PEMBUATAN PUPUK ORGANIK BOKASHI DARI TEPUNG IKAN LIMBAH PERIKANAN WADUK CIRATA
FAJAR SYUKRON
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 i
RINGKASAN FAJAR SYUKRON. C34080072. Pembuatan Pupuk Organik Bokashi dari Tepung Ikan Limbah Perikanan Waduk Cirata. Dibimbing oleh BUSTAMI IBRAHIM dan PIPIH SUPTIJAH. Pertambahan jumlah Keramba jaring apung yang cukup pesat di Waduk Cirata menyebabkan penurunan kualitas air yang berakibat pada kematian masal pada ikan saat terjadi peristiwa upwelling. Limbah ikan tersebut harus ditangani agar tidak memperburuk kualitas air waduk dan diolah untuk meningkatkan nilai ekonomisnya. Salah satu alternatif penanganan untuk meningkatkan nilai ekonomis limbah padat tersebut adalah menggunakan limbah ikan menjadi bahan baku pembuatan pupuk organik bokashi. Bokashi adalah pupuk yang dihasilkan dari proses fermentasi atau peragian bahan organik dengan teknologi EM (Effective Microorganism) Tujuan penelitian ini adalah untuk mengolah limbah ikan menjadi pupuk organik bokashi yang memenuhi standar SNI, menentukan kualitas terbaik dari pupuk yang dihasilkan berdasarkan analisis hara makro serta menentukan perlakuan terbaik dalam pembuatan pupuk organik bokashi terhadap pertumbuhan tanaman kangkung darat (Ipomoea reptana). Penelitian ini dibagi dalam 3 tahap. Tahap pertama yaitu pembuatan tepung limbah ikan. Tahap kedua yaitu pembuatan pupuk organik bokashi dengan perlakuan komposisi bahan baku (P0: 100% tepung ikan, P1: 30% tepung ikan + 50% dedak padi + 20% ampas kelapa, P2: 40% tepung ikan + 40% dedak padi + 20% ampas kelapa, P3: 50% tepung ikan + 30% dedak padi + 20% ampas kelapa, P4: 60% tepung ikan + 20% dedak padi + 20% ampas kelapa). Tahap ketiga yaitu aplikasi pupuk pada tanaman kangkung darat (I. reptana). Tepung limbah ikan yang dihasilkan memiliki kadar air sebesar 7,60%, kadar abu sebesar 22,34%, kadar lemak sebesar 16,69%, kadar protein sebesar 55,62%, C-organik sebesar 9,36%, total N sebesar 9,63%, rasio C/N sebesar 0,97, total P sebesar 3,26% dan total K sebesar 0,30%. Pupuk organik bokashi yang dihasilkan memiliki kandungan C-organik, total N, nilai rasio C/N, total P dan total K masing-masing berkisar antara 13,98%-17,77%, 3,23%-7,80%, 1,69- 5,50, 1,46%-2,90 %, dan 0,92%-1,46%. Secara umum, pupuk organik bokashi yang dihasilkan belum memenuhi standar SNI tentang pupuk organik karena nilai rasio C/N yang masih di bawah standar. Berdasarkan hasil uji statistik pada aplikasi pupuk organik bokashi yang dihasilkan terhadap tanaman kangkung darat (Ipomea reptana) menunjukkan bahwa penambahan pupuk bokashi dapat meningkatkan laju pertumbuhan tinggi, tinggi panen, jumlah daun dan bobot basah panen tanaman kangkung darat. Perlakuan terbaik terdapat pada perlakuan P1 (30% tepung ikan) karena memiliki laju pertumbuhan tinggi, tinggi panen, jumlah daun dan bobot basah panen yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
ii
PEMBUATAN PUPUK ORGANIK BOKASHI DARI TEPUNG IKAN LIMBAH PERIKANAN WADUK CIRATA
FAJAR SYUKRON C34080072
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 iii
Judul
: Pembuatan Pupuk Organik Bokashi dari Tepung Ikan Limbah Perikanan Waduk Cirata
Nama
: Fajar Syukron
NIM
: C34080072
Program Studi : Teknologi Hasil Perairan
Dosen Pembimbing 1
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc. NIP : 196111011987031002
Dr. Pipih Suptijah, MBA NIP. 19531020 1985032001
Mengetahui : Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil NIP. 195805111985031002
Tanggal Pengesahan: ................................................
iv
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Pembuatan Pupuk Organik Bokashi dari Tepung Ikan Limbah Perikanan Waduk Cirata” ini dengan baik. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada : 1.
Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc dan Dr. Dra. Pipih Suptijah, MBA sebagai dosen pembimbing, atas segala bimbingan, nasehat dan pengetahuan yang telah diberikan kepada Penulis.
2.
Roni Nugraha, S.Si, M.Sc sebagai dosen penguji, atas segala bimbingan, nasehat dan pengetahuan yang telah diberikan kepada Penulis.
3.
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan.
4.
Ibunda dan Ayahanda tercinta, nenekku Hj. Sawiyah Yusuf (Almh), kakak dan abangku tercinta (Yusriani Hasty, Eko Hendra, Saniah Hasty, Qurrotullaili, Zoelfahmi, Fakhrul Khoiri) serta keluarga besar H.M. Yusuf yang selalu memberikan kasih sayang dan semangat yang luar biasa kepada penulis selama menjalani tugas akhir.
5.
Dinas Pendidikan Provinsi Riau yang telah membiayai penulis selama menuntut ilmu di kampus ini.
6.
Pemerintah Kabupaten Rokan Hulu yang telah membiayai penelitian penulis sehingga penulis dapat menulis skripsi ini.
7.
Ir. Siswono, M.Si, selaku Kepala Pusat PPPPTK Pertanian Cianjur yang telah memberikan kesempatan pada Penulis untuk melaksanakan penelitian di PPPPTK Pertanian Cianjur.
8.
Sugeng Paryadi, MP selaku Kepala Departemen Sains Terapan dan Lingkungan, PPPPTK Pertanian Cianjur.
v
9.
DR. Ir. Sahirman, MP selaku Kepala Departemen Agroindustri dan Kimia Industri, PPPPTK Pertanian Cianjur.
10.
Ir. Adang Suryana, M.Si, Ir. Dian Nurdiani, M.Si serta Imas Aisyah, SP, M.Si selaku pembimbing lapang yang telah memberikan bimbingan dan bantuan pada saat pelaksanaan penelitian di PPPPTK Pertanian Cianjur.
11.
Pak Cahyono, Ibu Teni, Ibu Ira, Ibu Retno, Pak Nurdin, Pak Epul, Pak Entis, Pak Zaenal dan seluruh staf PPPPTK Pertanian Cianjur atas segala bantuan dan masukan yang telah diberikan selama penelitian berlangsung.
12.
Keluarga besar Departeman Teknologi Hasil Perairan, dosen dan staf Tata Usaha (TU) yang telah memberikan dorongan dan semangat kepada Penulis.
13. Yunisha Aktinidia atas kebersamaan yang luar biasa selama penulis menempuh pendidikan di kampus ini. 14.
Tim bimbingan (Icha, Lina, Rico) atas kerjasama yang solid selama penelitian.
15.
Icha, Henry, Ika, Fida, dan Okta atas kebersamaan dan persahabatan yang luar biasa selama menempuh masa-masa sulit di IPB
16.
Teman-teman ”Penghuni Ombenk” (Esa, Hardi, Rhesa, Aksar, Rico, Helmy, Afif, Elka dll) dan tim futsal THP atas pertemanan yang menyenangkan.
17.
Teman-teman THP 45 yang luar biasa atas kenangan dan pengalaman yang sangat berharga selama menempuh pendidikan di THP.
18.
Teman-teman THP 43, 44, 46, dan 47 atas keakraban dan kebersamaannya.
19. Teman-teman Penulis dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dan dukungan moril dalam penyusunan skripsi. Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam penulisan skripsi ini, oleh karena itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dalam penyempurnaan skripsi ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.
Bogor, Januari 2013 Fajar Syukron C34080072
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pekanbaru, Riau, pada tanggal 15 Nopember 1990. Penulis merupakan anak kelima dari lima bersaudara dari pasangan Hasan Basri (Alm) dan Hj. Mirdawati. Penulis telah menempuh pendidikan di TK Islam An-Nur Kota Pekanbaru lulus tahun 1996, SDN 001 Cintaraja Kota Pekanbaru lulus tahun 2002; SMP Babussalam Kota Pekanbaru lulus tahun 2005, SMAN 8 Kota Pekanbaru lulus tahun 2008. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) yang dibiayai oleh Dinas Pendidikan Provinsi Riau. Selama menjalani masa studi, penulis aktif sebagai asisten Ekologi Perairan (2010), Biokimia Hasil Perairan (2011 & 2012), Biotoksikologi Hasil Perairan (2011 & 2012), Fisiologi, Formasi dan Degradasi Metabolit Hasil Perairan (2011), Teknologi Pengolahan Hasil Perairan (2012) dan Teknologi Pengolahan Hasil Perairan I (2012). Penulis juga aktif dalam organisasi kemahasiswaan sebagai anggota Komosi C Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) TPB IPB (2008), anggota Fisheries Processing Club (FPC) (2009-2011), Ketua Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (HIMASILKAN) (2010-2011), anggota Ikatan Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Riau (IKPMR) serta aktif dalam berbagai kepanitiaan di lingkungan Institut Pertanian Bogor. Dalam rangka menyelesaikan pendidikan dan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan llmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul “Pembuatan Pupuk Organik Bokashi dari Tepung Ikan Limbah Perikanan Waduk Cirata” dibawah bimbingan Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc dan Dr. Dra. Pipih Suptijah, MBA.
vii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INPORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pembuatan Pupuk Organik Bokashi dari Tepung Ikan Limbah Perikanan Waduk Cirata” adalah hasil karya saya sendiri dan belurn diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi.
Bogor, Januari 2013
Penulis
viii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI.......................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xi DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiii 1. PENDAHULUAN .............................................................................................1 1.1 Latar Belakang ..............................................................................................1 1.2 Tujuan............................................................................................................2 2. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................3 2.1 Limbah Perikanan .........................................................................................3 2.2 Tepung Ikan ...................................................................................................4 2.3 Pengomposan ................................................................................................5 2.4 Pupuk Organik...............................................................................................6 2.5 Unsur Hara ....................................................................................................8 2.6 Bokashi……………………………………………………………………10 3. METODOLOGI ...............................................................................................12 3.1 Waktu dan Tempat ......................................................................................12 3.2 Bahan dan Alat ............................................................................................12 3.3 Prosedur Penelitian ......................................................................................13 3.3.1 Pembuatan tepung ikan........................................................................ 13 3.3.2 Pembuatan pupuk organik bokashi ...................................................... 14 3.3.3 Aplikasi pupuk organik bokashi pada tanaman kangkung darat (Ipomoea reptana) .............................................................................. 15 3.4 Prosedur Analisis.........................................................................................16 3.4.1 Analisis kadar air (BSN 1992) ............................................................ 16 3.4.2 Analisis kadar abu (BSN 1992) ........................................................... 17 3.4.3 Analisis kadar protein (BSN 1992) ..................................................... 18 3.4.4 Analisis kadar lemak (BSN 1992) ....................................................... 19 3.4.5 Pengukuran suhu ................................................................................. 19 3.4.6 Pengukuran pH .................................................................................... 19
ix
3.4.7 Karbon organik (AOAC 2007) ............................................................ 19 3.4.8 Nitrogen total (BSN 1992) .................................................................. 20 3.4.9 Total fosfor (AOAC 2007) .................................................................. 21 3.4.10 Total kalium (AOAC 2007) ................................................................ 22 3.4.11 Tinggi tanaman kangkung darat (Ipomea reptana) ............................ 23 3.4.12 Jumlah daun tanaman kangkung darat (Ipomea reptana) ................... 23 3.4.13 Bobot basah tanaman kangkung darat (Ipomea reptana) ................... 23 3.5 Rancangan Percobaan .................................................................................23 4. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................25 4.1 Karakteristik Bahan Baku ...........................................................................25 4.2 Pengomposan ..............................................................................................26 4.2.1 Perubahan pH ...................................................................................... 26 4.2.2 Perubahan suhu .................................................................................... 28 4.3 Kualitas Pupuk Bokashi ..............................................................................30 4.3.1 Kadar karbon organik .......................................................................... 30 4.3.2 Total nitrogen ...................................................................................... 32 4.3.3 Rasio C/N ............................................................................................ 33 4.3.4 Total kalium......................................................................................... 35 4.3.5 Total Fosfor ......................................................................................... 37 4.4 Aplikasi Pupuk Organik Bokashi ................................................................38 4.4.1 Laju pertumbuhan tinggi kangkung darat (I. reptana) ........................ 38 4.4.2 Tinggi panen tanaman tanaman kangkung darat (Ipomea reptana) .... 40 4.4.3 Jumlah daun tanaman kangkung darat (Ipomea reptana) ................... 42 4.4.4 Bobot basah panen tanaman kangkung darat (Ipomea reptana) ......... 44 5. KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................46 5.1 Kesimpulan..................................................................................................46 5.2 Saran………………………………………………………………………46 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................48
x
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Diagram alir pembuatan tepung ikan…………………………………..
13
2
Diagram alir pembuatan pupuk organik bokashi………………............
15
3
Grafik perubahan pH pupuk selama proses pengomposan…………….
27
4
Grafik perubahan suhu pupuk bokashi selama proses pengomposan…………………………………………………………... 28
5
Kandungan C-organik pada pupuk organik bokashi P0 (100% tepung ikan), P1 (30% tepung ikan), P2 (40% tepung ikan), P3 (50% tepung ikan), dan P4 (60% tepung ikan)………………………………………. 31
6
Kandungan total nitrogen pada pupuk organik bokashi P0 (100% tepung ikan, P1 (30% tepung ikan), P2 (40% tepung ikan), P3 (50% tepung ikan), dan P4 (60% tepung ikan)……………………………….. 32
7
Nilai rasio C/N pada pupuk organik bokashi P0 (100% tepung ikan), P1 (30% tepung ikan), P2 (40% tepung ikan), P3 (50% tepung ikan), dan P4 (60% tepung ikan)……………………………………………… 33
8
Kandungan total kalium pada pupuk organik bokashi P0 (100% tepung ikan), P1 (30% tepung ikan), P2 (40% tepung ikan), P3 (50% tepung ikan), dan P4 (60% tepung ikan)………………………………………. 35
9
Kandungan total fosfor pada pupuk organik bokashi P0 (100% tepung ikan), P1 (30% tepung ikan), P2 (40% tepung ikan), P3 (50% tepung ikan), dan P4 (60% tepung ikan)………………………………………. 37
10
Pengaruh perlakuan KN (tanpa pupuk), pupuk P0 (100% tepung ikan), pupuk P1 (30% tepung ikan), pupuk P2 (40% tepung ikan), pupuk P3 (50% tepung ikan), pupuk P4 (60% tepung ikan), dan KP (pupuk kimia) terhadap laju pertumbuhan tinggi kangkung darat (I. reptana)... 39
11
Pengaruh perlakuan KN (tanpa pupuk), pupuk P0 (100% tepung ikan), pupuk P1 (30% tepung ikan), pupuk P2 (40% tepung ikan), pupuk P3 (50% tepung ikan), pupuk P4 (60% tepung ikan), dan KP (pupuk kimia) terhadap tinggi panen kangkung darat (I. reptana)…………… 41
12
Pengaruh perlakuan KN (tanpa pupuk), pupuk P0 (100% tepung ikan), pupuk P1 (30% tepung ikan), pupuk P2 (40% tepung ikan), pupuk P3 (50% tepung ikan), pupuk P4 (60% tepung ikan), dan KP (pupuk kimia) terhadap jumlah daun kangkung darat (I. reptana)…………… 42
13
Pengaruh perlakuan KN (tanpa pupuk), pupuk P0 (100% tepung ikan), pupuk P1 (30% tepung ikan), pupuk P2 (40% tepung ikan), pupuk P3 (50% tepung ikan), pupuk P4 (60% tepung ikan), dan KP (pupuk kimia) terhadap bobot basah panen kangkung darat (I. reptana)........... 44
xi
DAFTAR TABEL Halaman 1
Standar kualitas pupuk organik kompos berdasarkan SNI 19-7030-2004………………………………………………..............
7
2
Komposisi bahan baku pembuatan pupuk organik bokashi……………...
14
3
Aplikasi pupuk organik bokashi pada tanaman kangkung darat…………
16
4
Hasil analisis proksimat dan hara makro bahan baku pupuk bokashi……
25
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Data perhitungan analisis proksimat bahan baku………………………..
53
2
Data perhitungan hara makro bahan baku……………………………….
55
3
Data perubahan pH selama proses pengomposan……………………….
57
4
Data perubahan suhu selama proses pengomposan……………………...
58
5
Data kadar air pupuk organik bokashi…………………………………...
59
6
Data analisis unsur hara makro pupuk organik bokashi…………………
60
7
Data ukur tanaman kangkung (I. reptana)……………………….............
63
8
Hasil sidik ragam aplikasi pupuk bokashi pada tanaman kangkung darat (I. reptana)……………………………………………………………….
66
Dokumentasi penelitian…………………………………………..............
