TINGKAT PEROMBAKAN BAHAN ORGANIK SEDIMEN WADUK CIRATA PADA KONDISI ANAEROBIK SKALA LABORATORIUM
PURNAMAWATI C151 070 021
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Tingkat Perombakan Bahan Organik Sedimen Waduk Cirata Pada Kondisi Anaerobik Skala Laboratorium adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau di kutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Juli 2009
Purnamawati NRP. C151070021
ABSTRACT PURNAMAWATI. The Organics Matter Decomposition level of Cirata Reservoir Sediment in Anaerobic on Laboratory Treatment). Under supervision of KUKUH NIRMALA and TRI HERU PRIHADI. Sources of the pollution at Cirata Reservoir are from industrial activities, household waste, agricultural waste, and the leftover from the activities of floating net fish cages. The wastes are in the form of fat, protein and carbohydrat. In decomposition process and the rate of destruction process of organic matters in the sediment is carried our by bacteria, resulting in the oxygen dissolved in the waters will decrease. Therefore, it is necessary to carry out research the organics metter decomposition level of Cirata Reservoir sediment in anaerobic to find out dynamic pattern the organics matter decomposition of water and sediment. This lessens the oxygen at Cirata reservoir so that decomposition process takes place anaerobically at the bottom of the waters. Research was carried out in the waters of Cirata reservoir. The activity was conducted in two stages: field activity and laboratory activity. Field activity consisted of initial survey and sample analysis in the laboratory. In the meantime, the activity in the laboratory included sediment treatment from Cirata reservoir which was done for 2 months (October 2008 until December 2008), followed by laboratory analysis and data analysis. Sample analysis was performed in Waters Environment Laboratory of Agricultural Departement FPIK–IPB and in Microbiology Laboratory of Biology Departement. Analysis descriptive the organics matter decomposition level of Cirata Reservoir sediment in anaerobic on laboratory treatment indicated that anaerobic process was reached on the 20th day. The result of laboratory analysis showed that number and types of bacteria had already belonged to the group of anaerobe bacteria. The result would be confirmed to dendogram classification hierarchy, result revealed that stations of observation were divided into 2 groups according of affecting characteristics. Group 1 covering stasion 1 and 2, group 2 which covering station 3 was characterized by high presentation nitrit. The result showed that the level of decomposition Sediment Organic Matter, water quality in Cirata reservoir based on IKA_STORET valued class III catagorized as worse. Valued sulfide, amonia, Fenol, Total Fosfat is considered not good for activities of fish culture. Keywords: Cirata reservoir, anaerobic, Organic Matter, decomposition, sediment
RINGKASAN PURNAMAWATI. Tingkat Perombakan Bahan Organik Sedimen Waduk Cirata Pada Kondisi Anaerobik Skala Laboratorium. Dibimbing oleh KUKUH NIRMALA DAN TRI HERU PRIHADI. Semakin banyak KJA yang beroperasi akan semakin banyak limbah organik berupa buangan sisa pakan dan feses yang terakumulasi dalam Waduk Cirata. Seiring dengan meningkatnya bahan organik akan menyebabkan menurunnya konsentrasi oksigen (DO) di lapisan hipolimnion, hal ini terjadi karena oksigen dibutuhkan mikroorganisme (bakteri aerob dan bakteri anaerob) untuk merombak bahan organik menjadi senyawa yang lebih sederhana. Bila aktivitas bakteri pengurai ini berlangsung intensif, maka kualitas air waduk akan menjadi anaerob. Yang mana saat terjadi proses perombakan sisa pakan/kotoran akan membebaskan unsur hara N, P, dan K yang mengakibatkan cadangan DO di perairan menjadi berkurang. Penelitian tingkat Perombakan Bahan Organik Sedimen Waduk Cirata Pada Kondisi Anaerobik Skala Laboratorium telah dilakukan pada bulan Oktober 2008–Desember 2008. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat tingkat perombakan bahan organik sedimen Waduk Cirata pada kondisi anaerob. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, kegiatan dilakukan dalam dua tahap yaitu kegiatan lapangan dan pengamatan di Laboratorium Lingkungan Perairan Departemen Akuakultur FPIK–IPB. Kegiatan lapangan terdiri dari survai awal, analisis kualitas air dan analisis sedimen hasil survei awal dilakukan di Laboratorium Lingkungan Perairan Departemen Akuakultur FPIK–IPB. Parameter kualitas air yang diukur pada survei awal meliputi: kedalaman, suhu air, pH, dan DO, sedangkan untuk pengukuran karbondioksida (CO2), fosfat total, phospat ortho (PO4), nitrit (NO2), nitrat (NO3), amoniak (NH3), alkalinitas, kesadahan, sulfida total (H2S), COD, BOD, Ca dan COrganik dilakukan di laboratorium dengan AAS. Pengambilan contoh sedimen dilakukan dengan menggunakan petersen grab, adapun parameter yang diukur meliputi Redoks, Ca dan C-organik. Pengamatan di laboratorium menggunakan sampel sedimen yang berasal dari Waduk Cirata. Pengambilan sampel sedimen berdasarkan pada 3 (tiga) zona (stasiun), hal ini dikarenakan 3 (tiga) zona ini dianggap sudah mewakili sebaran sedimen Waduk Cirata yang akan diamati pada skala laboratorium. Pada zona in let (stasiun 1) mengalir air dari Sungai Citarum yang merupakan salah satu sumber air yang mengairi Waduk Cirata. Pada zona ini keramba cukup banyak dan umumnya berada di dekat pinggir waduk yang banyak pemukiman penduduk. Zona tengah (stasiun 2) terletak di daerah tengah Waduk Cirata, pada zona ini merupakan sumber keramba yang paling banyak dan memadati permukaan waduk. Zona out let (stasiun 3) terletak di sekitar dam, zona ini merupakan zona yang tidak diperbolehkan adanya KJA karena ini merupakan mintakat bahaya. Pengamatan sedimen di laboratorium dilaksanakan selama 2 bulan (Oktober sampai Desember 2008). Kegiatan penelitian di laboratorium menggunakan 9 buah akuarium dengan ukuran 30 cm x 40 cm x 60 cm. Setiap 3 aquarium diisi sampel sedimen dasar yang berasal dari Waduk Cirata
setinggi ± 10 cm/aquarium/stasiun dan penambahan air ± 40 cm/aquarium. Semua aquarium yang digunakan ditutup dengan plastik berwarna hitam. Parameter kualitas air yang di ukur pada saat pengamatan di laboratorium meliputi suhu, DO, karbondioksida (CO2), total fosfat, ortho phospat (PO4), nitrit (NO2), nitrat (NO3), amoniak (NH3), alkalinitas, kesadahan, sulfida total (H2S), COD, BOD Ca, dan C-Organik dilakukan pada hari ke 0, 20, 40, dan 60. Sedangkan parameter yang diukur setiap hari yaitu: Redoks, suhu, DO, pH. Pengamatan jumlah dan jenis bakteri dilakukan pada awal dan akhir penelitian (hari ke 0 dan 60).Analisis kualitas air dan analisis sedimen hasil pengamatan di laboratorium dilakukan di Laboratorium Lingkungan Perairan Departemen Akuakultur FPIK–IPB dan analisa bakteri hasil pengamatan di laboratorium dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi. Analisa data yang digunakan meliputi evaluasi dengan metode STORET, Analisis deskriptif dan analisis cluster (Cluster Analysis) menggunakan MINITAB versi 14.0. dan diinterpretasikan dalam bentuk Dendrogram. Dari hasil analisis deskriptif fisika kimia air dan sedimen yang dilihat pada grafik pola dinamika tingkat perombakan menujukkan pada hari ke-20 terjadinya degradasi bahan organik dan reduksi (pengurangan oksigen), tingginya nilai sulfida, BOD, amonia, nitrit dan nitrat. Sehingga menunjukkan bahwa proses dekomposisi yang terjadi pada sedimen termasuk dalam kategori anaerobik. Sebaran karakteristik fisika kimia air dan sedimen memperlihatkan bahwa Stasiun 3 (dibagian out let) memiliki nilai nitrit yang tinggi. Skor IKA_STORET yang dihitung berdasarkan baku mutu Kelas III menunjukkan nilai sulfide, amonia, fenol dan total fosfat sudah tidak memenuhi baku mutu untuk peruntukan budidaya ikan air tawar.
Kata kunci : waduk cirata, anaerobik, perombakan bahan organik, sedimen
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penukisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
TINGKAT PEROMBAKAN BAHAN ORGANIK SEDIMEN WADUK CIRATA PADA KONDISI ANAEROBIK SKALA LABORATORIUM
PURNAMAWATI C151 070 021
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada pada Program Studi Ilmu Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Halaman Pengesahan Judul Tesis
: Tingkat Perombakan Bahan Organik Sedimen Waduk Cirata Pada Kondisi Anaerobik Skala Laboratorium.
Nama
: Purnamawati
NRP
: C151070021
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc
Dr. Ir. Tri Heru Prihadi, M.Sc
Ketua
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Program Magister,
Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS
Prof. Dr. Ir. Khairil A.Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 9 Juni 2009
Tanggal Lulus :
PRAKATA Syukur Alhamdulillah, atas rahmat dan ridho Allah SWT penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah perombakan bahan organik, dengan judul “Tingkat Perombakan Bahan Organik Sedimen Waduk Cirata Pada Kondisi Anaerobik Skala Laboratorium”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelas Master pada Program Studi Ilmu Akuakultur, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Seiring dengan selesainya penulisan tesis ini, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc., selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Dr. Ir. Tri Heru Prihadi, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan kesempatan untuk ikut dalam kegiatan penelitian, atas keikhlasan dan kesabaran memberikan bimbingan, nasehat, arahan dan dorongan dalam menyelesaikan penulisan tesis ini. 2. Ditjen DIKTI Departemen Pendidikan Nasional atas bantuan dana pendidikan BPPS. 3. Direktur Politeknik Negeri Pontianak yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi S2 di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 4. Kepada Ayahnda Drs. H. Zainal Abididn, AH (Alm) dan Ibunda Tersayang Hj. Nurhana, ZA. 5. Untuk Suami tercinta (Ir. Eko Dewantoro, M.Si) dan anak-anakku (Tiara Safitri Dewanti, Nanda Nabila Dewanti dan Dita Salsabila Dewanti), adikadikku (Edy Hasbullah Kurnija dan Sabaruddin). 6. Adang Saputra, S.Pi., Afrizal Hendri, S.Pi, dan rekan-rekan Program Studi Akuakultur serta semua pihak atas kebersamaan dan kerjasama yang baik dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan Bapak dan Ibu dengan berlipat ganda. Penulis menyadari karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, oleh karenanya saran untuk perbaikan akan sangat penulis hargai. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak yang memerlukannya. Amien..
Bogor,
Juli 2009
Purnamawati
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pontianak, Kalimantan Barat pada tanggal 23 juli 1973 dari pasangan Bapak Drs. H. Zainal abidin, AH (Alm) dan Ibu Hj. Nurhana, ZA sebagai anak pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan sekolah dasar di SDN 75 Kodya Pontianak tamat tahun 1986, melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 5 kodya Pontianak tamat tahun 1989 dan pendidikan sekolah menengah atas penulis selesaikan di SMAN 4 Kodya Pontianak tamat tahun 1992. Pendidikan sarjana di tempuh pada Program Studi Budidaya Perairan, Jurusan Budidaya Perikanan, Universitas Muhammaddiyah Pontianak dan lulus pada tahun 1998. Pada tanggal 1 Maret 1999 – 1 Desember 2001 penulis diterima sebagai staf pengajar honorer pada SMU Budi Utomo Pontianak, pada tanggal 1 Mei 1999 – 1 Desember 2003 penulis diterima sebagai tenaga honorer staf peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat (BPTP Kalbar). Pada tanggal 1 Desember 2003 – sekarang penulis diangkat sebagai staf pengajar pada Politeknik Negeri Pontianak Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan, Program Studi Budidaya Perikanan. Pada tanggal 17 Agustus 2007 penulis mendapatkan Piagam Penghargaan sebagai Dosen Berprestasi Peringkat I dengan No. SK. 1921/K15/KP/2007. Tahun 2007 penulis mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan pascasarjana (S2) dengan bantuan beasiswa BPPS dari Dikti, dan diterima di Program Studi Budidaya Perairan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menikah dengan Ir. Eko Dewantoro, M.Si pada tanggal 6 Januari 1996 dan dikaruniai tiga orang putri yaitu Tiara Safitri Dewanti, Nanda Nabila Dewanti dan Dita Salsabila Dewanti.
DAFTAR ISI Isi
Halaman
PRAKATA.................. ..................................................................................
xi
DAFTAR TABEL ………………………………………………………….
xv
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………
xvi
1
2
PENDAHULUAN ..................................................................................
1
1.1 1.2 1.3 1.4
1 2 3 3
Latar Belakang …………………………………………………. Perumusan Masalah …………………………….......................... Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………………………. Hipotesis …………………………………………………………
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………..
5
2.1 Tipologi Waduk Cirata ………………………………………….
5
2.2 Bahan Organik …………………………………………………
7
2.3 Dekomposisi Anaerobik …………………………………………
10
2.4 Ketersediaan Oksigen Terlarut …………………………………..
12
2.4.1 Fotositensis dan respirasi fitoplankton…………………… 2.4.2 Difusi …………………………………………………….. 2.4.3 Susupan oksigen terlarut (Interflow)……………………..
12 14 15
2.5 Kualitas Air………………………………………………………
16
2.5.1 2.5.2 2.5.3 2.5.4 2.5.5 2.5.6 2.5.7 2.5.8 2.5.9 2.5.10 2.5.11 2.5.12 2.5.13 2.5.14 2.5.15
BOD5…………………………………………………… Nitrit, Nitrat, Amonia......................................................... Oksigen terlarut (DO) ........................................................ Potensial redoks ................................................................. pH ……………………………………………………… Karbondioksida (CO2) ....................................................... Alkalinitas ........................................................................ Kesadahan ........................................................................ Kalsium (Ca) ..................................................................... Hidrogen sulfida (H2S) dan bakteri SRB ........................ Fenol................................................................................ Fosfor total dan Fosfat (PO4)..............................……… COD (Chemical Oxygen Demand)…………………… Suhu ....................................…………………………… Kedalaman .......................................................................
17 18 19 21 22 23 23 27 29 30 30 30 31 32 33
3 METODE PENELITIAN ………………………………………………
34
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………………………
34
3.2 Alat dan Bahan ..... ……………………………………………..
34
3.3 Metode Pengumpulan Data ……………………. ………………
34
3.3.1 Kegiatan lapangan (survei awal) ………………………… 3.3.2 Pengamatan di laboratorium …………….………………
34 36
3.4. Analisa Data ……………………………………………………..
38
3.4.1 Analisis deskriptif…………………………………........... 3.4.2 Sebaran karakteristik fisika-kimia dan sedimen…………… 3.4.3 Evaluasi dengan metode STORET……………………….
38 39 39
4 HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………
41
4.1 Analisa deskriptif kualitas air dan sedimen....…………………… 4.2 Sebaran karakteristik fisika-kimia dan sedimen …. ……………… 4.3 Evaluasi kualitas air dengan metode STORET.....………………
41 51 52
5 KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................
56
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... LAMPIRAN.....................................................................................................
57 62
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman
1.
Data kualitas perairan Waduk Cirata pada tahun 2003 ………………
6
2.
Bentuk senyawa hasil oksidasi bahan-bahan organik pada kondisi aerobik dan anaerobik.................................................................................
12
3.
Hubungan antara kadar oksigen terlarut jenuh dan suhu pada tekanan udara 760 mm Hg …………………………………………………….
20
4.
Kation dan anion utama pada perairan tawar dan laut……..................
24
5.
Kation-kation penyusun kesadahan dan anion-anion pasangan/ asosiasinya …………………………………………………
27
6.
Parameter-parameter kualitas air, sedimen dan biota air yang diamati dari hasil lapangan..............................................................................
35
7.
Parameter-parameter kualitas air, sedimen dan biota air yang diamati skala laboratorium...............................................................................
37
8.
Penentuan sistem nilai untuk menentukan status mutu perairan berdasarkan metode IKA_STORET......................................................
40
9.
Kisaran nilai rerata fisika kimia air dan sedimen pada hari ke-0, 20, 40 dan 60 selama penelitian .................................................................
42
10.
Hasil analisis bakteri pada media selama penelitian ............................
43
11.
Nilai status mutu air Waduk Cirata berdasarkan IKA_STORET.........
53
12.
Nilai parameter kualitas air hasil pengukuran dan berdasarkan baku mutu air.................................................................................................
53
DAFTAR GAMBAR Gambar
Halaman
1.
Diagram laju perombakan bahan organik pada sedimen dalam kondisi aerobik di Waduk Cirata .........................................................
4
2.
Gradien potongan melintang factor-faktor yang mempengaruhi produktivitas dan biomassa, kepentingan relative autochtonous dan allochtonous di sepanjang longitudinal waduk ………………………
7
3.
Gabungan diagram gaya (angin, gravitasi, evaporasi dan rotasi bumi) dan resultante arus air dan gelombang. Angin memindahkan air, gravitasi membuat aliran horizontal lebih mudah daripada vertikal, evaporasi mendinginkan permukaan air yang kemudian tenggelam, dan rotasi bumi memindahkan aliran permukaan ke kiri (dibelahan bumi utara) dan ke kanan di belahan bumi selatan……...……………
15
4.
Inflow densitas ke waduk…………………………………………….
16
5.
Penampang melintang tanah yang memperlihatkan proses terlarutnya kation penyusun kesadahan perairan ………………………………..
28
6.
Denah lokasi stasiun pengambilan contoh di Waduk Cirata …………
38
7.
Kisaran nilai BOD, amonia, nitrit dan nitrat (mg/L) pada hari ke 0, 20, 40 dan 60 selama penelitian ...........................................................
43
8.
Kisaran nilai C-Organik (%)) sedimen pada hari ke 0, 20, 40 dan 60 selama penelitian ..................................................................................
43
9.
Kisaran nilai DO (mg/L) sedimen dan air media selama penelitian ....
44
10.
Kisaran nilai potensial redoks (mV) sedimen media selama penelitian
44
11.
Kisaran nilai pH pada sedimen dan air media selama penelitian ........
44
12.
Kisaran nilai karbondioksida (CO2), alkalinitas dan kesadahan (mg/L) pada hari ke 0, 20, 40 dan 60 selama penelitian ......................
45
13.
Kisaran nilai kalsium (Ca) air (mg/L) pada hari ke 0, 20, 40 dan 60 selama penelitian ..................................................................................
45
14.
Kisaran nilai kalsium (Ca) sedimen (mg/Kg) pada hari ke 0, 20, 40 dan 60 selama penelitian ...........................................
45
15.
Kisaran nilai COD (mg/L) pada hari ke 0, 20, 40 dan 60 selama penelitian ..............................................................................................
46
16.
Kisaran nilai total fosfat dan orto fosfat (mg/L) pada hari ke 0, 20, 40 dan 60 selama penelitian ......................................................................
46
17.
Kisaran nilai suhu (oC) pada sedimen (A) dan air (B) media selama penelitian ..............................................................................................
46
18.
Dendogram pengelompokkan antar stasiun untuk kualitas air dan sedimen................................................................................................
52
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran
Halaman
1.
Kisaran nilai suhu sedimen (oC) media penelitian selama 60 hari .......
63
2.
Kisaran nilai pH sedimen media penelitian selama 60 hari ................
64
3.
Kisaran nilai oksigen terlarut (DO) (mg/L) sedimen media penelitian selama 60 hari .......................................................................................
65
4.
Kisaran nilai potensial redoks (mV) media penelitian selama 60 hari
66
5.
Kisaran nilai suhu air (oC) media penelitian selama 60 hari ................
68
6.
Kisaran nilai pH air media penelitian selama 60 hari .........................
69
7.
Kisaran nilai oksigen terlarut (DO) (mg/L) air media penelitian selama 60 hari .......................................................................................
70
8.
Data peubah kualitas air dan sedimen media penelitian berdasarkan stasiun I, II dan III pada hari ke 0, 20, 40 dan 60 .................................
72
9.
Grafik fisika kimia sedimen berdasarkan stasiun I, II dan III pada hari ke 0, 20, 40 dan 60 selama penelitian ...........................................
74
10.
Grafik fisika kimia air berdasarkan stasiun I, II dan III pada hari ke 0, 20, 40 dan 60 selama penelitian........................................................
76
11.
Grafik peubah kualitas air berdasarkan stasiun I, II dan III pada hari ke 0, 20, 40 dan 60 selama penelitian...................................................
78
12.
Hasil analisis cluster fisika kimia air ....................................................
81
13.
Hasil analisis cluster fisika kimia sedimen...........................................
82
14.
Hasil pengukuran dan analisis kualitas air Waduk Cirata.....................
84
15.
Perhitungan status mutu air (IKA_STORET) Waduk Cirata ...............
85
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu perairan waduk yang terkenal di Jawa Barat adalah “Waduk Cirata”. Waduk ini berperan penting sebagai salah satu sumberdaya perikanan didaerah tersebut. Kegiatan perikanan di Waduk Cirata selain budidaya dengan sistem keramba jaring apung (KJA) adalah kegiatan perikanan tangkap berskala kecil (small scale fisheries). Dengan luas Waduk Cirata 6.200 ha (Ilyas et al., 1990), kapasitas maksimal KJA yang bisa ditampung sekitar 10.000 unit KJA (Prihadi, 2005). Namun hingga Tahun 2009 jumlah keramba apung yang tercatat beroperasi di Waduk Cirata berjumlah 51.838 KJA (BPWC, 2009). Karena melebihi kapasitas maksimal waduk dan pemberian pakan yang berlebihan (over feeding), maka mengakibatkan sisa pakan yang tidak termakan dan hasil ekskresi yang terbuang ke badan air memberikan sumbangan bahan organik, yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat kesuburan (eutrofikasi) dan kelayakan kualitas air bagi kehidupan ikan budidaya (Philips et al., 1993; Boyd, 1999; Simarmata, 2007). Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa sisa buangan dari kegiatan perikanan keramba jaring apung (KJA) mencapai 80% berupa limbah organik seperti lemak, protein, dan karbohidrat memberikan dampak potensial pada perubahan kualitas air (Nastiti et al., 2001; Philips et al., 1993; Boyd, 1999). Selanjutnya Mc Donald et al. (1996) menyatakan bahwa 30% dari jumlah pakan yang diberikan tertinggal sebagai pakan yang tidak dikonsumsi dan 25% dari pakan yang dikonsumsi akan diekskresikan ini berarti bahan organik yang masuk ke badan air cukup besar. Menurut Kartamihardja (1998) secara fisik, buangan sisa pakan yang tidak termakan dan kotoran ikan hasil dari ekskresi akan meningkatkan laju sedimentasi perairan. Dalam proses selanjutnya, sisa pakan dan kotoran ikan yang menumpuk di dasar perairan tersebut akan mengalami dekomposisi dan pembusukan, yang akan menghasilkan gas-gas beracun seperti amonia dan H2S. Dalam proses dekomposisi dan laju perombakan bahan organik pada sedimen dilakukan oleh mikroorganisme (bakteri), sehingga menurunkan konsentrasi oksigen terlarut di perairan. Selain menimbulkan sedimentasi, juga menyebabkan tingkat kekeruhan
1
semakin tinggi, sehingga sinar matahari dan penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan menjadi terbatas. Kurangnya sinar matahari akan mempengaruhi proses fotosintesis. Dengan demikian oksigen menjadi berkurang, sehingga proses dekomposisi bahan organik di dasar perairan terjadi secara anaerob. Dari proses anaerob tersebut akan melepaskan gas-gas beracun sampai kelapisan hipolimnion yang akan mengakibatkan biota yang dipelihara di dalam KJA akan kekurangan oksigen, stress, terserang penyakit, yang pada akhirnya mati. Diduga salah satu sumber toksisitas penyebab kematian ikan yang dibudidayakan yang terjadi pada saat pembalikan air di Waduk Cirata adalah selain difisit oksigen di hipolimnion juga akibat naiknya gas-gas beracun dari dasar perairan ke permukaan (upwelling) terutama pada saat musim hujan. Meningkatnya gas-gas beracun pada dasar perairan tergantung pada kecepatan proses perombakan yang dilakukan oleh bakteri pengurai (bakteri anaerob) di dasar perairan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian tingkat perombakan bahan organik pada sedimen Waduk Cirata dalam kondisi anaerobik, sehingga diketahui pola dinamika tingkat perombakan bahan organik pada sedimen dan pola dinamika peubah kualitas airnya. 1.2 Perumusan Masalah Semakin banyak KJA yang beroperasi akan semakin banyak limbah organik berupa buangan sisa pakan dan feses yang terakumulasi dalam Waduk Cirata. Seiring dengan meningkatnya bahan organik akan menyebabkan menurunnya konsentrasi oksigen (DO) di lapisan hipolimnion, hal ini terjadi karena oksigen dibutuhkan mikroorganisme (bakteri aerob dan bakteri anaerob) untuk merombak bahan organik menjadi senyawa yang lebih sederhana. Bila aktivitas bakteri pengurai ini berlangsung intensif, maka perombakan bahan organik yang terjadi pada waduk akan menjadi anaerob. Yang mana saat terjadi proses perombakan sisa pakan/kotoran akan membebaskan unsur hara N, P, dan K yang mengakibatkan cadangan DO di perairan menjadi berkurang. Akumulasi sisa pakan/kotoran ikan serta produk dekomposisi sisa pakan hasil oksidasi menghasilkan bentuk senyawa CH4, NH3 + Amin, H2S dan PO3 yang merupakan salah satu sumber toksisitas pada saat pembalikan air di Waduk Cirata,
2
sehingga oksigen (DO) menjadi rendah, nitrat (NO3) rendah, nitrit (NO2) meningkat, karbondioksida (CO2) meningkat, amoniak (NH3) meningkat, H2S meningkat, Alkalinitas meningkat, kesadahan meningkat, kalsium (Ca) air dan sedimen turun, suhu semakin dingin, pH stabil, Bakteri semakin banyak. Dengan terjadinya difisit oksigen di hipolimnion akibat naiknya gas-gas beracun dari dasar perairan ke permukaan tersebut maka menyebabkan kematian ikan yang dibudidayakan. Secara skematis perumusan masalah disajikan pada Gambar 1. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah 1.
