TINGKAT KEDEWASAAN ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN RELEVANSINYA DENGAN BATAS USIA PERKAWINAN (STUDI KOMPARASI HUKUM ISLAM DENGAN PANDANGAN MEDIS) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salahsatu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
Oleh: UDI WAHYUDI NIM: 108044100045 KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1436 H/2015 M
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat sehat wal’afiyat sehangga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam jaga tercurah kepada jungjungan Nabi besar kita Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, parasa habat, pengikut beliau seluruh umat manusia yang setia kepadanya hingga akhir zaman. Tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis jumpai dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis sadar dalam penyelesaian semua ini tidak sendirian. Penulis menyadari akan pentingnya orang-orang yang telah memberikan baik lewat pemikirannya, tenaganya, dan Doa yang selalu dipanjatkan untuk saya sebagai penulis. Sehingga skripsi ini dapat diselesaikan sesuai yang diharapkan. Maka dari itu, sudah selayaknya pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum 3. Dr. JM. Muslimin, selaku Dosen Pembimbing Akademik. 4. Kamarudiyana, Ma selaku Kepala Jurusan Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syari’ah dan Hukum. 5. Sri Hidayati, M.Ag. selaku Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syari’ah dan Hukum.
v
6. Azizah, MA selaku dosen pembimbing skripsi, yang telah berkenan meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukannya. Terima kasih atas kebaikan, perhatian masukan, dan pengarahan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. 7. Terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda H. Mufri Husni dan Ibunda Hj. Tilawati yang telah memberikan banyak hal yang berarti dalam kehidupan penulis. Cinta, kasih sayang, doa, dan dukungan baik moril maupun materil yang semua itu tak akan bisa tergantikan dengan apapun. 8. Kepada saudara-saudariku yaitu Mamang H. Nahdatul Muamar S.Thi, Teh Hj Dwi Retno Sulanjani, Kang Yuli, Kang Sumar, Teh Ida, Teh Iis dan kedua Adikku, Ali Rohman dan Ika Sohifatul Janah, semuanya telah memberikan kasih sayang, doa, dukungan moril maupun materil yang berlimpah. Sehingga penulis senantiasa termotivasi dan tidak kenal menyerah dalam mencapai citacita. 9. Terkhusus untuk Kakek yaitu Alm. H Syahruddin dan Neneku tercinta Hj. Sunenah, yang selalu turut memotivasi dan memperhatikan perkembangan penulis sejak memasuki pondok pesantren hingga perguruan tinggi. 10. Teman-teman seperjuangan Kelas Peradilan Agama B Tahun 2008 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan teman satu kostan, yang telah memberikan dukungan dan semangat. Dan seluruh pihak yang telah membantu dan tidak dapat di sebutkan satu persatu. Terimakasih banyak kepada teman-temanku IBM Andika Supriatman S.Sy, Aceng Daerobi S.Sy,Mukhammad ali seto vi
S.Sy, M.Akbar S.Sy, Facrurozi S.Sy, Ade taufik S.Sy, M.Rusdiana S.Sy, Atho Hilah S.Sy, Usman S.Sy, dan teman-ateman seperjuangan khususnya kelas b peradilan agama angkatan 2008. 11. Tri Utami yang selalu memotivasi penulis. Akhir kata, penulis sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada bantuan semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan namanya satupersatu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Ciputat, 13 Rabiul Awal 1436 H 13 Februari, 2015
Udi Wahyudi
vii
ABSTRAKSI Nama : Udi Wahyudi NIM : 108044100045 Judul : Tingkat Kedewasaan Antara Laki-Laki Dan Perempuan Relevansinya Dengana Batas Usia Perkawinan (Studi Komparasi Hukum Islam Dengan Pandangan Medis) . Perkawinan pada usia muda atau remaja adalah masalah sosial budaya yang mengandung aspek medis, bagi seorang muda yang telah kawin secara sah maka dia bisa melakukan banyak hal yang tidak bisa dilakukan oleh orang yang belum nikah. Namun tidak berarti ia bebas dari masalah. Secara medis dan mental ia belum matang benar, itulah sebabnya perkawinan usia muda dikatakan memiliki dampak medis. Isu-isu yang sering kali muncul dipermukaan dan sering kali berlindung pada konsep agama adalah tentang perempuan, khususnya mengenai kesehatan reproduksi itu sendiri. Tingkat kedewasaan dalam perkawian antara laki-laki dan perempuan menjadi problem tersendiri dalam agama Islam, karena para fuqaha tidak banyak membahas batas usia minimal perkawinan, bisa jadi karena Nabi pun melakukan praktik nikah dini dengan Siti Aisyah. Maka dari sinilah penulis ingin meneliti tingkat kedewasaan perkawinan dilihat dari aspek fikih dan medis. Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian (hukum) normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan medis serta pendekatan komparatif (comparative approach). Kata kunci: Perkawinan Usia Muda, hukum Islam, medis Pembimbing: Dr. Azizah, MA. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
viii
DAFTAR ISI Hal HALAMAN JUDUL ...........................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSYAH..................................
iii
HALAMAN KEASLIAN SKRIPSI ...................................................................
iv
ABSTRAKSI.........................................................................................................
v
KATA PENGANTAR..........................................................................................
vi
DAFTAR ISI.........................................................................................................
ix
BAB I
PENDAHULUAN ..............................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................
1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ..............................................
8
C. Tujuan Penelitian ...........................................................................
10
D. Manfaat Penelitian .........................................................................
10
E. Metodologi Penelitian ....................................................................
12
F. Review Terdahulu ..........................................................................
14
G. Sistematika Penulisan ....................................................................
17
USIA PERKAWINAN DI INDONESIA..........................................
19
A. Pengertian Usia Perkawinan...........................................................
19
B. Batas Usia perkawinan di Indonesia...............................................
20
C. Usia Perkawinan di Dunia ..............................................................
22
BAB II
ix
BAB III
D. Data Usia Perkawinan Muda di Indonesia .....................................
27
TINGKAT KEDEWASAAN MENURUT PARADIGMA MEDIS
29
A. Pengertian Dewasa Menurut Medis................................................
29
B. Fase Perkembangan Masa Dewasa.................................................
31
C. Perbedaan Perkembangan Laki-laki dan Perempuan .....................
36
BAB IV ANALISIS TINGKAT KEDEWASAAN ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
RELEVANSINYA
DENGAN
BATAS
USIA
PERKAWINAN ...................................................................................
40
A. Pandangan Hukum Islam Terhadap Batas Minimal Usia perkawinan Laki-laki dan Perempuan................................................................
40
B. Pandangan Medis Terhadap Batas Minimal Usia perkawinan Laki-laki dan Perempuan ...............................................................................
51
C. Analisis Penulis ..............................................................................
59
PENUTUP.............................................................................................
68
A. Kesimpulan.....................................................................................
68
B. Saran ...............................................................................................
70
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................
72
BAB V
x
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam peroses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Perkawinan sebagai jalan untuk bisa mewujudkan suatu keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal bedasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini dimaksud, bahwa perkawinan itu hendaknya berlangsung seumur hidup dan tidak boleh berakhir begitu saja. Pembentukan keluarga yang bahagia dan kekal itu, harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Perkawinan bagi manusia merupakan hal yang penting, karena dengan sebuah perkawinan seorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara sosial, biologis, maupun secara psikilogis. Seseorang dengan melangsungkan sebuah perkawinan maka dengan sendirinya semua kebutuhan biologisnya bisa terpenuhi. Ia akan bisa menyalurkan kebutuhan seksnya dengan pasangan hidupnya. Sementara itu secara mental atau rohani mereka yang telah menikah lebih bisa mengendalikan emosinya dan mengendalikan nafsu seksnya. Menurut Islam, perkawinan merupakan suatu perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama yang bahagia ,aman, tenteram dan saling mengasihi. Perkawinan merupakan fitrah manusia yang harus terjadi pada 1
Penjelasan Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
1
2
kehidupan sebagai sarana untuk melimpahkan rasa cinta dan kasih yang telah dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya. Disyari’atkannya perkawinan dalam Islam itu dapat ditinjau dari tiga sudut.2 Pertama, ditinjau dari sudut hukum, perkawinan adalah merupakan suatu perjanjian antara pria dan wanita agar dapat melakukan hubungan kelamin secara sah dalam waktu yang tidak tertentu. Kedua ditinjau dari sudut agama, perkawinan itu dianggap sebagai lembaga suci dimana suami-istri dapat hidup tenteram, saling mencintai dan mengasihi serta bertujuan untuk mengembangkan keturunan. Ketiga, ditinjau dari sudut kemasyarakatan, bahwa orang yang telah kawin (berkeluarga) telah memenuhi syarat dari kehendak masyarakat serta mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan lebih dihargai dari pada mereka yang belum menikah. Perkawinan pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa dengan tidak memandang pada profesi, agama, suku, bangsa, miskin atau kaya, tinggal di desa atau di kota. Namun tidak sedikit manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik fisik maupun mental akan mencari pasangannya sesuai dengan apa yang diinginkannya. Dalam kehidupan manusia perkawinan bukan lah bersifat sementara tetapi untuk seumur hidup. Sayang tidak semua orang memahami hakikat dan tujuan dari perkawinan yang seutuhnya yaitu mendapatkan kebahagian yang sejati dalam berumah-tangga.
2
Sulaiman Rasyid, Fikih Islam, (Jakarta: Attahiriyyah, 1955), hal. 362
3
Untuk menemukan kebahagian di atas pula, penting melihat batas umur perkawinan, hal ini menjadi syarat tersendiri. Batas usia perkawinan dikatakan sangat penting karena seringkali keberhasilan sebuah perkawinan ditentukan oleh kematangan dalam menyelesaikan sebuah masalah, hal tersebut bisa dilihat dari segi usia calon pengantin, baik usia peria maupun wanita. Perkawinan membutuhkan kematangan yang bukan hanya bersifat biologis, melainkan juga kematangan pisikologis dan sosial. batas minimal usia nikah bagi laiki-laki dan perempuan sebaiknya 19 tahun, kira-kira setelah lulus SLTA. Perkawinan pada usia dini bagi perempuan menimbulkan berbagai resiko, baik bersifat biologis seperti kerusakan organ-organ reproduksi, kehamilan muda, dan resiko pisikologis berupa ketidakmampuan mengemban fungsi-fungsi reproduksi dengan baik.3 Oleh sebab itu kehidupan keluarga menuntut adanya peran dan tanggung jawab yang besar bagi laki-laki dan perempuan.4 Dalam menilai hal tersebut di atas, terdapat pula komentar para ulama klasik mengenai prasyarat yang dapat menikah atau yang biasa disebut dengan kualifikasi dewasa (baligh/ahliyah). Kualifikasi ini masuk dalam kriteria syarat serta rukun nikah, dimana dari syarat dan rukun nikah harus terpenuhi agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Menurut as-Syafi’i bahwa salah satu dari syarat syahnya nikah adalah adanya wali, tanpa kehadiran wali pernikahan 3
Prof. dr Ida Bagus Gde Manuaba, SpOG, Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 1996), hal. 26 4
Sulostiawati S, Perempuan dan Hukum, (Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hal. 134
4
tersebut adalah batal, sedangkan Abu Hanifah, wanita yang sudah dewasa dan berakal sehat berhak mengurus sendiri akad perkawinannya, baik gadis atau janda.5 Perbedaan pendapat juga terjadi dalam hal perkawinan gadis di bawah umur, As-Syafi’i berpendapat bahwa anak perempuan yang belum dewasa tidak boleh menikah hingga ia cukup dewasa dengan seizin walinya, agar anak perempuan nanti tidak terjatuh pada hal-hal yang kurang baik seperti kurang tanggung jawabnya suami kepada istri. Sedang Abu Hanifah berpendapat bahwa hal tersebut diperbolehkan, akan tetapi anak perempuan tersebut setelah baligh diberi hak khiar.6 Dalam syariat Islam sendiri, batas umur untuk melakukan perkawinan tidak ditetapkan secara jelas dan tegas, tidak memberi batasan secara definitif (pasti) mengenai usia perkawinan seseorang, Al-Qur’an dan Hadis hanya menetapkan dugaan, isyarat dan tanda-tanda saja. Umat Islam diberi kebebasan untuk menetapkan batas-batas umur, sehingga batasan perkawinan dikembalikan pada individu tanpa melanggar syarat yang telah ditentukan, serta disesuaikan pula dengan kondisi sosial dimana hukum itu akan diundangkan. 7 Dalam hal usia,
5
Sayyidd Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Cairo: Dr al-Qf, 1990), hal. 241
6
Sayyidd Sabiq, Fikih al-Sunnah, (Cairo: Dr al-Qf, 1990), hal. 224 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Perkawinan, cet. 3, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993),
7
hal. 40-41
5
seperti dikutip Rahmad Rosyadi, 8 bahwa Allah SWT tidak menentukan kapan usia yang baik atau usia yang ideal bagi seorang wanita untuk langsungkan perkawinan, karena yang demikian bukanlah menjadi urusan Allah, akan tetapi sebagai urusan manusia dalam menyelesaikan problematika hidupnya. Oleh sebab itu mengenai urusan dunia diserahkan sepenuhnya kepada manusia karena dianggap bahwa manusia lebih tahu dan lebih mengetahui dalam ranah ijtihadi. Sejalan dengan hal tersebut, tidak menjadikan salah atau berdosa apabila manusia memberikan batasan suatu usia tertentu atau usia yang tepat untuk melakukan perkawinan, karena menurut penulis merupakan ranah ijtihadi seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi. Perbedaan pendapat tentang batas usia pernikahan seseorang dapat memberikan kejelasan pada masyarakat, terutama pada masyarakat tradisional yang umumnya terjadi pada masyarakat agraris, sebagaimana terbatasnya jenis pendidikan formal yang hanya berkisar antara sekolah dasar sampai sekolah lanjutan tingkat pertama, kemudian dialihkan menjadi tenaga kerja untuk membantu kehidupan keluarganya, sehingga dengan berakhirnya masa belajar dan kemudian terjun kelapangan pekerjaan, maka orang tersebut telah dianggap dewasa untuk melakukan pernikahan dalam usia muda. Fenomena ini menarik untuk dikaji, dengan adanya dua konsep yang berbeda mengenai batas minimal usia perkawinan yang memunculkan pemikiran
8
A. Rahmad Rosyadi Soeroso, Dasar Keluarga Berencana Ditinjau dari Hukum Islam, cet. 1, (Bandung: Pustaka, 1406 H/ 1986), hal. 92
6
untuk meneliti serta membahasnya dalam sebuah karya ilmiah, mengingat bahwa dalam realita pendapat dari para Ahli Fiqih dan UU No.1 Tahun 1974 atau KHI sama-sama kuat dan mendasar. Secara jelas KHI pasal 15 merumuskan: (1) untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 yakni calon suami sekuang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang kurangnya berumur 16 tahun. (2) bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.9 Seperti yang telah diuraikan di muka, bahwa baik Al-Qur’an dan asSunnah secara eksplisit tidak mengatur mengenai batas usia minimal dalam perkawinan. Umat islam umumnya menyepakati kondisi baligh bagi perempuan adalah setelah haidh dan laki-laki dengan mimpi basah.
10
Dilihat dari segi
literatur, akil baligh juga dikenal sebagai batas kematangan seksual, namun antara perempuan dan laki-laki terdapat ciri-ciri yang berbeda.