72
9
xiii
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Waduk Cirata merupakan salah satu waduk yang terdapat di daerah Cianjur, Jawa Barat, yang memiliki luas 6.200 ha. Waduk ini merupakan salah satu basis perikanan darat di Jawa Barat yang bertumpu pada perikanan budidaya. Sektor perikanan budidaya di Waduk Cirata umumnya berbasis pada keramba jaring apung (KJA). Pertambahan jumlah KJA yang cukup pesat di Waduk Cirata menyebabkan penurunan kualitas air yang berasal dari sisa pakan dan kotoran ikan yang terendapkan di dasar waduk yang pada akhirnya menyebabkan kualitas air menjadi buruk dan menyebabkan kematian masal pada ikan saat terjadi peristiwa upwelling (Prihadi 2005). Tahun 1991, 1993 dan 1997 jumlah ikan yang mati di Waduk Cirata berturut-turut 34,5 ton, 29,2 ton dan 29,3 ton. Jumlah ikan yang mati pasca terjadinya upwelling tahun 2007 mencapai 60 ton (Suyono 2008), sedangkan angka kematian ikan tahun 2010 mencapai 150 ton (Yulianto 2011). Ikan yang mati tersebut menjadi limbah yang memiliki nilai ekonomis rendah karena tidak layak untuk dikonsumsi langsung oleh masyarakat. Untuk meningkatkan nilai ekonomis dari limbah tersebut, diperlukan suatu usaha pengolahan limbah menjadi suatu produk yang memiliki nilai tambah bagi masyarakat. Salah satu bentuk pengolahan limbah perikanan tersebut adalah dibuat pupuk organik dengan bahan baku limbah perikanan. Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari bahan-bahan organik seperti pangkasan daun tanaman, kotoran ternak, sisa tanaman, dan sampah organik yang telah dikomposkan (Hadisuwito 2011). Pola hidup masyarakat modern saat ini yang mengarah pada pola hidup sehat dan organik menyebabkan bahan makanan yang berasal dari pertanian dan peternakan organik seperti nasi organik, sayuran organik, telur organik dan bahan pangan lainnya menjadi komoditas yang diburu oleh masyarakat. Dengan meningkatnya permintaan hasil pertanian organik, maka kebutuhan terhadap pupuk organik juga meningkat sehingga saat ini banyak dikembangkan teknologi pembuatan pupuk organik yang berasal dari bahan baku yang mudah didapat, memerlukan modal yang sedikit dan
2
mudah untuk diproduksi secara masal. Salah satu jenis pupuk organik yang banyak dikembangkan saat ini adalah bokashi. Bokashi adalah pupuk yang dihasilkan dari proses fermentasi atau peragian bahan organik dengan teknologi EM (Effective Microorganism). Keunggulan teknologi EM adalah pupuk organik dapat dihasilkan dalam waktu yang relatif singkat dibandingkan dengan cara konvensional. EM merupakan gabungan dari beberapa bakteri dan fungi, misalnya bakteri asam laktat, bakteri fototropik, ragi, jamur fermentasi dan bakteri golongan Actinomycetes, yang memiliki kemampuan untuk menyuburkan tanaman dan menguraikan bahan organik (Mayer et al. 2010). Bahan baku pembuatan pupuk bokashi merupakan limbah pertanian seperti jerami, rumput, sekam, tanaman kacang-kacangan, pupuk kandang atau serbuk gergaji, namun bahan yang paling baik digunakan yaitu dedak padi karena kandungan gizi yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme (Sani 2007). Limbah perikanan yang menumpuk akibat kualitas air yang buruk di Waduk Cirata memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik bokashi. Berdasarkan landasan pemikiran di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul ”Pemanfaatan Tepung Ikan dari Limbah Perikanan Waduk Cirata Sebagai Bahan Baku Pembuatan Pupuk Organik Bokashi”. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber daya yang berharga bagi kemajuan perikanan dan pertanian.
1.2 Tujuan Tujuan umum penelitian ini adalah untuk membuat pupuk organik bokashi yang berasal dari tepung ikan hasil pengolahan limbah perikanan Waduk Cirata. Tujuan khusus penelitian ini antara lain: 1) Menentukan kualitas terbaik dari pupuk organik yang dihasilkan dengan melihat kandungan unsur hara yang terkandung dalam pupuk tersebut. 2) Menentukan perlakuan terbaik dari pupuk organik terhadap pertumbuhan tanaman kangkung darat (Ipomoea reptana).
3
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Limbah Perikanan Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik dari industri maupun dari domestik (rumah tangga). Limbah padat lebih dikenal sebagai sampah, yang seringkali tidak dikehendaki kehadirannya karena tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah terdiri dari senyawa organik dan senyawa anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu, limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah (Ginting 2007). Limbah perikanan mengandung nutrisi yang tidak berbeda dari bahan utamanya dan telah banyak juga diteliti pemanfaatannya (Poernomo 1997). Limbah perikanan dapat berasal dari kegiatan perikanan hulu (budidaya), maupun kegiatan perikanan hilir (pengolahan, transportasi, pemasaran). Hasil samping dari kegiatan budidaya dapat berupa ikan yang mati selama proses budidaya misalnya yang terjadi pada waduk Cirata. Hasil samping industri pengolahan perikanan umumnya berupa kepala, jeroan, kulit, tulang, sirip, darah dan air bekas produksi. Kegiatan pengolahan secara tradisional umumnya kurang mampu memanfaatkan hasil samping ini, bahkan tidak termanfaatkan sama sekali sehingga terbuang begitu saja. Hasil samping kegiatan industri perikanan dapat digolongkan menjadi lima kelompok utama, yaitu hasil samping pada pemanfaatan suatu spesies atau sumberdaya; sisa pengolahan dari industri-industri pembekuan, pengalengan, dan tradisional; produk ikutan; surplus dari suatu panen utama atau panen raya; dan sisa distribusi (Sukarno 2001). Menurut Bhaskar dan Mahendrakar (2008), jeroan ikan mengandung protein dan lemak tak jenuh yang tinggi. Fakta yang ditemukan bahwa produk buangan yang kaya akan protein dan lemak meningkatkan peluang untuk mengalami kebusukan. Limbah tersebut dapat menimbulkan masalah lingkungan bila tidak dilakukan penanganan. Menurut Dao dan Kim (2011), telah banyak penelitian yang berkembang untuk memanfaatkan limbah jeroan ikan, seperti pembuatan pakan ikan, pupuk serta media tumbuh bakteri (pepton).
4
2.2 Tepung Ikan Tepung ikan adalah komoditas olahan hasil perairan yang diperoleh dari suatu proses reduksi bahan mentah menjadi suatu produk yang sebagian besar terdiri dari komponen protein ikan. Tepung ikan mempunyai kandungan protein yang tinggi dan merupakan salah satu komponen penting dalam pertumbuhan. Tepung ikan mempunyai nilai gizi sepuluh kali lebih besar dibandingkan tepung yang dibuat dari hewan darat. Dengan demikian, penggunaan tepung ikan dalam produk berfungsi sebagai penyuplai protein (Irianto dan Giyatmi 2002). Berdasarkan bahan baku, tepung ikan dapat digolongkan menjadi tepung ikan yang berwarna gelap yang biasanya terbuat dari limbah pengolahan ikan dan tepung ikan berwarna putih kekuningan yang biasanya terbuat dari ikan rucah. Bahan mentah yang untuk produksi tepung ikan dapat dibedakan atas tiga kategori utama menurut Irianto dan Giyatmi (2002), yaitu: a) Ikan yang sengaja ditangkap untuk produksi tepung ikan dan sering disebut ikan industri, seperti ikan teri di Peru, ikan teri dan ikan pilchard di Afrika Selatan, ikan herring dan ikan capelin di Norwegian dan Denmark. b) Hasil tangkap samping dari kegiatan perikanan lain c) Limbah ikan dari kegiatan industri pengolahan, seperti karkas dari industri fillet serta kepala dan isi perut dari industri pengalengan. Salah satu syarat pengolahan tepung ikan adalah tersedianya bahan mentah yang berlebihan dan harganya murah, karena tepung ikan juga relatif murah di pasaran. Jenis bahan mentah yang digunakan oleh pengolahan atau pabrik tepung ikan di Indonesia adalah ikan utuh dan limbah dari pengolahan lainnya. Biasanya ikan utuh yang diolah menjadi tepung ikan adalah ikan yang bermutu rendah atau ikan yang tidak terserap oleh industri pengolahan yang lain dan ikan yang berasal dari hasil tangkapan sampingan (Irianto dan Giyatmi 2002). Tinggi rendahnya kadar protein pada tepung ikan selain dipengaruhi oleh cara pengolahan, juga dipengaruhi oleh bahan mentah yang digunakan. Bahan mentah yang digunakan dalam pengolahan tepung ikan seharusnya bermutu baik. Hanya dengan menggunakan ikan bermutu baik saja yang dapat menjamin bahwa tepung ikan yang dihasilkan akan bermutu baik pula. Apabila ikan yang digunakan sebagai bahan mentah dalam pengolahan tepung ikan memiliki mutu
5
yang tidak baik, maka akan menghasilkan tepung ikan yang tidak sesuai dengan harapan, yaitu kadar protein rendah dan kadar lemak tinggi. Selain bahan mentah yang digunakan mempunyai mutu yang baik, bahan mentah yang digunakan juga sebaiknya memiliki nilai ekonomis yang rendah (Irianto dan Giyatmi 2002). Penggolongan teknologi pengolahan tepung ikan didasarkan pada proses pemasakan dan pengeringan bahan mentah ikan. Terdapat dua metode utama pengolahan tepung ikan yang telah diterapkan secara komersial, yaitu penggolahan sistem basah dan pengolahan sistem kering. Pengolahan sistem basah digunakan terutama untuk memproduksi tepung ikan dari bahan baku ikan yang berlemak tinggi (>5%). Metode ini telah diterapkan secara luas dan paling umum dijumpai pada pengolahan tepung ikan. Pengolahan sistem basah meliputi pengukusan, pengepresan, pengeringan, penggilingan hingga diperoleh tepung ikan kering. Proses pengolahan tepung ikan menggunakan sistem kering digunakan untuk bahan mentah yang memiliki kadar lemak rendah (<5%). Proses pengolahan sitem kering meliputi penggilingan kasar, pengeringan, pengepresan, dan penggilingan (Irianto dan Giyatmi 2002). 2.3 Pengomposan Pengomposan adalah proses dekomposisi biologi dari bahan organik yang dapat dipercepat secara artificial oleh populasi berbagai macam mikrob (bakteri, Actinomycetes dan fungi) dalam kondisi lingkungan aerobik atau anaerobik (Crawford 2003). Proses pengomposan melibatkan suhu yang tinggi sebagai hasil produksi panas dari proses pemecahan senyawa organik kompleks oleh mikrob yang menghasilkan energi panas. Hasil akhir dari proses pengomposan berupa produk kompos yang cukup stabil dalam bentuk padatan kompleks dan tidak menimbulkan efek negatif yang dapat merugikan lingkungan saat diberikan atau digunakan pada lahan (Wei et al. 2000). Proses pengomposan membutuhkan pengendalian agar memperoleh hasil yang baik. Pengendalian proses pengomposan dilakukan dengan cara menjaga kondisi ideal sehingga proses pembusukan atau pengomposan dapat berjalan secara optimum. Kondisi ideal bagi proses pengomposan berupa keadaan lingkungan atau habitat dimana jasad renik dapat hidup dan berkembang dengan
6
optimal. Semakin banyak jumlah jasad renik yang ada, maka semakin cepat pula proses dekomposisi terjadi (Gomez et al. 2002). Proses pengomposan terdiri atas pengomposan aerob dan pengomposan anaerob. Proses pengomposan aerob kurang lebih dua per tiga unsur karbon (C) menguap menjadi CO2 dan sisa satu per tiga bagian bereaksi dengan nitrogen dalam sel hidup. Selama proses pengomposan aerob, tidak timbul bau busuk. Selama proses pengomposan berlangsung, akan terjadi eksotermik sehingga timbul panas akibat pelepasan energi. Kenaikan suhu dalam timbunan bahan organik menghasilkan suhu yang menguntungkan mikroorganisme termofilik. Tetapi apabila suhu mencapai 65-70˚C, kegiatan mikroorganisme akan menurun karena kematian organism akibat panas yang terlalu tinggi. Pada proses pengomposan anaerobik, penguraian terjadi dalam suasana tanpa oksigen. Pada tahap awal, bakteri fakultatif penghasil asam menguraikan bahan organik menjadi asam lemak, aldehida dan lain-lain. Proses selanjutnya, bakteri dari kelompok lain akan mengubah asam lemak menjadi gas metan, ammonia, CO2 dan hidrogen (Sutanto 2002). Pada proses aerob, energi yang dilepaskan lebih besar, sekitar 484-674 kkal/mol glukosa, jika dibandingkan dengan proses anaerob yang hanya melepaskan glukosa sebanyak 25 kkal/mol (McKinley et al. 1985). Prinsip dasar dari pengomposan adalah pencampuran bahan organik kering yang kaya karbohidrat dengan bahan organik basah yang banyak mengandung nitrogen (N). bahan baku kompos juga harus memiliki karakteristik yang khas agar dapat dikomposkan. Pada umumnya, bahan baku yang mengandung karbon kering sangat baik untuk dijadikan kompos, namun bahan baku tersebut harus dicampur dengan bahan lain yang memiliki kualitas berbeda. Proses dekomposisi berlangsung secara berkelanjutan sampai bahan organik yang kompleks berangsur-angsur diubah menjadi elemen yang sederhana beserta senyawa anorganik dari terjadinya mineralisasi (Djaja 2008). 2.4 Pupuk Organik Pupuk adalah bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk menyediakan unsur-unsur esensial bagi pertumbuhan tanaman. Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari bahan-bahan organik seperti pangkasan daun tanaman, kotoran ternak, sisa tanaman, dan sampah organik yang telah
7
dikomposkan.
Bahan
organik
ini
akan
mengalami
pembusukan
oleh
mikroorganisme sehingga sifat fisiknya akan berbeda dengan keadaan semula. Pupuk organik termasuk pupuk majemuk lengkap karena kandungan unsur haranya lebih dari satu unsur dan mengandung unsur mikro. Pupuk organik dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu pupuk organik padat dan pupuk organik cair (Hadisuwito 2011). Pupuk organik merupakan salah satu bahan yang sangat penting dalam upaya memperbaiki kesuburan tanah karena terbebas dari unsur kimia yang memiliki potensi untuk merusak kesuburan tanah dalam jangka panjang. Secara kualitatif, kandungan unsur hara dalam pupuk organik tidak dapat lebih daripada pupuk anorganik, namun penggunaan pupuk organik secara terus-menerus dalam rentang waktu tertentu akan menjadikan kualitas tanah lebih baik disbanding pupuk anorganik. Penggunaan pupuk organik tidak akan meninggalkan residu pada hasil tanaman sehingga aman bagi kesehatan manusia (Musnamar 2003). Standar kualitas pupuk organik kompos berdasarkan SNI 19-7030-2004 dapat dilihat Tabel 1. Tabel 1 Standar kualitas pupuk organik kompos berdasarkan SNI 19-7030-2004 Parameter Bahan organik Total N Total C organik Rasio C/N P2O5 K2O pH Kadar air
Standar 27-58 % >0,40 % 9,80-32,00 % 10-20 >0,10 % >0,20 % 6,80-7,49 50%
Sumber: BSN (2004)
Pupuk organik merupakan bahan pembenah tanah yang paling baik dan alami daripada bahan pembenah buatan/sintetik. Pada umumnya pupuk organik mengandung hara makro NPK rendah, tatapi mengandung hara mikro dalam jumlah yang cukup yang sangat diperlukan dalam pertumbuhan tanaman. Sebagai bahan pembenah tanah, pupuk organik dapat mencegah terjadinya erosi, pergerakan permukaan tanah (crusting) dan retakan tanah, mempertahankan kelengasan tanah serta memperbaiki dakhil (internal drainage). Tanah yang dibenahi dengan pupuk organik mempunyai struktur yang baik dan tanah yang
8
kecukupan bahan organik mempunyai kemampuan mengikat air lebih besar daripada tanah yang kandungan bahan organik yang rendah. Nitrogen dan unsur hara yang lain dilepaskan oleh bahan organik secara perlahan melalui proses mineralisasi. Dengan demikian, apabila diberikan secara berkesinambungan, maka akan banyak membantu dalam membangun kesuburan tanah (Sutanto 2002). Bahan/pupuk organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan. Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan. Sumber bahan untuk pupuk organik sangat beranekaragam, dengan karakteristik fisik dan kandungan kimia/hara yang sangat beragam sehingga pengaruh dari penggunaan pupuk organik terhadap lahan dan tanaman dapat bervariasi. Pupuk organik atau bahan organik tanah merupakan sumber nitrogen tanah yang utama, selain itu peranannya cukup besar terhadap perbaikan sifat fisika, kimia biologi tanah serta lingkungan. Pupuk organik yang ditambahkan ke dalam tanah akan mengalami beberapa kali fase perombakan oleh mikroorganisme yang terdapat pada tanah untuk menjadi humus atau bahan organik tanah (Balitbang Pertanian 2006). 2.5 Unsur Hara Kesuburan tanah secara alami bergantung pada unsur-unsur kimia yang tersedia di alam. Unsur-unsur kimia alami yang terangkai menjadi bahan organik merupakan bahan penting dalam membantu mencuptakan kesuburan tanah yang biasa disebut unsur hara.
Bahan organik tanah memiliki banyak kegunaan,
diantaranya mempertahankan struktur tanah, meningkatkan kemampuan tanah untuk menyimpan dan mendistribusikan air dan udara di dalam tanah, serta memberikan nutrisi untuk pertumbuhan tanaman dan organisme di dalam tanah. Secara umum, unsur hara dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu unsur hara makro yang terdiri dari unsur nitrogen, fosfor, kalium, sulfur, kalsium dan magnesium; serta unsur hara mikro yang terdiri dari unsur klor, besi, mangan, boron, kobal, iodium, seng, selenium, molibdenum, flour dan tembaga (Hadisuwito 2011).
9
Unsur nitrogen atau N merupakan unsur hara di dalam tanah yang sangat berperan bagi pertumbuhan tanaman.
Perilaku nitrogen di dalam tanah sulit
diperkirakan karena transformasinya sangat kompleks.
