TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ANAK OLEH ORANG TUANYA DITINJAU DARI HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh: Puti Ramadhani NIM: 104045101563
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI JAKARTA 1429 H/2008 M
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ANAK OLEH ORANG TUANYA DITINJAU DARI HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Puti Ramadhani NIM: 104045101563 Di Bawah Bimbingan Pembimbing I
Asmawi, M. Ag
Pembimbing II
Dedy Nursamsi, SH, M.Hum
KONSENTRASI PIDANA ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M
ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮ ﺣﻴﻢ KATA PENGANTAR
Dengan penuh rasa syukur yang tiada hentinya kepada kehadirat Allah SWT, yang telah memberi penulis kemudahan dari setiap kesulitan yang datang dan kekuatan yang tidak terduga dari setiap kelemahan yang menerpa. Atas rahmat dan karunia dari-Mu, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan diwarnai dengan ujian, emosi, kesabaran dan kekuatan dan juga shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW sebagai nabi yang membawa rahmat bagi seluruh umat. Penulis menyadari bahwa proses penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan semangat dari berbagai pihak dan untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat : 1. Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Asmawi M.Ag, Ketua Program Studi Jinayah Siayasah dan Sri Hidayati, M.Ag, Sekretaris Program Studi Jinayah Siayasah atas kesabaran dan waktunya dalam menghadapi semua pertanyaan penulis. Kepada para dosen yang telah memberikan ilmu, tenaga dan waktu yang luar biasa kepada penulis selama ini, terutama untuk Bapak Sudirman Abbas dan Bapak Ayang Utriza yang selalu memberikan motivasi, Bapak Prof.Dr.H.M. Abduh Malik dan Bapak M. Nurul Irfan yang telah memberikan bantuan yang sangat besar bagi proses skripsi ini
serta tak lupa kepada staff perpustakaan syari’ah dan hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta. 3. Kepada para pembimbing skripsi, Bapak Asmawi M.Ag dan Bapak Dedy Nursamsi, SH, M.Hum yang telah memberikan saran, masukan dan pengarahan yang luar biasa bagi proses skripsi ini. 4. Kepada kedua orang tua tercinta, Bapak H. Ardi Rauf B.Ac (alm) dan Ibu Hj. Yani Utama S.Pd yang telah menekankan mengenai pentingnya pendidikan dan menghargai ilmu, memberikan dukungan dan do’a yang tidak pernah putus dan juga telah memberikan kepercayaan yang amat besar bagi penulis. Untuk ayah tercinta, ini adalah janji yang sudah penulis tepati dan maaf karena ayah tidak sempat untuk melihatnya. 5. Kepada adik-adikku yang masih belum juga beranjak dewasa, Citra Ardhini dan Andhika Utama. Terima kasih karena telah memberikan suasana yang berbeda setiap harinya di rumah. Semoga skripsi ini memberikan inspirasi buat kalian berdua untuk menyelesaikan pendidikan dengan baik dan untuk adikku tercinta Sarah Chairunnissa, sumber inspirasi, kebahagiaan dan semangat untuk hidup. Abangku Ardian Guci, yang selalu siap siaga membantu. Kepada seluruh keluarga di Jakarta dan Lampung, terima kasih untuk do’anya. 6. Kepada Tezar Irawan dan keluarga, terima kasih atas kesabaran, dukungan, do’a dan kepercayaan yang telah diberikan kepada penulis. Terima kasih karena telah bersedia menjadi sumber inspirasi terbesar dalam hidup penulis. 7. Kepada teman-teman : Ayu, Mody, Ma’ruf dan Asep, terima kasih atas bimbingannya dan teman-teman sekelas atas bantuannya baik kecil maupun besar
tetapi semuanya sangat berarti bagi penulis (I always wish all for the best) : Cepi, Amin, Hijrah, Finalto, Devison, Azis, Rifa’i, Jaelani, Nandez, Rico, Komson, Rozi, Husni, Agus, Hilmi, Irna, Novi, Zulfah dan Reva. 8. Kepada seluruh guru-guru yang pernah mengajar penulis. Skripsi ini merupakan bentuk terima kasih dan penghargaan tertinggi penulis atas jasa-jasa para guru selama ini. Demikian ucapan terima kasih dari penulis dan penulis beharap semoga segala kebaikan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Penulis juga berharap, semoga skripsi ini bermanfaat bagi orang lain dan dapat menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya.
Jakarta, 11 Juni 2008 M O7 Jumadil Akhir 1429 H
Penulis
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR………………………………………………………….... …i DAFTAR ISI………………………………………………………………………..iv BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………………………………………………….1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………………………….5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………………......6 D. Tinjauan Pustaka …………………………………..................................7 E. Metode Penelitian………………………………………………….........9 F. Sistematika Penulisan…………………………………………………...12
BAB II
KONSEP TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF
A. Pengertian Tindak Pidana…………………………………………....... 14 B. Bentuk-bentuk Tindak Pidana…………………………………………. 16 C. Tujuan dan Sanksi Pidana………………………………………………25
BAB III
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF
A. Pengertian Pembunuhan………………………………………………...34 B. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Pembunuhan……………………………38
C. Sanksi Tindak Pidana Pembunuhan…………………………………….45
BAB IV TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ANAK OLEH ORANG TUANYA MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF SERTA ANALISIS PERBANDINGAN A. Anak dan Kedudukannya 1. Pengertian Anak dan Hubungan Orang Tua dengan Anak…………..53 2. Perlindungan Anak…………………………………………………...57 B. Pengertian Pembunuhan Anak oleh Orang Tuanya……………………. 61 C. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Pembunuhan Anak oleh Orang Tuanya.. 65 D. Sanksi Tindak Pidana Pembunuhan Anak oleh Orang Tuanya………… 74 E. Analisis Perbandingan…………………………………………………... 80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………………...83 B. Saran-saran…………………………………………………………….. 87
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..88
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini Saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 16 Juni 2008 M 19 Rabiul Awal 1429 H
Puti Ramadhani
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Anak adalah harta yang tidak ternilai. Anak adalah karunia dan amanat yang Allah titipkan kepada para orang tua untuk dijaga agar dapat menjadi manusia-manusia yang berkualitas.
Keberadaan anak yang merupakan
amanat itulah yang menjadikan anak sangat istimewa dan rumit dalam menghadapinya dan Dia memberikannya kepada siapa saja yang dikehendakiNya. Allah S.W.T berfirman :
☺
( ٤٩ -٥٠: )اﻟﺸﻌﺮاء Artinya : “Dia memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis lelaki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.". (Q.S Asy-Syuraa : 49-50) Hubungan antara orang tua dan anak dianggap sangat penting karena dari hubungan inilah tercipta manusia-manusia yang peduli sesama dan saling menghormati. Hubungan yang tidak akan pernah terputus oleh kondisi apapun. Hubungan yang paling abadi yang pernah dimiliki oleh antar sesama
manusia. Hubungan dimana ada pertanggungjawaban yang besar di hadapan Allah baik bagi orang tua maupun bagi anak karena Allah tidak hanya menekankan pentingnya bersikap baik kepada orang tua tetapi juga menekankan pentingnya orang tua memperlakukan anaknya dengan baik, seperti pada firman Allah :
⌧ ( ٣١ : )اﻷﺳﺮا Artinya : “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kami lah yang memberi rizki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar.” (Q.S AlIsraa : 31) Negara juga mengaturnya hal tersebut dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 13, ayat 1 yang berbunyi : “ Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlidungan dari perlakuan : (1). Diskriminasi (2). Eksploitasi baik ekonomi maupun seksual. (3). Penelantaran (4). Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan (5). Ketidakadilan, dan (6). Perlakuan salah lainnya.” Akan tetapi, hubungan yang seharusnya penuh kasih sayang dan harmonis ini semakin berkurang pada zaman sekarang ini. Banyak sekali anak
yang menerima perlakuan yang kurang baik dari orang tuanya bahkan tindakan tersebut sudah dapat dikatakan sebagai sebuah tindak pidana yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya mulai dari memukul sampai kepada penganiayaan yang berakibatnya nyawa anak tersebut melayang. Sangat sulit dipercaya ketika seorang anak meninggal ditangan orang yang sangat diharapkan untuk dapat melindungi dan menjaga dirinya. Padahal anak tersebut
adalah darah daging mereka sendiri, penerus generasi keluarga,
penjaga kehormatan keluarga dan kalau dipikirkan lebih jauh lagi, anak merupakan aset negara yang sangat mahal dan penting sehingga mereka perlu dilindungi terutama oleh kedua orang tua mereka. Oleh karena itu banyak harapan dan cita-cita dipanjatkan untuk anak-anak agar dapat menjalani kehidupan dengan jauh lebih baik daripada keadaan kedua orang tua mereka. Salah satu kasus yang dapat dijadikan bukti tentang tindak pidana ini adalah kasus yang cukup menggemparkan adalah kasus pembunuhan yang terjadi pada tahun 2006 di Bandung yang
dilakukan oleh seorang ibu
terhadap ketiga anaknya yang karena alasan kekhawatiran yang berlebihan atas nasib ketiga anaknya1. Kasus lain terjadi pada tahun 2008 adalah seorang ayah membunuh anak kandungnya yang masih berumur empat bulan karena tertekan akan kebutuhan sehari-hari2. Kasus-kasus seperti ini akan terus
1
Tempointeraktif, “Ibu Pembunuh Tiga Anak Diduga Mengidap Paranoid”. Diakses pada tanggal 22 Februari 2008, http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2006/06/15/brk,2006061578943,id.html 2 Tribun Jabar, “Pembunuh Anak kandung Serahkan Diri”. Diakses pada tanggal 17 Februari 2008, http://www.tribunjabar.co.id/artikel_view.php?id=2050&kategori=9
bertambah pada tiap tahunnya jika permasalahan ini tidak ditanggapi secara serius oleh seluruh komponen masyarakat. Melihat dari contoh kasus di atas, pada dasarnya tindak pidana pembunuhan di Indonesia sendiri sudah diatur di dalam KUHP, BAB XIX Kejahatan Terhadap Nyawa, pasal 338 : “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Kemudian diperkuat dengan dengan Undang-Undang
Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan diperkuat lagi dengan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Di dalam Islam sendiri, ada sebuah konsep yang dapat membantu memahami dan juga merupakan tujuan dari agama islam yang disebut dengan Maqasidu Syari’ah ) yang terdiri dari : 1. Memelihara Agama 2. Memelihara Jiwa 3. Memelihara Akal 4. Memelihara Keturunan 5. Memelihara Harta Kelima tujuan di atas saling berhubungan karena pemeliharaan diri kita dari salah satu tindak pidana berarti memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Dari penjelasan tentang tindak pidana pembunuhan anak oleh orang tuanya, maka dapat dipahami bahwa alasan -alasan yang melatarbelakangi penulis untuk membahas tentang tindak pidana pembunuhan ini adalah : 1. Banyaknya tindak pidana pembunuhan anak oleh orang tuanya sendiri di Indonesia. 2. Belum ada pembahasan mengenai tindak pidana pembunuhan anak oleh orang tuanya sendiri ditinjau dari hukum pidana positif dan hukum pidana Islam. Dengan alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas maka penulis akan membahasnya dengan judul “ Tindak Pidana Pembunuhan Anak Oleh Orang Tuanya Ditinjau Dari Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif ”.
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah Membicarakan tindak pidana pembunuhan anak berarti membicarakan banyak hal yang ada di masyarakat. Dari mulai peranan orang tua sampai kepada peranan media. Pembatasan masalah sangat diperlukan agar apa yang akan dibahas oleh penulis tidak melebar dan tetap fokus pada inti masalah, yaitu : 1. Penulis membicarakan mengenai tindak pidana pembunuhan yang terjadi terhadap anak-anak dan dilakukan oleh orang tuanya yang pada zaman sekarang ini sering terjadi.
2. Tinjauan hukum pidana positif dan hukum pidana Islam dengan menggunakan pendekatan secara kualitatif mengenai tindak pidana pembunuhan anak yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri. Perumusan juga sangat diperlukan untuk mencari tahu apa yang menjadi masalah dalam pembahasan ini sehingga pada akhir pembahasan diharapkan peneliti sudah dapat menemukan jawaban dari semua pertanyaan yang telah dirumuskan. Oleh karena itu, penulis telah merumuskan masalah yang akan dibahas dalam pembahasan ini, yaitu : 1. Apakah yang dimaksud dengan tindak pidana pembunuhan anak oleh orang tuanya menurut hukum pidana islam dan hukum pidana positif? 2. Bagaimana bentuk-bentuk tindak pidana pembunuhan anak oleh orang tuanya menurut hukum pidana islam dan hukum pidana positif? 3. Bagaimana perbandingan antara hukum pidana islam dan hukum pidana positif mengenai tindak pidana pembunuhan anak oleh orang tuanya?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian Penulis meneliti hal ini tidak lepas dari beberapa tujuan. Tujuan tersebut adalah : 1. Untuk dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan tindak pidana pembunuhan anak oleh orang tuanya sendiri. 2. Untuk dapat mengetahui bentuk-bentuk tindak pidana pembunuhan anak oleh orang tuanya.
3. Untuk dapat mengetahui persamaan dan perbedaan serta kelebihan dan kekurangan dari dua tinjauan hukum yang dipakai, yaitu: pidana islam dan hukum pidana positif mengenai tindak pidana pembunuhan anak oleh orang tuanya. Sedangkan manfaat yang dapat diambil dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Secara Akademis Dilihat dari akademis, manfaat dari penulisan ini adalah dapat memberikan tambahan keilmuan dalam bidang hukum pidana positif dan juga hukum pidana islam pada umumnya dan tentang pembunuhan anak yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri pada khususnya. 2. Secara Praktis Dilihat dari segi praktis, penulisan skripsi ini dapat memberikan penjelasan kepada masyarakat luas tentang dampak atau akibat tindak pidana pembunuhan anak yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri.
D. Tinjauan Pustaka Sebelumnya penulis sudah membuat tinjauan pustaka dengan tujuan untuk mengkaji materi-materi yang terdahulu yang memiliki tema yang sama dengan tema yang dipilih oleh penulis dan materi/karya-karya tersebut adalah karya Drs. Adami Chazawi, S.H dengan judul “Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa”. Hal yang paling utama yang dikajinya adalah bentukbentuk kejahatan, penjelasan mengenai unsur-unsur kejahatan serta perbedaan unsur objektif dan subjektif. Temuan penting pada karya ini
adalah bahwa semua tindak kejahatan akan mendapatkan sanksi termasuk pembunuhan. Karya kedua adalah karya Ahmad Hanafi yang berjudul “Asas-Asas Hukum Pidana Islam”. Hal utama yang dikaji mengenai pembunuhan di dalam hukum islam. Di dalam karya ini dijelaskan bahwa adanya pembagian dari jenis-jenis pembunuhan yang terdiri dari pembunuhan sengaja, pembunuhan sengaja yang diancam dengan hukuman qisas dan pembunuhan tidak sengaja yang diancam dengan hukuman diyat. Pada dasarnya, tindak pidana pembunuhan yang dibahas di dalam karya ini adalah tindak pidana pada umumnya terlepas dari faktor pelaku ataupun korbannya apakah ada hubungan keluarga atau tidak. Karya ketiga adalah sebuah buku yang berjudul “Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek dan Tantangan. Buku ini merupakan kumpulan tulisan yang dibuat oleh orang-orang yang ahli pada bidangnya. Salah satunya adalah H.M Abduh Malik, tulisannya mengenai “Kejahatan Terhadap Jiwa dalam Perspektif Hukum Pidana Islam”. Di dalam tulisannya ini dijelaskan bahwa ada perbedaan pendapat ulama dalam pembunuhan anak oleh orang tuanya. Pada intinya, karya ini tidak membahas secara detail mengenai apa yang dimaksud dengan anak dan orang tua serta bagaimana bentuk-bentuk tindak pidana pembunuhan anak itu sendiri. Karya keempat merupakan skripsi yang berjudul “Pembunuhan Massal Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif” oleh Dodi Wahyudi Jurusan Jinayah Siyasah Unversitas Islam Negeri Jakarta pada tahun 2004. Di
dalam skripsi ini, menjelaskan mengenai tinjauan hukum islam dan hukum positif tentang pembunuhan terutama pembunuhan secara massal. Karya kelima adalah sebuah skripsi berjudul “Tindak Pidana Pembunuhan yang dilakukan oleh Anak di Bawah Umur dalam Perspektif Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif” oleh Ahmad Uluwan pada tahun 2004. Karya di atas juga membahas mengenai pembunuhan, akan tetapi lebih menitikberatkan kepada pembunuhan yang subjek hukumnya adalah anak. Karya terakhir adalah skripsi dengan judul “Analisa Hukum Islam Tentang Hukuman Seumur Hidup Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan” oleh Yuliati Roswita pada tahun 2005. Di dalam karya ini, membahas mengenai bagaimana pandangan hukum islam terhadap hukuman yang berbentuk seumur hidup dalam tindak pidana pembunuhan. Dilihat dari karya-karya di atas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa belum ada karya yang membahas mengenai tindak pidana pembunuhan anak yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri ditinjau dari hukum pidana positif dan hukum pidana islam
E. Metode Penelitian Metode yang akan digunakan oleh penulis adalah deskripif analisis yang berusaha memberikan pemecahan masalah dengan pengumpulan data, menyusun, mengklasifikasikannya dan menganalisa data sehingga dapat diambil jawaban atas pertanyaan dan ditariklah suatu kesimpulan.
