35
Tindak Pidana Korupsi Prof. Dr. H. Abdul Latif, S.H., M.H.
A. Pengantar Tema sentral (legal issue) di atas dirumuskan upaya untuk dapat memenuhi harapan Panitia Penyelenggara Kegiatan Pelatihan Tematik “HUKUM PIDANA KHUSUS” bagi Hakim Tinggi yang diselenggarakan di Medan pada tanggal 12 September 2012 . Salah satu tematik “Hukum Pidana Khusus” yang menjadi pokok bahasan dalam pelatihan ini adalah tindak pidana korupsi. Permasalahan materi muatan tindak pidana korupsi memang begitu luas dan problematik hukumnya yang sangat kompleks, oleh karena itu Penulis akan membatasi diri pada sub pokok pembahasan sesuai ketentuan panitia dalam kerangka acuan kegiatan pelatihan yaitu berkaitan dengan undang-undang tentang pengadaan barang dan jasa, posisi bawahan-atasan dalam pelaksanaan DIPA, asset recovery, dan pembuktian terbalik. Sub pokok bahasan tersebut akan diuraikan secara runtut dan sistimatik dalam makalah ini sebagai bahan pengantar dalam diskusi pelatihan tersebut. B. Undang-Undang Pengadaan Barang/ Jasa Perundang-undangan Pengadaan Barang/Jasa diatur dengan tujuan antara lain untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan keuangan negara yang dibelanjakan melalui proses pengadaan barang/jasa pemerintah, karena PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
36
itu diperlukan upaya untuk menerapkan prinsip efisiensi dan efektifitas, transparansi dan keterbukaan, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel serta prinsip persaingan atau kompetisi yang sehat dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah yang dibiayai APBN/APBD, sehingga diperoleh barang/jasa yang terjangkau dan berkualitas serta dapat dipertanggung-jawabkan baik dari segi fisik, keuangan, maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan masyarakat (Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 5 Perpres No.54 / 2010). Hubungan pengadaan barang dan jasa sangat terkait dengan pengelolaan keuangan negara yang diatur dalam UU RI No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa Presiden (Kepala Pemerintahan) memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara, sebagai bagian dari kekuasaan pemerintah. Pengelolaan keuangan negara ini dikuasakan kepada Menteri atau pemimpin lembaga yang menggunakan anggaran negara, serta kepala pemerintahan daerah. Sehubungan dengan hal tersebut, peraturanperundang-undangan pengadaan barang dan jasa mengalami perkembangan norma hukum yang berlaku yaitu Keputusan Presiden RI No.80 Tahun 2003 sebagaimana diubah dengan Keputusan Presiden RI No.95 Tahun 2007 – terakhir dengan Peraturan Presiden RI No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman atau kebijaksanaan pengaturan mengenai tata cara Pengadaan Barang/Jasa yang sederhana, jelas dan komprehensif, sesuai dengan tata kelola yang baik, sehingga dapat menjadi pengaturan PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
37
yang efektif bagi para pihak yang terkait dengan pengadaan barang/jasa pemerintah (konsideran menimbang huruf b Perpres No.54/2010). Dalam kenyataan, tidak sedikit kebocoran keuangan negara yang terjadi dalam praktik sebagai akibat dari perbuatan pengadaan barang/jasa yang dilakukan oleh Pengguna Anggaran dengan cara menyimpang dan terbukti melakukan perbuatan korupsi dari kegiatan anggaran yang telah ditetapkan dalam UU tentang APBN & Perda tentang APBD, sehingga dapat diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Untuk itu, tujuan diberikannya pedoman atau kebijaksanaan pengaturan mengenai tata cara pengadaan barang/jasa pemerintah dalam Peraturan Presiden tersebut diharapkan, antara lain yaitu meningkatkan efisiensi belanja negara, dan percepatan pelaksanaan APBN/APBD. Untuk mencapai tujuan tersebut, langkah-langkah kebijaksanaan yang akan ditempuh Pemerintah dalam pengadaan barang/ jasa sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa, antara lain: (a) Rencana Pengadaan Barang/Jasa, (b) Penyusunan Rencana Pengadaan Barang/ Jasa, (c) Melakukan Pemaketan Barang/Jasa Kegiatan dan Anggaran, (d) Pengumuman Rencana Pengadaan Barang/ Jasa, (e) Metode pelelangan (Pasal 22, Pasal 24 Perpres No.54/2010). Langkah-langkah pelaksanaan pengadaan barang/ jasa tersebut dilakukan oleh masing-masing Kementerian/ Lembaga/Satuan Kerja Pemerintah Daerah, dan Institusi. Langkah-langkah ini perlu mendapat perhatian bagi setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
38
melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya, baik langsung atau tidak langsung yang merugikan keuangan negara dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi dan diwajibkan mengganti kerugian tersebut sesuai ketentuan hukum yang berlaku. 1. Rencana Pengadaan Barang/Jasa Secara normatif setiap Pengguna Anggaran (PA) atau Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) wajib menyusun rencana umum pengadaan barang/jasa sesuai dengan kebutuhan pada kementerian, lembaga, Satuan Perangkat Daerah, Institusi masing-masing yang meluputi, kegiatan dan anggaran pengadaan barang/jasa yang akan dibiayai sendiri oleh masingmasing Kementerian, Lembaga, Institusi, dan atau yang akan dibiayai berdasarkan kerja sama antar Kementerian, lembaga, Satuan Perangkat Daerah, Institusi secara pembiayaan bersama (co-financing) sepanjang diperlukan. Rencana umum pengadaan barang/jasa meliputi kegiatan yaitu (a) mengidentifikasi kebutuhan barang/jasa yang diperlukan, (b) menyusun dan menetapkan rencana penganggaran untuk pengadaan barang/jasa, (c) menetapkan kebijaksanaan umum tentang pemaketan pekerjaan, cara pengadaan barang/jasa dan pengorganisasian pengadaaan brang/jasa, dan menyusun kerangka acuan kerja yang meliputi uraian kegiatan yang akan dilaksanakan, waktu pelaksanaan yang diperlukan, spesifikasi teknis barang/jasa yang akan diadakan, dan besarnya total perkiraan biaya pekerjaan. Dalam praktiknya rencana PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
2.