Untuk melihat tingkat perombakan bahan organik sedimen Waduk Cirata pada kondisi anaerob.
2.
Untuk mengetahui sebaran karakteristik fisika-kimia perairan dan sedimen antar stasiun pengamatan
3.
Untuk mengetahui baik buruknya kualitas air bagi budidaya ikan air tawar. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi awal
atau masukan awal bagi para pengguna dan pembuat kebijakan baik instansi pemerintah maupun swasta atau instansi terkait lainnya, dalam rangka menentukan pengelolaan budidaya ikan dalam Keramba Jaring Apung (KJA) Waduk Cirata. 1.4 Hipotesis 1. Menumpuknya bahan organik di dasar perairan Waduk Cirata maka tingkat perombakan yang terjadi pada waduk akan menjadi anaerob. 2. Beberapa parameter kualitas air dan analisis sedimen Waduk Cirata pada kondisi anaerob dapat dijadikan sebagai indikator sebaran karakteristik fisika kimia perairan dan sedimen. 3. Beberapa parameter kualitas air Waduk Cirata yang tidak memenuhi dalam status mutu air dapat dijadikan sebagai indikator tercemar berat untuk budidaya ikan air tawar.
3
WADUK CIRATA
Kawasan Budi daya (KJA) : Pemberian pakan sistem pompa
Kawasan Bebas
Dampak buangan sisa makanan dan Feses
Kolom air BO
Mikroba
N, P, Nutrien, CO2, H2O
Eutrofikasi Perairan
DO ↑
Fitoplankton
Fotosintesis
- Suhu - Kecerahan - Unsur hara (N, P, dan K)
Perombakan Bahan Organik Sedimen pada Kondisi Anaerobik
Senyawa hasil oksidasi bahanbahan organik pada kondisi anaerobik (Fardiaz, 1992) : CH4, NH3 + Amin, H2S dan PO3
Dampak
- Oksigen (DO) ↓ - Nitrat (NO3) ↓ - Nitrit (NO2) ↑ - Karbondioksida (CO2) ↑ - Amoniak (NH3) ↑ - H2S ↑ - Alkalinitas ↑ - Kesadahan ↑ -Kalsium (Ca) ↓ - Suhu semakin dingin - pH -Bakteri anaerob meningkat
Dampak pada ikan di KJA : - Ikan akan kekurangan oksigen - Ikan stress - Ikan terserang penyakit - Ikan mati
Upaya pengelolaan : 1. Kegiatan Budi daya (KJA) 2. Kegiatan Konservasi Lingkungan
Gambar 1.
Diagram tingkat perombakan bahan organik sedimen pada kondisi anaerobik di Waduk Cirata
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tipologi Waduk Cirata Waduk merupakan tempat menampung air yang umumnya dibentuk dari sungai atau rawa dengan tujuan tertentu. Dan biasanya waduk memiliki drainase basin, kedalaman rata-rata, kedalaman maksimum, luas beban perairan yang lebih besar dibanding danau, tetapi dengan waktu tinggal yang lebih pendek dibanding danau (Ryding dan Rast, 1989). Selanjutnya Ilyas et al. (1990) menegaskan, waduk merupakan badan air yang karakteristik fisika, kimia dan biologinya berbeda dari sungai yang dibendung. Dari kualitas airnya, waduk lebih stabil dibandingkan dengan sungai asalnya dan waduk dibuat dan diciptakan oleh manusia untuk tujuan tertentu. Waduk
menunjukkan
tingkat heterogenitas secara spasial dalam
produktifitas dan biomassa fitoplankton karena adanya gradient longitudinal, kecepatan aliran, waktu tinggal, padatan tersuspensi dan ketersediaan cahaya dan nutrient. Secara longitudinal terdapat tiga zona yang berbeda di waduk (Gambar 2). Waduk Cirata merupakan waduk yang berada ditengah-tengah DAS Citarum dan mendapatkan sumber air dari daerah aliran sungai Citarum. Berdasarkan karakteristik, Waduk Cirata berada 200 m dan waduk ini selesai dibangun pada tahun 1988. Volume air pada waktu normal sekitar 2.160.000.000 m3, dengan luas permukaan 6.200 ha, kedalaman rata-rata 34,9 m, status kesuburan mesotrophic hingga Eutrophic, pola pencampuran massa air Oligomictic (rare) (Prihadi, 2004). Selanjutnya Prihadi (2005) mengatakan, waduk ini mulai dioperasikan pada tahun 1988 dengan luasan waduk saat dioperasikan pertama kali adalah 6.200 ha. Kondisi Waduk Cirata pada saat ini telah mengalami degradasi yang sangat serius. Luasan waduk yang makin lama semakin sempit dengan kedalaman air yang makin berkurang, karena Waduk Cirata dimanfaatkan untuk melakukan budidaya ikan dalam KJA. Dari hasil pengamatan di lapang kondisi tersebut banyak berubah, seperti kedalaman rata-rata sepanjang tahun 2003 menurun menjadi 26,3 m terlebih lagi pada bulan Agustus-September kedalaman rata-rata
5
mencapai 20,7 m. Hal ini disebabkan kemarau yang berkepanjangan, sehingga volume air berkurang hingga 30% dari keadaan normal sebelumnya. Pada tahun 2009 jumlah KJA di Waduk Cirata mencapai 51.838 unit KJA (BPWC, 2009), hal ini merupakan jumlah yang sudah melebihi kapasitas yang maksimal sekitar 10 ribuan unit. Akibat dari jumlah yang melebihi dari kapasitas asimilasi berdampak kepada data kualitas air (Tabel 1). Menurut hasil analisis, limbah pakan yang terdapat di Waduk Cirata berdasarkan kaedah Yap dalam Prihadi (2002) adalah limbah pakan yang berada di dasar perairan waduk akibat kegiatan perikanan budidaya sebanyak 279.121 ton, artinya jika luas permukaan 6.200 ha sedangkan luas permukaan kegiatan keramba jaring apung sekitar 158– 198 ha, dari perhitungan ini maka ketinggian limbah pakan sekitar 2 meter. Banyaknya pakan yang berada di dasar perairan tersebut sangat memungkinkan karena tingkat purifikasi air tidak mampu lagi bekerja untuk mensucikan dari limbah organik tersebut, sehingga usaha restorasi waduk perlu dilakukan segera. Tabel 1. Data kualitas air perairan Waduk Cirata pada tahun 2003 Oksigen tertarut (mg/l) Kandungan bahan organik KMnO4 NO3 (nitrate) (ml/l) Alkalinitas (mg CaCO3/l) NH4 (amonia) (ml/l) NO2 (nitric) (ml/l) Total P (fosfor) (ml/l) PO4 (fosfat) (ml/l) Mg (magnesium) Hg (air raksa) (mg/l) Pb (plumbum) Zn2+ Mn (mg/l) Cr Fe Cu Cd mg/L Keasaman (pH) Kecerahan air (cm) Sumber : Prihadi (2004) Keterangan : Nilai rata-rata dan Standar Deviasi
6,5–8,5 (7,3 ± 0,1) 5–64 0,139–1,819 (0,762 ± 0,072) 19,89–48,63 (34,36 ± 0,9) 0,139–4,816 (2,752 ± 0,072) 0,062 3,490 (2,66 ± 0,59) 0,254–1,108 (0,721 ± 0,024) 0,1114 0,996 (0,560±0,024) 32,00 84,00 (59,18 ± 2,24) 0,002–0,018 0,01–0,310 0,02– 0,316 0,06–0,48 0,025–0,63 0,05–3,24 0,00–0,02 0,007–0,012 6,3–8,5 6 0 –1 3 0 (100±8)
6
Gambar 2. Gradien potongan melintang faktor-faktor yang mempengaruhi produktifitas dan biomassa, kepentingan relative autochtonous dan allochtonous di sepanjang longitudinal waduk (Kimmel et al., dalam Thornton et al. 1990; Simarmata, 2007)
Perkembangan KJA di Waduk Cirata terbilang sangat cepat, (Garno & Adibroto, 1999 dalam Prihadi, 2005) mencatat pada tahun 1999 terdapat 27.786 KJA dengan produksi ikan 25.114 ton. KJA menutupi 136 ha atau 2,2% permukaan waduk dan sisa-sisa pakan yang tertampung di dalam waduk ada sekitar 198,376 ton (8,667 ton N dan 1,239 ton P) sedangkan pada tahun 2003 penulis mencatat sebanyak 38.276 unit KJA, sehingga sisa pakan yang berada di dasar waduk adalah sebesar 279.121 ton. Jumlah karamba ini sudah menutupi permukaan Waduk Cirata sebesar 15%–20%.
2.2 Bahan Organik Menurut Ryding dan Rast (1989), sumber bahan organik di dalam perairan berasal dari eksternal (allochtonous) maupun internal (autochtonous). Bahan organik allochtonous merupakan bahan organik yang berasal dari perairan itu sendiri, dapat berupa neuston. Neuston terdiri dari produsen primer dan consumer.
7
Sumber eksternal dapat berupa run off permukaan, agricultural dan forest drainage, atmosfir, buangan domestik dan buangan dari limbah industri (Vollenweider, 1986 dan Ahl, 1973 dalam Landner, 1976). Jumlah bahan organik di kolom air umumnya lebih rendah dibandingkan di tanah. Beban masukan internal merupakan bahan organik yang dihasilkan oleh sirkulasi nutrient di perairan (waduk) (Silvey dan Roach, 1964 dalam Landner, 1976). Waduk yang didalamnya terdapat kegiatan budidaya ikan dalam KJA dengan teknik budidaya secara intensif, pakan yang tersisa banyak mengandung fosfor, sulfat dan nitrogen, sehingga dengan adanya sisa pakan ini akan mempercepat terjadinya proses eutrofikasi diperairan tersebut. Ryding dan Rast (1989) mengatakan, jumlah penambahan nutrien ke badan air dari karamba jaring apung tergantung pada densitas populasi ikan dalam karamba. Studi Swedia mengindikasikan bahwa, untuk setiap ton ikan yang dihasilkan, resultante input ke badan nutrien adalah 85–90 kg fosfor dan 12–13 kg nitrogen. Selanjutnya Beveridge (1996) menyatakan hasil ekskresi disebarkan ke kolom air oleh arus, sedangkan padatan (pakan yang tidak termakan dan feses) jatuh ke bawah atau dasar waduk atau danau. Selama sedimentasi, sebagian pakan yang tidak dimakan dikonsumsi oleh ikan, sedangkan sebagian lagi pecah menjadi partikel halus. Jumlah nutrien terlarut yang dilepas tergantung pada komposisi faecal dan pakan yang tidak dimakan, serta sifat-sifat fisik seperti suhu, kedalaman air dan turbelensi. Penambahan nitrogen ke badan air dari KJA yang beroperasi kira-kira 85% dalam bentuk terlarut, terutama ammonia dan urea dari ekskresi ikan. Sisanya 15% berbentuk partikulat, terutama dari pakan yang tidak termakan. Sebaliknya 15–20% input fosfor ke badan air dari KJA yang beroperasi dalam bentuk terlarut. Sisanya dalam bentuk partikulat, yang akan mengendap ke dasar sedimen. Hasil penelitian di Swedia menunjukkan kira-kira 5%–10% fosfor yang tersedimentasi diregenerasi ke kolom air karena kondisi anoksik dan proses biologis di dasar perairan (Ryding dan Rast, 1989 ; Beveridge, 1996) Bahan organik di ekosistem perairan berada dalam bentuk senyawa organik terlarut sampai bahan organik partikulat (POM) dalam agregat besar, serta dari organisme hidup yang mati. Metabolisme bahan organik dan interaksi materi
8
ini secara kimia dan biologis sangat ditentukan oleh ukuran bahan organik tersebut. Hanya sedikit bahan organik terlarut yang secara langsung digunakan oleh organisme akuatik, sedangkan bentuk partikulat adalah sumber makanan yang utama (Wetzel dan Likens, 1991). Menurut
Simarmata
(2007)
dekomposisi
bahan
organik
terlarut
menghasilkan produk akhir berupa gas, bahan organik partikulat yang harus dikonversi secara enzimatik oleh mikroflora tertentu. Proses dekomposisi adalah proses yang kontinu, tetapi lajunya bervariasi tergantung jumlah substrat variabel lingkungan (Wetzel dan Likens, 1991). Selanjutnya Simarmata (2007) mengatakan, laju relatif komposisi k, adalah jumlah detrial karbon yang dimetabolis per unit waktu. Dekomposisi bahan organik terlarut menghasilkan produk akhir berupa gas, bahan organik partikulat yang harus dikonversi secara enzimatik oleh mikroflora tertentu. Dekomposisi yang sempurna menghasilkan konversi produk organik dari fotosintesis. Simarmata (2007) mengatakan, hipernutrifikasi (peningkatan konsentrasi nutrien terlarut) sering muncul disekitar karamba perairan tawar, dimana arus rendah dan pengenceran terbatas. Perubahan juga muncul pada oksigen terlarut, BOD, COD, kekeruhan dan kedalaman transparansi. Tingkat eutrofikasi tergantung pada karakteristik badan air, ukuran, sifat dan manajemen keramba. Pada proses eutrofikasi ini seringkali diikuti blooming algae. Algae ini seringkali menghasilkan berbagai macam bahan yang toksik yang dapat mematikan hewanhewan yang ada diperairan tersebut (Gorham dan Carmichael, 1980). Menurut Wetzel dan Liken (1991) yang dimaksud dengan defisit oksigen adalah perbedaan jumlah oksigen yang ada pada awal dan akhir periode stratifikasi. Prinsip dasarnya adalah menghitung jumlah total oksigen di hipolimnion pada dua waktu yang berbeda (awal dan akhir stratifikasi). Selanjutnya Cole (1988) menyatakan defisit oksigen relatif adalah jika membandingkan kandungan oksigen dengan jumlah oksigen di akhir pembalikkan musim semi ketika konsentrasi oksigen di kolom air sama. Selanjutnya defisit absolut adalah jika membandingkan kandungan oksigen dengan kandungan oksigen saat saturasi pada suhu 4°C sedangkan hypolimnetik areal defisit adalah dengan menggunakan data volume dan kandungan saturasi secara teori akan di
9
peroleh kandungan O2 total yang ada selama sirkulasi musim semi, atau pada saturasi 4°C. Perbedaan antara kandungan saat saturasi dan kandungan aktual musim panas dibagi luasan hipolimniondisebut hypofimnetik areal defisit. Difisit oksigen di areal hipolimnetik sejumlah danau mengindikasikan bahwa : (1) defisit berkorelasi positif dengan produkitifitas primer fitoplankton (2) Secara proporsional defisit berkebalikan dengan transparansi epilimnion (3) danau dengan kosentrasi total fosfor yang lebih tinggi memiliki defisit oksigen yang lebih tinggi pula (4) defisit lebih besar di danau dengan suhu rata-rata hipolimnetik musim panas lebih tinggi (5) defisit oksigen lebih besar di danau-danau dengan kedalaman rata-rata hipolimnetik yang ketebalannya lebih besar. Korelasi terakhir bahwa danau dengan hipolimnion yang lebih tebal memiliki defisit oksigen yang lebih besar dari pada danau dengan hipolimnion yang dangkal (Wetzel, 2001; Simarmata, 2007). 2.3 Dekomposisi Anaerobik Revsbech et al. (1980) dalam Killops dan Killops (1993) mengatakan, jumlah bahan organik di sedimen mempengaruhi keseimbangan antara laju konsumsi oksigen selama degradasi aerobik dan laju difusi oksigen ke dalam sedimentasi air pore dari kolom air overlaying. Oksigenasi terbatas hanya sampai beberapa mm bagian atas sedimen butiran halus, meskipun penetrasi oksigen dapat lebih jauh beberapa cm akibat bioturbasi. Jika konsentrasi oksigen turun dalam sedimen dan kondisi menjadi disaerobik, bioturasi terhenti. Selanjutnya Gunnison et al. (1985) mengatakan, respirasi anaerobik dapat didefinisikan sebagai reaksi biologi dimana oksidasi senyawa inorganik sebagai akseptor elektron, aktivitas ini sejalan dengan energi oksidasi dari senyawa organik atau inorganik. Reduksi senyawa organik, mengikuti langkah sesuai dengan prediksi thermodinamika. Pertama hampir semua oksigen terlarut dikonsumsi, bakteria anaerobik fakultatif akan berperan, dan nitrit mulai berkurang. Ketika nitrat habis, mangan oksida akan direduksi, selanjutnya besi oksida, lalu sulfat. Sama halnya pada anaerob obligat, bakteri ini juga mencakup anaerob fakultatif (bakteri yang biasanya aerobik tetapi dapat berfungsi pada kondisi anaerob). Pada kondisi tidak ada oksigen bakteri anaerob mengoksidasi bahan organik dengan menggunakan berbagai agen oksidasi (akseptor terminal
10
elektron) : manganase (IV), nitrat, besi (III), sulfat dan bikarbonat. Proses ini melepas sedikit energi ke dekomposer dibanding degradasi aerobik dari bahan organik menjadi karbondioksida dan air. Agen oksidasi degradasi anaerobik cenderung digunakan karena berkurangnya energi yang kembali. Beberapa bakteri (Clostridium, anaerob obligat, Bacillus, anaerob fakultatif) memecah komponen makromolekular detritus menjadi molekul yang lebih sederhana dengan hidrolisis dan proses fermentasi. Produk ini adalah substrat untuk bakteri anaerobik yang menyempurnakan mineralisasi bahan organik (Simarmata, 2007). Reduksi mikrobial nitrat dibagi menjadi dua kategori asimilator dan dissimilatori. Produk asimilatori reduksi nitrat adalah NH4+ yang dalam
bergabung
sel (Payne, 1973 dalam Gunnison et al. 1985; Simarmata, 2007).
Dissimilatori reduksi NO3- menjadi NH4+ telah dibuktikan penting di air laut maupun air tawar. Pada dissimilator NO3- menjadi NH4+, hasil reduksi dilepas dan dihasilkan energi. Organisme yang membawa dissimilatori NO3- menjadi NH4+ tidak di data, tetapi Sorensen (1978) dalam Gunnison et al. (1985) dan Simarmata (2007) mengindikasi bahwa Clostridium perfringens dan Paracoccus denitrificans mampu dalam proses ini. Reduksi sulfat menjadi penting jika nitrat terdeplesi; hasilnya CO2, H20 dan H2S. Pereduksi sulfat (Desulfovibrio, Desulfobacter) adalah anaerob obligat. Kedalaman zona reduksi sulfat tergantung pada jumlah bahan organik yang ada; tetapi dapat menempati beberapa meter di sedimen pelagik dengan kandungan organik yang lebih rendah. Methanogen (Methanobacillus, Methanococcus) juga anaerob obligat dan mensintesa methan dari produk fermentasi terkecil. Karbondioksida dan hydrogen adalah subtrat yang penting, tetapi beberapa species dapat menggunakan senyawa sederhana selain C, (contoh methanol dan formate) atau C1 yang telah siap (methylated amine). Sedimen air tawar terdiri dari 70% methane hasil dari penggunaan asetat, sisanya terdiri dari CO2 dan H2 (Simarmata, 2007). Menurut Prihadi (2005) dalam keadaan anaerobik, yakni konsentrasi oksigen rendah atau bahkan tidak terdeteksi, maka mikroorganisme aerobik tidak dapat berkembangbiak, tetapi sebaliknya karena tidak adanya oksigen, maka organisme yang bersifat anaerobik akan aktif memecah bahan tersebut secara anaerob. Hasil dari penguraian secara anaerobik dapat dilihat pada Tabel 2.
11
Tabel 2. Bentuk senyawa hasil oksidasi bahan-bahan organik pada kondisi aerobik dan anaerobik. Kondisi Aerobik
Kondisi Anaerobik
C
CO2
C
CH4
N
NH3 + HNO3
N
NH3 + Amin
S
H2SO4
S
H2S
P
H3PO4
P
PO3
Sumber : Fardiaz (1992)
Dari Tabel 2 terlihat bahwa hasil penguraian senyawa yang mengandung karbon dalam kondisi anaerob adalah gas metana, dari senyawa yang mengandung nitrogen adalah ammonia dan amin, dari senyawa yang mengandung sulfur terbentuk gas H2S yang berbau busuk, dan dari senyawa yang mengandung fosfor akan terbentuk komponen fosfor yang mempunyai bau yang menyengat seperti bau anyir (Prihadi, 2005).
2.4
Ketersediaan Oksigen Terlarut Kelarutan oksigen di perairan dipengaruhi oleh suhu, tekanan parsial gas
dan salinitas (Boyd dan Licthkoppler, 1982). Selanjutnya dinyatakan bahwa sumber oksigen di kolam berasal dari fotosintesis dan respirasi phytoplankton, difusi dari udara, dan interflow (Simarmata, 2007).
