TINGKAT KERENTANAN ZONA PANTAI TERHADAP GELOMBANG BADAI Zouhrawaty A. Ariff1 , Eldina Fatimah1 , dan Syamsidik1 1)
Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala dan Peer Group Coastal TDMRC Unsyiah Darussalam, Banda Aceh, Indonesia 23111
[email protected], eldina @tdmrc.org,
[email protected]
ABSTRAK Makalah ini merupakan hasil kajian estimasi kerentanan pantai terhadap pengaruh gelombang badai dalam skala lokal yang diteliti terhadap pantai utara Kota Banda Aceh. Kajian kerentanan pantai perlu dilakukan terhadap kejadian badai yang setiap tahun selalu terjadi, agar pemerintah dapat menyusun kebijakan managemen zona pantai bagi keberlanjutan pengembangan pantai dan panduan dalam menangani problem yang terkait dengan kejadian gelombang badai. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan sebuah pendekatan secara keilmuan terhadap kajian kerentanan pantai-pantai di Aceh yang berupa matriks kerentanan pantai dan indeks kerentanan pantai terhadap kejadian gelombang badai dengan mengadopsi metode yang sudah diterapkan di Negara Turki (Jimenez dan Mendoza, 2008). Hasil evaluasi dalam kajian ini hanya terhadap kerentanan fisik, sementara penilaian kerentanan dari faktor sosial ekonomi dan lingkungan belum menjadi target kajian. Kajian yang dilakukan di dalam penelitian ini meliputi: penentuan karakteristik dari gayagaya gelombang akibat badai yang terjadi yang dibagi dalam lima kelas; mengadakan observasi dan pengukuran di lapangan terkait dengan impak fisik dari gelombang badai seperti kajian perubahan garis pantai; melakukan karakteristik zona pantai dengan melakukan pengumpulan data regional terhadap pantai terkait yang digunakan sebagai fitur dasar dan survey lokal untuk mendapatkan informasi topografi detail di lokasi studi; mendefinisikan indeks kerentanan pantai terhadap badai dengan menggunakan suatu parameter tengah untuk tinggi genangan dan erosi; dan penilaian kerentanan pantai sekitar pantai muara sungai Krueng Aceh. Penilaian kerentananan ini diinterpretasikan dalam bentuk index tinggi genangan atau banjir (FVI) dan erosi (EVI) serta indeks kerentanan pantai (CVI) yang merupakan kombinasi dari FVI dan EVI. Hasil kajian yang diperoleh pada kawasan pantai Kota Banda Aceh dari Muara Krueng Aceh sampai Muara Kanal Banjir Krueng Aceh mempunyai tingkat index yang bervariasi dari sangat rendah ke tingkat sangat tinggi untuk ke tiga bentuk index kerentanan yang diamati terhadap lima kelas kejadian gelombang badai. Kata kunci: indeks kerentanan banjir, indeks kerentanan erosi, indeks kerentanan pantai
1.
PENDAHULUAN
Pantai selalu menyesuaikan bentuk profilnya sehingga mampu menghancurkan energi gelombang yang datang. Penyesuaian bentuk ini merupakan tanggapan dinamis alami pantai terhadap laut terutama terhadap gerak gelombang, yang terdiri dari dua kondisi yaitu terhadap gelombang normal dan gelombang badai. Impak gelombang badai di zona pantai atau muara dapat memicu respon morfodinamik seperti erosi pantai dan gosongan pasir, maupun mengakibatkan genangan banjir di daerah dataran rendah. Bila hal ini terjadi di zona urbanisasi atau yang padat penduduknya, maka biasanya akan disertai dengan kerusakan infrastruktur dan mengganggu penggunaan pantai dan sumber daya yang ada. Pemahaman sumber penyebab potensi bencana yang ada diperlukan untuk menyikapi hal ini. Selain itu diperlukan juga pengadaan evaluasi besaran yang diharapkan dari proses yang memicu proses kerusakan sepanjang pantai dan muara, dan tentu saja terlebih dahulu perlu melakukan kajian dan evaluasi tentang kemungkinan kejadian dari bencana. Contoh khusus adalah perlunya mengkaji perubahan cuaca yang ekstrim (kejadian badai) di suatu daerah. Ditinjau dari letak secara geografis, badai yang mempengaruhi perairan pantai di sekitar Provinsi Aceh, atau lebih spesifik lagi sesuai dengan objek kajian ini yaitu pantai sekitar Muara Krueng Aceh di Kota Banda Aceh adalah North Indian Ocean Tropical Cyclone dan South Indian Ocean Tropical Cyclone. Lebih spesifik lagi North Indian Ocean Tropical Cyclone mempunyai impak secara tidak langsung pada perairan pantai Kota Banda Aceh terutama pada kejadian badai yang bersumber di Laut Andaman (Gambar 1).