3.
39
pengadaan barang/jasa ini acapkali dilakukan secara menyimpang dengan cara membuat kegiatan fiktif, mengurangi spesifikasi jenis dan kualitas barang/jasa, dan keterlambatan waktu pelaksanaan yang tidak sesuai kontrak. Penyusunan Rencana Pengadaan Barang/Jasa Penyusunan rencana umum pengadaan barang/ jasa pada kementerian, lembaga, Satuan Perangkat Daerah, Institusi untuk Tahun Anggaran berikutnya atau Tahun Anggaran yang akan datang, harus diselesaikan pada Tahun Anggaran yang berjalan, menyediakan biaya untuk pelaksanaan pemilihan penyedia barang/ jasa yang dibiayai dari APBN/APBD meliputi biaya honorarium personil, biaya pengumuman pengadaan barang/jasa, biaya penggandaan dokumen pengadaan barang/jasa, menyediakan biaya untuk pelaksanaan pemilihan penyedia barang/jasa yang pengadaannya akan dilakukan pada tahun anggaran berikutnya, mengusulkan besaran standar biaya umumn terkait honorarium bagi personil organisasi pengadaan sebagai pertimbangan oleh Menteri Keuangan dan oleh Kepala Daerah. Melakukan Pemaketan Kegiatan dan Anggran Pengguna Anggaran atau Kuasa Pengguna Anggaran harus melakukan pemaketan barang/jasa dalam rencana pengadaan barang/jasa kegiatan dan anggaran. Pemaketan dilakukan dengan dengan menetapkan sebanyak-banyaknya paket usaha tanpa mengabaikan prinsip efisiensi, persaingan sehat, kesatuan sistem dan kualitas kemampuan teknis. Dalam PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
40
4.
5.
melakukan paket kegiatan barang/jasa, Pengguna Anggaran atau Kuasa Pengguna Anggaran dilarang: (a) menyatukan atau memusatkan beberapa kegiatan yang tersebar dibeberapa lokasi/daerah yang menurut sifat pekerjaan dan tingkat efisiensinya seharusnya dilakukan dibeberapa lokasi/daerah masing-masing, sebaliknya yang menurut sifat dan jenis pekerjaannya bisa dipisahkan dan atau besaran nilainya seharusnya dilakukan, (b) memecah pengadaan barang/jasa menjadi beberapa paket dengan maksud menghindari pelelangan, dan atau menentukan kriteria, persyaratan atau prosedur pengadaan yang diskriminatif dan atau dengan pertimbangan yang tidak obyektif. Pengumuman Rencana Pengadaan Barang/Jasa Pengguna Anggaran atau Kuasa Pengguna Anggaran mengumumkan rencana pengadaan barang/ jasa di masing=masing kementerian, lembaga, Satuan Prangkat Daerah secara terbuka kepada masyarakat luas setelah rencana kerja dan anggaran disetujui oleh DPR/DPRD. Pengumuman tersebut paling kurang berisi, nama dan alamat pengguna anggaran, paket pekerjaan yang akan dilaksanakan, lokasi pekerjaan, dan perkiraan besaran biaya yang kontraknya akan dilaksanakan pada Tahun Anggran berikutnya. Pengumuman tersebut dilakukan dalam website pengguna anggaran masing-masing secara resmi untuk masyarakat luas dalam upaya memenuhi prinsip keterbukaan dan akuntabilitas (Pasal 23 ayat (3) dan (4) Perpres 54/2010). Metode Pelelangan Pengadaan Barang/Jasa PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
41
Hal yang mendasar dalam ketentuan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang diatur dalam Pasal 35 Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010, antara lain diperkenalkannya metode pelelangan/seleksi sederhana, pengadaan langsung, dan konteks/ sayembara dalam pemilihan penyediaan barang/ jasa, selain metode pelelangan/seleksi umum dan penunjukan langsung atau pengadaan langsung dan juga mengatur pengaturan kontrak payung dan kontrak pembiayaan bersama (cofinancing) antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Penunjukan langsung, terhadap 1 (satu) Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa lainnya dapat dilakukan dalam hal keadaan tertentu dan atau pengadaan barang khusus/pekerjaan konstruksi khusus/jasa lainnya yang bersifat khusus. Kriteria keadaan tertentu yang memungkinkan dilakukan penunjukan langsung terhadap Penyedia Barang/ Pekerjaan Konstruksi/Jasa lainnya meliputi antara lain penanganan darurat yang tidak bisa direncanakan sebelumnya dan waktu penyelesaian pekerjaannya harus segera atau tidak dapat ditunda untuk pertahanan negara, keamanan dan ketertiban masyarakat, keselamatan perlindungan masyarakat yang pelaksanaan pekerjaannya tidak dapat ditunda atau harus dilakukan segera termasuk: akibat bencana alam dan/atau bencana non alam dan/atau bencana sosial, termasuk dalam rangka pencegahan bencana dan atau akibat kerusakan sarana/prasarana yang dapat menhentikan kegiatan pelayanan publik (vide, PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
42