Lebih dari 98% N di
dalam tanah tidak tersedia untuk tanaman karena terakumulasi dalam bahan organik atau terjerat dalam tanah liat. Oleh karena itu, bahan organik sudah ditransformasi menjadi pupuk dapat membantu menyediakan N bagi tanaman. Suplai unsur N melaui pemupukan unsur N melaui pemupukan lebih diutamakan untuk tanaman karena N merupakan unsur yang paling banyak hilang dari lahan setelah dipanen. Tanaman yang kekurangan N akan terus mengecil, bahkan secara cepat berubah menjadi kuning karena N yang tersedia tidak cukup untuk membentuk protein dan klorofil (Yuliarti 2009). Selain unsur N, unsur hara lain yang penting bagi tanaman yaitu fosfor atau P. Fosfor merupakan zat yang penting, tetapi selalu berada dalam keadaan kurang di dalam tanah. Unsur P sangat penting sebagai sumber energi. Oleh karena itu, kekurangan P dapat menghambat pertumbuhan dan reaksi-reaksi metabolism tanaman. Sementara itu, kandungan fosfor pada tanaman membantu dalam pertumbuhan bunga, buah, dan biji, serta mempercepat pematangan buah. Jika tanaman kekuarangan unsur ini, maka dapat menyebabkan daun dan batang menjadi kecil, daun berwarna hijau tua keabu-abuan, mengkilap, dan terlihat pigmen merah pada daun bagian bawah dan selanjutnya mati.
Selain itu,
pembentukan bunga menjadi terhambat dan produksi buah dan bijinya kecil (Subaedah 2007). Kalium berfungsi dalam pembentukan protein dan karbohidrat. Selain itu, unsur ini juga beperan penting dalam pembentukan antibodi tanaman untuk melawan penyakit. Ciri fisik tanaman yang kekurangan kalium yaitu daun tampak keriting dan mengkilap. Lama kelamaan, daun akan menguning di bagian pucuk dan pinggirnya. Bagian antara jari-jari daun juga menguning, sedangkan jari-jari tetap hijau. Ciri fisik lain kekurangan unsur ini adalah tangkai daun menjadi lemah, dan mudah terkulai serta biji keriput (Muhammad 2007).
10
2.6 Bokashi Bokashi adalah pupuk yang dihasilkan dari proses fermentasi atau peragian bahan organik dengan teknologi EM (Effective Microorganism). Keunggulan teknologi EM adalah pupuk organik dapat dihasilkan dalam waktu yang relatif singkat dibandingkan dengan cara konvensional. EM merupakan gabungan dari beberapa bakteri dan fungi yang memiliki kemampuan untuk menyuburkan tanaman dan menguraikan bahan organik seperti bakteri asam laktat, bakteri fototropik, ragi, jamur fermentasi dan bakteri golongan Actinomycetes (Mayer et al. 2010). Bahan baku pembuatan pupuk bokashi merupakan limbah pertanian seperti jerami, rumput, sekam, tanaman kacang-kacangan, pupuk kandang atau serbuk gergaji, namun bahan yang paling baik digunakan yaitu dedak padi karena mengandung zat gizi yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme. Bokashi sudah digunakan oleh petani Jepang dalam perbaikan tanah secara tradisional untuk meningkatkan keragaman mikroba dalam tanah dan meningkatkan persediaan unsur hara bagi tanaman. Secara tradisional, bokashi dibuat dengan cara memfermentasikan campuran bahan organik seperti dedak dan kotoran hewan dengan tanah dari hutan atau gunung yang mengandung berbagai jenis mikroorganisme, namun saat ini bokashi telah dibuat dengan menggunakan kultur mikroba seperti EM (Effective Microorganism). Penggunaan EM dalam bokashi dapat memperbaiki kesehatan dan kualitas tanah, memperbaiki mutu tanaman, serta sebagai inokulan untuk meningkatkan keragaman mikroba di dalam tanah (Sani 2007). Keunggulan pupuk bokashi menurut Sarbini (2008) antara lain: a. Biaya pembuatan yang murah karena menggunakan bahan baku dari limbah pertanian, limbah peternakan, limbah industri serta limbah rumah tangga b. Mengandung unsur hara yang lebih lengkap, baik makro maupun mikro c. Dapat dibuat sendiri d. Memperbaiki struktur tanah. Tanah menjani gembur, perembesan air lebih cepat, daya tahan terhadap erosilebih kuat dan tanah lebih mudah diolah. e. Melepaskan unsur hara yang terikan oleh tanah dan menahannya dari tercuci oleh air hujan
11
f. Member suasana lingkungan yang baik bagi jasad renik dalam tanah, sehingga bahan organik dapat terurai oleh jasad renik untuk dimanfaatkan oleh tanaman. Penggunaan EM dalam pembuatan pupuk bokashi memberikan beberapa keuntungan menurut Nasir (2008), antara lain: a. Memperbaiki perkecambahan bungan, buah, dan kematangan hasil tanaman. b. Memperbaiki lingkungan fisik, kimia, serta biologi tanah serta menekan pertumbuhan hama dan penyakit dalam tanah c. Meningkatkan kapasitas fotosintesis tanaman d. Menjamin perkecambahan dan pertumbuhan tanaman yang lebih baik e. Meningkatkan manfaat bahan organik sebagai pupuk
12
3. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Agustus 2012. Sampel limbah perikanan diperoleh dari Waduk Cirata-Jangari, Cianjur. Pembuatan pupuk organik beserta analisis pH, dan temperatur dilaksanakan di Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Pertanian, Cianjur, Jawa Barat. Analisis proksimat limbah dan analisis kandungan N-Total, C-Organik, dan rasio C/N, dilaksanakan di Laboratorium Pengujian Mutu, Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Pertanian, Cianjur, Jawa Barat. Analisis total fosfor dan total kalium dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Aplikasi pupuk organik pada tanaman kangkung darat (I. reptana) dilaksanakan di Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Pertanian, Cianjur, Jawa Barat. 3.2 Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan yang mati akibat upwelling dari Waduk Cirata. Bahan-bahan lainnya meliputi dedak padi, ampas kelapa, EM-4, molase, akuades, benih tanaman kangkung darat (I.reptana), tanah, polybag, urea, KCL, SP36 dan bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penentuan kadar proksimat dan unsur hara makro. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mesin chopper, terpal, grinder pupuk, ayakan, wadah plastik, pH meter, termometer, karung, Spektrofotometer (LW-200) Series, kuvet, Atomic Absortion Spectrophotometer (AAS Shimadzu AA-60), oven (Memmert), tanur (Nabertherm), destilator, cawan porselen, gegep, pipet volumetrik, pipet tetes, buret, penangas air, labu kjeldahl, kertas saring, dan alat-alat gelas. Aplikasi pupuk pada kangkung darat (I. reptana) digunakan alat-alat pertanian seperti cangkul dan parang.
13
3.3 Prosedur Penelitian Penelitian dilakukan dalam tiga tahap yaitu pembuatan tepung ikan, pembuatan pupuk organik bokashi, dan aplikasi pupuk organk bokashi pada tanaman kangkung darat (I. reptana) 3.3.1 Pembuatan tepung ikan Proses pembuatan tepung ikan diawali dengan pencucian ikan untuk menghilangkan kotoran dan darah yang menempel. Selanjutnya, limbah ikan utuh digiling menggunakan chopper untuk memperkecil ukuran partikel limbah. Selanjutnya, limbah dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari selama +2 hari untuk menurunkan kadar airnya hingga 20%. Selanjutnya, dilakukan proses penepungan. limbah ikan yang telah kering dihaluskan dengan grinder lalu disaring menggunakan ayakan sehingga didapatkan tepung ikan dengan butiran yang homogen. Tepung ikan yang dihasilkan akan dilakukan analisis proksimat dan hara makro (N-Total, P2O5, C-Organik, K2O, dan rasio C/N). Diagram alir pembuatan tepung ikan disajikan pada Gambar 1. Limbah ikan
Pencucian
Penggilingan
Pengeringan
Penepungan
Tepung limbah Ikan
Analisis proksimat, C-organik, N-total, rasio C/N, P2O5, K2O
Gambar 1 Diagram alir pembuatan tepung limbah ikan
14
3.3.2 Pembuatan pupuk organik bokashi Pembuatan pupuk organik bokashi diawali dengan persiapan bahan baku yaitu dedak padi, ampas kelapa dan tepung ikan. Bahan baku terlebih dahulu dijemur untuk mengurangi kadar airnya. Bahan baku dicampurkan dengan komposisi yang divariasikan sebagai perlakuan. Komposisi dari dedak padi, ampas kelapa dan tepung ikan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Komposisi bahan baku pembuatan pupuk organik bokashi Kode perlakuan P0 P1 P2 P3 P4
Dedak padi 0 50 40 30 20
Komposisi (%) Ampas kelapa 0 20 20 20 20
Tepung ikan 100 30 40 50 60
Bahan baku dengan komposisi yang telah ditentukan, dicampurkan dalam wadah baskom plastik dan diaduk hingga rata. Selama proses pengadukan, campuran bahan baku ditambahkan larutan EM yang telah diaktivasi dengan campuran air dan molase dengan perbandingan air : molase : EM sebesar 90 : 5 : 5 sebanyak 10% (b/v) dari bobot total pupuk. Larutan secara perlahan dituangkan ke campuran hingga campuran memiliki kadar air berkisar antara 40-50%. Campuran yang memiliki kadar air 40-50% memiliki ciri jika saat campuran diremas, campuran menjadi menyatu. Kadar air dikontrol pada hari ke-10 untuk mengkondisikan kadar air tetap berkisar antara 40-50%. Selanjutnya, campuran ditempatkan di dalam karung plastik untuk melindungi campuran dari debu dan air, serta dikondisikan dalam suasana aerobik untuk menunjang proses pengomposan. Selama campuran dikomposkan dalam kondisi aerobik dan diukur nilai pH dan suhu setiap hari. Selama proses pengomposan, suhu dari campuran diukur secara rutin dan dipertahankan sekitar 35 – 45˚C. Campuran harus diaduk jika suhunya mencapai 45˚C agar suhunya kembali turun. Manfaat bokashi akan berkurang apabila suhu bokashi melebihi 50˚C karena energi dalam pembuatan bokashi akan hilang hingga 50% seiring dengan keluarnya panas yang tinggi, serta suhu 50˚C dapat membunuh mikroba pengompos yang terdapat pada EM sehingga proses pengomposan tidak berjalan maksimal. Proses pengomposan
15
dilakukan selama 18 hari. Setelah proses pengomposan selesai, pupuk bokashi dijemur di tempat yang tidak terkena sinar matahari hingga agak kering lalu dilakukan analisis kadar air dan hara makro mencakup rasio C/N, karbon organik, total nitrogen, kandungan fosfor dan kalium yang dapat dipertukarkan. Diagram alir pembuatan pupuk organik bokhasi disajikan pada Gambar 2. Dedak padi
Tepung ikan
Ampas kelapa
Pencampuran (Perlakuan P0,P1,P2, P3,P4)
Penambahan larutan EM
Pengomposan (18 hari)
Pengukuran pH dan suhu (setiap hari)
Penjemuran
Pupuk organik bokashi
Analisis: - C-organik - N-total - rasio C/N - P2O5 - K2 O
Gambar 2 Diagram alir pembuatan pupuk organik bokashi
3.3.3 Aplikasi pupuk organik bokashi pada tanaman kangkung darat (I. reptana) Pupuk yang dihasilkan kemudian diaplikasikan pada tanaman kangkung darat (I. reptana). Tanaman kangkung darat (I. reptana) darat ditanam pada polybag berukuran 35 x 35 cm dan diisi dengan tanah sebanyak 3 kg. Bibit kangkung darat (I. reptana) yang digunakan adalah sebanyak 0,018 g/poyibag. Bibit sebanyak 0,018 g akan menghasilkan anakan kangkung darat (I. reptana) sebanyak 15-20 batang. Bibit tersebut terlebih dahulu disemai selama 2 minggu. Anakan tanaman kangkung darat (I. reptana) selanjutnya dipindahkan ke polybag (dihitung sebagai 0 MST (Minggu Setelah Tanam)) setelah 2 minggu,.
16
Pemupukan dilakukan pada saat penanaman di polybag sebelum anakan kangkung ditanam. Tanaman kangkung darat (I. reptana) kemudian dipanen saat berumur 4 MST (Susila 2006). Perlakuan aplikasi pupuk organik bokashi pada tanaman kangkung darat (I. reptana) dapat dilihat pada Tabel 3. Aplikasi ini pada setiap perlakuan terdiri dari 5 kali ulangan sehingga didapatkan 35 unit percobaan. Pengamatan terhadap tanaman kangkung darat (I. reptana) setiap minggu selama 4 minggu, berdasarkan umur panen tanaman kangkung darat (I. reptana) yaitu 25-30 hari (4MST) (Susila 2006). Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah cabang dan jumlah daun. Perlakuan dalam penanaman disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Aplikasi pupuk organik bokashi pada tanaman kangkung darat Kode KN P0 P1 P2 P3 P4 KP
Perlakuan Kontrol Negatif Pupuk Perlakuan P0 (Tepung ikan (100%)) Pupuk Perlakuan P1 (Dedak padi (50%), ampas kelapa (20%), tepung ikan (30%)) Pupuk Perlakuan P2 (Dedak padi (40%), ampas kelapa (20%), tepung ikan (40%)) Pupuk Perlakuan P3 (Dedak padi (30%), ampas kelapa (20%), tepung ikan (50%)) Pupuk Perlakuan P4 (Dedak padi (20%), ampas kelapa (20%), tepung ikan (60%)) Kontrol positif
Dosis/Polybag Tanpa pupuk 100 gr 100 gr 100 gr 100 gr 100 gr Urea (1,4 gr) + SP36 (2,3 gr) + KC1 (0,8 gr)
3.4 Prosedur Analisis Analisis yang diamati meliputi pengukuran kadar proksimat, pH, suhu, N-Total, total P, C-Organik, total K, Rasio C/N, pertambahan tinggi tanaman, jumlah daun dan bobot tanaman kangkung darat (I. reptana). 3.4.1 Analisis kadar air (BSN 1992) Prinsip analisis kadar air adalah mengetahui kandungan atau jumlah air yang terdapat dalam suatu bahan. Tahap pertama yang dilakukan pada analisis kadar air adalah mengeringkan botol timbang dalam oven pada suhu 105°C
17
selama 1 jam. Botol timbang tersebut kemudian diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Sampel seberat 1-2 g ditimbang setelah terlebih dahulu digerus. Botol timbang yang telah diisi sampel dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 102-105°C selama 5-6 jam. Botol timbang kemudian dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin (30 menit) kemudian ditimbang dan ulangi prosedur ini hingga memperoleh bobot yang tetap. Perhitungan kadar air dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:
Keterangan: A = Berat botol timbang kosong (g) B = Berat botol timbang yang diisi dengan sampel (g) C = Berat botol timbang dengan sampel yang sudah dikeringkan (g) 3.4.2 Analisis kadar abu (BSN 1992) Prinsip analisis kadar abu yaitu untuk mengetahui jumlah abu yang terdapat pada suatu bahan terkait dengan mineral dari bahan yang dianalisis. Cawan porselen dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven bersuhu 105°C selama +30 menit. Cawan porselen kemudian dimasukkan ke dalam desikator (30 menit) dan kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 2-3 g ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam cawan porselen. Cawan porselen selanjutnya dibakar di atas kompor listrik sampai tidak berasap dan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 550°C hingga mencapai pengabuan sempurna. Cawan dimasukkan di dalam desikator dibiarkan sampai dingin dan kemudian ditimbang. Perhitungan kadar abu dapat dilakukan menggunakan rumus:
Keterangan: A = Berat cawan kosong (g) B = Berat cawan dengan sampel (g) C = Berat cawan dengan sampel yang diabukan (g)
18
3.4.3 Analisis kadar protein (BSN 1992) Prinsip dari analisis kadar protein yaitu untuk mengetahui kandungan protein kasar (crude protein) pada suatu bahan. Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terbagi atas tiga tahapan, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. 1. Tahap destruksi Sampel ditimbang sebanyak 0,5 g. Sampel lalu dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 100 mL. Tambahkan 2 g selenium dan 25 mL H2SO4 ke dalam tabung tersebut. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410°C ditambah 10 mL air. Proses destruksi dilakukan sampai larutan menjadi jernih. 2. Tahap destilasi Larutan yang telah jernih didinginkan dan masukkan ke dalam labu ukur 100 mL. Larutan diencerkan dengan akuades, tepatkan hingga tanda garis. Pipet 5 mL larutan dan masukkan ke dalam alat penyuling, tambahkan 5 mL NaOH 30% dan beberapa tetes indikator PP lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlemeyer 125 mL yang berisi 10 mL asam borat (H3BO3) 2% yang mengandung indikator bromcherosol green 0,1% dan methyl red 0,1% dengan perbanding 2:1. 3. Tahap titrasi Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,01 N sampai warna larutan pada erlemeyer berubah warna menjadi merah muda. Volume titrasi dibaca dan dicatat. Perhitungan kadar protein dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:
Keterangan :
W = Bobot sampel V1 = Volume HCl 0,01 N yang dipergunakan penitaran sampel V2 = Volume HCl yang dipergunakan penitaran blanko N = Normalitas HCl fp = Faktor pengenceran fk = Faktor konversi untuk protein secara umum: 6,25
19
3.4.4 Analisis kadar lemak (BSN 1992) Sampel sebanyak 1-2 g (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak, lalu dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet lalu dipanaskan dengan menggunakan pemanas listrik selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (Ws). Perhitungan kadar lemak dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:
Keterangan:
W1 = Berat sampel (g) W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (g) W3 = Berat lebu lemak dengan lemak (g)
3.4.5 Pengukuran suhu Suhu selama proses pengomposan diukur dan dicatat setiap hari pada pagi hari. Pengukuran suhu dilakukan menggunakan alat ukur termometer ruang yang ditancapkan pada pupuk di beberapa titik. 3.4.6 Pengukuran pH Nilai pH selama proses pengomposan diukur dan dicatat setiap hari pada pagi hari. Analisis derajat keasaman (pH) dilakukan dengan menggunakan pH tester yang ditancapkan pada pupuk di beberapa titik. 3.4.7 Karbon organik (AOAC 2007) Pengukuran karbon organik menggunakan metode pengoksidasian dengan kromat dan asam sulfat. Sampel sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL. Kemudian ditambahkan 20 mL K2Cr2O7 2 N dan 15 mL H2SO4 pekat, kemudian di panaskan di atas waterbath dengan suhu 70oC selama 1,5 jam
20
(digoyang setiap 15 menit) sampai semua sampel melarut. Sampel yang sudah larut diencerkan dengan akuades hingga tanda tera. Larutan ini kemudian dipipet sebanyak 10 mL ke dalam erlemeyer dan tambahkan indicator FeSO4 0,2 N sebanyak 20 mL, encerkan dengan air. Selanjutnya dititrasi dengan larutan KMnO4 0,1 N. Perhitungan C organik dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:
Keterangan : a = ml KMnO4 untuk sampel b = ml KMnO4 untuk blanko N = Normalitas KMnO4 fp = Faktor pengenceran W = Berat sampel (mg) 3.4.8 Nitrogen total (BSN 1992) Prinsip dari analisis kadar nitrogen yaitu untuk mengetahui kandungan nitrogen pada suatu bahan. Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis nitrogen total terbagi atas tiga tahapan, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. 1. Tahap destruksi Sampel ditimbang sebanyak 0,5 g. Sampel dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 100 mL. Tambahkan 2 g selenium dan 25 mL H2SO4 ke dalam tabung tersebut. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410 °C ditambah 10 mL air. Proses destruksi dilakukan sampai larutan menjadi jernih. 2. Tahap destilasi Larutan yang telah jernih didinginkan dan masukkan ke dalam labu ukur 100 mL. Larutan diencerkan dengan akuades, tepatkan hingga tanda garis. Pipet 5 mL larutan dan masukkan ke dalam alat penyuling, tambahkan 5 ml NaOH 30% dan beberapa tetes indikator PP lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlemeyer 125 mL yang berisi 10 mL asam borat (H3BO3) 2% yang mengandung indikator bromcherosol green 0,1% dan methyl red 0,1% dengan perbanding 2:1.
