TINGKAH LAKU, REPRODUKSI, DAN KARAKTERISTIK DAGING TIKUS EKOR PUTIH (Maxomys hellwandii)
INDYAH WAHYUNI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
ABSTRAK INDYAH WAHYUNI.Tingkah Laku, Reproduksi, dan Karakteristik Daging Tikus Ekor Putih (Maxomys hellwandii) Dibimbing oleh EDDIE GURNADI, WASMEN MANALU, AMINUDDIN PARAKKASI, dan ASEP SAEFUDIN Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran deskriptif tingkah laku, data dasar pakan, kinerja biologis, karakteristik daging, dan penerimaan masyarakat terhadap daging tikus ekor putih. Penelitian dilakukan pada habitat aslinya di desa Tateli, kecamatan Pineleng, selama 12 bulan, dengan mengamati 190 ekor tikus ekor putih yang terdiri atas 70 jantan dan 120 betina. Uji organoleptik dilakukan di laboratorium Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi. Analisis sifat fisik kimia daging dilakukan di Laboratorium Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan IPB, dan Laboratorium Fisiologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor, Laboratorium Biokimia, Pusat Antar Universitas (PAU), Bogor. Penelitian dilakukan dalam 4 tahap. Penelitian tahap pertama dan kedua bertujuan mencari informasi sebanyak mungkin tentang biologi dasar tikus dan tingkah laku di habitat aslinya. Penelitian tahap ketiga adalah penelitian adaptasi makanan dan kinerja reproduksi. Penelitian ini bertujuan mengetahui adaptasi tikus ekor putih pada kandang budidaya, menguji dan mengkaji kinerja reproduksi tikus ekor putih. Penelitian tahap keempat adalah penelitian karakteristik daging tikus. Penelitian bertujuan menguji sifat fisik kimia daging tikus dan tingkat kesukaan. Hasil penelitian di habitat asli menunjukkan bahwa tikus hutan ekor putih memiliki kemampuan adaptasi lingkungan yang tinggi. Aktivitas dilakukan dominan pada malam hari (nokturnal). Tikus ekor putih sering ditemukan di atas pohon sirih hutan, pohon bambu, dan pada pohon buahbuahan lainnya. Pada siang hari, tikus masuk ke dalam liang di bawah tanah, semak-semak, akar pohon, dan pada gua batu kecil. Aktivitas tikus ekor putih yang dilakukan pada malam hari adalah kelompok, groooming, istirahat, dan bermain. Tikus ekor putih memakan hampir semua jenis makanan. Bahan kering yang paling tinggi dikonsumsi oleh tikus ekor putih jantan adalah pisang, kemudian diikuti konsentrat, dan pepaya dengan tingkat konsumsi masingmasing sebesar 2,10; 0,49 dan 1,30 g/ekor/hari dengan konsumsi total 3,89 g/ekor/hari. Tikus ekor putih betina mengkonsumsi pisang, kosentrat dan pepaya masing-masing sebesar 2,10; 0,50 dan 1,63 g/ekor/hari, dengan total 3,34 g/ekor/hari. Siklus birahi betina berlangsung 3 sampai 5 hari yang terdiri atas proestrus (12 jam) estrus (12 jam), metestrus (18 sampai 24 jam), dan diestrus (45 sampai 54 jam). Persentase karkas yang dicapai jantan 59,17% dan betina lebih rendah 54,24%. Dilihat dari sifat kimia, daging tikus memiliki kandungan air dan lemak yang rendah dibanding ternak domestik lainnya, mengandung asam lemak omega 3, 6, dan 9 yang baik serta memiliki air bebas dalam daging yang rendah dibandingkan dengan daging sapi, daging domba, dan daging napu. Daging tikus ekor putih dapat diterima oleh masyarakat di Kabupaten Minahasa dan kota Manado. Daging tikus lebih disukai dibandingkan dengan daging anjing, daging babi dan daging sapi.
ABSTRACT INDYAH WAHYUNI. Behavior, Reproduction, and Meat Characteristics of WhiteTail Rats (Maxomys Hellwandii). Under the direction of EDDIE GURNADI, WASMEN MANALU, AMINUDDIN PARAKKAS I, and ASEP SAEFUDIN This research was conducted to study behaviour, reproduction and meat characteristic s, organoleptic test of white tail rats (Maxomys Hellwandii).The research was conducted in the native habitat of White tail rats in the forest of Minahasa, and in the farm outside the habitat in Tateli village of Pineleng District. The study was done for 12 months, using 190 rats consisted of 70 males and 120 females. Organoleptic test was done in the laboratory of Animal Husbandry of Sam Ratulangi University. The analysis of the meat physical and chemical properties was conducted in the Laboratory of Large Ruminant, Faculty of Animal Husbandry, and in the Laboratory of Physiology, Faculty Veterinary Medicine, IPB, Bogor. The research was conducted in four phases. The first phase was a preliminary periode to obtain information about wild white tail rats. The second phase was a study about food adaptation and behavior. The third phase was to study reproduction performance. The fourth phase was to study meat characteristic and organoleptic test. The result of the study in the original habitat showed that white tail forest rats adapted very well to environmental condition. Activity was done mostly in the evening (nocturnal) and the rats often found at wild piper, bamboo, and other fruit trees. During the day time the rats entered subterranean cave in bushes, in the roots of trees or at small stone cave. Activities done in the evening were coloning, grooming, resting, and playing. They ate most of all food types. The male rats consumed 3,89 g DM/head/day; while female rats consumed 3,34 g DM/head/day. The estrus cycle was 3 to 5 days, consisted of proestrus (12 hours), estrus (12 hours), metestrus (18-24 hours), and diestrus (45-54 hours). The carcass percentage were 59.17% for male rats, and 54.24% for female. Based on chemical properties, the meat of white tail rats had water and fat content lower than that of other domestic livestocks. The meat of white tail rats also had higher content of omega 3, 6 and 9 fatty acids. The content of free water in the meat of white tail rats was low as compared to that of beef, lamb, and napu. White tail rats meat can be accepted by people in the Regency of Minahasa and Manado City. This meat is prefer to dogs meat, pork, and beef.
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Tingkah Laku, Reproduksi dan Karakteristik Daging Tikus Ekor Putih (Maxomys hellwandii) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi di manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Oktober 2005 Indyah Wahyuni Nim D 016010091
TINGKAH LAKU, REPRODUKSI, DAN KARAKTERISTIK DAGING TIKUS EKOR PUTIH (Maxomys hellwandii)
INDYAH WAHYUNI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
© Hak cipta milik Indyah Wahyuni, tahun 2005 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Manado tanggal 31 Maret 1963 dari ayah Sanyoto dan ibu Tuminah Sagirun. Pendidikan Sarjana ditempuh di Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi lulus pada tahun 1989. Pada tahun 1995 penulis diterima di Program Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ternak pada Program Pascasarjana IPB dengan biaya TMPD dan menamatkan pada tahun 1998. Pada tahun 2001 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi Program Doktor di Program Pascasarjana dengan mendapat beasiswa BPPS dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi, Manado.
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan disertasi ini. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Maret 2003, adalah Tingkah Laku, Reproduksi, dan Karakteristik Daging Tikus Ekor Putih (Maxomys hellwandii) Pada kesempatan yang berbahagia ini penulis menghaturkan terima kasih yang tulus tidak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. Drh H.R. Eddie Gurnadi sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu, Prof. Dr. Drh H. Aminuddin Parakkasi, M.Sc, Dr. Ir. Asep Saefudin, M.Sc masing-masing sebagai anggota komisi atas kesabaran, penyediaan waktu, keikhlasan, kelembutan maupun ketegasan selama proses pembimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi Program Doktor. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Drh Budiarso, M.Sc atas bimbingan dan bantuan selama saya melaksanakan penelitian di Manado. Juga terima kasih kepada Jane, Lucia, Tiltje, Mauren, Syalom, Delly, Ida, Meis, Afriza, Lenda dan Fredy atas kerjasama selama ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sri Hartati Chandra Dewi, Msi, Ir. Dedi Rahmat, MS, Ir. Jasmal A. Syamsu, MSi, Dr. Ir. Harry Triely Uhi, MSi, Ir. John Randa, MSi, Ir. Godlief Yoseph, Msi, Ir. Ma’ruf Tafsin MSi, Ir. Nevy Diana Hanafi MSi, Ir. Jaelani, Msi, Ir. Elis Dihansih, MSi, Ir. Rukmiasih, MSi, drh. Herman Tabrany, MP, Ir. Mobius Tanari, MP, Mohamad Sayuti Mas’ud MSi, atas hubungan kekeluargaan dan persahabatan yang tulus. Pak cucu, Pak Eko, Edit Pak Darmawan, Ibu Ida dan Ibu Sri atas bantuan selama di laboratorium. Kupersembahkan disertasi ini untuk bapak, ibu yang senantiasa tanpa lelah mencurahkan kasih sayang, mendukung saya, dan saudara-saudaraku Mba Sulistianingtyas, Mas Bayu, Mba Puspa, Dewi, Endang, Wiwin, Guruh, Adi, Oka, Mas Rudi, Mas Yona, Esi, Nouke, Pa’ Oke serta semua keponakanku, semoga menjadi dorongan untuk kalian lebih giat belajar. Terima kasih atas kasih sayang dukungan moril dan materilnya. Bogor, Oktober 2005 Indyah Wahyuni
Judul Disertasi
: Tingkah Laku, Reproduksi, dan Karakteristik Daging Tikus Ekor Putih (Maxomys hellwandii)
Nama
: Indyah Wahyuni
NIM
: D 016010091
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. H.R. Eddie Gurnadi Ketua
Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu Anggota
Prof. Dr. Ir. H. Aminuddin Parakkasi, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Asep Saefudin, M.Sc. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Ternak
Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc.
Tanggal Ujian : 03 Oktober 2005
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Lulus :
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................
xiii
1 PENDAHULUAN ....................................................................................... Latar Belakang ..................................................................................... Tujuan Penelitian ................................................................................ Manfaat Penelitian ............................................................................... Hipotesis ..............................................................................................
1 1 2 2 3
2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... Umum .................................................................................................. Klasifikasi ............................................................................................ Habitat ................................................................................................. Tingkah Laku ....................................................................................... Sifat-Sifat Tikus ................................................................................... Siklus Reproduksi Tikus ...................................................................... Penentuan Jenis Kelamin .................................................................... Sistem Perkawinan ............................................................................. Sistem Pencernaan dan Konsumsi ..................................................... Pertumbuhan dan Perkembangan Tubuh Ternak .............................. Komposisi Kimia dan Sifat-Sifat Daging .............................................. Produksi Karkas ................................................................................. Sifat Fisik dan Komposisi Kimia Daging ...........................................
4 4 5 5 6 11 12 14 14 15 18 19 22 23
3 PENGAMATAN BIOLOGI DASAR TIKUS EKOR PUTIH DI HABITAT ASLI ......................................................................................
25
Pendahuluan ....................................................................................... Bahan dan Metode .............................................................................. Hasil dan Pembahasan ....................................................................... Simpulan .............................................................................................
25 25 26 31
4 ADAPTASI DAN TINGKAH LAKU TIKUS EKOR PUTIH ...................... Pendahuluan ....................................................................................... Bahan dan Metode .............................................................................. Hasil dan Pembahasan ....................................................................... Simpulan .............................................................................................
32 32 32 36 48
5 PENELITIAN KINERJA REPRODUKSI ..................................................
49
Pendahuluan ....................................................................................... Bahan dan Metode .............................................................................. Hasil dan Pembahasan ....................................................................... Simpulan .............................................................................................
49 49 51 56
6 PENELITIAN KARAKTERISTIK SIFAT KIMIA DAGING DAN ORGANOLEPTIK ...................................................................................... Pendahuluan ....................................................................................... Bahan dan Metode .............................................................................. Hasil dan Pembahasan ....................................................................... Simpulan .............................................................................................
57 57 58 66 76
7 PEMBAHASAN UMUM .............................................................................
77
8 SIMPULAN DAN SARAN. ...........................................................................
82
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
83
LAMPIRAN .......................................................................................................
91
DAFTAR TABEL Halaman 1 Data biologis tikus .....................................................................................
12
2 Gambaran sel yang ditemukan pada ulasan vagina tikus ekor putih selama siklus estrus ..................................................................................
13
3 Pengelompokan asam lemak tak jenuh .....................................................
21
4 Preferensi tikus ekor putih terhadap berbagai jenis pakan .....................
29
5 Ukuran organ tikus ekor putih dan Rattus Norvegicus sp………………....
30
6 Ethogram Hafest beberapa tingkah laku yang diamati ............................
35
7 Konsumsi, pertambahan bobot badan, dan konversi ransum tikus ..........
47
8 Jenis-jenis sel yang terdapat pada preparat ulas vagina .........................
50
9 Lama estrus tikus ekor putih (Maxomys hellwandii) .................................
51
10 Beberapa sifat biologis tikus ekor putih dibanding Rattus Norvegicus sp..
55
11 Komposisi ester metil asam lemak standar 74 ..........................................
63
12 Komposisi ester metil asam lemak standar 84 ..........................................
63
13 Persentase karkas berdasarkan habitat hidup (%) ...................................
67
14 Analisis proksimat daging tikus ekor putih, daging napu, daging sapi, daging babi, daging ayam, daging domba, dan daging itik lokal ...............
67
15 Komposisi asam lemak daging tikus ekor putih, daging babi, daging sapi, dan daging napu ....................................................................
69
16 Kadar glikogen, pH dan kandungan air bebas dari berbagai jenis daging
71
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Perkembang tikus ekor putih tiap minggu ..................................................
91
2 Lembaran identifikasi estrus .......................................................................
92
3 Daftar nama-nama muridae di Indonesia dan daerah distribusinya ...........
93
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kondisi habitat tempat tikus membuat liang sarang………………………
27
2 Bagian luar dan dalam kandang reproduksi tempat tikus kawin…………
33
3 Kandang kelompok yang terbuat dari alas beton, dinding seng dan penutup ram .......................................................................................
33
4 Kandang kaca yang digunakan untuk melihat tingkah laku ......................
34
5 Persentase tingkah laku tikus ekor putih ....................................................
36
6 Tikus ekor putih makan batang kangkung..................................................
37
7 Tikus berkelompok .....................................................................................
38
8 Tingkah laku grooming ...............................................................................
40
9 Tikus istirahat .............................................................................................
41
10 Posisi tikus sedang melahirkan ................................................................
42
11 Induk dan anak tikus tidur .........................................................................
44
12 Grafik konsumsi tikus jantan ....................................................................
45
13 Grafik konsumsi tikus betina ....................................................................
46
14 Grafik pertumbuhan tikus ekor putih..........................................................
47
15 Kandang tikus estrus dan pengamatan preparat ulas di bawah mikroskop 50 16 Fase proestrus pada ulas vagina tikus ekor putih .................................... ….52 17 Fase estrus pada ulas vagina tikus ekor putih ......................................... ….53 18 Fase metestrus pada ulas vagina tikus ekor putih ................................... ….54 19 Fase diestrus pada ulas vagina tikus ekor putih ...................................... ….54 20 Pengujian organoleptik daging tikus ekor putih......................................... ….65 21 Kesukaan flavor tikus ekor putih di Kabupaten Minahasa ........................ ….73 22 Kesukaan flavor tikus ekor putih di Kota Manado ..................................... ….74 23 Penerimaaan umum tikus ekor putih di Kabupaten Minahasa ................. ….75 24 Penerimaaan umum tikus ekor putih di Kota Manado .............................. ….76
1. PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan tropik yang kaya dengan berbagai flora dan fauna, yang merupakan sumber pemenuhan berbagai kebutuhan manusia seperti sandang, pangan, obat-obatan, dan lain-lain. Namun demikian, potensi ini masih
kurang
mendapat
perhatian
serius
dari
berbagai
pihak
untuk
dikembangkan. Banyak satwa dari masing-masing daerah yang dapat dijadikan sebagai satwa harapan masa depan seperti anoa, rusa, babi rusa, kupu-kupu, ular, serta satwa lain yang berpotensi menyumbangkan devisa. Di sisi lain kita masih banyak bergantung pada hasil impor luar negeri antara lain sapi potong dan bahan-bahan penyusun ransum. Sulawesi merupakan pulau yang sangat unik karena terletak di tengahtengah kawasan garis Wallacea, memiliki keanekaragaman satwa dengan tingkat endemisitas yang sangat tinggi di Indonesia bahkan di dunia. Keunikan fauna vertebratanya telah menempatkan Sulawesi penting di antara pusat-pusat keanekaragaman hayati global. Dari jenis-jenis mamalia, 62% tidak terdapat di daerah lain di dunia (Whitten et al., 1987). Tikus hutan ekor putih (Maxomys hellwandii), merupakan salah satu di antaranya. Tikus hutan di Minahasa Sulawesi Utara sudah sejak lama menjadi bahan makanan eksotik untuk masyarakat setempat, terutama yang dikenal dengan nama lokal (Manado) sebagai tikus ekor putih, karena sebagian ujung ekornya berwarna putih. Namun demikian, sebenarnya ada beberapa jenis tikus ekor putih yang digemari masyarakat. Tikus-tikus tersebut hanya mengkonsumsi pucuk-pucuk daun muda dan buah-buahan pohon hutan. Di Minahasa Tengah (berbahasa Tountemboan), tikus ekor putih disebut Turean. Tikus dewasa mempunyai warna krem dengan warna putih pada bagian dada dan perutnya. Tikus jenis Turean mempunyai ukuran tubuh yang relatif kecil, mencari makan di atas pohon pada malam hari dan berliang di tanah pada siang hari, atau pada lubang-lubang yang ada di pohon. Tikus ini hanya terdapat di hutan-hutan pulau Sulawesi (Van der Zon, 1979). Mengingat peningkatan permintaan terhadap makanan eksotik ini sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti dengan makin berkurangnya kawasan hutan habitat satwa ini, maka dikhawatirkan populasi satwa harapan tropis tersebut akan terus menurun drastis dan akhirnya akan punah. Oleh
2
karena itu perlu dicarikan solusi untuk tetap mempertahankan keberadaan satwa ini di alam, dan sekaligus dapat mensuplai permintaan makanan eksotik masyarakat
setempat.
Salah
satu
alternatif
yang
rasional
adalah
membudidayakan satwa ini. Sampai saat ini belum ada penelitian atau usaha yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta untuk mengembangkan, melestarikan satwa langka dan endemik di luar habitat aslinya. Proses pembudidayaan di dalam kandang membantu pengamatan tingkah laku, biologis dan reproduksinya, dengan penguasaan ilmiah tingkah laku sampai pada aspek biologis dan reproduksi diharapkan populasi tikus akan meningkat sehingga dapat menyumbangkan pangan sumber protein hewani. Tujuan 1. Memperoleh gambaran tingkah laku yang berhubungan dengan aktivitas harian secara umum. 2. Membuat suatu pola manajemen pemeliharaan yang baik sesuai dengan lingkungan pembudidayaan. 3. Mempelajari kinerja biologis tikus ekor putih pada kondisi pembudidayaan (ex-situ) yang dapat dikembangkan sebagai ternak pedaging. 4. Mengetahui jenis-jenis pakan yang disukai dan upaya pemberian pakan secara terkontrol. 5. Mengetahui karakteristik daging dan uji penerimaan masyarakat kota Manado dan kabupaten Minahasa terhadap daging tikus ekor putih. Manfaat 1. Hasil penelitian dapat digunakan untuk pengambilan kebijakan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dalam penanganan dan pengembangan satwa harapan yang ada di Sulawesi Utara. 2. Informasi hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan oleh kalangan ilmuwan sebagai bahan kajian maupun data dasar untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian tentang tikus ekor putih sebagai satwa harapan tropis di Sulawesi Utara. 3. Mempertahankan keberadaan keragaman plasma nutfah di Sulawesi Utara.
3
Hipotesis 1. Tingkah laku yang diperlihatkan oleh tikus ekor putih dalam kandang budidaya (ex-situ) tidak berbeda dengan tingkah laku di habitat aslinya yaitu di hutan (in-situ). 2. Tikus ekor putih mampu beradaptasi dan bereproduksi di lingkungan budidaya. 3. Daging tikus ekor putih dapat diterima sebagai alternatif hewan penghasil daging yang berpotensi untuk budidaya.
2. TINJAUAN PUSTAKA Umum Tikus hutan ekor putih (Maxomys hellwandii) hanya terdapat di Indonesia khususnya di Pulau Sulawesi. Tikus ini dikenal dengan nama lokal Turean, dan mempunyai 14 spesies tikus ekor putih lainnya. Sampai saat ini habitatnya belum diketahui (Corbet dan Hill, 1992). Di Provinsi Sulawesi Utara nama lokal hewan nokturnal tersebut beragam macam sesuai dengan wilayah penyebarannya. Tikus ini berwarna krem kecokelatan dengan ciri-ciri khusus bagian dada berwarna agak putih dengan ekor yang panjang dan sebagian ujungnya berwarna putih sehingga dikenal dengan nama tikus ekor putih (Van der Zon, 1979). Petani Delta Mekong yang dulu selalu dibuat pusing oleh serangan tikus, kini malah menangguk untung dari bisnis tikus. Mereka mulanya tidak ada niat untuk mengekspor binatang hama sawah, bahkan berupaya memusnahkan tikustikus tersebut. Tikus menjadi bisnis serius setelah adanya permintaan dari restoran-restoran di negara tetangga Kamboja. Tikus-tikus ini dikonsumsi di restoran untuk sajian makan malam. Di Provinsi Bac Lieu kini diperkirakan ada sekitar 2000 peternak yang mata pencaharian utamanya adalah budidaya tikus (Kompas, 17 April 2002). Pusat distribusi tikus di delta Sungai Mekong, Vietnam terdapat di enam propinsi yaitu : Ca Mau, Bac Lieu, Soc Trang, Can Tho, An Giang, dan Dong Thap yang menghasilkan produksi daging tikus tahunan untuk konsumsi manusia sebesar 3300 sampai 3600 ton dengan nilai harga pasar sekitar 25 sampai 30 milyar (VND) Vietnam Dong (US$ 2 juta). Bisnis tikus melibatkan 2000 penangkap tikus, 50 distributor sangat menolong sebagai sumber pendapatan petani miskin dan juga sumber protein (Nguyen Tri Khiem et al., 2003).
5
Klasifikasi Menurut Corbet dan Hill (1992), klasifikasi tikus ekor putih adalah sebagai berikut: kingdom
: Animal
filum
: Chordata
subfilum
: Vertebrata (Craniata)
kelas
: Mamalia
subkelas
: Theria
infrakelas
: Eutheria
ordo
: Rodentia
subordo
: Myomorpha
superfamili
: Muroidea
famili
: Muridae
subfamili
: Murinae
genus
: Murinae
spesies
: Maxomys hellwandii
Habitat Habitat adalah suatu tempat organisme atau individu biasanya ditemukan. Habitat merupakan hasil interaksi berbagai komponen, yaitu komponen fisik yang terdiri atas air, tanah, topografi dan iklim (makro dan mikro) serta komponen biologis yang terdiri atas manusia, vegetasi, dan satwa (Smiet, 1986). Naungan (cover) adalah bagian dari habitat yang berfungsi sebagai tempat berlindung (terhadap panas matahari, predator dan gangguan lain), beristirahat atau berkembang biak bagi beberapa jenis satwa. Naungan dapat berfungsi sebagai tempat mencari makan dan minum. Secara fisik naungan dapat berupa vegetasi, gua atau bentukan alam lainnya (Direktorat Jenderal PHPA, 1986). Satwa liar adalah binatang yang hidup di dalam ekosistem alam (Bailey, 1984
diacu
dalam
Alikodra,
1997).
