I
TIGA MODEL PENDEKATAN STUDI HUKUM ADAT
TIGA M O D E L PENDEKATAN STUDI H U K U M A D A T SUATU LAPORAN PENATARAN
H . Slaats (ed)
Diterbitkan oleh:
Syiah Kuala University Press dan Pusat Studi Hukum Adat dan Islam Fakultas Hukum Unsyiah 1993
No. ISBN 979-8278-01-1
III
Hak cipta © 1993 pada penulis maslng-maslng
J!° JKf* °
^ ° X be reproduced or transmltted ln any form or by any £ f ™ n ^ ! tronic. Includlng photocopylng. recordlng, or by any Information storage and retrleval system, without permlssion ln wVltlng from the author 6
C
f
l s
h
c
b o
( a
l
k
o r
m a
e
ec
DIJarang mengutlp atau memperbanyak sebaglan atau seluruhnya isl buku lnl „uw . ™* &* apapun, balk secara mekanls maupun elektronis. termasuk dengan cara penggunaan mesln fotokopl. rekanan dan laln-laln, tanpa lzln tertulls darl penulis. a
e n
c a r a
For lnformauon address: Dr. H. Slaats - Faculty of Law Cathollc Unlverslty Nijmegen - TPb. 9049 - 6500 KK Nijmegen - the Netherlands. ISBN
979-8278-01-1
Setting: Apple Macintosh; font Bookman 12pt 90% Dicetak pada Universitas Sylah Kuala, Banda Aceh, Indonesia.
IV
DAFTARISI
KATA P E N D A H U L U A N Prof. DR. H . Moh. Koesnoe S H
IV
KATA P E M B U K A Prof. DR. A.A. Trouwborst DR. Mr. H . Slaats
IX
PENGANTAR DR. Mr. H. Slaats Prof. DR. A.A. Trouwborst
1
S E B U A H A J A R A N TENTANG HAKIM PADA MASA KESULTANAN Dl A C E H T. Mohd. Juned S H .
53
TENTANG PENGUASAAN TANA H PADA MASYARAKAT PEDESAAN Dl A C E H T.I. E l Hakimy S H . 70 PROSES DAN UPACARA ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT DAYA T A M A N Y.C. Thambun Anyang SH.
92
V
KATA PENDAHULUAN Pada tahun 1978, dalam rangka melaksanakan suatu fleldwork di Tanah Alas, saya sempat bertemu dengan Rektor Universitas Syiah Kuala yang waktu ltu dijabat oleh Prof. DR. Ibrahlm Hasan dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala yang dijabat oleh Bp. Gazali SH. Dalam pertemuan tersebut dikemukakan oleh baik Rektor maupun Dekan tersebut kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala dalam usaha memajukan bidang akademiknya berhubung isolasi baik geografis maupun hubungan ilmiah yang dialami oleh fakultas tersebut. Dalam pembicaraan itu juga dibicarakan tentang kemungkinan bagaimana dapatnya mengatasi persoalan diatas. Sehubungan dengan itu pada tahun 1979 Rektor Universitas Syiah Kuala minta saya untuk bersedia menjadi Gurubesar luarbiasa pada Fakultas tersebut, satu sama lain untuk dapat membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi Fakultas Hukumnya tersebut. Dalam rangka itulah kemudian dengan bantuan temanteman dari Negeri Belanda saya adakan suatu Penataran tentang Hukum dan Hukum Adat di dalam lingkungan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala. Mengingat bahwa penataran tersebut merupakan suatu penataran yang diberikan oleh tenaga-tenaga dari luar negeri yang dapat memberi bahan-bahan pengetahuan terbaru mengenai studi hukum dan antropologi hukum, maka baik Rektor maupun Dekan Fakultas Hukum mengharap agar penataran tersebut tidak hanya dinikmati oleh Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala saja, akan tetapijuga oleh Fakultas Hukum-Fakultas Hukum lainnya yang ada pada Universitas Negeri di Indonesia bagian Barat, yaitu meliputi Sumatera dan Kalimantan Barat. Dalam perjalanannya penataran yang diselenggarakan secara kontinu selama lima tahun. timbul keinginan baru dalam kalangan plmpinan Universtias untuk menjadikan Vil
penataran tersebut tidak hanya untuk membuka keterbelakangan dan isolemen akademik Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala saja, akan tetapi mengingat mutu isi penataran, agar diarahkan lebih jauh menjadi penataran yang mengarah kepada bimbingan untuk menyusun suatu karya ilmiah yang akhimya dapat diajukan sebagai disertasi untuk mencapai derajat doktor dalam ilmu hukum. Pikiran tersebut didasarkan kepada pertimbangan bahwa suatu universitas hanya akan bernilai sebagai universitas bila antara lain menghasilkan karya-karya ilmiah yang diakui di dalam dunia ilmu pengetahuan, yang antara lain berbentuk disertasi yang bermutu. Sehubungan dengan itu penataran tersebut menjadi berkembang lebih meluas. Tidak hanya antropologi hukum dan hukum adat saja yang diberikan. akan tetapi juga ilmu-ilmu yang menjadi dasar mutlak untuk dapat memajukan ilmu hukum pada umumnya, seperti teori-teori umum tentang hukum beserta segala cabang-cabangnya. Namun demikian dasar tujuan semula. yaitu penataran dalam rangka memajukan studi hukum adat, retap menjadi titik beratnya. Pada masa yang silam studi hukum adat pada mulanya dititik-beratkan sebagai studi yang bersifat etnografi dan etnologi. Dari studi ini kemudian berkembang menjadi studi yang mengkhususkan diri kepada etnografi dan etnologi hukumnya. Dalam tahap terakhir sampai Perang Dunia Kedua studi itu mengarah kepada studi ilmiah hukum dalam rangka ilmu hukum positip yang dijiwai oleh ilmu hukum Barat. Sampai tahap itu studi hukum adat kemudian mengalami kemacetan. Hal ini terjadi terus sampai jauh di dalam tahun 70-an sampai ada rintisan baru untuk merubah kemacetan studi tersebut. Di dalam rintisan baru tersebut, studi dalam hukum adat diusahakan untuk benar-benar merupakan studi Ilmu hukum pada umumnya dan studi VIII
hukum positif pada khususnya di dalam kerangka pandangan yang nasional. Upaya ini membawa studi tersebut menjadi studi yang sifatnya dualistis. Di satu pihak diperlukan suatu pengetahuan tentang fakta dari hukum adat di dalam kehidupan sehari-hari pada masyarakat kita, di lain pihak kita memerlukan pengetahuan yang mengarah kepada nilai-nilai yang bersifat normatip beserta sistimnya dalam arti sebagai sistim hukum. Tuntutan studi yang demikian membawa penataran yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala kepada kebutuhan tentang pendalaman antropologi, khususnya antropologi hukum, ilmu yang memberikan penguasaan tentang teknik-teknik kerja lapangan guna menangkap hukum adat dalam kehidupan sehari-hari, teori dan filsafat hukum serta ilmu hukum yang sifatnya sebagai ilmu hukum positip. Dengan sendirinya penataran yang menuju kepada penguasaan ilmu-ilmu sebagaimana tersebut diatas dengan tujuan memajukan studi hukum adat dalam rangka semangat yang nasional banyak menimbulkan pertanyaanpertanyaan. Dari itu penataran ini harus ditutup dengan suatu hasil yang nyata yang dapat dipakai untuk evaluasi. Untuk itu maka penataran tersebut ditutup dengan suatu laporan ilmiah sebagaimana dalam bentuknya yang disajikan dalam publikasi ini. Bilamana diperhatikan isi laporan tersebut akan segera dapat diketahui bahwa laporan ini memuat tiga macam tulisan yang mempunyai sifat yang berbeda-beda satu sama lain. Tulisan yang pertama menunjukkan suatu tulisan dimana pengaruh etnologi sangat jelas. Tulisan yang kedua menunjukkan masih kuatnya pengaruh studi etnografi hukum dari masa yang silam yang sampai kini banyak pula dilakukan oleh para pengasuh dan pemelihara studi ilmiah tentang hukum adat di Indonesia. IX
Tulisan yang ketiga menunjukkan suatu arah yang menginginkan penggalian dunia ide tentang hukum adat, terutama dalam hal ini mengenai studi tentang ajaran adat tentang bagaimana seharusnya hakim atau penguasa adat didalam menjalankan tugas-tugasnya. Ringkasnya studi ini berorientasi kepada alam nilai. Dari ketiga laporan tersebut pembaca akan dapat memperoleh cerminan studi yang bagaimana yang sampai kini masih menguasai pengusahaan ilmiah dari hukum adat. Dari situ para pembaca diharapkan dapat memperoleh ilham yang tepat tentang arah yang sesungguhnya yang harus dituju dalam menangani studi hukum adat sebagai studi hukum positip dalam rangka semangat nasional. Sebagai penutup perlu dikemukakan disini rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua fihak yang telah dengan nyata menyumbangkan pikiran, tenaga dan keuangan untuk dapatnya terselenggara penataran Hukum dan Hukum Adat Universitas Syiah Kuala tersebut. Terutama dalam hal mi secara khusus saya sampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. A.A. Trouwborst dan Dr. Herman Slaats yang dengan sepenuh tenaga dan pikiran telah membantu secara nyata mungkinnya penataran tersebut sampai pada akhir sebagaimana ternyata dalam bentuk publikasi laporan penataran ini. Nijmegen, 1 Nopember 1992 Prof. DR. H. Moh. Koesnoe SH.
X
KATA PEMBUKA Buku ini merupakan hasil dari 'Penataran Ilmu Pengetahuan Hukum dan Hukum Adat' yang diadakan selama 15 minggu pada tahun-tahun 1980. '82. '84. '85 dan '90 di 'Pusat Studi Hukum Adat dan Islam' Fakultas Hukum. Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh. Pemrakarsa dari proyek ini adalah Prof. DR. Moh. Koesnoe SH.. Gurubesar emeritus pada Universitas Airlangga di Surabaya dan Gurubesar luarbiasa pada Universitas Syiah Kuala. Selaku direktur 'Pusat Studi Hukum Adat dan Islam' beliau dari permulaannya menjadi pendorong utama dan demikian juga selama berlangsungnya seluruh kegiatan proyek. Organlsasi penataran ini berada dalam tangan para anggota staf 'Pusat Studi Hukum Adat dan Islam' tersebut yang dipimpin oleh Bp. T. Gazali SH. sebagai direktur administratif. Kami sangat berterima kasih kepada Bp. T. Gazali SH. beserta stafnya untuk pengasuhan materiil dari para peserta dan dosen serta pengaturan kursus. Kami mengucapkan terima kasih pula kepada Universitas Syiah Kuala, khususnya kepada Rektor pada waktu itu, yaitu Prof. DR. Ibrahim Hasan dan Prof. DR. Abdullah Ali] dan kepada Dekan Fakultas Hukum. Abdullah Ahmad SH. dan M. Thaib SH.. atas dukungan dan kebaikan mereka dalam penerimaan tamu. Berkat fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh universitas dan fakultas ini. penataran ini dapat berlangsung dengan lancar dan effisien. Perlu dikemukakan Juga bahwa keseluruhan dari proyek ini sampai pada publikasi ini tidak mungkin terlaksana tanpa bantuan dari Katholieke Universiteit Nijmegen, yang telah memberi kesempatan kepada kami untuk melaksanakan tugas kami sebagai pengajar dalam penataran dan meng-edit hasilnya didalam bentuk buku ini dan Juga yang menyokong kegiatan itu dengan bantuan administratif dan fasilitas-fasilitas teknis. Proyek penataran ini dimulai dan berlangsung dengan sumbangan biaya dari Asia Foundation dan dari KeXI
menterian Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Negeri Belanda bagian Hubungan Luar Negeri. serta Universitas Syiah Kuala dengan sumbangannya dalam bentuk fasilitasfasilitas yang disediakan. Pada semua lembaga-lembaga ini kami ingin menyatakan rasa terima kasih kami Tujuan proyek ini adalah untuk menatar beberapa orang staf pengajar Fakultas-fakultas Hukum dari berbagai Universitas di bagian Indonesia Barat. Peserta penataran ini adalah dosen-dosen dari Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh. Universitas Sumatera Utara di Medan. Universitas Andalas di Padang, dan Universitas Tanjung Pura di Pontianak. Beberapa orang guru besar dan staf pengajar dari universitas-universitas Indonesia dan Belanda dikerahkan sebagai dosen/pengajar dalam penataran ini. Dari disiplin ilmu yang berbeda-beda, antara lain ilmu pengetahuan hukum dan Ilmu pengetahuan soslal. khususnya antropologi, mereka memberi sumbangan kepada studi hukum adat sebagai suatu unsur yang penting dalam kehidupan hukum yang kompleks di Indonesia masa kini. Tujuan utama adalah untuk mempersiapkan beberapa peserta yang berminat dan mampu, dalam usaha menulis disertasi dan melakukan promosi akademis pada suatu universitas di Indonesia atau di Negeri Belanda. Oleh karena terjadi perubahan dalam peraturan-peraturan tentang promosi akademis di Indonesia. tujuan awal itu tidak dapat dilakukan lagi di Indonesia seperti yang direncanakan oleh pembimbing proyek. Namun demikian tidak dapat dikatakan bahwa proyek penataran adalah sia-sia dan tidak berhasil. Pertama-tama dapat dikemukakan bahwa ada beberapa orang peserta penataran ini yang, pada waktu buku ini dipersiapkan, sedang mempersiapkan promosi akademisnya, baik melalui program S2 atau S3 dalam rangka peraturan promosi baru, maupun melalui studi di luarnegeri. Mungkin saja pengalaman dan pengetahuan yang mereka peroleh dalam rangka penataran Ini secara tidak langsung XII
mempengaruhi Juga kedudukan dan kegiatan mereka dalam studie program S2 atau S3 itu. Sebagai bukti nyata dari hasil proyek penataran itu, adalah buku ini yang terdiri dari sumbangan tiga orang peserta penataran yang didahului dengan kata pendahuluan kami sebagai penyusun. Ketiga peserta ini bersedia untuk mengolah kembali tulisan-tulisan yang telah disusun mereka dalam rangka penataran itu. Mereka bertiga dengan penuh kesabaran telah ikut-serta pada penataran tahap kelima yang khusus diadakan untuk menyesuaikan tulisannya masing-masing dengan tujuan baru, yaitu menyumbang satu bab dari buku ini. Hal ini meliputi bukan hanya mempersingkatkan tulisannya yang lebih luas itu, tapi sekaligus juga merumuskannya kembali menjadi suatu pembahasan yang konsisten. Dengan sabar mereka mengerjakan komentar kami melalui surat-menyurat yang kami berikan sebagai editor setelah tahap penataran terakhir itu. Terbitnya buku ini tidak akan mungkin terjadi tanpa kesediaan dan kerja sama dari ketiga pengarang itu, yaitu: Bp. T. Juned SH, Bp. T.I. El Hakimy SH. dan Bp. Y.C. Thambun Anyang SH. Selanjutnya kami mengucapkan terima kasih kepada Prof. DR. H. Moh. Koesnoe SH. atas kesediaannya memeriksa dan memberi saran-saran mengenai pemilihan kata dan susunan bahasa Indonesia yang kami gunakan. Namun demikian tanggun-jawab terhadap isi tulisan pengantar kami ini sepenuhnya tetap ada pada kami. Prof. DR. A.A. Trouwborst DR. Mr. H.M.C. Slaats
XIII
PENGANTAR Sudah sejak lama hukum adat di Indonesia menjadi obyek studi ilmu pengetahuan. Akan tetapi sifat dari studi ini tidak selalu sama. Cara pendekatan terhadap hukum adat dalam ilmu pengetahuan dan metode penelitian yang dipergunakan lama-kelamaan disesuaikan dengan wawasan baru dari perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan dan perubahan keadaan sosial, ekonomi dan politik. Menurut sifatnya, studi-studi tentang hukum adat dapat diletakkan di antara dua kutub. yaitu pendekatan dari dogmatik hukum positip di satu pihak, dan pendekatan dari ilmu pengetahuan sosial di lain pihak. Dengan pengecualian pada studi-studi yang bersifat teori dogmatik hukum yang sungguh-sungguh, kebanyakan studi-studi lainnya mempunyai komponen ilmu pengetahuan sosial. Ada beberapa studi dimana komponen ilmu pengetahuan sosial ini lebih kuat dan lebih eksplisit daripada didalam studi lain. Antropologi -dan sebelumnya etnologi- telah memainkan peranan sejak adat dan hukum adat mulai dipelajari, baik sebagai 'ilmu pengetahuan bantu' maupun sebagai kegiatan ilmu pengetahuan mandiri. Koesnoe membedakan tiga jenis dari studi tentang (hukum) adat. Type pertama disebutnya dengan istilah: Ilmu Adat. Walaupun ada sedikit sekali atau tidak terdapat sumber-sumber tertulis tentang zaman sebelum kedatangan orang-orang barat, menurut Koesnoe (1992:4-5) dapat dianggap bahwa sejak zaman dulu, sebelum pengenalan tentang agama Islam atau pengaruh kebudayaan Hindu, masyarakat-masyarakat Indonesia telah mengetahui suatu tatanan yang teratur yang dapat diartikan sebagai pengertian/konsep 'adat'. Juga dapat diperkirakan bahwa pada waktu itu ada pula orang yang secara ilmiah dan filosofi (filsafat) memikirkan tentang masyarakat dan kehidupan normatifnya, dan tentang 'pengetahuan hidup'. Dan sepanjang masa Ilmu Adat terus dibangun dan di1
kembangkan oleh para cerdik pandal dan para pujangga Indonesia (Koesnoe 1992:96). Pengetahuannya diperoleh dari ajaran tua-tua adat sebelumnya yang merupakan penyimpan dan pemimpin dalam menjaga dan mewujudkan (hukum) adat dalam masyarakatnya. Dalam rangka pendidikan itu, Ilmu Adat merupakan suatu ilmu praktis yang meliputi pula ajaran penguasaan seni mewujudkan nilainilai adat dalam kasus konkrit. Ilmu Adat dan ajaran hukum dari masyarakat adat kecil ini merupakan suatu kegiatan yang mengarah kepada membentuk pribadi yang sesuai dengan panggilan nilai-nilai adat. Selanjutnya ada Ilmu Adat yang berkembang didalam kalangan kerajaan. Di zaman kerajaan (antara lain: Kesultanan di Aceh. griwijaya, Majapahit) ada adat yang dituangkan dalam ketentuan yang tertulis, tapi masih merupakan adat karena isinya tetap bersumber kepada nilainilai adat yang hidup dalam masyarakat. dan hanya di sana-sini secara garis besar ada tambahan atau perubahan. Pada zaman ini terjadi pula kontak dengan hukum Hindu dan hukum Tslam (Fiqh) dengan pengaruhnya. Sebagai contoh dapat dikemukakan karangan Jalaludin yang berjudul 'Safinatul Hukkam Fi Takhlissil Khassam' yang ditulis pada tahun 1740 M (1153 H) yang dibahas oleh T. Moh. Juned dalam buku ini. Kemudian ada masa pemerintahan kolonial dimana Ilmu Adat dilanjutkan dengan terpengaruh oleh ilmu pengetahuan barat. Tulisan etnografis orang barat mendorong para ahli adat menulis tentang adat daerahnya dengan maksud untuk memperkenalkan adatnya keluar. Akhirnya terdapat Ilmu Adat dalam alam kemerdekaan nasional. Ada yang mengikuti gaya dan cara lama. ada pula penulis dari kalangan yang berpendidikan barat yang caranya mendekati tuntutan masa kini. Di samping ini ada kecenderungan untuk mencari bentuk rumusan yang berlaku nasional. Demikianlah, menurut Koesnoe (1992:100-112) perkembangan Ilmu Adat ini sejak zaman dulu sampai se2
karang. Walaupun terpengaruh oleh berbagai pengaruh dari luar, seperti pelajaran Hindu dan Islam dan ilmu pengetahuan barat, Ilmu Adat ini tidak pernah hilang dan kini menjadi dasar perkembangan Ilmu Adat Nasional. Type kedua dari studi hukum adat oleh Koesnoe disebut sebagai 'Ilmu Pengetahuan Hukum Adat Modern'. Yang dimaksudkan dengan ini adalah suatu pendekatan ilmiah yang bersifat barat dari hukum yang asli dalam berbagai kelompok masyarakat di Indonesia. Studi mi dapat dilihat sebagai studi barat, yaitu sebagai 'westerse vertolking' (penyajlan secara barat) .... yang dasar-dasar orientasinya ialah hukum Romawi dan ilmu sosial barat (Koesnoe 1992:2). Setelah Indonesia merdeka pendekatan ini tetap hidup dan sampai sekarang masih dipelihara pada keb any akan fakultas-fakultas hukum di Indonesia. Baru setelah kemerdekaan Indonesia mulai berkembang pendekatan yang ketiga yang oleh Koesnoe dinamakan dengan 'Ilmu Hukum Adat Nasional'. Yang dimaksudkan dengan hukum adat ini adalah suatu model hukum yang tersendiri yang lain daripada lain-lain model hukum yang ada di dunia. seperti hukum Anglo-Saxon, hukum Romawi. hukum Fiqh dan hukum Hindu. Hukum adat ini adalah suatu hukum yang, di satu pihak, berurat dan berakar pada nilai-nilai budaya rumpun bangsa-bangsa Melayu sendiri yang sepanjang perjalanan sejarah selalu mengalami penyesuaian dengan keadaan (Koesnoe 1992:4-5) dan, di lain pihak, berlaku pada tahapan nasional. Studi ilmiah di Indonesia tentang hukum adat sejak lama didominasi oleh para ilmuwan dan sarjana-sarjana hukum yang berpendidikan barat. Pada permulaan abad ke-20 mereka terutama terdiri dari orang Belanda. Kemudian ada pula orang Indonesia yang pendidikannya bersandar pada sistem ilmu pengetahuan Belanda. Studi ilmiah tentang hukum adat tidak dapat dibicarakan tanpa mengemukakan nama-nama pakar-pakar terkemuka, seperti Van Vollenhoven, Ter Haar. Hollemah, Logemann dan murid3
muridnya dari Indonesia seperti Supomo, Hazairin, Djojodigoeno. Mereka masih pempunyai peranan penting pula dalam kegiatan dan pemikiran generasi-generasi peneliti yang berikut, seperti Koesnoe, dan juga dalam penelitian dan pendidikan tentang hukum adat di Indonesia masa kini. Van Vollenhoven dan Ter Haar adalah eksponen terpenting dari pendekatan studi hukum adat Indonesia pada jaman kolonial. Van Vollenhoven adalah pendiri dari apa yang dinamakan 'tradis! etnografi hukum'. Ter Haar membela pengakuan studi hukum adat sebagai studi ilmu pengetahuan hukum positif. Koesnoe adalah salah satu eksponen dari pendekatan hukum (adat) positif pada taraf nasional Indonesia. Beberapa aspek dari tiga pendekatan tersebut ini akan dibahas secara kritis dibawah mi. Pada waktu Van Vollenhoven sedang mempelajari hukum (adat) di Indonesia pada permulaan abad ini, para ilmuwan dari negara-negara barat lain, seperti Inggris, Perancis dan kemudian pula di Amerika Serikat, mulai juga secara sistematis memperhatikan hukum asli dari masyarakat-masyarakat lain di Asia dan Afrika. Kegiatan-kegiatan ini lambat laun berkembang menjadi 'antropologi hukum'. Salah satu studi yang terkenal dari periode awal itu adalah studi dari seorang Inggris yang bernama Malinowski tentang masyarakat Trobriand (Crime and Custom in Savage Society. 1926). Pada waktu itu para ilmuwan Belanda biasanya hanya menulis dalam bahasa Belanda . Oleh karena itu hasil penelitian dan studi yang mereka lakukan hampir tidak diketahui dalam forum peneliti internasional. Banyak dari gagasan-gagasan mereka yang baru mulai berkembang puluhan tahun kemudian didalam antropologi Anglo-Amerika. 1
1
4
Baru pada tahun 1981 untuk pertama kalinya diterbitkan terjemahan dalam bahasa Inggris bagian-bagian dari karangan pokok Van Vollenhoven yang berjudul 'Het Adatrecht van Nederlandsch-Indië' (Holleman 1981).
STUDI (HUKUM) ADAT SECARA ILMU PENGETAHUAN BARAT.
Type studi ini yang dlnamakan oleh Koesnoe dengan istilah 'Ilmu Pengetahuan Hukum Adat Modern' mempunyai dasar berpikir dari disiplin ilmu sosial dan ilmu hukum barat (Koesnoe 1992:113-115). Hal ini dapat dilihat dalam kategori-kategori ilmiah yang diajukan (misa)nya seperti: pengertian hak-kewajiban, sanksi). Dalam studinya dipergunakan bahan-bahan empiris yang berupa kejadian nyata yang berwujud sebagai peristiwa-peristiwa sosial. Lambat laun keputusan-keputusan para petugas adat menjadi lebih penting (lihat pelajaran Ter Haar). Bahan-bahannya diolah untuk menjadi gambaran tentang bidang hukum yang tertentu (mis.: tanah, jual-beli) dengan latar belakang pengertian-pengertian dan konsepkonsep yang dibakukan menurut ukuran barat. Dengan perkataan lain: bahan-bahan yang diambil. seleksi perhatiannya dan tanggapan relevansinya dipengaruhi oleh ukuran-ukuran. nilai-nilai dan teori-teori ilmu hukum barat. Menurut konsep barat, hukum adat dipandang sebagai hukum golongan (orang Indonesia pribumi) dengan sifat lokal/regional (lingkaran hukum adat). Hasilnya adalah gambaran menurut kacamata barat. Dengan demikiar; menurut Koesnoe, tulisan Van Vollenhoven, Ter Haar dan murid-muridnya merupakan gambaran yang sifatnya deskriptif-deklaratif menurut pendapat penulis, bukan menurut norma-norma adat itu sendiri. Konsep hukum adat dari kalangan hukum adat sendiri bersifat konsep hukum yuridis, sedang konsep hukum adat kalangan ilmu sosial barat bersifat empiris sosial (tetapi bergeser kepada ilmu hukum positif). Pengaruhnya konsep barat kuat: diterima oleh banyak sarjana hukum Indonesia (Koesnoe 1992:132-133). 5
"Yang paling popuier dewasa ini dan mendapat perhatian terus lalah Ilmu H u k u m Adat Modern, yang mulanya diajarkan oleh kalangan Ilmu Pengetahuan Sosial dari Barat yang dipelopori oleh V a n Vollenhoven dan kemudian dikembangkan untuk menjadi Ilmu H u k u m Positif yang sungguh-sungguh oleh Ter Haar." "Ilmu ini mengolah H u k u m Adat dalam bentuk Ilmu H u k u m Positif {jurispru.denee), yang bagi kalangan yang telah mempelajari H u k u m Barat akan merupakan bahan banding yang menarik. Dari segi itu, Ilmu H u k u m Adat Modern dewasa i n i lebih merupakan suatu "Westerse vertolking" (penyajian Barat) mengenai H u k u m adat dan bukan penyajian Ilmu H u k u m Adat yang berjiwa Indonesia." (Koesnoe 1992:31)
VAN V O L L E N H O V E N
Van Vollenhoven mulai kegiatannya pada masa terjadinya perubahan yang mendalam dalam kebijaksanaan pemerintah jajahan Belanda. Pada waktu itu, sudah ada hubungan antara orang Belanda dengan orang Indonesia, khususnya orang Jawa, selama sekitar 300 tahun. Hubunga n i n i terjadi dalam rangka kegiatan perdagangan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (V.O.C.) yang merupakan perusahaan swasta (bukan pemerintah), dan berlangsung selama 200 tahun. V . O . C . pada awalnya berkepentingan hanya dalam pemiagaan saja dan tidak mempunyai aspirasi mendirikan pemerintah jajahan. Mereka tidak mau campur tangan dalam masalah pemerintahan setempat. Pada u m u m n y a V . O . C . menghormati h u k u m adat. kecuali apabila kepentingan perniagaannya dipertaruhkan. A k a n tetapi semakin lama semakin berkembang eksploitasi kekayaan alam Indonesia dan menjadikan masyarakatnya sebagai buruhnya. Untuk kepentingan eksploitasi ekonomi semakin dirasakan perlunya penguasaan 6
urusan dalam negert. Selaln Itu V.O.C. serta para pejabatnya semakin mulai berperan sebagai pemerintah. Untuk mencapai suatu eksploitasi yang effisien, dipergunakan berbagai sistem, seperti sistem perusahaan perkebunan swasta yang besar, perkebunan rakyat paksa, penyerahan paksa dari sebagian penghasilan tan ah, dan kerja paksa tanpa bayaran atau kerja rodi yang tenaga kerjanya diselenggarakan oleh orang-orang Indonesia. Kebijaksanaan ini dilanjutkan oleh pemerintah Belanda setelah VOC dilikuidasi. Hutang serta modalnya diambil alih oleh pemerintah Belanda pada akhir abad ke-18, dan secara resmi dibentuk kekuasaan pemerintah Jajahan. Akan tetapi pada permulaan abad ke-20 diperkenalkan apa yang dinamakan dengan 'Kebijaksanaan Etis' dimana tanggung jawab moril dari penjajah sebagai pelindung. pembimbing dan pendidik dari masyarakat lebih diutamakan daripada kepentingan ekonomis. 'Kebijaksanaan Etis' itu dlarahkan kepada emansipasi masyarakat asli. desentralisasi pemerintahan dan suatu kecenderungan demokrasi tertentu di Hindia-Belanda. (Sonius 1981:XXX). Kegiatan Van Vollenhoven harus dilihat dan dinilal dalam konteks perkembangan 'Kebijaksanaan Etis' ini. Dia membaktikan dirinya bagi pengakuan. penghormatan dan perkembangan hukum dari masyarakat Indonesia sendiri. Dia terkenal antara lain oleh polemik melalui perang pena terhadap kebijaksanaan pemerintah tentang jenis dan susunan hukum yang ingin diperlakukan dalam koloni. Dengan hasil balk dia menentang beberapa ikhtiar pemerintah untuk mengunifikaslkan dan mengkodifikasikan hukum dalam koloni menurut model-model barat . Perlawanannya berdasarkan keyakinannya bahwa melalui penerapan ide-ide dan konstruksi-konstruksi hukum barat 1
1
Rancangan undang-undang oleh Idenburg (1904) dan Co wan (1923), yang ditentang oleh Van Vollenhoven dalam tulisannya yang berjudul 'Geen Juristenrecht voor den Inlander (1905) dan 'Juridisch confectiewerk: eenheidsprivaatrecht voor Indië' (1925).
7
terhadap masyarakat Indonesia akan membawa akibat bahwa orang Indonesia akan kehilangan suatu unsur yang penting dari identitasnya . Perlawanannya mengakibatkan kebijaksanaan hukum dari pemerintah kolonial dalam hal ini menjadi gagal, sehingga unifikasi dan kodifikasi tidak terjadi. Perlawanan polemis ini diadakan dalam sejumlah tulisantulisan pendek yang dipublikasikan didalam berbagai majalah. Selain itu juga diadakan dalam uraian yang panjang lebar serta mendetil yang kemudian atas inisiatif beberapa orang muridnya dikumpulkan dan diterbitkan J
2
1
Tanggapan Lev (1985:63-65) tentang pemanfaatan karya Van Vollenhoven adalah berbeda. Dia berkesimpulan bahwa karya Van Vollenhoven dimanfaatkan untuk memajukan tujuan dasar sistern kolonial, yaitu: secepat mungkin dengan blaya sesedlkit mungkin mengisap keuntungan sebanyak mungkin dari daerah Jajahan. Menurut Lev karya Van Vollenhoven ternyata tidak seberapa mempengaruhi kenyataan perbuatan pemerintah dan pengusaha-pengusaha kolonial itu. Mungkin ada baiknya untuk dicatat bahwa kurang benar kalau orang (dalam hal ini Van Vollenhoven dan murid-muridnya) disalahkan oleh karena lde-idenya dan usul-usulnya yang pada intinya baik, disalah-gunakan atau tidak dltaati sungguhsungguh oleh orang lain. Bagalmanapun, dengan menghtndari adanya unifikasi dan kodifikasi hukum, Van Vollenhoven berhasil melindungl masyarakat Indonesia (dan hukum adatnya sebagai salah satu unsur identitasnya sebagaimana disebut didalam teks lengkap keputusan Kongres Pemuda tahun 1920. Lihat Koesnoe 1979:) dari imposisi hukum barat yang meliputi hapusannya berlakunya hukum adat. Apakah nasib bangsa Indonesia lebih baik, dan pernilaian karya Van Vollenhoven lebih posiüp, kalau bangsa Indonesia ditaklukkan pada hukum barat pada waktu itu? Pertanyaan ini tidak terjawab dan hanya menimbulkan hipotese dan spekulasi. Lihat juga v. Benda-Beckmann 1984 dan Grtfilths 1978. 2 Tidak termasuk dalam kumpulan karangan itu adalah karangan Van Vollenhoven yang lebih luas yang diedarkan beliau sebagai terbitan mandiri, seperti: 'Miskenningen van het Adatrecht' (1909), 'Een Adatwetboekje voor heel Indië' (1910), 'De Indonesiër en zijn Grond' (1919) dan 'De Ontdekking van het Adatrecht' (1928).
8
sebagai Jilid ketiga dari 'Het Adatrecht van NederlandschIndië' dalam tahun 1932, yaitu tidak lama sebelum Van Vollenhoven meninggal. Akan tetapi Van Vollenhoven lebih dikenal lagi oleh karena studlnya tentang hukum adat, yang memakai cara membahas yang baru, yang belum pernah dilakukan oleh orang lain. Oleh karena itu dia sering disebut sebagai penemu hukum adat' Dengan publikasi 'Het Adatrecht van Nederlandsch-Indië' jllid pertama pada tahun 1918, Van Vollenhoven menyelesaikan gambaran yang sistematis dari aneka ragam bentuk hukum adat yang terdapat di Indonesia pada daerah-daerah yang berbeda-beda. Dalam jilid kedua, yang diselesaikan pada tahun 1931. dia membahas tentang 'hukum adat orang Timur asing', tentang unsur-unsur keagamaan dalam (hukum) adat, tentang pemeliharaan dari hukum adat, dan pembingkaiannya didalam keseluruhan tata hukum dl Hindia-Belanda, serta masa lalu dan masa yang akan datang dari hukum adat itu sendiri. Walaupun demikian bukanlah deskripsi-deskripsinya ini yang membuat Van Vollenhoven masih penting untuk jaman sekarang ini. Deskripsi-deskripsinya itu hanya mencerminkan suatu keadaan pada waktu Itu. Deskripsi semacam ini sudah tentu adalah sebagai yang disukai sebagai 'peninggalan kolonial dan hanya mempunyai relevansi bagi para sarjana sejarah saja' (Holleman 1981:XXI) serta tidak aktuil lagi untuk masa klni. Namun demikian karya Van Vollenhoven mempunyai arti yang lebih daripada hanya sebagai sejarah saja: "Meskipun banyak dari material deskripsinya jelas sudah ketinggalan .... pembahasannya masih menonjol karena lnterpretasi yang bersifat memahaml konsep-konsep dasar hukum, hubunganhubungan hukum serta instltusi-institusl hukum yang hingga saat ini masih terus berlaku dalam kehidupan hukum Indonesia pada tingkatan rakyat biasa." (Holleman
9
1981:XXII) . Banyak kekurangan, salah faham, sikap menentang dan persoalan teknis yang kompleks tentang hukum adat yang terjadi pada masa lampau yang masih akan berlangsung terus dalam jaman Indonesia merdeka kini dan yang akan tetap menjadi masalah di waktu yang akan datang. (Sonius 1976:62). Karena alasan ini maka memperkenalkan karya Van Vollenhoven mungkin bermanfaat untuk dipergunakan sebagai bahan pelajaran. J
Tentang karya Van Vollenhoven dapat dikemukakan dua buah catatan. Pertama: karya Van Vollenhoven hampir tidak mengandung teori yang eksplisit. Hanya ada sedikit tentang pendefinisian 'hukum adat' di bagian awal bab kedua dalam bukunya tentang hukum adat. Menurut Van Vollenhoven hukum adat adalah 'keseluruhan peraturan yang berlaku buat orang Indonesia asli. yang pada satu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu: hukum') dan pada pihak lain berada dalam keadaan tidak dikodifikasi (oleh karena itu: 'adat') . Untuk mendeskripsikan hukum adat yang berlaku, sesuai dengan sifatnya. dipergunakan susunan, kategori-kategori dan peristilahan yang baru yang tidak terdapat dalam sistem hukum barat, supaya hukum adat dengan jelas dapat dibedakan dari hukum barat serta tidak mudah terjadi identifikasi atau kegaduhan hubungan antara hukum tradisional dengan lembaga-lembaga hukum barat. Walaupun demikian pendekatan ini tetap terpengaruh oleh pandangan hukum barat. Lev (1985:64) mengemukakan 2
1
2
Aslinya: "Although much of hls descriptive material is obviously dated .... hls treatment of it still stands out for hls perceptive interpretatlon of the baslc legal conceptions, relaUonshlps and Institutlons which operate to this day at the grass-roots of Indonesian legal Ufe." Aslinya: "Dat samenstel van voor inlanders [ ] geldende gedragsregels, die eenerzijds sanctie hebben (daarom "recht") en anderzijds in ongecodificeerden staat verkeeren (daarom 'adat')". Lihat: v. Vollenhoven 1918:14.
