Tim Sinkronisasi & Pranata Keagamaan Oleh: Erie Sudewo Disampaikan pada Kuliah Umum “Kritisi UU no. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat” Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, 3 Maret 2012
Ulasan tentang UU Nomor 23 tahun 2011 telah banyak disuguhkan media. Cuma ada beberapa yang luput dari pantuan. Di antaranya sebagai berikut: Pertama TIM SINKRONISASI Apa yang tertera di lembar awal draft RUU Pengelolaan Zakat yang disodorkan pemerintah menarik perhatian.Draft ini akhirnya diketok palu jadi UU Nomor 23 tahun 2011. Pada draft itu tertulis tegas dengan huruf kapital,UU ini merupakan ‘DRAFT HASIL RAPAT TIM PERUMUS (TIMUS) DAN TIM SINKRONISASI (TIMSIN)’. Berarti ada dua tim yang bekerja dalam penyelesaian draft UU ini. Sesungguhnya dua, tiga, atau empat tim tak soal. Yang menyulut keingintahuan justru mengapa itu tercantum tegas dan dengan huruf kapital pula. Dua tim berbeda dengan tujuan sama dalam membuat draft yang sama. Pertanyaan muncul: “Ada apa gerangan?” Mengapa itu harus ditegaskan jelas hingga amat eye catching. Lantas pertanyaan lanjutan mengemuka pula: “Siapa koordinatornya?” Siapapun koordinatornya sebenarnya itu juga tak soal, asal dikrodori kriteria standard. Namun karena sudah tercantum begitu, ini jadi ruang terbuka didiskusikan. Ditilik dari nama,seharusnya Timus memang jadi koordinator.Dengan begitu jelas Timsin jadi bagian Timus. Teknis pencantumannya, Timsin bisa ditulis dalam kurung di belakang Timus. Masalahnya, mengapa Timsin tak ditulis demikian. Dengan penulisan seperti itu, posisi Timsin sejajar dengan Timus. Dimanapun kesejajaran posisi punya kesetaraan, ‘berdiri sama tinggi duduk sama rendah’. Dalam draft RUU ini jelas bukan tanpa maksud. Di sini ada makna, ada sesuatu, ada pesan yang hendak disampaikan. Pesannya adalah penyusunan draft revisi UU ini, halal dan thayib, sudah mendulang aspirasi yang ada di masyarakat. Baik melalui Timsin, yang siapa anggota-anggotanya, kita atau paling tidak saya tidak pernah tahu. Apa pula kriteria mereka duduk di Timsin, sungguh kita juga tak paham. Aspirasi masyarakat pun entah didulang melalui metode apa. Apakah langsung wawancara atau hanya sekadar mengamati dan merasakan. Lantas bagaimana sampling sasaran yang diwawancara, kita juga sama sekali tak pernah tahu.
