SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 | DISKURSUS
Threshold Space sebagai Pendekatan Desain Ruang Terbuka di Kawasan Kota Tua Jakarta Steven Nio(1), Julia Dewi(1)
[email protected],
[email protected] (1)
Arsitektur, Fakultas Desain, Universitas Pelita Harapan.
Abstrak Taman Fatahillah merupakan area Kota Tua Jakarta yang berfungsi sebagai salah satu ruang publik kota Jakarta. Berbagai upaya dilakukan untuk merevitalisasi kawasan kota tua ini untuk tetap bersifat vibrant dan berperan sebagai ruang publik yang hidup. Taman Fatahillah terbentuk sebagai suatu enclosure yang dibatasi oleh bangunan-bangunan di sekelilingnya. Bangunan-bangunan yang membentuk ruang terbuka di Kota Tua ini berperan tidak hanya sebagai pembatas ruang secara fisik melainkan juga mampu berperan mendukung aktivitas pada ruang transisi antara lapangan dengan sisi muka bangunan pembentuk streetscape dengan berbagai fungsinya. Tulisan ini bermaksud untuk menelaah fungsi ambang dari ruang transisi antara Lapangan Fatahillah dengan muka bangunan yang ada di sekelilingnya dalam membentuk vibrant yang menghidupkan kawasan. Pendekatan yang digunakan untuk menelaah fungsi ambang ini adalah parameter dari Threshold Space yang meliputi delimitasi, sekuens, geometri, topografi, materialitas, dan furnishing. Kata-kunci : ruang terbuka publik, threshold space, Taman Fatahillah
Pendahuluan Kawasan Kota Tua di Jakarta merupakan salah satu objek konservasi yang dikembangkan oleh Pemda DKI Jakarta untuk menjadi ruang publik kota. Pelestarian kawasan sebagai objek bersejarah pada kawasan ini tidak hanya sekedar mempertahankan secara fisik melainkan juga diikuti dengan upaya memberikan aktivitas yang dapat menghidupkan kawasan. Pada masa kini, bangunanbangunan disekeliling Taman Fatahillah sudah hampir sepenuhnya di revitalisasi, namun hal yang di fokuskan adalah lebih pada bentuk fisik bangunan. Salah satu isu yang perlu diperhatikan adalah konektivitas antar bangunan terhadap Taman Fatahillah, seperti contohnya pengolahan streetscape pada bagian depan tiap bangunan yang berperan sebagai ruang transisi yang perlu diperhatikan untuk menciptakan ruang publik yang lebih baik. Ruang transisi ini dirasa penting, karena mampu memberikan pengalaman ruang yang berbeda dan baru bagi pengunjung disaat mereka mengunjungi setiap bangunan bersejarah di area tersebut, dengan demikian, peningkatan konektivitas antara bangunan dengan ruang terbuka di depannya perlu diperhatikan. Dua hal penting dalam isu ruang transisi di kawasan Kota Tua adalah bagaimana mengenali karakter ruang transisi serta kualitas vibrant yang diharapkan dapat dihasilkan pada ruang transisi tersebut. Kualitas vibrant mampu dicapai ketika ada capaian berikut: Kenyamanan, relaksasi, keterlibatan pasif, keterlibatan aktif, dan penemuan sesuatu di dalamnya (Carmona, 2003). Kualitas vibrant ini juga bisa dicapai melalui pengolahan pada jalur pedestrian pada streetscape yang secara jelas memisahkan antar fungsi seperti berjalan kaki, parkir, berkendara serta desain muka bangunan yang terkoneksi langsung dengan ruang pejalan kaki (Crankshaw, 2009). Ruang transisi merupakan area peralihan antara dua ruang yang bisa berupa pintu masuk, koridor, tangga, atau ruang penerima Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 255
Threshold Space sebagai Pendekatan Desain Ruang Terbuka di Kawasan Kota Tua Jakarta
seperti atrium, teras. Ruang transisi berfungsi sebagai buffer yang memisahkan antara dua ruang seperti contohnya ruang luar dan ruang dalam, demikian terdapat isu yang berkaitan yaitu isu publik dan privat.