10
bahwa h u k u m adat Indonesia seperti diketahui sejak seabad, pada dasarnya adalah ciptaan Belanda. Hal mi bukan berarti bahwa aturan-aturan substantif h u k u m adat bersumber dari sumber yang b u k a n Indonesia, akan tetapi bahwa pengertian tentang adat, atau mitos tentang adat, dan hubungan antara adat dan kekuasaan negara merupakan hasil kegiatan Belanda, bukan Indonesia . Pengaruh hukum barat (Belanda) ditemukan antara lain dalam hal: - pendekatan model 'hukum-penyimpangan-sanksi' ('lawdeviation-sanction') yang menjadi dasar pula buat cara berpikir h u k u m barat; - usaha merumuskan h u k u m tradisional dalam bentuk peraturan pre-eksisten yang sama berlakunya dalam kasus-kasus yang sama; - penggolongan bahan h u k u m dalam kategori-kategori yang sesuai dengan penggolongan dan peristilahan yuridts dalam h u k u m barat (seperti: penggolongan h u k u m tata negara adat, h u k u m pidana adat, h u k u m perdata adat. dsb.). Terhadap jenis studi yang d i k e m u k a k a n oleh V a n Vollenhoven dapat pula dikemukakan keberatan tambahan yang tidak dlmaksudkannya, sebagai berlkut. Karena studi-studi Itu sering merupakan deskripsi pertama dari kelompok-kelompok masyarakat Indonesia dan h u k u m nya, studi-studi tersebut merupakan sumber informas! tunggal yang bernilai tinggi bagi para pejabat kolonial yang kurang atau sama sekali tidak mengetahui tentang adat, terlebih-lebih tentang k e k h u s u s a n varian-varian lokal. Dalam praktek pemerintahan dan pengadilan, gambaran semacam Itu segera mendapat sambutan dan dipergunakan (atau lebih tepat: disalahgunakan) seolah-olah itu me1
1
Aslinya: "... the adat law of Indonesia, as it has been known for nearly a century, ls fundamentally a Dutch creation. By this I do not mean that substantive adat rules ... are other than Indonesian in origin, but that the understanding of adat, the myth of adat, as it were, and the relationship between adat and state authority are the result of Dutch, not Indonesian, work."
11
rupakan rumusan norma-norma adat yang benar dan berlaku secara ekskluslf dalam masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian gambaran semacam itu mendapat watak sebagai buku hukum. Akan tetapi hal ini bukanlah apa yang dimaksudkannya. Banyak keputusan dan tindakan pemerintahan dan pengadilan yang sedemikian yang didasarkan pada pandangan tersebut, tidak mentaati hukum adat sebenamya. Adanya kesadaran bahwa itu mengandung bahaya dalam lingkungan ilmu pengetahuan, terlihat antara lain dari buku Djqjodigoeno dan Tirtawinata (1940) tentang hukum adat Jawa Tengah. Di tiap halaman buku mereka tersebut selalu diberikan peringatan bahwa 'Buku ini adalah deskripsi, bukan kodifikasi' . Kedua: sejak lama Van Vollenhoven dianggap mempunyai jasa karena dia berhasil menghindari terjadinya unifikasi dan kodifikasi di Indonesia. Dengan demikian dia berhasil melindungi serta melestarikan integritas hukum adat sebagai suatu unsur pokok dalam kebudayaan Indonesia asli. Penghargaan ini selanjutnya menjadi penyesalan karena dengan pendekatannya itu Van Vollenhoven telah mendukung 'politik memecah-belah dan menguasai' dari pemerintah kolonial. Selain itu usahanya tersebut menghambat perkembangan pembentukan suatu sistem hukum nasional modern, hal mana menyebabkan negara Indonesia pada waktu ini ketinggalan dalam melakukan hubungan internasional. Yang mengungkapkan pandangan yang menyimpang dari pendekatan Van Vollenhoven, antara lain ialah Lev (1985:63-65) . Penulis ini mengemukakan suatu pendapat yang paradoks tentang karya Van Vollenhoven, yaitu: walaupun Van Vollenhoven menaruh hormat terhadap kebudayaan-kebudayaan Indo1
2
1 2
12
Aslinya: "Dit is een beschrijving, geen codificatie". Keterangan lisan Koesnoe menunjukkan bahwa memang sudah lama ada beberapa orang ahli hukum Indonesia yang mengemukakan komentar sedemikian rupa jauh sebelum Lev menyajlkan tanggapannya kepada forum ilmu pengetahuan internasional.
nesia. namun dia menolong memenjarakannya dalam suatu kurungan kebijaksanaan yang membawa akibat kebudayaan-kebudayaan itu bahkan lebih mudah diserang oleh manipulasi dari luar. Masalah umum tentang studi h u k u m adat pada waktu itu adalah kenyataan bahwa hukum adat dilihat sebagai suatu perwujudan mandiri yang hidup dalam masyarakat-masyarakat lokal yang tertutup, sepertinya hukum adat itu bebas dari kehadiran dan kebijaksanaan pemerintahan kolonial dan bebas dari pengaruhnya di bidang ekonomi, sosial dan budaya (Lev, 1985:66). Sedangkan pokok masalah sistem kolonial bukanlah masalah politik, akan tetapi masalah ekonomi . (Le 1985:63) A k h i m y a , kebijaksanaan h u k u m adat yang dikemukakan oleh V a n Vollenhoven tidak mempengaruhi secara kritis pemerintahan kolonial dan struktur politiknya. 1
2
V
Sesungguhnya ide-idenya i t u tidak mendorong orang Indonesia pada jaman penjajahan di bidang ekonomi dan politik, dan tidak menlmbulkan suatu kebijaksanaan yang pada pokoknya berbeda dengan apa yang dilakukan pada abad-abad sebelumnya. TER HAAR
Tujuan Ter Haar adalah dua. Di satu pihak dia menghendaki meningkatnya perslapan para pejabat pemerintah dan pengadilan yang bukan dibesarkan dan dididik dalam Aslinya: "Out of genuine respect for Indoneslan cultures he nevertheless helped to imprison them in a cage of elegant pollcy that rendered them even more vulnerable to outside manipulation." Komentar Koesnoe terhadap pandangan Lev yang demikian, ialah bahwa kenyataan sejarah menunjukkan bahwa justru dengan diketahui bahwa orang Indonesia mempunyai hukum adat sebagai hukum sendiri, membawa kuatnya paham nasionalisme Indonesia (Koesnoe 1992:135). Aslinya: "the real issue was not legal but political and economie".
13
adat untuk melaksanakan tugasnya, yaitu mencari, membentuk (dan mengubah) serta menerapkan hukum adat Di lain pihak dia berusaha pada waktu itu untuk menarik studi hukum adat dari posisi yang marginal, memperkuat posisi hukum adat dalam Ümu pengetahuan hukum serta pandangan terhadapnya. Dalam ilmu pengetahuan hukum positif yang sungguh-sungguh, yang didominasi oleh dogmatik hukum barat (Belanda), hukum adat hanya diberi arti yang marginal, atau tidak mempunyai arti sama sekali. Ter Haar hendak merubah keadaan ini dengan mengangkat studi hukum adat kedalam 'golongan ilmu pengetahuan hukum positif ("in de rij der positieve rechtswetenschappen") . Uraiannya tentang asas-asas dan sistem hukum adat bertujuan untuk mengatur kembali hukum adat di Indonesia yang bila dilihat dari pandangan yuridis pada waktu itu merupakan suatu yang bersifat kacau balau; tujuannya adalah untuk memberi bahan dasar yang lebih baik kepada para hakim.dan para pejabat pemerintah yang dibebani dengan peradilan dalam mengambil keputusan. Hampir semua dari mereka bukan berasal dari Indonesia dan karenanya tidak mengetahui adat dan hukumnya yang mereka harus jalankan dalam perkara-perkara adat. Dalam pembahasannya tentang asas-asas dan sistem hukum adat Ter Haar membuat abstraksi dari hukum adat yang konkrit, yang berbeda bentuknya pada tempat dan waktu yang berbeda. Dengan demikian para pejabat dipaksa memperhatikan keaneka-ragaman dan dinamik 1
2
2
Ter Haar 1937: 'Het Adatprivaatrecht van Nederlandsch-Indiê in wetenschap, praktijk en onderwijs' (pidato), dalam: Verzamelde Geschriften 1950-1951:472-501; terjemahannya: Ter Haar 1973 Hukum Adat dalam Polemik Ilmiah. Jakarta, Bhratara, no. 29. Ter Haar 1939: Beginselen en Stelsel van het Adatrecht Groningen, Wolters; 1960: Asas-asas dan Susunan Hukum Adat Djakarta, Pradnja Paramita. (terjemahan dalam bahasa Indonesia: K.Ng. Soebaktl Poesponoto); 1962: Adat Law in Indonesia by B. Ter Haar. Djakarta, Bhratara. (terjemahan dalam bahasa Inggris: A.A. Schiller & E.A. Hoebei)
14
hukum adat dalam tlap kasus yang konkrit. Oleh karena bukunya tidak membahas hukum adat sesuatu masyarakat tertentu, hukum adat yang diuraikannya tidak dapat diterapkan secara langsung. Dalam tiap kasus harus diambil langkah melakukan refleksi dan interpretasi untuk mewujudkan ketentuan yang abstrak dalam keadaan konkrit. Inti dari penjelasan Ter Haar lazimnya disebut 'beslissingenleef (teori keputusan): kalau mau diketahui bagaimana bunyinya hukum adat tentang suatu kejadian yang konkrit, perhatikanlah keputusan-keputusan yang pernah diambil oleh petugas adat terhadap kasus-kasus yang sejenis. Hukum adat adalah keseluruhan aturan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para petugas yang berwenang, dan didalam pelaksanaannya direalisir secara polos, artlnya bahwa itu dilaksanakan tanpa membawa terbentuknya suatu keseluruhan aturan-aturan yang sejak saat lahirnya dinyatakan mengikat secara mutlak untuk masa yang akan datang. . Dengan demikian hukum adat yang berlaku hanya dapat diketahui dari keputusan-keputusan sebagaimana diambil oleh penguasa-penguasa dalam masyarakat (baik kepalakepala, pengetua-pengetua dan hakim-hakim, maupun kerapatan-kerapatan masyarakat, penguasa-penguasa tanah, pejabat-pejabat agama dan pejabat-pejabat desa/kampung) didalam atau diluar sengketa, dalam ketergantungan langsung pada lkatan-ikatan dan nilai-nilai didalam masyarakat, dan dalam keadaan yang saling berkaitan satu sama lain dan tentu-menentukan secara timbal balik . Memang 1
2
2
Aslinya: "... dat geheel van regelen, dat ln de gezaghebbende beslissingen is bepaald en in de uitvoering daarvan verwerkelijkt "zonder meer", dat wil zeggen zonder dat daarbij komt (van de andere kant) een geheel van regelen, dat bij zijn geboorte voor de toekomst volstrekt bindend is verklaard." Aslinya: Zo is het geldend adatrecht dan ook alleen te kennen uit de beslissingen van de gezagdragende functionarissen der groep (hoofden, rechters, volksvergaderingen, grondvoogden, godsdienst- en dorpsbeambten), zoals zij ln of buiten geschil worden
15
keputusan-keputusan itu tidak boleh diikuti tanpa mempergunakan pikiran. Itu pertama-tama hanya merupakan petunjuk saja tentang apa yang pernah diperlakukan sebagai hukum dalam masyarakat yang bersangkutan. Kedua, itu merupakan bahan saja yang dapat digunakan oleh' hakim atau pejabat pemerintah (kolonial) dalam menJalankan tugasnya. Pendekatan Ter Haar telah menjadi obyek polemik ilmiah antara Ter Haar dan F.D. Holleman (1938) sedangkan Logemann (1939) berusaha untuk mempersatukan pandangan kedua belah pihak itu. Salah satu keberatan yang dikemukakan oleh Holleman adalah bahwa Ter Haar pada pokoknya membatasi hukum adat yang berlaku hanya pada apa yang ditemukan dalam bentuk keputusan dari kelompok masyarakat atau badanbadan yang ada padanya. Pada hal hukum adat adalah segala aturan yang dapat dianggap sebagai kaidah hukum yang diperoleh dengan cara bagaimana saja dari penggalian kenyataan kehidupan bermasyarakat . Kenyataan hukum itu tidak lain adalah kehidupan sehari-hari itu sendiri dengan perhubungan sosial antara anggota masyarakat dalam segala bidang. Kaidah-kaidah hukum itu pada umumnya tidak terpisah dari kaidah-kaidah kehidupan lain-lainnya. Kaidah-kaidah hukum itu hanya merupakan salah satu aspek saja dari seluruh kaidah kehidupan. Yang dapat membedakan kaidah-kaidah hukum dari yang lain 1
1
genomen in onmiddellijke afhankelijkheid van de structurele bindingen en de waarden in de gemeenschap, in onderlinge samenhang en wederzijdse bepaaldheid. Ter Haar 1937.473 'Het Adatrecht van Nederlandsch-Indië in Wetenschap. Practijk en Onderwijs', dan terjemahannya 1973:11 'Hukum Adat dalam Polemik Ilmiah'. Aslinya: 'het geldend adatrecht in hoofdzaak beperkt tot datgene dat als zoodanig aan den dag treedt in den vorm van beslissingen van de groep of van een harer organen geldend recht is al wat op welke wijze dan ook ... aan rechtsnormen utt de rechtswerkelijkheid wordt gewonnen". Holleman 1938:430
16
hanyalah mereka yang dapat memandangnya dari kaca mata ahli hukum atau dari kaca mata yuridis. Pada umumnya aturan-aturan kehidupan itu dapat ditangkap dari kenyataan masyarakat yang sekaligus mengandung kaidah h u k u m (jadi: h u k u m adat yang berlaku), dengan Jalan memantau dan menanyakan bagaimana jalannya kehidupan sehari-hari masyarakat pribumi. Menanyakan hal i n i seharusnya berulang-ulang -bukan hanya kepada kepalakepala, tua-tua adat atau orang lain yang berpengalaman yang terkemuka saja, akan tetapi juga kepada anggotaanggota masyarakat itu semua-. Seharusnya jawabannya itu diperiksa dan diuji apakah pernyataan-pernyataan i t u sesuai dengan kenyataan. Holleman khawatir tentang pendekatan Ter Haar, yang dianggapnya terlalu tinggi memberi nilai terhadap arti keputusan. Itu akan membawa pejabat-pejabat (Belanda) yang ditugaskan menerapkan h u k u m adat akan mexigikuti saja keputusan-keputusan para kepala pribumi, tanpa mengadakan pemeriksaan yang mendalam tentang aspekaspek inti dari h u k u m adat yang bersangkutan dalam kerangka berlakunya . Hal ini menyebabkan terjadinya suatu h u k u m adat sebagai hasil spesialisasi yuridis" yang dapat berlawanan dengan h u k u m adat yang berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. H u k u m adat yang yuridis itu akan mendapat daya berlaku sebagai preseden yang bersifat preskriptip sehingga akan mengaburkan atau menghilangkan fungsi mendamaikan ('admodiëren') dari h u k u m adat. Hal i n i dilihat oleh Holleman sebagai suatu ancaman yang besar terhadap h u k u m adat dan perkembangannya. Kelihatannya apa yang dikhawatirkan oleh Holleman memang terjadi dalam kenyataan. Pendekatan V a n Vollenhoven m a u p u n Ter Haar mempunyai pengaruh yang besar, b u k a n hanya pada jaman Hindia-Belanda, tetapi juga pada j a m a n Indonesia merdeka. Pelajaran-pelajaran mereka masing-masing masih tetap menjadi komponen dalam k u r i k u l u m pendidikan J
1
Holleman 1938:439 dan terjemahannya 1973:62-63.
17
hukum (adat). Penelitian hukum (adat) di Indonesia sering disandarkan pada pendekatan mereka itu. Hal ini dicerminkan pula dalam ketiga sumbangan yang dimuat dalam buku ini. Perang Dunia Kedua telah memutuskan polemik tentang hakekat hukum adat dan posisinya dalam ilmu pengetahuan (hukum). praktek dan pendidikan. Ter Haar tidak mempunyai kesempatan untuk mengembangkan lebih lanjut pikirannya tentang hukum adat sebagai hukum positif. Beliau meninggal dalam tahanan Jerman pada tahun 1941. Juga pemikiran-pemikirannya tentang hal tersebut tidak digarap lebih lanjut. Dan Perang Dunia Kedua mengakhiri kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia. Dengan begitu peran Belanda di bidang hukum dan perkembangan hukum masyarakat Indonesia menjadi berakhir. KOESNOE
Setelah Indonesia merdeka diskusi tentang hukum mengarah ke pertanyaan tentang bentuk dan isi hukum nasional K Sejak 1945 semangat anti kolonial terdapat pula dalam studi hukum. Sejak sekitar tahun 1950 mulai ada perubahan dalam studi hukum adat yang sampai waktu itu masih mengikuti tradis! ilmu pengetahuan hukum sebelum perang. Tendens! ke arah Indonesianisasi mulai muncul antara lain dalam karangan Hazairin (1952). Djojodigoeno (1950. 1961) dan Soepomo (1941, 1966) tentang hukum adat sebagai suatu hukum yang dihubungkan dengan dasardasar kepribadian bangsa Indonesia yang dinyatakan di dalam kebudayaan Indonesia. (Koesnoe 1992:66-73) Kemudian juga dalam karangan-karangan Soeripto (1969, 1975). Hukum adat mulai dilihat dalam kerangka nasio1
18
Lihat Lev 1990:33-76 (=1965a). 77-117 (=1965b) dan 438-473 (=1985).
nal. tidak lagi dalam kerangka perbedaan lokalitas. sebagai satu model hukum yang tersendiri. Tetapi pandangan ini tidak menghapus kegiatan ilmiah barat. Dari itu berkembang dua jenis ilmu pengetahuan hukum adat Pertama: hukum adat garis barat yang menekankan deskripsi secara ilmu sosial dari sesuatu daerah, yaitu suatu studi etnografi dengan mendasarkan kepada bahan-bahan lapangan yang empiris yang bersifat lokal/regionalKedua: ilmu pengetahuan hukum adat yang berwawasan nasional. Sifatnya teoretis-filosofis. Masalah yang menonjol adalah, antara lain: istilah, konsep, candra dan kedudukan hukum adat dalam hukum nasional, strukturnya teori pengolahannya sampai tarap konkrit, latar belakang pandangan filsafatnya, dsb. Ilmu Hukum Adat Nasional juga memperhatikan segi ilmu hukum positifnya, asas-asas dasar, asas-asas operasionalnya, lembaga-lembaga, bentuk dan isinya, slstemnya, dsb. (Koesnoe 1992:133-136). Kegiatan ini belum menunjukkan hasll-hasil yang nyata Ilmu Hukum Adat Nasional dibandingkan dengan Ilmu Hukum Adat Modern menunjukkan perbedaan dalam hal- sasaran: yaitu kedudukannya berubah dari ilmu pengetahuan sosial (empiris) ke ajaran hukum yang normatif- metode: yaitu Ilmu Pengetahuan Hukum Adat Modern mempergunakan metode induktif (bahan-bahan empiris dibawa kepada kesimpulan teori-teori), sedangkan Ilmu Pengetahuan Hukum Adat Nasional mempergunakan metode deduktif normologis (dari suatu prinsip menuju kepada penjabarannya yang konkrit). Sandaran konsep baru tentang Hukum Adat, baru diperoleh sejak 1971 dengan ditemukannya naskah Sumpah Pemuda yang lengkap, yang menyebutkan bahwa hukum adat adalah hukum nasional. Disitu ditekankan tentang uniformitas hukum adat sebagai hukum dari seluruh bangsa Indonesia (Koesnoe 1992:139, 135). Undang-undang Dasar 1945 dan penjelasannya merupakan perumusan hukum adat secara modern: idee hukum 19
adat dari lingkungan desa, lingkungan masyarakat yang kecil, ditarik ke dalam tingkatan rumusan yang lebih abstrak dan umum. Dengan demikian pengertian Hukum Adat mengalami perluasan^kala, yaitu menjadi nasional. Dalam hubungan dengan itu, Hukum adat memang mempunyai beberapa corak umum. Pertama ialah rumusan adat dalam bentuk kata-kata adalah suatu kias saja. Kedua ialah masyarakat sebagai keseluruhan (khususnya kelanjutan hidup dan eksistensinya) menjadi pokok perhatiannya dan bukan seseorang individu dalam persoalan hak-haknya. Ketiga ialah Hukum adat mengutamakan bekerja dengan asas-asas pokok saja, yaitu: kerukunan, kepatutan dan kelarasan dalam hidup bersama, dan kurang tertarik kepada peraturan hak dan kewajiban yang merinci, ketat dan tepat. Pengisian lembaganya dilakukan dengan memperhatikan soal dalam kaitannya dengan tuntutan waktu (masa). tempat dan keadaan (suasana) dalam kerangka toleransi antara ketiga asas-asas tersebut. Keempat ialah kepada para petugas hukum adat yang harus mempunyai keahlian, kejujuran dan wawasan kebijaksanaan yang memadai diberi kepercayaan besar. (Koesnoe 1992:7-10) "... [K]ini sedang tumbuh suatu pandangan yang berusaha melihat Hukum Adat secara Indonesia. Usaha ini dimulai dengan mempelajari konsep-konsep dan ajaran aslinya, yang diusahakan untuk disajikan kembali secara yang lebih mudah dan menurut gaya dan selera masa kini. Usaha ilmiah tersebut kini masih baru dan lebih bersifat mengumpulkan dan menginventarisasikan untuk menanjak ke analisis dan teori-teori atau ajaranajaran umum. Langkah itu dimulai dengan berusaha mengumpulkan segala bahan-bahan pikiran tentang konsep, teori-teori dan ajaran-ajaran serta asas-asas yang dinyatakan dalam pepatah-petitih . cerita, tambo dan sebagainya dibarengi dengan pengumpulan kasus-kasus. dan hasil-hasil interview yang intensif terhadap ahli-ahli Adat." (Koesnoe 1992:32) 20
Jadi, yang dimaksudkan oleh Koesnoe dengan hukum adat terutama bukanlah hukum adat lokal yang (kadangkadang sangat) beraneka ragam yang berbeda satu sama yang lain, seperti telah berkembang sejak jaman dulu. Menurut pandangannya hukum adat adalah suatu model hukum positif dalam tingkat nasional. seperti hukum Anglo-Saxon, hukum Romawi. hukum Fiqh, dan hukum Hindu. Sebagai suatu model hukum, hukum adat mempunyai nilai sederajat dengan model hukum yang lainnya, akan tetapi berbeda sifat, bentuk dan isinya. Pada waktu ini masih hidup konsep hukum adat yang kembar, yaitu hukum adat dalam kerangka lokal dan hukum adat dalam kerangka nasional. Dalam tanggapan Koesnoe, hukum nasional ini adalah terutama masalah hukum positif. Perwujudan perumusannya adalah tugas para yuris/ahli hukum. Sekaligus juga dikemukakannya bahwa untuk itu filosofi merupakan unsur penting pula dalam kegiatan tersebut ini untuk diperhatlkan. Sekali lagi perlu ditegaskan disini bahwa ilmu pengetahuan hukum adat yang berwawasan nasional bersifat teoretis-filosofls, dan meliputi: konsep nasiónal tentang hukum adat, susunan hukum adat, susunan hukum adat nasional, strukturnya, teori pengolahannya sampai tarap konkrit, latar belakang pandangan filsafatnya, dsb. Ilmu Hukum Adat Nasional juga memperhatikan segi hukum posiüf, asas-asas dasar, asas-asas operasionalnya, lembagalembaga, bentuk dan isinya, sistemnya, dsb. (Koesnoe 1992:136) Dapat dikemukakan bahwa kegiatan ilmu pengetahuan tentang hukum adat sebagai hukum positif nasional merupakan suatu kegiatan intelektual yang tersendiri dan mandiri yang tidak sama dengan ilmu pengetahuan atau disiplin lain-lain tentang hukum, seperti antropologi dan sosiologi atau ilmu pengetahuan sosial pada umumnya.
21
Kedua jenis kegiatan intelektual itu dapat dilakukan dengan tidak tergantung satu dengan yang lainnya. Pada dasarnya studi ilmiah hukum adat tidak sama dengan jenis studi yang mendekati hukum secara antropologi. Metode, obyek dan tujuan masing-masing pendekatan ini berbeda. Oleh karena itu, hasilnyapun tidak sama pula.
PENDEKATAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
Pendekatan ilmu pengetahuan sosial bukan bersifat normatif (memerintah dan mengharuskan) dan bukan bersifat yuridis-dogmatis (tidak mengikuti ajaran atau dogmatik dari sesuatu sistem hukum tertentu), akan tetapi bersifat deskriptif dan explanatory. Pada dasarnya ilmu pengetahuan sosial tentang hukum berusaha untuk mengetahui dan mengertl bagaimana terjadi dan berlangsungnya kehidupan normatif secara senyatanya dalam suatu masyarakat. Dengan demikian dalam pendekatan mi bukan hanya diperhatikan satu sistem normatif (hukum) tertentu saja, tetapi kompleksitas keseluruhan unsurunsur normatif yang berperan dalam pergaulan manusia dalam masyarakat. Keseluruhan unsur-unsur normatif ini juga meliputi pengaturan dari agama atau kepercayaan, dan juga meliputi pengaturan yang berlaku pada golongangolongan profesional (seperti para dokter atau notaris) dsb.
ANTROPOLOGI
Yang terutama berperan dalam studi hukum adat di Indonesia adalah para ahli hukum. Sedangkan para orientalis (orang ahli bahasa-bahasa dan kebudayaan-kebudayaan dunia ketimuran) dan antropolog mempunyai peran jauh lebih kurang. Baru setelah Perang Dunia Kedua 22
i l m u antropologi m u l a i mempelajari secara intensif hukum adat (tradisional) sebagai obyek studinya . Studi non-yuridis tentang h u k u m di tempat lain di dunia diluar Indonesia juga sering diadakan oleh para ahli h u k u m . Mereka telah memberi sumbangan yang besar terhadap perkembangan spesialisasi baru i n i . Misalnya seperti ahli h u k u m Inggris S i r Henry Maine, yang mengadakan penelitian tentang sejarah perkembangan h u k u m . Penulis tersebut sudah mengumpulkan bahan sejarah tentang h u k u m yang tertulis beserta sistemnya dari jaman Eropa kuno, yaitu jaman Romawi dan Yunani. Tetapi dia tidak berhasil memperoleh data tentang jaman yang lebih awal. sebab sumber-sumber yang lebih tua tidak ada. Menurut anggapannya kekurangan bahan sejarah i t u dapat ditutup dengan data tentang hukum dari masyarakat masa kini diluar Eropa; dalam hal ini masyarakat India. Sesuai dengan pandangan evolusionistis yang berlaku pada waktu itu. masyarakat-masyarakat itu mencerminkan keadaan perkembangan yang sudah dilewati oleh masyarakat-masyarakat barat. Oleh karenanya masyarakat itu dapat dipelajari untuk memperoleh pengertian tentang tahap-tahap yang telah dilalui dalam perkembangan h u k u m ('ancient') masyarakat-masyarakat Eropa. Perhatian Maine terhadap ' h u k u m primitif d i J
2
"Studies speciflcally conducted on the laws and cultures of pre-industrial societies did not generally appear much before the early years of this century; the pioneering work was done by Malinowskl ln the 1920s. Hls work was different in kind to that which had gone before in that it attempted to formulate a general theory of law on anthropological principles." Hooker 1975:8. Dalam rangka ini dapat disebut. antara lain: Durkheim, E. De la diuision du travail soclal 1893, terjemahan: The Division of Labor in Society. New York, Free Press. 1964; Ehrlich. E Grundlegung der Soziologie des Rechts 1913, terjemahan: The Fundamental Principles of the Sociology of Law. Cambridge (MA), Harvard Univ. Press 1936; Weber. M. Wirtschaft und Gesellschaft 1922. terjemahan: On Law th Economy and Society New York, Simon and Shuster 1967.
23
sebabkan Juga oleh karena dia telah mempelajarinya dalam rangka tugasnya sebagai pejabat dl India. Dl daerah penjajahan Jerman, Perancis, Inggris dan Belanda, para pejabat pemerintah juga mengadakan penelitian hukum dengan tujuan praktis. Suatu cara yang sering dipergunakan oleh para peneliti pada waktu itu adalah dengan mempergunakan daftar pertanyaan yang diedarkan kepada pejabat pemerintah, pendeta dan pastor misi dan dokter setempat. Berdasarkan cara pengumpulan data seperti ini, ditulis dan diterbitkan antara lain buku yang berjudul 'Das Eingeborenenrecht: Sitten und Gewohnheitsrechte der Eingeborenen der ehemaligen deutschen Koloniën in Afrika und in der Südsee' oleh Schultz-Ewerth dan Adam. Lama kelamaan terJadilah suatu perubahan pandangan bahwa sebaiknya peneliti mengadakan penelitian sendiri dengan menggunakan observasi partisipatip. Salah seorang perintis jalan penelitian baru ini adalah Bronislaw Malinowski (1926) yang dapat dianggap sebagai peletak dasar-dasar dari studi antropologi hukum yang mendasarkan pada penelitian empiris. Dia tinggal di daerah penelitiannya, yaitu Pulau-pulau Trobriand, untuk jangka waktu yang panjang. Ini adalah suatu hal yang agak luarbiasa untuk waktu itu. Dalam karyanya dia menekankan bahwa hukum masyarakat-masyarakat non-barat harus digambarkan terlepas dari sistem hukum barat manapun. Penelitiannya mendasarkan diri pada tingkah-laku manusia yang berulang-ulang yang mengandung unsur timbalbalik. Baginya hal ini merupakan ukuran yang cukup untuk dipandang sebagai 'hukum' K Tradisi empiris dari Malinowski menjadi salah satu dasar dalam antropologi hukum. Kemudian ini dikembangkan lebih lanjut oleh ahli-ahli seperti E.A. Hoebei (1954). Leo1 Malinowski menghendaki "(to) analyse all the rules conceived and acted upon as binding obligations, to find out the nature of the binding forces, and to classlfy the rules according to the marmer in which they are made valid". (1926:23)
24
pold Pospisil (1958, 1971) dan Paul Bohannan (1957) di Amerika Serikat dan Max Gluckman (1955, 1963 1965a 1965b, 1969) serta P. Gulliver (1963) di Inggris. Metode empiris itu telah menjadi ciri khas dari antropologi modern masa kini. Penelitian semacam mi menuntut si peneliti untuk tinggal lebih lama dltempat penelitian. D i d a l a m penelitian lapangan yang memakan waktu yang lama itu akan dilakukan observasi tingkah-laku spontan disamping macammacam wawancara sebagai teknik-teknik penelitian yang saling melengkapi dan saling mengoreksi. Tujuan wawancara itu adalah untuk memberi kesempatan kepada para informan untuk berbicara sebebas mungkin tanpa menyesuaikan jawabannya kepada tanggapan atau harapan si peneliti. Yang penting dalam wawancara itu adalah untuk mengetahui kategori-kategori pikiran dari masyarakat yang diteliti. Dengan observasi dapat ditentukan bagaimanakah mereka menerapkan kategori-kategori pikiran itu dalam praktek kehidupan sehari-hari. Sebaliknya masalah-masalah tertentu yang telah ditemukan dalam observasi dapat dlterangkan oleh orang-orang yang bersangkutan melalui wawancara. Para antropolog pada umumnya mengutamakan cara pendekatan ini. Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa mereka tertarik pada 'penelitian kasus' (case studies) . Hal mi berarti bahwa mereka kurang menyukai pertanyaan-pertanyaan yang langsung atau yang bersifat hipotetis. Mereka lebih menyukai pengamatan terhadap apa yang dilakukan secara nyata dalam suatu peristiwa atau keadaan tertentu. Dengan demikian, menurut pendapat mereka akan dapat diperoleh suatu pandangan yang lebih baik tentang h u b u n g a n h u k u m dengan kebudayaan pada 1
Konsep 'trouble case' diciptakan oleh Llewellyn dan Hoebei (1961). dan Hoebei (1954). Kemudian Holleman (1986) menekankan pentingnya 'trouble-less cases'. Selanjutnya lihat Van Velzen (1967) tentang 'extended-case method' dan 'situational analysis'.
25
umumnya dan tentang bagalmanakah hubungan-hubungan sosial mempunyai relevansi dengan hukum. 'Penelitian kasus' (case studies) berpegangan pada prinsip tidak boleh hanya membatasi diri pada satu peristiwa yang terjadi pada satu waktu tertentu saja. J i k a mungkin, sej a r a h peristiwa-peristiwa atau keadaan-keadaan pada waktu lalu ditelusuri kembali supaya ditemukan perkembangan h u k u m dan hubungan-hubungan hukum dalam suatu masyarakat dari masa kemasa-*. Apa yang ada sekarang selalu ditentukan pula oleh apa yang terjadi sebelumnya. Yang paling ideal, akan tetapi sering tidak dapat dilaksanakan, adalah membuat kondisi sedemikian rupa sehingga kehadiran seorang antropolog berada dalam keadaan yang tidak menonjol dan kehidupan sosial dalam masyarakat berlangsung seperti biasa seolah-olah dia tidak ada disitu. Hal i n i semua b u k a n hal yang baru. 'Petunjuk adat' (Adatwijzer) dari tahun 1910 mengandung banyak isyarat yang masih pantas diperhatikan pada masa kini dan sesuai pula dengan apa yang telah kami uraikan diatas tentang penelitian antropologi modern. Selaln itu menjadi pertanyaan apakah, dan sampai dimana, pandangan semacam itu diperhatikan dalam penelitian-penelitian yang banyak yang dilakukan setelah 'Petunjuk adat' itu diterbitkan. Suatu unsur yang relatif baru dalam penelitian antropologi h u k u m masa k i n i adalah bahwa ada peneliti yang mengadakan penelitian dalam masyarakatnya sendiri yang jumlahnya semakin membengkak. Kalau dahulu penelitian antropologi dlasoslaslkan dengan studi yang d i l a k u k a n oleh orang barat dalïtm masyarakat-masyarakat yang aslng baglnya (yaitu non-barat), sekarang semakin sering pula diadakan penelitian oleh orang barat dalam masyarakatnya sendiri. Kadang-kadang diadakan penelitian antropologi dalam masyarakat barat oleh peneliti-penelltl non-barat, misalnya seperti Koentjaranlngrat yang mengadakan pe1
26
Lihat Juga Van Velzen (1967) dan Kingsley Garbett (1970).
neliüan di masyarakat nelayan di Urk, suatu pulau kecil di Negeri Belanda, pada tahun enampuluhan, dan Ishwaran (1959) tentang kehidupan rumah tangga Belanda. Setelah daerah-daerah yang dahulu dijajah memperoleh kemerdekaan maka kegiatan ilmiah oleh para ilmuwan dari daerah-daerah tersebut juga berkembang . Begitu pula di Indonesia para ilmuwan Indonesia telah menangani penelitian. Sebagai peneliti yang berasal dari masyarakat yang diteliti itu sendiri, mereka mempunyai suatu keuntungan yang besar, terutama karena mereka menguasai bahasa dan kebudayaan setempat. Observasi yang bersifat partisipatip baru dapat terjadi kalau si peneliti dapat berbicara dengan anggota masyarakat yang diteliti serta dapat mengikuti apa yang mereka bicarakan. Seorang antropolog yang allochton (bukan berasal dari masyarakat yang diselidiki itu) memerlukan banyak waktu untuk mencapai keterampilan ini, meskipun ia berhasil memperoleh suatu kemampuan yang memadai tentang bahasa tersebut. Mengadakan penelitian di Indonesia berarti bahwa disamping mempelajari bahasa Indonesia, sedikit banyak Juga harus dipelajari bahasa daerah. Suatu keuntungan lain yang dimiliki oleh peneliti yang berasal dari masyarakat yang diselidiki adalah bahwa mereka pada umumnya sudah terbiasa dengan situasi setempat. Mereka sudah mengetahui hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat itu, mengetahui juga tentang masalah-masalah yang peka dan menguasai cara dalam mengemukakan hal-hal tertentu. Akan tetapi diluar keuntungan-keuntungan ini ada juga beberapa hal yang tidak menguntungkan dan berbahaya. Mudah terjadi bahwa peneliti yang berasal dari masyarakat J
Lihat: P.E. de Josselin de Jong (1972): Contact der continenten: een bijdrage tot het begrijpen van nlet-westerse samenlevingen [Den Haag): Universitaire Pers Lelden; dan P.E. de Josselin de Jong (1984): Waarnemer en waargenomene: wie is wie? Leiden : Rijksuniversiteit, Rede t.g.v. de 409e Dies Natalis van de Rijksuniversiteit te Lelden op 8 februari 1984.