“Eh emang elo, siapa? Pejabat bukan tokoh bukan. Koq saya, saya, saya terus. Tanpa elo emang mereka susah. Gak lah. Kenapa elo nggak dicantumin?Pertama elo bukan siapa-siapa. Kedua jangan-jangan karena elo bawel, sok kritis. Rasanya banyak orang puyeng ketemu elo,” sindir bathin kegirangan. “Katanya melibatkan masyarakat. Senggak-nggaknya ane tahu jugalah,” saya coba jawab. Meski bukan siapa-siapa, harusnya sepatah dua patah kabar sayup-sayup sampai jugalah ke kuping. Di era keterbukaan, siapapun yang bukan siapa-siapa juga boleh tahu dong. Begitulah inti pesan dari sinkronisasi: ‘Persepsi negatif masyarakat dicoba dilerai’. Dengan dicantumkan Timsin, kehendak pemerintah dengan apa yang sudah tumbuh di masyarakat telah disinkronkan. Maka bagi praktisi zakat, khususnya LAZ, hadirnya revisi UU tak lagi perlu ditanggapi berlebihan. Sekali lagi ingat, aspirasi masyarakat toh sudah diserap Timsin. Pesan berikut, bagi LAZ yang juga masih menggugat, itu pertanda LAZ tersebut tak bisa diatur, tak bisa diarahkan, serta selalu gemar berliar-liar. Niat ini baik. Tapi menjadi tidak baik ketika isi UU justru kontra produktif. Niat memang penting. Tapi yang lebih penting, apakah niat itu memang baik isi nawaitu-nya. Kita ingin menata ulang. Hanya jangan-jangan penataan itu jadi tak baik dan timbulkan masalah ketika ada bagian-bagian yang hilang. Inikah dikatakan aspiratif? Pembuat onar bukan, pembuat masalah bukan, pengacau juga bukan, mengapa tiba-tiba harus ditiadakan. Dimana-mana dari tiada jadi ada. Sekarang dari ada menjadi tiada. Aneh. Maka ketika UU memangkas apa yang telah berkembang di masyarakat, di sinilah titik krusialnya. Dengan pencantuman TIM SINKRONISASI tegas berhuruf kapital, itulah pesannya. Pesan pertama peran Timsin jadi pengesah karena statusnya legal. Peran kedua Timsin, apa yang dituang dalam revisi UU itu sah. Sebab itu sudah melalui proses dialog dan wawancara dengan masyarakat. Tak ada pemangkasan, tak ada kedzaliman, serta tak ada pemaksaan. Karena sudah sesuai aspirasi masyarakat, diharap protes ini dan itu bisa diredam. Titik. Jelas?
Kedua PRANATA KEAGAMAAN Pada bagian Pertimbangan ayat C dikatakan ‘bahwa zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat’. Soalnya, apa yang dimaksud dengan pranata keagamaan? Ini perlu dijelas tuntas agar tak terjadi wilayah abu-abu. Agar para pihak jadi jelas, hingga tak timbulkan persepsi tersendiri. Yang ujung-ujung persepsi, biasanya bukan hanya berakhir tak produktif, melainkan juga munculkan berbagai ghibah dan fitnah. Apakah pranata keagamaan ini disamakan seperti shalat, puasa, dan haji. Jika ya, mengapa hanya haji dan akhirnya zakat yang bakal diurus pemerintah. Sedang shalat dan puasa tak dilirik pemerintah.Mengapa? Ini menumbuhkan dugaan-dugaan tak sehat. Jika pranata keagamaan zakat berbeda dengan shalat dan puasa, lalu dimana bedanya.Sambil mencari pembedanya, apakah karena berbeda, maka hanya zakat dan haji yang diurus pemerintah. Sama atau beda, bukankah pertanyaannya tetap sama: “Apa yang dimaksud dengan pranata keagamaan?”