11
Namun juga
kematangan usia perempuan dan laki-laki berpengaruh pada tingkat kesehatan seksualitas.
9
Pasal 6 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
10
11
Sayyidd Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Cairo: Dr al-Qf, 1990), hal. 6
Nadine Suryoprajogo, Kupas Tuntas Kesehatan Remaja, (Yogyakarta: Diglossia Printika, 2009), hal. 2
7
Dalam sejarahnya, Rasulullah SAW sendiri baru menikah usia 25 tahun, dan semestinya usia ini dijadikan acuan sekaligus meneladani rasul. Penetapan batas usia lebih rendah bagi perempuan dalam KHI pada substansinya mempertegas subordinasi perempuan (istri) terhadap laki-laki (suami). Baik pandangan normatif fiqih serta peraturan hukum positif Indonesia terdapat perbedaan pula, hal ini mengindikasikan bahwa baik fiqih serta peraturan perundang-undangan di Indonesia seharusnya tidak mencendrai landasan sosiologis, karena ia tidak sejalan dengan semangat zaman.bahkan hal ini akan berdampak pada ketidak adilan setra pendiskriminasian. Sejalan dengan apa yang diamanatkan oleh UU No. 12 Tahun 2011 bahwa secara eksplisit mengatakan “Seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia harus mengandung tiga landasan yaitu, landasan normatif, landasan filosofis, serta landasan sosiologis.12 Artinya bahwa undang-undang telah memberikan legitimasi sosiologis atau bisa dikatakan dalam hukum Islam “Hukum harus melihat zaman serta kondisi setempat (taghayyur al-ahkm bi taghayyur al-azminah wal amkinh wal ahwl). Oleh sebab itu, batas minimal umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yakni calon suami sekurangkurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun sangat rentan terjadi pada kesehatan reproduksi bagi perempuan, hal itu
12
Lihat Penjelasan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Perundang-undangan. Dikatakan bahwa yang dikatakan asas dapat dilksanakan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan peraturan perundang-undangan harus diperhitungkan efektivitas peraturan perundangundangan tersebut dalam masyarakat baik secara filosofis ,sosiologis maupun yuridis. hal.56,
8
senada dengan pendapat ahli medis yang mengatakan bahwa kurun waktu reproduksi sehat yaitu mencapai umur 20-30 tahun. Di bawah umur itu sangat potensi mengalami kesehatan reproduksi, seperti resiko keguguran, persalinan prematur, kelainan bayi (berat bayi tidak normal/bayi cacat), anemia kehamilan serta kematian seorang ibu (perempuan) akibat keguguran. 13 Dengan batasan minimal usia perkawinan pada pria berumur 19 tahun dan perempuan 16 tahun dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, terlihat tidak relevan lagi dari segi medis. Untuk itu, perlu kiranya penelaahan yang mendalam permasalahan ini melalui penelitian penulis dalam bentuk skripsi yang berjudul
“Tingkat
Kedewasaan
Antara
Laki-laki
Dan
Perempuan
Relevansinya Dengan Batas Usia Perkawinan (Studi Komparasi Hukum Islam Dengan Pandangan Medis”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada masalah pandangan fikih dalam menilai batas usia perkawinan serta pandangan hukum positif Indonesia mengenai peraturan batas usia perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Instruksi Persiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
(KHI). Dalam pasal 7 UU No. 1 1974 yakni calon suami sekurang-
13
Ida Bagus Gde Manuaba, Ilmu kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 1996.), hal. 27-28
9
kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. (2). Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagai mana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974, begitu pula pasal 15 dalam KHI. Perbedaan ini jelas terlihat antara calon suami (laki-laki) yang secara umur lebih tua tiga tahun dari pada perempuan yang lebih muda. Namun jika dilihat dari segi medis, usia perempuan ketika menikah di bawah umur 20 tahun sangat lah berpotensi negatif pada kesehatan reproduksi perempuan seperti yang dijelaskan di atas.
2. Perumusan Masalah Dari beberapa persoalan yang ada, menurut penulis perlunya penelusuran lanjutan, karena persoalan tingkat kedewasaan antara laki-laki dan perempuan terlihat berbeda antara pandangan hukum Islam dengan pandangan medis dalam hal ini mengenai batas usia perkawinan antara kedua belah pihak. Dari pokok persoalan yang ada, maka dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pandangan hukum Islam menilai batas minimal usia perkawinan laki-laki dan perempuan? 2. Bagaimanakah pandangan medis menilai batas minimal usia perkawinan laki-laki dan perempuan? 3. Bagaimanakah komparasi pandangan hukum Islam dan medis menilai batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan?
10
C. Tujuan Penelitian Secara sederhana penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1. Mengetahui pandangan hukum Islam menilai batas minimal usia perkawinan laki-laki dan perempuan 2. Mengetahui pandangan medis menilai batas minimal usia perkawinan laki-laki dan perempuan 3. Memahami perbandingan hukum Islam dan medis menilai batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan
D. Manfaat Penelitian 1. Teoritis Penelitian ini sebagai upaya perluasan wawasan hukum Islam terlebih mengetahui pandangan psikologis dalam menilai batas usia perkawinan, agar terciptanya singkronisasi landasan normatif, filosofis serta berdimensi sosiologis. Disamping itu meningkatkan keterampilan menulis karya ilmiah dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan hukum Islam, khususnya hukum Islam dan diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dan menambah referensi peneliti untuk mendalami criteria dewasa dalam perkawinan. 2.
Praktis Penelitian ini bermanfaat bagi ulama, akademisi, legal drafter, hakim,
mahasiswa, santri dan khususnya para penggiat kajian keilmuan hukum Islam, sebagai acuan dalam mengemban memahami istimbat hukum dan sebai
11
sumbangan pikiran dari peneliti bagi kerangka pembangunan hukum Islam yang berkarakter Indonesia yang berkembang sesuai dengan zaman dan tempat (relevan).
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pertama, penelitian (hukum) normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. 14 Penelitian Hukum Normatif mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku setiap orang. 15 Jenis penelitian ini digunakan dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian ini adalah menganalisis batas usia perkawinan dalam pasal 7 UU N0. 1 Tahun 1974 yahkni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun dan KHI pasal 15. Kemudian kedua, menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) yaitu sebuah penelitian yang dilakukan
dengan cara menganalisa,
mengkaji, serta merumuskan formulasi buku-buku serta literature yang berkaitan
14
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjawan Singkat (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2007), hal. 85 15
Abdulkodir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Ctra Aditya Bakti, 2004), hal. 301
12
dengan judul skripsi ini, dalam hal ini adalah pandangan keilmuan medis menetapkan kedewasaan antara laki-laki dan perempuan. 2. Pendekatan Masalah Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan yakni penelitian hukum normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundangundangan (statute approach), pendekatan medis serta pendekatan komparatif (comparative approach). Pendekatan perundang-undangan ini menurut penulis dengan mendekati substansi pasal (statute approach) dalam UU No. 1/1974 pasal 7 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15 yang berkaitan dengan batas usia perkawinan. Fokus ini juga sekaligus menjadi tema sentral suatu penelitian16 penulis, dalam hal ini batas usia perkawinan. Pendekatan kedua yaitu pendekatan medis yang mempunyai fokus terhadap pendekatan tingkat kedewasaan seseorang secara fisik dan lain-lain. Dan terakhir adalah pendekatan komparatif (comparative approach) yaitu untuk mengetahui perbandingan makna yang dikandung dalam hukum Islam baik fikih ataupun hukum positif di Indonesia dalam hal ini UUNo.1/1974, Inpres No.1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dan pandangan medis.
16
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet Ke.IV (Malang: Bayumedia, 2008), hal. 302
13
3. Sumber bahan hukum Bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, 17 yaitu pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 dan Inpres No. 1 Tahun 1991 (KHI) pasal 15. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum perimer18seperti fiqih , jurnal hukum islam, hasilhasil penelitian, buku-buku hukum islam mengenai skripsi ini, tesis dan disertasi, serta pendapat para sarjana yang terkait dengan pembahasan ini. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum islam, ensiklopedia dan lain-lain. 4.
Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum Baik bahan hukum perimer maupun bahan hukum sekunder dikumpulkan
berdasarkan topik pembahasan yang telah dirumuskan berdasarkan menurut sumber, asas-asas hukum islam, metodologi atau formulasi mendapatkan hukum yang dikaji secara komprehensif, dengan menyesuaikan pada masalah yang dibahas.
17
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Pesada,2008), hal. 31; Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjawan Singkat, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2007), hal. 13 18
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet Ke Iv, (Malang: Bayumedia, 2008), hal. 305
14
5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan agar dapat menjawab serta disajikan sesuai penulisan yang lebih sistematis guna menjawab pembahasan yang telah dirumuskan. Bahwa cara pengolahan bahan hukum yang dilakukan secara deduktif-analitik yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkrit yang dihadapi. Selanjutnya bahan hukum yang ada dianalisis untuk mengetahui batas usia perkawinan yang didekati dalam paradigma medis. 6. Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan skripsi ini, merujuk pada buku panduan “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta tahun 2013.
F. Review Terdahulu Ada beberapa pembahasan yang hampir mirip dengan judul skripsi penulis yaitu terkait masalah batas usia perkawinan atau mengenai tingkat kedewasaan seseorang. Beberapa skripsi yang membahas mengenai hal ini, yaitu: Yang pertama, Hidayatunisa, Penetapan Batas Minimal Usia Nikah Serta Relevansinya Dengan Pembentukan Keluarga Sakinah: Studi Kasus Warga kelurahan Cipete Selatan Jakarta Selatan, (Jurusan Peradilan Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2010). Pembahasan dalam skripsi ini yaitu terkait mengenai
15
keluarga sakinah tidak serta merta didapat begitu saja, namun diperlukan persiapan,pengorbanan dan perjuangan. Salah satu untuk mencapai keluarga sakinah adalah kematangan lahir dan kesiapan batin, kematangan lahir dapat dilihat dari kematangan fisik yang berupa kematangan biologis serta kesiapan batin. Artinya adalah bahwa untuk mencapai sebuah rumah tangga yng skinah diperlukan dua kematangan fisik dan batin. Adapun objek dalam skripsi ini adalah warga cipete selatan yang menikah dalam usia 21 tahun kebawah selama tahun 2009, dimana warga cipete selatan banyak yang menikah di bawa rata-rata umur 21 tahun yang berimplikasi pada tingkat percerain atau ketidah harmonisan dalam rumah tangga. Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah deskripsi research yang bermaksud untuk mengeksplorasi sebuah fenomena dalam ruang lingkup masyarakat cipete selatan. Sedangkan pendekatan adalah menggunakan kuisoner, interview (wawancara), observasi dan dokumentasi. Yang kedua, Muhamad Syarif Hidayatullah, Batas Usia Dewasa Untuk Menikah menurut UU no. 1 Tahun 1974 Ditinjau dari Hukum Islam, (Jurusan Perbandingan Mazhab dan fikih, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2009). Pembahasan dalam skripsi ini yaitu mengenai UU No. 1 tahun 1974 merupakan pedoman umat islam di Indonesia yang dihasilkan oleh pemerintahan Indonesia. Ada yang khas dalam UU No. 1 tahun 1974 yaitu terkain mengenai batas usia perkawinan, yang mana dalam pasal 7 ayat (1) dal UU No. 1 tahun 1974 bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun
16
dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun, jika ditelusuri lebih lanjut mengenai batas usia perkawinan, para ulama klasik tidak menentukan batas usia perkawianan antara laki-laki maupun perempuan. Dari situ terdapat perbedaan tajam antara hukum positif Indonesia dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dengan fiqih klasik yang tidak menentukan hal itu, yang terpenting dalam fiqih adalah memenuhi syarat dan rukunnya. Adapun jenis penelitian yang diguakan dalam skripsi ini yaitu penelitian kualitatif, sedangkan teknik pengumpulan datanya adalah mempergunakan library research. Yang ketiga, Haris Santoso, Batas Minimal Usia Melakukan Perkawinan Di Indonesia Perspektif Imam Mazhab . (Jurusan peradialan agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2010). Secara sederhana objek pembahasan dalam skripsi ini yaitu tentang batas usia perkawinan tidak ditetapkan oleh islam itu sendiri, oleh sebab itu termasuk ranah ijtihadi yang memberikan kebebasan bagi umat untuk menyelesaikan masalah tersebut, tergantung setuasi,kondisi, kepentingan peribadi keluarga atau kebiasaan masyarakat setempat yang jelas kematangan jaelas kematangan jasmani dan rohani kedua belah pihak menjadi prioritas utama dalam agama. Permasalahannya adalah ulama berbeda pandangan mengenai batas kadar dewasa dalam menentukan bahwa dia bisa melakukan perkawinan. Oleh sebab itu analisa yang digunakan dalam skripsi adalah perspektif imam mazhab. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode induktif (menganalisis data-data kemudian menyimpulkannaya) dan metode komparatif
17
yaitu dengan menggunakan antara hukum islam dan hukum positifsebagai bahan acuan penelusuran skripsi ini. Adapun perbedaan dari ketiga skripsi di atas yaitu membahasan mengenai batas usia perkawinan baik laki-laki dan perempuan ditinjau dari hukum Islam. Sedangkan perbedaannya adalah pandangan medis melihat batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Begitu juga dengan metodelogi yang digunakanan penulis berbeda dengan ketiga skripsi di atas, yang mana penulis menggunakan metodelogi penelitian library research (kepustakaan) dan normative research (riset aturan hukum).
G. Sistematika Penulisan Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-sub guna lebih memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab serta pokok pembahasannaya adalah sebagai berikut. Bab pertama seperti biasanya diawali dengan pembahasan latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, review terdahulu dan terakhir sistematika penulisan. Bab kedua menjelaskan tentang usia perkawinan dalam Islam. Pada bab ini penulis hadirkan empat pembahasan yaitu Pengertian Usia Perkawinan, Batas
18
usia perkawinan di Indonesia, usia perkawinan di dunia dan data usia perkawinan muda di Indonesia. Bab ketiga menjelaskan tentang tingkat kedewasaan tentang paradigma medis. Pada bab ini penulis tuangkan tiga pembahasan yaitu pengertian dewasa menurut medis, fase perkembangan masa dewasa, dan terakhir perbedaan perkembangan laki-laki dan perempuan. Bab keempat pembahasan mengenai analisis tingkat kedewasaan antara laki-laki dan perempuan relevansinya dengan batas usia perkawinan. Pada bab ini penulis hadirkan tiga pembahsan yaitu pertama Pandangan Hukum Islam Terhadap Batas Usia Perkawinan Laki-Laki dan Perempuan, Pandangan Medis Terhadap Batas Usia Perkawinan Laki-Laki dan Perempuan, dan terakhir analisis penulis terkait perbandingan hukum Islam dan pandangan medis menilai batas usia perkawinan pada Laki-laki Dan Perempuan. Bab kelima adalah penutup, seperti biasa bab ini mencakup kesimpulan dari pembahasan yang telah dianalisa oleh penulis dan saran dari penulis ketika melihat substansi skripsi penulis.