27
yang diteliti menganggap bahwa sebetulnya dia sudah mengetahui segala-galanya. Selain itu ada hal-hal yang mereka rasakan sudah begitu jelas sehingga mereka menganggap bahwa hal Jtu tidak perlu diperhatikan lagi sehingga tidak timbul pikiran pada mereka, atau merasa tidak perlu, mencatat maupun memperhatikan hal-hal yang demikian dalam penelitiannya. Kadang-kadang timbul kecenderungan untuk percaya kepada pengetahuannya yang sudah ada atau pengetahuan yang diandaikan. Dalam hal demikian sulit buat mereka untuk mengambil jarak dari kebudayaannya sendiri serta membuat secara eksplisit apa yang diketahuinya secara implisit. Kemudian harus disadari Juga bahwa istilah 'peneliti yang berasal dari masyarakat yang diteliti' itu mempunyai pengertian yang relatif. Misalnya seorang peneliti Indonesia belum tentu selalu harus dianggap sebagai partisipan dalam berbagai masyarakat yang ada di Indonesia. Kebudayaan-kebudayaan lokal (dari Sabang sampai Merauke) dan jenis masyarakat (seperti kota dan pedesaan; perdagangan atau perindustrian dan agraria) yang terdapat dalam keseluruhan Indonesia terlalu jauh berbeda. Memang benar, kalau dibandingkan dengan peneliti barat, peneliti Indonesia mempunyai kelebihan, yaitu secara fisik dia tidak atau hampir tidak dapat dibedakan dari anggota masyarakat yang ditelitinya. Oleh karena itu dia lebih mudah tinggal diantara mereka dan bertindak secara tidak menyolok. Namun demikian ada kemungkinan dia berbeda dalam hal penggunaan bahasa (vokabuler dan logatnya), berpakaian, sikap serta bertingkah-laku. Oleh karena itu seorang peneliti asal Jakarta tidak akan sepenuhnya menjadi orang Aceh, dan seorang peneliti yang berasal dari Batak mungkin akan menarik perhatian di Bandung. Jadi, seorang peneliti dari Indonesia juga dapat menemukan masalah partisipasi yang mirip dengan masalah-masalah yang lazimnya dialami oleh seorang peneliti asing. 28
Harus diperhatikan juga bahwa seorang peneliti, baik yang berasal dari Indonesia (autochton) maupun yang dari luar negeri (allochton), pada umumnya dalam soal-soal tertentu berbeda wawasan dengan informannya karena pendidikan dan kedudukan sosialnya. Berlainan dengan informan, dia secara profesional memikirkan masalah kebudayaan secara analitis. Inl berarti antara lain bahwa dia harus menjaga supaya dia tidak memaksa informannya mengikutl pandangan-pandangannya. Baru-baru ini Koesnoe (1989:221) menekankan perbedaan antara. di satu pihak, para ahli hukum 'yang masih tetap terpengaruh oleh tanggapan barat' dan 'menggunakan suatu pengertian dan susunan modern tentang hukum adat seperti diwujudkan dalam Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta' dan, di lain pihak, 'para ahli hukum adat, yaitu para ahli hukum dalam masyarakat-masyarakat hukum yang masih mempertahankan dan mengembangkan pengertiannya sendiri yang asli tentang hukum adat'. Berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas dapat dimengerti bahwa penelitian antropologi yang bersifat dialog, sangat penting Juga bagi peneliti yang berasal dari Indonesia yang harus dengan cermat mengumpulkan data dan pengertian dari pembicaraannya yang luwes dengan informannya. Dalam pengolahan data terakhir dalam bentuk laporan etnografi, sumbangan keterangan informan perlu dlnyatakan dengan jelas, dan Juga dinyatakan hubungan mereka masing-masing dengan si peneliti. Selama beberapa tahun terakhir ini telah berkembang kesadaran bahwa penelitian antropologi bukan suatu usaha sepihak yang membiarkan si peneliti memandang subyek penelitiannya secara obyektif, sedangkan masyarakat yang diteliti berperan pasif. Penelitian antropologi meliputi interaksi yang rumit antara si peneliti dan yang diteliti. Disamping itu harus diadakan suatu analisa yang kritis dari kepustakaan yang ada. Akhir-akhir ini semakin jelas bahwa watak studi-studi etnografi yang dianggap obyektif menjadi disangsikan. Studi-studi itu, bagaimanapun de29
skrlptifnya sifatnya, selalu dipengaruhi oleh pandangan sipeneliti, oleh kategori-kategori, pengertian-pengertian serta pernilaian yang berlaku pada waktu itu. Selanjutnya, setiap penulis menggunakan cara pengungkapan tertentu sehingga apa yang disajikan itu menyenangkan dan meyaklnkan untuk dibaca, serta orang dapat mengetahui hal itu dan menyadarinya untuk dapat memberikan pernilaian yang tepat baginya. Lagipula menjadi ciri khas dari antropologi modem bahwa semakin bertambah penggunaan sumber-sumber sejarah dan metode-metode penelitian sejarah. Dahulu para antropolog pada umumnya berkecenderungan untuk percaya pada observasi sendiri saja. Disamping itu jarang dan dengan curiga menunjak kepada karangan-karangan etnografi dari orang lain. Tambahan pula mereka berusaha mendeskripsikan suatu keadaan secara aktuil dipandang dari segi etnografi ('ethnographic present'). Artinya: mereka dengan menggunakan perkiraan menggambarkan kebudayaan tradisional yang sungguh tunggal, pada hal sebetulnya itu adalah tetap suatu rekonstruksi. Mereka tidak menyadari bahwa gambaran itu tidak lain dari hasil tangkapan momental dalam suatu arus perkembangan yang terus-menerus. Pendekatan yang a-historis ini kini telah mengalah terhadap pendekatan yang sangat ditentukan sekali oleh kesadaran historis. Aliran ini pertama-tama mengembangkan suatu spesialisasi didalam antropologi, yaitu ethnohistory, yang mempelajari arti sejarah tradisi sebagaimana adanya dan hidup dalam kebudayaan yang diteliti. Selain itu juga mempelajari artinya yang diberikan oleh masyarakat yang bersangkutan terhadap pengetahuan mereka tentang masa lampau dan cara penggunaannya pengetahuan ini. Istilah 'tradisi' dalam hal ini terutama harus dimengerti sebagai cerita-cerita tentang masa lampau yang secara lisan disampaikan dari generasi ke generasi. Kadang-kadang tradisi ini terdiri dari teks-teks yang tetap yang dihafalkan secara kata demi kata. Misalnya oleh 30
pejabat-pejabat istana, yang mencerltakan perbuatan yang gagah perkasa dari para leluhur raja dan para kepala masyarakat. Akan tetapi tradisi dapat dikaitkan Juga dengan ceritacerita tentang sejarah perang dari clan dan keluargakeluarga seketurunan yang bukan bangsawan, yang diceriterakan dimana-mana dan dikenal dalam berbagai variasinya. Tradisi juga dapat menunjuk kepada silsilahsilsilah yang disampaikan dari generasi ke generasi, syair pujian, dan ingatan-ingatan yang berkaitan dengan tempat-tempat penting yang bersejarah, seperti medan pertempuran atau istana yang ditinggalkan. Tradisi-tradlsi yang kurang lebih tetap dan berdasarkan ingatan bersama-sama (kolektif) itu, dalam antropologi dibedakan dari apa yang dinamakan 'oral history' (sejarah lisan), yaitu ingatan seseorang tentang apa yang pernah dialaminya sendiri yang kemudian diceriterakannya lagi. Kedua hal itu sebagai sumber sejarah yang mempunyai arti kenyataan, mungkin hanya sedikit saja. Sebab ingatan sering merubah bentuk dan memberi gambaran salah tentang apa yang secara nyata terjadi. Namun demikian sumber-sumber itu dapat memberi pandangan tentang cara manusia melihat masa lampau dan kenyataan masa kini. Studi sejarah lisan ('oral history') ini khususnya berkembang di Afrika, dan pada umumnya di daerah-daerah yang tidak mempunyai sumber sejarah tertulis. Perintis jalan jenis studi ini, yaitu Jan Vansina. adalah seorang ahli kebudayaan Afrika (lihat bukunya tentang 'Oral Tradition as History', University of Wlsconsin Press, Madison, 1985). Sebaliknya, di Indonesia tidak banyak dilakukan etno-sejarah berdasarkan sumber-sumber lisan, karena tersedia begitu banyak sumber tertulis. Perlu ditambahkan disini bahwa para antropolog pada umumnya tidak secara sistematis menggunakan sumber-sumber itu, sebabnya ialah seperti telah disebut diatas, mereka terlebih dahulu terutama tertarik pada 'ethnographic present, sedangkan 31
studi sejarah dipercayakan kepada ahli sejarah dan filologi (ilmu yang mempelajari kebudayaan dengan menalaah karya-karya sastra dan bahan-bahan tertulis). Dalam buku mi terdapat sumbangan Juned tentang sebuah naskah Aceh dari abad ke-18 yang menunjuk pentlngnya sumber-sumber tertulis, khususnya sumber-sumber Islam, untuk studi hukum. Penelitian tambahan akan menentukan apakah arti sebetulnya dari jenis-jenis tulisan itu bagi sejarah hukum Indonesia. Untuk memperoleh pengertian tentang perkembangan pikiran hukum, bagaimanapun juga adalah penting bila teks-teks sejenis itu yang berasal dari berbagai periode semakin banyak diterbitkan. Hanya dengan demikian dapat dicapai perspektif sejarah yang mutlak diperlukan dalam studi hukum. Hal ini semua tujuannya supaya tidak hanya disajikan deskripsi kebudayaan-kebudayaan yang abstrak dan umum saja, akan tetapi juga membuat suatu gambaran yang sesual dengan kenyataan hidup, konkrit dan tepat dilihat dari segi sejarah, Karena dengan begitu telah dengan teliti ditunjukkan keadaan, waktu dan tempat dari data yang dideskripsikan. Tentang pandangan teoretis dalam antropologi dapat dicatat bahwa sekarang mi semakin dikhawatirkan faedah deskripsi kebudayaan yang dituangkan dalam bentuk peraturan-peraturan kehidupan yang abstrak yang dianggap menentukan perilaku manusia. Semakin disadari bahwa peraturan-peraturan dapat digunakan juga untuk mewujudkan cita-cita atau suatu pandangan diri sendiri, ataupun sebagai alat dalam perang ideologi. Demikianlah peraturan-peraturan akan berarti bagi kalangan muda sebagai instruksi tentang bagaimana seharusnya berperi-kehidupan bermasyarakat; bagi orang luar hal itu adalah untuk menunjukkan bagaimana masyarakat tersebut ingin dilihat. Peraturan-peraturan dapat digunakan juga sebagai alat penafsir dan penilai gejala-gejala konkrit, ataupun sebagai dasar pembenar dari pandangan sendiri terhadap lawan. 32
Hal Ini semua berarti bahwa harus diteliti pengaruh peraturan-peraturan dan kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana peraturan-peraturan tersebut dipergunakan dan dimanipulasi, dan bagaimana peraturan-peraturan, yang sering tidak ditaati dengan sendirinya, dirubah. Pendekatan seperti ini berkaitan dengan tanggapan antropologis bahwa 'peraturan-peraturan hukum' bukan terpisah dari lingkungannya dan bukan berada diluar atau diatas kehidupan masyarakat, akan tetapi merupakan aspek dari suatu proses sosial yang mempunyai aspekaspek ekonomi, politik dan religi. Pengaturan adalah bagian penting dari permasalahan pengendalian sosial. Dilain pihak. peraturan-peraturan, dan hukum pada umumnya, merupakan juga cerminan dari suatu gambaran dunia, dari suatu pandangan tentang susunan kehidupan dan tentang norma-norma dan nilai-nilai yang menguasai dan seharusnya menguasai kehidupan manusia. Ini bukan hanya meliputi konsep yang terbatas, yaitu kaidah-kaidah yang harus ditaati, akan tetapi norma-norma dalam kaitannya dengan gambaran tentang kehidupan pada umumnya. 'Kebudayaan' adalah kepunyaan bersama dari suatu keseluruhan yang besar yang terdiri dari individu-individu dan kelompok-kelompok yang dapat dibedakan satu sama lainnya berdasarkan antara lain pada kelamin, umur. kekayaan. daerah kediaman. kedudukan sosial. dsb. Dan bagi setiap individu dan kelompok itu. norma-norma yang ada dapat berbeda-beda isinya dan artinya. Berdasarkan keyakinan antropologi tentang kohesi gejalagejala sosial. yang selalu perlu diperhatikan ialah sejauh mana dan bagaimana perubahan dalam kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan mempengaruhl gejala-gejala hukum. Misalnya perubahan-perubahan yang berkaitan dengan perkembangan-perkembangan industrialisasi. komersialisasi, urbanisasi, campur-tangan negara atau pemerintah, pertambahan penduduk dan migrasi. 33
Ciri tambahan yang khas dari studi antropologi ialah bahwa selalu ada perbandingan, baik secara implisit maupun secara eksplisit. Artinya: membandingkan kebudayaan-kebudayaan satu sama lainnya. termasuk hukumnya. Perbandingan ini meliputi penentuan perbedaan-perbedaan maupun persamaan-persamaannya. Dengan menentukan perbedaan-perbedaan tersebut dapat ditunjukkan kepribadian kebudayaan-kebudayaan masing-masing. Penentuan persamaan dapat menimbulkan pernyataan-pernyataan yang berlaku secara lebih umum, misalnya tentang hubungan antara hukum dan gejala-gejala sosial lainnya. Dalam dua hal mi, perbandingan membawa pada perluasan wawasan dan merelatipkan pandangan terhadap mutlaknya situasi setempat. Dalam penelitian lapangan dan penelitian etnografi, perbandingan itu sering disajikan secara Implisit. Tiap peneliti membawa pengetahuan tentang sistem-sistem hukum yang dipelajari selama pendidikannya dan studinya. Pengetahuan ini mempunyai watak analisa ilmiah. Dalam hal ini pada pokoknya berbeda sekall dengan hukum adat yang bersifat spontan serta tidak terbentuk secara ilmiah. Istilah-istilah yang dipergunakan oleh peneliti adalah asing bagi sistem masyarakat dan kebudayaan yang diteliti. Hal ini mudah sekali menimbulkan kesalah fahaman. Hal ini merupakan masalah yang selamanya menjadi persoalan dalam antropologi, khususnya dalam studi antropologi hukum dan hukum adat, seperti telah dikemukakan oleh Koesnoe dalam artikelnya tersebut diatas (1989). Studi hukum adat seperti dikembangkan di Jakarta sebelum Perang Dunia Kedua adalah suatu contoh studi berdasarkan pada model pikiran yang berasal dari barat dengan akibat bahwa 'sesungguhnya kebanyakan yuris Indonesia mengalami suatu proses pengasingan yang bertahap (1989:225). Jadi perbandingan bisa juga menimbulkan salah gambaran (distorsi). Tidak seorang ilmuwan pun yang berpendidikan barat dapat meloloskan diri dari masalah ini. Jikalau persoalan ini dimaklumi oleh si pe34
neliü maka ia dapat menjaga diri dari ündakan salah yang sangat berbahaya ini dalam studinya. Diharapkan generasigenerasi antropolog dan ahli hukum adat Indonesia yang baru akan lebih berhasil mendekati kenyataan hukum Indonesia, dengan mengindahkan perspektif perbandingan yang berdaya menerangkan. ANTROPOLOGI H U K U M
Didalam antropologi telah berkembang beberapa spesiallsasi, seperti antropologi religi dan ekonomi, yang memusatkan perhatian kepada aspek-aspek tertentu dari kehidupan masyarakat dan kebudayaannya. Antropologi hukum. yang berkembang setelah Perang Dunia Kedua, mengkhususkan diri pada hukum, atau aspek-aspek normatif dari kehidupan manusia dalam masyarakat. 'Hukum' adalah suatu konsep yang sangat kurang jelas dan problematis. Tiap usaha untuk mendefinisikannya secara tuntas tidak pernah berhasil. Sekalipun demikian perlu ada penjelasan tentang arti 'hukum' sebagaimana digunakan dalam tulisan ini. Seringkali istilah 'hukum' menimbulkan asosiasi dengan pengertian itu menurut sistem hukum barat termasuk dogmatik. lembaga-lembaga dan prosedur-prosedur dan sebagainya yang berkaitan dengannya. Misalnya: dalam pengertian hukum mesti ada penguasa legislatif yang merumuskan peraturan dan undang-undang, yang kemudian dilaksanakan oleh kekuasaan eksekutip; kemudian ada pula pengadilan yang menimbang dan memutus terlaksana tidaknya peraturan. Paham ini adalah ringkasan singkat dari doktrin 'Trias Politica' dari Montesquieu yang merupakan tnti dari sistem 'ciuil law'. Pada awal studi antropologi hukum (atau lebih tepat: etnologi) ada-tidaknya lembaga-lembaga seperti itulah yang digunakan sebagai batu penguji untuk menentukan apakah 35
ada hukum atau tidaknya dalam masyarakat yang 'asing' yang dlpelajari itu. Pada waktu itu dalam banyak masyarakat yang demikian itu tidak ditemukan unsur-unsur tersebut, atau hanya sebagian. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau ada peneliti yang berkesimpulan bahwa masyarakat 'primitif tidak mengenal hukum. Pernyataan seperti mi menimbulkan pertanyaan, yaitu: Jikalau mereka tidak mempunyai hukum, apa yang mereka miliki? Sebab bagaimanapun mereka merupakan suatu masyarakat yang tampak mengenal suatu tertib yang mengatur hubungan antar anggotanya sedemikian rupa sehingga masyarakat itu berhasil mempertahankan eksistensinya berabad-abad. Keseluruhan kesadaran normatif yang dituangkan kedalam bentuk asas-asas, kaidah-kaidah, pola tindakan, dsb. yang mengatur kehidupan sosial dapat dilihat sebagai 'hukum', walaupun tidak dijumpai institusi-institusi dan prosedurprosedur dengan ciri khas dari hukum dalam pengertian hukum barat. Setelah ditarik kesimpulan demikian, studi dapat dilanjutkan dengan mempelajari apa yang dapat ditemukan dalam masyarakat yang bersangkutan . Jelaslah dari apa yang diuraikan diatas bahwa pendekatan studi antropologi hukum luas sekali isi pengertiannya dan tidak terbatas pada studi masalah-masalah yang ditentukan dan didefinisikan oleh sesuatu sistem dogmatik hukum atau hukum positif tertentu. Dengan perkataan lain: antropologi hukum tidak mengikuti sistematik ilmu pengetahuan hukum, yang berasal dari dan berkaitan dengan kebudayaan barat. Akan tetapi antropologi hukum memperhatikan bidang kehidupan sosial yang jauh lebih luas daripada bidang dogmatik hukum dan ilmu pengetahuan hukum. Pada dasarnya berbagal jenis tatanan masyarakat (yang normatif) dapat dijadikan obyek studi antropologi hukum. Terutama yang termasuk berbagai jenis hukum positif yang sudah disistematisir, seperti J
* Suatu pendekatan seperti ini sudah dipergunakan oleh Malinowski (1926).
36
h u k u m nasional dan h u k u m agama (a.1. h u k u m Fiqh dan h u k u m Kanonik); juga termasuk beraneka ragam jenis normativitas yang, menurut definisi sesuatu sistem h u k u m positif tidak dapat dianggap sebagai h u k u m . Sebagian besar dari h u k u m adat dapat dianggap termasuk dalam kategori terakhir i n i . Segala sistem h u k u m adat lokal mempunyai asas-asas, kaidah-kaidah, aturan-aturan dsb. berkenaan dengan adanya tingkah-laku sosial yang preskriptif atau memaksa dan biasanya dipatuhi. Sekalipun demikian itu tidak dapat dipertahankan di pengadilan negara karena dianggap tidak mempunyai 'relevansi dalam hukum'. Selain itu bahwa biasanya hukum adat tidak mempunyai suatu perumusan tunggal yang tegas dan jelas: hampir tidak ada aturan adat substantip (tertulis maupun tidak tertulis) yang bentuknya dan kedudukannya seperti undang-undang pada hukum barat. Demikian pula didalam kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang berdasarkan kekerabatan, terdapat norma-norma yang mengikat yang, disamping norma-norma lain, juga menentukan tingkah-laku manusia dalam masyarakat. Hal ini berlaku juga bagi berbagai jenis kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang bukan etnis dan bukan'berdasarkan kekerabatan. Misalnya seperti kelompok-kelompok jabatan (mis. para dokter dengan kode etik kedokteran), perh i m p u n a n - p e r h i m p u n a n sosial atau ekonomi (seperti cabang-cabang i n d u s t r i dan dagang), dsb. Kesatuankesatuan kekerabatan tersebut dan hukumnya sejak lama sudah menjadi salah satu pokok perhatian studi antropologi h u k u m . Perhatian terhadap tertib kelompokkelompok lain sedang berkembang. Permasalahan pokok bagi antropologi h u k u m adalah: bagaimanakah diatumya hubungan-hubungan antara manusia dan kelompok-kelompoknya, berkenaan dengan asasasas, kaidah-kaidah normatif, dsb. Antropologi h u k u m tidak hanya menuju kepada masalah pengendalian sosial (social control) dan tingkah-laku nyata. akan tetapi memperhatikan juga ide-ide dan ideologi-ideologi yang 37
abstrak, pikiran dan tanggapan manusia tentang baik dan buruk dan patut tidaknya suatu peri-laku dalam pergaulan kemasyarakatan. Konsep 'lapangan-lapangan sosial yang semi-otonom' ('semi-autonomous soctal fields') seperti d i k e m u k a k a n oleh S.F. Moore (1978) merupakan sarana yang baik untuk menerangkan pendekatan yang luas tentang h u k u m didalam antropologi hukum. Moore menciptakan konsep 'semi-autonomous social fields' itu sebagai kritik terhadap pendekatan 'iungsionalisme s t r u k t u r ü ' dan terhadap ajaran 'hukum sebagai alat pembinaan sosial' ('law as tooi of social engeneering'}. Tekanan 'fungsionalisme strukturil' i t u , yang dominan dalam antropologi sampai tahun limapuluhan, terdapat pada studi kelompok-kelompok sosial yang konkrit yang jelas pembatasannya ('corporate groups') yang dianggap sebagai kesatuan tunggal berlangsungnya k e h i d u p a n manusia. Ajaran 'hukum sebagai alat pembinaan sosial' ('law as a tooi of social engeneering') (Pound 1940:7980), yang dianut terutama di Amerika Serikat sampai tahun limapuluhan, didasarkan pada pandangan bahwa setiap perubahan dalam masyarakat yang dikehendaki dapat dicapai melalui h u k u m . Karena dengan penerapan hukum itu betul-betul akan terjadi perubahan sebagaimana dimaksudkan. Konsep 'field' ('lapangan') atau 'arena' membawa kepada perhatian tentang sifat terbukanya hubungan-hubungan sosial antara manusia beserta perubahan-perubahan yang terjadi didalamnya. Yang dimaksudkan dengan field' tersebut adalah suatu lapangan sosial dimana para aktor berada dalam keadaan saling mempengaruhi satu sama lain sebagai anggota berbagai kelompok atau masyarakat. Tidak dapat ditentukan sebelumnya siapakah akan bertindak sebagai aktor. Para aktor dapat memasuki lapangan tersebut dan meninggalkannya. Konsep field' mengandung juga 1
1
38
Suatu uraian berdetil tentang konsep 'field' dapat dibaca dalam Swartz 1986:6 ev.
pengertian bahwa setiap lapangan itu berhubungan dengan dunia sekelilingnya, termasuk masyarakat nasional maupun internasional. Akhirnya, konsep 'field' itu mengandung gambaran pula bahwa kehidupan sosial dapat dilihat sebagai urutan gejala-gejala, dan bukan sebagai suatu kenyataan statis. Baik dalam masyarakat agraria yang 'sederhana' dan 'tradisionalistis' seperti masyarakat Chagga di Afrika, maupun dalam masyarakat 'kompleks', 'modern' yang diindustrialisasikan seperti Amerika Serikat, ternyata bahwa pengaturan oleh pemerintah nasional sering tidak memperoleh hasil yang dimaksudkan. Bahkan kadangkadang menimbulkan hasil yang sebaliknya. Hal mi terjadi oleh karena ada kesatuan-kesatuan lain dalam masyarakat yang menciptakan dan mentaati norma-norma yang tidak bersumber pada penguasa legislatif nasional; bahkan sering bertentangan dengan hukum nasional. Suatu 'semi-autonomous social field' ditetapkan. dan batas-batasnya dapat diketahui. bukan dari susunannya. akan tetapi dari suatu slfat prosessualnya, yaitu: kemampuannya membangkitkan kaidah-kaidah dan memaksa atau mendorong untuk melaksanakartnya . (Moore 1973:722) Akan tetapi setiap semi-autonomous social field serentak pula berada dalam suatu 'jaringan [network) sosial' yang lebih luas yang mempengaruhinya dan mencampurinya. Suatu lingkungan dimana beberapa field itu bertemu satu sama lainnya, dapat menjadi semi-autonomous social field yang tersendiri. Jadi: pengelompokan field-field tersebut dapat menjadi semi-autonomous social field sendiri-sendiri. Banyak field itu mengadakan hubungan dengan field-field yang lain sedemikian rupa sehingga terjadi mata rantai yang kompleks sebagaimana J
Aslinya: "The semi-autonomous social field is defined and its boundaries identifled not by its organization (it may be a corporate group, it may not) but by a processual charactertstic, the fact that it can generate rules and coerce or induce compliance to them".
39
halnya dengan jaringan {.network) sosial orang-orang sebagai individu yang, jika dikaitkan satu sama lain, dapat dipandang sebagai suatu mata rantai yang tidak ada putusnya. Permasalahan analitis tentang fields yang otonom itu memang terdapat dalam masyarakat kesukuan. Akan tetapi hal ini merupakan persoalan analitis yang lebih pokok lagi dalam antropologi sosial bila menghadapi masyarakat-masyarakat yang kompleks. Akhirnya, semua bangsa didunia, baik dunia yang lama maupun yang baru, merupakan masyarakat-masyarakat kompleks dalam pengertian ini. (Moore 1973:720-722). Pandangan-pandangan seperti ini bermanfaat pula untuk menafsirkan dan menguraikan susunan dan prosesproses normatif dalam masyarakat Indonesia. Konsep semi-autonomous social field dapat memberi dasar teori kepada kenyataan yang diketahui dan dialami oleh tiap peserta dalam kehidupan sosial di Indonesia, dengan jalan mengakui bahwa, selaln dari kekuasaan hukum negara, ada jenis hukum lain yang berperan, seperti mis. hukum Fiqh dan hukum adat. Dengan demikian konsep itu secara ilmiah juga membenarkan kenyataan adanya 'pluralisme hukum'. Dengan itu akan diperoleh suatu wawasan tentang tidak mungkinnya ada suatu masyarakat yang tidak mengalami pluralisme hukum . Itu berarti sistem formal 1
2
1
2
A situation of legal pluralism - the omnipresent, normal situaUon in human society - is one ln which law and legal institutions are not all subsumable withln one 'system' but have their sources in the self-regulatory activities of all the multifarious social fields present, activities which may support, complement, ignore or frustrate one another, so that the 'law' which is actually effective on the 'ground floor' of society is the result of enormously complex and usually in practice unpredictable patterns of competltion, interaction, negotiatlon, isolatism, and the like. (Griffiths 1986:39). Lihat juga: Merry 1988. Pluralisme yang dimaksudkan disini bukanlah sama dengan pluralisme atau dualisme dalam arti yuridis, seperti berlaku pada jaman kolonial. Dualisme itu mengandung arti bahwa menurut hukum negara masyarakat dibedakan dalam berbagai
40
hukum negara dan pengaruhnya terhadap kenyataan kehidupan sosial sehari-hari bersifat tidak absolut, tetapi relatif. Secara yuridis* formal seluruh Indonesia tunduk kepada hukum nasional yang, sebagaimana halnya di negara-negara lain, menganggap dirinya mempunyai monopoli dalam bidang h u k u m . Sekalipun demikian, kenyataan memperlihatkan suatu aneka ragam perilaku yang diilhami oleh kesadaran normatif yang bersumber pada Jenis-jenis hukum yang bukan hukum negara. Perilaku manusia tidak dapat dimengerti hanya dari fasal-fasal undang-undang dari sistem hukum yang resmi. Disamping sistem hukum resmi itu harus juga diperhatikan keseluruhan sistem normatif yang lain, baik yang kecil maupun yang besar sebagaimana diwujudkan didalam hubungan sesama manusia. Seringkali sesuatu dilakukan, bukan karena diharuskan oleh hukum nasional atau hukum agama, akan tetapi oleh karena rasa kepatutan dalam hubungan sebagai kerabat, tetangga, rekan sejawat, kawan separtai politik, rekan seagama, teman seperkumpulan olahraga, dsb. Dalam setiap hal (yang dapat ditambah dengan sejumlah yang tidak dapat diperkirakan) perilaku manusia ditentukan juga oleh apa yang diperintahkan, dikehendaki atau yang sudah menjadi keb las aan dalam kelompok atau kesatuan yang bersangkutan Itu. Pengertian tentang ini dapat membantu untuk mengerti dinamik hukum adat. Dahulu. pada Jaman kolonial, j
1
jenis golongan yang masing-masing tunduk kepada sistem hukum yang berbeda. Hal seperti ini dapat ditemukan antara lain dalam penentuan seperti fasal 15 Wet Algemene Bepalingen van Wetgeving (30 April 1847 S. 23} yang berbunyi: "Behoudens de uitzonderingen omtrent de Indonesiërs en de daarmee gelijkgestelde personen vastgesteld, geeft gewoonte geen regt, dan alleen wanneer de wet daarop verwijst" (diterjemahkan: Dengan tidak mengurangi pengecualian yang ditetapkan bagi orang Indonesia serta orang yang disamakan dengannya, kebiasaan tidak menimbulkan hak kecuali jlka undang-undang menetapkannya).
41
d a n sekarang h u k u m adat sering dianggap statis. d a n dilihat sebagai s u a t u k e s e l u r u h a n k a i d a h - k a i d a h d a n kebiasaan-kebiasaan yang tidak berubah. Oleh karena i t u sering ditarik k e s i m p u l a n b a h w a adat telah luntur. merosot d a n a k a n h i l a n g k a r e n a berbagai pengaruh d i b i d a n g h u b u n g a n s o s i a l . e k o n o m i d a n politik y a n g telah m e n i m b u l k a n suatu perkembangan yang m e r u b a h kea d a a n n y a d i b a n d i n g dengan k e a d a a n 'adat d a h u l u ' . D a l a m t u l i s a n - t u l i s a n j a m a n k o l o n i a l m i s a l n y a , sering d i k e m u k a k a n kekhawatiran bahwa tindakan-tindakan pemerintah kolonial atau pengaruh ekonomi akan menghancurkan adat. Tetapi k e b u d a y a a n - k e b u d a y a a n serta adat masyarakat y a n g d i k h a w a t i r k a n h i l a n g i t u . ternyata m a s i h tetap a d a , w a l a u p u n m u n g k i n b e n t u k d a n i s i n y a t i d a k tetap seperti d u l u lagi. P e n d e k a t a n statis i t u b e r k a i t a n dengan a s u m s i y a n g t i d a k tepat b a h w a adat m e m p u n y a i s u a t u pola a t a u s t a n d a r y a n g t i d a k b e r u b a h s e l a m a n y a . T e r h a d a p p a n d a n g a n i n i pert a n y a a n y a n g t i m b u l a n t a r a l a i n i a l a h : adat y a n g m a n a , periode y a n g m a n a d a n m a s y a r a k a t a t a u k e l o m p o k y a n g m a n a y a n g dapat d i p a n d a n g sebagai s t a n d a r itu? S e l a i n i t u pendekatan ini mengandung kekurangan bahwa tekanann y a d i b e r i k a n k e p a d a s e s u a t u y a n g t i d a k a d a lagi ('adat lama/dahulu') d a n apa yang menggantikannya kurang diperhatikan. K a l a u m a s y a r a k a t d i p a n d a n g sebagai s u a t u s u s u n a n d a r i fields y a n g s a l i n g t u m p a n g - t i n d i h d a l a m m e n g a t u r d i r i n y a serta saling mempengaruhi, dapat dimengerti bahwa t i n d a k a n m a n u s i a m e n j a d i b e r u b a h sebagai a k i b a t d a r i i n t e r a k s i a n t a r a fields y a n g b e r l a i n a n i t u . J
Kenyataan dinamik adat dirumuskan mis. dalam gurindam Minangkabau yang dalam bahasa Indonesia berbunyi: Adat dipakal (menjadi) baru, kain dipakai (menjadi) usang; Bercupak sepanjang batang, beradat sepanjang jalan; Usang-usang dibaharul, lapuk-lapuk dlkajangi; Yang baik dipakai. bila singkat diulas: Yang buruk dibuang, bila panjang dlkerat; 42
1
Pengertian-pengertian seperti ini adalah penting bagi studi hukum adat sebagai hukum positif. Perubahan dan perkembangan kehidupan sosial dan hukum tidak terjadi dalam vakum dan tidak ditentukan hanya oleh watak serta isi adat itu sendiri, akan tetapi juga oleh berbagai pengaruh karena interaksi yang terus menerus dengan dunia luar. ° Dengan demikian antropologi hukum dapat memberikan sumbangan bagi studi hukum pada umumnya dalam masyarakat manapun, dan juga bagi studi hukum adat Indonesia khususnya. Kedua tipe studi, yaitu studi hukum adat sebagai hukum positif dan antropologi hukum, bukan merupakan saingan, akan tetapi semuanya adalah kegiatan intelektual yang saling mendukung. Pengaruh ketiga pendekatan ini, yaitu: studi hukum adat menurut tipe barat. pendekatan ilmu hukum adat sebagai hukum positif Indonesia dan antropologi hukum masing-masing dapat dijumpai dalam sumbangan yang disajikan dalam bab-bab yang berikut laporan ini. Tidak mengherankan kalau pengaruh tipe barat studi hukum adat masih agak dominan. Sebab. sebagaimana mahasiswamahasiswa di Indonesia pada umumnya, ketiga orang penulis bab-bab itu didalam pendidikan hukumnya terutama ditanamkan cara pendekatan barat ini. Dari itu tujuan penataran yang diadakan oleh Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh adalah untuk memperkenalkan para peserta dengan pendekatan-pendekatan yang baru. Kelihatannya tujuan ini telah terdekati. Sumbangan T. Juned SH adalah memahami hukum adat melalui studi naskah kuno Aceh tentang ajaran dan pikiran tentang kedudukan, wewenang dan kegiatan 'hakim' pada jaman sebelum penjajahan. Naskah mi adanya hanya beberapa eksemplar dan sulit didapat serta tidak mudah Bila melebihi Jangan keterlaluan; bila mengurangi janean sampai sia-sia. (lihat Koesnoe 1992:13).