2.4.1 Fotosintesis dan Respirasi Fitoplankton Oksigen terlarut merupakan salah satu komponen utama dari daya dukung lingkungan yang dihasilkan dari proses fotosintesis fitoplankton dan makrofita. Banyaknya oksigen terlarut diperairan merupakan salah satu parameter kualitas air yang paling mendasar untuk kehidupan organisme akuatik (Alabaster dan Llyod, 1980 dalam Hamilton dan Schladow, 1994) dan perubahan kimia di sedimentinterfase (Mortimer, 1971, Bostrim et al., dalam Hamilton dan Schladow, 1994; Simarmata, 2007). Oksigen yang terlarut dalam air pada umumnya berasal dari hasil fotosintesis jasad autotrof yang ada dalam air seperti fitoplankton dan tumbuhan air yang hidup di dalam perairan (APHA, 1989). Seller dan Markland (1987) juga
12
mengatakan, fotosintesis menghasilkan oksigen, yang merupakan input utama di perairan yang subur. Thornton et al. (1990) menegaskan bahwa, fotosintesis bertanggungjawab terhadap pulse oksigen di epilimnion waduk. Umumnya konsentrasi oksigen saat permulaan fajar rendah, lalu tinggi pada siang hari kemudian secara kontinu berkurang sepanjang malam karena kebutuhan respirasi komunitas. Perubahan oksigen terlarut lebih umum dekat zona riverine dibanding lakustrin, kecuali di teluk yang besar, dimana tanaman litoral dan blooming fitoplankton sering terjadi (Simarmata, 2007). Oksigen terlarut merupakan zat yang paling penting dalam system kehidupan di perairan, dalam hal ini berperan dalam proses metabolisme oleh makro dn mikroorganisme yang memanfaatkan bahan organik yang berasal dari hasil fotosintesis. Selain itu juga mempunyai peranan yang
penting dalam
penguraian bahan-bahan organik oleh berbagai jenis mikroorganisme yang bersifat aerobik (APHA, 1989), sehingga jika ketersediaan oksigen tidak mencukupi akan megakibatkan lingkungan perairan dan kehidupan dalam perairan menjadi terganggu, sekaligus akan menurunkan kualitas air (Prihadi, 2005). Kebutuhan oksigen bagi ikan mempunyai dua aspek, yaitu kebutuhan lingkungan bagi spesies tertentu dan kebutuhan konsumtif yang bergantung kepada keadaan metabolisme ikan. Perbedaan kebutuhan okesigen dalam suatu lingkungan bagi spesies ikan tertentu disebabkan oleh adanya perbedaan struktur molekul sel darah ikan yang mempengaruhi hubungan antara tekanan parsial oksigen dalam air dan derajat kejenuhan oksigen dalam sel darah. Ikan memerlukan oksigen guna pertumbuhan, reproduksi (Zonneveld et al., 1991) dan maintenance (Beveridge, 1996). Kebutuhan oksigen bagi ikan bervariasi bergantung kepada jenis ikan, umur dan ukuran ikan. Selain faktor diatas, kebutuhan oksigen juga bergantung kepada faktor lingkungan, seperti temperatur (Beveridge, 1996). Lebih lanjut dijelaskan bahwa, bila kelarutan oksigen diperairan
tidak
sesuai
dengan
kebutuhan,
maka
akan
mempengaruhi
pertumbuhan, konversi pakan dan kesehatan ikan. Selanjutnya Stickney (2000) dan Wardoyo (1981) juga menyatakan kelarutan oksigen dalam perairan dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain suhu air, salinitas, dan ketinggian lokasi (altitude). Oksigen terlarut akan menurun
13
konsentrasinya dalam air jika suhu air, salinitas, dan ketinggian meningkat, dan sebaliknya. Dan untuk kegiatan budidaya ikan yang komersial memerlukan konsentrasi oksigen dalam air lebih besar atau sama dengan 5 mg/L. Menurut Cholik et al. (1986) dan Sunarti (1992), bila konsentrasi oksigen terlarut tetap sebesar 3 atau 4 mg/L untuk jangka waktu lama maka ikan akan menghentikan aktivitasnya dan pertumbuhan akan berhenti. Kadar oksigen terlarut dalam air juga bisa dijadikan indikator untuk melihat pencemaran yang terjadi pada suatu perairan yakni kandungan oksigen dalam perairan melebihi dari 5 mg/L mengandung arti bahwa perairan tersebut tercemar ringan, jika kandungannya 2–5 mg/L berarti tercemar sedang dan 0–2 mg/L berarti perairan tersebut tercemar berat. Fotosintesis terjadi di zona fotik, tetapi respirasi terjadi dimana saja di dalam perairan (diseluruh kolom air bahkan sampai ke dasar perairan), sehingga hasil bersihnya adalah permukaan air cenderung kaya akan oksigen terlarut, dan berkurang dengan bertambahnya kedalaman (Seller dan Markland, 1990; Simarmata, 2007) 2.4.2 Difusi Menurut Simarmata (2007) sumber oksigen terlarut di perairan yang utama adalah difusi udara. Laju transfer oksigen tergantung pada konsentrasi oksigen terlarut di lapisan permukaan, konsentrasi saturasi oksigen, dan bervariasi sesuai kecepatan angin (Seller dan Markland, 1987). Selanjutnya Welch (1952) dalam Simarmata (2007), adsorpsi oksigen dari udara ke air melalui dua cara yaitu difusi langsung ke permukaan air atau melalui berbagai bentuk agitasi air permukaan, seperti gelombang, air terjun, dan turbulensi. Seller dan Markland (1987) mengatakan, reaerasi permukaan merupakan salah satu sumber oksigen terlarut. Reaerasi permukaan di danau atau waduk dipengaruhi oleh angin topan yang sangat kuat, menghasilkan gelombang permukaan dan gelombang internal serta arus horizontal yang kuat. Gelombang permukaan terlihat jelas, sedangkan gelombang internal terjadi di termoklin (Gambar 3).
14
Gambar 3. Gabungan diagram gaya (angin, gravitasi, evaporasi dan rotasi bumi) dan resultante arus air dan gelombang. Angin memindahkan air, gravitasi membuat aliran horizontal lebih mudah daripada vertikal, evaporasi mendinginkan permukaan air yang kemudian tenggelam, dan rotasi bumi memindahkan aliran permukaan ke kiri (dibelahan bumi utara) dan ke kanan di belahan bumi selatan (Goldman dan Horne, 1983 dalam Simarmata, 2007).
Pengadukan vertikal seperti halnya aliran horizontal disebabkan oleh angin dipermukaan. Spiral ekman dapat dianggap sebagai bagian dari gerakan air dengan berbagai kecepatan dan arah yang berbeda. Kontak diantara bagian-bagian tersebut menyebabkan perpindahan vertikal massa air dan menghasilkan pengadukan
diantara
masing-masing
bagian
tersebut.
Spiral
Langmuir
menyebabkan energi untuk pengadukan menjadi lebih terkendali dengan panjang gelombang kira-kira sama dengan kedalaman termoklin. Pada waktu tertentu evaporative cooling merupakan tenaga utama penyebab pengadukan vertikal. Pada Gambar 4 menunjukkan pergerakan air di danau baik vertikal maupun horizontal yang mempengaruhi konsentrasi oksigen terlarut di danau (Wetzel, 2001).
2.4.3
Susupan Oksigen Terlarut (Interflow) Inflow dapat menyebabkan terjadinya susupan oksigen terlarut ke badan
air. Residence time tahunan rata-rata tidak dapat digunakan sebagai alat ukur yang
15
tepat mengenai pengaruh inflow pada pengadukan waduk. Jika densitas inflow berbeda dengan densitas air permukaan, maka inflow masuk dan bergerak di waduk sebagai arus densitas (Simarmata, 2007). Bell (1942) dalam Thornton et al., (1990) mendefinisikan arus densitas sebagai aliran gravitasi dari cairan atau gas, dibawah atau diatas aliran fluida yang densitasnya hampir sama. Selanjutnya Simarmata (2007) mengatakan, densitas dapat disebabkan oleh suhu, total dissolved solid dan suspended solid. Di waduk perbedaan densitas terutama disebabkan oleh suhu. Arus densitas masuk ke epilimnion, metalimnion atau hipolimnion tergantung pada perbedaan densitas antara inflow dan waduk (Gambar 4). Jika densitas inflow lebih kecil dari pada permukaan maka inflow akan berada diatas (overflow).
Gambar 4. Inflow densitas ke waduk (Ford and Johnson dalam Thornton et al., 1990).
2.5
Kualitas Air Pada dasarnya kualitas lingkungan perairan (kualitas air) yang terdapat di
suatu perairan akan mempengaruhi kehidupan komunitas biota yang hidup dalam ekosistem perairan tersebut.
16
2.5.1
BOD BOD (Biological Oxygen Demand) adalah banyaknya oksigen yang
diperlukan oleh mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan organik. Pada analisis BOD, lama waktu inkubasinya bisa beraneka ragam, namun masa inkubasi yang paling umum adalah lima hari, sehingga diberi istilah BOD. Nilai BOD merupakan parameter yang menunjukkan besarnya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik dalam proses dekomposisi secara biokimia (Boyd, 1981), dengan demikian maka BOD merupakan ukuran banyaknya oksigen yang digunakan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan-bahan organik yang terdapat dalam air dalam waktu lima hari (APHA, 1989 ; Prihadi, 2005). Lama waktu mikroba untuk melakukan dekomposisi sampai mencapai stablitas sempuma tergantung dari keadaan alami substrat dan kemampuan hidup organisme. Dengan demikian maka BOD hanya menggambarkan bahan organik yang dapat didekomposisi secara biologis (biodegradable). Nilai BOD suatu perairan dipengaruhi faktor-faktor lain yang ada di lingkungannya, yakni suhu, densitas plankton, keberadaan mikroba serta jenis dan kandungan bahan organik. Pada perairan alami yang belum terlalu banyak campur tangan manusia, sumber bahan organik yang masuk ke dalam perairan berasal dari pembusukan tanaman, sehingga nilai BOD-nya rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Jeffries dan Mills (1996) yang mengatakan bahwa perairan alami memiliki nilai BOD antara 0,5–7,0 mg/l. Perairan yang memiliki nilai BOD lebih dari 10 mg/l dianggap telah mengalami pencemaran. Berdasarkan nilai BOD, maka suatu perairan bisa dikategorikan kualitas airnya menjadi perairan tidak tercemar atau tercemar ringan jika mempunyai BOD kurang dari 3 ppm; perairan diklasifikasikan sebagai perairan tercemar ringan jika mempunyai nilai BOD 3–4,9 ppm. Perairan tercemar sedang mempunyai BOD 5,0–15,0 ppm serta perairan yang mempunyai BOD lebih dari 15 ppm dikategorikan pada perairan tercemar berat (Lee, Wang dan Quo, 1978 dalam Prihadi, 2005).
17
2.5.2 Nitrit, Nitrat, Amonia Amonia merupakan salah satu bentuk nitrogen anorganik yang memiliki sifat mudah larut dalam air. Sumber utama senyawa amonia berasal dari sisa pakan yang tidak terkonversi dan kotoran organisme akuatik. Amonia diperairan berada dalam dua bentuk yaitu bentuk ion yang tidak bersifat racun (NH4+) dan bentuk gas (non ionic) yang bersifat racun (NH3) (Ciaccio, 1972). Nitrogen dalam bentuk nitrit adalah bentuk antara nitrat dan amonia, baik dalam proses oksidasi amonia menjadi nitrat maupun dalam proses reduksi nitrat menjadi nitrit, Nitrat pada umumnya merupakan nitrogen anorganik yang terbanyak di ekosistem perairan (APHA, 1989). Nitrogen merupakan gas yang jumlahnya paling banyak di atmosfer, yakni mencapai 78 % dari total gas yang ada di atmiosfer. Oleh karena itu maka sebagian besar nitrogen (N2) yang berada dalam suatu perairan berasal dari difusi udara nitrogen dari udara (atmosfir). Tumbuhan jenis tertentu dapat memfiksasi secara langsung nitrogen dari udara bebas dan kilat pada waktu hujan, sehingga membentuk nitrik oksida (NO), yang akan teroksidasi lebih lanjut membentuk NO3- dan pada akhirnya akan terbawa ke perairan, dengan reaksi : 1 . N2 (g) + O2 (g)
2NO (g)
2. 2NO (g) + O2 (g)
2NO2 (g)
3. 3NO2 + H2O
2H+ + 2NO3- + NO
Jika nitrogen dalam perairan ada dalam bentuk ammonia ataupun ammonium, maka senyawa ini tetap dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan akuatik, senyawa tersebut mengalami proses nitrifikasi membentuk nitrat yang pada akhirnya juga akan dimanfaatkan oleh jasad autotrof dalam air. Menurut Effendi (2007) proses pembentukan nitrat (nitrifikasi) terjadi dua tahap, yakni : 1. NH4+ + 1½O2
NO2- + 2H+ + H2O, dan
2. NO2- + ½ O2
NO3-
Amonia yang tinggi akan mempengaruhi permeabilitas ikan terhadap air dan menurunkan konsentrasi ion dalam tubuh, sehingga meningkatkan konsumsi
18
oksigen pada jaringan dan mengakibatkan kerusakan pada insang serta mengurangi kemampuan darah dalam mentransportasikan oksigen (Boyd, 1982).
2.5.3 Oksigen Terlarut (DO) Kelarutan oksigen merupakan salah satu faktor kualitas air yang paling kritis dalam budi daya ikan di kolam, sehingga goncangan oksigen sedikit saja langsung dapat dirasakan oleh ikan. Kelarutan oksigen di perairan dipengaruhi oleh suhu, tekanan parsial gas dan salinitas (Boyd dan Licthkoppler, 1982). Selanjutnya dinyatakan bahwa sumber oksigen di kolam berasal dari fotosintesis phytoplankton dan difusi dari udara, sedangkan penyebab utama berkurangnya kelarutan oksigen adalah karena respirasi plankton, respirasi ikan, respirasi organisme dasar dan difusi ke udara. Oksigen terlarut merupakan salah satu komponen utama dari daya dukung lingkungan yang dihasilkan dari proses fotosintesis fitoplankton dan makrofita. Banyaknya oksigen terlarut dalam kolam merupakan salah satu parameter kualitas air yang paling peka untuk kehidupan ikan. Menurut Cholik et al. (1986) dan Sunarti (1992), bila konsentrasi oksigen terlarut tetap sebesar 3 atau 4 mg/L untuk jangka waktu lama maka ikan akan menghentikan aktivitasnya dan pertumbuhan akan berhenti. Kebutuhan oksigen bagi ikan mempunyai dua aspek, yaitu kebutuhan lingkungan bagi spesies tertentu dan kebutuhan konsumtif yang bergantung kepada keadaan metabolisme ikan. Perbedaan kebutuhan okesigen dalam suatu lingkungan bagi spesies ikan tertentu disebabkan oleh adanya perbedaan struktur molekul sel darah ikan yang mempengaruhi hubungan antara tekanan parsial oksigen dalam air dan derajat kejenuhan oksigen dalam sel darah. Ikan memerlukan oksigen guna pertumbuhan, reproduksi (Zonneveld et al., 1991) dan maintenance (Beveridge, 1996). Kebutuhan oksigen bagi ikan bervariasi bergantung kepada jenis ikan, umur dan ukuran ikan. Selain faktor diatas, kebutuhan oksigen juga bergantung kepada faktor lingkungan, seperti temperatur (Beveridge, 1996). Lebih lanjut dijelaskan bahwa, bila kelarutan oksigen diperairan
tidak
sesuai
dengan
kebutuhan,
maka
akan
mempengaruhi
pertumbuhan, konversi pakan dan kesehatan ikan.
19
Selanjutnya Stickney (2000) juga menyatakan kelarutan oksigen dalam perairan dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain suhu air, salinitas, dan ketinggian lokasi (altitude). Oksigen terlarut akan menurun konsentrasinya dalam air jika suhu air, salinitas, dan ketinggian meningkat, dan sebaliknya. Dan untuk kegiatan budi daya ikan yang komersial memerlukan konsentrasi oksigen dalam air lebih besar atau sama dengan 5 mg/L. Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada percampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah (effluent) yang masuk ke badan air. Hubungan antara kadar oksigen terlarut jenuh dan suhu ditunjukkan dalam Tabel 3, yang menggambarkan bahwa Semakin tinggi suhu, kelarutan oksigen Semakin berkurang. Tabel 3. Hubungan antara kadar oksigen terlarut jenuh dan suhu pada tekanan udara 760 mm Hg Kadar Oksigen Suhu Suhu (oC) Terlarut (mg/liter) (oC) 0 14,62 14 1 14,22 15 2 13,83 16 3 13,46 17 4 13,11 18 5 12,77 19 6 12,45 20 7 12,14 21 8 11,84 22 9 11,56 23 10 11,29 24 11 11,03 25 12 10,78 26 13 10,54 27
Kadar Oksigen Terlarut (mg/liter) 10,31 10,08 9,87 9,66 9,47 9,28 9,09 8,91 8,74 8,58 8,42 8,26 8,11 7,97
Suhu Kadar Oksigen (oC) Terlarut (mg/liter) 28 7,83 29 7,69 30 7,56 31 7,43 32 7,30 33 7,18 34 7,06 35 6,95 36 6,84 37 6,73 38 6,62 39 6,51 40 6,41
Sumber : Cole (1988)
Boyd dan Licthkoppler (1982) menjelaskan kebutuhan oksigen pada ikan secara umum adalah sebagai berikut : DO<1 ppm adalah konsentrasi letal, 1–5 ppm hidup tapi pertumbuhan lambat, dan DO>5 ppm merupakan konsentrasi ideal bagi kehidupan ikan. Safronios et al. (1996) melaporkan bahwa ikan nila biru (Oreochromis aureus) yang dipelihara di dalam tangki dengan kadar O2 rata-rata 2,63 ppm, 3,75 ppm dan 6,51 ppm memperlihatkan peningkatan berat tubuh
20
seiring dengan bertambahnya konsentrasi oksigen. Pertambahan total berat tubuh dan kecepatan pertumbuhan harian yang paling tinggi juga dicapai pada tangki dengan kadar oksigen tertinggi. Namun nilai konversi pakan dan efisiensi protein yang terbaik dicapai pada pemeliharaan dalam tangki dengan kadar oksigen menengah (3,75 ppm). Kandungan oksigen terlarut pada siang hari tinggi, karena proses fotosintesis secara maksimal. Pada malam dan sore hari kandungan oksigen terlarut turun karena tidak ada sinar matahari, sementara semua organisme perairan
melakukan proses respirasi yang mengkonsumsi oksigen dan
mengeluarkan karbondioksida. Oleh sebab itu, konsentrasi oksigen terlarut berubah-ubah dalam siklus harian yaitu waktu fajar, konsentrasi oksigen terlarut adalah yang terendah dan semakin naik pada waktu siang hari sampai mencapai titik maksimal lewat tengah hari (Boyd, 1991). Kelarutan oksigen dalam air juga dipengaruhi oleh suhu dan tekanan udara. Menurut Hasting dalam Jangkaru (1984), kebutuhan oksigen oleh ikan adalah 16,48 mg/100 g/jam. Kadar optimum untuk pertumbuhan harus lebih besar dari 5 mg/L (Cholik et al., 1986). Chakroff (1985) menambahkan bahwa kadar oksigen 15 mg/L merupakan kadar tertinggi kritis, dan titik terendah kritis adalah 4 mg/L.
2.5.4 Potensial Redoks Potensial redoks merupakan suatu besaran potensial listrik yang dapat menunjukkan proses dekomposisi bahan organik dalam sedimen berlangsung dalam keadaan reduksi atau oksidasi. Suatu bahan dikatakan mengalami oksidasi jika kehilangan elektron dan dikatakan mengalami reduksi jika menerima elektron (Effendi, 2007). Tebbut (1992) mengatakan, suatu reaksi pada kondisi anaerob memiliki nilai Oxidation-Reduction Potensil (ORP) <50 mV. Selanjutnya Boyd (1990) menyatakan, pada lumpur dasar perairan yang memiliki kondisi anaerob, nilai ORP dapat mencapai -0,1 mV. Menurut Abdunnur et al. (2004) dalam Suwoyo (2009) bahwa proses dekomposisi bahan organik dapat terjadi baik dalam kondisi reduksi maupun oksidasi.
21
2.5.5
pH Tingkat keasaman (pH) adalah suatu ukuran untuk menyatakan besarnya
konsentrasi ion hydrogen sehingga dapat diketahui apakah suatu perairan bereaksi asam atau basa. Nilai pH suatu perairan sangat ditentukan oleh CO2 dan substansi asam. Phytoplankton dan tanaman air lainnya mengambil CO2 selama berlangsungnya proses fotosintesis, sehingga pH perairan meningkat di siang hari dan kembali turun pada malam hari (Boyd dan Licthkoppler, 1982 dan Zonneveld et al., 1991). Pada pemeliharaan ikan, pH memiliki arti penting untuk diketahui karena nilai pH yang ekstrim dapat merusak permukaan insang sehingga menyebabkan kematian pada ikan. Selain alasan tadi, pH juga dapat meningkatkan efek toksid beberapa polutan seperti amonia dan sianida, dan logam berat seperti aluminium (Beveridge, 1996). Boyd dan Licthkoppler (1982) menyatakan kisaran pH pada budidaya ikan adalah sebagai berikut : pH 4 dan 11 adalah titik mati asam dan basa, pH antara 4 dan 6, dan antara 9 dan 10, ikan dapat hidup tapi pertumbuhannya lambat, sedangkan pH 6,5 dan 9 merupakan kisaran optimum bagi kehidupan ikan. Supaya ikan dapat tumbuh maksimal, pH harus tetap ideal dengan fluktuasi yang kecil (Stickney, 1993). Jika dalam suatu perairan terdapat kandungan bahan organik yang tinggi, maka bahan organik tersebut harus diuraikan, untuk ini diperlukan oksigen. Dalam keadaan ada oksigen akan dihasilkan karbondioksida, uap air dan nitrat. Dalam keadaan tidak ada oksigen akan dihasilkan hidrogen sulfida (H2S), amonia (NH3) dan metana (CH4). Hampir semua senyawa yang dihasilkan tersebut bersifat asam yang pada akhirnya akan menurunkan pH. Zat tersebut akan digunakan untuk proses fotosintesis, sehingga kandungan karbondioksida akan menurun, dan ion bikarbonat (HCO3-) akan berubah menjadi CO2 dan ion OH-. Adanya dominasi ion hidroksil ini mengakibatkan pH air meningkat (Prihadi, 2005). Moss (1993) mengatakan, jika dalam suatu perairan terdapat bahan organik yang tinggi, maka hasil dekomposisi bahan organik tersebut diantaranya karbondioksida. Di dalam air karbondioksida ini akan membentuk asam karbonat.
22
Keadaan ini juga bisa terjadi jika 1% dari karbondioksida bereaksi dengan air, sehingga membentuk asam karbonat (Cole, 1988). Pada pembentukan asam karbonat tersebut akan dihasilkan ion hidrogen yang mengakibatkan pH perairan menurun.
2.5.6
Karbon Dioksida (CO2) Karbon dioksida sangat mudah larut dalam air. Konsentrasi CO2 di
perairan ditentukan oleh aktivitas fotosintesis phytoplankton dan respirasi organisme perairan. Bila konsentarasi O2 di perairan meningkat maka pada saat yang bersamaan diikuti oleh penurunan kelarutan CO2, demikian pula sebaliknya. Sehingga pada pagi hari selalu CO2 lebih tinggi dibanding pada sore hari. Konsentrasi CO2 terendah yang masih dapat ditolerir oleh ikan adalah 5 ppm dan konsentrasi tertinggi adalah 60 ppm dengan catatan kelarutan oksigen tinggi (Boyd dan Licthkoppler, 1982). Sebenarnya dengan kadar CO2 lebih dari 10 ppm saja sudah dapat meracuni ikan, karena keberadaannya di darah dapat menghambat pengikatan oksigen oleh haemoglobin (Zonnveld et al., 1991). konsentrasi CO2 antara 50 dan 100 mg/l harus diwaspadai karena dapat menyebabkan ikan stres dan jika dibiarkan akan membunuh ikan. Ikan Seraterodon macrochir di alam dapat mentolerir CO2 hingga lebih dari 75 mg/l. 2.5.7 Alkalinitas Menurut Effendi (2007), alkalinitas adalah gambaran kapasitas air untuk menetralkan asam atau dikenal dengan sebutan acid-neutralizing capacity (ANC) atau kuantitas anion di dalam air yang dapat menetralkan kation hidrogen. Alkalinitas juga diartikan sebagai kapasitas penyangga (buffer capacity) terhadap perubahan pH perairan. Penyusun alkalinitas perairan adalah anion bikarbonat (HCO3-), karbonat (CO32-), dan hidroksida (OH-). Borst (H2BO3-), silikat (HSi03-), fosfat (HPO42- dan H2PO4-), sulfida. (HS-), dan amonia (NH3) juga memberikan konstribusi terhadap alkalinitas. Namun, pembentuk alkalinitas yang utama adalah bikarbonat, karbonat, dan hidroksida. Di antara ketiga ion tersebut, bikarbonat paling banyak terdapat pada perairan alami. Kation utama yang mendominasi perairan tawar adalah kalsium dan magnesium, sedangkan pada perairan laut
23
adalah sodium dan magnesium. Anion utama pada perairan tawar adalah bikarbonat dan karbonat, sedangkan pada perairan laut adalah klorida. Selanjutnya Boyd (1981) mengatakan alkalinitas yang baik dalam penyediaan CO2 adalah 20– 150 mg/L. Menurut Cholik et al. (1986), bila total alkalinitas terlalu rendah dapat ditingkatkan melalui penambahan kapur (pengapuran), dan pada umumnya perairan yang baik (produktif) untuk budidaya ikan mengandung nilai total alkalinitas dan kesadahan yang sama besarnya. Selanjutnya Boyd (1992) mengatakan, pemberian kapur dapat meningkatkan pH lumpur dan menyebabkan tersedianya fosfor untuk jasad nabati. Disamping itu pengapuran juga dapat meningkatkan alkalinitas serta tersedianya CO2 untuk fotosintesis. Persentase ionion utama, yang terdapat dalam perairan tawar dan laut ditunjukkan dalam Tabel 4. Tabel 4. Kation dan anion utama pada perairan tawar dan laut Ion-ion utama Kation : 1. Kalsium (Ca2+) 2. Magnesium (Mg2+) 3. Sodium/Natrium (Na+) 4. Kalium (K+)
Persentase (%) Air tawar Air laut 60,9 19,0 16,6 2,5
3,2 10,1 83,7 3,0
Anion : 72,4 1. Bikarbonat (HCO3-) dan Karbonat (CO32-) 16,1 2. Sulfat (SO42-) 11,5 3. Klorida (Cl-) Sumber : Modifikasi Cole (1983) dalam Effendi (2007)
0,6 12,2 87,2
Bikarbonat, karbonat, dan asam karbonat merupakan sumber utama karbon anorganik di perairan. Karbon anorganik di perairan dapat berasal dari beberapa sumber, yaitu atmosfer, batuan karbonat, siklus biologi karbon, sumber allocthonous (dari luar perairan). Pada awalnya, alkalinitas adalah gambaran pelapukan batuan yang terdapat pada sistem drainase. Alkalinitas dihasilkan dari karbondioksida dan air yang dapat melarutkan sedimen batuan karbonat menjadi bikarbonat. Kalsium karbonat merupakan senyawa yang memberi kontribusi terbesar terhadap nilai alkalinitas dan kesadahan di perairan tawar. Senyawa ini terdapat di dalam tanah dalam jumlah yang berlimpah sehingga kadarnya diperairan tawar
24
cukup tinggi. Kelarutan kalsium karbonat menurun dengan meningkatnya suhu dan meningkat dengan keberadaan karbondioksida. Kalsium karbonat bereaksi dengan karbondioksida membentuk kalsium bikarbonat [Ca(HCO3)2] yang memiliki daya larut lebih tinggi dibandingkan dengan kalsium karbonat (CaCO3)(Cole, 1988). Tingginya kadar bikarbonat di perairan disebabkan oleh ionisasi asam karbonat, terutama pada perairan yang banyak mengandung karbondioksida (kadar CO2 mengalami saturasi/jenuh). Karbondioksida di perairan bereaksi dengan basa yang terdapat pada batuan dan tanah membentuk bikarbonat (HCO3) (Boyd, 1981). Calcite dan dolomite sebenarnya memiliki daya larut yang rendah, namun dengan
keberadaan
karbondioksida
kelarutan
senyawa-senyawa
tersebut
meningkat. Reaksi pembentukan bikarbonat dari karbonat adalah reaksi setimbang dan mengharuskan keberadaan karbondioksida untuk mempertahankan bikarbonat dalam bentuk larutan. Jika kadar karbondioksida bertambah atau berkurang maka akan terjadi perubahan kadar ion bikarbonat. Satuan alkalinitas dinyatakan dengan mg/liter kalsium karbonat (CaCO) atau mili-ekuivalen/liter. Selain bergantung pada pH, alkalinitas juga dipengaruhi oleh komposisi mineral, suhu, dan kekuatan ion. Pada air mendidih, alkalinitas hanya terdiri atas karbonat dan hidroksida. Karbondioksida tidak larut dalam air panas (mendidih), namun terbawa bersama uap air sehingp nilai pH air mendidih dapat mencapai 11. Nilai alkalinitas perairan alami hampir tidak pernah melebihi 500 mg/liter CaCO3. Perairan dengan nilai alkalinitas yang terlalu tinggi tidak terlalu disukai oleh organisme akuatik karena biasanya diikuti dengan nilai kesadahan yang tinggi atau kadar garam natrium yang tinggi. Nilai alkalinitas berkaitan erat dengan korosivitas logam dan dapat menimbulkan permasalahan kesehatan pada manusia, terutama yang berhubungan dengan iritasi pada sistem pencernaan (gastro intestinal). Jika dididihkan dengan waktu yang lama, perairan dengan nilai alkalinitas yang tinggi menghasilkan deposit dan menimbulkan bau yang kurang sedap.