Persepsi duga menduga pun muncul. Salah satunya, apa karena zakat wakaf haji ada uangnya hingga langsung ditangani pemerintah. Jika bukan uang, lantas apa latar belakangnya. Haji tak beda dengan umroh dan wisata lainnya. Mengapa hanya haji sementara yang lain-lain tak diatur. Ada pemerintah yang mengatur haji, ada pula yang tidak ikut campur. Tak berarti pemerintah yang tak turut mengatur jadi buruk. Sebaliknya tak otomatis pemerintah yang mengurus juga jadi baik. Dalam disertasi Politik Islam Hindia Belanda, Aqib Suminto menarik soal ini ke akar sejarah. Pengurusan haji memang warisan kolonial Belanda. Sesungguhnya bukan mengurus, melainkan ini cara jitu Pemerintah Hindia Belanda memantau jamaah haji. Setiap sepulang haji, selalu saja terjadi pergolakan menentang penjajah yang mereka motori. Snouck Hurgronje pun mengusulkan dibuat Kantoor vor het Indslandze Zaken. Tugas kantor ini khusus memantau pergerakan jemaah haji, terutama setelah kembali ke Indonesia. Kantor inilah yang sekarang diwariskan dengan nama Departemen Agama. Bicara zakat juga mewakili dana kemanusiaan lain. Soalnya mengapa hanya zakat, sedang yang lain tidak dikelola negara. Alasan pertama bisa jadi karena zakat wajib. Bicara wajib, shalat dan puasa juga wajib.Cuma mengapa itu tak dikelola negara. Di luar Allah swt, hanya negara yang tahu jawabnya. Itupun tak semua, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menjawabnya. Alasan kedua negara ikut mengelola zakat, ini cuma metode. Bicara metode acuan pertimbanganjelas sikon. Bisa total pemerintah, bisa juga diserahkan pada masyarakat. Atau juga bisa pula seperti yang selama ini telah berjalan, ada BAZ, LAZ dan BAZNAS serta lembaga kemasyarakatan lainnya. Alasan ketiga mengapa zakat dikelola pemerintah,jelas karena ada uangnya. Kendati cuma 2.5%, terbukti dana zakat yang terhimpun terus meningkat. Sebelum DD lahir tahun 1993, zakat hanya bicara potensi. Setelah terbukti penghimpunan zakat makin meningkat, kini ada yang amat serius tekuni hingga harus keluarkan UU dan aturan.Lha koq nggak dari dulu. Dengan mengurai tiga alasan tersebut, soal pranata keagamaan ternyata masih juga belum tuntas terpapar. Yang makin diurai, jangan-jangan malah makin lemahkan argumen. Diulik sana, sulit utak atik padanan kaitannya. Diulik sini juga sami mawon. Maka kesimpulanya terang berderang, bahwa istilah pranata keagamaan hanyalah siasah. Bicara zakat mutlak dimasukkanke wilayah agama yang juga seperti haji, zakat diprerogratifkan jadi hak Depag semata. Pranata keagamaan memang jargon. Yang namanya jargon hanya dipahami sepihak. Utuh tidaknya memahami jargon tergantung kosa pemikiran. Dia bisa tersempitkan, bisa juga terluaskan maknanya. Begitu kita kunyah-kunyah, paradigma kontekstualnya ternyata tak sederhana. Yang mau tak mau ini harus diutuh-utuhkan singkapannya. Yang bisa jadi ketika menulis pranata keagamaan, hal ini justru luput dari pemikiran. Begitulah ada tiga hal yang layak disimak begitu zakat dijargonkan pranata keagamaan. Pertama pranata keagamaan tegas jadikan zakat hanya ditangani Depag. Sedang yang sekuler diurus non-Depag. Ini bukannya tersesat, melainkan secara sadar dan kita memilih untuk sesatkan diri di lajur yang benar. Zakat yang ekskalasinya luas, disempitkan hanya jadi pranata keagamaan yang