pasal 38 ayat (4) dan ayat (5) Perpres RI No.54 Tahun 2010) . Penunjukan langsung dilakukan dengan mengundang 1 (satu) Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa lainnya yang dinilai mampu melaksanakan pekerjaan dan atau memenuhi kualifikasi. Dalam penunjukan langsung ini dapat dilakukan dengan negosiasi baik teknis maupun harga sehingga diperoleh harga yang sesuai dengan harga pasar yang berlaku dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan, kecuali dalam pelelangan umum tidak ada negosiasi teknis dan harga. Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi yang tidak memenuhi kualifikasi yang telah ditetapkan adalah merupakan pelanggaran administrasi yang berakibat mengancam ketidakabsahan penunjukan langsung tersebut. Langkah-langkah pengadaann barang/jasa dan kriteria penunjukan langsung, pelanggaran kontrak terhadap isi perjanjian dan waktu pelaksanaan, denda, laporan fisik yang tidak sesuai dengan kenyataan dilapangan , batas akhir kontrak pekerjaan belum selesai, seringkali disimpangi oleh Pejabat Pengguna Anggaran, Penyedia Barang/Jasas Konstruksi dan Konsultan Pengawas dalam pelaksanaannya, sehingga problematika hukum yang dihadapi dalam penerapan hukum tindak pidana korupsi khususnya pengadaan barang/jasa menimbulkan permasalahan yang perlu didiskusikan dan dicari solusinya, antara lain: a. Apabila dalam praktiknya terjadi penyimpangan terhadap rencana pengadaan barang/jasa yang PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
b.
c.
43
diajukan oleh J/PU ditemukan adanya suatu perbuatan berupa rencana kegiatan fiktif, spesifikasi jenis barang yang tidak ada atau tidak sesuai dengan kontrak dan anggaran yang telah ditetapkan. Apakah dapat dikualifikasi sebagai perbuatan melawan hukum dan merupakan tindak pidana korupsi? Penerapan hukum atas perbuatan melawan hukum formil terhadap perbuatan wanprestasi atas perjanjian kontrak dan Surat Perintah Mulai Kerja (SPK) pada pengadaan barang/jasa pemborongan dapat dikualifikasi sebagai pelanggaran hukum, apakah perbuatan wanprestasi karena tidak sesuai dengan kontrak bukanlah perbuatan melawan hukum publik, melainkan perbuatan wanprstasi yang tunduk pada hukum perdata sehingga tidak dapat dikualifikasi sebagai perbuatan korupsi. Dalam hal pelaksanaan pekerjaan tidak dapat diselesaikan 100% sampai dengan akhir tahun anggaran biasanya diajukan pencairan dana 100% untuk menghindari anggaran proyek dikembalikan ke Kas Negara dan apabila anggaran itu dikembalikan, maka pekerjaan tidak dapat diselesaikan, tujuan pembangunan untuk kepentingan masyarakat tidak tercapai, negara mengalami kerugian. Problem hukumnya adalah bagaimana solusinya terhadap kasus pengadaan barang/jasa kontruksi yang belum selesai dikerjakan 100% sedangkan batas akhir tahun anggaran berjalan telah berakhir? PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
44
Sebagai ilustrasi, Pejabat dan Kuasa pengguna Anggaran (KPA) menandatangani dokumen-dokumen yang menjadi dasar pencairan dana dan pembayaran dana 100% atas permintaan rekanan berdasarkan Laporan Berita Acara Pekerjaan selesai 100% yang dibuat oleh kontraktor pelaksana, konsultan pengawas, padahal kenyataannya tidak sesuai dengan kenyataan fisik. Perbuatan menandatangani dokumen-dokumen yang menjadi dasar pencairan dana 100% yang tidak sesuai kenyataan fisik dilpangan berdasarkan RAB, adalah perbuatan yang bertentangan dengan Pasal 18 (3) UU RI No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan oleh karena itu haruslah dipersalahkan dan bertanggungjawab dari akibat perbuatannya. C. Posisi Bawahan-Atasan dalam Pelaksanaan DIPA Dalam hal perhubungan hukum dinas publik, posisi bawahan-atasan mempunyai kedudukan yang sama dan tunduk pada hukum yang mengatur fungsi dan tugas, serta kewenangan dan tanggung jawab masing-masing dalam pelaksanaan DIPA. Oleh karena itu terhadap Pejabat Publik atau Pegawai Negeri yang menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan dalam pelaksanaan DIPA untuk kepentingan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat harus mampu bertanggungjawab secara berjenjang atas penyimpangan penggunaan anggaran baik tanggungjawab administrasi maupun tanggungjawab pidana atas adanya kerugian negara akibat penyimpangan dari pelaksanaan DIPA. PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
45
Dalam konteks hukum administrasi perlu diperhatikan sumber kewenangan yang meliputi kewenangan atributif, kewenangan delegasian, dan kewenagan mandat masingmasing berbeda kulitas perbuatan dan tanggungjawabnya. Dalam praktik acap kali terjadi bawahan dipersalahkan dan dimintai pertanggung jawaban atas penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan DIPA, sehingga dalam hal terjadi demikian bawahan acapkali mendalilkan bawahan hanya menjalankan perintah atasan. Dalam Pasal 51 (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah mengatur ketentuan bahwa “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”. dan Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya. Perintah dari Menteri dan Gubernur, Walikota/ Bupati kepada Kepala Dinas Satuan Kerja Prangkat Daerah mengenai hal yang terletak diluar lingkungan pekerjaannya sebagai pelaksana DIPA, bukanlah perintah yang dimaksud dalam Pasal 51 KUHP tersebut. Dalam perkara korupsi sering menjadi alasan bagi terdakwa bahwa dirinya hanya melaksanakan perintah atasan, berkenaan dengan alasan ini bagaimana dalam konteks penerapan hukum khususnya pasal 51 KUHP dalam perkara korupsi? Dalam pandangan saya, perintah yang dimaksud dalam Pasal 51 KUHP haruslah suatu perintah yang sah, yaitu merupakan perintah untuk melaksanakan suatu peraturan PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