25
Nilai alkalinitas yang baik berkisar antara 30–500 mg/liter CaCO3. Nilai alkalinitas di perairan berkisar antara 5 hingga ratusan mg/liter CaCO3. Alkalinitas pada perairan alami adalah 40 mg/liter CaCO3 (Boyd, 1981). Perairan dengan nilai alkalinitas >40 mg/liter CaCO3 disebut perairan sadah (Hard water), sedangkan perairan dengan nilai alkalinitas <40 mg/liter disebut perairan lunak (softwater). Alkalinitas perairan berkaitan dengan gambaran kandungan karbonat dari batuan dan tanah yang dilewati oleh air serta sedimen dasar perairan. Nilai alkalinitas tinggi biasanya juga ditemukan diwilayah kering dimana terjadi evaporasi secara intensif. Perairan dengan nilai alkalinitas tinggi lebih produktif daripada perairan dengan alkalinitas rendah. Tingkat produktivitas perairan ini sebenarnya tidak berkaitan secara langsung dengan nilai alkalinitas, tetapi berkaitan dengan keberadaan fosfor dan elemen esensial lain yang kadarnya meningkat dengan meningkatnya nilai alkalinitas. Alkalinitas berperan dalam hal-hal sebagai berikut : 1. Sistem penyangga (buffer) Bikarbonat yang terdapat pada perairan dengan nilai alkalinitas total tinggi berperan sebagai penyangga (buffer capacity) perairan terhadap perubahan pH yang drastis. Jika basa kuat ditambahkan ke dalam perairan maka basa tersebut akan bereaksi dengan asam karbonat manjadi garam bikarbonat dan akhimya menjadi karbonat. Jika asam ditambahkan ke dalam perairan maka asam tersebut akan digunakan untuk mengkonversi karbonat menjadi bikarbonat dan bikarbonat menjadi asam karbonat. Fenomena inilah yang menjadikan perairan dengan nilai alkalinitas total tinggi tidak mengalami perubahan pH secara drastis (Cole, 1988 dalam Effendi, 2007). 2. Koagulasi kimia Bahan kimia yang digunakan dalam proses koagulasi air atau air limbah. bereaksi dengan air membentuk presipitasi hidroksida yang tidak larut. Ion hidrogen yang dilepaskan bereaksi dengan ion-ion penyusun alkalinitas, sehingga alkalinitas berperan sebagai penyangga untuk mengetahui kisaran pH yang optimum bagi penggunaan koagulan. Dalam hal ini nilai alkalinitas
26
sebaiknya berada pada kisaran optimum untuk mengikat ion hidrogen yang dilepaskan pada proses koagulasi. 3. Pelunakan (water softening) Alkalinitas adalah parameter kualitas air yang harus dipertimbangkan dalam menentukan jumlah soda abu dan kapur yang diperlukan dalam proses pelunakan (softening) dengan metode presipitasi. Pelunakan bertujuan untuk menurunkan kesadahan.
2.5.8
Kesadahan Menurut Effendi (2007) kesadahan (hardness) adalah gambaran kation
logam divalen (valensi dua). Kation-kation ini dapat bereaksi dengan sabun (soap) membentuk endapan (presipitasi) maupun dengan anion-anion yang terdapat di dalam air membentuk endapan atau karat pada peralatan logam. Pada perairan tawar, kation divalen yang paling berlimpah adalah kalsium dan magnesium (Tabel 5), sehingga kesadahan pada dasarnya ditentukan oleh jumlah kalsium dan magnesium. Kalsium dan magnesium berikatan dengan anion penyusun alkalinitas, yaitu bikarbonat dan karbonat. Keberadaan kation yang lain, misalnya strontium, besi valensi dua (kation fero), dan mangan juga memberikan kontribusi bagi nilai kesadahan total, meskipun peranannya relatif kecil. Aluminium dan besi valensi tiga (Kation ferri) sebenarnya juga memberikan kontribusi terhadap nilai kesadahan. Namun demikian, mengingat sifat kelarutannya yang relatif rendah pada pH netral maka peran kedua kation ini sering kali diabaikan. Kesadahan dan alkalinitas dinyatakan dengan satuan yang sama, yaitu mg/liter CaCO3. Tabel 5. Kation-kation penyusun kesadahan dan anion-anion pasangan/ asosiasinya Kation
Anion
Ca2+
HCO2-
Mg2+
SO42-
Sr2+
Cl-
Fe2+
NO3-
Mn2+
SiO32+
Sumber : Sawyer dan McCarty (1978) dalam Effendi (2007)
27
Kesadahan perairan berasal dari kontak air dengan tanah dan bebatuan. Air hujan sebenarnya tidak memiliki kemampuan untuk melarutkan ion-ion penyusun kesadahan yang banyak terikat di dalam tanah dan batuan kapur (limestone), meskipun memiliki kadar karbondioksida yang relatif. Larutnya ion-ion yang dapat meningkatkan nilai kesadahan tersebut
lebih banyak disebabkan oleh
aktivitas bakteri di dalam tanah, yang banyak mengeluarkan karbondioksida. Pada Gambar 5 memperlihatkan penampang melintang tanah yang memperlihatkan proses terlarutnya kation penyusun kesadahan perairan
Gambar 5. Penampang melintang tanah yang memperlihatkan proses terlarutnya kation penyusun kesadahan perairan (Sawyer dan McCarty, 1978 dalam Effendi, 2007)
28
Keberadaan karbondioksida membentuk kesetimbangan dengan asam karbonat. Pada kondisi yang relatif asam, senyawa-senyawa karbonat yang terdapat di dalam tanah dan batuan kapur yang sebelumnya tidak larut berubah menjadi senyawa bikarbonat yang bersifat larut. Batuan kapur (lime stone) pada dasarnya tidak hanya mengandung karbonat, tetapi juga mengandung sulfat, klorida, dan silikat. Ion-ion ini juga ikut terlarut dalam air. Gambar 6 menunjukkan proses pelarutan senyawa karbonat. Perairan dengan nilai kesadahan tinggi pada umumnya merupakan perairan yang berada di wilayah yang memiliki lapisan tanah pucuk (top soil) tebal dan batuan kapur. Perairan lunak berada pada wilayah dengan lapisan tanah atas tipis dan batuan kapur relatif sedikit atau bahkan tidak ada. Air permukaan biasanya memiliki nilai kesadahan yang lebih kecil dan pada air tanah. Perairan dengan nilai kesadahan kurang dari 120 mg/liter CaCO3 dan lebih dari 500 mg/liter CaCO3 dianggap kurang baik bagi peruntukan domestik, pertanian, dan industri. Namun, air sadah lebih disukai oleh organisme daripada air lunak (Effendi, 2007).
2.5.9
Kalsium (Ca) Keberadaan kalsium sangat dipengaruhi oleh reaksi kimia yang melibatkan
karbon dioksida, di perairan senyawa kalsium bersifat stabil dengan keberadaan karbon dioksida. Kadar kalsium pada perairan tawar biasanya kurang dari 15 mg/L, perairan yang berada di sekitar batuan karbonat antara 30–100 mg/L, perairan laut sekitar sekitar 400 mg/L, sedangkan pada brine dapat mencapai 75.000 mg/L (McNeely et al., 1979 dalam Effendi, 2007). Di perairan, senyawa kalsium bersifat stabil dengan keberadaan karbondioksida. Kadar kalsium menurun jika kalsium mengalami presipitasi (pengendapan) menjadi CaCO3, sebagai akibat terjadinya peningkatan suhu, penurunan kadar karbondioksida, peningkatan aktivitas fotosintesis. Wetzel (1975) mengemukakan bahwa sekitar 30% penyusun sedimen dasar danau yang bersifat sadah adalah kalsium.
29
2.5.10 Hidrogen Sulfida (H2S) dan Bakteri SRB Sulfur berada dalam bentuk organik dan anorganik. Sulfur anorganik terutama terdapat dalam bentuk sulfat (SO42-), yang merupakan bentuk sulfur utama di perairan dan tanah (Effendi, 2007). Sulfida berasal dari limbah industri atau dihasilkan dari proses dekomposisi bahan organik yaitu proses reduksi sulfat oleh bakteri pada kondisi anaerob. Bakteri SRB adalah bakteri obligat anaerob yang menggunakan sulfat sebagai akseptor terminal elektron (Moriaty dan Paullin, 1987), selanjutnya Simarmata (2007) mengatakan, jika deplesi oksigen semakin besar maka kondisi perairan semakin reduksif dan akhirnya mencapai anaerob, yang merupakan syarat tumbuh untuk SRB. Di perairan, sulfur berikatan dengan ion hidrogen dan oksigen. Beberapa bentuk sulfur di perairan adalah sulfida (S2-), hidrogen sulfida (H2S), ferro sulfida (FeS), sulfur dioksidasi (SO2), sulfit (SO3), dan sulfat (SO4). Sulfat yang berikatan dengan hidrogen membentuk asam sulfat dan sulfat yang berikatan dengan logam alkali merupakan bentuk sulfur yang paling banyak ditemukan di danau dan sungai (Cole, 1988). Kadar sulfat pada kolom air biasanya berkisar antara 0,02– 0,1 mg/L. Menurut Effendi (2007) kadar sulfide lebih dari 0,002 mg/L mengakibatkan terjadinya gangguan pada sistem pencernaan, kadar fenol lebih dari 0,01 mg/L akan bersifat toksik bagi ikan. 2.5.11 Fenol Fenol merupakan senyawa kimia organik yang terdiri dari suatu gugus OH yang terikat pada cincin aromatik (Fessenden dan Fessenden, 1986; Priatna et al., 1994; Haerudin, 2006). Senyawa ini mudah mengalami oksidasi, pada kadar yang lebih dari 0,01 mg/L, fenol bersifat toksik bagi ikan (Effendi, 2007). 2.5.12 Total Fosfat dan Orto Fosfat (PO43-- P) Fosfor merupakan hara makro yang dimanfaatkan untuk pertumbuhan jasad autotrof di perairan. Dalam ekosistem perairan fosfor berada dalam bentuk senyawa anorganik yakni ortofosfat, metafosfat dan polifosfat. Sedangkan fosfat organik berada dalam tubuh organisme yang melayang di dalam air, dan umumnya berada dalam bentuk ion fosfat.
30
Fosfat merupakan salah satu senyawa penting untuk sintesis protein dan berperan dalam anabolisme suatu organisme (Wardoyo, 1981). Dalam suatu perairan fosfat dapat berbentuk ortofosfat, polifosfat dan fosfat organik. Namun demikian hanya ortofosfat yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh jasad autotrof (APHA, 1989 ; Prihadi, 2005). Menurut Prihadi (2005), pada umumnya fosfat yang berada di perairan banyak terdapat dalam bentuk fosfat organik dan fosfat anorganik. Sumber utama fosfat anorganik terutama berasal dari penggunaan deterjen, alat pembersih untuk keperluan rumah tangga serta berasal dari industri pupuk pertanian. Sedangkan fosfat organik barasal dari makanan dan buangan rumah tangga. Semua fosfat mengalami proses perubahan biologis menjadi fosfat anorganik yang selanjutnya digunakan oleh tanaman untuk membuat energi. Fosfat sangat berguna untuk pertumbuhan organisme dan merupakan faktor yang menentukan produktivitas badan air. Fosfat yang terlarut dalam perairan pada keadaan normal biasanya berbentuk orto-fosfat yang ada diperairan dalam jumlah yang rendah. Kandungan fosfat terlarut di perairan alam umumnya tidak lebih dari 0,1 mg/l. Jika dalam suatu perairan terjadi masukan bahan pencemar dalam jumlah yang tinggi dan mengakibatkan kandungan fosfatnya cukup tinggi dapat mengakibatkan terjadinya proses eutrofikasi atau keadaan lewat subur yang mengakibatkan terjadinya pertumbuhan plankton yang tidak terkendali (Wetzel, 1975; Prihadi, 2005).
2.5.13 COD (Chemical Oxygen Demand) COD (Chemical Oxygen Demand) menggambarkan kebutuhan oksigen dibutuhkan untuk menguraikan bahan organik secara kimiawi dengan oksidator kalium dikromat. Dengan adanya oksidator kalium dikromat ini seringkali mengakibatkan kemampuan oksidasi yang lebih tinggi dari oksidasi secara biologi, karena dalam uji COD bahan-bahan yang stabil terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat teroksidasi, sehingga nilai COD lebih tinggi dari BOD. Sebagai contoh serat selulosa yang sukar terurai melalui reaksi biokimia pada uji BOD, baru bisa terurai melalui reaksi kimia (Prihadi, 2005).
31
2.5.14 Suhu Suhu air merupakan parameter terpenting yang memberikan pengaruh proses fisiologi terhadap ikan, seperti laju pernapasan, efisiensi makanan dan pencernaan, pertumbuhan, prilaku, reproduksi dan laju metabolisme di dalam tubuh ikan. Kenaikan temperatur akan meningkat laju metabolisme dan bersamaan dengan itu juga akan meningkatkan konsumsi oksigen dan aktivitas gerak ikan (Beveridge, 1996 dan Zonneveld et al., 1991), aktivitas makan, kebutuhan energi maintenan, aktivitas enzim, difusi molekul-molekul kecil, fungsi membran dan kecepatan sintesis protein (Houlihan et al., 1993). Umumnya kecepatan reaksi kimia dan biologi akan meningkat dua kali lipat untuk setiap kenaikan suhu air 10o C (Boyd dan Licthkoppler, 1982 ; Cholik et al., 1986). Hal ini bila terjadi dari kondisi suhu dibawah titik optimal hingga mencapai titik optimal tentu dapat meningkatkan pertumbuhan ikan. Karena peningkatan laju metabolisme diikuti oleh tingginya kebutuhan O2, maka persyaratan O2 terlarut di daerah panas lebih tinggi daripada di daerah dingin. Perubahan suhu yang mendadak dapat menyebabkan ikan mati, meskipun kondisi lingkungan lainnya optimal. Namun, peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi. Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba. Kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah 20oC–30oC. Suhu perairan mempunyai kaitan yang cukup erat dengan besarnya intensitas cahaya yang masuk ke dalam suatu perairan. Dalam hal ini intensitas cahaya yang masuk ke dalam suatu perairan akan menentukan derajat panas, yakni semakin banyak sinar matahari yang masuk ke dalam suatu perairan, semakin tinggi suhu airnya. Namun semakin bertambahnya kedalaman, akan menurunkan suhu perairan (Welch, 1980). Menurut Nontji (1987) suhu yang terdeteksi di permukaan air dipengaruhi oleh keadaan metereologi seperti curah hujan, penguapan, kelembaban udara, kecepatan angin dan intensitas radiasi sinar matahari.
32
2.5.15 Kedalaman Kedalaman perairan merupakan parameter penting bagi kelayakan lahan budi daya ikan karena kedalaman menentukan volume perairan, sekaligus dapat mempengaruhi parameter kualitas air lainnya seperti suhu, kecerahan perairan dan arus. Selain itu kedalaman perairan juga akan menentukan lebarnya distribusi dan dispersi bahan pencemar. Dalam hal ini perairan yang dalam, mempunyai volume air yang lebih banyak, akibatnya akan mendistribusikan bahan pencemaran lebih luas, sehingga konsentrasi bahan pencemar di perairan menjadi lebih kecil. Menurut Beverage (1996), kedalaman optimal saat surut antara dasar keramba dengan dasar perairan untuk kegiatan budi daya ikan khususnya dalam KJA adalah 4–5 m.
33
3 METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu kegiatan lapangan (survey awal) pada perairan Waduk Cirata dan pengamatan di Laboratorium Lingkungan Perairan Departemen Akuakultur FPIK–IPB. Kegiatan lapangan terdiri dari survey awal, dan analisa laboratorium. Sedangkan kegiatan di laboratorium meliputi pengamatan sedimen dari Waduk Cirata yang dilaksanakan selama 2 bulan (Oktober 2008 sampai Desember 2008), analisa laboratorium dan analisa data. Analisa sampel dilakukan di Laboratorium Lingkungan Perairan Departemen Akuakultur FPIK–IPB dan analisa bakteri di Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi. Lokasi ini dipilih karena keberadaan kegiatan budidaya ikan dalam KJA yang belakangan ini cukup mengkawatirkan, dimana jumlah KJA yang ada dilapangan dapat dikategorikan melebihi kapasitas perairan tersebut. 3.2 Alat dan Bahan Alat-alat sampling : GPS, Sechi disk, botol plastik, botol BOD, DO meter, Cool box, pH meter, dan petersen grab. Alat-alat laboratorium : pompa vakum, lemari pendingin, spektrofotometer, neraca analitik, hot plat, oven, turbidimeter, alat destilasi dan labu destilasi. Bahan yang digunakan sebagai pengawet sampel : penambahan PP indikator dan titrasi dengan Na2CO3, penambahan BCG/MR indikator dan titrasi dengan HCl, penambahan NaOH dan Zn-Acetat. Sedangkan untuk parameter yang lain, sampel air diawetkan dengan menggunakan H2SO4, HNO3, HgCl.
3.3
Metode Pengumpulan Data
3.3.1
Kegiatan Lapangan (Survei Awal) Kegiatan lapangan terdiri dari survai awal, analisis kualitas air dan analisis
sedimen hasil survei awal dilakukan di Laboratorium Lingkungan Perairan Departemen Akuakultur FPIK–IPB. Parameter kualitas air yang diukur pada survei awal meliputi: kedalaman, suhu air, pH, dan DO, sedangkan untuk pengukuran karbondioksida (CO2), fosfat total, phospat ortho (PO4), nitrit (NO2),
34
nitrat (NO3), amoniak (NH3), alkalinitas, kesadahan, sulfida total (H2S), COD, BOD, Ca dan C-organik dilakukan di laboratorium dengan alat spektrofotometer dan AAS. Pengambilan contoh sedimen dilakukan dengan menggunakan petersen grab, kemudian sampel tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik hitam. adapun parameter hasil survei awal yang diukur meliputi Redoks, Ca dan Corganik. Untuk menghindari terjadinya perubahan pada contoh air yang akan dianalisis di laboratorium dilakukan preservasi. Preservasi dilakukan dengan cara di simpan dalam Cool box. Air sampel untuk analisa karbondioksida diawetkan dengan penambahan PP indikator dan titrasi dengan
Na2CO3, untuk analisa
alkalinitas diawetkan dengan penambahan BCG/MR indikator dan titrasi dengan HCl, analisis sulfida diawetkan dengan penambahan NaOH dan Zn-Acetat. Sedangkan untuk parameter yang lain, sampel air diawetkan dengan menggunakan H2SO4, HNO3, HgCl. Hal tersebut dilakukan karena contoh air segera dianalisis pada hari berikutnya. Untuk lebih jelasnya parameter-parameter kualitas air, sedimen dan biota yang diamati, alat yang digunakan dan tempat dilakukan analisis pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Parameter-parameter kualitas air, sedimen dan biota air yang diamati pada survei lapangan. Parameter A. Analisis kualitas air Umum Kedalaman Kualitas Air Fisika 1. Suhu air 2. Warna air 3. pH 4. Kecerahan Kimia Air 1. DO 2. CO2 3. Total fosfat 4. Orto fosfat (PO4) 5. Nitrit (NO2)
Satuan
Alat Analisis
Tempat Analisis
Meter
Tali perum
Lapangan
C cm
Thermometer Visual pH-meter Piring secchi
Lapangan Lapangan Lapangan Lapangan
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
DO-meter AAS AAS AAS AAS
Lapangan Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium
o
35
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Nitrat (NO3) Amonia (NH3) Fenol Alkalinitas Kesadahan COD BOD H2S Kalsium (Ca)
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
B. Analisis tanah (sedimen) 1. Redoks mv 2. C-Organik % 3. Kalsium (Ca) mg/kg
3.3.2
AAS AAS AAS AAS AAS Titrasi K2Cr2O7 AAS AAS AAS
Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium
Alat Titrasi AAS
Laboratorium Laboratorium Laboratorium
Pengamatan di Laboratorium Pengamatan di laboratorium menggunakan sampel sedimen yang berasal
dari Waduk Cirata. Pengambilan sampel sedimen dilakukan dengan menggunakan petersen grab, kemudian sampel tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik hitam untuk dibawa ke laboratorium. Pengambilan sampel sedimen berdasarkan pada 3 (tiga) zona (stasiun), hal ini dikarenakan 3 (tiga) zona ini dianggap sudah mewakili sebaran sedimen Waduk Cirata yang akan diamati pada skala laboratorium. Pada zona in let (stasiun 1) mengalir air dari Sungai Citarum yang merupakan salah satu sumber air yang mengairi Waduk Cirata. Pada zona ini keramba cukup banyak dan umumnya berada di dekat pinggir waduk yang banyak pemukiman penduduk. Zona tengah (stasiun 2) terletak di daerah tengah Waduk Cirata, pada zona ini merupakan sumber keramba yang paling banyak dan memadati permukaan waduk. Zona out let (stasiun 3) terletak di sekitar dam, zona ini merupakan zona yang tidak diperbolehkan adanya KJA karena ini merupakan mintakat bahaya. Penentuan zona in let (stasiun 1), zona pertengahan (stasiun 2) dan zona out let (stasiun 3) dapat di lihat pada Gambar 6. Pengamatan sedimen di laboratorium dilaksanakan selama 2 bulan (Oktober 2008 sampai Desember 2008). Analisis kualitas air dan analisis sedimen hasil pengamatan di laboratorium dilakukan di Laboratorium Lingkungan Perairan laboratorium dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi.
