DUA DUNIA SATU CINTA: SUATU KAJIAN PEMBENTUKAN IDENTITAS MELALUI NEGOSIASI KULTURAL PEREMPUAN INDONESIA PELAKU KAWIN CAMPUR DENGAN BULE AMERIKA SERIKAT
Tiara Meilya Hanifah dan Dave Lumenta Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Indonesia
[email protected]
Abstrak Tulisan ini merupakan sebuah etnografi berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif terhadap tiga orang informan. Pembahasan dalam tulisan ini mengenai pembentukan identitas perempuan Indonesia yang melakukan kawin campur dengan laki-laki warga negara asing. Identitas ‘istri dari laki-laki bule’ yang melekat pada perempuan pelaku kawin campur terbentuk melalui serangkaian proses negosiasi kultural. Dalam tataran perilaku, negosiasi kultural berada dalam relasi kuasa antara perempuan pelaku kawin campur dan suaminya. Sedangkan dalam tataran pikiran, negosiasi kultural terjadi secara internal pada diri individu perempuan pelaku kawin campur. Negosiasi kultural perempuan pelaku kawin campur dilakukan untuk mempertahankan identitasnya serta merumuskan dirinya dalam hibriditas. Kata kunci : hibriditas; identitas; kawin campur; negosiasi cultural; relasi kuasa.
Abstract This study is an etnography based on qualitative research of three informants. The study discuss the formation of Indonesian women identity that are involved in intercultural marriage with men from foreign countries. The identity ‘Spouse of Foreigner’ that sticks to women involved in intercultural marriage is formed through series of cultural negotiations. From a perspective of level behavior, cultural negotiations stands in power relations between the women involved in intercultural marriage and her husband. Meanwhile, from a perspective of level of consciousness, cultural negotiations take place internally in each and every individual woman involved in intercultural marriage. Cultural negotiations of women involved in intercultural marriage is performed to preserve their identity and to establish herself into hybridity. Keywords : hybridity; identity; intercultural marriage; cultural negotiations; power relations.
Pendahuluan Sebagai sebuah kota kosmopolitan dan ibukota negara, Jakarta dihuni oleh berbagai macam kelompok etnis. Keberagaman etnis ini memperbesar kemungkinan terjadinya perkawinan antara etnik yang berbeda. Sebagai pintu gerbang ke Indonesia dan pusat perekonomian, Jakarta juga menjadi salah satu pusat interaksi antara warganegara lokal dan warganegara asing. Implikasinya adalah bahwa perkawinan antar etnik di Jakarta tak hanya dilakukan oleh mereka yang memiliki kewarganegaraan yang sama, namun juga oleh orang-orang dengan
Dua dunia..., Tiara Meilya Hanifah, FISIP UI, 2014
kewarganegaraan maupun latar belakang budaya yang berbeda. Hal ini menggambarkan bahwa perkawinan tersebut akan mencampurkan dua kebudayaan berbeda dalam suatu ikatan, dengan demikian perkawinan seperti ini biasa disebut dengan perkawinan campuran (intermarriage). Seiring perkembangan zaman, istilah intermarriage tak hanya merujuk pada pengertian yang sempit seperti hanya sebatas perkawinan orang yang berbeda warna kulit. Intermarriage pun didefinisikan tidak hanya sebatas pada perbedaan ras (interracial), namun secara lebih luas yakni perbedaan budaya (intercultural). Meluasnya definisi intermarriage ini merujuk pada fenomena pernikahan antar budaya yang banyak dilakukan manusia masa kini. Adanya migrasi antar bangsa, meningkatnya impor tenaga kerja, serta perluasan akses informasi di seluruh dunia membuat kawin campur telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat modern. Penulis menyadari bahwa ‘bule’ bukanlah sebuah istilah yang netral, karena terkadang dianggap sebagai istilah yang rasis. Penggunaan ‘bule’ pada akhirnya digunakan dalam tulisan ini karena istilah tersebut menjadi salah satu kategori budaya yang digunakan informan. Namun, penggunaan kata ‘bule’ dalam skripsi ini akan penulis batasi pada keterangan dari narasi yang diberikan oleh informan dan pembahasan yang terkait dengan narasi tersebut. Hal ini karena narasi dari informan merupakan bentuk pengetahuan budaya yang memang mereka miliki. Sedangkan dalam deskripsi dan narasi yang penulis ciptakan, penulis akan menggunakan istilah ‘laki-laki warga negara asing’ demi menghilangkan bias dalam pemaknaan. Jika menilik perkawinan campur secara historis, kita dapat menemukan bahwa sejak dahulu kajian mengenai perkawinan yang dilakukan manusia-manusia dengan latar belakang budaya berbeda telah menjadi isu yang bertahan lama (long-lasting) bagi penelitian bidang ilmu sosial. Sejak zaman dahulu, manusia sederhana telah mengenal istilah eksogami yang berarti suatu perkawinan antara etnis, klan, suku, kekerabatan dalam lingkungan yang berbeda. Selanjutnya, ketika bangsa Eropa (kulit putih) mulai menjelajah dunia dan bertemu dengan bangsa lain kemudian banyak terjadi perkawinan antara mereka, mulai dikenal istilah intermarriage (interracial marriage). Kata “interracial” berarti perbedaan ras sedangkan marriage berarti perkawinan. Pada masa tersebut, istilah interracial marriage merujuk pada perkawinan antara bangsa Eropa dan Amerika yang berkulit putih dengan bangsa Afrika dan Indian yang berkulit hitam dan merah. Di Indonesia sendiri, keberagaman bentuk dan latar belakang kawin campur kini dapat dengan mudah ditemui di masyarakat. Pada kisaran tahun 1980-an hingga tahun 1990-an, di
Dua dunia..., Tiara Meilya Hanifah, FISIP UI, 2014
sisi lain Indonesia yakni Jakarta, terjadi tren ‘macarin bule’ dan ‘ngawinin bule’. Banyak perempuan asli Indonesia di Jakarta yang akhirnya menikah dengan bule yang mereka temui di perusahaan tempat kerjanya, yang biasa disebut ekspatriat. Hal ini dimungkinkan terjadi karena banyak perusahaan-perusahaan asing yang mengirimkan ekspatriat ke Jakarta. Ekspatriat kala itu menjadi idaman karena imej mereka yang identik dengan kemewahan. Pria asing dengan jabatan direktur atau manajer, berkulit putih, berpostur semampai, dan bergaji dolar merupakan karakterisasi ekspatriat pada masa itu. Setelah krisis ekonomi tahun 1997, kondisi Indonesia pasca reformasi mulai pulih dan perusahaan asing semakin banyak masuk ke Indonesia. Pada masa tersebut posisi yang diisi ekspatriat di Indonesia lebih beragam. Banyak ekspatriat yang mengisi posisi teknisi dan pegawai di perusahaan-perusahaan asing di Indonesia, ekspatriat yang ada bukan lagi hanya mereka yang berkulit putih. Definisi ekspatriat pun meluas, menjadi pekerja asing (tak harus berkulit putih) yang bekerja di perusahaan asing (tak harus menjabat direktur/manajer) di Indonesia. Perluasaan definisi ekspatriat inilah yang berdampak pada bentuk kawin campur yang terjadi, banyak perempuan Indonesia yang kemudian menikah dengan ekspatriat yang bukan berkulit putih seperti dengan pria Arab dan Cina, serta menikah dengan ekspatriat yang bekerja sebagai pegawai biasa di perusahaan asing. Perkembangan teknologi informasi yang berbasis internet di Indonesia ternyata berimplikasi pula pada bentuk kawin campur di Indonesia. Sejak berkembangnya media sosial di internet, banyak perempuan Indonesia yang bertemu dengan laki-laki warga negara asing melalui internet dan kemudian menikah. Saat tahun 2002 lahir media sosial Friendster, kemudian disusul pada 2004 lahirlah Facebook dan setelah