pada jenis Coral Mushroom (CMR) dengan nilai persentase hanya 0,32%. Untuk melihat tutupan komponen-komponen yang terdapat pada ekosistem terumbu karang di Pulau Terkulai secara lengkap disajikan pada Tabel. Tabel. Kondisi Tutupan Ekosistem Karang di Pulau Terkulai No.
Bentic
Tutupan (%)
1
Karang Hidup
30.74
2
Karang Mati
2.63
3
Abiotik
29.14
4
Biotik
0.90
5
Algae
34.64
6
Spons
1.94
Total 100.00 Sumber: Data Penelitian (2016)
Tutupan (%) 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00
Gambar. Kondisi Tutupan Ekosistem Karang di Pulau Terkulai Sumber: Data Penelitian (2016) Kondisi tutupan karang hidup pada secara keseluruhan di pulau terkulai mencapai nilai 30,37%, kelompok karang mati mencapai 2,63%, kelompok abiotic mencapai persentase 29,14%, kelompok biotic mencapai persentase 0,90%, kelompok spons menempati nilai sebesar 1,94%, kelompok algae sebesar 34,64%. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa tertinggi pada komponen tutupan algae. Bila dilihat dari tutupan karang hidupnya, maka kondisi kesehatan terumbu karang di Pulau Terkulai tergolong rusak dengan kerusakan sedang dengan nilai persentase antara 2549,9%. Tingginya nilai komposisi alga mencirikan bahwa terjadi ketidak seimbangan komponen akibat dari kecerahan perairan yang kurang baik sehingga berkurangnya komposisi karang hidup dan meningkatnya komposisi algae. Umumnya alga akan menempel pada media karang dan menancapkan akarnya pada substrat karang hidup dan lama kelamaan akan menutupi polip karang dan menghambat dari asupan sinar matahari sehingga menjadi penghambat pertumbuhan karang. tingginya komposisi alga membuat komposisi tutupan karang hidup menurun sehingga terumbu karangnya tergolong rusak. Tingginya
7 komposisi alga akan berpengaruh dominansi alga pada suatu perairan.
pada
B.
Kondisi Perairan di Pulau Terkulai Kondisi Perairan yang diuji dalam penelitian ini diantaranya meliputi suhu, salinitas, arus, kecerahan serta analisis ukuran butir sedimennya. Dengan demikian dapat menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Untuk lebih jelas, pembahasan mengenai kondisi perairan sekitar terumu karang perairan Pulau Terkulai Kelurahan Senggarang dapat dilihat pada sub bab berikut. 1.
Suhu Hasil pengukuran suhu di perairan Pulau Terkulai nilainya berkisar antara 28,7 – 30,3 0C dengan rata-rata 29,65 0C. Menurut KEPMEN LH (2004) baku mutu kondisi suhu yang baik bagi kehidupan terumbu karang adalah pada kisaran 28 – 30 0C. Dapat dilihat bahwa keseluruhan kondisi suhu masih baik bagi pertumbuhan terumbu karang. Terumbu karang pada umunya ditemukan terbatas pada suhu perairan antara 18 - 36°C, nilai optimal pertumbuhan karang berkisar 26 - 28°C. Perbedaan suhu selanjutnya diekspresikan dalam pola distribusi dan keragaman terumbu karang yang berbeda secara ekologis dan geografis (Hubbard, 1990 dalam Purba, 2013). Dengan demikian kondisi rata-rata suhu perairan Pulau Terkulai adalah 29,65 oC melebihi nilai optimal pertumbuhan karang, namun masih dapat ditolelir oleh karang akam tetapi kuarang optimal sehingga kondisi tutupan karang hidupnya relative kecil. 2.