Dalam pengambilan data dalam penelitian, penulis akan memakai metode studi dokumentasi yang terdapat di dalam buku-buku, dokumen dalam bentuk undang-undang, lampiran-lampiran, agenda, catatan para ahli sampai internet. 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu penelitian yang data-datanya diungkapkan melalui kata-kata, norma atau aturan-aturan atau data kualitatif. Data-data yang diambil merupakan pendapat atau doktrin para ahli hukum atau normatif dengan tujuan agar dapat menggambarkan masalah dengan baik berdasarkan keberadaan data-data tersebut sehingga dapat diambil kesimpulannya atau dapat juga disebut dengan deskriptif3. 2. Sumber Data Penelitian Adapun sumber data yang digunakan pada penelitian ini adalah Sumber Data Sekunder, yang terdiri dari : a. Bahan Primer yang digunakan, yaitu : karya, literature, norma atau aturan yang membahas langsung masalah ini yang dibahas judul skripsi ini. Seperti KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan norma-norma lainnya.
3
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : P.T RajaGrafindo Persada, 2006), h. 35.
b. Bahan Sekunder yang digunakan, yaitu : buku-buku umum, karya atau literatur lain yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Seperti UndangUndang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan lain-lain. c. Bahan Tertier yang digunakan, yaitu : bahan-bahan yang merupakan pelengkap dari bahan primer dan bahan sekunder, yaitu buku-buku tafsir, terjemahan dan lain-lain4. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik
pengumpulan
data
yang
digunakan
adalah
riset
kepustakaan, yaitu dengan melihat atau membaca, meneliti dan mempelajari dokumen dan data-data yang diperoleh dari karya – karya atau literatur dan referensi yang berhubungan dengan judul skripsi ini5. 4. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan seluruhnya adalah metode kualitatif, yaitu menganalisis masalah berdasarkan data-data yang didapat dalam bentuk kata-kata atau kalimat yang didapat dari buku-buku, karyakarya, literatur atau norma-norma dengan bersifat Penelitian deskriptif, yaitu dengan menggambarkan permasalahan yang ada, mencari data-data yang relevan, menyeleksinya dan mengambil kesimpulan dari data-data tersebut.
4 5
Sunggono, Bambang, loc.cit Sunggono, Bambang, loc.cit,
Teknik Analisis Data yang digunakan adalah Teknik Analisis Komparatif secara Kualitatif. Alasan penulis menggunakan teknik ini adalah penulis ingin membandingkan tinjauan hukum pidana positif dan hukum pidana islam terhadap permasalahan pada penelitian ini6.
5. Teknik Penulisan Adapun mengenai teknik penulisan karya tulis ini, penulis mengacu kepada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang disusun oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Tahun 2007.
F. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah proses dalam penulisan penelitian ini, maka penulis membuat kerangka yang sistematik untuk membentuk pola dasar pembahasan skripsi dalam bentuk bab-bab yang terdiri dari : BAB I
: pendahuluan, diawali dengan latar belakang masalah berisi penjelasan, data-data yang dijadikan alasan bagi penulis dalam memilih pembahasan ini., pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
6
Sunggono, Bambang, loc.cit.
BAB II
: berisi tinjauan umum hukum pidana islam dan hukum pidana positif mengenai konsep tindak pidana, jenis-jenis tindak pidana dan lain-lain.
BAB III
: berisi tinjauan hukum pidana islam dan hukum pidana positif mengenai
tindak
pidana
pembunuhan
yang
meliputi
Pengertian, Bentuk-bentuk serta Sanksi bagi Tindak Pidana Pembunuhan. BAB IV
: bab ini merupakan pembahasan utama dalam penelitian ini berisi Pengertian Anak dan kedudukannya di dalam tinjauan kedua hukum tersebut. Pengertian, Bentuk-bentuk serta Sanksi bagi Tindak Pidana Pembunuhan serta Analisis Perbandingan.
BAB V
: merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan atau saransaran.
BAB II KONSEP TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF
A. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana, di dalam hukum pidana Islam sendiri ada dua kata yang cukup mewakili kata tersebut, yaitu jinayah dan jarimah. Jinayah ﺟﻨﺎ ﻳﺔmerupakan bentuk mashdar dari kata " " ﺟﻨﻰ – ﻳﺠﻨﻰ – ﺟﻨﺎ ﻳﺔ. Menurut istilah adalah hasil perbuatan seseorang yang terbatas pada perbuatan yang dilarang dan pada umumnya, para fuqaha menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa seperti pemukulan dan pembunuhan. Selain itu, para fuqaha memakai istilah tersebut pada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash.7 Sedangkan jarimah, menurut Al-Mawardi adalah : اﻟﺠﺮاﺋﻢ ﻣﺤﻈﻮرات ﺷﺮﻋﻴﺔ زﺟﺮاﻟﻠﺔ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﻬﺎ ﺑﺤﺪ اوﺗﻌﺰﻳﺮ Artinya: “Segala larangan syara’ (melakukan hal-hal yang dilarang dan atau meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) yang diancam dengan hukum had atau takzir”. Larangan-larangan tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan suatu perbuatan yang telah diperintahkan. Dengan melihat kedua pengertian di atas maka dapat diambil kesimpulan 7
H.A Dzajuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), Jakarta, P.T RajaGrafindo Persada, 1997, h 1.
bahwa pada dasarnya pemakaian istilah tindak pidana dalam hukum pidana islam dengan menggunakan kata jinayah atau jarimah adalah sama. Di dalam hukum pidana positif, “ Tindak Pidana” terdiri dari dua kata, yaitu kata “tindak” dan kata “pidana”. Kata “tindak” berasal dari bahasa Jawa yang berarti perbuatan, tingkah laku, kelakuan, sepak terjang sedangkan kata “pidana” artinya adalah kejahatan, kriminal dan pelanggaran.8 Istilah tindak pidana sendiri merupakan hasil terjemahan dari kata Strafbaar feit yang berasal dari bahasa Belanda yang merupakan istilah yang dipakai dalam wetboek van strafrecht atau kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Ada banyak pendapat mengenai pengertian dari tindak pidana atau Strafbaar feit ini, diantaranya adalah : 1.
Hazewinkel-Suringa telah membuat teori yang menyatakan bahwa rumusan umum dari “Strafbaar feit” adalah “suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya”.9
2. Profesor Simmons merumuskan “Strafbaar feit” sebagai berikut “suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan
8
W.J.S Poerwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1976), h. 1074 P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung, P.T Citra Aditya Bakti, 1997), Cet III, h. 181.
9
atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum”.10 3. Prof. Moeljatno mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sangsi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.11 Dilihat dari beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli sarjana hukum maka dapat disimpulkan bahwa Strafbaar feit atau tindak pidana adalah perbuatan yang bertentangan atau melawan hukum dan diancam dengan pidana yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab atas perbuatannya.
B. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Menurut Ahmad Hanafi, M.A, di dalam hukum pidana Islam, bentukbentuk tindak pidana atau jarimahnya (jinayah) dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu : 1. Dilihat dari berat atau ringannya hukuman dapat dibagi menjadi tiga, yaitu : a. Jarimah Hudud adalah jarimah yang diancamkan dengan hukuman had, yaitu
hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlahnya serta
merupakan hak Tuhan. Jarimah hudud ini ada tujuh macam, yaitu zina, qadzaf (tuduhan palsu zina), mengkonsumsi minuman keras (syurb al-
10 11
Ibid, h. 181 Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, (Jakarta, P.T Rineka Cipta, 2002), h. 54.
khamr), mencuri, pembegalan / perampokkan (hirabah), murtad dan pemberontakkan. b. Jarimah Qisas-Diyat adalah jarimah yang diancam dengan hukumanhukuman yang telah ditentukan batasnya dan tidak mempunyai batas terendah atau tertinggi tapi telah menjadi hak perseorangan. Jarimah qisas-diyat pembunuhan
ini
ada semi
lima
macam,
sengaja,
yaitu
pembunuhan
pembunuhan
karena
sengaja, kesalahan,
penganiayaan sengaja dan penganiayaan tidak sengaja. c. Jarimah Ta’zîr adalah jarimah yang ancaman hukumannya bertujuan untuk memberikan pengajaran dan yang berwenang menetapkan dan menjatuhkan hukuman tersebut adalah para penguasa. 2. Dilihat dari niat si pelaku, dibagi menjadi dua, yaitu : a. Jarimah Sengaja adalah si pelaku dengan sengaja melakukan perbuatannya sedangkan dia tahu bahwa perbuatannya itu di larang (salah). b. Jarimah Tidak Sengaja adalah si pelaku tidak sengaja melakukan perbuatan yang dilarang tetapi perbuatan itu terjadi sebagai akibat dari kekeliruan. 3. Dilihat dari cara mengerjakannya, dibagi menjadi dua : a. Jarimah Positif adalah jarimah yang terjadi karena mengerjakan suatu perbuatan yang dilarang seperti mencuri, zina dan sebagainya. b. Jarimah Negatif adalah jarimah yang terjadi karena tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan, seperti tidak mengeluarkan zakat.
4. Dilihat dari orang yang menjadi korban, dibagi menjadi : a. Jarimah Perseorangan adalah jarimah yang penjatuhan hukumannya bertujuan
untuk
melindungi
kepentingan
perseorangan.
Seperti
pencurian. b. Jarimah Masyarakat
adalah jarimah yang penjatuhan hukumannya
bertujuan untuk menjaga ketentraman masyarakat. Seperti pembegalan atau perampokkan. 5. Dilihat dari sifat kekhususannya dapat dibagi menjadi dua, yaitu jarimah biasa
dan jarimah politik. Pembedaan dari kedua jarimah ini terletak
pada motif yang mengikuti perbuatan tersebut. Pembedaan jarimah ini pun di latar belakangi dari peristiwa sejarah, tentang adanya jarimah-jarimah yang dilakukan dengan motif politis.12 Di dalam hukum pidana positif, pada hakekatnya, tindak pidana dibedakan menjadi dua yaitu kejahatan dan pelanggaran. Pembagian ini muncul di dalam KUHP Belanda pada tahun 1886 yang kemudian tetap ada pada KUHP Indonesia pada tahun 1918. Dasar pembedaan ini, menurut para sarjana karena sejak semula dapat dirasakan mana perbuatan yang bertentangan dengan hukum sebelum para pembuat undang-undang menyatakannya di dalam undang-undang atau disebut dengan delik hukum dan mana perbuatan yang bertentangan dengan hukum setelah dinyatakan di dalam undang-undang atau disebut juga dengan delik undang-undang. Pembeda lainnya adalah pada berat atau ringannya pidana yang diancamkan. 12
Ahmad Hanafi, M.A, Azas-Azas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, P.T Bulan Bintang, 2005), h. 7.
Dalam tindak kejahatan, diancamkan pidana yang berat seperti mati sedangkan untuk tindak pelanggaran maka diancam dengan sanksi yang ringan. Namun, dalam perkembangannya telah terjadi kesulitan dalam pembedaannya antara kejahatan dan pelanggaran karena baik kejahatan maupun pelanggaran dapat diancam dengan pidana penjara atau pun denda. 13 Kriteria pembagian tindak pidana yaitu kejahatan dan pelanggaran pada akhirnya tidak menghasilkan kesepakatan diantara para ahli sarjana hukum sehingga muncullah pembagian-pembagian tindak pidana berdasarkan jenis-jenis tertentu, yaitu : a. Cara perumusannya Yaitu delik formal dan delik materiil. Delik formal adalah tindakan yang dilarang tanpa mempersoalkan akibat dari tindakan itu. Contohnya dalam tindakan pencurian, selama unsur-unsur pada pasal 362 KUHP sudah terpenuhi maka tidak dipersoalkan lagi apakah tindakannya sudah selesai atau belum atau apakah korban merasa rugi atau tidak. Delik materiil adalah tindakan yang selain dilarang juga harus ada akibat yang timbul dari tindakan tersebut sehingga dapat dikatakn telah terjadi tindak pidana sepenuhnya. Contohnya dalam hal pembunuhan. b. Cara melakukan tindak pidana
13
S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta, Alumni AhaemPetehaem,1996), h. 226.
Dibagi menjadi tiga, yaitu delik komisi (delicta commissionis), delik omisi (delicta ommissionis) dan delik campuran (delicta commissionis per ommissionem commissa). Delik komisi adalah tindakan aktif (active handeling) yang dilarang dan untuk pelanggarannya diancam pidana. Contoh : dilarang membunuh (Pasal 338), dilarang mencuri (Pasal 362) dan lain-lain. Delik omisi adalah tindakan yang pasif (passive handeling). Tindakan yang diharuskan untuk dilakukan dan jika tidak dilakukan akan diancam dengan pidana. Contoh : Wajib melaporkan kejahatan tertentu (Pasal 164), memberikan pertolongan kepada orang yang berada dalam bahaya (Pasal 531). Delik campuran adalah tindakan yang terdiri dari tindakan komisi dan omisi sekaligus. Contoh : membiarkan orang yang masih wajib ada di dalam pemeliharaannya sehingga mengakibatkan kematian orang tersebut (Pasal 306). c. Dilihat dari ada atau tidaknya pengulangan atau kelanjutannya Delik Mandiri adalah jika tindakannya hanya dilakukan satu kali saja sedangkan delik berlanjut atau sama yang berulang adalah jika tindakan yang sama dilakukan berulang seperti pemegang kas yang tiap hari menggelapkan uang sedikit demi sedikit sampai akhirnya dia tertangkap. d. Dilihat dari berakhir atau berkesinambungan suatu delik Delik berakhir atau selesai adalah delik dengan melakukan sesuatu perbuatan seperti merampas kemerdekaan orang lain sedangkan delik
berkesinambungan adalah delik yang terjadi karena meneruskan sesuatu yang dilarang. e. Dilihat dari tindakan itu merupakan kebiasaan atau tidak Delik yang merupakan kebiasaan adalah delik yang dilakukan secara terus menerus sehingga menjadi suatu kebiasaan sedangkan yang dimaksud dengan delik yang bukan kebiasaan adalah delik sebagai pekerjaan artinya satu perbuatan saja sudah cukup. Contoh : seorang dokter yang membuka praktek tanpa izin. f. Dilihat dari hal-hal yang dapat memberatkan atau meringankan pidana Hal-hal yang dapat memberatkan pidana seperti pencurian dengan penganiayaan sehingga ancaman hukumannya dapat diperberat sedangkan hal-hal yang meringankan seperti pelaku langsung menyerahkan diri dan mengakui kesalahannya. Hal-hal seperti ini dapat dijadikan pertimbangan bagi seorang hakim dalam memutuskan perkara. g. Dilihat dari bentuk kesalahan dari pelaku. Dibagi sebagai delik sengaja dan delik alpa. h. Dilihat dari tindakan tersebut mengenai hak hidup negara, ketatanegaraan atau pemerintahan. Yang dimaksud dalam delik ini adalah adanya pembedaan antara delik umum dengan delik yang berkaitan dengan politik atau pemerintahan. i. Dilhat dari perbedaan subjek. Dibagi menjadi delik khusus (delict propria) dan delik umum (commune delicten). Delik khusus (delict propria) adalah delik yang hanya dapat
dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kualitas tertentu seprti delik jabatan, delik militer dan lain-lain sedangkan delik umum (commune delicten) adalah delik yang dapat dilakukan oleh semua orang tanpa mensyaratkan adanya kualitas tertentu. j.