itu MySpace yang lahir pada tahun 2006. Media sosial ini memberi dampak perkenalan dan relasi yang terjalin lebih mudah antar beragam orang dari berbagai belahan dunia. Secara khusus, media sosial seperti Friendster, Facebook, MySpace, serta situs- situs kencan online seperti Zoosk dan AsianDating ternyata memudahkan perempuan Indonesia yang ingin ‘macarin bule’ dan ‘ngawinin bule’ untuk mencari laki-laki idaman mereka hingga langsung ke negara asal laki-laki tersebut, seperti negara-negara Eropa dan Amerika. Perempuan- perempuan yang mencari laki-laki warga negara asing melalui internet ini pun kemudian akan menjalani hubungan jarak jauh, sebelum akhirnya menikah. Bagaikan pucuk dicinta ulam pun tiba, laki-laki warga negar asing ternyata juga banyak yang mengincar perempuan Asia melalui internet, khususnya laki-laki bule. Kata‘bule’ diartikan sebagai orang berkulit putih (terutama orang Eropa dan Amerika), serta orang Barat. Perbedaan warna kulit lah yang menjadi ciri utama bule di mata orang Indonesia (Oktofani, 2014). Selain warna kulit, ciri lain yang melekat kepada bule di mata orang
Dua dunia..., Tiara Meilya Hanifah, FISIP UI, 2014
Indonesia adalah sosok bule yang dianggap lebih berpendidikan dan mapan. Menurut Yulianto (2007) di kalangan masyarakat Indonesia, ada keyakinan besar bahwa orang kulit putih semuanya mempunyai tingkat ekonomi yang mapan. Ada keyakinan bahwa mereka (bule) setidaknya berasal dari status sosial menengah ke atas. Keyakinan seperti ini telah tertanam pada masyarakat Indonesia sejak zaman kolonial. Sejak zaman tersebut, penjajah dari Eropa Barat memberikan pengaruh kepada cara masyarakat Indonesia dalam memandang perosalan warna kulit. Para penjajah yang berkulit putih selalu dianggap berada pada posisi yang lebih tinggi daripada masyarakat Indonesia, anggapan seperti ini terus berlanjut hingga sekarang. Hal ini sebetulnya menunjukkan masih terus berlanjutnya hierarki global (global hierarchy) (Herzfeld,1994) tentang warna kulit di negara-negara bekas jajahan, contohnya Indonesia. Masyarakat Indonesia sering beranggapan bahwa orang- orang bule mempunyai tingkat ekonomi dan pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang Indonesia. Keyakinan seperti ini menempatkan posisi bule yang seolah- olah lebih tinggi dibandingkan dengan orang Indonesia sendiri. Bahkan dalam konteks perkawinan campur, perempuanperempuan Indonesia digambarkan Oktofiani (2014) seakan-akan memiliki kebanggaan ketika berhasil bergaul dan menikah dengan lelaki bule. Keyakinan untuk memposisikan diri sendiri (orang Indonesia) lebih rendah dibanding orang bule merupakan wujud mentalitas yang ada pada sistem kebudayaan dan lapisan masyarakat di Indonesia (Yulianto, 2007). Mental seperti ini merupakan wujud dari konstruksi identitas yang membagi dunia menjadi “kita” dan “mereka” dalam bentuk oposisi biner. Wacana identitas dalam bentuk oposisi biner salah satunya dikemukakan oleh Edward Said (1978) dalam karyanya berjudul Orientalisme. Said melihat bagaimana imaji tentang dunia non-Eropa atau ‘Timur’ (Orient), dibentuk oleh narasi-narasi ‘Barat’ atau (Occident). ‘Barat’ biasanya digambarkan pada posisi dominan, aktif, dan beradab (civilized), sedangkan ‘Timur’ digambarkan pada posisi pasif dan terbelakang. Dalam permasalahan perkawinan campur yang penulis teliti, perempuan lokal (Indonesia) sering memposisikan dirinya sebagai ‘orang Timur’. Menurut Oktofiani (2014), banyak perempuan Indonesia yang menikah dengan laki-laki bule hanya untuk mengincar harta dari laki-laki bule yang justru kemudian membuat perempuan tersebut berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Hal ini merupakan salah satu dari persoalan yang berbentuk dominan-subordinat, yang mana laki- laki bule merupakan dominan, sedangkan perempuan Indonesia merupakan subordinat secara ekonomi. Selain itu dalam tulisannya, Oktofiani (2014) menggambarkan bagaimana dunia barat (lelaki bule) begitu menjadi ironi
Dua dunia..., Tiara Meilya Hanifah, FISIP UI, 2014
bagi perempuan Indonesia (dunia Timur). Di satu sisi barat diidolakan, di sisi lain menyumbang bentuk ‘penderitaan’. Dalam beberapa kasus penulis menjumpai laki- laki bule yang begitu tunduk kepada perempuan Indonesia dalam perihal agama. Terdapat pula kasus dimana perempuan Indonesia sangat mendominasi dalam upaya pengajaran nilai-nilai budaya kepada anak hasil perkawinan campuran. Perempuan-perempuan pelaku kawin campur ini seakan memiliki kekuatan pada ranah tertentu dalam kehidupan rumah tangga mereka. Begitu pula dengan laki-laki bule yang juga memiliki kekuatan pada persoalan tertentu, namun menjadi lemah dalam persoalan lainnya. Hal ini membuktikan bahwa dominasi suami terhadap istri tidak terjadi dalam seluruh konteks relasi suami-istri, tetapi hanya dalam konteks-konteks tertentu saja. Latar belakang permasalahan dari beragam ranah yang ada pada kehidupan perkawinan campur ini membuat posisi perempuan Indonesia dan laki- laki bule menjadi dinamis. Batasan posisi subordinat dan dominan dalam kehidupan rumah tangga perkawinan campuran menjadi begitu kabur. Perempuan Indonesia dapat menjadi dominan pada suatu waktu, namun menjadi subordinat pada waktu lainnya. Posisi seperti ini membuat perempuan Indonesia pelaku kawin campur terus berusaha mempertahankan identitas mereka sebagai ‘istri dari laki-laki bule’. Melalui model pendekatan connectionist1, terlihat bahwa perempuan pelaku kawin campur berusaha tidak membedakan pengetahuan mereka sebagai perempuan Indonesia dengan pengetahuan sebagai ‘istri dari laki-laki bule’. Perempuan pelaku kawin campur harus melakukan negosiasi kultural yang sifatnya internal saat mereka berhadapan dengan diri mereka sendiri. Negosiasi kultural ini dilakukan untuk memilih skema pengetahuan yang akan mereka tampilkan dalam mempertahankan identitas sebagai ‘istri laki-laki bule’. Secara khusus dalam konteks tulisan ini, penulis akan menggambarkan permasalahan yang dihadapi oleh perempuan pelaku kawin campur dalam membentuk identitas ‘istri dari laki-laki bule’ dan melakukan negosiasi kultural pada perkawinan mereka. Dalam tataran perilaku, negosiasi kultural berada dalam relasi kuasa antara perempuan pelaku kawin campur dan suaminya. Sedangkan dalam tataran pikiran, negosiasi kultural terjadi secara internal pada diri individu perempuan pelaku kawin campur. Dalam konteks tulisan ini, persoalan identitas tidak dapat dipisahkan dari persoalan identifikasi (Rudyansjah, 2009) karena identitas merupakan satu artikulasi dari upaya memosisikan diri terkait kesempatan, tantangan, dan peluang yang ada. Negosiasi kultural perempuan pelaku kawin campur dilakukan untuk 1
Dalam model pendekatan connectionist pembedaan antara pengetahuan lokal dan pengetahuan global yang menjadi tidak signifikan (Choesin, 2002)
Dua dunia..., Tiara Meilya Hanifah, FISIP UI, 2014
mempertahankan identitasnya. Identitas perempuan Indonesia sebagai ‘istri dari laki-laki bule’ terbentuk melalui serangkaian proses kultural. Pembentukan identitas perempuan Indonesia sebagai ‘istri dari laki-laki bule’ sangat terkait dengan relasi kuasa antara perempuan tersebut dan suaminya. Proses pembentukan serta upaya pertahanan identitas tersebut terjadi melalui negosiasi kultural dalam kehidupan rumah tangga kawin campur.