jargonnya cuma dipahami sepihak. Yang jangan-jangan cukup hanya dihiduphidupkan dalam amar maruf, dan hanya dihimbau-himbau. Zakat itu punya ruh. Yang begitu dikelola sungguh-sungguh, profesional, serta dipahamkan tujuan dan maknanya, mustinya zakatbisa jadi landasan bagaimana seharusnya kebijakan makmurkan negeri dirumus.Ini visi, ini kehendak politik yang harus ada dan dibangkitkan dalam diri tiap amil. Bukan politik praktis seperti yang diperagakan politisi karbitan partai-partai. Sesungguhnya inilah hidden politic. Inilah jawaban mengapa zakat dijadikan satu dari Rukun Islam. Karenanya yang harus di-set up adalah cara berpikir kita. Amil bukan pegiat sosial. Amil adalah negarawan. Andai ditertawai sok jadi negarawan, biarkan. Jangan resah dengan apa yang dikatakan orang. Tapi resahlah jika kita tak paham apa yang tengah dikerjakan. Resahlah bila kita tak tahu untuk siapa yang kita kerjakan ini. Berapa banyak yang paham bahwa peran amil bak negarawan. Bicara negarawan seolah hanya hak politisi, DPR, dan pejabat. Padahal inti dari kenegarawanan adalah apa yang diberikan untuk bangsa? Amil berjihad untuk atasi kemiskinan. Tanpa fasilitas dan tanpa dukungan, tapi tetap harus diihtiarkan. Bukankah ini negarawan? Sebagai negarawan apapun akan dikhidmatkan bagi bangsanya. Mengatasi kemiskinan itulah puncak dari perkhidmatan pada bangsa dan negara. Karena zakat perintah agama, sesungguhnya ini yang harus jadi akar fondasi. Jadi landasan kiprah setiap muslim, baik yang punya jabatan, punya gelar, punya harta serta siapapun yang tak punya apapun. Menjalinnya dalam tali Allah swt. Bukan karena perintah agama lantas dikatakan pranata keagamaan. Lantas jargonnya hanya dipahami sendiri sebagai pengesah untuk dikelola eksklusif. Jangan kecilkan zakat. Saatnya pengelolaan zakat disosialisasikan pada para policy maker. Dalam kondisi Indonesia yang kebijakannya banyak tak berpihak, maka zakat wajib disodorkan dipertontonkan. Zakat bukan ‘pahe’ (paket hemat), melainkan paket lengkap amar maruf nahi mungkar. Artinya di nahi mungkar, para amil harus sungguh-sungguh berdiri kokoh dan tegap di barisan terdepan orang-orang kalah. Amil harus jihad suarakan pembenahan kebijakan yang tak beres. Amil pantang menyerah berhadap-hadapan dengan ketidakadilan. Siapkah? Pengelolaan zakat dalam atasi kemiskinan merupakan puncak jihad. Dalam konteks ini apa yang dikatakan Ibnu Taimiyah jadi amat relevan serta terasa kebenarannya. Bahwa zakat adalah keputusan politik paling penting dalam Islam. Tak heran lantas Ibnu Taimiyah pun samakan antara zakat dengan pajak. Maka mengelola zakat seperti mengelola pajak. Mengelola lembaga zakat seperti mengelola negara. Rasulullah sawpun tegaskan: “Tak mungkin seseorang telanjang dada dan kelaparan jika bukan karena kebakhilan muslim yang lain”. Pendapat Ibnu Taimiyah mustinya dihayati betul bukan hanya oleh amil. Artinya sampai sejauh mana para amil sudah suarakan ini untuk didengar oleh pejabat negara yang muslim. Bukan untuk ubah haluan negara. Cuma apa