Threshold Space dijelaskan sebagai sebuah ruang transisi dalam konteks arsitektur, arti kata "Threshold" merupakan bagian yang mengacu pada transisi dari satu ruang ke yang lain. Istilah ini juga menggabungkan ambivalensi antara bukaan dan penutup ruang (Boettger, 2014). Ruang threshold merupakan suatu ruang pengantar untuk menuju ke pengalaman spasial yang akan datang. "Spasial" berarti ruang arsitektur, yang ditentukan oleh pengalaman fisik individu dalam gerak dan persepsi (Boettger, 2014). Boettger menjelaskan beberapa parameter yang digunakan untuk menjelaskan karakteristik dari threshold space, lima parameter tersebut meliputi delimitasi, sekuens, geometri, topografi, materialitas, dan furnishing (Boettger, 2014). Delimitasi dijelaskan sebagai sifat terbuka atau tertutup dari ruang transisi yang juga meliputi bagaimana ada batasan yang bersifat fisik atau visual dalam ruang transisi tersebut. Sekuens dijelaskan sebagai susunan dalam ruang yang harus dilalui. Sekuens dalam suatu ruang transisi bisa bersifat bebas atau bersifat mengarahkan, sehingga orang harus melalui suatu urutan tertentu untuk mencapai ruang yang dituju. Geometri sebagai bentuk teratur yang mudah dikenali juga menjadi bagian dari threshold space. Geometri ini tidak hanya dikenali dalam rupa denah melainkan lebih pada elemen ruang yang dilalui. Parameter topografi menjelaskan posisi threshold space berkaitan dengan arsitektur utamanya, yang bisa bersifat embeded sebagai bagian yang menyatu atau bersifat independent dan berdiri sendiri. Parameter material yang dimaksud merupakan cara dari pemilihan material yang digunakan pada suatu threshold space. Seperti contohnya, penggunaan kaca sebagai dinding atau batasan memberikan nuansa keterbukaan bagi pengunjung di ruang luar untuk bisa melihat ke ruang dalam. Contoh lainnya adalah pemilihan material pada transisi ruang yang dilewati, dengan menggunakan material paving atau vegetasi yang berbeda dengan sekitarnya. Parameter furnishing dapat dibagi menjadi pelengkap terintegrasi dan menyatu atau merupakan unit sendiri. Pada parameter ini, analisis yang dilakukan adalah mengobservasi elemen furnitur yang berfungsi sebagai ornamen atau sebagai bagian dari bentuk batasan. Ruang publik yang bersifat vibrant mengolah dengan baik enam elemen pembentuk streetscape meliputi: pedestrian, parkir, pencahayaan, vegetasi, street furniture, monument atau signage (Crankshaw, 2009). Jalur pedestrian berkaitan dengan kemudahan aksesibilitas dan desain yang bersifat inclusive untuk dapat diakses siapa saja. Jalur pedestrian ini kemudian harus memberikan juga kejelasan pada batas-batasnya serta keamanan pada bentuk maupun material yang digunakan. Parkir yang harus tetap tersedia namun tetap memberikan ruang akses bagi pejalan kaki. Pencahayaan berperan dalam memberikan kejelasan, keamanan dan juga mendukung estetika tidak hanya dari elemen lampunya melainkan juga efek yang ditimbulkan pada elemen arsitektural seperti fasad bangunan. Vegetasi tidak hanya mendukung kenyamanan thermal dan visual melainkan juga berperan menjaga keseimbangan proporsi skala manusia dan bangunan di sekitarnya. Furnitur, monument dan signage merupakan elemen fisik baik yang bersifat fix maupun non-fix memiliki peran yang penting. Furniture berfungsi mendukung aktivitas yang terjadi, sedangkan monument dan signage tidak hanya berfungsi sebagai pemberi informasi namun juga elemen pembentuk estetika. Sifat vibrant streetscape yang meliputi kenyamanan, relaksasi, adanya keterlibatan baik aktif maupun pasif serta kemungkinan timbulnya aktivitas baru dapat dicapai melalui pengolahan pada enam elemen pembentuk streetscape. Karakteristik tiap parameter threshold space yang dibentuk oleh elemen-elemen tersebut memungkinkan terciptanya sifat vibrant pada ruang transisi antara ruang terbuka pada Taman Fatahillah dengan setiap bangunan di sekelilingnya. Kerangka konseptual 256 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Steven Nio
dari sifat vibrant dan elemen pembentuknya dapat diamati pada diagram di gambar 1. Analisis dari kerangka ini menghasilkan prinsip-prinsip desain yang kemudian diadopsi untuk melakukan redesain dari ruang transisi pada Taman Fatahillah.