Penangkaran
satwa
liar
adalah
perkembangbiakan dan pemeliharaan satwa liar dalam keadaan terkurung oleh manusia untuk mencapai sasaran tertentu (Helvoort, 1986). Penangkaran
dengan
sistem
kandang
merupakan
upaya
pengembangbiakan jenis-jenis satwa liar yang dilakukan secara intensif dalam kandang. Thohari (1987) menyatakan bahwa dalam usaha penangkaran suatu jenis satwa liar, proses adaptasi berlangsung dalam jangka waktu cukup panjang, mulai saat individu ditangkap dari habitat asli sampai pada tahap
6
individu tersebut mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lokasi penangkaran dan lingkungannya serta perlakuan-perlakuan yang diterimanya. Demikian pula proses adaptasi masih berlanjut sampai individu tersebut mampu berasosiasi dengan individu-individu lainnya baik sesama jenis ataupun berlainan jenis kelamin (Tomaszew dan Putu, 1993). Pertimbangan dalam menetapkan jenis-jenis satwa liar yang perlu ditangkarkan atau dibudidayakan apabila (1) secara alami populasinya mengalami penurunan tajam dari waktu ke waktu sehingga terancam punah, dan (2) mempunyai potensi ekonomi tinggi dan tingkat pemanfaatannya bagi manusia terus bertambah sehingga kelestariannya terancam (Thohari, 1987). Selanjutnya dinyatakan pula bahwa dalam proses budidaya, teknologi yang diperlukan mencakup
aspek
perkandangan,
pakan,
reproduksi,
kesehatan,
dan
pascapanen. Teknik yang diterapkan harus mampu mempercepat proses adaptasi satwa. Penangkaran dinilai berhasil bila teknologi reproduksi satwa tersebut
telah
dikuasai,
artinya
usaha
penangkaran
telah
berhasil
mengembangbiakkan satwa yang ditangkarkan. Tingkah Laku Tingkah laku dapat diartikan sebagai ekspresi hewan yang ditimbulkan oleh semua faktor yang mempengaruhinya, baik faktor dari dalam tubuh hewan itu sendiri (endogenous) maupun faktor dari luar (exogenous) (Suratmo, 1979). Menurut Lehner (1979) tingkah laku yang dipelajari tidak hanya apa yang dilakukan oleh hewan itu saja, tetapi juga kapan, di mana, bagaimana dan mengapa tingkah laku itu terjadi. Macam dan banyaknya rangsangan yang diterima akan menghasilkan pengalaman hewan dari waktu ke waktu pada masa lalu, yang sangat mempengaruhi respon hewan (Suratmo, 1979). Selanjutnya rangsangan yang sama juga dapat mempunyai efek yang berbeda pada individu yang berbeda atau pada spesies yang berbeda (Huntingford, 1984). Rangsangan berupa suara, pandangan, tenaga mekanis, dan kimia yang berasal dari luar diterima dan disaring oleh indera. Rangsangan eksternal akan berinteraksi dengan rangsangan internal, dan secara bersama-sama akan menentukan respon hewan, sehingga tingkah laku suatu spesies merupakan fungsi dari faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi. Dengan demikian, tingkah laku merupakan hasil dari perubahan yang terjadi terus
7
menerus pada hewan yang merupakan konsekuensi hubungan antara hewan dan lingkungannya (Suratmo, 1979; Huntingford, 1984). Respon hewan terhadap semua faktor rangsangan, pada prinsipnya berasal dari suatu dorongan dasar untuk tetap hidup (survive) dengan melakukan semua usaha. Survival suatu individu atau spesies bergantung pada kemampuannya memperoleh pakan, melakukan reproduksi dan regenerasi, kehadiran predator, pasangan kawin, serta individu muda (anak) yang memerlukan pengasuhan serta adaptasi terhadap tekanan faktor lingkungan baik biotik maupun abiotik. Dorongan dasar ini akan menentukan beberapa pola yang relatif tetap dalam tingkah laku hewan (Suratmo, 1979). Tingkah laku hewan dapat merupakan hasil proses belajar (learned) atau hanya merupakan instinct (innate) yang dimulai sejak lahir sampai mati terhadap segala sesuatu yang dialaminya, sehingga respon yang diperlihatkan individu dewasa merupakan hasil adaptasinya terhadap rangsangan yang terjadi. Oleh karena itu bila rangsangan yang terjadi belum pernah dialami sebelumnya maka respon yang diperlihatkan individu (spesies) merupakan respon spontan yang bersifat naluriah (insting) (Huntingford, 1984). Respon yang bersifat naluriah, jarang ditemukan pada hewan-hewan tingkat tinggi dibandingkan pada hewanhewan dengan tingkat rendah (Huntingford, 1984). Dengan demikian pada tikus ekor putih, tingkah laku yang bersifat bukan naluriah lebih dominan dibandingkan dengan pada golongan hewan lainnya. Tomaszewska et al. (1989) menyatakan bahwa tingkah laku satwa dapat diklasifikasikan menjadi sepuluh macam yaitu: 1. Tingkah laku makan dan minum dan kegiatan lainnya yang berhubungan dengan hal tersebut (ingestive). 2. Tingkah laku pencarian tempat berteduh (shelter seeking). 3. Tingkah laku penyidikan (investigatory). 4. Tingkah laku kecenderungan untuk berkelompok dan terikat dalam tingkah laku yang sama pada suatu waktu tertentu (allelomimetic). 5. Tingkah laku berselisih, bertengkar, dan menghindar (agonistic). 6. Tingkah laku membuang kotoran, dan kencing (eliminative). 7. Tingkah laku memberi perhatian dari induk ke anak (epimeletic/ care giving). 8. Tingkah laku minta perhatian dari anak ke induk (epimeletic / care soliciting). 9. Tingkah laku seksual atau reproduksi ( sexual or reproduction). 10. Tingkah laku bermain (play).
8
Menurut Scott (1969), pola tingkah laku satwa dikelompokkan ke dalam sistem tingkah laku yaitu kumpulan tingkah laku yang memiliki satu fungsi umum antara lain meliputi tingkah laku makan dan minum, tingkah laku sosial agonistik, tingkah laku membersihkan rambut, tingkah laku istirahat, tingkah laku berkelompok, dan tingkah laku melahirkan. Tingkah Laku Makan dan Minum (Ingestif) Tingkah laku makan meliputi semua aktivitas makan dan minum. Tingkah laku makan secara umum meliputi menangkap, makan, mengunyah dan menelan (Frazer, 1980). Menurut Tanudimadja dan Kusumamihardja (1985), tingkah laku makan mencakup konsumsi bahan-bahan yang bermanfaat bagi tubuh satwa dalam wujud padat maupun dalam wujud cair. Tingkah laku makan berhubungan erat dengan anatomi dan fisiologis tiap jenis hewan dan sifat makanannya yang khas. Milton (1981) menyatakan strategi makan berhubungan erat dengan ukuran tubuh, kepala, dan panjang rahang. Makanan dan air merupakan faktor pembatas bagi hidupnya margasatwa, di samping dari segi kuantitas dan kualitas makanan dan air juga harus diperhatikan. Tingkah Laku Sosial Agonistik Tingkah laku sosial merupakan tingkah laku yang melibatkan lebih dari satu individu, yakni pengekspresian diri terhadap individu lain, di antaranya adalah tingkah laku agonistik yang menyangkut tingkah laku mengancam dan mengalah yang khas pada hewan. Tingkah laku agonistik merupakan interaksi sosial antara satwa dan dikategorikan dalam beberapa tingkatan konflik, yaitu dalam memperoleh makanan, pasangan seksual dan perebutan wilayah istirahat dengan melakukan tindakan yang bersifat ancaman, menyerang, dan tingkah laku patuh (Hart, 1985). Tingkah laku agonistik ini merupakan hal yang sangat penting dalam menetapkan dan mempertahankan hubungan dominan-subordinat antartingkatan sosial spesies. Tingkah Laku Membersihkan Rambut (Grooming) Menurut Sellevs (2001), grooming atau membersihkan rambut merupakan suatu aktivitas primata yang bersifat umum. Aktivitas ini dilakukan untuk mempererat hubungan kekeluargaan di antara mereka, dan hewan yang
9
dominan seperti jantan akan membersihkan rambut betina dalam rangka kegiatan seksual, Hal ini sejalan dengan pernyataan Kyes (1991) bahwa grooming juga merupakan bentuk tingkah laku seksual. Kebiasaan induk adalah membersihkan rambut anaknya agar bersih dari kotoran yang melekat pada kulitnya. Kegiatan seperti ini sudah dilakukan secara turun temurun untuk memperat hubungan kekeluargaan dan mempertahankan struktur sosial secara bersama-sama. Menurut Chalmers (1979), tingkah laku membersihkan rambut dilakukan dengan tujuan mencari kotoran atau ektoparasit pada tubuh sendiri atau tubuh individu lainnya. Tingkah laku ini tidak hanya sekedar membersihkan badan tetapi juga merupakan sarana menjalin hubungan sosial antarkelompok, meredakan ketegangan, dan berbagai tujuan lainnya. Grooming bukan hanya sebagai sarana membersihkan tubuh tetapi juga berfungsi sosial dan menunjukkan status sosial. Bermain, biasa dilakukan satwa remaja dan anak-anak, dan juga proses dari tingkah laku seks setelah terjadi kopulasi biasanya dilanjutkan dengan grooming oleh betina atau jantan (Eimerl dan De Vore, 1978; Walters dan Seyfarth, 1987; Kinnaird dan Brien, 1995) Tingkah Laku Istirahat Kegiatan istirahat adalah periode tidak aktif dari satwa dalam bentuk apapun (makan, berpindah, dan bersuara). Di dalam periode istirahat terjadi interaksi sosial antara anggota kelompoknya (Chivers, 1977) Dalam tingkah laku istirahat kadang-kadang terdapat tingkah laku merawat diri (grooming). Pada waktu istirahat satwa relatif tidak melakukan banyak gerakan, aktivitas ini meliputi duduk-duduk dan tiduran. Tingkah Laku Berkelompok (allelomimetic) Tingkah laku berkelompok adalah kecenderungan untuk bergerombol dan mempengaruhi untuk bertingkah laku yang sama pada suatu waktu tertentu. Ini merupakan ciri hewan yang tingkat sosialnya tinggi. (Tomaszewska dan Putu,1989). Pola hidup sosial dapat digolongkan menjadi empat kategori berdasarkan sistem kelompok sosialnya yaitu sistem kelompok banyak jantan (multi-male group), sistem kelompok satu jantan (uni-male/one-male/group), sistem kelompok keluarga (family group), dan sistem hidup sendiri, kecuali saat musim
10
kawin/mengasuh anak (semi soliter) (Jolly, 1985; Napier dan Napier, 1985; Sterck, 1995). Hidup dalam sistem kelompok sosial, selain karena daya tarik seks juga disebabkan prinsip kekuasaan bersama bahwa hidup dalam kelompok adalah menguntungkan, seperti kewaspadaan terhadap ancaman predator, memperluas kontak dengan lingkungan, meningkatkan sukses reproduksi dan keamanan terhadap individu muda serta penguasaan atas pakan berkualitas yang dibutuhkan individu (Napier dan Napier, 1985). Individu anggota kelompok akan berinteraksi satu dengan yang lain yang mencerminkan adanya hubungan saling memperhatikan ataupun persaingan untuk memperoleh sesuatu. Menurut Seyfarth dan Cheney (1994) hubungan antarindividu di dalam kelompok umumnya terjadi dalam bentuk hubungan induk dan anak, hubungan sesama pasangan, atau antarindividu yang merupakan saingan. Komunikasi antarindividu anggota kelompok sangat berperan dalam segala aktivitas. Komunikasi antarindividu dapat terjadi melalui bau/penciuman (olfactory), sentuhan/kontak (tactile), penglihatan (visual) dan suara (vocal). Komunikasi secara visual umumnya yang paling utama, tetapi di hutan hujan tropis (karena terbatasnya pandangan oleh lingkungan hutan) komunikasi dengan suara adalah yang terpenting (Jolly, 1985; Napier dan Napier, 1985). Tingkah Laku Melahirkan Tingkah laku melahirkan merupakan tabiat dari suatu rangkaian kejadian yang saling berhubungan meliputi tahap sebelum melahirkan, saat melahirkan dan setelah melahirkan (Fraser, 1980). Selanjutnya dinyatakan pula bahwa proses melahirkan dibagi atas tiga fase. Fase pertama yaitu dilatasi cervix dan tingkah laku yang menyertainya. Fase kedua adalah saat terjadinya dorongan fetus dari uterus ke saluran kelahiran. Fase ketiga adalah lepasnya plasenta setelah proses kelahiran. Tingkah laku menjelang melahirkan. Menurut Fraser (1980)
periode
menjelang melahirkan saat fetus masih berada di uterus sampai dengan awal terjadinya fase pertama dari proses kelahiran. Ensminger (1962) dan Gillespie (1983) menyatakan bahwa 12 sampai 14 jam menjelang kelahiran, lilin yang melapisi ujung-ujung puting akan mencair dan jatuh yang diikuti dengan menetesnya air susu. Tertutupnya ujung-ujung puting oleh lapisan zat lilin dan mencairnya zat lilin tersebut dapat terjadi 2 sampai 3 kali pada 10 hari sebelum
11
melahirkan. Pada saat yang sama otot vulva akan terlihat membengkak dan relaksasi. Blakely dan Bade (1991) melaporkan bahwa semakin dekat ke proses kelahiran urinasi akan sering terjadi yang akan diikuti dengan sikap gelisah. Tingkah laku saat melahirkan. Periode ini ditandai dengan pecahnya allantochorion yang diikuti dengan keluarnya keseluruhan bagian tubuh fetus dan diakhiri dengan keluarnya plasenta (Kilgour dan Dalton, 1984). Pada umumnya proses kelahiran terjadi pada malam hari hingga dini hari (Blakely dan Bade, 1991) Tingkah laku setelah melahirkan.
Salah satu ciri yang spesifik dari
hewan mamalia adalah turut keluarnya plasenta beberapa saat setelah anak dilahirkan. Pada beberapa jenis hewan seperti pada babi dan sapi yang bersifat plasentophagic, ada kecenderungan untuk memakan plasenta yang telah keluar. Sifat ini adalah salah satu bentuk proteksi induk terhadap anak dari serangan predator, karena apabila tidak dimakan, bau plasenta dan darah akan mengundang predator karnivora untuk mendekat (Hart, 1985). Frazer (1980) menyatakan bahwa beberapa saat setelah dilahirkan tubuh anak akan dijilati oleh induknya hingga menjadi bersih dari lendir yang menempel. Rangsangan jilatan serta kontak fisik yang terjadi mendorong anak untuk mencari puting induk. Kilgour dan Dalton (1984) melaporkan bahwa 30 menit setelah dilahirkan anak akan mulai menyusu ke induknya. Sifat-Sifat Tikus Tikus dapat dikandangkan bersama dalam satu kelompok besar yang terdiri atas jantan dan betina dari berbagai tingkat tanpa terjadinya perkelahian yang berarti. Tikus yang lepas dari kandang umumnya akan kembali ke kandangnya. Tikus dapat produktif untuk berbiak selama lebih dari sembilan bulan atau sampai usia satu tahun. Selama waktu tersebut tikus sudah menghasilkan 7 sampai 10 kali beranak dengan 6 sampai 14 anak pada masing-masing kelahiran. Keterangan lain yang lebih lengkap tentang data biologis tikus dapat dilihat pada Tabel 1. Sesudah satu tahun jumlah anak yang dilahirkan berkurang dan jarak kelahiran semakin jauh sampai tidak berproduksi lagi pada usia 450 sampai 500 hari (Malole dan Pramono, 1989).
12
Siklus Reproduksi Tikus Siklus reproduksi biasanya dimulai sekitar umur 77 hari, dimulai antara umur 45 dan 147 hari. Tabel 1 Data biologis Rattus norvegicus Karakteristik biologis 1. Lama hidup 2. Lama produksi ekonomis 3. Lama bunting 4. Kawin sesudah beranak 5. Umur disapih 6. Umur dewasa 7. Umur dikawinkan 8. Siklus kelamin 9. Siklus estrus (berahi) 10. Lama estrus 11. Perkawinan 12. Ovulasi 13. Fertilisasi 14. Implantasi 15. Berat dewasa 16. Berat lahir 17. Jumlah anak Sumber : Baker et al. (1979)
Keterangan 2 - 3 tahun dapat sampai 4 tahun 1 tahun 0 – 22 hari 1 - 24 jam 21 hari 40 - 60 hari 10 minggu (jantan & Betina) Poliestrus 4 - 5 hari 9 - 20 jam Pada saat estrus 8 - 11 jam sesudah estrus, spontan 7 - 10 jam 5 - 6 hari sesudah fertilisasi 300 - 400 g jantan; 250 -300 g betina 5-6g Rata-rata 9 dapat 20 ekor
Siklus Berahi Tikus mencapai dewasa kelamin pada umur 50 sampai 60 hari. Vagina mulai terbuka pada umur 35 sampai 90 hari dan testes turun/ keluar pada umur 20 sampai 50 hari. Anak-anak yang sehat dan kuat dihasilkan bila tikus mulai dikawinkan pada umur 65 sampai 110 hari yaitu pada saat betina mencapai bobot badan 250 g dan jantan 300 g. Umur perkawinan pertama tersebut bergantung pada galur tikus dan tingkat pertumbuhannya. Perubahan vagina pada tikus erat hubungannya dengan siklus estrus, dan berbagai penelitian dari cairan sel dan vagina memberikan metode yang dapat diandalkan untuk menentukan estrus (McDonald, 1989 ; Baker et al., 1979) Selama fase estrus, dinding vagina terlihat kering, putih dan buram, tetapi berubah lembab dan berwarna merah muda selama metestrus . Perubahan ini berhubungan dengan proses pertandukan lapisan permukaan vagina selama estrus (Baker et al., 1979). Siklus berahi berlangsung 4 sampai 5 hari dengan lama berahi 12 jam. Setiap siklus mulai pada malam hari. Berahi pada tikus betina tidak banyak dipengaruhi oleh bau pejantan. Seperti pada hewan lain, siklus berahi pada tikus secara kasar dapat dibagi menjadi 4 stadium yaitu proestrus, estrus, metestrus , dan diestrus.
13
Proestrus. Stadium ini menandakan datangnya berahi. Fase ini berlangsung sekitar 12 jam. Fase ini merupakan awal perkembangan folikel de Graaf. Folikel tumbuh di bawah pengaruh FSH (McDonald, 1989). Proestrus merupakan periode terjadinya involusi fungsional corpus luteum pembengkakan
folikel
praovulasi.
Pada
tahap
ini
terjadi
serta
peningkatan
vaskularisasi epitel vagina dan penandukan yang terjadi pada beberapa spesies. Peningkatan vaskularisasi ini disebabkan oleh estrogen yang semakin tinggi. Pada preparat ulas vagina terlihat adanya dominasi sel-sel epitel berinti (Toelihere, 1984). Tabel 2 Gambaran sel yang ditemukan pada ulasan vagina tikus ekor putih selama siklus etrus Fase
Lama Fase
Nalbandov (1990)
Proestrus
12 jam Sel epitel berinti
Estrus
12 jam Sel berkornifikasi
Metestrus
12 jam Leukosit di antara sel berkornifikasi
Diestrus
65 jam Epitel bernukleus dan leukosit
Hasil usapan vagina Turner dan Smith dan Bagnara (1976) Mangkoewidjoyo (1988) Sel epitel berinti
Sel-sel kecil dengan inti bulat Sel-sel menanduk Sel epitel mengalami penandukan dan intinya piknotik Banyak leukosit Sel-sel berkornifikasi dan dengan sedikit sel- tampak leukosit sel menanduk Leukosit bermigrasi Sel-sel epitel dan leukosit
Estrus. Pada stadium ini kopulasi dimungkinkan terjadi. Fase ini berlangsung 12 jam (Smith dan Mangkoewidjoyo, 1988; Ballenger, 2000). Ciri yang khas adalah adanya aktivitas berlari-lari yang sangat tinggi di bawah pengaruh estrogen.
Estrus merupakan periode sekresi estrogen yang tinggi.
Estrogen dari folikel de Graaf yang matang menyebabkan berbagai perubahan pada saluran reproduksi antara lain uterus tegang, mukosa vagina tumbuh cepat, serta adanya sekresi lendir. Banyak mitosis terjadi di dalam mukosa vagina, dan sel-sel baru menumpuk, sementara lapisan permukaan menjadi skuamosa dan bertanduk. Sel-sel bertanduk ini berkelupas ke dalam
lumen vagina.
Terdapatnya sel-sel ini bisa dilihat dalam preparat ulas vagina yang digunakan sebagai indikator fase estrus. Metestrus. Metestrus adalah fase segera setelah estrus di mana corpus luteum mulai tumbuh. Corpus luteum merupakan perubahan bentuk dari folikel de Graaf pada tahap akhir yang berubah fungsi setelah mengalami ovulasi.
14
Metestrus sebagian besar berada di bawah pengaruh progesteron yang dihasilkan corpus luteum (Guyton, 1994) Stadium ini terjadi kira-kira 10 sampai 14 jam setelah ovulasi berlangsung (Wijono, 1998). Pada preparat ulas vagina terlihat banyak leukosit muncul di dalam lumen vagina bersama sedikit sel-sel bertanduk. Diestrus. Diestrus merupakan periode terakhir dan terlama yaitu 60 sampai 70 jam. Pada periode ini corpus luteum menjadi matang dan pengaruh progesteron semakin nyata. Endometrium lebih menebal dan kelenjar membesar (Toelihere, 1984). Pada preparat ulas vagina terlihat leukosit dalam jumlah tinggi dan sel-sel epitel berinti (Smith dan Mangkoewidjoyo, 1988; Nalbandov, 1990). Penentuan Jenis Kelamin Pada hewan yang masih muda antara hewan jantan dan hewan betina dapat dibedakan. Testes mudah terlihat terutama bila tikusnya diangkat sehingga testesnya berpindah dari saluran inguinal ke scrotum. Tikus jantan memiliki papila genitalia dan jarak anogenital yang lebih besar dari pada betina yaitu 5 mm pada umur 7 hari sedangkan yang betina hanya 2,5 mm. Puting susu pada betina sudah terlihat sejak umur 8 sampai 15 hari. Cara yang tepat untuk membedakan jenis kelamin tikus adalah dengan cara mengangkat tikus-tikus dari litter yang sama lalu membandingkan ukuran-ukuran tersebut (Malole dan Pramono, 1989). Sistem Perkawinan Sistem perkawinan atau pengembangbiakan yang dapat diterapkan pada tikus yaitu sistem monogami, poligami, dan sistem koloni. Berhubung perkawinan tikus terjadi di malam hari, untuk memastikan perkawinan dapat diamati kehadiran suatu massa putih yang menyumbat vagina, massa putih tersebut sudah jatuh di lantai di pagi hari, atau memeriksa spermatozoa dalam usapan vagina. Masa kebuntingan tikus berlangsung 21 sampai 23 hari dan sejak 14 hari kebuntingan sudah terlihat adanya perubahan bentuk kelenjar mamae. Tikus jarang menunjukkan bunting semu. Dalam satu litter terdapat 6 sampai 12 anak yang baru dapat melihat dan merambat sesudah berumur satu minggu (Arrington, 1972). Perlakuan kasar, kekurangan bahan untuk pembuatan sarang, dan kandang yang terlalu bising dapat menyebabkan induk makan anak-anaknya. Anak tikus disapih umur 21 hari yaitu kira-kira bobot anak sudah mencapai 40
15
sampai 50 g. Bila estrus postpartum tidak dimanfaatkan, tikus betina akan kembali berahi antara 2 dan 4 hari sesudah penyapihan (Arrington,1972). Sistem Pencernaan dan Konsumsi Tikus merupakan hewan pengerat yang mempunyai gigi seri 1/1 dan geraham 3/3 dan hanya gigi seri yang terus tumbuh.
Secara umum sistem
pencernaan pada tikus hampir sama dengan pada hewan mamalia lainnya. Alat pencernaan dimulai dari mulut, esofagus, usus halus dan terakhir di usus besar. Esofagus memasuki lambung pada bagian curvatura minor bersambung ke lipatan dari bagian peninggian yang membagi lambung menjadi lambung bagian depan dan lambung kelenjar. Lipatan tadi yang membuat tikus tidak dapat muntah. Usus halus terdiri atas duodenum, jejunum dan ileum. Panjang usus halus kira-kira lima kali usus besar. Fungsi penyerapan pada masing-masing usus halus bergantung pada jenis zat makanan yang akan diserap. Glukosa maksimum diserap di jejunum, dan bagian atas ileum, galaktosa di pertengahan dari ketiga usus halus, protein utuh dan albumin diserap di segmen paling ujung dari usus halus, sedangkan lemak diserap di jejunum. Usus besar terdiri atas sekum, kolon dan rektum (Bivin et al., 1979; Olds dan Olds, 1979). Tikus tidak mempunyai kantung empedu. Saluran empedu tiap lobus hati akan berkumpul, menyatu membentuk ductus koledokus, tetapi duktus koledokus ini juga tidak mampu menampung cairan empedu seperti fungsi kantong empedu pada rodensia lainnya (Olds dan Olds, 1979). Jumlah dan jenis bahan pakan yang dikonsumsi satwa berhubungan dengan adaptasi anatomis sistem alat pencernaannya, kualitas dan kuantitas pakan yang dikonsumsi untuk menghasilkan energi (Black, 1983). Tipe dan kualitas bahan pakan dapat mempengaruhi pola tingkah laku makan hewan. Jika makanan yang dikonsumsi lebih banyak mengandung kosentrat waktu makan akan berkurang. Hewan yang lebih banyak menerima makanan yang mudah dicerna, konsumsi pakan akan meningkat, sebab proses digesti berlangsung lebih cepat (Dulphy et al., 1980). Karbohidrat yang terdapat pada buah-buahan, kacang-kacangan, dan sereal sebagian besar terdiri atas gula-gula sederhana dan polisakarida. Kandungan gula dalam buah-buahan sangat bervariasi, mulai yang paling rendah seperti alpukat hingga mencapai lebih dari 20% seperti pisang masak. Sebagian besar gula-gula tersebut terdapat dalam bentuk sukrosa, glukosa dan fruktosa (Haard, 1985).