Dilihat dari cara penuntutan. Dibagi menjadi dua, yaitu delik aduan (klacht delicten) dan delik tanpa aduan (gewone delicten). Yang dimaksud dengan delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut jika adanya pengaduan dari orang yang merasa dirugikan. Misalnya delik pers tentang pencemaran nama baik sedangkan delik tanpa aduan adalah delik yang dapat dituntut tanpa perlu menunggu adanya aduan dari pihak yang dirugikan. Misalnya delik pembunuhan. Dengan melihat penjabaran dari bentuk-bentuk tindak pidana ditinjau
dari hukum pidana islam dan hukum pidana positif, dapat disimpulkan bahwa pembagian bentuk tindak pidana pada tinjauan kedua hukum tersebut mempunyai persamaan, akan tetapi pembagian bentuk tindak pidana pada hukum pidana islam terlihat lebih ringkas dan lebih jelas dalam memahaminya dibandingkan pada hukum pidana positif. Di dalam suatu tindakan ataupun perbuatan pasti ada unsur-unsur yang menyertainya. Keberadaan unsur-unsur ini sangat penting agar kita dapat menentukan apakah suatu perbuatan itu dapat disebut sebagai tindak pidana atau tidak. Menurut Ahmad hanafi dalam bukunya “Azas-Azas Hukum Pidana” menjelaskan bahwa unsur-unsur umum pada tindak pidana di dalam hukum pidana Islam ada tiga, yaitu :
1. Adanya nash yang melarang perbuatan dan mengancamkan hukuman terhadapnya atau disebut dengan unsur formal atau “Rukun Syar’i”. 2. Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatanperbuatan nyata atau pun sikap tidak berbuat dan unsur ini disebut dengan unsur materiil atau “Rukun Maddi”. 3. Pembuat adalah orang mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap jarimah yang diperbuatnya dan unsur ini disebut dengan unsur moril atau “Rukun Adabi”. Ketiga unsur di atas harus ada di dalam suatu jarimah, akan tetapi akan ada juga penambahan unsur-unsur dalam tiap jarimah secara khusus sehingga unsur-unsur khusus ini berbeda-beda pada bilangan dan macamnya. Menurut Simmons, unsur-unsur dari tindak pidana di dalam hukum pidana positif itu adalah : 1. diancam dengan pidana oleh hukum 2. bertentangan dengan hukum 3. dilakukan oleh orang yang bersalah 4. orang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya.14 Sedangkan menurut Prof. Moljatno unsur-unsur yang lahir dari suatu perbuatan adalah : a. Kelakuan dan akibat
14
Andi Hamzah, Azas-azas Hukum Pidana, (Jakarta, P.T Rineka Cipta, 2004), h. 88.
b. Hal ikhwal keadaan tertentu yang menyertai perbuatan. Contohnya dalam kejahatan yang dilakukan oleh pejabat negara. Kalau tidak ada pejabat negara maka tidak ada pula kejahatan pejabat negara. c. Unsur-unsur yang memberatkan pidana. Contohnya seperti penganiayaan. Menurut Pasal 351 ayat (2) KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan tapi jika penganiayaan tersebut menimbulkan luka-luka berat maka akan diancam pidana penjara lima tahun. d. Sifat melawan hukum dilihat dari perbuatannya atau objektif artinya perbuataannya sendiri sudah mencerminkan perbuatan melawan hukum tanpa harus dijelaskan lagi atau dibuat unsur-unsur lagi. Contohnya dalan hal pemberontakan. Dalam hal ini, pemberontakkan sendiri sudah sangat jelas melawan hukum sehingga tidak perlu dijelaskan lagi dengan katakata bahwa perbuatan ini melawan hukum. e. Sifat melawan hukum dilihat dari pelakunya atau subjektif. Dalam hal ini yang dimaksud adalah niat atau maksud dari si pelaku. Misalnya pada tindak pidana pencurian, di dalam rumusan Pasal 362 KUHP unsur-unsur yang merujuk kepada niat dari si pelaku yang mencuri untuk bisa menguasai sebagian atau seluruhnya dari harta milik orang lain. Jadi, dengan demikian bahwa unsur-unsur yang harus terdapat dalam suatu tindak pidana antara hukum pidana Islam dan hukum pidana positif, pada dasarnya memiliki persamaan, yaitu ada aturan yang dilanggar, ada ancaman
hukuman dan si pelaku dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum.
C. Tujuan dan Sanksi Pidana Pada setiap aturan hukum yang dilanggar pasti ada ancaman hukuman yang mengiringinya. Pada hukum pidana Islam, hukuman dimaksudkan untuk memelihara, menciptakan kemaslahatan manusia dan ditetapkan untuk memperbaiki tiap-tiap orang agar dapat menjaga masyarakatnya. Tujuan pokok penjatuhan hukuman di dalam hukum pidana Islam ada tiga macam, yaitu sebagai berikut : 1. Pencegahan ( )اﻟﺮدع و اﻟﺰ ﺣﺮartinya menahan pembuat agar tidak mengulangi perbuatan jarimahnya atau agar ia tidak terus menerus melakukannya karena dia mengetahui hukuman terhadap jarimah tersebut. 2. Pengajaran serta pendidikan (ﻳﺐ
)اﻻﺻﻼ واﻟﺘﺢ زartinya memberikan
pelajaran bagi pelaku dan orang lain tentang suatu jarimah sehingga dapat menahan orang lain untuk tidak melakukannya. 15 Menurut Ahmad Hanafi dalam “Azas-Azas Hukum Pidana Islam” hukuman itu sendiri dapat dibagi menjadi beberapa penggolongan dilihat dari segi tinjauannya, yaitu : 1. Ditinjau dari segi hubungan antara satu hukuman dengan hukuman lain :
15
Ahmad Hanafi, M.A, op.cit , h. 191
a. hukuman pokok (‘uqubah asliyah), yaitu hukuman asal bagi satu jarimah. Seperti hukuman potong tangan untuk pencurian. b. hukuman pengganti (‘uqubah badaliyah), yaitu menggantikan hukuman pokok apabila hukuman pokoknya tidak dapat dilaksanakan karena alasan yang sah. Seperti hukuman diyat sebagai pengganti hukuman qisas. c. hukuman tambahan (‘uqubah taba’iyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan secara tersendiri seperti larangan menerima warisan bagi orang yang melakukan pembunuhan terhadap keluarganya. d. hukuman pelengkap (‘uqubah takmiliyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan syarat ada keputusan tersendiri dari hakim dan syarat inilah yang membedakan antara hukuman tambahan dan hukuman pelengkap. Seperti mengalungkan tangan pencuri yang telah dipotong di lehernya. 2. Ditinjau dari segi kekuasaan hakim dalam penentuan berat ringannya hukuman : a. hukuman yang hanya mempunyai satu batas artinya tidak ada batas tertinggi atau terendahnya, seperti hukuman jilid sebaga hukuman had. b. hukuman yang mempunyai batas tertinggi dan terendah, dimana hakim diberikan kebebasan untuk memilih hukuman yang sesuai antara kedua batas tersebut. 3. Ditinjau dari segi besarnya hukuman yang telah ditentukan :
a. hukuman yang telah ditentukan macam dan besarnya dan hakim harus melaksanakannya tanpa dikurangi ataupun ditambah atau bahkan diganti dengan hukuman yang lain. Hukuman ini dapat disebut dengan “hukuman keharusan” (‘uqubah lazimah). b. Hukuman yang diserahkan kepada hakim untuk memilih sekumpulan hukuman yang telah ditetapkan oleh syara’ agar bisa disesuaikan dengan keadaan pembuat dan perbuatannya atau dapat disebut dengan “hukuman pilihan” (‘uqubah mukhayyarah). 4. Ditinjau dari segi sasaran/tempat dilaksanakannya hukuman : a. hukuman badan artinya hukuman yang dijatuhkan atas badan seperti hukuman mati, dera, penjara dan lain-lain. b. hukuman jiwa, yaitu hukuman yang dikenakan atas jiwa seseorang bukan badannya seperti menegur, ancaman. c. Hukuman harta, yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada harta seseorang seperti diyat, denda dan perampasan harta. 5. Ditinjau dari macamnya jarimah yang diancamkan hukuman : a. hukuman hudud yaitu hukuman yang telah ditetapkan untuk jarimah atau tindak pidana hudud. b. hukuman qisas-diyat, yaitu hukuman yang telah ditetapkan untuk jarimah qisas-diyat. c. hukuman kifarat yaitu hukuman yang ditetapkan untuk sebagian jarimah qisas-diyat dan beberapa jarimah takzir.
d. hukuman ta’zîr yaitu hukuman yang ditetapkan untuk jarimah atau tindak pidana ta’zîr. Hukuman takzir ini dapat berupa hukuman kurungan, mati atau denda dan lain-lain serta merupakan kewenangan dari hakim dalam menentukannya. Di dalam hukum pidana positif, terdapat beberapa fase yang terjadi sebelum munculnya teori mengenai tujuan hukuman. Fase-fase tersebut adalah : 1. Fase balasan perseorangan atau individu, pada fase ini penuntutan hukuman terletak pada keluarga korban atau walinya atas dasar naluri membalas terhadap orang yang telah menyerang mereka. Pada fase ini tidak terdapat batasan sehingga terkadang pembalasannya melebihi dari perbuatan yang telah dilakukan. 2. Fase balasan Tuhan, yang dimaksud adalah bahwa pelaku harus menebus kesalahannya dengan tujuan agar pelaku merasa kapok dan orang lain tidak meniru perbuatannya, akan tetapi fase ini menyebabkan terlalu mudahnya menetapkan hukuman mati atas orang lain sehingga unsur keadilannya tidak terjaga. 3. Fase kemanusiaan, pada fase ini sudah mulai diterapkan prinsip-prinsip keadilan dan kasih sayang dalam mendidik dan memperbaiki diri pelaku. Selain itu, juga muncul teori dari sarjana italia, Beccaria yang mengatakan bahwa suatu hukuman harus dibatasi dengan keadilan dan kepentingan dan merupakan suatu kedzaliman jika suatu hukuman memlebihi apa yang diperlukan untuk melindungi masyarakat. 4. Fase keilmuan, lahirnya tiga aliran Itali, yaitu :
a. Hukuman mempunyai tugas dan tujuan ilmiah, yaitu melindungi masyarakat dari perbuatan jarimah dan mencegah seseorang untuk tidak mengulangi perbuatannya serta mencegah orang lain untuk meniru perbuatannya. b. Penjatuhan hukuman harus berdasarkan pengamatan ilmiah dan praktis serta kenyataan yang terjadi, seperti faktor-faktor yang membuat pelaku melakukan jarimah. c. Kegiatan masyarakat dalam menanggulangi jarimah selain kepada pelakunya juga kepada kondisi-kondisi yang menimbulkan jarimah tersebut. 5. Teori gabungan adalah teori yang muncul sesudah fase keilmuan dan teori inilah yang dipakai pada masa sekarang dalam penjatuhan hukuman. Teori gabungan ini adalah menyatukan teori tradisional yang berasaskan pikiran tentang keadilan dan kebebasan seseoarng dengan teori baru yang mendasarkan hukuman atas pembelaan masyarakat akibat jarimah-jarimah tersebut. Menurut teori tersebut, hukuman itu mempunyai dua tugas : a. Mewujudkan prinsip keadilan yang menghendaki agar dalam penjatuhan hukuman tidak boleh melebihi besar dan bahaya dari jarimah itu sendiri.
b. Membela masyarakat dengan cara mendasarkan hukuman pada kecondongan pelaku melakukan jarimah serta keadaannya yang membahayakan.16 Adanya sanksi merupakan wujud dari norma hukum. Keberadaan sanksi adalah sebagai alat pemaksa agar seseorang mentaati norma-norma yang berlaku.17 Tujuan dari adanya sanksi adalah : 1). Alat pemaksa, pendorong atau jaminan agar norma hukum ditaati oleh semua orang. 2). Merupakan akibat hukum bagi orang yang melanggar norma hukum.18 Keberadaan sanksi merupakan senjata pamungkas dalam menjaga ketertiban di dalam masyarakat. Adanya suatu pelanggaran atau kejahatan maka penentuan sanksi akan disesuaikan dengan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan tersebut. Penentuan ini diserahkan kepada negara dan dalam hal ini adalah hakim. Sanksi dalam pidana menurut Pasal 10 KUHP dapat dibagi menjadi dua, yaitu : a. Pidana Pokok 1. pidana mati, pidana ini adalah pidana terberat diantara semua pidana. Pidana ini diancamkan atas kejahatan yang sangat berat, seperti pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP) dan pencurian dengan kekerasan (pasal 365 ayat (4)).
16
Ahmad Hanafi, M.A, op.cit , h. 192 S.R Sianturi, Ibid , h. 28 18 S.R Sianturi, Ibid , h. 29 17
2. pidana penjara, adalah hukuman yang membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang. Hukuman penjara ini lebih berat daripada hukuman kurungan karena diancamkan atas berbagai kejahatan. Hukuman penjara minimum satu hari dan maksimum penjara seumur hidup. Hal ini diatur dalam pasal 12 KUHP yang berbunyi sebagai berikut : “(1). Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu (2). Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut. (3). Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena perbarengan (concursus), pengulangan (residivie) atau karena yang ditentukan dalam pasal 52 dan 52 a (L.N. 1958 no. 127) (4). Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari dua puluh tahun”. 3. pidana kurungan adalah hukuman yang lebih ringan daripada hukuman penjara karena merupakan ancaman untuk pelanggaran atau kejahatan karena kelalaian. Lamanya hukuman kurungan dibatasi paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun. 4. denda, hukuman denda ini dapat diancamkan selain pada pelaku pelanggaran juga diancamkan pada pelaku kejahatan yang adakalanya sebagai alternatif atau kumulatif. Jumlah yang dapat dikenakan minimum dua puluh lima sen dan jumlah maksimumnya tidak ada ketentuannya. Hukuman denda ini dapat dilunasi oleh siapa pun, baik dari pihak keluarga ataupun kenalan. b. Pidana Tambahan
Pidana tambahan adalah hukuman yang hanya dapat dijatuhkan bersamaan dengan hukuman pokok dan hakim tidak mempunyai kewajiban untuk menjatuhkannya. 1. pencabutan hak-hak tertentu, hal ini diatur dalam pasal 35 KUHP yang berbunyi : “(1). Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam Kitab Undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah : 1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu 2. Hak memasuki angkatan bersenjata 3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum. 4. Hak menjadi penasehat (raadsman) atau pengurus menurut hukum (gerechetelijk bewindvoerder), hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas orang yang bukan anak sendiri; 5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri; 6. Hak menjalankan pencaharian (beroep) yang tertentu. (2). Hakim tidak wenang memecat seorang pejabat dari jabatannya, jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lain untuk pemecatan itu”. Lamanya pencabutan hak tersebut diserahkan kepada keputusan hakim. 2. perampasan barang-barang tertentu adalah perampasan barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang digunakan untuk melaksanakan kejahatannya. Hal ini diatur dalam pasal 39 KUHP : “(1). Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas. (2). Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran dapat juga dirampas seperti di atas, tetapi hanya dalam hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang (3). Perampasan dapat juga dilakukan terhadap orang yang bersalah yang oleh hakim diserahkan kepada Pemerintah tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita”.
3. pengumuman putusan hakim, bertujuan untuk memberitahukan kepada seluruh masyarakat agar masyarakat dapat lebih berhati-hati terhadap si terhukum dan prosedurnya diatur di dalam KUHP pasal 43, yaitu : “Apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan Kitab Undang-undang ini atau aturan-aturan umum lainnya, maka harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah itu atas biaya terpidana”.