SEMINAR NASIONAL-1 BMPTTSSI - KoNTekS 5 Universitas Sumatera Utara, Medan - 14 Oktober 2011
H-159
Keairan
Gambar 1. Kejadian Badai Tropical North Indian Ocean Cyclone tahun 1995 (Badai 04) Sumber: Annual Tropical Cyclone Report – 1995 Masalah yang dihadapi di Daerah Aceh yang memiliki garis pantai sepanjang 1800 km dan sebagiannya merupakan zona ‘low-laying’ , secara fisik, ekologi, dan sosial ekonomi merupakan areal yang sangat penting. Kawasan ini sudah harus siap pula menghadapi impak dari perubahan muka air laut, perubahan iklim, dan kejadian bencana alam khususnya pengaruh kejadian badai, disamping usaha meningkatkan mitigasi. Terkait dengan pantai di Banda Aceh yang menjadi objek dalam kajian ini, pemerintah Aceh sebenarnya sudah mengantisipasi dengan melakukan perlindungan pantai dengan pemasangan batu pelindung (revetment) dan hanya sebagian kecil saja pantainya yang terekspose langsung dengan gelombang. Namun demikian, perlindungan pantai dengan revetment tersebut masih juga rawan terhadap kemungkinan kerusakan karena pengaruh badai. Pada saat terjadinya badai, banyak sedimen pembentuk pantai terangkut dari pantai ke laut lepas dan sulit kembali lagi ke pantai, sehingga kemungkinan runtuhnya bangunan dapat saja terjadi. Bahkan dampak yang mungkin timbul adalah, hilangnya pantai akibat adanya bangunan pelindung. Kajian kerentanan pantai yang telah diproteksi perlu dilakukan sehingga dapat diperoleh penjelasan tentang bagaimana pengaruh badai terhadap bangunan yang ada di sepanjang pantai melalui informasi indeks kerentanan. Kajian kerentanan pantai perlu dilakukan terhadap kejadian badai yang setiap tahun selalu terjadi, agar pemerintah dapat menyusun kebijakan managemen zona pantai bagi keberlanjutan pengembangan pantai dan panduan dalam menangani problem yang terkait dengan kejadian gelombang badai. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan sebuah pendekatan secara keilmuan terhadap kajian kerentanan pantai-pantai di Aceh yang berupa matriks kerentanan pantai dan indeks kerentanan pantai terhadap kejadian gelombang badai ataupun gelombang maksimum dengan mengadopsi metode yang sudah diterapkan di Negara Turki (Jimenez dan Mendoza, 2008). Hasil evaluasi dalam kajian ini hanya terhadap kerentanan fisik, sementara penilaian kerentanan dari faktor sosial ekonomi dan lingkungan belum menjadi target kajian. Hasil dari kajian kerentanan pantai di Kota Banda Aceh adalah perolehan nilai kerentanan fisik zona pantai dan muara sungai Krueng Aceh terhadap impak angin maksimum yang menghasilkan gelombang maksimum berbasis skala lokal. Hasil yang diperoleh adalah pada kerentanan terhadap banjir, kawasan pantai Kota Banda Aceh memperoleh indeks kerentanan banjir yang bervariasi dalam lima tingkat kerentanan dari sangat rendah (very low) pada kelas gelombang yang lemah sampai sangat tinggi (very high). Ditinjau kerentanannya terhadap erosi, indeks kerentanan erosi yang diperoleh selama melakukan penelitian merupakan indeks sangat rendah (very low), dalam ke lima kelas gelombang. Indeks kerentanan pantai yang merupakan kombinasi dari indeks kerentanan banjir dan erosi pada pantai yang ditinjau juga bervariasi dari tingkata sangat rendah sampai sangat tinggi.
2.
DAERAH STUDI DAN PENGUMPULAN DATA
Zona pantai yang diobservasi pada penelitian ini daerah Muara Krueng Aceh sampai ke kanal banjir Alue Naga di Kota Banda Aceh digunakan sebagai studi kasus. Lokasi penelitian ini terletak pada 5o35’0.96”LU - 5o36’44.64”LU dan 95o21’11.52”BT - 95o36”BT seperti yang ditampilkan pada Gambar 2. Survey lapangan yang telah dilakukan dalam 2 tahap pengukuran baik topografi dan bathymetry memberikan gambaran perubahan profil pantai sepanjang sekitar 5 km. Pengumpulan data pemetaan topografi dan pemetaan bathymetry dilakukan seluas batasan survey dengan jarak 200-300m ke arah darat dan sehingga pengukuran echosounder mencapai kedalaman 10m kea rah laut. Batasan pemetaan dimulai dari titik awal yang berjarak 200m dari tebing kiri muara Krueng Aceh ke arah barat, sampai dengan ke titik akhir yang berjarak 200m dari tebing kanan muara Kanal Banjir ke arah timur. Menentukan karakteristik dari gaya (forcing) sehingga klasifikasi cuaca ekstrim akibat impak badai di daerah studi (muara sungai Krueng Aceh dan sekitarnya) akan diperoleh, dengan mengacu pada data sekunder yang diperoleh dari stasiun BMKG Blang Bintang tahun 2000 – 2009. Data iklim ini di generate dengan menggunakan model yang disarankan oleh CERC (1984) dalam mentransform data angin menjadi data gelombang laut. H-160
SEMINAR NASIONAL-1 BMPTTSSI - KoNTekS 5 Universitas Sumatera Utara, Medan - 14 Oktober 2011
Keairan
Gambar 2. Lokasi Studi Sumber: Google Earth, 2010
3.
METODOLOGI
Bagian ini mencakup mekanisme pelaksanaan penelitian oleh Ariff dkk (2011) yang terdiri dari berbagai kegiatan dan tahapan pelaksanaan yang disesuaikan dengan metode yang sudah pernah diterapkan di Negara Turki oleh Jimenez dan Mendoza (2008).
Metodologi penentuan index kerentanan pantai Secara garis besar bagan alir metodologi penentuan indeks kerentanan pantai terhadap impak kejadian badai dapat dilihat pada Gambar 3 yang diikuti dengan 4 (empat) tahapan proses pelaksanaan, yaitu proses penentuan karakteristik gaya, observasi dan pengukuran di lapangan terhadap impak badai atau gelombang maksimum, penentuan karakteristik zona pantai, dan penentuan indeks kerentanan pantai terhadap badai atau gelombang maksimum. wind data
flood potential
tide data
erosion potential Induced response of wave classes
Definition of storm classes
Flood vulnerability index vulnerability calculator
GIS beach data base
Erosion vulnerability index
coastal vulnerability index to storms
Gambar 3. Bagan alir metodologi penentuan indeks kerentanan pantai terhadap impak kejadian bencana badai Sumber : Jimenez dan Mendoza , 2008
Tahapan proses pelaksanaan Menurut Jimenez dan Mendoza (2008), dalam proses pertama yaitu penentuan karakteristik gaya, klasifikasi badai dinyatakan dalam bentuk badai ’energy content’, E, yang merupakan fungsi kuadrat dari tinggi gelombang signifikan dalam suatu durasi kejadian badai. Badai yang telah dapat ditentukan karakteristiknya melalui kandungan energi diklasifikasikan dengan menggunakan analisis cluster dan klasifikasi supervised. Hasil akhirnya diklasifikasikan dalam 5 kategori klasifikasi yang telah dipilih untuk menjaga kecocokan analogi data yang dikumpulkan. Tinggi gelombang signifikan dianalisis berdasarkan metode yang disarankan oleh CERC (1984), baik melalui pencatatan data gelombang ataupun melalui transformasi data angin menjadi data gelombang signifikan.
SEMINAR NASIONAL-1 BMPTTSSI - KoNTekS 5 Universitas Sumatera Utara, Medan - 14 Oktober 2011
H-161
Keairan Jimenez dan Mendoza (2008) telah membagi 5 kelas badai berdasarkan tinggi gelombang signifikan seperti tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Lima kategori kelas badai berdasarkan Hs. Kelas Badai
Rentang nilai Hs (m)
I II III IV V
2.00 2.76 3.51 4.26
Lemah Sedang Signifikan Severe/derita Ekstrim
< Hs < Hs < Hs < Hs Hs <
< < < < 5.01
2.75 3.50 4.25 5.00
Sumber: Jimenez dan Mendoza (2008) Proses kedua dilanjutkan melalui observasi dan pengukuran di lapangan terhadap impak fisik dari badai ataupun gelombang maksimum seperti kajian perubahan garis pantai, mengextrapolasi data histori dan menggunakan perhitungan budget sedimen. Mendoza dan Jimenez (2008b) menjelaskan potensi banjir sebagai situasi temporer dimana air laut menggenangi kawasan diluar kebiasaan yang dapat menyebabkan kerusakan dan ancaman. Karakteristik potensi banjir ditentukan berdasarkan dua parameter yaitu: run up dan storm surge. Bagi pantai yang terdapat struktur pengaman pantai perhitungan run up dilakukan dengan menghitung angka Irribarren dan grafik run up gelombang. Ir =
(H
tan q 0. 5 /L0)
(1)
dimana: Ir = Bilangan Irribaren, θ = sudut kemiringan sisi bangunan pelindung pantai, H = tinggi gelombang di lokasi bangunan (m), dan L0 = panjang gelombang di laut dalam (m). Run up gelombang karena adanya bangunan pantai yang diperoleh dari berbagai penelitian digambarkan berupa grafik yang merupakan hasil percobaan yang dilakukan Irribaren untuk menentukan besarnya run up gelombang pada bangunan dengan permukaan sisi miring untuk berbagai tipe material (Triatmodjo, 1999: 268). Proses ketiga yaitu penentuan karakteristik zona pantai dengan melakukan pengumpulan data lokal terkait pada pantai yang menjadi objek penelitian. Pengumpulan data lokal berupa data topografi dan bathymetry serta tinggi dan periode gelombang yang dilakukan dalam grid dengan jarak tertentu digunakan sebagai fitur dasar. Dalam hal ini grid pengukuran diambil setiap jarak 50m terhadap sumbu-X yang merupakan cross-shore dan juga setiap jarak 50m terhadap sumbu-Y yang merupakan alongshore atau sepanjang garis pantai yang diamati.
Gambar 4. Skema dari fungsi proteksi terhadap erosi and banjir pada pias pantai selama kejadian badai Sumber: Mendoza dan Jimenez, 2008 Setelah impak badai dievaluasi untuk setiap kelas badai, proses keempat adalah melakukan estimasi terkait terhadap indeks kerentanan, yang dilakukan melalui formulasi suatu indikator sederhana dimana parameter yang berhubungan disatukan dengan variabel yang relevan dalam pengklasifikasian pantai. Jadi, indeks kerentanan erosi (Erosion Vulnerability Index, EVI) termasuk pengukuran lebar pantai yang sebenarnya, sedangkan indeks kerentanan banjir (Flood Vulnerability Index, FVI) termasuk pengukuran suatu nilai lokal terhadap tinggi dari puncak gosong pasir atau puncak dune pada tempat peninjauan (Gambar 4). Indikator kerentanan banjir ditentukan dalam fungsi parameter tengah banjir (flood intermediate parameter, FIP), yang didefinisikan untuk setiap kelas badai sebagai:
H-162
SEMINAR NASIONAL-1 BMPTTSSI - KoNTekS 5 Universitas Sumatera Utara, Medan - 14 Oktober 2011
Keairan
FIP =
(R
u
)
+ a s Ru + x
(2)
BH
dimana: Ru= run up kelompok gelombang untuk tipe pantai tertentu (m); s R = standar deviasi run up yang u diprediksi untuk semua badai dalam tingkatannya (m); α = faktor yang digunakan untuk menghitung tingkat keamanan yang diinginkan; dan ξ = nilai rerata rambatan badai representatif dari tipe atau kelas badai (m). Berdasarkan penelitian Valdemoro pada tahun 2005 (Mendoza dan Jimenez, 2008), indikator kerentanan erosi ditentukan sebagai fungsi parameter tengah erosi (erosion intermediate parameter, EIP) yang diformulasikan sebagai: EIP =
DX + as (DX ) BW
(3)
dimana: ∆X = rerata mundurnya garis pantai menurut kelas badai untuk tipe pantai yang diamati (m), σ = standar deviasi untuk semua badai setiap kelas, α = faktor yang memperhitungkan tingkat keamanan yang diinginkan; dan BW = lebar pantai (m). Bila nilai FIP dan EIP telah diketahui, komponen kerentanan yang berkaitan dengan setiap proses baik proses banjir atau genangan dan proses erosi dihitung dengan aturan yang digambarkan pada Gambar 5 dengan rentang skala 0 sampai 1. Aturan ini menyatakan bahwa kerentanan sama dengan nol diberikan terhadap situasi dimana proses ketinggian muka air laut ataupun kemunduran garis pantai pada suatu kelas badai adalah kurang atau sama dengan setengah karakteristik pantai (genangan pada dune ataupun lebar pantai) yang dinyatakan dengan FIP atau EIP <0.5. Sebaliknya kerentanan maksimum dinyatakan sebagai nilai 1 terhadap situasi dimana ketinggian muka air total adalah sama atau melebihi puncak dune (FIP ~ 1) atau pada proses erosi dimana erosi total atau mundurnya garis pantai sama atau melebihi lebar pantai (EIP ≥ 1). Akhirnya suatu skala kualitatif dari 5 kelas dapat dinyatakan dengan rentangan mulai kerentanan sangat rendah (very low) sehingga kerentanan sangat tinggi (very high) dengan interval 0.2 satuan FVI ataupun EVI (Mendoza dan Jimenez, 2008b). Hubungan fungsional kerentanan banjir dan erosi terhadap parameter tengah banjir dan erosi diperlihatkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Hubungan fungsional yang diadopsi untuk penentuan kerentanan banjir dan erosi Sumber: Mendoza dan Jimenez, 2008 Indeks kerentanan total atau indeks kerentanan pantai (coastal vulnerability index, CVI) secara kualitatif dapat dikalkulasikan sebagai rerata dari kombinasi EVI dan FVI seperti yang terlihat pada Tabel 2 dengan 5 tingkat kerentanan. Tabel 2. Nilai rerata indeks kerentanan erosi dan banjir EVI / FVI Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
Sangat rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
Sangat rendah Rendah Rendah Sedang Tinggi
Rendah Rendah Sedang Sedang Tinggi
Rendah Sedang Sedang Tinggi Sangat Tinggi
Sedang Sedang Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi
Tinggi Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi
Sumber: Mendoza dan Jimenez, 2008
4.
HASIL DAN DISKUSI
Hasil pendugaan kedalaman perairan pantai memberikan gambaran kedalaman perairan pantai atau peta bathymetry sampai kedalaman 13 meter pada batasan kawasan pantai yang ditinjau. Hasil pengukuran topografi dan pendugaan kedalaman laut (bathymetry) yang merupakan penggambaran profil pantai pada daerah tinjauan dengan jarak setiap 200m merupakan hasil penggabungan pengukuran topografi dan bathymetry dalam dua tahapan pengukuran dengan rentang waktu 5 minggu. Dari dua kali pengukuran tersebut diperoleh gambaran profil pantai yang maju karena mengalami asupan sediment dan bagian pantai yang mundur karena mengalami erosi. Berdasarkan gambar profil
SEMINAR NASIONAL-1 BMPTTSSI - KoNTekS 5 Universitas Sumatera Utara, Medan - 14 Oktober 2011
H-163
Keairan tersebut diperoleh nilai-nilai lebar pantai (BW), tinggi dune (BH), beach retreat (ΔX), dan volume profil tererosi (ΔV) yang prosesnya terjadi dalam rentang waktu 2 kali pengukuran yang dilakukan (Ariff, 2011). Sebagai hipotesa awal, penelitian ini menganggap bahwa lokasi yang menjadi objek observasi akan selalu mengalami impak kejadian badai yang dihasilkan dari Tropical North Indian Ocean Cyclone. Tetapi kenyataan yang dihadapi adalah selama rentang waktu penelitian dilakukan, tidak diperoleh kejadian badai ataupun impak kejadian badai yang mempengaruhi perairan pantai Kota Banda Aceh. Jadi kajian kerentanan dianalisis berdasarkan prediksi gelombang maksimum yang terjadi di lokasi observasi. Analisis gelombang maksimum di perairan pantai Kota Banda Aceh diprediksi berdasarkan distribusi data angin, dengan angin dominan berhembus dari barat pada musim angin barat ( bulan Desember-Februari) dan dari timur laut pada musim timur (bulan Juli – September). Prediksi tinggi dan periode gelombang signifikan dilakukan berdasarkan fetch efektif pada perairan di sebelah utara Kota Banda Aceh berdasarkan arah angin dominan tersebut (Gambar 6).
Gambar 6. Mawar angin untuk kejadian angin maksimum untuk Stasiun Metereologi dan Geofisika Blang Bintang Aceh Besar tahun 2000-2009 Sumber: Ariff dkk, 2011 Prediksi tinggi dan periode gelombang signifikan yang menggunakan metode yang disarankan oleh CERC dalam Shore Protection Manual (1984) berdasarkan jarak fetch dalam arah angin dominan menghasilkan tinggi dan periode gelombang signifikan sepanjang kejadian angin dari tahun 2000 sampai dengan 2009(Ariff dkk,2011). Tabel 3. Rekapitulasi Prediksi Tinggi dan Periode Gelombang Maksimum selama 10 tahun Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Rerata
Timur Laut Hs (m) Ts (detik) 4.15 3.91 4.15 5.86 4.15 4.58 4.15 4.96 4.15 3.08
7.64 7.36 7.64 9.97 7.64 8.16 7.64 8.65 7.64 6.48
Barat Hs (m) Ts (detik) 2.51 3.88 2.51 3.10 2.82 2.82 3.96 3.88 1.95 3.10
4.31 7.88 3.05 Sumber: Ariff dkk, 2011
5.76 8.07 5.76 6.61 6.20 6.20 8.24 8.07 5.06 6.61
6.66
Hasil prediksi ini dianalisis sehingga diperoleh batasan 5 kelas gelombang maksimum mengikuti Tabel 1 seperti yang diadopsi dari metode Jimenez dan Mendoza (2008). Hasil analisis prediksi karakteristik gelombang maksimum selama 10 tahun dan klasifikasi gelombang maksimum pada daerah tinjauan diperlihatkan pada Tabel 3 dan 4.
H-164
SEMINAR NASIONAL-1 BMPTTSSI - KoNTekS 5 Universitas Sumatera Utara, Medan - 14 Oktober 2011
Keairan Tabel 4. Klasifikasi Gelombang Maksimum pada Daerah Tinjauan Klas gelombang maksimum I II III IV V
Arah
Frek. Kejadian [%]
Durasi angin (jam)
Hs max. (m)
Ts max. (det)
Energy Content (m2 h)
All U All BL All TL All TL All TL
6.38 6.38 2.13 2.13 10.64 10.64 2.13 2.13 2.13 2.13
15 15 18 18 20 20 22 22 25 25
2.74 2.74 3.36 3.36 4.15 4.15 4.96 4.96 5.86 5.86
6.12 6.12 6.80 6.80 7.64 7.64 8.65 8.65 9.97 9.97
112.61 112.61 203.21 203.21 344.45 344.45 541.24 541.24 858.49 858.49
Sumber: Ariff dkk, 2011 Analisis run up gelombang digunakan dalam proses perhitungan Flood Intermediate Parameter (FIP) pada lokasi yang ditinjau dengan menggunakan Pers. 2. Hasil analisis run up menurut klasifikasi gelombang maksimum diperlihatkan pada Tabel 5. Berdasarkan nilai Ru dan nilai BH yang diperoleh pada setiap pias pengukuran dan kelas gelombang, dapat ditentukan nilai FIP atau parameter tengah banjir pada pias yang bersangkutan. Tabel 5. Hasil analisis run up terhadap klasifikasi gelombang maksimum Kelas gelombang maksimum
Frekuensi Kejadian %
I II III IV V
6.38 2.13 10.64 2.13 2.13
Durasi
Hs Max
Ts Max
Jam
M
detik
15 18 22 22 25
2.74 3.36 4.15 4.96 5.86
6.12 6.80 7.64 8.65 9.97
Energy Content M2 Jam
Lo
112.61 203.21 344.45 541.24 858.49
Ru
m
m
58.40 72.12 90.98 116.68 155.09
0.81 0.95 1.13 1.37 1.69
Sumber: Ariff dkk, 2011 Tabel 6. Hasil prediksi indeks kerentanan pantai(CVI) pada ProfilA.44 (sedimentasi) dan A.79 (erosi) terhadap 5 kelas gelombang Kelas gelombang I II III IV V
profil A.44 A.79 A.44 A.79 A.44 A.79 A.44 A.79 A.44 A.79
BH (m) 2.766 2.686 2.766 2.686 2.766 2.686 2.766 2.686 2.766 2.686
BW (m) 3.00 60.00 3.00 60.00 3.00 60.00 3.00 60.00 3.00 60.00
ΔX (m) 5.002 4.950 3.909 3.864 11.976 11.971 16.150 16.144 21.878 21.871
FIP 0.4196 0.4321 0.4700 0.4840 0.5355 0.5515 0.6196 0.6380 0.7371 0.7590
FVI VL VL VL VL VL VL L L M M
EIP 1.6855 0.0834 1.3197 0.0652 4.0130 0.2006 5.4123 0.2705 7.3497 0.3674
EVI VH VL VH VL VL VL VH VL VH VL
CVI H VL H VL VL VL H L VH L
Sumber: Ariff dkk, 2011a Analisis perubahan garis pantai (ΔX) dan lebar pantai (BW) dari hasil pengukuran digunakan untuk menghitung Erosion Intermediate Parameter (EIP). Berdasarkan nilai-nilai FIP dan EIP yang diperoleh, hasil klasifikasi indeks kerentanan banjir (FVI) dan erosi (EVI) diperoleh dengan menggunakan Gambar 5. Indeks kerentanan pantai (CVI) pada pias-pias peninjauan diperoleh berdasarkan aturan pada Tabel 2. Contoh hasil analisis untuk penentuan FVI dan EVI berdasarkan klasifikasi gelombang diperlihatkan pada Tabel 6 untuk profil pantai yang mengalami proses sedimentasi dan erosi. Layout Indeks Kerentanan Banjir (FVI), Erosi (EVI), dan Pantai (CVI) pada lokasi dari Muara Krueng Aceh sampai Muara Kanal Banjir Krueng Aceh pada Kelas Gelombang I (Lemah) dan Kelas Gelombang V (ekstrim) diperlihatkan pada Gambar 7.
SEMINAR NASIONAL-1 BMPTTSSI - KoNTekS 5 Universitas Sumatera Utara, Medan - 14 Oktober 2011
H-165
Keairan
Gambar 7. Layout Indeks Kerentanan Banjir (FVI), Erosi (EVI), dan Pantai (CVI) pada lokasi dari Muara Krueng Aceh sampai Muara Kanal Banjir Krueng Aceh pada Kelas Gelombang I (Lemah) dan Kelas V (ekstrim) Sumber: Ariff dkk, 2011a Tabel 6 sebagai contoh dua buah profil yang mengalami sedimentasi dan erosi dan Gambar 7 yang memperlihatkan gabungan ketiga tipe kerentanan untuk kelas gelombang lemah dan ekstrim memperlihatkan bahwa indeks kerentanan banjir, erosi dan pantai pada lokasi peninjauan penelitian ini bervariasi dari tingkat sangat lemah (very low) sampai sangat tinggi (very high). Jarak antara profil pada pias pengamatan adalah 200m.
5.
KESIMPULAN 1. 2. 3.
Besaran FIP yang diperoleh untuk ke lima kelas gelombang berkisar antara 0.363 – 1.268 (Tabel 6) yang menandakan indeks kerentanan banjir (FVI) antara sangat rendah sampai sangat tinggi. Besaran EIP yang diperoleh untuk ke lima kelas gelombang berkisar antara 0.0052 - 7.3578 (Tabel 6) yang juga menandakan indeks kerentanan erosi (EVI) juga antara sangat rendah sampai sangat tinggi. Hasil kombinasi FVI dan EVI menyimpulkan Indeks kerentanan pantai (CVI) yang juga bervariasi dari sangat rendah (VL) sampai sangat tinggi (VH) di sepanjang pantai antara Muara Krueng Aceh sampai Muara Banjir Kanal Krueng Aceh di Banda Aceh.
Ucapan Terimakasih Tim peneliti dari Peer Group Coastal TDMRC yang juga staf pengajar pada Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Unsyiah mengucapkan banyak terimakasih atas pendanaan menyeluruh dari pihak MDF-UNDP melalui project DRR-A dan juga atas kerjasama TDMRC dengan Pemerintah Daerah Aceh dan Departemen Dalam Negeri.
DAFTAR PUSTAKA Ariff, Z.A., E. Fatimah, Syamsidik (2011). Kajian Kerentanan Zona Pantai Aceh terhadap Bencana Badai, Laporan Hasil Penelitian TDMRC Unsyiah. Ariff, Z.A., E. Fatimah, Syamsidik, dan G. Salim (2011a). “Kajian Kerentanan Zona Pantai Banda Aceh terhadap Bencana Badai”, Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 – 19 April 2011(dalam proses editing). CERC (1984) Shore Protection Manual, U.S. Army Corps of Engineers, Department of Army, Washington, USA Etro, J.F. and Bassi, J.P, 1995, 1995 Annual Tropical Cyclone Report, US Naval Maritime Forecast Center / Joint Typhoon Warning Center. Jimenez, J.A.Q. and E.T.P. Mendoza, 2008, Coastal Vulnerability to Storms in Catalan Coast, Doctoral Disertation in Laboratori d’Enginyeria Maritima Universitat Politecnica de Catalunya, Barcelona (in English version)
Mendoza, E. T. and J. A. Jiménez, 2008, “Vulnerability Assessment to Coastal Storms at a Regional Scale”, ICCE 2 Triatmodjo, B. (1999) Teknik Pantai, Beta Offset, Yogyakarta.
H-166
SEMINAR NASIONAL-1 BMPTTSSI - KoNTekS 5 Universitas Sumatera Utara, Medan - 14 Oktober 2011