Salinitas Nilai salinitas padaperairan Pulau Terkulai berikisar antara 30-320/00 dengan ratarata 30,950/00. Menurut pendapat KEPMEN LH (2004) mengenai kondisi salinitas yang optimal bagi pertumbuhan karang adalah pada kisaran 33 – 34 0/00. Namun dapat dilihat bahwa kondisi salinitas lenih kecil dibandingkan dengan ambang batas optimal yang ditentukan, hal ini juga dipengaruhi oleh kondisi cuaca perairan yang pada saat itu setelah hujan sehingga menyebabkan pengaruh terhadap salinitas. Factor cuaca yang pada saat pengambilan
sampling terjadi hujan yang menjadi faktor pengaruh menurunnya salinitas pada lokasi penelitian. Namun jika menurut Haruddin (2011) salinitas yang optimal untuk kehidupan terumbu karang ialah antara 25-30 ‰. Salinitas rata-rata di perairan Pulau Terkulai adalah 30,950/00 dengan demikian melebihi batas optimal yang baik bagi pertumbuhan karang sehingga kondisi terumbu karangnya kurang baik. Salinitas diketahui juga merupakan faktor pembatas kehidupan binatang karang. Salinitas air laut rata-rata di daerah tropis adalah sekitar 35 ‰, dan binatang karang hidup subur pada kisaran salinitas sekitar 34-36 ‰. (Supriharyono, 2007). Menurut Marsuki (2012) salinitas menjadi salah satu faktor penting terhadap kondisi ekologi perairan, salinitas akan mempengaruhi tekanan osmotik dalam tubuh organisme sehingga organisme tersebut akan mengeluarkan energi untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya melalui mekanisme osmoregulasi. Kondisi arus di perairan Pulau Terkulai pada kisaran 0,07-0,14 m/detik dengan rata-rata arus 0,10 m/detik. Secara keseluruhan kondisi kecepatan arus sudah cukup baik bagi pertumbuhan karang. Nontji (1993) menyebutkan bahwa keberadaan arus dan gelombang di perairan sangat penting bagi kelangsungan hidup terumbu karang. Arus berperan sebagai pengadukan bahan makanan untuk polip karang, membersihkan bagian dari terumbu karang terhadap endapan – endapan serta mensuplai oksigen dari laut bebas. Pertumbuhan karang lebih baik pada wilayah dengan arus kuat dibandingkan pada wilayah dengan arus yang lemah. Menurut Haruddin (2011) arus yang baik bagi pertumbuhan terumbu karang adalah < 20 cm/detik (0,2 m/detik). Namun jika melihat dari kondisi arus rata-rata di perairan Pulau Terkulai adalah 0,10 m/detik tergolong lemah sehingga kurang baik bagi pertumbuhan karang. arus yang kuat akan membantu mengangkut sedimen menyebar ke lokasi lain sehingga periran tersebut dapat lebih jernih.
8 3.
Kecerahan Kecerahan perairan pada kisaran 0,71,5meter dengan rata-rata kecerahan sebesar 1,06meter. Jika mengacu pada KEPMEN LH (2004) kisaran kecerahan untuk pertumbuhan karang pada kecerahan >5meter. Dengan demikian, kondisi kecerahan kurang baik karena tergolong keruh, dengan demikian kurang baik untuk kehidupan terumbu karang Menurut Marsuki (2012) tingkat kecerahan sangat penting bagi pertumbuhan organisme karang, karena cahaya adalah salah satu faktor yang paling penting yang membatasi terumbu karang sehubungan dengan laju fotosintesis oleh zooxanthellae yang bersimbiosis pada jaringan karang. Menurut Haruddin (2011) kecerahan yang baik bagi pertumbuhan terumbu karang adalah > 6 m. Namun jika melihat dari kondisi kecerahan rata-rata di perairan Pulau Terkulai hanya sebesar 1,06 meter, dengan demikian tergolong perairan yang keruh sehingga kurang baik bagi pertumbuhan karang karena akan mengganggu sistematika fotosintesis yang dilakukan oleh polip karang. 4.
Substrat Secara keseluruhan dari analisis substrat yang dilakukan secara di laboratorium melalui metode pengayakan (eksitu) diperoleh hasil jenis substrat adalah pasir hingga pasir berlumpur. Kondisi substrat yang sedikit lumpur akan memperburuk tingkat kecerahan perairan yang berimbas pada aktivitas fotosintesis yang juga terganggu sehingga memperburuk kondisi habitat bagi terumbu karang. Menurut Burke,dkk (2012) mengatakan bahwa Pembangunan pesisir dan pencemaran yang berasal dari daerah aliran sungai masing-masing mengancam sekitar 25% terumbu karang dunia karena mengangkut partikel sedimentasi yang akan menutupi polip karang sehingga susah untuk berkembang dan mengalami kematian.