BAB III TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF
A. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan Pembunuhan termasuk ke dalam dosa besar karena pembunuhan berarti tindakan yang membuat orang lain kehilangan nyawanya. Di dalam sejarah kehidupan umat manusia, pembunuhan pertama dilakukan oleh Qabil terhadap Habil. Keduanya adalah anak dari Nabi Adam a.s. Peristiwa tersebut dijelaskan oleh Allah di dalam Q.S Al-Maidah ayat 27-31 :
☺ ☺ ☺ ⌧
☺ ☺
⌧ ⌧
⌧
⌧
( ٢٧ -٣١ : )اﻟﻤﺎ ﺋﺪﻩ Artinya : “(27). Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa.(28). Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam.(29). Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, Maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian Itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim.(30). Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, Maka jadilah ia seorang diantara orangorang yang merugi.(31). kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. berkata Qabil: "Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" karena itu jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang menyesal”. (Q.S Al-Maidah : 27-31) Allah S.W.T melarang tindakan pembunuhan dan ini terlihat dalam beberapa firman Allah. Seperti :
⌧
⌧ ☯ ( ١٥١ : )اﻻ ﻧﻌﺎ م
Artinya : “Jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak…”. (Q.S. Al-An’am : 151) Dan juga firman Allah lainnya : ☺ ⌧ ( ٩٢ : … )اﻟﻨﺴﺎ ء Artinya : “Tidak boleh seorang mukmin membunuh orang mukmin kecuali karena tersalah…”. (Q.S An-Nisa’ : 92) Sebagai tindakan pidana yang dilakukan pertama kali antar umat manusia, Allah menetapkan hukuman yang sangat tegas, seperti yang dijelaskan pada ayat berikut: ⌧
و
☺ ☺ ( ٤٥ : )اﻟﻤﺎ ﺋﺪﻩ
☺
Artinya : “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (AtTaurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-luka pun ada qishash….”. (Q.S Al-Maidah : 45) Dilihat dari ayat di atas, selain menjelaskan tentang bagaimana tegasnya Allah menetapkan hukuman dalam tindakan pidana ini juga secara tidak langsung juga menjelaskan bahwa hukuman yang setimpal dalam tindak pidana pembunuhan tidak hanya terdapat di dalam Al-Qur’an tetapi juga terdapat pada kitab suci lainnya bahkan mungkin didalam seluruh agama di
dunia ini dan hal ini juga menyiratkan bahwa hukuman yang ditetapkan dalam tindak pidana ini yaitu qishash dianggap paling adil untuk menghargai jiwa manusia yang sudah diambil atau dihilangkan nyawanya oleh orang lain. Dalam bahasa arab, pembunuhan disebut اﻟﻘﺘﻞdari kata " "ﻗﺘﻞyang bersinonim اﻣﺎتyang artinya mematikan. Sedangkan mengenai pengertian dari pembunuhan itu sendiri, Abdul Qadir Al-Audah mengartikannya sebagai berikut :
اﻟﻘﺘﻞ هﻮﻓﻌﻞ ﻣﻦ اﻟﻌﺒﺎد ﺗﺰول ﺑﻪ اﻟﺤﻴﺎة أى أﻧﻪ إزهﺎ ق روح أ دﻣﻰ ﺑﻔﻌﻞ أ د ﻣﻰ أ ﺧﺮ Artinya : ”Pembunuhan adalah perbuatan manusia yang menghilangkan kehidupan yakni pembunuhan itu dalah menghilangkan nyawa manusia dengan sebab perbuatan manusia yang lain”.19 Pengertian pembunuhan menurut Zainuddin Ali adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dan/atau beberapa orang yang mengakibatkan seseorang dan/atau beberapa orang meninggal dunia.20 Tindak pidana pembunuhan, di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana termnasuk ke dalam kejahatan terhadap nyawa. Kejahatan terhadap nyawa (misdrijven tegen het leven) adalah berupa penyerangan terhadap nyawa orang lain.21 Pembunuhan sendiri berasal dari kata bunuh yang berarti mematikan, menghilangkan nyawa. Membunuh artinya membuat supaya mati. Pembunuh artinya orang atau alat yang membunuh dan pembunuhan berarti
19
Audah, Abd Al-Qadir, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, (Beirut : Dar Al-Kitab Al-Arabi, tanpa tahun), h. 6 20 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Sinar Grafika, 2007), h. 24 21 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa,( Jakarta, P.T RajaGrafindo Persada, 2002), h. 55.
perkara membunuh, perbuatan atau hal membunuh. Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai pembunuhan adalah perbuatan oleh siapa saja yang dengan sengaja merampas nyawa orang lain. 22 Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian pembunuhan pada dasarnya adalah suatu perbuatan seseorang yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain, terlepas dari unsur kesengajaan atau tidak.
B. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Pembunuhan Suatu perbuatan tindak pidana tidak hanya mengenai satu tindakan tetapi dapat menjdi berbagai macam jenis tergantung dari unsur-unsur yang terdapat di dalam perbuatan tersebut. Tindak pidana pembunuhan di dalam hukum pidana islam dapat dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu : 1. Pembunuhan sengaja yaitu suatu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang dengan maksud untuk menghilangkan nyawanya. Pembunuhan sengaja ini merupakan perbuatan yang haram dan Allah berfirman :
( ٣٣ : )اﻻ ﺋﺴﺮأ
22
Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, (Bandung, Alumni, 1992), h. 129.
⌧ ⌧
Artinya : “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah (membunuhnya) melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara dzalim maka sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”. (Q.S Al-Isra’ : 33) Dan bahkan Allah pun menyatakan bahwa seseorang yang membunuh orang lain sama dengan dia membunuh seluruh manusia dalam salah satu firman-Nya :
☺
☺
⌧
⌧ ☺ ⌧ ☺ ( ٣٢ : )اﻟﻤﺎ ﺋﺪﻩ Artinya :”Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil bahwa barangsiapa membunuh seorang manusia bukan karena bukan karena orang itu (membunuh) yang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa memelihara kehidupan seseorang, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya”. (Q.S Al-Maidah : 32) Nabi Muhammad S.A.W dalam haditsnya menyatakan sebagai berikut :
ﻣﻦ اﻋﺎ ن ﻋﻠﻰ ﻗﺘﻞ اﻣﺮء ﻣﺴﻠﻢ ﺑﺸﺮط آﻠﻴﻤﺔ ﻟﻘﻰ اﷲ ﻣﻜﺘﻮﺑﺎ ﺑﻴﻦ ﻋﻴﻨﻴﻪ اﻳﺲ ﻣﻦ رﺣﻤﺔ اﷲ ()رواﻩ اﻟﺒﻴﻬﻘﻰ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ
Artinya : “Barangsiapa menolong atas pembunuhan terhadap seorang muslim dengan sepatah kata, maka (di akhirat) bertemu Allah dengan dahi bertuliskan ‘Orang yang putus asa dari rahmat Allah’”. (H.R Baihaqi dari Ibn Umar). Unsur-unsur yang terdapat pada pembunuhan sengaja adalah : a. Korban adalah orang yang hidup, artinya adalah bahwa korban itu adalah manusia yang hidup ketika terjadi pembunuhan walaupun dia sedang sakit parah. Menurut Drs. H. Ahmad Wardi Muslich di dalam buku “Hukum Pidana Islam”, selain syarat bahwa korban itu hidup juga ditambahkan bahwa korban adalah orang yang mendapatkan jaminan keselamatan oleh negara artinya korban merupakan seorang warga negara yang dilindungi. b. Perbuatan si pelaku yang mengakibatkan kematian korban artinya perbuatan yang dilakukan oleh si pelakulah yang menyebabkan kematian. Hubungan antara kematian dan perbuatan seseorang ini juga harus jelas menerangkan bahwa akibat dari perbuatan seseorang tersebut adalah kematian bagi orang lain begitu juga sebaliknya dan jika kaitan diantaranya terputus maka pelaku dapat dianggap tidak dengan sengaja menbunuh dan menyebabkan penjatuhan hukuman yang berbeda. Selain itu juga berhubungan dengan alat yang digunakan. Yang dimaksud dengan alat disini adalah alat yang pada umumnya dapat mematikan sedangkan menurut Imam Malik, setiap cara atau alat yang
mengakibatkan
kematian
dianggap
sebagai
pembunuhan
jika
dilakukan dengan sengaja. c. Ada niat dari si pelaku untuk menghilangkan nyawa korban. Menurut para ulama niat memegang peranan yang sangat penting dalam pembunuhan sengaja dan karena niat itu tidak terlihat maka dapat diperkirakan niat dari si pelaku melalui alat yang digunakan. 2. Pembunuhan semi sengaja yaitu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang
tidak
dengan
maksud
membunuhnya
tetapi
malah
mengakibatkan kematian. Ada tiga unsur dalam tindak pidana pembunuhan jenis ini adalah : a. Pelaku melakukan sesuatu dalam bentuk apa pun yang mengakibatkan kematian korban. b. Ada maksud penganiayaan atau permusuhan, artinya pada dasarnya pelaku tidak berniat atau bermaksud walaupun dia menyakiti korban. c. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan pelaku dengan kematian si korban, yaitu penganiayaan yang dilakukan si pelaku telah menyebabkan kematian korban secara langsung atau merupakan sebab yang membawa kematiannya. 3. Pembunuhan karena kesalahan. Pada dasarnya, unsur-unsur yang terdapat di dalamnya adalah : a. Adanya perbuatan yang menyebabkan kematian
b. Terjadinya perbuatan karena kesalahan. Ukuran kesalahan di dalam hukum pidana Islam adalah kelalaian atau kurang hati-hati atau merasa tidak akan terjadi apa-apa. c. Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan kesalahan dengan kematian korban. Harus dapat dicari hubungan yang dapat menerangkan bahwa kematian korban akibat dari kesalahan pelaku. Dalam tindak pidana jenis ini ada tiga kemungkinan, yaitu : i. Bila si pelaku pembunuhan sengaja melakukan suatu perbuatan dengan
tanpa
maksud
melakukan
suatu
kejahatan
tetapi
mengakibatkan kematian seseorang. Kesalahan seperti ini disebut salah dalam perbuatan (error in concrito). ii. Bila si pelaku sengaja melakukan perbuatan dan mempunyai niat membunuh seseorang yang dalam persangkaannya boleh dibunuh namun ternyata orang tersebut tidak boleh dibunuh, misalnya sengaja menembak seseorang yang disangka musuh dalam peperangan tetapi ternyata adalah kawan sendiri. Kesalahan ini disebut salah dalam maksud (error in objecto). iii. Bila si pelaku tidak bermaksud melakukan kejahatan tetapi akibat kelalaiannya dapat menimbulkan kematian, seperti seseorang terjatuh dan menimpa bayi yang berada di bawahnya hingga mati. 23 Di dalam hukum pidana positif, tindak pidana pembunuhan atau kejahatan terhadap nyawa ini dikelompokkan atas 2 dasar, yaitu : atas dasar 23
A Djazuli, Op.cit, h. 123.
kesalahannya dan atas dasar objeknya (nyawa). Atas dasar kesalahannya, dapat dibagi menjadi : 1. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus misdrijven) . pembunuhan dalam bentuk sengaja ini dapat dibagi lagi menjadi 7 jenis, yaitu : a. Pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (Pasal 338) dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara. Unsur-unsurnya terdiri dari : 1). Unsur objektif
: perbuatannya adalah menghilangkan nyawa dan objeknya adalah nyawa orang lain
2). Unsur subjektif : dengan sengaja b. Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh tindak pidana lain (pasal 339) dengan ancaman penjara seumur hidup atau penjara 20 tahun. Unsur-unsur yang terdapat pada pembunuhan jenis ini adalah : 1). Semua unsur yang ada pada pembunuhan biasa dalam bentuk pokok. 2). Yang diikuti, disertai atau didahului oleh tindak pidana lain 3). Pembunuhan dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan, mempermudah pelaksanaan tindak pidana lain dan jika tertangkap tangan bertujuan untuk menghindarkan diri sendiri ataupun orang lain yang ikut terlibat atau untuk memastikan penguasaan benda yang didapatkannya dengan cara melawan hukum.
c. Pembunuhan Berencana (pasal 340) diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun. Unsur-unsurnya adalah : 1). Unsur objektif
: perbuatannya adalah menghilangkan nyawa dan objeknya adalah nyawa orang lain
2). Unsur subjektif : dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu d. Pembunuhan bayi pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan oleh ibunya. Dalam pembunuhan jenis ini dapat dibagi lagi menjadi 2 macam, yaitu pembunuhan bayi biasa atau yang tidak direncanakan dan pembunuhan bayi yang direncanakan. Pada dasarnya, unsur-unsur yang terdapat pada kedua macam pembunuhan bayi tersebut adalah sama dengan pelaku adalah ibunya, objeknya adalah nyawa bayi, motifnya adalah karena takut ketahuan dan dilakukan dengan sengaja. Hal yang membedakannya adalah pada pembunuhan bayi dengan berencana maka adanya suatu keputusan yang telah diambil sebelumnya yaitu membunuh bayi itu. e. Pembunuhan atas permintaan korban (pasal 344) diancam dengan pidana penjara 12 tahun. Unsur-unsurnya adalah : 1). Perbuatannya adalah menghilangkan nyawa 2). Objeknya adalah nyawa orang lain 3). Atas permintaan dari korban itu sendiri 4). Yang jelas dinyatakan dengan sungguh-sungguh
f. Pembunuhan berupa penganjuran atau pertolongan pada bunuh diri (pasal 345), diancam dengan pidana penjara 4 tahun kalau orang tersebut jadi bunuh diri. Unsur-unsurnya adalah : 1). Unsur objektif : perbuatannya adalah mendorong, menolong atau memberikan sarana kepada orang untuk bunuh diri dan kemudian orang tersebut jadi bunuh diri. 2). Unsur subjektif : dengan sengaja g. Pembunuhan kandungan atau pengguguran (pasal 346-349). Dilihat dari subjek hukumnya maka pembunuhan jenis ini dapat dibedakan menjadi : 1). Yang dilakukan sendiri (pasal 346) diancam penjara 4 tahun 2). Yang dilakukan oleh orang lain atas persetujuannya (pasal 347) atau tidak atas persetujuannya (pasal 348) 3). Yang dilakukan oleh orang lain yang mempunyai kualitas tertentu seperti dokter, bidan dan juru obat baik atas persetujuannya ataupun tidak. 2. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan tidak sengaja (culpose misdrijven) terdapat pada pasal 359 dengan unsur-unsur sebagai berikut : a. adanya unsur kelalaian atau culpa dalam bentuk kekurang hati-hatian. b. adanya wujud perbuatan tertentu c. adanya kematian orang lain
d. adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dan akibat kematian orang
lain.24
Sedangkan atas dasar objeknya, dapat dibedakan menjadi tiga yaitu : 1. kejahatan terhadap nyawa orang pada umumnya, dimuat pada pasal 338340 dan pasal 344-345. 2. kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan, dimuat pada pasal 341-343. 3. kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih ada di dalam kandungan Ibu atau janin, dimuat pada pasal 346-349.