46
hukum perundang-undangan dan bukan perintah yang melanggar atau bertentangan dengan hukum atau peraturan perundang-undangan, oleh karena itu perbuatan terdakwa tidak menghapuskan tanggungjawab pidana dari perbuatan terdakwa. D. Asset Recovery Mengacu pada Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 dan telah diratifikasi pada tanggal 18 April 2006 melalui UU RI No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003, di Indonesia telah berlaku beberapa peraturan perundang-undangan pidana yang berhubungan dengan “perampasan aset” hasil tindak pidana. Peraturan perundang-undangan tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 1. Undang-undang RI No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; 2. Undang-undang RI No. 15 Tahun 2002 yang telah diubah dengan UU RI No.25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan telah dicabut dengan berlakunya UU RI No.8 Tahun 2010; Kedua undang-undang tersebut diatas belum mengatur secara khusus mengenai lingkup pengertian istilah Asset Recovery sebagaimana yang tercantum dalam Bab V tentang Asset Recovery dalam Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003. Pengembalian aset tindak pidana korupsi adalah salah satu tujuan konvensi tersebut, sedangkan prosedur serta persyaratan untuk mencapai tujuan tersebut adalah PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
47
persoalan lain yang tidak hanya tergantung dari sitem hukum yang berlaku di setiap negara, melainkan juga sangat tergantung dari dipenuhinya beberapa prinsip umum (syarat-syarat) hukum tentang bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana, dan bentuk kerja sama internasional lainnya oleh setiap negara peratifikasi. Pengaturan ketentuan mengenai penyitaan dan perampasan aset tindak pidana dalam kedua undangundang tersebut terbatas pada dua model perampasan yaitu: 1. Penyitaan terhadap harta kekayaan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana; 2. Penyitaan obyek yang berhubungan dengan tindak pidana, dan 3. Penyitaan terhadap hasil tindak pidana (belum diatur secara rinci dan memadai, (termasuk proses pembuktian terbalik dalam perampasan aset tindak pidana). Ketiga model penyitaan tersebut menurut peraturan perundang-undangan Indonesia ditujukan untuk kepentingan negara semata-mata dan untuk kepentingan korban tindak pidana, kedua tujuan ini Indonesia telah menggunakan. Penyitaan dan perampasan aset tindak pidana untuk tujuan kepentingan korban ditujukan untuk dapat memberikan kompensasi kepada korban tindak pidana (Romli Atmasasmita, 2010: 9). Seteleh berlakunya UU RI No.7 Tahun 2006 tersebut Indonesia telah mencantumkan dalam lingkup tindak pidana korupsi (UU RI No.20 Tahun 2001) yaitu: Perbuatan memperkaya diri sendiri secara ilegal, Suap terhadap pejabat publik, dan suap dikalangan sektor Swasta, dan PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
48
penyalahgunaan wewenang (abuse of function), selain dikenakan pidana pokok juga dapat dikenakan pidana (tambahan) yaitu perampasan aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a UU RI No.31 Tahun 1999, baik yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Dalam UU RI No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, telah dicantumkan ketentuan pembuktian terbalik yaitu: Pasal 77, bahwa Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana; Pasal 78, bahwa hakim memerintahkan Terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana (korupsi) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a Undang-undang Pencucian Uang, dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup. Dalam hal diperoleh bukti yang cukup bahwa masih ada harta kekayaan yang belum disita, hakim memerintahkan JPU untuk melakukan penyitaan harta kekayaan tersebut. Persoalannya, penuntut umum sering menghadapi hambatan bagaimana cara efektif dan efisien untuk melaksanakan pembuktian terbalik terhadap asset tindak pidana (korupsi) dengan melalui tuntutan secara pidana. Hal ini disebabkan pembuktian melalui jalur kepidanaan harus terlebih dahulu dibuktikan dengan bukti permulaan yang cukup mengenai kesalahan tersangka/terdakwa, baru kemudian dilakukan perampasan asset. Perampasan aset dalam praktik sering dihadapkan PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
49