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan Berdasarkan kondist tutupanterumbu karang di Pulau Terkulai, ditemukan 11 bentuk lifeform yakni Sargassum (SA), Sand (S), Coral Massive (CM), Coral Foliose (CF), Dead Coral (DC), Dead Coral Alga (DCA), Sponge (SP), Coral Submassive (CS), Others (OT), Rubble (R), dan Coral Mushroom (CMR). Komponen tutupan terumbu karang tertinggi adalah jenis Sargassum (SA) sedangkan terendah pada jenis Coral Mushroom (CMR). Bila dilihat dari tutupan karang hidupnya, maka kondisi kesehatan terumbu karang di Pulau Terkulai tergolong rusak dengan kerusakan sedang dengan nilai persentase antara 25- 49,9%. B.
Saran Kondisi tutupan karang yang kurang baik ini menghasilkan kesimpulan peneliti/argument peneliti bahwa kekruhan dan sedimentasi menjadi faktor penting dalam penurunan kondisi terumbu karang. Sehingga dari kajian ini peneliti menyarankan untuk melihat tingkat akumulasi sedimennya dan pengaruhnya terhadap tingkat kekeruhan perairan untuk kehidupan terumbu karang.
DAFTAR PUSTAKA Burke. L, Kathleen. R, Mark. S,dan Allison. P. 2012. Menengok Kembali Terumbu Karang yang Terancam di Segitiga Terumbu Karang. Reefs at Risk Revisited in the Coral Triangle oleh yayasan TERANGI. ISBN 978-156973-798-9 World Resources Institute. Coremap. 2010. Tentang Karang.http://www.coremap.or.id/t entang karang/. Diakses 4 April 2015. Haruddin. A., Edi. P, dan Sri B. 2011. Dampak Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang Terhadap Hasil Penangkapan Ikan Oleh Nelayan Secara Tradisional Di Pulau Siompu Kabupaten Buton Propinsi
9 Sulawesi Tenggara. Jurnal EKOSAINS. Vol. III.No. 3. Dinas Pendidikan Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara 2Prodi Ilmu Lingkungan Pascasarjana Universitas Sebelas Maret; Surakarta. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 4 .2004.Penilaian Kondisi Terumbu Karang.Menteri Lingkungan Hidup. Jakarta. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 .2004. Baku Mutu Air Untuk Biota. Menteri Lingkungan Hidup. Jakarta. Marsuki. I. D, Baru, S. dan Ratna, D. P. 2013. Kondisi Terumbu Karang dan Kelimpahan Kima di Perairan Pulau Indo. Jurnal Mina Laut Indonesia, FPIK UNHALU : Kendari. Nybakken, J.W.1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Prasetya.I.N.D..2003. Kajian Jenis Dan Kelimpahan Rekrutmen Karang Di Pesisir Desa Kalibukbuk, Singaraja, Bali.Universitas Pendidikan Ganesha,Singaraja: Bali. Purba. Y.S, Roni B, Mark E, Christovel R, M. Erdi L, dan Thomas P. 2013. Ketahanan Karang Menghadapi Kenaikan Suhu Permukaan Laut Guna Penentuan Kawasan Konservasi Laut Daerah Di Teluk Cendrawasih. Jurnal Conservation International Indonesia. Universitas Negeri Papua: Manokwari Rifardi, 2012. Ekologi Sedimen Laut Modern Edisi Revisi. Pekanbaru. UNRI Press Saleh, A. 2011. Teknik Pengukuran Dan Analisis Kondisi Ekosistem Terumbu Karang.http://regional.coremap.or.i d/downloads/Analisis_Penilaian_T K.pdf. Diakses tanggal 4 April 2015. Supriharyono, 2007. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Djambatan. Jakarta. 118 hal. Thamrin, 2006. Karang : Biologi Reproduksi dan Ekologi. Minamandiri Press. Pekanbaru. 260 hal.
Wibisono. M. S, 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.