43
dibaca terutama karena ditulis tangan dalam bahasa campur-aduk dan sebagian dalam tulisan Arab. Juned mengemukakan bahwa naskah mi dapat dipandang sebagai hasil spesifik Aceh dalam arti bahwa naskah ini tidak terpengaruh oleh ilmu pengetahuan dan dogmatik hukum barat. Pengaruh Islam yang ada didalamnya yang tidak dapat disangkal, tidak menjadikan naskah mi tidak dapat dipandang sebagai bukan khas Aceh. Sebab pada waktu naskah itu ditulis Aceh telah dlislamkan, dan Islam sudah menjadi darah-daging kebudayaan dan adat Aceh. Tulisan ini sifatnya agak dekat dengan tipe studi hukum adat positif Indonesia seperti dikemukakan oleh Koesnoe. Sumbangan T.I. El Hakimy SH. membahas tentang hakhak atas tanah di masyarakat Aceh, sistem tradisionalnya dalam penggolongan tanah, dan hak serta kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengannya yang masih tetap diperhatikan dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan peristilahan yang lazimnya dipakai dalam masyarakat, dibuat suatu rekonstruksi dari kategorisasi tradisional dan diberikan suatu gambaran tentang susunan dan isi hak-hak atas tanah yang bersangkutan. Sehubungan dengan pilihan obyeknya mengenai tanah dan hak-hak atas tanah serta cara mengolahnya, studi ini dapat dikaitkan dengan tipe studi hukum adat positif Indonesia, walaupun didalamnya mengandung pula unsur-unsur pendekatan ilmu sosial (antropologi). Sumbangan Y.C. Thambun Anyang SH. menguraikan tentang proses dan upacara adat perkawinan masyarakat Daya Taman. Pembahasannya menunjukkan bahwa, sekalipun hukum nasional mengenai perkawinan telah dinyatakan resmi berlaku, dan walaupun orientasi anggota masyarakat yang bersangkutan sangat kuat terhadap agamaagama resmi, namun adat tetap menjadi aspek yang penting dalam perkawinan masyarakat Daya Taman di Kalimantan. Dari itu hasil penelitian mi akan sangat berarti untuk mengetahui, mengerti dan memahaml dengan baik tentang bagaimana pelaksanaan senyatanya suatu per44
kawinan oleh dan dalam suatu kelompok masyarakat di Indonesia ini. Uraian ini, yang terpengaruh oleh pendekatan antropologi hukum, berusaha memperoleh bahan dasar tentang halhal yang masih kurang diketahui yang akan merupakan bahan berharga bagi studi hukum positif yang tidak tertulis. Akhirnya sebagai penutup dapat dikemukakan bahwa ketiga sumbangan mi hanya merupakan sebagian saja dari karya mereka yang lebih luas yang dikerjakan dalam rangka Penataran tersebut. Mudah-mudahan ketiga penulis ini berhasil melanjutkan penyempurnaan karyanya itu untuk dikemudian hari diterbitkan pada kesempatan yang lain. DR. Mr. H. Slaats Prof. DR. A.A. Trouwborst
45
DAFTAR KEPUSTAKAAN ADATWIJ ZE R 1910 A d a t w l j z e r . Adatrechtbundel
1:16-20.
BENDA-BECKMANN, C E . von 1984 The broken stairways to consenus; Village justice and state courts in Minangkabau. (disertasi), N i j m e g e n . BENDA-BECKMANN, F. von 1979 Property in Social Continuity; continuity and change in the m a i n t e n a n c e of property r e l a t i o n s h i p s through time i n Minangkabau, West Sumatra, V e r h a n d e l i n g e n K o n i n k l i j k I n s t i t u u t v o o r T a a l - , L a n d - e n V o l k e n k u n d e 8 6 . T h e H a g u e , M a r t i n u s Nijhoff. 1984 V a n V o l l e n h o v e n o v e r h e t a d a t r e c h t . Nederlands Juristenblad 33:1035-1037. B O H A N N A N , P. 1957 Justice and judgement Press.
among the Tiv. L o n d o n , O x f o r d U n i v e r s i t y
DJOJODIGOENO, M . M . 1950 Menjandra Hukum Adat. J o g j a k a r t a , J a j a s a n B a d a n P e n e r b i t Gadjah Mada. 1961 Reorientasi Hukum dan Hukum Adat. J o g j a k a r t a , P e n e r b i t a n Universitas. 1964 Asas-asas Hukum Adat. J o g j a k a r t a , G a d j a h M a d a . 1969 Wat is Recht? Over de aard van het recht als sociaal proces van normeringen. P u b l i c a t i e s over A d a t r e c h t II. N i j m e g e n , K a t h o lieke Universiteit. D J O J O D I G O E N O , M . M . d a n TIRTAW1NATA 1940 Het Adatprivaatrecht van Middel-Java. van Justitie.
Batavia,
Departement
GLUCKMAN, M . 1955 The judicial process among the Barotse of Northern Rhodesia. Manchester, Manchester University Press. 1963 Custom and conflict in Africa. O x f o r d , B a s l l B l a c k w e l l ( t e r b i t a n p e r t a m a 1956). 1 9 6 5 a Politics, Law and Ritual in Tribal Society. Oxford, Basil Blackwell. 1965b The ideas in Barotse Jurisprudence. New Haven, Yale University Press.
46
1969 'Concepts in the Comparative Study of Tribal Law', dalam L. Nader (ed.) Law in Culture and Society. Chicago, Aldine Publ. Co. (349-373). GRIFFITHS, J. 1986 'What is Legal Pluralism?' Joumal of Legal Pluralism and Unojjicial Law 24:1-50. GULUVER, P.H. 1963 Social control in an AJrican society: a study of the Arusha: agricultural Masai of Northern Tanganyika. London, Routledge & Kegan Paul. HAAR, B. ter 1930 De Rechtspraak van de Landraden naar ongeschreven recht. (pidato) (Soepomo, Verzamelde Geschriften 1950(I):464-492). 1934 'Welke Eisen stelt toepassing van ongeschreven materieel privaatrecht aan organisatie en Procesrecht der Inlandse Rechtbanken?' Het Indisch Tijdschrift van het Recht 140 (Soepomo, Verzamelde Geschriften 1950(II):205-248). 1937 Het Adatrecht van Nederlandsch-Indiè in Wetenschap. Praktijk en Onderwijs, (pidato) Batavia (Soepomo, Verzamelde Geschriften 1950(II):472-501). 1939 Beginselen en Stelsel van het Adatrecht. Groningen/Batavia, Wolters. (terjemahan bahasa Indonesia: K.Ng. Soebakti Poesponoto 1960, Asas-asas dan Susunan Hukum-Adat. Djakarta, Pradnja Paramtta d/h J.B. Wolters; terjemahan bahasa lnggri.s: A.A. Schiller, dan E.A. Hoebei (eds.) 1948, Adat Law in Indonesia by B. ter Haar. New York, Institute of Pacific Relations). 1941 'De betekenis van de tegenstelling participerend-kritisch denken en de rechtspraak naar Adatrecht'. Mededelingen der Nederlandsche Academie van Wetenschappen, Nieuwe Reeks IV(13):567-590 (Soepomo, Verzamelde Geschriften 1950(II):586-605). HAZAIRIN 1936 De Redjang: de uolksordening, het verwantschap-, huwelijks- en erfrecht. Bandoeng, Nlx. 1951 Hukum baru di Indonesia. Djakarta, Bulan Bintang. 1952 Kesusilaan dan Hukum (pidato pelantikan). Djakarta, Universitet Indonesia. HOEBEL, E.A. 1954 The Law of Primitive Man. Cambridge (Mass.), Harvard University Press. HOLLEMAN, F.D. 1927 Het Adatrecht uan de Afdeeling foeloengagoeng (Gewest Kediri): een onvoltooide studie. Buitenzorg, Archipel Drukkerij & Boek.
47
1938 'Mr. B . ter Haar Bzn.'s rede "Het adatprivaatrecht van Nederl a n d s c h - I n d l ë l n wetenschap, practljk en onderwijs". H e t Indisch Tijdschrift van het Recht 147/3:428-440. 1939 'Antwoord van prof. mr. F . D . Holleman', dalam: Logemann, 'Om de taak van den rechter^ Het Indisch Tijcischrift van het Recht 148:36-42. 1972 HuJcum Adat di Tulungagung. J a k a r t a , Bhratara. (terjemahan dari: Het Adatrecht van de Afdeeling Toeloengagoeng 1927) 1973 H u k u m Adat dalam Polemik Ilmiah J a k a r t a , Bhratara. 48:64 (terjemahan dari: 'Mr. B . ter Haar Bzn.'s rede "Hei. adatprivaatrecht v a n N e d e r l a n d s c h - I n d i ë i n wetenschap, practijk en onderwijs"' 1938). HOLLEMAN, J . F . 1986 'Trouble-cases and trouble-less cases in the study of customary law and legal reform', dalam K. v. Benda-Beckmann and F. Strijbosch (eds.), Anthropology of Law in the Netherlands; Essays on Legal P l u r a l i s m . Verhandelingen K o n i n k l i j k Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde 116. D o r d r e c h t / C i n n a m i n s o n , Foris Publications (dengan j u d u l yang sama telah dipublikasi dalam 1973 Lau; & Society Review 7/4:585-609). HOLLEMAN, J.F. (ed.) 1981 Van Vollenhoven on Indonesian Adat Law. Koninklijk Instituut voor Taal-, L a n d - en V o l k e n k u n d e T r a n s l a t i o n Series 20. Martlnus Nijhoff. The Hague. HOOKER, M.B. 1975 Legal Pluralism. An Introduction to Colonial and Neo-colonial Laws. Oxford, Clarendon Press. 1978 A Concise Legal History of South-east Asia. Oxford, Clarendon Press. ISHWARAN, K . 1959 Family life in the Netherlands.
(diss.) The Hague, Van Keulen.
KINGSLEY GARBETT, G. 1970 'The Analysis of Social Situations'. Man 5/2:214-227. KOESNOE, Moh. 1967 Hukum dan perubahan perhubungan kemasjarakatan (pidato). Surabaja, Universitas Airlangga. 1969 Musjawarah: een wijze van volksbesluituorming volgens adatrecht (pidato). Publicaties over Adatrecht I. Nijmegen, Katholieke Universiteit. 1971 Introduction into Indonesian Adat Law (outline of a course of lectures). Publicaties over Adatrecht III. Nijmegen, Katholieke 48 Universiteit. 2
1975
Penelitian Hukum Adat di Bali dan Lombok 1971-1973; Laporan Pokok. Surabaya. 1977a Opstellen over hedendaagse Adat, Adatrecht en Rechtsontwikkeling van Indonesië. Publikaties over Volksrecht II. Nijmegen, Katholieke Universiteit. 1977b Report conceming a Research of Adat Law on the Islands of Bali and Lombok 1971-1973. Nijmegen, Instituut voor Volksrecht, Katholieke Universiteit, Publikaties over Volksrecht IV. 1979 Catatan-catatan terhadap Hukum Adat dewasa ini. Surabaya, Airlangga University Press. 1989 'De Nederlandse studie van het Indonesisch adatrecht. V a n ontdekken naar bedekken', in A. Borsboom, J . Kommers dan C . Remie: Liber Amicorum A.A. Trouwborst: Antropologische essays. Sociaal Antropologische Cahiers XXIII. Nijmegen, Instituut voor Culturele en Sociale Antropologie Katholieke Universiteit Nijmegen. 1992 Hukum Adat sebagai suatu Model Hukum Bandung, Mandar Maju. LEV, D.S. 1962 'The S u p r è m e Court and Adat Inheritance Law in Indonesia'. American Journal of Comparative Law XL205-224. 1965a 'The Politics of J u d i c l a l Development in Indonesia'. Comparative Studies in Society and History VU/2:173-199. 1965b 'The Lady and the Banyan Tree: Civil Law Change in Indonesia'. American Journal of Comparative Law XIV:282-307. 1985 'Colonial Law and the Genesis of the Indonesian State'. Indonesia 40:57-74. 1990 Hukum dan Politik di Indonesia; kesinambungan dan perubahan. Jakarta, LP3ES. LLEWELLYN, K.N. dan E A . HOEBEL 1961 The Cheyenne Way, conflict and case law in primitive jurisprudence. Norman, University of Oklahoma Press (terbitan pertama 1941). LOGEMANN, J . H A . 1924 'De Beteekenis der Indonesische Getuigen'. Adatrechtbundels XXIII: 114-133. 1939 'Om de taak van den rechter'. Het Indisch Tijdschrift van het Recht 148:27-36. MALINOWSKI. B. 1926 Crime and Custom in Savage Society. London, R o u ü e d g e & Kegan Paul. MERRY. S . E . 1988 'Legal Pluralism'. Law and Society Review 22/5:869-896.
49
MOORE, S.F. 1969 'Introduction', in L. Nader (ed.) Law in Culture and Socieiy, 337348. 1970 'Law and Anthropology', in B . J . Siegel (ed.) Biennial Review of Anthropology. 1969. Stanford, Stanford University Press. 1978 Law and social change: the semi-autonomous social field as an appropriate subject of study', in Law as Process; A n Anthropological Approach. London, Routledge & Kegan Paul (dengan judul yang sama telah dipublikasi dalam 1973 Law & Society Review 7(4): 719-746). POUND.R. 1940 Contemporary juristic theory. Pomona College, Scripps College, Claremont Colleges. POSPISIL, L. 1958 Kapauku Papuans and their Law. New Haven, Dept. of Anthropology, Yale University. 1971 Anthropology of Law: a comparatiue theory. New York, Harper & Row. SCHILLER, A A . dan E.A. HOEBEL (eds.) 1962 Adat Law in Indonesia by B. Ter Haar. Djakarta, Bhratara. (terjemahan dari: ter Haar, B. 1939, Beginselen en Stelsel van het Adatrecht). SCHULTZ-EWERTH, E . dan L. ADAM (eds.) 1929-1930 Das Eingeborenenrecht: Sitten und Cewohnheitsrechte der Eingeborenen der ehemaligen deutschen Koloniën in Afrika und in der Südsee. Stuttgart, Strecker und Schroeder (2 jilid). SLAATS, H . dan M.K. PORTIER 1981 Crondenrecht en zijn Verwerkelijking in de Karo Batakse Dorpssamenleving: een beschrijvende studie, (diss.) Publikaties over Volksrecht IX. Nijmegen Katholieke Universiteit. 1985 T h e Implementation of State Law through Folk Law: Karo Batak vlllage elections'. Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law 23:153-177. 1986 'Legal plurality and the transformation of normative concepts in the process of litigation in Karo Batak society', in K. v. BendaBeckmann and F . Strijbosch (eds.), Anthropology of Law in the Netherlands; Essays on Legal Pluralism, Verhandelingen Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde 116. 1988 'Changlng traditional pattems of social security: Access to land in Karo Batak society', in F . v. Benda-Beckmann et. al. (eds.) Between Kinship and the State. Social Security and Law in Developing Countries. Dordrecht/Providence, Foris Publications.
50
1990/91a 'Access to land and housing in third world cities: aspects of formal and informal regulation'. Netherlands Review of Development Studies 3:7-12. 1990/91b 'Urban land ownership relations and the role of traditional law concepts among the Karo Batak in Medan, Indonesia'. Netherlands Review of Development Studies 3:49-62. SOEBAKTI POESPONOTO. K.NG. 1960 Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Djakarta, Pradnja Paramita. (terjemahan dari: ter Haar, B . 1939, Beginselen en Stelsel van het Adatrecht). SOEPOMO, R.M. 1941 De Verhouding van Individu en Gemeenschap in het Adatrecht (rede). Groningen/Batavia, Wolters. 1933 Het Adatprivaatrecht van West-Java.. Departement van Justitie. Soekamiskin, Gedrukt in de Strafgevangenis, (diterjemahkan: H u k u m Perdata A d a t Djauja Barat (1967). Djakarta, Djambatan) 1963 Hubungan Inidividu dan Masjarakat d a l a m H u k u m Adat. Djakarta, Gita Karya (terjemahan dari De Verhouding van Individu en Gemeenschap in het Adatrecht 1941) 1965 Sistim Hukum di Indonesia sebelum Perang Dunia ke-II. Djakarta, Pradnjaparamita. 1966 Bab-bab tentang Hukum Adat. J o g j a k a r t a , P e n e r b i t a n Universitas SOEPOMO, R M . (ed.) 1950-1951 Verzamelde Noordhoff Kolff.
Geschriften
van B. ter Haar Bzn. Djakarta
SOERIPTO 1969 Hukum Adat Dan Pantjasila Dalam Pembinaan Hukum nal Indonesia. Djember, Universitas Negeri. 1975 Azas-azas Hukum Adat. Jember, Universitas Negeri.
Nasio-
SOEWONDO, N . 1967 Hukum perdata adat Djawa Barat. D j a k a r t a , D j a m b a t a n (terjemahan dari: Soepomo 1933, Het adatprivaatrecht van WestJava). STEENHOVEN, G. V.d. 1970 The Land of Kerenda. Background, procedure and settlement of case 43/S/1969 in the State Court at Kabandjahe (Karoland, North SumatraJ. Publicaties over Adatrecht V , Katholieke Universiteit Nijmegen. 1973 'Musjawarah ln Karo-land'. Law and Society Review 7(4):693-719.
51
SULEMAN, M . RASJAD ST. 1972 Suatu kitab hukum adat untuk seluruh Hindia-Belanda. Jakarta, Bhratara. Seri Terjemahan karangan-karangan Belanda 27 (terjemahan dari: C. van Vollenhoven 1925, Een adatwetboekje voor heel Indië). SWARTZ, M . J . (ed.) 1968 Local-level Politics, Social and Cultural Perspectives. Aldine Publishing Company.
Chicago,
VELZEN, J . v a n 1967 'The Extended-case Method and Sltuational Analysls', l n : A . L . Epstein (ed.) The Craft of Social Anthropology. L o n d o n / N e w York, Tavlstock. VOLLENHOVEN, C. van 1905 Geen juristenrecht voor den Inlander'. De XXe Eeuw. (Het Adatrecht van Nederlandsch-Indlë (III) 1933:22-59). 1910 Een Adatwetboekje voor heel Indië. Lelden, E . J . B r l l l . (diterjemahkan 1972 Suatu Kitab hukum adat untuk seluruh Hindia-Belanda. Jakarta, Bhratara). 1918 Het Adatrecht van Nederlandsch-Indië (I). Lelden, E . J . Brlll. 1919 De Indonesiër en zijn grond. Lelden, E . J . Brlll. 1925 ' J u r i d i s c h confectiewerk (eenheidsprivaatrecht voor Indië)'. Koloniale Studiën 9(1). (Het Adatrecht van N e d e r l a n d s c h - I n d i ë (III) 1933:719-743). 1928 De ontdekking van het Adatrecht. Leiden, E . J . Brill. 1931 Het Adatrecht van Nederlandsch-Indië, dl II. Leiden, E . J . Brlll. 1981 Ortentasi d a l a m hukum adat Indonesia. J a k a r t a . Djambatan (terjemahan dari: ' O r i ë n t e r i n g i n het Adatrecht van Nederlandsch-Indië', Het Adatrecht van Nederlandsch-Indië (I) 1918:3129).
52
SEBUAH AJARAN TENTANG HAKÏM PADA MASA KESULTANAN DI ACEH T. Mohd. Juned* PENDAHULUAN
Pada abad ke 17 di Banda Aceh, sebagai ibu kota Kerajaan (kesultanan) Aceh, telah ada karya-karya tulis dalam bentuk sastra dan puisi, yang selanjutnya disebut naskah. Di antara naskah itu ada yang isinya menguraikan ajaran agama Islam yang disebut dengan sastra Kitab, dan ada pula yang bukan yang lazimnya disebut sastra Melayu. Sebagian besar naskah Aceh itu adalah terjemahan atau saduran dari bahasa Parsi, Arab dan Sansekerta. {Hasan Muarif Ambari 1988:94) Oleh karena itu, meskipun naskah tersebut sekarang telah dapat diketemukan oleh pembaca yang benninat, akan tetapi karena dengan tulisan Jawi (Arab) ajaran di dalamnya tidak mudah dibaca dan dipahaml. Kesukaran ini dapat diperlihatkan dengan kutipan dari 'naskah Jalaluddin'. salah satu dari sastra Kitab. Nama lengkap dari naskah yang ditulis pada tahun 1740 M (1153 H) atas titah Sultan Alauddin Johansyah itu ialah 'Safinatul Hukkam Fi Takhlissil Khassam', selanjutnya dipersingkat 'naskah Jalaluddin' sesuai dengan nama pengarangnya, yaitu Jalaluddin ben Syekh Muhammad Kamaluddin anak Kadi Bagindo Khatib dari negeri Tarusan (Mlnangkabau). Kutipan dari 'naskah Jalaluddin' berbunyi sebagai berikut: J
Lektor Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. 1
Djajadinlngrat (1984:84) menulisi Sultan Alaad-din Djohan Syah atau Potjoet Aoek, memerintah antara 1735-1760.
53
(3) amrahu fi zalika lifarü jahli 'ala qadrl fi qillaü/ al- bida'ati waqasri al-ba'i walakin laula ajabtu amrahu fi haza al-wakti lata'attala al-musllmuna an ahkami/ asy-syar'iyati li adami ahllha waqillati at-tallabaü fasara alhukmunaiyan mansiya.Waqad tarjama an hifziha Aminuddini/ Abdu ar-Raufi r a kitaba mir-atut tullabi walakinnahu kabirun ajaza at-talibu 'an/ hifdiha. Fastakhartu Allahu fi jam'iha an ya'simani ani alkhata'i wan nisani wasamma'i tuha safinatu/ al-hukkami fi takhlisi al-khassami, li anna manrakiba 'alaiha naja wa an mukhallafa an-hagaraqa wa arju/ Allaha an yatafi'a biha al- muslimuna karna yantafi'una bi usuliha li anni ma ataitu flha syaian min masa iliha/ illa ma itakattuha min usuliha arbiyatl kalmahalli wa fatahi al-wahhabi wa al-asybahi wa an-nada 'iri wafatirrahmani/ wa tanqihi al-lubabi wa al-anwari wa at-tuffah wa an-nihayati wa syarhirraudl wa al-iqna'i wa al-bikri/ wa al-mlzani wa gairiha. Maka adalah telah kujunjungkan titahnya yang maha mulia pada yang demikian itu. Karena sangat jahilku/ atas kadar diriku pada sedikit ilmu dan pendek paham dan tetapi jikalau tiada kuperkenankan titahnya/ yang maha mulia itu pada waktu ini, niscaya sunyilah segala orang yang islam dari pada Hukum Syarak Allah. Karena/ ketiadaan ahlinya dan sedikit talabul ilmi, maka jadilah Hukum Syarak itu lupa yang dilupakan. Dan/ sesungguhnya telah menjadikan pada masa yang dahulu oleh Syekh kita Aminuddin Abdul Rauf r a/ akan Mir at-Tullap dan tetapi ia besar telah lemahnya talib dari pada menghafalkan dia. Maka kupohonkan/ kepada Allah taala, pada menghimpunkan dia bahwa dipeliharanya akan daku dari pada tersalah dan lupa. Dan kunamai/ akan dia Safinatul Hukkam F i / Takhlisil Khassam, artinya bahtera segala hakim pada menyelesaikan segala orang yang berkhusumat. Karena bahwasannya/
54
barang siapa berkenderaan atasnya, niscaya lepas ia dari pada bahaya hari klamat dan barang siapa/ yang tinggal dari padanya karamlah ia dalamnya. Dan ku arap kepada Allah bahwa beroleh manfaat Jua kiranya dengan dia/ segala islam, seperti beroleh manfaat dengan segala asalnya. Karena bahwasanya aku tlada/ kudatangkan dalamnya suatu dari pada segala asalnya yang/ bahasa Arab. seperti Mahalli dan Fathui Wahab dan Asybah wan Nadlalr dan Fathui Rahman/ dan (4) Tanqihullubab dan Nihayah dan Tuhfah dan Syarah Raud dan Iqnak/ dan Bikri dan Mizan dan lain dari itu. Waqaddamtu fl auwaliha muqaddimatainl, falmuqaddimatu al-ula fl bayani al- ma'ani/ musykilaü. Walmuqaddimatu assaniyatu fi takhwi fi ala alhaklml as-dallmi fi hukmihi ma'aqalilatin/ minalqawai 'idi. Dan kudahulujab pada awalnya dua mukaddimah yaknl pendahuluan kitab. Maka mukaddimah yang pertama menyatakan/ segala makna yang sukar-sukar dan mukaddimah yang kedua pada menyatakan bertakut atas hakim yang lalim pada hukumnya/ serta sedikit dari pada qawaidnya. Wabauwabtuha salasata abwabtn wa khatimatin. Fal babu al-lauwalu/ fiil bai'i wamayata'allaqu bihi wafihifuslun waqa'idatun wadabtun wal babu as-sani fl an-nikahi/ wama yata'allaqu bihi waflhi fusulun waqa'idatun wadabtun walbabu, as-salisu fi al-jarahl/ wama yata'allqu bihi wafihi fusulun waqa'i datun wadabtun. Dan kujadikan babnya tlga bab dan/ satu khatimah. yakni kesudahan kitab. Maka bab yang pertama pada menyatakan bemiaga dan barang yang bergantung dengan dia/ dan dalamnya beberapa pasal dan kaedah dan zabit. Dan bab yang kedua pada menyatakan nikah dan/
55
barang yang bergantung dengan dia dan dalamnya ada beberapa pasal dan kaedah dan/ zabit. Wakhatamtuha bilkhatimati fill fara idi liyunasiba akhiru al- kitabi bilhukmi walmahkumi 'alaihi. Dan kusudahkan akan dia dengan satu khatimah, pada menyatakan hukum faraid supaya munasabat akhir kitab ini dan yang dihukum atasnya./ Al- Muqaddimatu al-ula fi bayani al-ma'ani al-musykilati. Bermula mukaddimah yang pertama pada menyatakan/ segala makna yang sukar-sukar.
Walaupun kuat sekali pula terpengaruh oleh ajaran Islam, naskah tersebut dapat dipandang sebagai sesuatu yang khas (Melayu), sebab pada waktu itu ajaran Islam sudah lama diresepsi kedalam kehidupan masyarakat Aceh. Sehingga boleh dikatakan penulisan karya seperti Uu terjadi jauh sebelum pengaruh kebudayaan barat. Dengan demikian (mungkin) di dalamnya memuat ajaran yang lahir dari budaya Aceh pada waktu itu. Tidak dapat diabaikan pula bahwa naskah terjemahan dan saduran yang ditulis dalam bahasa Melayu itu merupakan cakrawala baru dalam transpormasi ilmu pengetahuan yang membuka alam pikiran masyarakat Aceh (Melayu) melalui naskah itu. Melalui naskah itu pula pada waktu itu terjadi diskus! tentang ilmu dan agama pada khususnya diantara para ilmuan yang berada di Aceh. Seperti diskusi antara Hamzah Fansuri dan Nuruddin Arraniri mengenai ilmu tasauf (ilmu suluk). Naskah Jalaluddin mempunyai ciri-ciri khusus, yaitu: tulisan tangan, memakai huruf Arab, dalam bahasa Melayu yang kadang-kadang diselingi dengan bahasa Aceh dan Arab. Naskah ini menarik perhatian sebab sebagian besar isinya menguraikan ajaran tentang hakim yang menyangkut: pengertian, kedudukan, tugas, tanggung jawab, kekuasaan, acara, hukum yang diterapkan, ajaran menemukan 56
hukum dan pemeliharaan hukum pada waktu itu. Selain dari naskah tersebut dan naskah berjudul 'Mir'at AtTullab' yang dikarang oleh Syekh Abdurrauf, sepanjang pengetahuan saya, belum ditemukan naskah lain yang menjelaskan tentang hakim sebagai suatu ajaran yang bulat seperti yang terdapat dalam naskah Safinatul Hukkam Fl Takhlissil Khassam itu. Naskah Jalaluddin ini terdapat dalam satu buah buku yang kemudian diperbanyak sehingga seluruhnya menjadi empat buah buku dengan sistematik penulisan maupun isinya yang sama. Pada keempat buku satu sama lainnya hanya terjadi perbedaan Jumlah halaman, luas halaman bertulis dan jumlah baris dari setiap halaman. Perbedaan itu disebabkan keempat buku tersebut masing-masing ditulis dengan tulisan tangan yang tidak sama. Yang dibicarakan disini adalah naskah yang tebalnya 315 halaman, yang tersimpan di Dayah Tanoh Abee, sebuah perpustakaan naskah tua, terletak 45 km. sebelah timur Banda Aceh. Tujuan dari tulisan saya ini adalah menyajikan kembali ajaran tentang hakim yang pernah ditulis di Aceh, secara pokok-pokok saja dalam bentuk yang mudah dibaca. Namun demikian dalam tulisan ini hanya disajikan ajaran sebagai suatu deskripsi dari ajaran dalam naskah dan tidak memisah-misahkan antara ajaran dari sumbernya yang menurut penulis berasal dari sumber Islam dengan hasil pemikiran Jalaluddin. Lagi pula adanya ajaran tentang hakim seperti dalam naskah Jalaluddin tersebut, menunjukan bahwa sebelum datang pengaruh dari barat di Aceh, telah ada tradisi berilmu, setidak-tidaknya ilmu mengenai ajaran tentang hakim itu. Adanya kenyataan seperti itu bertentangan dengan anggapan yang selama ini dikemukakan, bahwa ajaran tentang hakim itu dikembangkan melalui Fakultas Hukum sebagai suatu lembaga yang berasal dari barat, dan di Nusantara baru berkembang hersamaan dengan datang57
nya pendidikan model barat yang dibawa oleh bangsa Belanda . Sedangkan di Aceh pada masa Jalaluddin tidak ada Fakultas Hukum sebagaimana dimaksudkan sekarang ini. Menurut literatur, pendidikan di Aceh sebelum penjajahan Belanda dilaksanakan melalui Dayah-Dayah (Ali Hasjmy 1983:192), yaitu suatu lembaga pendidikan yang berasal dari tradisi Islam. J
AJARAN TENTANG HAKIM
Namun demikian pengertian tentang hakim pada waktu itu tidak sama dengan pengertian hakim menurut konsep barat dan di Indonesia sekarang ini. Menurut bahan bacaan yang ditulis pada abad ke-18 dan -19 serta dewasa ini mengenai jabatan hakim dan struktur pemerintahan, jabatan hakim di Aceh pada masa itu dirangkap oleh kepala pemerintahan setempat. Pemerintahan gampong dikepalai oleh seorang pimpinan yang disebut keusytk atau geusyik. Dalam menjalankan pemerintahan, keusyik dibantu oleh seorang yang diberi tanggung jawab atas pelaksanaan bidang keagamaan serta sebuah badan penasehat. Begitu pula, di tingkat mukim, hulubalang, sagoe dan kesultanan dalam menjalankan pemerintahan dibantu oleh seorang ahli agama Islam dalam bidang keagamaan serta sebuah badan penasehat. Dalam struktur dan organisasi pemerintahan itulah peradilan di Aceh pada masa kesultanan dilaksanakan. Pengadilan yang berkedudukan di tingkat pemerintahan gampong disebut pengadilan gampong. Begitu juga pengadilan yang berkedudukan pada tingkat mukim, hulubalang, sagoe (khusus di Aceh Besar) dan kerajaan (kesultanan), dinamakan pengadilan mukim, pengadilan 1
58
Untuk deskripsi oleh pengarang Belanda tentang Aceh pada masa permulaan penjajahan, lihat Snoeck Hurgronje 1893, 1894; van Vollenhoven 1918:148-225, dan J.F. Holleman 1981:54-122, khususnya hal. 71-78 tentang Administration of" Justice'.
hulubalang, pengadilan sagoe, dan pengadilan sultan. Akan tetapi keberadaan pengadilan seperti itu tidak merata di seluruh Aceh, bahkan ada pengelompokan dari gamponggampong dengan hanya sebuah pengadilan. Selain penyelesaian sengketa melalui pengadilan seperti tersebut diatas, terdapat pula suatu peradilan yang khusus untuk penyelesaian sengketa di laut, yang dilakukan oleh panglima laot, yaitu seorang pawang (pemimpin sebuah kapal laut) yang diangkat oleh sekelompok pawang yang berada pada sebuah teluk (kuala). Panglima laot yang bertindak sebagai hakim terhadap sengketa para nelayan di laut, Dalam naskah Jalaluddin terdapat gambaran tentang konsep-konsep dan dasar-dasar peradilan dan ajarannya pada masa lampau. Persoalan yang dibahas di dalam naskah Jalaluddin meliputi pengertian, syarat, kedudukan, kemerdekaan, tugas. tanggung jawab, kompetensi, tatacara mengadili, h u k u m yang diterapkan, ajaran menemukan hukum. alat bukti, pemeliharaan hukum dan penghargaan terhadap putusan hakim. Isinya disusun dalam enam bagian, yaitu dua macam pendahuluan (mukaddimah), tiga bab dan satu penutup [khatimah). Pendahuluan pertama memuat uraian tentang pengertian istilah yang digunakan dalam menulis naskah (h. 4-11). Pendahuluan kedua memuat uraian mengenai ajaran tentang h a k i m (h. 11-173). Bab pertama berisi uraian tentang 'berniaga' dan hal-hal yang berhubungan dengannya (h. 173-215). Bab kedua memuat uraian tentang 'nikah' dan hal-hal yang berhubungan dengannya (h. 215-256). Bab ketiga memuat uraian tentang luka [jinayat) dan hal-hal yang berhubungan dengannya (h. 256-305). Khatimah memuat uraian tentang h u k u m faraid yaitu yang berhubungan dengan pembagian harta warisan (h. 305315).