Tinjauan Teoritis Dalam suatu perkawinan campur, terjadi pertemuan antara dua identitas etnik yang berbeda. Barth (1988) menyatakan bahwa identitas etnik berhubungan dengan nilai budaya standar yang ada. Nilai budaya standar yang ada pada pelaku kawin campur adalah nilai budaya dalam kelompok etnik mereka masing-masing. Menurut Barth (1988) dengan masuknya seseorang ke dalam suatu kelompok etnik, ia akan menjadi seseorang dengan identitas tertentu, dan ini berarti ia akan dinilai dan menilai dirinya sendiri berdasarkan standar yang relevan dengan identitas tersebut. Perkawinan campuran menjadi medium bagi perempuan Indonesia dan laki-laki bule untuk masuk berintekasi ke dalam kelompok etnik lain yaitu kelompok etnik suami atau istri mereka. Untuk memahami lebih jauh mengenai identitas etnik dan kelompok etnik penulis meminjam definisi Cohen (1994) mengenai etnisitas Ethnicity has become a mode of action and of representation: it refers to a decision people make to depict themselves or others symbolically as the bearers of a certain cultural identity. (Cohen, 1994:51) Etnisitas bagi Cohen (1994) ini merupakan representasi dari identitas kultural dalam diri seseorang. Sementara itu dalam tulisan ini penulis juga akan membahas persoalan identitas diri. Identitas diri merupakan persoalan yang kompleks karena identitas tidak mungkin dipisahkan dari tindakan (action) para pelakunya (Turner, 1985 dalam Rudyansjah, 2009). Identitas bukan hanya dibentuk oleh apa yang dipikirkan orang pada tingkat simbol, tetapi juga oleh relasi sosial yang hadir dalam interaksi sehari-hari para pelakunya. Konsep ini semakin diperkuat gagasan bahwa identitas bukan sekadar tentang siapa diri kita, namun juga tentang seperti apa kita nanti dan perjalanan kita untuk menempuhnya (Hall, 1996 dalam Rudyansjah, 2009). Hal ini sangat sesuai dengan apa yang dilakukan perempuan pelaku kawin campur dalam membentuk identitas ‘istri dari laki-laki bule’. ‘Istri dari laki-laki bule’ bukan merupakan identitas mereka secara etnis atau sekadar karena mereka berada dalam kelompok
Dua dunia..., Tiara Meilya Hanifah, FISIP UI, 2014
etnik bule. Namun, ini merupakan artikulasi perempuan pelaku kawin campur dalam mengkonstruksi diri mereka. Salah satu arena sosial perempuan pelaku kawin campur adalah komunitas perkawinan campur. Untuk melihat peran dan bentuk komunitas tersebut penulis meninjau melalui konsep Cohen (1985) mengenai komunitas. ......that whether or not its structural boundaries remain intact the reality of community lies in its members’ perception of the vitality of its cultur. People construct community symbolically, making it resource and repository meaning and a referent of their identity (Cohen, 1985:118) Identitas diri seseorang juga terkait dengan persepsi budaya yang ia miliki. Persepsi budaya dapat dicapai melalui serangkaian negosiasi yang kompleks, dengan beragam jenjang kuasa yang muncul. Perception of culture as something in itself, towards those dynamic and complex fields of negotiation, invested with various degrees of defining power (Wicker 2000:39 dalam Robbins 2004:330) Posisi dominan-subordinat perempuan Indonesia dan laki-laki bule dalam kehidupan rumah tangga kawin campur bukan merupakan posisi yang terpisah satu sama lain. Kedua posisi ini dapat bertemu dan melakukan negosiasi. Hibriditas merupakan bentuk dari liminalitas dalam ‘ruang antara’, dimana hibriditas ialah “the cutting edge of translation and negotiation” (Bhabha, 1996) yang diartikan sebagai lintas batas translasi dan negosiasi. Dalam hibriditas adanya ‘ruang antara’ memungkinkan pihak dominan dan subordinat untuk berinteraksi. Secara jelas Day dan Foulcher (2008) mendefinisikan hibriditas sebagai cara untuk mengacu pada interaksi antara bentuk-bentuk budaya yang berbeda yang dapat menghasilkan pembentukan budaya dan identitas baru dengan sejarah dan perwujudan tekstual sendiri. Lebih lajut, Day dan Foulcher (2008) menekankan bahwa hibriditas mengacu pada pertukaran silang budaya. Hibriditas tidak hanya mengarahkan perhatian pada produk-produk paduan budaya itu sendiri, tetapi lebih kepada cara bagaimana produk-produk budaya ini dan penempatannya dalam ruang sosial dan historis.
Dua dunia..., Tiara Meilya Hanifah, FISIP UI, 2014
Metode Penelitian Dalam penelitian ini penulis melakukan suatu penelitian berbasis data etnografi. Pada studi kasus individu dapat dilakukan dengan menggali life history kehidupannya yang kemudian dihubungkan dengan konteks masa kini dalam keseharian individu tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dapat memberi gambaran secara naratif untuk memahami permasalahan identitas pada individu dalam kelompok secara mendalam. Subyek penelitian penulis adalah tiga orang perempuan yang menikah dengan lakilaki warga negara asing (bule). Tiga perempuan ini memiliki latar belakang dan perjalanan kehidupan perkawinan campuran yang berbeda- beda. Mereka juga memiliki latar bealakang ekonomi dan sosial yang berbeda, serta memiliki usia yang berbeda pula sehingga ketiganya dapat mewakili ragam pelaku kawin campur yang ada di Jakarta. Dalam penelitian ini penulis melakukan pastisipasi observasi dan wawancara mendalam (indeepth interview). Tahap selanjutnya adalah wawancara mendalam, melalui tahap ini penulis dapat mengetahui alasan, pengetahuan, pengalaman , dan persepsi dari informan-informan penulis mengenai kehidupan mereka sebagai pelaku kawin campur. Teknik ini dilakukan untuk mendapatkan informasi historis dan definisi-definisi baru agar dapat penulis eksplorasi dengan lebih mendalam. Secara singkat penelitian dalam skripsi ini dilakukan melalui observasi langsung dan wawancara mendalam, serta pengamatan melalui internet untuk objek penelitian dalam bentuk virtual.