16
Jenis bahan pakan yang mudah larut antara lain adalah gula (mono-, didan trisakarida) dan pati (pati, dekstrin dan glikogen). Bahan tersebut mudah dicerna dan selanjutnya akan diubah menjadi glukosa (Moen, 1973). Sebagian besar pati terdapat dalam biji-bijian dan umbi-umbian, pati kira-kira mengandung 25% amilosa (Whistler et al., 1987). Rasa lapar ditimbulkan oleh kebutuhan fisiologis. Selera makan berhubungan dengan kondisi internal yaitu fisiologis dan psikologis yang akan merangsang atau menghambat rasa lapar pada seekor hewan. Jadi rasa lapar dan selera makan adalah hal yang berhubungan dengan pengaruh tingkat konsumsi pakan dari hewan. Pada saat kadar gula rendah, kondisi ini akan menyebabkan rasa lapar dan merangsang keinginan hewan untuk makan (Arrington, 1972). Sejak diketahui kehidupan satwa harus mendapatkan makanan untuk mempertahankan dirinya dan membantu reproduksi, maka pencaharian makanan merupakan suatu yang penting terutama satwa liar. Satwa liar membutuhkan energi, asam amino, mineral, vitamin, air, dan beberapa asam lemak, tetapi dalam jumlah yang bervariasi antarspesies, kondisi fisiologis dan anatomi yang berbeda (Smuth et al., 1987). Pada prinsipnya sumber makanan satwa liar berasal dari tiga tipe (Sailer, 1985), yaitu: Struktural, bagian tumbuhan termasuk daun, batang, cabang dan materi tumbuhan lainya yang mengandung struktur karbohidrat (selulosa); Bagian reproduksi, yaitu organ tumbuhan seperti tunas bunga, bunga dan buah (matang/mentah) kandungan karbohidrat lebih sedikit dan mudah dicerna; Materi dan hewan, yaitu makanan yang berasal dari hewan baik vertebrata maupun invertebrata. Untuk memenuhi kebutuhan makanan tikus, di Indonesia dipakai makanan ayam petelur (kandungan protein 17%), karena sudah mencukupi bahkan melebihi kebutuhan tikus yang hanya memerlukan 12% protein. Seekor tikus dewasa membutuhkan 5 g makanan dan 10 ml air minum per hari per 100 g berat badan. Tingkat konsumsi ransum dipengaruhi oleh temperatur kandang, kelembaban, kesehatan dan kualitas makanan itu sendiri. Sebagai hewan nokturnal, tikus aktif makan di malam hari (Malole dan Pramono, 1989). Banyak makanan tikus tersusun dari bahan alami yang mudah diperoleh dari sumber komersil. Namun demikian, pakan yang diberikan pada tikus sebaiknya mengandung nutrien dalam komposisi yang tepat. Protein pakan
17
harus mengandung asam amino esensial yang dibutuhkan tikus. Pakan juga harus mengandung vitamin seperti vitamin A, D, B12, alfatokoferol, asam linoleat, thiamine, riboflavin, phantotenat, biotin, piridoksin dan kolin (Smith dan Mangkoewidjoyo, 1988). Ada dua jenis pakan yang umum diberikan kepadas tikus laboratorium. Pertama, makanan untuk perkembangbiakan yang mengandung protein dan energi yang cukup untuk fetus selama kebuntingan dan untuk produksi susu selama laktasi. Kedua, pakan untuk pemeliharaan yaitu diet yang distandardisasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan tikus. Kebutuhan hewan akan nutrisi dipengaruhi oleh berbagai hal, misalnya kebutuhan pakan pada masa pertumbuhan berbeda dengan pada masa kebuntingan dan menyusui. Seekor tikus dewasa rata-rata mengkonsumsi sekitar 5 g pakan dan 10 ml air per 100 g berat badan (Malole dan Pramono, 1989) atau 12 sampai 20 g/ekor/hari dan 20 sampai 40 ml air/ekor/hari (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Secara spesifik disebutkan bahwa pada suhu 21 0C tikus jantan yang berumur 6 bulan akan mengkonsumsi pakan sebanyak 11,8 /100 g BB/hari dan tikus betina berumur 1 tahun mengkonsumsi 5,3 /100 g BB/hari. Menurut National Research Council (1978) bahwa rata-rata pemberian pakan harian untuk tikus Sprague-Dawley selama periode pertumbuhan dan reproduksi mendekati 15 sampai 20 g untuk jantan dan 10 sampai 15 g untuk betina. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa umur, jenis kelamin, dan suhu lingkungan berpengaruh pada konsumsi pakan. Pakan tikus umumya diberikan secara ad libitum dan tikus akan mengatur pola makan untuk menjaga keseimbangan energi. Pembatasan pemberian pakan pada
tikus
laboratorium
akan
memperlama
umur
hidup,
walaupun
pertumbuhannya sedikit lebih lambat dibandingkan tikus yang diberi pakan ad libitum. Mekanisme biologis dari proses ini pada rodensia belum diketahui dengan pasti. Bila tikus laboratorium mengalami kekurangan nutrien maka tikus dengan sendirinya memilih nutrien yang dibutuhkan jika diberi hubungan atau akses ke pakan yang tersedia. Pada kondisi ketika pakan diberikan dalam jumlah yang sangat terbatas, tikus dapat mengurangi konsumsi energinya, tetapi jika palatabilitas pakan berlebih, tikus dapat meningkatkan penggantian energi. Pembatasan jumlah pakan yang diberikan pada tikus bunting akan menyebabkan perubahan pada konsumsi dan pertumbuhan anak (Malole dan Pramono, 1989).
18
Pertumbuhan dan Perkembangan Tubuh Ternak Taylor (1984) mendefinisikan pertumbuhan sebagai peningkatan bobot badan hingga mencapai ukuran dewasa atau bertambahnya unit biokimia baru karena terjadi proses pembelahan sel. Sementara itu Maynard et al., (1983) menyatakan bahwa pertumbuhan adalah peningkatan bobot badan yang berhubungan dengan interval waktu. Selanjutnya Hammond et al., (1984) menyatakan bahwa dalam pertumbuhan ada dua hal yang terjadi yakni kenaikan bobot badan atau komponen tubuh sampai mencapai ukuran dewasa yang disebut pertumbuhan, dan adanya perubahan bentuk konformasi yang disebabkan perbedaan laju pertumbuhan jaringan atau bagian tubuh yang berbeda yang disebut perkembangan. Tiga proses utama yang terjadi selama berlangsungnya pertumbuhan adalah (1) proses dasar pertumbuhan sel yang meliputi perbanyakan sel (hiperplasia) atau produksi sel-sel baru, pembesaran sel (hipertropi) dan pertambahan (akresi) material struktural nonsel (non protoplasmic) seperti deposisi lemak, glikogen, plasma darah dan kartilago, (2) diferensiasi sel-sel induk di dalam embrio menjadi ektoderm, mesoderm dan endoderm, yang selanjutnya akan menghasilkan sel-sel khusus seperti sel-sel syaraf dan epidermal dari ektoderm, sel-sel penyusun saluran pencernaan (gastro intestinal),
kelenjar-kelenjar atau glandula sekresinya dari endoderm,
dan (3) kontrol pertumbuhan dan diferensiasi yang melibatkan berbagai proses (Williams, 1982). Kurva pertumbuhan yang normal berbentuk sigmoid (Huruf “S”). Dari kurva tersebut diketahui pola pertumbuhan hewan sejak periode kelahiran sampai dewasa. Pada tahap awal, pertumbuhan berlangsung lambat, yang kemudian diikuti tahap pertumbuhan yang cepat hingga umur pubertas, dan selanjutnya kecepatan pertumbuhan secara gradual mulai menurun sampai berhenti bila bobot dewasa telah tercapai (Aberle et al., 2001). Menurut Aberle et al., (2001), pada saat kecepatan pertumbuhan mendekati konstan, slope kurve pertumbuhan hampir tidak berubah. Dalam hal ini pertumbuhan otot, tulang dan organ-organ penting lainnya mulai berhenti sementara pertumbuhan lemak mulai dipercepat. Pertumbuhan berlangsung lebih cepat pada waktu muda, pada masa tersebut hewan mampu mengkonsumsi pakan dan menyimpan energi yang banyak, tetapi setelah itu kapasitas energi yang disimpan menjadi terbatas karena kebutuhan untuk pemeliharaan meningkat, mengganti jaringan sel-sel
19
yang rusak dan perubahan energi ke arah reproduksi. Setelah berkembang secara penuh otot dan serabut otot mengalami peningkatan ataupun penurunan. Jumlah serat otot yang mengalami penuaan akan berkurang dan ukuran otot menjadi besar (Aberle et al., 2001) Pada hewan besar, pematangan dicapai pada waktu yang lama dibandingkan hewan kecil. Kenaikan ukuran otot terbesar terjadi setelah lahir dan kecepatan peningkatan ukuran akan menurun setelah mendekati dewasa. Hammond et al., (1976) menyatakan bahwa pada saat lahir proporsi bagian kepala, kaki depan, dan kaki belakang sangat besar. Pada perkembangan setelah lahir, proporsi kepala dan kaki depan semakin menurun kemudian diikuti oleh penurunan proporsi leher dan kaki belakang sehingga bagian tubuh yang sangat penting banyak mengalami perkembangan setelah kelahiran seperti bagian pinggang (loin) kemudian pelvis dada dan leher. Pada tingkat awal pertumbuhan embrio, bagian kepala tumbuh cepat yang mengakibatkan ukuran kepala menjadi tidak seimbang dibandingkan dengan ukuran tubuh. Selama tingkat kehidupan fetus selanjutnya, laju pertumbuhan kepala menjadi berkurang dan bagian tubuh lainnya semakin berkembang. Wallace (1948) menyatakan bahwa ada dua gelombang pertumbuhan pada ternak. Gelombang pertumbuhan utama dimulai pada daerah tengkorak (Cranium) dan bergerak ke depan ke daerah muka, kepala dan ke belakang ke daerah pinggang. Gelombang pertumbuhan kedua bergerak dari daerah bawah bagian kaki (metacarpal) dan (metatarsal) bergerak ke jari-jari dan ke atas sepanjang kaki serta batang tubuh ke daerah pinggang. Daerah pinggang merupakan bagian tubuh yang paling akhir mencapai pertumbuhan maksimal. Palsson (1955) menyatakan bahwa untuk melihat tumbuh kembang tubuh hewan, dapat dilakukan dengan pengukuran tubuh pada berbagai umur atau mengambil gambar dengan pembesaran yang tetap. Cara lain adalah penguraian tubuh ternak secara anatomis menjadi komponennya. Komposisi Kimiawi dan Sifat-sifat Daging Secara umum komposisi kimia daging hewan mamalia (domestik) terdiri atas air (75,0%), protein (19,0%), lemak (2,5%), karbohidrat (1,2%), substansi nonprotein soluble (2,3%), dan sedikit vitamin (Lawrie, 1995).
20
Protein Protein merupakan komponen kimia dalam tubuh yang sangat penting. Protein dibuat dari banyak asam amino yang dirangkai menjadi rantai-rantai oleh ikatan peptida yang menghubungkan gugus amino dengan gugus karboksil pada asam amino berikutnya. Di samping itu protein mengandung karbohidrat (glikoprotein) dan lipid (lipoprotein), rantai asam amino yang lebih kecil disebut peptida atau polipeptida, dan batas antara peptida, polipeptida dan protein tidak jelas (Ganong, 1995). Protein dan beberapa peptida diserap dalam jumlah kecil di saluran pencernaan. Kebanyakan protein yang dimakan dicerna, dan kandungan asam aminonya diserap lebih banyak pada mukosa usus. Protein tubuh dihidrolisis menjadi asam amino dan disintesis ulang. Kecepatan perputaran (turnover) protein endogen rata-rata 80 sampai100 g per hari. Asam amino yang dibentuk dari pemecahan protein endogen identik dengan protein yang berasal dari makanan. Protein ini membentuk suatu depot asam amino umum yang memasok kebutuhan tubuh. Di ginjal, kebanyakan asam amino merupakan asam amino yang difiltrasi yang akan diserap kembali. Selama pertumbuhan keseimbangan antara asam amino dan protein tubuh bergeser ke arah protein tubuh sehingga sintesis lebih besar dari pada pemecahan (Ganong, 1995). Pada semua usia sejumlah kecil protein hilang sebagai rambut, beberapa hilang dalam urine, dan ada sekresi protein yang tidak direabsorbsi di saluran pencernaan sehingga hilang ikut tinja. Kehilangan ini digantikan dengan sintesis dari depot asam amino. Lemak Lemak merupakan salah satu jenis makanan yang banyak digunakan untuk makanan sehari-hari. Hal ini disebabkan fungsinya untuk meningkatkan cita rasa, memperbaiki tekstur, pelarut vitamin, mensintesis hormon, menyusun sel-sel membran dan pembawa flavor, di samping fungsi fisiologis dan sebagai sumber energi (Djojosoebagio dan Piliang, 2002). Asam Lemak Asam Lemak terdiri atas asam lemak jenuh (saturated fatty acid, SFA) dan asam lemak tak jenuh (unsaturated fatty acid, UFA). Asam lemak tak jenuh terdiri atas mono-unsaturated fatty acid (MUFA) dan poly-unsaturated fatty acid (PUFA) atau high unsaturated fatty acid.
21
Asam lemak tak jenuh terdiri atas 3 kelompok besar yaitu omega 3, omega 6, dan, omega 9 (tabel 3). Asam linolenat (18:3 ?3), asam eikosapentaenoat (20:5 ? 3), dan dokosaeksaenoat (22:6 ?3) mengandung asam lemak omega 3 yang banyak diperoleh dari makanan. Kelompok asam lemak yang kedua yaitu omega 6 yang tediri atas asam linolenat (18:2 ?6), dan asam arakidonat (20:4 ?6), sedangkan omega 9 terdiri atas asam oleat (18:1 ?9) (Nettleton, 1994). Asam linoleat dan asam linolenat merupakan asam lemak essensial karena tubuh tidak dapat mensintesis kedua asam lemak tersebut. Selain itu kedua asam lemak tersebut dapat dipakai sebagai bahan untuk mensintesis prostaglandin yang mempunyai sifat-sifat hormon serta terlibat dalam banyak fungsi tubuh (Murray et al., 1999 dan Montgomery et al., 1993). Asam oleat bukan asam lemak esensial karena tubuh dapat mensintesis asam tersebut (Murray et al., 1999). Tabel 3 Pengelompokan asam lemak tak jenuh Kelompok
Asam lemak
Struktur
?3
Asam linolenat Asam eikosanpetaenoat Asam dokosaheksaenoat
18:3 ?3 20:5 ?3 22:6 ?3
?6
Asam linoleat Asam arakidonat
18:2 ?6 20:4 ?6
?9
Asam oleat
18:1 ?9
Asam lemak omega 3 sangat penting karena bila tidak terdapat dalam diet menimbulkan gejala defisiensi perkembangan dan pertumbuhan, karena tidak dapat disintesis dari asam lemak lain. Asam lemak omega 6 dapat dipakai untuk mensintesis asam arakhidonat suatu intermediat dalam sintesis eikosanoid, suatu kelompok susbtansi regulator dan asam lemak omega 6 juga memperlihatkan kemampuan menyerap air lewat kulit dan integritas kelenjar pituitari. Akan tetapi menurut Muchtadi (2000) mengkonsumsi omega 6 secara berlebihan tanpa diimbangi konsumsi omega 3 dapat menurunkan LDL kolesterol, akan tetapi HDL kolesterol juga dilaporkan ikut mengalami penurunan, keseimbangan antara omega 3 dan omega 6 terganggu, menyebabkan darah mudah menggumpal. Kedua hal ini tidak menguntungkan karena rasio LDL/HDL (Indeks penyakit jantung koroner) yang menurun dan mudahnya darah menggumpal tidak dapat mencegah bahkan dapat memicu terjadinya penyakit jantung koroner.
22
Menurut Osman et al., (2001), omega 3 dan omega 6 adalah asam lemak essensial
yang
berfungsi
menyembuhkan
dan
mencegah
penyakit
kardiovaskuler, perkembangan saraf pada bayi, kanker dan kontrol glikemik lemak. Selain itu omega 6 dalam bentuk tunggal memiliki sifat negatif yang berkaitan dengan peningkatan produksi eicosanoids (stimulan pertumbuhan tumor pada binatang percobaan). Akan tetapi dengan adanya omega 9 dan omega 3 dalam proporsi yang sesuai akan memiliki potensi memblokir produk senyawa eicosanoids tersebut, omega 9 dapat mencegah stimulasi negatif omega 6. Asam lemak omega 9 dapat mencegah penyakit jantung koroner, memiliki daya
perlindungan
yang
mampu
menurunkan
LDL
kolesterol
darah,
meningkatkan HDL kolesterol yang lebih besar dibanding omega 3 dan omega 6, lebih stabil dibandingkan dengan PUFA, MUFA dan dapat menurunkan kolesterol (LDL-kolesterol) (Mensink, 1987). Produksi Karkas Karkas adalah bagian tubuh ternak hasil dari suatu pemotongan setelah dikurangi bagian kepala, keempat kaki (mulai dari carpus dan tarsus), kulit, darah, organ dalam (hati, jantung paru-paru, limpa, saluran pencernaan beserta isinya dan saluran reproduksi (Berg dan Butterfield, 1976; Lawrie, 1985). Ternak yang beraktivitas tinggi mengakibatkan cadangan glikogen terbatas. Bila
dalam
keadaan
kekurangan
glikogen
terus-menerus
ternak
akan
memanfaatkan cadangan energi tubuh sehingga terjadi penurunan bobot badan (Lawrie, 1985; Ockerman, 1995; Fernandez et al., 1996; Aberle et al., 2001). Komposisi karkas memegang peranan penting karena berhubungan dengan jumlah daging, otot, tulang dan lemak yang dihasilkan (Berg dan Butterfield, 1976). Produksi karkas berhubungan dengan bobot badan. Peningkatan bobot badan akan diikuti oleh peningkatan bobot karkas, dan persentase
karkas
meningkat
dengan
peningkatan
bobot
potong
(Aberle et al., 2001). Kualitas karkas dan daging akan dipengaruhi oleh bangsa ternak, umur, makanan, dan cara pemeliharaan. Oleh karena itu, untuk memperoleh ternak potong yang mempunyai nilai tinggi, diperlukan suatu penanganan yang baik dan benar, baik sebelum dipotong, saat pemotongan maupun setelah ternak dipotong (Natasasmita, 1978).
23
Sifat Fisik dan Komposisi Kimia Daging Metabolisme Glikogen Glikogen merupakan bentuk simpanan glukosa yang terdapat di dalam kebanyakan jaringan tubuh, tetapi sumber utamanya adalah hati dan otot rangka (Ganong, 1995). Glikogen di dalam hati terdapat sekitar 6% dan dalam otot 1% (Mayes, 1999). Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan yang dapat atau pantas digunakan sebagai bahan makanan (Aberle et al., 2001), termasuk di dalamnya jaringan otot, organ-organ seperti hati, limpa, ginjal dan otak, serta jaringan lain yang dapat dimakan (Lawrie, 1995). Faktor yang menentukan kualitas daging segar menurut Soeparno (1994) terutama meliputi warna, keempukan dan tekstur, flavor dan aroma termasuk bau dan cita rasa serta sari minyak daging (juiceness). Di samping itu lemak intramuskular, susut masak (cooking loss) yaitu berat sampel daging yang hilang selama pemasakan atau pemanasan, retensi cairan dan pH daging, ikut menentukan kualitas daging. Lamanya aktivitas meningkatkan kehilangan bobot hidup, persentase karkas, dan bobot hati, potensi glikolitik meningkat juga menyebabkan pengurasan glikogen yang akan menentukan nilai akhir pH (Fernandez et al., 1996). pH Daging Lawrie (1995) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi laju penurunan pH post mortem dapat dibagi dua, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik antara lain adalah suhu lingkungan, penanganan ternak sebelum pemotongan dan suhu penyimpanan daging. Pada saat ternak masih hidup, pH daging berkisar antara 7,2 dan 7,4. Setelah proses pemotongan, pH daging akan menurun akibat proses glikolisis anaerob yang menghasilkan asam laktat (glikogen à asam laktat). Proses glikolisis anaerob ini merupakan proses
dominan
selama
24
sampai
36
jam
setelah
pemotongan
(Aberle et al., 2001). Daya Mengikat Air Daya mengikat air didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk mengikat
airnya
selama
aplikasi
daya
eksternal
pemanasan, atau pengepresan (Aberle et al., 2001).
seperti
pemotongan,
24
Air yang terikat di dalam otot dibagi menjadi tiga kompartemen, lapisan pertama adalah air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar empat sampai lima persen sebagai lapisan monomolekuler pertama. Lapisan kedua adalah air, yang terikat agak lemah sebagai lapisan kedua dari molekul air terhadap grup hidrofilik. Sekitar empat persen dari lapisan kedua ini akan terikat oleh protein apabila tekanan uap air meningkat. Lapisan ketiga adalah molekul air bebas di antara molekul protein, yang berjumlah kira-kira 10% (WismerPedersen, 1986). Daya mengikat air oleh protein dipengaruhi oleh pH dan jumlah ATP. Pada fase prerigor daya ikat air masih relatif tinggi, akan tetapi secara bertahap menurun seiring dengan penurunan pH dan jumlah ATP jaringan otot (Bendall, 1960). Penurunan pH yang cepat, misalnya karena pemecahan ATP yang cepat, akan meningkatkan kontraksi aktin-miosin dan menurunkan daya mengikat air oleh protein. Menurut Aberle et al., (2001) daya mengikat air dipengaruhi oleh umur, spesies, fungsi otot, dan protein miofibril. Selanjutnya dinyatakan bahwa perubahan daya ikat air berhubungan dengan perubahan pH daging. Wismer-Pedersen (1986) menyatakan selain faktor pH, pelayuan, dan pemasakan, daya mengikat air daging juga dipengaruhi oleh faktor yang menyebabkan perbedaan kemampuan mengikat air di antara otot seperti spesies, umur, fungsi otot serta pakan, transportasi, temperatur, kelembaban, penyimpanan dan pengawetan, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan dan lemak intramuskular.
3. PENGAMATAN BIOLOGI DASAR TIKUS EKOR PUTIH DI HABITAT ASLI Pendahuluan Habitat adalah suatu tempat organisme atau individu biasanya ditemukan. Habitat merupakan hasil interaksi berbagai komponen, yaitu komponen fisik yang terdiri atas air, tanah, topografi dan iklim (makro dan mikro) serta komponen biologis yang terdiri atas manusia, vegetasi dan satwa (Smiet, 1986). Fungsi habitat menurut Bailey (1984) sebagai tempat yang dapat menyediakan makanan, air, dan perlindungan. Penggunaan tikus ekor putih sebagai ternak penghasil daging di daerah Minahasa dan kota Manado menyebabkan permintaan akan daging tikus di daerah tersebut meningkat namun pada daerah-daerah tertentu populasinya semakin menurun karena belum ada usaha pembudidayaan. Sebelum dilakukan budidaya maka informasi-informasi yang berkaitan dengan biologi dasar yakni kebiasaan tikus hidup di hutan, makanan yang dikonsumsi, tempat tinggal, tempat berlindung, tempat mencari makan, ketersediaan jumlah makanan di habitat dan semua informasi dari masyarakat tentang tikus ekor putih tersebut harus kita pelajari. Kekurangan
pengetahuan
dasar
tentang
proses
biologis
yang
mengendalikan proses produksi pada tikus ekor putih telah membatasi usaha meningkatkan daya reproduksi sehingga proses pembudidayaan tidak dapat berjalan seperti yang kita harapkan. Penelitian ini bertujuan mencari informasi sebanyak mungkin tentang biologi dasar yang diperlihatkan tikus ekor putih di alam, yang nantinya akan dijadikan dasar pertimbangan untuk penelitian. Bahan dan Metode Materi yang digunakan antara lain tikus ekor putih yang ditangkap dari hutan, Rattus norvegicus. Alat yang digunakan adalah kamera, alat tulis menulis, perangkap tikus, alat perekam, kandang tikus yang bisa dibawa-bawa, higrometer, jam, stop watch serta timbangan. Penelusuran informasi tentang tikus ekor putih dilakukan dengan metode wawancara pada penduduk sekitar hutan tempat habitat asli, mengunjungi lokasi habitat asli, pengukuran tubuh tikus.
26
Data yang dikumpulkan tentang asal usul tikus meliputi, karakteristik tikus (umur, bobot, warna, bentuk), jenis makanan, kondisi habitat tikus, serta pengukuran temperatur dan kelembaban habitat asli (lokasi). Informasi tentang jumlah tikus yang ditangkap, meliputi jumlah tikus yang ditangkap hidup, jumlah tikus yang mati, serta bobot badan tikus yang ditangkap. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan statistika deskriptif. Hasil dan Pembahasan Kondisi Habitat Sulawesi Utara mempunyai keanekaragaman satwa yang sangat tinggi, karena terdapat 114 jenis satwa. Namun demikian kebanyakan di antara satwasatwa tersebut mulai mengalami penurunan populasi. Jenis satwa yang sudah diketahui keberadaannya kurang dari 70%, salah satu di antaranya adalah tikus hutan ekor putih (Maxomys hellwandii ). Tikus hutan ekor putih hanya terdapat di Indonesia khususnya di Pulau Sulawesi, termasuk di dalamnya 14 spesies tikus ekor putih lainnya (Corbet dan Hill, 1992). Tikus hutan di Minahasa, Sulawesi Utara, sudah sejak lama dikonsumsi masyarakat setempat sebagai makanan istimewa yang hanya disajikan pada acara-acara tertentu seperti pengucapan syukur panen, perkawinan, pembaptisan, dan acara syukuran lainnya. Tikus hutan ekor putih di Manado lebih dikenal dengan nama tikus ekor putih, karena sebagian ujung ekor berwarna putih. Nama lokal hewan tersebut bermacam -macam sesuai dengan nama daerah penyebarannya. Di daerah Minahasa Tengah (berbahasa Toutemboan) hewan tersebut dikenal dengan nama ‘’Turean”; di daerah Tombulu “Kulo Ipus”; dan di Tondano berbahasa Tolour dikenal dengan nama “Peret”. Di daerah Minahasa semua daging tikus yang dimakan dikenal dengan nama “Kawok”. Tikus hutan ekor putih memiliki kemampuan adaptasi lingkungan yang tinggi. Tikus ini hidup di hutan-hutan di daerah kabupaten Minahasa sampai kabupaten Bolaang Ma ngondow (Gambar 1). Aktivitas dilakukan dominan pada malam hari dan sering ditemukan di atas pohon sirih hutan, pohon bambu dan pada pohon buah-buahan lainnya. Pada siang hari tikus masuk ke dalam liang di bawah tanah, di semak-semak, akar pohon atau di gua batu kecil. Tikus ekor putih hidup secara berkelompok, tiap kelompok terdiri atas jantan, induk, dan anak-anak yang bisa mencapai 10 sampai 15 ekor dalam satu liang. Liang dibuat di akar-akar pohon, panjang liang sepanjang naungan pohon.