kesulitan yaitu, tersangka/terdakwa melarikan diri atau tidak diketahui keberadaannya atau telah meninggal dunia, kesulitan lain adalah dalam melacak atau menelusuri perpindahan asset (penguasaan) kepada orang lain terutama jika dilakukan secara tunai atau ditransfer dalam hitungan detik dengan teknologi yang canggi. Untuk mengatasi kesulitan tersebut perlu diupayakan secara efektif menggunakan pembuktian terbalik dengan tujuan perampasan aset dengan cara keperdataan tanpa melakukan penuntutan pidana tehadap tersangka/terdakwa pemilik asset. Perampasan asset melalui jalur keperdataan adalah, untuk membuktikan keabsahan kepemilikan seseorang atas asset yang berasal dari suatu tindak pidana (korupsi), bukan ditujukan untuk menetapkan kesalahan seseorang. Praktik penerapan perampasan asset tanpa melalui penuntutan pidana telah diterima dan dicantumkan dalam Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 termasuk Indonesia yang telah meratifikasi melalui UU RI No. 7 Tahun 2006. Oleh karena itu, selain daripada pertimbangan tidak dilakukan penuntutan terhadap tersangka dalam perampasan asset secara keperdataan, juga karena keberadaan asset tidak selalu pada pelaku tindak pidana, melainkan sering telah berada dalam penguasaan orang lain atau seseorang yang tidak mengetahui asal-usul asset tersebut. Filosofi perampasan asset harus didasarkan pada pemikiran bahwa tidak ada hak sedikit pun seseorang atas aset hasil tindak pidana (korupsi). Atas dasar pemikiran tersebut, maka wewenang perampasan asset tetap melekat jika kepemilikan aset tersebut merupakan tindak pidana, atau kepemilikan aset tersebut terkait dengan suatu tindak PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
50
pidana. Inti dari kebijakan hukum perampasan asset yang diperoleh dari tindak pidana korupsi di Indonesia, masih semata-mata bertujuan mengembalikan dan memulihkan keuangan negara yang diderita oleh negara an sich, dan belum bertujuan untuk memutus mata rantai kegiatan atau aktivitas kejahatan dengan menghentikan sumber kekuatan kehidupan para pelaku kejahatan yaitu pendanaan. Sehubungan dengan keberadaan dua model perampasan asset tersebut, timbul pertanyaan, yaitu sarana hukum manakah yang harus diutamakan, perampasan asset melalui kepidanaan atau melalui keperdataan? Pertanyaan tersebut berkaitan hierarki penerapan dan seharusnya diutamakan jalur sarana perampasan asset berdasarkan penuntutan pidana. Jika sarana hukum tersebut tidak cukup memadai, maka digunakan sarana perampasan melalui keperdataan. Sebagai perbandingan, hierarki penegakan hukum sepan-jang berkaitan dengan perampasan asset tindak pidana di Inggris, dilaksanakan secara berjenjang yaitu perampasan asset melalui kepidanaan merupakan premium remedium, sedangkan sarana perampasan asset melalui keperdataan merupakan ultimum remedium. Model perampasan asset ini juga dikenal di Indonesia dewasa ini. Model perampasan asset menurut Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 tersebut dikenal sebagai perampasan asset dengan cara keperdataan yang memisahkan secara tegas antara aspek “pemilik asset” di satu sisi, dan aspek “asset tindak pidana” di sisi lain. Hal ini berbeda dengan pengertian asset tindak pidana berdasarkan model perampasan asset melalui cara kepidanaan. Pengertian istilah “asset tindak PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
51
pidana” tersebut membawa konsekuensi hukum dimana “asset tindak pidana” dipandang “terlepas” pemiliknya (pelaku tindak pidana) yang telah menguasai (bukan memiliki) asset dimaksud. Pemisahan keterkaitan antara “asset” dan “pemilik asset” dalam konteks perampasan asset tindak pidana (korupsi) mengandung arti secara yuridis bahwa “asset” diperlukan sebagai subyek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atau setara dengan pelaku tindak pidana, sehingga terhadap asset tersebut dapat dilakukan perampasan. Oleh karena itu, suatu catatan penting dari kajian hukum atas perampasan asset ini adalah bahwa harta kekayaan hasil dari tindak pidana (korupsi) diakui sebagai subyek hukum pidana yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, bukan semata-mata sebagai obyek perampasan dan penyitaan dari suatu tindak pidana (Romli Atmasasmita, 2010:8–9). Perampsan asset yang berasal dari tindak pidana (korupsi) melalui jalur keperdataan tidak serta merta melanggar asas “praduga tak bersalah” sekalipun tidak perlu dibuktikan kesalahan tersangka/terdakwa. Sedangkan, perampasan asset tindak pidana melalui jalur kepidanaan harus terlebih dahulu dibuktikan kesalahan orang yang menguasai asset tersebut sampai memperoleh putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap, jika tidak demikian maka perampasan asset tindak pidana (korupsi) E. Pembuktian Terbalik Undang-undang Tindak Pidana Korupsi menetapkan “pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
52