SD Selama 28 tahun menjadi istri dari seorang laki-laki warga negara asing, SD telah merasakan lika-liku pernikahan dengan latar belakang budaya yang berbeda. Ia juga telah merasakan tinggal di berbagai negara untuk menemani suaminya bekerja. SD juga memahami dinamika kehidupan kawin campur di Indonesia dari masa ke masa. Awalnya perkenalan SD dan suaminya hanya sebatas dalam lingkup bisnis. SD mengatakan bahwa saat itu ia menganggapnya sama dengan bule-bule lainnya yang ia kenal di tempat kerjanya. Namun karena sikap dan kebaikan sang suami, akhirnya pada tahun 1982,SD menerima ajakan menikah darinya. Sebelum pernikahan berlangsung, suami SD harus terlebih dahulu menjadi seorang Muslim.
Dua dunia..., Tiara Meilya Hanifah, FISIP UI, 2014
Hal pertama yang SD lakukan setelah menikah dengan suaminya adalah dengan mulai mengganti namanya. SD tidak perlu mengubah total namanya, ia hanya perlu menambahkan nama belakang sang suami ke dalam namalengkapnya. Nama SD pun berubah menjadi SD Downey. Nama ini SD gunakan dalam beragam dokumen dan kegiatan yang mengharuskan dirinya memiliki tiga kata dalam namanya, seperti dokumen imigrasi dan kartu keluarga. Dua tahun menjalani pernikahan, SD pun dikaruniai seorang anak perempuan. Keluarga kecil SD kembali memulai hidup baru. SD merasa hidupnya benar- benar berbeda kala itu. Hal ini ditambah dengan dirinya yang harus selalu mengikuti sang suami berpindah negara dalam menjalankan tugas kantor. Keluarga SD pernah tinggal di hampir semua negara di Amerika Selatan. Salah satu bagian dalam perjalanan hidup SD yang paling menjadi pelajaran berharga baginya adalah kala ia tinggal di beberapa negara di Amerika Selatan. SD menyadari bahwa kala itu dirinya hanya sendiri sebagai warga negara Indonesia. Meskipun ia tinggal bersama suami dan anaknya, namun mereka berbeda dengan SD karena mereka berdua berstatus sebagai warga negara Amerika Serikat. Perbedaan kewarganegaraan ini menjadi masalah ketika mereka sedang melakukan liburan ke beberapa negara. Sebagai warga negara Indonesia, visa tinggal yang dimiliki SD memiliki keterbatasan akses. Dirinya yang seorang perempuan Indonesia berkulit gelap dan bersuami laki-laki warga negara asing yang kaya raya pun kerap memunculkan pandangan negatif di lingkungan tempat tinggalnya kala kembali ke Indonesia. Tak ada yang dapat mencegah pandangan tersebut dilemparkan kepada sosok SD saat itu. SD sering dianggap istri simpanan atau kawin kontrak. Namun perlahan anggapan tersebut diluruskan oleh SD dengan mencoba mendekati masyarakat di sekitar rumahnya dan menjelaskan statusnya sebagai seorang istri sah. Selama 28 tahun perjalanan rumah tangga SD dan suaminya, mereka telah mengarungi berbagai tantangan hidup bersama. Bagi SD, salah satu hal yang paling menantang dalam kehidupannya bersama sang suami adalah usaha untuk saling mengerti budaya satu sama lain. Setiap hari bagi SD selalu belajar hal baru tentang sang suami dan latar belakang budayanya. Hal inilah yang membuat pernikahan mereka terus berwarna. SW SW lahir dan tumbuh besar di Kota Depok. Ia menempuh pendidikan formal dari sekolah dasar hingga SMA di daerah Depok. Selanjutnya, SW melanjutkan pendidikan dengan berkuliah di salah satu universitas di Jakarta. Sejak SMA SW mengaku selalu tertarik dengan hal yang berhubungan dengan bule, ia berkisah kala SMA dahulu sering mengajak bule yang
Dua dunia..., Tiara Meilya Hanifah, FISIP UI, 2014
ia temui di stasiun kereta untuk ia ajak mengobrol. Ketertarikannya dengan bule tersebut berlanjut ketika selepas kuliah mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan multinasional. Meskipun menjumpai banyak bule di tempat bekerjanya, SW mengaku dirinya bukanlah tipe perempuan pemburu bule (bule hunter2). SW menuturkan selama ini ia membiarkan kisah cintanya mengalir apa adanya. SW tidak pernah membuat target kepada dirinya bahwa ia harus memiliki suami bule. Namun kenyataan ia menikah dengan bule pada saat ini membuatnya bersyukur. Perkenalan SW dan sang suami berawal dari hubungan sebagai rekan kerja di sebuah kantor yang berada di kawasan Jakarta Utara. SW mengaku, awalnya ia bersikap acuh tak acuh karena menganggap suaminya rekan kerja biasa. Namun kemudian sang suami menunjukkan ketertarikannya mulai berusaha mendekati SW dan berlaku manis untuk memikat SW. SW pun akhirnya jatuh hati kepada suaminya. Akhirnya, pada awal tahun 1994, Bruce pun melamar SW. Setelah menikah, SW pun memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya. SW merelakan karirnya karena ia berkomitmen untuk mengikuti kemana pun sang suami ditugaskan oleh kantor. Kepindahan tugas dari satu negara ke negara lain merupakan hal yang mutlak selalu terjadi dalam pekerjaan sang suami. SW pun mengungkapkan bahwa hal tersebut ia anggap sebagai tantangan bagi dirinya. Dalam 20 tahun kehidupan SW dan suaminya, mereka telah sering berpindah negara. Selama itu pula SW selalu menemani kemanapun suaminya ditugaskan. SW merasa bahwa sudah menjadi kewajiban istri untuk terus bersama sang suami dalam kondisi apapun. Dalam pernikahan SW dan sang suami, SW mengaku bahwa pada awalnya ia selalu berusaha melayani suaminya. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena menurut SW, sang suami tidak nyaman dengan hal tersebut. Bruce yang terbiasa mandiri dan individualistis tidak terbiasa selalu dilayani oleh SW. Bahkan ketika mereka tinggal di luar negeri berdua tanpa asisten rumah tangga, SW tidak diperlakukan layaknya asisten rumah tangga yang harus mengerjalan segala pekerjaan rumah tangga. SW mengaku bahwa Bruce selalu membantunya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Beragam sikap saling pengertian berusaha selalu SW dan suaminya biasakan dalam pernikahan mereka. SW sadar bahwa perbedaan latar belakang budaya antara dirinya dan sang suami akan selalu memunculkan perbedaan pandangan dalam menghadapi berbagai hal. Namun, SW selalu menganggap perbedaan yang ada antara dirinya dan Bruce layaknya dua 2
Istilah bule hunter dipopulerkan oleh Oktofiani (2014) dalam bukunya berjudul Bule Hunter : Kisah Para Perempuan Pemburu Bule. Dalam buku tersebut dijelaskan arti bule hunter adalah seseorang yang memburu bule untuk dijadikan pasangan.