C. Sanksi Tindak Pidana Pembunuhan Sanksi dari tindak pidana pembunuhan di dalam hukum pidana islam ada beberapa jenis. Garis besarnya adalah hukuman itu terdiri dari hukuman pokok, hukuman pengganti dan hukuman tambahan. Hukuman pokok pada tindak pidana pembunuhan adalah qisas. Apabila dimaafkan oleh keluarga korban, maka hukuman penggantinya adalah diyat dan jika sanksi qishash atau diyat itu dimaafkan maka akan ada hukuman takzir dan hukuman tambahan yang dimaksud adalah seperti pencabutan hak waris. Hukuman yang dijatuhkan untuk masing-masing jenis pembunuhan juga berbeda, yaitu sebagai berikut : 1. Hukuman Pembunuhan Sengaja
24
Adami Chazawi, Ibid , h. 56-126
Hukuman pokoknya adalah qisas atau balasan setimpal. Yang dimaksud dengan balasan setimpal adalah perbuatan yang mengakibatkan kematian maka balasannya juga kematian. Hal ini berdasarkan firman Allah S.W.T pada Q.S Al-Baqarah ayat 178-179 :
☺ ⌦
⌧ ☺
☺
☺ ⌧ ( ١٧٨ −١٧٩ : )اﻻ ﺑﻘﺮﻩ Artinya : “Hai orang-orang yang beriman ditetapkan atasmu qishash dalam pembunuhan, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan perempuan dengan perempuan. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, baginya siksa yang sangat pedih.(178). Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hari orang-orang yang berakal supaya kamu bertakwa.(179)”. (Q.S Al-Baqarah : 178-179) Apabila qisas tidak dilaksanakan baik karena tidak memenuhi syaratsyarat pelaksanaannya maupun mendapatkan maaf dari keluarga korban maka hukuman penggantinya adalah dengan membayar diyat berupa 100
(seratus) ekor unta kepada keluarga korban. hal ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad S.A.W kepada penduduk Yaman :
ﻂ ﻣﺆﻣﻨﺎ ﻗﺘﻼ ﻋﻦ ﺑﻴﻨﺔ ﻓﺎ ﻧﻪ ﻗﻮد اﻻ ان ﺗﺮﺿﻰ اوﻟﻴﺎء اﻟﻤﻘﺘﻮل وان ﻓﻰ اﻟﻨﻔﺲ َ ﻋ َﺘ ُﺒ ْ ﻦا ِ ن َﻣ َأ ﱠ ( اﺑﻦ ﺣﺒﺎ ن و اﺣﻤﺪ, اﺑﻦ ﺧﺰﻳﻤﻪ, اﻟﻨﺴﺎ ئ,)وراﻩ اﺑﻮدود.… اﻟﺪﻳﺔ ﻣﺎ ﺋﺔ ﻣﻦ اﻻﺑﻞ Artinya : “Sesungguhnya barangsiapa yang membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang sah dan ada saksi, ia harus diqishash kecuali apabila keluarga korban merelakan (memaafkannya) dan sesungguhnya dalam menghilangkan nyawa harus membayar diyat berupa seratus ekor unta”. (H.R Abu Daud, Al-Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Ahmad ) Walaupun sudah ada hukuman pengganti yang berbentuk diyat namun dalam pelaksanaannya diserahkan kembali kepada keluarga korban, apakah akan menuntut hukuman diyat itu atau tidak namun pelaku akan tetap dikenai hukuman tambahan atau kifarat yang merupakan hak dari Allah. Bentuk pertama dari hukuman kifarat ini adalah memerdekakan hamba sahaya dan bila tidak melakukannya maka wajib menggantinya dengan puasa dua bulan berturut-turut dan hukuman kedua dari kifarat ini adalah kehilangan hak mewarisi dari yang dibunuhnya. Sesuai dengan hadits Nabi : ()وراﻩ اﻟﻨﺴﺎ ئ و اﻟﺪارﻗﻄﻨﻰ
ﻲ ٌء ْ ﻟﻴﺲ ﻟﻠﻘﺎ ﺗﻞ ﻣﻦ اﻟﻤﻴﺮاث ﺷ
Artinya : “Si pembunuh tidak boleh mewarisi harta orang yang dibunuhnya”. (H.R An-Nasa’I dan Daruquthni) 2. Hukuman Pembunuhan Semi Sengaja
Hukuman pokoknya adalah diyat mughalladzah artinya diyat yang diperberat. Dasar dari hukuman diyat mughalladzah ini adalah :
أ ﻻ إن دﻳﺔ اﻟﺨﻄﺈ و ﺷﺒﻪ اﻟﻌﻤﺪ ﻣﺎ ﺋﺔ ﻣﻦ اﻹﺑﻞ ﻣﻨﻬﺎ أ ْر ﺑﻌﻮْن ﻓﻰ ﺑﻄﻮ ﻧﻬﺎ أوﻻدهﺎ ()أﺧﺮﺟﻪ أﺑﻮداودواﻟﻨﺴﺎ ﺋىﻮاﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ وﺻﺤﺤﻪ اﺑﻦ ﺣﺒﺎ ن Artinya :”Ingatlah, sesungguhnya diyat kekeliruan dan menyerupai sengaja yaitu pembunuhan dengan cambuk dan tongkat adalah seratus ekor unta, diantaranya empat puluh ekor yang di dalam perutnya ada anaknya (sedang bunting)”. (H.R Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban). Perbedaan antara diyat pembunuhan sengaja dengan pembunuhan semi sengaja terletak pada pembebanan dan waktu pembayaran. Pada pembunuhan
sengaja,
diyat
dipikul
oleh
pelaku
sendiri
dan
pembayarannya tunai sedangkan pada pembunuhan semi sengaja, diyat dibebankan kepada keluarga pelaku atau aqilah dan pembayarannya dapat diangsur selama tiga tahun. Hukuman kifarat terhadap pembunuhan semi sengaja adalah memerdekakan hamba sahaya dan dapat diganti dengan berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Jika hukuman diyat gugur karena adanya pengampunan maka pelaku akan dikenakan hukuman takzir yang diserahkan kepada hakim yang berwenang sesuai dengan perbuatan si pelaku. Hukuman tambahan pada pembunuhan semi sengaja sama dengan hukuman tambahan pada pembunuhan sengaja, yaitu tidak dapat mewarisi dari orang yang telah dibunuhnya. 3. Hukuman Pembunuhan karena Kesalahan
Hukuman pokok yang dijatuhkan adalah diyat mukhaffafah, yaitu diyat yang diperingan. Keringanan tersebut dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu : a. Kewajiban pembayaran dibebankan kepada aqilah (keluarga). b. Pembayaran dapat diangsur selama tiga tahun c. Komposisi diyat dibagi menjadi lima kelompok : -
20 ekor anak sapi betina, berusia 1-2 tahun
-
20 ekor sapi betina yang sudah besar
-
20 ekor sapi jantan yang sudah besar
-
20 ekor unta yang masih kecil, berusia 3-4 tahun
-
20 ekor unta yang sudah besar, berusia 4-5 tahun
Hukuman pokok lainnya adalah dengan memerdekakan hamba sahaya atau diganti dengan berpuasa dua bulan berturut-turut dan hukuman tambahan adalah tidak dapat mewarisi harta dari orang yang telah dibunuhnya walaupun pembunuhannya karena kesalahan. Sanksi dalam pembunuhan pada hukum pidana positif adalah sebagai berikut : 1. Pembunuhan Sengaja, dalam bentuk umum atau pokok diatur dalam pasal 338 KUHP : “Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. 2. Pembunuhan Berencana, diatur dalam pasal 340 KUHP : “Barangsiapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.
3. Pembunuhan Tidak dengan Sengaja. Diatur dalam pasal 359 KUHP: “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”. Di dalam hukum pidana positif, tindak pidana pembunuhan juga merupakan suatu bentuk kejahatan yang serius. Hal ini dapat dilihat dari ancaman hukuman dari ketiga bentuk tindak pidana tersebut. Pembunuhan sengaja merupakan bentuk umum, pokok atau biasa dari suatu tindak pidana pembunuhan sedangkan pembunuhan berencana, sangat terkait dengan batin dari si pelaku. Pada dasarnya, istilah direncanakan terlebih dahulu adalah suatu pengertian yang harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut : a. Pengambilan keputusan untuk berbuat atas sesuatu dilakukan pada suasana hati yang tenang. b. Dari sejak adanya keputusan atau kehendak akan berbuat sesuatu sampai pada pelaksanaan ada tenggang waktu yang cukup yang dapat dipergunakan untuk berpikir kembali. c. Dalam melaksanakan perbuatannya, dilakukan dalam suasana hati yang tenang. Artinya ketika melakukan perbuatan dalam kondisi yang tidak dipengaruhi oleh emosi dan tidak tergesa-gesa.25 Pada pembunuhan berencana ini, ancaman hukumannya lebih berat karena kembali pada niat dan kesiapan pelaku dalam melakuakan semuanya. 25
Adami Chazawi, Ibid , h. 27
Tenggang waktu yang ada merupakan suatu kesempatan bagi pelaku untuk meneruskan atau tidak dan ketika pelaku memilih untuk tetap melanjutkan maka ancaman hukumannya pun lebih berat, sedangkan pada pembunuhan tidak disengaja, terdapat unsur-unsur sebagai berikut : adanya kelalaian, adanya wujud perbuatan tertentu, mengakibatkan kematian orang lain dan adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan kematian orang lain tersebut. Hal yang paling membedakan antara pembunuhan tidak sengaja dengan dua bentuk pembunuhan lainnya adalah tidak adanya niat dari si pelaku untuk mengakibatkan matinya seseorang dan juga adanya unsur kelalaian sehingga menyebabkan ancaman hukumannya pun jauh lebih ringan daripada dua bentuk pembunuhan lainnya. Melihat penjabaran di atas maka dapat dikatakan bahwa penerapan sanksi pada hukum pidana islam bertujuan untuk memberikan keadilan bagi keluarga korban dan juga ketenangan baik untuk keluarga korban maupun masyarakat lainnya. Oleh karena itu, penjatuhan hukuman kepada pelaku pembunuhan berada di tangan keluarga atau wali korban, sebagai pihak yang paling dirugikan yang ketentuannya sudah diatur di dalam Al-Qur’an dan Hadits sedangkan walaupun tujuan umum dari sanksi di dalam hukum pidana positif adalah sebagai alat untuk membalas akan tetapi dengan ancaman pidana penjara paling lama lima belas tahun membuat tujuan tersebut tidak tercapai karena penjatuhan hukuman tersebut berada di tangan hakim yang justru, kadang keputusannya membuat keluarga korban tidak mendapatkan
keadilan sebagaimana mestinya dan kehidupan masyarakat pun menjadi terganggu.
BAB IV TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ANAK OLEH ORANG TUANYA MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF A. Anak dan Kedudukannya 1. Pengertian Anak dan Hubungan antara Orang Tua dengan Anak Anak di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia mempunyai bermacam-macam batasan. Hal ini dikarenakan, hukum positif di Indonesia melihat batasan pengelompokkan anak dari segi umur. Di dalam KUHP, seseorang tidak dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya ketika belum berumur 16 tahun, seperti yang terdapat pada pasal 45 KUHP: “Dalam menuntut orang yang belum cukup umur (minderjarig) karena melakukan perbuatan sebelum berumur enam belas tahun, hakim dapat menentukan : Memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada Pemerintah, tanpa pidana apa pun, yaitu jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut pasal 489, 490, 492, 496, 497,503, 505, 514, 517-519, 526, 531, 532, 536 dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan salah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya menjadi tetap, atau menjatuhkan pidana.” Melihat dari isi pasal di atas, KUHP menganggap bahwa seseorang yang belum berumur 16 tahun ke atas dapat disebut anak karena tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya atas tindak pidana yang dia lakukan.
Di dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, pengertian anak terdapat pada pasal 1 nomor 2 : “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”. Adanya Konvensi Hak Anak telah menghasilkan kesepakatan mengenai batas umur seorang anak ditetapkan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di dalam undang-undang tersebut, pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pengertian ini terdapat pada pasal 1, nomor 1 sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian anak pada hukum positif adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih berada di dalam kandungan. Artinya secara tidak langsung, hukum positif menaruh perhatian pada anak bahkan menghargai calon anak yang masih di dalam kandungan karena sudah sangat dianggap keberadaan hidupnya. Anak berasal dari sebuah keluarga. Keluarga adalah lembaga terkecil di dalam masyarakat dan dari sanalah seorang anak mendapatkan pendidikan untuk pertama kalinya. Pada intinya, keluarga berasal dari adanya suami dan isteri yang akhirnya memegang peranan sebagai orang tua. Kalau dikatakan di awal bahwa keluarga sebagai lembaga dimana seorang anak mendapatkan pendidikan untuk pertama kalinya maka orang tua adalah pihak yang paling utama dan bertanggung jawab dalam mengemban tugas tersebut. Hubungan antara orang tua dan anak pada
dasarnya adalah hubungan yang tidak akan pernah putus. Ini merupakan hubungan seumur hidup. Oleh karena itu, kedua pihak di dalam hubungan ini, yaitu orang tua dan anak dapat menjaga dan saling menghormati keberadaan masing-masing. Di dalam hukum pidana islam, pengelompokkan anak selain dilihat dari faktor usia juga dari cara berpikirnya. Pengelompokkan tersebut dimulai dengan melihat dari dua unsur dari pertanggungjawaban pidana, yaitu kemampuan berpikir (idrak) dan pilihan (ikhtiyar). Adanya kedua unsur inilah yang membentuk pertanggungjawaban pidana. Ketika kekuatan berpikir tidak ada pada seseorang maka tanggung jawab pidananya pun tidak ada26. Kedua unsur ini juga yang menjadi dasar dari penetapan fase-fase yang dilalui oleh manusia dari sejak lahir sampai dengan usia dewasa, yaitu : a. Fase pertama : fase tidak adanya kemampuan berpikir (idrak). Menurut para fukaha, fase ini dimulai dari sejak lahir dan berakhir pada saat usia 7 (tujuh) tahun. Pada fase, seseorang dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk berpikir dan disebut dengan anak yang belum mumayyiz walaupun pada kenyataannya, tamyiz tidak terbatas pada usia tetapi juga dipengaruhi dengan lingkungan, pengaruh keluarga dan lain-lain. Pembatasan dengan menggunakan usia 7 tahun agar bisa berlaku pada semua orang. 26
Tim Tsalisah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam II, (P.T Kharisma Ilmu, tanpa tahun), h. 255
b. Fase kedua : fase kemampuan berpikir lemah Fase ini dimulai dari usia tujuh tahun sampai pada usia baligh. Mayoritas fukaha membatasinya pada usia lima belas tahun karena seseorang pada usia itu telah dinggap dewasa walaupun belum mengetahui makna dewasa sesungguhnya. Pada fase ini, jika seorang anak yang telah mumayyiz melakukan tindak pidana maka dia tidak dapat dikenai hukuman pidana, akan tetapi dikenakan tanggung jawab ta’dibi yaitu hukuman yang bersifat mendidik. Artinya si anak tidak dapat dianggap sebagai residivis atau pengulang kejahatan jika tindak pidana tersebut dilakukannya lagi. c. Fase ketiga : fase kekuatan berpikir penuh (sempurna) Fase ini dimulai sejak si anak menginjak usia kecerdasan atau dewasa, yaitu sejak usia lima belas tahun. Pada fase ini, seseorang dapat dikenai hukuman pidana atas tindakan pidana apa pun yang telah dia lakukan dan tidak dapat diwakilkan kepada orang lain27. Dilihat dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa di dalam hukum pidana islam, pengertian anak, menurut para fukaha adalah jika seseorang belum mencapai usia lima belas tahun, akan tetapi kesepakatan ini akan berbeda ketika dihadapkan pada tindak pidana pembunuhan anak oleh orang tuanya yang akan dijelaskan pada subbab B tentang Pengertian Pembunuhan Anak.