59
Tentang pengertian hakim dikatakan, hakim adalah orang yang memutuskan khusumat dan menyatakan hak, berdasarkan keterangan saksi atau sumpah (h. 8). Sedangkan syarat seseorang untuk dapat diangkat menjadi hakim adalah: - pertama: berilmu, dan apabila orang tidak berilmu dijadikan hakim, putusan yang dibuat dianggap tidak sah (h. 12); - kedua: mengetahui perintah dakwa dan b a i n a h , yaitu menyatakan atau membatalkan suatu hak di depan majelis h u k u m (h. 76). Menurut hernat saya yang dim a k s u d k a n dengan mengetahui perintah dakwa dan bainah itu adalah mengetahui hukum acara; - ketiga: mengetahui bahasa J a w i (Melayu/Indonesia) (h. 132). 3
2
Hakim yang memenuhi syarat itu dapat diangkat oleh raja (h. 18). Pada tiap-tiap satu wilayah negeri (pahok) terdapat seorang hakim yang berkedudukan sebagai ganti raja (h. 18). Selain kedudukannya i n i , hakim Juga dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia (h. 81) dan sebagai ganti Nabi (h. 12). Kedudukannya adalah besar seperti seorang raja atau kecil seperti seorang kadi, atau fakih, atau bentara atau keujreun atau imam atau keusyik (h. 12). Pemberhentian seseorang sebagai hakim juga dilakukan oleh raja, dengan alasan: cedera bicara, gila, pitam, buta, hilang ijtlhadnya, karena ketuaan atau pasek, yaitu banyak mengerjakan larangan agama (h. 27). Ini berarti pula bahwa h a k i m pada dasarnya diangkat u n t u k seumur hidup, kecuali kalau diberhentikan dari jabatannya oleh raja atas alasan seperti tersebut diatas. Tugas hakim adalah memutuskan dan menyelesaikan khusumat (h. 18) dan menyatakan hak (h. 8). Menurut hernat saya, perkataan 'khusumat' disini dimaksudkan se1
2
60
Khusumat adalah kata dalam bahasa Melayu lama, berarti: dendam atau permusuhan. Istilah bainah berasal dari bahasa Arab dan berarti: bukü.
bagai kasus-kasus yang menyangkut pelanggaran hukum (pidana). sedangkan yang dimaksudkan dengan 'menyatakan hak' adalah memutuskan masalah keperdataan. Dalam melaksanakan tugas peradilan, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, hakim bebas dari ancaman hukum dari orang yang merasa dirugikan atas alasan putusan tidak berdasarkan hukum, misalnya oleh karena hakim disogok atau memutus atas dasar keterangan saksi sahaya atau saksi upahan (palsu) (h. 27). Kompetensi hakim lahir karena diangkat oleh raja (h. 21), selanjutnya kompetensinya berdasarkan bidang hukum tertentu atau dikaitkan dengan daerah (wilayah kekuasaan hakim) yang tertentu (h. 21). Oleh karena itu, apabila lawan dalam suatu perkara bertempat tinggal dalam wilayah kekuasaan hakim yang lain, tuntutan harus diperiksa oleh hakim yang berkuasa disitu (h. 126). Hakim hanya berkompeten mengadili hal-hal yang lahir saja dan bukan bersifat batin (h. 125). Begitu juga hakim dalam ajaran tersebut diberi kekuasaan untuk memutuskan perkara terhadap orang yang hilang dari negerinya atau dari majelis hakim (h. 28), dengan dipenuhi segala syarat untuk itu. Akan tetapi tentang syarat yang dimaksudkan itu tidak dijelaskan. Yang dimaksudkan adalah bahwa hakim dapat mengadili in absentia. Kompetensi hakim lainnya adalah menjual harta peninggalan pembayar hutang si pewaris, apabila ahli waris yang berhak menerima harta warisan enggan membayarnya (h. 31), serta kekuasaan untuk menyimpan sesuatu barang sengketa sebagai barang titipan (konsinyasij (h. 53). Secara umum kompetensi hakim meliputi perselisihan tentang: - wasiat, - harta, - mas kawin, - ka win mut'ah, - nafkah isteri,
61
- pakaian dan makanan, upah dan makanan serta pakalan bagi kuli atau khadim (jongos) - diat luka atau pembunuhan, - pembunuhan anak oleh ibunya, - nafkah kerabat, - dakwa hukamah yaitu merdeka yang luka itu, - benda yang hilang pada Jual beli, - mengalirkan air atau berjalan diatas tanah milik orang lain, - zakat, - rampasan perang, - upah tangguh kuta, - persalinan bagi yang terbunuh, - upeti, yang empunya khumus, yakni bagi lima dari harta rampasan, - penitipan barang, - gadai (gala), - hutang kepada penghulu, - mas kawin bagi perempuan yang di hutangkan ketika nikah oleh suaminya, - nafkah atau talak bagi isteri golongan sahaya, - melukai gundik. - sahaya yang dilukai oleh orang lam, - tindakan memuntungkan zakar (kemaluan), atau pelirnya atau tepi faroj (kemaluan perempuan) - laki-laki atau perempuan bancl, - dakwa tentang talak yang diucapkan sekaligus oleh suami atas beberapa orang isteri, - pemenggalan tangan seorang yang Islam, - pekerjaan yang dilakukan oleh seorang isteri tergolong sahaya, - dakwa antara penerima wasiat dengan ahli waris pemberi wasiat. Pada umumnya kompetensi itu meliputi segala pekerjaan yang menghendaki penyelesaian melalui kadi (h. 85-88). Menjadi wali nikah bagi perempuan juga merupakan kompetensi hakim (h. 221, 217, 219), serta menjatuhkan 62
talak bagi kepentingan si isteri (h. 242), memeriksa nafkah sahaya dan binatang (h, 253), serta kewena,-gan memaksa suami untuk memberikan nafkah kepada istèrinya (h. 255). Mengenai tanggung jawab hakim dikatakari, bahwa hakim harus mempertanggung jawab kan putusaimya kepada Tuhan (h. 11), kepada raja (h. 27) serta kepada para pihak (h. 27). Apabila tanggung jawab pertama dilanggar oleh hakim. maka ia berdosa dan akan mendapat ganjaran dari Tuhan. Bila tanggung jawab kedua dilanggar ia dapat dipecat oleh raja, dan apabila tanggung jawab ketiga diabaikan maka hakim dapat dihukum sebagai tebusan atas hukuman yang telah dijatuhkannya, atau dihukum membayar ganti rugi kepada pihak yang telah dirugikan dengan keputusan itu. Di samping itu setiap keputusan juga harus dapat dipertanggung-jawabkan kepada pribadi hakim itu sendiri (h. 72, 73) dengan merujuk terhadap penerapan hukum yang salah. Pemeriksaan dilakukan dalam dua tahap. Pemeriksaan perkara pada tahap pertama adalah untuk menentukan apakah segala syarat dakwa telah dipenuhi serta mengetahui tentang keadaan saksi. Apabila keduanya tidak terpenuhi, maka dakwa itu tidak diterima meskipun ada seorang saksi dan sumpah (h. 29). Pemeriksaan perkara terjadi secara lisan, dalam proses tanya-Jawab; kepada para pihak diberi kedudukan sama dalam pemeriksaan perkara (h. 21). Berdasarkan proses jawab-menjawab. hakim mengambil kesimpulan untuk dijadikan putusan (h. 24. 25. 26). Selama proses pemeriksaan berlangsung hakim dilarang mengajar para pihak dalam perkara (h. 129). dan hakim dilarang juga mengalar saksi yang dihadirkan dalam persidangan (h. 21). Hakim dilarang menerima uang lebih (uang sogok) sebagai upah memeriangkan perkara yang seharusnya dikalahkan menurut hukum (h. 162). Apabüa terjadi kesalahan dalam pe63
nerapan hukum, maka kepada hakim dianjurkan untuk merujuk kepada hukum (h. 27, 72, 73), begitu juga kepada seorang saksi yang memberikan keterangan yang salah, diberi hak untuk merujuk kepada hukum (h. 53). Selain itu dalam proses pemeriksaan perkara juga ada adab hakim, yaitu hakim dilarang mengambil tempat mengadili di dalam mesjid. Ditentukan ada dua macam alat bukti, yaitu: saksi dan sumpah (h. 8, 24). Ada lima cara untuk dapat menjadi saksi menurut ajaran rukun, yaitu: -1 naik saksi, -2 kesaksian diberikan untuk yang empunya saksi, -3 penggugat (pembawa saksi), -4 kesaksian yang diberikan menyangkut harta, dan -5 diucapkan (h. 36). Syarat yang ditentukan untuk menjadi saksi adalah: Islam, merdeka (bukan sahaya), akil balik (dewasa), adil, baik perangai, tiada tuhmah dalamnya (menimbulkan sengketa dikemudian hari), dapat berbicara, rasyld (bukan pemboros), jangan lalai dan lupa (kuat ingatan) (h. 36). Sedangkan jumlah saksi yang diperlukan untuk meneguhkan sesuatu peristiwa, yaitu pada perbuatan zina, bergundi, berasah dan mewati (menggauli) binatang disyaratkan empat orang laki-laki. Keterangan yang diberikan haruslah penglihatannya saksi itu sendiri (h. 55). Sumpah dibebankan kepada pihak yang melakukan perbuatan dan dalam hal tidak jelas siapa yang berbuat, maka sumpah dibebankan kepada kedua belah pihak (h. 108). Sedangkan kesaksian dibebankan kepada pendakwa (h. 24-25). J
BEBAN BUKTI
Pada akhir pemeriksaan perkara, hakim harus menerapkan hukum yaitu hukum agama dan hukum adat, 1
Istilah gundi berarti: pemenuhan seks laki-laki dengan lakilaki; berasah artinya: pemenuhan seks perempuan dengan perempuan.
64
supaya perkara itu selesai. Hakim diperlntahkan untuk menghukum dengan hukum yang diturunkan oleh Tuhan (Allah) (h. 11). Hal ini berarti kepada hakim diperintah untuk menjadikan hukum agama sebagai sumber hukum dalam mengadili perkara. Selanjutnya dalam menemukan hukum yang diterapkan, hakim hendaklah memohon petunjuk kepada Tuhan dan mengingat-ingat ancaman hukuman terhadap hakim yang lalai yang disebut dalam Al Quran dan Hadis (h. 12). Kepada hakim, sebagai alat dalam menemukan hukum, diberi kekuasaan untuk berijtihad (interpretasi) dan bertaklid (mengikuti pendapat yang telah ada) (h. 20-21). Namun demikian dalam ajaran tersebut tidak kepada semua hakim diberi kekuasaan berijtihad dalam menemukan hukum. Hanya hakim yang mujtahid (ahli ilmu ijtihad) dibenarkan berijtihad (h. 12). Bagi hakim tidak ahli dalam ilmu ijtihad, dalam arti tidak ada alat dan syaratnya, dianjurkan agar taklid kepada pendapat orang yang ahli ilmu ijtihad (h. 8). Bagi Hakim yang taklid dianjurkan agar mengetahui pula segala urufJ, adat dan resam negeri, supaya dapat menyelesaikan persoalan di dalam masyarakat (h. 8). Akan tetapi adat yang dapat dipertahankan oleh hakim hanyalah adat yang memberi manfaat bagi masyarakat (h. 41), dan diteguhkan oleh syarak (Hukum Islam) (h. 148). Hakim menerapkan hukum syarak atau resam negeri, terletak pada pertimbangan hukum mana yang lebih tepat diterapkan, dilihat kasus per kasus hal yang diselesaikan itu. Apabila telah lazim diselesaikan oleh resam negeri maka lebih utama diterapkan resam negeri (h. 148, 149). Mengenai perselisihan menyangkut ternak harus dipakai resam negeri. 2
1
2
Uruf adalah segala kebiasaan ulama dalam menjalankan pemerintahan serta kebiasaan tersebut dibenarkan dan diterima oleh cerdik pandal. Resam yaitu: bekas berlakunya sesuatu hukum.
65
Kalau hakim menerapkan adat untuk menyelesaikan sesuatu kasus, maka hendaklah diperhatikan oleh hakim itu, bahwa adat tersebut haruslah adat yang dipertahankan oleh syarak saja, yaitu adat yang berlaku selama-lamanya (h. 149). Meskipun hakim seperti tersebut diatas dibenarkan menemukan hukum dengan jalan berijtihad, akan tetapi hakim dilarang sama sekali membuat fatwa untuk dijadlkan hukum dalam menyelesaikan sesuatu perkara (h. 20). Menemukan hukum dengan jalan taklid, dalam ajaran inl juga disyaratkan, yaitu pertama: bukan untuk mencari mudahnya menemukan hukum; dan kedua: syaratnya hukum yang ditemukan dengan jalan taklid itu bukan digunakan untuk sekall memutus saja, akan tetapi haruslah dipertahankan untuk memutus kasus yang sama dlkemudtan hart (h. 19). Ijtihad juga dapat digunakan oleh hakim untuk menemukan hukuman yang akan dijatuhkan (h. 172), dan berat ringannya. Begitu juga terhadap pelanggaran hukum, kepada hakim diharuskan menemukan hukumannya dengan ijtihad (h. 268). Namun hakim dilarang membuat fatwa untuk mendapatkan hukum, akan tetapi dalam ajaran lnl hakim diharuskan memutuskan perkara dengan Umunya, karena Ilmu lebih kuat dari pada keterangan saksi (h. 22, 23). Begitu juga mengenai hal atau peristiwa yang telah mashur (diketahui umum): hakim dapat menyelesaikan perkara dengan ilmu sebagai dasar hukum dari keputusan yang dlbuatnya, tanpa dlperlukan alat bukti lain (h. 33). Begitu juga sah menurut hukum kalau hakim berdasarkan keputusannya pada ikrar (pemyataan) (h. 23) dan sumpah dl depannya (h. 33). Akhirnya, menurut ajaran tersebut penemuan hukum dan penyelesaian perkara oleh hakim hendaklah menghasilkan manfaat bagi pihak yang bersangkutan (h. 123). Dalam ajaran mi keputusan hakim dihargai sebagai berkekuatan memaksa. Sebab hakim diangkat oleh Sultan 66
untuk mewakilinya, maka menerima putusan hakim merupakan kewajiban bagi setiap orang sebagaimana halnya menerima perintah Sultan. Akan tetapi hanyalah putusan hakim yang adil mempunyai kekuatan hukum mehgikat, sebab putusan hakim yang tidak adil tidak diwajibkan untuk ditaati (h. 13), meskipun putusannya tidak batal demi hukum sebagaimana halnya putusan yang diambil atas dasar saksi yang tidak memenuhi syarat (seperti saksi orang dari agama bukan Islam, budak, anak-anak dan fasik) (h. 51). Begitu juga hukum yang diterapkan berdasarkan ijtihad yang salah atau bertentangan dengan Al Quran dan Hadis, mengakibatkan hukum itu batal demi hukum (h. 51). Namun demikian setiap putusan yang telah diumumkan oleh hakim segera mempunyai kekuatan hukum tetap bagi para pihak yang bersangkutan dengan putusan itu (h. 138). Akan tetapi berlakunya demikian bukan terhadap hakim, sebab atas keputusan-keputusan bertentangan dengan hukum hakim dapat memperbaiki hukum itu dengan jalan merujuk kepada hukum (lihat penjelasan diatas). Begitu juga terhadap keputusan yang bertentangan dengan Al Quran dan Hadis akan batal demi hukum (h. 155). Berbeda halnya apabila berobah ijtihad hakim terhadap sesuatu hal. dengan perobahan itu tidak mengakibatkan putusan yang lama batal demi hukum. Dalam ajaran ini, hakim dibenarkan untuk memperbaiki ijtihad. KESIMPULAN
Ajaran tentang hakim dalam naskah Jalaluddin tersebut meliputi uraian tentang pengertian, syarat, kedudukan, kebebasan, tugas, tanggung jawab, kompetensi, tata cara mengadili, hukum yang diterapkan, teknik menemukan hukum, alat bukti, pemeliharaan hukum, serta penghargaan keputusan hakim. Uraian ini yang meliputi segala hal yang berhubungan dengan hakim, merupakan ajaran ten67
tang hakim yang lengkap, bulat dan tuntas hingga pada saat ini. Selain gambaran tentang hakim dan peradilan yang sudah tidak asing lagi dalam ilmu pengetahuan, ajaran dalam naskah tersebut juga memberi beberapa hal baru. Hal baru yang diperkenalkan itu adalah: lembaga 'rujuk kepada hukum', pengawasan oleh sistem. dan kemanfaatan suatu putusan hakim. Lembaga 'rujuk kepada hukum' memperkenalkan ajaran bahwa pada prinsipnya kepada hakim dituntutnya untuk menerapkan hukum setepat-tepatnya. Seandainya terjadi kesalahan dalam penerapan hukum. baik sengaja atau tidak. kepada hakim diberi kewajiban untuk memperbaiki hukum dalam keputusan tersebut melalui lembaga yang disebut 'rujuk kepada hukum'. Apabila kesalahan penerapan hukum seperti tersebut diatas tidak dirujuk dan dlbiarkan dalam keadaan salah. maka hakim yang telah membuat kesalahan tersebut dapat dituntut balik atas kesalahannya itu berupa hukuman kepadanya setimpal dengan hukuman yang telah dijatuhkan kepada seseorang, atau gugat ganti rugi apabila keputusan yang telah dibuatnya itu menimbulkan kerugian kepada orang lain. Lembaga 'rujuk kepada hukum' yang juga merupakan suatu model dari pertanggüngan Jawaban hakim terhadap pelaksanaan tugas peradilan, telah melahirkan suatu sistem pengawasan hakim yang khas ajaran ini. Hal lain yang diperkenalkan oleh ajaran ini adalah: keputusan yang diajukan oleh hakim harus dipertimbangkan segi manfaatnya. Tidaklah cukup suatu keputusan dijatuhkan hanya dipertimbangkan dari segi hukum saja. akan tetapi yang lebih penting adalah manfaat keputusan itu baik bagi para pihak maupun bagi masyarakat.
68
DAFTAR KEPUSTAKAAN HASJMY, Ali 1983 Kebudayaan
Aceh Dalam Sejarah. Jakarta, Penerbit Beuna.
DJAJAD1NINGRAT, Hoesin 1984 Kesultanan Aceh. Seri Penerbitan M u s e u m Negeri A c e h , Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Pengembangan Permuseuman Daerah Istimewa Aceh. HOESIN, Moehammad 1970 Adat Atjeh. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. HOLLEMAN, J . F. (ed.) 1981 Van Vollenhouen on Indonesian Adat Law. K1TLV Translation series 20. The Hague, Martlnus Nijhoff. MUARIF AMBARY, Hasan 1988 Kota B a n d a Aceh Hampir 1000 T a h u n , dalam: Banda Aceh Sebagai Pusat Kebudayaan Dan Tamaddun. Pemerintah Kota Madya Daerah Tk II, Banda Aceh. SNOUCK HURGRONJE, C. 1893 DeAtjèhers, vol. [. Batavia/Leiden, E . J . Brill. 1894 De Atjèhers. vol. II. Batavia/Leiden, E . J . Brill. VOLLENHOVEN, C. van 1918 Het Adatrecht van Nederlandsch-Indië,
vol. I. Leiden, E . J . Brill.
69
TENTANG PENGUASAAN TANAH PADA MASYARAKAT PEDESAAN DI ACEH T. I. El Hakimy* PENDAHULUAN
Tulisan ini adalah untuk mengungkapkan hukum adat tanah yang hingga sekarang masih berlaku di Aceh. Yang dimaksudkan adalah satu dari sekelompok obyek studi yang ada hubungannya dengan tanah, yaitu tentang kekuasaan atas tanah, atau: kemampuan, kesanggupan ataupun kewenangan untuk berbuat sesuatu terhadap tanah. Pengertian 'tanah' dalam hukum positif tertulis dirumuskan sebagai permukaan bumi, termasuk pula tanah dan tubuh bumi di bawahnya serta yang di bawah air . Sesuai dengan perumusan dalam Penjelasan Umum, Bagian II, Undang-undang Pokok Agraria, dalam tulisan ini tanah diartikan sebagai 'permukaan bumi yang dapat dihaki oleh seseorang'. Penelitian lapangan untuk penulisan ini diadakan dipedesaan Leupueng, Kecamatan Lhok Nga/Leupueng, Kabupaten Aceh Besar. Pengertian desa disini tidak ada kaitannya dengan pengertian desa administratif sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang no. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa. Desa bermakna masyarakat pemukiman diluar kota yang hidup bersama disesuatu tempat dengan ikatan aturan yang tertentu, dan oleh karena itu merupakan suatu kesatuan. Istilah 'pedesaan', J
Lektor Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. 1
70
Undang-Undang no. 5, tahun 1960 (L.N. no. 104), tentang Pokok Agraria (UUPA), pasal 4 ayat 1, jo. pasal 1 ayat 4.
berarti: kelompok desa yang merupakan kesatuan, di Aceh Besar disebut mukim (lihat Snouck Hurgronje 1985:90). Sejak dulu dalam literatur hukum adat, masyarakat sedemikian dinamakan 'masyarakat hukum', 'persekutuan hukum' atau 'masyarakat hukum adat' (antara lain: Ter Haar 1960:15 dst). Daerah Istimewa Aceh terdiri dari 5462 buah kampung, 594 kemukiman dan 129 kecamatan dengan jumlah penduduk 2.407.792 jiwa. Lebih 80% penduduk bertempat tinggal di pedesaan. (Sinar Darussalam 1980 (no. 108/109):258) Kemukiman yang diselidiki meliputi enam buah kampung (gampong) yaitu: Dayah Mamplam, Meunasah Bak U, Meunasah Meuseujid, Kampung Lam Seunia, Kampung Pulot dan Kampung Layeun. Tekanan dan pendalaman penelitian dititik beratkan pada kampung Dayah Mamplam. Pilihan lokasi penelitian jatuh pada kemukiman Leupueng berdasarkan beberapa pertimbangan, yaitu: a letak pedesaan ini di tepl jalan raya, sehingga memudahkan transportasi, dan hanya berjarak 20 kilometer dari tempat tinggal peneliti, karenanya sewaktu-waktu dapat dikunjungi; b. keadaan alam di pedesaan ini meliputi tanah dataran, tanah pergunungan serta peralran laut dan sungai; c. corak kehidupan masyarakat masih belum terlalu terpengaruh dari luar; d. penulis sendiri terlibat dengan masyarakat tersebut dan urusan tanahnya sebagai salah seorang pemilik kebun, dan sering tinggal serta bergaul secara intensif dengan masyarakat di wilayah ini. Darisitu penulis telah melakukan kegiatan pengamatan dan pengalaman dalam waktu yang lama, jauh sebelum penelitian sistematis dimulai. KEMUKIMAN LEUPUENG DAN MASYARAKATNYA
71
Luas kemukiman Leupueng ±76 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 4.216 jiwa. Jumlah rumah tangga ada 897 buah, diantaranya sejumlah 852 merupakan keluarga tanL Sebahagian kecil lainnya dari penduduk beker)a sebagai nelayan. Dibagian paling barat wilayah, dimana sungai Krueng Geupeue bermuara, terdapat sebuah perairan laut yang dipakai masyarakat sebagai tempat menangkap ikan. Pemukiman penduduk terpusat di sepanjang dataran rendah yang semplt di tepi pantai di kirikanan jalan raya. Menurut keterangan yang diperoleh, asal usul masyarakat Leupueng dahulu diwilayah udik sungai Krueng Geupeue. Mereka mendiami suatu wilayah di hulu sungai yang bernama Gampong Pande. Karena sering mendapat kesulitan untuk memperoleh garam dan acap kali mendapat serangan binatang buas, maka mereka berhijrah menuju ke hilir sungai. Hijrah berlangsung berulang kali dan pada akhirnya mereka sampai ke muara sungai di tepi pantai. Tempat mereka menetap pertama-tama itu diberi nama Lam Seunia, berarti: tempat (Jam) yang aman sentosa (seunia), yaitu: bebas dari segala gangguan. Dari pemukiman yang pertama di wilayah hilir sungai Krueng Geupeue ini, kemudian penduduk berkembang dan menyebar ke wilayah sekitamya, maka tumbuhlah gamponggampong yang baru, seperti: Meunasah Meuseujid, Meunasah Bak U, Gampong Dayah Mamplam. Yang terakhir pertumbuhannya Gampong Pulot yang dahulunya merupakan wilayah tempat mencari nafkah bagi masyarakat Leupueng. Disini terdapat hutan luas, tempat berladang dan berkebun. Perairan lautnya yang berteluk aman, sangat ideal untuk menangkap ikan. Baru sekitar tahun 1940 desa Pulot menjadi gampong yang berdiri sendiri. Menurut keterangan T. Syamsuddin, bekas Imeum Mukim Leupueng di zaman Belanda, wilayah Leupueng semenjak zaman Sultan Aceh dahulu sudah berstatus kemukiman dl bawah pimpinan seorang imeum yang bertanggung jawab langsung kepada Sultan. Kemukiman ini 72
berdiri sendiri, tidak merupakan bahagian dari daerah Uleebalang (nanggroue), dan tidak berada dibawah kekuasaan pejabat selain Sultan. Karena itu imeum mukimnya digelar orang juga Uleebalang Leupueng. Sebagai bahagian dari onderafdeling Koetaradja pada zaman Belanda, kemukiman Leupueng termasuk daerah yang diperintahi langsung oleh pemerintah Hindia Belanda, seperti halnya negeri-negeri lainnya yang tergolong ke dalam Kabupaten Aceh Besar sekarang ini. Pada masa-masa revolusi di awal kemerdekaan (1947), kemukiman Leupueng termasuk kenegerian Lhok Nga/ Leupueng. Sebutan kenegerian kemudian dlganti menjadi kecamatan sampai sekarang ini . J
Sesual dengan perkembangan penduduk sebagaimana diutarakan di atas, masyarakat Leupueng kini telah terbagi dalam beberapa gampong (kampung) dikepalai oleh seorang kepala kampung yang disebut keusyik yang dipilih secara umum, bebas dan rahasia dari beberapa orang calon yang diajukan oleh warga desa (wawancara dengan Tgk. Agam dkk., tokoh masyarakat Pulot). Mulanya jabatan keusyik untuk pertama kali diangkat oleh imeum mukim. Ada suatu badan musyawarah harian gampong yang dinamakan tuha peut yang terdiri dari unsur-unsur pemuka masyarakat, cerdik pandai dan ahli agama Islam. Kegiatan agama dan kerohanian dalam suatu gampong dilakukan dibawah pimpinan seorang imeum meunasah yang Juga disebut teungku meunasah. Tuha peut, bertugas sebagai badan penasehat bagi keusyik dalam menjalankan tugasnya. Sekarang secara nasional pada tingkat desa (gampong) ada lembaga yang disebut L.M.D. (Lembaga Musyawarah Desa) yang fungsinya serupa 2
1 2
Sumber data: Kantor Sensus dan StatisUk, Kab. Aceh Besar. Meunasah dalam bahasa Aceh mengandung dua pengertian: 1. bangunan tempat warga kampung (gampong) berkumpul untuk melakukan ibadah atau bermusyawarah; 2. wilayah kampung (gampong).
73
dengan lembaga tuha peut. Di tingkat kemukiman juga terdapat badan musyawarah serupa yang dinamakan musyawarah mukim dan diketuai oleh imeum mukim. H. M . Saleh, Imeum Mukim Leupueng, menerangkan bahwa tugas badan musyawarah gampong dan musyawarah mukim Ialah mengeluarkan ketentuan-ketentuan yang diperlukan untuk keperluan bagi masyarakat gampong atau seluruh mukim dan disamping itu juga menyelesaikan sengketa yang terjadi di kalangan warga desa. Menyelesaikan sengketa dl masyarakat Leupueng pada prinsipnya dilakukan secara musyawarah bertingkat, yakni tingkat keluarga, tingkat gampong dan tingkat mukim. Apabila dengan jalan musyawarah keluarga sengketa tidak terselesaikan, maka masalahnya dibawa untuk dipecahkan pada tingkat gampong. Musyawarah gampong bertempat di meunasah dan dipimpin oleh keusyik. Disini corak musyawarah hampir mendekati semacam peradilan karena keusyik dengan tuha peutnya berperan lebih aktif dibandingkan dengan para pihak itu sendiri. Sengketa yang tidak begitu berat umumnya dapat diselesaikan pada tingkat gampong dimana keusyik bertindak sebagai hakim yang menetapkan isi perdamaian yang dapat diperoleh oleh pihak yang bersangkutan. Apabila pada tingkat kampung masalah dalam masyarakat belum terpecahkan, maka barulah penyelesaiannya dapat dibawa kedalam musyawarah mukim yang senyatanya jarang terjadi. Pada umumnya para keusyik sendiri mampu menyelesaikan masalah yang terjadi dalam gampongnya. Musyawarah mukim merupakan tingkat terakhir penyelesaian sengketa secara adat bagi masyarakat Leupueng. Putusan musyawarah mukim yang tidak diterima para pihak, dapat dibawa ke tingkat kecamatan atau langsung ke pengadilan . Sangat jarang, sengketa diJ
1
74
Ada kasus sengketa tanah, seorang warga desa lawan KUD Krueng Geupeue, karena tidak diterima putusan gampong dan mukim, dlteruskan ke Pengadilan dan orang tersebut kalah dalam perkara itu.
kalangan warga masyarakat Leupueng yang langsung dibawa ke Pengadilan. Dahulu masyarakat Leupueng pernah terdlri dari kawom-kawom, yaitu perkelompokan orang yang berasal keturunan dari seorang leluhur tertentu. Kenyataannya sekarang ikatan kawom yang genealogis ini sudah kurang berarti. Pada umumnya tiada anggota masyarakat yang masih berorientasi secara penuh pada kawom, terkecuali apabila mereka menempati teritorial yang sama: seperti dalam satu gampong (bandingkan Snouck Hurgronje 1985:50). Pertemuan anggota kawom terlihat apabila ada pesta atau kenduri, misalnya karena ada warga gampong yang kawin atau meninggal. Itupun biasanya tidak seluruh anggota kawom turut hadir; yang hadir hanya anggotaanggota yang mendapat undangan. Ikatan teritorial yang kuat dalam mukim atau gampong benar-benar telah mengaburkan arti kawom ini. Sebagai bukti kini sisa yang masih terlihat bahwa masyarakat disini pernah tersusun berdasarkan kawom yang patrilinealgenealogis ialah pada adanya kuburan keluarga besar yang disebut bhomkawon. Sekarang bhomkawon juga sudah berkurang, berganti dengan pekuburan umum atau keluarga Kellhatan sekarang masyarakat Leupueng kuat hubungan antara sesama warga karena ikatan teritorial. Mereka bersama-sama mendiami satu wilayah mukim. Apabila seorang diantara mereka mendapat musibah atau kebahagiaan, seolah-olah kesedihan dan keberuntungan itu turut dirasakan oleh segenap warga lainnya. Antara sesama warga semukim, mereka merupakan satu kesatuan dengan pembelaan ke luar. Bila menghadapi gangguan orang luar, seluruh warga mukim turut bersama mempertahankan dengan tiada membedakan kampung mana yang terkena rong-rongan pihak luar itu.