27
Gambar 1 Kondisi habitat tempat tikus membuat liang sarang Di
daerah
Minahasa
penduduk mendapatkan tikus dengan cara
menangkap dengan menggunakan perangkap tikus yang terbuat dari bambu. Tikus yang tertangkap pada alat perangkap terjepit, sehingga hasil tangkapannya biasanya dalam keadaan mati. Alat perangkap tersebut biasa disebut “Palompit”. Temperatur dan kelembaban udara lokasi penelitian pada pagi hari adalah 240C dan 74%, siang hari 31 0C dan 62%, sore hari 370C dan 70% dan malam hari 230C dan 79%. Konsumsi dan Pertumbuhan Pola Makan dan Gambaran Umum Tikus Ekor Putih Frekuensi pemberian pakan untuk tikus ekor putih hanya satu kali dalam 24 jam. Waktu pemberian dilakukan pada pagi hari. Jumlah dan ragam pakan yang diberikan hanya berdasarkan perkiraan untuk mengetahui jumlah pakan yang dikonsumsi dan respon pertumbuhan. Hasil pengamatan menunjukkan jenis pakan yang dikonsumsi sangat beragam mulai dari daun-daunan, umbi-umbian, buah-buahan sampai dengan kulit buah-buahan, juga serangga sedangkan hijauan (rumput) tidak disukai. Adaptasi terhadap Pakan Kemampuan hewan beradaptasi dengan lingkungan baru antara lain dapat dilihat dari keragaman pakan yang disukai dan dikonsumsi. Semakin banyak dan beragam pakan yang disukai berarti hewan yang bersangkutan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan. Pada penelitian ini daya adaptasi tikus ekor putih terhadap pakan cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat berdasarkan jenis
28
pakan yang disukai yang dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu 1) jenis daun dan sayuran, 2) jenis buah-buahan, 3) jenis umbi-umbian. Jenis Bahan Pakan yang Berasal dari Jenis Daun-daunan Di habitat aslinya, tikus ekor putih ditemukan di lokasi yang ditumbuhi pohon bambu, dan sering ditemui di atas pohon tersebut sedang mengkonsumsi pucuk muda daun bambu. Tikus ini juga ditemui di pohon sirih hutan, mengkonsumsi pucuk daun muda dan juga buahnya. Selain pada daun bambu dan sirih hutan, tikus ekor putih juga ditemui di liang akar pohon beringin (ficus spp), di atas pohon enau. Tikus-tikus tersebut senang makan kelapa yang jatuh. Gambaran yang jelas tentang kesukaan tikus ekor putih terhadap jenis pakan, berdasarkan kondisi di tempat pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 4. Selain makanan asli dari hutan, tikus ekor putih menyukai pula jenis pakan dari tanaman budidaya seperti kangkung, daun pepaya, pucuk singkong, daun umbi rambat, kubis, wortel, pucuk ubi rambat, selada, daun murbey, makanan sisa dari dapur, buah-buahan, biji dan kulit. Preferensi terhadap bahan pakan percobaan, sesuai dengan tujuan penelitian pemberian pakan kepada tikus ekor putih yaitu secara kafetaria, sehingga tikus bebas memilih dan mengkonsumsi jenis bahan pakan yang sesuai dengan pilihan kesukaannya. Selain itu, untuk mengetahui jenis bahan pakan yang berpotensi dimanfaatkan dalam upaya budidaya. Dari hasil pengamatan pada Tabel 4, buah-buahan lebih disukai dibandingkan daun-daunan dan sayuran. Bila disajikan bersamaan buah-buahan dimakan lebih dahulu, baru kemudian pucuk daun muda, biji-bijian dan pelet. Sejalan dengan hasil pengamatan Haard (1985) yang menyatakan bahwa buahbuahan termasuk jenis bahan pakan yang banyak mengandung komponen karbohidrat sederhana yang mudah dicerna dan mudah larut seperti glukosa, fruktosa dan sukrosa. Jenis bahan pakan yang berasal dari umbi-umbian yang dimakan meskipun kurang disukai antara lain singkong, ubi rambat, dan wortel. Selain makan tumbuhan, tikus ekor putih juga memakan jenis-jenis serangga (insekta) dan daging (karnivora) yaitu jenis arthopoda antara lain kumbang, semut, ngegat dan kecoa. Semakin banyak keragaman, ketersediaan dan keberadaan sumber bahan pakan yang disukai berarti bahan pakan tersebut berpotensi dimanfaatkan. Hal ini dapat dijadikan sebagai faktor pendukung bagi usaha pengembangbiakan atau budidaya.
29
Ketersediaan
komponen
tersebut
pada
buah-buahan
sangat
memungkinkan dimanfaatkan secara langsung sebagai sumber energi oleh tikus ekor putih. Oleh karena itu, buah-buahan lebih disukai dan dipilih sebagai pakan daripada hijauan yang lebih banyak mengandung serat. Tabel 4 Preferensi tikus ekor putih terhadap berbagai jenis pakan Batang
No 1. a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p. q. r.
Jenis Tanaman Jenis buah-buahan: Beringin (Ficus variegata) Jambu biji Enau Pepaya (Carica Papaya) Pisang (Musa paradissiaca) Mangga (Mangifera indica) Rambutan (Nephelium lappaceum ) Kelapa Nangka (Artocarpus heterophyllus) Nenas (Ananas comosus) Semangka (Citrullus lanatus) Melon Apel Pear Sawo (Manilkara kauki) Langsat Duku (Lansium domesticus) Alpukat masak (Persea gratissima) Jambu air
2 a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. 3 a. b. c. d. e. f.
Dedaunan, sayuran dan umbi: Sirih Hutan (Piper aduncum )* +++ Kacang panjang + Kacang ijo + Kangkung ++ Pepaya Singkong Ubi rambat ++ Selada ++ Murbey ++ Kacang tanah Jagung + Beras/ padi ++ Bambu muda Wortel Kubis dll Serangga: Belalang Kecoa Siput Kumbang Semut ngegat * The Malasian Key Group (2004).
+ + -
Bagian yang di konsumsi Daun Buah Biji Kulit + + ++ ++ + + + + + + + + +++ +++ ++ ++ +++ ++ ++ + ++ + +++ ++
Keterangan: * The Malasian Key Group (2004). +++ = Sangat disukai ++ = Disukai + = Kurang disukai = Tidak disukai
+++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ ++ +++ +++ +++ ++ +++ +++ ++
Umbi
+++ +++ +++ ++ + + -
+ + + + + + + + +
-
+++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ + +++ +++ +++ ++ Daging +++ +++ +++ +++ +++ +++
-
+++ ++ +++ +++ ++ -
30
Pada penelitian ini tikus ekor putih diberi pakan yang mudah diperoleh di sekitar lokasi penelitian antara lain buah pisang, pepaya, singkong, ubi, kangkung, daun singkong, dan daun pepaya. Dari hasil pengamatan selama 6 bulan ternyata makanan yang paling disukai adalah buah pisang dan pepaya dan untuk memenuhi kebutuhan pakannya ditambahkan pelet ayam petelur. Jenis pakan inilah yang diberikan selanjutnya selama penelitian. Karakteristik Morfologi Karakteristik suatu individu dapat dicirikan antara lain berdasarkan karakteristik morfologi. Ehlinger (1991) menyatakan bahwa variasi morfologi terutama terhadap ukuran tubuh (size) dipengaruhi oleh faktor lingkungan (misalnya ketersediaan makanan, sedangkan perbedaan dalam bentuk (shape) lebih berhubungan dengan faktor genetik. Ciri-ciri kualitatif. Bayi tikus ekor putih (Maxomys hellwandii) mempunyai warna merah jambu merata di seluruh tubuh tanpa rambut. Tabel 5 Ukuran organ Tikus Ekor Putih dan Rattus norvegicus Jenis Tikus Bobot mati (g) Panjang ekor (cm) Panjang badan (cm) Kumis terpanjang (cm) Kaki depan (cm) Kaki belakang (cm) Telapak depan (cm) Telapak belakang (cm) Panjang telinga (cm) Lebar telinga (cm) Tinggi bdn-kaki-dpn bahu (cm) Tinggi bdn-kaki-blkg pingl (cm) Panjang gigi atas (mm) Lebar gigi atas (mm) Panjang gigi bawah (mm) Lebar gigi bawah (mm) Rusuk (buah) Ginjal (g) Jantung (g) Paru-paru (g) Hati (g) Limpa (g) Esophagus (cm) Arcus lambung panjang (cm) Usus halus (cm) Caecum (cm) Colon (cm)
Tikus Ekor putih Jantan Betina 354 ±31,37 240 ±16,56 27 ± 2,39 26 ± 1,79 15 ± 1,33 12 ± 0,83 10 ± 0,89 5 ± 0,35 7 ± 0,62 6 ± 0,41 9,5 ± 0,84 7 ± 0,48 3 ± 0, 31 2 ± 0,21 4,8 ± 0,43 4 ± 0,28 3 ± 0,27 2 ± 0,14 2,5 ± 0,22 1,5 ± 0,10 8 ± 0,66 6 ± 0,41 9,2 ± 0,82 7 ± 0,48 7 ± 0,62 6 ± 0,41 4 ± 0,35 2 ± 0,14 13 ± 1,15 8,5 ± 0,59 2,5 ± 0,22 2,5 ± 0,17 11 11 3 ± 0,33 1± 0,07 2,5 ± 0,22 1 ± 0,13 3,5 ± 0,31 3,3 ± 0,23 19 ±1,68 15,0 ± 0,23 0,42 ± 0,04 0,3 ± 0,02 6 ± 0,53 4 ± 0,28 10 ± 0,89 10 ± 0,69 65 ± 5,76 48,5 ± 3,35 7 ± 0,62 5 ± 0,35 26 ± 2,30 20 ± 1,38
Rattus norvegicus Jantan Betina 360 ± 6,71 222 ± 6,60 25 ± 0,46 19,5 ± 0,58 19 ± 0,35 15 ± 0,45 8 ± 0,15 5,6 ± 0,32 7 ± 0,13 6 ± 0,18 5 ± 0,09 5,5 ± 0,16 2 ± 0,04 1,9 ± 0,06 4 ± 0,07 4 ± 0,12 1,4 ± 0,03 2 ± 0,06 2 ± 0,04 1,88 ± 0,13 7 ± 0,13 5 ± 0,15 9 ± 0,17 7 ± 0,21 10 ± 0, 2 10 ± 0,03 2 ± 0,04 2 ± 0,19 20 ± 0,40 15 ± 0,04 2 ± 0.04 3 ± 0,09 13 13 3,1 ± 0,06 1,8 ± 0,05 1,1 ± 0,02 0,6 ± 0,02 3,1 ± 0,06 1,7± 0,05 18,2 ± 0,34 9,7± 0,29 0,8 ± 0,01 0,5 ± 0,01 4 ± 0,07 3 ± 0,09 6 ± 0,11 4 ± 0,12 165 ± 3,07 125 ± 3,71 4,5 ± 0,08 4 ± 0,12 14 ± 0,30 10 ± 0,30
31
Setelah berumur tiga hari warna berubah menjadi kehitaman tanpa rambut, namun 2/3 bagian ujung ekor sudah jelas berwarna putih. Setelah umur 7 hari rambut halus mulai tumbuh. Hasil pengukuran terhadap tikus ekor putih dan Rattus norvegicus menunjukkan bahwa secara umum tikus ekor putih memiliki bentuk tubuh yang kecil dengan kepala ramping. Ukuran tubuh tikus betina lebih kecil dibanding tikus jantan. Bentuk mata secara normal menonjol dengan kelopak normal dan sering mengedipkan matanya untuk menjaga supaya tetap lembab. Rambut berwarna cokelat keabuan merata di seluruh tubuh dari kepala hingga sepertiga pangkal ekornya. Kecuali pada bagian dada, perut bagian dalam memiliki warna lebih terang (krem), dengan panjang ekor melebihi panjang tubuhnya.
Simpulan 1. Tikus ekor putih merupakan hewan nokturnal, yang pada siang hari mendiami liang dan beraktivitas malam hari. 2. Tikus ekor putih di habitatnya selain makan buah-buahan, daun, juga makan serangga. 3. Ukuran tubuh dan sifat biologis tikus ekor putih hampir sama dengan tikus Rattus norvegicus .
4. ADAPTASI DAN TINGKAH LAKU TIKUS EKOR PUTIH Pendahuluan Adaptasi adalah kemampuan bertahan hidup dari suatu individu dalam suatu habitat tertentu. Individu-individu yang dinyatakan bisa beradaptasi bila mereka telah mampu untuk hidup dan berproduksi (Alikodra, 1990) Perubahan-perubahan habitat yang dikondisikan dalam budidaya dapat menyebabkan perubahan-perubahan tingkah laku, maka perlu penerapan managemen yang sesuai dengan kebutuhan ternak yang bersangkutan. Manajemen pemeliharaan sangat menentukan produksi ternak yang dihasilkan, untuk mendapatkan manajemen tikus yang baik perlu mengetahui kondisi-kondisi yang disenangi dan diperlukan oleh tikus hutan agar tidak stres sehingga diharapkan produktivitasnya maksimal. Salah satu cara untuk mengetahui kondisi tersebut adalah dengan mempelajari tingkah lakunya. Dengan mengamati tingkah laku dapat disimpulkan kondisi yang diperlukan oleh tikus seperti kondisi tempat yang baik untuk bertahan hidup, dan bereproduksi sehingga dapat dibuat suatu manajemen pemeliharaan yang baik dan sesuai yang diperlukan bagi tikus hutan tersebut. Penelitian ini bertujuan mengetahui adaptasi dan tingkah laku tikus ekor putih dalam penangkaran. Bahan dan Metode Penelitian dilaksanakan di Propinsi Sulawesi Utara selama 12 bulan. Penelitian dilakukan di dua habitat yaitu habitat asli tikus ekor putih di hutan Minahasa, dan pembudidayaan di luar habitat aslinya di Desa Tateli, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa. Materi yang digunakan antara lain tikus ekor putih sebanyak 70 ekor yang terdiri atas 45 ekor betina dan 25 ekor jantan, yang diperoleh dari hasil penangkapan pada penelitian tahap pertama. Alat yang digunakan adalah 9 unit kandang yang terdiri atas 5 kandang kaca dan 4 kandang ram kawat yang merupakan kandang kelompok dan kandang reproduksi yang menyerupai habitat asli, tempat makan dan minum, kamera, alat tulis menulis, higrometer, stop watch, jam serta timbangan Sebelum digunakan, kandang terlebih dahulu disucihamakan. Pada bagian dinding kandang yang terbuka dipasang tirai/plastik untuk mencegah masuknya
33
air hujan dan angin ke dalam kandang. Peralatan kandang yang disiapkan berupa tempat makan dan tempat minum serta alat pemanas, semuanya dipersiapkan terlebih dahulu sebelum tikus dimasukkan.
Gambar 2 Bagian luar dan dalam kandang reproduksi tempat tikus kawin
Gambar 3 Kandang kelompok yang terbuat dari alas beton, dinding seng dan penutup ram
34
Gambar 4 Kandang kaca digunakan untuk pengamatan tingkah laku Tikus ditempatkan dalam 9 unit kandang, yang terdiri atas 4 kandang kelompok yang terbuat dari bahan kayu dan seng rata serta 5 kandang pasangan yang terbuat dari bahan kaca. Masing-masing kandang kelompok berisi 6 (enam) sampai 10 (sepuluh) ekor tikus yang terdiri atas jantan dan betina, pada kandang yang terbuat dari kaca berisi 1 (satu) ekor tikus jantan dan 2 (dua) ekor tikus betina. Pemeliharaan tikus untuk melihat adaptasi dan tingkah laku dilaksanakan selama 3 sampai 4 bulan. Pakan yang diberikan adalah buah-buahan, sayuran, pucuk daun muda dan pakan ayam petelur. Pakan disajikan secara kafetaria (bebas pilih) untuk menentukan persentase bahan pakan yang paling disukai. Parameter yang diamati meliputi dua aspek yaitu adaptasi terhadap pakan yang diberikan dan pertumbuhannya serta tingkah laku. Pengamatan aspek adaptasi pakan meliputi : a. Konsumsi pakan, yang diperoleh dari jumlah pakan yang diberikan dikurangi dengan jumlah pakan yang tersisa perekor perhari. b. Pertambahan bobot badan, ditimbang perekor perminggu. Penimbangan bobot badan tikus dilakukan setiap minggu, mulai dari minggu pertama sampai minggu ke dua puluh dua dengan menggunakan timbangan digital. Pertambahan bobot badan dihitung dengan : Berat badan akhir – Berat badan awal PBB = Lama penelitian c. Konversi pakan, dihitung dengan menggunakan rumus menurut Scott (1969) sebagai berikut :
35
Jumlah pakan yang dikonsumsi (g) Konversi Pakan = Pertambahan bobot badan (g) d. Pengamatan tingkah laku Pengamatan tingkah laku dilakukan dengan membuat catatan Ethog Hafest pola tingkah laku, gambar dan kombinasi dari kegiatan tersebut (Tabel 6). Apabila diperlukan perlakuan maka respons tingkah laku yang bakal muncul harus dapat diperkirakan lebih dahulu. Pengamatan tingkah laku individual dilakukan 3 kali sehari, 7 hari dalam seminggu. Pengamatan tingkah laku induk dan anak, dilakukan pada tikus yang baru beranak. Tabel 6 Ethog Hafest beberapa aspek tingkah laku yang diamati. Aktivitas
Deskripsi
Makan
Aktivitas yang meliputi, memungut makanan dan prosesnya, dari mulai mengumpulkan makanan sampai mengunyah yang dilakukan, aktivitas ini dibatasi ketika satwa berhenti makan Aktivitas berbaring selain makan dan berpindah kadang-kadang dilakukan sambil grooming
Istirahat Grooming
Membersihkan kotoran atau ektoparasit dari tubuh sendiri atau tubuh individu lainnya/ selain sarana membersihkan badan juga sarana menjalin hubungan sosial antarindividu dalam kelompok
Melahirkan
Merupakan suatu rangkaian kejadian meliputi tahap sebelum melahirkan, saat melahirkan dan setelah melahirkan. proses melahirkan dibagi atas tiga fase. Fase pertama yaitu dilatasi cervix dan tingkah laku yang menyertainya, fase ke dua saat terjadinya dorongan fetus dari uterus ke saluran kelahiran dan fase ketiga adalah lepasnya plasenta setelah proses kelahiran
Beranak
Aktivitas yang ditandai dengan ancaman mimik muka atau gerakan badan, menyerang atau memburu lawannya, baku hantam dan diakhiri dengan kekalahan lawannya
Berkelompok
Berkumpul dua individu atau lebih membentuk kelompok, pada saat menghadapi ancaman dan dalam mempertahankan daerah kekuasaan (teritorial) dan perebutan makanan Sumber : Tomaszewska dan Putu (1989).
Tingkah laku dicatat dengan menggunakan metode ad libitum, aktivitas harian dicatat menggunakan Scan Sampling Methods (Altman, 1974; Martin dan Bateson,
1986).
Scan
Sampling
Methods
merupakan
spesifikasi
dari
Instantaneous Sampling, dimana pengamat mencatat semua aktivitas individu yang terlihat tiap menit dalam keseluruhan hari. Metode ini juga dapat digunakan untuk memperoleh data dalam jumlah besar anggota kelompok, dengan mengamati setiap perubahan tingkah lakunya dan jika tingkah laku dari seluruh kelompok atau subkelompok yang terlihat, dilakukan sampling dalam suatu
36
periode waktu pencatatan yang sangat pendek, maka akan mendekati suatu sampel yang serempak terhadap individu-individu dalam kelompok. Waktu pencatatan dilakukan dalam 2 periode yaitu : 1. Periode Siang : periode dimulai pukul 06.00-10.00; 10.00-14.00; dan pukul 14.00-18.00 WITA. 2. Periode Malam: periode dimulai pukul 18.00-22.00; 22.00-02.00; dan pukul 02.00-06.00 WIT A. Data dianalisis dengan statistika deskriptif. Pengamatan tingkah laku disusun dalam katalog ethog Hafest (Tomaszewska dan Putu,1989). Ethog adalah tabel yang terdiri atas kolom pertama yang memuat jenis tingkah laku dan kolom kedua yang menguraikan gambaran spesifik pola tingkah laku yang ditunjukkan oleh tikus yang diamati. Hasil dan Pembahasan Tingkah Laku Spesifik Hasil pengamatan beberapa tingkah laku spesifik tikus ekor putih (Maxomys hellwandii) Gambar 5.
Aktivitas selama 12 jam (%)
80
60
40
20
0 Makan
Istrht
Grooming Berkelahi Kelompok
Tingkah laku Malam
Siang
Gambar 5 Persentase Aktivitas tikus ekor putih Tingkah Laku Makan dan Minum Hasil pengamatan pada Gambar 6 menunjukkan bahwa aktivitas makan dan minum tikus ekor putih yang dibudidaya tidak berbeda dengan yang
37
dipelihara di habitat aslinya (in situ). Rata-rata waktu makan yang diperlukan adalah 6 menit (0,4%) pada siang hari dan 64 menit (8,51%) pada malam hari. Cara makan yang dilakukan tikus ekor putih adalah sebagai berikut, mulamula tikus mendekati makanan, menciumnya lalu mengambil makanan yang disukai dengan kedua kaki depan sambil duduk. Cara makan dengan menyuapkan makanan yang disukai dengan kedua kaki depan ke mulut. Bila makanan tidak disukai ditinggalkan kemudian mencari makanan lain lagi. Bila ukuran makanan terlalu besar, tikus akan memotongnya kecil-kecil dengan menggunakan mulut, dan bila sudah bisa digenggam dengan kedua kaki depan baru tikus duduk dan memasukkan ke mulutnya. Hasil penelitian terhadap bahan makanan yang diberikan ternyata selain makan tumbuhan, tikus ekor putih juga memakan jenis-jenis serangga (insekta) yaitu arthropoda seperti; kumbang, semut, ngegat dan kecoa. Tikus ini juga memakan daging (karnivora).
Gambar 6 Tikus ekor putih makan batang kangkung Tikus ekor putih sama seperti tarsius, dapat menangkap secara cepat makanan yang bergerak seperti belalang, kupu-kupu, cecak, kecoa dan kumbang. Makanan yang ditangkap tidak langsung dimakan, tetapi dibawa ke tempat yang aman dari rebutan kawanannya dan dengan ketangkasannya memain-mainkan hasil tangkapan. Bila tangkapannya telah mati kemudian dicabik-cabik dan dimasukkan ke dalam mulutnya. Umumnya tikus memakan bagian yang berdaging saja, bagian yang keras ditinggalkan.
38
Tikus memegang makanan erat dengan kaki depan, dengan kedua kaki secara bergantian. Sering terjadi kejar-kejaran dalam berebut makanan. Tikus jarang sekali minum, hal ini terjadi karena jenis makanan yang dimakan umumnya berupa buah-buahan yang mengandung air cukup tinggi. Tingkah Laku Berkelompok (Allelomimetic) Di lingkungan habitat aslinya, tikus ekor putih biasa ditemukan di liang persembunyiannya dalam kelompok-kelompok yang terdiri atas induk, jantan, anak-anak dan juga kawanannya. Tikus tidur saling tindih di sudut. Pada habitat aslinya, di malam hari mereka berkeliaran di atas pohon dan memakan pucukpucuk daun muda, buah-buahan dan menangkap mangsa berupa serangga. Tikus membentuk kelompok-kelompok seperti terlihat pada Gambar 7. Bila kelompok lain datang bergabung, maka kelompok yang telah terbentuk pertama akan menyerang kelompok yang baru datang. Hal ini berlangsung rata-rata selama 2 sampai 6 jam. Akan tetapi, setelah selang beberapa lama akan segera bergabung membentuk kelompok yang lebih besar.
Gambar 7 Tikus berkelompok Dalam proses bergabung tersebut ada tikus jantan dan betina dewasa yang luka, bahkan sampai mati dengan tubuh yang sobek dan luka menganga, akibat saling serang dengan cara mengigit dan mencakar sambil bergulingguling. Kekompakan berkelompok sangat nyata dengan saling melindungi. Namun demikian, dalam kelompok itu juga ada perkelahian kecil tetapi tidak sampai ada yang mati, misalnya terlihat pada saat perebutan makanan tetapi yang lebih kecil selalu mengalah .
39
Hasil pengamatan menunjukkan rata-rata waktu berkelompok yang digunakan adalah 571 menit (76,13%) pada siang hari dan 117 menit (31,11%) pada malam hari. Tingkah Laku Bertengkar dan Menghindar (Agonistic) Aktivitas agonistic sering terjadi antara individu jantan dan jantan, jantan dan betina dewasa, betina dewasa dan betina dewasa, juga betina dewasa dan anak tikus. Hal ini biasa terjadi saat berebut makanan, saat kawin, dan saat induk memiliki bayi. Agonistic terjadi antara individu jantan dan betina saat jantan ingin kawin dan betina menolak. Pada keadaan ini betina menyerigai dan mengangkat kaki depan dengan gerakan mencakar atau dengan menghindari jantan yang terus mengejar.
Demikian juga antara sesama betina dewasa bila sepasang
tikus dikandangkan dan betina baru dimasukkan ke kandang, maka terlihat jantan diam saja tetapi betina pasangannya akan menyerang betina yang baru masuk. Tingkah laku ini juga terjadi pada saat berebut makanan terjadi tarikmenarik makanan dan semakin sering terjadi bila jatah makanan yang diberikan kurang. Pada saat tikus betina memiliki anak dan bila tikus lain mendekati anaknya segera induk mengejar, mereka tidak peduli mulut anak masih di puting susu induknya, sehingga induk mengejar lawan dengan tubuh anak masih tergantung di puting hingga lepas. Dalam perkelahian tersebut tikus mengeluarkan suarasuara yang khas. Tikus merupakan binatang yang sangat peka, bila mendengar suara asing langsung bereaksi dan melompat sehingga menimbulkan kegaduhan kemudian
semua berpencar dan naik ke ram kandang dan bergelantungan
dengan mata terbuka lebar sambil waspada. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata waktu berkelahi yang digunakan adalah 4 menit (0,3%) pada malam hari. Pada siang hari waktu dihabiskan untuk tidur sehingga selama pengamatan tidak ditemui tikus berkelahi pada siang hari. Tingkah Laku Grooming Grooming merupakan suatu kegiatan membersihkan tubuh sendiri atau tubuh individu lainnya (Linburg, 1980); kadang-kadang grooming dilakukan untuk memberi perhatian dan kasih sayang. Hasil pengamatan pada Gambar 8 menunjukkan bahwa tikus ekor putih melakukan grooming pada saat bangun tidur, tubuhnya basah, selesai makan,
40
buang air, bercumbu, selesai menyusui, dan bermain. Setiap selesai melakukan aktivitas tersebut selalu diikuti dengan grooming. Kegiatan grooming dilakukan dengan menjilat kedua kaki depan lalu mengusap muka dengan kedua kaki depan, menjilati perut, puting, tubuh, kaki, alat kelamin, ekor dan seluruh tubuh. Organ tubuh yang jauh dari jangkauan grooming dapat juga dilakukan dengan menjilat tangan, dan tangan yang basah itu kemudian diusapkan ke tubuh yang akan dibersihkan. Aktivitas grooming dilakukan antarindividu secara berbalasan maupun sendiri. Menurut Sellevs (2001), grooming merupakan suatu aktivitas primata yang bersifat umum. Saling membersihkan bulu merupakan aplikasi yang penting dimana aktivitas ini dapat digunakan untuk memperkuat jaringan antar mereka. Hewan yang dominan dan berkuasa seperti jantan akan membersihkan bulu untuk betina dalam rangka kegiatan seksual, sedangkan induk pada saat anak menyusui, induk menjilati sekujur tubuh anaknya, anak selalu dijilati dari kepala sampai ekor yang paling lama dijilati adalah bagian vulva dan mulut anak.