21
3. Tahap titrasi Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,01 N sampai warna larutan pada erlemeyer berubah warna menjadi merah muda. Volume titrasi dibaca dan dicatat. Perhitungan nitrogen total dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:
Keterangan :
W = Bobot sampel V1 = Volume HCl 0,01 N yang dipergunakan penitaran sampel V2 = Volume HCl yang dipergunakan penitaran blanko N = Normalitas HCl fp = Faktor pengenceran
3.4.9 Total fosfor (AOAC 2007) Fosfor dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer. Sampel yang berbentuk padat harus dilakukan dulu pengabuan basah. Sampel sebanyak 1 g ditambahkan 5 mL HNO3 didiamkan selama 1 jam pada suhu ruang di ruang asam, kemudian dipanaskan diatas hot plate dengan temperatur rendah selama 4-6 jam (dalam ruang asam). Sampel dibiarkan semalam dalam keadaan tertutup. Sampel ditambahkan 0.4 mL H2SO4 , lalu dipanaskan di atas hot plate sampai larutan berkurang (lebih pekat), ±1 jam. Kemudian ditambahkan 2-3 tetes larutan campuran HClO4: HNO3 (2:1). Sampel masih tetap di atas hot plate, karena pemanasan terus dilanjutkan sampai ada perubahan warna dari coklat menjadi kuning tua sampai akhirnya berwarna kuning muda (±1 jam). Setelah ada perubahan warna, pemanasan masih dilanjutkan selama 10-15 menit. Pindahkan sampel, dinginkan dan tambahkan 2 mL aquades dan 0.6 mL HCl. Sampel dipanaskan kembali agar larut (± 15 menit) kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL. Apabila ada endapan disaring dengan glass wool. Analisis kandungan fosfor dilakukan menggunakan spektrofotometer, namun sebelumnya dilakukan preparasi sampel dengan faktor pengenceran yang dibutuhkan. Sampel dipipet 0,5 mL dari hasil pengabuan basah, ditambah aquades hingga 3 mL dan Cl3La.7H2O 2 mL lalu dikocok. Kemudian sampel diukur dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 660 nm.
22
Perhitungan kandungan P dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:
Keterangan
:
fp
= Faktor pengenceran
W = Bobot sampel (g) 3.4.10 Total kalium (AOAC 2007) Kalium dianalisis menggunakan AAS. Sampel yang berbentuk padat harus dilakukan pengabuan basah terlebih dahulu. Sampel sebanyak 1 g ditambahkan 5 mL HNO3 didiamkan selama 1 jam pada suhu ruang di ruang asam, kemudian dipanaskan diatas hot plate dengan temperatur rendah selama 4-6 jam (dalam ruang asam). Sampel dibiarkan semalam dalam keadaan tertutup. Sampel ditambahkan 0.4 mL H2SO4 , lalu dipanaskan diatas hot plate sampai larutan berkurang (lebih pekat), ±1 jam. Kemudian ditambahkan 2-3 tetes larutan campuran HClO4: HNO3 (2:1). Sampel masih tetap diatas hot plate, karena pemanasan terus dilanjutkan sampai ada perubahan warna dari coklat menjadi kuning tua sampai akhirnya berwarna kuning muda (± 1 jam). Setelah ada perubahan warna, pemanasan masih dilanjutkan selama 10-15 menit. Pindahkan sampel, dinginkan dan tambahkan 2 mL aquades dan 0.6 mL HCl. Sampel dipanaskan kembali agar larut (±15 menit) kemudian masukkan kedalam labu takar 100 mL. Apabila ada endapan disaring dengan glass wool. Analisis kandungan kalium dilakukan menggunakan AAS, namun sebelumnya dilakukan preparasi sampel dengan faktor pengenceran sesuai dengan yang dibutuhkan. Sampel sebanyak 0,5 mL ditambah aquades hingga 5 mL dan (Cl3La.7H2O) 0,05 ml lalu divorteks. Kemudian sampel diukur dengan menggunakan AAS. Perhitungan kandungan K dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:
Keterangan
:
fp
= Faktor pengenceran
W = Bobot sampel (g)
23
3.4.11 Tinggi tanaman kangkung darat (I. reptana) Pengukuran dan pengamatan tinggi kangkung darat dilakukan setiap 1 minggu selama 4 minggu. Tinggi tanaman diukur mulai dari pangkal batang sampai titik tumbuh dengan menggunakan penggaris. Untuk laju pertambahan tinggi tanaman didapat dari perhitungan berikut:
3.4.12 Jumlah daun tanaman kangkung darat (I. reptana) Pengukuran dan pengamatan jumlah daun tanaman kangkung darat dilakukan setiap 1 minggu selama 3 minggu. Jumlah daun dihitung berdasarkan jumlah daun yang telah berkembang sempurna. 3.4.13 Bobot basah tanaman kangkung darat (I. reptana) Penimbangan bobot basah tanaman kangkung darat dilaksanakan setelah tanaman dipanen. Penimbangan bobot basah dilakukan dengan menimbang kangkung yang telah dipanen dan dibersihkan dari tanah dengan menggunakan timbangan digital sehingga didapat bobot basahnya. 3.5 Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan satu faktor yaitu komposisi bahan baku pembuatan pupuk organik bokashi. Dosis bahan baku yang digunakan terdiri atas P0, P1, P2, P3, dan P4. Penelitian ini digunakan juga kontrol positif menggunakan campuran pupuk urea, SP 36 dan KCl dan kontrol negatif yaitu tanpa pemupukan. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 5 kali sehingga diperoleh 35 satuan percobaan. Satu satuan percobaan berupa tanaman yang ditanam di polybag. Semua data pengamatan dianalisis dengan analisis sidik ragam. Model rancangan percobaan yang digunakan adalah :
Yij= µ+αi+εij
24
Keterangan : Yij = Nilai pengamatan dari perlakuan ke-i pada ulangan ke-j µ
= Nilai rataan umum
αi
= Pengaruh perlakuan ke-i terhadap respon
εij
= Pengaruh acak yang timbul pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut: H0 : αi = α ( perlakuan tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati) H1 : αi ≠ α (paling sedikit ada sepasang perlakuan dimana αi ≠ α). Selanjutnya hasil sidik ragam yang menunjukkan pengaruh nyata dilakukan uji Duncan pada selang kepercayaan 95 %. Data diolah dengan menggunakan PASW 18 for windows.
25
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Bahan Baku Karekteristik bahan baku merupakan salah satu informasi yang sangat diperlukan pada awal suatu proses pengolahan, termasuk pembuatan pupuk. Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan pupuk organik bokashi adalah tepung ikan, dedak padi dan ampas kelapa. Hasil analisis proksimat dan hara makro pada bahan baku disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil analisis proksimat dan hara makro bahan baku pupuk bokashi Parameter Proksimat Air (%) Abu (%) Lemak (%) Protein (%) Hara makro C-organik (%) Total N (%) Rasio C/N Total K (%) Total P (%)
Tepung ikan
Bahan baku Dedak padi
Ampas kelapa
7.60±0,04 22.34±0,28 16.69±0,02 55,62±0,06
10.51±0,09 11.16±0,64 12.39±0,21 29,51±0,56
70.52±0,36 0.24±0,01 3.75±0,19 5,85±0,04
9,36±0,20 9,63±0,01 0,97 0,30 ±0,00 3,26±0,08
11,68±0,11 5,28±0,10 2,21 0,54±0,01 0,53±0,00
7,85±0,14 0,93±0,01 8,44 0,63±0,01 0,03±0,00
Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa tepung ikan yang dihasilkan memiliki kadar air sebesar 7,60%, kadar abu sebesar 22,34%, kadar lemak sebesar 16,69%, kadar protein sebesar 55,52%, C-organik sebesar 9,36%, Total N sebesar 9,63%, nilai rasio C/N sebesar 0,97, total K sebesar 0,30% dan total P sebesar 3,26%. Total nitrogen dan total fosfor tepung ikan yang dihasilkan cukup tinggi yaitu 9,63% dan 3,26% yang menunjukkan bahwa tepung ikan yang dihasilkan cukup potensial sebagai sumber nitrogen dan fosfor untuk pupuk organik bokashi. Kandungan nitrogen yang dianjurkan untuk bahan baku pupuk organik yaitu > 3%, sedangkan untuk fosfor yaitu > 0,5% (Sutanto 2002). Kadar lemak tepung ikan yang dihasilkan cukup tinggi yaitu 16,69%. Nilai ini melebihi kadar lemak bahan baku pupuk yang baik yaitu 1%-15%. Kandungan kadar lemak yang terlalu tinggi pada bahan baku pupuk organik dapat memperlambat proses pengomposan. Hal ini disebabkan aktivitas mikrob
26
pengurai bahan organik yang terhambat oleh tingginya kandungan lemak, terutama dari golongan Actinomycetes. Untuk bahan baku yang memiliki kadar lemak tinggi, umumnya dilakukan proses pengeluaran minyak melalui pengepresan sebelum bahan baku digunakan atau dikomposkan (Sutanto 2002). Dedak padi memiliki kadar C-organik paling tinggi yaitu 11,68% yang potensial digunakan sebagai sumber karbon pada proses pengomposan. Dedak dan sekam padi merupakan bahan baku yang umum digunakan sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik karena memiliki kandungan karbon yang tinggi dan rasio C/N yang baik. Bahan ini umumnya dikombinasikan dengan bahan lain seperti kotoran sapi atau limbah sayuran sebagai sumber nitrogen sehingga dapat dihasilkan pupuk yang mampu memenuhi kebutuhan hara makro dan mikro untuk tanaman (Mustari 2004). 4.2 Pengomposan Pupuk organik bokashi diproduksi melalui proses pengomposan bahan baku (tepung ikan, dedak padi, ampas kelapa) dengan bioaktifator EM. Proses pengomposan berlangsung selama 18 hari dengan dilakukan pengamatan beberapa parameter untuk menentukan kematangan pupuk. Parameter yang diamati selama proses pengomposan adalah pH dan suhu pupuk yang diamati setiap hari selama proses pengomposan berlangsung. 4.2.1 Perubahan pH Nilai pH merupakan salah satu parameter yang menentukan kualitas akhir pupuk organik. Pupuk yang baik memiliki pH akhir berkisar antara 6,7-7,0. Perubahan pH selama proses pengomposan dapat menjadi suatu parameter aktivitas mikroba dalam mendekomposisi bahan-bahan organik yang terdapat dalam bahan baku pembuatan pupuk organik. Perubahan pH pupuk selama proses pengomposan disajikan pada Gambar 3. Perubahan pH selama proses pengomposan yang disajikan pada Gambar 3 memperlihatkan tren yang sama untuk semua perlakuan yaitu penurunan pH pada awal proses pengomposan hingga titik pH terendah pada hari ke-5 lalu pH meningkat hingga mendekati pH normal pada hari ke-18. Hal ini selaras dengan pernyataan Sutanto (2002) yang menyatakan bahwa pada umumnya, pH selama
27
proses pengomposan akan turun pada awal proses pengomposan karena aktivitas bakteri yang menghasilkan asam. Adanya mikroorganisme lain dari bahan yang didekomposisikan, yaitu bakteri perombak protein, maka pH akan kembali naik setelah beberapa hari dan pH akan berada pada kondisi netral pada akhir proses pengomposan. Kenaikan pH juga dipicu oleh perombakan senyawa nitrogen kompleks menjadi basa nitrogen oleh mikrob.