75
Kuatnya rasa persatuan dan kesatuan masyarakat sekemukiman dalam menghadapi pihak luar yang ingin menggagahi kepentingan atau kehormatan, dapat digambarkan dengan contoh peristiwa-peristiwa sebagai berikut: Pada tahun 1932 telah datang rombongan Boschwezen (sekarang Dinas Kehutanan), untuk mengukur dan mengambil alih tanah hutan Cak Langa (di Glee Judah) untuk ditempatkan dibawah kekuasaan Dinas Kehutanan (keterangan Abu Taran, dkk., orang tua Kp. Dayah Mamplam, Leupueng). Hal Ini telah terjadi bentrokan fisik antara pihak luar dengan masyarakat Leupueng. Pada tahun 1957 pula telah terjadi sengketa perbatasan di Glee Judah, karena orang-orang mukim Lhok Nga telah menyusupi tanaman cengkeh mereka lewat perbatasan (wawancara dengan Haji Ibrahim dkk., tokoh masyarakat Leupueng). Tanah yang menjadi obyek sengketa dalam kedua peristiwa itu terletak dalam wilayah kampung Dayah Mamplam bahagian utara kemukiman. Tetapi sewaktu sengketa terjadi, seluruh warga masyarakat mukim, termasuk mereka yang berdlam di bahagian selatan kemukiman, yaitu orang-orang dari kampung Lam Seunia, Pulot dan lain-lain, turut serta mempertahankannya. Hal yang sama terjadi pada tahun 1973 sewaktu seorang oknum Abri yang berpangkat perwira datang di Babah Dua hendak menggarap tanah untuk berkebun. karena menurut anggapannya tanah tersebut berstatus tanah negara bebas (wawancara dengan Tgk. Agam dkk., tokoh masyarakat Leupueng). Tanah obyek sengketa terletak di kampung Pulot, dibahagian selatan kemukiman. Tetapi yang turut serta mempertahankannya tidak hanya orang gampong Pulot tetapi juga orang-orang dari gampong Layeun, Lam Seunia bahkan termasuk mereka yang berkediaman dibahagian utara kemukiman. Disamping kekuasaan atas tanah, masyarakat gampong mempunyai sejumlah harta kekayaan untuk kepentingan keseluruhan yang berupa milik masyarakat, seperti: 76
bangunan mesjid, meunasah, gedung koperasi, kantor desa, jalan-jalan dan pagar-pagar desa. Beberapa jenis tanah yang diberi tujuan u m u m tertentu seperti : tanah wakaf, tanah meusara dan tanah baitalmaal, semata-mata merupakan milik masyarakat . Sementara itu warga masyarakat merasa, bahwa semua tanah, hutan dan perairan di wilayah desanya yang belum tergarap, merupakan kekayaan alam dikuasai desa. Setiap individu warga desa merasa berhak menikmati hasilnya dan merasa berkewajiban mempertahankan serta menjaga kelestariannya. Hubungan warga kemukiman dengan tanah kediamannya seolahnya merupakan ikatan yang sukar dipisahkan (bandingkan Soekanto 1958: 80). J
KEKUASAAN DESA ATAS TANAH 1. TANAH NEGARA DAN TANAH DESA
Dalam sistim h u k u m pada masa Hindia Belanda terdapat pengertian domein, yakni tanah milik (negara). Yang dimaksud adalah tanah-tanah yang tidak dipakai dim a n a orang tiada dapat m e m b u k t i k a n hak miliknya (Staatsblad 1870, no. 118). Dalam sistim h u k u m pertanahan nasional Indonesia terdapat istilah 'tanah dikuasai negara' (Undang-Undang no. 5, t a h u n 1960, tentang Pokok Agraria, pasal 2, Lembaran Negara no. 104) yang tidak sama pengertiannya dengan domein (milik negara) . Seluruh tanah wilayah Indonesia termasuk dalam pengertian 'tanah yang dikuasai negara', baik tanah yang di atasnya sudah ada sesuatu hak pihak lain, maupun yang belum ada sesuatu hak. Tanah yang di atasnya sudah ada sesuatu hak, misalnya seperti hak milik, tetap dianggap sebagai 'tanah yang dikuasai negara' juga, tetapi penguasaan negara secara tidak langsung. Bagi tanah yang diatasnya belum ada sesuatu hak, kekuasaan negara adalah langsung 1
Sumber data: Kantor Desa Gampong Dayah Mamplam
77
dan bebas, dan inilah yang termasuk dalam pengertian 'tanah negara' (Boedl Harsono 1961). Disamplng Istilah tanah negara terdapat istilah tanah desa (termasuk juga gampong atau mukim). Mellhat sifatnya ada persamaan pengertian tanah desa dengan tanah negara. Tanah desa maksudnya: tanah-tanah yang termasuk dalam wilayah kekuasaan desa. Penguasaan desa terhadap tanah meliputi baik tanah yang sudah digarap maupun yang belum. Walaupun kekuasaan desa terhadap tanah yang sudah digarap lemah sekali, dan tanah yang demikian lazimnya tiada lagi disebut 'tanah desa' tetapi disebut tanah si A, si B dan sebagainya, pada dasarnya tanah itu tetap termasuk dalam golongan 'tanah desa'. Yang lazimnya dimaksud dengan sebutan 'tanah desa' adalah tanah yang belum digarap ataupun tanah yang sudah pernah digarap tetapi sudah merimba kembali selama letaknya dalam kawasan suatu desa. 2. MACAM DAN JENIS TANAH DALAM PENDEKATAN TRADISIONAL
Sehubungan dengan penguasaan, dalam sebutan seharihari orang Aceh membedakan tiga golongan atau kategori tanah, masing-masing: tanoh droue, tanoh gob dan tanoh hak kullah. Sebutan tanoh droue dipakai untuk sebidang tanah yang dipunyai oleh dirinya dan tanoh gob disebut bagi sebidang tanah kepunyaan orang lain. Baik yang disebut tanoh droue maupun yang dikatakan tanoh. gob adalah tanah yang sedang berada dalam kekuasaan suatu kelompok atau seorang individu. Menurut keterangan Tgk. M . Ali Khalifah, Meunasah Meuseujid, tokoh masyarakat tani Leupueng, tanoh hak kuüah, maksudnya 'tanah milik Allah', yaitu sebidang tanah dalam kawasan desa yang belum digarap ataupun tanah yang pernah digarap tetapi sudah ditinggalkan oleh penggarapnya dan menjadi rimba kembali. Dilihat dari segi fisik 'tanah milik Allah' kelihatan dalam berbagai bentuk tanah, dan air termasuk kedalam78
nya (wawancara dengan T. Syamsuddin, bekas Imeum Mukim Leupueng), yaitu: a rimba atau rimba Tuhan: hutan belantara dipedalaman yang dipakai sebagai tempat berburu dan mengambil hasil hutan; b. padang: tanah yang biasanya ditumbuhi rumput alangalang dengan pepohonan yang jarang; c. panton: tanah dataran yang terletak diantara bukit dan gunung di daerah udik yang ditumbuhi hutan; d. paya: tanah dataran rendah dengan genangan air secara tetap ditumbuhi belukar rawa, biasanya terletak di tepi pantai; e. tanoh jeud: tanah yang terjadi karena bawaan lumpur oleh arus sungai, baik yang tumbuhnya menjadi di tengah berupa pulau, maupun yang tumbuhnya di tepi sungai berupa ujung yang menjorok ke tengah sungai; f. sarah: aliran sungai yang dangkal dibagian hulu dengan dataran rendah berhutan disekitar aliran sungai; g. sawang: bagian sungai yang menjorok j a u h kedalam dataran berupa anak sungai; h. tuwie: bagian yang dalam pada aliran sungai; i. pante krueng: yaitu dataran berbatu dan pasir disepanjang aliran sungai. Macam-macam tanah dengan berbagai nama sebagaimana disebutkan di atas, oleh masyarakat Leupueng didasarkan kepada bentuk dan letaknya tanah. Berbagai macam bentuk dengan berbagai macam nama tanah sebagai tersebut di atas dilihat dari segi letaknya digolongkan ke dalam tiga kategori (wawancara dengan H . M . Saleh, Imeum M u k i m Leupueng), yaitu: a tanoh glee, tanah yang letaknya di bukit-bukit sekitar kampung, berdekatan dengan pemukiman penduduk; b. tanoh gunong tanah yang letaknya di gunung, j a u h dengan kampung dan pemukiman penduduk; c. tanoh gampong, tanah yang terletak dalam kampung, yaitu di lokasi pemukiman penduduk. 79
D i samping melihat kepada bentuk dan letak tanah sebutan macam-macam nama terhadap tanoh hak kallah dalam sebutan sehari-hari berkaitan dengan statusnya: sebelum perang dinamakan tanoh raja, tanoh uleebalang, sesudah perang disebut tanoh rakyat, tanoh mukim, tanoh masyarakat, tanoh adat (wawancara dengan T. Syamsuddin, bekas Imeum M u k i m Leupueng). 3. HAK KULLAH BERTUAN DAN TIDAK BERTUAN
Istilah tanoh hak kullah mengandung pengertian yang luas. Dalam pengertian hak kullah termasuk semua tanah, hutan dan perairan yang belum digarap atau dijamah manusia. Tanoh hak kullah juga mencakup semua tanah, baik yang terjangkau oleh warga masyarakat maupun di luar jangkauan, baik yang letaknya dalam batas administratif kemukiman maupun yang letaknya di luar batas kemukiman. Pemakaian istilah hak kullah dalam pengertian luas oleh masyarakat Leupueng ini bisa mengacaukan uraian kita. karena tentang peristilahannya tanoh hak kullah itu oleh mereka tiada dibedakan, tetapi dalam pengertian dan kenyataan pemakaiannya adalah berbeda. Mempertegas perbedaan kedua macam tanoh hak kullah ini kiranya tepat dipakai istilah tanoh hak kullah bertuan dan tanoh hak kullah tak bertuan. Tanoh hak kullah bertuan adalah tanah-tanah yang belum digarap tetapi berada dalam jangkauan masyarakat Leupueng sehari-hari untuk mencari nafkah. Radius jangkauan sehari-hari dipakai ukuran tradisional, yakni jarak yang bisa ditempuh dalam sehari pulang pergi berjalan kaki. Tanah dimaksud letaknya dalam wilayah administratif kemukiman Leupueng. Untuk perairan laut batas jangkauan dipakai jarak yang dapat dicapai tali pukat pantai (keterangan Pawang Yusuf, bekas Imeum M u k i m Leupueng). Dalam literatur h u k u m adat hak atas tanah se-
80
jenis ini dinamakan hak pertuanan (Ter Haar 1960:56 dst.). Di wilayah kemukiman Leupueng dijumpai jenis tanah yang disebut dengan istilah tanoh adat, tanoh urnum, tanoh rakyat, tanoh masyarakat yang dapat digoloiigkan dalam pengertian tanoh hak kullah bertuan. Jenis-jenis tanah itu ada mirip dengan ulayat, walaupun istilah ini tiada dikenal atau dipakai di Leupueng. Di luar jangkauan sehari-hari warga masyarakat yang masih terdapat tanah luas di bahagian timur wilayah kemukiman. Dilihat dari segi administratif pemerintah, tan ah-tan ah hutan di bahagian timur masih termasuk dalam wilayah kemukiman Leupueng. Tetapi oleh mereka tidak dianggap sebagai kawasan desa, karena letaknya diluar jangkauan para warganya. Atas alasan ini tanah diluar jangkauan warga masyarakat dapat dinamakan sebagai tanoh hak kullah tak bertuan. Tanoh hak kullah tak bertuan tidak termasuk ke dalam hak ulayat desa dan tidak tergolong dalam pengertian tanah adat, tanah rakyat atau tanah masyarakat. Dari segi hukum nasional tertulis, tanoh hak kullah tak bertuan adalah tergolong jenis tanah yang disebut dengan istilah 'tanah negara bebas' atau 'tanah negara'. Negara menguasai langsung jenis liak kullah tak bertuan, karena tanah ini lepas sama sekali dari pengaruh kekuasaan desa setempat. Untuk selanjutnya dalam praktek perlu diperhatikan kriteria yang jelas antara tanah negara dengan tanah desa. 4. KEKUASAAN WARGA DESA ATAS TANAH
Menurut masyarakat Leupueng wilayah tanahnya merupakan warisan dari nenek moyang mereka. Cut Lem Rahman, orang tua Leupueng, menerangkan bahwa pada zaman dahulu seluruh wilayah udik sudah pernah ditaklukkan dan dikuasai oleh leluhur orang Leupueng. Beberapa kali perpindahan penduduk menuju ke hilir, sekian kali pula tempat pemukiman lama ditinggalkan. 81
Pemukiman lama yang ditinggalkan dibiarkan merimba, dan pemukiman baru dibangun dengan arah menuju ke hilir. Dalam hutan sepanjang aliran sungai masih kelihatan bekas pemukiman penduduk, dengan tapak perumahan, kuburan, pohon buah-buahan, seperti durian, rambutan dan manggis. Mengenai pohon buah-buahan yang tumbuh liar di hutan, orang-orang berpendapat bahwa tanaman ini nenek moyang mereka yang menanaminya. Setiap orang warga masyarakat Leupueng boleh mengusahakan tanaman liar serta memungut buahnya, karena sudah pasti penanamannya adalah leluhur orang-orang Leupueng, bukan orang dari luar kemukiman. Hak bagi yang bersangkutan pada dasarnya hanya berlaku untuk masa sekali panen. Apabila seorang warga sudah pernah mengusahakan sebatang pohon buahan liar pada satu musim, maka musim berikutnya dia berhak terdahulu untuk berbuat hal yang sama apabila menemukannya bersama warga lain. Selain hak terhadap pepohonan liar, warga desa mempunyai kebebasan yang luas untuk memungut hasil atas tanah desa yaitu: a mengambll hasil hutan berupa rotan, damar, kayu dan sebagainya; b. berburu binatang liar dan menangkap ikan; c. mengambll hasil sungai berupa batu, pasir, untuk keperluan sendiri; d. membuka hutan untuk berladang dan berkebun. Pada umumnya kebebasan pemanfaatan dan penggunaan warga desa atas tanah dan air dapat dibatasi dan diatur oleh kepala desa [imeum mukim dan keusyik). Dari semenjak dahulu, sebelum perang, di wilayah kemukiman Leupueng ada larangan untuk mengusahakan atau menguasai secara pribadi tanah-tanah yang secara tetap dipergunakan untuk kepentingan umum, yaitu: 82
a pantai laut (pasie), dalam batas antara tanah yang berpasir sampai ombak memecah; b. pantai sungai [pante krueng) dimana terdapat pasir dan kerikil; c. meskipun sudah sering dilanggar, ada larangan penebangan pohon yang tumbuh ditepi sungai dan dekat mata air. Terhadap tanah dan pohon yang tersebut pada a, b, dan c di atas, individu para warga masyarakat tiada boleh menguasai barang-barang secara penuh atau memilikinya. Mereka hanya boleh mengusahakannya untuk menikmati dan menggunakan hasil untuk kebutuhannya sendiri. Pantai laut yang dimaksudkan pada sub a hanya boleh dipakai oleh para nelayan sebagai tempat jemuran, raendirikan pondok, yang biasanya hanya berlaku untuk satu musim. Batu dan pasir dipantai sungai boleh diambil secara bebas oleh para warga. Tetapi mengadakan explotasi batu dan pasir secara tetap sebagai suatu usaha harus mendapat izin dari keusyik (wawancara dengan H. M . Saleh, Imeum Mukim Leupueng). Pengusaha batu dan pasir pada sepanjang aliran sungai Krueng Geupeue membayar sejumlah uang kepada imeum mukim untuk setiap truk angkutan. Uang tersebut oleh imeum mukim dipergunakan untuk kepentingan umum. Ada jenis tanah yang dari semula sudah dikhususkan untuk kepentingan umum dan akan tetap dipakai bagi keperluan masyarakat, yaitu: a tanah pengembalaan ternak; luasnya semakin sempit karena sebahagian sudah dipagar menjadi kebun; b. tanah lapangan pertunjukan, dahulu bernama geulanggang; c. tanah pekuburan umum; d. tanah pasar umum. Tanah-tanah tersebut di atas jenisnya dari tanah masyarakat yang tadinya bersifat umum, tetapi kemudian oleh penguasa (kepala desa) diberi tujuan khusus dalam peng83
gunaannya. Sebagai contoh misalnya: tanah lapangan bola di depan gedung Koperasi Unit Desa (KUD) Krueng Geupeue. Termasuk tanah pekarangan dimana gedung KUD Krueng Geupeue didirikan. Selain macam dan jenis tanah yang pada umumnya berasal dari tanah masyarakat yang kemudian jatuh dalam kekuasaan perseorangan atau dalam kekuasaan kepala desa dengan tujuan pemakalan yang khusus. maka hal yang sebaliknyajuga ada terjadi. Tanah yang pada mulanya hak penuh perseorangan dapat dialihkan menjadi hak masyarakat. Semenjak beralih atau dialihkan oleh perseorangan tanah jatuh ke dalam kekuasaan desa. Motif pengalihannya berdasarkan kepercayaan agama Islam. Kepala desa mempergunakannya untuk kepentingan serta kesejahteraan kaum muslimin. Termasuk jenis tanah yang ada kaitannya dengan lbadat dan kepercayaan agama Islam adalah tanah wakaf, tanah mewsara dan tanah baitcümacd. a. Tanah wakaf (tanoh uvakeuh). Tanah wakaf asalnya dari penyendirian tanah milik oleh seseorang. Motif penyisihan tanah seperti ini adalah sebagai ibadah menurut ajaran Islam. Tujuan dari tanah yang disendirikan ini, bisa bersifat umum dan bisa khusus. Tujuan yang bersifat umum tidak dijelaskan kegunaan pemakalan tanah. Tujuan yang bersifat khusus. ditentukan secara tegas arah penggunaan tanah. misalnya untuk tempat mendirikan meunasah dayah. tempat pengajlan dan sebagainya. Acara pemberiannya dilakukan dengan ijab kabul secara lisan antara pemilik dengan penerimaan wakaf (nadir) dengan dihadiri oleh saksi-saksi dan ahli waris penerimaan wakaf kalau ada. Selain dilakukan oleh perseorangan nampaknya wakaf dapat pula dilakukan oleh masyarakat kampung secara bersama-sama, seperti yang terdapat di Leupueng: tanah pekarangan komplek meunasah Dayah Baroh misalnya di84
beli bersama-sama oleh penduduk kampung. Kemudian diwakafkan u n t u k tempat mendirikan langgar kaluet (balai tempat anak-anak mengaji) . J
b. Tanah meusara. Disamping tanah wakaf dijumpai pula sejenis tanah yang lain yang disebut meusara atau meunara. Tanah itu mempunyai asal usul yang sama dengan tanah wakaf, yaitu berasal dari penyendirian/penyisihan harta kekayaan seseorang. Tetapi sifatnya dan fungsinya berlainan, yakni: tanah yang produktif2,dan tujuan pemberiannya adalah khusus guna secara terus menerus menanggulangi biaya pemeliharaan dan perawatan mesjid beserta pengurusnya. Sesuai dengan fungsinya, maka tanah meusara selalu berupa tanah yang senantiasa menghasilkan setiap tahun atau setiap m u s i m . Tanah i n i berupa sawah dan kebun tanaman keras, yang setiap t a h u n / m u s i m menghasilkan dana. Pengelolaan tanah d i l a k u k a n oleh keusyik dan teungku sagoue dari masing-masing kampung yang bersangkutan. Hasilnya secara kontinu diserahkan pada Imam mesjid selaku pengelola dan pengurus mesjid. Agar supaya dana terus menerus mengalir, sesuai dengan tujuan pewakaf tanah meusara, maka sudah menjadi kewajiban keusyik dan teungku sagoue berusaha agar kebun selalu berproduktif. Apabila tanamannya mati, diusahakan untuk segera menggantikannya dengan yang baru. Hal ini dimaksudkan agar supaya tujuan sipemberi tanah selalu dapat tercapai. c. Tanah baitalmaal. Tanah baitalmaal tergolong jenis tanah asal perseorangan, yaitu berasal dari harta peninggalan seorang yang meninggal dunia tanpa ada keturunan atau ahli waris, tetapi mempunyai motif yang berbeda dengan tanah wakaf dan tanah meusara. Tgk. H . M . Husin, Meunasah Bak U , bekas 1 2
Sumber data: Kantor Desa Kampung Dayah Mamplam Sumber data: Kantor Kecamatan Lhok Nga/Leupueng
85
Kadhi Kemukiman Leupueng, menerangkan bahwa tanah jenis baitalmaal tiada pernah berkurang melainkan senantiasa bertambah. 5. KEBEBASAN WARGA DESA ATAS TANAH
Dalam hal membuka tanah, para warga pada umumnya tiada memerlukan izin, baik Izin dari keusyik maupun dari imeum mukim, apabila yang bakal digarap tergolong tanoh hak kullah yang termasuk dalam kawasan desa. Tetapi letak, luas dan tujuan pembukaan tanah tertentu dapat mengurangi kebebasan ini. Izin Kepala Desa diperlukan dalam hal-hal sebagai berikut: a tanah yang akan dlbuka/dipakai adalah tanoh gampong, letaknya dalam komplek pemukiman penduduk dari suatu gampong; b. tanah yang akan dibuka merupakan seneubok , memerlukan areal yang luas dan pengolahannya memakai tenaga kerja yang banyak; c. tanah yang akan dibuka, oleh pembukanya dari semula sudah dimaksudkan untuk dljadikan boinah , yakni membuka kebun tanaman keras, tambak, sawah ataupun rumah tempat tinggal. 1
2
Apabila diperhatikan dengan seksama, seolah-olah hubungan masyarakat desa dengan tanah hutan dan perairan dalam wilayah desa, merupakan hubungan yang abadi. Menurut sistem tradisional, desa (dalam hal ini kemukiman) mempunyai k e d u d u k a n yang otonom dan mempunyai kekuasaan sepenuhnya dalam menentukan status sebidang tanah yang ada dalam wilayah desanya. 1
2
86
Seuneubok adalah areal tanah peladangan yang dibuka secara luas (± dari 10 hektar) dengan memakai penggarap yang banyak (lebih dari 10 orang) dibawah pimpinan seorang katua yang disebut peutua yang sekallgus Juga berfungsi sebagai majikan bagi penggarap. Boinah: harta kekayaan yang bersifat tetap/permanen tidak mudah disia-siakan. Sebagai contoh: rumah, kebun tanaman keras, dsb.
Kekuatan berlaku hukum adat atas tanah seperti dlgambarkan diatas, terpengaruh oleh kekuatan dari luar, terutama dulu dari pengaturan pemerintah nasional dan badan-badannya, seperti penjndang-undang dan pengadilan. Kadang-kala adat dapat dilemahkan untuk sementara waktu. Setelah kekuatan dari luar lenyap. maka suasana hukum adat akan kembali menguasai bidang tanah yang bersangkutan. Demikian nasib yang dialami sebidang tanah yang bernama 'tanah erfpacht Labuhan'. Tanah erfpacht Labuhan letaknya di tepi pantai bahagian barat laut kemukiman Leupueng. Dari dokumen-dokumen yang ada pada kantor Agraria Kabupaten Aceh Besar dapat diketahui. bahwa oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1909 diberikan hak erfpacht atas sebidang tanah. yang luasnya 36.9018 ha., kepada N.V. Cultuur Maatschappij Lhok Nga Kutaraja untuk jangka waktu 75 tahun. Pada tanggal 27 April 1955 hak erfpacht tersebut beralih kepada N.V. Perkebunan dan Perdagangan Mutia yang tidak mengkonversi hak erfpacht ini kepada hak guna usaha sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Karena tidak dikonversi ke dalam hak baru, maka menurut peraturan yang berlaku hak erfpacht akan berakhir pada tanggal 24 September 1980. Selanjutnya tanah tersebut akan menjadi tanah negara bebas atau tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Dahulu sewaktu tanah masih dipegang oleh erfpachter, tanah berpagar kawat duri. Di atas tanahnya sebahagian ditanami kelapa dan sebahagian lainnya dibiarkan berhutan. Orang lain dilarang memasuki tanah, walaupun pada bahagian tanah yang masih berhutan (wawancara dengan Pawang Yusup, bekas Imeum Mukim Leupueng). Menjelang perang Asia Timur Raya (kurang lebih tahun 1940) tanah ditinggalkan oleh pemegang erfpacht dan dibiarkan terlantar tanpa pengurus maupun penjaga. Tanaman keiapanya beransur-ansur punah karena dimakan beruang, dan pagar kawat duri rusak porak 87
poranda. Keadaan tanah sedemikian berlangsung hingga masa pendudukan Jepang dan permulaan zaman kemerdekaan. Pada tahun 1947 tanah erfpacht Labuhan digarap oleh rakyat, artinya: dibagi-bagi oleh keusyik kampung Dayah Mamplam bersama imeum mukim, dan diberikan kepada para warga masyarakat Leupueng yang memerlukannya. Kebanyakan para penggarap berasal dari gampong Dayah Mamplam, karena tanah memangnya terletak dalam wilayah nya. Para penggarap tahun 1947 pada umumnya menanami tanaman muda, hanya beberapa orang saja yang menanami tanaman keras, yakni kelapa dan pinang. Karena berjangkit hama babi hutan yang tidak sanggup diatasi maka tanah Labuhan ditinggalkan oleh para penggarap dan tanah menjadi terlantar hingga tahun 1957. Pada tahun 1957 tanah Labuhan dibagi-bagikan kembali oleh imeum mukim dan keusyik gampong Dayah Mamplam seperti cara semula. Kepada mereka yang pernah turut pada pembaglan pertama (1947) diberikan kesempatan untuk memilih bekas tanah garapannya semula. Kebanyakan mereka dari rombongan penggarap kedua inilah yang berhasil dan masih tinggal hingga sekarang dengan tanaman keras kelapa dan cengkeh. Diantara kebun-kebun yang dibangun warga desa atas tanah bekas erfpacht Labuhan, sebahaglannya ada yang sudah berpindah tangan. Perpindahan tangan terhadap tanah Labuhan mi, baik dengan transaksi jual beli maupun dengan ganti rugi, sebagaimana terlihat pada catatan Kantor Kecamatan Lhok Nga/Leupueng. U n t u k tanah kebun yang menurut h u k u m adat masih berstatus hak useuha, transaksi dilakukan dengan gantoue peunayah (ganti rugi), sedangkan untuk tanah kebun yang sudah berstatus hak müiek transaksinya dengan jual beli. Transaksi tanah berlangsung dengan sepengetahuan Camat. Menurut pandangan masyarakat Leupueng tanah beserta tanaman keras yang ada sekarang sudah menjadi milik 88
mereka. Pengambilan tanah oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu (1909) dianggap bertentangan dengan hukum (adat) yang berlaku, karena lokasi tanah berada dalam batas yang terjangkau oleh anggota masyarakat, terutama penduduk gampong Dayah Mamplam. Jadi, dengan demikian Tanah Labuhan termasuk tanoh hak kullah bertuan. Tentang keabsahan penggarapannya oleh penduduk setempat adalah benar sesuai dengan hukum adat yang berlaku. Tanah sudah dltinggalkan terlantar selama lebih dari 15 tahun. Tanda-tanda batas berupa pagar dan bukti tanaman keras di atasnya, sudah tidak ada lagi. Yang dijumpai tumbuh di atas tanah hanyalah hutan belantara belaka sewaktu garapan dilakukan pada tahun 1947. Dari kasus Labuhan yang diuraikan di atas terdapat kesan, bahwa hubungan masyarakat dengan tanahnya merupakan hubungan yang abadi, tidak terpisahkan. Kekuatan luar sering hanya melemahkan hubungan itu untuk sementara waktu, tetapi tidak memutuskannya. Desa mempunyai kekuasaan dalam masalah tanah yang berhubungan dengan orang luar. Bagi orang luar, tanah masyarakat Leupueng pada prinsipnya masih merupakan larangan. Belum dijumpai orang luar kemukiman yang secara langsung membuka/menggarap tanoh hak kullah. yang tergolong tanah adat atau tanah masyarakat. Hal ini dapat ditembusi orang luar dengan prosedur izin garap pada kepala desa atau dengan membeli/ganti kerugian. Dalam hal beli/ganti rugi tanah dengan orang luar, kepala desa (keusyik dan imeum mukim) berperan aktif. Me-nurut hukum adat setempat kepala desa (keusyik dan imeum mukim) mempunyai wewenang untuk memberikan izin garap tanah kepada seseorang ataupun badan usaha yang membutuhkan tanah. Suatu perubahan yang sedang terjadi dalam hubungan adat pertahanan di masyarakat Leupueng, yakni kini sudah dimungkinkan tanah-tanah dalam wilayah kemukiman 89
jatuh kepada orang luar mukim. Tetapi Jenis tanah yang bisa beralih kepada orang luar itu, terbatas pada tanah yang di atasnya ada sesuatu hak perseorangan warga desa. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari uraian dan pembahasan diatas tentang penguasaan tanah pada masyarakat pedesaan dl Aceh, didapatl kesan bahwa kehidupan (hukum) adat dalam bidang pertanahan pada masyarakat pedesaan Leupueng masih terpellhara, walaupun disana-sini ada terjadi perubahan. Beberapa kesimpulan yang dapat ditarlk antara lain adalah: 1. Kekuasaan desa atas tanah wilayah desa cukup kuat, sehingga belum mungkin orang luar kemukiman membuka tanah rimba dalam wilayah pedesaan Leupueng, terkecuali setelah mendapat Izin dari kepala desa. 2. Wilayah tanah desa masih dipertahankan terhadap rongrongan pihak luar. Hubungan masyarakat dengan tanahnya seolah-olah merupakan hubungan abadi (sehingga hubungan ini merupakan semacam hak ulayat). Hal ini dicontohkan dengan pe'istlwa dltahun-tahun 1932, 1957 dan 1973, peristiwa mana mencegah pihak luar masuk mengambil tanah dl wilayah Leupueng. 3. Meskipun sudah ada undang-undang serta peraturan tertulis lainnya yang mengatur h u k u m pertanahan secara nasional, tetapi di wilayah kemukiman Leupueng h u k u m adat tanah setempat masih j a u h lebih kuat penganrhnya. Sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang diutarakan di atas, dapat disarankan agar supaya dalam usaha memakai tanah desa benar-benar diperhatikan h u k u m yang hidup serta kepentingan masyarakat setempat, sesuai pasal 2, ayat 4 dan pasal 3, Undang-Undang no. 5/1960.
90
DAFTAR KEPUSTAKAAN BOEDI HARSONO 1961 Undang-Undang Pelaksanaannja.
Pokok Agraria, Sedjarah Djakarta, Djambatan.
penjusunan
isi
dan
E L HAK1MY, T.L 1980 Tatanan Tanah Di Wilayah Pedesaan Aceh, L a p o r a n P e n e l i t i a n . B a n d a Aceh, Pusat Studi H u k u m Adat dan Islam, Universitas Syiah Kuala. 1981 Beberapa Segi Hukum Adat Tentang Tanah Pedesaan Aceh, Suatu Penelitian. B a n d a A c e h , R u r a l Development Center (RDC), S y i a h Kuala University. 1982 Beberapa Segi Statis dan Dinamis Tentang Hukum Adat Tanah di Aceh. Laporan Penelitian, Proyek Kerja S a m a B P H N dengan Fakultas H u k u m , Universitas Syiah Kuala. H A A R , B . ter 1960 A s a s - A s a s dan Susunan Hukum Adat. Djakarta, Pradnja Paramita d / h J . B . Wolters. (Terdjemahan K. Ng. Soebakti P o e s p o n o t o d a r i Beginselen en Stelsel van het Adatrecht, 1939. Groningen-Batavla, J . B . Wolters). SOEPOMO, R. 1967 Hukum Perdata Adat Djawa Barat. Djakarta, Djambatan. ( T e r d j e m a h a n N j . N a n i S o e w o n d o S H . d a r i Het Adat Privaatrecht van West-Java, 1933. B a t a v i a , D e p a r t e m e n t v a n J u s t i t i e , g e d r u k t te S o e k a m i s k i n ) . SOEKANTO.
Soerjono
1958 M e n i n j a u h u k u m A d a t I n d o n e s i a . J a k a r t a ,
Surungan.
SNOUCK HURGRONJE, C . 1985 Aceh Dimata Kolonialis. J i l i d I ( t e r j e m a h a n d a r i 'De A t j e h e r s ' , Ny. S i n g a r i m b u n dkk.). Jakarta, Yayasan Soko G u r u .
91
PROSES DAN UPACARA ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT DAYA TAMAN Y. C. Thambun Anyang* PENDAHULUAN
Kebhinnekaan rakyat Indonesia membawa konsekwensi berbhinneka p u l a dalam adat dan h u k u m adat yang mereka taati, laksanakan dan pertahankan dalam keberadaannya yang senantiasa berkembang maju dinamis dan luwes. Perkembangan yang mengacu pada pembaharuan adat dan h u k u m adat itu sering dinyatakan oleh Prof. DR. H. Moh. Koesnoe, S.H. dalam pelbagai pertemuan ilmiah di dalam dan dl luar negeri dengan menggunakan ungkapan rakyat yakni: "usang dibaharui, lapuk dikajangi" . Dari ungkapan mi dimaksudkan, bahwa adat dan hukum adat itu tidak pernah ketinggalan oleh perkembangan atau kemajuan masyarakatnya sebab pembaharuan itu bersamaan dengan perubahan masyarakat itu sendiri dan dalam keberlakuannya itu mampu menyesuaikan dirinya dengan segala macam perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Rasa h u k u m yang hidup dalam masyarakat adat manapun di Indonesia ini, meliputi rasa kerukunan. kepatutan dan kelarasan. Mengenai ketiga istilah ini telah diberikan r u m u s a n pengertian yang jelas dan tepat sekali oleh Koesnoe. dan yang kemudian disebutnya sebagai tiga asas k e r j a di dalam menyelesaikan perkara-perkara adat di J
2
* Lektor Kepala Madya pada Fakultas Hukum Universitas Tanjung Pura, Pontlanak. 1
2
92
Ceramah Moh. Koesnoe dalam berbagai pertemuan ilmiah, termasuk di Banda Aceh dan Ponüanak. Koesnoe 1979:44-55.
Indonesia dengan pengetrapan bersama-sama secara sekaligus. Tidak dapat disangkal kenyataan yang hidup didalam masyarakat rakyat Indonesia bahwa terlebih dalam hukum keluarga, khususnya dalam hal pelaksanaan perkawinan, masyarakat tetap dikuasai oleh adat dan hukum adat dari masyarakat rakyat Indonesia yang berbhinneka itu. Keadaan yang demikian ternyata dlsadart QU* ~. bentuk undang-undang sehingga Undang-undang no l tahun 1974 yang berlaku efektif setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah no. 9 tahun 1975. disusun bukan dalam bentuk kodifikasi hukum melainkan dalam bentuk unifikasi hukum yang sangat menghormati keberlakuan hukum agama dan kepercayaan, dan hanya mengatur halhal yang dapat disatukan sebagai aturan yang berlaku bagi semua warga negara yang mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum dan dalam pemerintahan Indonesia. Oleh karena itu hukum perkawinan nasional tersebut tidak mengatur seluruh aspek yang berhubungan dengan perkawinan di Indonesia mengingat bhinnekanya masyarakat rakyat Indonesia, terutama hal-hal atau berbagai aspek dari perkawinan yang tidak mungkin disatukan untuk diberlakukan bagi semua warga negara Indonesia. Dalam Undang-undang no. 1 tahun 1974 berikut peraturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah no. 9 tahun 1975. tidak atau belum diatur. dan memang seharusnya tidak perlu diatur, menjadi satu hukum yang sama yakni cara menarik garis keturunan, pertunangan, bentuk perkawinan. perkawinan yang dianggap ideal. adat menetap pengantln baru, adopsi dan pesta upacara adat perkawinan. Mungkin banyak hal atau aspek lain lagi yang tidak perlu diatur menjadi satu hukum yang berlaku bagi semua kelompok masyarakat sebagai persekutuan hukum adat. Dari itu menjadi sangat penting keberadaan hasil penelitian untuk mengetahui, mengerti dan memahami dengan baik bagaimana pelaksanaan senyatanya suatu perkawinan oleh dan dalam suatu kelompok masyarakat adat LIM
P E M
93
yang terdapat di Indonesia i n i , sebagai h u k u m positif tidak tertulis. Usaha ini penting untuk melengkapi dan mengisi kekosongan dalam Undang-undang no.1 tahun 1975 sebagai h u k u m positif tertulis, sehingga dengan demikian antara h u k u m positif tertulis dan h u k u m positif tidak tertulis dapat diketahui, dimengerti dan dipahami dalam kedudukan yang berimbang oleh para fungsionaris h u k u m dan para pelaksana perkawinan dalam negara kerakyatan Indonesia i n i . Dalam kenyataannya masih ada yang berslkap apriori bahwa yang dinamakan upacara adat itu adalah semata-mata menyembah berhala, padahal sama sekali tidaklah demikian sikap yang akan timbul, bilamana mengerti dan memahami pemasalahannya dengan baik. Demikianpun mereka yang tidak lagi berpahamkan h u k u m Indonesia juga telah bersikap apriori bahwa adat dan h u k u m adat itu adalah sesuatu yang aneh bagi dirinya walaupun ia berasal dari dan dilahirkan dalam masyarakat persekutuan hukum adat itu. Pengakuan terhadap keberlakuan adat dan hukum adat tersurat dan tersirat dalam pasal-pasal 2(1), 6(6), 8f. 10, 16, 20, 29(2) dan 66, sehingga dari itu adat dan h u k u m adat yang mengatur mengenai perkawinan yang belum diatur dalam Undang-undang no. 1 tahun 1975 itu, merupakan hukum positif yang tidak tertulis bagi masyarakat adat di Indonesia ini. Menurut V a n Schmid yang dikutip oleh Prins (1982) dalam b u k u n y a tentang H u k u m Perkawinan di Indonesia mengatakan bahwa undang-undang tidak dibuat. tetapi dicari di dalam kehidupan masyarakat. Pendapat ini tentu sejalan dengan apa yang telah diatur dalam pasal 23 dan 27(1) Undang-undang no. 14 tahun 1970, tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman, dimana hakim dalam setiap keputusannya harus berlandaskan asas ketetapan-ketetapan Undang-undang atau menunjuk sumber h u k u m tidak tertulis, dan untuk itu lalu hakim harus menggali h u k u m yang hidup di dalam masyarakat. mengikuti dan mengertinya. Ketentuan dalam kedua pasal 94
ini sejalan dengan tuntutan dari Undang-undang no. 1 tahun 1974. Pada masyarakat Daya Taman, baik yang telah menganut agama Katholik dan Protestan maupun yang masih menganut agama nenek moyangnya, pelaksanaan dan kehidupan perkawinan masih tetap dikuasai oleh adat dan hukum adatnya. Bilamana terdapat dua orang, laki-laki dan perempuan, hidup bersama tanpa melalui perkawinan adat dan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat, maka kedua orang tersebut dipandang oleh masyarakat sebagai orang-orang yang tidak beradat dan tercela dimata masyarakat. Bagi yang telah menganut agama Katholik atau Protestan, telah disepakati bahwa pelaksanaan perkawinan adat dilakukan setelah pemberkatan perkawinan oleh Pastor atau Pendeta dan setelah itu sudah menjadi urusan adat dan hukum adat dari masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena Daya Taman terdapat dalam beberapa kecamatan yang saling berjauhan, dan ditambah lagi dengan sulitnya lalulintas berhubung melalui air sungai, maka yang dibahas dalam tulisan ini adalah masyarakat Daya Taman yang bertempat tinggal di Kecamatan Putussibau. Untuk pilihan pembahasan proses dan upacara adat perkawinan masyarakat Daya Taman ada beberapa alasan yang menarik yakni: - menurut pengetahuan kami, sampai saat ini belum ada tulisan mengenai hal yang ditulis sekarang ini, baik sebelum maupun setelah berlakunya Peraturan Pemerintah no. 19 tahun 1975; - dengan membaca Undang-undang no. 1 tahun 1974, berikut peraturan pelaksanaanya ternyata bahwa banyak asas-asas yang terkandung didalamnya sudah dikenal sejak lama secara turun temurun dalam adat dan hukum adat masyarakat Daya Taman, di samping masih banyak pula yang belum tertampung dalam Undang-undang Perkawinan tersebut, akibat tidak mungkin disatukannya hukum akibat masyarakat Indonesia terdiri dari 95
masyarakat bilateral (parental), patrilineal dan matrillneal; , , , setelah membaca kepustakaan tentang adat dan h u k u m adat, tampak bahwa terdapat penafslran yang keliru terhadap bentuk perkawinan yang ada dl Kallmantan. Khususnya pada masyarakat Daya Taman bentuk perkawinannya bukan termasuk bentuk perkawinan jujur, semendo, atau kawin bebas, sebagaimana sebelum ini dikenal dalam kepustakaan hukum adat. Akan tetapi mereka mempunyai bentuk perkawinan tersendiri yang disebut perkawinan pakaain. Dan pakaain disinl tidak sama fungsinya dengan Jujur atau mas kawin dan tidak dapat ditafsirkan sebagai hadiah perkawinan, apalagi disebut sebagai pembayaran untuk membeli anak gadis suatu keluarga. Penafslran dimana pakaain Juga dianggap sebagai hadiah perkawinan adalah keliru sama sekali. Apapun barang yang dihadiahkan, tidak pernah ada upaya hukum untuk meminta pengembaliannya. Kalau hal itu terjadi maka di mata masyarakat seseorang atau suatu keluarga yang meminta kembali barang yang telah dihadiahkan, dianggap sebagai perbuatan yang memalukan. Pakaain pada masyarakat Daya Taman mempunyai kedudukan dan peranan tersendiri dalam hubungan hukum antara mereka yang terikat oleh perkawinan adat, dimana pengikatnya itu tidak lain adalah pakaain tersebut. J u g a perkawinan pada masyarakat Daya Taman tidak bersifat endogami dan exogami oleh karena dalam perkawinan tidak diharuskan untuk memilih jodoh dari kalangan keluarga atau sesamanya, dan juga tidak ada keharusan untuk memilih jodoh diluar keluarga atau sesamanya. Undang-undang no. 1 tahun 1974 itu pada hakekatnya mengatur tentang h u k u m perkawinan secara formil, tidak mengatur mengenai h u k u m perkawinan secara materiil. H u k u m perkawinan secara materiil i n i d i k e m u k a k a n dalam hukum agama dan hukum kepercayaan dari masyarakat. H u k u m kepercayaan itu diketemukan dalam adat 96
dan hukum adat yang hidup, berkembang, ditaati, dilaksanakan dan dipertahankan oleh masyarakat adat itu sendiri melalui para fungsionaris adatnya yang berasal dan dipilih dari dan oleh masyarakat adat yang bersangkutan. GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DAYA TAMAN
Masyarakat Daya Taman bertempat tinggal dalam wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Kapuas Hulu. Dalam tulisan ini dipilih masyarakat Daya Taman yang bertempat tinggal dl Kecamatan Putussibau. Kecamatan ini merupakan salah satu kecamatan yang letaknya paling udik dan berbatasan langsung dengan Serawak Malaysia Timur pada sebelah utara, dengan Propinsi Kalimantan Timur pada sebelah timur, pada bagian sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Manday dan pada bagian sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Embaloh Hilir. Jumlah penduduk kecamatan Putussibau 21.712 jiwa; dari jumlah tersebut terdapat 4418 jiwa orang Daya Taman. Masyarakat Daya Taman di Kecamatan Putussibau ini terbagi atas dua wilayah ketamanggongan, yakni Ketamanggongan Daya Taman Banua Sio dan Ketamanggongan Daya Taman Kapuas (termasuk Taman Samangkok) dan tersebar dalam tiga kelompok pemukiman yakni: 1. lima banua (pemukiman) di pinggiran sungai Kapuas arah ke sebelah hulu kota Putussibau, yaitu: banua J
2
1
2
Sumber: data kantor Camat Putussibau pada bulan Nopember 1989 Ada beberapa pengertian dari kata banua : -suatu kelompok kesatuan masyarakat Daya Taman yang bertempat tinggal dalam sebuah soo, misalnya: soo ingko'banua, soo tanga' banua dan soo ulu banua; -wilayah suatu pemukiman, termasuk pekuburan dan lingkungan tempat mata pencaharian, seperti tanah perladangan, perkebunan, sungai, danau dan hutan disekitarnya, sampai pada batas antara sesama banua tersebut dan batasnya dengan ke-
97
Sauwe. banua Malapi, banua Ingko'tambe. banua Sayut dan banua Urangunsa; 2. banua Samangkok di pinggiran sungai Mandalam; 3. dua banua di pinggiran sungai Banua Sio. yakni: banua Sio Iraang dan banua Sio Ilutang. Ketiga kelompok pemukiman di atas merupakan wilayah dimana penduduknya hanya orang Daya Taman saja. Tidak diketahui kapan tepatnya orang Daya Taman mulai bertempat tinggal pada ketiga kelompok pemukiman tersebut. Menurut penuturan orang-orang tua disana bahwa orang Daya Taman sudah lama bertempat tinggal disana, setidaknya sudah beberapa generasi mereka bertempat tinggal didalam wilayah yang sekarang ini mereka bertempat tinggal. Pola pemukiman orang Daya Taman adalah memanjang mengikuti alur menghadap ke sungai dan berkelompok dalam rumah panjang (soo) yang merupakan rumah yang ideal bagi orang Daya Taman. Antara soo yang satu dengan yang lainnya saling berdekatan antara sekltar 10-250 meter. Sebagian besar orang Daya Taman sekarang ini masih tetap tinggal di rumah panjang. B a h k a n mereka yang telah membangun rumah tunggal, kembali mendirikan rumah panjang yang baru. karena mereka memerlukan keberadaan soo, antara lain untuk berbagai kegiatan adat dan upacara adat dalam suasana kebersamaan. Misalnya untuk tempat memusyawarahkan adat dan melaksanakan upacara adat perkawinan dimana hadir sekitar 300500 orang. lompok masyarakat lainnya, misalnya: banua sayut, banua malapi, banua sio; -keseluruhan wilayah tempat tinggal, atau pemukiman dan wilayah lingkungan tempat mata pencaharian serta pekuburan dari kedelapan pemukiman orang Daya Taman: banua urang Taman; -sesama orang Daya Taman atau sesama orang Daya: banuaka'; sebagai nama dari salah satu strata pada masyarakat Daya Taman, yakni lapisan banua (lapisan masyarakat biasa).