yang mereka lakukan, harusnya merujuk pada substansi zakat. Makna hadits di atas pun pertegas tentang perilaku. Yang dalam bahasa pejabat, cara berpikir mereka bukankah menghasilkan kebijakan. Yang dalam perilaku pejabat, bukankah terimplementasi dalam plan of action. Yang di lapangan, bukankah yang kerap terjadi adalah ketidaksinkronan. Pertanyaannya tepat alamatkah zakat dikelola secara departemental? Zakat adalah satu sumber devisa, mengapa dia dihimpun dan langsung dikelola departemen. Jika memang pemerintah ingin utuh dan serius mengelola zakat, mengapa masih setengah hati. Mengapa zakat seolah hanya berhak dikelola oleh Depag? Bukankah pemerintah itu adalah pengemban amanah negara. Ketika model sektoral dengan memaksa-maksa kehendak, lalu bolehkah pajak dihimpun Dirjen Pajak lantas dikelola sendiri? Kedua ketika dikatakan pranata keagamaan, terjadi pendangkalan keakarakarnya. Kekuatan zakat dilumpuhkan. Seolah hanya berada di wilayah kegiatan sosial semata. Dalam tradisi masyarakat kita yang lemah jihadnya, kegiatan sosial pun sudah dianggap sesuatu yang luar biasa. Kegiatan sosial itu pasif dan reaktif. Sedang atasi kemiskinan tak bisa pasrah begitu. Harus aktif, berani berdiri dan lantang untuk memihak. Karena itulah dikatakan mengatasi kemiskinan adalah puncak jihad. Itulah yang dipesankan Rasulullah saw, membantu kesulitan seseorang seolah membangun dunia dan seisinya. Begitulah dalam tradisi masyarakat kita yang santun, pranata keagamaan sudah dianggap jihad. Kegiatan sosial pun sudah dianggap lebih dari cukup. Jihad kita jadi sebatas kegiatan sosial saja. Zakat yang harusnya meluas, akhirnya terperangkap dalam kelolaan satu pihak. Kehebatan zakat terbunuh oleh cara pandang kita. Zakat terbonsai, terkerdilkan, dan terkebiri justru di negara yang jumlah umat Islamnya terbesar di dunia. Kita puas zakat tak jadi apa-apa. Kita bangga usung hanya sebatas amar maruf saja. Padahal membangun kehidupan apalagi atasi kemiskinan haruslah benahi yang mungkar. Apanya yang mungkar? Kemiskinan Indonesia struktural sifatnya. Terjadi karena berbagai faktor, di antaranya kebijakan negara, ekspansi bisnis, tak jihadnya masyarakat serta lemahnya amil. Kebijakan negara dan ekspansi bisnis bukankah itu kemungkaran. Menjual sumber daya ke asing, ini contoh bukan hanya melemahkan tapi juga memiskinkan bangsa. Korupsi dan tradisi proyek pemerintah, ini contoh kemungkaran pula. Sebagai pegiat sosial, amil tak merasa perlu masuk dalam kancah ini. Sebagai negarawan, inilah jihad amil pula. Maka UU Nomor 23 tahun 2011 ini, baik atau buruk? Dalam membandingkan haji, pemerintah telah ‘tugaskan’ Depag yang mengelola. Malaysia melesat dengan lembaga independennya Tabung Haji. Sedang kita dari dulu hingga sekarang tetap dikelola langsung Depag. Saat di zaman apes kolonial dulu, Kantoor vor het Indslandze Zaken yang tangani. Karena tujuannya jelas untuk memantau dan mematai-matai jemaah haji. Sekarang apa yang musti dipantau. Soalnya mengapa kita tak buat seperti Tabung Haji?
“Sssst gak usah ikut campur. Itu urusan orang lain,” nurani saya ingatkan diri. “Siaaaap!”, jawab saya sigap. Dalam pengelolaan zakat memang ada hal dasar yang berbeda. Uang haji DARI calhaj, dikelola OLEH perantara, dan UNTUK ybs. Sedang zakatDARI MUZAKI, OLEH AMIL, dan UNTUK MUSTAHIK. Idiom-nya sama-sama DARI OLEH dan UNTUK. Tapi karena berbeda UNTUK-nya, maka proses dan hasilnya jadi total berbeda. Sesulit-sulitnya haji, problemnya tetap tak separah kemiskinan. Haji untuk kepuasan, sedang zakat menyangkut hidup