8,00 7,00 6,00 pH
5,00 4,00 P0 (Tepung ikan 100%) P0 P2 P2 (Tepung ikan 40%) P4 (Tepung ikan 60%) P4
3,00 2,00 1,00
P1 P1 (Tepung ikan 30%) P3 P3 (Tepung ikan 50%)
0,00 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Hari ke-
Gambar 3 Grafik perubahan pH pupuk selama proses pengomposan Perubahan pH terkecil dicapai oleh perlakuan P0, sedangkan perubahan pH terbesar dicapai oleh perlakuan P1. Dapat dilihat pada Gambar 3 bahwa semakin besar komposisi tepung ikan yang digunakan pada pembuatan pupuk, maka perubahan pH semakin kecil. Perbedaan perubahan pH pada tiap perlakuan disebabkan oleh perbedaan ketersediaan karbon karena perbedaan komposisi sumber karbon yang ditambahkan sehingga akan mempengaruhi aktivitas mikroba selama proses pengomposan. Menurut Goyal et al. (2005), senyawa karbon pada proses pengomposan digunakan oleh mikroba pengompos sebagai sumber energi atau bahan bakar untuk merombak senyawa organik komplek menjadi bentuk yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Pada perlakuan P0, ketersediaan karbon hanya terbatas dari tepung ikan yang memiliki kandungan C-organik yang rendah sehingga aktivitas mikroba pengurai tidak optimal, sedangkan perlakuan P 1, P2, P3 dan P4 yang memiliki ketersediaan karbon lebih banyak karena adanya kontribusi dedak padi sebagai sumber karbon tambahan sehingga memungkinkan mikroba
28
untuk memiliki aktivitas yang lebih optimal, terutama untuk perlakuan P1 yang memiliki komposisi dedak padi lebih banyak yaitu 50%. Aktivitas mikroba selama proses pengomposan juga dipengaruhi oleh kadar lemak dari tepung ikan yang cukup tinggi. Perlakuan P0 memiliki aktivitas yang paling rendah yang terlihat dari perubahan pH yang kecil dikarenakan komposisi tepung ikan yang paling besar yaitu 100% sehingga perubahan pH selama proses pengomposan lebih kecil dibandingkan perlakuan lainnya, sedangkan perlakuan P1 memiliki aktivitas yang paling tinggi dikarenakan komposisi tepung ikan yang paling rendah yaitu 30%. Kandungan lemak yang terlalu tinggi pada bahan baku pupuk dapat memperlambat proses pengomposan. Hal ini disebabkan aktivitas mikroba pengurai bahan organik yang terhambat oleh tingginya kandungan lemak, terutama dari golongan bakteri (Sutanto 2002). 4.2.2 Perubahan suhu Suhu merupakan salah satu parameter penting dalam proses pengomposan. Selama proses pengomposan, panas dihasilkan dari aktifitas mikroba saat proses pencernaan bahan organik. Perubahan suhu pupuk bokashi selama proses
Suhu (˚C)
pengomposan disajikan pada Gambar 4. 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
P0 (Tepung ikan 100%) P0
P1 (Tepung ikan 30%) P1
P2 (Tepung ikan 40%) P2
P3 (Tepung ikan 50%) P3
P4 P4 (Tepung ikan 60%)
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Hari ke-
Gambar 4 Grafik perubahan suhu pupuk bokashi selama proses pengomposan Gambar 4 menunjukkan perbedaan pola perubahan suhu pada setiap perlakuan. Pola perubahan suhu selama proses pengomposan pada perlakuan P1, P2, P3 dan P4 memiliki kecendrungan pola yang sama, sedangkan perlakuan P0 memiliki pola yang berbeda dengan perlakuan lainnya. Dapat dilihat pada
29
Gambar 4 bahwa semakin besar komposisi tepung ikan yang digunakan pada pembuatan pupuk, maka perubahan suhu yang dihasilkan semakin besar. Perbedaan pola perubahan suhu pada tiap perlakuan disebabkan oleh perbedaan ketersediaan karbon yang akan mempengaruhi aktivitas mikroba selama proses pengomposan. Menurut Goyal et al. (2005), senyawa karbon pada proses pengomposan digunakan oleh mikroba pengompos sebagai sumber energi atau bahan bakar untuk merombak senyawa organik komplek menjadi bentuk yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Selama proses perombakan, mikroba akan melepaskan energi panas yang menyebabkan terjadinya kenaikan suhu. Pada perlakuan P0, ketersediaan karbon hanya terbatas dari tepung ikan yang memiliki kandungan C-organik yang rendah sehingga aktivitas mikroba pengurai tidak optimal, sedangkan perlakuan P1, P2, P3 dan P4 yang memiliki ketersediaan karbon lebih banyak karena adanya kontribusi dedak padi sebagai sumber karbon tambahan sehingga memungkinkan mikroba untuk memiliki aktivitas yang lebih optimal. Aktivitas mikrob selama proses pengomposan juga dipengaruhi oleh kadar lemak dari tepung ikan yang cukup tinggi, sama halnya pada perubahan pH. Perlakuan P0 memiliki aktivitas yang paling rendah dikarenakan komposisi tepung ikan yang paling besar yaitu 100% sehingga perubahan suhu selama proses pengomposan lebih kecil dibandingkan perlakuan lainnya, sedangkan perlakuan P1 memiliki aktivitas yang paling tinggi dikarenakan komposisi tepung ikan yang paling rendah yaitu 30%. Kandungan lemak yang terlalu tinggi pada bahan baku pupuk dapat memperlambat proses pengomposan. Hal ini disebabkan aktivitas mikroba pengurai bahan organik yang terhambat oleh tingginya kandungan lemak, terutama dari golongan bakteri (Sutanto 2002). Aktivitas mikroba juga dapat dipengaruhi oleh kandungan air pada bahan selama proses pengomposan. Mikroorganisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut dalam air. Kelembaban 40-60 % adalah kisaran kelembaban optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15% (Isroi 2008). Pola perubahan suhu yang fluktuatif selama proses pengomposan disebabkan oleh penurunan kandungan air
30
pada bahan. Penurunan suhu pada hari ke-5 hingga hari ke-10 disebabkan oleh kandungan air yang menurun yang menyebabkan aktivitas mikroba pengurai menurun, meskipun masih terdapat bahan organik yang dapat diurai. Setelah penambahan kadar air pada hari ke-10, suhu kembali naik yang menandakan aktivitas mikroba kembali meningkat. 4.3 Kualitas Pupuk Bokashi Kualitas pupuk merupakan salah satu faktor yang menentukan keefektifan penggunaan pupuk saat diaplikasikan ke tanaman. Kualitas pupuk mencakup kandungan hara makro dan mikro, kadar air, kandungan bahan organik, pH dan rasio C/N. Kualitas pupuk organik bokashi yang diujikan adalah hara makro yang mencakup kadar karbon organik, kadar nitrogen, rasio C/N, kadar fosfor dan kadar kalium. 4.3.1 Kadar karbon organik Karbon organik merupakan salah satu komponen penting dalam proses metabolisme dan sintetis makhluk hidup. Unsur karbon dapat membentuk senyawa rantai karbon yang berperan dalam pembentukan senyawa organik. Pada tumbuhan, senyawa karbon organik berperan dalam pembentukan selulosa dan pembentukan jaringan-jaringan serat (Satya et al. 2010). Hasil analisis C-organik pada pupuk organik bokashi yang dihasilkan disajikan pada Gambar 5. Gambar 5 menunjukkan kandungan C-organik pupuk P0, P1, P2, P3, dan P4 secara berurutan adalah 13,17%, 17,77%, 17,65%, 17,24% dan 16,21%. Hasil perhitungan kandungan C-organik pada pupuk organik bokashi yang dihasilkan menunjukkan bahwa kandungan C-organik tertinggi terdapat pada pupuk P1 yaitu sebesar 17,77%, sedangkan kandungan C-organik terkecil terdapat pada pupuk P0 yaitu sebesar 13.17%. Perbedaan kandungan C-organik pada setiap perlakuan disebabkan oleh perbedaan komposisi bahan baku yang ditambahkan pada pupuk. Gambar 5 menunjukkan bahwa semakin besar komposisi tepung ikan yang digunakan dalam pembuatan pupuk, maka kandungan C-organik yang dihasilkan semakin kecil. Semakin besar komosisi tepung ikan yang digunakan, maka akan memperkecil komposisi bahan baku lain yang memiliki kandungan C-organik yang lebih besar dari tepung ikan. Perlakuan P0 memiliki selisih nilai C-organik
31
yang cukup jauh dengan perlakuan lainnya karena sumber karbon hanya terbatas dari tepung ikan yang memiliki nilai C-organik yang rendah, sedangkan perlakuan P1, P2, P3 dan P4 mendapat tambahan suplai karbon dari penambahan dedak padi dan ampas kelapa yang memiliki kandungan C-organik yang lebih tinggi. Perlakuan P1 dengan komposisi tepung ikan yang digunakan paling kecil memiliki kandungan C-organik yang paling tinggi karena kontribusi bahan baku lainnya lebih besar. Perbandingan komposisi bahan baku akan mempengaruhi kandungan unsur hara yang dihasilkan. Perbandingan komposisi bahan baku pupuk organik yang tepat serta penggunaan teknologi pengomposan yang baik akan menghasilkan pupuk yang memiiki kualitas yang baik dan mampu dimanfaatkan
C-Organik
dengan mudah oleh tanaman (Suwahyono 2011).
20,00% 18,00% 16,00% 14,00% 12,00% 10,00% 8,00% 6,00% 4,00% 2,00% 0,00%
17,77 + 0,23
17,65 + 0,23
17,24 + 0,13 16,21 + 0,32
13,17 + 0,30
P0 P0
P1 P1
P2 P2
P3 P3
P4 P4
Perlakuan
Gambar 5 Kandungan C-organik pada pupuk organik bokashi P0 (100% tepung ikan), P1 (30% tepung ikan), P2 (40% tepung ikan), P3 (50% tepung ikan), dan P4 (60% tepung ikan) Kandungan C-organik pada perlakuan P1, P2, P3 dan P4 tidak menunjukkan perbedaan yang jauh, sedangkan komposisi yang digunakan berbeda. Hal ini disebabkan oleh aktivitas mikroba yang menggunakan karbon sebagai sumber energi selama proses pengomposan. Dalam kondisi anaerobik, karbon organik diubah menjadi karbondioksida, metana dan lain-lain (Jenie dan Rahayu 1993). Berdasarkan hasil analisis, kualitas semua pupuk organik bokashi yang dihasilkan memiliki kandungan C-organik yang berkisar antara 13,17%-17,77%.
32
Berdasarkan nilai tersebut maka pupuk organik yang dihasilkan sudah memenuhi nilai kandungan C-organik menurut SNI pupuk organik 19-7030-2004 yaitu sebesar 9,80-32,00%.
4.3.2 Total nitrogen Unsur nitrogen atau N merupakan unsur hara di dalam tanah yang sangat berperan bagi pertumbuhan tanaman. Hasil analisis total nitrogen pada pupuk
Total N
organik bokashi yang dihasilkan disajikan pada Gambar 6. 9,00% 8,00% 7,00% 6,00% 5,00% 4,00% 3,00% 2,00% 1,00% 0,00%
7,80 + 0,04 5,70 + 0,04 4,09 + 0,00 3,23 + 0,01
P0 P0
P1 P1
3,37 + 0,02
P2 P2
P3 P3
P4 P4
Perlakuan
Gambar 6 Kandungan total nitrogen pada pupuk organik bokashi P0 (100% tepung ikan, P1 (30% tepung ikan), P2 (40% tepung ikan), P3 (50% tepung ikan), dan P4 (60% tepung ikan) Hasil perhitungan kandungan total nitrogen pada pupuk organik bokashi yang dihasilkan menunjukkan bahwa kandungan total nitrogen tertinggi terdapat pada pupuk P0 yaitu sebesar 7,80%, sedangkan kandungan total nitrogen terkecil terdapat pada pupuk P1 yaitu sebesar 3.23%. Perbedaan kandungan total nitrogen pada setiap perlakuan disebabkan oleh perbedaan komposisi tepung ikan yang diberikan. Perlakuan P0 memiliki kandungan total nitrogen yang paling tinggi karena perlakuan P0 dibentuk dari 100% tepung ikan, sedangkan perlakuan P1, P2, P3 dan P4 terdiri dari kombinasi tepung ikan, dedak padi dan ampas kelapa dengan konsentrasi yang berbeda. Semakin besar proporsi tepung ikan yang ditambahkan, maka kandungan total nitrogen yang dihasilkan semakin besar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Supadma dan Arthagama (2008) yang menyatakan bahwa semakin tinggi kandungan unsur nitrogen bahan baku yang ditambahkan, tingkat
33
dekomposisi akan semakin mudah sehingga akan menghasilkan nilai total nitrogen yang tinggi pada kompos yang dihasilkan. Unsur nitrogen sangat berperan dalam pembentukan senyawa protein dan klorofil. Kekurangan unsur nitrogen dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat dan menyebabkan daun menjadi menguning (Yuliarti 2009). Berdasarkan hasil analisis, kualitas semua pupuk organik bokashi yang dihasilkan memiliki kandungan total nitrogen yang berkisar antara 3,23%-7,80%. Berdasarkan nilai tersebut maka pupuk organik yang dihasilkan sudah memenuhi nilai kandungan total N menurut SNI pupuk organik 19-7030-2004 yaitu sebesar > 0,40%. 4.3.3 Rasio C/N Nilai perbandingan C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Hasil perhitungan rasio C/N pada pupuk organik bokashi yang dihasilkan disajikan pada Gambar 7.
6,00
5,50
5,24
5,00 Rasio C/N
4,22 4,00 2,84
3,00 2,00
1,69
1,00 0,00 P P0 0
P1 P1
P2 P2
P3 P3
P4 P4
Perlakuan
Gambar 7 Nilai rasio C/N pada pupuk organik bokashi P0 (100% tepung ikan), P1 (30% tepung ikan), P2 (40% tepung ikan), P3 (50% tepung ikan), dan P4 (60% tepung ikan) Gambar 7 menunjukkan nilai rasio C/N pupuk P0, P1, P2, P3, dan P4 secara berurutan adalah 1,69, 5,50, 5,24, 4,22 dan 2,84. Nilai rasio C/N pada pupuk organik bokashi yang dihasilkan menunjukkan bahwa nilai rasio C/N tertinggi
34
terdapat pada pupuk P1 yaitu sebesar 5,50, sedangkan nilai rasio C/N terkecil terdapat pada pupuk P0 yaitu sebesar 1,69. Secara umum, nilai rasio C/N yang dihasilkan dari seluruh perlakuan tergolong kecil karena nilai rasio C/N yang dihasilkan < 10. Nilai rasio C/N yang dihasilkan seluruh perlakuan berkisar antara 1,69-5,50. Nilai tersebut belum memenuhi standar rasio C/N yang ditetapkan dalam SNI pupuk organik 19-7030-2004 yaitu sebesar 10 - 20. . Nilai C/N merupakan perbandingan antara unsur karbon (C) dan unsur nitrogen (N). Pengomposan tergantung pada aktivitas mikroorganisme, sehingga dibutuhkan sumber karbon untuk menyediakan energi dan nitrogen sebagai zat pembangun sel mikroorganisme (Sembiring 2007). Nilai rasio C/N yang rendah dari setiap perlakuan disebabkan oleh penggunaan bahan baku yang memiliki kandungan nitrogen yang tinggi. Jika nilai rasio C/N terlalu rendah karena bahan baku yang kaya nitrogen, maka karbon akan menjadi nutrien pembatas atau aktivitas penyerapan hara akan dibatasi oleh kadar karbon (Graves et al. 2000). Selama proses pengomposan, terjadi penurunan nilai rasio C/N karena penggunaan karbon oleh mikroba pengurai sebagai sumber energi untuk mendekomposisi bahan organik. Jika rasio C/N terlalu rendah (kurang dari 30) kelebihan nitrogen (N) yang tidak dipakai oleh mikroorganisme tidak dapat diasimilasi
dan akan
hilang melaui
volatisasi
sebagai
ammonia atau
terdenitrifikasi (Ndegwa dan Thomson 2000). Gas ammonia yang terbentuk dapat menjadi racun bagi tanaman sehingga proses pelepasan ammonia diperlukan untuk mengurangi resiko kematian pada tanaman (Graves et al. 2000). Nilai rasio C/N yang tidak sesuai standar dapat mengindikasikan bahwa proses pengomposan belum selesai atau pupuk belum matang sehingga diperlukan proses lanjutan atau penambahan waktu pengomposan. Nilai nitrogen yang masih tinggi pada pupuk menandakan protein belum terdegradasi sempurna menjadi kompleks amino. Mikrob akan memecah protein menjadi kompleks amino menggunakan enzim proteolitik lalu menggunakannya sebagai makanan untuk tumbuh dan bertahan hidup, sehingga mikrob akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mendekomposisi bahan yang kaya protein dibandingkan dengan bahan yang memiliki kandungan protein lebih rendah (Graves et al. 2000).
35
4.3.4 Total kalium Kalium merupakan unsur hara makro yang sangat dibutuhkan tanaman untuk menstimulasi pembentukan bunga, daun dan buah. Hasil analisis total kalium pada pupuk organik bokashi yang dihasilkan disajikan pada Gambar 8. 1,80%
1,48 + 0,02
1,60% 1,19 + 0,01
1,40% Total K
1,20%
1,15 + 0,01
1,05 + 0,01
0,92 + 0,00
1,00% 0,80% 0,60% 0,40% 0,20% 0,00% PP0 0
P1 P1
P2 P2
P3 P3
P4 P4
Perlakuan
Gambar 8 Kandungan total kalium pada pupuk organik bokashi P0 (100% tepung ikan), P1 (30% tepung ikan), P2 (40% tepung ikan), P3 (50% tepung ikan), dan P4 (60% tepung ikan) Hasil perhitungan kandungan total kalium pada pupuk organik bokashi yang dihasilkan menunjukkan bahwa kandungan total kalium tertinggi terdapat pada pupuk P1 yaitu sebesar 1,48%, sedangkan kandungan total kalium terkecil terdapat pada pupuk P0 yaitu sebesar 0,92%. Perbedaan kandungan total kalium pada setiap perlakuan disebabkan oleh perbedaan komposisi bahan baku yang ditambahkan pada pupuk. Perlakuan P0 memiliki kandungan total kalium yang paling kecil dikarenakan suplai kalium hanya berasal dari tepung ikan yang memiliki kandungan kalium rendah, sedangkan perlakuan lainnya (P1, P2, P3, P4) mendapat suplai kalium dari bahan baku lain (dedak padi dan ampas kelapa) yang memiliki kandungan kalium yang lebih besar dari tepung ikan. Tepung ikan sebagai bahan utama memiliki kandungan kalium yang relatif kecil yaitu 0,3% (dedak padi = 0,54%, ampas kelapa = 0,63%). Semakin besar proporsi tepung ikan dalam komposisi pupuk, maka akan memperkecil proporsi bahan baku lainnya sehingga kandungan kalium akan semakin kecil. Perbandingan komposisi bahan baku akan mempengaruhi kandungan unsur hara yang dihasilkan.
36
Perbandingan komposisi bahan baku pupuk organik yang tepat serta penggunaan teknologi pengomposan yang baik akan menghasilkan pupuk yang memiiki kualitas yang baik dan mampu dimanfaatkan dengan mudah oleh tanaman (Suwahyono 2011). Kalium berfungsi dalam pembentukan protein dan karbohidrat bagi tanaman. Selain itu, unsur ini juga beperan penting dalam pembentukan antibodi tanaman untuk melawan penyakit. Ciri fisik tanaman yang kekurangan kalium yaitu daun tampak keriting dan mengkilap. Lama kelamaan, daun akan menguning di bagian pucuk dan pinggirnya, bagian antara jari-jari daun juga menguning, sedangkan jari-jari tetap hijau. Ciri fisik lain akibat kekurangan unsur ini adalah tangkai daun menjadi lemah, dan mudah terkulai serta biji keriput (Muhammad 2007). Tanaman menyerap kalium dalam bentuk ion K+. Kalium di dalam tanah ada dalam berbagai bentuk, yang potensi penyerapannya untuk setiap tanaman berbeda-beda. Ion-ion K+ di dalam air tanah dan ion-ion K+ yang di adsorpsi, dapat langsung diserap. Kalium pada tanaman berfungsi sebagai pembentuk dan pengangkut karbohidrat, sebagai katalisator dalam pembentukan protein pada tanaman, mengatur kegiatan berbagai unsur mineral, menetralkan reaksi dalam sel terutama dari asam organik, menaikan pertumbuhan jaringan meristem, mengatur pergerakan stomata, memperkuat tegaknya batang tanaman sehingga tanaman tidak mudah roboh, mengaktifkan enzim, meningkatkan kadar karbohidrat dan gula dalam buah, membuat biji tanaman menjadi lebih berisi dan padat, meningkatkan kualitas buah karena bentuk, kadar, dan warna yang lebih baik, membuat tanaman menjadi lebih tahan hama dan penyakit, dan membantu perkembangan akar tanaman (Syakir dan Gusmaini 2012). Berdasarkan hasil analisis, kualitas semua pupuk organik bokashi yang dihasilkan memiliki kandungan total kalium yang berkisar antara 0,92%-1,48%. Berdasarkan nilai tersebut maka pupuk organik yang dihasilkan sudah memenuhi nilai kandungan total kalium menurut SNI pupuk organik 19-7030-2004 yaitu sebesar > 0,10%.
37
4.3.5 Total Fosfor Unsur fosfor merupakan zat yang penting, tetapi selalu berada dalam keadaan kurang di dalam tanah. Hasil analisis total fosfor pada pupuk organik bokashi yang dihasilkan disajikan pada Gambar 9.