98
Soo adalah rumah panjang permanen terdlri dari sekitar 8 sampai 35 paniik. Pantik adalah petak rumah dari suatu keluarga yang ada dalam soo itu. Setiap satu buah paniik biasanya tinggal satu kièn (keluarga) yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan orang tua suamj atau Isteri, akan tetapi dapat pula terjadi dalam satu paniik, atau tepatnya satu tindo'an (= bilik). tinggal lebih dari satu kièn untuk sementara waktu. Paniik itu terdiri dari riua bagian besar, yakni tindo'an (=bilik; tempat atau ruangan tidur) dan ta'soo (= serambi soo; tempat berrnusyawarah dan menyelenggarakan pesta upacara adat). Soo dipimpin oleh seorang toa soo. Sistim mata pencaharian yang terutama dan yang mereka kenal dari dulu hingga sekarang ini. adalah dengan berladang pola berpindah dengan maksud agar tanah yang ditlnggalkan itu (bukan ditelantarkan sebagaimana anggapan sementara orang yang tidak mengerti dan memahami sistem itu), secara alami subur kembali dan pada saatnya nanti (sekitar 7-8 tahun) akan mereka ladangi kembali. Dalam hal menguasai, memiliki dan menggunakan tanah mereka terikat pada kesepakatan-kesepakatan yang mereka sepakati bersama. Melalui kesepakatan adat, mereka mengatur mana yang mereka jadikan daerah pemukiman, daerah perladangan, daerah pekuburan. daerah perkebunan, hutan cadangan, hutan ramuan dan buruan. Mereka juga berkebun dan berternak secara sederhana, hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya saja. Orang Daya Taman sebagian besar beragama Katholik dan sisanya beragama Protestan serta menganut agama nenek moyang. Masyarakat Daya Taman mengenai stratifikasi sosial dengan sebutan dan urutan sebagai berikut: 1. samagat sebagai lapisan sosial tingkat atas. 2. pabiring sebagai lapisan sosial tingkat menengah 99
3. banua sebagai lapisan sosial tingkat 'biasa', yaitu masyarakat kebanyakan. Stratifikasi sosial pada dewasa ini tidak lagi begitu diperhatikan. kecuali dalam hal perjodohan atau perkawinan keturunan masih cukup dipersoalkan. Kalau terjadi perkawinan antara anggota strata yang berbeda tingkatannya, maka biasanya pembicaraan tentang pakaain dan pananggd' kadang-kadang bisa membuat batalnya rencana perkawinan. Disamping ketiga lapisan di atas, pernah muncul lapisan baru yang keempat yakni budak belian (pangkam), akan tetapi lapisan ini segera lenyap sejak Gubernur Jenderal C h . F. Pahd tahun 1860 melarangjual beli budak di seluruh pemerintahan Hindia Belanda. Kemudian ada orang-orang yang dipersamakan dengan kelompok budak belian (pangkam), yakni mereka yang termasuk pencuri barang kuburan (poobo), seseorang yang karena kelalaiannya membuat soo terbakar (panutung soo), dan anak yang lahir diluar perkawinan (anak kampang). Masalah keturunan ini bagi masyarakat Daya Taman sangat penting dan sangat berperan. terutama bilamana seseorang akan mencari jodohnya atau calon isteri dan suami. Termasuk pula menjadi pertimbangan dalam menentukan jodoh apakah seseorang itu berasal dari keturunan orang yang baik-baik atau dari keturunan orang jahat. Orang Daya Taman menarik garis keturunan tidak hanya melalui ayah atau ibunya saja, akan tetapi mereka menarik garis keturunan dari keduanya dalam kedudukan yang sama. Dari itu hubungan kekeluargaan antara seseorang dengan pihak keluarga ayah dan dengan pihak keluarga ibu adalah seimbang dalam arti tidak ada yang lebih 1
1
Fanangga' adalah upaya (hukum) guna menaikkan status seseorang menjadi strata yang lebih tlnggl dengan cara membayar dengan barang dan dalam jumlah yang telah ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama sesuai ketentuan (hukum) adat.
100
dekat atau lebih penting. Kedua pihak tersebut sama dekat, sama jauh dan sama pentingnya dalam hubungan kekeluargaannya dengan seseorang anak, cucu atau cicit dan keturunan selanjutnya. Dengan begitu masyarakat Daya Taman merupakan masyarakat bilateral atau parental. Mengenai lahirnya masyarakat persekutuan h u k u m adat Daya Taman ini digambarkan sebagai berikut:
Yang dimaksud keluarga dalam arti luas pada masyarakat Daya Taman adalah suatu kelompok yang terikat, tidak hanya oleh pertalian darah (keturunan) dan perkawinan, tetapi Juga karena pengangkatan anak dan pengakuan sebagai saudara terhadap orang lain bahkan dapat terjadi terhadap orang dari suku lain karena persahabatan yang sangat akrab. Kelompok orang yang dianggap m a s i h keluarga atau paanak paari berdasarkan ikatan keturunan (hubungan darah) adalah dari perhubungan keturunan satu tingkat sampai dengan perhubungan keturunan enam tingkat. 101
Perhubungan keturunan satu tingkat adalah perhubungan antara tamatoa (orang tua) dan anak, sedangkan perhubungan keturunan enam tingkat adalah perhubungan antara ponongasu talungkali dan ponongasu ampatkali. Perhubungan antara ponongasu ampatkali dan ponongasu limangkali dan seterusnya, tidak lagi tergolong keluarga, melainkan sudah termasuk hubungan kawan biasa. Dengan kata lain, pada orang Daya Taman keturunan tingkat ketujuh atau pada derajat ke tujuh sudah tingkatan kawan biasa bukan paanak paari lagi. Paanak paari itu sama artinya dengan kawan saparanak, lawan dari pada tuu booan (orang lain). J a u h atau dekatnya hubungan kekeluargaan merupakan faktor yang sangat penting dalam hal perkawinan dan pewarisan. Oleh karena itu sebelum sampai kepada pelaksanaan perkawinan, selalu ditelusuri sllsUah dari kedua orang yang akan kawin itu. Mereka yang telah menganut agama juga melaksanakan penelusuran akan asal usul seseorang, walaupun upacara adat perkawinan baru dilaksanakan setelah perkawinan menurut hukum agama telah dilaksanakan. Dalam ajaran adat tió (adat hidup) orang Daya Taman tersirat azas monogami: kawin lebih dari satu orang dilarang dan, kalau terjadi juga, baik isteri kedua maupun suaml dikenakan sanksi adat. Kawin lebih dari satu orang bukan merupakan kebanggaan dan bukan pula bersumber pada ajaran atau pandangan hidup orang Daya Taman j u s t r u menjadi b u a h pembicaraan dan celaan orang banyak. Perceralan hanya boleh kalau ada alasan yang tertentu dengan kesepakatan kedua pihak. Akan tetapi orang yang cerai. terutama yang beberapa kali kawin cerai, berakibat keturunannya nanti tetap akan daile'tuu seperti keturunan dari pencuri, penjudi. penipu, pembakar rumah panjang, berpenyakitan dan pemabuk. Sebab perkawinan yang didambakan adalah perkawinan u n t u k seumur hidup, 102
banyak anak, banyak rezeki, dan yang membawa harum nama keluarga. Keadaan kesehatan seseorang dan yang menurunkannya juga tidak luput dari penyelidikan dan perhitungan sebab ikut menentukan dapat tidaknya perkawinan dilangsungkan. Dari perkawinan itu diharapkan lahir keturunan yang sehat jasmani dan rohani serta kuat fisiknya agar dapat hidup menghadapi tantangan alamnya. Untuk mewujudkan suatu rumah tangga yang bahagia dan kekal serta sejahtera, diperlukan syarat perkawinan antara lain sebagai berikut: 1. hubungan darah tidak terlalu dekat, artinya saurun (saudara kandung) dan bukan parampandak (sepupu sekali); 2. ikatan kekeluargaan dalam hubungan yang setingkat, maksudnya antara sesama ponongasu (sepupu) yang setingkat, b u k a n antara kamanan dan ampek a t a u kamo'; 3. sudah 'dewasa', dalam arti: sudah pandee bauma (tahu berladang), dan pandee maniangbuat (tahu membuat bahan atau alat keperluan rumah tangga); 4. mendapat izin dari, atau atas kehendak, orang tua kedua calon mempelai; 5. tidak ada keberatan dari sanak saudara kedua pihak; 6. kedua calon mempelai setuju untuk kawin atau tidak keberatan dijodohkan orang tuanya; 7. sepakat terhadap adat pakaain dan paraabut serta dengan paruu tambe atau tidak pihak laki-lakinya; 8. sepakat tentang tempat tinggal menetap setelah kawin; 9. tidak dalam hubungan semenda; 10. tidak sama tempat menyusunya. Terdapat juga larangan perkawinan, yakni: 1. dilarang kawin antara mereka yang berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah dan keatas; 103
2. dilarang kawin antara mereka yang berhubungan darah terlalu dekat dalam garis keturunan bercabang, yakni sesama saurun dan parampandak dan antara sesama ponongasusali; 3. dilarang kawin antara mereka yang hubungan darahnya tidak setingkat, yakni antara kamanan dan ampe atau kamo'; 4. dilarang kawin bagi yang berhubungan semenda, yakni antara anak tiri dan a y a h / i b u tiri, antara menantu dan mertua, antara ayah/ibu angkat dan anak angkat; 5. dilarang kawin antara anak angkat dengan saudara kandungnya. Larangan kawin diatas pada hakekatnya tidak boleh dilanggar sebab pelanggaran terhadap larangan tersebut menurut pandangan mereka termasuk perbuatan sumbang (bua'rabon). Maksudnya bua'rabon adalah: perbuatan itu mendatangkan akibat malapeteka, kerusakan dan kehancuran bagi kehidupan dan penghidupan mereka yang melanggarnya, termasuk semua sanak saudara, dan bahkan masyarakat dapat ikut merasakan akibatnya. Misalnya banjir yang terus menerus, atau hujan terus menerus sehingga merusak tanaman padi dan sayur-sayuran, membuat mati berbagai hewan peliharaan, tidak dapat menoreh karet untuk waktu yang cukup lama, anak yang lahir dalam keadaan cacat, sering sakit-sakitan, usaha tidak berhasil dan sebagainya. Terjadinya hal-hal seperti itu sering dikaitkan dengan adanya perkawinan sumbang. Demi kepentingan masyarakat agar terlindung dan terhindar dari akibat buruk dari perbuatan mereka yang sumbang itu, para fungsionaris adat setempat menghukum mereka membayar sanksi adat, artinya: mereka diharuskan mengadakan suatu upacara persembahan untuk memperbaiki adat dan mengembalikan keseimbangan yang terganggu dalam masyarakat. Larangan perkawinan bagi mereka yang masih hubungan darah pada tlngkatan parampandak dan pada tingkatan 104
ponongasusali (sepupu dua kali) hanya dikarenakan hubungan darah masih terlalu dekat yang dipandang kurang baik bagi kesehatan anak-anak yang lahir mempunyai fisik yang tidak kuat sehingga akan sering dan mudah kena penyakit. Oleh karenanya sangat jarang terjadi perkawinan antara parampandak, begitupun yang sudah ponongasusali juga termasuk jarang terjadi perkawinan diantara mereka. Bagi mereka yang hubungan darahnya tidak setingkat, baru dibolehkan kawin bilamana dilakukan penyerahan adat pambaalikang dan itupun terbatas pada tingkatan derajat kedua kawin dengan tingkatan derajat ketiga. Demikian seterusnya sampai dengan perkawinan antara derajat keenam dengan derajat ketujuh. Kewajiban menyerahkan adat pambaalikang itu ada pada pihak tingkatan derajat kedua bukan sebaliknya dan begitu pula seterusnya pihak tingkatan derajat keenam harus menyerahkan adat pambaalikang pada pihak tingkatan derajat ketujuh berdasarkan keputusan fungsionaris adat setempat. Adat pambaalikang adalah sanksi adat yang berfungsi untuk menormalkan atau mensejajarkan hubungan kekeluargaan yang semula tidak setingkat menjadi sama, sehinggga hubungan suami isteri tidak lagi tergolong bua'rabon. BENTUK PERKAWINAN
Sebelum proses perkawinan itu sendiri dibicarakan perlu terlebih dahulu mengetahui bagaimana sistim dan bentuknya. Sebab terutama mengenai bentuk perkawinan itu selalu merupakan pembicaraan yang utama dalam upacara adat pertunangan [palooa'). Ketidak sepakatan dalam hal bentuk perkawinan berakibat rencana perkawinan tidak dapat dilaksanakan atau batal. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa hubungan antara sanak saudara dari pihak ibu dan dari 105
pihak ayah dengan anak-anaknya sama eratnya dan tidak ada yang lebih utama, kesemuanya dalam keadaan hubungan yang berimbang. Suami (laü) diterima sebagai menantu [inantu), juga sekaligus pula diterima sebagai anggota keluarga oleh pihak orang tua isterinya, dan dianggap sebagai anak sendiri. Begitupun suami menganggap orang tua isterinya sebagai orang tuanya sendiri. Demiklanpun isteri (binge) diterima sebagai menantu. juga sekaligus pula diterima sebagai anggota keluarga t>leh pihak orang tua suaminya dan dianggap sebagai anak sendiri. Begitupun isteri menganggap orang tua suaminya sebagai orang tuanya sendiri. Walaupun nantinya tempat tinggal mereka berdua akan menetap pada salah satu pihak orang tuanya. atau bahkan mungkin sama sekali tidak menetap pada salah satu pihak orang tuanya. karena alasan pekerjaannya yang berada di luar daerahnya maslng-maslng. Kalau seorang anak laki-laki sudah 'dewasa' atau sudah ada keinginan untuk mencari Jodohnya. biasanya orang tuanya terlebih d a h u l u mencarikan dan menentukan pasangan anaknya. Calon Isteri biasanya dlcari dari anggota paanak paari atau kawan saparanak yang masih hubungan suang bataang, maksudnya masih terdapat hubungan darah dalam garis keturunan yang tlngkatannya sama. Tetapi hal Itu bukan sesuatu keharusan, sebab boleh kawin dengan seseorang yang bukan anggota paanak paari bahkan boleh kawin dengan orang lain yang bukan orang Daya Taman. Mengenai perkawinan dengan paanak paari ini yang dibolehkan atau yang biasanya terjadi. adalah antara hubungan ponongasu duangkali dan seterusnya sampai ponongasu ampatkali Dengan demikian orang Daya Taman bebas menentukan pilihannya dalam mencari dan menentukan jodoh anakanaknya; apakah masih ada hubungan darah atau tidak bukan persoalan. Yang pentlng: antara kedua pihak sepakat u n t u k mengawinkan anak-anaknya dan sepakat mereka yang akan kawin. Dahulu memang tidak perlu ada 106
kesepakatan dari mereka yang akan dikawinkan orang tuanya; yang pentlng kedua belah pihak orang tua dan kerabatnya sepakat. Akan tetapi sekarang ini keadaan demikian mulai berubah: justru yang harus sepakat dulu adalah anak-anaknya yang mau kawin itu. Anjuran sebaiknya memilih jodoh dari mereka yang masih ada hubungan darah agar harta warisan tetap diwarlsi oleh keturunan yang sama disamping itu katanya: "Sakuranga ijarat, salabiah ipaku" (kurang diikat, lebih dipaku), maksudnya agar yang hubungan darahnya mulai jauh akan dekat kembali. A k a n tetapi perjodohan itu tidak boleh dilakukan bilamana hubungan darah atau hubungan kekeluargaannya termasuk larangan perkawinan sebagaimana telah diungkapkan diatas. Dari uraian itu berarti perkawinan pada masyarakat Daya Taman menganut sistim eleutherogami sebab tidak mengenai larangan-larangan atau keharusan-keharusan seperti halnya dalam sistim endogami ataupun exogami. Kenyataan dulu dan apalagi sekarang sudah cukup banyak orang Daya Taman yang kawin dengan seseorang yang sama sekali bukan orang Daya Taman. Perkawinan antara paanak paari tersebut menurut pandangan orang Daya Taman merupakan perkawinan yang bersifat ideal saja, bukan suatu keharusan. Bentuk perkawinan pada masyarakat Daya Taman adalah perkawinan pakaain. Perkawinan pakaain adalah suatu perkawinan dimana pihak penganten pria menyerahkan sesuatu yang disebut pakaain kepada pihak penganten wanita pada malam pertama pesta adat perkawinan mereka. Pakaain adalah sesuatu yang diserahkan oleh pihak lakilaki kepada pihak wanita yang sifatnya mengikat hubungan suami isteri dan kedua pihak keluarga masing-masing. Pakaain yang ideal adalah barang yang bernilai tinggi (anaanas), antara lain yang utama adalah gong atau taawak dengan ukuran tertentu pula. Pemberian pakaain itu melahirkan hak dan kewajiban bagi suami dan isteri, juga 107
bagi pihak-pihak keluarganya maslng-maslng dan berfungsl sebagai taro', maksudnya: merupakan jaminan atau taruhan bagi kelangsungan hidupnya suatu perkawinan agar berlangsung seumur hidup. Dengan kata lain, pakaain itu bertujuan untuk menjaga keutuhan rumah tangga dan menghindarl terjadlnya perceralan antara kedua suami isteri, serta agar terwujud suatu keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal sebagaimana dikehendaki pula oleh ajaran agama dan Undang-undang no.1 tahun 1974 yang mempersulit terjadinya perceraian bahkan dalam ajaran Kristen melarang terjadinya perceraian. Pakaain pada masyarakat Daya Taman merupakan dasar untuk menuntut pembayaran sanksi adat bllamana salah satu pihak misalnya melakukan zinah (sala'basa) dan memberlkan pula hak untuk menuntut pembayaran sanksi adat terhadap kawan zinahnya. "Pemberlan-pemberlan jinamee di Aceh, pekain dikalangan suku Daya di Kapuas Udik, sunrang dan sompa di Sulawesi Selatan, hoko di Minahasa, kesemuanya itu rupa-rupanya adalah menjadi pemberian perkawinan (huwelijksgift) belaka". (Ter Haar 1960:168) Dan adapula yang menyebutnya sebagai bruidsprijs. Kalau diikuti uraian tentang pakaain sebagaimana yang dinyatakan oleh ter Haar tersebut adalah keliru kalau yang dimaksud Kapuas Udik disitu adalah masyarakat Daya Taman oleh karena pakaain itu pada masyarakat Daya Taman bukan merupakan pemberian perkawinan belaka. Pemberian pakaain itu merupakan syarat mutlak bagi suatu perkawinan; tanpa pakaain konsekwensinya adalah perkawinan yang dilakukan baru memenuhi separoh adat. Pakaain yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan mempunyai daya pengikat baik antara kedua suami Isteri maupun kedua pihak orang tua dan sanak saudara mereka masing-masing, dan tidak memiliki daya pelepas seperti jujur dalam perkawinan pada masyarakat Batak yang berfungsi untuk meiepaskan si wanita dari golongan sanak marganya, dan menempatkannya kedalam 108
golongan sanak dari pihak laki-laki. (Djaren Saragih dkk. 1980:35) Setiap orang tua {tamatoa) pada masyarakat Daya Taman menginginkan agar semua anaknya dapat b e r k u m p u l dalam tindo'annya setelah kawin. Setidaknya mereka menginginkan agar anak-anak bertempat tinggal disekitarnya atau di pemukiman yang sama dengan salah satu pihak orang tua kandungnya bilamana terjadi perkawinan antara anggota pemukiman yang berbeda. Untuk itulah perlu ada kesepakatan tentang tempat menetap setelah perkawinan. Kesepakatan tercapai kalau salah satu pihak orang tua lainnya yang menginginkan anaknya tetap tinggal bersama mereka. Yang disepakati adalah bentuk perkawinan pakaain yang mana yang akan dilaksanakan nantinya. Dalam hal Inl dikenal empat macam bentuk dari perkawinan pakaain, yakni: 1 suule' maloola': perkawinan mengikuti isteri {uxorilocal); 2 suule' maraabut: perkawinan mengikuti suami (virilocal); 3 suule' nialaalangi perkawinan mengikuti isteri lalu mengikuti suami {uxorilocal-virilocal); 4 suule' bebas: perkawinan tidak mengikuti isteri dan suami [ambilocal). {uxorilocal) Suule' maloola'{maloola' = mengikuti) adalah bentuk perkawinan pakaain dimana suami mengikuti kediaman isteri untuk selamanya. Dalam perkawinan maloola' ada yang ditetapkan untuk miiring matoa {miiring = memellhara; matoa = mertua) atau biasa disebut miiring toa . S U U L E ' MALOOLA'
7
2
1
2
U n t u k lebih tegasnya suule'maloola juga disebut maloola'binge (mengikuti isteri) Kata lain adalah matio matoa [matio = menghidupi) atau maloola matoa, biasanya disingkat dengan sebutan matio'toa, maloola'ioa
109
Miiring matoa berarti: memelihara, mengurus, menghidupi mertua suami (orang tua isteri) sampai dengan kematiannya, juga terhadap saudara kandung isteri yang belum kawin, dan kakek neneknya kalau dari semula tinggal bersama orang tua isteri. Disamping itu mereka wajib memelihara rumah dan harta peninggalan orang tuanya yang tidak terbagi pada saudaranya yang lain, membayar dan menagih segala hutang piutang serta rneneruskan cita-cita orang tuanya yang tidak tercapai pada saat orang tuanya masih hidup. Walaupun dalam kenyataannya ada kawin maloola' binge (binge = isteri) yang tidak miiring toa, namun cukup banyak pula mereka yang keberatan kalau maloola' binge tanpa ditetapkan sebagai piiring toa. Keberatannya adalah karena ada perasaan malu dari pihak laki-laki seolah-olah tak ada gunanya bagi orang tua pihak isteri hanya sekedar menambah j u m l a h anggota keluarga pihak isterinya saja. Bagi mereka i n i seolah-olah tak ada gunanya maloola' binge kalau tidak miiring toa. Namun ada pula yang mau maloola' binge saja tapl tidak mau miiring toa, biasanya atas pertimbangan bahwa orang tua si isteri diketahui kurang ramah atau kurang cocok dengan banyak orang. Untuk mereka yang tidak ditetapkan sebagai piiring toa l- orang yang miiring toa) biasanya setelah beberapa tahun tinggal bersama orang tua isteri, berusaha membuat rumah sendiri atau kadangkala orang tuanya membagi bilik yang mereka tempati bersama itu, menjadi dua bagian dengan cara dinding pemisah. Dengan begitu keluarga baru tersebut semakin tampak kemandiriannya. Dalam perkawinan maloola' i n i pihak laki-laki hanya menyerahkan pakaain saja pada pihak perempuan. SUULE' MARAABUT
(virÜOCal)
Perkawinan maraabut (juga disebut suule' maloola'lai, yaitu perkawinan mengikuti suami) adalah perkawinan dimana isteri mengikuti suami ketempat kediamannya untuk selamanya. 110
Paraabut adalah sesuatu yang dlserahkan oleh pihak lakilaki kepada pihak perempuan sebagai pengganü duduk anak perempuan yang dicabut (iraabut) dari keiuarganya semula. dibawa ke lingkungan keluarga pihak laki-laki dengan maksud agar keseimbangan dalam keluarga dan masyarakat normal kembali, yang terganggu akibat anak gadisnya dicabut dari keiuarganya. Jadi pakaain dan paraabut itu mempunyai aspek yuridis. ekonomis dan sosial. Disamping itu mempunyai aspek religi. Bilamana kedua suami isteri ditetapkan sebagai miiring toa maka kedua suami isteri untuk selamanya tinggal dan hidup bersama orang tua dari suami. Kedua suami isteri inilah yang bertugas dan wajib memelihara/mengurus orang tua sampai pada urusan kematiannya dan meneruskan segala urusan dan cita-cita dari orang tuanya. Sedangkan apabila tidak ditetapkan sebagai piiring toa maka juga biasanya kedua suami isteri memisahkan diri dari pihak orang tua suami untuk kemudian menjadi keluarga baru yang mandiri. Akan tetapi tetap berada di lingkungan tempat tinggal orang tua dari suami, atau bilik dari orang tuanya itu diberi dinding pemisah sehingga tampak bahwa mereka merupakan suatu keluarga batih yang mandiri yang memiliki perlengkapan hidup sendiri pula. Dalam hal suule' maraabut ini, selain harus menyerahkan adat pakaain, harus juga menyerahkan adat paraabut kepada pihak orang tua isteri. Yang dipakai untuk adat paraabut sama jenisnya dengan adat pakaain yang sudah ditentukan jenis dan ukurannya. Adat paraabut ini tidak memutus hubungan isteri dengan pihak orang tuanya serta keiuarganya. (uxorilocal-virilocal) Suule' malaalangi adalah perkawinan dimana kedua suami isteri untuk sementara waktu tinggal dan hidup bersama dengan orang tua pihak isteri untuk beberapa tahun tergantung kesepakatan kedua pihak. Setelah waktu yang disepakati habis, maka si isteri dibawa pindah keS U U L E ' MALAALANGI
111
tempat orang tua dari suami bilamana ditetapkan sebagai piiring toa. Yang merupakan alasan untuk kawin malaalangi biasanya adalah: 1. pihak orang tua laki-laki sangat berkeinginan membawa calon isteri anaknya ke lingkungan mereka. karena anaknya itu anak tunggal akan tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk menyerahkan adat paraabut maka sebagai gantinya anaknya melakukan perkawinan malaalangi dianggap sebagai ganti adat paraabut; 2. atas permintaan pihak orang tua isteri, karena anaknya yang lain masih kecil-kecil belum dapat membantu mereka bekerja atau semuanya masih sekolah, sehingga tidak ada anak yang tinggal bersama mereka kecuali si gadis yang akan kawin tersebut. Oleh karena itu diminta kesediaan kedua calon suami isteri terutama kepada calon suami dan orang tuanya untuk tinggal dan hidup bersama mereka selama beberapa tahun sesuai kesepakatan mereka kedua pihak. Dalam hal ini bukan pihak suami tidak mau atau tidak mampu mengeluarkan adat paraabut, melainkan karena situasinya demikian berakibat hapusnya kewajiban menyerahkan adat paraabut, 3. karena alasan baru meninggalnya ayah atau ibu dari calon isteri sehingga suami isteri sepakat bahwa mereka tinggal hidup bersama orang tua isteri yang masih hidup biasanya selama tiga tahun. Selama itu pula menantu (suami anaknya) membantu keluarga dari pihak isteri. Dengan begitu penyerahan adat paraabut juga tidak diperlukan lagi. Dalam perkawinan malaalangi ini pihak laki-laki tetap harus menyerahkan pakaain pada pihak wanita. Baik perkawinan maraabut maupun perkawinan malaalangi bukan merupakan upaya yang bersifat membeli wanita (lihat Prins 1982:91-92), akan tetapi semata-mata untuk ke112
pentlngan sebagaimana telah diungkapkan di atas. Dari itu penggunaan istilah pembayaran adalah tidak tepat karena istilah itu bermakna isteri dibeli atau diperjual-beiikan sebagaimaria layaknya barang. [ambilocal) Bebas disini maksudnya: bebas dari keharusan tinggal dl lingkungan kediaman isteri dan suami. Dalam bentuk perkawinan yang demikian i n i , suami-isteri sendiri yang menentukan tempat tinggal menetap mereka. Orangtua dan sanak saudara kedua pihak biasanya memberikan persetujuan saja sebab tidak ada kemungkinan pilihan lain. Biasanya suami isteri memilih menetap ditempat dimana suami atau isteri bekerja. Pihak laki-laki tidak perlu menyerahkan adat paraabut walaupun isteri dalam kenyataannya keluar dari lingkungan keluarga orang tuanya. Sebab suami membawa isterinya b u k a n ke lingkungan orang tuanya akan tetapi ke lingkungan tempatnya bekerja. Suule' bebas ini banyak dilakuk a n oleh orang Daya Taman yang telah bekerja di luar desa asal isteri dan mereka yang bekerja sebagai pegawai negeri. SUULE' BEBAS
TAHAPAN DALAM PROSES PERKAWINAN
Dalam proses perkawinan dikenal tlga tahapan yang seharusnya diikuti, yaitu tahap manaanya', tahap palooa' dan tahap suule'. MANAANYA'
Manaanya' berarti: menanya, dalam hal i n i : kepada orang tua calon penganten wanita, dengan maksud untuk mendapatkan informasi tentang apakah anak gadisnya belum dipinang orang lain? Kalau belum, baru mengem u k a k a n keinginan untuk melamar atau menjodohkan anaknya dengan anak gadis dari pihak yang didatangi itu. 113
Biasanya pihak orang tua gadis setelah mendengar lamaran itu. selalu menanyakannya langsung pada gadis yang bersangkutan apakah ia mau menerima lamaran tersebut. Biasanya anak gadis kalau ditanya hal yang demikian itu bersikap diam, kalaupun membuka mulutnya ia akan berkata 'terserah ayah dan ibu'. Jawaban demikian biasanya diartikan, bahwa anak gadisnya itu setuju dan menerima lamaran yang ditujukan kepadanya. Akan tetapi kalau anak gadis atau orang tuanya tidak mau, biasanya akan dikemukakan berbagai alasannya menolak lamaran itu secara halus. Atau dapat pula jawaban pikir-pikir dulu dalam waktu yang tidak begitu lama yang akan disampaikan pada saat yang mereka sebut meekesi. Meekesi adalah kedatangan kembali orang tua atau utusan yang semula telah ditugaskan menanya pertama kali pada pihak orang tua anak gadis tersebut. Seandainya lamaran diterima biasanya didahului dengan kata-kata merendah bahwa anak gadisnya itu parasnya jelek, belum tahu sopan santun, perilaku manja; tapi syukurlah masih ada yang mau melamar anak kami yang seperti itu. Kemudian pihak yang melamar juga membalas dengan kata-kata yang sama merendah dirinya. Pada waktu itu pula kedua belah pihak memusyawarahkan rencana bersama tentang waktu pelaksanaan tahap palooa'. Pada tahap meekesi ini belum dikenakan sanksi adat bilamana salah satu pihak ingkar janji membatalkan {bata'an) rencana palooa' itu bilamana belum melibatkan fungsionaris adat sehingga belum berakibat dalam hubungan kemasyarakatan. Kalau waktu meekesi itu dihadirkan tetua adat atau toa soo maka kalau dibatalkan palooa' itu, maka pihak yang membatalkan harus membayar sanksi adat yang telah ditentukan sebelumnya kepada pihak yang dibatalkan. Manaanya' biasanya dilakukan oleh seorang atau beberapa orang sebagai utusan {paasuro'], akan tetapi dapat pula dilakukan langsung oleh orang tua dari anak yang akan dijodohkan itu, bilamana hubungan mereka lebih 114
akrab. Yang dijadikanin paasu.ro' biasanya dari anggota keluarga terdekat yang dituakan dan dipandang mampu membawa pesan dari orang tua yang anaknya akan dijodohkan. Dapat pula meminta kesediaan tetua adat yang ditunjuk khusus oleh orang tua anak yang akan dijodohkan itu untuk menyampaikan pesan (paadampeang kaada), yakni ingin melamar anak gadis dari keluarga yang didatangi itu. Pada saat melamar itu, biasanya memakai peribahasa atau kata-kata yang indah dan berkias, tidak langsung mengutarakan maksud melamar. Yang bertindak sebagai pihak yang manaanya' selalu dari pihak l a k i - l a k i , b u k a n dari pihak perempuan. Pihak perempuan dalam hal ini pasif dalam arti menunggu saja kalau ada yang datang akan melamar anak perempuannya. Merupakan perbuatan yang memalukan bilamana pihak perempuan yang aktif mencari jodoh. Pada u m u m n y a antara pria dan wanita yang akan dijodohkan itu sudah saling mengenai lebih dahulu dan bahkan ada yang telah memelihara perkenalannya beberapa t a h u n sebelum lamaran oleh orang tua dilakukan. Sebelum tahun 1955 perkenalannya antara muda-mudi dilakukan melalui yang disebut baadak atau sikaadak, yaitu: mereka ketemu waktu malam hari, pada saat orang sudah tidur, dengan cara laki-laki bujangan mengunjungi seorang gadis yang juga bebas dari ikatan pertunangan. Kalau si gadis itu berkenan menerima kedatangan pria itu maka dibolehkan ikut baring bersamanya dalam kelambunya dan mereka berbisik-bisik membicarakan maksud pertemuan mereka. Pada tahun 1955, berdasarkan hasil kesepakatan adat di semua masyarakat Daya Taman di Kecamatan Putussibau, perbuatan baadak dinyatakan sebagai perbuatan terlarang, sebab beberapa tahun sebelum itu terdapat beberapa gadis yang hamil, akibat sikaadak itu disalah gunakan, yaitu tidak lagi digunakan sebagai cara sekedar saling kenal mengenai diantara kedua remaja. Larangan ini juga 116
115
banyak dipengaruhi oleh adanya kecaman atau pandangan dari para mlsionaiis Katholik yang tidak membenarkan perkenalan cara demikian itu. Sekarang perkenalan antara muda mudi hanya terjadi pada waktu kerja gotong royong {situulis atau slkurukkankaraja), dan waktu ada pesta adat. Akan tetapi harus dihadapan orang banyak dan ditempat yang terang dengan perilaku yang sopan. Sekarang ini hampir tidak diketemukan lagi perkawinan tanpa perkenalan atau saling kenal lebih dahulu. Namun beberapa generasi sebelumnya bisa terjadi lamaran tanpa didahului perkenalan, sebab baru kenal satu sama lain setelah dlpertunangkan oleh kedua pihak orang tuanya. PALOOA'
Bilamana lamaran dari pihak laki-laki diterima oleh pihak perempuan maka selanjutnya diperlukan tahap yang disebut palooa'. Yang dimaksud dengan palooa' atau manaaju' adalah suatu peristiwa atau perbuatan mengikat h u b u n g a n antara seorang l a k i - l a k i dengan seorang perempuan dan kelompok kerabat mereka berdua dalam ikatan pertunangan sebagai persiapan untuk melangsungkan suatu perkawinan. Hari untuk palooa' ditetapkan oleh pihak laki-laki dengan persetujuan pihak perempuan, karena pihak perempuan merupakan pihak yang menerima kedatangan rombongan dari pihak laki-laki. Pada hari yang telah ditentukan rombongan pihak laki-laki, terdiri dari beberapa tetua adat yang mengetahui dan memahami adat perkawinan, orang tua pihak laki-laki dan beberapa keluarga terdekatnya, datang pada pihak perempuan yang menerima lengkap dengan tetua adatnya pula untuk membicarakan pelaksanaan perkawinan. Biasanya pembicaraan resmi antara kedua pihak dilakukan pada malam hari dan kalau pembicaraan dihadapkan pada banyak masalah maka biasanya berlanjut sampai keesokan harinya atau pagi hari116
nya. Dari itu rombongan pihak laki-laki biasanya bermalara satu malam ditempat pihak perempuan. Dalam tahap palooa' inilah segala sesuatunya yang berkenaan dengan adat perkawinan dibicarakan dan ditentukan secara kesepakatan yang mengikat kedua belah pihak. Hal-hal penting yang dibicarakan untuk disepakati bersama adalah: 1 bagaimana bentuk perkawinan yang dihendaki?; 2 jenis adat pakaain dan, bilamana suule' maraabut ditambah, dengan jenis adat paraabut yang mana, termasuk berapa ukurannya, yang disanggupi oleh pihak laki-laki untuk nantinya dibawa dan diserahkan pada pihak perempuan pada hari perkawinannya?; 3 apakah perkawinannya ditetapkan sebagai miiring toa [matio'toa] atau tidak?; 4 kalau kawin malaalangi, berapa tahun lamanya?; 5 apakah pada hari perkawinan nantinya pihak laki-laki memakai sampan berhias (paruu també) atau tidak? Paruu tambe (paruu = perahu; tambe = bendera) adalah beberapa perahu digandengkan satu sama lain sedemikian rupa lalu diberi dinding dari kain, bendera dan berbagai hiasan lainnya. Paruu tambe ini digerakkan dengan cara berdayung atau didorong dengan motor tempel. Seandainya perkawinan mereka tidak memakai paruu tambe m a k a perkawinan mereka disebut perkawinan si'siuk, yakni perkawinan hanya dihadiri orang tertentu dari warga pemukiman setempat saja. J a d i tidak mengundang warga dari pemukiman yang lainnya. 6 bilamana upacara adat perkawinan dilaksanakan? Setelah semua pembicaraan selesai, terutama hal-hal yang disebutkan diatas sudah mencapai kesepakatan, maka acara selanjutnya adalah menyerahkan panaaju'. Panaqju' adalah suatu barang berharga yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai tanda ikatan pertunangan. Barang tersebut dapat berupa sebuah manik lawang atau sebuah pelita tembaga atau sebuah 117
tempat menyimpan bahan sirih (tepa ) dan sebagainya. Adat panaaju' ini bukan suatu keharusan dan tergantung pada tingkat kemampuan dari pihak laki-laki. Jadi tidak berarti tanpa panaaju' tidak ada ikatan pertunangan. Panaaju' tidak menentukan ada tidaknya pertunangan, sebab pertunangan itu lahir setelah atau sejak dicapai kesepakatan. Memang telah disepakati oleh fungsionaris adat Taman, bahwa pemberian panaaju' itu sepenuhnya tergantung dari pihak laki-laki. Menurut mereka pihak laki-laki seharusnya menyerahkan panaaju' pada pihak wanita, sebab panaaju' itu dianggap mereka sebagai perwujudan kesungguhan hati pihak laki-laki terhadap pihak perempuan dan sebagai tanda bahwa keduanya telah terikat sebagai calon suami dan isteri. Masa tenggang waktu antara hari palooa' dengan hari upacara adat perkawinan disebut sitaaju' (pertunangan). Pertunangan Itu mengikat kedua pihak untuk menyelenggarakan upacara perkawinan pada waktu yang disetujui bersama itu. Bilamana salah satu pihak membatalkan pertunangan atau ingkar janji yang menyebabkan putusnya pertunangan, maka kepadanya dikenakan sanksi adat membayar setengah adat pakaain, kasuupan orang tua perempuan sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat, kasuupan toa soo dan kalau waktu palooa' menyerahkan panaaju' maka panaaju' lalo artinya barang tersebut tidak dapat diminta kembali atau panaaju' dlkemballkan. Kasuupan atau kawa'an adalah sanksi adat untuk menutup kaawa' (perasaan malu atau rasa terhina) seseorang atau salah satu pihak yang disebabkan oleh perbuatan orang atau pihak lain. Maksudnya adalah untuk memulihkan kembali nama baik atau kehormatan yang bersangkutan. Mengenai pembayaran kasuupan seseorang dari berbagai pemukiman Daya Taman ini bervariasi ada yang tidak membedakan beberapa besar pembayaran itu. Berdasarkan penjelasan dari informan bahwa dalam hukum adat per1
118
kawinan masyarakat Daya Taman telah ditetapkan bentuk pakaain dan paraabut yang boleh digunakan. Tidak semua jenis barang dapat digunakan untuk keperluan tersebut, kecuali yang telah disepakati bersama oleh para fungsionaris adat. Untuk mengikat perkawinan berdasarkan h u k u m adat Daya Taman diperlukan adanya penyerahan pakaain secara resmi dihadapan fungsionaris adat. Dan kalau perkawinan maraabut harus ditambah lagi dengan penyerahan paraabut dan pasaalin. Sesuatu barang yang dapat dipergunakan sebagai pakaain dan paraabut yang selama ini mereka laksanakan dan yang telah merupakan kesepakatan bersama dari para fungsionaris adat Daya Taman, yaitu: 1. taawak (gong dengan ukuran lingkarannya lebih kecil dari biasa) 2. garantung (gong) 3. uang pirak (uang perak) 4. bading atau lelaa (bedil atau meriam) 5. manik lawang (kalung bermanik) 6. kampo burunai (selendang dengan tenunan keemasan) 7. tajung batabur burunai (kain sarung dengan tenunan keemas-emasan) 8. kiing manik atau bulang manik (sepasang pakaian wanita dari manik) 9. amas (emas) 1 0 duit karatas (uang kertas). Salah satu dari barang-barang tersebut diatas dapat dipilih untuk digunakan sebagai pakaain dan paraabut untuk kemudian dimusyawarahkan guna mencapai kesepakatan. Barang tersebut yang telah dipilih dan telah disepakati bersama pada w a k t u palooa' diberikan kepada pihak perempuan oleh pihak laki-laki pada hari pesta adat perkawinan. Kalau terjadi perceraian maka pihak yang menceraikan harus menyerahkan panimbang sesuai keputusan para fungsionaris adat yang mengurusnya dengan juga menggunakan salah satu jenis barang diatas. 119
Setiap jenis barang diatas mempunyai ukuran tertentu dan masing-masing mempunyai nilai dan harga yang disepakati. yang pada saat ini yakni Rp. 110.000. Penyesuaian harga barang tersebut harus berdasarkan kesepakatan para fungsionaris adat masyarakat Daya Taman. Kalau yang dipilih sebagai pakaain adalah taawak atau gong maka nilainya lebih tinggi bagi masyarakat Daya Taman dibandingkan kalau yang dipakai untuk pakaain adalah uang kertas sebesar Rp. 110.000, walaupun taawak atau gong itu dihargai Rp. 110.000 uang kertas. Adanya 10 macam barang yang dapat digunakan sebagai pakaain, paraabut dan panimbang itu merupakan alternatif upaya agar mereka yang tidak mempunyai jenis barang dalam urutan diatasnya dapat menggunakan jenis barang yang memang mereka miliki dari urutan dibawah. Bahkan kalau sama sekali tidak mempunyai barang yang 9 jenis urutan diatas itu, dapat dipergunakan uang kertas sebesar Rp. 110.000 sebagai alternatif upaya terakhir, agar masalah perkawinan (dan perceraian ) dapat diselesaikan berdasarkan (hukum) adat. Adanya alternatif pilihan terhadap barang-barang tersebut diatas dimaksudkan untuk menghindari ada pasangan yang hidup bersama tidak beradat. yaitu tanpa mempunyai pakaain. Begitupun perceraian 'begitu saja' tanpa ada pembayaran barang (panimbang) sanksi adat, tidak dibenarkan. Dalam bahasa Daya Taman disebut agar tuu suule' (orang kawin) dan tuu saarak (orang cerai) jangan sampai inju muna'adat (tidak beradat). Bilamana terdapat dua orang hidup bersama tanpa pakaain maka, kalau salah satu pihak mau menceraikan dan minta penyelesaian pada fungsionaris adat, maka penyelesaiannya adalah cukup menyerahkan panimbang separuh dari nilai harga pakaain, yakni Rp. 55.000. Kalau mereka kawin menggunakan pakaain, maka yang menceraikan itu diJ
1
Putusnya perkawinan juga diperlukan adanya pembayaran sanksi adat dengan menggunakan salah satu barang-barang tersebut.