Gambar 8 Tingkah laku grooming Penjilatan kepala dan bagian hidung dilakukan agar dapat merangsang pernafasan berfungsi dengan baik. Penjilatan bagian anus kemungkinan merupakan rangsangan induk kepada anaknya agar terjadi defekasi, yakni pengeluaran feses yang pertama. Total waktu yang digunakan untuk grooming adalah 90 menit (23,94%) pada waktu malam, dan 105 menit (14%) pada waktu siang hari.
41
Tingkah Laku Istirahat Tikus ekor putih termasuk hewan nokturnal yang melakukan aktivitas pada malam hari, sehingga waktu istirahat dilakukan pada siang hari. Sejak pukul 8 pagi setelah makan, tikus mulai tidur bergerombol saling tindih di pojok. Tikus akan menutup matanya dan menggulung badan ke depan, posisi tidur tikus berbaring, menindih tikus lain sehingga tikus kelihatan bergerombol di sudut saling tindih (Gambar 9). Hal ini dilakukan pada musim panas maupun hujan tetapi bila pada jam-jam sangat panas mereka memanjangkan badannya menempel pada kandang dan tidak bertumpuk. Hasil pengamatan selama 24 jam dari pagi hingga pagi hari keesokan harinya menunjukkan rata-rata waktu istirahat yang digunakan adalah 9,84% pada malam hari dan 49,86% pada siang hari.
Gambar 9 Tikus istirahat Tingkah Laku Melahirkan Dari hasil pengamatan, tikus ekor putih (Maxomys hellwandii) yang akan melahirkan tidak memperlihatkan tanda-tanda meneteskan susu. Mendekati proses kelahiran, Induk berusaha menaiki kandang dan bergantungan di ram, terus-menerus
berputar-putar
dalam
kandang
tanpa
berhenti
yang
memperlihatkan keinginan untuk keluar dari kandang. Tikus yang mau melahirkan itu akan mengelilingi kandang sambil mengumpulkan litter untuk mempersiapkan tempat melahirkan Hart (1985) menyatakan bahwa 24 sampai 48 jam sebelum melahirkan hewan sudah memperlihatkan tanda-tanda
42
kegelisahan. Pada ternak kuda, dalam keadaan gelisah tubuh kuda terlihat berkeringat pada sekitar leher dan panggul (Dolly, 1995). Urinasi dan defekasi terjadi berulang-ulang Dalam kurun waktu 6 jam pengamatan sebelum kelahiran didapatkan urinasi yang terjadi antara 4 dan 9 kali, sedangkan defekasi 1 sampai 4 kali. Mendekati proses kelahiran urinasi menjadi semakin sering. Dalam keadaan kondisi demikian tikus betina memperlihatkan sikap agonistic Mendekati saat melahirkan, semua tikus memperlihatkan sikap tidak tenang ingin istirahat, yakni gerakan merebah yang kemudian diikuti dengan gerakan berdiri kembali kemudian duduk sambil menjilati vagina, hal ini dilakukan berulang kali. Tikus bergerak berkeliling kandang, melihat ke sekitar panggul, berdiri dan berbaring kembali tidak teratur gerakan ini dilakukan 6 sampai 10 kali. Selanjutnya tikus membungkuk, posisi duduk dengan kaki depan memegang alat kelamin.
Gambar 10 Posisi tikus pada saat partus Pada proses melahirkan, frekuensi urinasi meningkat dan sangat gelisah, dari vagina keluar cairan yang segera dijilat. Tikus kelihatan tegang, dalam posisi duduk melakukan grooming dan sering menjilati vagina. Kontraksi ini terjadi akibat adanya pergerakan fetus dari uterus ke saluran kelahiran (Hart, 1985). Selanjutnya allantochorion pecah diikuti dengan cairan. Dalam kondisi ini induk sangat gelisah, dan mengeluarkan suara lemah yang selanjutnya diikuti dengan keluarnya gelembung bola berwarna putih (chorion) yang merupakan selaput
43
pembungkus fetus akan terlihat pada vulva. Kepala pertama kali keluar yang diikuti dengan bahu, kaki depan, badan pinggul dan paha belakang serta kaki. Saat keluar, anak diraih dengan kedua kaki depan langsung dijilati seluruh tubuh kemudian mulut anaknya dimasukkan ke mulut induk. Fraser (1980) dan Hart (1985) menyatakan proses kelahiran yang demikian adalah proses kelahiran normal. Dari hasil pengamatan didapatkan bahwa lamanya proses mengeluarkan bayi memerlukan waktu 3 sampai 8 menit, sedangkan untuk seluruh proses kelahiran berkisar antara 11 dan 20 menit. Anak yang keluar berwarna merah jambu. Hasil pengamatan terhadap posisi melahirkan pada semua induk yaitu posisi duduk dengan kedua kaki belakang mengangkang dan kedua kaki depan berfungsi seperti tangan. Kelahiran terjadi pada siang dan malam hari, tetapi sekitar 60% kelahiran terjadi pada pagi hari. Tingkah Laku Setelah Melahirkan Setelah melahirkan, induk memakan plasenta yang keluar bersama anaknya, induk sangat aktif menjilati vulvanya, saat anak keluar sambil berdiri segera anaknya dijauhkan dari vulvanya sambil terus menjilati vulvanya dan tubuh anaknya bergantian. Induk membaringkan anak dengan bagian kepala anak menempel di tubuh bagian depan induk. Anak menelusuri tubuh induknya sampai menemukan puting dan segera menyusu. Pada saat anak menyusu, induk menjilati tubuh anaknya, dari kepala sampai ekor, paling lama dijilat adalah bagian alat kelamin dan mulut. Penjilatan pada kepala dan bagian hidung dilakukan agar dapat merangsang pernafasan dengan baik. Penjilatan pada bagian anus kemungkinan merupakan rangsangan induk kepada anaknya agar terjadi defekasi, yakni pengeluaran feses yang pertama. Gillespie (1983) menyatakan bahwa pengeluaran meconium akan menimbulkan keinginan menyusu sebab saluran pencernaan telah kosong sehingga timbul rasa lapar. Selama anaknya menyusu induk diam di sudut sambil grooming tubuh anaknya. Pada waktu induk istirahat anak senantiasa digrooming. Dengan adanya anak, posisi tidur induk menggulungkan tubuhnya ke depan dengan posisi anak terlindung di perutnya. Bila terdengar anak menjerit, induk akan segera memperbaiki posisi tidurnya karena anaknya terjepit. Lama anak menyusu pada induk antara 8 sampai 12 detik.
44
Tingkah Laku Tidur Induk dan Anak Aktivitas tidur anak tikus sangat dominan. Hal ini masih terlihat pada umur 2 minggu. Selama anak tidur, induk sibuk menggrooming anaknya sambil mendekap di depan perutnya (Gambar 11) kehadiran tikus dewasa lain di sekitar anaknya membuat induk marah dan menyerang. Lama aktivitas pada anak tikus bervariasi. Tidak terlihat adanya kecenderungan untuk bangun pada waktu-waktu tertentu. Satu hal yang spesifik dari tingkah laku tidur ini adalah semua anak yang berumur 1 sampai 5 hari tidur menghadap ke arah induknya. Selanjutnya bila terbangun, semua anak akan segera mencari puting susu dan menyusu, ini masih terlihat nyata sampai anak bisa membuka matanya pada umur 15 sampai 19 hari.
Gambar 11 Induk dan anak tikus tidur Apabila tikus lain mendekati anaknya, segera induk mengejar tidak peduli mulut anak masih di puting susu induknya, sehingga pada saat induk mengejar lawan tubuh anak yang masih tergantung di puting akan lepas. Bila keadaan sudah aman, anak digigit dan dipindahkan ke tempat yang aman dan penyusuan dilanjutkan. Induk tikus tetap memperlihatkan sifat keibuan yang sangat baik yaitu selalu waspada dan menunggui anaknya yang tidur.
45
Konsumsi dan Pertumbuhan Konsumsi Ransum Kebutuhan gizi pada hewan dipenuhi melalui ransum yang dikonsumsi, metabolis zat makanan dan pengaruhnya pada produksi. Pada Gambar 12 dan Gambar 13 terlihat bahwa konsumsi bahan kering pakan yang paling tinggi dikonsumsi oleh tikus ekor putih jantan adalah pisang kemudian diikuti konsentrat dan pepaya dengan tingkat konsumsi masing-masing sebesar 2,10 ; 1,30 dan 0,49 g/ekor/hari dengan konsumsi total 3,89 g/ekor/hari. Tikus ekor putih betina mengkonsumsi pisang, konsentrat, dan pepaya masing-masing sebesar 1,63 ; 1,21 dan 0,5 g/ekor/hari, dengan total 3,34 g/ekor/hari. Gambaran terhadap tingkat konsumsi bahan kering pakan mulai dari yang tertinggi sampai yang terendah tercantum dalam Gambar 12, dan Gambar 13, yang mana memperlihatkan pola tingkat konsumsi bahan kering pakan selama penelitian oleh kedua jenis kelamin hewan tersebut. 40 Bahan kering (g)
35 30 25 20 15 10 5 0 1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
Umur (minggu) ransum ayam
pepaya
pisang
Total
Gambar 12 Grafik konsumsi tikus jantan Secara umum, umur tikus yang semakin meningkat, konsumsi dan bobot badanpun meningkat. Hal ini disebabkan kebutuhan harian tikus akan zat-zat makanan untuk metabolisme dan pertumbuhan jaringan tubuh tikus meningkat yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok (maintanace) dan produksi.
46
Bahan kering (g)
35 30 25 20 15 10 5 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Umur (minggu) Ransum ayam
Pepaya
Pisang
Total
Gambar 13 Grafik konsumsi tikus betina Konversi Ransum Perhitungan konversi ransum dilakukan karena banyaknya ransum yang dikonsumsi dapat menggambarkan produksi yang akan dicapai, sekaligus untuk mengetahui nilai manfaat suatu ransum percobaan baik secara fisiologis maupun ekonomis. Konsumsi bahan kering pakan, rataan pertambahan bobot badan dan konversi pakan pada jantan dan betina tikus ekor putih disajikan dalam Tabel 7. Pada Tabel 7 terlihat bahwa pertambahan bobot badan tikus ekor putih jantan (1,83 g/ekor/hari) lebih tinggi dibandingkan dengan tikus ekor putih betina (1,36 g/ekor/hari). Konsumsi bahan kering
tikus ekor putih jantan (3,90
g/ekor/hari) lebih tinggi dibandingkan dengan tikus ekor putih betina (3,31 g/ekor/hari) dengan konversi yang lebih baik (2,13 vs 2,43). Konversi ransum pada tikus ekor putih lebih kecil dibandingkan dengan tikus Rattus norvegicus yaitu 2,2 untuk jantan dan 2,6 untuk betina (Uhi et al., 2003). Hal ini kemungkinan disebabkan tikus ekor putih belum bisa beradaptasi terhadap ransum sehingga sifat koprofaginya muncul. Sering terlihat bahwa pada saat tikus mengeluarkan feses langsung diambil dengan kedua kaki depannya dan dimasukkan ke dalam mulut. Selain itu, selama penelitian tikus juga makan insekta yang tidak terkontrol oleh peneliti. Konversi ransum sangat bergantung pada konsumsi ransum dan bobot badan ternak yang dicapai. Tidak selamanya kenaikan konsumsi ransum akan sebanding dengan pertambahan bobot badan. Setiap ternak berbeda kemampuannya dalam mencerna ransum yang dikonsumsi (Leske dan Coon, 1999).
47
Tabel 7 Konsumsi, pertambahan bobot badan, dan konversi ransum tikus Tikus ekor putih
Parameter
Jantan 1,83
Betina 1,36
Konsumsi harian (BK) (g/ekor/hr)
3,90
3,31
Konversi ransum
2,13
2,43
PBB (g/ekor/hr)
Keterangan :BK = Bahan Kering
Konversi ransum yang rendah ini memberi makna bahwa tikus ekor putih lebih sensitif terhadap tingkat energi metabolis yang diperoleh melalui pemberian pakan dibandingkan dengan tikus Rattus norvegicus. Hal tersebut akan mempengaruhi efisiensi penggunaan energi, sehingga kebutuhan energi ternak untuk proses metabolisme berjalan secara sempurna dalam tubuh ternak. Pertumbuhan Penelitian yang berhubungan dengan pertumbuhan, konsumsi pakan, tingkah laku dan kebutuhan pakan tikus ekor putih belum pernah dilakukan. Penelitian ini menggunakan tikus ekor putih yang baru melahirkan dan dipelihara selama 22 minggu. Hasil penimbangan bobot badan tikus setiap minggu dapat dilihat pada Gambar 14. 350
2
y = -0.2973x + 21.923x - 32.646
Bobot Badan (g)
300
2
R = 0.9869
250 200
2
150
y = -0.3772x + 18.728x - 17.27 2
100
R = 0.9923
50 0 -50 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
Umur (minggu) jantan
betina
Poly. (jantan)
Poly. (betina)
Gambar 14 Grafik pertumbuhan tikus ekor putih Grafik pertumbuhan tikus pada Gambar 14 memperlihatkan bahwa pada awal pertumbuhan bobot badan betina lebih tinggi dari jantan, setelah minggu ke 6 bobot badan jantan mulai mengungguli betina sampai minggu ke 22 walaupun jenis makanan yang diberikan sama namun jumlah konsumsi jantan lebih tinggi dari betina.
48
Tikus ekor putih umur 4 sampai 8 minggu mencapai bobot badan 39,5 sampai 112,6 g untuk jantan dan 40,3 sampai 109,5 g untuk betina. Bobot badan tikus ekor putih percobaan lebih rendah dibanding tikus laboratorium (Rattus norvegicus) yang pada umur 4 sampai 8 minggu sudah mencapai 70 sampai 243 g untuk jantan dan 80 sampai 195,5 g untuk betina (Uhi et al., 2003). Rata-rata pertambahan bobot badan jantan dan betina masing-masing adalah sebesar 1,83 dan 1,36 g/ekor/hari. Hal ini jauh lebih kecil dari pertambahan bobot badan Rattus norvegicus (jantan 3,46 g/ekor/hari dan betina 3,03 g/ekor/hari). Secara umum bobot badan tikus meningkat dengan meningkatnya umur tikus. Bobot badan tikus meningkat, sampai minggu ke 20 stabil, dan mingggu ke 21 mulai turun. Hal serupa juga ditunjukkan tikus betina pada minggu ke 20 ada kecenderungan tidak ada pertambahan bobot badan. Simpulan 1. Tingkah laku yang diperlihatkan oleh tikus ekor putih dalam kandang budidaya (ex situ) tidak jauh berbeda dengan tingkah laku di habitat aslinya yaitu di hutan (in situ). 2. Tikus ekor putih sudah dapat beradaptasi pada makanan yang disajikan pada kondisi penangkaran.
5 KINERJA REPRODUKSI Pendahuluan Dengan meningkatnya permintaan terhadap daging tikus ekor putih sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti pula dengan makin berkurangnya
kawasan
hutan
yang
menjadi
habitat
satwa
ini,
maka
dikhawatirkan populasi satwa harapan tropis tersebut akan terus menurun dan akhirnya akan punah. Oleh karena itu perlu mempertahankan keberadaan satwa ini di alam. Reproduksi adalah suatu fungsi tubuh yang secara fisiologi tidak vital bagi kehidupan individual seekor ternak, tetapi sangat penting bagi kelanjutan keturunan dan kegunaan hewan tersebut sebagai ternak peliharaan. Reproduksi memainkan peranan penting dalam peningkatan produktivitas ternak. Pada umumnya reproduksi baru dapat berlangsung setelah hewan tersebut mencapai masa pubertas. Pubertas adalah suatu tahapan ketika organ reproduksi hewan sudah mencapai umur atau waktu untuk mulai berfungsi dan untuk perkembangbiakan. Pubertas dapat ditandai dengan peningkatan kegiatan kelamin atau perilaku seksual. Perubahan-perubahan yang terjadi pada waktu siklus reproduksi akan terlihat pada ovarium, uterus, dan vagina serta perilaku yang dalam setiap stadiumnya mempunyai perbedaan. Proses budidaya dalam kandang membantu untuk pengamatan, biologis dan reproduksinya. Dengan penguasaan aspek-aspek biologis dan reproduksi diharapkan populasi tikus akan meningkat sehingga dapat menyumbang pangan sumber protein hewani. Penelitian ini bertujuan menguji dan mengkaji kinerja reproduksi tikus ekor putih. Bahan dan Metode Materi yang digunakan antara lain tikus ekor putih yang dipilih sebanyak 45 ekor terdiri atas 30 ekor betina dan 15 ekor jantan. Alat yang digunakan berupa 4 (empat) unit kandang kelompok, 6 (enam) unit kandang yang terbuat dari kaca, dan 10 (sepuluh) unit kandang yang terbuat dari kotak plastik dengan tutup ram kawat ukuran 30 x 30 cm, 22 unit tempat makan dan minum, kamera, mikroskop, higrometer, stop watch, kapas (cotton bud), tissue, gelas objek, wadah kaca tempat merendam kaca objek, tempat pengering kaca objek, baskom, dan lain-lain.
50
Penelitian ini berlangsung selama 12 bulan. Tikus percobaan ditempatkan dalam unit kandang kelompok yang dilengkapi tempat makan dan minum. Tikus yang ditempatkan dalam kandang terdiri atas jantan dan betina. Tikus yang bunting dipisahkan dari kelompoknya. Anak tikus yang lahir ditimbang bobot badan dan konsumsi pakannya. Tikus yang akan diulas vagina ditempatkan pada kotak plastik yang ditutupi ram kawat. Pemberian pakan secara ad libitum. a. Lama Berahi (Ulas vagina) Untuk menentukan fase siklus berahi tikus dilakukan pengambilan sampel ulas vagina, dan penentuan fase siklus didasarkan pada jenis-jenis sel yang terdapat pada preparat ulas vagina (Baker et al., 1979). Pembuatan preparat ulas vagina dilakukan dengan mengusap kapas (cotton bud) yang telah dibasahi dengan NaCl fisiologis 0,9% ke dalam vagina tikus betina yang kemudian diulaskan pada gelas objek. Tabel 8 Jenis-jenis sel yang terdapat pada preparat ulas vagina Fase Proestrus Estrus Metestrus Diestrus
Pengamatan
Ulasan vagina
Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir
Sel-sel berinti banyak Sel-sel bertanduk 25% Sel-sel bertanduk 75% Sel-sel pavement (menumpuk) 25% Sel-sel pavement (menumpuk) 100% Sel-sel pavement dan leukosit
Awal Akhir
Leukosit Leukosit dan sel berinti mulai muncul
Gambar 15 Kandang untuk pengamatan estrus dan pengamatan preparat ulas vagina di bawah mikroskop
51
Preparat kemudian difiksasi dengan metanol 9% selama 15 menit lalu dicuci dengan akuades. Setelah itu preparat ulas diwarnai dengan cara dicelupkan ke dalam bak berisi pewarna Giemsa selama 30 menit. Preparat diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran okuler 10 x dan objektif 40 x. Penentuan fase siklus reproduksi (proestrus, estrus, metestrus dan diestrus) dilakukan dengan mengamati ciri khas pada tiap siklus reproduksi (Tabel 8). b. Lama kebuntingan Lama kebuntingan diukur dengan cara tikus betina diulas vagina untuk memastikan estrus kemudian dimasukkan ke dalam kandang tikus jantan, ditunggu sampai tikus betina melahirkan. Lama kebuntingan diukur mulai saat tikus betina dimasukkan ke kandang jantan sampai tikus betina melahirkan. c. Jumlah anak per kelahiran Jumlah anak perkelahiran didapat dari jumlah anak yang dilahirkan induk per kelahiran . d. Bobot anak waktu lahir Bobot anak waktu lahir didapat dengan menimbang setiap anak tikus yang baru lahir. e. Lamanya kawin kembali setelah melahirkan Lamanya kawin kembali setelah melahirkan dihitung mulai saat tikus betina melahirkan sampai tikus tersebut mau dikawinkan setelah melahirkan. Hasil dan Pembahasan Estrus Estrus akan terjadi pada hewan betina tidak bunting menurut suatu siklus ritmik yang khas. Siklus estrus adalah selang waktu atau jarak antara estrus yang satu dan estrus berikutnya. Siklus estrus umumnya dibagi menjadi 4 fase atau periode, yaitu: proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. (McDonald, 1989; Toelihere, 1981; Guyton, 1994). Hasil penelitian estrus pada tikus ekor dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9
Lama estrus tikus ekor putih (Maxomys hellwandii)
Tikus (Tahap)
Proestrus (jam
Estrus (jam)
Metestrus (jam)
Diestrus (jam)
I II III IV
12 12 12 12
12 12 12 12
15-18 15-18 21 18-24
45-54 45-54 45-52 45-54
Kisaran
12
12
15-21
45-54
52
Proestrus. Proestrus menandakan datangnya estrus, fase ini terjadi sebelum estrus yaitu periode ketika folikel de Graaf bertumbuh di bawah pengaruh FSH dan
menghasilkan
sejumlah
estradiol
yang
makin
bertambah
untuk
mempersiapkan sistem reproduksi (McDonald, 1989).
Gambar 16 Fase proestrus pada ulas vagina tikus ekor putih Pada akhir proestrus, sekresi estrogen ke dalam urin meninggi dan mulai terjadi penurunan kosentrasi progesteron di dalam darah (Guyton, 1994). Hewan betina biasanya memperlihatkan perhatiannya pada hewan jantan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa fase ini berlangsung selama 12 jam. Lamanya fase proestrus pada tikus ekor putih sama dengan pada tikus putih (Rattus norvegicus) (Baker et al., 1979; Smith dan Mangkoewidjojo, 1988; Ballenger, 2000). Fase ini merupakan periode terjadinya involusi fungsional corpus luteum serta pembengkakan praovulasi folikel ( McDonald, 1989). Pada preparat ulas vagina terlihat adanya dominasi sel-sel epitel berinti seperti pada Gambar 16. Pada tahap ini terjadi peningkatan vaskularisasi epitel vagina yang disebabkan estrogen makin tinggi dan penandukan yang semakin tinggi (Toelihere, 1984). Estrus. Estrus adalah periode yang ditandai oleh keinginan berahi dan penerimaan pejantan oleh betina. Penerimaan terhadap jantan selama estrus disebabkan pengaruh estradiol pada sistem syaraf pusat yang menghasilkan pola-pola kelakuan yang khas pada tikus betina. Pada stadium estrus kopulasi dimungkinkan terjadi. Fase estrus berlangsung 12 jam. Lamanya fase estrus pada tikus ekor putih sama dengan pada tikus putih (Rattus norvegicus) (Baker et al.,1979 ; Smith dan Mangkoewidjojo, 1988 ; Ballenger, 2000). Ciri yang khas
53
adalah dengan adanya aktivitas berlari-lari yang sangat tinggi di bawah pengaruh estrogen.
Gambar 17 Fase estrus pada ulas vagina tikus ekor putih Pada periode estrus ovum mengalami perubahan-perubahan ke arah pematangan, dan sekresi estrogen tinggi. Estrogen dari folikel de Graaf yang matang menyebabkan berbagai perubahan pada saluran reproduksi, uterus tegang, mukosa vagina tumbuh cepat serta adanya sekresi lendir (Toelihere, 1984). Banyak mitosis terjadi di dalam mukosa vagina dan sel-sel baru yang menumpuk, sementara lapisan permukaan menjadi skuamosa dan bertanduk. Sel-sel bertanduk ini berkelupas ke dalam lumen vagina (Baker et al., 1979). Adanya sel-sel ini bisa dilihat dalam preparat ulas vagina yang digunakan sebagai indikator fase estrus seperti pada Gambar 17. Metestrus. Metestrus merupakan fase segera setelah estrus di mana corpus luteum mulai tumbuh. Corpus luteum merupakan perubahan bentuk folikel de Graaf pada tahap akhir yang berubah fungsi setelah mengalami ovulasi (McDonald, 1989). Metestrus sebagian besar berada di bawah pengaruh progesteron yang dihasilkan corpus luteum. Stadium metestrus pada tikus ekor putih berkisar antara 15 sampai 21 jam, dan pada tikus putih (Rattus norvegicus) 21 jam. setelah ovulasi berlangsung (Baker et al., 1979; Smith dan Mangkoewidjojo, 1988; Ballenger, 2000). Pada preparat ulas, vagina terlihat banyak leukosit
54
muncul di dalam lumen vagina bersama sedikit sel-sel bertanduk seperti terlihat pada Gambar 18.
Gambar 18 Fase metestrus pada ulas vagina tikus ekor putih Diestrus. Diestrus merupakan periode terakhir dalam siklus estrus. Pada periode ini corpus luteum menjadi matang dan pengaruh progesteron semakin nyata. Endometrium lebih menebal dan kelenjar membesar (Toelihere, 1984).
Gambar 19 Fase diestrus pada ulas vagina tikus ekor putih Stadium diestrus tikus ekor putih berkisar antara 45 dan 54 jam yang lebih cepat dibanding tikus putih (Rattus norvegicus) yang berkisar antara 57 dan 70 jam ( Baker et al., 1979). Pada preparat ulas vagina terlihat leukosit dalam jumlah banyak dan sel-sel epitel berinti seperti terlihat pada Gambar 19.