BAB II USIA PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Usia Perkawinan Sebelum menjelaskan definisi usia perkawinan, penting kiranya dibedah satu persatu. Seperti yang kita ketahui istilah usia perkawinan ditemukan pembahasannya dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Namun bukan dengan kata usia, tetapi memakai kata umur. 1 Untuk memperjelas hal itu, istilah usia perkawinan merupakan gabungan dua suku kata, dari kata “usia” dan “perkawinan’. Di mana pengertian usia sendiri dimaknai dengan umur atau satuan waktu yang mengukur keberadaan suatu makhluk atau benda, baik yang hidup maupun yang mati, dengan perhitungan tahun tarik masehi maupun lainnya. Misalnya, usia manusia dikatakan lima belas tahun diukur sejak dia lahir hingga waktu umur itu dihitung.2 Adapun pengertian perkawinan terdapat dalam Pasal 1 undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu ikatan lahir-bathin antara seorang peria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk
1
Lihat pembahasan usia atau umur perkawinan pada Pasal 6 dan 7 Undang-undang Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 15 ayat (2) Instruksi Presiden Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam 2
Usia, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Umur, pada tanggal 15 Januari 2015 Pukul 15:00
19
20
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.3 Setelah menjelaskan dua kata dari usia dan perkawinan maka dapat dsimpulkan bahwa pengertian usia perkawinan sendiri yaitu sebuah masa kesiapan
kedua
calon
mempelai
laki-laki
maupun
perempuan
dalam
melangsungkan sebuah perkawinan dengan batasan sebuah umur.
B. Batas Minimal Usia Perkawinan di Indonesia Ketentuan peraturan dalam pembatasan usia perkawinan sebagaimana di atur dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak–sebagai instrumen HAM — walaupun tidak menyebutkan secara eksplisit tentang usia minimum menikah selain menegaskan bahwa anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun5 dan pasal 26 (1) huruf (c) UU Perlindungan Anak 2002 menyebutkan bahwa: Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : (c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak6, Pasal 7 UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Umur minimal boleh kawin menurut UU No. 1 tahun 1974 adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Seperti yang disebutkan
3
Pasal 1 Undang-udang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
21
dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 bahwa perkawinan hanya dapat diizinkan jika pihak laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun. Disamping itu, bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua atau pengadailan, sebagai mana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2) dan (5) UU No.1 tahun 1974. Adapu isi ayat (2): “Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua”. Sedang isi ayat (5) adalah: Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) (orang tua dan wali, pernikahan.), atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka penagadilan dalam deerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawianan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini. Dengan demikian, apabila izin tidak didapatkan dari orang tua, pengadialn dapat memberikan izin.4 Isi pasal 7 ayat (1), tentang umur minimal boleh kawin, diulang pada pasal 15 ayat (1), Kompilasi Hukum Islam, yang bunyinya: Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam
4
Watjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Balai Aksara, 1987), hal. 26
22
pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurangkurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya 16 tahun. Demikian isi pasal 6 ayat (2) UU No.1Tahun 1974 diulang pada pasal 15 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, “Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harusa mendapatkan izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No. 1 Tahun 1974. Bagi orang yang belum mencapai umur minimal tersebut akan kemungkinan melangsungkan perkawianan dengan syarat dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain, seperti disebut dalam pasal 7 ayat (2) UUP No. 1 Tahun 1974, “Dalam hal penyimpangna ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak peria maupun pihak wanita”.
C. Usia Perkawinan di Dunia Jika dilihat dari beberapa batasan usia perkawinan di dunia, di bawah ini Negara-negara yang menerapkan batasan usia perkawinan. Menurut catatan Joned, seperti contohnya di Malaysia, sebelum munculnya undang-undang baru di bidang perkawinan Malaysia, di beberapa daerah Malaysia hanya Johor yang membuat ketentuan tentang umur minimum boleh kawin.5 Sebaliknya, setelah adanya 5
Menurut Undang-Undang Perkawinan Johor, Umur Minimum Bagi Wanita 16 tahun dan 18 untuk Pria. Lihat Ahilemah Joned, Keupayaan Hak Wanita Islam Untuk Berkawin: Indah Khabar dari pada Rupa, Fauklti Undang-undang Unversitas Malaya, Makalah Undang-undang menghormati Ahamad Ibrahim, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1988), hal. 8
23
pembaharuan, hanya Perak yang tidak mengatur. Alasannya barang kali karena dianggap bertentangan dengan syari’ah. Sedang bagi wilayah persekutuan, Kelantan, Kedah, Melaka, Negeri Sembilan, Selangor dan Pulau Pinang, mengatur minimum 18 untuk pria dan 16 untuk wanita. Sekarang memang angka perkawinan kanak-kanak cenderung menurun di Malaysia, tetapi diasumsikan penurunan bukan karena faktor undang-undang tetapi hanya karena faktor pendidikan dan peluang kerja.6 Adapun bunyi pasal yang menjelaskan tetang ketentuan umur minimal boleh kawin, misalnya dalam undang-undang keluarga islam negeri pulau pinang 1985, pasal 8 disebutkan: Tiada sesuatu perkawinan boleh diakad nikahkan atau didaftarkan di bawah enakmen ini jika lelaki itu berumur kurang dari pada lapan belas tahun dan perempuan itu berumur kurang daripada enam belas tahun kecuali jika hakim syari’ah telah memberi kebenarannya secara bertulis dalam hal keadaan tertentu. Hanya saja ada sedikit perbedaan istilah, dalam UU persekutuan disebut “Akta” sebagai ganti dari “Enakmen” yang ada dalam UU Negeri Sembilan, UU Selangor, UU Pahang, UU Pinang dan UU Kelantan. Demikian juga UU Serawak
6
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Academia dan Tazzafa, 2009), hal. 375
24
menggunakan istilah “ Ordinan”. Maka bunyinya menjadi “ di bawah akta ini” dan “di bawah Ordinan ini” sebagai ganti “ dibawah Enakmen ini”. 7 Adapun bagi mereka yang belum mencapai umur minimal yang ditentukan boleh kawin dengan catatan harus mendapatkan izin dari pengadilan. Seperti disebutkan pada pasal 8 ayat (1) UU Negeri Sembilan: Dalam mana-mana kes berikut, yaitu (a) jika salah satu pihak kepada perkawinan yang dicadangkan itu adalah di bawah umur yang di nyatakan dalam seksyen 8; atau (b) jika pihak perempuan adalah seorang janda yang tersabit oleh seksyen 14 (3); atau (c) jika pihak perempuan tidak mempunyai wali dari pada nasab mengikut Hukum Syara’, maka pendaftar hendaklah, sebagai ganti bertindak dibawah seksyen 17, merujuk permohonan itu kepada hakim Syari’ah yang mempunyai bidang kuasa di tempat perempuan itu bermustautin.Pada ayat (2) disebutkan: Hakim Syari’ah, apabila berpuasa hati tentang kebenaran perkara-perkara yang disebut dalam permohonan itu dan tentang sahnya perkawinan yang dicadangkan itu dan bahwa kes itu adalah kes yang mewajarkan pemberian kebenaran bagi maksud-maksud seksyen 8 atau kebenaran bagi maksud-maksud seksyen 14 (3), atau persetujuannya terhadap perkhawinan itu diakadnikahkan oleh wali Raja bagi maksud-maksud seksyen (13) (b), mengikut mana yang berkenaan, hendaklah pada bila-bila masa selepas permohonan itu dirujukan kepadanya dan
7
Lihat pasal 8 UU Negeri Sembilan 1983, UU Selangor, UU Pahang, UU Pinang dan UU Persekutuan;pasal 7 UU Serawak, dan pasal 14 UU Kelantan.
25
setelah dibayar fee yang ditetapkan, mengeluarkan kepada pemohon kebenarannya untuk perkawinan dalam boring yang ditetapkan. 8 Berdasarkan ayat 1 point b, dapat disimpulkan ada kemungkinan mendapat izin untuk kawin bagi mereka yang belum mencapai umur minimal boleh kawin, dengan catatan pengadilan mempertimbangkan cukup alasan untuk memberikan alasan untuk memberikan izin, seperti tersebut pada ayat 2. Undang-undang Brunei Darussalam tidak mengatur tentang umur minimal boleh kawin.9 Tidak berbeda jauh dengan pembahasan di atas, perundang-undangan keluarga muslim di luar Asia tenggara kaitannya dengan umur perkawinan ada beberapa catatan penting. Pertama, ada aturan umur minimal boleh melakukan perkawinan. Artinya kalau umur minimal belum tercapai, secara prinsip calon tidak boleh melakukan perkawinan. Kedua, ada aturan tentang jarak umur antara mempelai laki-laki dan perempuan. Adapun aturan Negara-negara muslim yang kaitan dengan umur minimal boleh melakukan perkawinan adalah bervariasi, dan dapat dilihat sebagai berikut:10 Negara Algeria Bangladesh Mesir Irak
Laki-laki 21 21 18 18
Wanita 18 18 16 18
8
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Academia dan Tazzafa, 2009), hal. 377 9
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Academia dan Tazzafa, 2009), hal. 377 10
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Academia dan Tazzafa, 2009), hal. 378
26
Yordania Libanon Libia Malaysia Maroko Yaman Utara Pakistan Somalia Yaman Selatan Syiria Tunisia Turki
16 18 18 18 18 15 18 18 18 18 19 17
15 17 16 16 15 15 16 18 16 17 17 15
Dari table di atas dapat ditulis minimal dua catatan. Pertama, ada beberapa Negara yang menetapkan umur sama bagi laki-laki (suami) dan perempuan (calon istri), yakni irak, Somalia (18 tahun) dan Yaman Utara (15 tahun). Kedua, dua Negara yang menetapkan umur 21 tahun ini baru berlaku bagi laki-laki, sementara menurut penelitian terakhir, usia aman dari penyakit kanker mulut Rahim adalah usia di atas 20 tahun. Adapun sikap Negara-negara muslim bagi pelaku perkawinan sebelum mencapai umur minimal boleh melakukan perkawinan (kawin dini) adalah bervariasi, yang dapat digambarkan berikut:11 1. India dan Pakistan, dengan menghukum pelanggar. 2. Mesir, dengan melarang mencatatkan perkawinan di bawah umur, dan tidak mengakui akibat-akibat hukum dari perkawinan yang tidak dicatatkan, misalnya status hukuman yang dilahirkan. 11
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Academia dan Tazzafa, 2009), hal. 378-379
27
3. Timur Tengah, membolehkan nikah di bawah umur tetapi harus dengan izin pengadilan (hanya dengan izin pengadilan). Kaitannya dengan Negara yang mengatur jarak umur minimal antara calon, bahwa ada minimal dua Negara yang mencantumkan, yakni Syria dan Maroko. Dalam pasal 6 UU Maroko disebutkan bahwa jarak umur perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan adalah 20 tahun. Ada kemungkinan melakukan perkawinan lebih dari jarak tersebut dengan ijin pengadilan tanpa paksaan dan/atau tekanan.
D. Data Usia Perkawinan Muda di Indonesia Data Susenas Tahun 2010 menunjukkan bahwa masih ada beberapa provinsi yang usia kawin pertamanya dibawah 20 tahun, yaitu Propinsi Jambi 19.26 tahun, Lampung 19.38 tahun, Banten 19.40 tahun, Jawa Tengah 19.43 tahun, Kalimantan Tengah 19.43 tahun, Bengkulu 19.48 tahun, Nusa Tenggara Barat 19.69 tahun, Sulawesi Utara 19.71 tahun, Sumatra Selatan 19.80 tahun, Sulawesi Barat 19.84 tahun, Sulawesi Tengah 19.96 tahun. Untuk daerah perdesaan ada beberapa provinsi yang usia kawin pertamanya relative masih sangat rendah yaitu Propinsi Banten 17.53 tahun, Jawa Barat 17.54 tahun, jawa Timur 18.01 tahun, Kalimantan Selatan 18.37 tahun, Jambi 18.62 tahun, Jawa
28
Tengah 18.76. Berdasarkan Riskerdas 2010, menunjukan bahwa prevalensi umur perkawinan pertama antara 15-19 tahun sebesar 41,9 persen.12 Usia kawin pertama yang dilakukan oleh setiap perempuan memiliki resiko terhadap persalinannya. Semakin muda usia kawin pertama seorang perempuan semakin besar resiko yang dihadapi bagi keselamatan ibu maupun anak. Hal ini terjadi karena belum matangnya rahim seorang perempuan usia muda untuk memproduksi anak dan belum siapnya mental dalam berumah tangga. Untuk itu pendewasaan usia perkawinan merupakan salah satu upaya untuk memperkecil risiko yang terjadi terkait dengan kesehatan ibu maupun anaknya.
12
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan – BKKBN, Perkawinan Muda Dikalangan Perempuan: Mengapa...?, Seri I No.6/Pusdu-BKKBN/Desember 2011,hal. 2
BAB III KONSEP DEWASA DALAM MEDIS
A. Pengertian Dewasa Menurut Medis Kata dewasa berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik, Dalam kata lain dikatakan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak menjadi dewasa dengan rentan usia antara 12-22 tahun, di mana pada masa tersebut terjadi proses pematangan baik itu pematangan fisik maupun pisikologis.1 Istilah dewasa menggambarkan segala organisme yang telah matang, tapi lazimnya merujuk pada manusia: orang yang bukan lagi anak-anak dan telah menjadi pria atau wanita dewasa. Pengertian dewasa sendiri sering diidentikan pada sebuah tahapan. Seperti masa dewasan merupakan salah satu tahapan perkembangan manusia. Pada masa dewasa ini individu dianggap telah siap menghadapi suatu perkawinan, namun perkawinan bukanlah suatu hal yang mudah karena banyak konsekuensi yang harus dihadapi sebagai suatu bentuk tahapan kehidupan baru sebagai manusia dewasa.2
1
Hurlock E.B, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, (ed.5), (Jakarta:Erlangga, 1994) hal. 45 2
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan – BKKBN, Perkawinan Muda Dikalangan Perempuan: Mengapa...?, Seri I No.6/Pusdu-BKKBN/Desember 2011, hal. 2
29
30
Makna dewasa sendiri bisa didefinisikan dari aspek biologi yaitu sudah akil baligh, hukum sudah berusia 16 tahun ke atas atau sudah menikah, menurut Pasal 7 Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yaitu bahwa usia 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita dan karakter pribadi yaitu kematangan dan tanggung jawab.3 Berbagai aspek kedewasaan ini sering tidak konsisten dan kontradiktif. Seseorang
dapat
saja
dewasa
secara
biologis,
dan
memiliki
karakteristik perilaku dewasa, tapi tetap diperlakukan sebagai anak kecil jika berada di bawah umur dewasa secara hukum. Sebaliknya, seseorang dapat secara legal dianggap dewasa, tapi tidak memiliki kematangan dan tanggung jawab yang mencerminkan karakter dewasa. Kata "dewasa" kadang juga berarti "tidak dianggap cocok untuk anakanak", terutama sebagai suatu yang berkaitan dengan perilaku seksual, seperti hiburan dewasa,video dewasa, majalah dewasa, serta toko buku dewasa. Tetapi, pendidikan orang dewasa hanya berarti pendidikan untuk orang dewasa, dan bukan spesifik pendidikan seks. Menurut psikologi, dewasa adalah periode perkembangan yang bermula pada akhir usia belasan tahun atau awal usia duapuluhan tahun dan yang berakhir pada usia tugapuluhan tahun. Ini adalah masa pembentukan kemandirian pribadi dan ekonomi, masa perkembangan karier, dan bagi banyak orang, masa
3
Pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
31
pemilihan pasangan, belajar hidup dengan seseorang secara akrab, memulai keluarga, dan mengasuh anak anak.4 Adapun pengertian dewasa di sini yang dimaksud penulis adalah sebuah masa dewasa awal di mulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun, saat perbubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai tingkat kemampuan reproduksinya ketika melangsungkan sebuah perkawinan. 5Adapun istilah medis sendiri diartikan sebagai sebuah paradigma atau perspektif dalam tataran keilmuan ilmiah medis. Jadi dapat disimpulkan bahwa dewasa dalam pengertian medis sendiri di sini yaitu sebuah masa dewasanya laki-laki maupun perempuan untuk melangsungkan sebuah perkawinan dengan kesiapan organorgan kedewasaan secara biologis maupun medis.
B. Fase Perkembangan Masa Dewasa Setiap tahap perkembangan memiliki karaktersitik tersendri. Seperti halnya tahap perkembangan masa dewasa awal ditandai dengan berbagai macam dan ciri khas tersendiri, baik itu laki-laki maupun perempuan. Menurut Dariyo, bahwa secara fisik, seorang dewasa awal/muda menampilkan profil yang sempurna dalam arti bahwa pertumbuhan dan perkembangan aspek fisiologis telah mencapai puncaknya. Mereka memiliki daya taha dan taraf kesehatan yang 4
Dewasa, diakses dari wikepedia pada tanggal 23 Maret 2014 Pukul 15:32 WIB , lebih lengkap: http://id.wikipedia.org/wiki/Dewasa 5
Kesimpulan ini diambil dari Skripsi Ika Sari Dewi, Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, (Medan: USU Repository, 2006), hal. 11
32
prima sehingga dalam melakukan berbagai kegiatan tampak inisiatf, kreatif, energik, cepat dan proaktif. Sementara bagi Havihurts menjelaskan beberapa perkembangan pada dewasan awal diantaranya mulai berkerja, memilih pasangan, belajar hidup dengan pasangan dan memulai membina keluarga. 6 Sebelum melangkah lebih jauh dari karakteristik tingkat dewasa itu sendiri, masa dewasa sendiri memiliki tahapan yang khas dari segi fisiologis dan medisnya. Seperti biasanya, masa dewasa awal atau yang biasa disebut dengan masa pubertas, pasti akan mengalami beberapa perubahan. Perubahan yang utama (primer) terjadi di dalam tubuh. Perubahan tersebut memungkinkan seorang laki-laki dan perempuan pada masa puber dapat menghasilkan bayi. Perubahan utama diiringi perubahan sekunder atau perubahan fisik yang ciricirinya tampak pada manusia. 1. Perkembangan Fisik Laki-Laki pada Masa Pubertas. Seorang laki-laki telah dianggap memasuki masa puber jika pada tubuhnya terjadi perubahan, antara lain sebagai berikut: a) Jakun mulai tumbuh b) Dada tampak lebih berbidang c) Tumbuh rambut di daerah ketiak dan kemaluan d) Suara menjadi lebih berat dan besar e) Mulai mengalami mimpi basah 6
Ika Sari Dewi, Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, (Medan: USU Repository, 2006), hal. 13
33
f) Pembuangan minyak lambat, mulai tumbuh jerawat g) Hormon seks makin matang menghasilkan organ seks laki-laki h) Bahunya melebar dan otot-otot berisi 2. Perkembangan Fisik Perempuan pada Masa Pubertas Seorang perempuan telah dianggap memasuki masa puber jika pada tubuhnya telah ada perubahan sebagai berikut: a) Payudara mulai tumbuh besar b) Pinggul mulai melebar c) Tumbuh rambut di daerah ketiak dan kemaluan d) Datangnya haid atau menstruasi setiap bulan e) Bentuk tubuh membulat f) Pertumbuhan tinggi badan berhenti g) Usia 13 tahun rata-rata gadis mengalami haid pertama7
Selain ciri khas di atas, pertumbuhan dan perkembangan manusia menjadi dewasa mengalami tahap pubertas. Pada masa ini, baik laki-laki maupun perempuan menunjukkan pertumbuhan yang cukup cepat. Badan akan bertambah tinggi, bertambah gemuk, dan organ kelaminnya sudah mampu menghasilkan sel kelamin yang matang.
7
Perubahan Fisiologis dan Biologis Pria dan Wanita, diakses pada Koran Jakarta Kamis, 27 Maret 2014 02:00:00. Lebih lengkap: http://www.koran-jakarta.com/?8829perubahan+fisiologis+dan+biologis+pria+dan+wanita
34
Pada laki-laki ditandai dengan kemampuan testis (buah zakar) untuk menghasilkan sperma. Pada perempuan ditandai dengan kemampuan ovarium (indung telur) menghasilkan sel telur. Hal ini menunjukkan bahwa manusia telah mampu bereproduksi. Pada masa dewasa, badan seseorang tidak mengalami pertumbuhan tinggi lagi, tetapi hanya bertambah berat. Masa dewasa ini akan berakhir pada berkurangmya kemampuan fisiknya, seperti rambut terlihat memutih. Gigi mulai tanggal dan tidak tumbuh kembali. Kulit mulai keriput. Penglihatan mulai kabur karena daya akomodasi lensa mata berkurang dan pendengaran pun juga berkurang. Pada perempuan, ovarium sudah tidak dapat menghasilkan sel telur lagi sehingga tidak terjadi menstruasi lagi. Masa ini disebut menopause. Tetapi, pada laki-laki proses pembentukan sperma masih terjadi, meskipun telah menurun.8 Jika melihat Periode Perkembangan Masa Dewasa itu sendiri, menurut E. Hurlock terbagi dalam 3 periode masa dewasa, yaitu: 1) Masa Dewasa Awal (Early Adulthood = 18/20 tahun – 40 tahun). Secara biologis merupakan masa puncak perumbuhan fisik yang prima dan usia tersehat dari populasi manusia secara keseluruhan (healthiest people in population) karena didukung oleh kebiasaan-kebiasaan positif (pola hidup sehat). Secara psikologis, cukup banyak yang kurang mampu mencapai kematangan akibat banyaknya masalah dihadapi dan tidak mampu diatasi baik sebelum 8
Perubahan Fisiologis dan Biologis Pria dan Wanita, diakses pada Koran Jakarta Kamis, 27 Maret 2014 02:00:00. Lebih lengkap: http://www.koran-jakarta.com/?8829perubahan+fisiologis+dan+biologis+pria+dan+wanita.
35
maupun setelah menikah, misalnya: mencari pekerjaan, jodoh, belum siap menikah, masalah anak, keharmonisan keluarga, dll. Tugas-tugas perkembangan (development task) pada usia ini meliputi : pengamalan ajaran agama, memasuki dunia kerja, memilih pasangan hidup, memasuki pernikahan, belajar hidup berkeluarga, merawat dan mendidik anak, mengelola rumah tanggga, memperoleh karier yang baik, berperan dalam masyarakat, mencari kelompok sosial yang menyenangkan. 2) Masa Dewasa Madya/Setengah Baya (Midle Age = 40 – 60 tahun). Aspek fisik sudah mulai agak melemah, termasuk fungsi-fungsi alat indra, dan mengalami sakit dengan penyakit tertentu yang belum pernah dialami (rematik, asam urat, dll). Tugas-tugas perkembangan meliputi : memantapkan pengamalan ajaran agama, mencapai tanggung jawab sosial sebagai warga negara, membantu anak remaja belajar dewasa, menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan pada aspek fisik, mencapai dan mempertahankan prestasi karier, memantapkan peran-perannya sebagai orang dewasa. 3) Masa Dewasa Lanjut / Masa Tua (Old Age = 60 – Mati). Ditandai dengan semakin melemahnya kemampuan fisik dan psikis (pendengaran, penglihatan, daya ingat, cara berpikir dan interaksi sosial). Tugas-tugas perkembangan meliputi : Lebih memantapkan diri dalam pengamalan ajaranajaran agama. Mampu menyesuaikan diri dengan : menurunnya kemampuan fisik dan kesehatan, masa pensiun, berkurangnya penghasilan dan kematian pasangan
36
hidup. Membentuk hubungan dengan orang seusia dan memantapkan hubungan dengan anggota keluarga.9
C. Perbedaan Perkembangan Laki-laki dan Perempuan Ditinjau dari perkembangan fisik, terdapat perbedaan yang jelas antara pria dan wanita dalam rata-rata tinggi badan, organ genetalia, payudara, kumis, dan pola-pola pertumbuhan rambut (termasuk kebotakan). Selain itu, pria dan wanita memiliki perbedaan fisiologis yang bersifat hormonal yang memengaruhi variasi ciri-ciri biologis, seperti kesuburan.10 Meskipun secara fisik pria cenderung lebih kuat dibanding wanita, tapi wanita sejak bayi hingga dewasa memiliki daya tahan lebih kuat dibandingkan pria, baik daya tahan akan rasa sakit maupun daya tahan terhadap penyakit. Anak laki-laki lebih rentan terhadap berbagai jenis penyakit dibandingkan wanita. Selain itu, secara neurologis, anak perempuan lebih matang dibandingkan anak laki-laki sejak lahir hingga masa remaja, dan pertumbuhan fisiknya pun lebih cepat. Wanita cenderung hidup lebih lama daripada pria. Menurut Sigmund Freud, “Anatomi adalah takdir”. Apakah perbedaan fisik pria dan wanita merupakan bukti bahwa perbedaan gender disertai juga perbedaan psikologis? Pria dan wanita memang terlihat berbeda dan memiliki 9
Hurlock E.B, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, (ed.5), (Jakarta:Erlangga, 1994) hal. 65 10
Perubahan Fisiologis dan Biologis Pria dan Wanita, diakses pada Koran Jakarta Kamis, 27 Maret 2014 02:00:00. Lebih lengkap: http://www.koran-jakarta.com/?8829perubahan+fisiologis+dan+biologis+pria+dan+wanita
37
organ serta hormon seks yang berbeda. Oleh karena itu, ada anggapan bahwa pria dan wanita juga berbeda dalam cara masing-masing berpikir, bertindak, dan merasakan sesuatu. Semua itu karena alasan biologis. Ada beberapa area di mana kita dapat menemukan perbedaan gender yang reliabel berkaitan dengan kemampuan psikologis, khususnya dalam area yang menyangkut kemampuan berpikir, persepsi, dan memori. Pada umumnya, pria (sejak kecil hingga dewasa) memperlihatkan kemampuan spasial yang lebih baik, sedangkan wanita (sejak kecil hingga dewasa) menunjukkan kemampuan verbal yang lebih maju. Pria cenderung lebih berani mengambil tanggung jawab dalam kelompok, sedangkan wanita lebih menaruh perhatian dan terlibat dalam pengasuhan anak. Masa pertumbuhan manusia ada batasnya. Secara normal, pada laki-laki pertumbuhan terhenti pada usia sekitar 22 tahun, sedangkan pada perempuan di usia sekitar 18 tahun. Pada kebanyakan remaja, perkembangan tubuh lebih cepat dialami pada waktu mereka berusia 12 tahun–18 tahun. Untuk remaja perempuan, pertumbuhan cepat itu biasanya terjadi pada usia 12 tahun, sedangkan untuk remaja lakilaki pada usia 14 tahun. Setelah usia 14 tahun, remaja laki-laki biasanya mengejar ketinggalan tinggi dan beratnya itu dan melampaui tinggi serta berat remaja perempuan.11
11
Perubahan Fisiologis dan Biologis Pria dan Wanita, diakses pada Koran Jakarta Kamis, 27 Maret 2014 02:00:00. Lebih lengkap: http://www.koran-jakarta.com/?8829perubahan+fisiologis+dan+biologis+pria+dan+wanita
38
Adapun perbedaan Perkembangan Fisik Anak Perempuan & Laki-laki, seperti dalam pertumbuhan bayi dan remaja, anak-anak tumbuh dengan tinggi dan berat badan di tingkat yang sama-sama lambat tapi stabil. Tidak ada perbedaan mencolok antara kedua jenis kelamin hingga akhir sekolah dasar. Memang kebanyakan anak perempuan tumbuh tinggi lebih cepat, tapi biasanya anak laki-laki dapat mengejar dan melebihi dalam beberapa tahun. Perempuan biasanya tumbuh tinggi 3 inci per tahun atau sedikit lebih. Sedangkan anak lakilaki tumbuh 3-4 inci per tahun. Perbedaan pada masa pubertas atau memasuki dewasa awal, beberapa gadis mulai menunjukkan perubahan pertama pubertas dengan adanya tunas payudara
dan
(kemudian)
rambut
kemaluan
di
usia
8
tahun.
Perubahan ini biasanya berlangsung di usia 8 dan 12 tahun. Perubahan ini biasanya diikuti oleh menstruasi. Kebanyakan gadis mendapatkan periode haid pertama mereka dalam lima tahun perkembangan payudara atau sebelum berusia 16 tahun.12 Namun ada juga beberapa anak perempuan yang “matang” di usia yang sangat dini, 7 tahun. Situasi ini dikenal sebagai pubertas prekoks. Tidak jelas apa yang menyebabkan pematangan awal ini. Diperkirakan berasal dari paparan lingkungan genetika. Beberapa penelitian menunjukkan hal ini biasa terjadi pada anak perempuan Afrika-Amerika. 12
Perbedaan Perkembangan Fisik Anak Perempuan & Laki-laki, Tabloid Nova, Selasa, 11 Februari 2014, lihat : http://www.tabloidnova.com/Nova/Kesehatan/Anak/PerbedaanPerkembangan-Fisik-Anak-Perempuan-Laki-laki/
39
Sedangkan pada anak laki-laki sangat jarang ditemukan perubahan yang dikarenakan pubertas. Biasanya pubertas ditandai dengan pembesaran testis dan pertumbuhan penis serta rambut kemaluan. Ini terjadi sebelum usia 9 tahun. Untuk keterampilan motorik, Pada anak laki-laki, keterampilan motorik kasar (berjalan, melompat, keseimbangan) cenderung berkembang sedikit lebih cepat. Sedangkan pada anak perempuan, keterampilan motorik halusnya (memegang pensil, menulis) yang meningkatkan pertama kali. Hal ini bisa menguntungkan posisi anak perempuan di sekolah dasar.13 Anak laki-laki juga lebih agresif dan impulsif secara fisik, seperti diungkapkan oleh studi yang menganalis otak anak. Pusat kesenangan otak benar-benar lebih “menyala” pada anak laki-laki ketika mereka dihadapkan pada tantangan. Itu bukan berarti anak perempuan tidak aktif dan berani mengambil risiko, hanya saja dalam hal ini anak laki-laki lebih memainkan perannya.
13
Perubahan Fisiologis dan Biologis Pria dan Wanita, diakses pada Koran Jakarta Kamis, 27 Maret 2014 02:00:00. Lebih lengkap: http://www.koran-jakarta.com/?8829perubahan+fisiologis+dan+biologis+pria+dan+wanita.
BAB IV ANALISIS TINGKAT KEDEWASAAN ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN RELEVANSINYA DENGAN BATAS USIA PERKAWINAN
A. Pandangan Hukum Islam Terhadap Batas Usia Perkawinan Laki-laki Dan Perempuan Seperti yang kita ketahui bahwa dalam hukum Islam tidak dijumpai adanya batas usia menikah bagi seseorang, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, hal ini tidak berarti bahwa undang-undang Negara muslim tidak menerapkan ketentuan mengenai pembatasan usia perkawinan ini. Bahkan, dalam beberapa riwayat justru disebutkan bahwa Rasulullah Saw. menikahi Aisyah ketia ia berumur kurang dari tujuh tahun. Fakta sejarah inilah yang kemudian menyulut perdebatan cukup serius dikalangan ulama, mengenai bagaimana status menikahi anak kecil atau dibawah umur dalam pandangan Islam. Seperti yang dijelaskan imam Nash al-Marwazi dalam kitab Ikhtilâf alÛlama’; Ulama, terutama kalangan Ahl al-‘Ilm, sepakat bahwa hukum seorang ayah menikahkan anaknya yang masih kecil (laki-laki atau perempuan) adalah boleh, dan tanpa adanya pilihan (khîyâr) ketika dewasa. Alasannya adalah bahwasanya Rasulullah Saw. menikahi Aisyah ketia ia berumur enam tahun, dan hidup bersama pada umur 9 tahun. Hal ini pun dibolehkan oleh para sahabat,
40
41
seperti ‘Umar ibn Khaththab, ‘Ali ibn Thalib, Ibn ‘Umar, Zubayr, Ibn Qudamah, Ibn Maz’un, dan Ammarah.1 Perkawinan usia muda ini sangat terkait dengan hak orang tua atau wali untuk menikahkan anaknya, tanpa disertai kemauan anaknya itu sendiri. Dalam beberapa kasus di masyarakat, karena alasan hubungan kekeluargaan atau mempertahankan status sosial orang tua sering kali menjodohkan atau bahkan menikahkan anak mereka dengan anak saudaranya yang sejak masih belia.2 Terhadap fenomena semacam ini, pokok permasalahan terkategori pada masalah yang penulis sebutkan, yaitu hak orang tua untuk memaksakan, pernikahan anakanak mereka. Menurut Imam Malik, Ahl al- Madinah, Imam al- Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq, dan Abi Layla, seperti yang dikutip al-Marwazi, pemaksaan pernikahan kepada perawan hanya boleh dilakukan oleh Ayah. Namun, meminta izin darinya adalah lebih baik.3 Meski mereka sepakat bahwa orang tua boleh memaksa anaknya untuk menikah, mereka berbeda pendapat ketika memutuskan siapa yang berhak menikahkan. Imam al- Syafi’i, Abu Ubay, Abu Tsaur berpendapat bahwa selain ayah kandung tidak ada yang berhak menikahkannya. Jika diwakilkan kepada orang lain maka nikahnya batal. Sementara Imam Malik berpendapat bahwa bagi 1
Imam Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Nashr al-Marwazi, Ikhtilâf al-Ûlama’, (Beirut; Alim al-Kutub, 1985), hal. 125; lihat pula, Musthafa al-Siba’i, Perempuan di Antara Hukum Islam dan Perundang-undangan, hal. 80. 2
Musthafa al-Siba’i, Perempuan di Antara Hukum Islam dan Perundang-undangan,hal.
81. 3
Imam Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Nashr al-Marwazi, Ikhtilâf al-Ûlama’, (Beirut; Alim al-Kutub, 1985), hal. 125
42
anak laki-laki ayah boleh menikahkannya, tetapi untuk anak perempuan tidak boleh dan harus ayah kandungnya. Pendapat ketiga yaitu dari Ahl al-‘Ilm menyatakan, bahwa selain ayah boleh menikahkan anak kecil, baik laki-laki maupun perempuan, dengan catatan ketika mereka dewasa diberikan hak pilih (khîyâr). Menurut al-Hasan dan ‘Atho; ini adalah pendapat Syaikh Ahl al-Ra’y, Ahmad dan Ishaq.4 Masalah pernikahan merupakan urusan hubungan antara manusia (mu’amalah) yang oleh agama hanya diatur dalam bentuk prinsip-prinsip umum. Tidak adanya ketentuan agama tentang batas usia minimal dan maksimal untuk menikah dapat dianggap sebagai suatu rahmat. Maka, kedewasaan untuk menikah termasuk masalah ijtihadiah, dalam arti kata diberi kesempatan untuk berijtihad pada usia berapa seseorang pantas menikah. Nabi Muhammad Saw. Melangsungkan akad nikah dengan ‘Aisyah ketika ia baru berusia enam tahun, dan dalam sembilan tahun istrinya itu telah digaulinya. Hal ini diakui sendiri oleh ‘Aisyah Ummm al-Muminîn dalam hadits:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﯾﻮﺳﻒ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻔﯿﺎن ﻋﻦ ھﺸﺎم ﻋﻦ أﺑﯿﮫ ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﮭﺎ أن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﺗﺰوﺟﮭﺎ وھﻲ ﺑﻨﺖ ﺳﺖ ﺳﻨﯿﻦ وأدﺧﻠﺖ ﻋﻠﯿﮫ وھﻲ ﺑﻨﺖ ﺗﺴﻊ ٥
(وﻣﻜﺜﺖ ﻋﻨﺪه ﺗﺴﻌﺎ )ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﯿﮫ
4
HR: Bukhari dan Muslim, lihat Imam Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Nashr alMarwazi, Ikhtilâf al-Ûlama’, (Beirut; Alim al-Kutub, 1985), hal. 125 5
Hadits No. 4840, Ahmd ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Asqâlani, Syûruh al-Hadît: Fath al-Bâri: Syarh Shâhih al-Bukhâri, Juz. I, (Tt: Dâr ar-Riyân li al-Turâts, 1407 H/1986 M), hal. 30
43
Berkata kepada kami Muhammad ibn Yusuf, berkata kepada Kami Sufyan dari Hisyam dari bapaknya, dari ‘Aisyah Ra, bahwa Nabi S.a.w. telah menikahinya ketika ia berusia enam tahun, dan Rasulullah telah menggaulinya ketika dia berusia sembilan tahun. Hadis ini hanya bersifat khabariyyah (kabar) belaka tentang perkawinan Nabi. Di dalamnya tidak dijumpai khîthâb (pernyataan), baik serupa khîthâb altalâb yang mesti diikuti atau pun khîthâb al-tark supaya ditinggalkan. Karena itu, pernyataan usia yang ada dalam hadits di atas tidak dapat disimpulkan sebagai pernyataan batas usia terendah kebolehan melangsungkan pernikahan bagi kaum wanita. Batas usia untuk menikah bagi kaum pria juga tidak ada ketentuannya. Adanya seruan Nabi kepada kaum pemuda yang mampu melakukan pernikahan supaya menikah bukanlah suatu kemestian pembatasan usia, seperti hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud:
، ﯾﺎ ﻣﻌﺸﺮ اﻟﺸﺒﺎب: ﻗﺎل ﻟﻨﺎ رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ: ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﷲ ﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮد ﻗﺎل وﻣﻦ ﻟﻢ ﯾﺴﺘﻄﻊ، وأﺣﺼﻦ ﻟﻠﻔﺮج، ﻣﻦ اﺳﺘﻄﺎع ﻣﻨﻜﻢ اﻟﺒﺎءة ﻓﻠﯿﺘﺰوج ﻓﺈﻧﮫ أﻏﺾ ﻟﻠﺒﺼﺮ ٦
6
(ﻓﻌﻠﯿﮫ ﺑﺎﻟﺼﻮم ﻓﺈﻧﮫ ﻟﮫ وﺟﺎء )ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﯿﮫ
HR. Bukhari dan Muslim, lihat Abu Abdurrahman bin Syu’aib al-Nasâi, Sunan alNasâ’i, Juz VI, (Mesir: Syarikah Maktabah wa Mathba’ah Mushthafa al-Baby al-Halaby wa Auladih, tt), hal. 47. Lihat juga ‘Ibn Daqîq al-‘Abd, Syûruh al-Hadîts: Ihkâm al-Ihkâm Syarh‘Umdah al-Ahkâm, Juz. II (T.t: Sunah al-Nasyr, 1995 M/1416 H), hal. 552
44
Dari Abdillah ibn Mas’ud berkata: Rasulullah Saw bersabda Hai para pemuda! Siapa saja di antara kamu yang sudah mampu menanggung biaya, maka hendaklah ia kawin, karena kawin itu membatasi pandangan dan menjaga kehormatan. Bagi siapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu menjadi perisai baginya. Kendati pun, al-Syabâb, jamak dari Syabb, berarti pemuda yang berusia sebelum 30 tahunan.7 Menurut para ulama, masalah usia dalam pernikahan sangat erat hubungannya dengan kecakapan bertindak. Hal ini tentu dapat dimengerti karena perkawinan merupakan perbuatan hukum yang meminta tanggung jawab dan dibebani kewajiban-kewajiban tertentu. Maka, setiap orang yang akan berumah tangga diminta kemampuannya secara utuh. Menurut bahasa Arab, “kemampuan” disebut ahlu yang berarti “layak, pantas”. 8 Para ulama mendefinisikan kemampuan itu sendiri dengan shalahuyyatuhu liwujûb al-huqûq al-masyru’ah lahu wa ‘alaih, yaitu kepantasan seseorang untuk menerima hak-hak dan memenuhi kewajiban-kewajiban yang diberikan syara’.9
Kepantasan di sini berkaitan dengn ahliyyah al-wujûb (kemampuan untuk mempunyai dan menanggung hak), sedangkan kepantasan bertindak menyangkut kepantasan seseorang untuk dapat berbuat hukum secara utuh, yang dalam fikih disebut ahliyyah al-ada’ (kemampuan untuk melahirkan kewajiban atas dirinya dan hak untuk orang lain), menurut kesepakatan para ulama, yang menjadi dasar 7
Al-Rahawi, Syarh al-Manar wa Khawasyih min’Ilm al-Usul, (Mesir: Dar al-Sa’adah, 1315 H), hal. 930 8
Al-Rahawi, syarh al-Manar wa Khawasyih min’Ilm al-Usul, (Mesir: Dar al-Sa’adah, 1315 H), hal. 930 9
hal. 45
Jurnal Sun Choirol Ummah, Kedewasaan untuk Menikah, (Yogyakarta: UNY, t.th,)
45
kecakapan bertindak adalah akal. Apabila akal seseorang masih kurang, maka ia belum dibebani kewajiban. Sebaliknya, jika akalnya telah sempurna, ia wajib menunaikan beban tugas yang dipikulkan kepadanya. Berdasarkan hal ini, maka kecakapan bertindak ada yang bersifat terbatas (ahliyyah al-ada’ al-nuqshân) da nada pula yang bersifat sempurna (ahliyyah al-ada’ al-kâmilah). Kalau keterangan dan pembagian ini dihubungkan dengan perkawinan, maka timbul pertanyaan: usia berapakah seseorang dipandang cakap untuk membangun rumah tangga? Sebelum menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu perlu diperhatikan firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 6: Artinya: Dan ujilah anak yatim itu olehmu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian, jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Pada dasarnya ayat ini berisi anjuran supaya memperhatikan anak yatim tentang keagamaannya.usaha-usahanya dan kelakuannya sehingga mereka dapat dipercaya. Orang yang dapat dipercaya secara sempurna berarti telah dapat diberi pertanggungjawaban secara penuh, atau dengan kata lain, orang itu telah dewasa. Ketika menafsirkan ayat di atas, Muhammad Rasyid Ridha mengatakan bahwa bulûgh al-nikâh berarti sampainya seseorang kepada umur untuk
46
menikah, yakni sampai bermimpi, pada umur itu, katanya, seseorang telah bisa melahirkan anak dan menurunkan keturunan, sehingga tergerak hatinya untuk menikah. Pada umur ini kepadanya telah dibebankan hukum-hukum agama, seperti ibadah dan muamalah serta diterapkannya hudud. Karena itu maka rusyd adalah kepantasan seseorang dalam ber-tasharruf serta mendapatkan kebaikan. Hal ini merupakan bukti kesempurnaan akalnya.10 Menurut ulama Syafi’iyah, rusyd-nya anak kecil ialah apabila telah tampak kebaikan tindakannya dalam soal beragama dan harta benda.11 Bedasarkan uraian di atas, maka kedewasaan di tentukan dengan “mimpi” dan “rusyd” . akan tetapi umur mimpi dan rusyd kadang-kadang tidak sama dan sukar ditentukan. Seseorang yang telah bermimpi adakalanya belum rusyd dalam tindakannya. Hal ini dapat dibuktikan dalam tindakan sehari-hari. Karena itu, kedewasaan pada dasarnya dapat ditentukan dengan umur dan dapat pula dengan tanda-tanda. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat para ahli, sebagai berikut:
10
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, Juz IV, (Mesir: Al-Manar, 1325 H), hal.
387. 11
Abdul Rahman al-Jaziri, Kitâb al-Fiqh ‘ala al-Mazdâhib al-Arba’âh, Juz II, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1985), hal. 353
47
1. Menentukan kedewasaan anak-anak dengan tanda-tanda ialah dengan datangnya tanda haid, kerasnya suara, tumbuhnya bulu ketiak, atau tumbuhnya bulu kasar di sekitar kemaluan. 12 2. Menentukan kedewasaan dengan umur, terdapat berbagai pendapat,antara lain: a) Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menentukan bahwa masa dewasa itu mulai 15 tahun. Walaupun mereka dapat menerima kedewasaan dengan tanda-tanda, seperti diatas, tetapi karena tanda-tanda itu datangnya tidak sama untuk semua orang, maka kedewasaan ditentukan dengan umur. Disamakannya masakedewasaannya untuk peria dan wanita adalah karena kedewasaan itu ditentukan dengan akal. Dengan akallah terjadinya taklif, dan karena akal pulalah adanya hukum.13 b) Abu Hanifah berpendapat bahwa kedewasaan itu datang mulai usia 19 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita. Sedangkan Imam Malik menetapkan 18 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka beralasan dengan “ketentuan dewasa menurut syarat ialah mimpi” , karenanya mendasarkan hukum kepada mimpi itu saja. Mimpi tidak diharapkan lagi datangnya bila usia telah 18 tahun. Umur antara 15 sampe 18 tahun masih
12
Abdul Rahman al-Jaziri, Kitâb al-Fiqh ‘ala al-Mazdâhib al-Arba’âh, Juz II, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1985), hal. 350. 13
Abdul Qadir Audah, al-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamiy, Juz I, (Cairo: Dar al-urubah, 1964), hal. 603.
48
diharapkan datangnya. Karena itu ditetapkanlah bahwa umur dewasa itu pada usia 18 tahun. c) Yusuf Musa mengatakan bahwa usia dewasa itu setelah seseorang berumur 21 tahun. Hal ini dikarenakan pada zaman modern orang memerlukan persiapan yang matang, sebab mereka masih kurang pengalaman hidup dan masih dalam proses belajar. namun demikian kepada mereka sudah dapat diberikan beberapa urusan sejak usia 18 tahun. 14 Meninjau apa yang ada dalam kitab-kitab fikih konvensional ini, dapat dibandingkan dengan hukum perkawinan di Indonesia yang menetapkan bahwa batas minimal usia perkawinan di Indonesia sejatinya adalah 19 tahun untuk lakilaki dan 16 tahun bagi perempuan. Bagi mereka yang tidak mencapai usia ini maka harus meminta izin dari pengadilan, dan bagi calon pengantin yang belum mencapai usia 21 tahun maka harus menyertakan izin dari orang tua. Menurut Muhammad Atho Mudzhar,15 meskipun ketentuan ini tidak ada dalam kitab-kitab fikih pembatasan perkawinan ini sudah tidak lagi menimbulkan resistensi dari berbagai kelompok Islam, bahkan telah dianggap lumrah dan biasa. Indonesia termasuk Negara yang cukup menoleransi perkawinan muda. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan Negara-negara lain dalam pembatasan usia nikah. Negara yang menerapkan usia 21 bagi laki-laki adalah Aljazair dan 14
Abdul Qadir Audah, al-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamiy, Juz I, (Cairo: Dâr al-‘Urubah, 1964), hal. 602 15
Muhammad Atho Mudzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawwir Sjadzali, hal. 218.