3,50% 2,90 + 0,02 3,00% 2,33 + 0,01 2,10 + 0,08
2,50% Total P
2,38 + 0,15
2,00%
1,46 + 0,06
1,50% 1,00% 0,50% 0,00% P0 P 0
P1 P1
P2 P2
P3 P3
P4 P4
Perlakuan
Gambar 9 Kandungan total fosfor pada pupuk organik bokashi P0 (100% tepung ikan), P1 (30% tepung ikan), P2 (40% tepung ikan), P3 (50% tepung ikan), dan P4 (60% tepung ikan) Hasil perhitungan kandungan total fosfor pada pupuk organik bokashi yang dihasilkan menunjukkan bahwa kandungan total fosfor tertinggi terdapat pada pupuk P0 yaitu sebesar 2,90%, sedangkan kandungan total fosfor terkecil terdapat pada pupuk P1 yaitu sebesar 1,46%. Perbedaan kandungan total fosfor pada setiap perlakuan disebabkan oleh perbedaan komposisi tepung ikan yang diberikan. Perlakuan P0 memiliki kandungan total fosfor yang paling tinggi karena perlakuan P0 dibentuk dari 100% tepung ikan, sedangkan perlakuan P1, P2, P3 dan P4 terdiri dari kombinasi tepung ikan, dedak padi dan ampas kelapa dengan konsentrasi yang berbeda. Data total fosfor pada Gambar 9 menunjukkan bahwa semakin besar proporsi tepung ikan yang ditambahkan, maka kandungan total P yang dihasilkan semakin besar. Kandungan total fosfor memiliki korelasi dengan kandungan total nitrogen. Menurut Hidayati et al. (2008), semakin besar nitrogen yang dikandung maka multiplikasi mikroorganisme yang merombak fosfor akan meningkat, sehingga kandungan fosfor dalam bahan juga meningkat, demikian
38
juga kandungan fosfor dalam pupuk seiring dengan kandungan fosfor dalam bahan. Unsur fosfor sangat penting sebagai sumber energi. Oleh karena itu, kekurangan fosfor dapat menghambat pertumbuhan dan reaksi-reaksi metabolism tanaman. Sementara itu, kandungan fosfor pada tanaman membantu dalam pertumbuhan bunga, buah, dan biji, serta mempercepat pematangan buah (Subaedah 2007). Berdasarkan hasil analisis, kualitas semua pupuk organik bokashi memiliki kandungan total fosfor antara 1,46% - 2,90%. Berdasarkan nilai tersebut maka pupuk organik yang dihasilkan sudah memenuhi nilai kandungan total fosfor menurut SNI pupuk organik 19-7030-2004 yaitu sebesar > 0,20%. 4.4 Aplikasi Pupuk Organik Bokashi Pengaruh aplikasi pupuk organik bokashi yang dihasilkan pada tanaman kangkung darat (I. reptana) diamati yang meliputi parameter laju pertumbuhan tinggi, tinggi panen, jumlah daun dan bobot basah panen. 4.4.1 Laju pertumbuhan tinggi kangkung darat (I. reptana) Laju pertumbuhan tinggi tanaman merupakan salah satu indikator keberhasilan pupuk untuk mensuplai unsur hara bagi tanaman. Laju pertumbuhan tinggi tanaman dihitung dari pertambahan tinggi tanaman setiap minggunya. Laju pertumbuhan tinggi kangkung darat (I. reptana) disajikan pada Gambar 10. Gambar 10 menunjukkan pemberian pupuk bokashi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap laju pertumbuhan tinggi tanaman kangkung darat. Perlakuan terbaik diperoleh perlakuan P1 dengan laju pertumbuhan tinggi tertinggi dari perlakuan pupuk bokashi yaitu sebesar 9,50 cm/minggu, sedangkan laju pertumbuhan tinggi terendah terdapat pada perlakuan P0 yaitu sebasar 7,75 cm/minggu. Hasil uji Duncan menunjukkan perlakuan pupuk bokashi P1 dan P2 berbeda nyata dengan perlakuakn pupuk bokashi lainnya (P0, P3, P4), sedangkan perlakuan P1 dan P2 tidak berbeda nyata serta perlakuan P3 dan P4 tidak berbeda nyata. Hasil uji lanjut Duncan pada parameter laju pertumbuhan tinggi tanaman kangkung darat (I. reptana) disajikan pada Lampiran 8a. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan nilai rasio C/N dari setiap pupuk bokashi yang dihasilkan. Perlakuan P1 dan P2 memiliki nilai rasio C/N paling tinggi
39
yaitu 5,50 dan 5,24, sedangkan perlakuan P0 memiliki nilai rasio C/N terendah yaitu 1,69. Perlakuan P1 dan P2 memiliki nilai rasio C/N yang paling mendekati rasio C/N tanah yaitu 10 yang merupakan nilai rasio C/N yang paling optimal untuk penyerapan unsur hara dan pertumbuhan tanaman. Nilai rasio C/N menandakan tingkat kematangan pupuk. Jika nilai rasio C/N terlalu rendah karena bahan baku yang kaya nitrogen, maka karbon akan menjadi nutrien pembatas atau aktivitas penyerapan hara akan akan terhambat dan dibatasi oleh kadar karbon. Rasio C/N yang terlalu rendah juga dapat menghambat penyerapan unsur hara lainnya sehingga dapat menghambat pertumbuhan tanaman (Graves et al. 2000). Pemberian pupuk yang belum matang dapat mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi terhambat, bahkan dapat menyebabkan tanaman menjadi mati karena mikrob masih memiliki aktivitas untuk memecah bahan organik yang ada (Crawford 2003).
10,00
9,50 + 0,50d
9,00
Laju pertumbuhan (cm/minggu)
9,40 + 0,14d
9,35 + 0,38d 8,50 + 0,18c
7,75 +
8,00
8,30 + 0,21c
0,50b
7,00 6,00
5,20 + 0,45a
5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 KN KN
P0 P0
P1 P1
P2 P2
P3 P3
P4 P4
KP KP
Perlakuan
Gambar 10 Pengaruh perlakuan KN (tanpa pupuk), pupuk P0 (100% tepung ikan), pupuk P1 (30% tepung ikan), pupuk P2 (40% tepung ikan), pupuk P3 (50% tepung ikan), pupuk P4 (60% tepung ikan), dan KP (pupuk kimia) terhadap laju pertumbuhan tinggi kangkung darat (I. reptana)
40
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang berbeda nyata antara perlakuan terbaik pupuk bokashi yaitu perlakuan P 1 dengan KN (tanpa pupuk) terhadap laju pertumbuhan tinggi tanaman kangkung, namun tidak berbeda nyata dengan KP (pupuk kimia) selama masa tanam. Hal ini disebabkan perlakuan pemupukan mampu memberikan suplai unsur hara yang cukup untuk pertumbuhan tanaman. Unsur hara pada perlakuan KN diduga tidak mampu mencukupi kebutuhan unsur hara pada akhir masa tanam sehingga laju pertumbuhan tinggi menjadi menurun pada akhir masa tanam karena hanya bergantung pada unsur hara dari tanah. Asupan unsur hara yang cukup akan menopang pertumbuhan tanaman seraca optimal, namun apabila asupan unsur hara tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman, maka pertumbuhan akan terhambat bahkan mati karena kekurangan makanan (Ruhnayat 2007). 4.4.2 Tinggi panen tanaman tanaman kangkung darat (I. reptana) Laju pertumbuhan tinggi tanaman merupakan salah satu indikator keberhasilan pupuk untuk mensuplai unsur hara bagi tanaman. Tinggi panen tanaman tanaman kangkung darat (I. reptana) disajikan pada Gambar 11. Gambar 11 menunjukkan pemberian pupuk bokashi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tinggi panen tanaman kangkung darat. Perlakuan terbaik diperoleh perlakuan P1 dengan tinggi panen tertinggi dari perlakuan pupuk bokashi yaitu sebesar 38,00 cm, sedangkan bobot basah terendah terdapat pada perlakuan P0 yaitu sebesar 31 cm. Hasil uji Duncan menunjukkan perlakuan pupuk bokashi P1 dan P2 berbeda nyata dengan perlakuakn pupuk bokashi lainnya (P0, P3, P4), sedangkan perlakuan P1 dan P2 tidak berbeda nyata serta perlakuan P3 dan P4 tidak berbeda nyata. Hasil uji lanjut Duncan pada parameter tinggi panen tanaman kangkung darat (I. reptana) disajikan pada Lampiran 8b. Sama seperti pada laju pertumbuhan tinggi, perbedaan pada setiap perlakuan disebabkan oleh perbedaan nilai rasio C/N dari setiap pupuk bokashi yang dihasilkan. Perlakuan P 1 dan P2 memiliki nilai rasio C/N paling tinggi yaitu 5,50 dan 5,24, sedangkan perlakuan P0 memiliki nilai rasio C/N terendah yaitu 1,69. Perlakuan P1 dan P2 memiliki nilai rasio C/N yang paling mendekati rasio C/N tanah yaitu 10 yang merupakan nilai rasio C/N yang paling optimal untuk penyerapan unsur hara dan pertumbuhan tanaman. Nilai rasio C/N menandakan tingkat kematangan pupuk.
41
Jika nilai rasio C/N terlalu rendah karena bahan baku yang kaya nitrogen, maka karbon akan menjadi nutrien pembatas atau aktivitas penyerapan hara akan akan terhambat dan dibatasi oleh kadar karbon. Nilai rasio C/N yang terlalu rendah juga dapat menghambat penyerapan unsur hara lainnya sehingga dapat menghambat pertumbuhan tanaman (Graves et al. 2000). Pemberian pupuk yang belum matang dapat mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi terhambat, bahkan dapat menyebabkan tanaman menjadi mati karena mikrob masih memiliki aktivitas untuk memecah bahan organik yang ada (Crawford 2003).
38,00 + 2,00d 37,40 + 1,52d
40,00
37,60 + 0,55d
34,00 +
35,00
0,71c
33,20 + 0,84c
31,00 + 2,00b
Tinggi panen (cm)
30,00 25,00 20,80 + 1,79a
20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 KN KN
P0 P0
P1 P1
P2 P2
P 3 P3
P 4 P4
KP KP
Perlakuan
Gambar 11 Pengaruh perlakuan KN (tanpa pupuk), pupuk P0 (100% tepung ikan), pupuk P1 (30% tepung ikan), pupuk P2 (40% tepung ikan), pupuk P3 (50% tepung ikan), pupuk P4 (60% tepung ikan), dan KP (pupuk kimia) terhadap tinggi panen kangkung darat (I. reptana) Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang berbeda nyata antara perlakuan terbaik pupuk bokashi yaitu perlakuan P1 dengan KN (tanpa pupuk) tehadap tinggi panen tanaman kangkung, namun tidak berbeda nyata dengan KP (pupuk kimia). Hal ini disebabkan perlakuan pemupukan mampu memberikan suplai unsur hara yang cukup untuk pertumbuhan tinggi tanaman. Unsur hara pada perlakuan KN diduga tidak mampu mencukupi kebutuhan unsur hara pada akhir masa tanam sehingga laju pertumbuhan tinggi menjadi menurun
42
pada akhir masa tanam karena hanya bergantung pada unsur hara dari tanah. Asupan unsur hara yang cukup akan menopang pertumbuhan tanaman seraca optimal, namun apabila asupan unsur hara tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman, maka pertumbuhan akan terhambat bahkan mati karena kekurangan makanan (Ruhnayat 2007). 4.4.3 Jumlah daun tanaman kangkung darat (I. reptana) Pertambahan jumlah daun merurakan salah satu bentuk pertumbuhan yang diukur secara meristik (berdasarkan jumlah). Jumlah daun mengindikasikan pertumbuhan tanaman, semakin banyak jumlah daun yang dihasilkan maka pertumbuhan tanaman tersebut semakin baik. Jumlah daun tanaman kangkung darat (Ipomea reptana) disajikan pada Gambar 12.
Jumlah daun
16 KN KN (tanpa pupuk)
P0P0
14
P1P1
(30% tepung ikan)
P2P2
12
P3P4
(50% tepung ikan)
P4P4
KP KP
(pupuk kimia)
(100% tepung ikan) b b b b b b (40% tepung ikan) (60% tepung ikan) bbb b b b
10 bbbbbb
8
a
a a
6 a a
a a
a a a
4 2 0 1 MST
2 MST
3 MST
4 MST
Gambar 12 Pengaruh perlakuan KN (tanpa pupuk), pupuk P0 (100% tepung ikan), pupuk P1 (30% tepung ikan), pupuk P2 (40% tepung ikan), pupuk P3 (50% tepung ikan), pupuk P4 (60% tepung ikan), dan KP (pupuk kimia) terhadap jumlah daun kangkung darat (I. reptana) Gambar 12 menunjukkan bahwa jumlah daun bertambah setiap minggu yang menandakan bahwa pupuk bokashi yang mampu menyediakan unsur hara yang cukup untuk pertumbuhan daun tanaman kangkung darat. Jumlah daun
43
terbanyak pada perlakuan pupuk bokashi saat panen (4 MST) terdapat pada perlakuan P1 dan P2 yaitu sebanyak 14,80 daun, sedangkan jumlah daun terkecil terdapat pada perlakuan P0 yaitu sebanyak 13,60 daun. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa semua perlakuan pupuk bokashi tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap jumlah daun yang dihasilkan. Hal tersebut disebabkan pupuk bokashi yang dihasilkan mampu memberikan asupan kalium yang cukup untuk pertumbuhan jumlah daun tanaman kangkung darat. Semua perlakuan pupuk bokashi memiliki total K diatas standar yang telah ditetapkan pada SNI pupuk organik yaitu > 0,10% sehingga unsur kalium tidak menjadi faktor pembatas pertumbuhan tanaman kangkung. Kalium mampu meningkatkan perkembangan akar dan daun tanaman. Kalium juga berperan penting dalam proses pembukaan stomata yang dapat mempengaruhi laju fotosintesis tanaman (Syakir dan Gusmaini 2012). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang berbeda nyata antara perlakuan pupuk bokashi (P0, P1, P2, P3, P4) terhadap KN (tanpa pupuk) pada 3 MST dan 4 MST tehadap jumlah daun tanaman kangkung, namun tidak berbeda nyata dengan KP (pupuk kimia) selama masa tanam. . Hasil uji lanjut Duncan pada parameter jumlah daun tanaman kangkung darat (I. reptana) disajikan pada Lampiran 8c. Hal ini disebabkan perlakuan pemupukan mampu memberikan suplai unsur hara yang cukup untuk pertumbuhan daun. Unsur hara pada perlakuan KN yang hanya berasal dari tanah diduga tidak mampu mencukupi kebutuhan unsur hara yang dibutuhkan tanaman kangkung darat hingga akhir masa tanam sehingga jumlah daun yang yang tumbuh menjadi sedikit, bahkan mulai gugur saat memasuki 4 MST karena hanya bergantung pada unsur hara yang terbatas dari tanah yang tidak diberi pupuk. Asupan unsur hara yang cukup akan menopang pertumbuhan tanaman seraca optimal, namun apabila asupan unsur hara tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman, maka pertumbuhan akan terhambat bahkan mati karena kekurangan makanan (Ruhnayat 2007). Jumlah daun yang semakin banyak akan meningkatkan kemampuan fotosintesis tanaman sehingga semakin banyak cadangan makanan yang tersimpan (Subowo et al. 2010). Pembentukan daun diawali dengan adanya pembelahan sel
44
didekat permukaan apeks tajuk. Pembelahan periklinal yang diikuti pertumbuhan sel menyebabkan adanya primodial daun sebagai titik inisiasi pertumbuhan daun muda. Sedangkan pembelahan antiklinal meningkatkan luas permukaan primodial tersebut. Pertambahan jumlah dan lebar daun disebabkan oleh meristem yang menghasilkan sejumlah sel baru (Kurniasari et al 2010). 4.4.4 Bobot basah panen tanaman kangkung darat (Ipomea reptana) Bobot basah merupakan salah satu parameter yang dapat mewakili pertumbuhan tanaman. Semakin besar bobot tanaman berarti semakin banyak biomassa yang dihasilkan, dalam hal ini tentunya berkaitan dengan jumlah unsur hara yang tersedia di tanah. Bobot basah panen tanaman kangkung darat (I. reptana) disajikan pada Gambar 13.