27
Tim Tsalisah, op.cit, h. 256
Membicarakan anak, tidak lepas dari keberadaan orang tua. Hubungan diantara keduanya adalah hubungan timbal balik dan seharusnya saling menguntungkan. Hubungan antara orang tua dengan anaknya adalah hubungan yang alamiah dan berjalan dengan apa adanya. Tidak ada peraturan yang dapat mengatur bagaimana jalannya hubungan tersebut. Islam sebagai agama yang paling mulia hanya mengatur bagaimana orang tua memperlakukan anaknya begitu juga sebaliknya. Di dalam hukum positif, yaitu UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pembahasan mengenai orang tua dan anak lebih dititik beratkan kepada hak dan kewajiban. Di dalam islam, anak merupakan amanat dari hasil kerja yang terbaik sehingga setiap anak mempunyai keistimewaan tersendiri jadi orang tua tidak boleh membedakan perlakuan antara anak yang satu dengan anak lainnya dan mengasuhnya sehingga dapat menjadi manusia-manusia yang dapat dibanggakan. 2. Perlindungan Anak Banyak sekali peraturan yang mengatur tentang kepentingan anak selain dari keberadaan KUHP dari segi pidana dan KUH Perdata dari segi keperdataan. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah awalnya dimana anak dibahas pada Bab IX pasal 42-47 kemudian lahirnya Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan juga dengan Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 1988 tentang
Usaha Kesejahteraan Anak dan terakhir adalah Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Orang tua adalah pihak yang paling diwajibkan dalam menjaga dan memelihara tumbuh kembangnya anak di dalam menjalani kehidupan. Kewajiban ini juga diatur di dalam pasal 26 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang pada dasarnya, kewajiban orang tua adalah sebagai berikut : 1. Mengasihi, memelihara, mendidik dan melindungi anak 2. Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuannya, bakat dan minatnya dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia anakanak. Kesejahteraan dan perlindungan anak bukan masalah milik orang tua saja tapi juga milik semua elemen di dalam masyarakat. Di dalam UndangUndang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga dijelaskan bahwa ada kewajiban yang dibebankan kepada seluruh warga Negara dan pemerintah, yaitu sebagai berikut : 1. Bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak 2. Berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak 3. Menjamin perlindungan pemeliharaan dan kesejahteraan anak 4. Menjamin penyelenggaraan perlindungan anak
5. Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat28. Di dalam islam, anak adalah milik dan tanggung jawab dari orang tua. Hal ini dijelaskan dalam suatu hadits :
ل اﷲ ِإ ن ﻟِﻰ َﻣﺎ ﻷ َو َو َﻟﺪًا َو ِإن أَﺑِﻰ ُﻳ ِﺮ ْﻳ ُﺪ ُ ﺳ ْﻮ ُ ل ﻳَﺎ َر َ ﻞ ﻗَﺎ ًﺟ ُ ﷲ َأَن َر ِ ﻋ ْﺒ ِﺪ ا َ ﻦ ِ ﻦ ﺟَﺎ ِﺑ ِﺮ ْﺑ ْﻋ َ (و ﻣَﺎ ﻟﻚ ﻷ ﺑﻴﻚ )رواﻩ اﺑﻦ ﻣﺎ ﺟﻪ َ ﺖ َ ل َأ ْﻧ َ ح ﻣَﺎ ﻟِىﻔَﻘَﺎ ُ ﺠﺘَﺎ ْ ن َﻳ ْ َأ
Artinya :“Datang seorang laki-laki kepada Nabi S.A.W lalu berkata : “Sesungguhnya Aku mempunyai harta dan juga banyak anak tapi sesungguhnya Ayahku menghabiskan hartaku”, Nabi S.A.W menjawab : “Engkau dan hartamu adalah kepunyaan ayahmu”. (H.R Ibnu Majah) Di dalam hadits di atas, Allah menegaskan bahwa sampai kapan pun, anak adalah anak dan tetap menjadi milik orang tua. Anak merupakan hasil kerja terbaik dari orang tua sehingga Allah memperbolehkan orang tua menikmati harta dari anaknya tersebut. Walaupun anak sepenuhnya adalah milik orang tua yang diamanatkan dari Allah, orang tua tetap tidak boleh seenaknya saja menghilangkan miliknya tersebut. Allah bahkan menegaskan bahwa keberadaan anak adalah anugerah tersendiri bagi orang tua sehingga para orang tua tidak boleh berusaha menghilangkan anaknya hanya karena takut miskin hanya karena adanya anak. Allah sudah sangat menjamin keberadaan setiap anak-anak yang lahir di dunia ini sehingga tidak alasan bagi orang tua
28
Prinst, Darwan. Hukum Anak Indonesia. (P.T Citra Aditya Bakti. Bandung. 2003), h. 156
untuk tidak dapat melindungi anaknya dengan baik. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya :
⌧
⌧ ☯
⌧ ☺
⌧
⌧ ( ١٥١− ١٥٢: ) اﻻ ﻧﻤﺎ م Artinya : “(151. )Katakanlah, “Marilah kubacakan apa yang dihadapkan atas kamu oleh Tuhan-Mu, yaitu janganlah kamu mempersekutukan Dia dengan sesuatu, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anakanakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang tampak di antaranya maupun yang tersembunyi dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”. Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhan-Mu kepadmu supaya kamu memahami. (152). dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar
kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat”. (Q.S Al-An’aam : 151-152)
B. Pengertian Pembunuhan Anak oleh Orang Tuanya Menurut Prof. Wirjono Prodjodikoro dalam buku “Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia”, pembunuhan anak adalah pembunuhan oleh ibunya sendiri dari seorang anak pada waktu atau tidak lama setelah dilahirkan dan yang didorong oleh ketakutan si ibu akan diketahui bahwa ia telah melahirkan anak. Menurut Ny. Nayla Widharma S.H dalam “Kuliah Delik-delik khusus dalam KUHP” di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tanggal 01 Februari 1983 mengatakan bahwa pembunuhan anak adalah pembunuhan yang dilakukan si ibu atas pertimbangan bahwa si ibu takut diketahui bahwa ia melahirkan anak yang dilakukan pada saat atau tidak berapa lama setelah melahirkan anaknya.
Pada dasarnya pembunuhan ini dilakukan sebagai
berikut : a. Pada saat dilahirkan b. Tidak lama setelah dilahirkan Dilihat dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian dari pembunuhan anak adalah pembunuhan yang dilakukan oleh ibunya sendiri
dengan motif takut keberadaan anaknya diketahui orang lain yang dilakukan pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan. Pembunuhan anak untuk selanjutnya dibahas pada pasal 80 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan pada bahwa pembunuhan terhadap anak itu adalah hilangnya nyawa anak yang sebelumnya disertai dengan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan atau penganiayaan. Hal yang sama juga dicantumkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan di Dalam Rumah Tangga (KDRT). Ketika kematian seorang anak itu disebabkan oleh orang tuanya sendiri maka ancaman hukumannya pun diperberat pada pasal 80 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu : “Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya”. Di dalam hukum pidana islam, pembunuhan terhadap anak tercantum pada sebuah hadits sebagai berikut :
ﻋﻦ ﻣﺠﺎ هﺪ ﻗﺎ ل ﺣﺬ ف ر ﺟﻞ ا ﺑﻨﺎ ﻟﻪ ﺑﺴﻴﻒ ﻓﻘﺘﻠﻪ ﻓﺮ ﻓﻊ إﻟﻰ ﻋﻤﺮ ﻓﻘﺎ ل ﻟﻮﻵ أﻧﻲ ﺳﻤﻌﺖ ر ﺳﻮ ل ا ﷲ ﺻﻠﻰ ا ﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻳﻘﻮ ل ﻻ ﻳﻘﺎ د اﻟﻮا ﻟﺪ ﻣﻦ و ﻟﺪ ﻩ ﻟﻘﺘﻠﺘﻚ ﻗﺒﻞ أن ﺗﺒﺮ ح ()وراﻩ أﺣﻤﺪ
Artinya : “Dari Mujahid berkata : “ada seseorang yang membunuh anaknya dengan pedang, maka hal itu dilaporkan kepada Umar bin Khattab, lalu beliau berkata : “seandainya aku tidak pernah mendengar Rasulullah S.A.W bersabda bahwa seorang ayah tidak boleh dihukum qisas dengan sebab membunuh anaknya, sungguh
aku akan membunuh kamu sebelum kamu pergi (dari sini)”. (H.R Ahmad) Kata اﻟﻮ ﻟﺪdiartikan sebagai seseorang yang ada karena keberadaan orang tuanya atau terlahir dari orang tuanya atau anak kandung. Maksudnya adalah dari awal keberadaannya walaupun masih dalam bentuk gumpalan daging di dalam rahim ibunya akan tetap disebut anak karena keberadaan dia yang disebabkan oleh orang tuanya. Dari mulai dia ada di dalam rahim ibunya sampai sepanjang hidupnya maka dia akan disebut اﻟﻮ ﻟﺪdan kata ini berlaku bagi perempuan dan laki-laki. Kata اﻟﻮا ﻟﺪ, walaupun merujuk kepada bapak tapi dapat juga diartikan sebagai ibu. Pemakaian kata bapak di dalam hadits dikarenakan pada zaman Rasulullah, para bapaklah yang paling banyak membunuh anaknya.29 Melihat penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pembunuhan anak di dalam islam adalah hilangnya nyawa seorang anak (baik laki-laki ataupun perempuan dan tanpa batasan umur) yang dilakukan oleh orang tuanya (baik bapak ataupun ibu). Hadits di atas ini tidak hanya diriwayatkan oleh Ahmad tetapi juga oleh Ibnu Majah dan juga AtTirmidzi. Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi memiliki penjelasan dari Al-Munawi dan juga Imam Syafi’i mengenai kenapa orang tua tidak dikenai qisas. Menurut Al-Munawi, orang tua adalah sebab dari adanya anak maka tidak mungkin anak menjadi sebab tidak adanya orang tua sedangkan menurut Imam Syafi’i adalah bahwa dia mengetahui hadits tersebut dari 29
Manzur, Ibnu, Lisan al-Arab, (Al-Qahirah : Dar al-Hadits, 2003), Jilid 9, h. 397.
banyak ulama bahwa seorang ayah tidak boleh diqisas karena membunuh anaknya. Maka, dia juga sependapat dengan hal itu30. Keberadaan hadits ini juga diperkuat dengan adanya hadits yang menyatakan bahwa,”kamu dan hartamu adalah milik ayahmu”. Hal ini makin memperkuat posisi orang tua dalam kehidupan anaknya. Menurut beberapa ulama, alasan tentang hadits ini adalah bahwa orang tua sangat mencintai anaknya, apa pun yang dia lakukan pasti dilakukan untuk kebaikan anaknya sedangkan anaknya mencintai orang tuanya karena untuk dirinya sendiri. Namun Imam Malik tidak sependapat. Menurutnya orang tua dapat dikenai qisas karena hadits di atas ditafsirkan hanya untuk tindak pidana pembunuhan anak yang tidak disengaja. Tindakan tersebut pada awalnya yang dilakukan untuk mendidik anaknya tapi malah menyebabkan kematian. Perbedaan diantara para ulama ini terjadi dilatarbelakangi oleh salah satunya adalah kondisi sosial yang ada pada saat itu terutama perbedaan kondisi sosial antara Imam Malik dan Imam Syafi’i. Kondisi sosial pada masa Imam Syafi’i dapat dikatakan tidak separah dengan kondisi sosial pada masa Imam Malik sehingga Imam Syafi’i berpendapat bahwa sangatlah tidak mungkin orang tua dapat membunuh anaknya sendiri karena anak tersebut merupakan darah dagingnya yang amt dia dambakan dan sayangi. Tindakan pembunuhan anak oleh orang tuanya tersebut dianggap sebagai tindakan yang tidak dapat terbayangkan dan tidak mungkin terjadi.
30
CD Maktabah Syamilla
Amat berbeda dengan kondisi sosial sebelum masa Imam Syafi’i, yaitu pada masa Imam Malik. Pada masa itu, kondisinya amat parah sehingga pembunuhan anak bukn menjadi suatu hal yang langka tapi sering terjadi. Atas dasar itulah, Imam Malik berpendapat bahwa pembunuhan anak oleh orang tuanya dikenakan qisas untuk memberikan pelajaran dan efek jera kepada para orang tua agar jangan memperlakukan nyawa anaknya dengan semena-mena.
C. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pembunuhan Anak oleh Orang Tuanya Hukum pidana islam mengartikan pembunuhan anak adalah pembunuhan terhadap anak oleh orang tuanya walaupun anak itu masih berbentuk gumpalan daging, janin, balita ataupun sudah dewasa bahkan walaupun terpisahnya janin ini kadang-kadang dalam keadaan hidup dan kadang pula dalam keadaan meninggal tapi tindakan ini sudah dianggap sempurna ketika janin sudah terpisah dari ibunya. Secara umum, pembunuhan anak di dalam hukum pidana islam dapat dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Pembunuhan Anak Sengaja 2. Pembunuhan Anak Tidak Sengaja Unsur pembeda bagi kedua macam pembunuhan di atas adalah pada pembunuhan sengaja, terdapat unsur niat untuk membunuh korban sedangkan
pada pembunuhan anak tidak sengaja, tidak ada niat untuk menghilangkan nyawa tapi malah berakibat hilangnya nyawa korban. Pada dasarnya, kedua macam pembunuhan anak di atas, unsurunsurnya meliputi : 1. Hilangnya nyawa 2. Anak, artinya sejak dia terpisah dari janin ibunya sampai dewasa. 3. Pelakunya adalah orang tua kandungnya. Di
dalam pembunuhan
anak
termasuk
di
dalamnya
adalah
pengguguran kandungan atau aborsi yang menurut Abdul Qadir Al-Audah, perbuatan itu terjadi dengan tiga kemungkinan, yaitu : 1. Dengan perkataan, seperti gertakan, intimidasi yang mengakibatkan gugurnya kandungan. Sebagian para fukaha berpendapat bahwa orang yang mencaci perempuan hamil dengan cacian yang menyakitkan maka ia harus bertanggung jawab secara pidana jika caci tersebut mengakibatkan keguguran.31 2. Dengan perbuatan, seperti memukul atau memberi minum obat sehingga kandungannya menjadi gugur. 3. Dengan sikap tidak berbuat, seperti tidak memberi makan atau minum. Lebih lanjut, menurut Abdul Qadir Al-Audah tindak pidana pembunuhan atas janin ini bisa disebabkan oleh siapa pun, baik ayah, ibu ataupun orang lain walaupun begitu, pelakunya harus bertanggung jawab 31
Tim Tsalisah, Op.Cit, hal 100.
terhadap perbuatannya dan tidak ada pengaruh karena sudah ada pengaturan hukumannya. Janin-janin akan meminta pertanggungjawaban dri para pelakunya melalui Allah dan Allah akan bertanya kepada mereka, seperti dalam firman-Nya : ☺ ( ٨−٩ : )اﻟﺘﻜﻮ ﻳﺮ Artinya : “Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah ia dibunuh”. (Q.S At-Takwir : 8-9) Di dalam hukum pidana positif, tindak pidana pembunuhan anak sudah diatur di dalam KUHP dan peraturan perundang-undangan lainnya yang dapat dibagi menjadi : 1. Pembunuhan Anak Biasa (kinderdooslag) pada pasal 341 : “Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”. Dilihat dari isi pasal di atas, maka unsur-unsur yang terdapat pada tindak pidana di atas adalah : a) Dilakukan dengan sengaja, dengan penuh kesadaran dan tahu akan akibat dari perbuatannya. b) Oleh Ibu kepada anaknya c) Pada waktu sedang atau tidak lama seteah dilahirkan d) Anaknya merupakan anak kandung
e) Motifnya adalah takut akan diketahui oleh orang lain mengenai keberadaan anak tersebut. 2. Pembunuhan Anak Berencana (kindermoord) pada pasal 342 : “Seorang ibu yang, untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan ketahuan bahwa akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya, diancam karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan rencana, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”. Sedangkan pembunuhan anak terencana mempunyai unsur-unsur sebagai berikut : a) Dilakukan dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu. Indikasinya adalah adanya tenggang waktu yang cukup untuk dapat berpikir kembali. b) Oleh Ibu kepada anaknya c) Anak itu merupakan anak kandungnya sendiri d) Pada saat sedang atau tidak lama setelah dilahirkan e) Bermotif takut diketahui akan keberadaan anaknya yang baru dilahirkannya32. Pada unsur “pada saat sedang melahirkan” diartikan oleh Van Bemmelen sejak sang ibu mulai merasakan akan segera melahirkan anak sedangkan unsur “tidak lama setelah dilahirkan” diartikan oleh Noyon-
32
Nurmono Asmoro, Hendro .R, Skripsi “Suatu Tinjauan tentang Pembunuhan Anak”, (Jakarta : Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 1988), h.14.
Langemeyer adalah tenggang waktu itu berhenti ketika sang ibu mulai memutuskan untuk memelihara anaknya.33 Kedua pembunuhan di atas, diatur di dalam KUHP dan secara jelas dan tegas menyebutkan salah satu unsurnya ialah pelaku adalah ibu kandung dari anak itu sendiri. Keberadaan unsur ini juga berkaitan dengan unsur yang lain, yaitu motif dari tindakan tersebut, adalah takut ketahuan orang lain akan keberadaan anaknya yang baru dilahirkan atau tidak lama dia lahirkan. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa ketika seorang ayah yang melakukan pembunuhan tersebut maka si ayah tidak dapat dikenakan pasal 341 atau 342 tetapi diancam dengan pasal 338 (pembunuhan biasa) dan pasal 340 (pembunuhan berencana) 3. Pengguguran Kandungan atau Aborsi pada pasal 346 : “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”. Persamaan antara pembunuhan anak dan aborsi adalah harus adanya kandungan (vrucht) atau bayi (kidn) yang hidup dan yang kemudian dimatikan sehingga aborsi dimasukkan ke dalam KUHP dalam bab kejahatan terhadap nyawa. Perbedaannya antara kedua jenis pembunuhan di atas adalah bahwa di dalam pembunuhan anak, harus ada bayi yang lahir dan hidup lalu kemudian dibunuh sedangkan di dalam aborsi adalah apapun yang keluar 33
Prodjodikoro, Wirjono, Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, (Bandung : P.T Refika Aditama, 2003), h.71.
dari dalam seorang ibu adalah suatu kandungan, baik yang hidup tetapi belum menjadi bayi ataupun yang sudah dalam keadaan mati. Hal lain yang juga menjadi unsur penting di dalam aborsi adalah hal yang mendorong seorang ibu melakukannya atau motifnya tidak dipedulikan sedangkan di dalam pembunuhan anak biasa, tindakan tersebut dilatar belakangi oleh rasa ketakutan akan diketahuinya anaknya lahir34. 4. Pembunuhan Anak yang disertai atau didahului dengan kekerasan, ancaman kekerasan atau penganiayaan pada pasal 351 (3) : “Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.” Pada bentuk pembunuhan ini, dapat dilihat bahwa penganiayaan yang dilakukan pada dasarnya untuk menyakiti korban bukan untuk mengkibatkan kematian pada korban. Hal inilah yang membedakan dengan pembunuhan. Walaupun pada akhirnya keduanya mengakibatkan matinya orang lain tetapi pada pembunuhan, segala tindakan pelaku bertujuan untuk menghilangkan nyawa dari orang tersebut sedangkan pada penganiayaan, tindakan yang dilakukan oleh pelaku adalah umtuk menyakiti orang lain, tidak ditujukan pada matinya orang lain. Selain pada pasal 351 (3), pembunuhan anak yang disertai atau didahului dengan kekerasan, ancaman kekerasan atau penganiayaan juga diatur pada pasal 353 (3), yaitu dengan tambahan unsur berencana dengan ancaman hukuman sembilan tahun penjara. 34
Wirjono Prodjodikoro, Ibid, hal 72.