Dua dunia..., Tiara Meilya Hanifah, FISIP UI, 2014
sisi mata uang yang saling melengkapi satu sama lain. Selama menjalani kehidupan pernikahan bersama suami, SW mengaku bahwa banyak hal- hal baru yang ia pelajari. Sebagai perempuan yang besar di Indonesia tentunya SW melakukan segala hal berpegangan kepada norma sosial dan budaya yang ada di Indonesia. Hal ini pun menurut SW kemudian juga dipelajari oleh Bruce. “Kita saling belajar satu sama lain”, ungkap SW. Menurut SW, suatu sifat dari Bruce yang SW anggap sebagai sifat bule secara umum adalah sifat sang suami yang selalu santai dan tidak ribet. SW mengisahkan bahwa pada awalnya ia dan suami menjalani kehidupan rumah tangga dan melakukan hubungan suami-istri secara normal agar mereka dapat memiliki anak. Namun, pada usia pernikahan mereka yang ke 14 tahun, SW didiagnosis dokter mengalami menopause dini sehingga tidak ada lagi celah dirinya dapat memiliki anak. Akhirnya SW dan suaminya sampai pada kesepakatan bahwa mempunyai anak adalah sebuah pilihan. Bagi SW, keterbukaan pemikiran sang suami mengenai anak merupakan salah satu hal yang ia syukuri. Ia mengaku bahwa dirinya tidak yakin pemikiran terbuka seperti ini dimiliki oleh laki- laki Indonesia. KM KM memiliki suami seorang laki-laki berkewarganegaraan Amerika Serikat yang saat ini tinggal di Amerika Serikat. Cerita perjalanan rumah tangga KM dan suaminya merupakan kisah kosmopolis yang begitu terkait dengan globalisasi dan perkembangan teknologi. Kisah KM dan suaminya mewakili ribuan kisah serupa tentang pasangan kawin campur yang berkenalan melalui dunia maya. Dunia yang menyatukan dua manusia beda benua dalam satu layar. Memahami kehidupan KM berarti memahami cerita tentang teknologi informasi komunikasi yang mempengaruhi kehidupan manusia. Dalam kesehariannya, KM tak pernah lepas dari kebutuhannya akan teknologi yang menolong dirinya mengakses informasi dan melakukan komunikasi. Salah satu teknologi yang paling berpengaruh dalam kehidupan KM adalah internet atau dunia maya. Internet telah menjadi dunia yang mengantarkan KM memperoleh impiannya. Keinginan KM untuk memiliki suami bule membuatnya secara khusus mendedikasikan diri untuk menjalin relasi bule melalui internet. KM dan suaminya saling mengenal melalui dunia maya. Mereka bertemu secara daring dalam situs MySpace. Lalu kerena merasa memiliki saling ketertarikan mereka menjalani komunikasi yang lebih intens melalui aplikasi Skype dan Yahoo Messenger. Pada
Dua dunia..., Tiara Meilya Hanifah, FISIP UI, 2014
tahun 2010, sang suami menunjukkan keseriusannya pada KM dengan mengajaknya menikah. Namun, hal yang KM syaratkan kepada suaminya adalah terlebih dahulu pindah agama mengikuti dirinya. Setelah itu sang suami datang ke Indonesia untuk menjumpai KM pertama kalinya sekaligus langsung menikahinya. Tak begitu lama di Indonesia, sang suami pun harus kembali ke Amerika Serikat dan meninggalkan KM. Pada tahun 2011 sang suami kembali pulang, mereka pun menjalani bulan madu untuk kedua kalinya. Kala itu KM dinyatakan hamil. Pada bulan September 2012, anak pertama KM lahir. Anak tersebut berjenis kelamin laki- laki. Pada saat kelahiran sang anak, suami KM tidak berada di Indonesia. Sang suami baru dapat kembali ke Indonesia saat sang anak telah berusia 3 bulan. Setelah sang anak berusia 1 tahun, KM mulai mengurus visa dan perpindahannya ke Amerika Serikat. KM mengaku mantap dengan keputusannya untuk ikut suaminya tinggal di negara bagian Washington, Amerika Serikat dan menjadi imigran di sana. Akhirnya, pada pertengahan tahun 2014 KM mendapatkan visa-istri untuk tinggal di Amerika Serikat. Ia dan anaknya pun segera terbang meninggalkan Indonesia.
Menjadi Istri dari laki-laki bule: Sebuah Proses Penuh Tantangan Sebagai sesuatu hal yang tidak pernah purna tunggal, identitas selalu terbentuk melalui proses yang menyeluruh dari dalam dan luar diri manusia. Proses pembentukan identitas perempuan Indonesia pelaku kawin campur bermula ketika mereka menikah dengan laki-laki warga negara asing. ‘Istri dari laki-laki bule’ menjadi bukan sekedar status yang melekat , seperti ungkapan Barth (1988) bahwa dengan masuknya seseorang ke dalam suatu kelompok etnik, ia akan menjadi seseorang dengan identitas tertentu. ‘Istri dari laki-laki bule’ merupakan cerminan identitas melalui upaya-upaya perempuan untuk masuk menjadi bagian dari kelompok etnik ‘bule’. Menjadi ‘istri dari laki-laki bule’ dalam kisah SD, SW, dan KM digambarkan dengan bentuk kebersamaan mereka dengan suami bule. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Rudyansjah (2009) bahwa identitas diri juga terkait dengan isu rasa kebersamaan (sameness/belonging). Meskipun KM memulai proses menjadi ‘istri dari laki-laki bule’ dengan cara yang berbeda dengan SD dan SW yaitu secara imajiner melalui ikatan tertentu, namun ia sama dengan SD dan SW yang juga berusaha menghadirkan sosok suami bule dalam diri mereka. Kehadiran sosok suami bule dalam kehidupan mereka akhirnya membentuk identitas mereka sebagai bagian dari ‘bule’.
Dua dunia..., Tiara Meilya Hanifah, FISIP UI, 2014
Sebagai ‘istri dari laki-laki bule’, perempuan Indonesia memang harus menyertakan nama belakang suami mereka ke dalam nama gadis mereka, bahkan SW sampai mengganti nama depannya dengan alasan ‘supaya gampang disebut sama orang luar aja’. Orang luar yang dimaksud disini ialah orang bule atau lingkungan suaminya. SW berupaya mengkonstruksi diri menjadi bagian dari kelompok bule. SW mengubah namanya agar sesuai dengan standar yang relevan dengan identitas bule, hal ini menegaskan kembali pernyataan Barth (1988) bahwa seseorang akan dinilai dan menilai dirinya sendiri berdasarkan standar yang relevan dengan identitas kelompok etnik dimana dirinya termasuk di dalamnya. Serta menegaskan kembali definisi Cohen (1994) mengenai etnisitas sebagai representasi dari identitas kultural dalam diri seseorang. Proses pembentukan identitas sebagai ‘istri dari laki-laki bule’ selanjutnya terjadi dengan cara bergabungnya perempuan-perempuan tersebut ke dalam komunitas perkawinan campuran. Komunitas perkawinan campuran berperan memproduksi identitas ‘istri dari lakilaki bule’ sebagai suatu identifikasi diri yang penting dalam masyarakat. Hal ini relevan dengan yang diungkapkan Cohen (1985) bahwa orang-orang mengkonstruksi komunitas secara simbolis kemudian menjadikannya sebagai sumber dan wadah serta acuan dari identitas mereka. Aktivitas dan kegiatan yang ada di dalam komunitas perkawinan campuran selalu melambangkan identitas dari anggota komunitas tersebut. Perubahan identitas seorang perempuan Indonesia yang menikah dengan laki-laki bule merupakan wujud perubahan budaya. Perubahan budaya ini merupakan hasil dari kontestasi antara budaya perempuan Indonesia dan suami mereka. Identitas sebagai istri dari laki-laki bule sebetulnya bukan hanya perempuan Indonesia bentuk ketika awal mereka menikah, namun identitas tersebut merupakan proses reproduksi dari tindakan keseharian mereka hingga saat ini. Seperti yang dikemukakan Rudyansjah (2009) bahwa identitas tidak mungkin dipisahkan dari tindakan (action) para pelakunya. Identitas tersebut akan terus melekat jika si perempuan melakukan tindakan sesuai dengan batasan-batasan yang mereka ciptakan sendiri tentang menjadi ‘istri dari laki-laki bule’, identitas ‘istri dari laki-laki bule’ akan bertahan selama lingkungan dan masyarakat memandang diri mereka dalam identitas tersebut.