mati orang lain. Bicara kepuasan bicara rasa-rasa hati. Yang begitu tak puas, ujungnya cuma jengkel dan dongkol. Yang jika merasa dirugikan, bisa menuntut pula. Maka bagi yang hendak berhaji, bekal yang selalu dipesankan ada tiga, yakni sabar, sabar, dan sabar. Kendati kisruh ketika berhaji, tetap tak merampas masa depan hidup mati. Seperti juga umrah, sesungguhnya haji bisa diurus yang punya hajat sendiri ke Tanah Suci. Hanya karena menyangkut kuota, pemerintah musti turun tangan.Tapi esensinya tetap, pemerintah tak perlu urus orang mampu apalagi yang kaya. Mereka sudah bisa urus diri sendiri. Ketika diurus pun cuma sesaat. Sedang kemiskinan? Orang miskin tak bisa dibiarkan. Mereka harus dibantu, dipihaki, serta sungguh-sungguh diangkat. Mereka telah gagal manfaatkan potensi diri dan peluang. Apalagi kemiskinan di kita adalah struktural. Ada yang jadi miskin karena ditipu. Banyak juga yang tanahnya diserobot, seperti kasus Mesuji Lampung tahun 2011. Ini satu kasus dari sekian banyak perluasan lahan yang halalkan berbagai cara. Tak sedikit pula yang jadi miskin karena harga-harga terus melonjak. Banyak petani yang akhirnya tinggalkan tanah karena kalah bersaing dengan produk import. Izin pendirian minimarket dan pasar raksasa modern, masih banyak yang tak yakin bahwa itu proses penghancuran ekonomi rakyat. Ini contoh-contoh eksploitasi. Yang bisakah diatasi hanya dengan kegiatan sosial. Bisakah hanya diatasi dengan sekadar himbau menghimbau. Yang dihadapi kemiskinan adalah keserakahan. Banyak orang berkepentingan di sana. Yang bisnisnya terus ekspansi akan hancurkan apapun hadangan. Ada juga pemegang kebijakan yang merasa bahwa apa yang dilakukan tidak hancurkan negeri. Maka obral BUMN dan penyerahan sumber daya untuk asing, dianggap sukses serta tidak dianggap kekeliruan. Alamaaak negeriku. Maka sangat tidak bijak dan maruf hanya tempatkan zakat sebagai pranata keagamaan untuk dikelola sendiri. Hanya dikelola dengan sekadar himbau menghimbau, serta kegiatan sosial semata. Ini cuma amar maruf yang nahi mungkarnya entah. Itu semua harusnya terangkum dalam kebijakan. Dalam format pemerintah, himbauan mustinya masuk dalam kebijakan. Lantas kegiatan sosial juga sudah diperankan Depsos. Ini juga bagian dari kebijakan. Yang belum adalah kebijakan untuk tak juali aset negara, tak membiarkan pengusaha serakah terus ekspansi caploki ini itu, dan tak membiarkan rakyat diambili hak-haknya. Karena lapar rakyat yang mencuri tiga bija kakao
dihukum. Ada PRT yang dituduh mencuri kain pun di-PTUN-kan. Sandal jepit pun dilaporkan oleh anggota Polisi hingga yang katanya si pencuri pun dihukum. Hukum kita jelas bermata dua. Ke atas tumpul, ke bawah tajam. TIDAK ADIL. Dengan format kegiatan sosial, sampaikah ranah ini dalam kiprahnya nanti? Andai pemeritah memang serius tangani zakat, janganlah setengah hati. Ingat kemiskinan adalah struktural. Intinya akibat kebijakan pemerintah. Yang salah satu wujud kebijakan itu membiarkan swasta ekspansi bisnis kemanamana. Perkebunan kelapa sawit yang melahap tanah rakyat munculkan kemiskinan. Bisakah kemiskinan itu dilawan dengan kegiatan sosial? Kebijakan harus dilawan dengan kebijakan. Tak bisa kebijakan dilawan hanya dengan kegiatan sosial.