120
kenakan sanksi membayar panimbang sebesar pakaain, bukan hanya separohnya saja. Dalam perkawinan maraabut, selain wajib menyerahkan pakaain dan paraabut, juga wajib menyerahkan sesuatu yang tidak dapat ditarik kembali karena sifatnya sebagai hadiah belaka, yakni yang mereka sebut pasaalin. Pasaalin adalah seperangkat pakaian adat yang terdiri dari pengikat kepala (indulu), kiing dan bulang manik (sepasang pakaian wanita dari manik), ikat pinggang dari perak (pipis pirak). Pasaalin yang diberikan itulah nantinya yang dipakai oleh pengantin perempuan ketika suami isteri dibawa rombongan pihak penganten laki-laki ketempat kediaman pihak orang tua suami yang biasanya dilakukan pada hari ketiga perkawinannya. Pesta adat perkawinan selalu diselenggarakan ditempat pihak perempuan selama dua hari dua malam; pada hari ketiga semua undangan pulang ke tempatnya masing-masing. Maksud diberikannya pasaalin adalah agar supaya isterinya itu merasa bahwa ia sudah sepenuhnya menjadi warga dari keluarga pihak suami dan sekaligus pula sebagai perwujudan dari kehendak baik pihak laki-laki untuk menjadikan isterinya sebagai anggota keluarga pihak suami sepenuhnya, akan tetapi tidak memutuskan hubungan keluarga dengan keiuarganya semula. Si isteri tetap juga merupakan anggota dari keluarga semula termasuk pula suaminya telah menjadi anggota keluarga dari pihak isteri. Hanya tempat tinggal mereka saja yang terpaksa terpisah dari pihak orang tua isteri karena kawin maraabut. D i samping itu, paraabut dimaksudkan untuk memberikan penghargaan dan penghormatan atas jerih payah orang tua pihak perempuan dalam membesarkan dan mendidik anak gadisnya tersebut, dan sebagai tanda bahwa mempelai wanita dianggap tidak hilang atau lepas dari keiuarganya semula. Dengan demikian si isteri masih tetap mempunyai ikatan dengan pihak orang tua atau keiuarganya semula termasuk semua kaum kerabatnya. 121
Adat paraabut dan pasaalin diserahkan pada waktu yang sama dengan penyerahan pakaain. Dalam perkawinan sesama atau dengan lapisan samagat tidak dikenal adat paraabut dalam perkawinan maloola'lai. Pakaain antara samagat dengan pabiring dan banua berbeda. akan tetapi tidak berarti antata anggota ketiga lapisan itu tidak dapat melakukan perkawinan. Anggota pabiring dan banua dapat saja kawin dengan anggota pihak samagat sebagaimana Juga antara banua dan pabiring akan tetapi baik pabiring maupun banua kalau kawin dengan samagat harus memakai pakaain yang berlaku bagi samagat. Disamping itu dahulu lapisan yang bawah harus membayar adat panaangga' kepada lapisan yang lebih atas tingkatan derajatnya kalau suami atau isteri yang berasal dari lapisan bawah ingin dipersamakan kedudukannya dengan isteri atau suami yang berasal dari lapisan atas. Kenyataan sekarang ini perkawinan antar strata tidak ada lagi yang mau membayar panaangga' sehingga kedua suami isteri masing-masing tetap dalam derajat semula seperti keadaan sebelum perkawinannya. Jadi tidak terjadi peralihan derajat dari pabiring atau banua menjadi samagat.
SUULE'
Tahap suule' merupakan tahap akhir dari proses perkawinan yang biasanya selalu disertai dengan pesta adat baik secara besar-besaran maupun sederhana. Tahap suule' adalah suatu peristlwa pengukuhan atau pengesahan hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri untuk mendapatkan keturunan dan sekaligus pula merupakan tali pengikat hubungan kedua belah kelompok kerabat pengantin laki-laki dan perempuan. Biasanya perkawinan dilaksana122
kan pada masa penaangan atau panaoongan. Penaangan adalah masa menunggu padi berbuah sampai menguning siap untuk panen, sedangkan panaoongan adalah masa antara setelah mengetam padi dan saat akan mulai mengerjakan ladang baru. Mengenai kapan hari penyelenggaraan upacara adat perkawinan di tetapkan bersama oleh kedua pihak. Setelah ada kesepakatan tentang hari penyelenggaraan upacara suatu perkawinan, maka pihak perempuan memberitahukan dan mengundang (manjejenang buun) warga masyarakat dari berbagai pemukiman untuk datang hadir memberikan doa selamat dan sekaligus pula menyaksikan peristiwa d i m a n a seseorang l a k i - l a k i dan seorang perempuan diresmikan sebagai suami isteri melalui upacara adat pada malam hari pertama pesta perkawinannya yang kemudian dilanjutkan dengan pakaain yang diserahkan resmi pada malam itu juga. Penanggalan dilakukan dengan buun yaitu: rotan yang disimpul sejumlah hari yang ditetapkan sebelum perkawinan. Buun tersebut disampaikan secara resmi oleh utusan khusus dari pihak perempuan ke berbagai tempat pemukiman melalui toa soo dengan disertai pembicaraanpembicaraan singkat tetapi resmi oleh para utusan agar warganya menyempatkan diri untuk datang menghadiri upacara adat perkawinan itu. Setiap bangun pagi simpulan rotan tersebut dibuka toa soo. Kalau simpulan habis terbuka maka pada hari itulah rombongan pihak penganten laki-laki datang ke tempat pihak penganten perempuan. PELAKSANAAN ACARA PERKAWINAN ADAT
Biasanya sejak mengantar penanggalan dari rotan (mantat buun), baik pihak laki-laki m a u p u n terutama pihak wanita sebagai penyelenggara pesta adat perkawinan, mulai sibuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk berbagai keperluan pesta tersebut. Kesibukan itu melibatkan banyak orang tidak terbatas pada kaum keluarga saja sebab dari pekerjaan mi tercermin ke123
hidupan dimana kebersamaan diutamakan. R u m a h diberslhkan, mencari dan menyiapkan makanan, antara lain berbagai macam kue-kue yang disuguhkan [tiangankan) pada pesta perkawinan dan minuman, termasuk minuman keras seperti arak, beram, dan tuak. Disamping itu mereka juga sibuk mempersiapkan berbagai peralatan dan perlengkapan, seperti pakaian pengantin, ranjang pengantin, alat bunyi-bunylan tradislonal, berbagai macam bendera dan kain berwarna putih, merah, biru dan hitam untuk dijadikan tenda di dalam rumah baik di bagian ta'soo maupun didalam tindo'an dari soo mereka yang menyelenggarakan pesta tersebut. Bendera berbagai macam bentuk dan warna itu dipasang di depan rumah sebagai tanda bahwa disitu ada kegiatan pesta adat. Disamping itu terkandung pula maksud untuk lebih menyemarakkan pesta adat Itu serta guna menyambut dan menghormati rombongan penganten pria serta semua undangan yang datang dari beberapa pemukiman yang biasanya meliputi satu ketamanggongan. Pihak laki-laki juga membuat persiapan untuk menyambut kedatangan suami isteri pada hari ketiga bilamana bentuk perkawinannya adalah kawin maraabut. Kalau pada waktu palooa' pihak laki-laki menyanggupi untuk datang dengan paruu tambe kepada pihak wanita, maka dua atau tiga hari sebelum pesta perkawinan dilaksanakan, mereka menyiapkan paruu tambe yang dijanjikannya itu. Paruu tambe selalu dilengkapi dengan alat bunyi-bunyian tradislonal [taawak, galentang, babaandi dan gendang) yang dengan cara tertentu dibunyikan sehingga enak di dengar oleh mereka yang mengenai musik tradisional itu. Irama bunyi-bunyian itu disebut tabak anyut-anyut dibunyikan untuk mengiring orang-orang yang menari dibagian 1
1
Tenda adalah kaïn yang diletakkan disepanjang sebelah atas dimana para undangan duduk sekitar 2 meter dari lantai tempat duduk undangan.
124
haluan paruu tambe yang memang dlbuat sedemikian rupa sehmgga menjadi tempat menari pria dan wanita. Bilamana telah terdengar bunyi-bunyian dari paruu tambe maka orang-orang dari pihak penganten perempuan yang telah ditunjuk untuk menyambut segera ketepi sungai berderet dengan memakai pakaian tradislonal dan hampir gadis-gadis semuanya. Mereka menari dengan penuh kegembiraan, disamping itu juga beberapa orang laki-laki juga menari dihadapan rumah dengan menggunakan mandau dan perisai di kedua tangannya. Kedatangan rombongan penganten laki-laki disambut dengan membunyikan bedil {bading) dan kangkuang (sejenis gentong. akan tetapi terbuat dari kayu kelas satu dan bentuknya lebih besar dan pipih, dengan panjang kurang lebih 1.5 m. dan tinggi kurang lebih 40 cm). Ada berbagai macam cara membunyikannya dan bunyi itu merupakan lambang dari suatu kejadian. Misalnya untuk menyambut kedatangan tamu bunyinya berbeda dengan kalau ada kebakaran. ada musuh atau kalau ada orang mati atau orang sakit. Pihak rombongan penganten laki-laki biasanya juga memberikan penghormatan balasan dengan membunyikan bedilnya yang memang telah disiapkan untuk itu, diarahkan keatas atau kearah yang aman yang tidak membahayakan orang lain. Setelah rombongan naik ketangga rumah pihak penganten perempuan, terlebih dahulu rombongan diberi umpang (rintangan dari sebatang kayu). Umpang itu sengaja dilintangkan di atas jalan dekat tangga naik kerumah penganten perempuan sekitar batas pinggang orang dewasa. Kayu tersebut, yang sebesar lengan atau paling besar sebesar betis orang dewasa, harus baru ditebang satu atau dua hari sebelumnya. Umpang harus dipotong dengan mandau yang tajam yang telah disediakan untuk itu, oleh orang-orang tertentu diantara undangan yang datang. Biasanya yang memotong umpang itu adalah orang tua-tua dalam rombongan tersebut. Bilamana terpotong rapi dan 125
kayu tidak terbelah. menurut kepercayaan, merupakan pertanda bahwa orang yang memotong itu hatinya baik dan jujur. Seballknya, kalau pecah atau belah, itu petunjuk bahwa yang memotong Itu mungkin hatinya jelek atau orangnya pembohong. Setelah umpang dipotong, baru rombongan naik tangga, dan dikepala tangga mereka disambut lagi dengan minuman maram (beram) lagi yang dilringi dengan bunyibunyian dan teriakan-teriakan berirama serta tepuk tangan yang beraturan disesuaikan dengan bunyian lainnya Semua kejadian tersebut merupakan perwujudan rasa hormat dan rasa gembira dari kedua pihak, serta untuk menyemarakan suasana pesta dan upacara perkawinan. Biasanya upacara adat perkawinan dilangsungkan pada malam harinya sekitar j a m 21.00. Acaranya dimulai dengan mempersiapkan kedua penganten terlebih dahulu ditempat yang terpisah, dengan mengenakan pakaian adat yang pemasangannya dibantu orang yang telah ditunjuk sebelumnya. Setelah masing-masing mengenakan pakaian adat maka penganten laki-laki diantar dan diarak oleh pihak keiuarganya bersama anggota lainnya ketempat dimana penganten perempuan telah siap menunggu kedatangan calon suaminya. Keberangkatan rombongan penganten laki-laki menuju tempat mempelai perempuan ditandai dengan tembakan bedil atau senapan oleh pihak laki-laki, sedangkan setibanya dipintu kam ar mempelai wanita ditandai pula dengan tembakan bedil atau senapan dari pihak perempuan sebagai penghormatan balasan. Pada waktu menuju tempat penganten, perempuan itu diiringi dengan bunyi-bunyian dan tari-tarian oleh beberapa penari laki-laki dan perempuan. Setelah masuk kebilik penganten perempuan terlebih dahulu penganten laki-laki' dibawa kedapur untuk manumpu kadidik (mendorong tungku). Caranya adalah me126
numpu atau mendorong tungku, yang terbuat dari tanah, dengan k a k i sebelah kanan kearah belakang sampai tumbang. Sikap badan membelakangi tungku tersebut. Manumpu kadidik dilakukan sebagai syarat dan tanda bahwa sejak itu ia menjadi anggota keluarga dari pihak mempelai perempuan. Setelah hal itu dilakukan barulah ipasidudukang, yakni penganten laki-laki didudukkan bersanding dengan penganten perempuan. Masing-masing duduk di atas gong atau kursi yang telah disediakan. Penganten perempuan ditemanl duduk oleh beberapa teman yang masih gadis, dan begitupun mempelai l a k i - l a k i ditemani duduk oleh beberapa orang teman laki-laki yang masih bujangan. Mereka juga berpakaian adat, dan pekerjaan itu disebut manduduki. Dalam acara tersebut pertama-tama kedua mempelai disuguhi makan bersama dari satu piring dengan maksud sebagai tanda permulaan dari hidup bersama bersatu dalam satu rumah tangga. Setelah itu kedua mempelai diberi jerat tangan [jarat tangan) pada pergelangan tangan sebelah kanan yang dibuat dari akar tengang [tali tanang) yang diberi satu butir biji manik {tolang manik). Dipilih tali tanang, maksudnya, agar kedua mempelai dapat hidup dalam ikatan perkawinan seumur hidup, mempunyai keturunan dan agar murah rezekinya. Tali tanang ini kuat dan tidak gampang putus sehingga ia dijadikan lambang agar hubungan suami isteri demikian pula kuatnya dan banyak anak, cucu, cicitnya seperti kuat dan suburnya tanang itu. Sedangkan tolang manik itu dim a k s u d k a n agar mereka berdua berguna dan dihargai dalam masyarakat sebagaimana tolang manik itu sendiri dihargai oleh orang Daya Taman. Setelah itu kedua mempelai disuapi dengan pulut, maksudnya agar kedua mempelai selalu hidup rukun', damai, bersatu padu dan dalam keadaan saling kasih mengasihi, tidak cerai melainkan bagaikan pulut yang sifatnya berlekatan satu sama lain. 127
Kemudian diberi sirih (Hum pinang) yang terdiri dari empat macam bahan, yakni daun sirih, kapur. gambir dan pinang. Hal ini melambangkan menyatunya keluarga dari pihak suami dan isteri dalam hubungan kekeluargaan, yakni keluarga dari ayah dan ibu suami dan keluarga dari ayah dan ibu isteri. Yang kawin itu tidak hanya kedua penganten itu pribadi. akan tetapi merupakan perkawinan antara pihak kaum keluarga kedua penganten. Diharapkan agar seperti sirih, kapur, gambir dan pinang itulah lalu menjadi satu dalam wujud rupa yang baru yang berwarna merah setelah dikunyah sedemikian rupa. Setelah diberi üum pinang, mereka masing-masing disuruh mukut basii (menggigit parang atau mandau), maksudnya agar kedua mempelai memiliki jiwa atau semangat yang kuat dan menyala-nyala, ulet dan rajin bekerja serta tajam pikirannya bagaikan kuat dan tajamnya parang atau mandau tersebut. Pikiran yang tajam itu penting bagi setiap keluarga yang baru agar menjadi keluarga yang dapat mengatasi semua persoalan yang dihadapi kelak kemudian hari. Kemudian menyusul suguhan minuman beram [maram), maksudnya agar kedua mempelai sebagai makhluk sosial, individu dan makhluk Tuhan diharapkan dapat bergaul ramah tamah, mau membantu dan melayani orang lain serta saling hormat menghormati. Sebagai salah satu bentuk penghormatan tamu yang datang biasanya disuguhi minuman maram. Setelah kesemuanya Itu secara berurutan telah selesai disuguhkan atau disuapkan kepada kedua penganten, maka suguhan terakhir adalah berbagai macam kue-kue yang memang disediakan untuk upacara tersebut, akan tetapi tanpa mempunyai arti yang khusus seperti suguhan sebelumnya. Yang disuguhi dengan kue-kue tersebut bukan hanya kedua mempelai, tetapi juga mereka yang menemani duduk bahkan termasuk mereka berdiri disekitar penganten. Orang yang diminta untuk menyuapi (pasiaapi) penganten, mengikatkan tali tanang diper128
gelangan tangan (manjarati tangan), dan yang menghunus mandau dari sarungnya agar kedua mempelai tersebut mengglgit mandau {muukut basii baranii), tidak boleh sembarang orang, akan tetapi dipilih orang tua yang dikenal baik, jujur, disegani, mempunyai anak banyak, berhasil dalam pekerjaan, rajln dan ulet serta berani. Dipilihnya orang demikian itu juga mempunyai maksud agar kedua mempelai dan anak cucunya kelak yang akan lahir ketularan sifat-sifat yang dimilikinya tersebut. Dalam melakukan kesemuanya itu selalu diikuti dengan doa-doa kepada Alaatala dan leluhur mereka. Sebelum kedua mempelai disuguhi nasi dalam satu piring tadi, terlebih dahulu diberi nasehat atau petuahpetuah tentang bagaimana hidup berumah tangga. Antara lain harus saling mengasihi, saling mengerti, saling memaafkan saling memberi perhatian, harus rajin bekerja, mau belajar adat tio', dan sebagalnya. Yang memberi nasehat ini baik dari pihak keluarga mempelai laki-laki, maupun mempelai perempuan. Setelah selesai pemberian nasehat dan menyuguhkan berbagai m a k a n a n serta minuman juga tidak ketinggalan disuguhkan berbagai seni tari, silat dan senl suara. Baru setelah kegiatan itu semua dilakukan, kedua mempelai dipersilahkan tidur bersama ditempat tldur yang telah disiapkan untuk mereka berdua, sekaligus memberikan kesempatan kepada mereka berdua u n t u k istirahat. Tempat tidur mereka biasanya dihiasi dengan hiasan-hiasan yang menarik, sehingga ikut menyemarakkan malam yang berbahagla itu bagi kedua mempelai. Acara tldur bersama merupakan acara terakhir dari upacara adat perkawinan pada masyarakat Daya Taman. Untuk itu kedua mempelai diantar atau diiringi oleh beberapa orang ibu yang anaknya banyak, memasuki tempat tidur yang juga dihiasi sedemikian rupa dengan perlengkapan tidur yang serba baru pula. Acara selanjutnya adalah membicarakan dan meneliti adat pakaain, termasuk adat paraabut dan adat pasaalin 129
kalau kawin maraabut. Bilamana semuanya sesuai kesepakatan waktu palooa'. barulah barang-barang itu diserahkan pada pihak perempuan dihadapan dan disaksikan oleh masing-masing keluarga kedua pihak, para fungsionaris adat dan undangan lainnya. Setelah barang-barang itu semua diterima oleh pihak perempuan itu berarti perkawinan mereka telah diikat oleh (hukum) adat. Acara penyerahan adat pakaain itu disebut manjejenang pakaain. Pada hari kedua pesta perkawinan, acara paasiap dilakukan oleh kaum wanita yang berasal dari pemukiman pihak penganten laki-laki, juga dari berbagai pemukiman lainnya yang diundang. Paasiap adalah perbuatan menyuguhkan atau menyuapkan kue [tiangankan] kepada semua yang hadir dalam pesta itu yang duduk saling berhadapan-hadapan diruang ta'soo. Biasanya mereka yang melakukan paasiap itu sebagian adalah gadis-gadis remaja, disamping itu ada Juga yang sudah bersuami. Mereka itu menggunakan pakaian manik dan pakaian adat yang lainnya. Paasiap itu dilakukan dengan berjalan dibagian belakang tamu-tamu yang duduk saling berhadapan itu, sambil menyuapi mereka. Pada hari ketiga undangan kembali ketempatnya masingmasing. Melalui acara paasiap ini pula antara muda-mudi yang masih remaja atau bujangan dan dara dapat saling berkenalan antara satu dengan yang lainnya, disamping dapat pula terjadi pada saat saling memberi minuman tuak atau arak.
PENUTUP
130
Dari uraian-uraian diatas maka dapatlah ditarik kesimpulan dan diajukan saran sebagai berikut: KESIMPULAN
1. Adat perkawinan masyarakat Daya Taman yang berakar pada budaya orang Daya Taman masih berlaku, ditaati, dilaksanakan dan diperhatikan. Bahkan mereka yang sudah tinggal menetap di kota j a u h dari pemukiman di pedalaman, kenyataannya masih tampak ada upaya untuk tetap mentaati adatnya itu dengan penyesuaian-penyesuaian disana-sini dengan kondisi lingkungannya. 2. Masyarakat Daya Taman yang terdiri dari tiga macam strata, yakni samagat, pabiring dan banua, telah mengalami perubahan mengenai pandangan terhadap keberadaan strata dalam masyarakat. Hal itu tampak jelas dalam ketentuan adat perkawinan antara strata, dimana banua tidak lagi harus membayar adat panaangga' dalam perkawinan antara banua dan pabiring. Begitupun dalam perkawinan antara banua/pabiring dan samagat, telah menunjukkan sikap yang mulai sadar akan perlunya perubahan, walaupun belum secara tegas. Mereka telah melunakkan diri dengan tidak lagi memaksakan pembayaran adat panaangga' karena lapisan bawah tidak lagi mau membayar adat tersebut. 3. Penggunaan barang adat dalam perkawinan merupakan juga simbol status seseorang atau suatu keluarga dalam masyarakat. 4. Adanya pakaain dalam suatu perkawinan merupakan daya pengikat hubungan kedua suami-isteri dan kedua pihak orang tua serta kerabatnya. Disamping itu menentukan sejauh mana penghargaan yang diberikan kepada isteri dan keiuarganya. 5. Adanya berbagai barang adat sebagai alternatif untuk digunakan sebagai adat pakaain dan paraabut agar perkawinan yang dilangsungkan itu diikat oleh (hukum) adat yang berlaku yang sifatnya mengikat kedua belah pihak,
131
d a n agar t i d a k a d a anggota m a s y a r a k a t l a l u disebut k a w i n t i d a k beradat. 6. A d a n y a stratifikasi d a l a m m a s y a r a k a t D a y a T a m a n mer u p a k a n h a m b a t a n d a l a m p e r k a w i n a n a n t a r a s t r a t a serta dapat p u l a menjadi sumber konflik diantara mereka k a r e n a k e s a d a r a n m a s y a r a k a t terhadap n i l a i - n i l a i h a r k a t d a n martabat m a n u s i a m e n g a l a m i p e r u b a h a n . 7. B a h w a p e r u b a h a n nilai d a l a m m a s y a r a k a t D a y a T a m a n mengikuti perkembangan pola berfikir masyarakatnya y a n g d i p e n g a r u h l oleh faktor d a r i d a l a m m a u p u n dari l u a r H a l i t u m e n u n j u k k a n b a h w a (hukum) adat y a n g d i j a d i k a n p e d o m a n h i d u p terus m e n e r u s t u m b u h d a n b e r k e m b a n g t i d a k statis d a n d i p e l i h a r a serta d i p e r t a h a n k a n oleh m a syarakat p e n d u k u n g budaya. 8. A d a t l a h i r d a r i k e s e p a k a t a n adat, d a n p e r u b a h a n d a r i pada adat i t u sendiri m e l a l u i kesepakatan Juga dalam s u a t u r a p a t a d a t (kombong) d a n d a r i k e s e p a k a t a n y a n g tercermin dalam perbuatan nyata yang secara u m u m dit e r i m a d a n ditaati. 9. K e l u a r g a b a t i h (kièn) m e r u p a k a n b u a h d a r i perkawinan. dan keluarga-keluarga batih itu merupakan w a d a h tempat t u m b u h s u b u r n y a s i s ü m k e k e l u a r g a a n 10. U n d a n g - u n d a n g no.1 t a h u n 1974 m e n g h o r m a t i keb h i n n e k a a n r a k y a t I n d o n e s i a ; d a r i i t u b a n y a k h a l mengenai perkawinan yang tidak diatur guna d i b e r l a k u k a n bagi s e m u a warga negara, sehingga dengan d e m i k i a n ( h u k u m ) adat p e r k a w i n a n m a s i n g - m a s i n g dapat m e n g i s i a p a y a n g t i d a k d a n b e l u m (tidak m u n g k i n ) d i a t u r d a l a m u n d a n g - u n d a n g tersebut. 11. ( H u k u m ) adat y a n g m e n g a t u r p e r k a w i n a n d a l a m m a s y a r a k a t adat. t e r u t a m a y a n g t i d a k d i t e m u k a n a t u r a n n y a d a l a m u n d a n g - u n d a n g no.1 t a h u n 1974, m e r u p a k a n h u k u m p o s i t i f y a n g t i d a k t e r t u l i s d a n m e m p u n y a i ked u d u k a n y a n g s a m a dengan u n d a n g - u n d a n g tersebut. 12. B a n y a k azas-azas p e r k a w i n a n d a l a m U n d a n g - u n d a n g no. 1 t a h u n 1974 telah d i k e n a l sejak l a m a oleh m a s y a r a 132
kat Daya Taman j a u h sebelum berlakunya undang-undang tersebut; disamping ada pula yang berbeda. 13. Perkawinan pakaain, yang terbagi lagi atas bentuk perkawinan maloola', maraabut, malaalangi dan suule' bebas, merupakan bentuk perkawinan yang lam dari pada yang pernah dikenal dalam kepustakaan (hukum) adat. Pakaain itu b u k a n hadiah perkawinan sebagaimana ditafsirkan selama ini. Pakaain adalah jaminan {taro') yang mengikat hubungan suami-isteri untuk dapat hidup bersama selamanya. 14. Sistim perkawinan pada masyarakat Daya Taman adalah eleutherogami (di mana tidak ada keharusan untuk mencari jodoh ke dalam atau ke luar dari sesama hubungan kerabat sebagaimana dikenal dalam sistim endogami dan exogami). 15. Segala sesuatu yang menyangkut pelaksanaan adat perkawinan dalam tiga tahapnya, yaitu melamar, pertunangan dan perkawinan, dibicarakan dengan matang pada tahap pertunangan. 16. Peristiwa (hukum) adat dalam penyelenggaraan pesta adat perkawinan adalah upacara adat ipasidudukang dan menyerahkan pakaain. Dengan penyerahan pakaain itu berarti kedua suami isteri, bahkan kedua pihak keluarga suami dan isteri, terikat oleh (hukum) adat. 17. Pembatalan rencana perkawinan berakibat pihak yang membatalkan dikenakan sanksi adat berdasarkan keputusan fungsionaris adat. 18. Pesta adat perkawinan (besar atau sederhana) bukan lah bersifat seremonial saja, akan tetapi justru isinya terpenting adalah acara ipasidudukang dan penyerahan pakaain, paraabut dan pasaalin setelah diperiksa dengan teliti apakah sesuai dengan kesepakatan pada waktu palooa'. SARAN
1. Adat perkawinan masyarakat Daya Taman perlu dipertahan-kembangkan agar selalu dapat memenuhi tuntutan 133
dalam perkawinan yang semakin menlngkat pula sesuai perkembangan masyarakatnya. 2. A g a r s t r a t i f i k a s i s o s i a l s e k a r a n g i n i h e n d a k n y a dianggap sebagai s e s u a t u y a n g h a n y a a d a d a l a m mitos saja d a n agar tidak d i p e r s o a l k a n lagi d a l a m k e h i d u p a n m a s y a r a k a t D a y a T a m a n , k a r e n a h a l Itu t i d a k s e s u a i lagi dengan r a s a h u k u m y a n g h i d u p d a l a m m a s y a r a k a t D a y a T a m a n saat kini. 3. A g a r s e n y a t a n y a p e r u b a h a n - p e r u b a h a n y a n g d i k e h e n d a k i t e r h a d a p a d a t y a n g t e l a h d i a n g g a p u s a n g berd a s a r k a n k e s e p a k a t a n d a r i s e m u a fungsionaris adat y a n g a d a d a l a m w i l a y a h (hukum) adat D a y a T a m a n . 4. R u m a h p a n j a n g sebagai w a r i s a n b u d a y a p e r l u dipert a h a n k a n sepanjang m a s y a r a k a t D a y a T a m a n m a s i h h i d u p d a l a m s u a s a n a adat h i d u p (adat tic- ) s e b a g a i p e d o m a n hidup mereka yang kemudian mewujud dalam kehidupa n n y a sehari-hari. 5. K e b h i n n e k a a n d a l a m haf adat p e r k a w i n a n p a d a m a s y a rakat kerakyatan Indonesia yang memang bhinneka ini y a n g n y a t a - n y a t a t i d a k m u n g k i n d i p e r s a t u k a n p e r l u keberadaannya dilindungi, diakui dan diberi kesempatan u n t u k m e m e k a r s e n d i r i t a n p a p e r l u d i a t u r lagi d a l a m s u a t u p e r a t u r a n p e r u n d a n g a n , s e i r a m a d a n s e s u a i dengan p e m i k i r a n d a n r a s a h u k u m m a s y a r a k a t adat i t u sendiri. 1
134
DAFTAR KEPUSTAKAAN HAAR, B. ter 1960 Asas-asas dan susunan Hukum Adat. (terjemahan ICNg.Soebaktl Poesponoto). Jakarta, Pradnya Paramitra. K1NG, Victor, T. 1985 The Maloh of West Kalimantan. Dordrecht. Foris Publications. KOESNOE, Moh. 1979 Catatan-catatan terhadap Hukum Adat Dewasa ini. Surabaya, Airlangga University Press. PRINS, J . 1982 Tentang Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta, Ghalia Indonesia. SANDIN, Benedict 1979 lban Adat & Augury. Universiti Sains Malaysia. SERAGIH, Djaren, dkk. 1980 Hukum Perkawinan Adat Batak Bandung. Tarsito. THAMBUN ANYANG, Y. C. 1976 Pluriformitas Dalam Hukum Adat Perkawinan Daya Taman di Kecamatan Putussibau sebagai konsekwensi stratifikasi Masyarakat Daya Taman. Skripsi pada Fakultas Hukum Untan, Pontlanak.
135
No. ISBN 979.8278-01-1