Gambar 1. Kerangka konseptual pembentukan ruang transisi yang vibrant
Delimitasi
Kenyamanan
Jalur pedestrian
Sekuens
parkir
Geometri
Pencahayaan
Topografi
Vegetasi
Material
Monumen dan furniture
Furniture
Relaksasi Keterlibatan aktif dan pasif Penciptaan aktivitas baru
Studi Preseden Threshold Space Pembentuk Vibrant pada Ruang Terbuka Publik
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 257
Threshold Space sebagai Pendekatan Desain Ruang Terbuka di Kawasan Kota Tua Jakarta
Berdasarkan parameter-parameter threshold space yang sudah dianalisis dalam studi preseden pada bangunan di sekeliling area Praha Old Town Square, dengan mengidentifikasikan bahwa ruang transisi yang dianalisis adalah antara ruang publik dengan muka bangunan, terdapat beberapa kesimpulan di setiap parameternya. Parameter delimitasi tidak ditemukan di sebagian besar ruang transisi antara ruang publik dengan muka bangunan. Parameter delimitasi berada di depan bangunan yang memiliki fungsi sebagai restoran atau kafe, dan dibentuk dengan elemen fisik yang berupa kanopi, meja dan kursi. Parameter berikutnya adalah sekuens, yang pada sisi utara kawasan memiliki sekuens yang bebas, sedangkan pada sisi lainnya terarah. Hal ini disebabkan karena pada sisi timur dan selatan, banyak bangunan yang berfungsi sebagai restoran atau kafe dan memiliki furnitur-furnitur di depannya yang menutupi akses pintu masuk. Bentukan geometri yang dapat diidentifikasi termasuk jelas karena tidak banyak elemen fisik yang menutupi bentukan geometri dari muka bangunan. Pada sisi utara kawasan ini, terdapat jalur kendaraan bermotor yang membuat adanya elemen threshold pada saat menganalisis parameter topografi, yakni elevasi yang bersifat independen pada bagian trotoar. Selebihnya tapak ruang publik dengan area pejalan kaki menyatu tanpa adanya elevasi di setiap bagian depan bangunan. Dengan demikian, terdapat pengolahan yang berbeda pada pilihan material yang berupa bentuk dan pola paving pada ruang publik dan area pejalan kaki. Parameter terakhir adalah furnitur, yang merupakan elemen yang berperan sebagai batasan pada bangunan-bangunan disisi timur dan selatan, sedangkan terdapat pula disekeliling kawasan ini furnitur yang berupa penerangan dan sebagai ornamen tanpa berperan sebagai batasan. Kesimpulan yang diperoleh dari studi preseden pada Praha Old Town Square adalah bahwa sifat vibrant berkaitan dengan elemen-elemen pembentuk vibrant dengan cara tertentu. Comfort dan relaksasi dapat dikaitkan dengan pencahayaan, vegetasi dan furnitur. Vegetasi dan furniture misalnya dapat mempengaruhi keterlibatan pasif atau aktif. Furnitur juga dapat berperan dalam menciptakan aktivitas baru dengan perlakuan tertentu. Delimitasi yang tertutup dibentuk oleh vegetasi dan furniture, sedangkan delimitasi yang bersifat terbuka dengan sekuens yang bebas berimbang dengan area yang memiliki delimitasi tertutup dengan sekuens yang lebih terarah. Geometri bangunan yang jelas selalu terbentuk pada berbagai karakter delimitasi maupun sekuensnya. Pada kawasan ini jarang ditemukan topografi yang bersifat embedded, topografi selalu bersifat independen dan terlepas dari bangunan utama. Pembedaan material untuk perbedaan fungsi pedestrian memperjelas batasannya. Furnitur dapat berfungsi sebagai ornamen saja atau dapat pula berfungsi sebagai elemen pembatas.