Ketiga ketika pranata keagamaan diparadigmakan, soalnya memang tak lagi sederhana. Maka hal ketiga yang termentahkan adalah pengabaian mekanisme pengelolaan keuangan zakat. Dalam sejarahnya Baitul Maal menghimpun devisa dari berbagai sumber. Salah satunya zakat. Di luar zakat, pemerintah leluasa alokasikan dana sesuai sikon dan kehendak pengelola. Untuk zakat tidak. Baitul Maal hanya pengelola, tidak memiliki zakat. Kepemilikan zakat jelas, siapa lagi jika bukan mustahik. Meski saya tak bekerja di lembaga pemerintahan, boleh dong urun rembug tentang pengelolaan keuangan. Andai keliru berpandangan, ya maaf maaf. Andai benar jelas bukan dari saya. Manusia sompreeet seperti saya ya kurang maruflah. Ada saja yang selalu merahtelinganya. Maka ketika pandangan saya menyinggung, weleh meski tak bermaksud begitu saya minta maaf. Andai jadi masukan, kebaikan uang itu bukan juga untuk saya. Sebesar-besarnya untuk mustahik. “Eeeh maksudnya sekarang elo juga minta kecipratan atau fee-lah bahasa keren-nya? Gitu ya booo. Gak malu tuuuh, katanya social entrepreneurrrrr!” Sindir bathin saya. Bisikan nafsu mulai memancing-mancing lagi di air keruh. Namanya nafsu, pasti maunya yang keruh dan kotor-kotor. Ada hal yang perlu didengar, namun banyak juga hal yang tak perlu didengar. Jadi, emang-nya gue pikiran, kata saya tak peduli pada nafsu yang mungkin jadi panas karena tak tergubris. Andai Indonesia memang serius kelola zakat, Baitul Maal di era dulu bisa jadi rujukan. Bahwa bakal terjadi gempa bumi di beberapa pihak karena mengacu kekhalifahan, itu soal lain. Bahwa Baitul Maal sebagai rumah harta yang sekarang kapasitasnya terkecilkan hanya jadi Departemen Keuangan, itu soal yang lain pula. Yang pasti sumber devisa dari manapun bisa masuk dari pintu manapun. Devisa masuk sebagai kas negara. Harus dikelola oleh satu badan, yang sekarang itulah Departemen Keuangan.
Ketika Negara Serius Tangani Zakat Jika negara memang serius tangani zakat, ada beberapa hal yang harus dikaji. Pertama Pemerintah vs Negara Pertama Indonesia Negara Sekuler Kedua Depag atau Depkeu ini wilayah siapa? Ketiga, hanya berlaku bagi zakat, tapi tidak untuk sedekah dan wakaf karena sifat dananya sukarela. Ini kebijakan strategis dan langkah taktis dalam pengelolaan zakat ke depan yang lebih baik. Mengapa begitu, ada beberapa hal yang bisa kita simak. Zakat sebagai Devisa Negara Zakat seperti pajak, harus masuk ke kas negara. Ini jelas ranahnya Departemen Keuangan. Dengan di Depkeu, zakat tak lagi bersifat filantrophi. Tetapi telah dikelola sama seperti pajak dalam kebijakan fiskal. Dengan demikian zakat tak lagi terlirik setengah hati. Ketika masih menjabat Dirjen Pajak, Hadi Purnomo sempat menawarkan kantor pajak di seluruh Indonesia bisa menjadi gerai zakat. Tawaran baik yang sayangnya belum terseriusi. Pemasukan Maksimal Dengan kantor pajak jadi gerai zakat, penghimpunan zakat tak lagi sporadis dan terpenggal-penggal tak merata. Seperti pajak, kampanye zakat bisa terkoordinir, serentak, solid, dan merata. Dimana-mana kampanye zakat jadi sama. Yang muzaki di pelosok manapun bisa memahami kampanye zakat. Untuk akhirnya hanya tinggal selangkah lagi untuk tunaikan zakat ke gerai zakat di kantor pajak. Departemen Lain Terlibat Di samping tangani pajak, peran Depkeu yang bertambah sebagai bendahara zakat jadi pas.