25 19,80 + 0,76d
Bobot basah (gr)
20
18,90 + 0,89d 17,00 + 0,71c
14,00 + 0,71b
13,70 + 1,09b
15
16,6 0 + 0,89c
10
5
4,80 + 1,44a
0 KN KN
P0 P0
P1 P1
P2 P 2 Perlakuan
P3 P3
P4 P4
KP KP
Gambar 13 Pengaruh perlakuan KN (tanpa pupuk), pupuk P0 (100% tepung ikan), pupuk P1 (30% tepung ikan), pupuk P2 (40% tepung ikan), pupuk P3 (50% tepung ikan), pupuk P4 (60% tepung ikan), dan KP (pupuk kimia) terhadap bobot basah panen kangkung darat (I. reptana) Gambar 13 menunjukkan pemberian pupuk bokashi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap bobot basah panen tanaman kangkung darat. Perlakuan terbaik diperoleh perlakuan P1 dengan bobot basah panen tertinggi dari perlakuan pupuk bokashi yaitu sebesar 19,80 gr, sedangkan bobot basah terendah
45
terdapat pada perlakuan P0 yaitu sebesar 13,70 gr. Hasil uji Duncan menunjukkan perlakuan pupuk bokashi P1 dan P2 berbeda nyata dengan perlakuakn pupuk bokashi lainnya (P0, P3, P4), sedangkan perlakuan P1 dan P2 tidak berbeda nyata serta perlakuan P0 dan P4 tidak berbeda nyata. Hasil uji lanjut Duncan pada parameter tinggi panen
tanaman kangkung darat (I. reptana) disajikan pada
Lampiran 8d. Sama seperti laju petumbuhan tinggi dan tinggi panen, perbedaan hasil pada setiap perlakuan disebabkan oleh perbedaan nilai rasio C/N dari setiap pupuk bokashi yang dihasilkan. Jika nilai rasio C/N terlalu rendah karena bahan baku yang kaya nitrogen, maka karbon menjadi nutrien pembatas atau aktivitas penyerapan hara akan terhambat dan dibatasi oleh kadar karbon. Rasio C/N yang terlalu rendah juga dapat menghambat penyerapan unsur hara lainnya sehingga menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Graves et al. 2000). Perlakuan P1 dan P2 memiliki nilai rasio C/N paling tinggi yaitu 5,50 dan 5,24, sedangkan perlakuan P0 memiliki nilai rasio C/N terendah yaitu 1,69. Perlakuan P1 dan P2 memiliki nilai rasio C/N yang paling mendekati rasio C/N tanah yaitu 10 yang merupakan nilai rasio C/N yang paling optimal untuk penyerapan unsur hara dan pertumbuhan tanaman sehingga pertumbuhan bobotnya lebih optimal. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa perlakuan P1 sebagai perlakuan tebaik menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap KN dan KP. Hasil bobot basah panen perlakuan P1 lebih tinggi jika dibandingkan dengan KN dan KP. Hal ini menunjukkan bahwa pupuk bokashi dengan perlakuan P1 memiliki potensi yang cukup baik untuk menggantikan peran pupuk kimia, ditunjang oleh sifat pupuk organik yang mampu memperbaiki struktur tanah yang kurang baik. Dapat dikatakan bahwa pupuk organik merupakan salah satu bahan yang sangat penting dalam upaya memperbaiki kesuburan tanah karena terbebas dari unsur kimia yang memiliki potensi untuk merusak kesuburan tanah dalam jangka panjang. Secara kualitatif, kandungan unsur hara dalam pupuk organik tidak dapat melebihi pupuk anorganik, namun penggunaan pupuk organik secara terus-menerus dalam rentang waktu tertentu akan menjadikan kualitas tanah lebih baik disbanding pupuk anorganik. Penggunaan pupuk organik tidak akan meninggalkan residu pada hasil tanaman sehingga aman bagi kesehatan manusia (Musnamar 2003).
46
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Tepung ikan hasil olahan limbah perikanan memiliki potensi yang baik untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik bokashi karena memiliki kandungan total N dan total P yang tinggi dan memenuhi anjuran total nitrogen dan total fosfor untuk bahan baku pupuk organik. Kandungan unsur hara pada pupuk organik bokashi yang dihasilkan berbeda-beda. Kandungan total C-organik, total N, rasio C/N, total P dan total K pupuk organik yang dihasilkan masing-masing berkisar antara 13,98%-17,77%, 3,23%-7,80%, 1,69-5,50, 1,46%-2,90%, dan 0,92%-1,46%. Berdasarkan hasil penelitian, perlakuan dengan kualitas terbaik terdapat pada P1 (30% tepung ikan) dengan kandungan C-organik, dan kalium yang lebih tinggi serta nilai rasio C/N yang lebih mendekati standar dibandingkan perlakuan lain. Tetapi secara keseluruhan semua perlakuan pupuk bokashi belum memenuhi stadar
pupuk
organik SNI 19-7030-2004 karena nilai rasio C/N yang masih dibawah standar. Berdasarkan hasil uji statistik pada aplikasi pupuk organik bokashi yang dihasilkan terhadap tanaman kangkung darat (I. reptana) menunjukkan bahwa penambahan pupuk bokashi dapat meningkatkan laju pertumbuhan tinggi, tinggi panen, jumlah daun dan bobot basah panen tanaman kangkung darat. Perlakuan terbaik terdapat pada perlakuan P1 (30% tepung ikan) dengan laju pertumbuhan tinggi, tinggi panen, jumlah daun dan bobot basah panen yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan lainnya, bahkan memiliki bobot basah yang lebih baik jika dibandingkan dengan kontrol positif (pupuk kimia), sehingga memiliki potensi untuk dikembangkan. 5.2 Saran Saran yang dapat penulis sampaikan untuk penyempurnaan penelitian selanjutnya antara lain: 1. Perlu dilakukan modifikasi prosedur pembuatan tepung ikan untuk meningkatkan mutu tepung ikan yang dihasilkan, terutama untuk menurunkan kandungan lemak yang masih tinggi.
47
2. Perlu dilakukannya pengujian hara mikro untuk melengkapi data unsur hara yang dihasilkan. 3. Perlu ditentukan konsentrasi EM yang tepat untuk dekomposisi pupuk bokashi dari tepung ikan. 4. Perlu dilakukannya penambahan waktu pengomposan agar pupuk yang dihasilkan semakin matang. 5. Perlu dilakukan pemilihan tanaman yang tepat untuk aplikasi pupuk organik bokashi.
48
DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 2007. Official Methods of Analysis of AOAC International. 18th Edition. Gaithersburg: AOAC International. [Balitbang Pertanian] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Jakarta: Balitbang Pertanian. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1992. SNI 01-2891-1992 Cara Uji Makanan dan Minuman. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1996. Tepung ikan / bahan baku pakan SNI 01-2715-1996. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2004. Standar kualitas unsur makro kompos SNI 19-7030-2004. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. Bhaskar N, Mahendrakar NS. 2008. Protein hydrolysate from visceral waste proteins of catla (Catla catla): Optimization of hydrolysis conditions for a commercial neutral protease. Bioresource Technology 99: 4105-4111. Chang JI, Chen YJ. 2010. Effect of bulking agent on food waste composting. Bioresource Technology 101 : 5917-5924. Crawford JH. 2003. Composting of agricultural waste. Biocycle 42 (10) : 68-77 Dao VT, Kim JK 2011. Scaled-up bioconversion of fish waste to liquid fertilizer using a 5 L ribbon-type reactor. Journal of Environmental Management 92: 2441-2446. Djaja W. 2008. Langkah Jitu Membuat Kompos dari Kotoran Ternak dan Sampah. Bandung: Agromedia Pustaka. Ginting P. 2007. Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Limbah Industri. Bandung: Yrama Widya. Gomez AG, Bernal MP, Roig A. 2002. Growth of ornamental plants in two composts prepared from agroindustrial wastes. Journal of Bioresource Technology 83: 81-87. Goyal S, Dhull SK, Kapoor KK. 2005. Chemical and biological change during composting of different organic waste and assessment of compost maturity. Bioresource Technology 96 : 1584-1591. Graves RE, Hattemer GM, Stettler D, Krider JN, Dana C. 2000. National Engineering Handbook. . United States: Department of Agriculture.
49
Hadisuwito S. 2011. Membuat Pupuk Kompos Cair. Jakarta: AgroMedia Pustaka. Hidayati YA, Harlia E, Marlina ET. 2008. Analisis kandungan N, P, dan K pada lumpur hasil ikutan gasbio (sludge) yang terbuat dari feses sapi perah. Dalam: Seminar Nasional Teknologi Peternakan 2008. Irianto HE, Giyatmi S. 2002. Teknologi Pengolahan Hasil Perairan. Jakarta: Universitas Terbuka. Isroj. 2007. Pengomposan Limbah Padat Organik. Bogor: Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Jenie BSL, Rahayu WP. 1993. Penanganan Limbah Industri Pangan. Yogyakarta: Kanisus. Kurniasari AM, Adisyahputra, Rosman R. 2010. Pengaruh kekeringan pada tanah bergaram NaCl terhadap pertumbuhan tanaman nilam. Buletin Littro 21 (1): 18-27 Mayer J, Scheid S, Widmer F, Fließbach A, Oberholzer HR. 2010. How effective are ‘Effective microorganisms (EM)’? Results from a field study in temperate climate. Applied Soil Ecology 46: 230-239. McKinley VL, Vetsal JR, Eralp AE. 1985. Microbial activity in composting. Biocicyle 28 (10) : 47-60. Muhammad H. 2007. Pengaruh pupuk fosfat dan kalium terhadap hasil dan karakteristik buah jeruk keprok selayar. Jurnal Agrivigor 6(2): 122-132. Musnamar EI. 2003. Pupuk Organik. Jakarta: Penebar Swadaya. Mustari K. 2004. Penggunaan pupuk bokashi pada tanaman jagung dalam rangka pengembangan usaha tani ramah lingkungan. Jurnal Agrivigor 4 (1) : 74-81 Nasir. 2008. Teknik pembuatan bokashi. www.deptan.go.id [20 Maret 2012]. Ndegwa PM, Thomson SA. 2000. Effect of C-to-N ratio on vermicomposting of biosolid. Bioresource Technology 75: 7-12. Poernomo A. 1997. The utilization of cowtail ray viscery [Tesis]. Sidney: The University of New South Wales. Prihadi TH. 2005. Pengelolaan budidaya ikan secara lestari di waduk (studi kasus di perairan Waduk Cirata, Jawa Barat) [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
50
Ruhnayat A. 2007. Penentuan kebutuhan pokok unsur hara n, p, k untuk pertumbuhan tanaman panili. Buletin Littro 18 (1): 49-59. Sani K. 2007. Pembuatan Bokashi. Lembang: BPPP Lembang. Sarbini A. 2008. Pembuatan bokashi. www.rumahtani.com [20 Maret 2012]. Satya A, Sunanisari S, Ramadaniya R, Mulyana E. 2010. Pola distribusi dan laju akumulasi karbon organik dan bahan organik dalam sedimen serta hubungannya dengan padatan tersuspensi di Situ Cibitu. Limnotek 17 (1): 71-84 Sembiring T. 2007. Perubahan kandungan P tersedia, rasio C/N serta nilai kapasitas tukar kation pada perubahan kompos limbah sawit menjadi bokashi menggunakan EM-4. Jurnal Sains Kimia 11 (1): 42-48. Subaedah ST. 2007. Pemanfaatan jamur mikoriza dalam meningkatkan ketersediaan hara fosfat dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan bibit jarak pagar. Jurnal Agrivigor 6(2): 174-177. Subowo YB, Sugiharto A, Suliasih, Widawato S. 2010. Pengujian pupuk hayati kalbar untuk meningkatkan produktivitas tanaman kedelai (Glicine max) var. baluran. Cakara Tani XXV (1): 112-118. Sukarno. 2001. Produksi tepung ikan yang berkualitas dari hasil samping/limbah industri perikanan secara enzimatik melalui plastein [Laporan Akhir]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Supadma AAN, Arthagama DM. 2008. Uji formulasi kualitas pupuk kompos yang bersumber dari sampah organik dengan penambahan limbah ternak ayam, sapi, babi, dan tanaman pahitan. Jurnal Bumi Lestari 8 (2): 113-121. Susila AD. 2006. Panduan Budidaya Tanaman Sayuran. Bogor: Departemen Agronomi dan Holtikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sutanto R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Jakarta: Kanisius. Suwahyono A. 2011. Petunjuk Penggunaan Pupuk Organik Secara Efektif dan Efisien. Jakarta: Penebar Swadaya. Suyono I. 2007. Kematian ikan. www.vaksinikan.com [20 Maret 2012]. Syakir M, Gusmaini. 2012. Pengaruh penggunaan sumber pupuk kalium terhadap produksi dan mutu minyak tanaman nilam. Jurnal Littri 18 (2): 60-65. Wei YS, Fan YB, Wang MJ, Wang JS. 2000. Composting and compost application in China. Resource,Conservation and Recycling 30 : 277-300.
51
Yulianto. 2011. Upwelling matikan 150 ton ikan di Cirata. www.kompas.com [20 Maret 2011]. Yuliarti N. 2009. 1001 Cara Menghasilkan Pupuk Organik. Yogyakarta: Lily Publisher.
52
LAMPIRAN
53
Lampiran 1 Data perhitungan analisis proksimat bahan baku a. Kadar air Sampel
W CAWAN
W SAMPEL
W AKHIR
W KERING
Tepung ikan
11,9831
2,0000
13,8316
1,8485
Kadar air 7,58%
17,3395
2,0008
19,1876
1,8481
7,63%
19,4568
2,0014
21,2493
1,7925
10,44%
18,9166
2,0005
20,7056
1,7890
10,57%
13,1575
2,0072
13,7345
0,5770
71,25%
11,9821
2,0076
12,5485
0,5664
71,79%
Dedak padi
Ampas kelapa
Rata-rata
SD
7,60%
0,04
10,51%
0,09
71,52%
0,38
b. Kadar abu Sampel
W CAWAN
W SAMPEL
W AKHIR
Kadar abu
Rata-rata
SD
Tepung ikan
25,3038
2,9997
25,9681
22,15%
22,34%
0,28
39,6134
3,0045
40,2906
22,54%
24,9336
3,0052
25,2825
11,61%
11,16%
0,64
24,4381
3,0010
24,7593
10,70%
19,9046
3,0026
19,9120
0,25%
0,24%
0,01
22,0453
3,0011
22,0523
0,23%
Dedak padi
Ampas kelapa
c. Kadar protein Sampel
W sampel
V sampel
V blanko
N HCl
fp
fk
% Protein
Dedak Padi
0,5273
8,00
0,50
0,0117
20
6,25
29,12%
0,5135
8,00
0,50
0,0117
20
6,25
29,91%
0,5176
14,55
0,50
0,0117
20
6,25
55,58%
0,5168
14,55
0,50
0,0117
20
6,25
55,66%
0,5222
2,00
0,50
0,0117
20
6,25
5,88%
0,5102
1,95
0,50
0,0117
20
6,25
5,82%
Tepung ikan
Ampas kelapa
Ratarata 29,51%
0,56
55,62%
0,06
5,85%
0,04
SD
54
d. Kadar lemak Sampel
W labu
W sampel
W akhir
% Lemak
Rata-rata
SD
Tepung ikan
99,4831
1,8944
99,7990
16,68%
16,69%
0,02
99,6127
1,6273
99,8846
16,71%
99,7333
1,7929
99,9528
12,24%
12,39%
0,21
99,4759
1,7421
99,6942
12,53%
109,2150
1,7693
109,2839
3,89%
3,75%
0,19
105,8716
3,62%
Dedak padi