36
Pengamatan di laboratorium
menggunakan 9 buah akuarium dengan ukuran
30 cm x 40 cm x 60 cm. Setiap 3 aquarium diisi sampel sedimen dasar yang berasal dari Waduk Cirata setinggi ± 10 cm/aquarium/stasiun, karena pada lapisan ± 10 cm ini merupakan lapisan interface layer yaitu lapisan yang sangat aktif terjadinya proses anaerob. Penambahan air ± 40 cm/aquarium, penambahan air ini berdasarkan konversi dari kedalaman rata-rata Waduk Cirata 34,9 m (Prihadi, 2004). Semua aquarium yang digunakan ditutup dengan plastik berwarna hitam. Parameter kualitas air yang di ukur
pada saat pengamatan di laboratorium
meliputi suhu, DO, karbondioksida (CO2), total fosfat, ortho phospat (PO4), nitrit (NO2), nitrat (NO3), amoniak (NH3), alkalinitas, kesadahan, sulfida total (H2S), COD, BOD Ca, dan C-Organik dilakukan pada hari ke 0, 20, 40, dan 60. Sedangkan parameter yang diukur setiap hari yaitu: Redoks, suhu, DO, pH. Pengamatan jumlah dan jenis bakteri dilakukan pada awal dan akhir penelitian (hari ke 0 dan 60). Metode dan alat pengukuran parameter pada Treatment sedimen skala laboratorium dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Metode dan alat pengukuran parameter pada treatment sedimen skala laboratorium Parameter A. Analisis kualitas air Kualitas Air Fisika 1. Suhu air 2. pH Kimia Air 1. DO 2. CO2 3. Total fosfat 4. Orto fosfat (PO4) 5. Nitrit (NO2) 6. Nitrat (NO3) 7. Amonia (NH3) 8. Fenol 9. Alkalinitas 10. Kesadahan 11. COD 12. BOD 13. H2S 14. Kalsium (Ca)
Alat
Tempat Analisis
Waktu Pengukuran
C -
Thermometer pH-meter
Laboratorium Laboratorium
Harian Harian
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
DO-meter AAS AAS AAS AAS AAS AAS AAS AAS AAS Titrasi K2Cr2O7 AAS AAS AAS
Lapangan Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium
Harian H-ke 0, 20, 40, 60 H-ke 0, 20, 40, 60 H-ke 0, 20, 40, 60 H-ke 0, 20, 40, 60 H-ke 0, 20, 40, 60 H-ke 0, 20, 40, 60 H-ke 0, 20, 40, 60 H-ke 0, 20, 40, 60 H-ke 0, 20, 40, 60 H-ke 0, 20, 40, 60 H-ke 0, 20, 40, 60 H-ke 0, 20, 40, 60 H-ke 0, 20, 40, 60
Satuan
o
37
B. Analisis tanah (sedimen) o
1. Suhu 2. pH 3. Redoks 4. C-Organik 5. Kalsium (Ca)
C mv % mg/kg
Thermometer pH-meter Alat Titrasi AAS
Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium
Harian Harian Harian H-ke 0, 20, 40, 60 H-ke 0, 20, 40, 60
Biologi Bakteri SRB (Sulfur Reducing Bacteria)
MPN
Inkubasi
Laboratorium
Awal dan akhir
• Stasiun 3 (outlet) 107ο.19,50’ BT 06ο.42,50’ LS
• Stasiun 2 (tengah) 107ο.16.49’ BT 06ο.43,58’ LS
• Stasiun 1 (inlet) 107ο.16,40’ BT 06ο.45,57’ LS
Gambar 6. Denah lokasi stasiun pengambilan contoh di Waduk Cirata
3.4
Analisa Data
3.4.1 Analisis deskriptif Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan atau menjelaskan kondisi fluktuasi kualitas air dan parameter sedimen, populasi bakteri sedimen, dan tingkat perombakan bahan organik secara anaerob.
38
3.4.2 Sebaran karakteristik Fisika-Kimia dan Sedimen Untuk menentukan sebaran karakteristik fisika-kimia perairan dan sedimen antar stasiun pengamatan, digunakan pendekatan analisis statistik multivariabel yang didasarkan pada analisis cluster (Cluster Analysis) (Bengen, 2000). p
∑ (Xij – Xi’)2
2
d (i,i’) =
√
j=1
Dimana : d2(i,i’) = 2 baris i&i j
= indeks untuk baris, dari baris ke-i sampai dengan ke-i’ = indeks untuk kolom Analisis cluster (Cluster Analysis) digunakan untuk mengelompokkan
pengamatan atau variabel menjadi beberapa kelompok pengamatan atau variabel yang jumlahnya lebih sedikit. Analisis cluster menggunakan MINITAB versi 14.0. dan diinterpretasikan dalam bentuk Dendrogram (Iriawan dan Astuti, 2009). 3.4.3
Evaluasi dengan metode STORET Metode STORET ini dimaksudkan untuk mengetahui baik buruknya
kualitas air pada suatu waduk atau badan air lainnya untuk peruntukan air tertentu. Selain itu pada metode ini juga dapat diketahui parameter-parameter apa saja yang telah melampaui atau tidak memenuhi syarat baku mutu (Canter, 1977). Adapun tahapan analisisnya : 1. Menyajikan tabel analisis kualitas air yang memuat semua nilai hasil pengukuran parameter fisika, kimia dan biologi perairan. Kemudian mencantumkan nilai minimum, maksimum dan rata-rata dari hasil pengukuran masing-masing parameter. 2. Pada tabel yang sama, dicantumkan pula nilai baku mutu untuk masingmasing parameter. 3. Membandingkan nilai minimum, maksimum dan rata-rata hasil pengukuran dari masing-masing parameter terhadap nilai baku mutu yang telah ditetapkan.
39
4. Memberikan skor terhadap masing-masing parameter di atas dengan ketentuan sebagai berikut (Tabel 8): a. Skor nol (0), jika nilai-nilai parameter hasil pengukuran telah memenuhi atau berada di bawah (≤) nilai baku mutu yang telah ditetapkan. b. Skor (-1 s/d -9), jika nilai (minimal, maksimal, rata-rata parameter) hasil pengukuran telah melewati (≥) nilai baku mutu yang telah ditetapkan dan jumlah contoh air yang dianalisis kurang dari (<) 10. c. Skor (-2 s/d -18), jika nilai-nilai (minimal, maksimal, rata-rata) parameter hasil pengukuran telah melewati (≥) nilai baku mutu yang ditetapkan dan jumlah contoh air yang dianalisis lebih dari atau sama dengan (≥) 10. Tabel 8. Penentuan sistem nilai untuk menentukan status mutu perairan berdasarkan metode IKA_STORET (Canter, 1977) Parameter Fisika Kimia Maksimum -1 -2 < 10 Minimum -1 -2 Rata-rata -3 -6 Maksimum -2 -4 ≥ 10 Minimum -2 -4 Rata-rata -6 -12 Sumber : Canter (1977); Kepmen. K LH No. 115 (2003) Jumlah contoh air
Nilai
Biologi -3 -3 -9 -6 -6 -18
5. Setelah masing-masing parameter memiliki skor, lalu nilai-nilai skor dari seluruh parameter (fisika, kimia dan biologi) dijumlahkan dan jumlah tersebut dibandingkan terhadap Klasifikasi Mutu Air berdasarkan US-EPA sebagai berikut : a. Kelas A, jumlah total skor = 0 (kualitas air tergolong sangat baik) b. Kelas B, jumlah total skor –1 s/d –10 (kualitas air tergolong baik) c. Kelas C, jumlah total skor –11 s/d –30 (kualitas air tergolong sedang) d. Kelas D, jumlah total skor ≤ –30 (kualitas air tergolong buruk)
40
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Analisis Deskriptif Fisika Kimia Air dan Sedimen Kualitas air merupakan salah satu sub sistem yang berperan dalam
budidaya, karena akan mempengaruhi kehidupan komunitas biota yang hidup dalam ekosistem perairan tersebut. Hasil pengamatan nilai fisika kimia air dan sedimen selama 60 hari penelitian dapat di lihat pada Lampiran 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7, yang meliputi : suhu, pH, potensial redoks, oksigen terlarut (DO). Pada Lampiran 8 memaparkan data peubah kualitas air dan sedimen media penelitian berdasarkan stasiun I, II, III pada hari ke 0, 20, 40 dan 60 yang meliputi karbondioksida (CO2), H2S, amonia (NH3), nitrit (NO2), dan nitrat (NO3), fenol, BOD, COD, sulfide, total fosfat, orto fosfat (PO4), alkalinitas, kesadahan, kalsium (Ca) air dan sedimen, dan C-organik. Semua data hasil pengamatan harian dan berdasarkan pengamatan antar stasiun I, II dan III diinterpretasikan juga dalam bentuk grafik (Lampiran 9,10 dan 11) Untuk melihat pola dinamika perombakan bahan organik sedimen Waduk Cirata secara keseluruhan dapat di lihat pada Tabel 10. Hasil yang terpapar pada Tabel 10 merupakan nilai rerata dari hasil pengukuran pada stasiun I, II dan III. Pada Tabel 10 menunjukkan hasil pengamatan nilai rerata fisika kimia air dan sedimen selama penelitian hari ke-0, 20, 40 dan 60 yang meliputi : suhu, pH, potensial redoks, oksigen terlarut (DO), karbondioksida (CO2), H2S, amonia (NH3), nitrit (NO2), dan nitrat (NO3), fenol, BOD, COD, sulfide, total fosfat, orto fosfat (PO4), alkalinitas, kesadahan, kalsium (Ca), dan nilai rerata kimia sedimen meliputi oksigen terlarut (DO), kalsium (Ca) dan C-organik (Lampiran 8). Pola dinamika BOD, amonia (NH3), nitrit (NO2), dan nitrat (NO3) ditunjukkan pada Gambar 7, C-organik (Gambar 8), oksigen terlarut (DO) (Gambar 9), potensial redoks (Gambar 10), pH (Gambar 11), karbondioksida (CO2), alkalinitas, kesadahan (Gambar 12), kalsium air (Ca) (Gambar 13), kalsium sedimen (Ca) (Gambar 14), COD (Gambar 15) , total fosfat dan orto fosfat (PO4) (Gambar 16), suhu (Gambar 17). Dalam suatu sistem budidaya sedimen dengan air memiliki hubungan yang sangat erat. Air merupakan senyawa kimia yang sangat penting bagi kehidupan
41
manusia dan mahluk hidup lainnya dan fungsinya bagi kehidupan tersebut tidak akan dapat digantikan oleh senyawa lainnya (Effendi, 2007 dan Achmad, 2009). Sedimen merupakan bahan/materi yang mengendap di dasar cairan atau bahan yang diendapkan oleh angin dan air (Neufeldt dalam Haeruddin, 2006). Selanjutnya Chamber (1972) dalam Selley (1988) mendefinisikan sedimen sebagai sesuatu yang terdapat di dasar perairan, kerukan atau defosit. Taurusman (1999) menegaskan, sedimen adalah material yang terkontaminasi di dalam suatu massa air, baik berupa bahan organik maupun an organik. Tabel 9. Kisaran nilai rerata fisika kimia air dan sedimen pada hari ke 0, 20, 40 dan 60 selama penelitian. Parameter
Rerata 0
20
40
60
27,1 7,13
27,1 6,69
27,8 6,99
26,5 6,85
0,47 12,54 <0,02 0,07 0,03 0,22 <0,05 1,63 14,23 1,31 0,62 72,97 47,05 8,29
0,13 50,16 <0,02 3,51 5,12 1,67 <0,05 5,78 13,23 1,70 1,39 114,27 116,41 19,71
0,03 31,02 <0,02 3,14 0,31 1,77 <0,05 2,40 5,50 0,81 0,62 165,77 157,52 18,04
0,06 29,70 <0,02 1,48 0,26 1,77 <0,05 1,44 5,33 0,80 0,63 150,96 130,84 18,71
27,1 6,95 -7
27,0 6,56 -20
27,7 6,76 -9
26,3 6,77 -3
0,23 2,48 5,10
0,04 3,88 1,74
0,01 5,43 2,51
0,02 5,83 1,95
Fisika Air Suhu (0C) pH Kimia Air Oksigen terlarut (DO) (mg/L) Karbondioksida (CO2) (mg/L) Sulfide (mg/L) Amonia (NH3) (mg/L) Nitrit (NO2) (mg/L) Nitrat (NO3) (mg/L) Fenol (mg/L) BOD (mg/L) COD (mg/L) Total fosfat (mg/L) Orto fosfat (PO4) (mg/L) Alkalinitas (mg/L) Kesadahan (mg/L) Kalsium (Ca) (mg/L) Fisika sedimen Suhu (0C) pH Potensial redoks (mV) Kimia Sedimen Oksigen terlarut (DO) (mg/L) Kalsium (Ca) (mg/kg) C-Organik (%)
42
Tabel 10. Hasil analisis bakteri pada media selama penelitian Sampel Awal Akhir
Jenis / kelompok SRB (Sulfur Reducing Bacteria)/ kelompok Desulfobacter
Jumlah 4,4 x 102 MPN 1,1 x 104 MPN
Gambar 7. Kisaran nilai BOD, amonia, nitrit dan nitrat (mg/L) pada hari ke 0, 20, 40 dan 60 selama penelitian
Gambar 8. Kisaran nilai C-organik (%) pada hari ke 0, 20, 40 dan 60 selama penelitian
43
Gambar 9. Kisaran nilai DO (mg/L) pada hari ke 0, 20, 40 dan 60 selama penelitian
Gambar 10. Kisaran nilai potensial redoks (mV) pada hari ke 0, 20, 40 dan 60 selama penelitian
Gambar 11. Kisaran nilai pH air dan sedimen pada hari ke 0, 20, 40 dan 60 selama penelitian
44
Gambar 12. Kisaran nilai CO2, alkalinitas dan kesadahan (mg/L) pada hari ke 0, 20, 40 dan 60 selama penelitian
Gambar 13. Kisaran nilai kalsium air (mg/L) pada hari ke 0, 20, 40 dan 60 selama penelitian
Gambar 14. Kisaran nilai kalsium sedimen (mg/kg) pada hari ke 0, 20, 40 dan 60 selama penelitian 45
Gambar 15. Kisaran nilai COD (mg/L) pada hari ke 0, 20, 40 dan 60 selama penelitian
Gambar 16. Kisaran nilai total fosfat dan ortofosfat (mg/L) pada hari ke 0, 20, 40 dan 60 selama penelitian
Gambar 17. Kisaran nilai suhu air dan sedimen (oC) pada hari ke 0, 20, 40 dan 60 selama penelitian
46
Dari Tabel 10 dan Gambar 7, dapat dilihat bahwa kisaran nilai BOD, amonia, nitrit, dan nitrat pada hari ke-0 relatif masih dalam tahap transisi dan pada hari ke-20 adalah puncak nilai tertinggi, setelah itu grafiknya sampai hari ke-60 terus menurun. Tingginya nilai BOD, amonia, nitrit, dan nitrat pada hari ke-20 ini disebabkan oleh meningkatnya aktivitas organisme dalam menguraikan bahan organik. Tingginya nilai BOD pada hari ke-20 masih berbanding lurus dengan kandungan oksigen yang tersedia pada media. Setelah hari ke-20 nilai BOD terus menurun, artinya oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme semakin sedikit, hal ini berhubungan dengan ketersediaan oksigen terlarut pada air maupun sedimen yang terus menurun. Penurunan nilai oksigen terlarut ini menggambarkan adanya perubahan bakteri pengurai yang ada dalam sedimen mengindikasikan termasuk pada kelompok bakteri anaerob. Kondisi ini juga ditunjukan oleh nilai amonia dan nitrit setelah hari ke-20 grafiknya terus menurun. Penurunan nilai amonia ini disebabkan oleh tidak adanya sumber utama yang masuk pada media yang ditreatmen. Penurunan amonia ini juga berakibat pada penurunan nitrit, karena nitrit adalah konversi amonia oleh bakteri nitrifikasi yang berlebihan. Sedangkan nilai nitrat grafiknya pada hari ke-40 dan hari ke-60, menunjukkan grafik yang terus naik dan berada pada nilai yang stabil dikarenakan masih ada tersedianya oksigen pada perairan walaupun sedikit. Walaupun menurut Boyd (1982) menyebutkan nitrit berasal dari proses reduksi nitrat oleh bakteri dalam kondisi anaerobik di dalam air, tetapi karena sifat dari nitrit yang tidak stabil, sehingga nilainya terus menurun, hal ini dipengaruhi oleh kandungan oksigen yang terus menurun sehingga proses nitrifikasi tidak berjalan dengan sempurna. Hal lain yang menyebabkan nitrit terus menurun adalah nilai pH yang terukur selama pengamatan (>7), nilai ini masih di bawa nilai pH standar untuk proses nitrifikasi (8-9) (Novonty dan Olem, 1994 dalam Effendi, 2007). Penurunan nilai nitrit disebabkan oleh sumber utama untuk proses nitrifikasi yaitu nitrogen dalam perairan semakin berkurang, karena nitrat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Dalam keadaan oksigen semakin menurun, ion nitrat dapat sebagai penerima elektron dalam reaksi-reaksi dengan mikro organisme sebagai perantara. 47
Kemampuan ion nitrat sebagai penerima elektron digunakan dalam proses perombakan untuk menghilangkan elektron dengan membiarkan ion nitrat mengoksidasi methanol melalui reaksi bermedia bakteri dalam kondisi anaerob. Pemanfaatan nitrat dalam proses dekomposisi anaerobik akan menghasilkan amonia (NH3) yang bersifat toksik bagi organisme perairan. Metcalf dan Edy (1991) menyatakan, senyawa amonia dalam kondisi aerob akan teroksidasi menjadi nitrit oleh bakteri autotrof melalui proses mikrobiologi. Menurut Effendi, (2007) reduksi nitrat (denitrifikasi) oleh aktivitas bakteri pada kondisi anaerob, penurunan nitrat ini berpengaruh kepada penurunan kandungan C-organik dalam perairan dan sedimen, karena penurunan nitrat menggambarkan pada perairan tersebut tidak ada nutrien utama untuk pertumbuhan. Gambar 8 menunjukkan nilai C-organik cenderung menurun hingga hari ke-20 dan meningkat kembali pada hari ke-40, hal ini karena hasil dari dekomposisi yang mengendap di dasar perairan terus meningkat dan umumnya kandungan c-organik di sedimen berkisar antara ~ 1–5 % (Chester, 1990) dalam Taberima (1999) tetapi pada hari ke-60 kembali menurun. Sehingga kondisi air dan sedimen yang diamati selama pengamatan sudah tidak menggambarkan adanya proses dekomposisi secara aerob, maka proses dekomposisi yang terjadi pada sedimen termasuk dalam kategori anaerobik. Kondisi anaerobik ini juga digambarkan oleh nilai total fosfat dan ortofosfat (Gambar 16). Pada hari ke-40 nilai kedua parameter ini sudah mengalami penurunan. Penurunan nilai fosfat dan ortofosfat menggambarkan bahwa tidak ada lagi praksi fosfat yang dapat langsung dimanfaatkan fitoplankton. Konsentrasi total fosfat dan ortofosfat menentukan terhadap kesetabilan pertumbuhan plankton, sehingga pada hari ke-20 sudah bisa dikategorikan media air dan sedimen sudah anaerob. Keadaan reduksi anaerobik ini mencerminkan bahwa reaksi kimia yang terjadi pada sedimen mengalami penambahan elektron akibat anaerob. Tebbut (1992) mengatakan, suatu reaksi pada kondisi anaerob memiliki nilai OxidationReduction Potensil (ORP) <50 mV. Selanjutnya Boyd (1988) menyatakan, pada lumpur dasar perairan yang memiliki kondisi anaerob, nilai ORP dapat mencapai 0,1 mV. Menurut Abdunnur et al. (2004) dalam Suwoyo (2009) bahwa proses
48
dekomposisi bahan organik dapat terjadi baik dalam kondisi reduksi maupun oksidasi. Hal ini membuktikan bahwa proses dekomposisi bahan organik yang terjadi berjalan secara anaerobik, hal ini dikuatkan dengan nilai potensial redoks hasil pengamatan yang masuk dalam kondisi anaerobik yaitu <-3 mV. Lebih lanjut Emiryati (2004) dan Suwoyo (2009) mengemukakan bahwa kandungan oksigen dalam sedimen berpengaruh besar terhadap nilai potensial redoks dan pH sedimen. Banyaknya bahan organik, jumlah bakteri yang hidup dalam substrat dan kurangnya sirkulasi air menyebabkan kadar oksigen dalam substrat menurun. Keadaan ini dapat mengubah kondisi substrat kedalam lingkungan reduksi. Maka dari itu potensial redoks (Gambar 10) terus menunjukkan kondisi reduktif. Konsentrasi fenol selama penelitian ditampilkan pada Tabel 10, menunjukkan hasil yang sama yaitu dengan kisaran nilai <0,05 mg/L. Di duga kisaran nilai ini dipengaruhi oleh potensial redoks. Menurut Haerudin (2006), nilai fenol akan semakin rendah dengan semakin meningkatnya potensial redoks. Hal lain yang menguatkan proses dekomposisi yang terjadi sudah termasuk anaerobik adalah kelimpahan bakteri yang teridentifikasi pada sedimen media penelitian berkisar dari 4,4 x 102 MPN sampai pada 1,1 x 104 MPN (Tabel 10) termasuk pada bakteri pereduksi sulfur (SRB). Bakteri SRB adalah bakteri obligat anaerob yang menggunakan sulfat sebagai akseptor terminal elektron (Moriaty dan Paullin, 1987). Dengan meningkatnya aktivitas organisme anaerob melakukan penguraian dan dekomposisi bahan organik, di duga akan meningkatkan pula nilai CO2 pada perairan (Gambar 12) sampai hari ke-20. Karena dekomposisi karbohidrat oleh bakteri anaerob pada bagian dasar perairan akan menghasilkan karbondioksida sebagai produk akhir. Jeffries dan Mills (1996) menegaskan, pada saat proses dekomposisi berlangsung mikroorganisme melepaskan karbondioksida ke perairan. Dengan mikroorganisme melepaskan CO2 keperairan, ini merupakan salah satu faktor yang dapat menurunkan nilai pH baik dalam air maupun sedimen sampai ukuran analitik (Gambar 11) sebagai akibat dari proses penguraian atau dekomposisi bahan organik. Menurut Boyd (1982) pada konsentrasi CO2 yang lebih besar, pH akan lebih kecil, jumlah 30 mg/L CO2 akan menghasilkan pH 4,8, tetapi CO2 tidak akan menyebabkan pH turun di bawah 4,5. Nilai ini sangat sesuai
49
dengan hasil pengamatan terhadap nilai pH air selama penelitian yaitu grafiknya terus menurun dari mulai 7,21 tetapi tidak sampai kurang dari 6,46, begtiu juga dengan nilai pH sedimen mengalami penurunan dari nulai 7,05 tetapi tidak sampai kurang dari 6,41. Tetapi setelah hari ke-20 nilai CO2 terus menurun, ini sejalan dengan nilai pH, alkalinitas, dan kesadahan yang mengalami kenaikan sampai hari ke-40 (Gambar 12). Setelah hari ke-40 nilai alkalinitas dan kesadahan mulai turun diduga karena persaingan pemanfaatan bahan organik yang terus meningkat tetapi tidak ada penambahan lagi sumber bahan organik yang dimasukan pada media penelitian. Pendapat ini didukung oleh Mc Kereth et.al. (1980) dalam Effendi (2007), pH berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas, dimana semakin tinggi nilai pH, maka akan semakin tinggi nilai alkalinitas dan semakin sedikit kadar karbondioksida bebas. Naiknya nilai pH maka akan menaikan nilai alkaninitas dan
menurunkan nilai kesadahan. Salah satu faktor yang
mengakibatkan perubahan alkalinitas dan kesadahan adalah anion karbonat, karbonat, hidroksida, dan kalsium karbonat. Karena faktor ini baik di air maupu sedimen mengalami perubahan maka akan berdampak pada perubahan nilai kalsium. Pada Gambar 13 kadar kalsium air hari ke-20 meningkat dan pada Gambar 15 kadar kalsium sedimen terus meningkat hingga hari ke-60. Meningkatnya kadar kalsium ini di duga akibat terbentuknya senyawa-senyawa kalsium karbonat sehingga terbentuknya endapan pada dasar perairan. Karena kesadahan kalsium karbonat merupakan kesadahan yang sifatnya sementara (Boyd, 1982). Karena kondisinya sudah anaerob, maka konsentrasi sulfida air selama penelitian (Tabel 10), menunjukkan hasil yang sama yaitu dengan kisaran nilai <0,02 mg/L dan mengeluarkan bau busuk dari media penelitian. Dengan konsentrasi H2S <0,02 mg/L di duga pada pH < 8 kesetimbangan bergeser pada pembentukan H2S yang terionisasi. Apabila diperairan tidak terdapat oksigen maka sulfat berperan sebagai sumber oksigen dalam proses oksidasi yang dilakukan oleh bakteri anaerob. Karena pada kondisi ini, ion sulfat direduksi menjadi ion sulfit yang membentuk kesetimbangan dengan ion hidrogen untuk membentuk hidrogen sulfida. Maka dari itu konsentrasi sulfida pada penelitian ini
50
bearada pada nilai <0,02 mg/L. Selanjutnya Effendi (2007) menyatakan, pada pH 5, sekitar 99% sulfur terdapat dalam bentuk H2S. Pada kondisi ini, tekanan parsial H2S dapat menimbulkan permasalahan bau yang cukup serius. H2S bersifat mudah larut, toksik, dan H2S menimbulkan bau seperti telur busuk. Dan bau busuk yang dikeluarkan, karena telah terjadi reduksi (pengurangan oksigen dan penambahan hidrogen), anion sulfat menjadi hidrogen sulfida pada kondisi anaerob yang dilakukan oleh bakteri SRB (Sulfur Reducing Bacteria) selama proses dekomposisi bahan organik (Effendi, 2007).