Dua dunia..., Tiara Meilya Hanifah, FISIP UI, 2014
‘Kalah’ dan ‘Menang’: Gambaran Relasi Kuasa dalam Kehidupan Perkawinan Campuran Dalam penelitian ini ada beberapa persoalan yang bergitu pekat mewarnai kehidupan rumah tangga kawin campur, antara lain; kewarganegaraan, keuangan, agama dan anak. Persoalanpersoalan ini tidak hadir sendiri-sendiri, semuanya memiliki keterkaitan satu sama lain. Mereka diejawantahkan melalui relasi kuasa antara antara perempuan Indonesia dan laki-laki bule dalam kehidupan rumah tangga kawin campur. Tiga perempuan dalam tulisan ini memberlakukan syarat yang sama kepada laki-laki sebelum menjadi suami mereka, yaitu berpindah agama menjadi penganut agama si perempuan. Ternyata syarat tersebut semuanya dipenuhi oleh suami mereka. Hal ini dapat menjadi gambaran bahwa perempuan Indonesia memiliki peran besar dalam mengarahkan suami-suami mereka masuk ke agama tertentu. Persoalan agama ini kemudian memberi pengaruh pada persoalan pendidikan anak. Meskipun SD dan suaminya menyekolahkan anak mereka di sekolah swasta yang bukan merupakan sekolah berbasis agama, namun SD berusaha menyisipkan nilai-nilai agama dalam pelajaran anaknya di sekolah. Hal ini SD lakukan karena ia ingin sang anak mengenal agamanya. Sedangkan KM sudah merencanakan bahwa ia akan menyekolahkan anaknya nanti di sekolah Kristen Advent yang ada di kota tempat tinggalnya. Ia mengaku telah mendiskusikannya dengan suami dan suaminya setuju. Sementara itu dalam persoalan kewarganegaraan jelas sekali bahwa laki-laki bule lebih dominan daripada perempuan Indonesia. Hal ini terkait dengan posisi kewargangeraan perempuan Indonesia yang memang tidak menguntungkan dibandingkan laki-laki bule. Seperti kisah SD yang selalu kerepotan mengurus visa ke berbagai negara karena ia memiliki paspor Indonesia yang terbatas. Persoalan ini sebenarnya berkaitan erat dengan proyeksi terhadap kewarganegaraan anak pasangan kawin campur. Anak perempuan SD akhirnya memilih kewarganegaraan Amerika karena alasan agar tidak direpotkan dengan permasalahan visa dan agar memiliki paspor Amerika yang membuatnya bebas pergi kemana saja. Persoalan kewarganegaraan ini memang tampaknya begitu kaku, namun hal ini juga terkait dengan perasaan memiliki sang anak terhadap suatu kebudayaan. Dalam kisahnya, SD menggambarkan Ratu sebagai anak yang ‘Amerika banget’, sebetulnya istilah ini bukan diberikan SD karena kewarganegaraan Ratu saja, namun karena nilai-nilai budaya dan perilaku yang Ratu tampilkan sehari-hari begitu mencerminkan budaya dan perilaku orang Amerika.
Dua dunia..., Tiara Meilya Hanifah, FISIP UI, 2014
Lain SD, lain pula KM. Sebagai seorang perempuan Indonesia KM merupakan tipe perempuan yang begitu ingin mengkonstruksi anaknya menjadi seorang Amerika. Sejak mulai sang anak dilahirkan KM telah memilih memberikan nama yang menurutnya dapat diterima oleh lingkungan Amerika. Kemudian KM juga sudah begitu yakin bahwa nantinya sang anak akan memilih kewarganegaraan Amerika. Tampak sekali bahwa KM sejak awal telah memproyeksi anaknya agar menjadi seorang ‘Amerika’. Kisah SD dan KM tersebut menggambarkan bahwa persoalan kewarganegaraan dalam rumah tangga kawin campur lebih didominasi oleh pasangan mereka. Hal lain yang dapat dipahami melalui kerangka Cohen (1994) mengenai nasionalitas dan identitas etnis“If the ethnic card is played in identity, it is not like announcing nationality. Ethnicity is not a juridical matter, carrying legal rights and obligations.”. Kewarganegaraan dalam konteks kawin campur bukan sekedar permasalahan nasionalitas. Namun, merupakan sebuah identitas etnis yang terbangun pada masing-masing individu dalam kehidupan perkawinan campur. Persoalan tersebut sebetulnya sangat dilatar belakangi kehidupan perempuan pada masa lalu. Perubahan yang mereka hadapi terkait proses historis yang membentuk diri mereka untuk melakukan suatu tindakan. Dalam persoalan keuangan, saat ini SD, SW dan KM bergantung penuh kepada sang suami. Posisi seperti ini sebetulnya begitu rentan karena perempuan Indonesia tidak memiliki kuasa kepada dirinya. Persoalan keuangan ini menjadi dasar dari beragam keputusan yang ada dalam rumah tangga kawin campur. Seperti halnya keputusan pemilihan lokasi dan dekorasi rumah. Hal yang menarik adalah karena kondisi keuangan yang berbeda-beda, maka SD, SW dan KM menunjukkan bentuk yang berbeda dalam hal pemilihan lokasi dan dekorasi rumah. SD dan SW memiliki suami yang kemampuan keuangannya melebihi KM, namun hal ini tidak membuat suami SD dan SW menjadi lebih dominan dibandingkan suami dari KM dalam persoalan pemilihan lokasi dan dekorasi rumah. SD dan SW dengan bebas mengatur pemilihan lokasi dan dekorasi rumah sesuai keingin mereka, dengan uang yang tidak terbatas mereka dapat membangun rumah sesuai dengan keinginan mereka. Sedangkan KM yang memiliki suami dengan kemampuan keuangan tidak terlalu mapan, justru membuatnya tidak bisa mendominasi dalam hal pemilihan dan dekorasi rumah. KM harus menerima dirinya tinggal di apartemen sang suami dengan dekorasi yang seadanya dan tidak memasukkan unsur Indonesia. Hal ini menampakkan bahwa dengan bergantungnya perempuan Indonesia dalam hal keuangan kepada suami, tidak serta merta membuat perempuan tersebut didominasi secara
Dua dunia..., Tiara Meilya Hanifah, FISIP UI, 2014
utuh. Faktanya dalam penelitian ini tampak semakin mapan dan tinggi kemampuan keuangan seorang suami, semakin sedikit dominasinya dalam permasalahan keuangan kepada sang istri. Bentuk seperti ini dapat terjadi karena dengan semakin tinggi kemampuan keuangan suami, kepercayaan diri mereka menjadi lebih tinggi sehingga usaha yang dilakukan untuk negosiasi dengan si perempuan menjadi tidak terlalu besar. Berbanding terbalik dengan suami yang kemampuan keuangannya tidak terlalu tinggi, ia harus melalukan usaha lebih besar dalam bentuk negosiasi dengan sang istri agar mencapai keputusan terkait persoalan rumah tangga mereka. Beragam persoalan yang tampak dalam kehidupan rumah tangga kawin campur merupakan bentuk negosiasi perempuan pelaku kawin campur dan suaminya dalam tataran perilaku. Ungkapan Rudyansjah (2009) yang menyatakan bahwa kekuasaan tidak pernah terperagakan dalam wujud yang final melainkan senantiasa berproses dalam