Threshold Space Pembentuk Vibrant pada Ruang Transisi di Taman Fatahillah
258 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Steven Nio
Analisis enam parameter threshold space pada ruang transisi antara Taman Fatahillah dan muka bangunan yang mengelilinginya menunjukkan bahwa karakteristik tertentu dari parameter dapat mendukung terciptanya kondisi vibrant pada ruang terbuka publik.
Gambar 2. Analisis Parameter Delimitasi pada delapan bangunan di Taman Fatahillah
Gambar 3. Analisis Sekuens pada delapan bangunan di Taman Fatahillah Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 259
Threshold Space sebagai Pendekatan Desain Ruang Terbuka di Kawasan Kota Tua Jakarta
Gambar 4. Analisis geometri pada delapan bangunan di Taman Fatahillah
Gambar 5. Analisis topografi pada delapan bangunan di Taman Fatahillah
Delimitasi fisik pada muka bangunan dapat dikenali dengan jelas pada beberapa bangunan museum seperti museum keramik dan museum Fatahillah. Pada Museum Fatahillah delimitasi diperjelas dengan topografi yang bersifat embedded dari bentukan arcade pada muka bangunan. Delimitasi fisik yang bersifat embedded juga terlihat pada Kafe Batavia yang bersifat komersial. Berbeda halnya dengan Museum Keramik yang memiliki sekuens lebih panjang dan terarah. Museum Seni Rupa dan Keramik dengan sekuens yang terarah dan panang cenderung lebih tidak menyatu dengan Taman Fatahillah. Terdapat beberapa sekuens yang secara bertahap dilalui untuk mencapai muka bangunan berbeda halnya dengan Museum Wayang yang dapat secara langsung diakses tanpa ada delimitasi yang bersifat visual. Bentuk geometri dari semua bangunan cukup mudah dikenali meskipun beberapa diantaranya cenderung tertutup vegetasi.
260 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Steven Nio
Gambar 6. Analisis furnitur pada delapan bangunan di Taman Fatahillah
Material pada Taman Fatahillah cenderung bersifat homogen dan tidak secara jelas menunjukkan perbedaan yang mendukung delimitasi tertutup serta sekuens yang lebih bertahap. Elemen furnitur berperan lebih banyak untuk memberikan batasan pada muka bangunan. Elemen furnitur ini tidak hanya berfungsi sebagai ornamen melainkan juga mendukung terbentuknya sekuens yang bersifat lebih bertahap. Pada objek studi Taman Fatahillah, elemen furnitur cenderung tidak berperan meningkatkan vibrant dengan memberikan kenyamanan maupun memungkinkan keterlibatan aktif atau pasif. Kesimpulan Delimitasi fisik diperlukan pada muka bangunan yang bersifat komersial seperti kafe atau restaurant. Elemen fisik yang memberikan batasan dapat berperan tidak hanya membatasi melainkan juga menciptakan sekuens yang bersifat mengarahkan. Karakteristik geometri yang jelas serta topografi yang bersifat embedded akan lebih mendukung terciptanya vibrant pada ruang transisi pada bangunan yang berfungsi sebagai kafe atau restaurant ini. Geometri yang tidak jelas mungkin terrbentuk oleh vegetasi yang menutupi muka bangunan hal ini tidak mendukung pengalaman ruang yang ingin dicapai dalam sebuah ruang terbuka yang menekankan estetika dari bangunan bersearah di sekelilingnya. Vegetasi ini meskipun mampu memberikan kenyamanan visual perlu dilengkapi dengan elemen lain yang membantu terciptanya vibrant. Furnitur sangat berperan untuk menciptakan vibrant ketika dirancang secara terintegrasi pada ruang transisi antara muka bangunan dan ruang luar. Daftar Pustaka Boettger, T. (2014). Threshold spaces: transitions in architecture: analysis and design tools. Basel ; Boston: Birkhäuser. Carmona, M. (2003). Public places - urban spaces: the dimensions of urban design [...] [...]. Oxford [u.a.: Architectural Press. Crankshaw, N. (2009). Creating vibrant public spaces streetscape design in commercial and historic districts. Washington: Island Press. Retrieved from http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&scope=site&db=nlebk&db=nlabk&AN=394313
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 261