berimbang”, terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya. Dalam penjelasan umum UU RI No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa Pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16. UU RI No.31 Tahun 1999 juncto Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 UU RI No.20 Tahun 2001. Teori keseimbangan kemungkinan pembuktian (balanced probability of principles) yaitu pembuktian yang mengedepankan keseimbangan yang proporsional antara perlindungan hak individu di satu sisi dan perampasan hak individu di sisi yang lain atas harta kekayaan yang diduga kuat dari hasil korupsi. Dengan teori ini, maka setiap individu dibebankan kewajiban untuk memberikan pembuktian atas harta kekayaan miliknya yang diduga kuat dari hasil korupsi. Namun, kewajiban pembuktian ada atau tidaknya dugaan tindak pidana korupsi adalah ditangan Jaksa Penuntut Umum (Muh. Muslih, 2007: 29). Penerapan asas atau sistem pembalikan Beban Pembuktian di Indonesia ini merupakan salah satu pola PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
53
pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu melakukan suatu akseptasi terhadap sistem Pembalikan Beban Pembuktian, yaitu suatu sistem pembuktian yang berkenaan dengan hukum (acara) pidana, yang sangat khusus sifatnya dengan sistem pembuktian yang umum (universal) selama ini dikenal melalui pembuktian negatif (Indriyanto Seno Aji, 2007- 17) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 hanya menempatkan pembuktian sebagai suatu “pergeseran” saja bukan “pembalikan” beban pembuktian, sehingga pembuktian terbalik terbalik adalah sistem pembalikan beban pembuktian yang “terbatas” atau “berimbang”. Terbatas, karena memang pembalikan beban pembuktian tidak dapat dilakukan secara total dan absolut terhadap semua delik yang ada pada UU tersebut diatas. Sedangkan, “berimbang” karena beban pembuktian terhadap dugaan adanya tindak pidana korupsi tetap dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Karenanya banyak pendapat bahwa implementasi asas Pembalikan Beban Pembuktian pada undang-undang tindak pidana korupsi saat ini hanyalah gerakan “simbolis” yang tidak memiliki daya represi terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Pembebanan pembuktian berimbang seperti diatas dikenal dengan sistem pembuktian terbalik. Disebut pembuktian terbalik karena pada sistem pembuktian biasa, yang berkewajiban membuktikan kebenaran dari dakwaan yang disusun penuntut umum adalah penuntut umum itu sendiri. Meskipun terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi. PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
54
Ketentuan pembuktian terbalik tersebut, khususnya ditujukan terhadap harta kekayaan tersangka/terdakwa korupsi bertujuan menggugat hak kepemilikan seseorang atas harta kekayaannya yang selayaknya tidak dimiliki seseorang dibandingkan dengan pengahasilan yang diterimanya secara sah. Teori pembuktian terbalik ini menempatkan seseorang dalam posisi sebelum yang bersangkutan memperoleh harta kekayaannya yang diduga kuat hasil korupsi. Sejatihnya dengan teori pembuktian ini bertujuan untuk memudahkan proses pembuktian asal usul harta kekayaan (asset) yang dihasilkan dari korupsi, sehingga apabila yang bersangkutan tidak dapat membuktikan keabsahan kepemilikannya, aset atau kekayaan yang dimilikinya dikembalikan menjadi aset negara (asset recovery). Sebagai perbandingan, teori ini telah dipraktikkan dibeberapa negara seperti Pengadilan Tinggi Hongkong, dan Ingris. Proses pembuktian terbalik ini di Hongkong dapat digunakan dalam kasus korupsi melalui prosedur hukum acara pidana. Di Inggris telah diatur dalam ketentuan Proceed of Crime Act Tahun 2003 (POCA 2002) dengan menetapkan strategi baru yang disebut Asset Recovery Strategy. Strategi baru dalam pemulihan aset hasil korupsi ini dianggap sebagai langkah proaktif dan radikal dengan menerapkan sistem pembuktian terbalik. Berbeda dengan Hongkong, pemberlakuan pembuktian terbalik di Inggris dilakukan melalui proses keperdataan (civil recovery). Metode pembuktian terbalik merupakan alternatif hukum pembuktian yang kini dipandang sebagai “sarana hukum” yang ampuh untuk mengejar asset hasil kejahatan dan mengembalikannya kepada negara. Namun, penggunaan PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
55
model ini harus memiliki dua fungsi yaitu: Pertama, model ini bertujuan untuk memudahkan proses pembuktian asalusul harta kekayaan (asset) dari suatu kejahatan, akan tetapi disisi lain, tidak dapat dipergunakan sehingga bertentangan dengan hak asasi seseorang tersangka/terdakwa. Kedua, model ini tidak memiliki tujuan yang bersifat represif melalui proses kepidanaan melainkan harus bertujuan yang bersifat rehabilitatif dan semata-mata untuk memulihkan aset hasil dari kejahatan tertentu (recovery) dengan melalui jalur keperdataan (Romli Atmasasmita, 2007: 9-10). Konsekuensi penggunaan model pembuktian terbalik dengan kedua fungsi tersebut di atas dan telah dikenal dalam UU pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu: Pertama, harus menetapkan dua strategi baru dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan yang terorganisir dan sistimatik, yakni strategi pembuktian melalui jalur kepidanaan yaitu melalui proses pembekuan, perampasan dan penyitaan. Kedua, strategi melalui jalur keperdataan dengan proses pembuktian terbali, dan jika berhasil dibuktikan kebenaran mengenai harta kekayaan tidak berasal dari hasil kejahatan (non-criminal based conviction) maka setelah penyitaan, tidak dapat dilakukan proses penuntutan pidana (M. Akil Mochtar, 2009:69). Pilihan atas strategi tersebut diatas telah berdampak terhadap perubahan mendasar dalam hukum pembuktian yang telah diatur di dalam KUHAP dan peraturan perundangundangan pidana khusus yang berlaku di Indonesia, namun dalam praktik penerapannya masih belum optimal oleh karena belum adanya ketentuan khusus yang mengatur hukum acara pembuktian mengenai beban pembuktian PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