55
Tikus mencapai dewasa kelamin pada umur 50 sampai 65 hari. Vagina mulai terbuka pada umur 35 sampai 90 hari dan testes turun / keluar pada umur 30 sampai 60 hari. Pada umur 65 hari jantan mulai mengeluarkan bau khas (hormon). Siklus estrus berlangsung 3 sampai 5 hari dengan lama estrus 12 jam. Tikus ekor putih yang masih muda dapat dibedakan antara yang jantan dan yang betina. Testes mudah terlihat terutama bila tikusnya diangkat sehingga testesnya berpindah dari saluran inguinal ke scrotum. Tikus jantan memiliki papila genitalia dan jarak anogenital yang lebih besar dari pada betina yaitu 5 mm pada umur 7 hari sedangkan yang betina hanya 2,5 mm. Puting susu pada betina sudah terlihat sejak umur 8 sampai 15 hari. Cara yang tepat untuk penentuan jenis kelamin tikus adalah dengan cara mengangkat tikus-tikus dari litter yang sama lalu membandingkan ukuran-ukuran tersebut (Malole dan Pramono, 1989). Tabel 10 Beberapa sifat biologis tikus ekor putih (Maxomys hellwandii) dibanding dengan Rattus norvegicus Karakteristik 1. Bobot lahir 2.Bobot dewasa 3. Jumlah anak 4. Jumlah puting
5.Awal estrus 6. Lama estrus
Tikus ekor putih (Maxomys hellwandii)* betina 5 -10 g Jantan 5 -11 g Jantan 250 - 450 g Betina 175 - 300 g Perkelahiran 1-4 ekor 6 puting (2 pasang di dada, 1 pasang sejajar kaki belakang) 55 hari - Proestrus 12 jam - Estrus 12 jam - Metestrus 15-21 jam - Diestrus 45-55 jam 15-19 hari 21-26 hari Poliestrus 1 -24 jam
7. Mata terbuka 8. Umur disapih 9.Siklus Kelamin 10.Kawin sesudah beranak 11. Lama bunting 22 - 28 hari 12. Siklus estrus 3 - 4 hari Keterangan : * Pengamatan ** Baker et al., (1979)
Rattus norvegicus** 5-6g jantan 300 - 400 g betina 250 -300 g rata-rata 9 ekor dapat 20 ekor 12 puting ( 3 pasang di daerah dada dan 3 pasang di daerah perut 40-60 hari - Proestrus 12 jam - Estrus 12 jam - Metestrus 21 jam - Diestrus 57 jam 7 hari 21 hari Poliestrus 1 - 24 jam 20 -22 hari 4 - 5 hari
Masa kebuntingan tikus ekor putih diperkirakan berlangsung 22 sampai 28 hari. Dalam satu litter terdapat 1 sampai 4 anak yang baru dapat merambat sesudah berumur satu minggu dan melihat sesudah 2 minggu. Hal ini berbeda dengan tikus laboratorium (Rattus norvegicus) yang lama buntingnya 21 sampai
56
23 hari dan sudah melihat pada umur seminggu dan dalam satu litter terdapat 9 sampai 12 ekor anak dan bisa mencapai 20 ekor (Arrington,1972). Persentase kebuntingan tikus betina pada kadang penangkaran 31,03% hal ini sangat rendah dibandingkan dengan ternak domestik lainnya yang dapat mencapai 75 sampai 90%. Hal ini disebabkan tikus ekor putih baru beradaptasi di dalam penangkaran. Perlakuan kasar, kekurangan bahan untuk pembuatan sarang, kandang yang terlalu bising kekurangan makanan dan air minum dapat menyebabkan induk kanibal atau makan anak-anaknya. Anak tikus ekor putih disapih umur 21 sampai 26 hari lebih lama dibandingkan Rattus norvegicus yang disapih umur 21 hari dengan bobot anak 40 sampai 50 gram. Simpulan 1. Tikus ekor putih mampu beradaptasi dan bereproduksi di lingkungan kandang budidaya. 2. Siklus estrus berlangsung 3 sampai 4 hari yang terdiri atas proestrus 12 jam, estrus 12 jam, metestrus 15 sampai 21 jam dan diestrus 45 sampai 54 jam. 3. Umur dewasa tikus ekor putih lebih lama dari Rattus norvegicus.
6. KARAKTERISTIK SIFAT FISIK KIMIA DAGING DAN ORGANOLEPTIK Pendahuluan Tikus ekor putih merupakan hewan alternatif penghasil daging yang dagingnya hanya dikonsumsi oleh kalangan tertentu saja yakni masyarakat Sulawesi Utara khususnya di kabupaten Minahasa dan kota Manado Beberapa sifat fisik dan kimia daging erat hubungannya dengan kualitas daging. Hal ini disebabkan sifat-sifat tersebut merupakan faktor penentu dalam penilaian kualitas ataupun mutu daging. Pada dasarnya kualitas daging ditentukan oleh selera konsumen dan nilai gizi dari daging itu sendiri. Kualitas daging di setiap daerah atau negara untuk waktu tertentu bisa berubah-ubah sesuai dengan penilaian (selera) konsumen. Nilai seekor ternak potong ditentukan oleh beberapa faktor antara lain persentase berat karkas, kandungan nilai gizinya antara lain kadar protein, kadar lemak, asam lemak, pH, daya mengikat air daging, dan nilai glikogen dari daging tersebut Sehubungan dengan telah dibudidayakannya tikus ekor putih perlu diketahui tingkat kesukaan masyarakat terhadap daging tikus ekor putih dibandingkan dengan daging lain, sebab kualitas daging ditentukan juga oleh tingkat kesukaan (preferensi) masyarakat. Preferensi adalah kecenderungan pilihan seseorang terhadap sesuatu dibandingkan dengan yang lain. Preferensi merupakan perwujudan penilaian alternatif yang merupakan tahap ketiga dalam perilaku konsumen setelah tahap pengenalan dan pencarian informasi. Ditinjau dari aspek gizi belum ada penelitian mengenai kandungan zat gizi dari tikus ekor putih dan untuk membuktikan tingkat kesukaan masyarakat di Sulawesi Utara terhadap daging tikus ini, maka telah dilakukan penelitian tentang karakteristik daging tikus ekor putih dan pengujian tingkat kesukaan daging tikus ekor putih dibandingkan dengan daging lain. Penelitian bertujuan menguji sifat fisik kimia daging tikus dan tingkat kesukaan masyarakat di Sulawesi Utara khususnya kota Manado dan Kabupaten Minahasa terhadap daging tikus dibandingkan dengan daging sapi, daging babi, daging anjing, dan daging ayam.
58
Bahan dan Metode Materi penelitian terdiri atas daging tikus ekor putih, daging babi, daging ayam, daging anjing, daging sapi, serta akua. Daging tikus ekor putih diperoleh dari 75 ekor. Alat yang digunakan adalah kamera, alat tulis menulis, jam, timbangan, Warner Bratzer Shear, pisau, termometer bimetal, panci, kompor, pH meter, kertas saring, piring, tissue, dll Secara khusus untuk penentuan analisis sifat fisik dan kimia daging digunakan 25 ekor daging tikus yang diambil dari bagian paha, Analisis pengujian organoleptik, menggunakan 50 ekor tikus, yang dipotong dan dibersihkan dari rambutnya,
dikeluarkan
alat
pencernaannya
kemudian
dipotong-potong
berbentuk dadu dan dipanggang. Prosedur yang sama diberlakukan juga untuk jenis daging lainnya. Parameter yang diamati a. Bobot Karkas Segar Bobot karkas segar diperoleh dari tikus yang dipotong dan dikeluarkan darah, rambut, kepala dan kaki serta alat pencernaannya. b. Persentase Karkas Persentase karkas diperoleh dari bobot karkas dibagi bobot hidup dan dikalikan 100 atau dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut : A Persentase Karkas (%) =
x 100
B Dimana : A = bobot karkas (g) B = bobot hidup (g) c. Kadar Glikogen Daging Kadar glikogen daging dianalisis dengan metode Seifter et al., (1950), dengan menggunakan bahan-bahan asam sulfat 95% (5 ml H2O ditambah 95 ml) 0,2% anthrone (0,2 g anthrone + 95% asam sulfat sehingga volume 100 ml), dan 30% KOH (30 g KOH ditambah H2O sampai mencapai volume 100 ml), 95% etanol (ethyl alkohol). Prosedur analisisnya yaitu KOH 30% sebanyak 1 ml ditambahkan pada sampel sebanyak 25 mg dalam tabung reaksi, kemudian dipanaskan dalam penangas air selama 20 menit. Setelah itu ditambahkan dengan etanol dan kemudian disentrifus selama 20 menit pada kecepatan 2500 rpm.
59
Endapan yang tersisa dipisahkan dari larutan (supernatan) hasil sentrifus yang ada di atas, kemudian ditambahkan 2,5 ml H2O dan 3 ml larutan anthrone lalu dihomogenkan dengan vorteks. Setelah itu dibaca dengan spektrometer pada panjang gelombang (λ) 620 nm. Kurva standar untuk glikogen : 250 : 250 µg dari standar + 750 µl H2O 200 : 200 µg dari standar + 800 µl H2O 150 : 150 µg dari standar + 850 µl H2O 100 : 100 µg dari standar + 900 µl H2O 75 : 75 µg dari standar + 925 µl H2O 50 : 50 µg dari standar + 950 µl H2O 25 : 25 µg dari standar + 975 µl H2O d. Analisis Kadar Abu Analisis kadar abu menggunakan metode Apriyantono et al. (1989), sebanyak 5 sampai 10 g daging tikus segar dimasukkan ke dalam cawan pengabuan; sebelumnya berat cawan sudah ditentukan. Mula-mula sampel dibakar pada pembakar burner untuk menguapkan sebanyak mungkin zat organik yang ada (sampai sampel tidak berasap lagi) kemudian cawan di pindahkan ke dalam tanur dengan suhu 600oC sampai semua karbon berwarna keabuan, apabila semua sampel berwarna keabuan, cawan pengabuan dimasukan ke dalam desikator untuk didinginkan. setelah dingin ditimbang sampai berat tetap. Perhitungan kadar abu daging tikus adalah : berat abu (g) x 100 % % kadar abu = berat sampel (g) e. Analisis Kadar Air (AOAC, 1989) Cawan aluminium kosong dikeringkan dalam oven pada suhu 1000C selama 10 menit, didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Sampel seberat 3 g ditimbang dalam cawan kemudian dimasukan ke dalam oven dengan suhu 1050C selama 6 jam. Cawan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Berat sampel (g)
= W1
Berat sampel setelah dikeringkan (g)
= W2
Kehilangan bobot (g)
= W3 atau (W1-W2)
Kadar air (%)
= W3/ W2 X 100%
60
f. Kadar Protein kasar Kira-kira 0,3 g sampel (x) ditimbang dengan teliti dan dimasukkan ke dalam labu destruksi.
Kira-kira 3 sendok kecil katalis campuran Selen serta 20 ml
H2SO4 pekat teknis ditambahkan secara homogen. Campuran tersebut dipanaskan dengan alat destruksi mula-mula pada posisi low kira-kira 10 menit, kemudian pada posisi med selama 5 menit dan pada posisi high sampai larutan menjadi jernih dan berwarna hijau kekuningan. Proses ini berlangsung di dalam ruang asam. Setelah itu labu destruksi didinginkan dan larutan tersebut dimasukkan ke dalam labu penyuling dan diencerkan dengan 300 ml air yang tidak mengandung N. Ditambahkan beberapa butir batu didih dan larutan dijadikan basa dengan menambahkan 100 ml NaOH 33%. Kemudian labu penyuling dipasang dengan cepat di atas alat penyuling. Proses penyulingan ini diteruskan hingga semua N telah tertangkap oleh H2SO4 yang ada di dalam erlenmeyer atau bila 2/3 cairan dalam labu penyuling telah menguap. Labu erlenmeyer yang berisi hasil sulingan tadi diambil dan kelebihan H2SO4 dititer kembali dengan menggunakan larutan NaOH 0,3 N. Proses titrasi berhenti setelah terjadi perubahan warna dari biru kehijauan yang menandakan titik akhir titrasi. Volume NaOH dicatat sebagai z ml. Kemudian dibandingkan dengan titar blanko. Penentuan kadar protein kasar adalah : ( y - z ) x titar NaOH x 14 x 6,25 Protein kasar
=
x 100% berat sampel (x ) gram
g. Kadar Lemak Kasar Penentuan kadar lemak dengan metode Sochlet. Sebuah labu lemak dengan beberapa butir batu didih di dalamnya dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 sampai 110oC selama 1 jam. Didinginkan dalam eksikator selama 1 jam dan ditimbang misalnya a g Sampel kira-kira 1 g atau x g, dimasukkan ke dalam selongsong yang terbuat dari kertas saring dan ditutup dengan kapas yang bebas lemak. Selongsong dimasukkan ke dalam alat FATEX-S dan ditambahkan larutan petroleum ether sebagai larutan pengekstrak. Suhu alat tersebut diatur pada 60oC dan waktu selama 25 menit. Proses ekstraksi dilakukan hingga alat berbunyi. Kemudian larutan petroleum ether bersama lemak yang larut diturunkan, dan dievaporasi dengan mengubah suhu pada 105oC sampai alat FATEX-S berbunyi.
61
Selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam alat pengering oven dengan suhu 105oC selama 1 jam. Setelah itu didinginkan di dalam eksikator selama 1 jam dan ditimbang kembali dengan berat misalnya b g. Penentuan kadar lemak kasar : (b - a) Kadar lemak kasar :
x 100% x
h. Analisis Komposisi Asam Lemak Analisis komposisi asam lemak dilakukan dengan cara (1) mengekstraksi lemak dengan metode Folsch (2) metilasi untuk memperoleh ester metil dari asam lemak yang kemudian dapat dianalisis lebih lanjut dengan GC 1. Ekstrasi lemak metode Folsch dan Stanly (1957). Sampel yang telah dikeringkan dengan freeze dryer ditimbang sebanyak 1 gram kemudian dilakukan inaktivasi enzim dengan menambah 10 ml metanol, lalu diaduk selama 5 menit dan disonikasi selama 5 menit. Campuran diinkubasi selama 18 jam
pada suhu 15oC, setelah diinkubasi ditambahkan dengan
kloroform jenuh sebanyak 20 ml dan diaduk selama 5 menit. Campuran disaring dengan kertas saring, residu yang tertinggal ditambahkan dengan 30 ml campuran kloroform-metanol (2:1) dan diaduk selama 5 menit kemudian disaring. Ekstraksi diulang sekali lagi. Seluruh filtrat dicampur dan disatukan dalam labu pemisah, kemudian ditambahkan 2 ml NaCl 0,88% kocok dan kemudian dibiarkan hingga terbentuk dua lapisan. Lapisan bagian bawah (larutan a) dipisahkan dari lapisan atas. Lapisan atas ditambah 10 ml metanol-NaCl 0.88% (1:1) lalu dikocok dan dibiarkan sampai terpisah. Lapisan bagian bawah dicampur dengan larutan a sedangkan bagian atas dibuang. Lapisan a kemudian dipekatkan sampai berat tetap, selanjutnya larutan a ini dapat digunakan untuk analisis asam lemak. 2. Metilasi (IUPAC, 1987) Pada prinsipnya trigliserida disabun untuk membebaskan asam-asam lemak yang kemudian diesterifikasi dengan metanol dengan bantuan katalisator BF3 (Boron Triflourida). Untuk kualifikasi digunakan standar internal asam margarat (C17). Prosedur metilasi adalah mula-mula ditimbang sebanyak 25-30 mg lemak dalam tabung reaksi. Sebanyak 1 ml standar internal (asam margarat = 10 mg asam margarat/10 ml heksan) dan 1 ml larutan NaOH 0,5 N dalam metanol dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Headspace dalam tabung diisi dengan gas N2. Tabung reaksi dipanaskan dalam air panas selama 5 menit
62
untuk melarutkan lemak agar tercampur lebih merata dalam larutan. Selanjutnya tabung reaksi didinginkan dalam air dan ditambahkan campur BF3 dalam metanol sebanyak 2 ml. Tabung reaksi dipanaskan kembali dalam air mendidih selama 30 menit. Setelah itu tabung reaksi didinginkan dan ditambah heksan sebanyak 1 ml serta dipanaskan kembali selama 1 menit untuk menyempurnakan larutan ester metil dalam heksan. Tabung reaksi didinginkan dan ditambah 3 ml Na Cl jenuh guna menyempurnakan pencampuran ester metil dalam metanol dan heksan. Campuran tersebut dikocok dan lapisan atas dipipet. Lapisan atas dimasukkan ke dalam vial yang diberi Na2S04 anhidrat. Campuran dipekatkan dengan ditiup gas N2 dan siap disuntik ke kromatografi gas. Asam lemak pada daging tikus diidentifikasi menggunakan kromatografi gas dengan standar internal. Instrumen kromatografi gas yang digunakan adalah tipe GC-9 AM (Shimadzu). Intregrator berupa chromatopac C-R6A (Shimadzu). Prosesor data menggunakan FDD-1A, program versi 1,5 (Shimadzu). Adapun kondisi komatografi gas yang digunakan mengikuti metode Indrawati (1997) dengan menggunakan kolom kapiler DB 23 panjang 60 meter. Diameter dalam 0,25 mm dan ketebalan lapisan 0,25 mikro detektor yang digunakan tipe FID (Flame ionisation Detector). Gas pembawanya heliun dengan tekanan 1 kg/cm2. Gas pembakarnya adalah udara dan H2 dengan tekanan masing-masing 0,5 kg/cm2 suhu detektor 260oC dan suhu injektor 250oC. sampel diinjeksi dengan teknik injeksi splitless dengan volume injeksi sebanyak 1 mikro. Suhu diprogram dengan suhu awal 140oC yang dipertahankan selama 6 menit, kemudian dinaikan suhunya dengan laju kenaikan suhu 30oC/menit. Suhu terakhir adalah 230oC ditahan selama 20 menit. Mengidentifikasi asam lemak, dilakukan penyuntikan standar-standar ester metil asam lemak pada kondisi yang sama dengan kondisi sampel dan penentuan nilai RRT (Relative Retention Time). Perhitungan RRT adalah sebagai berikut: Waktu retensi komponen x RRTx = Waktu retensi standar internal RRTx = Relative retention time komponen x Selanjutnya RRTx ini dibandingkan dengan RRT standar etil metil asam lemak yang disuntikkan untuk megidentifikasi komposisi asam lemak pada sampel
63
Tabel 11 Komposisi ester metil asam lemak standar 74 Jenis Asam Lemak 8:0 10:0 12:0 13:0 14:0 15:0 16:0 16:1 17:0 18:0 18:1 18:2 18:3 20:0 22:0
Persentase Berat 6.666 6.666 6.666 6.666 6.666 6.666 6.666 6.666 6.666 6.666 6.666 6.666 6.666 6.666 6.666
Jumlah luas area
Waktu Retensi (menit) 7.543 9.898 14.023 16.658 19.497 22.400 25.310 26.175 28.095 30.830 31.535 32.817 34.418 35.870 41.142
Luas Area 65.553 94.542 107.957 112.073 111.047 109.962 135.139 108.128 102.419 99.791 146.505 104.113 87.282 76.321 65.026
1.461.732
Tabel 12 Komposisi ester metil asam lemak standar 84 Jenis Asam Lemak 16:0 17:0 18:0 18:1 18:2 18:3 20:0 20;1 20:4 20:6
Persentase Berat 10 5 10 5 20 5 10 10 15 10
Jumlah luas area
Waktu Retensi (menit) 25.138 27.897 30.660 31.310 32.732 34.247 35.760 36.467 39.208 48.990
Luas Area 70.704 34.531 68.192 36.185 142.877 34.021 64.890 68.903 99.057 56.784 619.360
Kuantifikasi Komponen Asam Lemak Kosentrasi masing-masing komponen asam lemak pada sampel dihitung dengan nilai RF (Respons Factor) dari masing-masing komponen tersebut dibandingkan dengan standar internal. Standar internal yang digunakan adalah standar 74 dan standar 84 dengan komposisi ester metil asam lemak tersebut dapat dilihat pada tabel 11 dan 12. Perhitungan RF dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut:
64
area standar internal RF =
mg asam lemak standar X
mg standar internal
area asam lemak standar
Setelah diperoleh nilai RF, maka kosentrasi asam lemak (KAL) dapat dihitung dengan persamaan: area asam lemak KAL =
mg asam lemak standar X
g lemak
X RF(mg asam lemak/kg lemak) area standar internal
Selain dalam bentuk konsentrasi, kuantifikasi asam lemak juga dapat dinyatakan dalam % relatif area dengan persamaan : area asam lemak % relatif area asam lemak =
X 100% total area asam lemak
i. pH Daging Pengukuran pH daging dilakukan dengan menggunakan alat pH meter. Sampel daging yang sudah dihaluskan sebanyak 10 g dimasukkan ke dalam gelas beker, dan diencerkan dengan akuades sampai 100 ml kemudian dicampur dengan menggunakan mikser selama 1 menit. Setelah itu diukur pHnya dengan pH meter yang telah dikalibrasi. j. Daya Mengikat Air Daging (water holding capacity = WHC) Pengukuran ini dilakukan dengan metode penekanan (press Method) sesuai petunjuk Hamm (1972), yaitu dengan membebani 0.3 g sampel daging pada suatu kertas saring (filter) di antara 2 plat dengan beban 35 kg setelah 5 menit, daerah yang tertutup sampel daging dan luas daerah basah di sekitarnya ditandai dan diukur. Daerah basah diperoleh dengan mengurangkan daerah yang tertutup sampel daging dari luas total (daerah basah + daging) dan luas daerah yang tertutup daging dengan menggunakan planimeter. Kemudian daya mengikat air dapat dihitung dengan menggunakan rumus : daerah basah (cm2) Mg H2O =
- 0.8 0.0948
Nilai kandungan air yang diperoleh berdasarkan rumus, selanjutnya dipersentasekan terhadap bobot sampel yaitu 0.3 g.
65
k. Flavor dan Penerimaan Umum (Organoleptik) Pengujian flavor dan penerimaan umum dengan uji organoleptik (Soekarto, 1985) yaitu dilakukan dengan menggunakan uji hedonik. Uji hedonik merupakan salah satu jenis uji penerimaan. Pada uji ini panelis diminta untuk mengungkapkan tanggapan pribadinya tentang kesukaan dan ketidaksukaan. Tingkat-tingkat kesukaan dikenal sebagai skala hedonik. Panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih sebanyak 75 orang. Skala hedonik yang dipakai terdiri atas 5 skala kesukaan dari sangat suka (1) sampai sangat tidak suka (5), seperti yang tercantum pada format uji.
Gambar 20 Pengujian organoleptik daging tikus ekor putih 5. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan uji Kruskal Wallis (Gibbons 1975). Apabila terdapat perbedaan dilakukan uji lanjut yang dikembangkan oleh Gibbons yaitu Mood Median Test.
66
FORMAT UJI Tanggal Pengujian : 16 Oktober 2003 Nama Panelis
:
Uji
: Hedonik
Bahan Uji
: Berbagai jenis daging
Instruksi
: Setelah mencicipi semua sampel, nyatakan penilaian dengan tanda (v) terhadap flavor dan penerimaan umum yang anda rasakan Penilaian
No 1.
Sangat suka
2.
Suka
3.
Netral
4.
Tidak suka
5.
Sangat tidak suka
113
287
Kode Sampel 763 897
108
Hasil dan Pembahasan Karakteristik Daging Tikus Ekor Putih. Produksi Karkas Karkas adalah bagian tubuh ternak hasil pemotongan setelah dikurangi bagian kepala, keempat kaki (mulai dari carpus dan tarsus), kulit, darah, organ dalam (hati, jantung paru-paru, limpa, saluran pencernaan beserta isinya dan saluran reproduksi (Berg dan Butterfield, 1976; Lawrie, 1995). Nilai rataan produksi karkas segar tikus ekor putih berdasarkan habitat hidup tercantum dalam Tabel 13. Pada Tabel 13, dapat dilihat bahwa tikus ekor putih yang dibudidaya mempunyai persentase karkas segar lebih tinggi dari pada tikus yang hidup pada habitat aslinya di hutan. Hal ini disebabkan oleh aktivitas tikus yang hidup di hutan lebih tinggi sehingga energi yang tersedia digunakan untuk beraktivitas sedangkan tikus yang dibudidaya aktivitasnya sedikit karena ruang geraknya dibatasi dalam kandang sehingga energi yang tersedia digunakan untuk meningkatkan bobot badan sehingga bobot badan lebih tinggi dibandingkan tikus yang hidup di hutan.
67
Tabel 13 Persentase karkas berdasarkan habitat hidup (%) Tikus Hutan
Rataan % karkas 57,67 ± 1,15
Budidaya
62,19 ± 3,62
Selanjutnya (Aberle et al., 2001, Lawrie 1995, Ockerman 1985, Fernandez et al., 1996) menyatakan bahwa ternak yang beraktivitas tinggi menyebabkan cadangan glikogen terbatas, bila dalam keadaan kekurangan glikogen terusmenerus ternak akan memanfaatkan cadangan energi tubuh yang berdampak pada penurunan bobot badan. Hal ini sejalan dengan pendapat Berg dan Butterfield (1976) yang menyatakan bahwa produksi karkas berhubungan dengan bobot badan. Peningkatan bobot badan akan diikuti oleh peningkatan bobot karkas. Komposisi Kimia Daging Komposisi kimiawi daging sangat menentukan nilai nutrisi atau kualitas daging. Gambaran komposisi kimiawi segar tikus ekor putih secara rinci tercantum pada Tabel 14. Tabel 14 Analisis proksimat daging tikus ekor putih,daging napu, daging sapi, daging babi, daging ayam, daging domba, dan daging itik lokal Komposisi Air (%)
Tikus 1) BD 63,27
Tikus 1) Hutan 64,00
Protein (%)
19,11
Lemak (%)
2)
Napu
3)
Sapi
3)
Babi
Ayam
3)
Domba
3)
Itik
4)
76,04
71,50
69,00
73,70
73,00
70,96
19,84
22,28
21,00
19,50
21,50
20,00
16,48
3,41
1,87
1,43
6,00
10,00
5,50
5,50
6,84
Abu (%)
0,99
0,74
3,17
1,00
1,40
1,00
1,60
1,13
Ca (mg/100g)
6,96
7,18
-
-
-
-
-
-
P (mg/100g)
6.25
6,38
-
-
-
-
-
-
1
Keterangan : Hasil analisis, 2) Hultin (1985), 3) Rini (2001), 4) Arifin (2004).