bentangan ruang dan waktu yang panjang, tergambar dalam relasi kuasa antara laki-laki bule dan perempuan Indonesia dalam rumah tangga kawin campur. Perubahahan budaya yang terjadi melalui negosiasi kulural sangat terkait dengan persepsi budaya perempuan pelaku kawin campur. Menurut (Wicker 2000 dalam Robbins 2009) persepsi budaya dapat dicapai melalui serangkaian negosiasi yang kompleks, dengan beragam jenjang dan relasi kuasa yang muncul. Relasi kuasa tampak begitu dinamis, posisi dominan dan subordinat begitu lues dan senantiasa selalu bergerak menyesuaikan ragam konteks persoalan yang dihadapi. Hal ini dikarenakan dalam perkawinan campur terdapat ‘ruang antara’ untuk perempuan Indonesia dan laki-laki bule untuk melakukan negosiasi. ‘Ruang antara’ seperti ini dijelaskan Bhabha dalam kerangka mengenai hibriditas. Bhabha (1994) mengemukakan bahwa ‘ruang antara’ merupakan suatu tempat yang ambivalen dimana makna dan representasi kultural tidak memiliki ‘kesatuan atau keteraturan primordial’. Dengan demikian maka hibriditas merujuk pada fakta bahwa kebudayaan bukan
merupakan fenomena yang berdiri sendiri-sendiri,
selalu ada kontak antar fenomena tersebut satu sama lain yang menghasilkan sebuah percampuran. Dengan adanya negosiasi dalam relasi kuasa perempuan Indonesia dan laki-laki bule, kebudayaan dari masing-masing pihak tidak berdiri sendiri-sendiri, namun justru membentuk sebuah budaya baru dalam bentuk percampuran. Bentuk percampuran ini bukan sekedar ditinjau sebagai produk-produk budaya yang berdiri tunggal, namun harus dilihat dalam konteks penempatannya secara sosial dan historis. Sebagaimana yang dikemukakan Day dan Foulcher (2008) bahwa hibriditas tidak hanya mengarahkan perhatian pada produkproduk paduan budaya itu sendiri, tetapi lebih kepada cara bagaimana produk-produk budaya ini dan penempatannya dalam ruang sosial dan historis.
Dua dunia..., Tiara Meilya Hanifah, FISIP UI, 2014
Negosiasi dalam Diri: Upaya Pertahanan Identitas ‘Istri dari laki-laki bule’ Sebagai ‘istri dari laki-laki bule’ perempuan Indonesia pelaku kawin campur dihadapkan dalam posisi yang mengharuskan diri mereka selalu bernegosisasi untuk membentuk dan mempertahankan identitas mereka. Negosiasi tersebut merupakan negosiasi kultural yang bukan hanya terjadi pada diri sang perempuan dengan suaminya, namun juga dalam diri mereka sendiri. Negosiasi inilah yang kemudian akan membentuk nilai-nilai budaya baru yang mereka tampilkan dalam ragam konteks yang berbeda. Ketika si perempuan sedang bersama suaminya, bersama anaknya, bersama keluarga besarnya, serta bersama komunitasnya, mereka harus memilah pengetahuan-pengetahuan yang mereka miliki sebagai ‘istri dari laki-laki bule’ untuk mereka tampilkan agar tetap diterima dalam berbagai lingkungan guna mempertahankan identitasnya. Kisah pertama seperti yang dialami SD kala mempertahankan nilai agama Islam yang dianutnya saat menikahkan anaknya. Hal ini merupakan bentuk negosiasi kultural SD dalam konteks dirinya sendiri dalam keharusannya menampilkan identitas di hadapan masyarakat. Dalam konteks tersebut, SD dihadapkan pada situasi bahwa dirinya harus melakukan negosiasi internal dalam dirinya dengan selalu membayangkan suaminya sebagai bagian dari identitasnya. Ketika ia mendapat pelajaran dari ustad dan pengalaman mengenai keharusan menikahkan anaknya, SD menjadi mempunyai bekal pengetahuan tentang hal tersebut. Pengetahuan-pengetahun ini kemudian ia proses sehingga menghasilkan wujud tanggapan berupa keputusan untuk menikahkan anaknya secara siri. Dalam kerangka connectionistic, tanggapan inilah yang merupakan ‘makna’ sebuah situasi. Sementara itu dalam kisah SW, tampak bahwa dirinya perlu bernegosiasi dengan dirinya sendiri ketika menghadapi keluarganya sendiri. Hal ini terjadi ketika ia mencapai keputusan bersama suaminya bahwa mereka tidak akan memiliki anak. Pertahanan identitas yang dilakukan SD dan SW dalam kisah mereka menggambarkan bahwa mereka melakukan negosiasi kultural kepada diri mereka sendiri. Berdasarkan model connectionistic tampak bahwa SD dan SW berusaha merangkai pengetahuan-pengetahuan yang mereka miliki menjadi skema tertentu secara historis untuk terdorong
mewujudkan tindakan yang
memberikannya perasaan-perasaan tertentu, atau menghindarkannya dari perasaan-perasaan yang tidak ingin ia alami lagi. Pengetahuan-pengetahuan inilah yang membantu dalam menghadapi suatu situasi atau menyelesaikan suatu masalah. Sementara tanggapan dalam bentuk lain tampak dalam kisah KM. Ia berusaha mempertahankan identitasnya sebagai ‘istri dari laki-laki bule’ dengan negosiasi kultural
Dua dunia..., Tiara Meilya Hanifah, FISIP UI, 2014
dalam dirinya untuk sepenuhnya mengkonstruksi diri sebagai ‘bule’. Mulai dari hal-hal yang bersifat tampak nyata seperti dokumen kewarganegaraannya, hingga hal-hal yang bersifat gagasan seperti sikapnya dalam membentuk dan memproyeksi anak. Pengetahuan KM ketika melihat kondisi dalam komunitasnya yang menggambarkan dengan menjadi ‘bule’ akan memperbaiki kehidupan, kemudian pengetahuan bahwa dengan mendidik anak menjadi ‘bule’ akan memudahkan si anak diterima di lingkungan sekolah ‘Amerika’ kemudian menghasilkan sebuah keluaran (output) atau tanggapan. KM berusaha secara penuh untuk membuat dirinya sangat ‘Amerika’ atau sangat ‘bule’. Negosiasi kultural yang terjadi dalam diri pelaku kawin campur terkait dengan konteks situasional yang mereka hadapi. Konteks situasional tertentu mengarahkan pelaku kawin campur pada skema-skema pengetahuan yang mereka miliki terkait situasi tersebut. Menurut Strauss dan Quinn (dalam Choesin, 2002) skema-skema individu menjadi skemaskema budaya karena telah menjadi mantap dalam sejumlah individu. Kemantapan ini dapat terjadi karena individu memperoleh suatu pengetahuan dan kemudian membentuk skema atas pengetahuan tersebut berdasarkan proses belajar yang bersifat informal atau melalui pengamatan sehari-hari. Dalam kisah pelaku kawin campur ini, proses belajar dan pengamatan sehari-hari terjadi dalam komunitas perkawinan campuran, keluarga perempuan, keluarga laki-laki bule, serta masyarakat sekitar tempat tinggal mereka. Mengutip (Choesin, 2002) “Di sinilah unsur sosial masuk ke dalam penjelasan mengenai perolehan pengetahuan”.