56
terbalik. Untuk membedakan antara pengalihan dari Penuntut kepada Terdakwa apa yang digambarkan oleh Glanville Williams sebagai “beban evidensial” atau beban untuk menyampaikan bukti dalam mendukung kasusnya pada satu sisi, dan “beban persuasif” atau beban untuk meyakinkan hakim terhadap kesalahan atau tidak bersalahnya disisi lainnya. Suatu beban persuasif mensyaratkan terdakwa untuk membuktikan, berdasarkan sebuah keseimbangan probabilitas sebuah fakta yang esensial untuk menentukan salah atau tidaknya terdakwa (M.Akil Mochtar; 2009:154). Sebuah beban “evidensial” hanya mengharuskan bahwa terdakwa harus mengemukakan bukti yang cukup untuk memunculkan sebuah isu sebelum ditentukan sebagai salah satu fakta dalam kasus. Penuntut tidak perlu menyajikan bukti tentang itu, sehingga Terdakwa perlu melakukan hal ini, jika ia mau memasukkan isu tersebut. Tetapi jika isu itu dimasukkan, beban pembuktian tetap ada pada Penuntut. Terdakwa hanya perlu mengemukakan keraguan yang rasional terhadap kesalahannya (M.Akil Mochtar, 2009:155). Dalam hal upaya penerapan beban pembuktian terbalik secara proporsionalitas untuk menyeimbangkan kepentingan individu dan masyarakat yang menjadi jantung dari pembenaran pengecualian terhadap aturan umum, maka dalam mempertimbangkan dimana “keseimbangan” itu berada, ada manfaatnya untuk memperhatikan pertanyaanpertanyaan sebagai soal dalam diskusi berikut ini: 1. Apakah yang harus dibuktikan oleh Penuntut Umum agar beban pembuktian beralih kepada Terdakwa? PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
57
2.
Apakah beban pembuktian yang ada pada Terdakwa. Adakah hal itu terkait dengan sesuatu yang agaknya menyulitkan Terdakwa untuk membuktikannya, atau adakah itu terkait dengan sesuatu yang tampaknya ada dalam batasan sepengetahuannya. Menentukan tuntutan apa yang harus dibuktikan, menjadi tanggungjawab Penuntut Umum adalah sesuatu yang mudah karena semua yang harus dibangun adalah “kecurigaan yang masuk akal/beralasan”, yaitu bahwa benda harta milik Terdakwa dimaksud ada dalam penguasaan Terdakwa untuk suatu tujuan yang terkait dengan korupsi. Kecurigaan dalam arti yang biasa adalah suatu kondisi perkiraan atau sangkaan dimana tidak terdapat bukti, mencurigai tetapi tidak dapat membuktikan bahwa Terdakwa memiliki sesuatu kecurigaan yang masuk akal bahwa terdakwa telah melakukan suatu tindak pidana, karena itu harus berhati-hati menjelaskan perbedaan antara “kecurigaan” yang masuk akal dan bukti utama di sidang Pengadilan. Apa yang disyaratkan adalah bukti utama terdiri atas alat bukti yang diijinkan, bukan sekedar kecurigaan. Penuntut umum harus menyajikan alat bukti yang cukup untuk membuktikan atas dasar keyakinan yang tidak diragukan lagi yaitu: (a) Terdakwa memiliki harta benda dalam penguasaannya, dan (b) benda dalam penguasaannya itu dalam kondisi yang memunculkan kecurigaan yang masuk akal bahwa benda harta miliknya dalam penguasaannya itu untuk sebuah tujuan yang terkait dengan tindak pidana korupsi (M. Akil Mochtar, 2009:164). Bertitik tolak dari pandangan teori dan norma hukum PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
58
yang ada dalam kaitan dengan penegakan atau penerapan hukum terhadap korupsi diperlukan perubahan paradigma, yaitu apabila semula kita menganggap korupsi hanya sebagai kejahatan biasa (ordinary crimes), maka sekarang ini kita harus menganggapnya sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) dan sekaligus merupakan pelanggaran atas hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia. Dalam konteks kelemahan-kelemahan substansial, maka untuk menerapkan hukum tindak pidana korupsi sudah diatasi dengan beberapa ketentuan yang baru dan diharapkan bisa lebih progresif yaitu ketentuan pemberlakuan sistem beban pembuktikan terbalik terhadap seorang Terdakwa khususnya dalam kasus gratifikasi (Pasal 12B). Sistem ini memberi hak kepada seorang Terdakwa dimuka persidangan untuk membuktikan bahwa pemberian uang terhadap diri Terdakwa, bukan suatu gratifikasi (Pasal 38A). Problematik Hukum, yang perlu didiskusikan berkenaan dengan beban pembuktian terbalik khusunya kasus gratifikasi (Pasal 12B UU No.20 Tahun 2001) adalah: 1. Seharusnya pembuktiannya tidak perlu harus membuktikan pemberian atau gratifikasi yang diterimanya berhubungan dengan jabatan dan berlwanan dengan kewajiban atau tugasnya, tetapi cukup membuktikan apakah Terdakwa menerima gratifikasi atau tidak, apabila dapat dibuktikan telah menerima maka Terdakwa telah terbukti korupsi. 2. Sistem pembalikan beban pembuktian terhadap Pasal 12B tidak berjalan dengan baik, oleh karena Pasal 12C mengatur bahwa gratifikasi hilang sifat tindak pidana korupsinya, jika si penerima garatifikasi tersebut PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