4.2
Sebaran karakteristik Fisika-Kimia dan Sedimen Berdasarkan penyebaran stasiun pengamatan diperoleh adanya dua
pengelompokkan untuk kualitas air dan sedimen. Pengelompokan tersebut dikonfirmasikan dengan dendogram klasifikasi hirarki berdasarkan 14 parameter kualitas air (Lampiran 12) dan 6 parameter sedimen (Lampiran 13). Dari hasil analisis cluster (Cluster Analysis) Gambar 18 terlihat bahwa pengelompokan stasiun berdasarkan parameter fisika kimia air secara keseluruhan menunjukkan bahwa pada derajat kesamaan 99,5% terdapat dua kelompok besar dan parameter fisika kimia sedimen juga menunjukkan bahwa pada derajat kesamaan 99,6% juga membentuk dua kelompok besar. Kelompok 1 terdiri dari stasiun 1 dan 2 dan kelompok 2 terdiri dari stasiun 3. Dikelompokkannya stasiun 1 dan 2 karena memiliki alkalinitas, kesadahan dan kalsium yang relatif sama. Stasiun 3 membentuk kelompok sendiri karena memiliki nilai nitrit yang tinggi. Tingginya nilai nitrit pada stasiun 3 ini dimungkinkan terjadinya akumulasi karena secara umum bahan oragnik dari sisa pakan yang tidak tercerna terbawa oleh arus dari kegiatan KJA yang terdapat pada stasiun 2 sehingga merupakan tempat mengendap dan menumpuknya bahan-bahan organik yang berasal dari bagian in let dan bagian pertengahan. Odum (1971) menyatakan bahwa kecepatan arus secara tidak langsung mempengaruhi substrat dasar perairan.
51
Similarity 99,23
99,49
99,74
100,00 Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Gambar 18. Dendogram pengelompokan antar stasiun untuk kualitas air
4.3
Evaluasi Kualitas Air dengan Metode IKA_STORET Dari hasil analisis deskriptif fisika kimia air dan sedimen yang dilihat pada
grafik pola dinamika tingkat perombakan menujukkan pada hari ke-20 terjadinya degradasi bahan organik dan reduksi (pengurangan oksigen), tingginya nilai sulfida, BOD, amonia, nitrit dan nitrat. Sehingga menunjukkan bahwa proses dekomposisi yang terjadi pada sedimen termasuk dalam kategori anaerobik. Berdasarkan hasil tersebut maka dilakukan evaluasi kualitas air setiap stasiun pengamatan berdasarkan baku mutu air PP. No. 82 Tahun 2001 dengan menggunakan metode STORET. Kualitas air sangat ditentukan oleh konsentrasi bahan pencemar di dalam air, PP. No. 82 Tahun 2001 menjelaskan bahwa pencemaran air adalah turunnya kualitas air ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Pasal 8 PP No. 82 Tahun 2001, menggolongkan air berdasarkan peruntukannya menjadi 4 (empat) kelas. Parameter-parameter yang melewati standar baku mutu dan berperan dalam pemberian skor IKA_STORET dapat dilihat pada Tabel 11 (Lampiran 14 dan 15). Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa secara umum semakin rendah tingkatan kelas baku mutu semakin besar skor IKA STORET status mutu air semakin mengarah ke baik, hal ini dikarenakan nilai baku mutu yang ditetapkan semakin longgar.
52
Tabel 11. Nilai status mutu air Waduk Cirata berdasarkan IKA_STORET Sampel Waduk Cirata (stasiun I, II dan III)
Kelas I
Kelas II
Kelas III
Kelas IV
Parameter yang tidak memenuhi
Parameter yang tidak memenuhi
Parameter yang tidak memenuhi
Parameter yang tidak memenuhi
Sulfide, amonia, Fenol, Total Fosfat
Sulfide, amonia, Fenol, Total Fosfat
-40 (TB)
-34 (TB)
Sulfide, Fenol, BOD, COD, Total Fosfat -52 (TB)
Sulfide, Fenol
-10 (TR)
Keterangan : TB (tercemar berat), TR (tercemar ringan)
Skor IKA_STORET yang dihitung berdasarkan baku mutu Kelas I, Kelas II, dan Kelas III menunjukkan bahwa air Waduk Cirata tergolong tercemar berat, sedangkan Kelas IV tercemar ringan. Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk budidaya ikan air tawar berada pada kelas III. Dinyatakannya parameter yang tidak memenuhi dalam status mutu air pada kelas III dan sebagai indikator tercemar berat untuk budidaya ikan air tawar dapat dilihat Tabel 12. Tabel 12. Nilai parameter kualitas air hasil pengukuran dan berdasarkan baku mutu Parameter kualitas air
Baku mutu
Hasil pengukuran Minimum
Maximum
Rerata
Sulfide (mg/L)
0,002
<0,2
<0,2
<0,2
Amonia (mg/L)
0,02
0,104
0,052
0,07
0,001
<0,05
<0,05
<0,05
1,0
1,500
1,076
1,31
Fenol (mg/L) Total Fosfat (mg/L)
Dari Tabel 12 terlihat bahwa nilai sulfide, amonia, fenol dan total fosfat sudah tidak memenuhi baku mutu. Menurut Effendi (2007) kadar sulfide lebih dari 0,002 mg/L mengakibatkan terjadinya gangguan pada sistem pencernaan, kadar fenol lebih dari 0,01 mg/L akan bersifat toksik bagi ikan. Amonia yang tinggi akan mempengaruhi permeabilitas ikan terhadap air dan menurunkan konsentrasi ion dalam tubuh, sehingga meningkatkan konsumsi oksigen pada jaringan dan mengakibatkan kerusakan pada insang serta mengurangi kemampuan darah dalam mentransportasikan oksigen (Boyd, 1982). Selanjutnya Wetzel (1975) mengatakan perairan yang memiliki kadar fosfor total 0,031–0,1 mg/L tergolong perairan eutrofik. Berdasarkan fenomena ini, evaluasi kualitas air setiap 53
stasiun pengamatan Waduk Cirata tergolong tercemar berat untuk budidaya ikan air tawar. Salah satu penyebab tercemarnya perairan Waduk Cirata adalah disebabkan kondisi dan perkembangan KJA yang semakin padat sehingga memberikan dampak
terhadap lingkungan. Dan ini terlihat dari peningkatan
jumlah KJA, Pada Tahun 1999 terdapat 27.786 KJA dan Tahun 2009 jumlah KJA yang tercatat beroperasi di Waduk Cirata meningkat menjadi 51.838 KJA (BPWC, 2009). Dengan meningkatnya jumlah KJA sebesar 53,6 %, Waduk Cirata pada saat ini telah mengalami degradasi yang sangat serius dan telah melebihi kapasitas Waduk Cirata. Dan bila ditunjang manajemen pemberian pakan yang kurang baik, maka akan mengakibatkan banyak sisa pakan yang tidak termakan dan akhirnya akan mengendap di dasar waduk. Karena sisa pakan yang tidak termakan dan eksresi yang terbuang ke badan air merupakan sumbangan bahan organik di dasar perairan diantaranya berupa lemak, protein dan karbohidrat. Selain jenis-jenis bahan organik tersebut, limbah organik juga mengandung bahan-bahan organik sintetis yang bersifat toksik terhadap organisme akuatik yaitu fenol. Di dasar perairan, sisa pakan akan diuraikan oleh mikrobiologi jasad pengurai. Untuk penguraian ini diperlukan oksigen, sehingga kandungan oksigen di dasar perairan akan sangat menurun drastis. Rendahnya kadar oksigen terlarut di dasar perairan ini mengakibatkan terjadimya penguraian sisa pakan secara anaerob, akibatnya akan terbentuk gas-gas beracun di dasar perairan seperti amoniak, hidrogen sulfida dan nitrit yang jika terjadi pembalikan air (umbalan) akan sangat membahayakan organisme yang ada di kolom dan dipermukaan air. Mengingat fenomena yang terjadi berdasarkan estimasi daya dukung dan status tropik, maka tidak boleh dilakukan penambahan KJA dan sekitar 30% dari jumlah KJA yang ada ditanam ikan-ikan pemakan plankton seperti bandeng dan mola sebagai biological kontrol (DKP, 2007)
54
5 KESIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa : 1.
Dari hasil analisis deskriptif fisika kimia air dan sedimen yang dilihat pada grafik pola dinamika tingkat perombakan menunjukkan pada hari ke-20 terjadinya degradasi bahan organik dan reduksi (pengurangan oksigen), serta tingginya nilai sulfida, BOD, amonia, nitrit dan nitrat. Sehingga menunjukkan bahwa proses dekomposisi yang terjadi pada sedimen termasuk dalam kategori anaerobik.
2.
Sebaran karakteristik fisika kimia air dan sedimen memperlihatkan bahwa Stasiun 3 (dibagian out let) memiliki nilai nitrit yang tinggi.
3.
Skor IKA_STORET yang dihitung berdasarkan baku mutu Kelas III menunjukkan nilai sulfide, amonia, fenol dan total fosfat sudah tidak memenuhi baku mutu untuk peruntukan budidaya ikan air tawar.
Saran Hasil penelitian menunjukkan adanya dinamika perombakan bahan organik secara anaerob pada sedimen Waduk Cirata pada hari ke 20, berdasarkan hasil ini maka dilakukan pengawasan terhadap kegiatan di sekitar Waduk Cirata perlu ditingkatkan untuk mencegah penurunan kualitas Waduk Cirata ke tingkat yang lebih buruk lagi.
56
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, R. 2009. Kimia lingkungan. Penerbit : Andi Yogyakarta. 171 halaman. APHA (American Public Health Association). 1989. Standard Methods for Examination of Water and Wastewater 17th edition. APHA, AWWA (American Water Work Association) and WPCF (Water Pollution Control Federation). Washington D. C. 3464 p. Beveridge, M.C.M. 1996. Cage Aquaculture (Eds. 2nd). Fishing News Books LTD. Farnham, Surrey, England, 352 pp. Bengen, d.G. 2000. Teknik pengambilan contoh dan analisis biofisik sumberdaya pesisir. PKSPL. IPB. Bogor. Badan Pengelolaan Waduk Cirata (BPWC). 2009. Presentasi BPWC : dalam sosialisasi Co Manajemen Perikanan Waduk Cirata untuk Stakeholder, DJPB – DKP. 14 – 17 April 2009. Boyd, C.E. 1981. Water Quality in Warm Water Fish Pond. Auburn University. Auburn. Alabama. 358 pp Boyd, C.E. 1982. Water quality for pond fish culture. Elsevier Scientific Publishing Company. Amsterdam. 312p. Boyd, C.E. 1990. Water quality in ponds for aquaculture. Alabama Agricultural Experiment Station, Auburn university. Birmingham Publishing Co. Alabama. Boyd, C.E. 1991. Water Quality Management and Aeration in Shrimp Farming. P 166 – 181. In Wyban, J. (Editor) : Proceedings of the Special session on shrimp Farming. Worl Aquaculture Society, Baton Rouge, L.A. U.S.A. Boyd, C.E. 1992. Shrimp Ponds Bottom Soil and Sediment Management. Alabama Agricultural Experiment Station, Auburn university. Birmingham Publishing Co. Alabama. Boyd, C.E. 1999. Management of Shrimp Ponds to Reduce the Eutrophication Potential of Effluents. The Advocate, December 1999 : 12-13. Boyd, C.E. and Lichtkoppler. 1982. Water quality management in pond fish culture. Auburn University. Auburn Alabama. 30p. Canter, L.W. 1977. Enviromental Impact Assesment. Mc Graw-Hill Company. University of Oklahoma USA.
57
Chakroff, M. 1987. Fresh Water Fish Pond Culture and Management Vita Publication. Avenue. 191 pp. Clark, W.A.V and P.L. Hosking. 1986. Statistical Metods for Geographers. John Wiley & Sons. Inc. 513 pp. Cole, G. A. 1988. Textbook of limnology. 3d edition. Waveland Press, Inc. Illinois. USA. Cholik, F.; Artaty; dan Arifudin. 1986. Pengelolaan Kualitas Air Kolam. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta 52 pp. Ciaccio, L.L. 1972. Water and Water Pollution Handbook (volume 3). Marcel Dekker. Inc. Amsterdam. 318 p. Cole, G. A. 1988. Textbook of limnology. 3d edition. Waveland Press, Inc. Illinois. USA. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Panduan teknis pengelolaan perikanan secara bersama pada perairan waduk di Indonesia. DKP bekerjasama dengan Australian Centre International Agricultural Research (ACIAR). 55 halaman. Effendi, H. 2007. Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanasius. Yogyakarta. 258 halaman. Emiyarti. 2004. Karakteristik fisika kimia sediment dan hubungannya dengan struktur komunitas makrozoobenthos di perairan Teluk Kendari. [Tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian bogor. Fessenden, RJ dan Fessenden, JS. 1986. Organic chemistry, 3rd edition. Belmont : Wadsworth lnc. Gorham, P.P.-, W.W. Carmichael. 1980. Toxic Substances from Freshwater Algae in Eutrophication of Deep Lakes. Prog Wat Tech 12: 189-198. Haeruddin. 2006. Analisis terpadu sediment dalam penetapan status pencemaran perairan estuaria wakak-Plambon Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian bogor. Hamilton, D. P. dan S.G. Schladow. 1994. Modelling the Sources of oxygen in an Australian Reservoir. Verh. Internat. Verein. Limnol. 25: 1282-1285. Stuttgart. Houlihan, D. F., E. Mathers, and A. Foster. 1993. Biochemical correlates of growth rate in fish. Pages 45-71. in J. C. Rankin and F. B. Jensen, editors. Fish ecophysiology, Chapman and Hall. London-Madras.
58
Ilyas, S., A. Hardjamulia, E.S. Kartamihar a, K. Purnomo, D.WH. Tjahjo, F. Cholik. 1990. Petunjuk Teknis Pengelolaan Perairan Bagi Pengembangan Perikanan. Seri Pengembangan Hasil Penelitian Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Iriawan, N dan S.P. Astuti. 2009. Mengolah data statistik dengan mudah menggunakan Minitab 14. Penerbit : andi Yogjakarta. 469 halaman. Jeffries, M. dan Mills, D. 1996. Freshwater Ecology, Principles and Aplications. John Wiley and Sons, Chichester, UK. 285 p. Kartamihardja, E.S. 1998. Analisis penyebab kematian ikan secara massal dalam karamba jaring apung di Danau Maninjau, Sumatera Barat. Lap. Balitkanwar. 10 halaman. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2008. Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta : Sekretariat Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2008. Lampiran 1 Keputusan Menteri Negara No. 115 Tahun 2003 tentang Penentuan Status Mutu Air dengan Metode Storet. Jakarta : Sekretariat Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Killops, S.D dan V.J. Killops. 1993. An Introduction to Organic Geochemistry. Longman Scientific & Technical. New York. Landner, L. 1976. Eutophication of Lakes. World Health Organization Regional Office for Europe. Mc. Donald, M.E, Tkkanen, C. A, Axler, R.P, Larsen, C.P dan Host, G. 1996. Fish Simulation Culture Modhel (FIS-C) : A Bioenergetics Based Model for Aquaculture. International Center For Living aquatic resources Management. Manila. Metcalf and Eddy. 1991. Wastewater Engineering : Treatment, Disposal and Dense. (3rd Edition). Mc Graw- Hill, Inc. New York. 1334 p. Moriaty, D.J.W. dan R.S.V. Pullin. 1987. Detritus and Microbial Ecology in Aquaculture International Center For Living Aquatic Resources Management. Manila. Moss, B. 1993. Ecology of Freshwater. Second edition. Blackwell. Scientific Publication, London. 415 p.
59
Nastiti, A.S, Krismono, dan E.S Kartamihardja. 2001. Dampak Budidaya Ikan Dalam Karamba Jaring Apung terhadap Peningkatan Unsur N dan P di Perairan Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia vol 7 (2) : 22-30. Nontji, A. 1984. Biomassa dan produktivitas fitoplankton di perairan Teluk Jakarta Berta kaitannya dengan faktor-faktor lingkungan. [Disertasi]. Pasca Sarjana IPB. Bogor. Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. W.B. Saunders Company, LondonToronto. Phillips, M.J, Clarke, R. dan Mowat, A. 1993. Phosphorus Leaching from Atlantic Salmon Diets, Aquacultural Engineering 12 (1993) : 47 - 54. Priatna, RE., Syahbandi, E., Sidewo, B. 1994. Phenol compound in produce water. Paper was prepared for presentation at the 2nd International Comperence on Health Safety and Enviroment in oil and gas exploration and production. Jakarta : LEMIGAS. Prihadi, T.H., Krismono, Z.I. Azwar, I. Insan, H. Djajasewaka, dan A. Sudradjat, 2002. Analisis Kebijakan Pengelolaan Budi Daya Ikan Intensif Melalui Keramba Jaring Apung di Waduk Cirata, Jatiluhur, dan Wonogiri. Dalarn Sudradjat et al. Analisis Kebijakan Pengembangan Perikanan Budi Daya. Pusat Riset Perikanan Budidaya, BRKP, DKP. 10 pp. Prihadi, T.H. 2004. Upaya Perbaikan Lingkungan untuk Menunjang Kesinambungan Budidaya Ikan Dalam KJA dalam Pengembangan Budidaya Ikan Perikanan di Perairan Waduk : Suatu Upaya Pemecahan Masalah Budidaya Ikan Dalam Karamba Jaring Apung. Pusat Riset Perikanan Budidaya. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Halaman 45 – 56. Prihadi, T.H. 2005. Pengelolaan Budidaya Ikan Secara Lestari di Waduk (Studi Kasus di Perairan Waduk Cirata, Jawa Barat). [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian bogor. Ryding, S.O., W. Rast (Editor). 1989. The Control of Eutrophication of Lakes and Reservoirs. The Parthenon Publishing Grout, -P--n',. Sofronios, E. Papoutsoglow and G. Tziha. 1996. Blue Tilapia (Oreochromis aureus) Growth Rate in Relation to Disolved Oxigen Concentration Under Recirculated Water Condition. Aquaculture Engineering. 15 (3) : 181 – 192. Seller, B. H. dan H. R. Markland. 1987. Decaying Lake : The Origin and Contro; of Cultut e Eutrophinction. John-Wile; & Sons, Inc New York.
60
Selley, RC. 1988. Applied Sedimentology. London : Academic Press. Harcourt. Brace Jovanovich Publisher. Simarmata, A. H. 2007. Kajian Keterkaitan Antara Kemantapan Cadangan Oksigen Dengan Beban Masukan Bahan Organik Di Waduk Ir. H. Juanda Purwakarta, Jawa Barat. [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian bogor. Stickney. 2000. Culture of Nonsalmonid Freshwater Fishes. 2 Boca Raton, Ann Arbor, London, Tokyo.
nd
(eds). CRC.
Press.
Sunarti. 1992. Pengukuran parameter kualitas air pads longyam dengan tingkat kepadatan 10.000 ikan nila dan 3.000 ikan mas. Laporan Praktek lapangan di Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi. 97 pp. Suwoyo, H.S. 2009. Tingkat konsumsi oksigen Sedimen pada dasar tambak intensif udang vaname. [Tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian bogor. Taberima, S. 1999. Pengaruh penyawaan terhadap karakteristik beberapa jenis tanah. [Tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian bogor. Taurusman, AA. 1999. Model sedimentasi dan daya dukung lingkungan Segara Anakan untuk kegiatan budidaya. [Tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian bogor. Tebbut, T.H.Y. 1992. Principles of Water Quality Control. Fourth Edition. Pergamon Press, Oxford. 251 p. Thornton, K.W, B.L. Kimmel, F.E. Payne. 1990. Reservoir Lymnology: Ecological Perspective. A Wiley Interscience Publication. New York. Wardoyo, S.T.H. 1981. Kriteria Kualitas Air untuk Keperluan Pertanian dan Perikanau. Training Analisa Dampak Lingkungan. PPLH, UNDP, PUSDL-PSL. Institut Pertanian Bogor. Welch, E.B. 1980. Ecological Effects of Wastewater. Cambridge University Press. Cambridge, Lndon. 337 p. Wetzel, R.G. 1975. Limnology. W.B. Saunders Co. Philadelphia, Pennisyl-vania. 743p. Wetzel, R.G dan G. E. Likens. 1991. Limnological Analysis Verlag. New York.
2nd
Ed. Springer-
Zonneveld, N.; E.A. Huisman; dan J.H. Boon. 1991. Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta 318 pp.