Ampas kelapa
105,8125
1,6345
55
Lampiran 2 Data perhitungan hara makro bahan baku a. C-organik Sampel
Kadar Air 7,60%
Basis
W sampel
V sampel
V blanko
N KMnO4
fp
% Carbon
1,1714 1,1345
7,90 7,90
1,60
0,1055
50
8,51%
1,60
0,1055
50
8,79%
7,90 7,90
1,60
0,1055
50
9,21%
7,60%
1,1714 1,1345
1,60
0,1055
50
9,51%
10,51%
1,0056
8,20
1,60
0,1055
50
10,39%
10,51%
1,1124
9,00
1,60
0,1055
50
10,53%
10,51%
1,0056
8,20
1,60
0,1055
50
11,61%
10,51%
1,1124
9,00
1,60
0,1055
50
11,76%
71,52%
1,2465
7,70
1,60
0,1055
50
7,74%
71,52%
1,1542
7,40
1,60
0,1055
50
7,95%
Basah
7,60%
Ratarata
SD
8,65%
0,20
9,36%
0,21
10,46%
0,10
11,68%
0,11
7,85%
0,14
Ratarata
SD
Tepung ikan 7,60%
Kering
Basah Dedak padi Kering
Ampas kelapa
Kering
b. Total N Sampel
Basis Basah
Kadar air 10,51%
W sampel
V sampel
V blanko
N HCl
fp
%N
0,5273
8
0,5
0,0117
20
4,66%
10,51%
0,5135
8
0,5
0,0117
20
4,78%
10,51%
0,5273
8
0,5
0,0117
20
5,21%
10,51%
0,5135
8
0,5
0,0117
20
5,35%
7,60%
0,5176
14,55
0,5
0,0117
20
8,89%
7,60%
0,5168
14,55
0,5
0,0117
20
8,91%
7,60%
0,5176
14,55
0,5
0,0117
20
9,62%
7,60%
0,5168
14,55
0,5
0,0117
20
9,64%
71,52%
0,5222
2
0,5
0,0117
20
0,94%
71,52%
0,5168
1,95
0,5
0,0117
20
0,92%
4,72%
0,08
Dedak Padi Kering
Basah
5,28%
8,90%
0,10
0,01
Tepung ikan Kering
Ampas Kelapa
Kering
9,63%
0,93%
0,01
0,01
56
c. Total P
0,141
ppm spl 1,08
180,33
322,01
Kadar P (%) 0,03%
0,56
0,136
1,04
173,50
309,82
0,03%
Dedak padi
0,586
0,387
3,10
3098,36
5287,30
0,53%
0,586
0,391
3,13
3131,15
5343,26
0,53%
Tepung Ikan
0,519
0,414
3,32
16598,36
31981,43
3,20%
0,519
0,429
3,44
17213,11
33165,92
3,32%
Bobot spl
Absorbans
ppm spl
ppm splxFP
ppm splxFP/gr spl
Kadar K (%)
0,56
0,7217
1,41
3514,44
6275,79
0,63%
0,56
0,7135
1,39
3473,61
6202,87
0,62%
0,56
0,7231
1,41
3521,41
6288,24
0,63%
0,586
0,6569
1,28
3191,73
5446,64
0,54%
0,586
0,6684
1,30
3249,00
5544,38
0,55%
0,586
0,6388
1,24
3101,59
5292,82
0,53%
0,519
0,3309
0,63
1568,23
3021,63
0,30%
0,519
0,3313
0,63
1570,22
3025,47
0,30%
0,519
0,3277
0,62
1552,29
2990,93
0,30%
Sampel Ampas Kelapa
Bobot spl 0,56
Absorbans
ppm spl xFP
ppm splxFP/gr spl
Ratarata
SD
0,03%
0,00
0,53%
0,00
3,26%
0,08
d. Total K Sampel Ampas Kelapa
Dedak padi
Tepung Ikan
Ratarata
SD
0,63%
0,01
0,54%
0,01
0,30%
0,00
57
Lampiran 3 Data perubahan pH selama proses pengomposan Hari ke0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Perlakuan P0 6,80 6,80 6,40 6,20 6,00 5,80 5,80 6,00 6,20 6,20 6,20 6,20 6,20 6,20 6,30 6,00 6,00 6,20 6,40
P1 6,80 6,80 6,00 5,40 4,00 4,00 4,60 5,00 5,60 5,80 5,50 6,00 6,30 6,60 6,70 6,70 6,80 6,80 6,80
P2 6,80 6,80 6,00 5,50 4,20 4,20 4,70 5,00 5,60 5,80 5,20 6,00 6,50 6,80 6,80 6,70 6,80 6,80 6,80
P3 6,80 6,80 6,20 5,70 4,80 4,80 5,00 5,40 5,80 5,80 5,60 5,80 6,40 6,60 6,60 6,70 6,80 6,80 6,80
P4 6,80 6,80 6,40 5,90 5,40 5,00 5,30 5,50 5,80 5,80 5,60 6,10 6,20 6,60 6,60 6,70 6,80 6,80 6,80
58
Lampiran 4 Data perubahan suhu selama proses pengomposan Hari ke0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
P0 28 28 28 30 31 33 34 34 31 29 29 29 29 31 32 36 32 32 32
P1 28 31 36 40 45 42 41 40 36 35 34 39 39 39 39 35 34 30 29
Perlakuan P2 28 29 36 39 44 42 39 39 37 34 33 40 39 38 38 35 33 30 29
P3 28 29 34 40 43 42 40 37 37 33 33 38 38 38 38 35 35 32 31
P4 29 29 34 39 41 41 40 39 35 33 33 40 38 38 36 35 33 33 31
59
Lampiran 5 Data kadar air pupuk organik bokashi Sampel
W CAWAN
W SAMPEL
W AKHIR
W KERING
Kadar air
Rata-rata
SD
P0
17,1886
2,0015
18,7415
1,5529
22,41%
22,32%
0,15
17,1279
2,0070
18,6889
1,5610
22,22%
17,1061
2,0085
18,4099
1,3038
35,09%
35,63%
0,20
17,3129
2,0059
18,5931
1,2802
36,18%
17,5033
2,0052
18,8119
1,3086
34,74%
34,74%
0,01
17,4541
2,0078
18,7642
1,3101
34,75%
17,2081
2,0052
18,5410
1,3329
33,53%
33,54%
0,02
17,3916
2,0090
18,7264
1,3348
33,56%
13,1586
2,0010
14,5468
1,3882
30,62%
30,24%
0,54
18,9174
2,0041
20,3230
1,4056
29,86%
P1
P2
P3
P4
60
Lampiran 6 Data analisis unsur hara makro pupuk organik bokashi a. C-organik Sampel
Basis Basah
Kadar Air 22,32%
W sampel
V sampel
V blanko
N KMnO4
fp
% Carbon
1,0318
10,35
2,90
0,1055
50
11,43%
22,32%
1,0245
10,35
2,90
0,1055
50
11,51%
22,32%
1,1714
10,35
2,90
0,1055
50
12,96%
22,32%
1,1345
10,35
2,90
0,1055
50
13,38%
35,63%
1,0400
10,35
2,90
0,1055
50
11,34%
35,63%
1,0213
10,35
2,90
0,1055
50
11,54%
35,63%
1,0400
10,35
2,90
0,1055
50
17,61%
35,63%
1,0213
10,35
2,90
0,1055
50
17,93%
34,74%
1,0400
10,40
2,90
0,1055
50
11,41%
34,74%
1,0213
10,40
2,90
0,1055
50
11,62%
34,74%
1,0400
10,40
2,90
0,1055
50
17,49%
34,74%
1,0213
10,40
2,90
0,1055
50
17,81%
33,54%
1,0344
10,35
2,90
0,1055
50
11,40%
33,54%
1,0231
10,35
2,90
0,1055
50
11,52%
33,54%
1,0344
10,35
2,90
0,1055
50
17,15%
33,54%
1,0231
10,35
2,90
0,1055
50
17,34%
30,24%
1,0348
10,40
2,90
0,1055
50
11,47%
30,24%
1,0643
10,40
2,90
0,1055
50
11,15%
30,24%
1,0348
10,40
2,90
0,1055
50
16,44%
30,24%
1,0643
10,40
2,90
0,1055
50
15,99%
Ratarata
SD
11,47%
0,06
13,17%
0,30
11,44%
0,14
17,77%
0,23
11,52%
0,15
17,65%
0,23
11,46%
0,08
17,24%
0,13
11,31%
0,23
16,21%
0,32
P0 Kering
Basah P1 Kering
Basah P2 Kering
Basah P3 Kering
Basah P4 Kering
61
b. Total N Sampel
Basis Basah
Kadar Air 22,32%
W sampel
V sampel
V blanko
N HCl
fp
%N
0,5156
10,25
0,75
0,0117
20
6,04%
22,32%
0,5118
10,25
0,75
0,0117
20
6,08%
22,32%
0,5156
10,25
0,75
0,0117
20
7,77%
22,32%
0,5118
10,25
0,75
0,0117
20
7,83%
35,63%
0,5107
4
0,75
0,0117
20
2,08%
35,63%
0,5134
4
0,75
0,0117
20
2,07%
35,63%
0,5107
4
0,75
0,0117
20
3,24%
35,63%
0,5134
4
0,75
0,0117
20
3,22%
34,74%
0,5174
4,2
0,75
0,0117
20
2,18%
34,74%
0,5119
4,2
0,75
0,0117
20
2,21%
34,74%
0,5174
4,2
0,75
0,0117
20
3,35%
34,74%
0,5119
4,2
0,75
0,0117
20
3,38%
33,54%
0,5122
5
0,75
0,0117
20
2,72%
33,54%
0,5118
5
0,75
0,0117
20
2,72%
33,54%
0,5122
5
0,75
0,0117
20
4,09%
33,54%
0,5118
5
0,75
0,0117
20
4,09%
30,24%
0,5171
7
0,75
0,0117
20
3,96%
30,24%
0,5121
7
0,75
0,0117
20
4,00%
30,24%
0,5171
7
0,75
0,0117
20
5,68%
30,24%
0,5121
7
0,75
0,0117
20
5,73%
Ratarata
SD
6,06%
0,01
7,80%
0,04
2,08%
0,01
3,23%
0,01
2,20%
0,02
3,37%
0,02
2,72%
0,00
4,09%
0,00
3,98%
0,03
5,70%
0,04
P0 Kering
Basah P1 Kering
Basah P2 Kering
Basah P3 Kering
Basah P4 Kering
62
c. Total P Sampel P0
P1
P2
P3
P4
Bobot spl 1,609
0,572
ppm spl 4,64
46422,76
28851,94
2,89%
1,609
0,578
4,69
46910,57
29155,11
2,92%
1,336
0,468
3,80
18983,74
14209,39
1,42%
1,336
0,493
4,00
20000,00
14970,06
1,50%
1,406
0,707
5,74
28699,19
20411,94
2,04%
1,406
0,746
6,06
30284,55
21539,51
2,15%
1,316
0,754
6,12
30609,76
23259,69
2,33%
1,316
0,758
6,15
30772,36
23383,25
2,34%
1,275
0,713
5,79
28943,09
22700,46
2,27%
1,275
0,780
6,33
31666,67
24836,60
2,48%
ppm splxFP
ppm splxFP/gr spl
Kadar K (%)
Absorbans
ppm splxFP
ppm splxFP/gr spl
Kadar P (%)
Ratarata
SD
2,90%
0,02
1,46%
0,06
2,10%
0,08
2,33%
0,01
2,38%
0,15
Ratarata
SD
0,92%
0,00
1,48%
0,02
1,19%
0,01
1,15%
0,01
1,05%
0,01
d. Total K Sampel
P0
P1
P2
P3
P4
Bobot spl 1,609
0,7568
ppm spl 1,48
14756,97
9171,52
0,92%
1,609
0,7614
1,48
14848,61
9228,47
0,92%
1,609
0,7589
1,48
14798,80
9197,52
0,92%
1,336
1,0061
1,97
19723,11
14762,81
1,48%
1,336
1,0227
2,01
20053,78
15010,32
1,50%
1,336
1,0025
1,97
19651,39
14709,13
1,47%
1,406
0,8584
1,68
16780,88
11935,19
1,19%
1,406
0,8511
1,66
16635,46
11831,76
1,18%
1,406
0,8614
1,68
16840,64
11977,69
1,20%
1,316
0,7773
1,52
15165,34
11523,81
1,15%
1,316
0,7767
1,52
15153,39
11514,73
1,15%
1,316
0,7825
1,53
15268,92
11602,53
1,16%
1,275
0,6906
1,34
13438,25
10539,80
1,05%
1,275
0,6846
1,33
13318,73
10446,06
1,04%
1,275
0,6876
1,34
13378,49
10492,93
1,05%
Absorbans
63
Lampiran 7 Data ukur tanaman kangkung (Ipomea reptana)
a. Data ukur mingguan Perlakuan
KN
P0
P1
P2
P3
P4
Ulangan
MST 1 Tinggi Jumlah Batang Daun
MST 2 Tinggi Jumlah Batang Daun 7 10
MST 3 Tinggi Jumlah Batang Daun 6 16
1
4
4
2
4
4
11
7
17
3
4
4
12
7
MST 4 Tinggi Jumlah Batang Daun 19
5
4
21
5
18
8
23
6
4
4
4
10
7
16
8
19
5
5
4
4
12
6
18
8
22
7
1
5
4
14
8
20
10
29
14
2
5
4
16
8
23
10
33
12
3
5
4
13
7
21
10
29
13
4
6
4
15
8
24
10
33
14
5
5
4
14
7
24
10
31
15
1
6
4
18
8
28
12
39
17
2
6
4
17
7
29
10
40
13
3
6
6
16
8
28
10
39
14
4
6
4
16
7
26
11
37
15
5
7
5
18
8
28
10
35
15
1
6
4
16
8
27
12
35
18
2
6
4
16
8
28
10
37
13
3
7
6
18
7
28
10
38
14
4
6
4
18
8
28
11
39
15
5
5
5
18
8
27
10
38
14
1
6
4
15
7
26
11
33
14
2
6
4
16
8
27
11
34
15
3
6
4
15
8
27
10
35
15
4
5
4
13
8
25
11
34
14
5
5
4
15
7
25
10
34
14
1
5
4
14
8
24
10
34
13
2
5
4
13
8
24
10
33
12
3
6
4
13
8
25
10
34
15
4
6
4
12
7
24
10
32
14
5
5
4
14
7
25
11
33
15
64
KP
1
6
4
18
8
28
11
38
15
2
6
4
17
7
27
10
37
13
3
7
4
18
8
27
11
38
15
4
6
5
18
7
27
10
37
15
5
7
4
18
8
29
10
38
14
65
b. Data ukur panen Perlakuan
KN
P0
P1
P2
P3
P4
KP
Ulangan
Bobot (gr)
Laju Pertumbuhan (cm/minggu)
1
3,00
4,75
2
6,00
5,25
3
5,50
5,75
4
3,50
4,75
5
6,00
5,50
1
14,00
7,25
2
14,00
8,25
3
15,00
7,25
4
12,00
8,25
5
13,50
7,75
1
21,00
9,75
2
20,00
10,00
3
19,50
9,75
4
19,00
9,25
5
19,50
8,75
1
20,00
8,75
2
18,00
9,25
3
19,50
9,50
4
18,00
9,75
5
19,00
9,50
1
16,00
8,25
2
17,00
8,50
3
18,00
8,75
4
17,00
8,50
5
17,00
8,50
1
15,00
8,50
2
14,00
8,25
3
14,00
8,50
4
13,00
8,00
5
14,00
8,25
1
16,00
9,50
2
17,00
9,25
3
18,00
9,50
4
16,00
9,25
5
16,00
9,50
66
Lampiran 8 Hasil sidik ragam aplikasi pupuk bokashi pada tanaman kangkung darat (Ipome reptana) a. Laju pertumbuhan Perlakuan KN P0 P1 P2 P3 P4 KP
Laju Pertumbuhan tinggi (cm/minggu) 5,20 ± 0,45a 7,75 ± 0,50b 9,50 ± 0,50d 9,35 ± 0,38d 8,50 ± 0,18c 8,30 ± 0,21c 9,40 ± 0,14d ANOVA
Laju_pertumbuhan Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
68.518
6
11.420
3.750
28
.134
72.268
34
F 85.267
Laju_pertumbuhan a
Duncan
Perlakuan
Subset for alpha = 0.05 N
1
2
3
4
KN
5
5.2000
P0
5
P4
5
8.3000
P3
5
8.5000
P2
5
9.3500
KP
5
9.4000
P1
5
9.5000
7.7500
dimension1
Sig.
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.
.395
.547
Sig. .000
67
b. Tinggi panen Perlakuan KN P0 P1 P2 P3 P4 KP
Tinggi panen (cm) 20,80 ± 1,79a 31,00 ± 2,00b 38,00 ± 2,00d 37,40 ± 1,52d 34,00 ± 0,71c 33,20 ±0,84c 37,60 ± 0,55d ANOVA
Tinggi Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
F
1096.286
6
182.714
60.000
28
2.143
1156.286
34
85.267
Tinggi a
Duncan
Perlakuan
Subset for alpha = 0.05 N
1
2
3
4
KN
5
20.8000
P0
5
P4
5
33.2000
P3
5
34.0000
P2
5
37.4000
KP
5
37.6000
P1
5
38.0000
31.0000
dimension1
Sig.
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.
.395
.547
Sig. .000
68
c. Jumlah daun Perlakuan KN P0 P1 P2 P3 P4 KP
1 MST 4,00 ± 0,00a 4,00 ± 0,00 a 4,60 ± 0,89 a 4,60 ± 0,89 a 4,00 ± 0,00 a 4,00 ± 0,00 a 4,20 ± 0,45 a
Jumlah daun 2 MST 3 MST a 6,80 ± 0,45 6,80 ± 1,79 a 7,60 ± 0,55b 10,00 ± 0,00 b 7,60 ± 0,55 b 10,60 ± 0,89 b 7,80 ± 0,45 b 10,60 ± 0,89 b 7,60 ± 0,55 b 10,60 ± 0,55 b 7,60 ± 0,55 b 10,20 ± 0,45 b 7,60 ± 0,55 b 10,40 ± 0,55 b
4 MST 5,60 ± 0,89 a 13,60 ± 1,14 b 14,80 ± 1,48 b 14,80 ± 1,92 b 14,40 ± 0,55 b 13,80 ± 1,30 b 14,40 ± 0,89 b
ANOVA Sum of Squares MST_1
MST_2
MST_3
MST_4
df
Mean Square
Between Groups
2.400
6
.400
Within Groups
7.200
28
.257
Total
9.600
34
Between Groups
3.143
6
.524
Within Groups
7.600
28
.271
Total
10.743
34
Between Groups
57.143
6
9.524
Within Groups
22.400
28
.800
Total
79.543
34
330.686
6
55.114
43.200
28
1.543
373.886
34
Between Groups Within Groups Total
F
Sig.
1.556
.197
1.930
.111
11.905
.000
35.722
.000
69
MST_1 a
Duncan
Perlakuan
Subset for alpha = 0.05 N
1
KN
5
4.0000
P0
5
4.0000
P3
5
4.0000
P4
5
4.0000
KP
5
4.2000
P1
5
4.6000
P2
5
4.6000
dimension1
Sig.
.114
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.
MST_2 a
Duncan
Perlakuan
Subset for alpha = 0.05 N
1
KN
5
6.8000
P0
5
7.6000
P1
5
7.6000
P3
5
7.6000
P4
5
7.6000
KP
5
7.6000
P2
5
7.8000
dimension1
Sig.
.634
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.
70
MST_3 a
Duncan
Perlakuan
Subset for alpha = 0.05 N
1
2
KN
5
6.8000
P0
5
10.0000
P4
5
10.2000
KP
5
10.4000
P1
5
10.6000
P2
5
10.6000
P3
5
10.6000
dimension1
Sig.
1.000
.360
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.
MST_4 a
Duncan
Perlakuan
Subset for alpha = 0.05 N
1
2
KN
5
5.6000
P0
5
13.6000
P4
5
13.8000
P3
5
14.4000
KP
5
14.4000
P1
5
14.8000
P2
5
14.8000
dimension1
Sig.
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.
.189
71
d. Bobot basah panen Perlakuan KN P0 P1 P2 P3 P4 KP
Bobot basah panen (gr) 4,80 ± 1,44a 13,70 ± 1,09b 19,80 ± 0,76d 18,90 ± 0,89d 17,00 ± 0,71c 14,00 ± 0,71b 16,60 ± 0,89c ANOVA
Bobot Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
F
757.671
6
126.279
25.800
28
.921
783.471
34
137.047
Bobot a
Duncan
Perlakuan
Subset for alpha = 0.05 N
1
2
3
4
KN
5
4.8000
P0
5
13.7000
P4
5
14.0000
KP
5
16.6000
P3
5
17.0000
P2
5
18.9000
P1
5
19.8000
dimension1
Sig.
1.000
.625
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.
.515
.149
Sig. .000
72
Lampiran 9 Dokumentasi Penelitian
Limbah ikan Gambar bahan baku tepung ikan
Tepung ikan
Dedak padi
Molase
Ampas kelapa
EM4
Gambar bahan baku pupuk organik bokashi
73
Pupuk P1
Pupuk P0
Pupuk P3
Pupuk P2
Pupuk P4
Gambar pupuk organik bokashi sebelum pengomposan
Pupuk P0
Pupuk P1
Pupuk P3
Pupuk P2
Pupuk P4
Gambar pupuk organik bokashi setelah pengomposan
74
Gambar tanaman kangkung darat (Ipomea reptana) hasil penanaman