59
melaporkan kepada KPK dalam waktu 30 hari. Sebagai catatan, apakah diperlukan hukum acara khusus untuk kasus gratifikasi sehingga tidak lagi terdapat keraguan atau kesulitan bagi hakim untuk menerapkan sistem pembalikan beban pembuktian dalam kasus-kasus korupsi, mengingat di dalam UU RI No.20 Tahun 2001, hanya menyatakan bahwa pembuktian gratifikasi di depan persidangan sedangkan hal-hal lain yang terkait tidak diatur, sehingga dalam praktiknya menjadi hambatan bagi hakim dalam menerapkan beban pembuktian terbalik dan dengan sendirinya tujuan perampasan aset hasil dari kejahatan korupsi baik kasus gratifikasi maupun suap tidak dapat diwujudkan di Indonesia. F. Soal Diskusi Kelompok 1. Apabila dalam praktiknya terjadi penyimpangan terhadap rencana pengadaan barang/jasa yang diajukan sebagai kasus korupsi oleh J/PU, ditemukan adanya suatu perbuatan berupa rencana kegiatan fiktif, spesifikasi jenis barang, pengurangan volume pekerjaan yang tidak ada atau tidak sesuai dengan kontrak dan anggaran yang telah ditetapkan. Apakah dapat dikualifikasi sebagai perbuatan melawan hukum dan merupakan tindak pidana korupsi? 2. Penerapan hukum atas perbuatan melawan hukum formil terhadap perbuatan wanprestasi atas perjanjian kontrak dan Surat Perintah Mulai Kerja (SPK) pada pengadaan barang/jasa pemborongan, apakah dapat dikualifikasi sebagai pelanggaran hukum, apakah perbuatan wanprestasi karena tidak sesuai dengan PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
60
3.
4.
5.
kontrak merupakan perbuatan melawan hukum publik, atau perbuatan wanprstasi yang tunduk pada hukum perdata sehingga tidak dapat dikualifikasi sebagai perbuatan korupsi. Dalam hal pelaksanaan pekerjaan tidak dapat diselesaikan 100% sampai dengan akhir tahun anggaran biasanya diajukan pencairan dana 100% untuk menghindari anggaran proyek tidak dikembalikan ke Kas Negara, dan apabila anggaran itu dikembalikan, maka pekerjaan tidak dapat diselesaikan, tujuan pembangunan untuk kepentingan masyarakat tidak tercapai, negara mengalami kerugian. Problem hukumnya adalah bagaimana solusinya terhadap kasus pengadaan barang/jasa kontruksi yang belum selesai dikerjakan 100% sedangkan batas akhir tahun anggaran berjalan telah berakhir? Pejabat dan kuasa pengguna Anggaran (KPA) menandatangani dokumen-dokumen yang menjadi dasar pencairan dana dan pembayaran dana 100% atas permintaan rekanan berdasarkan Laporan Berita Acara Pekerjaan selesai 100% yang dibuat oleh kontraktor pelaksana, konsultan pengawas, padahal kenyataannya tidak sesuai dengan kenyataan fisik, apakah KPA yang mengetahui menandatangani dokumen-dokumen yang menjadi dasar pencairan dana 100% yang tidak sesuai kenyataan fisik dilapangan dan hanya menerima laporan dari pengawas konsultan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana? Perintah dari Menteri dan Gubernur, Walikota/ Bupati kepada Kepala Dinas Satuan Kerja Prangkat PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
6.
7.
61
Daerah mengenai hal yang terletak diluar lingkungan pekerjaannya sebagai pelaksana DIPA, apakah merupakan perintah yang dimaksud dalam Pasal 51 KUHP tersebut. Dalam perkara korupsi sering menjadi alasan bagi terdakwa bahwa dirinya hanya melaksanakan perintah atasan, berkenaan dengan alasan ini bagaimana dalam konteks penerapan hukum, khususnya pasal 51 KUHP dalam perkara korupsi? Sehubungan dengan keberadaan dua model perampasan asset, apakah suatu kasus tindak pidana korupsi yang telah dibuktikan pidana pokoknya dapat dirampas asset harta benda dari hasil kejahatan pelaku korupsi sedangkan Jaksa Penuntut Umum tidak mendakwakan dan putusan Pengadilan Negeri tidak memerintahkan dirampas untuk negara? Dalam hal demikian, apakah perampasan asset melalui keperdataan dapat dilakukan? Dalam hal beban pembuktian terbalik terhadap kasus suap, apabila terdakwa tidak berhasil membuktikan dengan alat bukti yang diperbolehkan menurut undang-undang, apakah hakim segera menyatakan terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman tambahan peranpasan asset. Sebaliknya, jika terdakwa dengan alat bukti yang diperbolehkan menurut undangundang dapat membuktikan bahwa kekayaan yang diperoleh bukan dari hasil korupsi, apakah hakim segera membebaskan terdakwa. Sedangkan kewajiban beban pembuktian terbalik oleh Jaksa Penuntut Umum berhasil membuktikan pidana pokoknya, PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
62
bagaimana sikap hakim terhadap perampasan aset milik terdakwa yang diduga dari hasil suap.
PELATIHAN HUKUM PIDANA KHUSUS BAGI HAKIM TINGGI - MEDAN