Komponen kimiawi utama penyusun daging terbesar adalah air (61,12% sampai 64%), protein (masing-masing berkisar 16,96% untuk tikus yang dibudidaya dan 19,84% tikus yang ditangkap dari hutan), lemak 3,26% untuk tikus yang dibudidaya dan 1,63% tikus yang ditangkap dari hutan. Hal ini masih sejalan dengan Lawrie (1995) yang menyatakan bahwa komponen utama daging adalah air 75%, protein 19%, dan lemak 3,69%.
68
Pada tabel 14 terlihat bahwa kadar air daging tikus paling rendah dibandingkan daging ternak domestik lain. Protein daging tikus ekor putih hampir sama dengan daging itik, daging babi, dan domba namun lebih rendah dari daging napu, daging ayam, dan daging sapi. Kadar lemak daging tikus ekor putih paling rendah dibandingkan dengan kadar lemak daging ternak domestik lainnya kecuali daging napu. Dilihat dari komposisi kimia dagingnya, tikus yang ditangkap dari hutan masih mengungguli tikus hasil budidaya, dimana kadar protein daging tikus yang dibudidaya lebih rendah dari pada tikus yang ditangkap di hutan. Hal ini disebabkan di kandang budidaya, tikus kurang mengkonsumsi pakan sumber protein, sedangkan di hutan, tikus bebas berburu mangsa berupa serangga yang merupakan sumber protein. Lemak tikus budidaya hampir dua kali lebih tinggi dibanding dengan tikus dari hutan hal ini karena aktivitas tikus di hutan sangat tinggi sedangkan tikus budidaya aktivitasnya terbatas hanya dalam kandang saja. Faktor-faktor yang menentukan kandungan lemak daging adalah keadaan serabut otot, jenis ternak, umur, makanan ternak, jenis kelamin, aktivitas yang dilakukan (Lawrie, 1995; Aberle et al., 2001). Meskipun mengkonsumsi lemak yang berlebihan umumnya dianggap sebagai salah satu penyebab terkenanya penyakit jantung koroner, kita tidak dapat meninggalkan lemak dalam makanan. Hal ini karena lemak pangan mempunyai bermacam-macam fungsi yang penting, di antaranya sebagai sumber energi, penyediaan vitamin yang larut dalam lemak yang diperlukan untuk sintesis hormon tertentu, untuk menyusun sel-sel membran, selain itu juga sebagai penentu tekstur dan cita rasa bahan makanan (Djojosoebagio dan Piliang, 2002). Asam laurat, miristat, palmitat dan stearat merupakan kelompok asam lemak jenuh (saturated fatty acids/SFA) yang terdapat pada daging tikus. Kosentrasi asam lemak jenuh yang tertinggi yang terkandung pada daging tikus ekor putih adalah asam palmitat yang diikuti asam stearat, miristat, dan laurat, masing-masing sebesar 31,2% ; 7,08% ; 4,72% dan yang paling kecil asam laurat 0,27% Asam miristat dan palmitat merupakan kelompok asam lemak jenuh yang diduga sebagai
penyebab
utama hiperkolesterolemia (Scientific Review
Committee, 1990) kedua asam lemak tersebut dapat memicu peningkatan produksi LDL (low density lipoprotein) yang merupakan salah satu kolesterol
69
jahat, kandungan asam palmitat pada daging tikus ini lebih tinggi dari yang ada di daging babi, daging sapi dan daging napu ( Engel et al., 2001; Laborde et al., 2001; Arifin, 2004). Selanjutnya Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa pada daging sapi asam lemak jenuh yang mendominasi lemak intramuscular adalah asam palmitat dan asam stearat. Asam
palmitoleat,
oleat,
linoleat,
linolenat,
arakidonat merupakan kelompok asam lemak
dekosaheksanoat
dan
tak jenuh (unsaturated fatty
acid/UFA), yang terdapat pada daging tikus ekor putih. Kosentrasi asam lemak tak jenuh yang tertinggi adalah asam oleat yang lebih dikenal omega 9 sebesar 40,19% dan diikuti oleh linoleat, linolenat, dokosaheksaenoat dan arakidonat yang masing-masing sebesar 4,36%; 1,74%; 1,29% dan 1,25%. Asam linoleat dan asam linolenat merupakan asam lemak essensial karena tubuh tidak dapat mensintesis kedua asam lemak tersebut (Djojosoebagio dan Piliang, 2002). Selain itu linoleat digunakan untuk mensintesis prostaglandin yang mempunyai sifat-sifat hormon serta terlibat dalam banyak fungsi tubuh. (Montgomery et al., 1993; Murray et al.,1999). Komposisi asam lemak daging tikus ekor putih yang dapat dideteksi terdapat dalam tabel 15. Tabel 15 Komposisi asam lemak daging tikus ekor putih, daging babi, daging sapi, dan daging napu Asam Lemak ALJ C12:0 C14:0 C16:0 C18:0 ALTJ C16:1 C18:1 C18:2 C18:3 C20:4 C22:6
Nama asam lemak
Tikus 1) budidaya
Tikus 1) hutan
2)
3)
Babi
Sapi
4)
Napu
Lauric Miristat Palmitat Stearat
0,39 2,94 31,95 6,97
0,27 4,72 31,2 7,08
1,51 24,86 11,24
27,02 27,02 13,16
1,66 2,22 20,71 18,67
Palmitoleic Oleat Linoleat Linolenat Arachidonat Decosahexaenoic
8,82 40,72 3,99 1,4 1,34 1,27
7,72 40,19 4,36 1,74 1,25 1,29
4,38 48,57 7,03 0,28 0,10 -
3,13 39,45 3,60 0,51 0,07
1,11 15,98 2,50 1,51 2,67 2,08
Keterangan:1) Hasil analisis; 2) Engel et al. (2001); 3) Laborde et al. (2001); 4) Arifin (2004). ALJ) Asam Lemak Jenuh, ALTJ) Asam Lemak Tak Jenuh.
Asam linoleat adalah salah satu anggota omega 3 yang diperlukan tubuh untuk memproduksi asam dokosaheksaenoat (DHA) dan asam eikosapentaenoat (EPA). DHA sangat penting untuk pertumbuhan, perkembangan otak (Stone, 1996 dan Simopoulos, 1991). Selain itu juga berfungsi sebagai molekul dasar dalam struktur dan aktivitas membran seluruh sel, mengontrol respon immun,
70
mempengaruhi respon pembuluh darah, mempengaruhi metabolisme hormon, efektif menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida (Harris, 1997). Omega 3 yang terkandung dalam daging tikus ekor putih terdiri atas asam linolenat dan asam dokosaheksaenoat. Asam linolenat daging tikus ekor putih lebih tinggi dari pada daging babi, daging sapi dan daging napu. Asam dokosaheksaenoat yang terkandung pada daging tikus lebih tinggi dari pada daging sapi dan daging napu, hal ini disebabkan karena tikus merupakan ternak omnivora apa yang dimakan akan terakumulasi dalam daging tidak terdegradasi dalam rumen seperti pada ruminansia. Omega 6 daging tikus ekor putih terdiri atas asam linoleat dan asam arakidonat, dimana untuk asam linoleat daging tikus ekor putih lebih tinggi dari daging sapi dan daging napu namun lebih rendah dari daging babi. Sedangkan untuk asam arakidonat daging tikus ekor putih lebih tinggi dari daging babi namun lebih rendah dari daging napu. Asam lemak omega 6 dapat digunakan untuk mensintesis asam arakidonat suatu intermediat dalam sintesis eicosanoids, suatu kelompok susbtansi regulator dan asam lemak omega 6 juga memperlihatkan kemampuan menyerap air lewat kulit dan integritas kelenjar pituitari. Kandungan asam oleat (omega 9) pada daging tikus lebih tinggi dibandingkan pada daging sapi dan daging napu tetapi lebih rendah bila dibandingkan dengan daging babi. Asam oleat bukan asam lemak esensial karena tubuh dapat mensintesis asam tersebut (Murray et al.,1999) Menurut Osman et al. (2001), PUFA khususnya omega 3 dan omega 6 sebagai asam lemak essensial untuk menyembuhkan dan mencegah penyakit kardiovaskuler, perkembangan saraf pada bayi, kanker dan kontrol glikemik lemak. Tetapi bilamana omega 6 dalam bentuk tunggal, dapat memiliki sifat negatif karena berkaitan dengan peningkatan produksi eicosanoids (stimulan pertumbuhan tumor pada binatang percobaan). Namun dengan adanya omega 9 dan omega 3 dalam proporsi yang sesuai akan memiliki potensi memblokir produk senyawa eicosanoids tersebut, peran omega 9 mencegah stimulasi negatif omega 6, selanjutnya menurut Muchtadi (2000) mengkonsumsi PUFA (omega 6) yang berlebihan tanpa diimbangi konsumsi omega 3 dapat menurunkan LDL kolesterol, akan tetapi HDL kolesterol juga dilaporkan ikut mengalami penurunan. Demikian pula apabila keseimbangan antara omega 3 dan omega 6 terganggu, menyebabkan darah mudah menggumpal. Kedua hal ini
71
tidak menguntungkan karena rasio LDL/HDL Indeks penyakit jantung koroner yang menurun dan mudahnya darah menggumpal tidak dapat mencegah bahkan dapat memicu terjadinya penyakit jantung koroner. Omega 9 memiliki daya perlindungan yang mampu menurunkan LDL kolesterol darah, meningkatkan HDL kolesterol yang lebih besar dibanding omega 3 dan omega 6, MUFA dapat menurunkan kolesterol (LDL-kolesterol) (Muchtadi, 2000). Kadar Glikogen, pH dan Daya Ikat Air Daging Hasil penelitian kadar glikogen, pH dan air bebas daging tikus ekor putih yang dibudidaya dan ditangkap di hutan serta daging napu, daging domba dan daging sapi, dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Kadar glikogen, pH dan kandungan air bebas dari berbagai jenis daging Parameter
1)
Glikogen (%)
Tikus Tikus hutan 1) budidaya 0,86 ± 0,06 0,85 ± 0,09
pH
6,22 ± 0,05
6,30 ± 0,10
31,61 ± 2,36
31,42 ± 1,28
Air Bebas (%)
2)
Napu -
Domba
3)
4)
Sapi
0,80 ± 0,09
-
6,36
6,10 ± 0,10
5,63 ± 0,08
45,30
32,20 ± 1,29
39,11 ± 1,09
Keterangan: 1) Hasil analisis; 2) Arifin (2004); 3) Dewi (2004); 4) Wahyuni (1998).
Pada Tabel 16 terlihat kadar glikogen daging tikus yang hidup di hutan (0,85%) lebih kecil persentasenya dibandingkan dengan daging tikus hasil budidaya (0,86%), namun bila dibandingkan dengan daging domba (0,80%) kadar glikogen daging tikus lebih tinggi. Selanjutnya nilai pH daging tikus hasil budidaya (6,22) lebih rendah dari daging tikus yang hidup di hutan (6,30), namun bila dibandingkan dengan daging domba (6,10) dan daging sapi (5,63) pH daging tikus lebih tinggi, namun bila dibandingkan dengan daging napu (6,36) daging tikus masih lebih rendah. Persentase air bebas yang rendah menunjukkan nilai daya mengikat air daging oleh protein daging yang tinggi. Persentase air bebas yang tinggi menunjukkan nilai daya mengikat air rendah (Babiker dan Bello, 1986). Pada Tabel 16, dapat dilihat bahwa daging tikus yang hidup di hutan mempunyai kadar air bebas (31,42%) lebih rendah dibandingkan dengan tikus hasil budidaya (31,61%), hal ini berarti daya mengikat air tikus yang hidup di hutan lebih baik dari pada yang dibudidaya. Bila dibandingkan dari semua jenis daging. daya mengikat air daging tikus masih lebih baik kemudian diikuti daging domba (air
72
bebas 32,2%), daging sapi (air bebas 39,11%), dan yang paling tinggi adalah daging napu (air bebas 45,30%). Tingginya kadar glikogen tikus budidaya bila dibandingkan dengan tikus di hutan disebabkan aktivitas tikus hutan lebih tinggi, sehingga terjadi pengurasan glikogen akibatnya pada saat dipotong penurunan pH belum sempurna, sehingga pH pada daging tikus yang dari hutan lebih tinggi dari yang dibudidaya. Hal ini sesuai dengan pendapat (Wismer-Pedersen, 1971; Shorthouse dan Withes, 1988; Soeparno, 1994; Fernandez et al., 1996; Aberle et al., 2001) yang menyatakan bahwa ternak yang melakukan aktivitas mengalami pengurasan glikogen otot yang akan meningkatkan nilai pH, dan menurunkan persentase daya mengikat air daging. Organoleptik Uji Flavor di Kabupaten Minahasa Hasil Uji organoleptik dengan menggunakan uji hedonik tingkat kesukaan terhadap flavor dan penerimaan umum daging tikus, daging ayam, daging anjing, daging babi, dan daging sapi dapat dilihat di Lampiran 2. Uji hedonik menilai tingkat kesukaan terhadap berbagai jenis daging yaitu: nilai 1 = sangat suka, 2 = suka, 3 = netral,
4 = tidak suka dan 5 = sangat tidak suka. sedangkan nilai
mediannya dapat dilihat pada Gambar 21. Data hasil uji hedonik dianalisis menggunakan Uji Kruskall-Wallis (SAS, 1999) dan hasilnya menunjukkan bahwa penerimaan panelis terhadap tingkat kesukaan flavor di kabupaten Minahasa dan kota Manado serta tingkat kesukaan penerimaan umum di kabupaten Minahasa dan kota Manado pada berbagai jenis daging berbeda sangat nyata. Hasil uji median test terhadap tingkat kesukaan flavor jenis daging pada masyarakat di kabupaten Minahasa terlihat pada Gambar 21. Ternyata masyarakat di kabupaten Minahasa, paling menyukai flavor daging anjing sama dengan menyukai flavor daging tikus, dengan mencapai nilai median dua. Untuk daging anjing, kisaran ranking kesukaan flavor yang dipilih panelis adalah berada pada kisaran sangat suka sampai sangat tidak suka. Untuk daging tikus kisaran peringkat yang dipilih panelis adalah mulai peringkat sangat suka sampai peringkat netral (antara suka dan tidak suka). Untuk daging babi dan daging ayam pada posisi kedua dengan nilai median tiga atau netral (antara disukai dan tidak disukai).
73
5
Flavor
4
3
2
1 Anjing
Babi
Tikus
Ayam
Sapi
Jenis Daging
Gambar 21 Kesukaan flavor tikus ekor putih di kabupaten Minahasa Hasil penelitian daging babi pilihan panelis terhadap ranking kesukaannya, kisarannya adalah antara suka sampai sangat tidak suka. Untuk daging ayam kisaran peringkat yang dipilih panelis adalah dari suka sampai tidak suka yang kisarannya makin sempit. Sangat berbeda dengan daging sapi yang paling terakhir disukai dengan mencapai nilai median empat atau tidak disukai, dimana panelis menempatkan pada posisi ranking kesukaannya adalah mulai peringkat suka sampai peringkat sangat tidak suka. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di kabupaten Minahasa bila disajikan semua jenis daging mereka paling terakhir memilih daging sapi. Uji Flavor di Kota Manado Dari
hasil
uji
hedonik
dengan
menggunakan
Uji
Kruskall-Wallis
menunjukkan bahwa penerimaan panelis terhadap tingkat kesukaan flavor jenis daging berbeda sangat nyata. Hasil uji Median test terhadap tingkat kesukaan flavor terhadap berbagai jenis daging terlihat pada Gambar 22. Daging ayam terdapat pada peringkat pertama paling disukai dengan nilai median dua atau disukai dan dipilih panelis antara kisaran sangat disukai dan netral (antara suka dan tidak suka).
74
5
Flavor
4
3 2
1 Tikus
Babi
Ayam
Anjing
Sapi
Jenis daging
Gambar 22 Kesukaan flavor tikus ekor putih di kota Manado Jika daging ayam dibandingkan dengan keempat jenis daging lainnya, daging tikus, daging babi, daging sapi dan daging anjing diperoleh hasil dengan nilai median yang sama yaitu tiga atau netral (antara suka dan tidak suka). Untuk daging anjing kisaran pilihan adalah dari suka dan tidak disukai. Untuk daging babi kisaran pilihan adalah antara suka dan sangat tidak suka, dan untuk daging tikus kisaran pilihan adalah dari sangat suka dengan kisaran yang sangat luas. Hal ini sangat nyata berbeda dengan flavor daging sapi, masyarakat memilih peringkat terakhir disukai dengan menduduki nilai median empat atau tidak disukai akan tetapi, nilai kisaran kesukaannya mulai suka sampai sangat tidak suka. Uji Penerimaan Umum Jenis Daging di Kabupaten Minahasa Hasil uji median test terhadap tingkat penerimaan umum jenis daging pada masyarakat di kabupaten Minahasa terlihat pada Gambar 23. Ternyata masyarakat di kabupaten Minahasa penerimaan daging anjing sama dengan penerimaan daging tikus yang mencapai nilai median dua atau disukai. Untuk daging anjing, kisaran ranking penerimaan umum yang dipilih panelis adalah berada pada kisaran sangat suka sampai tidak suka. Untuk daging tikus kisaran peringkat yang dipilih panelis adalah mulai peringkat sangat suka sampai peringkat netral (antara suka dan tidak suka), yang kisarannya makin sempit.
75
Penerimaan umum
5
4
3
2
1 Anjing
Babi
Tikus
Ayam
Sapi
Jenis Daging
Gambar 23 Penerimaan umum tikus ekor putih di kabupaten Minahasa Hasil penelitian daging ayam dan daging babi sama adalah pada posisi kedua dengan nilai median tiga atau netral (antara disukai dan tidak disukai). Untuk daging ayam dan daging babi pilihan panelis terhadap penerimaan umumnya juga sama kisarannya adalah antara suka sampai tidak suka. Sangat berbeda dengan daging sapi yang paling terakhir disukai dengan mencapai nilai median empat atau tidak disukai, dimana panelis menempatkan pada posisi ranking penerimaan umum mulai peringkat netral (antara suka dan tidak suka) sampai peringkat sangat tidak suka. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di kabupaten Minahasa bila disajikan semua jenis daging mereka paling terakhir memilih daging sapi. Uji Penerimaan Umum Jenis Daging di Kota Manado Hasil uji median test terhadap tingkat penerimaan umum berbagai jenis daging pada masyarakat kota Manado terlihat pada Gambar 24. Ternyata masyarakat di kota Manado paling menyukai daging ayam yang mencapai nilai median dua. Untuk daging ayam kisaran ranking penerimaan umum yang dipilih panelis adalah berada pada antara sangat suka sampai netral (antara suka dan tidak suka).
76
Penerimaan umum
5
4
3
2
1 Tikus
Babi
Ayam
Anjing
Sapi
Jenis Daging
Gambar 24 Penerimaan umum tikus ekor putih di kota Manado Untuk daging anjing, daging babi dan daging tikus pada posisi kedua dengan nilai median tiga atau netral (antara disukai dan tidak disukai). Untuk daging anjing dan babi pilihan panelis terhadap ranking penerimaan umum sama kisarannya adalah antara suka sampai tidak suka. Untuk daging tikus kisaran peringkat yang dipilih panelis adalah mulai dari sangat suka sampai sangat tidak suka yang kisarannya makin luas. Sangat berbeda dengan daging sapi yang paling terakhir disukai dengan mencapai nilai median empat atau tidak disukai, dimana panelis menempatkan pada posisi ranking kesukaannya adalah mulai peringkat netral (antara suka dan tidak suka) sampai peringkat sangat tidak suka. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat kota Manado bila disajikan semua jenis daging mereka paling terakhir memilih daging sapi. SIMPULAN 1. Daging tikus ekor putih dilihat dari sifat fisik dan kimia tidak berbeda dibandingkan dengan daging domestik lainnya 2. Daging tikus ekor putih dapat diterima oleh Masyarakat di kabupaten Minahasa dan kota Manado, lebih disukai dibandingkan dengan daging ayam, daging anjing, daging babi,dan daging sapi.