49
Bangladesh, serta 18 tahun bagi perempuan. Sementara Tunisia sama dengan Indonesia 19 tahun bagi laki-laki,hanya saja Tunisia membatasi 17 tahun untuk perempuan. Yang cukup banyak adalah usia 18 tahun bagi laki-laki, yaitu Mesir, Irak, Leanon, Libya, Maroko, Pakistan, Somalia, Yaman Selatan, dan Syuriah. Sisanya adalah dibawa 18 tahun, yakni Turki yang mematok umur 17 tahun untuk laki-laki, Yordania 17 tahun, dan yang paling rendaah adalah Yaman Utara 15 tahun bagi perempuan. Sementara untuk usia perempuan yang tertinggi adalah 18 tahun, yang diterapkan di Aljazair, Bangladesh, dan Somalia.16 Usia 17 tahun diterapkan di Tunisia, Suriah, dan Libanon, sedang yang sama dengan Indonesia 16 tahun untuk perempuan adalah Yaman Selatan, Pakistan, Malaysia, Libya, dan Mesir.17 Dari sekian banyak Negara, hanya Yordania yang menerapkan batasan perbedaan umur antara calon pasangan yang hendak kawin. Di Negara ini diatur bahwa jika jarak usia laki-laki dan perempuan itu lebih dari 20 tahun, sedangkan perempuan kurang dari 18 tahun maka pernikahan tersebut dilarang. 18 Islam sejatinya tidak pernah melarang perkawinan antara orang tua dengan anak-anak.
16
Somalia mematok usia yang sama antara laki-laki dan perempuan, yaitu 18 tahun.
17
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, (New Delhy: Academy of law and Religion,1987), hal. 270; Dalam Konvensi Tentang Hak-hak Anak disebut bahwa seseorang dikatagorikan sebagai anak-anak ketika berusia di bawah 18 tahun. Lihat pasal 1 Konvenan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kompilasi Instrumen HAM Internasional, ( Jakarta: Komnas HAH, 2008), hal. 133. 18
Mohammad Atho Mudzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawwir Sjadzali, hal. 218.
50
Hanya saja perkawinan dalam Islam sendiri dimaksudkan agar tercipta ketenangan dan kebahagiaan, hal mana sepenuhnya diserahkan kepada orang tua mereka terkait dengan perempuan yang belum dewasa. Pertimbangan orang tualah yang akan menentukan arah masa depan sang anak. Namun demikian, menurut al-Siba’i, al-Qulyubi pernah berpendapat bahwa boleh saja orang tua menikahkan anaknya dengan orang tua atau orang buta, tetapi hukumnya haram.19 Bila dilihat lebih teliti pernyataan al-Siba’i yang mengutip al-Qulyubi dapat diartikan bahwa Islam tidak pernah menetapkan adanya batasan minimal usia bagi perempuan atau laki-laki untuk menikah, namun pelaksanaan pernikahan tersebut sangat terkait dengan tujuan dan hikmah dari pernikahan itu sendiri. Hal ini pula kiranya yang termaktub dalam penjelasan Undang-Undang perkawinan ketika menguraikan maksud dari pasal 7, bahwa untuk menjaga kesehatan suami istri dan keturunan, perlu ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan.20 Dalam konteks ini, pengertian perkawinan telah melampaui interpretasi kitab-kitab kelasik yang hanya menekankan bolehnya hubungan badan atara laki-laki dan perempuan (al-wath).21 Sementara dalam Undangundang perkawinan dinyatakan bahwa, perkawinan sebagai ikatan lahir batin
19
Musthafa al-Siba’i, Perempuan di Antara Hukum Islam dan Perundang-undangan,
20
Penjelasan UU No. 1 tahun 1974 pasal 7 ayat (1)
hal, 89.
. 21
Lihat Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan Masalah Pernikahan, hal. 115.
51
antara suami istri untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, 22 Kedewasaan yang matang diharapkan dapat menerima dan menyelesaikan problematika rumah tangga dengan nalar yang matang dan berpikir dewasa. Dalam arti Undang-undang perkawinan menganut perinsip bahwa calon suamiistri harus telah matang jasmani dan rohaninya untuk melangsungkan perkawianan, agar dapat memenuhi tujuan luhur dari perkawinan dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
B. Pandangan Medis Terhadap Batas Usia Perkawinan Laki-laki Dan Perempuan Pernikahan merupakan gerbang terbentuknya suatu keluarga yang menjadi unit terkecil dari masyarakat dan Negara. Jika unit-unit keluarga tersebut dapat berkembang dengan baik, maka masyarakat dan Negara dapat
pula
berjalan dengan baik. Keluarga mempunyai peran penting dalam mewujudkan tatanan masyarakat dan bangsa yang berkualitas, oleh karena anak-anak sebagai generasi penerus tumbuh dan berkembang bermula dari keluarga. Mengingat besarnya pengaruh kondisi yang berkembang dalam sebuah keluarga, maka sudah semestinya calon pengantin yang akan membangun keluarga mendapatkan bekal yang memadai. Salah satu diantaranya adalah dengan memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi.
22
Pasal 2 ayat (1).Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
52
Pada umumnya calon pengantin memasuki gerbang pernikahan dengan persiapan ala kadarnya. Masyarakat sudah terlanjur menganggap tabu untuk membicarakan soal kesehatan reproduksi secara benar dan sehat. Karenanya tak mengherankan jika pengetahuan masyarakat tentang reproduksi sering kali bercampur baur antara mitos dan realitas. Oleh karena itu bila hal itu diterapkan maka tanggung jawab manusia dapat dikontrol. Sebab itulah perkawinan sangat penting untuk pengembangan umat manusia secara bertanggung jawab. Tanggung jawab yang dipikul kepada suami dan isteri mencakup semua akibat dari pernikahan. Kalau tidak ada aturan agama dan medis yang harus dipatuhi oleh suami isteri, tentu masyarakat akan menjadi kacau. Tanpa menafikan hikmah perkawinan bagi kaum pria, Zakiah Daradjat mengemukakan bahwa adanya lembaga pernikahan sangat membantu dan melidungi kaum wanita. Seandainya hubungan antara pria dan wanita bebas, maka wanita akan selalu menjadi korban. Selagi ia muda, segar dan sehat, banyak laki-laki yang tertarik dan senang kepadanya. Ketika ia tua, layu, sakit, dan lemah, tidak ada lak-laki yang mau kepadanya. Apabila pandangan biologis semata-mata ini dilanjutkan bisa diramalkan lebih jauh apa yang akan terjadi sekiranya wanita itu hamil dan melahirkan. Siapa yang bertanggung jawab terhadap diri dan anakanaknya.23
23
Zakiah Daradjat, Perkawinan yang Bertanggung Jawab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hal. 10
53
Perkawinan yang bertanggung jawab akan dapat memupuk dan mengembangkan sifat keibuan dan kepabapakan secara subur. Isteri sebagai ibu akan dapat menyadari fungsi dan peranan dalam rumah tangga, begitu pun suami sebagai ayah. Mereka dapat melakukan kerjasama dengan penuh kesabaran yang akan menimbulkan kedamaian dan mengatasi segala persoalan keluarga. Hal ini akan
membangkitkan
semangat
kerja
yang
sekaligus
tentu
bisa
mengaktualisasikan kemampuan pribadi dan bakat-bakat yang ada tetkala adanya gangguan dan goncangan terhadap rumah tangga.24 Dengan demikian dikatakan bahwa masalah perkawinan bukanlah persoalan yang enteng dan tidak semua orang dapat mengarunginya dengan sukses. Orang yang sudah dewasa fisik dan mental, belum tentu bisa membina dan mendirikan rumah tangga secara sempurna, apa lagi orang muda yang belum dewasa. Secara rasional kita dapat menyimpulkan bahwa masalah kedewasaan merupakan persoalan penting yang mempunyai pengaruh tidak kecil terhadap keberhasilan rumah tangga. Apabila persoalan ini didasarkan kepada Ilmu Jiwa, maka tampak sekali tidak sempurnanya suatu tanggung jawab untuk membina rumah tangga bila hanya mengandalkan rasa cinta semata-mata. Cinta memang merupakan modal untuk membina rumah tangga, namun cinta yang baik bukan hanya sekedar cinta emosi, tetapi cinta yang diikuti oleh rasa tanggung jawab untuk mengembangkan diri (extension of the self), yaitu diri pribadi diperkembang luaskan kepada diri 24
Mahmud Syaltut, al-Islâm ‘Aqîdah wa Syarîah, (Cairo: Dâr al-Qolâm, 1986), hal.147.
54
yang lain sehingga pasangan hidupnya dipandang sebagai bagian dari dirinya sendiri. Hal itu hanya bisa terwujud dalam diri orang yang memiliki tingkat kedewasaan.25 Berbeda dengan perkawinan muda, di mana perkawinan muda atau dini merupakan salah satu penyebab angka perceraian tertinggi. Dari sini dapat dilihat bahwa tingkat kedewasaan menjadi syarat mutlak agar keharmonisan dalam rumah tangga bisa tercapai. Selain itu tidak adanya tanggung jawab masingmasing pihak dikarenakan terlalu mudanya tingkat pengalaman sosial maupun psikologisnya menjadi problem tersendiri dalam berumah tangga. Berdasarkan data World Health Organization (WHO), sekitar 16 juta perempuan berusia 15-19 tahun melahirkan setiap tahunnya, sekitar 11% dari semua kelahiran di seluruh dunia. Sembilan puluh lima persen (95%) dari kelahiran remaja terjadi di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih tergolong tinggi. Pemerintah Kementerian
Kesehatan
(Kemkes)
melakukan
berbagai
upaya
untuk
menurunkannya dan mencapai target pembangungan milenium (Milienium Development Goals/MDGS) yang ditargetkan pada 2015. 26
25
Lihat Sarlito Wirawan Sarwono, Memilih Pasangan dan Merencanakan Perkawinan dalam Bina Keluarga No 99, ( Jakarta: BKKBN, 1981), hal 13 26
Retno Dwi Puspitasari, Gambaran Pengetahuan Ibu Remaja Putri tentang Dampak Pernikahan Usia Muda Pada Kesehatan Reproduksi di Desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang, (Ungaran: Program Studi Diploma III Kebidanan, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo Ungaran, 2014), hal. 2
55
Banyak faktor yang menyebabkan angka kematian ibu tinggi, yaitu dari medis dan di luar medis. Pada faktor yang ada di luar medis, ada keterkaitan antara tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan ibu yang menikah pada usia muda. Orang hamil perlu investasi yang tidak hanya dari gizi saja, melainkan dukungan dan persiapan suami maupun lainnya, yang menjadi masalah ini jika menikah di usia terlalu muda yaitu 15-19 tahun. Usia tersebut sangat rawan. Pernikahan usia muda cukup tinggi yaitu sebanyak 48 persen. Selain masalah kesehatan saat persalinan, salah satu faktor tingginya angka kematian ibu adalah banyak perkawinan pada usia muda ini. Berdasarkan data hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, AKI di Indonesia mencapai 359 per 100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB) mencapai 32 per 1000 kelahiran hidup. Sedangkan untuk tahun 2013, berdasarkan laporan daerah yang diterima Kemenkes menunjukan bahwa jumlah ibu yang meninggal karena kehamilan dan persalinan adalah sebanyak 5019 orang. Sedangkan, jumlah bayi yang meninggal di Indonesia berdasarkan estimasi SDKI 2012 mencapai 160.681 anak. Begitu juga dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Retno Dwi
Puspitasari di Desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang, di mana dampak dari pernikahan usia muda di Desa Tegaldowo terdapat kejadian anemia pada ibu hamil sebanyak 80%, prematuritas 10%, dan BBLR 20% pada tahun 2013.27
27
Retno Dwi Puspitasari, Gambaran Pengetahuan Ibu Remaja Putri tentang Dampak Pernikahan Usia Muda Pada Kesehatan Reproduksi di Desa Tegaldowo Kecamatan Gunem
56
Belun lagi ditinjau dari segi psikologis, pada usia perkawinan di bawah 20 tahun kondisi emosi dan mental remaja belum stabil. Kestabilan emosi umumnya terjadi usia 24 tahun, karena pada saat itulah orang mulai memasuki usia dewasa. Masa remaja boleh dibilang berlangsung sampai usia 19 tahun. Maka, jika pernikahan dilakukan dibawah usia 20 tahun secara emosi remaja masih ingin berpetualang untuk menemukan jati dirinya. 28 Pernikahan usia dini (melakukan hubungan seksual usia dini), juga menjadi faktor risiko terjadinya kanker leher rahim. Pada usia remaja sel-sel leher rahim perempuan belum matang. Jika terdapat Human Papilloma Virus (HPV) pertumbuhan sel akan menyimpang menjadi kanker. Berdasarkan data Departemen Kesehatan RI, di Indonesia terdapat 90-100 kasus kanker leher rahim per 100.000 penduduk. Setiap tahun terjadi 200.000 kasus kanker leher rahim.29 Dari tinjauan kesehatan, bahwa penyakit kanker serviks (kanker leher rahim), merupakan kanker berbahaya kedua bagi perempuan setelah kanker payudara. Kanker ini menyerang bagian terendah dari Rahim yang menonjol
Kabupaten Rembang, (Ungaran: Program Studi Diploma III Kebidanan, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo Ungaran, 2014), hal. 4 28
Kesehatan Reproduksi Mencegah Pernikahan Dini, Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 3, Maret 2014, lebih lengkap: http://aisyiyah.or.id/multimedia-archive/kesehatan-reproduksimencegah-pernikahan-dini/. Diakses pada tanggal 23 Maret 2015 Pukul 06: 45 29
Kesehatan Reproduksi Mencegah Pernikahan Dini, Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 3, Maret 2014, lebih lengkap: http://aisyiyah.or.id/multimedia-archive/kesehatan-reproduksimencegah-pernikahan-dini/. Diakses pada tanggal 23 Maret 2015 Pukul 06: 45
57
kepuncak liang senggama. Salah satu faktor penyebab kanker serviks adalah aktivitas seksual dini,30 sebab perempuan muda mempunyai kondisi leher Rahim belum matang. Kematangan disini bukan dihitung dari datangnya menstruasi, tetapi kematangan sel-sel mukosa yang terdapat dalam selaput kulit. Umumnya sel mukosa ini baru mengalami kematangan pada saat perempuan berusia diatas 20 tahun. Ketika perempuan berusia di bawah 18 tahun, kondisi sel mukosa yang terdapat dalam serviks belum begitu sempurna menerima rangsangan dari luar, termasuk dari sperma. Akibatnya, setiap sel mukosa bisa berubah menjadi kanker. Perubahan sifat sel akibat rangsangan bisa meningkatkan pertumbuhan sel mati yang berpotensi menyebabkan kanker.31 Sarwito Wirawan Sarwono berpendapat bahwa usia seseorang siap memasuki kehidupan rumah tangga adalah 20 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Usia ini didasarkan pada tinjauan kesehatan dan sosial kemasyarakatan.32Dadang Hawari menulis, usia untuk berumah tangga dan KB menurut kesehatan adalah 20-25 tahun bagi perempuan dan 25-30 bagi laki-laki dengan tiga alasan. Pertama, bahwa memang benar anak aqil balig dengan ejakulasi (mimpi basah) bagi laki-laki dan haid (menarche, menstruasi pertama) 30
Muhammad Rasjidi, Manual Prakanker Serviks: Kanker Serviks. Edisi 1, (Jakarta: CV Sagung Seto, 2008), hal. 7 31
Adapun faktor penyebab lain adalah adapun faktor resiko kanker Serviks ada empat, yakni: (1) paritas, yaitu perempuan yang hamil 7 kali atau lebih (2) merokok, dan (3) riwayat keluarga. Koran Jakarta “Kesehataan”. Minggu 12 April 2009, hal. 12. 32
Helmi Karim, Kedewasaan untuk Menikah dalam Chuzaimah T. Yanggo dan Hafisnshary (ed.), Problematika Hukum Islam Kontenporer, (Jakarta: Pustaka al-Firdaus, 1994), hal. 70.
58
bagi perempuan, tetapi bukan berarti siap kawin. Perubahan biologis tersebut baru merupakan pertanda proses pematangan organ reproduksi mulai berfungsi, namun belum siap untuk reproduksi (Hamil dan melahirkan). Kedua, dari tinjauan psikologis, anak remaja masih jauh kedawasaan (mature, matang dan mantap), dan kondisi kejiwaannya masih labil dan karenanya belum siap benar menjadi isteri apalagi orang tua. Ketiga, dari sisi kemandirian, pada usia remaja sebagian besar aspek kehidupannya masih tergantung pada orang tua dan belum mementingkan aspek afeksi (kasih sayang).33 Dalam buku kedokteran dikatakan bahwa di Indonesia khususnya di lingkungan Asean, merupakan Negara dengan angka kematian ibu tertinggi, yang berarti kemampuan untuk memberikan pelayanan kesehatan masih memerlukan perbaikan yang bersifat menyeluruh dan lebih bermutu.34 Dengan perkiraan persalinan di Indonesia setiap tahunnya sekitar 5.000.000 jiwa dapat dijabarkan bahwa angka kematian ibu sebesar 19.500-20.000 setiap tahunnya atau terjadi setiap 26-27 menit. Penyebab kematian ibu adalah perdarahan 30,5%, infeksi 22,5%, gestoris 17,5%, dan anesthesia 2,0%. Kematian bayi sebesar 56/10.000 menjadi sekitar 280.000 atau terjadi setiap 18-20 menit sekali. Penyebab
33
Dadang Hawari, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan, (Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), hal. 251-252. 34
Ida Bagus Gde Manuaba, Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 1996.), hal. 5
59
kematian
bayi
adalah
asfiksia
neonatorum
49-60%,
infeksi
24-34%,
prematuritas/BBLR 15-20%, trauma persalinan 2-7%, dan cacat bawaan 1-3%.35 Adapun alasan kehamilan risiko tinggi dalam kaitan ini adalah keadaaan keadaan yang dapat mempengaruhi optimalisasi ibu maupun janin pada kehamilan yang dihadapi. Berdasarkan definisi tersebut beberapa peneliti menetapkan kehamilan dengan resiko tinggi ketika menjelang kehamilan muda atau saat hamil pertengahan muda.36 Kesimpulan di atas adalah akibat perkawinan usia muda kurang 20 tahun masih tinggi, jarak waktu hamil dan bersalin masih pendek, serta jumlah anak banyak (grandemultipara) yang masih tinggi. Memliki resiko kesehatan yang amat berbahaya bagi perempuan dan anak. Untuk itu berdasarkan pandangan medis, usia minimal ideal perkawinan adalah 20 tahun bagi perempuan dan lakilaki 25 tahun.
C. Analisis Penulis Mengacu pada pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya 16 tahun. Demikian isi pasal pula 6 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 diulang pada pasal 15 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, “Bagi calon mempelai yang belum 35
Ida Bagus Gde Manuaba, Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 1996.), hal. 14 36
Ida Bagus Gde Manuaba, Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 1996.), hal. 32
60
mencapai umur 21 tahun harusa mendapatkan izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No. 1 Tahun 1974. Bagi orang yang belum mencapai umur minimal tersebut akan kemungkinan melangsungkan perkawinan dengan syarat dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain, seperti disebut dalam pasal 7 ayat (2) UUP No. 1 Tahun 1974, “Dalam hal penyimpangan ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat alin yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak peria maupun pihak wanita”. Ada point penting yang harus dijelaskan dalam bab ini terkait batas minimal usia perkawianan jika dilihat dari segi hukum dan medis. Pertama dalam pandangan hukum Islam fikih klasik tidak memberikan batasan usia perkawinan, namun para ulama berbeda pendapat dalam menentukan batas minimal usia perkawinan laki-laki dan perempuan. Dengan jelas para ulama mengacu pada ketentuan normatif seperti pemahaman al-Qur’an dan as-Sunnah, Khabar Sahabat, Ijtihad para ulama serta argumentasi kaidah lainnya. Para ulama menentukan kesiapan menikah dua mempelai laki-laki dan perempuan dengan menitikberatkan pada tingkat kedewasaannya, dengan tandatanda baligh pria maupun perempuan. Seperti dengan datangnya tanda haid, kerasnya suara, tumbuhnya bulu ketiak, atau tumbuhnya bulu kasar di sekitar kemaluan. Adapun yang kedua para ulama menentukan kedewasaan dengan batasan minimal usia kedua mempelai seperti Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menentukan bahwa masa dewasa itu mulai 15 tahun. Walaupun mereka dapat
61
menerima kedewasaan dengan tanda-tanda, seperti di atas, tetapi karena tandatanda itu datangnya tidak sama untuk semua orang, maka kedewasaan ditentukan dengan umur. Disamakannya masa kedewasaannya untuk pria dan wanita adalah karena kedewasaan itu ditentukan dengan akal. Dengan akallah terjadinya taklif, dan karena akal pulalah adanya hukum.37 Abu Hanifah berpendapat bahwa kedewasaan itu datang mulai usia 19 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita. Sedangkan Imam Malik menetapkan 18 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka beralasan dengan “ketentuan dewasa menurut syarat ialah mimpi”, karenanya mendasarkan hukum kepada mimpi itu saja. Mimpi tidak diharapkan lagi datangnya bila usia telah 18 tahun. Umur antara 15 sampe 18 tahun masih diharapkan datangnya. Karena itu ditetapkanlah bahwa umur dewasa itu pada usia 18 tahun. Yusuf Musa mengatakan bahwa usia dewasa itu setelah seseorang berumur 21 tahun. Hal ini dikarenakan pada zaman modern orang memerlukan persiapan yang matang, sebab mereka masih kurang pengalaman hidup dan masih dalam proses belajar. namun demikian kepada mereka sudah dapat diberikan beberapa urusan sejak usia 18 tahun. 38 Meninjau apa yang ada dalam kitab-kitab fiqih konvensional ini, dapat dibandingkan dengan hukum perkawinan di Indonesia yang menetapkan bahwa 37
Abdul Qadir Audah, al-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamiy, Juz I, (Cairo: Dâr al-‘Urubah, 1964), hal. 603. 38
Abdul Qadir Audah, al-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamiy, Juz I, (Cairo: Dâr al-‘Urubah, 1964), hal. 603
62
batas minimal usia perkawinan di Indonesia sejatinya adalah 19 tahun untuk lakilaki dan 16 tahun bagi perempuan. Bagi mereka yang tidak mencapai usia ini maka harus meminta izin dari pengadilan, dan bagi calon pengantin yang belum mencapai usia 21 tahun maka harus menyertakan izin dari orang tua. Perlu dicatat disini, konsep ijtihad batas pada minimal yang diajukan oleh para ulama fikih merujuk pada nilai normatif yang relevansinya pada kala itu, terlihat melompati peristiwa perkawinan Nabi Muhammad dengan Siti Aisyah ketika berumur 6 tahun dan dicampurinya pada usia 9 tahun. 39 Namun para ulama fikih lebih dari itu. Di sini para ulama fikih melompat pada tingkat kontekstual zamannya dengan berijtihad pada batas usia minimal perkawinan dengan dua konsepsi yaitu nilai baligh dan batas minimal usia perkawinan. Antara usia 15 tahun menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, Abu Hanifah usia 19 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita, Imam Malik menetapkan 18 tahun baik laki-laki maupun perempuan dan pendapat Yusuf Musa mengatakan bahwa usia dewasa itu setelah seseorang berumur 21 tahun. Secara tidak langsung, ijtihad para ulama di atas sangatlah dipengaruhi tidak saja berdasarkan dalil yang ada, namun lebih kepada konteks zaman dewasa kala itu. Begitu juga dengan peraturan perundangan Indonesia yang mengatur batas mimal usia perkawinan. Dalam KHI pasal 15 merumuskan: (1) untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh
39
Ed. Chuzaimah T. Yanggo dan H.A Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: LSIK, Pustaka Firdaus, 2009), hal. 81
63
dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yakni calon suami sekuang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang kurangnya berumur 16 tahun. (2) bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2) ,(3) ,(4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.40 Batas minimal 19 tahun bagi calon pria dan 16 tahun bagi perempuan merupakan ranah ijtihadi fikih ala ulama Indonesia yang sudah dipositifkan (diundang-udangkan). Meskipun begitu, spirit peningkatan usia perkawinan pada tahun itu jelas berbeda dengan minimal batas usia perkawinan ijtihad para ulama sebelumnya. Artinya kondisi masyarakat dan tingkat pendewasaan laki-laki dan perempuan di setiap wilayah bersifat kontekstual tergantung faktor-faktor yang mendukung kedewasaan, seperti faktor pendidikan, psikis, sosial, medis dan faktor lainnya. Jika peningkatan batas usia perkawinan telah dilakukan sebelumnya oleh para ulama klasik dan hukum positif Indonesia pada tahun 1974, mengapa tidak jika saat ini peraturan pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sudah seharusnya direvisi karena berdasarkan beberapa ahli dan pandangan ahli. Seperti Sarlito Wirawan Sarwono melihat bahwa usia kedewasaan untuk siapnya seseorang memasuki hidup berumah tangga harus diperpanjang menjadi 40
Pasal 6 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
64
20 tahun untuk wanita dan 25 tahun bagi pria. Hal ini diperlukan karena zaman modern menuntut untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan, baik dari segi kesehatan maupun tanggung jawab sosial.41 Dr. Marc Hendry Frank, mengatakan bahwa perkawinan sebaiknya dilakukan antara usia 20 sampai 25 tahun bagi wanita, dan antara 25 sampai 30 tahun bagi laki-laki. Tinjauan ini juga berdasarkan atas pertimbangan kesehatan. Para ahli Ilmu Jiwa Agama menilai bahwa kematangan adalah beragam pada seseorang tidak terjadi sebelum usia 25 tahun. Perbedaan pendapat yang tidak terlalu tajam di atas menunjukan bahwa beberapa faktor ikut menentukan cepat atau lambatnya seseorang mencapai usia kedewasaan, terutama kedewasaan untuk berkeluarga. Menurut kondisi Indonesia sekarang, usia yang tepat bagi seseorang untuk menikah ialah sekurangkurangnya umur 20 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi pria. Mengapa demikian? Sebab, usia tersebut calon suami istri perlu mempersiapkan diri sebaik mungkin, sehingga pada usia itu seseorang telah matang jasmaninya, sempurna akalnya, dan dapat diterima sebagai anggota masyarakat secara utuh. Pada usia itu, menurut Allport, seseorang telah bisa memaparkan diri (extention of the self) kepada teman hidupnya, di samping biasa menilai dirinya secara obyektif dan mempunyai pandangan tentang posisi dirinya dalam kerangka hal-hal lain yang ada di dunia ini, sehingga ia tahu posisi dirinya dalam mengatur tingkah laku
41
Ed. Chuzaimah T. Yanggo dan H.A Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: LSIK, Pustaka Firdaus, 2009), hal. 84
65
secara konsisten. Dengan kematangan itu kehidupan rumah tangga yang dibinanya diharapkan dapat berjalan sesuai ketentuan agama. Begitu pula dengan penelitian medis lainnya, seperti ditemukan banyak faktor mengapa peningkatan batas usia minimal perkawinan diperlukan, karena usia di bawah 20 tahun sangat rentan terhadap berbagai penyakit baik dari perempuan mapun dari laki-laki. Menurut penelitian dari The National Center for Health Statistics, menurut The National Center for Health Statistics, pernikahan yang dilakukan di usia cukup muda, antara 12 hingga 21 tahun, tiga kali lebih banyak berakhir dengan perceraian dibandingkan dengan pernikahan pada usia yang lebih matang. Data di tahun 2002 tersebut memaparkan, 59% pernikahan wanita di bawah 18 tahun berakhir dengan perceraian dalam waktu 15 tahun menikah dibandingkan dengan 36% dari mereka yang menikah di usia lebih dari 20. Dalam penelitian lainnya, dari 1.000 pria yang diteliti (berusia 25 - 34) ditemukan bahwa 81% di antaranya percaya bahwa waktu yang tepat untuk melepas lajang sekitar umur 25 sampai 27 tahun. Sedangkan untuk wanita, dari data statistik di Amerika Serikat pada tahun 2000 menunjukkan bahwa wanita rata-rata menikah pada usia 25. Pada usia tersebut kebanyakan wanita telah
66
menyelesaikan pendidikannya, memiliki karir mapan dan bisa hidup terpisah dari orang tua.42 Berdasarkan catatan di atas, maka Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengimbau para remaja di bawah usia 20 tahun di tanah air untuk dapat menunda usia perkawinan atau tidak buru-buru menikah. Atau dengan kata lain jangan menikah di usia dini, menikahlah di usia matang. Dan menurut Kepala BKKBN Fasli Jalal menjelaskan, kasus pernikahan dini masih kerap ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia dengan usia pernikahan dini antara 16 hingga 19 tahun bahkan ada yang di bawah itu. Saat seorang perempuan menikah di usia 16 tahun dia mempunyai masa reproduksi jauh lebih panjang dibanding mereka yang menikah di atas usia 25 tahun dimana masa reproduksi yang lama maka kemungkinan untuk melahirkan semakin besar sehingga bisa saja mempunyai anak lebih dari dua bahkan lebih dari lima. Selain itu, menurut Fasli, pernikahan di usia dini bisa meningkatkan risiko kematian ibu melahirkan, karena salah satu penyebabnya adalah usia yang terlalu muda saat hamil.43 Selain itu berdasarkan catatan medis lainnya, bahwa menikah pada usia kisaran 21-35 tahun resiko gangguan kesehatan pada ibu hamil paling rendah 42
Ini Usia yang Tepat untuk Menikah, lebih lengkap http://wolipop.detik.com/read/2014/04/25/193911/2566088/852/ini-usia-yang-tepat-untukmenikah. Diakses pada tanggal 30 Maret 2015, pukul 22:00 43
lihat
Nikah Ideal Itu, 20 Tahun Bagi Wanita, 25 Tahun Bagi Pria, lebih lengkap baca: http://www.merdeka.com/peristiwa/bkkbn-nikah-ideal-itu-20-tahun-bagi-wanita-25-tahun-bagipria.html. Diakses pada tanggal 30 Maret 2015, pukul 22:00
67
yaitu sekitar 15%. Selain itu apabila dilihat dari perkembangan kematangan, wanita pada kelompok umur ini telah memiliki kematangan reproduksi, emosional maupun aspek sosial. Meskipun pada saat ini beberapa wanita di usia 21 tahun menunda pernikahan karena belum meletakan prioritas utama pada kehidupan baru tersebut. Pada umumnya usia ini merupakan usia yang ideal untuk anda hamil dan melahirkan untuk menekan resiko gangguan kesehatan baik pada ibu dan juga janin. Selain itu sebuah ahli mengatakan wanita pada usia 24 tahun mengalami puncak kesuburan dan pada usia selanjutnya mengalami penurunan kesuburan akan tetapi masih bisa hamil.44 Dari situ dapat disimpulkan bahwa sudah selayaknya perundangan terkait batas minimal usia perkawinan terlihat sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan lagi untuk saat ini, berdasarkan argumentasi medis dan pandangan keilmuan lainnya. Seperti yang kita tahu bahwa hukum islam seharusnya melihat prinsip al-hukmu yaduru ma’a illatihi yaitu sebuah hukum diterapkan harus berdasarkan ilat hukum itu sendiri. Dengan kata lain prinsip medis sudah selayaknya diterapkan saat ini untuk batas usia perkawinan.