Isu koptasi negara jadi tak relevan karena negara justru serius tangani. Kalau setengah hati itulah koptasi negara. Kesana gak kesini gak. Yang ada cuma kekuasaan yang menang karena punya wewenang untuk ini itu. Perbedaannya kita simak. Setidaknya terbedakan atas dua hal. Pertama dikelola langsung oleh negara. Dan kedua dikelola oleh badan independen. Bukankah ini bertabrakan dengan sistem keuangan negara? Zakat jadi eksklusif, seolah hanya hak Depag dan rekan-rekannya tak bisa didistribusi kepada departemen lain yang juga urusi kemiskinan. Tidak ada sejarahnya sesungguhnya depag urusi kemiskinan. Ini malah amat terkait dengan depsos. Di masa kekhalifahan, zakat masuk dalam baitul maal, atau Departemen keuangan dalam konteks kekinian Independen bisa lakukan jika konsen pada bidang sesuai kompetensinya. Atasi kemiskinan. BAZNAS lebih seperti tabung haji. Tapi tabung haji itu
perusahaan. Sedang BAZNAS seperti pemerintah sama-sama lembaga nirlaba. Tangani perusahaan susah. Tangani lembaga nirlaba juga tak kalah sulit. Malah harus bantu orang lain. Sesulit-sulitnya haji, itu hanya diurus sesaat saat musim haji. Sedang fakir miskin, bisakah diurus sesaat? Karena tak bisa sesaat, maka ada beberapa hal yang harus ditimang-timang. Tak bisa kemiskinan hanya diatasi dengan kegiatan sosial yang hit and run. Orang lapar segera tangani perutnya. Sedang bicara masa depan, harus dirancang baik-baik. Biarkan kemiskinan dibawa orang tua ke liang lahat. Tapi jangan biarkan kemiskinan diwariskan. Caranya? Tingkatkan pendidikan. Beri modal. Kondisikan agar bisa mandiri. Yang semua itu diawali dengan cara berpikir. Cara berpikir baik lahirkan kebijakan. Kebijakan yang berpihak perlu dikawal ketat. Bisakah?
Pranata keuangan Pertimbangan e) bahwa UU no 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, sehingga perlu diganti: Ada dua, tak sesuai menurut siapa? Mengapa pemerintah yang bertindak atas nama pemerintah, tegas dan yakin ada yang tak sesuai dengan masyarakat. yang masyarakat adalah kami yang tak duduk di pemerinah apalagi jadi pejabat. Bagi kami tak ada soal dengan itu Bab 1 ketentuan Umum pasal 1 ayat 6: LAZ adalah lembaga yang dibentuk masyarakat yang memiliki tugas membantu pengumpulan, pendisitribusian dan pendayagunaan zakat. Kok katakan cuma membantu? Tanpa LAZ tak lahir direktur zakat di Kementrian Agama dan UU yang bicara soal zakat, berarti telah menempatkan zakat sebagai salah satu hukum positif bangsa Pasal 2, pengelolaan zakat berazaskan Ayat a ) syariat Islam dan d) keadilan, apakah ini adil bekap LAZ dan hanya bicara BAZNAS dan BAZ. Apakah ini sesuai tuntutan syariah? Pasal 18 Ayat 1) Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Ayat 2) izin sebagaimana dimaksud pada ayat 1) hanya diberikan apabila memenuhi persyarakat paling sedikit: (berarti ada syarat tak tercantum yang subyektif, bisa berlaku sekehendak hati) a) terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial Bab IV pembiayaan pasal 30: Untuk melaksanakan tugasnya, BAZNAS dibiayai dengan APBN dan hak amil. Lihat betapa bodohnya......
UU 38 bisa dikata gagal. Karena tak ada ingkar muzaki. Kini lebih gagal lagi karena dipangkas pula peran masyarakat. Dan donatur salurkan sendiri itu pelestarian kemiskinan. Negara boleh mengelola tapi tidak memiliki. Ini posisikan negara tak sewenang-2 untuk memonopoli. LAZDA tak terbahas sama sekali. Artinya keberadaannya dinafikan. Ma’rufkah? Di daerah sudah ada yang beriklan yang berhak adalah BAZ. LAZ tidak berhak. Ada ancaman di UU dan pasal sekian dan sekian. Semangat menyusun UU ini dan revisinya jangan-jangan adalah semangat untuk memangkas LAZ? UU revisi ini seperti pisau bermata dua. Ke bawah tajam, ke atas tumpul.
“Lebih baik saya dipenjara karena wajibkan zakat ketimbang karena korupsi”. Kata Bupati Lombok Timur,
--o0o--