7. PEMBAHASAN UMUM
Alam tropis Indonesia sangat kaya akan sumber daya hayati, flora dan fauna, namun penelitian mengenai fauna ini masih kurang sehingga informasinyapun masih terbatas. Informasi-informasi yang berkaitan dengan biologi dasar yakni kebiasaan tikus hidup di hutan, makanan yang dikonsumsi, tempat tinggal, tempat berlindung, tempat mencari makan, ketersediaan jumlah makanan di habitat dan semua informasi dari masyarakat
tentang tikus ekor
putih tersebut harus kita pelajari. Kekurangan pengetahuan dasar tentang proses biologis yang mengendalikan proses produksi pada tikus ekor putih telah membatasi
usaha
meningkatkan
daya
reproduksi
sehingga
proses
pembudidayaan tidak dapat berjalan seperti yang kita harapkan. Berdasarkan hasil eksplorasi terhadap habitat dan tikus hutan ekor putih yang hidup di Provinsi Sulawesi Utara ditemukan bahwa tikus hutan ekor putih (Maxomys hellwandii ) tersebar dan hidup di hutan-hutan di Kabupaten Minahasa dan sekitar hutan Manado. Nama sebutan pada tikus tersebut berbeda-beda sesuai lokasi tikus berada. Tingkah laku kehidupan tikus dan aktivitas kegiatan mencari makan, kawin dan bermain dilakukan pada malam hari. Jenis pakan yang dikonsumsi tikus ekor putih adalah daun-daunan, umbi-umbian, buahbuahan, dan insekta. Untuk insekta, hanya dagingnya yang dimakan, kulit dan cangkangnya dibiarkan di sekitar tempat makannya. Tingkat konsumsi sangat bergantung pada lingkungan di mana seekor hewan itu hidup. Malole dan Pramono (1989) menyatakan bahwa tingkat konsumsi ransum dipengaruhi oleh temperatur kandang, kelembaban, kesehatan dan kualitas makanan itu sendiri dan sebagai hewan nokturnal, tikus aktif makan di malam hari Tikus ekor putih umumnya bermain pada ranting, batang pohon yang besar dan rindang, serta banyak ditemukan pada pohon sirih hutan, pohon bambu dan beberapa jenis pohon buah-buahan lainnya, yang sekaligus merupakan sumber makanannya. Menjelang pagi hari sampai siang hari, umumnya tikus ekor putih masuk ke dalam liang di bawah tanah, di semak-semak, akar pohon atau di gua batu kecil dan berhenti melakukan aktivitasnya sambil beristirahat secara berkelompok, tidur bersama pasangan dan anak-anaknya. Manajemen pemeliharaan sangat menentukan produksi ternak yang dihasilkan, untuk mendapatkan manajemen tikus yang baik perlu mengetahui kondisi-kondisi yang disenangi dan diperlukan oleh tikus hutan agar tidak stres
78
sehingga diharapkan produktivitasnya maksimal. Salah satu cara untuk mengetahui kondisi tersebut adalah dengan mempelajari tingkah lakunya. Sehingga dapat disimpulkan kondisi yang diperlukan oleh tikus seperti kondisi tempat yang baik untuk bertahan hidup, dan bereproduksi. Tingkah laku makan tikus ekor putih berbeda dengan jenis tikus lainnya, pertama-tama makanan didekati, dicium dan diambil dengan kedua kaki depan sambil duduk, kemudian menyuapkan ke mulutnya dengan kedua kaki depan. Makanan yang berukuran besar, dipotong-potong terlebih dahulu dengan menggunakan mulut. Tikus ekor putih sangat lincah untuk menangkap belalang, kupu-kupu, cecak, kecoa dan kumbang sebagai makanannya. Umumnya tikus ekor putih lebih menyukai buah-buahan seperti : buah beringin, buah sirih hutan, jambu biji, pepaya, pisang, mangga, kelapa dan lain-lain. Hal ini berhubungan dengan aktivitasnya yang sangat tinggi sehingga membutuhkan energi yang cukup untuk hidup pokok (maintenance). Buah-buahan mengandung komponen karbohidrat sederhana yang mudah dicerna dan mudah larut seperti glukosa, fruktosa, dan sukrosa. Ketersediaan komponen tersebut pada buah-buahan sangat memungkinkan dimanfaatkan secara langsung sebagai sumber energi oleh tikus ekor putih. selain itu buah-buahan mengandung berbagai vitamin yang penting untuk produksi dan reproduksi tikus ekor putih. Sering terjadi perselisihan pada individu jantan dengan jantan, jantan dengan betina dewasa, betina dewasa dengan
betina dewasa, serta betina
dewasa dengan anak tikus. Perselisihan bisa terjadi saat berebut makanan, saat kawin, dan saat induk memiliki bayi. Agonistic terjadi antara individu jantan dengan betina saat jantan ingin kawin dan betina menolak. Lama perkelahian tikus ekor putih pada malam hari sekitar 4 menit. Untuk menjaga kebersihan tubuh dan rambutnya tikus ekor putih melakukan grooming dengan cara menjilat kedua kaki depan lalu mengusap mukanya, menjilati perut, puting, tubuh, kaki, alat kelamin, ekor dan seluruh tubuh. Organ tubuh yang jauh dari jangkauan grooming dapat juga dilakukan dengan menjilat tangan, dan tangan yang basah itu kemudian diusapkan ke tubuh yang akan dibersihkan. Aktivitas grooming dilakukan antar individu secara berbalasan maupun sendiri. Waktu grooming tikus ekor putih lebih lama pada siang hari dibanding malam hari, hal ini disebabkan karena tikus melakukan grooming sambil beristirahat. Pada umumnya tikus ekor putih melahirkan pagi hari, waktu yang dibutuhkan untuk proses kelahiran sekitar 20 menit. Setelah lahir, induk
79
memakan plasenta yang keluar bersama anaknya, selanjutnya membaringkan anaknya mendekati puting susu agar segera menyusui. Karakteristik morfologi tikus ekor putih (Maxomys hellwandii) yang baru lahir berwarna merah jambu merata di seluruh tubuh tanpa rambut setelah berumur tiga hari berubah menjadi kehitaman tanpa rambut, dengan 2/3 bagian ujung ekor sudah jelas berwarna putih, selanjutnya umur 7 hari rambut halus mulai tumbuh. Selang waktu siklus reproduksi untuk fase proestrus dan fase estrus pada tikus ekor putih sama dengan tikus lainnya (12 jam). Selang waktu fase metestrus tikus ekor putih lebih (15 sampai 21 jam) lama dibanding tikus lainnnya, sedang selang waktu fase diestrus (45 sampai 54 jam) sedikit lebih cepat dibanding tikus lainnya. Bervariasinya selang waktu fase-fase tersebut di atas diduga karena adanya perbedaan genetik tikus ekor putih dan Rattus norvegicus, sedangkan secara keseluruhan waktu siklus reproduksi tikus ekor putih hampir sama dengan Rattus norvegicus. Pertambahan bobot badan tikus ekor putih jantan 1,83 g/ekor/hari dan betina 1,36 g/ekor/hari, lebih rendah dibanding tikus Rattus norvegicus jantan 3,46 g/ekor/hari dan betina 3,03 g/ekor/hari. Sehubungan dengan telah dibudidayakannya tikus ekor putih perlu diketahui tingkat kesukaan masyarakat terhadap daging tikus ekor putih dibandingkan dengan daging lain, sebab kualitas daging selain ditentukan oleh beberapa faktor antara lain persentase berat karkas, kandungan nilai gizinya antara lain kadar protein, kadar lemak, asam lemak, pH, daya mengikat air daging, dan nilai glikogen juga ditentukan oleh tingkat kesukaan (preferensi) masyarakat. Perbandingan persentase karkas tikus ekor putih yang hidup pada habitat aslinya di hutan lebih rendah dibanding tikus yang dibudidaya. Jika ditinjau dari komposisi kimia daging, tikus yang ditangkap dari hutan mempunyai persentase protein, konsentrasi Ca, dan konsentrasi P lebih tinggi dari pada tikus yang budidaya. Hal ini diduga tikus yang hidup di hutan bebas berburu mangsa berupa serangga yang mengandung sumber protein tinggi, sedangkan rendahnya persentase karkas tikus yang hidup di hutan disebabkan karena melakukan aktivitas hidup lebih tinggi sehingga menggunakan banyak energi yang mengakibatkan terjadi penurunan persentase karkas. Menurut Aberle et al. (2001) ternak yang beraktivitas tinggi mengakibatkan cadangan glikogen terbatas. Bila dalam keadaan kekurangan glikogen terus-menerus ternak akan
80
memanfaatkan cadangan energi tubuhnya sehingga terjadi penurunan bobot badan. Sebaliknya pada tikus budidaya aktivitasnya rendah karena ruang geraknya dibatasi dalam kandang dan membutuhkan sedikit energi, sehingga terjadi peningkatan bobot badan yang berpengaruh pada meningkatnya persentase karkas. Lemak tikus budidaya hampir dua kali lebih tinggi dibanding dengan tikus dari hutan hal ini karena aktivitas tikus di hutan sangat tinggi sedangkan tikus budidaya aktivitasnya terbatas hanya dalam kandang saja. Kandungan omega 3 terdiri atas asam linolenat dan asam dokosaheksaenoat ; omega 6 daging tikus ekor putih terdiri atas asam linoleat dan asam arakidonat; Kandungan asam oleat (omega 9), daging tikus ekor putih lebih tinggi dari pada daging babi, daging sapi dan daging napu. Kadar glikogen tikus budidaya lebih tinggi dari tikus yang hidup di hutan, hal ini berhubungan dengan tingkat aktivitas tikus disaat bermain dan mencari makan. Sedangkan nilai pH daging tikus hasil budidaya lebih rendah dari daging tikus yang hidup di hutan. Menurut Fernandez et al. (1996) ternak yang melakukan
aktivitas
mengalami
pengurasan
glikogen
otot
yang
akan
meningkatkan nilai pH, dan menurunkan persentase daya mengikat air daging. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Warriss et al. (1984) bahwa pH daging dipengaruhi oleh kadar glikogen dan kadar asam laktat daging, dimana jika kadar glikogen tinggi maka kadar asam laktat juga tinggi sehingga pH akhir daging rendah. Selanjutnya dinyatakan pula oleh Soeparno (1994) bahwa penurunan pH postmortem dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik antara lain dipengaruhi oleh spesies, tipe otot, glikogen otot dan variabilitas di antara ternak, sedangkan faktor ektrinsik antara lain adalah temperatur lingkungan, perlakuan bahan aditif. Persentase air bebas daging tikus yang hidup di hutan lebih rendah dibandingkan dengan tikus hasil budidaya, hal ini menunjukkan bahwa daya mengikat air tikus yang hidup di hutan lebih baik dari pada yang dibudidaya. Babiker dan Bello (1986) menyatakan bahwa persentase air bebas yang rendah menunjukkan nilai daya mengikat air daging oleh protein daging yang tinggi, begitu pula sebaliknya apabila persentase air bebas yang tinggi menunjukkan bahwa nilai daya mengikat airnya rendah. Tingkat
kesukaan
masyarakat
di
kabupaten
Minahasa
untuk
mengkonsumsi daging tikus cukup tinggi dibanding dengan daging sapi, ayam dan babi. Tingginya tingkat kesukaan daging tikus ekor putih ini, karena jenis
81
makanan tersebut secara tradisional dan turun temurun sudah dikonsumsi oleh masyarakat. Beberapa faktor lain yang menyebabkan tingginya tingkat kesukaan daging tikus ekor putih adalah flavor dagingnya. Masyarakat umumnya membersihkan rambut tikus ekor putih dengan cara membakar. Hal ini yang menyebabkan terjadi peningkatan flavor daging. Mattram (1991) menyatakan bahwa flavor daging secara alami terbentuk melalui sistem prekursor dengan adanya pemanasan. Selama pemanasan terjadi reaksi kimia sehingga terbentuk berbagai senyawa sekunder dan tersier yang berinteraksi lebih lanjut sehingga terbentuk senyawa-senyawa volatil pembentuk flavor daging. Di kota Manado paling menyukai daging ayam yang mencapai nilai median dua, selanjutnya daging anjing, daging babi dan daging tikus pada posisi ke dua dan yang paling terakhir disukai adalah daging sapi. Prospek kedepan tikus ekor putih berpeluang sangat baik dilihat dari sosial budaya, ekonomi geografis dan alamnya. Berdasarkan geografis dan alam di daerah Manado dan Minahasa hutanya masih luas dan memungkinkan menjadi habitat tikus ekor putih ini. Tikus hutan di Minahasa, Sulawesi Utara, sudah sejak lama dikonsumsi masyarakat setempat sebagai makanan istimewa yang hanya disajikan pada acara-acara
tertentu
seperti
pengucapan
syukur
panen,
perkawinan,
pembaptisan, dan acara syukuran lainnya. Berdasarkan hasil penelitian budidaya tikus cukup menguntungkan dimana biaya pakan dan pemeliharan lebih murah dibandingkan dengan nilai jual daging tikus, peluang pasar cukup terbuka dengan banyaknya rumah makan di kabupaten Minahasa, kota Manado bahkan di Jakarta yang menyajikan makanan daging tikus ini.
8. SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN
1. Tingkah laku yang diperlihatkan oleh tikus ekor putih dalam kandang budidaya (ex-situ) tidak jauh berbeda dengan tingkah laku di habitat aslinya yaitu dihutan (in-situ). 2. Tikus ekor putih mampu beradaptasi dan bereproduksi di lingkungan kandang budidaya. 3. Daging tikus ekor putih dapat diterima sebagai alternatif hewan penghasil daging yang berpotensi untuk budidaya. SARAN
1. Penelitian lanjutan tentang variasi-variasi bahan pakan dan komposisi bahan
pakan
tikus
perlu
dilakukan
agar
dapat
mempermudah
pemeliharaan tikus ekor putih. 2. Perlu diteliti lebih jauh sistem reproduksi khususnya sistem perkawinan tikus ekor putih.
Lampiran 1. Perkembangan tikus ekor putih tiap minggu
1 hr
21 hr
7 hr
27 hr
14 hr
35 hr
119 hr 42 119 hr 42 hr
49 hr
63 hr
70 hr
84 hr
91 hr
56 hr
77 hr
98 hr
Lampiran 1. Perkembangan tikus ekor putih tiap minggu
105 hr
112 hr
119 hr
92
Lampiran 2. Lembaran Identifikasi Estrus
ESTRUS No Hewan T4H1J1
T4H1J6
T4H1J12
T4H1J18
T4H1J24
Keterangan
Gambaran mikroskopik Sel yang diamati +/Sel berinti Sel cornifed Sel pavemen Leukosit Sel berinti Sel cornifed Sel pavemen Leukosit Sel berinti Sel cornifed Sel pavemen Leukosit Sel berinti Sel cornifed Sel pavemen Leukosit Sel berinti Sel cornifed Sel pavemen Leukosit :T = Tikus H = Hari J = Jam
%
Fase siklus Reproduksi
Keterangan
93
Lampiran 3. Daftar nama-nama Muridae di Indonesia dan daerah distribusinya. No
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Nama Ilmiah Muridae Anisomys imitator Bandikota bengalensis Bandicota indica Berylmys bowersi Bunomys andrewsi Bunomys chrysocomus Bunomys coelestis Bunomys fratrorum Bunomys heinrichi Bunomyspenitus Bunomys prolatus Chiropodomys gliroides
Synonym (remarks)
Nama Inggris
C. peniciliatus
Uneven-toothed Rat Lesser Badicoot Rat Greates Bandicoot rat Pencil-tailed Tree Mouse Mentawai Pencil-tailed Tree Mouse Large Pencil-Tailed Tree Mouse Bornean Pencil-tailed Tree Mouse Lesser Pencil-tailed Tree Mouse Lesser Tree Mouse Whit-toothed Mouse
Tikus Gigi Bating Wirok Kecil Wirok Besar Nyingnying Buluh
Ruemmie’s Mouse
Chiropodomys karlkoopmani Chiropodomys major
-
-
16.
Chiropodomys muroides Chiropodomys pusillus
17. 18.
Chiruromys vates Coccymys albidens
19.
Coccymys ruemmleri
20.
Conilurus penicilatus
21. 22.
Crossomys moncktoni Crunomys celebensis
-
Earless Water Rat Celebes Swamp Rat
23. 24.
Echiothrix leucura Eropeplus canus
-
25. 26.
Haeromys margarettae Haeromys minahassae
-
27. 28.
H. leucogaster
29. 30. 31.
Haeromys pissilus Hydromys chrysogaster Hydromys habbema Hydromys hussoni Hyomys dammemani
Sulawesi Spiny Rat Sulawesi Soft-furred Rat Ranee Mouse Celebes pygmy Tree Mouse Lesser Ranee Mouse Australian Water Rat
32. 33. 34.
Hyomys goliath Kadarsanomys sodyi Komodomys rintjanus
35.
Lenomys meyery
H. Meeki Rattus rintjanus -
36. 37.
Lenothrix canus Leopoldamys edwarddsi Leopoldamys sabanus
14. 15.
38. 39.
-
Melomys albidens Pogonomelom ys uemmleri -
-
Rattus canus Rattus edwardsi Rattus Sabanus -
40. 41.
Leopoldamys siporanus Leptomys elegans Leptomys emstmayeri
42.
Lorentzimys nouhuysi
-
43.
Macruromys elegants
-
-
Nama Indonesia
Nyingnying Mentawai Nyingnying Kotombulu Nyingnying Kelabu
Keterangan
Ij Sm,Jv/ As Sm, Jv/As Sm Sw Sw Sw Sw Sw Sw Sw Kl,Sm,Jv/ As Mw ? KL Kl
Nyingnying Borneo
Kl
Mencit Pohon Kecil Mencit Gigi Putih
?IJ Ij/ K
Mencit Ekor Berambut Tikus Kelinci Ekor Sikat Tikus Air Momo Tikus Rawa Sulawesi Tikus Duri Sulawesi Tikus lehio Sulawesi
Ij/K
Ranai Akar Ranai Kerdil
Kl Sw
Ranai Kecil Gulit Air
Kl/Ph Mk,Ij/Au
Mountain Water Rat Husson’s Water Rat Western White- eared Giant-rat Rough-tailed Giant Rat Sody Mountain Rat Komodo Rat
Gulit Habbema Gulit Kecil Ipuzi Mikwol
Ij Ij Ij
Ipuzi Goliat Tikus Gunung Sody Tikus Komodo
Ij? Jv Ls
Sulawesi Giant Rat
Sw
Grey Tree Rat Edward’s Rat
Tikus Raksasa Sulawesi Tikus Pohon Kelabu Mondok Edward
Long-tailed Giant Red
Mondok Sabanus
Kl.Sm,Jv/As
Sipora long-tailed Giant Rat Large Water Rat Ermst Mayer’s leptomys Long-footed treeMouse Western Small-toothed Rat
Mondok Sipora
Mw
Tikus Air Besar Tikus Air Ekor Panjang Mencit Kangguru
Ij? Ij
Tikus Barat
Ij/K
Brush-tailed Rabbit rat
Gigi
Kecil
Ij? /K/Au Ij? Sw Sw Sw
Kl,Sm/As Sm/As
Ij
94
44.
Acruromys mayor
-
45.
Mallomys aroaensis
-
EasternSmall-toothed Rat De Vis’s Wooly-rat
46.
Mallomys Gunung
-
Alpine Wooly-rat
47.
Mallomys istapantap
-
Subalpine Wooly-rat
48. 49. 50. 51. 52.
Mallomys rothschildi Margaretamy beccarii Margaretamys elegans Margaretamys parvus Maxomys alticola
53. 54. 55. 56. 57.
Maxomys baeodon Maxomys bartelsii Maxomys dollmani Maxomys hellwaldii Maxomys hylomyoides
58. 59.
Maxomys infaltus Maxomys musschenbroekii
60.
Maxomys ochraceiventer
61. 62. 63. 64. 65.
Maxomys Pagensis Maxomys rajah Maxomys surifer Maxomys wattsi Maxomys whiteheadi
66.
Mayemys ellemani
67. 68. 69. 70. 71. 72. 73.
Melasmothrix naso Melomys aerosus Melomys bannisteri Melomys caurinus Melomys c ooperae Melomys fellowsi Melomys fraterculus
74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84.
Melomys fulgens Melomys gracilis Melomys howi Melomys Lanosus Melomys leucogaster Melomys lorentzii Melomys lutilus Melomys mollis Melomys moncktoni Melomys obiensis Melomys platyops
85. 86. 87.
Melomys rattoides Melomys rubex Melomys rufescens
-
88. 89.
*592 -
90.
Melomys talaudium Microhydromys richardsoni Mus caroli
91. 92.
Mus cervicolor Mus crociduroides
-
93.
Mus musculus
*553 M. kinabaleunsis R. dollmani R. hylomyoides R.inflatus R. musschenbro ekii Rattus ochraceivente r Rattus Rajah Rattus surifer *573 *574 *575 Pongonomelo mys fraterculus *8578 *580 *582 *584 -
-
*597
Tikus Gigi Kcl Timur
Ij
Naikmanung kuyawage Naikmanung Andimbo Naikmanung Amungme Naikmanung Tumbi Lesog-lati Gunung
Ij
Smaal Spiny Rat Java-sunda Spiny Rat Dolman’s Spiny Rat Sulawesi Spiny Rat Sumatran-mountain Spiny Rat Korinchi Spiny Rat Musschenbroek’s Spiny Rat
Lesog-lati Kinabalu Lesog-lati Jawa Lesog-lati Dolman Lesog-lati Sulawesi Lesog-lati Sumatera
Kl? Jv Sw Sw Sm
Lesog-lati Kelinci Lesog-lati mussenbrok
Sm Sw
Chestnut-bellied Spiny Rat
Lesog-lati kastanye
Kl
Mentawai Spiny Rat Brown Spiny Rat Red Spiny Rat Watts’ Spiny Rat Whiteheadi Spiny Rat
Lesog-lati pagai Lesog-lati Coklat Lesog-lati Merah Lesog-lati Watsi Lesog-lati whiteheadi Mencit Air Satu Gigi
Mw Kl,Sm/As Kl,Sm,Jv/As Sw Kl,Sm/As
Tuni Cucurut Tuni Seram Tuni Kai Tuni Talaud Tuni Yamdena Tuni merah Tuni Manusela
Sw Cm Tn Tl Tn Ij? Cm
Tuni Seram Tuni Ekor Panjang Tuni Howi Tuni Bersisik Tuni Putih Uni Kaki Panjang Tuni Kecil Tuni sene Tuni Selatan Tuni Obi Tuni Dataran Rendah Tuni Gunung Tuni Amuk Tuni Punggung hitam Tuni Talaud Mencit air Gigi Beralur Mencit Sawah
Cm Ij? Tn Ij Ij Ij Ij Ij Ij Ml (Ob) Ij
Black-eared Giant Rat _ Mountain spiny Rat
One-toothed Shrew mouse Lesser Shrew Rat Dusky Melomys Bannister’s Rat Talaud Rat Cooper’s melomys Red-bellied melomys Manusela Melomys Ceram Melomys Long-tailed Melomys How’s Melomys Large-Scaled Melomys White-bellied Melomys Long-footed Melomys Grassland Melomys Thomas’s Melomys Moncktony Melomys Obi Melomys Lowland Melomys Mountain Melomys Highland melomys Back –tailed melomys Talaud melomys Groove-toothed Shrew mouse Field- mouse Fawn-coloured mouse Sumatran Shrew mouse House Mouse
Mencit Kelabu Mencit Sumatra Mencit rumah
Ij Ij Ij Sw Sw Sw Kl?
Ij
Ij Ij Ij Tl (Sw) Ij Kl,Sm,Jv,Ls /As Sm/As Sm Kl,Sm,Jv,Ls ,Sw,MkIj/
95
Pygmy Mouse Javan shrew-mouse
Mencit Deli Mencit Jawa
As,Ph,Au Sm Jv
Dark -tailed tree Rat
Tipaut Gayat
Kl,Sm,Jv/As
Chestnut Rat
Tipaus
Punggung Coklat Tipaus Jawa Tipaus Ekor Panjang
Sm,Jv/As
Tikus Betu
Ls (Fl)
Tikus
Air Rambut Kasar Tikus air pingggang merah Tikus Air Rambut Pendek -
Ij
Pogonolomis Salawati Pogonolomis Irian
Sw Ls(Fl) Jv Ij
Pogonolomis Gunung Choiwoibea Halus
Ij
Choiwoibea Hitam Choiwoibea Kelabu
Ij Ij
-
Rummiler’s mosaic tailed rat Shaw Mayer’s Brush Mouse High land Pogonomelomys Soft-haired TreeMouse Chestnut Tree-Mouse Gray-bellied TreeMouse Western Shrew mouse
Mencit Air Barat
Ij
-
Eastern Shrew -mouse
Mencit Air Timur
Ij
-
Engano Rat
Tikus Enggano
Sm (Eg)
-
Annande’s Rat Ricefield Rat
Tikus Anandale Tikus Sawah
Summit Rat Bonthain Rat Sula Island Rat Engano Island Rat Polynesian Rat
Tikus Kinabalu Tikus Bonthain Tikus Sula Tikus Enggano Tikus Polynesia
Ceram Rat Bulukumba Rat Hainald’s Rat Gray-bellied Rat
Tikus Seram Tikus Bulukumba Tikus Lawo Tikus Perut Kelabu
Rattus hoogerferfi Rattus jobiensis Rattus koopmani Rattus korinchi Rattus leucopus
Rattus celebensis -
Sm/As KL,Sm,Jv,L s,Sw,Mk,Ij/ As/Ph Kl ? Sw Mk (Su) Sm(Eg) KL,Sm,Jv,L s,Sw,Mk,Ij/ As/Ph,Au Mk(Cm) Sw Ls (Fl) Sw
Leuse’r Rat Biak’s Rat Banggai Island Rat Korinchi’s Rat Cape York Rat
Tikus Leuser Tikus Nambap-sop Tikus Banggai Tikus Kerinci Tikus Kaki Putih
133 134 135
Rattus lugens Rattus mamosurus Rattus mollicomulus
R.mentawai -
Tikus Mentawai Tikus Tondano Tikus Lompobatang
136 137
Rattus morotaiensis Rattus nitidus
-
Mentawai House Rat Tondanus’ Rat Lompobatang Mountain Rat Morotai’ Island Rat Himalayan Rat
94. 95.
Mus terricolor Mus Vulcani
96. 97.
Niviventer cremoriventer Niviventer fulvescens
98. 99.
Niviventer lepturus Niviventer rapit
-
100
-
101
Papagomys Amandvillei Parahydromys asper
Javan chestnut Rat Long-Tailet Mountain Rat Flores-Giant Rat
-
Waterside Rat
102
Paraleptomys rufilatus
-
Northern hydromyne
103
-
104
Paraleptomys wihelmina Paruromys dominator
Short-haired Hydromyne -
105 106 107 108
Paruromys ursinus Paulamys naso Pithecheir melanurus Pogonomelomys bruijni
109 110
Pogonomelomys mayeri Pogonomelomys sevia
111
loriae
112 113
Pogonomys macrourus Pogonomys sylvestris
114
116
Pseudohydromys occidentalis Pseudohydromys murinus Rattus adustus
117 118
Rattus annandalei Rattus argentiventer
119 120 121 122 123
Rattus baluensis Rattus bontanus Rattus elaphinus Rattus enganus Rattus exulans
124 125 126 127
Rattus feliceus Rattus foramineus Rattus hainaldi Rattus hoffmani
128 129 130 131 132
115
Mus dunni Melomys vulcani *601
Rattus Dominator *610 *611 -
Pogonomelom ys dryas P.lepidus *617
*624 -
Tikus Morotai Tikus Himalaya
Jv Kl.Sm/As
Ij Ij Sw
Ij
Ij
Sm Ij Sw (Bg) Sm Mk (Ar) Ij/Au Sm (Mw) Sw Sw Mk (Mo) Sw Mk,Ij/As.Ph
96
138
Rattus norvegicus
-
Brown Rat
Tikus Riul
139 140 141 142 143 144
Rattus pelurus Rattus praetor Rattus simalurensis Rattus sordidus Rattus steini Rattus tanezumi
-
Peleng Island Rat Large Spiny Rat Simalur Rat Canefield Rat Samall Spiny rat Japan’s House Rat
Tikus Peleng Tikus Senok Tikus Simeulue Tikus kebunTebu Tikus Steini Tikus Rumah
145 146
Rattus timorensis Rattus tiomanicus
-
Timor Rat Malaysian Field Rat
Tikus Timor Tikus Belukar
147 148
Rattus xanthurus Stenomys ceramicus
Xanthurus’ Rat Ceram Rat
Tikus Xanthurus Tikus Seram
149 150 151 152 153
Stenomys niobe Stenomys omichlodes Stenomys richardsoni Stenomys verecundus Sundamys infraluteus
Moss-forest Rat Arianus’s Rat Glacier Rat Slender Rat Mountain Giant Rat
Tikus Hutan Lumut Tikus Arianus Tikus Gunung Salju Tikus Ramping Sundaris Gunung
Ij Ij Ij Ij Kl? Sm
154 155
Sundamys maxi Sundamys muelleri
Rattus salocco Rattus ceramicus R. arfakiensis *654 Rattus mollis Rattus infraluteus -
(K Sm, Jv,Ls,Sw,M k,Ij/As,Ph,A u) Sw(Bg) Ij Sl Ij /Au Ij (Kl,Sm,Jv,L s,Sw,Mk,Ij/ As,Ph) Ls (Ti) Kl,Sm,Jv/As ,Ph Sw Sw (Cm)
Maxi’s Rat Muller’s Rat
Sundamis Cibuni Sundamis Muelleri
156
Taeromys arculatus
Tankoko’s Rat
Tikus Tangkoko
157
Taeromys callitrichus
-
--
Sw
158 159
Taeromys celebensis Taeromys hamatus
-
---
Sw Sw
160
Taeromys punicans
-
--
Sw
161 162 163
Taeromys taere Taeromys macrocercus Taeromys rhinogradoides Uromys anak Uromys baeadii Uromys caudimaculatus Auromys emmae Xenuromys b arbatus
Rattus arculatus Rattus callitrichus Rattus hamatus Rattus punicans Rattus taerae -
Jv Kl,Sm/As,P h Sw
Long-tailed Tate’s rat Tate’s rat
-
Sw Sw Sw
Black-tailed Giant-rat Biak Giant Rat Rock-dwelling Giant-rat
Keneta Dani Keneta Biak Keneta ekor-toti
-
Keneta Emma Tikus Raksasa MisaiPanjang
Ij Ij (Bk) Mk (Ar) Ij / Au Ij Ij/Cl(R)
Large Bamboe Rat
Tikus Bambu
164 165 166 167 168
RHIZOMYINAE 169 Rhizomys sumatrensis Keterangan : Kl = Kalimantan Sm = Sumatra
*669 U. aruensis *671 -
-
Belitung (BI), Enggano (Eg), Mentawai Island (Mw), Simeulue (Sl) Jv = Jawa Bawean (Ba) Ls = Lesser Sundas Flores (Fl),Lembata (Lb), Lombok (Lk), Sangiang (Sg), Timor (Ti) Wetar (Wr), Alor (AL) Sw = Sulawesi Banggai (Bg),Salayar (Sl), Sangihe (Sh), Talaud (Tl) Mk = Maluku Island Aru (Ar), Ceram (Cm), Morotai (Mo), Obi (Ob), Sula (Su) Tanimbar (Tn) Ij = Irian Jaya Biak (Bk), Waigeo (Wo) As = South-east Asian Continental area Ph = Philipine Au = Australia Sumber : Suryanto dkk (1998).
Sm/As