Kesimpulan Kisah tiga perempuan pelaku kawin campur bercerita tentang perempuan dalam proses mereka mengidentifikasi diri sebagai ‘istri dari laki-laki bule’. Mereka berusaha menciptakan deskripsi identitas sebagai ‘istri dari laki-laki bule’ melalui tindakan-tindakan yang diwujudkan dalam kehidupan pernikahan mereka. Kisah perempuan-perempuan tersebut juga menggambarkan relasi kuasa antara diri mereka sebagai istri dan laki-laki bule sebagai suami dalam rumah tangga kawin campur. Hal-hal tersebut sebenarnya bermuara pada produksi identitas yang dilakukan oleh perempuan Indonesia pelaku kawin campur melalui negosiasi kultural dalam diri mereka sendiri. Proses pembentukan identitas sebagai ‘istri dari laki-laki bule’ berawal pada tataran perilaku. Awalnya proses tersebut tampak dalam hal-hal yang tampak secara kasat mata
Dua dunia..., Tiara Meilya Hanifah, FISIP UI, 2014
seperti tindakan mengubah nama lengkap dan pengubahan status keimigrasian. Selanjutnya, proses pembentukan identitas ‘istri dari laki-laki bule’ mulai masuk ke dalam tataran yang lebih abstrak dengan menampilkan kebiasaan-kebiasaan dan pandangan hidup perempuan Indonesia yang mulai berubah. Perubahan tersebut merupakan hasil dari kontestasi antara budaya perempuan Indonesia dan suami mereka. Perubahan ini dapat dikatakan sebagai perubahan budaya seperti yang dikatakan Day dan Foulcher (2008) yaitu menghasilkan pembentukan budaya-budaya dan identitas-identitas baru dengan sejarah dan perwujudan tekstual sendiri. Dalam perkawinan campur antara perempuan Indonesia dan suaminya, terdapat sebuah relasi yang bukan sekedar relasi antar manusia biasa, namun dalam bentuk relasi kuasa. Relasi kuasa ini lahir dari wacana tentang bule sebagai posisi ‘Barat’ yang selalu berada dalam posisi dominan, sedangkan perempuan Indonesia berada dalam posisi subordinat. Pengejawantahan relasi kuasa ini terjadi pada kehidupan sehari-hari rumah tangga kawin campur dalam berbagai persoalan rumah tangga yang ada; seperti persoalan agama, keuangan, kewarganegaraan, dan anak. Namun, pada akhirnya yang menjadi gagasan menarik adalah relasi kuasa yang ada sering bersifat ambivalen. Perempuan Indonesia ternyata juga memiliki dominasi pada persoalan tertentu dalam rumah tangga kawin campur. Dalam persoalan-persoalan tersebut perempuan Indonesia dan suaminya menyelesaikannya dengan berinteraksi dan melakukan negosiasi kultural. Interaksi dan negosiasi ini seperti yang dikatakan Bhabha (1996) bahwa dalam hibriditas terdapat ‘ruang antara’ yang memungkin subjek-subjek budaya berinteraksi. Dengan demikian posisi dominan-subordinat pun menjadi selalu berubah-ubah secara dinamis sesuai konteks persoalan. Setiap perempuan Indonesia pelaku kawin campur berusaha menampilkan cara tertentu dalam mempertahankan identitas mereka sebagai ‘istri dari laki-laki bule’. Hal ini sebenarnya merupakan wujud negosiasi perempuan tersebut terhadap dirinya dalam memilah skema pengetahuan yang akan ia tampilkan sebagai wujud tanggapan atas situasi tertentu. Keberhasilan perempuan pelaku kawin campur mempertahankan identitas mereka sangat bergantung dengan kesesuaian mereka mereproduksi tampilan dalam konteks tertentu. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Bhabha (1994) bahwa identitas tidak pernah purna tunggal. Identitas merupakan suatu kajian paling mendasar untuk memahami permasalahan sosial manusia. Identitas diri seorang manusia menjadi representasi kultural yang mewakili diri mereka dalam tampilannya di masyarakat. Identitas tentunya muncul berdasarkan pengalaman-pengalaman manusia berinteraksi dengan manusia lain dan kemudian memberikan pengetahuan-pengetahuan kepada manusia untuk melakukan tindakan tertentu.
Dua dunia..., Tiara Meilya Hanifah, FISIP UI, 2014
Tindakan tersebut menjadi bentuk upaya manusia untuk menempatkan diri pada posisi tertentu dalam konteks kesehariannya. Identitas nyatanya juga lahir dari negosiasi yang sifatnya internal saat manusia berhadapan dengan dirinya sendiri. Identitas selalu terkait dengan apa yang kita lepas dan apa yang kita tinggalkan.
Daftar Referensi Barth, Fredrik. (1988). Kelompok Etnik dan Batasannya. (terj, Nining I. Soesilo). Jakarta: UIPress. Bhabha, Homi K. (1994). The Location of Culture. London: Routledge. Bhabha, Homi K. (1996). Cultures in Between. Dalam S. Hall dan P. Du Gay (peny.). Questions of Cultural Identity. London: Sage Publications. Choesin, Ezra M. (2002). Connectionism: Alternatif dalam Memahami Dinamika Pengetahuan Lokal dalam Globalisasi. Jurnal Antropologi Indonesia, 69, 1-9. Cohen. Anthony Paul. (1985). The Symbolic Construction of Community. London: Routledge Cohen, Robin. (1994). Frontiers of Identity: the British and the Others. London: Longman dan New York: Addison Wesley. Day, Tony & Foulcher, Keith. (2008). Bahasa Postkolonial dalam Sastra Indonesia Modern. Dalam Keith Foulcher dan Tony Day (peny.). Sastra Indonesia Modern: Kritik Postkolonial (ed. Revisi Clearing A Space). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta. Herzfeld, Michael. (2003). The Body Impolitic : Artisans and Artifice In The Global Hierarchy Value. Chicago : University of Chicago Press. Oktofiani, Elisabeth. (2014). Bule Hunter: Kisah Perempuan Pemburu Bule. Jakarta: Rene Publisher. Robbins, Joel. (2004). Becoming Sinners: Christianity + Moral Torment in a Papua New Guniea Society. USA: University of California Press. Rudyansjah, Tony. (2009). Kekuasaan, Sejarah, & Tindakan: Sebuah Kajian Tentang Lanskap Budaya. Jakarta: Rajawali Press. Said, Edward. (1978). Orientalism. New York: Pantheon Books. Yulianto, Vissia Ita. (2007) Pesona ‘Barat’: Analisa Krtis-Historis tentang Kesadaran Warna Kulit di Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.
Dua dunia..., Tiara Meilya Hanifah, FISIP UI, 2014