Selain diatur pada KUHP, tindak pidana pembunuhan anak yang disertai dengan penganiayaan ini juga diatur pada UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 80 : “(1). Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72.000.000,- (tujuh puluh dua juta rupiah). (2). Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). (3). Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). (4). Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2) dan (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya”. Melihat dari isi pasal di atas terutama ayat (3) dan ayat (4), maka unsurunsurnya adalah : a) Hilangnya nyawa b) Didahului atau disertai dengan kekejaman, kekerasan, ancaman kekerasan atau penganiayaan c) Terhadap anak, dalam hal ini adalah anak yang belum berusia 18 tahun, termasuk yang berada di dalam kandungan. d) Pelaku adalah orang tua dari anak tersebut e) Tanpa harus diketahui motif dari tindakan tersebut Dan juga pada UU No. 23 Tahun 2004 tentang KDRT, pasal 44 ayat (1), (2) dan (3) : “(1). Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud pada pasal 5 huruf a
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah). (2). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah). (3). Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah)”. Isi dari pasal 5 huruf a yang disebutkan pada pasal di atas mengenai larangan untuk melakukan kekerasan fisik terhadap orang lain di dalam lingkup rumah tangganya dan lingkup rumah tangga yang dimaksud di dalam Undang-undang ini adalah : a. Suami, isteri dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri) b. Orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang-orang yang disebutkan pada huruf a, seperti sepupu, ipar, mertua dan lain-lain c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga yang bersangkutan baik menetap ataupun tidak. Unsur-unsur yang terdapat pada UU No. 23 Tahun 2004 mengenai pembunuhan anak adalah : a. Hilangnya nyawa b. Didahului atau disertai dengan kekerasan atau penganiayaan c. Korban adalah orang yang termasuk dalam lingkup rumah tangga (termasuk di dalamnya adalah anak) d. Pelaku adalah orang yang juga termasuk ke dalam lingkup rumah tangga
e. Tanpa harus diketahui motif dari tindakan tersebut. Persamaan antara UU No. 23 Tahun 2002 Perlindungan Anak dengan UU No. 23 Tahun 2004 adalah : a. Tindakan kekejaman yang dilakukan merupakan suatu kesengajaan. b. Sebelum mengakibatkan matinya korban didahului dengan adanya kekerasan atau penganiayaan. c. Motif tidak berpengaruh dalam penetapan hukuman. Sedangkan perbedaan diantara kedua undang-undang di atas adalah : a. Pada UU No. 23 Tahun 2002 Perlindungan Anak, korbannya dengan sangat jelas disebutkan yaitu anak sedangkan UU KDRT korban adalah orang-orang yang masuk dalam lingkup rumah tangga, dimana anak adalah salah satu bagiannya. b. Pada UU Perlindungan Anak disebutkan jika pelakunya adalah orang tua dari anak maka hukuman yang diancamkan akan ditambah sepertiga sedangkan di dalam UU KDRT, tidak ada ancaman pemberatan hukuman bagi orang tua yang telah mengakibatkan matinya sang anak. Jadi, dapat disimpulkan bahwa walaupun KUHP sudah mengatur secara khusus mengenai pembunuhan yang disertai atau didahului dengan penganiayaan, akan tetapi dengan adanya azas lex posteriori derogat lex priori (peraturan hukum yang baru mengalahkan peraturan hukum yang lama) dan juga azas lex specialis derogat lex generalis (peraturan hukum yang khusus mengalahkan peraturan hukum yang umum) maka UU Perlindungan
Anak lah yang berlaku terhadap pembunuhan yang disertai atau didahului oleh penganiayaan ini tetapi hal ini tidak berlaku jika kita kaitkan dengan keberadaan UU KDRT yang lahir pada tahun 2004. Azas yang berlaku diantara kedua peraturan tersebut adalah azas lex specialis derogat lex generalis karena walaupun UU Perlindungan Anak lebih dulu ada daripada UU KDRT, akan tetapi UU Perlindungan Anak memiliki pasal-pasal yang bersifat khusus sehingga tidak bisa semua pasal pada UU tersebut diterapkan dengan UU KDRT. Kekhususan tersebut terletak pada pasal-pasal yang secara rinci dan tegas mengatur tentang pembunuhan anak oleh orang tuanya. Pada UU Perlindungan Anak, ancaman hukumannya adalah diperberat sepertiga dari hukuman semula yaitu : sepuluh tahun dan/atau denda seratus juta rupiah dan juga ancaman hukuman yang mengandung tiga pilihan, yaitu pidana penjara, pidana denda atau bahkan kedua-duanya, menegaskan betapa kejam dan jahatnya orang tua yang tega menyakiti anaknya sampai si anak kehilangan nyawanya sedangkan di dalam UU KDRT membahas tindak pidana yang terjadi antar lingkup keluarga tanpa ada pemberatan jika pelakunya adalah orang tua dari si anak.
D. Sanksi Tindak Pidana Pembunuhan Anak oleh Orang Tuanya Tidak seperti tindak pidana pembunuhan biasa yang hukumannya adalah qisas, menurut Imam Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hambal, di dalam tindak pidana pembunuhan anak oleh orang tuanya,
hukuman qisas tidak berlaku, akan tetapi diganti dengan diyat atau pembayaran wajib yang disebut dengan gurrah yang artinya mengganti dengan budak laki-laki atau perempuan. Gurrah secara bahasa artinya adalah pilihan. Dengan kata lain, diyat dapat dibayar dengan budak laki-laki atau perempuan. Penetapan diyat ini berdasarkan pada suatu hadits yang diriwayatkan oleh Umar ra, pada saat dia bertanya tentang perempuanperempuan yang keguguran.
وﻷ ﺻﻞ ﻓﻰ اﻟﻐﺮﻩ ﻣﺎ روى ﻋﻦ ﻋﻤﺮ رﺿﻰ اﷲ ﻋﻨﻪ أﻧﻪ اﺳﺘﺸﺎ ر اﻟﻨﺎ س ﻓﻰ أﻣﻼ ص اﻟﻤﺮأة ﻓﻘﺎ ل اﻟﻤﻐﻴﺮة ﺑﻦ ﺷﻌﺒﺔ ﺷﻬﺪ ت اﻟﻨﺒﻰ ﺻﻞ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻗﻀﻰ ﻓﻴﻪ ﺑﻐﺮة ﻋﺒﺪ أو و ﻋﻦ أ ﺑﻰ هﺮﻳﺮة رﺿﻰ اﷲ,أﻣﺔ ﻓﻘﺎل ﻟﺘﺄ ﺗﻴﻦ ﺑﻤﻦ ﻳﺸﻬﺪ ﻣﻌﻚ ﻓﺸﻬﺪ ﻟﻪ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻣﺴﻠﻤﺔ ا ﻗﺘﺘﻠﺖ أﻣﺮأﺗﺎ ن ﻣﻦ هﺬ ﻳﻞ ﻓﺮ ﻣﺖ إ ﺣﺪا هﻤﺎ اﻷ ﺧﺮى ﺑﺤﺠﺮ ﻓﻘﺘﻠﺘﻬﺎ و ﻣﺎ ﻓﻰ: ﻋﻨﻪ ﻗﺎل ﻓﺎﺧﺘﺼﻤﻮا إﻟﻰ ر ﺳﻮ ل اﷲ ﺻﻞ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻓﻘﻀﻰ اﻟﺮ ﺳﻮ ل أن دﻳﺔ ﺟﻨﻴﻨﻬﺎ ﻋﺒﺪ,ﺑﻄﻬﺎ و ﻗﻀﻰ ﺑﺪ ﻳﺔ اﻟﻤﺮأ ة ﻋﻠﻰ ﻋﺎ ﻗﻠﺘﻬﺎ و و رﺛﻬﺎ و ﻟﺪ هﺎ و ﻣﻦ ﻣﻌﻬﻢ,أ و أﻣﺔ Artinya : Gurrah berasal dari riwayat Umar ra bahwa dia meminta pendapat orang –orang tentang perempuan yang keguguran. Mughirah bin Syu’bah berkata, ”Aku melihat Rasulullah menghukumi dengan budak laki-laki atau perempuan”. Umar ra lalu berkata, “Datangkanlah orang yang menyaksikan bersamamu”. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian. Abu Hurairah ra berkata, “Dua orang perempuan dari Bani Hudzail saling berusaha membunuh. Salah satunya melempar yang lain dengan batu. Akhirnya wanita tersebut mati bersama bayi yang ad adi dalam perutnya”. Sahabat mengadukan masalah ini kepada Rasulullah SAW dan memutuskan bahwa diat untuk janin adalah budak lakilaki atau perempuan sedangkan diat ibunya wajib atas keluarga pelaku yang akan diwarisi anaknya dan orang yang bersama mereka”.35
35
Audah, Abd Al-Qadir, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, (Beirut : Dar Al-Kitab Al-Arabi, tanpa tahun), h. 299.
Sesuai dengan perkembangan zaman yang telah meniadakan perbudakkan maka para fukaha bersepakat menentukan bentuk lain dari diyat ini adalah lima unta untuk satu budak. Pada diat janin laki-laki, para fukaha menentukan seperdua puluh diyat penuh dan diyat janin perempuan sepersepuluh diyat ibu. Jika diyat perempuan setengah dari diyat laki-laki, hasilnya diyat janin perempuan sama dengan seperduapuluh diyat penuh. Pembayaran diyat ini, menurut jumhur ulama merupakan pembayaran wajib atas tindak pidana disengaja ataupun tidak disengaja. Dalam tindak pidana disengaja maka hukumannya diperberat dengan pembayaran diyat menggunakan harta dari pelaku, tanpa dibantu oleh orang lain sedangkan pada tindak pidana tidak disengaja, maka pembayaran dapat ditanggung atau dibantu oleh keluarga pelaku sedangkan menurut Imam Malik, hukuman qisas tetap berlaku bagi pembunuhan anak oleh orang tuanya secara sengaja dan pada pembunuhan anak tidak sengaja, maka orang tua akan dikenai diat mughallazah atau diat yang diperberat karena pada dasarnya bertujuan untuk mendidik atau memberikan pelajaran tetapi malah mengakibatkan kematian bagi si anak36. Pembayaran gurrah ini pada dasarnya diatur pada tindak pidana pembunuhan atas janin atau aborsi tetapi jika melihat dari hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad beserta penjelasan arti kata Ibnu Manzur maka dapat disimpulkan bahwa diyat gurrah ini tidak hanya berlaku pada tindak 36
H.A Djazuli, Op.cit, hal 137.
pidana pembunuhan janin atau aborsi tetapi juga atas tindak pidana pembunuhan anak secara umum akan tetapi, terlepas dari pembunuhan sengaja atau tidak, tapi tetap dia tidak akan mendapatkan warisan dari yang telah dibunuhnya37. Hal ini sesuai dengan hadits :
()وراﻩ اﻟﻨﺴﺎ ئ و اﻟﺪارﻗﻄﻨﻰ
ﻲ ٌء ْ ﻟﻴﺲ ﻟﻠﻘﺎ ﺗﻞ ﻣﻦ اﻟﻤﻴﺮاث ﺷ
Artinya : “Si pembunuh tidak boleh mewarisi harta orang yang dibunuhnya”. (H.R An-Nasa’I dan Daruquthni) Pada hukum pidana positif, dengan adanya bentuk-bentuk dari tindakan pembunuhan anak ini menyebabkan adanya ancaman hukuman yang berbeda-beda pada tiap bentuknya, yaitu : 1. Pembunuhan Anak Biasa (pasal 341 KUHP) dan Berencana (pasal 342 KUHP), masing-masing diancam dengan pidana penjara tujuh tahun dan sembilan tahun. Pasal ini hanya dikenakan pada ibu sebagai pelakunya dengan motif takut akan diketahui oleh orang lain tentang keberadaan anaknya dan jika pelakunya adalah ayahnya maka pasal yang akan dikenakan adalah pasal pembunuhan biasa (pasal 338 KUHP) atau berencana (pasal 340) dengan ancaman hukuman masing-masing pidana penjara lima belas tahun dan pidana penjara seumur hidup atau dua puluh tahun penjara. 2. Pengguguran kandungan atau aborsi, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Ancaman hukumnnya ringan dibandingkan 37
Al-Zuhayly, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islamiy wal Adillatuhu, (Dar Al-Fikr), h. 261
dengan bentuk pembunuhan biasa karena pada pembunuhan biasa unsur yang paling utama adalah membunuh anak yang keluar dalam keadaan hidup. 3. Pembunuhan anak yang disertai atau didahuui dengan penganiayaan atau kekerasan, pada KUHP diancam dengan tujuh tahun penjara dan sembilan tahun pada berencana. Selain itu, KUHP juga mengkhususkan tindakan tersebut dengan unsur pelaku dengan diperberat sepertiga ketika pelakunya adalah orang tuanya sendiri seperti yang telah diatur pada pasal 356 : “Pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga : Ke-1 bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya menurut undang-undang, istrinya atau anaknya……” Pendasaran atas pasal 356 adalah : a. Bahwa
sebagai
pencegahan
khusus
terhadap
dilakukannya
penganiayaan terhadap anggota keluarga. b. Bertujuan untuk melindungi kerukunan keluarga dari gangguan sesame anggota keluarga c. Terhadap sesama anggota keluarga sepatutnya saling menghormati dan menjaga satu sama lainnya. Sehingga hal di atas menunjukkan bahwa ketika orang tua yang seharusnya melindungi anaknya ternyata malah menyakiti anaknya maka itu merupakan tindakan yang sangat kejam sehingga orang tua harus diperberat hukumannya daripada orang lain yang melakukannya. Selain dengan KUHP, juga diatur secara khusus pada Undang-Undang Nomor 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana penjara sepuluh tahun dan/atau Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan diperberat sepertiga dari hukuman semula jika pelakunya adalah orang tua dari si anak. Jadi dapat disimpulkan bahwa dari mulai bentuk sampai pada ancaman hukuman pada pembunuhan anak di dalam hukum pidana islam, ada perbedaan pendapat diantara para ulama. Para jumhur ulama yang berpendapat bahwa orang tua tidak dapat dikenakan qisas baik disengaja ataupun tidak akan tetapi diganti dengan diyat sedangkan menurut Imam Malik, qisas tetap diberlakukan pada pembunuhan anak sengaja oleh orang tuanya dan diyat diberlakukan pada pembunuhan anak tidak sengaja. Jika melihat relevansinya dengan kondisi pada zaman sekarang ini, dimana pembunuhan terhadap anak kandungnya sendiri bukanlah sesuatu yang tidak mungkin bahkan hamper menjadi sesuatu hal yang biasa maka Penulis sendiri lebih cenderung pada pendapat Imam Malik dengan alasan walaupun anak adalah milik orang tua akan tetapi mengambil nyawa seseorang tidak dapat dibenarkan karena bagaimanapun anak pada dasarnya adalah individu yang mempunyai hak untuk hidup dengan penuh perlindungan bersama dengan orang-orang yang dia percayai, yaitu kedua orang tuanya. selain itu, jika orang lain tanpa ada hubungan darah sekalipun mendapat ancaman qisas jika membunuh orang lain apalagi orang tua yang seharusnya menjaga anaknya tapi malah membunuh anaknya sedangkan pada hukum pidana positif, hukum yang berlaku terhadap pembunuhan anak ini
makin lama makin khusus. Hal ini menandakan bahwa hukum pidana positif juga menaruh perhatian dan perlindungan terhadap pembunuhan anak oleh orang tuanya.
E. Analisis Perbandingan 1. Persamaan Antara Hukun Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif Pada dasarnya, tujuan dari keberadaan hukum pidana islam dan hukum pidana positif adalah memberikan kedamaian dan keamanan serta melindungi kepentingan masyarakat. Penerapan hukuman pada hukum pidana islam dan hukum pidana positif adalah dengan tujuan agar dapat mengendalikan situasi dan masyarakat serta untuk menimbulkan rasa kesadaran bagi para pelakunya agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Persamaan ketiga adalah hukum pidana islam dan hukum pidana positif sama-sama menaruh perhatian yang cukup besar mengenai kejahatan terhadap nyawa atau yang dapat kita sebut dengan tindak pidana pembunuhan. Hukum pidana islam mengatur dan membahasnya dengan sangat rinci sekali dari mulai macam, unsur sampai kepada hukumannya. Begitu juga dengan hukum pidana positif. Di dalam KUHP pada Bab XIX Tentang Kejahatan Terhadap Nyawa, ada 13 pasal yang membahas
mengenai kejahatan ini dan lebih khusus lagi, keduanya juga mengatur tentang pembunuhan anak dengan cukup rinci.