44
Usia Ideal Wanita untuk Hamil dan Melahirkan- lebih lengkap http://bidanku.com/usia-ideal-wanita-untuk-hamil-dan-melahirkan#ixzz3Vsxhj38h. Diakses pada tanggal 30 Maret 2015, pukul 22:00
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, ada tiga poin penting yang didapat. Sesuai dengan rumusan masalah, yaitu: 1. Dalam hukum Islam tidak diatur dengan jelas dan tegas berapa usia minimal perkawinan dilangsungkan. Namun secara implisit syariat Islam hanya memberi ketentuan itu apabila seseorang telah mencapai usia menikah, yang dimaksud dengan telah mencapai usia menikah adalah jika seorang anak telah mencapai batas usia kesiapan dalam akil balignya. Dalam kitab-kitab fikih klasik pun tidak memberikan batasa umur secara pasti dan konkrit yang dinyatakan dengan bilangan angka. Namun pernyataan balig sebagai indikator untuk melangsungkan perkawinan. Dalam hal ini didasarkan pada kata alsyabab yaitu pemuda yang sudah balig dan al-ba’ah yaitu kemampuan dalam berjima dan memiliki biaya perkawinan walaupun sedikit. Sementara usia baligh sendiri para ulama berbeda pendapat. Menurut Ulama Syafi’iyyah dan Hanabillah, apabila seseorang telah berusia 15 tahun maka ia telah dikatakan balig atau telah keluar mani pada waktu kapan saja. Sedangkan menurut Abu Hanifah, usia kedewasaan bagi laki-laki yaitu 18 tahun dan perempuan 17 tahun. Adapun Imam malik bahwa kedewasaan pria dan perempuan sama
68
69
pada usia 18 tahun. Sementara dalam pasal 7 undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, menetapkan batas minimal usia perkawinan berusia 19 tahun untuk calon laki-laki dan perempuan 16 tahun. 2. Paradigma medis menilai tingkat kedewasaan laki-laki dan perempuan untuk melangsungkan perkawinan menunjukkan pada usia kisaran di atas 20 tahun ke atas bagi perempuan dan laki-laki 25 tahun, karena bagi medis sendiri, tingkat kedewasaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi biologis organ reproduksi dan fisiologinya. Karena umur dibawah itu rentan sekali terjadi berbagai macam penyakit organ reproduksi dan penyakit mental lainnya. Di samping itu perkawinan di usia dini di bawah umur memunculkan problema lainnya. 3. Setelah membandingkan tingkat kedewasaan antara laki-laki dan perempuan relevansinya terhadap batas usia perkawinan. Maka undang-undang perkawinan terkait pembatasan usia perkawinan dalam pasal 7 Undangundang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dianggap sudah tidak relevan lagi digunakan saat ini. karena berdasarkan riset ilmiah medis membuktikan bahwa tingkat kerentanan penyakit reproduksi terhadap perempuan dan mental laki-laki di bawah usia 20-an. Alasan lain yang perlu diperhatikan yaitu: Pertama, memang benar anak aqil balig dengan ejakulasi (mimpi basah) bagi laki-laki dan haid (menarche, menstruasi pertama) bagi perempuan, tetapi bukan berarti siap kawin. Perubahan biologis tersebut baru merupakan pertanda proses pematangan organ reproduksi mulai berfungsi, namun belum
70
siap untuk reproduksi (hamil dan melahirkan). Kedua, dari tinjauan psikologis, anak remaja masih jauh kedewasaan (mature, matang dan mantap), dan kondisi kejiwaannya masih labil dan karenanya belum siap benar menjadi isteri apalagi orang tua. Ketiga, dari sisi kemandirian, pada usia remaja sebagian besar aspek kehidupannya masih tergantung pada orang tua dan belum mementingkan aspek afeksi (kasih sayang). Berdasarkan catatan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengimbau para remaja di bawah usia 20 tahun di Tanah Air untuk dapat menunda usia perkawinan atau tidak buru-buru menikah. Atau dengan kata lain jangan menikah di usia dini, menikahlah di usia matang.
Sudah
selayaknya perundangan terkait batas minimal usia perkawinan terlihat sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan lagi untuk saat ini, berdasarkan argumentasi medis dan pandangan keilmuan lainnya. Seperti yang kita tahu bahwa hukum islam seharusnya melihat prinsip al-hukmu yaduru ma’a illatihi yaitu sebuah hukum diterapkan harus berdasarkan ilat hukum itu sendiri. Dengan kata lain prinsip medis sudah selayaknya diterapkan saat ini untuk batas usia perkawinan.
B. Saran Setelah membedah banyak implikasi terhadap perkawinan usia muda pada kesehatan perempuan dan laki-laki. Penulis merasa perlu memberikan beberapa saran penting di bawah ini:
71
1. Sudah selayaknya saat ini pemerintah memperhatikan kondisi perkawinan muda, di mana akibat perkawinan muda tersebut, mendapat ancaman serta kerentanan terhadap jenis penyakit reproduksi bagi kalangan di bawah umur 20 tahun. Untuk itu pemerintah seharusnya merevisi dan meninjau ulang pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 15 Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang KHI terkait batas usia perkawinan. 2. DPR seharusnya memperhatikan dengan seksama atas perkembangan tingkat kedewasaan terhadap laki-laki dan perempuan di Indonesia saat ini dalam melangsungkan perkawinan ideal. DPR sebagai aspirasi rakyat seharusnya mengkaji dan melakukan revisi terhadap batas minimal usia perkawinan di Indonesia yang saat ini di atur pada pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 15 Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang KHI. 3. Bagi masyarakat, sudah selayaknya memperhatikan dan tidak melangsungkan atau mengizinkan perkawinan anaknya/saudaranya di bawah usia dini (di bawah umur 20 tahun) karena hal itu juga memicu pertumbuhan tingkat perkembangan kawin muda, karena tidak didorong oleh masyarakat itu sendiri. Seharusnya masyarakat memperhatikan perkawinan dilihat dari kedewasaan secara pskis, sosial, fisiologis, medis dan hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku Al-‘Abd, Ibn Daqîq. Syûruh al-Hadîts: Ihkâm al-Ihkâm Syarh ‘Umdah al-Ahkâm. Juz. II. T.t: Sunah al-Nasyr. 1995 M/1416 H Al-Bukhârî, Shahih. Kitâb al-Nikâh, Bâb Inkâ Al-Rajul Waladahu As-Shighâr. No. 4840 , CD. Maktabah Syamilah Al-Amien, Romzi, Fikih Perempuan. Yagyakarta: Pustaka Ilmu. 2011 Alhamdani, H.S.A. Risalah Nikah. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2008. Al-Jaziri. Abdul Rahman. Kitâb al-Fiqh ‘ala al-Mazdâhib al-Arba’âh, Juz II. Beirut: Dâr al-Fikr. 1985 Al-Marwazi, Imam Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Nashr. Ikhtilâf al-Ûlama’. Beirut; Alim al-Kutub. 1985. Al-Nasai, Abu Abdurrahman bin Syu’aib. Sunan al-Nasâ’i. Juz VI . Mesir: Syarikah Maktabah wa Mathba’ah Mushthafa al-Baby al-Halaby wa Auladi. T.th Al-Rahawi. Syarh al-Manar wa Khawasyih min’Ilm al-Usul. Mesir: Dar al-Sa’adah. 1315 H Al-Siba’i, Musthafa. Perempuan di Antara Hukum Islam dan Perundangundangan,_________. T.th Anshari, A. Hafiz dan Yanggo Chuzaimah T. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: PT Pustaka Firdaus. 2009. As-Syafi’i. Al-‘Ulamâ, Bâb al-Nikâh, fi Inkâh al-Shighâr wa al-Maznun._______T.th Audah, Abdul Qadir. al-Tasyrif al-Jinaiy al-Islamiy, Juz I. Cairo: Dâr al-‘Urubah. 1964 Daradjat, Zakiyah. Perkawinan yang Bertanggung Jawab. Jakarta: Bulan Bintang. 1980
72
73
Dewi, Ika Sari, Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja, (Medan: USU Repository. 2006 Elizabeth B, Hurlock. Development Psychology A Life-Span Approach. New York: McGraw-Hill. 1980 Hawari, Dadang. al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan. Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa. 1996 Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia. 2008. Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Johariyah dan Ema Wahyu Ningrum. Asuhan Kebidanan Persalinan dan Bayi Baru lahir. Jakarta: Trans Info Media. 2012. Joned, Ahilemah. Keupayaan Hak Wanita Islam Untuk Berkawin: Indah Khabar dari pada Rupa, Fauklti Undang-undang Unversitas Malaya, Makalah Undangundang menghormati Ahamad Ibrahim. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia. 1988 Karim,
Helmi, Kedewasaan untuk Menikah dalam Chuzaimah T. YanggodanHafisnshary (ed.), Problematika Hukum Islam Kontenporer. Jakarta: Pustaka al- Firdaus. 1994
Kharlie, Ahmad Tholabi. Hukum Keluarga Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2013. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kompilasi Instrumen HAM Internasional. Jakarta: Komnas HAM. 2008 Koran Jakarta “Kesehataan”.Minggu 12 April 2009, hlm. 12. Mahmood Tahir. Personal law in Islamic Countries. New Delhy: Academy of law and Religion. 1987. Manuaba, Ida Bagus Gde. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: penerbit Buku Kedokteran. 1996.
74
Muhaimin, Abdul Wahab Abd. Adopsi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Gaung Persada (GP) Komplek Kejaksaan Agung RI Blok EI/3 Cipayung-Ciputat. 2010. Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2004. Mukhtar, kamal. Azas-azas Hukum Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang. 1993. Nasution, Khoiruddin. Status Wanita di Asia Tenggara. Leiden- Jakarta: INIS. 2002 Notoatmodjo, soekidjo. Metodologi Penelitian kesehatan. Jakarta: Reneka Cipta. 2005. Nasition, Khoiruddin. Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim. Yogyakarta: Academia dan Tazzafa. 2009 Prawiroharjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. 2010. Purwati, Erni. Asuhan Kebidanan Untuk Ibu Nifas. Jakarta: Cakrawala Ilmu. 2012. Rahardjo, Satjipto, hukum dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Genta Publishing. 2009. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan – BKKBN, Perkawinan Muda Dikalangan Perempuan: Mengapa...?, Seri I No.6/PusduBKKBN/Desember 2011 Puspitasari, Retno Dwi. Gambaran Pengetahuan Ibu Remaja Putri tentang Dampak Pernikahan Usia Muda Pada Kesehatan Reproduksi di Desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang. Ungaran: Program Studi Diploma III Kebidanan. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo Ungaran. 2014 Rasyid, Sulaiman, Fiqih Islam. Jakarta: Attahiriyyah. 1955. Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsîr al-Manâr. Juz IV. Mesir: Al-Manar. 1325 H Rosyadi, A. Rahmat Soeroso Dasar. Keluarga Berencana Ditintau Dari Hukum Islam. Bandung: Pustaka. 1406 H/1986. S, Sulistiawati. Perempuan dan Hukum; menuju hukum yang berperspktif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2006.
75
Sabiq, As-sayyidd, Fiqh as-Sunnah. Kairo: Dar al-fath. 1990. Sarwono. Sarlito Wirawan. Memilih Pasangan dan Merencanakan Perkawinan” Dalam Bina Keluarga No 99. Jakarta: BKKBN. 1981 Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatau Tinjaun Singkat. Jakarta: PT. Grafindo Persada. 2007. Suryoprajogo Nadine. Kupas Tuntas Kesehatan Remaja. Yogyakarta: Diglossia Printika. 2009. Syahlan. Kebidanan Komunitas. Jakarta: Yayasan Bina Sumber Daya Kesehatan. 1996. Syaifuddin. Anotomi Fisiologi. Jakarta: EGC.2006. Syaltut, Mahmud. al-Islâm ‘Aqîdah wa Syarîah. Cairo: Dâr al-Qolâm. 1986 Ummah, Sun Choirol. Kedewasaan untuk Menikah. Yogyakarta: UNY. T.th Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Watjik, Saleh. HukumPerkawinan Indonesia. Jakarta: BalaiAksara. 1987
Internet dan Media: Dewasa, lebih lengkap: http://id.wikipedia.org/wiki/Dewasa. Diakses dari wikepedia pada tanggal 23 Maret 2014 Pukul 15:32 WIB Ini
Usia yang Tepat untuk Menikah, lebih lengkap lihat http://wolipop.detik.com/read/2014/04/25/193911/2566088/852/ini-usiayang-tepat-untuk-menikah. Diakses pada tanggal 30 Maret 2015, pukul 22:00
Nikah Ideal Itu, 20 Tahun Bagi Wanita, 25 Tahun Bagi Pria, lebih lengkap baca: http://www.merdeka.com/peristiwa/bkkbn-nikah-ideal-itu-20-tahun-bagiwanita-25-tahun-bagi-pria.html. Diakses pada tanggal 30 Maret 2015, pukul 22:00
76
Perbedaan Perkembangan Fisik Anak Perempuan & Laki-laki, Tabloid Nova, Selasa, 11 Februari 2014, lihat: http://www.tabloidnova.com/Nova/Kesehatan/Anak/PerbedaanPerkembangan-Fisik-Anak-Perempuan-Laki-laki/ Perubahan
Usia
Fisiologis dan Biologis Pria dan Wanita. Lebih lengkap: http://www.koran-jakarta.com/?8829perubahan+fisiologis+dan+biologis+pria+dan+wanita. Diakses pada Koran Jakarta Kamis, 27 Maret 2014 02:00:00
Ideal Wanita untuk Hamil dan Melahirkan, - lebih lengkap http://bidanku.com/usia-ideal-wanita-untuk-hamil-danmelahirkan#ixzz3Vsxhj38h. Diakses pada tanggal 30 Maret 2015, pukul 22:00
Usia, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Umur, pada tanggal 15 Januari 2015 Pukul 15:00 Kesehatan Reproduksi Mencegah Pernikahan Dini, Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 3, Maret 2014, lebih lengkap: http://aisyiyah.or.id/multimediaarchive/kesehatan-reproduksi-mencegah-pernikahan-dini/. Diakses pada tanggal 23 Maret 2015 Pukul 06: 45