61
LAMPIRAN DATA HARIAN SEDIMEN PADA MEDIA PENELITIAN BERDASARKAN STASIUN I, II DAN III SELAMA 60 HARI : 1. Kisaran nilai harian suhu (oC) 2. Kisaran nilai pH 3. Kisaran nilai oksigen terlarut (DO) (mg/L) 4. Kisaran nilai redoks (mV)
62
Lampiran 1. Kisaran nilai harian suhu sedimen (oC) media penelitian selama 60 hari (Oktober 2008 sampai Desember 2008) Stasiun I
Stasiun II
Stasiun III
Waktu
Minimum
Maximum
Rerata
Minimum
Maximum
Rerata
Minimum
Maximum
Rerata
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
27,1 27,2 27,3 26,9 27,0 26,4 26,8 26,9 27,0 26,9 27,0 27,0 26,9 26,8 26,7 26,8 26,7 26,5 26,9 26,7 26,8 27,1 27,2 27,3 27,2 27,2 27,0 27,2 27,4 27,6 27,3 27,0 27,2 27,1 27,4 27,6 27,9 27,7 27,9 27,8 27,6 27,8 27,7 27,7 27,7 27,5 27,3 26,9 26,6 26,6 26,7 26,7 26,6 26,7 26,5 26,5 26,3 26,3 26,5 26,6 26,3
27,3 27,2 27,4 27,3 27,1 27,1 26,8 27,0 27,1 26,9 27,1 27,1 27,0 26,9 26,8 27,0 26,9 26,7 27,0 27,0 26,9 27,1 27,2 27,3 27,4 27,3 27,1 27,4 27,5 27,7 27,4 27,1 27,3 27,2 27,5 27,8 27,9 27,8 27,9 27,8 27,7 27,9 27,7 27,7 27,7 27,5 27,4 26,9 26,7 26,7 26,8 26,8 26,7 26,7 26,6 26,5 26,3 26,3 26,6 26,6 26,4
27,2 27,2 27,3 27,1 27,0 26,7 26,8 26,9 27,0 26,9 27,1 27,0 27,0 26,9 26,8 26,9 26,8 26,6 27,0 26,9 26,9 27,1 27,2 27,3 27,3 27,3 27,1 27,3 27,4 27,7 27,3 27,1 27,3 27,1 27,4 27,7 27,9 27,8 27,9 27,8 27,7 27,8 27,7 27,7 27,7 27,5 27,3 26,9 26,6 26,6 26,8 26,7 26,6 26,7 26,5 26,5 26,3 26,3 26,5 26,6 26,4
27,1 27,3 27,3 27,1 27,0 26,9 27,0 27,0 27,1 26,7 27,1 26,9 27,0 26,9 26,8 26,9 26,9 26,5 27,1 26,8 26,9 27,0 27,2 27,4 27,3 27,3 27,0 27,3 27,4 27,7 27,3 27,1 27,2 27,2 27,4 27,5 27,8 27,8 27,9 27,7 27,7 27,8 27,6 27,6 27,7 27,6 27,3 26,9 26,7 26,6 26,8 26,7 26,6 26,7 26,5 26,5 26,3 26,3 26,6 26,6 26,3
27,4 27,4 27,4 27,3 27,1 27,0 27,0 27,1 27,5 27,0 27,1 27,0 27,1 27,0 27,0 27,0 27,0 26,7 27,2 26,9 27,1 27,3 27,3 27,5 27,5 27,3 27,2 27,5 27,5 27,7 27,7 27,2 27,3 27,3 27,5 27,9 27,9 27,8 27,9 27,8 27,8 27,8 27,8 27,7 27,7 27,6 27,5 26,9 26,8 26,6 26,8 26,7 26,8 26,7 26,6 26,5 26,5 26,3 26,6 26,6 26,4
27,2 27,3 27,3 27,2 27,1 27,0 27,0 27,0 27,3 26,9 27,1 27,0 27,0 27,0 26,9 26,9 26,9 26,6 27,1 26,9 27,0 27,2 27,3 27,4 27,4 27,3 27,1 27,4 27,5 27,7 27,5 27,2 27,3 27,2 27,4 27,7 27,8 27,8 27,9 27,8 27,7 27,8 27,7 27,7 27,7 27,6 27,4 27,9 26,7 26,6 26,8 26,7 26,7 26,7 26,5 26,5 26,4 26,3 26,6 26,6 26,3
26,9 27,3 27,3 27,0 27,0 26,9 27,0 27,1 27,2 27,0 27,0 27,0 27,0 26,9 26,9 27,0 26,9 26,6 27,1 26,8 27,0 27,3 27,2 27,3 27,4 27,2 27,2 27,4 27,5 27,6 27,3 27,1 27,3 27,2 27,3 27,5 27,7 27,7 27,8 27,6 27,6 27,7 27,8 27,5 27,6 27,5 27,2 26,9 26,6 26,6 26,7 26,7 26,7 26,6 26,5 26,5 26,3 26,3 26,5 26,6 26,3
27,0 27,4 27,3 27,2 27,1 26,9 27,0 27,1 27,3 27,0 27,1 27,2 27,3 27,0 26,9 27,0 26,9 26,7 27,2 26,9 27,0 27,3 27,3 27,5 27,5 27,3 27,2 27,5 27,6 27,7 27,4 27,2 27,3 27,2 27,4 27,5 27,9 27,7 28,0 27,7 27,7 27,8 27,8 27,7 27,8 27,5 27,3 26,9 26,7 26,8 26,8 26,7 26,8 26,7 26,6 26,6 26,4 26,3 26,5 26,6 26,4
27,0 27,3 27,3 27,1 27,1 26,9 27,0 27,1 27,2 27,0 27,1 27,1 27,1 27,0 26,9 27,0 26,9 26,6 27,2 26,9 27,0 27,3 27,2 27,4 27,4 27,3 27,2 27,4 27,5 27,7 27,3 27,1 27,3 27,2 27,3 27,5 27,8 27,7 27,9 27,7 27,7 27,7 27,8 27,6 27,7 27,5 27,3 26,9 26,6 26,7 26,8 26,7 26,7 26,6 26,6 26,6 26,4 26,3 26,5 26,6 26,3
63
Lampiran 2. Kisaran nilai pH sedimen media penelitian selama 60 hari (Oktober 2008 sampai Desember 2008) Stasiun I
Stasiun II
Stasiun III
Waktu
Minimum
Maximum
Rerata
Minimum
Maximum
Rerata
Minimum
Maximum
Rerata
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
6,55 6,92 7,02 6,54 6,50 6,38 6,50 6,64 6,81 6,79 6,81 6,89 6,82 6,63 6,64 6,51 6,60 6,58 6,67 6,69 6,74 6,55 6,32 6,29 6,54 6,53 6,12 6,54 6,87 6,57 6,61 6,63 6,58 6,62 6,63 6,68 6,64 6,68 6,62 6,60 6,71 6,78 6,62 6,63 6,64 6,62 6,68 6,56 6,76 6,70 6,63 6,75 6,65 6,70 6,60 6,54 6,61 6,55 6,51 6,65 6,85
7,13 7,07 7,09 6,61 6,59 6,44 6,56 6,77 6,93 6,85 6,85 6,98 6,83 6,68 6,70 6,64 6,64 6,63 6,71 6,74 6,76 6,71 6,74 6,69 6,82 6,62 6,62 6,82 6,95 6,65 6,72 7,02 6,93 6,76 6,71 6,84 6,76 6,90 6,99 6,68 6,94 6,81 6,92 6,66 6,78 6,75 6,73 6,64 6,99 6,74 6,92 6,80 6,96 6,78 6,73 6,71 6,73 6,72 6,68 6,89 6,98
6,75 7,01 7,06 6,57 6,53 6,40 6,54 6,72 6,88 6,82 6,84 6,92 6,84 6,65 6,67 6,59 6,63 6,61 6,69 6,71 6,75 6,63 6,56 6,53 6,65 6,58 6,08 6,65 6,92 6,62 6,65 6,77 6,71 6,68 6,66 6,74 6,68 6,76 6,77 6,64 6,80 6,80 6,74 6,65 6,69 6,69 6,70 6,60 6,87 6,72 6,73 6,78 6,76 6,73 6,68 6,63 6,68 6,66 6,61 6,76 6,91
7,03 7,04 6,94 6,43 6,37 6,27 6,38 6,65 6,74 6,68 6,72 6,68 6,75 6,38 6,39 6,38 6,42 6,42 6,43 6,46 6,41 6,40 6,24 6,46 6,43 6,56 6,56 6,43 6,63 6,77 6,50 6,48 6,42 6,46 6,55 6,53 6,59 6,50 6,53 6,50 6,62 6,60 6,45 6,46 6,46 6,56 6,56 6,48 6,51 6,52 6,53 6,52 6,51 6,53 6,61 6,58 6,58 6,54 6,52 6,53 6,76
7,14 7,09 7,04 6,54 6,49 6,53 6,42 6,70 6,79 6,80 6,78 6,79 6,78 6,42 6,43 6,47 6,48 6,48 6,48 6,50 6,52 6,42 6,60 6,71 6,56 6,73 6,79 6,56 6,88 6,95 6,63 6,61 6,45 6,58 6,61 6,63 6,61 6,75 6,84 6,53 7,08 6,75 6,52 6,53 6,62 6,71 6,62 6,50 6,55 6,63 6,59 6,55 6,59 6,76 6,64 6,69 6,68 6,65 6,65 6,81 6,83
7,10 7,06 7,01 6,51 6,43 6,37 6,40 6,68 6,77 6,74 6,76 6,74 6,77 6,40 6,42 6,43 6,44 6,46 6,45 6,48 6,45 6,41 6,37 6,57 6,50 6,65 6,67 6,50 6,75 6,88 6,58 6,56 6,44 6,51 6,57 6,57 6,60 6,60 6,64 6,51 6,81 6,68 6,48 6,48 6,55 6,63 6,59 6,49 6,54 6,57 6,56 6,54 6,54 6,65 6,62 6,65 6,62 6,60 6,60 6,64 6,79
6,95 7,00 6,80 6,48 6,55 6,32 6,43 6,74 6,72 6,78 6,80 6,94 6,82 6,47 6,39 6,41 6,38 6,41 6,44 6,47 6,42 6,51 6,18 6,49 6,50 6,52 6,51 6,50 6,69 6,53 6,50 6,82 6,53 6,49 6,58 6,54 6,53 6,54 6,47 6,51 6,62 6,60 6,53 6,52 6,52 6,70 6,52 6,55 6,63 6,54 6,58 6,58 6,56 6,67 6,58 6,57 6,55 6,47 6,48 6,55 6,55
7,06 7,15 7,13 6,69 6,67 6,67 6,58 6,83 6,85 6,84 6,85 6,96 6,89 6,56 6,51 6,52 6,52 6,59 6,48 6,51 6,52 6,58 6,70 6,55 6,61 6,67 6,53 6,61 6,84 6,83 6,63 6,89 6,58 6,55 6,62 6,69 6,61 6,67 6,54 6,69 6,71 6,80 6,60 6,63 6,76 6,76 6,55 6,62 6,64 6,78 6,66 6,64 6,69 6,76 6,68 6,71 6,69 6,67 6,73 6,64 6,68
7,01 7,07 6,94 6,57 6,61 6,47 6,50 6,79 6,78 6,80 6,82 6,95 6,85 6,53 6,46 6,48 6,47 6,50 6,46 6,49 6,47 6,56 6,37 6,53 6,54 6,63 6,52 6,54 6,77 6,70 6,59 6,86 6,55 6,53 6,60 6,62 6,58 6,62 6,50 6,60 6,66 6,73 6,57 6,58 6,62 6,74 6,54 6,59 6,64 6,66 6,61 6,61 6,61 6,70 6,63 6,64 6,63 6,57 6,64 6,61 6,62
64
Lampiran 3. Kisaran nilai oksigen terlarut (DO) (mg/L) sedimen media penelitian selama 60 hari (Oktober 2008 sampai Desember 2008) Stasiun I
Stasiun II
Stasiun III
Waktu
Minimum
Maximum
Rerata
Minimum
Maximum
Rerata
Minimum
Maximum
Rerata
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
0,20 0,30 0,30 0,20 0,05 0,09 0,13 0,04 0,06 0,06 0,03 0,09 0,04 0,09 0,17 0,06 0,07 0,07 0,05 0,05 0,04 0,03 0,04 0,03 0,05 0,02 0,01 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,02 0,01 0,01 0,03 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,03 0,02 0,01 0,02 0,02
0,20 0,30 0,40 0,20 0,13 0,09 0,30 0,08 0,09 0,13 0,13 0,10 0,12 0,15 0,48 0,09 0,14 0,14 0,15 0,10 0,10 0,09 0,09 0,06 0,05 0,07 0,03 0,06 0,05 0,03 0,04 0,03 0,03 0,02 0,01 0,01 0,01 0,02 0,02 0,01 0,01 0,01 0,02 0,02 0,02 0,03 0,01 0,02 0,01 0,02 0,02 0,02 0,03 0,02 0,02 0,04 0,05 0,02 0,03 0,02 0,03
0,20 0,30 0,33 0,20 0,08 0,09 0,19 0,06 0,08 0,09 0,09 0,09 0,07 0,12 0,30 0,07 0,10 0,10 0,09 0,07 0,06 0,06 0,06 0,04 0,05 0,04 0,02 0,04 0,03 0,03 0,03 0,03 0,02 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,02 0,01 0,02 0,03 0,01 0,02 0,01 0,01 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,03 0,04 0,02 0,02 0,02 0,02
0,20 0,30 0,20 0,03 0,04 0,05 0,06 0,03 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,07 0,14 0,04 0,05 0,05 0,04 0,03 0,03 0,03 0,03 0,02 0,03 0,01 0,01 0,01 0,02 0,02 0,02 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,02 0,02 0,02 0,03 0,04 0,02 0,01 0,02 0,01
0,20 0,30 0,30 0,20 0,06 0,09 0,09 0,06 0,05 0,07 0,07 0,06 0,05 0,09 0,17 0,07 0,06 0,07 0,06 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,03 0,02 0,04 0,02 0,03 0,03 0,02 0,03 0,03 0,01 0,02 0,02 0,03 0,01 0,01 0,01 0,01 0,02 0,01 0,02 0,01 0,02 0,01 0,02 0,01 0,02 0,01 0,02 0,03 0,04 0,03 0,03 0,03 0,04 0,02 0,02 0,02
0,20 0,30 0,27 0,10 0,05 0,07 0,07 0,04 0,04 0,05 0,05 0,05 0,05 0,08 0,15 0,06 0,05 0,06 0,05 0,04 0,04 0,04 0,04 0,03 0,03 0,01 0,02 0,02 0,02 0,03 0,02 0,02 0,02 0,01 0,01 0,02 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,02 0,01 0,01 0,01 0,02 0,01 0,02 0,02 0,03 0,02 0,03 0,04 0,02 0,02 0,02 0,02
0,30 0,20 0,40 0,30 0,04 0,02 0,04 0,01 0,03 0,03 0,03 0,02 0,02 0,04 0,06 0,04 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,02 0,02 0,01 0,01 0,01 0,02 0,01 0,02 0,02 0,01 0,02 0,02 0,01 0,02 0,02 0,04 0,02 0,01 0,02 0,01 0,02 0,01 0,02 0,01 0,02 0,01 0,02 0,01 0,02 0,01 0,02 0,02 0,03 0,02 0,03 0,03 0,01 0,01 0,03 0,01
0,30 0,30 0,80 0,30 0,06 0,04 0,06 0,03 0,04 0,06 0,04 0,03 0,03 0,04 0,09 0,05 0,05 0,05 0,05 0,04 0,04 0,04 0,03 0,03 0,02 0,01 0,03 0,01 0,03 0,03 0,02 0,02 0,02 0,03 0,03 0,05 0,05 0,02 0,02 0,02 0,01 0,03 0,02 0,05 0,02 0,03 0,03 0,03 0,01 0,02 0,01 0,02 0,02 0,04 0,02 0,04 0,05 0,02 0,02 0,03 0,04
0,30 0,23 0,60 0,30 0,05 0,03 0,05 0,02 0,04 0,04 0,03 0,02 0,02 0,04 0,17 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,03 0,03 0,02 0,02 0,02 0,01 0,02 0,01 0,02 0,02 0,01 0,02 0,02 0,02 0,02 0,03 0,04 0,02 0,01 0,02 0,01 0,02 0,01 0,03 0,01 0,03 0,02 0,02 0,01 0,02 0,01 0,02 0,02 0,03 0,02 0,05 0,04 0,02 0,02 0,03 0,02
65
Lampiran 4. Kisaran nilai redoks (mV) media penelitian selama 60 hari (Oktober 2008 sampai Desember 2008) Stasiun I
Stasiun II
Stasiun III
Waktu
Minimum
Maximum
Rerata
Minimum
Maximum
Rerata
Minimum
Maximum
Rerata
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
-6 -9 -7 -5 -5 -7 -9 -7 -30 -27 -20 -10 -4 -22 -6 -4 -6 -6 -2 -5 -5 -9 -10 -2 -5 -7 -2 -5 -17 -31 -7 -14 -3 -9 -13 -7 -7 -4 -3 -8 -4 -6 -3 -5 -7 -2 -3 -4 -5 -2 -3 -2 -7 -3 -3 -3 -7 -2 -5 -2 -3
-8 -10 -8 -7 -9 -10 -10 -9 -35 -30 -31 -28 -10 -28 -39 -21 -18 -12 -24 -14 -6 -34 -26 -8 -23 -8 -23 -23 -49 -59 -32 -22 -10 -23 -25 -13 -9 -10 -10 -13 -11 -14 -5 -11 -8 -4 -11 -6 -11 -7 -9 -5 -11 -8 -9 -7 -7 -8 -10 -3 -4
-7 -10 -7 -6 -7 -9 -10 -8 -32 -29 -26 -20 -8 -25 -19 -10 -12 -9 -11 -8 -5 -18 -18 -4 -14 -8 -15 -14 -36 -48 -16 -17 -6 -14 -18 -9 -8 -7 -6 -9 -7 -9 -5 -7 -8 -3 -6 -5 -8 -5 -7 -3 -9 -5 -5 -5 -7 -5 -8 -3 -3
-6 -8 -9 -5 -5 -7 -7 -7 -26 -35 -45 -18 -15 -27 -2 -4 -34 -21 -13 -10 -6 -4 -4 -5 -11 -10 -3 -11 -44 -48 -5 -7 -6 -10 -8 -7 -5 -5 -7 -9 -8 -6 -7 -5 -2 -3 -3 -6 -2 -3 -2 -2 -4 -5 -1 -2 -2 -3 -4 -3 -3
-10 -12 -11 -9 -7 -11 -9 -11 -27 -42 -57 -45 -25 -38 -32 -35 -48 -31 -27 -20 -36 -16 -28 -9 -19 -16 -9 -19 -48 -57 -13 -10 -25 -25 -14 -17 -16 -8 -26 -12 -12 -17 -11 -13 -8 -17 -6 -19 -7 -5 -9 -4 -6 -8 -5 -3 -4 -9 -9 -15 -5
-8 -10 -10 -7 -6 -8 -8 -9 -26 -40 -50 -29 -20 -32 -17 -16 -39 -26 -21 -16 -24 -12 -13 -6 -14 -13 -7 -14 -46 -52 -9 -8 -14 -17 -11 -13 -10 -7 -14 -11 -10 -11 -10 -8 -4 -8 -5 -12 -4 -4 -4 -3 -5 -7 -3 -3 -3 -6 -6 -7 -4
-5 -5 -5 -5 -7 -8 -8 -6 -24 -27 -30 -27 -19 -13 -2 -2 -19 -18 -16 -6 -27 -8 -5 -5 -12 -5 -12 -12 -28 -42 -4 -7 -8 -9 -20 -10 -10 -5 -4 -2 -5 -9 -5 -8 -3 -4 -2 -2 -6 -2 -2 -2 -14 -2 -3 -1 -4 -4 -5 -4 -2
-8 -6 -7 -6 -10 -11 -10 -11 -27 -32 -51 -48 -36 -29 -28 -10 -30 -29 -37 -20 -36 -20 -14 -25 -15 -14 -20 -15 -42 -51 -33 -9 -25 -14 -24 -17 -12 -17 -16 -9 -11 -12 -12 -25 -17 -9 -21 -3 -21 -9 -5 -9 -16 -2 -7 -3 -7 -13 -10 -6 -3
-7 -5 -6 -6 -9 -9 -9 -8 -25 -30 -40 -35 -26 -22 -14 -5 -24 -25 -28 -15 -30 -13 -9 -12 -13 -9 -17 -13 -34 -47 -14 -8 -15 -12 -21 -13 -11 -12 -10 -5 -8 -11 -9 -14 -12 -7 -11 -3 -11 -5 -4 -4 -15 -2 -5 -2 -6 -7 -7 -5 -2
66
LAMPIRAN DATA HARIAN KUALITAS AIR PADA MEDIA PENELITIAN BERDASARKAN STASIUN I, II DAN III SELAMA 60 HARI : 5. Kisaran nilai harian suhu (oC) 6. Kisaran nilai pH 7. Kisaran nilai oksigen terlarut (DO) (mg/L)
67
Lampiran 5. Kisaran nilai suhu air (oC) media penelitian selama 60 hari (Oktober 2008 sampai Desember 2008) Stasiun I
Stasiun II
Stasiun III
Waktu
Minimum
Maximum
Rerata
Minimum
Maximum
Rerata
Minimum
Maximum
Rerata
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
27,0 27,1 27,2 27,0 27,0 26,5 26,8 27,0 27,0 26,9 27,1 27,0 27,1 26,9 26,8 27,0 26,9 26,6 27,2 26,9 27,0 27,3 27,3 27,4 27,4 27,3 27,1 27,3 27,6 27,7 27,3 27,0 27,3 27,1 27,5 27,8 28,1 27,7 28,0 27,8 27,7 28,0 27,7 27,9 27,9 27,6 27,4 26,9 26,7 26,9 26,9 26,8 26,7 26,8 26,6 26,5 26,3 26,3 26,6 26,6 26,4
27,1 27,2 27,4 27,3 27,0 27,1 26,9 27,1 27,0 27,0 27,5 27,1 27,3 27,1 26,9 27,1 27,0 26,8 27,3 27,1 27,1 27,5 27,7 27,5 27,5 27,3 27,2 27,5 27,7 27,8 27,4 27,1 27,3 27,3 27,6 27,9 28,1 28,0 28,3 27,9 27,8 28,0 27,9 27,9 28,0 27,6 27,4 27,0 26,7 27,0 26,9 27,4 26,7 26,8 26,6 26,6 26,3 26,4 26,7 26,6 26,6
27,1 27,1 27,3 27,2 27,0 26,9 26,9 27,0 27,0 27,0 27,4 27,1 27,2 27,0 26,9 27,0 27,0 26,7 27,3 27,0 27,0 27,4 27,5 27,5 27,5 27,3 27,1 27,4 27,7 27,8 27,4 27,1 27,3 27,2 27,6 27,9 28,1 27,9 28,1 27,9 27,8 28,0 27,8 27,9 27,9 27,6 27,4 26,9 26,7 26,9 26,9 27,0 26,7 26,8 26,6 26,5 26,3 26,4 26,6 26,6 26,5
27,2 27,3 27,3 26,8 27,0 27,0 27,0 27,0 27,0 27,0 27,4 27,0 27,2 27,0 26,9 27,1 27,0 26,7 27,3 27,0 27,1 27,1 27,4 27,5 27,5 27,3 27,1 27,4 27,6 27,7 27,3 27,2 27,2 27,2 27,5 27,5 27,9 27,8 28,0 27,9 27,7 27,9 27,8 27,8 27,8 27,7 27,3 26,9 26,7 26,9 26,9 26,8 26,7 26,8 26,6 26,5 26,3 26,4 26,6 26,6 26,4
27,2 27,4 27,3 27,3 27,1 27,1 27,2 27,1 27,2 27,1 27,5 27,3 27,2 27,1 27,0 27,2 27,1 26,8 27,5 27,0 27,2 27,6 27,5 27,6 27,8 27,4 27,2 27,5 27,7 28,0 27,7 27,5 27,3 27,4 27,8 27,9 28,2 27,9 28,2 27,9 27,9 28,0 27,9 27,9 28,0 27,7 27,5 27,0 26,9 27,1 26,9 26,9 26,7 26,8 26,6 26,6 26,5 26,4 26,8 26,6 26,5
27,2 27,3 27,3 27,1 27,1 27,0 27,1 27,1 27,1 27,0 27,4 27,2 27,2 27,0 26,9 27,2 27,1 26,8 27,4 27,0 27,2 27,4 27,4 27,6 27,6 27,3 27,2 27,5 27,6 27,8 27,4 27,3 27,3 27,3 27,6 27,7 28,0 27,9 28,1 27,9 27,8 27,9 27,8 27,9 27,9 27,7 27,4 26,9 26,8 27,0 26,9 26,8 26,7 26,8 26,6 26,5 26,4 26,4 26,7 26,6 26,4
27,0 27,3 27,3 27,0 27,0 26,7 27,3 27,2 27,0 27,1 27,2 27,2 27,2 27,1 26,9 27,1 27,1 26,7 27,4 27,0 27,1 27,6 27,4 27,5 27,5 27,4 27,3 27,5 27,6 27,8 27,3 27,3 27,3 27,2 27,4 27,5 27,9 27,8 28,0 27,7 27,7 27,8 27,9 27,7 27,7 27,6 27,3 26,9 26,7 26,8 26,9 26,8 26,6 26,7 26,6 26,6 26,3 26,4 26,6 26,6 26,5
27,3 27,4 27,3 27,3 27,1 27,1 27,4 27,3 27,4 27,3 27,5 27,3 27,4 27,1 27,0 27,2 27,1 27,0 27,5 27,1 27,2 27,6 27,7 27,7 27,5 27,4 27,3 27,6 27,7 27,9 27,5 27,4 27,3 27,4 27,4 27,6 28,2 27,8 28,1 27,9 27,9 27,9 28,0 27,7 27,8 27,6 27,4 26,9 26,8 27,0 27,0 26,9 26,7 26,8 26,6 26,6 26,4 26,4 26,7 26,6 26,5
27,1 27,3 27,3 27,2 27,1 26,9 27,3 27,2 27,2 27,2 27,4 27,2 27,3 27,1 26,9 27,1 27,1 26,8 27,5 27,1 27,2 27,6 27,5 27,6 27,5 27,4 27,3 27,5 27,7 27,8 27,4 27,3 27,3 27,3 27,4 27,5 28,0 27,8 28,1 27,8 27,8 27,9 28,0 27,7 27,8 27,6 27,4 26,9 26,8 26,9 26,9 26,8 26,7 26,8 26,6 26,6 26,4 26,4 26,7 26,6 26,5
68
Lampiran 6. Kisaran nilai pH air media penelitian selama 60 hari (Oktober 2008 sampai Desember 2008) Stasiun I
Stasiun II
Stasiun III
Waktu
Minimum
Maximum
Rerata
Minimum
Maximum
Rerata
Minimum
Maximum
Rerata
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
6,82 6,93 6,91 6,82 6,67 6,50 6,62 6,76 6,95 6,89 6,86 6,96 6,86 6,68 6,70 6,64 6,73 6,79 6,79 6,76 6,79 6,89 6,79 6,43 6,88 6,95 6,58 6,87 7,03 7,01 6,65 6,94 6,63 6,97 6,98 6,89 6,98 6,98 6,96 6,63 6,98 7,01 6,99 7,03 7,03 7,01 6,98 6,65 7,01 6,97 6,94 7,04 6,70 6,98 6,97 6,86 6,90 6,89 6,90 6,96 6,89
7,03 7,26 7,18 7,52 6,79 6,54 6,69 6,84 7,03 7,10 7,07 7,08 7,10 6,73 6,77 6,90 6,79 6,83 6,87 6,89 6,91 6,98 6,94 6,73 7,04 6,98 6,99 6,99 7,06 7,07 7,02 7,04 7,01 7,05 7,03 6,94 6,99 7,04 7,02 7,12 7,04 7,02 7,01 7,08 7,12 7,03 7,05 7,07 7,06 7,04 7,04 7,08 7,08 7,05 7,06 7,01 7,02 6,98 6,98 7,02 7,01
6,93 7,08 7,08 7,12 6,73 6,52 6,66 6,81 6,99 6,98 6,99 7,01 6,98 6,71 6,74 6,78 6,76 6,81 6,80 6,82 6,85 6,93 6,84 6,63 6,98 6,97 6,77 6,92 7,04 7,03 6,88 6,98 6,88 7,01 7,00 6,91 6,99 7,01 6,99 6,94 7,02 7,01 7,00 7,06 7,06 7,02 7,03 6,90 7,03 7,01 6,98 7,06 6,94 7,01 7,02 6,94 6,96 6,95 6,93 6,98 6,97
7,28 7,24 7,02 6,68 6,61 6,53 6,52 6,72 6,82 6,80 6,85 6,79 6,80 6,41 6,43 6,47 6,44 6,48 6,45 6,48 6,57 6,59 6,29 6,56 6,88 6,95 6,78 6,70 6,80 6,79 6,82 6,85 6,84 6,85 6,84 6,86 6,86 6,85 6,87 6,87 6,86 6,91 6,88 6,90 6,86 6,88 6,85 6,90 6,87 6,87 6,94 6,86 6,96 6,91 6,94 6,91 6,86 6,82 6,86 6,86 6,82
7,36 7,34 7,23 6,72 6,63 6,67 6,65 6,79 6,93 6,89 6,89 6,86 6,83 6,51 6,52 6,64 6,55 6,67 6,56 6,60 6,69 6,69 6,63 6,84 7,04 6,98 6,85 6,90 6,97 6,99 7,04 7,02 7,00 7,01 7,03 7,03 6,97 7,05 7,04 7,03 7,47 7,07 7,07 7,06 7,07 7,06 7,06 7,06 7,06 6,98 7,01 7,04 7,02 7,01 6,97 6,99 6,98 6,88 7,01 6,92 6,87
7,33 7,28 7,11 6,74 6,62 6,58 6,58 6,76 6,88 6,84 6,87 6,83 6,81 6,45 6,47 6,56 6,48 6,57 6,52 6,55 6,61 6,63 6,42 6,71 6,80 6,80 6,82 6,82 6,89 6,91 6,94 6,95 6,93 6,94 6,94 6,95 6,93 6,96 6,98 6,97 7,13 6,99 7,00 7,00 6,98 6,98 6,96 6,98 6,96 6,92 6,97 6,95 6,98 6,96 6,96 6,95 6,93 6,85 6,93 6,88 6,84
7,05 7,21 6,50 6,62 6,63 6,55 6,60 7,07 6,97 7,01 7,02 7,01 6,91 6,59 6,42 6,43 6,50 6,48 6,47 6,52 6,60 6,55 6,22 6,64 6,72 6,70 6,76 6,79 6,83 6,77 6,80 6,85 6,79 6,84 6,74 6,84 6,83 6,69 6,76 6,79 6,68 6,85 6,83 6,84 6,82 6,81 6,46 6,75 6,79 6,81 6,78 6,79 6,70 6,74 6,79 6,81 6,77 6,68 6,80 6,79 6,65
7,18 7,35 6,95 6,80 6,81 6,83 6,72 7,15 7,02 7,07 7,04 7,02 7,02 6,65 6,61 6,60 6,60 6,61 6,57 6,61 6,61 6,68 6,73 6,81 6,98 6,79 6,84 6,82 6,88 6,92 6,90 6,90 6,88 6,90 6,89 6,93 6,89 6,93 6,93 6,98 6,95 6,96 6,97 7,01 7,07 6,94 6,94 7,04 6,98 7,01 7,01 6,98 7,03 6,92 6,99 6,98 7,00 6,88 6,97 6,95 6,84
7,12 7,28 6,78 6,74 6,74 6,68 6,67 7,10 7,00 7,03 7,03 7,01 6,96 6,61 6,54 6,54 6,56 6,54 6,53 6,57 6,60 6,61 6,41 6,72 6,84 6,75 6,79 6,80 6,86 6,85 6,85 6,88 6,84 6,87 6,83 6,90 6,86 6,83 6,87 6,89 6,82 6,90 6,89 6,91 6,91 6,88 6,71 6,88 6,87 6,89 6,88 6,87 6,87 6,83 6,88 6,87 6,86 6,75 6,86 6,85 6,73
69
Lampiran 7. Kisaran nilai oksigen terlarut (DO) (mg/L) air media penelitian selama 60 hari (Oktober 2008 sampai Desember 2008) Stasiun I
Stasiun II
Stasiun III
Waktu
Minimum
Maximum
Rerata
Minimum
Maximum
Rerata
Minimum
Maximum
Rerata
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
0,40 0,30 0,40 0,50 0,37 0,25 0,18 0,10 0,09 0,09 0,32 0,18 0,07 0,15 0,28 0,12 0,17 0,10 0,54 0,18 0,15 0,25 0,09 0,08 0,23 0,06 0,07 0,04 0,06 0,03 0,05 0,04 0,06 0,03 0,01 0,03 0,03 0,01 0,03 0,02 0,02 0,02 0,04 0,02 0,02 0,05 0,02 0,03 0,02 0,02 0,03 0,03 0,03 0,03 0,02 0,03 0,02 0,01 0,01 0,02 0,04
0,60 0,90 0,80 0,70 0,64 0,56 0,24 0,26 0,20 0,43 1,15 0,30 0,20 0,25 0,53 0,23 0,42 0,45 0,98 0,25 0,24 0,29 0,31 0,28 0,44 0,37 0,16 0,31 0,24 0,05 0,09 0,08 0,07 0,05 0,05 0,09 0,03 0,04 0,03 0,05 0,04 0,04 0,08 0,08 0,07 0,06 0,07 0,06 0,03 0,02 0,04 0,04 0,06 0,04 0,02 0,06 0,06 0,03 0,06 0,06 0,07
0,50 0,60 0,60 0,60 0,49 0,41 0,27 0,16 0,13 0,31 0,64 0,23 0,13 0,21 0,37 0,16 0,26 0,25 0,73 0,23 0,19 0,27 0,18 0,17 0,32 0,21 0,10 0,18 0,15 0,04 0,07 0,05 0,06 0,04 0,03 0,07 0,03 0,02 0,03 0,03 0,03 0,03 0,06 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,03 0,02 0,04 0,04 0,04 0,03 0,02 0,05 0,04 0,02 0,03 0,04 0,05
0,30 0,40 0,40 0,11 0,09 0,27 0,11 0,06 0,07 0,06 0,11 0,12 0,10 0,16 0,19 0,05 0,11 0,12 0,13 0,13 0,11 0,06 0,06 0,05 0,07 0,02 0,03 0,02 0,04 0,04 0,03 0,03 0,03 0,02 0,02 0,02 0,03 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,03 0,04 0,03 0,03 0,03 0,03 0,02 0,02 0,02 0,04 0,02 0,03 0,01 0,04 0,03 0,02 0,01 0,02 0,01
0,30 0,50 0,60 0,90 0,38 0,42 0,23 0,13 0,10 0,26 0,24 0,20 0,16 0,26 0,37 0,23 0,15 0,36 0,34 0,15 0,13 0,16 0,08 0,11 0,17 0,24 0,13 0,26 0,26 0,11 0,28 0,05 0,04 0,03 0,06 0,06 0,06 0,06 0,04 0,03 0,03 0,06 0,08 0,08 0,08 0,05 0,07 0,06 0,04 0,05 0,09 0,06 0,05 0,05 0,07 0,07 0,06 0,03 0,06 0,02 0,07
0,30 0,47 0,50 0,57 0,19 0,33 0,15 0,09 0,09 0,16 0,19 0,17 0,13 0,19 0,25 0,16 0,13 0,28 0,23 0,14 0,12 0,12 0,07 0,07 0,11 0,11 0,07 0,11 0,13 0,07 0,12 0,04 0,03 0,02 0,04 0,04 0,04 0,03 0,03 0,03 0,03 0,04 0,06 0,06 0,05 0,04 0,05 0,04 0,03 0,03 0,06 0,05 0,04 0,04 0,04 0,05 0,05 0,03 0,03 0,02 0,06
0,40 0,30 0,40 0,30 0,06 0,07 0,17 0,06 0,06 0,07 0,07 0,09 0,11 0,23 0,11 0,09 0,08 0,07 0,08 0,08 0,07 0,07 0,03 0,02 0,03 0,06 0,03 0,02 0,04 0,04 0,03 0,03 0,05 0,02 0,03 0,04 0,04 0,03 0,02 0,03 0,02 0,02 0,04 0,05 0,07 0,05 0,02 0,04 0,04 0,04 0,07 0,04 0,04 0,03 0,02 0,05 0,02 0,01 0,01 0,03 0,03
0,80 0,40 0,80 0,60 0,38 0,77 0,45 0,09 0,41 0,28 0,09 0,10 0,13 0,28 0,14 0,14 0,14 0,33 0,30 0,10 0,10 0,19 0,04 0,05 0,07 0,06 0,05 0,04 0,04 0,04 0,05 0,03 0,06 0,04 0,03 0,06 0,06 0,04 0,05 0,07 0,05 0,05 0,05 0,08 0,08 0,07 0,04 0,05 0,06 0,06 0,08 0,09 0,08 0,06 0,07 0,08 0,07 0,05 0,09 0,06 0,04
0,60 0,33 0,60 0,47 0,18 0,32 0,27 0,08 0,18 0,16 0,08 0,10 0,12 0,25 0,13 0,11 0,12 0,20 0,18 0,09 0,08 0,14 0,04 0,04 0,04 0,06 0,04 0,03 0,04 0,04 0,04 0,03 0,05 0,03 0,03 0,05 0,05 0,04 0,04 0,05 0,03 0,03 0,05 0,07 0,08 0,06 0,03 0,04 0,05 0,05 0,07 0,06 0,06 0,05 0,04 0,06 0,05 0,03 0,04 0,04 0.04
70
LAMPIRAN 8 DATA PEUBAH KUALITAS AIR DAN SEDIMEN HARI KE 0, 20, 40 DAN 60 PADA MEDIA PENELITIAN BERDASARKAN STASIUN I, II DAN III : -
BOD (mg/L) Amonia (NH3) (mg/L) Nitrit (NO2) (mg/L) Nitrat (NO3) (mg/L) C-organik (%) Sulfide (mg/L) Karbondioksida (CO2) (mg/L) Alkalinitas (mg/L) Kesadahan (mg/L) Kalsium air (Ca) (mg/L) Kalsium sedimen (Ca) (mg/Kg) COD (mg/L) Fenol (mg/L) Total fosfat (mg/L) Orto fosfat (PO4) (mg/L)
71
Lampiran 8. Data peubah kualitas air dan sedimen media penelitian berdasarkan stasiun I, II, III pada hari ke 0, 20, 40 dan 60 Parameter
0
Stasiun I 20 40
60
0
Stasiun II 20 40
60
0
Stasiun III 20 40
60
Air Karbondioksida (CO2)
8,91
25,74
39,60
29,70
11,88
51,48
33,66
23,76
16,83
73,26
19,80
35,64
Sulfide Amonia (NH3) Nitrit (NO2) Nitrat (NO3) Fenol BOD COD Total fosfat
<0,02 0,065 0,037 0,388 <0,05 2,24 12,9 1,357
<0,02 3,191 2,357 1,364 <0,05 5,76 11,2 0,654
<0,02 2,828 0,310 2,064 <0,05 1,79 6,0 0,780
<0,02 1,549 0,230 1,388 <0,05 1,64 6,0 0,791
<0,02 0,052 0,025 0,215 <0,05 1,25 15,9 1,08
<0,02 3,787 2,714 1,545 <0,05 5,66 19,7 1,72
<0,02 3,250 0,324 2,418 <0,05 2,69 4,1 0,788
<0,02 1,429 0,379 1,715 <0,05 1,33 4,0 0,798
<0,02 0,104 0,027 0,056 <0,05 1,39 13,9 1,500
<0,02 3,562 10,286 2,091 <0,05 5,92 8,8 2,713
<0,02 3,336 0,295 2,773 <0,05 2,71 6,4 0,876
<0,02 1,459 0,168 2,211 <0,05 1,35 6,0 0,823
Orto fosfat (PO4) Alkalinitas Kesadahan
0,373 71,64 39,04
0,503 0,628 170,85 213,56 142,10 203,00
0,621 217,45 169,16
0,190 55,72 60,06
1,11 110,53 132,90
0,602 155,32 147,55
0,556 158,59 149,96
1,291 91,54 42,04
2,547 61,74 74,24
0,628 128,44 122,02
0,710 76,84 73,39
Kalsium (Ca)
8,15
26,35
24,12
24,32
8,72
20,22
18,56
19,26
8,00
12,55
11,45
12,56
4,40 5,90
5,67 1,29
7,34 2,05
8,14 1,99
1,40 3,60
3,21 1,59
4,98 2,57
5,12 1,90
1,65 5,80
2,76 2,35
3,98 2,91
4,23 1,95
Sedimen Kalsium (Ca) C-Organik
72
LAMPIRAN 9 GRAFIK FISIKA KIMIA SEDIMEN BERDASARKAN STASIUN I, II DAN III PADA HARI KE 0, 20, 40, DAN 60 SELAMA PENELITIAN - Kisaran nilai harian suhu (oC) - Kisaran nilai pH - Kisaran nilai oksigen terlarut (DO) (mg/L) - Kisaran nilai redoks (mV)
73
Lampiran 9. Grafik fisika kimia sedimen berdasarkan stasiun I, II dan III pada hari ke 0, 20, 40 dan 60 selama penelitian
A. Kisaran nilai suhu sedimen (oC)
B. Kisaran nilai pH sedimen
C. Kisaran nilai oksigen terlarut (DO) D. Kisaran nilai potensial redoks (mV) (mg/L) sedimen sedimen
74
LAMPIRAN 10 GRAFIK FISIKA KIMIA AIR PADA HARI KE 0, 20, 40, DAN 60 BERDASARKAN STASIUN I, II DAN III SELAMA PENELITIAN - Kisaran nilai harian suhu (oC) - Kisaran nilai pH - Kisaran nilai oksigen terlarut (DO) (mg/L)
75
Lampiran 10. Grafik fisika kimia air berdasarkan stasiun I, II dan III pada hari ke 0, 20, 40 dan 60 selama penelitian
A. Kisaran nilai suhu air (oC) pada hari ke 0, 20, 40 dan 60 selama penelitian
B. Kisaran nilai pH air pada hari ke 0, 20, 40 dan 60 selama penelitian
C. Kisaran nilai oksigen terlarut (DO) air (mg/L) pada hari ke 0, 20, 40 dan 60 selama penelitian
76
LAMPIRAN 11 GRAFIK PEUBAH KUALITAS AIR BERDASARKAN STASIUN I, II DAN III PADA HARI KE 0, 20, 40, DAN 60 SELAMA PENELITIAN - BOD (mg/L) - Amonia (NH3) (mg/L) - Nitrit (NO2) (mg/L) - Nitrat (NO3) (mg/L) - C-organik (%) - Sulfide (mg/L) - Karbondioksida (CO2) (mg/L) - Alkalinitas (mg/L) - Kesadahan (mg/L) - Kalsium air (Ca) (mg/L) - Kalsium sedimen (Ca) (mg/Kg) - COD (mg/L) - Fenol (mg/L) - Total fosfat (mg/L) - Orto fosfat (PO4) (mg/L)
77
Lampiran 11. Grafik peubah kualitas air berdasarkan stasiun I, II dan III pada hari ke 0, 20, 40 dan 60 selama penelitian
A. Kisaran nilai BOD (mg/L)
B. Kisaran nilai amoniak (mg/L)
C. Kisaran nilai nitrit (mg/L)
D. Kisaran nilai nitrat (mg/L)
E. Kisaran nilai C-organik (%)
F. Kisaran nilai karbondioksida (CO2) (mg/L)
78
Lampiran 11. Lanjutan................
G. Kisaran nilai alkalinitas (mg/L)
H. Kisaran nilai kesadahan (mg/L)
I. Kisaran nilai Ca air (mg/L)
J. Kisaran nilai Ca sedimen (mg/Kg)
K. Kisaran nilai total fosfat (mg/L)
L. Kisaran nilai orto-fosfat (mg/L)
M. Kisaran nilai COD (mg/L) 79
LAMPIRAN HASIL ANALISIS CLUSTER (CLUSTER ANALYSIS) SELAMA 60 HARI PENELITIAN 12. Fisika kimia air 13. Fisika kimia sedimen
80
Lampiran 12. Hasil analisis cluster fisika kimia air Parameter
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Karbondioksida Amonia Nitrit Nitrat BOD COD Total fosfat Orto fosfat Alkalinitas Kesadahan Kalsium DO Suhu pH
25,988 1,908 0,734 1,301 2,858 9,025 0,896 0,531 168,375 138,325 20,735 0,730 28,100 7,120
30,195 2,130 0,861 1,473 2,733 10,925 1,096 0,615 120,040 122,618 16,690 0,570 28,100 7,330
36,383 2,115 2,694 1,783 2,843 8,775 1,478 1,294 89,640 77,923 11,140 0,600 28,100 7,280
Cluster Analysis of Variables: Stasiun 1; Stasiun 2; Stasiun 3 Correlation Coefficient Distance, Single Linkage Amalgamation Steps Step
Number of clusters
Similarity level
Distance level
1 2
2 1
99,5182 99,2333
0,0096360 0,0153345
Clusters joined 1 1
2 3
Number of obs. New In new cluster cluster 1 2 1 3
81
Lampiran 13. Hasil analisis cluster fisika kimia sedimen Parameter Kalsium (Ca) C-Organik Oksigen Suhu pH Potensial Redoks
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
6,388 2,808 0,330 27,900 7,060 -48,000
3,678 2,415 0,300 27,900 7,100 -50,000
3,155 3,253 0,600 27,900 7,070 -40,000
Cluster Analysis of Variables: Stasiun 1; Stasiun 2; Stasiun 3 Correlation Coefficient Distance, Single Linkage Amalgamation Steps
Step
Number of clusters
Similarity level
Distance level
1 2
2 1
99,9594 99,8781
0,0008119 0,0024384
Clusters joined 1 1
2 3
Number of obs. New In new cluster cluster 1 2 1 3
82
LAMPIRAN 14. Hasil pengukuran dan analisis kualitas air Waduk Cirata 15. Perhitungan status mutu air (IKA_STORET) Waduk Cirata
83
Lampiran 14. Hasil pengukuran dan analisis kualitas air Waduk Cirata No A 1 2 3 4 B 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 C 1 D 1 2 E 1 2
Parameter Fisika Air Suhu TDS Kekeruhan pH Kimia air DO Karbondioksida (CO2) Sulfide Amonia (NH3-N) Nitrit (NO2-N) Nitrat (NO3-N) Fenol BOD COD Total fosfat Orto fosfat (PO43--P) Alkalinitas Kesadahan Kalsium (Ca) Fisika sedimen Redoks Kimia sedimen Kalsium (Ca) C-Organik Biologi zooplankton fitoplankton
Satuan o
Kelas I
Baku mutu Kelas II Kelas III
Kelas IV
Lokasi Pengambilan Sampel Stasiun I Stasiun II Stasiun III
C mg/L NTU -
dev.3 1000 (-) 6–9
dev.3 1000 (-) 6–9
dev.3 1000 (-) 6–9
dev.5 2000 (-) 6–9
30,09 0,128 25,6 7,12
30,33 0,127 2,38 6,72
29,10 0,129 4,54 6,75
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
6 (-) 0,002 0,5 0,06 10 0,001 2 10 0,2 (-) (-) (-) (-)
4 (-) 0,002 0,02 0,06 10 0,001 3 25 0,2 (-) (-) (-) (-)
3 (-) 0,002 0,02 0,06 20 0,001 6 50 1 (-) (-) (-) (-)
0 (-) 0,002 (-) (-) 20 (-) 12 100 5 (-) (-) (-) (-)
8,94 8,91 <0,2 0,065 0,037 0,388 <0,05 2,24 12,9 1,357 0,373 71,64 39,04 8,150
9,11 11,88 <0,2 0,052 0,025 0,215 <0,05 1,25 15,9 1,076 0,190 55,72 60,06 8,720
8,20 16,83 <0,2 0,104 0,027 0,056 <0,05 1,39 13,9 1,500 1,291 91,54 42,04 8,001
mV
(-)
(-)
(-)
(-)
8
20
1
mg/kg %
(-) (-)
(-) (-)
(-) (-)
(-) (-)
4,40 5,9
1,40 3,6
1,65 5,8
Ind/m3 Ind/m3
(-) (-)
(-) (-)
(-) (-)
(-) (-)
1906 3873
1844 3313
1781 3875
84
Lampiran 15. Perhitungan status mutu air (IKA_STORET) Waduk Cirata No
Parameter
Satuan Kelas I
A 1 2 3 4 B 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 C 1 D 1 2 E 1 2
Fisika Air Suhu TDS Kekeruhan pH Kimia air DO Karbondioksida (CO2) Sulfide Amonia (NH3-N) Nitrit (NO2-N) Nitrat (NO3-N) Fenol BOD COD Total fosfat Orto fosfat (PO43--P) Alkalinitas Kesadahan Kalsium (Ca) Fisika sedimen Redoks Kimia sedimen Kalsium (Ca) C-Organik Biologi zooplankton fitoplankton
o
Baku mutu Kelas Kelas II III
Kelas IV
Hasil Pengamatan MaksiMiniRatamum mum rata
Skor IKA_STORET Kelas Kelas Kelas Kelas I II III IV
C mg/L NTU -
dev.3 1000 (-) 6–9
dev.3 1000 (-) 6–9
dev.3 1000 (-) 6–9
dev.5 2000 (-) 6–9
30,09 0,129 25,6 7,12
29,10 0,127 2,38 6,72
29,84 0,13 10,84 6,86
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
6 (-) 0,002 0,5 0,06 10 0,001 2 10 0,2 (-) (-) (-) (-)
4 (-) 0,002 0,02 0,06 10 0,001 3 25 0,2 (-) (-) (-) (-)
3 (-) 0,002 0,02 0,06 20 0,001 6 50 1 (-) (-) (-) (-)
0 (-) 0,002 (-) (-) 20 (-) 12 100 5 (-) (-) (-) (-)
9,11 16,83 <0,2 0,104 0,037 0,388 <0,05 2,24 15,9 1,500 1,291 91,54 60,06 8,720
8,20 8,91 <0,2 0,052 0,025 0,056 <0,05 1,25 12,9 1,076 0,190 55,72 39,04 8,001
8,75 12,54 <0,2 0,07 0,03 0,22 <0,05 1,63 14,23 1,31 0,62 72,97 47,05 8,29
0 0 -10 0 0 0 -10 -2 -10 -10 0 0 0 0
0 0 -10 -10 0 0 -10 0 0 -10 0 0 0 0
0 0 -10 -10 0 0 -10 0 0 -4 0 0 0 0
0 0 -10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
mV
(-)
(-)
(-)
(-)
20
1
9,67
0
0
0
0
mg/kg %
(-) (-)
(-) (-)
(-) (-)
(-) (-)
4,40 5,9
1,40 3,6
2,48 5,10
0 0
0 0
0 0
0 0
Ind/m3 Ind/m3
(-) (-)
(-) (-) (-) (-) Jumlah Skor
(-) (-)
1906 3875
1781 3313
1843,67 3687,00
0 0 -52
0 0 -40
0 0 -34
0 0 -10
85