2. Perbedaan Antara Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif Perbedaan antara hukum pidana islam dan hukum pidana positif antara lain dalam tinjauan umum dari tindak pidana pembunuhan. Di dalam hukum pidana islam, tindak pidana tersebut dibahas secara rinci dan secara tersirat sangat mencerminkan keadilan dan ketegasan dalam upaya penerapannya dengan hukuman utamanya adalah qisas atau balasan yang setimpal dengan apa yang telah dia perbuat kepada orang lain. Jika dibandingkan dengan hukum pidana positif, dapat dikatakan bahwa hukum pidana positif kurang dalam menerapkan patokan hukuman atas tindak pidana pembunuhan. Hukuman utamanya saja hanya diancam dengan pidana penjara 15 (lima belas) tahun penjara. Perbedaan berikutnya adalah pada pokok pembahasan skripsi ini yaitu pembunuhan anak oleh orang tuanya. Di dalam hukum pidana islam sendir pun masih ada perbedaan pendapat antar para ulama, para jumhur ulama berpendapat bahwa tidak ada qisas bagi pembunuhan anak oleh orang tuanya sedangkan pendapat yang sangat berbeda adalah pendapat Imam Malik yang mengatakan bahwa peniadaan hukuman qisas bagi orang tua itu hanya pada pembunuhan tidak sengaja dengan tujuan awal adalah untuk mendidik atau memberikan pelajaran, yaitu dengan diyat
mughallazah sedangkan untuk pembunuhan sengaja, orang tua tetap dikenakan qisas sehingga unsur keadilan tetap terjaga. Di dalam hukum pidana positif, pembunuhan anak sudah diatur di dalam KUHP sampai pada Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Semua peraturan tersebut lebih banyak membahas tentang penganiayaan orang tua terhadap anaknya daripada pembunuhan anak, hal ini dapat diartikan bahwa tidak ada satu pun orang tua di dunia ini yang benar-benar ingin membunuh anaknya. Penganiayaan yang terjadi terhadap anak dapat dikarenakan berbagai hal, seperti upaya orang tua untuk mendidik, pelampiasan amarah tuntutan ekonomi dan lain-lain. Mengenai sanksi hukuman yang diterapkan pada pembunuhan anak dengan adanya pemberatan terhadap pembunuhan anak yang dilakukan oleh orang tuanya menegaskan bahwa adalah kewajiban orang tua untuk menjaga dan melindungi anaknya dan akan sangat jahat dan kejam ketika kewajiban itu malah menyebabkan seorang anak kehilangan nyawanya walaupun pemberatan itu pun dirasa masih kurang adil bagi anak-anak yang kehilangan nyawa di tangan orang tua kandungnya sendiri.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan yang telah dilakukan terhadap permasalahan yang diangkat di dalam skripsi ini, maka penulis telah mengambil beberapa kesimpulan, yaitu : 1. Hal yang paling membedakan diantara kedua tinjauan hukum, yaitu hukum pidana islam dan hukum pidana positif adalah pengertian anak jika dihubungkan dengan pembunuhan anak. Di dalam hukum pidana islam, walaupun mengenal pembatasan usia pada anak-anak akan tetapi jika ditarik pada hadits tentang pembunuhan anak maka pembatasan anak tersebut menjadi hilang. Hal ini dikarenakan pada pengertian anak pada hadits tersebut adalah dari mulai terpisah dari janin ibunya sampai sepanjang hidupnya. Sedangkan di dalam di dalam hukum pidana positif anak adalah yang belum berusia 18 tahun bahkan termasuk yang masih
dalam kandungan jadi dapat dikatakan bahwa pembahasan pembunuhan anak pada hukum pidana islam lebih menyeluruh daripada hukum pidana positif yang terbatas sampai pada usia delapan belas tahun. 2. Bentuk-bentuk pembunuhan anak pada hukum pidana islam, menurut jumhur ulama ada dua, yaitu pembunuhan anak sengaja dan tidak sengaja, yang unsur pembedanya terletak pada niatan pelaku sedangkan pada hukum pidana positif, bentuk-bentuk pembunuhan anak oleh orang tuanya ada 4, yaitu : pembunuhan anak biasa, pembunuhan anak berencana, aborsi dan pembunuhan yang didahului atau disertai penganiayaan atau kekerasan dan pembedanya terletak pada unsur pelaku, niatan pelaku atau bahkan motif dari pelaku. 3. Perbandingan diantara hukum pidana islam dan hukum pidana positif terletak pada sanksi atas pembunuhan anak oleh orang tuanya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa jumhur ulama berpendapat orang tua yang membunuh anaknya tidak dikenakan qisas akan tetapi akan diganti dengan diyat gurrah, yaitu pembayaran dengan lima ekor unta untuk satu anak dan pemberatannya terletak pada pihak yang menanggung diyat tersebut. Pada pembunuhan sengaja maka akan dikenakan diyat mughallazah (diyat yang diperberat), diyat tersebut hanya boleh ditanggung oleh pelaku sendiri sedangkan pada pembunuhan tidak sengaja, diyatnya adalah mukhafaffah (diyat yang diperingan), diyat tersebut boleh ditanggung bersama antar pelaku dan keluarganya.
Menurut Imam Malik, pembunuhan sengaja tetap dikenakan qisas sedangkan pembunuhan tidak sengaja dikenakan
diyat mughallazah.
Penulis lebih memilih pendapat Imam Malik dengan alasan walaupun anak adalah milik orang tua tapi tidak ada satu pembenaran pun bagi orang tua sekalipun untuk dapat mencabut nyawa anaknya jadi orang tua tetap dikenakan qisas terhadap anaknya kecuali dalam hal pembunuhan tidak sengaja yang pada awalnya bertujuan untuk mendidik anak. Pada hukum pidana positif dengan adanya bentuk-bentuk pada tindak pidana tersebut sehingga menghasilkan sanksi yang berbeda-beda, yaitu : a) Pembunuhan anak biasa diancam dengan 7 tahun penjara b) Pembunuhan anak berencana dengan ancaman 9 tahun penjara c) Aborsi dengan 4 tahun penjara d) Pembunuhan yang didahului penganiayaan dengan 10 tahun penjara dan/atau denda Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) ditambah sepertiganya dari hukuman tersebut jika pelakunya adalah orang tuanya sendiri. Kesimpulannya adalah dengan mengambil pendapat Imam Malik dan membandingkannya dengan hukum pidana positif maka dapat dikatakan peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana pembunuhan anak oleh orang tuanya pada hukum pidana islam lebih adil dibandingkan dengan peraturan yang mengatur tentang tindak pidana pembunuhan anak oleh orang tuanya pada hukum pidana positif yang ancaman hukuman yang
paling beratnya adalah kurang lebih tiga belas tahun penjara dan/atau seratus tiga puluh juta rupiah. Berikut adalah skema dari kesimpulan dari pembahasan skripsi ini : No. 1.
Hukum Pidana Islam Pengertian
Hukum Pidana Positif
Pembunuhan anak oleh Pembunuhan anak oleh orang orang tuanya (arti anak : tuanya (arti anak : anak yang kedudukan seseorang dan belum tidak dibatasi oleh usia)
berusia
18
tahun
termasuk yang berada di dalam kandungan)
2.
Bentuk-Bentuk
a. Pembunuhan Sengaja
a. Pembunuhan Anak Biasa
b. Pembunuhan
b. Pembunuhan
Tidak
Sengaja
Anak
Berencana c. Aborsi d. Pembunuhan Anak yang Disertai/didahului dengan penganiayaan
3.
Sanksi
Menurut Jumhur Ulama a. Pembunuhan Sengaja :
(Diyat
Gurrah
b. Pembunuhan :
Tidak Gurrah
(Diyat Mukhafaffah) Menurut Imam Malik : a. Pembunuhan Sengaja : Qisas berlaku b. Pembunuhan Sengaja
:
: 7 tahun penjara (Ps. 341) b. Pembunuhan Berencana
Mughallazah) Sengaja
a. Pembunuhan Anak Biasa Anak :
9
tahun
penjara (Ps. 342) c. Aborsi : 4 tahun penjara (Ps. 346) d. Pembunuhan Anak yang Disertai/didahului dengan penganiayaan : 7 tahun
Tidak Gurrah
ditambah
pemberatan
sepertiga dari ancaman
(Diyat Mughallazah)
awal.(Ps. 351) UU No. 23 tahun 2002 Perlindungan Anak, Ps. 80 (3)
:
10
tahun
penjara
denda
Rp.
dan/atau 200.000.000,Diperberat
sepertiga,
jika
pelaku orang tuanya (Ps. 80 ayat 4)
B. Saran-saran 1. Kepada pemerintah, diharapkan perhatiannya untuk tindak pidana pembunuhan ini karena ini merupakan gambaran sudah betapa rusaknya dan susahnya kehidupan rakyatnya sehingga banyak orang tua yang membunuh anaknya hanya karena masalah sepele ataupun karena terhimpit masalah ekonomi. 2. Untuk para aparat hukum di Indonesia, dengan banyaknya peraturan yang mengatur tentang pembunuhan anak oleh orang tuanya seharusnya dapat memudahkan para aparat hukum untuk menjerat pelakunya dan tidak perlu dijerat dengan pasal-pasal pidana umum karena dalam tindak pidana ini sudah ada undang-undang khususnya. 3. Kepada para hakim, jaksa dan pengacara hendaknya lebih teliti lagi dalam memeriksa kasus-kasus yang berhubungan dengan pembunuhan anak.
Hanya karena pelaku adalah orang tuanya sendiri, jangan selalu dikaitkan dengan kondisi kejiwaan karena pada dasarnya manusia dalam hidup selalu mempunyai kesadaran untuk memilih jalan hidupnya. Para hakim juga harus berani untuk menyatakan bahwa ada kalanya masalah kejiwaan tidak ada hubungannya dengan tindak pidana ini. 4. Kepada seluruh elemen masyarakat, hendaknya lebih peka lagi dan saling menolong terhadap sesama guna menghindari tindak pidana pembunuhan anak oleh orang tuanya ini. Perkuat rasa solidaritas dan pembinaan agama di dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul Karim. Al-Husaini, Al-Imam Taqiyyudin Abu Bakar, Kifayatul Akhyar Jilid III, Surabaya : P.T Bina Ilmu, 1997. Al-Minawi, Kawter, The Child Rights in Islam, Riyadh : Safir Press, 1992. Al-Zuhayly, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islamiy wal Adillatuhu, Dar Al-Fikr, tanpa tahun. Ahmad Al-Barry, Zakariya, Hukum Anak-Anak dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1977. Ali, Zainuddin, Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2007. Alwi Al-Maliky, Muhammad, Rumah Tangga Muslim, Semarang : Mujahidin, 1981. Audah, Abd Al-Qadir, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Beirut : Dar Al-Kitab AlArabi, tanpa tahun. Chazawi, Adami, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Jakarta : P.T Raja Grafindo Persada, 2002, Cet II.
CD Maktabah Syamilla. Djazuli, H.A, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Jakarta : P.T Raja Grafindo Persada, 1997. Do’I, A. Rahman. I, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), Jakarta : P.T Raja Grafindo Persada, 2002. Gosita, Arief, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta : Akademika Press Indo, 1985. Hadikusuma, Hilman, Bahasa Hukum Indonesia, Bandung : Alumni, 1992. Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 2004, Cet ke 4. Hanafi, Ahmad, M.A, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : PT. Bulan Bintang, 2005, Cet ke 5. Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata hukum Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1986, Cet ke 3. Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana, kumpulan kuliah, Jakarta : Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun. Lamintang, P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung : P.T Citra Aditya Bakti, 1997. Jaya Bakri, Asafri, Konsep Maqasidu Syari’ah Menurut Al-Syatibi, Jakarta : P.T Raja Grafindo Persada, 1996. Joni,Muhammad, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung : P.T Citra Aditya Bakti, 1999. Manzur, Ibnu, Lisan al-Arab, al-Qahirah : Dar al-Hadits, 2003, Jilid 9. Moeljatno, Prof, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Pustaka Cipta, 2002. Muhyidin, Muhammad, Bijak Mendidik Anak dan Cerdas Memahami Orang Tua, Jakarta : P.T Lentera Basritama, 2003. Mulyadi, Lilik, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Viktimologi, Jakarta : Djambatan, 2007, Cet 2. Prinst, Darwan, Hukum Anak Indonesia, Bandung : P.T Citra Aditya Bakti, 2003.
Prodjodikoro, Wirjono, Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung : P.T Refika Aditama, 2003. Setiardja, Gunawan, Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Yogyakarta : Kanisius, 1990. Setyowati Soemitro, Irma, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Jakarta : Bumi Aksara,1990. Sianturi, S.R, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni Ahaem Petehaem, 1996. Siregar, Bismar, Hukum dan Hak-Hak Anak, Jakarta : C.V Rajawali, 1985. Soeroso, R, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2006, Cet 8. Soetodjo, Wagiati, Hukum Pidana Anak, Bandung : P.T Refika Aditama, 2006. Sudarsono, Prof, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta : P.T Rineka Cipta, 1991. Sulistiani, Lies. dkk, Laporan Penelitian “Implementasi Konvensi Hak Anak dalam Hukum Positif Indonesia”, Bandung : Pusat Penelitian Perkembangan Hukum dan Dinamika Sosial Lembaga Penelitian Unversitas Padjajaran, 2002. Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : P.T RajaGrafindo Persada, 2006. Suma, Muhammad Amin. dkk. Pidana Islam di Indonesia Peluang, Prospek dan Tantangan, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2001, Cet. I. Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta : Prenada Media, 2003. TM, Fuaduddin, Pengasuhan Anak dalam Keluarga Islam, Jakarta : Lembaga Kajian Agama dan Jender dan Perserikatan Solidaritas Perempuan dan The Asia Foundation,1999. Tsalisah, Tim, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam II dan IV, P.T Kharisma Ilmu, tanpa tahun. Ulfah Anshor, Maria, Fikih Aborsi : Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan, Jakarta : Buku Kompas, 2006. Wardi Muslich, Ahmad, Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2005. Zuhri, Minan, Kitab Syari’at Islam (Bahasa Indonesia), Kudus : Menara Kudus, 1985.
Ihsan, Muhammad, Skripsi “Tindakan Kriminalitas Anak dalam Melakukan Kejahatan Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam”, Jakarta : Fakultas Syari’ah dan Hukum. Universitas Islam Negeri, 2005. Uluwan, Ahmad, Skripsi “Tindak Pidana Pembunuhan yang dilakukan oleh Anak di Bawah Umur dalam Perspektif Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif”, Jakarta : Fakultas Syari’ah dan Hukum. Universitas Islam Negeri, 2004. Wahyudi, Dodi, Skripsi “Pembunuhan Massal Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif, Jakarta : Fakultas Syari’ah dan Hukum. Unversitas Islam Negeri, 2004. Yuliati, Roswita, Skripsi “Analisa Hukum Islam Tentang Hukuman Seumur Hidup Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan”, Jakarta : Fakultas Syari’ah dan Hukum. Unversitas Islam Negeri, 2005. http://www.faqihzamanih.net/buletin_16.htm, Tanwirul Afkar, “Orang Tua Biadab…! Jangan Bunuh Anakmu”. Diakses pada tanggal 11 Januari 2008, Jam 01.00 WIB. http://kompas.com/kompas-cetak/0310/09/metro/613973.htm. Kompas, “Media Menjadi Model Kekerasan Terhadap Anak”. Diakses pada tanggal 9 November 2007. http://www.suaramerdeka.com/harian/0505/10/slo24.htm. Suara Merdeka, “Pembunuhan Anak Tiri Direkonstruksi”. Diakses pada tanggal 5 Januari 2008, Jam 01.29 WIB. http://www.suaramerdeka.com/harian/0407/15/pan02.htm. Suara Merdeka, “Urun Rembug, Kejahatan yang Menimpa Anak” oleh Hamidah Abdurrahman. Diakses pada tanggal 9 November 2007. Jam 01.19 WIB. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak.